FAKTOR-FAKTOR RISIKO KEJADIAN STUNTING PADA BALITA (24-59 BULAN) DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SOSIAL PALEMBANG TAHUN 2014
MANUSKRIF SKRIPSI
OLEH AMANDA AGUSTINA 10101001052
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SRIWIJAYA 2015
FAKTOR-FAKTOR RISIKO KEJADIAN STUNTING PADA BALITA (24-59 BULAN) DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SOSIAL PALEMBANG TAHUN 2014 THE RISK FACTORS OF STUNTING CASES TO CHILDREN (24-59 MONTH) IN THE WORK AREA OF SOSIAL PUBLIC HEALTH CENTER IN PALEMBANG 2014 1
2
3
Amanda Agustina , Suci Destriatania , Anita Rahmiwati Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sriwijaya 2 Dosen Bagian Gizi Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sriwijaya 3 Dosen Bagian Gizi Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sriwijaya 1
ABSTRACT
Background : Stunting is growth disorders caused by chronic malnutrition, showed by height for age z-score < -2SD. Stunting of children contribute to the quality of human, therefore can causes lost generation. The study aimed to analyze the risk factors of stunting cases to children aged 24-59 month in the work area of Sosial Public Health Center in Palembang. Method : This study was quantitative method with cross sectional design. Samples selected by purposive sampling based on inclusion with total of samples were 117 toddlers. Data was collected by interview, height was measured using microtoise dan analyzed with WHO Anthro, nutrients intake was acquired using 24 hour- recall and mother’s nutrition knowledge level was measured using questionnaire. Chi-Square and Fisher-Exact was performed to identify exposure and stunting relation. Multivariate analysis with multiple logistic regression. Results : The analysis showed that 56,4% of the children is stunting. The test showed significant relationship between stunting with energy intake (p value = 0.023), protein intake (p value = 0.002), fat intake (p value = 0.043), calcium intake (p value = 0.018), zinc intake (p value = 0.024) and vitamin A intake (p value = 0.035). There were no relationship between stunting with birth weight, sex and mother’s nutrition knowledge level. The most dominan factor associated with stunting were protein intake. Conclusion : It was concluded that the risk factor of stunting is nutrients intake. It was suggested to educate mother about food, nutrition and health by Public Health Office and Sosial Public Health Center, so their knowledge will improve and they can apply to their family. Keywords : Stunting, children, toddlers, protein intake
FAKTOR-FAKTOR RISIKO KEJADIAN STUNTING PADA BALITA (24-59 BULAN) DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SOSIAL PALEMBANG TAHUN 2014 ABSTRAK Latar Belakang : Stunting adalah gangguan pertumbuhan karena malnutrisi kronis, yang ditunjukkan dengan nilai z-score tinggi badan menurut umur (TB/U) < -2SD. Stunting berdampak pada kualitas sumber daya manusia, sehingga jika tidak diatasi dapat menyebabkan lost generation. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor risiko kejadian stunting pada balita (24-59 bulan) di wilayah kerja Puskesmas Sosial Palembang. Metode : Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain cross sectional . Sampel dipilih dengan cara purposive sampling yang memenuhi kriteria inklusi dengan jumlah sampel sebanyak 117 balita. Data dikumpulkan dengan melakukan wawancara kepada responden, tinggi badan diukur menggunakan microtoise dan dianalisis menggunakan WHO Anthro, asupan zat gizi diperoleh melalui 24 hour-recall dan tingkat pengetahuan ibu diukur menggunakan kuesioner. Analisis Chi Square dan Fisher Exact dilakukan untuk melihat hubungan paparan dan kejadian stunting . Analisis multivariat menggunakan uji regresi logistik ganda. Hasil Penelitian :Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat 56,4% balita stunting . Hasil uji menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara stunting dengan asupan energi ( p value = 0.023), asupan protein ( p value = 0.002), asupan lemak ( p value = 0.043), asupan kalsium ( p value = 0.018), asupan zink ( p value = 0.024) dan asupan vitamin A ( p value = 0.035). Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara stunting dan berat badan lahir, jenis kelamin dan tingkat pengetahuan ibu. Faktor risiko kejadian stunting yang paling dominan adalah asupan protein. Kesimpulan : Dapat disimpulkan bahwa faktor risiko kedian stunting adalah asupan zat gizi. Disarankan agar adanya edukasi kepada ibu mengenai pangan, gizi dan kesehatan oleh Dinas Kesehatan dan Puskesmas Sosial sehingga pengetahuan ibu meningkat dan pengetahuan dapat diaplikasikan kedalam keluarga. Kata kunci: stunting, balita, asupan protein
PENDAHULUAN
Status gizi bayi dan balita merupakan salah satu indikator gizi masyarakat dan bahkan telah dikembangkan menjadi salah satu indikator kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Hal ini karena bayi dan balita merupakan kelompok yang sangat rentan terhadap berbagai penyakit kekurangan gizi, padahal bayi dan balita merupakan aset terhadap kemajuan bangsa.1 Masalah gizi yang paling banyak ditemukan pada anak di Indonesia adalah stunting.2 Kategori stunting didasarkan pada indeks Panjang Badan menurut Umur (PB/U) atau Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) dengan ambang batas (zscore) antara -3 SD sampai dengan < -2 SD.3 Pertumbuhan dan perkembangan mengalami peningkatan yang pesat pada usia dini. Masa ini sering juga disebut sebagai fase ”Golden Age”. Golden age merupakan masa yang sangat penting untuk memperhatikan tumbuh kembang anak secara cermat agar sedini mungkin dapat terdeteksi apabila terjadi kelainan. Balita usia 24-59 bulan merupakan periode keemasan (golden age) dalam proses perkembangan, yang artinya pada usia tersebut aspek kognitif, fisik, motorik, dan psikososial seorang anak berkembangan secara pesat.4 Gangguan pertumbuhan linear (stunting) akan berdampak terhadap pertumbuhan, perkembangan, kesehatan dan produktivitas. Masalah gizi kurang jika tidak ditangani akan menimbulkan masalah yang lebih besar, bangsa Indonesia dapat mengalami lost generation.5 Menurut penelitian, usia terbanyak pada kelompok balita stunting yaitu usia 24-59 bulan dibandingkan dengan kelompok usia balita lainnya. 6 Menurut data dunia, diperkirakan terdapat 165 juta anak dibawah usia lima tahun yang mengalami stunting saat ini.7 Berdasarkan hasil Riskesdas 2013, prevalensi anak balita stunting Indonesia sebesar 20,2%. Angka prevalensi stunting pada balita di Sumatera Selatan yaitu sebesar 24,1 persen dimana prevalensi ini masih diatas prevalensi nasional. 3 Prevalensi stunting pada balita di Palembang pada tahun 2013 adalah 8,58% dengan kejadian tertinggi di wilayah kerja Puskesmas Sosial (53,33%). 8 Stunting tidak hanya disebabkan oleh satu faktor tetapi disebabkan oleh banyak faktor, dan faktor-faktor tersebut saling berhubungan satu dengan yang lainnya. 9 Masalah stunting menunjukkan ketidakcukupan gizi dalam jangka waktu panjang, yaitu kurang energi dan protein, juga beberapa zat gizi mikro. Gangguan atau hambatan pada metabolisme suatu zat gizi akan memberikan pula gangguan atau hambatan pada metabolisme zat gizi lainnya. Metabolisme energi, protein dan lemak memerlukan zat-zat
gizi lainnya baik vitamin dan juga mineral. 10 Selain ketidakcukupan zat gizi, faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi balita yang lain adalah tingkat pengetahuan ibu dan berat badan lahir balita. 11 BAHAN DAN CARA PENELITIAN
Penelitian ini adalah penelitian survei analitik dengan desain cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah balita (24-59 bulan) yang tinggal di wilayah kerja Puskesmas Sosial Palembang. Teknik pengambilan sampel adalah Purposive Sampling dengan sampel penelitian berjumlah 117 balita yang memenuhi kriteria inklusi dan responden yaitu ibu balita. Chi-square dan Fisher-exact digunakan pada uji bivariat sedangkan uji
Regresi Logistik Ganda digunakan pada uji multivariat. Variabel
independen yang diteliti adalah asupan energi, protein, lemak, kalsium, zink, vitamin A, berat bdan lahir, jenis kelamin dan tingkat pengetahuan ibu sedangkan variabel dependen yaitu kejadian stunting. HASIL PENELITIAN Karakteristik Tabel 1 Distribusi Frekuensi Balita (24-59 bulan) Di Wilayah Kerja Puskesmas Sosial Palembang Variabel
Kategori
n = 117
%
Tinggi Badan
Stunting Normal Tidak Cukup Cukup Tidak Cukup Cukup Kurang Cukup Lebih Inadequate Adequate Inadequate Adequate Inadequate Adequate BBLR Normal Berat Badan Lebih Perempuan Laki-laki Kurang Cukup
66 51 61 56 68 49 0 64 53 57 60 72 45 60 57 0 109 8 51 66 60 57
56.4 43.6 52.1 47.9 58.1 41.9 0 54.7 45.3 48.7 51.3 61.5 38.5 51.3 48.7 0 93.2 6.8 43.6 56.4 51.3 48.7
Asupan Energi Asupan Protein Asupan Lemak
Asupan Kalsium Asupan Zinc Asupan Vitamin A Berat Badan Lahir
Jenis Kelamin Tingkat Pengetahuan Ibu
Dari tabel distribusi frekuensi di atas, dapat diketahui bahwa mayoritas responden dalam penelitian ini tergolong stunting . Dilihat dari asupan gizinya, mayoritas responden memiliki asupan energi dan asupan protein yang tidak cukup, asupan lemak yang cukup, asupan kalsium yang adequate serta asupan zink dan vitamin A yang inadequate. Responden mayoritas berjenis kelamin laki-laki, memiliki berat badan lahir yang normal dan ibu yang memiliki pengetahuan yang kurang. Analisis Bivariat Tabel 2 Hasil Analisis Bivariat Faktor-Faktor Risiko Kejadian Stunting pada Balita (24-59 bulan) di Wilayah Kerja Puskesmas Sosial Palembang 2014 Stunting Asupan Energi Tidak Cukup Cukup Asupan Protein Tidak Cukup Cukup Asupan Lemak Cukup Lebih Asupan Kalsium Inadequate Pre-Inadequate Asupan Zinc Inadequate Adequate Asupan Vitamin A Inadequate Adequate Berat Badan Lahir Normal Berat Badan Lebih Jenis Kelamin Perempuan Lki-laki Pengetahuan Ibu Cukup Baik
n
%
Normal n
41 20
62.1 39.2
25 31
37.9 60.8
0.023*
47 21
71.2 41.2
19 30
28.8 58.8
0.002*
42 22
63.6 43.1
24 29
36.4 56.9
0.043*
39 18
59.1 35.3
27 33
40.9 64.7
0.018*
47 25
71.2 49.0
19 26
28.8 51.0
0.024*
40 20
60.6 39.2
26 31
39.4 60.8
0.035*
62 4
56.9 50.0
47 4
43.1 50.0
0.727
30 36
58.8 54.5
21 30
41.2 45.5
0.784
38 22
63.3 49.1
22 29
36.7 50.9
0.173
%
P value
*p value < 0,05 :berhubungan secara staistik
Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara asupan energi, protein, lemak, kalsium, zink dan vitamin A dengan kejadian stunting. Tidak terdapat hubungan antara berat badan lahir, jenis kelamin dan tingkat pengetahuan ibu dengan kejadian stunting.
Analisis Multivariat Tabel 3 Rekapitulasi Hasil Analisis Bivariat Regresi Logistik (n=117) Variabel Asupan energi Asupan protein Asupan lemak Asupan kalsium Asupan zink Asupan vitamin A Berat badan lahir Jenis kelamin Tingkat pengetahuan ibu
P Value 0.014 0.001 0.027 0.011 0.014 0.022 0.706 0.643 0.121
Sehingga variabel-variabel yang dapat diteruskan ke pemodelan mulivariat adalah asupan energi, asupan protein, asupan lemak, asupan kalsium, asupan zink, asupan vitamin A dan tingkat pengetahuan ibu. Tabel 4 Pemodelan Terakhir Multivariat Variabel
Sig
Exp (B)
Asupan protein Asupan zink Asupan lemak
0.042 0.693 0.212
2.729 1.219 1.672
Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa faktor risiko yang dominan dengan kejadian stunting adalah asupan protein, dengan faktor konfonding yaitu asupan zink dan lemak. PEMBAHASAN Asupan Energi
Hasil statistik menunjukkan bahwa adanya hubungan antara asupan energi dengan kejadian stunting pada balita (24-59 bulan) di wilayah kerja Puskesmas Sosial Palembang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proporsi kejadian stunting pada balita (24-59 bulan) lebih banyak ditemukan pada balita yang memiliki asupan energi yang tidak cukup. Penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya di Desa Tanjung Kamal Wilayah Kerja Puskesmas Mangaran Kabupaten Situbondo yang menyatakan bahwa ada hubungan antara asupan energi dengan stunting pada anak umur 2-5 tahun dengan p value = 0.023. 12 Dengan tidak adanya asupan yang tidak memadai, tubuh anak akan menghemat energi
dengan membatasi kenaikan berat badan yang kemudian membatasi pertumbuhan linier dan mengakibatkan anak menjadi stunting .13
Asupan Protein
Hasil statistik menunjukkan bahwa adanya hubungan antara asupan protein dengan kejadian stunting pada balita (24-59 bulan) di wilayah kerja Puskesmas Sosial Palembang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proporsi kejadian stunting pada balita (24-59 bulan) lebih banyak ditemukan pada balita yang memiliki asupan protein yang tidak cukup. Penelitian ini sejalan dengan penelitian di kecamatan Tembalang Kota Semarang yang menyatakan bahwa adanya hubungan antara tingkat kecukupan protein dengan stunting dengan p value = 0.003. 14 Saat anak tumbuh dan berkembang, protein adalah zat gizi yang sangat diperlukan untuk memberikan pertumbuhan yang optimal. Seorang anak yang kekurangan asupan protein akan mengalami pertumbuhan tinggi badan yang lebih lambat dibandingkan dengan anak yang asupan proteinnya cukup. 11 Asupan Lemak
Hasil statistik menunjukkan bahwa adanya hubungan antara asupan lemak dengan kejadian stunting pada balita (24-59 bulan) di wilayah kerja Puskesmas Sosial Palembang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proporsi kejadian stunting pada balita (24-59 bulan) lebih banyak ditemukan pada balita yang memiliki asupan lemak yang cukup. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Oktarina15 dengan p-value sebesar 0.02 akan tetapi berbeda dengan penelitian Al-Anshori 16 yang menyatakan bahwa asupan lemak bukan merupakan faktor risiko kejadian stunting ( p value = 0.088). Lemak merupakan sumber energi yang menghasilkan kalori 9 kkal disetiap gramnya. Fungsi lemak yang penting tekait interaksinya dengan berbagai zat gizi berpengaruh terhadap kekurangan energi dan vitamin yang dibutuhkan anak dalam pertumbuhan tinggi badan. 17 Asupan Kalsium
Hasil statistik menunjukkan bahwa adanya hubungan antara asupan kalsium dengan kejadian stunting pada balita (24-59 bulan) di wilayah kerja Puskesmas Sosial Palembang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proporsi kejadian stunting pada balita (24-59 bulan) lebih banyak ditemukan pada balita yang memiliki asupan kalsium yang inadequate. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Hestuningtyas 18 yang menyatakan bahwa adanya hubungan antara asupan kalsium dengan kejadian stunting dengan p value
sebesar 0.029. jika pada masa pertumbuhan anak-anak mengalami kekurangan kalsium akan
menyebabkan
gangguan
pertumbuhan,
salah
satunya
adalah
terhambatnya
pertumbuhan tinggi badan (stunting). 19 Asupan Zink
Hasil statistik menunjukkan bahwa adanya hubungan antara asupan zink dengan kejadian stunting pada balita (24-59 bulan) di wilayah kerja Puskesmas Sosial Palembang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proporsi kejadian stunting pada balita (24-59 bulan) lebih banyak ditemukan pada balita yang memiliki asupan zink yang inadequate. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Andarini 12 yang menunjukkan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara asupan zinc dan kejadian stunting ( p value= 0.001). Zinc merupakan zat gizi esensial dan telah mendapat perhatian yang cukup serius akhir-akhir ini. Kekurangan zinc pada masa anak-anak dapat menyebabkan stunting .14 Asupan Vitamin A
Hasil statistik menunjukkan bahwa adanya hubungan antara asupan vitamin A dengan kejadian stunting pada balita (24-59 bulan) di wilayah kerja Puskesmas Sosial Palembang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proporsi kejadian stunting pada balita (24-59 bulan) lebih banyak ditemukan pada balita yang memiliki asupan vitamin A yang inadequate. Penelitian ini sejalan dengan penelitian penelitian Astari20 yang menyatakan bahwa adanya hubungan antara asupan vitamin A dengan kejadian stunting . Kekurangan vitamin A menyebabkan pertumbuhan dan bentuknya tidak normal. Pada anak-anak yang kekurangan vitamin A, terjadi kegalalan pertumbuhan baik underweight dan atau stunting .13 Berat Badan Lahir
Hasil statistik menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan antara berat badan lahir dengan kejadian stunting pada balita (24-59 bulan) di wilayah kerja Puskesmas Sosial Palembang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proporsi kejadian stunting pada balita (24-59 bulan) lebih banyak ditemukan pada balita yang memiliki berat badan lahir normal. Hasil penelitian ini berbanding terbalik dengan penelitian yang dilakukan oleh Arifin21 yang menyatakan terdapat hubungan antara berat badan lahir dengan kejadian stunting (p value = 0.015). Berat lahir rendah yang diikuti oleh asupan makanan dan kesehatan yang tidak memadai, sering terjadi infeksi pada anak selama masa pertumbuhan yang menyebabkan anak menjadi stunting .22
Jenis Kelamin
Hasil statistik menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian stunting pada balita (24-59 bulan) di wilayah kerja Puskesmas Sosial Palembang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proporsi kejadian stunting pada balita (24-59 bulan) lebih banyak ditemukan pada balita yang berjenis kelamin laki-laki. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Fitri (2012) dengan p value sebesar 0.0001 yang menyatakan bahwa adanya hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian stunting. Anak perempuan lebih mungkin menjadi stunting dibandingkan dengan anak laki-laki pada saat balita karena berkaitan dengan efek gabungan dari waktu percepatan pertumbuhan dan perbedaan dalam mengejar potensi dalam konteks kekurangan gizi. 23 Tingkat Pengetahuan Ibu
Hasil statistik menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan kejadian stunting pada balita (24-59 bulan) di wilayah kerja Puskesmas Sosial Palembang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proporsi kejadian stunting pada balita (24-59 bulan) lebih banyak ditemukan pada balita yang memiliki ibu dengan tingkat pengetahuan yang kurang. Berbeda dengan penelitian ini, Arifin21 menyatakan terdapat hubungan antara pengetahuan ibu dengan kejadian stunting (p value = 0.050). Kualitas dan kuantitas asupan makanan ditentukan oleh pengetahuan yang kemudian diterapkan oleh pengetahuan ibu. Kurangnya kualitas dan kuantitas zat gizi dalam makanan yang diberikan kepada anak akan berpengaruh secara langsung terhadap kejadian stunting .16 KESIMPULAN DAN SARAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya hubungan antara asupan energi, protein, lemak, kalsium, zink dan vitamin A dengan kejadian stunting pada balita (24-59 bulan) di wilayah kerja Puskesmas Sosial Palembang. Dan faktor risiko yang dominan terhadap kejadian stunting adalah asupan protein. Ibu hendaknya rutin membawa anak ke posyandu sehingga pertumbuhan anak dapat dipantau secara kontinyu dan mendapatkan solusi jika pertumbuhan anak terhambat. Perlu adanya langkah edukasi kepada para ibu oleh Dinas Kesehatan dan Puskesmas Sosial serta peningkatan pelayanan dari posyandu. DAFTAR PUSTAKA
1
Aries, Muhammad et al. 2012. Determinan Gizi Kurang Dan Stunting Anak Umur 0-36 Bulan Berdasarkan Data Program Keluarga Harapan (PKH) 2007. Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Jurnal Gizi dan Pangan. ISSN 1978-1059, 7(1): 19-26 2 Kemenkes RI. 2013. Rencana Kerja Pembinaan Gizi Masyarakat Tahun 2013. Jakarta : Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan. 3 Kemenkes RI. 2011. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1995/MENKES/SK/XII/2010 Tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak . Direktorat Jenderal Bina Gizi Dan Kesehatan Ibu Dan Anak. 4 Zaviera, Ferdinand. 2008. Mengenali dan Memahami Tumbuh Kembang Anak. Jogjakarta: Katahati. 5 Soekirman. 2005. Perlu Paradigma Baru Untuk Menanggulangi Masalah Gizi Makro Di Indonesia. Jakarta: http://www.gizi.net/makalah/download/prof-soekirman.pdf. 6 Welasasih, Bayu Dwi dan R. Bambang Wirjatmadi.2012. Beberapa Faktor Yang Berhubungan Dengan Status Gizi Balita Stunting . Dept. Gizi Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga. The Indonesian Journal Of Public Health, Vol.8, No.3, Maret 2012: 99-104. 7 UNICEF. 2012. UNICEF Indonesia: Ringkasan Kajian Gizi Ibu dan Anak. Jakarta: UNICEF: Unite For Children. 8 Dinas Kesehatan Kota Palembang. 2013. Rekapitulasi Hasil Pemantauan Status Gizi Balita Berdasarkan Indikator TB/U Kota Palembang 2013. 9 UNICEF. 2007. Progress For Children . http://www.unicef.org/publications/files/low/Progress _for_children_no_6_resived.pdf. 10 Sediaoetama, Achmad Djaeni . 2008. Ilmu Gizi. Jakarta : PT. Dian Rakyat 11 Fitri. 2012. Berat Lahir Sebagai Faktor Dominan Terjadinya Stunting Pada Balita (1259 bulan) si Sumatera (Analisis Data Riskesdas 2010). Tesis. Depok : Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. 89 hlm. 12 Andarini, Sri et al. 2013. Hubungan Asupan Zat Gizi (Energi, Protein Dan Zink) Dengan Stunting Pada Anak Umur 2-5 Tahun Di Desa Tanjung Kamal Wilayah Kerja Puskesmas Mangaran Kabupaten Situbondo. Jurnal. Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya Malang. 13 Cakrawati, Dewi dan Mustika NH. 2012. B ahan Pangan, Gizi dan Kesehatan. Bandung: Alfabeta 14 Anindita, Putri. 2012. Hubungan Tingkat Pendidikan Ibu, Pendapatan Keluarga, Kecukupan Protein Dan Zink Dengan Stunting (Pendek) Pada Balita Usia 6-35 Bulan di Kecamatan Tembalang Kota Semarang. Jurnal. Gizi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedoteran Universitas Diponegoro. 15 Oktarina Zilda dan Trini Sudiarti. 2013. Faktor Risiko Stunting Pada Balita (24-59 bulan) Di Sumatera. Jurnal Gizi Dan Pangan 8(3): 175-180 16 Al- Anshori, Husein. 2013. Faktor Risiko Kejadian Stunting Pada Anak 12-24 Bulan (Studi di Kecamatan Semarang Timur) . Jurnal. Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang. 17 Hardinsyah, Hadi Riyadi & Victor Napitulu. 2012. Kecukupan Energi, Protein, Lemak dan Karbohidrat . WNPG 2012 18 Hestuningtyas, T.R dan Etika R. N . 2014. Pengaruh Konseling Gizi Terhadap Pengetahuan, Sikap, Praktik Ibu Dalam Pemberian Makan Anak Dan Asupan Gizi Anak Stunting Usia 1-2 Tahun Di Kecamatan Semarang Timur. Journal Of Nutrition College: Universitas Diponegoro 19 Almatsier, Sunita. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama
20
Astari. 2006. Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Stunting Pada Anak Usia 6-12 Bulan Di Kabupaten Bogor. Tesis. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 21 Arifin, Dedi Zaenal et al. 2012. Analisis Sebaran Dan Faktor Risiko Stunting Pada Balita Di Kabupaten Prwakarta 2012. Jurnal. Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Padjajaran Bandung. 22 ACC/SCN. 2000. 4th Report – The World Nutrition Situation : Nutrition Throughout The Life Cycle. Geneva 23 Bosch, A.B, Baqui AH & Ginneken JK. 2008. Early-life Determinants of Stunted Adolescent Girls and Boys in Matlab, Bangladesh. International Centre for Diarhoeal Disease Research, Bangladesh. 2:189-199