HUBUNGAN ANTARA ETIKA DAN ESTETIKA
A. Latar Belakang
Perkembangan etika dan estetika budaya suatu bangsa berhubungan
erat dengan perubahan sosial budaya yang terjadi pada bangsa tersebut.
Permasalahan tersebut dapat menjadi latar belakang pentingnya mempelajari
bagaimana perubahan dapat diterima masyarakat.
Dewasa ini sebagian besar mahasiswa memahami etika dan estetika
budaya secara parsial atau tidak berdasarkan pemahaman yang utuh,
akibatnya mereka menafsirkan bahwa kebebasan dalam mengapresiasi dan
mengekspresikan nilai estetika adalah pemutlakan tunggal tanpa ada
kaitannya dengan nilai lainnya seperti nilai etika budaya tertentu.
Beberapa kasus yang terjadi tidak lama ini yaitu Aksi balik badan saat
display UKM pada Ospek 2011 di salah satu Universitas di Yogyakarta, Kisah
tarian Jaipong (Kesenian Tari asal Jawa Barat) yang dipandang Haram Untuk
ditampilkan dan Rok Mini anggota DPR. Ketiganya memiliki beberapa
persamaan jika dibahas dalam konteks urgensi pemahaman nilai etika dan
estetika budaya.
Kasus aksi balik badan dilatarbelakangi oleh beberapa unit
kegiatan mahasiswa (UKM) yang memakai pakaian berkemben, memakai kostum
atau menampilkan tarian yang dipandang kurang pantas . Terlepas dari
Subjektivitas terhadap presepsi dalam menilai sebuah seni, dalam sebuah
jurnal termuat beberapa pendapat yang mengaitkan istilah budaya, pendidikan
karakter, seni dan multikultural dengan kejadian tersebut. Terdapat
perbedaan aplikatif maupun pemahaman tentang bagaimana menjadikan mahasiswa
menjadi berkarakter. Kemudian pada kasus yang kedua Kisah tarian Jaipong
juga mempunyai perbedaan pemahaman terhadap etika dan estetika budaya dari
para pengamat maupun pelestari seni jaipong itu sendiri, namun hal yang
sangat penting untuk dibahas ialah bagaimana para pelestari jaipong mampu
mendengarkan saran dari pemerintah dan pihak lainnya untuk tetap
melestarikan tarian jaipong. Kemudian pada kasus terakhir , tentang wacana
diberlakukannya aturan pelarangan memakai rok mini bagi anggota DPR ,dalam
hal ini juga terdapat pro-kontra dipandang dalam segi penempatan etika dan
estetika. Semua kasus tersebut membuktikan bahwa terdapat perbedaan
pendapat terkait bentuk dalam mengekspresikan dan mengapresiasi nilai etika
dan estetika sebuah budaya.
Ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa antara nilai etika
budaya dengan nilai estetika budaya harus berjalan beriringan atau
mempunyai kedudukan yang sama, tetapi dalam konteks kegunaan suatu nilai
terdapat urutan yang harus dipenuhi berdasarkan prioritas seperti nilai
yang tergolong primer dan sekunder. Meskipun keduanya masih dalam satu
golongan , hal ini dapat di andaikan dengan subclass priority(prioritas sub
golongan ). Dari pemaparan tersebut dapat diambil latar belakang lain
mengenai urgensi prioritas kegunaan nilai etika dan estetika budaya.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah itu estetika budaya?
2. Apakah yang dimaksud etika berbudaya?
3. Bagaimana perkembangan etika dan estetika budaya secara historis?
4. Apa yang dimaksud hakikat manusia sebagai makhluk budaya?
5. Apa itu konsep-konsep dasar manusia?
C. Tujuan atau Manfaat
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud estetika budaya.
2. Untuk mengetahui apa yang dimaksud etika budaya.
3. Untuk mengetahui perkembangan etika dan estetika budaya secara
historis.
4. Untuk mengetahui apa yang dimaksud hakikat manusia sebagai mahkluk
budaya.
5. Untuk mengetahui apa yang dimaksud konsep-konsep dasar manusia.
PEMBAHASAN
1. Etika Manusia dalam Berbudaya
Kata etika berasal dari bahasa Yunani, yaitu ethos. Secara
etimologis, etika adalah ajaran tentang baik–buruk, yang diterima umum
atau tentang sikap, perbuatan, kewajiban, dan sebagainya. Etika bisa
disamakan artinya dengan moral (mores dalam bahasa latin), akhlak, atau
kesusilaan. Etika berkaitan dengan masalah nilai, karena etika pada
pokoknya membicarakan masalah–masaah yang berkaitan dengan predikat nilai
susila, atau tidak susila, baik dan buruk. Dalam hal ini, etika termasuk
dalam kawasan nilai, sedangkan nilai etika itu sendiri berkaitan dengan
baik–buruk perbuatan manusia.
Namun, etika memiliki makna yang bervariasi. Bertens menyebutkan
ada tiga jenis makna etika sebagai berikut :
a. Etika dalam arti nilai–nilai atau norma yang menjadi pegangan bagi
seseorang atau kelompok orang dalam mengatur tingkah laku.
b. Etika dalam arti kumpulan asas atau nilai moral (yang dimaksud disini
adalah kode etik)
c. Etika dalam arti ilmu atau ajaran tentang yang baik dan yang buruk .
Disini etika sama artinya dengan filsafat moral.
Etika sebagai nilai dan norma etik atau moral berhubungan dengan
makna etika yang pertama. Nilai–nilai etik adalah nilai tentang baik buruk
kelakuan manusia. Nilai etik diwujudkan kedalam norma etik, norma moral,
norma kesusilaan.
Norma etik berhubungan dengan manusia sebagai individu karena
menyangkut kehidupan pribadi. Pendukung norma etik adalah nurani individu
dan bukan manusia sebagai makhluk sosial atau sebagai anggota masyarakat
yang terorganisir. Norma ini dapat melengkapi ketidakseimbangan hidup
pribadi dan mencegah kegelisahan diri sendiri.
Norma etik ditujukan kepada umat manusia agar terbetuk kebaikan
akhlak pribadi guna penyempurnaan manusia dan melarang manusia melakukan
perbuatan jahat. Membunuh, berzina, mencuri, dan sebagaiya. Tidak hanya
dilarang oleh norma kepercayaan atau keagamaan saja, tetapi dirasakan juga
sebagai bertentangan dengan (norma) kesusilaan dalam setiap hati nurani
manusia. Norma etik hanya membebani manusia dengan kewajiban–kewajiban
saja.
Asal atau sumber norma etik adalah dari manusia sendiri yang
bersifat otonom dan tidak ditujukan kepada sikap lahir, tetapi ditujukan
kepada sikap batin manusia. Batinnya sendirilah yang mengancam perbuatan
yang melanggar norma kesusilaan dengan sanksi. Tidak ada kekuasaaan diluar
dirinya yang memaksakan sanksi itu. Kalau terjadi pelanggaran norma etik,
misalnya pencurian atau penipuan, maka akan timbullah dalam hati nurani si
pelanggar itu rasa penyesalan, rasa malu, takut, dan merasa bersalah.
Daerah berlakunya norma etik relatif universal, meskipun tetap
dipengaruhi oleh ideologi masyarakat pendukungya. Perilaku membunuh adalah
perilaku yang amoral, asusila atau tidak etis. Pandangan itu bisa diterima
oleh orang dimana saja atau universal. Namun, dalam hal tertentu, perilaku
seks bebas bagi masyarakat penganut kebebasan kemungkinan bukan perilaku
yang amoral. Etika masyarakat Timur mungkin berbeda dengan etika masyarakat
barat.
Norma etik atau norma moral menjadi acuan manusia dalam
berperilaku. Dengan norma etik, manusia bisa membedakan mana perilaku yang
baik dan juga mana perilaku yang buruk. Norma etik menjadi semacam das
sollen untuk berperilaku baik. Manusia yang beretika berarti perilaku
manusia itu baik sesuai dengan norma–norma etik.
Budaya atau kebudayaan adalah hasil cipta, rasa dan karsa manusia.
Manusia yang beretika akan menghasilkan budaya yang memiliki nilai–nilai
etik pula. Etika berbudaya mengandung tuntutan atau keharusan bahwa budaya
yang diciptakan manusia mengandung nilai–nilai etik yang kurang lebih
bersifat universal atau diterima sebagian besar orang. Budaya yang memiliki
nilai–nilai etik adalah budaya yang mampu menjaga, mempertahankan, bahakan
mampu meningktkan harkat dan martabat manusia itu sendiri. Sebaliknya,
budaya yang beretika adalah kebudayaan yang akan merendahkan atau bahkan
menghancurkan martabat kemanusiaan.
Namun demikian, menentukan apakah suatu budaya yang dihasilkan
manusia itu memenuhi nilai–nilai etik ataukah menyimpang dari nilai etika
adalah bergantung dari paham atau ideologi yang diyakini masyarakat
pendukung kebudayaan . Hal ini dikarenakan berlakunya nilai–nilai etik
bersifat universal, namun amat dipengaruhi oleh ideologi masyarakatnya.
Contohnya, budaya perilaku berduaan dijalan antara sepasang muda mudi,
bahkan bermesraan di hadapan umum. Masyarakat individual menyatakan
hal demikian bukanlah perilaku yang etis, tetapi akan ada sebagian orang
atau masyarakat yang
berpandangan hal tersebut merupakan suatu penyimpangan etik.
2. Estetika Manusia dalam Berbudaya
a. Estetika dapat dikatakan sebagai teori tentang keindahan atau
seni. Estetika berkaitan dengan nilai indah–jelek (tidak indah).
Nilai estetika berari nilai tentang keindahan. Keindahan dapat
diberi makna secara luas, secara sempit, dan estetik murni.
Secara luas keindahan mengandung ide kebaikan, bahwa
segala sesuatunya yang baik termasuk yang abstrak maupun nyata
yang mengandung ide kebaikan adalah indah. Keindahan dalam arti
luas meliputi banyak hal, seperti watak yang indah, hukum yang
indah, ilmu yang indah, dan kebajikan yang indah. Indah dalam
arti luas mencakup hampir seluruh yang ada apakah merupakan
hasil seni, alam, moral, dan intelektual.
b. Secara sempit, yaitu indah yang terbatas pada lingkup persepsi
penglihatan (bentuk dan warna).
c. Secara estetik murni, menyangkut pengalaman estetik seseorang
dalam hubungannya dengan segala sesuatu yang diresapinya melalui
penglihatan, pendengaran perabaan dan perasaan, yang semuanya
dapat menimbulkan persepsi (anggapan) indah.
Jika estetika dibandingkan dengan etika, maka etika berkaitan
dengan nilai tentang baik–buruk, sedangkan estetika berkaitan dengan hal
yang indah–jelak. Sesuatu yang estetik berarti memenuhi unsur keindahan
(secara estetik murni maupun secara sempit, baik dala bentuk, warna, garis,
kata, ataupun nada). Budaya yang estetik berarti budaya tersebut memiliki
unsur keindahan.
Apabila nilai etik bersifat relatif universal, dalam arti bisa
diterima banyak orang, namun nilai estetik amat subjektif dan partikular.
Sesuatu yang indah bagi seseorang belum tentu indah bagi orang lain.
Misalkan dua orang memandang sebuah lukisan. Orang yang pertama akan
mengakui keindahan yang terkandung dalam lukisan tersebut, namun bisa jadi
orang kedua sama sekali tidak menemukan keindahan di lukisan tersebut.
Oleh karena subjektif, nilai estetik tidak bisa dipaksakan pada
orang lain. Kita tidak bisa memaksa seseorang untuk mengakui keindahan
sebuah lukisan sebagaimana pandangan kita. Nilai–nilai estetik lebih
bersifat perasaan, bukan pernyataan.
Budaya sebagai hasil karya manusia sesungguhnya diupayakan untuk
memenuhi unsur keindahan. Manusia sendiri memang suka akan keindahan. Di
sinilah manusia berusaha berestetika dalam berbudaya. Semua kebudayaan
pastilah dipandang memiliki nilai–nilai estetik bagi masyarakat pendukung
budaya tersebut. Hal–hal yang indah dan kesukaannya pada keindahan
diwujudkan dengan menciptakan aneka ragam budaya.
Namun sekali lagi, bahwa suatu produk budaya yang dipandang
indah oleh masyarakat pemiliknya belum tentu indah bagi masyarakat budaya
lain. Contohnya, budaya suku–suku bangsa Indonesia. Tarian suatu suku
berikut penari dan pakaiannya mungkin dilihat tidak ada nilai estetikanya,
bahkan dipandang aneh oleh warga dari suku lain, demikian pula sebaliknya.
Oleh karena itu, estetika berbudaya tidak semata–mata dalam
berbudaya harus memenuhi nilai–nilai keindahan. Lebih dari itu, estetika
berbudaya menyiratkan perlunya manusia (individu atau masyarakat) untuk
menghargai keindahan budaya yang dihasilkan manusia lainya. Keindahan
adalah subjektif, tetapi kita dapat melepas subjektivitas kita untuk
melihat adanya estetika dari budaya lain. Estetika berbudaya yang demikian
akan
mampu memecah sekat–sekat kebekuan, ketidak percayaan, kecurigaan,
dan rasa inferioritas antar budaya.
3. Perkembangan Etika dan Estetika Budaya Secara Historis
Hal yang terpenting untuk membangun pemahaman suatu ilmu secara
utuh bisa dilakukan dengan mencari asal-usul, alasan,dan segala hal terkait
dengan perkembangan ilmu tersebut.Begitu juga dengan istilah-istilah yang
muncul berkaitan dengan definisi suatu cabang keilmuan tertentu yang harus
ada kesimpulan yang membawa alasan mengapa istilah itu dimunculkan.Dengan
mengetahui perkembangan istilah tersebut setiap orang mampu memahami hal
yang dimaksudkan istilah tersebut secara menyeluruh,bukan hanya
mengartikannya secara sembarang atau berpendapat menggunakan istilah
tersebut semaunya sendiri.Meskipun istilah tersebut mengalami perubahan
makna harus diterangkan bagaimana proses perubahan istilah tersebut terjadi
dikaitkan dengan berbagai aspek,salah satunya aspek penggunaannya.Dalam
memahami Urgensi Pemahaman etika dan estetika budaya,kita harus memahami
perkembangan dari dua istilah etika dan estetika.
Etika (kesusilaaan) lahir karena kesadaraan akan adannya naluri-
solidaritas sejenis pada makhluk hidup untuk melestarikan
kehidupannya,kemudian pada manusia etika ini menjadi kesadaran sosial,
memberi rasa tanggungjawab dan bila terpenuhi akan menjelma menjadi rasa
bahagia.(A.A Djelantik,Estetika Sebuah Pengantar.hal-4).
Pada manusia yang bermasyarakat etika ini berfungsi untuk
mempertahankan kehidupan kelompok dan individu.Pada awalnya Etika dikenal
pada sekelompok manusia yang sudah memiliki peradaban lebih tinggi.Terdapat
proses indrawi yang diperoleh secara visual dan akustik(instrumental) .
Keduanya (proses indrawivisual dan akustik) mengambil peran
tambahan melakukan fungsi-fungsi yang jauh lebih tinggi,bukan hanya
melakukan fungsi vital , tetapi telah melibatkan proses-proses yang terjadi
dalam budi dan intelektualitas dan lebih bertujuan untuk memberi
pengetahuan dan kebahagiaan jasmani dan ruhani. .(A.A Djelantik,Estetika
Sebuah Pengantar.hal-3).
Etika pada pada perkembangannya terbagi atas usaha untuk
melakukan perbuatan baik dan usaha untuk keindahan sehingga menimbulkan
rasa senang terhadap suatu kebaikan.Sedangkan Estetika sendiri merupakan
pemisahan dari pengertian Etika yang mengkhususkan pada usaha untuk
keindahan saja.
Istilah Estetika dipopulerkan oleh Alexander Gottlieb
Baumgarten (1714 - 1762) melalui beberapa uraian yang berkembang menjadi
ilmu tentang keindahan.(Encarta Encyclopedia 2001, 1999) Baumgarten
menggunakan istilah estetika untuk membedakan antara pengetahuan
intelektual dan pengetahuan indrawi. Dengan melihat bahwa istilah estetika
baru muncul pada abad 18, maka pemahaman tentang keindahan sendiri harus
dibedakan dengan pengertian estetik.
Jika sebuah bentuk mencapai nilai yang betul, maka bentuk tersebut dapat
dinilai estetis, sedangkan pada bentuk yang melebihi nilai betul, hingga
mencapai nilai baik penuh arti, maka bentuk tersebut dinilai sebagai indah.
Dalam pengertian tersebut, maka sesuatu yang estetis belum tentu (indah)
dalam arti sesungguhnya, sedangkan sesuatu yang indah pasti estetis.
Puncak awal perkembangan estetika sebagai salah satu bidang
falsafah yang penting tampak pada pemikiran Immanuel Kant (1724-1784)
Semenjak Kant, pengetahuan tentang keindahan atau pengalaman estetika tidak
dapat ditempatkan di bawah payung logika atau etika, namun istilah estetika
tetap dipertahankan. Namun hal yang perlu ditinjau adalah sebelum Estetika
didefinisikan oleh Alexander Gottlieb Baumgarten (1714 - 1762)dan
dipopulerkan Immanuel Kant (1724-1784) pada kebudayaan Yunani telah
mengenal paham-paham keindahan melalui pemikiran Plato (427-347 SM).
"Pengetahuan tentang ukuran dan properti merupakan syarat utama
keindahan"Plato.
Ini adalah paham yang dianut oleh masyarakat Yunani pada umumnya
tentang alam semesta,mereka terkesan oleh keindahan alam dan pengalaman
bahwa segala peristiwa alam semesta ternyata mengandung suatu tata aturan
tertentu.Bangsa yunani telah mengabadikan makhluk ciptaan Tuhan dalam
bentuk patung, seperti patung kuda,patung tubuh manusia dalam keseniannya
sejak sebelum masehi dan keindahan tubuh manusia sendiri ditemukan kembali
pada massa Renaissance oleh para seniman dan diabadikan pula dalam karya-
karyanya.Dasar ini bisa dijadikan dasar bahwa tujuan utama dari sebuah
keindahan adalah kesadaran akan keteraturan alam semesta ini.Plato sendiri
menghendaki manusia sepantasnya mengikuti ukuran harmonis sesuai dengan
yang ada pada alam semesta.
Ciri-ciri Keindahan dalam masa abad pertengahan
a) Sesuai dengan norma
b) Dilaksanakan sesempurna mungkin
c) Bersifat simbolis
Ciri-ciri keindahan masa Renaisance.
a) Melepaskan perwujudan norma-norma perwujudan yang ditentukan
oleh raja , bangsawan yang berkuasa dan oleh rasa.
b) Kesenian masih bertema realitas,tetapi seniman mengikuti selera
sendiri dalam mengejar keindahan
c) Akhir masa renaisance timbul kesenian profan (tidak ada hubungannya
dengan keagamaan)dan sekuler (pemisahan berhubungan dengan keagamaan)
d) Bersifat neoaristotelisme (menggambar sesuai sesuai dengan kenyataan
dunia)
"nikmat indah adalah peristiwa alam biasa dan memberi peranan lebih banyak
kepada intelek manusia untuk menikmati keindahan"Aristoteles
Dengan melihat uraian diatas, maka dapat dilihat beberapa sudut
pandang dan sikap manusia terhadap keindahan. Pada masa Yunani, kemudian
pada abad pertengahan, keindahan ditetapkan sebagai bagian dari teologi.
Pada abad pertengahan di Barat, tekanan diletakan pada subjek, proses yang
terjadi ketika seseorang mendapatkan pengalaman keindahan. Pada jaman
modern, tekanan justru diletakkan pada obyek, sehingga tampak bahwa
estetika dipertimbangkan sebagai dari cabang dari sains, khususnya filsafat
dan psikologi.
Perkembangan sudut pandang dan sikap manusia terhadap keindahan
pada jaman modern inilah yang sekarang melanda budaya bangsa indonesia.Hal-
hal apapun yang berkaitan dengan keindahan atau estetika selalu dikaitkan
dengan kebebasan berekspresi dan hak setiap individu.Dari kasus rok mini
sebagai indikasi bahwa reformasi sekalipun tidak mampu menahan perubahan
sosial , padahal anggota DPR seharusnya menjadi garda terdepan dalam
menanamkan nilai-nilai luhur bangsa yang tertuang dalam nilai-nilai
pancasila.
"Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila akan diwujudkan sebagai aturan
tuntutan sikap dan dan tingkah laku bangsa dan akan memberikan
landasan,semangat,jiwa secara khas yang merupakan ciri pada elemen-elemen
sosial budaya bangsa indonesia."(Sunarso,dkk.Pendidikan Kewarganegaraan
hal.202).
Bangsa indonesia harus menyadari bahwa posisinya sekarang sebagai
negara berkembang yang rentan terhadap fenomena perubahan sosial.
Penguatan nilai-nilai budaya terhadap perubahan sosial di era globalisasi
mutlak keberadaannya dikarenakan perubahan sosial disebabkan oleh faktor
internal maupun eksternal. Faktor yang memegang peranan penting dalam
perubahan sosial adalah faktor dari luar terutama faktor teknologi dan
kebudayaan yang sangat dominan.
Pengaruh budaya seperti konsumtif, hedonis, pornografi, sex bebas,
kejahatan dunia maya, dan sindikat narkoba dapat membahayakan kelangsungan
hidup budaya nasional. ."(Sunarso,dkk.Pendidikan Kewarganegaraan hal.203)
Pengaruh budaya luar harus diwaspadai terutama pengaruh yang
berdampak negatif sehingga membahayakan kepribadian bangsa. Langkah pertama
yang dapat dilakukan ialah dengan menanamkan pemahaman yang benar terhadap
keberadaan nilai-nilai etika dan estetika budaya dihubungkan dengan
kebebasan individu di negara Indonesia sebagai negara demokrasi yang
menganut ideologi Pancasila. Ideologi pancasila tentunya berbeda dengan
ideologi liberal , Undang-undang Dasar 1945 tidah hanya menekankan hak-hak
azasi manusia seperti kebebasan berekspresi tetapi terdapat kewajiban dalam
ikut andil mempertahankan ketahanan budaya bangsa indonesia. Dengan
demikian hak-hak idividu harus mendukung tercapainya keberlangsungan
kehidupan bangsa indonesia yang harmonis, dalam konteks estetika dan etika
budaya seseorang harus memahami waktu dan tempat yang digunakan untuk
menunjukan ekspresi estetikanya. Meskipun seseorang memiliki sudut pandang
berbeda dalam melihat keindahan jika dihubungkan dengan kewajibannya
sebagai makhluk sosial maka pada waktu dan tempat tertentu haknya sebagai
individu harus ditahan agar tidak ada hak orang lain yang dirugikan.
4. Hakikat Manusia Sebagai Mahkluk Budaya
Makhluk Tuhan:
* Alam (memiliki sifat wujud)
* Tumbuhan (memiliki sifat wujud dan hidup)
* Hewan (memiliki sifat wujud, hidup dan dibekali nafsu)
* Manusia (memiliki sifat wujud, hidup, dibekali nafsu, serta akal dan
budi)
Akal dan Budi
Akal adalah kemampuan berfikir manusia. Kemampuan berfikir
digunakan untuk memecahkan masalah hidup yang dihadapi. Sedangkan budi
adalah bagian dari kata hati yang berupa paduan akal dan perasaan dan dapat
membedakan baik atau buruk sesuatu.
Manusia tidak sekedar Homo tetapi Human (manusia yang manusiawi).
Kemanusiaan adalah hakikat dan sifat-sifat khas manusia sebagai makhluk
yang tinggi harkat dan martabatnya, maka manusia perlu mempertahankannya.
Dalam upaya mempertahankan dan meningkatkan harkat martabat manusia maka
prinsip kemanusiaan diwujudkan.
Prinsip kemanusiaan adalah adanya penghargaan dan penghormatan
terhadap harkat martabat manusia yang luhur. Maka tidak perlu adanya
perbedaan perlakuan terhadap manusia karena ada perbedaan suku, ras,
keyakinan, status sosial, ekonomi, asal usul, dll.
Dengan akal budi, manusia mampu menciptakan kebudayaan. Kebudayaan
pada dasarnya adalah hasil akal budi manusia dalam interaksinya dengan alam
maupun manusia lain. Jadi, manusia adalah makhlul yang berbudaya pencipta
kebudayaan.
5. Konsep-Konsep Dasar Manusia
Konsep manusia dibagi menjadi tiga bagian:
1. Manusia sebagai system
2. Manusia sebagai adaptif
3. Manusia sebagai makhluk holistik
a. Manusia sebagai system
Manusia ditinjau sebagai sistem, artinya manusia terdiri dari
beberapa unsur/sistem yang membentuk suatu totalitas; yakni sistem adaptif,
sistem personal, sistem interpersonal, dan sistem social
Manusia sebagai sistem adaptif, disebabkan:
- Setiap individu dapat berubah
- setiap individu merespon terhadap perubahan
Manusia sebagai sistem personal, disebabkan:
- setiap manusia memiliki proses persepsi
- setiap manusia bertumbuh kembang
Manusia sistem interpersonal
- setiap manusia berinteraksi dengan yang lain
- setiap manusia memiliki peran dalam masyarakat
- setiap manusia berkomunikasi terhadap orang lain
Manusia sebagai sistem sosial
- setiap individu memiliki kekuatan dan wewenang dalam pengambilan
keputusan dalam lingkungannya; keluarga, masyarakat, dan tempat kerja.
Sistem terdiri dari :
- Unsur – unsur { kompenen , elemen , sub system }
- Batasan
- Tujuan
Manusia sebagai system terbuka yang terdiri dari berbagai sub system yang
saling berhubungan secara terintegrasi untuk menjadi satu total system.
Terdiri dari beberapa komponen :
a. Komponen Biologik adalah anatomi tubuh
b. Komponen Psikologik adalah kejiwaan
c. Komponen Sosial adalah lingkungan
d. Komponen Kultural adalah nilai budaya
e. Komponen Spiritual adalah Kepercayaan agama.
"Individu "Keluarga "Masyarakat "
"( system personal )"( system interpersonal"( Sistem social ) "
" ") " "
"Perawat harus "Perawat harus me "Perawat harus mengerti "
"mengerti "ngerti "tentang Konsep : "
"tentang Konsep : "tentang Konsep : "- organisasi "
"- Self "- interaksi "- power "
"- Persepsi "- peran "- otoritas "
"- Tubuh kembang "- komunikasi "- penagmbilan keputusan "
b. Manusia sebagai adaptif
Adaptasi adalah proses perubahan yang menyertai individu dalam berespon
terhadap perubahan lingkungan mempengaruhi integritas atau keutuhan.
Lingkungan : seluruh kondisi keadaan sekitar yang mempengaruhi perkembangan
organisme atau kelompok organism. Model konsep adaptasi pertama kali
dikemukakan oleh Suster Callista Roy (1969). Konsep ini dikembangkan dari
konsep individu dan proses adaptasi seperti diuraikan di bawah ini.
Terdapat tingkatan dan respon fisiologik untuk memudahkan adaptasi
- Respon takut { mekanisme bertarung }
- Respon inflamasi
- Respon stress dan
- Respon sensori
Menurut Roy Prilaku adaptif merupakan perilaku individu secara utuh.
Beradaptasi dan menangani rangsang lingkungan.
Asumsi dasar model adaptasi Roy adalah :
1. Manusia adalah keseluruhan dari biopsikologi dan sosial
yang terus-menerus berinteraksidengan lingkungan.
2. Manusia menggunakan mekanisme pertahanan untuk mengatasi
perubahan- perubahan biopsikososial.
3. Setiap orang memahami bagaimana individu mempunyai batas
kemampuan untuk beradaptasi. Pada dasarnya manusia
memberikan respon terhadap semua rangsangan baik positif
maupun negatif.
4. Kemampuan adaptasi manusia berbeda-beda antara satu
dengan yang lainnya,jika seseorang dapat menyesuaikan
diri dengan perubahan maka ia mempunyai kemampuan untuk
menghadapi rangsangan baik positif maupun negatif.
5. Sehat dan sakit merupakan adalah suatu hal yang tidak
dapat dihindari dari kehidupan manusia.
Dalam asuhan keperawatan, menurut Roy (1984) sebagai penerima
asuhan keperawatan adalah individu, keluarga, kelompok, masyarakat yang
dipandang sebagai "Holistic adaptif system"dalam segala aspek yang
merupakan satu kesatuan.
System adalah Suatu kesatuan yang di hubungkan karena fungsinya sebagai
kesatuan untuk beberapa tujuan dan adanya saling ketergantungan dari setiap
bagian-bagiannya. System terdiri dari proses input, autput, kontrol dan
umpan balik ( Roy, 1991 ).
Dalam memahami konsep model ini, Callista Roy mengemukakan konsep
keperawatan dengan model adaptasi yang memiliki beberapa pandangan atau
keyakinan serta nilai yang dimilikinya diantaranya:
1. Manusia sebagai makhluk biologi, psikologi dan social yang selalu
berinteraksi dengan lingkungannya.
2. Untuk mencapai suatu homeostatis atau terintegrasi, seseorang harus
beradaptasi sesuai dengan perubahan yang terjadi.
3. Terdapat tiga tingkatan adaptasi pada manusia yang dikemukakan oleh
roy, diantaranya
a. Focal stimulasi yaitu stimulus yang langsung beradaptasi dengan
seseorang dan akan mempunyai pengaruh kuat terhadap seseorang
individu.
b. Kontekstual stimulus, merupakan stimulus lain yang dialami
seseorang, dan baik stimulus internal maupun eksternal, yang dapat
mempengaruhi, kemudian dapat dilakukan observasi, diukur secara
subjektif.
c. Residual stimulus, merupakan stimulus lain yang merupakan cirri
tambahan yang ada atau sesuai dengan situasi dalam proses
penyesuaian dengan lingkungan yang sukar dilakukan observasi.
4. System adaptasi memiliki empat mode adaptasi diantaranya
- Pertama, fungsi fisiologis, komponen system adaptasi ini yang adaptasi
fisiologis iantaranya oksigenasi, nutrisi, eliminasi, aktivitas dan
istirahat, integritas kulit, indera, cairan dan elektrolit, fungsi
neurologis dan fungsi endokrin.
- Kedua, konsep diri yang mempunyai pengertian bagaimana seseorang
mengenal pola-pola interaksi social dalam berhubungan dengan orang
lain
- Ketiga, fungsi peran merupakan proses penyesuaian yang berhubungan
dengan bagaimana peran seseorang dalam mengenal pola-pola interaksi
social dalam berhubungan dengan orang lain.
- Keempat, interdependent merupakan kemampuan seseorang mengenal pola-
pola tentang kasih sayang, cinta yang dilakukan melalui hubungan
secara interpersonal pada tingkat individu maupun kelompok.
5. Dalam proses penyesuaian diri individu harus meningkatkan energi agar
mampu melaksanakan tujuan untuk kelangsungan kehidupan
perkembangan,reproduksi dan keunggulan sehingga proses ini memiliki
tujuan meningkatkan respon adaptasi.
Roy mengemukakan bahwa manusia sebagai sebuah sistem adaptif.
Sebagai sistem adaptif, manusia dapat digambarkan secara holistik sebagai
satu kesatuan yang mempunyai input, kontrol, out put dan proses umpan
balik. Proses kontrol adalah mekanisme koping yang dimanifestasikan dengan
cara- cara adaptasi. Lebih spesifik manusia didefenisikan sebagai sebuah
sistem adaptif dengan aktivitas kognator dan regulator untuk mempertahankan
adaptasi dalam empat cara-cara adaptasi yaitu : fungsi fisiologis, konsep
diri, fungsi peran dan interdependensi.
Dalam model adaptasi keperawatan, manusia dijelaskan sebagai suatu
sistem yang hidup, terbuka dan adaptif yang dapat mengalami kekuatan dan
zat dengan perubahan lingkungan. Sebagai sistem adaptif manusia dapat
digambarkan dalam istilah karakteristik sistem, jadi manusia dilihat
sebagai satu-kesatuan yang saling berhubungan antara unit fungsional secara
keseluruhan atau beberapa unit fungsional untuk beberapa tujuan. Input pada
manusia sebagai suatu sistem adaptasi adalah dengan menerima masukan dari
lingkungan luar dan lingkungan dalam diri individu itu sendiri. Input atau
stimulus termasuk variabel standar yang berlawanan yang umpan baliknya
dapat dibandingkan. Variabel standar ini adalah stimulus internal yang
mempunyai tingkat adaptasi dan mewakili dari rentang stimulus manusia yang
dapat ditoleransi dengan usaha-usaha yang biasa dilakukan. Proses kontrol
manusia sebagai suatu sistem adaptasi adalah mekanisme koping. Dua
mekanisme koping yang telah diidentifikasi yaitu : subsistem regulator dan
subsistem kognator. Regulator dan kognator digambarkan sebagai aksi dalam
hubungannya terhadap empat efektor atau cara-cara adaptasi yaitu : fungsi
fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan interdependen.
c. Manusia sebagai Holistik
Manusia sebagai makhluk holistik mengandung pengertian, manusia
makhluk yang terdiri dari unsur biologis, psikologis, sosial dan spritual,
atau sering disebut juga sebagai makhluk biopsikososialspritual. Dimana,
keempat unsur ini tidak dapat terpisahkan, gangguan terhadap salah satu
aspek merupakan ancaman terhadap aspek atau unsur yang lain.
Manusia sebagai makhluk biologis, disebabkan karena:
- manusia terdiri dari gabungan sistem-sistem organ tubuh
- manusia mempertahankan hidup
- manusia tidak terlepas dari hukum alam (khususnya hukum perkembangan)
Manusia sebagai makhluk psikologis, karena:
- setiap individu memiliki kepribadian yang unik (sanguin, melankholik,dll)
- setiap individu memiliki tingkahlaku yang merupakan manifestasi dari
kejiwaan
- setiap individu memiliki kecerdasan dan daya pikir
- setiap individu memiliki kebutuhan psikologis untuk mengembangkan
kepribadian
Manusia sebagai Makluk sosial, karena:
- setiap individu hidup bersama dengan orang lain
- setiap individu dipengaruhi oleh kebudayaan
- setiap individu terikat oleh norma yang berlakuk dimasyarakat
- setiap individu dipengaruhi dan beradaptasi dengan lingkungan sosial
- setiap individu tidak dapat hidup sendiri perlu bantuam orang lain
Manusia sebagai makhluk Spritual karena:
- setiap individu memiliki keyakinan sendiri tentang adanya Tuhan
- setiap individu memiliki pandangan hidup, dan dorongan sejalan dengan
keyakinan yang dipegangnya
Manusia sebagai makhluk cultural
- Manusia mempunyai nilai dan kebudayaan yang membentuk jatidirinya
- Sebagai pembeda dan pembatas dalam hidup social
- Kultur dalam diri manusia bisa diubah dan berubah tergantung
lingkungan manusia hidup.
PENUTUP DAN KESIMPULAN
Dari pembahasan yang kita lakukan di atas kita dapat menarik
kesimpulan bahwa kita sebagai manusia dalam berbudaya juga harus
mempunyai nilai etika dan estetika, karena berbudaya itu tidak hanya
menilai dari segi keindahan saja tapi juga memiliki etika dan
estetika.
DAFTAR PUSTAKA
*Ismawati, Esti.2012.Ilmu Sosial Budaya Dasar.Jogjakarta:Ombak.
*Hermanto dan Winarno.2008.Ilmu Sosial dan Budaya Dasar.Jakarta:Bumi
Akasara.
*Depdikbud UNS.1984.Ilmu Budaya Dasar
*Sutrisno Hadi, Gangguan Neurosa, FIK-IKIP,Yogyakarta,1967.