ETIKA BISNIS
ETIKA DALAM IKLAN
MAKALAH
Disusun Oleh :
Arif Adi Kusuma 130413614937
Fibriono Roifin 110411422546
Kristian
Maygie Caroles 110411422559
M. Dhikron Fadli 110411422550
Rizka Dwi Harini 110411422532
Sumber Akbar Lestari 110411422548
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS EKONOMI
Tahun 2014
ETIKA DALAM IKLAN
ABSTRAK
Penulisan yang berjudul "Etika Dalam Iklan" ini membahas tentang bagaimana seharusnya produsen mempromosikan suatu produk barang atau jasa kepada konsumen dilihat dari sisi kepentingan perusahaan dan hak-hak konsumen. Makalah ini dilatarbelakangi oleh penerapan etika dan estetika dalam iklan yang dilakukan sebuah perusahaan untuk menarik perhatian konsumen.
Metode penulisan ini dengan cara mengumpulkan berbagai informasi yang dari sumber-sumber yang terdapat di internet. Berdasarkan pencarian penulis di internet ternyata ada beberapa prinsip dan tanggung jawab moral yang harus dilakukan perusahaan dalam membuat sebuah iklan. Dalam penulisan ini dapat disimpulkan bahwa dalam periklanan kita tidak dapat lepas dari etika.
Dimana di dalam iklan itu sendiri mencakup pokok-pokok bahasan yang menyangkut reaksi kritis masyarakat Indonesia tentang iklan yang dapat dipandang sebagai kasus etika periklanan. Sebuah perusahaan harus memperhatikan etika dan estetika dalam sebuah iklan dan terus memperhatikan hak-hak konsumen.
Dalam penulisan ini saran yang diberikan yaitu perlu adanya kontrol tepat yang dapat mengimbangi kerawanan tersebut sehingga tidak merugikan konsumen. Sebuah perusahaan harus memperhatikan kepentingan dan hak – hak konsumen, dan tidak hanya memikirkan keuntungan semata.
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam dunia bisnis, iklan merupakan satu kekuatan yang dapat digunakan untuk menarik konsumen sebanyak-banyaknya. Penekanan utama iklan adalah akses informasi dan promosi dari pihak produsen kepada konsumen. Sebagai media, baik yang berupa visual atau oral, iklan jenis punya tendensi untuk mempengaruhi khalayak umum untuk mencapai target keuntungan.
Iklan pada hakikatnya merupakan salah satu strategi pemasaran yang dimaksudkan untuk mendekatkan barang yang hendak dijual kepada konsumen, dengan kata lain mendekatkan konsumen dengan produsen. Sasaran akhir seluruh kegiatan bisnis adalah agar barang yang telah dihasilkan bisa dijual kepada konsumen. Secara positif iklan adalah suatu metode yang digunakan untuk memungkinkan barang dapat dijual kepada konsumen.
Hampir setiap hari kita dibanjiri oleh iklan yang disajikan media-media massa, baik cetak maupun elektronik. Akibatnya seakan-akan upaya pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari untuk sebagian besarnya dikondisikan oleh iklan. Memang, inilah sebenarnya peran yang diemban oleh iklan, yakni sebagai kekuatan ekonomi dan sosial yang menginformasikan konsumen perihal produk-produk barang dan jasa yang bisa dijadikan sebagai pemuas kebutuhan. Masalah moral dalam iklan muncul ketika iklan kehilangan nila-nilai normatifnya dan menjadi semata-mata bersifat propaganda barang dan jasa demi profit yang semakin tingi dari para produsen barang dan jasa maupun penyedia jasa iklan.
Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada penulisan ini adalah bagaimana seharusnya produsen mempromosikan suatu produk barang atau jasa kepada konsumen dilihat dari sisi kepentingan perusahaan dan hak-hak konsumen terutama didalam iklan.
Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini yaitu untuk mengetahui bagaimana cara beriklan dengan baik dan benar.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian
Istilah Etika berasal dari bahasa Yunani kuno. Bentuk tunggal kata 'etika' yaitu ethossedangkan bentuk jamaknya yaitu ta etha. Ethos mempunyai banyak arti yaitu : tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan/adat, akhlak,watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Sedangkan arti ta etha yaitu adat kebiasaan.
Arti dari bentuk jamak inilah yang melatar-belakangi terbentuknya istilah Etika yang oleh Aristoteles dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Jadi, secara etimologis (asal usul kata), etika mempunyai arti yaitu ilmu tentang apa yang biasa dilakukanatau ilmu tentang adat kebiasaan (K.Bertens, 2000).
K. Bertens berpendapat bahwa arti kata 'etika' dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tersebut dapat lebih dipertajam dan susunan atau urutannya lebih baik dibalik, karena arti kata ke-3 lebih mendasar daripada arti kata ke-1. Sehingga arti dan susunannya menjadi seperti berikut :
Nilai dan norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Misalnya, jika orang berbicara tentang etika orang Jawa, etika agama Budha, etika Protestan dan sebagainya, maka yang dimaksudkan etika di sini bukan etika sebagai ilmu melainkan etika sebagai sistem nilai. Sistem nilai ini bisaberfungsi dalam hidup manusia perorangan maupun pada taraf sosial.
Kumpulan asas atau nilai moral. Yang dimaksud di sini adalah kode etik. Contoh : Kode Etik Jurnalistik
Ilmu tentang yang baik atau buruk.
2.2 Pengertian Iklan
Menurut Thomas M. Garret, SJ, iklan dipahami sebagai aktivitas-aktivitas yang lewatnya pesan-pesan visual atau oral disampaikan kepada khalayak dengan maksud menginformasikan atau memengaruhi mereka untuk membeli barang dan jasa yang diproduksi, atau untuk melakukan tindakan-tindakan ekonomi secara positif terhadap idea-idea, institusi-institusi tau pribadi-pribadi yang terlibat di dalam iklan tersebut. Untuk membuat konsumen tertarik, iklan harus dibuat menarik bahkan kadang dramatis. Tapi iklan tidak diterima oleh target tertentu (langsung). Iklan dikomunikasikan kepada khalayak luas (melalui media massa komunikasi iklan akan diterima oleh semua orang: semua usia, golongan, suku, dsb). Sehingga iklan harus memiliki etika, baik moral maupun bisnis.
Keuntungan dari adanya iklan yaitu :
Adanya informasi kepada konsumer akan keberadaan suatu produk dan "kemampuan" produk tersebut. Dengan demikian konsumer mempunyai hak untuk memilih produk yang terbaik sesuai dengan kebutuhannya.
Adanya kompetisi sehingga dapat menekan harga jual produk kepada konsumen. Tanpa adanya iklan, berarti produk akan dijual dengan cara eksklusif (kompetisisi sangat minimal) dan produsen bisa sangat berkuasa dalam menentukan harga jualnya.
Memberikan subsidi kepada media-massa sehingga masyarakat bisa menikmati media-massa dengan biaya rendah. Hampir seluruh media-massa "hidup" dari iklan (bukan dari penghasilannya atas distribusi media tersebut). Munculnya media-media gratis memperkuat fakta bahwa mereka bisa mencetak dan mendistribusikan media tersebut karena adanya penghasilan dari iklan.
2.3 Pengertian Konsumen dan Hak Konsumen
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Hak – hak konsumen antara lain :
Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.
Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.
Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan.
Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.
Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
BAB III
METODE PENULISAN
3.1 Metode penulisan
Pada penulisan ini, informasi yang didapatkan oleh penulis bersumber dari internet yang berkaitan dengan etika bisnis agar rumusan dan tujuan penulisan ini dapat terjawab. Data dalam penulisan ini mengunakan data sekunder. Dimana pengertian Data Sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan peneliti dari berbagai sumber yang telah ada (peneliti sebagai tangan kedua). Data sekunder dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti Biro Pusat Statistik (BPS), buku, laporan, jurnal, dan lain-lain.
BAB IV
PEMBAHASAN
Pentingnya Etika dalam Iklan
Iklan dibagi menjadi 2 macam , yaitu iklan yang persuasif dan iklan yang informatif. Iklan yang persuasif biasanya ditemukan pada produk-produk yang bukan kebutuhan umum. Iklan tersebut berusaha untuk menarik hati dan membujuk konsumen untuk membeli produknya. Sedangkan iklan yang informatif adalah iklan yang menyediakan informasi dan memperkenalkan suatu hal. Namun di dalam dunia periklanan tidak ada yang namanya murni iklan persuasif ataupun iklan yang informatif. Iklan selau mengandung unsur dari keduanya. Ketika mengiklankan sesuatu,iklan tersebut pasti di buat se informatif dan semenarik mungkin.
Seperti halnya dalam periklanan, iklan yang baik harus dapat dimengerti oleh pembaca iklan. Kita telah mengenal retorika iklan. Retorika merupakan seni berbicara yang baik yang digunakan untuk proses komunikasi antar manusia. Dalam retorika iklan berbicara bukan sembarang bicara, tetapi untuk mencapai tujuan tertentu yaitu memberikan informasi. Bicara dalam periklanan tidak hanya melalui mulut, tetapi bisa juga melalui gambar.
Berbahasa Indonesia yang baik dan benar merupakan bagian dari identitas bangsa. Berbicara yang baik seharusnya disosialisasikan di kalangan anak muda, publik figur, selebritis dan politikus di negeri ini. Rusaknya kaidah berbahasa tampaknya didominasi oleh bahasa iklan di media masa, baik media cetak maupun elektronik. Penggunaan bahasa dan istilah asing dalam periklanan di Indonesia sudah sangat banyak ditemui. Akan tetapi penggunaan bahasa asing menjadi tren dalam periklanan. Penggunaan bahasa asing yang berlebihan menurut saya juga tidak baik karena di Indonesia tidak banyak masyarakat yang mengerti bahasa asing.
Industri periklanan merupakan suatu tuntutan kebutuhan komunikasi dan pemasaran dunia. Usaha periklanan akan berperan dalam menentukan pembangunan sesuai cita-cita dan falsafah bangsa. Oleh karena itu periklanan di Indonesia harus senantiasa aktif, positif dan kreatif. Itu sebagai pemicu pembangunan di Indonesia. Periklanan harus beretika dan sesuai nilai luhur bangsa ini. Periklanan di Indonesia seharusnya tidak hanya memperoleh manfaat dari perkembangan ekonomi dunia. Tetapi, iklan harus mengimbangi pengaruh negatif dalam iklan tersebut yang mungkin saja akan timbul. Antara iklan satu sama lain harus saling menghormati agar tercipta periklanan yang sehat, jujur dan bertanggung jawab.
Iklan merupakan bentuk komunikasi antara produsen dan konsumen. Iklan bertujuan untuk menggunakan produk yang ditawarkan produsen. Iklan atau periklanan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari bisnis modern. Dulu, iklan hanya mulut ke mulut saja, namun seiring perkembangan jaman, iklan di Indonesia juga berkembang. Sekarang penayangan iklan sangat beraneka ragam, baik dari media cetak maupun elektronik seperti koran, televisi, radio, baliho dan lain-lain. Dibalik banyaknya iklan yang ditawarkan ternyata menyimpan suatu persoalan yaitu etika dalam beriklan. Iklan di Indonesia banyak kasus penipuan terhadap konsumen bahkan pembodohan. Semakin berkembangnya iklan di Indonesia maka semakin banyak permasalahannya.
Dalam periklanan, etika dan persaingan yang sehat sangat diperlukan untuk menarik konsumen. Karena dunia periklanan yang sehat sangat berpengaruh terhadap kondisi ekonomi suatu negara. Sudah saatnya iklan di Indonesia bermoral dan beretika. Berkurangnya etika dalam beriklan membuat keprihatinan banyak orang. Tidak adanya etika dalam beriklan akan sangat merugikan bagi masyarakat, selain itu juga bagi ekonomi suatu negara. Secara tidak sadar iklan yang tidak beretika akan menghancurkan nama mereka sendiri bahkan negaranya sendiri. Saat ini banyak kita jumpai iklan-iklan di media cetak dan media elektronik menyindir dan menjelek-jelekkan produk lain. Memang iklan tersebut menarik, namun sangat tidak pantas karena merendahkan produk saingannya.
Di Indonesia iklan-iklan yang dibuat seharusnya sesuai dengan kebudayaan kita dan bisa memberikan pendidikan bagi banyak orang. Banyak sekali iklan yang tidak beretika dan tidak sepantasnya untuk di iklankan. Makin tingginya tingkat persaingan menyebabkan produsen lupa atau bahkan pura-pura lupa bahwa iklan itu harus beretika. Banyak sekali yang melupakan etika dalam beriklan. Iklan sangat penting dalam menentukan posisi sebuah produk. Sekarang ini banyak ditemukan iklan yang terlalu vulgar dan liar dalam memberikan informasi kepada masyarakat.
Iklan yang ditawarkan kepada masyarakat umumnya tidak mendidik. Dalam iklan terdapat sifat yang menunjukan sifat matrealisme, konsumerisme dan hedonisme. Iklan yang disampaikan seharusnya mengutamakan prinsip kebenaran. Sesuatu yang disampaikan seharusnya memang benar-benar terjadi. Banyak produk yang memiliki kelemahan-kelemahan tertentu, namun dalam pengiklanan terhadap masyarakat di manipulasi sehingga terlihat sempurna di mata konsumen. Tindakan manipulasi iklan sangat merugikan konsumen. Berbagai permasalahan tersebut yang bersinggungan dengan etika contohnya sebagai berikut:
Iklan yang ditampilkan tidak mendidik
Beberapa iklan banyak yang tidak memberikan nilai edukasi kepada masyarakat. Banyak sekali iklan-iklan yang tidak logis. Banyak juga iklan yang menojolkan seksualitas dan kekerasan dalam penayangannya. Sebenarnya iklan tersebut tidak layak untuk ditampilkan.
Contoh :
Iklan diatas sangat tidak mendidik karena iklan ini seolah-oleh memperbolehkan anak kecil meminum minuman bersoda. Padahal anak kecil tidak diperbolehkan meminum minuman bersoda.
Iklan yang ditampilkan menyerang produk lain
Banyak produk iklan yang berusaha menjatuhkan produk lain, biasanya produk ini sejenis. Tentunya tindakan ini sangat tidak etis dan tidak seharusnya dilakukan karena tindakan tersebut merugikan pihak lain.
Contoh :
Sekarang ini persaingan sengit antara penyedia kartu seluler sudah tidak asing lagi ditelinga kita. Perang tarif atau ikon menjadi hal sudah biasa.
Lalu dimana fungsi iklan yang seharusnya memberikan informasi kepada masyarakat? Mereka tidak memperhatikan nilai edukasi atau hiburan kepada masyarakat. Iklan tersebut sangat jelas bahwa menyerang produk lainnya.
Oleh karena itu dalam membuat iklan harus beretika agar tidak merugikan masyarakat atau pihak lain, bahkan lebih baik bisa memberikan nilai edukasi dan manfaat bagi pembaca iklan. Banyak sekali ditemui iklan yang seharusnya tidak pantas diiklankan dan tidak jarang ditemui iklan yang membodohi masyarakat.
Untuk menyikapi hal ini, kita sebagai masyarakat seharusnya lebih berhati-hati dalam membaca iklan, jangan mudah terpengaruh terhadap iklan yang membodohi kita. Produsen juga memperhatikan nilai edukasi dan nilai manfaat bagi masyarakat, bukan sebagai keuntungan saja. Selain itu pemerintah juga turut memperhatikan perkembangan periklanan di Indonesia agar tidak terlalu membawa dampak negatif bagi konsumen atau masyarakat. Iklan dari luar negeri yang masuk ke Indonesia seharusnya bisa disaring mana yang memberikan dampak baik dan mana yang memberikan dampak buruk. Untuk kedepannya semoga lebih banyak iklan-iklan di Indonesia yang dapat memberi manfaat. Iklan juga harus dapat melindungi dan menghargai khalayak, tidak merendahkan agama, budaya, negara dan golongan, serta tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku.
4.2 Makna Etika dan Estetika Dalam Iklan
Fungsi iklan pada akhirnya membentuk citra sebuah produk dan perusahaan di mata masyarakat. Citra ini terbentuk oleh kesesuaian antara kenyataan sebuah produk yang diiklankan dengan informasi yang disampaikan dalam iklan. Prinsip etika bisnis yang paling relevan dalam hal ini adalah nilai kejujuran. Dengan demikian, iklan yang membuat pernyataan salah atau tidak benar dengan maksud memperdaya konsumen adalah sebuah tipuan.
Ciri-ciri iklan yang baik :
Etis: berkaitan dengan kepantasan.
Estetis: berkaitan dengan kelayakan (target market, target audiennya, kapan harus ditayangkan?).
Artistik: bernilai seni sehingga mengundang daya tarik khalayak.
Contoh Penerapan Etika dalam Periklanan :
Iklan rokok: Tidak menampakkan secara eksplisit orang merokok.
Iklan pembalut wanita: Tidak memperlihatkan secara realistis dengan memperlihatkan daerah kepribadian wanita tersebut.
Iklan sabun mandi: Tidak dengan memperlihatkan orang mandi secara utuh.
Etika secara umum :
Jujur : tidak memuat konten yang tidak sesuai dengan kondisi produk
Tidak memicu konflik SARA
Tidak mengandung pornografi
Tidak bertentangan dengan norma-norma yang berlaku.
Tidak melanggar etika bisnis, contoh: saling menjatuhkan produk tertentu dan sebagainya.
Tidak plagiat.
4.3 Kebebasan Konsumen
Iklan merupakan suatu aspek pemasaran yang penting, sebab iklan menentukan hubungan antara produsen dengan konsumen. Secara konkrit, iklan menentukan pula hubungan penawaran dan permintaan antara produsen dan pembeli, yang pada gilirannya ikut pula menentukan harga barang yang dijual dalam pasar.
Kode etik periklanan tentu saja sangat diharapkan untuk membatasi pengaruh iklan ini. Akan tetapi, perumusan kode etik ini harus melibatkan berbagai pihak, yang antara lain: ahli etika, konsumen (lembaga konsumen), ahli hukum, pengusaha, pemerintah, tokoh agama, dan tokoh masyarakat tertentu, tanpa harus merampas kemandirian profesi periklanan. Yang juga penting adalah bahwa profesi periklanan dan organisasi profesi periklanan perlu benar-benar mempunyai komitmen moral untuk mewujudkan iklan yang baik bagi masyarakat. Namun, jika ini tidak memadai, kita membutuhkan perangkat legal politis dalam bentuk aturan perundang-undangan tentang periklanan beserta sikap tegas tanpa kompromi dari pemerintah melalui departemen terkait untuk menegakkan dan menjamin iklan yang baik bagi masyarakat.
Etika Periklanan Di Indonesia
Diatur dalam Etika Pariwara Indonesia (EPI)
EPI menyusun pedoman tata krama periklanannya melalui dua tatanan :
1. Tata Krama (Code of Conducts)
Metode penyebarluasan pesan periklanan kepada masyarakat, yang bukan tentang unsur efektivitas, estetika, dan seleranya. Adapun ketentuan yang dibahas meliputi:
Tata krama isi iklan
Tata krama raga iklan
Tata krama pemeran iklan
Tata krama wahana iklan
2. Tata Cara (Code of Practices)
Hanya mengatur praktek usaha para pelaku periklanan dalam memanfaatkan ruang dan waktu iklan yang adil bagi semua pihak yang saling berhubungan.
TATA CARA BERIKLAN DI ATUR DALAM HUKUM
1. UUPK
UUPK mengatur mengenai periklanan di Indonesia. Tujuan dari suatu perlindungan konsumen adalah sebagai berikut :
Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.
Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negative pemakaian barang dan/atau Jasa.
Meningkatkan pemberdayaan konsumen daalm memilih menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.
2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang PERS
Pers berdasarkan Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang PERS (untuk selanjutnya disebut UU Pers) merupakan lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik dan segala jenis saluran yang tersedia.
Dalam hal ini peran pers untuk memenuhi pengetahuan kebutuhan konsumen salah satunya adalah melalui iklan. Namun iklan tersebut harus diberikan kepada konsumen secara tepat, akurat dan benar.
Perusahaan iklan oleh UU Pers dilarang untuk :
Memuat iklan yang dapat merendahkan martabat suatu agama dan/atau kerukunan hidup antar umat beragama serta bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat.
Memuat iklan minuman keras, narkotika, psikotropika dan zat aditif lainnya tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Memuat iklan dengan peragaan rokok dan/atau penggunaan rokok.
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran
Periklanan dapat dilakukan salah satunya melalui penyiaran, yang terorganisir dalam suatu lembaga penyiaran. Penyiaran menurut Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran (untuk selanjutnya disebut UU Penyiaran) adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan gelombang elektromagnetik, kabel, serat optik dan/atau media lainnya untuk daat diterima oleh masyarakat dengan pesawat penerima siaran radio dan/atau pesawat penerima siaran televisi atau perangkat elektronik lainnya dengan atau tanpa alat bantu.
Sedangkan pengertian siaran menurut Pasal 1 butir 2 UU Penyiaran adalah pesan atau rangkaian pesan dalam bentuk suara, gambar atau suara dan gambar atau yang berbentuk grafis dan karakter lainnya yang dapat diterima melalui pesawat penerima siaran radio, televisi atau perangkat elektronik lainnya, baik yang bersifat interaktif maupun tidak, dengan atau tanpa alat bantu.
4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan
Pengertian pangan berdasarkan Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan (untuk selanjutnya disebut UU Pangan) adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan dan minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan/atau pembuatan makanan atau minuman.
Sedangkan pengertian label pangan berdasarkan Pasal 1 butir 15 UU Pangan adalah setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya atau bentuk lain yang disertakan dalam pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada atau merupakan bagian kemasan pangan. Dan pengertian iklan pangan berdasarkan Pasal 1 butir 16 UU Pangan adalah setiap keterangan atau pernyataan mengenai pangan dalam bentuk gambar, tulisan atau bentuk lain yang dilakukan dengan berbagai cara untuk pemasaran atau perdagangan pangan.
Tujuan pengaturan, pembinaan dan pengawasan pangan adalah untuk :
Tersedianya pangan yang memenuhi persyaratan keamanan, mutu dan gizi bagi kepentingan kesehatan manusia.
Terciptanya perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab.
Terwujudnya tingkat kecukupan pangan dengan harga yang wajar dan terjangkau sesuai dengan kebutuhan masyarakat;
Mengenai label dan iklan tentang pangan akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan (untuk selanjutnya disebut PP Label dan Iklan Pangan).
5. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan
Pengertian rokok berdasarkan Pasal 1 butir 1 Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 1999 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan (untuk selanjutnya disebut PP Pengamanan Rokok) adalah hasil olahan tembakau, terbungkus, termasuk cerutu atau bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman Nicotiona Tabacuni, Nicotiona Rustica dan spesies lainnya atau sintetisnya yang mengandung nikotin dan tar dengan atau tanpa bahan tambahan. Dan pengertian pengamanan rokok berdasarkan Pasal 1 butir 4 PP Pengamanan Rokok adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka mencegah dan/atau menangani dampak penggunaan rokok baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap kesahatan
Sedangkan pengertian iklan rokok berdasarkan Pasal 1 butir 6 PP Pengamanan Rokok adalah kegiatan untuk memperkenalkan, memasyarakatkan dan/atau memproduksikan rokok dengan atau tanpa imbalan kepada masyarakat dengan tujuan mempengaruhi konsumen agar menggunakan rokok yang ditawarkan. Dan pengertian label rokok berdasarkan Pasal 1 butir 7 PP Pengamanan Rokok adalah keterangan mengenai rokok yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya atau bentuk lain yang disertakan pada rokok, dimasukkan ke dalam, ditempatkan pada atau merupakan bagian kemasan rokok.
Tujuan penyelenggaraan pengamanan rokok bagi kesehatan adalah untuk mencegah penyakit akibat penggunaan rokok bagi individu dan masyarakat, yaitu dengan pengaturan hal-hal sebagai berikut :
Kadar kandungan nikotin dan tar.
Persyaratan produksi dan penjualan rokok.
Persyaratan iklan dan promosi rokok
Penetapan kawasan tanpa rokok.
Ada 3 asas umum yang EPI jadikan dasar, yaitu :
Jujur, benar, dan bertanggung jawab.
Bersaing secara sehat.
Melindungi dan menghargai khalayak, tidak merendahkan agama, budaya, negara, dan golongan, serta tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku.
Menurut UU periklanan (20/PER/M.KOMINFO/5/2008) dan PPPI (Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia) Etika Periklanan Indonesia (EPI) adalah sebagai berikut:
Hak Cipta
Penggunaan, penyebaran, penggandaan, penyiaran atau pemanfaatan lain materi atau bagian dari materi periklanan yang bukan milik sendiri, harus atas ijin tertulis dari pemilik atau pemegang merek yang sah.
Bahasa
Bahasa dapat dipahami oleh khalayak sasaran, dan tidak menggunakan persandian (enkripsi) yang dapat menimbulkan penafsiran selain dari yang dimaksudkan oleh perancang pesan iklan
Tidak menggunakan kata-kata superlatif seperti "paling", "nomor satu", "top", atau kata-kata berawalan "ter", dan atau yang bermakna sama
Penggunaan kata "100%", "murni", "asli" untuk menyatakan sesuatu kandungan, kadar, bobot, tingkat mutu, dan sebagainya, dibuktikan dengan pernyataan tertulis dari otoritas terkait dan sumber yang otentik.
Penggunaan kata "halal" dalam iklan hanya dapat dilakukan oleh produk-produk yang sudah memperoleh sertifikat resmi dari Majelis Ulama Indonesia, atau lembaga yang berwenang
Kata-kata "presiden", "raja", "ratu" dan sejenisnya tidak boleh digunakan dalam kaitan atau konotasi yang negatif.
Tidak menggunakan kata-kata "satu-satunya" atau yang bermakna sama
Kata "gratis" atau kata lain yang bermakna sama tidak boleh dicantumkan dalam iklan, bila ternyata konsumen harus membayar biaya lain
Tanda Asteris (*) digunakan untuk memberi penjelasan lebih rinci atau sumber dari sesuatu pernyataan yang bertanda tersebut
Pencantuman Harga. Harga suatu produk dicantumkan dengan jelas dalam iklan
Jika suatu iklan mencantumkan garansi atau jaminan atas mutu suatu produk, maka dasar-dasar jaminannya harus dapat dipertanggungjawabkan.
Janji Pengembalian Uang (warranty)
Syarat-syarat pengembalian uang tersebut harus dinyatakan secara jelas dan lengkap
Pengiklan wajib mengembalikan uang konsumen sesuai janji yang telah diiklankannya.
Tidak boleh menimbulkan atau mempermainkan rasa takut, maupun memanfaatkan kepercayaan orang terhadap takhayul
Tidak boleh – langsung maupun tidak langsung – menampilkan adegan kekerasan
Tidak boleh menampilkan adegan yang mengabaikan segi-segi keselamatan
Adanya Perlindungan Hak-hak Pribadi
Iklan yang menampilkan adegan hasil atau efek dari penggunaan produk dalam jangka waktu tertentu, harus jelas mengungkapkan rentang waktu tersebut.
Tidak boleh menampilkan penyia-nyiaan, pemborosan, atau perlakuan yang tidak pantas lain terhadap makanan atau minuman.
Penampilan uang
Penampilan dan perlakuan terhadap uang dalam iklan haruslah sesuai dengan norma-norma kepatutan.
Iklan pada media cetak tidak boleh menampilkan uang dalam format frontal dan skala 1:1, berwarna ataupun hitam-putih
Penampilan uang pada media visual harus disertai dengan tanda"specimen" yang dapat terlihat jelas.
Kesaksian Konsumen (testimony)
Pemberian kesaksian hanya dapat dilakukan atas nama perorangan
Kesaksian konsumen harus merupakan kejadian yang benar- benar dialami, tanpa maksud untuk melebih-lebihkannya.
Hanya untuk produk-produk yang dapat memberi bukti kepada konsumennya dengan penggunaan yang teratur dan atau dalam jangka waktu tertentu
Anjuran (endorsement)
Pernyataan, klaim atau janji yang diberikan harus terkait dengan kompetensi yang dimiliki oleh penganjur.
Pemberian anjuran hanya dapat dilakukan oleh individu
Perbandingan
Perbandingan langsung dapat dilakukan, namun hanya terhadap aspek-aspek teknis produk, dan dengan kriteria yang tepat sama.
Jika perbandingan langsung menampilkan data riset, maka metodologi, sumber dan waktu penelitiannya harus diungkapkan secara jelas
Pengggunaan data riset tersebut harus sudah memperoleh persetujuan atau verifikasi dari organisasi penyelenggara riset tersebut
Perbandingan tak langsung harus didasarkan pada kriteria yang tidak menyesatkan khalayak
Perbandingan Harga Hanya dapat dilakukan terhadap efisiensi dan kemanfaatan penggunaan produk, dan harus disertai dengan penjelasan atau penalaran yang memadai.
Tidak boleh merendahkan produk pesaing secara langsung maupun tidak langsung
Tidak boleh dengan sengaja meniru iklan produk pesaing. Baik meniru ikon atau atribut khas yang telah lebih dulu digunakan oleh sesuatu iklan produk pesaing dan masih digunakan hingga kurun dua tahun terakhir.
Tidak boleh menyalahgunakan istilah-istilah ilmiah dan statistic untuk menyesatkan khalayak, atau menciptakan kesan yang berlebihan
Tidak boleh menyatakan "selama persediaan masih ada" atau kata-kata lain yang bermakna sama
Iklan tidak boleh mengeksploitasi erotisme atau seksualitas
Film iklan yang ditujukan kepada, atau tampil pada segmen waktu siaran khalayak anak-anak dan menampilkan adegan kekerasan, aktivitas seksual, bahasa yang tidak pantas, dan atau dialog yang sulit wajib mencantumkan kata-kata "Bimbingan Orangtua" atau simbol yang bermakna sama.
IKLAN "BUILD IN" DARI SUDUT PANDANG ETIKA
Kenapa dengan "Build-in"?
Kasus iklan "build-in" memang sangat menarik. Satu hal yang pasti, strategi ini memang membuat proses penanyangan iklan menjadi jauh lebih singkat karena tidak ada proses produksi iklan (cukup dalam bentuk teks/brief saja) dan segala "tetek-bengek" di belakangnya (persetujuan atas ide dan eksekusi iklan, lay-out/story- board, tes via FGD dlsb), tidak ada proses sensor (via LSF unt. iklan TV) bahkan tidak perlu melaporkan ke BPOM untuk produk obat-obatan yang sebenarnya diwajibkan untuk melaporkan iklan/kampanyenya terlebih dahulu.
Kondisi 'singkat-mudah- murah' ini justru wajib kita cermati dengan hati-hati sekali karena akan muncul peluang yang relatif jauh lebih besar untuk terjadinya pelanggaran- pelanggaran etika di sini. Kuncinya ada di tangan produser dari program-program TV/radio yg disponsori tsb.
Produser program harus memahami dengan benar etika beriklan dari suatu produk dan tidak semata-mata berorientasi finansial saja. Pihak produsen/pengiklan (dan media agencynya, bila brief untuk kampanye "build-in" ini datang darinya) juga harus benar-benar memahami apa saja resiko yang dihadapinya dgn melakukan proses 'short-cut' (dgn melakukan strategi "build-in" campaign) atas proses promosi produknya.
Kitab EPI sudah mengantisipasi hal ini dan sudah mencantumkan beberapa pasal yang mengatur iklan-iklan "build-in" khususnya di media Radio/Televisi (media elektronik):
Prinsip yang digunakan adalah (sama dengan prinsip iklan advertorial pada media cetak); iklan harus dapat dibedakan dengan suatu berita atau isi program.
Secara etika, kalau suatu iklan ditayangkan dalam format adlibs, maka si penyiar/pembawa acara harus memberikan pengantar sebelumnya bahwa informasi yang akan dibacakan berikutnya adalah suatu iklan.
Dari sudut pandang EPI, suatu kampanye "build-in" suatu produk adalah sah-sah saja selama pemirsa/konsumen mendapatkan informasi yang jelas bahwa suatu bagian dari program tsb. adalah sponsor/kampanye dari suatu produk/jasa dan tidak dengan disengaja disamarkan dan/atau digabungkan dalam suatu program siaran.
Bila program itu berupa film (misalnya sinetron), untuk menghindari kesan "aneh" bila tiba2 aktor/aktrisnya harus mengatakan suatu dialog yg berhubungan dengan sponsorship tertentu, maka minimal dalam credit title di akhir film tsb. hal ini bisa dicantumkan.
Produk apapun juga yang menggunakan strategi berkampanye "build-in" seharusnya tetap mematuhi aturan/etika mengenai iklan produk/kategori produk tsb. Dalam kasus di atas, benar adanya bahwa untuk iklan obat-obatan (juga kosmetik dan produk-produk lainnya yang efeknya membutuhkan waktu tertentu), tidak diperkenankan memberikan kesan mempunyai dampak seketika.
Iklan/kampanye produk obat-obatan juga diwajibkan mencantumkan "warning": Baca Aturan Pakai dst. selain juga diwajibkan mencantumkan nama produsennya. Dalam suatu kampanye "build-in" petunjuk dan informasi ini juga wajib diucapkan oleh penyiar/pembawa acara.
Bila produk yang akan ditampilkan dalam bentuk "build-in" itu adalah iklan rokok atau produk yg ditujukan khusus bagi individu dewasa ("intimate product"), maka dianjurkan agar pemunculan program tsb adalah di atas pk. 21.30. Produk rokok juga diwajibkan mencantumkan/ menyebutkan "warning" sesuai aturan pemerintah.
Faktor-faktor dalam Periklanan
Kriteria yang dipakai untuk menentukan faktor kunci adalah apakah informasi tersebut akan mempengaruhi pilihan iklan yang digunakan.
Pemilihan waktu
Ini selalu penting dan dapat dibagi menjadi beberapa segi :
1) Kapan konsep pemasaran harus siap
2) Kapan iklan tersebut akan berjalan
3) Berapa lama iklan tersebut akan berjalan
Pemilihan waktu pada setiap tahap akan sangat mempengaruhi apa yang dapat dan tidak dapat tercapai.
Pasar sasaran
Pasar sasaran menentukan ciri kelompok yang dituju : umur, lokasi, kelas sosial, jenis kelamin, dan frekuensi pembelian. Untuk pasar perusahaan ini akan membedakan menurut besarnya perusahaan dan jenis usahanya.
Perubahan-perubahan dalam pasar
Adalah menentukan hal-hal penting dari apa yang sedang terjadi dalam pasar, apakah pasar membaik atau memburuk, apa yang sedang dilakukan para pesaing, apakah dampak musiman dan lain-lain. Umumnya informasi ini tersedia banyak sekali dan karenanya kita harus selektif.
Nilai produk atau jasa
Bagaimana atau apa yang dimiliki oleh produk atau jasa yang ditawarkan apakah rasanya sangat menyenangkan atau kasar.
Pengalaman masa lalu
Hindari pemborosan waktu dengan tidak menggunakan yang dulu ternyata gagal, gagasan yang dibuang atau bonus yang dapat diterima secara etis.
4.6 Fungsi Periklanan
Dalam buku-buku tentang manajemen periklanan, iklan dipandang sebagai upaya komunikasi. Iklan dilukiskan sebagai komunikasi antara produsen dan pasaran, antara penjual dan calon pembeli.
Periklanan dibedakan dalam dua fungsi : fungsi informatif dan fungsi persuasif. Tetapi pada kenyataannya tidak ada iklan yang semata-mata informatif dan tidak ada iklan yang semata-mata persuasif.Iklan tentang produk baru biasanya mempunyai unsur informasi yang kuat. Misalnya iklan tentang tempat pariwisata dan iklan tentang harga makanan di toko swalayan. Sedangkan iklan tentang produk yang ada banyak mereknya akan memiliki unsure persuasif yang lebih menonjol, seperti iklan tentang pakaian bermerek dan rumah.
Tercampurnya unsur informative dan unsur persuasive dalam periklanan, membuat penilaian etis terhadapnya menjadi l lebih kompleks.:
1. Periklanan dan kebenaran
Pada umumnya periklanan tidak mempunyai reputasi baik sebagai pelindung atau pejuang kebenaran. Sebaliknya, kerap kali iklan terkesan suka membohongi, menyesatkan, dan bahkan menipu publik.
Iklan mempunyai unsure promosi. Iklan merayu konsumen, iklan ingin mengiming-iming calon pembeli. Karena itu bahasa periklanan mempergunakan retorika tersendiri.Ia menandaskan bahwa produknya adalah yang terbaik atau nomor satu di bidangnya. Bahasa periklanan pada umumnya sarat dengan superlative dan hiperbol. Di sini si pengiklan tidak bermaksud agar public percaya begitu saja. Dan public konsumen tahu bahwa retorika itu tidak perlu dimengerti secara harfiah.
Iklan bukan saja menyesatkan dengan berbohong, tapi juga dengan tidak mengatakan seluruh kebenaran, misalnya karena mendiamkan sesuatu yang sebenarnya penting untuk diketahui. Contohnya, iklan tentang mobil bekas yang berbunyi "semua mobil yang kami jual sebelumnya diperiksa oleh montir ahli" tetap berbohong, bila hal itu memang benar, tapi montir tidak berbuat apa-apa bila menemukan ketidakberesan serius pada suatu mobil.
Pada intinya, masalah kebenaran dalam periklanan tidak bias dipecahkan dengan cara hitam putih. Banyak tergantung pada situasi konkret dan kesediaan public untuk menerimanya atau tidak.
2. Manipulasi dengan periklanan
Masalah manipulasi terutama berkaitan dengan segi persuasive dari iklan (tapi tidak terlepas juga dari seg informatifnya). Karena dimanipulasi, seseorang mengikuti motivasi yang tidak berasal dari dirinya sendiri, tapi ditanamkan dalam dirinya dari luar.
Dikhawatirkan bahwa periklanan-seperti propaganda lain-bisa memanipulasi public. Tetapi sekarang pada umumnya orang tidak begitu takut lagi akan bahaya dimanipulasikan melalui propaganda dan periklanan. Namun demikian, tetap benar juga bahwa periklanan berusaha mempengaruhi tingkah laku konsumen.
Contohnya : iklan kosmetika selalu berusaha menciptakan suatu suasana romantic yang khas, sehingga menggiurkan untuk public konsumen.
Manipulasi melalui iklan atau cara apapun merupakan tindakan yang tidak etis. Tetapi, iklan tidak mudah memanipulasi, karena tidak mudah membuat "korban" permainan.
Ada 2 cara untuk memanipulasi orang dengan periklanan :
1. Subliminal advertising
Maksudnya adalah teknik periklanan yang sekilas menyampaikan suatu pesan dengan begitu cepat, sehingga tidak dipersepsikan dengan sadar, tapi tinggal di bawah ambang kesadaran. Teknik ini bisa dipakai di bidang visual maupun audio.
Teknik subliminal bisa sangat efektif, contohnya, dalam sebuah bioskop di New Jersey yang menyisipkan sebuah pesan subliminal dalam film yang isinya "Lapar. Makan popcorn". Dan konon waktu istirahat popcorn jauh lebih laris dari biasa.
2. Iklan yang ditujukan kepada anak
Iklan seperti ini pun harus dianggap kurang etis, Karena anak mudah dimanipulasi dan dipermainkan. Iklan yang ditujukan langsung kepada anak tidak bisa dinilai lain dari pada manipulasi saja dan karena itu harus ditolak sebagai tidak etis.
Pengontrolan terhadap iklan
Dalam bisnis periklanan, perlulah adanya kontrol tepat yang dapat mengimbangi kerawanan tersebut. Pengontrolan ini terutama harus dijalankan dengan tiga cara berikut ini :
Kontrol oleh pemerinah
Tugas penting bagi pemerintah, harus melindungi masyarakat konsumen terhadap keganasan periklanan.
Di Amerika Serikat instansi-instansi pemerintah mengawasi praktek periklanan dengan cukup efisien, antara lain melalui Food and Drug Administration dan Federal Trade Commission. Di Indonesia iklan diawasi oleh Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan (POM) dari Departemen Kesehatan.
Kontrol oleh para pengiklan
Cara paling ampuh untuk menanggulangi masalah etis tentang periklanan adalah pengaturan diri (self regulation) oleh dunia periklanan. Biasanya dilakukan dengan menyusun sebuah kode etik, sejumlah norma dan pedoman yang disetujui oleh para periklan, khususnya oleh asosiasi biro-biro periklanan.
Jika suatu kode etik disetujui, tentunya pelaksanaannya harus diawasi juga. Di Indonesia pengawasan kode etik ini dipercayakan kepada Komisi Periklanan Indonesia.
Kontrol oleh masyarakat
Masyarakat luas tentu harus diikutsertakan dalam mengawasi mutu etis periklanan. Dengan mendukung dan menggalakkan lembaga-lembaga konsumen, kita bisa menetralisasi efek-efek negatif dari periklanan.
Laporan-laporan oleh lembaga konsumen tentang suatu produk atau jasa sangat efektif sebagai kontrol atas kualitasnya dan serentak juga atas kebenaran periklanan.
Selain itu, ada juga cara yang lebih positif untuk meningkatkan mutu etis dari iklan dengan memberikan penghargaan kepada iklan yang di nilai paling baik. Di Indonesia ada Citra Adhi Pariwarayang setiap tahun dikeluarkan oleh Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia.
4.7 Penilaian Etis Terhadap Iklan
Ada empat (4) faktor yang selalu harus dipertimbangkan dalam menerapkan prinsip-prinsip etis jika kita ingin membentuk penilaian etis yang seimbang tentang iklan.
1. Maksud si pengiklan
Jika maksud si pengiklan tidak baik, dengan sendirinya moralitas iklan itu menjadi tidak baik juga. Jika maksud si pengiklan adalah membuat iklan yang menyesatkan, tentu iklannya menjadi tidak etis.
Sebagai contoh: iklan tentang roti Profile di Amerika Serikat, yang menyatakan bahwa roti ini bermanfaat untuk melangsingkan tubuh, karena kalorinya kurang dibandingkan dengan roti merk lain. Tapi ternyata, roti Profile ini hanya diiris lebih tipis. Jika diukur per ons, roti ini sama banyak kalorinya dengan roti merk lain.
2. Isi iklan
Menurut isinya, iklan harus benar dan tidak boleh mengandung unsur yang menyesatkan. Iklan menjadi tidak etis pula, bila mendiamkan sesuatu yang sebenarnya penting. Namun demikian, kita tidak boleh melupakan bahwa iklan diadakan dalam rangka promosi. Karena itu informasinya tidak perlu selengkap dan seobyektif seperti seperti laporan dari instansi netral.
Contohnya : iklan tentang jasa seseorang sebagai pembunuh bayaran. Iklan semacam itu tanpa ragu-ragu akan ditolak secara umum.
3. Keadaan publik yang tertuju
Yang dimengerti disini dengan publik adalah orang dewasa yang normal dan mempunyai informasi cukup tentang produk atau jasa yang diiklankan.
Perlu diakui bahwa mutu publik sebagai keseluruhan bisa sangat berbeda. Dalam masyarakat dimana taraf pendidikan rendah dan terdapat banyak orang sederhana yang mudah tertipu, tentu harus dipakai standar lebih ketat daripada dalam masyarakat dimana mutu pendidikan rata-rata lebih tinggi atau standar ekonomi lebih maju.
Contohnya : Iklan tentang pasta gigi, dimana si pengiklan mempertentangkan odol yang biasa sebagai barang yang tidak modern dengan odol barunya yang dianggap barang modern. Iklan ini dinilai tidak etis, karena bisa menimbulkan frustasi pada golongan miskin dan memperluas polarisasi antara kelompok elite dan masyarakat yang kurang mampu.
4. Kebiasaan di bidang periklanan
Periklanan selalu dipraktekkan dalam rangka suatu tradisi. Dalam tradisi itu orang sudah biasa dengan cara tertentu disajikannya iklan. Dimana ada tradisi periklanan yang sudah lama dan terbentuk kuat, tentu masuk akal saja bila beberapa iklan lebih mudah di terima daripada dimana praktek periklanan baru mulai dijalankan pada skala besar.
Seperti bisa terjadi juga, bahwa di Indonesia sekarang suatu iklan dinilai biasa saja sedang tiga puluh tahun lalu pasti masih mengakibatkan banyak orang mengernyitkan alisnya.
Beberapa kasus etika periklanan
1. Tiket gratis dari Bouraq/
Pada tanggal 11 dan 18 Mei 1992, maskapai Penerbangan Bouraq memasang iklan di sebuah harian yang berbunyi : "tukarkan 10 lembar tiket bekas penerbangan Bouraq dengan sebuah tiket gratis di perwakilan Bouraq setempat". Tidak diberi penjelasan lain. Lalu seorang pengusaha di Banjarmasin kebetulan menyimpan 50 tiket bekas dan berencana menukarkannya dengan harapan memperoleh 5 tiket gratis.
Ia mendapat keterangan dari petugas bahwa yang bisa ditukarkan hanyalah tiket 5 Agustus 1992 ke atas. Keterangan ini tidak dimuat dalam iklan dan juga tidak disebut bahwa konsumen bisa memperoleh informasi lebih lanjut di kantor perwakilan Bouraq. Karena itu, boleh diandaikan saja bahwa informasi dalam iklan itu lengkap.
2. Iklan plaza senayan
Sangat disayangkan pada nyanyian dan tokoh pelaku iklan plaza senayan. Begitu konsumtif degan menggunakan helikopter belanja dan terkesan hura-hura ditambah konteks nyanyian: "Hidup hanya …..jangan sia-siakan" apakah betul yang hanya sekali itu harus diisi dengan hura-hura belanja penuh kemegahan
Apakah tidak terbesit sedikitpun utuk menggunakan hidup yang sekali itu dengan menjalankan ibadah, beramal dan membantu saudara kita yang masih banyak berekonomi lemah? Yang jangankan belanja dengan mewah di tempat megah, membeli makanan di warungpun mikir.
3. Iklan kijang
Mendengar iklan mobil Toyota Kijang di radio maupun di televisi, yang melibatkan seorang anak usia sekolah. Iklan itu secara ditdak langsung telah mendidik anak dan keluarga untuk bergaya hidup dan berbudaya konsumtif.
Sangat memrihatinkan, begitu banyak anak di negeri ini yang jangankan liburan ke Bali dan naik "Kijang", untuk sekolah mereka tidak mampu dan harus bekerja siang malam sekadar untuk makan 1 hari.
Sungguh merupakan hal yang ironis, seorang anak yang seharusnya belajar memahami fakta sosial teman-teman seusianya yang tersuruk di tengah kerasnya perjuangan mereka, ternyata terdidik untuk ikut berpikir tentang cicilan ke Bali hanya karena sudah terlanjur bercerita kepada teman-temannya. Eksploitasi anak-anak untuk iklan saja sudah merupakan sesuatu yang tidak etis, apalagi dengan materi iklan yang mewah dan konsumtif.
4.7 Studi Kasus
Contoh yang kami ambil adalah mengenai kasus –kasus masalah etika bisnis menyangkut periklanan yaitu : Persaingan yang dilakukan antar operator seluler Kartu As (Simpati) dan XL.
PERSAINGAN YANG DILAKUKAN ANTAR OPERATOR SELULAR KARTU AS (SIMPATI) DAN XL
Beberapa tahun lalu, sebuah iklan Kartu AS yang diiklankan oleh Sule di televisi. Dalam iklan tersebut, ia tampil seolah-olah sedang diwawancarai oleh wartawan. Kemudian ia selanjutnya berkomentar, "Saya kapok dibohongin sama anak kecil," ujar Sule yang disambut dengan tertawa para wartawan, dalam penampilan iklannya.
Padahal dalam iklan yang memakai Sule sebagai model langsung teringat iklan Kartu XL yang juga dibintangi Sule juga bersama Baim dan Putri Titian. Terjadilah dialog antara Sule dan Baim. "Gimana Im, Om Sule ganteng khan?" tanya Sule. "Jelek!" jawab Baim memperlihatkan muka polosnya. Kemudian Sule memberikan dua buah makanan kepada Baim dengan harapan Baim akan mengatakan 'Sule ganteng'. Namun Baim masih menjawab apa ada seperti jawaban sebelumnya. "Dari pertama, Om Sule itu jelek. Dari pertama kalau Rp. 25,- XL, murahnya beneran." jawab Baim lagi, dan seterusnya.
Satu orang muncul dalam dua penampilan iklan yang merupakan satu produk sejenis yang saling bersaing, dalam waktu yang hampir bersamaan. Jeda waktu aku menonton penampilan Sule dalam iklan di XL dan AS tidak terlalu jauh bahkan hanya dalam hitungan hari. Ada sebagian orang yang berpendapat apa yang dilakukan oleh Sule tidak etis dalam dunia periklanan. Mereka menyoroti peran Sule yang menjadi 'kutu loncat' ala tokoh parpol yang secara cepat berpindah kepada pelaku iklan lain yang merupakan kompetitornya. Sebagian lain berpendapat, sah-sah aja.
Namun pada prinsipnya, sebuah tayangan iklan di televisi (khususnya) harus patuh pada aturan-aturan perundang-undangan yang bersifat mengikat serta taat dan tunduk pada tata krama iklan yang sifatnya memang tidak mengikat. Beberapa peraturan perundang-undangan yang menghimpun pengaturan dan peraturan tentang dunia iklan di Indonesia yang bersifat mengikat antara lain adalah peraturan sebagai berikut:
UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers
UU No. 24 tahun 1997 tentang Penyiaran
UU No. 7 tahun 1996
PP No. 69 tahun 1999
Kepmenkes No. (rancangan) tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
PP No. 81 tahun 1999 Tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan
PP No.38 tahun 2000 Tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan.
Kepmenkes No. 368/MEN.KES/SK/IV/1994 Tentang Pedoman Periklanan Obat Bebas, Obat Tradisional, Alat Kesehatan, Kosmetika, Perbekalan Kesehatan, Rumah Tangga, Makanan, dan Minuman.
Selain taat dan patuh pada aturan perundang-undangan di atas, pelaku iklan juga diminta menghormati tata krama yang diatur dalam Etika Pariwara Indonesia (EPI). Ketaatan terhadap EPI diamanahkan dalam ketentuan "Lembaga penyiaran wajib berpedoman pada Etika Pariwara Indonesia." (Pasal 29 ayat (1) Peraturan KPI tentang Pedoman Perilaku Penyiaran).
Lembaga penyiaran dalam menyiarkan siaran iklan niaga dan siaran iklan layanan masyarakat wajib mematuhi waktu siar dan persentase yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. (Pasal 29 ayat (2) Peraturan KPI tentang Pedoman Perilaku Penyiaran).
Materi siaran iklan yang disiarkan melalui lembaga penyiaran wajib memenuhi persyaratan yang dikeluarkan oleh KPI. (Pasal 46 ayat (4) UU Penyiaran).
Isi siaran dalam bentuk film dan/atau iklan wajib memperoleh tanda lulus sensor dari lembaga yang berwenang. (Pasal 47 UU Penyiaran).
Pedoman perilaku penyiaran bagi penyelenggaraan siaran ditetapkan oleh KPI. (Pasal 48 ayat (1) UU Penyiaran).
Siaran iklan adalah siaran informasi yang bersifat komersial dan layanan masyarakat tentang tersedianya jasa, barang, dan gagasan yang dapat dimanfaatkan oleh khalayak dengan atau tanpa imbalan kepada lembaga penyiaran yang bersangkutan. (Pasal 1 ayat (15) Peraturan KPI tentang Pedoman Perilaku Penyiaran)
Siaran iklan niaga dilarang melakukan (Pasal 46 ayat (3) UU Penyiaran):
Promosi yang dihubungkan dengan ajaran suatu agama, ideologi, pribadi dan/atau kelompok, yang menyinggung perasaan dan/atau merendahkan martabat agama lain, ideologi lain, pribadi lain, atau kelompok lain
Promosi minuman keras atau sejenisnya dan bahan atau zat adiktif
Promosi rokok yang memperagakan wujud rokok
Hal-hal yang bertentangan dengan kesusilaan masyarakat dan nilai-nilai agama
Eksploitasi anak di bawah umur 18 (delapan belas) tahun.
Selanjutnya, mengenai pengaturan Etika Pariwara Indonesia (EPI). Intinya, mengenai kasus Sule yang menjadi bintang iklan pada dua produk kompetitor, aku tidak melihatnya sebagai sebuah pelanggaran kode etika pariwara Indonesia (EPI).
Namun demikian, yang patut dipersoalkan bukanlah pada peran Sule yang tampil di dua iklan produk sejenis, tetapi pada materi iklan yang saling menyindir dan menjelekkan. Dalam salah satu prinsip etika yang diatur di dalam EPI, terdapat sebuah prinsip bahwa "Iklan tidak boleh merendahkan produk pesaing secara langsung maupun tidak langsung."
Di sinilah yang sebenarnya patut dijadikan sebagai objek pembicaraan dan diskusi. Sebagaimana banyak diketahui, iklan-iklan antar produk kartu seluler di Indonesia selama ini kerap saling sindir dan merendahkan produk kompetitornya.
Contoh Perang Iklan XL vs Telkomsel di billboard Medan
Di dalam EPI juga diberikan beberapa prinsip tentang keterlibatan anak-anak di bawah umur apalagi Balita seperti antara lain:
Anak-anak tidak boleh digunakan untuk mengiklankan produk yang tidak layak dikonsumsi oleh anak-anak, tanpa didampingi orang dewasa.
Iklan tidak boleh memperlihatkan anak-anak dalam adegan adegan yang berbahaya, menyesatkan atau tidak pantas dilakukan oleh anak-anak.
Iklan tidak boleh menampilkan anak-anak sebagai penganjur bagi penggunaan suatu produk yang bukan untuk anak-anak.
Iklan tidak boleh menampilkan adegan yang mengeksploitasi daya rengek (pester power) anak-anak dengan maksud memaksa para orang tua untuk mengabulkan permintaan anakanak mereka akan produk terkait (lihat halaman 34 EPI).
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dalam periklanan kita tidak dapat lepas dari etika. Dimana di dalam iklan itu sendiri mencakup pokok-pokok bahasan yang menyangkut reaksi kritis masyarakat Indonesia tentang iklan yang dapat dipandang sebagai kasus etika periklanan. Sebuah perusahaan harus memperhatikan etika dan estetika dalam sebuah iklan dan terus memperhatikan hak-hak konsumen.
5.2 Saran
Dalam penulisan ini penulis memberikan saran yaitu dalam bisnis periklanan perlulah adanya kontrol tepat yang dapat mengimbangi kerawanan tersebut sehingga tidak merugikan konsumen. Sebuah perusahaan harus memperhatikan kepentingan dan hak – hak konsumen, dan tidak hanya memikirkan keuntungan semata