PENDAHULUAN
CAP didefinisikan sebagai sebuah infeksi akut pada parenkim paru-paru pada pasien yang mendapat infeksi di komunitas, yang dibedakan dari yang didapat di Rumah Sakit-Infeksi Nosokomial (HAP). Kategori ketiga dari pneumonia yaitu HCAP (Healthcare-associated (Healthcare-associ ated pneumonia) adalah infeksi pneumonia yang didapat dari fasilitas kesehatan seperti rumah perawat, pusat hemodialisis, dan klinik pasien. CAP merupakan penyakit yang umum dan berpotensi menjadi penyakit yang serius. Hal ini terkait dengan angka kesakitan dan kematian, terutama pada pasien yang lebih tua dan pasien dengan penyakit komorbid yang signifikan. Epidemiologi, patogenesis dan mikrobiologi dari CAP pada orang dewasa akan dibahas saat ini. Berbagai isu penting lainnya yang terkait dengan CAP akan dibahas secara terpisah, termasuk : EPIDEMIOLOGI
Tingkat
keseluruhan kasus CAP (Community (Community Acquired Pneumonia) pada orang dewasa
berkisar kira-kira 5,16-6,11 kasus per 1000 orang. Kasus CAP meningkat seiring dengan bertambahnya umur [4]. Terdapat variasi musiman denga kasus yang lebih banyak pada musim gugr. Kasus pneumonia lebih banyak pada laki-laki dibandingkan pada perempuan dan lebih banyak pada orang kulit hitam hita m dibandingkan dengan Kaukasia. Etiologi dari CAP bervariasi, dapat menurut wilayah geografis, namun Streptococcus pneumonia adalah bakteri yang teridentifikasi sebagai penyebab CAP yang paling umum diseluruh dunia. Selain itu virus juga merupakan penyebab umum CAP. Mikrobiologi CAP akan didiskusikan lebih rinci dibawah ini. Pada tahun 2005, kombinasi pneumonia dan influenza adalah delapan penyebab kematian yang paling umum di Amerika Serikat dan merupakan penyebab kematian terbesar ketujuh di Canada. Ada lebih dari 60000 kematian akibat pneumonia di Amerika Serikat. Angka kematian paling tinggi terdapat pada pasien yang membutuhkan rawat inap. Data dari Pusat Layanan Medicare dan Servis Medicaid memperkirakan angka kematian 30 hari dari CAP (kebanyakan pada pasien yang berusia > 65 tahun) yang memerlukan perawatan di Rumah sakit Amerika Serikat menjadi sekitar 12% [9]. Secara keseluruhan angka kematian menurut wilayah geografis (Amerika Serikat/ Kanada 7,3 persen; Eropa 9,1 persen; Amerika Latin 13,3 persen), namun setelah penyesuain untuk
variabel perancu, perbedaan ini seringkali dikurangi. Karena angka kematian pasien dengan CAP setinggi 28 persen dalam satu tahun. Mengingat populasi yang mengalami penuaan di Amerika Utara meningkat diperkirakan kasus CAP akan meningkat.
Healthcare Associated Pneumonia (HAP)
Seperti yang disebutkan di atas, CAP (Community Acquired Pneumonia) didefinisikan sebagai infeksi akut pada perenkim paru-paru di mana pasien tersebut mendapatkan infeksi di komunitas masyarakat, hal ini harus dibedakan dari pneumonia yang didapatkan di Rumah Sakit (HCAP). Kategori ketiga penumonia, HCAP (Healthcare Associated Pneumonia), tatalaksananya termasuk dalam pedoman HAP sebelumnya (namun bukan merupakan pedoman HAP yang terkini untuk mengidentifikasi pasien yang dianggap beresiko tinggi multidrugresistant (MDR) yang berasal dari komunitas. HCAP merujuk pada pneumonia yang diperoleh difasilitas kesehatan seperti rumah perawat, pusat hemodialisis, dan klinik atau perawatan dalam 3 bulan terakhir. Dasar pemikiran untuk pemisahan HCAP ( dan hubungannya dengan HAP) adalah pasien dengan HCAP yang dianggap beresiko tinggi MDR. Namun beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa banyak pasien yang menderita HCAP yang tidak beresiko tinggi untuk MDR, bukan merupakan suatu penanda yang baik mengenai siapa yang akan terkena infeksi mikrooragnisme MDR. Lebih jauh lagi, walaupun interaksi pasien dengan layanan kesehatan berpotensi untuk menjadi resiko MDR, karakteristik pasien juga menjadi faktor independen yang mendasari resiko MDR dan kematian pada seorang pasien dengan HCAP. Diperkirakan bahwa pasien yang sebelumnya telah didiagnosis terkena HCAP akan diikutsertakan
dalam pembaharuan panduan Diseases Society of America
(IDSA)/American Thoracic Society (ATS) dikarenakan pasien dengan HCAP seringkali hadir dari masyarakat dan jika ditemukan maka akan dirawat di instalasi darurat.
PATOGENESIS
Paru-paru akan terus menerus terpapar oleh partikel dan mikroba yang ada di saluran pernafasan atas dan, dengan adanya mikrospirasi akan masuk ke saluran pernapasan bagian bawah. Bertentangan dengan kepercayaan lama, saluran pernapasan bagian bawah tidak steril. Dengan menggunakan teknik kultur independen, peneliti menunjukkan bahwa terdapat bakteri pada saluran pernapasan bagian bawah pada orang sehat yang juga ditemukan pada saluran pernapasan atas, yaitu Prevotella spp, Veilonella spp, and Streptococcus spp. Namun
pertahanan tubuh masing-masing host (inang) penting untuk menjaga mikrobiom pada level yang terendahdan menghindari patogen. Per tahanan inang ini dapat dikategorikan dalam bawaan (nonspesifik) atau didapat (spesifik). Perkembangan dari CAP (Community Acquired Pneumonia) menunjukkan bahwa adanya defek pada pertahanan host (inang), terpapar oleh mikroorganisme yang virulen, atau inoculum. Perlu dicatat bahwa teknik independen kultur yang terbaru berkaitan dengan teknik kultur yang konvensional pada pasien dengan pneumonia. Mikroaspirasi merupakan mekanisme yang paling umum dari mikrobiota dan patogen untuk dapat mencapai paru-paru. Penyebaran secara hematogen dari tempat yang jauh, penyebaran secara langsung dari fokus yang letaknya berdekatan, dan makroaspirasi adalah mekanisme lainnya di mana patogen bisa mendapatkan akses untuk masuk ke paru-paru. Faktor Virulensi
Beberapa mikroorganisme telah mengembangkan mekanisme spesifik untuk menangkal pertahanan paru-paru dari host (inang). Contohnya meliputi :
Chlamydia pneumoniae memproduksi faktor ciliostatik Mycoplasma pneumoniae dapat menggunting silia Influenza virus secara nyata dapat mengurangi kecepatan aliran lendir trakea beberapa jam setelah adanya infeksi dan bertahan sampai 12 minggu paska infkesi
S. pneumoniae and Neisseria meningitidis memproduksi protease yang dapat membelah membelah immunoglobulin (IgA). Selian itu, Pn eu mo co cc us memproduksi faktor virulensi lainnta meliputi kapsulyang menghambat fagositosis, pneumolysin, dan sitolisin tiol yang dapat berinteraksi dengan kolesterol
pada
membran
tubuh
host
(inang),
neuroamidase,
dan
hialuronidase.
Mycobacterium spp, Nocardia spp, and Legionella spp resisten terhadap aktivitas mikrobisida dari fagositosis.
Faktor Predisposisi
Selain faktor virulensi mikroba, penyakit dan kondisi dari host (inang) dapat menjadi penyebab dari kerusakan pertahanan paru-paru serta meningkatkan resiko terjadinya CAP. Kondisi ini meliputi : Perubahan pada tingkat kesadaran, keadaan yang mempengaruhi mikroaspirasi pada traktus digestivus (karena stroke, kejang, intoksikasi racun, anestesi, dan penyalahgunaan alkohol) dan makroaspirasi pada sekresi saluran pernapasan atas selama tidur, merokok, konsumsi
alkohol, hipoksemia, asidosis, inhalasi racun, edema pulmo, uremia, mulnutrisi, agen immunosupresi (organ solid, atau penerima transplantasi organ, atau pasien yang menerima kemoterapi), obstruksi mekanik pada bronkus, pada orang yang lebih usinya lebih tua(> 65 tahun), terdapat peningkatan angka kejadian pneumonia, menggunakan gigi palsu selama tidur, kistik fibrosis, bronkiekstasis, penyakit paru obstruksi kronis (PPOK), episode pneumonia sebelumnya atau bronkitis kronik, sindrom silia immotil, sindrom Kartagener (disfungsi silia, situs inversus, sinusitis, bronkiekstasis), sindrom Young (azoospermia, sinusitis, penumonia), disfagia akibat adnya lesi pada esofagus, dan masalah motilitas, infeksi HIV (terutama influenza, influenza dapat menyebabkan pneumonia akibat virus dan menjadi faktor predisposisi bagi pasien untuk terkena pneumonia akibat bakteri, kanker paru, obstruksi bronkus karena ada penyempitan, tumor atau adanya benda asing, sindrom hiperimunologi, terlalu padatnya pemukiman di penjara, tuna wisma, kombinasi dari faktor resiko lain, yaitu merokok, gagal jantung kongestif, dan PPOK, akan saling memperkuat resiko tersebut dan dikenal dengan istilah sususnan faktor resiko.
MIKROBIOLOGI
Secara tradisional bakteri dibagi menjadi dua kelompok, yaitu bakteri atipikal dengan bakteri tipikal.
“Bakteri tipikal” meliputi S. pneumoniae, Haemophilus influenzae, Staphylococcus aureus, group A streptococci, Moraxella catarrhalis, bakteri gram negatif anaerob dan aerob.
„Bakteri atipikal penumonia” merujuk pada penumo nia yang disebabkan oleh Legionella spp, M. pneumoniae, C. pneumoniae, and Chlamydia psittaci, walaupun tidak tepat, namun kami menggunakan istilah ini karena istilah ini telah diterima didalam praktek klinis.
Pada pasien, tidak ditemukan adanya riwayat, atau penelitian di laboratrium rutin yang memungkinkan seorang klinisi dapat membedakan pneumonia yang disebabkan oleh mikroorganisme tipikal atau atipikal.
Patogen
Ada lebih dari 100 mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, dan parasit) yang dapat menyebabkan CAP (Community Acquired Pneumonia). Sebagian besar kasus pneumonia di mana
mikroorganisme
yang
teridentifikasi
hanya
terdiri
dari
satu
sampai
empat
mikroorganisme, tetapi distribusi dari patogen sangat bervariasi. Diagnosis mikrobiologi telah terkonfirmasi pada 38-87% kasus CAP pada penelitian yang menggunakan tes khusus untuk mendeteksi variasi patogen tetapi persentasi yang rendah didapatkan pada kasus yang didalam penelitiannya tidak menggunakan tes khusus. Bahkan didalam praktek klinis, agen etiologi sering dapat teridentifikasi. Sebagai contoh didalam tinjauan terdapat 17.435 kasus CAP pada departemen gawat darurat Amerika Serikat yang terlampir di Medicare, dan etiologi dari pneumonia tersebut hanya bisa didapatkan pada 7,6% dari total kasus yang ada. Prevalensi yang sebenarnya dari berbagai agen etiologi tidaklah pasti. Penelitian yang menyelidiki mengenai etiologi dari CAP telah dilakukan pada berbagai daerah yang berbeda dengan populasi pasien yang beragam, dan aturan klinis, serta menggunakan berbagai macam teknik mikrobiologi. Karena hasil kultur langsung dari jaringan paru-paru yang terinfeksi menggunakan teknik yang invasif, pada akhirnya penelitian terutama menggunakan hasil tes laboratrium yang memberikan bukti etiologi secara tidak langsung. Metode tidak langsung ini meliputi kultur sputum (yang mungkin saja sudah terkontaminasi oleh flora di orofaring), kultur darah, reaksi rantai polimerase, tes antigen urin, dan serologi. Penelitian menggunakan test serologi yang mungkin saja telah melebih-lebihkan angka kejadian CAP yang disebabkan oleh patogen spesifik, seperti M. Pneumonia, dan C. Pneumonia, sejak hasil tes serologi yang positif lebih menunjukkan riwayat pasien yang terinfeksi dibandingkan dengan infeksi pneumonia yang aktif. Selain itu, interpretasi hasil pada metode tidak langsung terhambat oleh karena adanya kegagalan dalam mengidentifikasi organisme pada sebagian besar kasus serta pada kejadian infeksi campuran. Terlepas
dari
masalah
ini,
penelitian
yang
ada
telah
mengidentifikasi
beberapa
kecenderungan dan menyimpulkan hasil terkait etiologi CAP pada orang dewasa, sebagaimana yang tercantum pada hal dibawah ini : S. pneumonia telah menjadi bakteri tersering penyebab pneumonia pada sebagian besar penelitian. Namun, deteksi S. Pneumonia oada pasien CAP di Amerika Serikat telah menurun secara signifikan, kemungkinan karena pneggunaan vaksin pneumokokus pada orang dewasa dan penggunaan vaksin universal konjungasi pneumokokus pada anak-anak (yang menimbulkan adanya kekebalan). Adanya fakta yang menunjukkan bahwa virus pada traktur respiratorius menjadi penyebab umum terjadinya CAP, baik sebagai patogen tunggal maupun sebagai organisme koloid. Dengan menggunakan metode molekular, virus terdeteksi pada kira-kira sepertiga kasus CAP pada orang dewasa.
Patogen atipikal ( M. Pneumonia, Legionella spp, C. Penumonia, C. Pssitaci) jarang teridentifikasi didalam praktek klinis dikarenakan tidak adanya tes rapid, spesifik,atau tes yang terstandarisasi untuk mendeteksi patogen tersebut kecuali Legionella pneumofila. Dari jumlah tersebut, M. Pneumonia adalah patogen yang paling sering teridentifikasi, terutama pada kasus pneumonia yang dirawat jalan. Legionella spp menjadi penyebab yang lebih jarang ditemukan pada kasus CAP, tetapi merupakan patigen yang penting karena dapat menyebabkan CAP derajat berat dan dapat mnejadi wabah pneumonia. C. Penumonia sebelumnya dianggap sebagai penyebab yang umum pada kasus CAP. Hasil ini bedasarkan penelitian yang menggunakan teknik serologi (yang tidak membedakan antara infeksi yang terjadi saat ini ataunpada masa lalu), tetapi beberapa penelitian terbaru yang menggunakan teknik molekular mengidentifikasi C. Penumonia < dari 1% dari kasus CAP yang ada. Bakteri atipikal, terutama M. Pneumonia dan Legionella spp telah terdeteksi pada 3-15% pasien dengan CAP yang memerlukan rawat inap menggunakan teknik selain serologi (misalnya teknik molekular, antigen urin Legionella, kultur mycoplasma). Penelitian lain telah mendeteksi bakteri atipikal pada 20-30% kasus, namun penelitian ini mungkin menunjukkan angka kejadian CAP yang terlalu tinggi dikarenakan penggunaan teknik serologi. Selain iu, pada beberapa kasus mungkin menjadi bagian dari wabah yang sporadis.
Staphylococcus aureus, Enterobacteriaceae, dan Pseudomonas aeruginosa adalah patogen yang penting pada kelompok pasien terpilih (misalnya pasca influenza, terapi antimikroba sebelumnya, atau komorbiditas paru)
Etiologi pneumonia di suatu wilayah bersifat dinamis, yang dibuktikan dengan munculnya virus flu burung, sindrom pernafasan akut berat (SARS), dan sindrom pernafasan timur tengah coronavirus (MERSCoV).
Frekuensi dari etiologi lainnya, seperti Mycobacterium tuberculosis, C. psittaci (psittacosis), Coxiella
burnetii (Q fever), Francisella tularensis (tularemia), dan
jamur endemik (histoplasmosis, coccidioidomycosis, blastomycosis) bervariasi.
Deteksi Patogen bedasarkan Tingkat Keparahan Penyakit.
Patogen yang paling sering teridentifikasi tergantung pada tingkat keparahan penyakit yang dinilai dari tempat perawatan pasien (rawat jalan dibandingkan dengan rawat inap ataupun [ICU]) Resolusi pneumonia yang lambat atau tidak lengkap meskipun sudah mendapat pengobatan adalah suatu masalah klinis yang umum, diperkirakan yang responsif adalah sekitar 15 persen
dari keseluruhan kasus konsultasi paru yang memerlukan rawat inap dan 8 persen dari pasien yang menjalani bronkoskopi. Ada berbagai alasan mengapa kasus pneumonia seringkali diatasi secara perlahan atau tidak lengkap, karena salah mendiagnosis patogen atau adanya patogen yang resisten pada host (inang), termasuk proses mekanis, dan perkembangan penyakit sejak awal infeksi. Selain itu, etiologi non-infeksi pada kasus infiltrat paru dapat sama dengan kasus pneumonia yang infeksius, sehingga tampak bahwa resolusi tidak sesuai dengan tatalaksana yang diharapkan. Sekitar 20 persen kasus yang diduga bukan CAP disebabkan oleh penyakit yang tidak menular. Terlepas dari masalah ini, terdapat beberapa kekurangan pada penelitian yang secara khusus menangani masalah ini. Pada tinjauan ini, kita akan menggunakan istilah "pneumonia yang tidak mengalami resolusi" di mana yang termasuk didalam kategori ini adalah kasus-kasus yang diduga pneumonia, yang dapat mengalami resolusi namun lambat, atau gagal mencapai resolusi yang lengkap walaupun terapi yang diberikan sudah dianggap tepat. Pertama-tama kita akan membahas faktor-faktor yang biasanya mempengaruhi resolusi pneumonia, dan kemudian kita akan fokus pada penyebab spesifik pneumonia yang tidak teratasi. Pneumonia aspirasi, pneumonia yang didapat dimasyarakat, pneumonia yang didapat di rumah sakit, pneumonia terkait penggunaan ventilator, dan demam serta infiltrat paru pada pasien imunokompromise akan dibahas secara terpisah. Pneumonia normal dibandingkan dengan Pneumonia Resolusi
Resolusi pneumonia yang normal tidak mudah didefinisikan dan dapat bervariasi tergantung pada penyebab utamanya. Pasien biasanya mencatat perubahan yang terjadi pada hari ke tiga-kelima atau kriteria spesifik meliputi demam, batuk, PaO2 dan level CRP. Bagaimanapun sebagian besar penelitian tentang sejarah alami pneumonia berfokus pada foto rotgen thoraks yang abnornal, dengan “resolusi lambat” didefinisikan sebagai kelanjutan kelainan radiologi yang lebih besar dari 1 bulan pada host (inang) yang secara klinis telah diobati. Menentukan apakah pasien mengidam penyakit penumonia yang tidak mencapai resolusi atau progresif juga harus mempertimbangkan beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat resolusi tersebut. Hal ini termasuk :
Komorbiditas-adanya
penyakit
komorbid
seringkali
memperlambat
resolusi
pneumonia, Sedangkan pasien tanpa penyakit medis lain biasanya akan menunjukkan hasil yang bebas infiltrat pada gambaran radiologi selama 4 minggu, hanya 20-30% pasien dengan penyakit komorbid akan sembuh selama empat minggu.
Umur- Sekitar 90% pasien berusia dibawah 50 tahun menunjukkan resolusi pada gambaran radiologi dalam waktu empat minggu, hal ini dibandingkan dengan 30% pasien yang berusia diatas 50 tahun walaupun tidak penyakit lain yang menyertai.
Derajat keparahan – gambaran resolusi kasus pneumonia derajat berat menunjukkan gambaran radiologi diestimasi dalam 10 minggu, dibandingkan dengan pneumonia derajat ringan sampai sedang tiga sampai empat minggu.
Agen infeksius- tingkat perbaikan pneumonia secara klinis dan pada gambaran radiologi sangatlah bervariasi tergantung dari agen infeksius tertentu yang menyebabkan pneumonia. Secara umum, resolusi lebih cepat terjadi jika pneumonia disebabkan
oleh
Mycoplasma
pneumoniae,
non-bakteriemi
Streptococcus
pneumoniae, Chlamydophila species, dan Moraxella catarrhalis dibandingkan dengan pneumonia yang disebabkan oleh organisme lainnya. PENGARUH PATOGEN BAKTERI KHUSUS
Data yang tersedia mengenai resolusi pneumonia yang disebabkan oleh agen etiologi yang berbeda, meliputi faktor-faktor yang mempengaruhi perjalanan pneumonia. Perlu dicatat bahwa pendekatan empiris terhadap pengobatan CAP dan HAP yang disarankan oleh sebagian besar pedoman tatalaksana dapat menyebabkan kegagalan untuk mengobati penumonia dengan tepat karena pneumonia tersebut disebabkan oleh patogen yang kurang umum seperti bakteri anaerob dan jamur.
MISDIAGNOSIS PATOGEN NONBAKTERI
Patogen alternatif selain patogen yang pada umumnya menyebabkan pneumonia perlu dipertimbangkan pada pasien yang tidak merespon terhadap pengobatan. Patogen yang sangat penting yang termasuk pada kategori ini adalah mycobacteria ( Mycobacterium tuberculosis atau micobakteria atipikal), jamur, Nocardia, dan Actinomyces.
PATOGEN BAKTERI yang RESISTEN
Kehadiran patogen yang resisten terhadap pengobatan merupakan pertimbangan penting untuk setiap kasus pneumonia yang tidak merespons terhadap terapi antibiotik. Walaupun Streptococcus pneumoniae (pneumococcus) adalah bakteri yang resisten terhadap penicilin yang paling mendapat perhatian, namun Haemophillus Influenza dan Pseudomonas Aeruginosa serta Staphylococcus Aureus yang resisten terhadap meticilin, sekarang semakin
dikenal di masyarakat karena kemungkinan akan menyebabkan pneumonisa yang tidak mengalami resolusi atau kemungkinan terjadi pneumonia berulang. Dalam beberapa survei , diketahui bahwa sampai 80% pneumokokus menunjukkan resistensi tingkat menengah hingga tinggi tergantung pada geografi dan strain kuman. Sebuah penelitian telah menunjukkan bahwa tidak adanya peningkatan yang signifikan pada ketidakrentanan terhadap bakteri pada tahun 1999 dan tahun 2007 di Inggris dan Irlandia. Diantara isolat dari penyakit pneumokokus yang invasif didapatkan 21-25% menunjukkan resistensi penisilin. Kecurigaan terhadap S. Pneumonia yang resisten terhadap penisilin harus dicurigai pada kasus-kasus sebagai berikut :
Paparan tertutup terhadap anak-anak, tingkat infeksi yang disebabkan karena pneumokokus yang resisten terhadap penisilin paling tinggi pada anak usia dibawah lima tahun.
Sebelum pengobatan dengan antibiotik golongan beta lactam (dalam waktu enam bulan sebelumnya)
Riwayat pneumonia sebelumnya dalam kurun waktu kurang dari sat u tahun
Rawat inap dalam tiga bulan terakhir
Infeksi yang didapatkan di Rumah Sakit (nosokomial)
Pengobatan infeksi yang tepat berkaitan dengan Streptococcus pneumonia yang resisten terhadap penisilin akan dibahas didiskusi yang lainnya, namun pada umumnya akan menghasilkan hasil yang sama dengan kasus yang sensitif terhadap penisilin.
FAKTOR HOST (INANG)
Berbagai variasi dari faktoir host (inang) mungkin terkait dengan resolusi pneumonia yang tertunda, termasuk alkoholism, usia yang leih tua, dan adanya penyakit komorbid seperti diabetes, dan penyakit paru kronis (PPOK). Selain itu, gangguan fungsi kekebalan tubuh seperti AIDS dan sindrom yang terkait dengan defisiensi kekebalan tubuh dapat dikaitkan dengan tertundanya resolusi pneumonia.
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome)
Meskipun pneumonia yang disebabkan oleh Pneumocystis jirovecii (P. carinii) tidak diketahui, hal ini tetap menjadi pertimbangan dalam mendiagnosis pneumonia pada pasien AIDS, infeksi saluran pernafasan bagian bawah yang paling umum pada populasi pasien ini
adalah pneumonia yang disebabkan oleh bakteri. Secara keseluruhan sampai 5% pasien dengan AIDS menderita pneumonia yang didapatkan dari infeksi HIV, namun kejadian ini lebih tinggi pada daerah endemik AIDS, angka kejadiannya mencapai 50%. Oleh karena itu penting untuk mempertimbangkan adanya kemungkinan penyakit penyerta seperti infeksi HIV pada pasien yang tidak mengalami resolusi dan pada kasus pneumonia yang perjalanan penyakitnya progresif. Asosisasi penyakit infeksius di Amerika Serikat merekomendasikan tes rutin untuk kasus infeksi HIV pada pasien CAP yang berumur 15 hingga 54 tahun, di mana kejadian kasus tersebut di Rumah Sakit yang kasus infeksi HIV yang baru melebihi 1 kasus per 1000 kasus.
KEKEBALAN IMUN HUMORAL
Merupakan suatu hal yang penting untuk mengidentifikasi defisiensi imun humoral sebagai suatu faktor resiko yang mendasari pneumonia dikarenakan efek dari terapi IVIG (intravena immune globulin) terhadap kejadian dan insidensi resolusi pneumonia. Gangguan khusus yang umumnya terkait dengan hipogamaglobulinemia meliputi X-linked aghaglobulinemia, defisiensi imun yang bervariasi, dan defisiensi sel IgG selektif. Patogen yang paling umum pada pasien ini meliputi Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenzae, dengan Mycoplasma pneumoniae dan Pneumocystis jirovecii yang juga merupakan penyebab namun bukan merupakan penyebab umum.
ETIOLOGI NONINFEKSI
Berbagai etiologi noninfeksi pada infiltrat paru dapat serupa dengan pneumonia dan dapat menghasilkan pneumonia yang tidak mengalami resolusi. Yang termasuk dalam kategori penyakit ini adalah penyakit neoplastik, inflamasi, induksi obat, dan penyakit vaskular. Beberapa etiologi non-infeksi ini mungkin juga terkait dengan pneumonia yang tidak mengalami resolusi melalui mekanisme patofisiologis lainnya, seperti obstruksi endobronkial oleh karena karsinoma bronkogenik.
KELAINAN NEOPLASTIK
Neoplasma dapat dikaitkan dengan pneumonia yang tidak mengalami resolusi baik dengan adanya kejadian gangguan jalan nafas atau adanya pneumonia akibat postobstruktif sekunder atau adanya abses, atau dengan kejadian yang serupa dengan proses infiltrasi. Karsinoma bronkogenik dan tumor karsinoid adalah penyebab obstruksi endobronkial yang paling umum yang dapat menyebabkan pneumonia, sedangkan karsinoma sel bronkioloalveolar dan
limfoma adalah penyebab paling umum dari penyakit infiltrat pada alveolar yang serupa dengan pneumonia. •
Karsinoma bronkogenik dapat membahayakan lumen jalan nafas baik meliputi gangguan pada endobronkial ataupun terhadap faktor ekstrinsik. Namun, frekuensi dari karsinoma endobronkial sebagai penyebab pneumonia yang tidak mengalami resolusi relatif rendah, berkisar antara 0 sampai 8 persen pada kebanyakan kasus.
Obstruksi endobronkial oleh tumor karsinoid merupakan faktor predisposisi penting untuk kasus pneumonia postobstruktif, dan harus dianggap sebagai kemungkinan etiologi terjadinya obstruksi endobronkial pada pasien muda atau pasien yang tidak merokok.
Karsinoma sel bronkioloalveolar dapat menjadi fokal infiltrasi, seringkali dengan gambaran air bronkogram, dan gambaran ground glass appearance dengan penampilan "subsolid", yang serupa dengan gambaran radiologi pneumonia. Pasien dengan karsinoma sel bronchioloalveolar dapat datang dengan perbedaan pada ukuran infiltrat dan minimnya gejala sistemik yang muncul [20].
Limfoma pada paru-paru juga dapat hadir dengan fokal infiltrat pada alveolar dengan gambaran air bronkogram, hal ini serupa dengan gambaran radiografi pneumonia. Limfoma yang menyerang parenkim paru dapat terjadi baik sebagai bagian dari penyakit sistemik atau sebagai murni karena limfoma paru primer. Tiga kategori dari proliferasi limfoid klonal saat ini dikenal sebagai penyebab gangguan pada parenkim paru: limfoma sel B derajat ringan yang timbul dari jaringan mukosa (MALT), limfoma sel B derajat tinggi dan granulomatosis limfomatoid. Limfoma paru primer merupakan kasus yang tidak biasa, hanya 10 persen dari keseluruhan kasus limfoma Hodgkin dan 4 persen dari keseluruhan kasus limfoma non-Hodgkin yang hadir dengan adanya infiltrasi pada alveolar. Seiring dengan perkembangan penyakit ini, adanya keterlibatan paru-paru menjadi hal yang umum, terjadi pada 38 persen pasien limfoma Hodgkin dan 24 persen dengan limfoma non-Hodgkin. CT scan thoraks mungkin sangat berguna pada pasien yang dicurigai limfoma Hodgkin dikarenakan saat ini frekuensi terjadinya limfadenopati pada mediastinum menjadi lebih sering.
PENYAKIT INFLAMASI
Berbagai gangguan inflamasi dapat serupa dan dapat salah diagnosis dengan pneumonia. Karena gangguan ini tidak merespons antibiotik, maka hal ini harus dipertimbangkan dalam mengevaluasi pasien pneumonia yang tidak mencapai resolusi.
Vaskulitis sistemik atau gangguan jaringan ikat dapat menyebabkan demam, dyspnea, dan infiltrat paru, dan oleh karena itu sering dengan mudah disalahartikan sebagai pneumonia. Granulomatosis dengan polangiitis (Wegener's) dan sindrom perdarahan alveolar adalah vaskulitis yang paling serupa dengan pneumonia. Bronkoskopi dan bilas bronchoalveolar berguna untuk menegakkan diagnosis perdarahan pada alveolar.
Bronchiolitis obliterans yang mengorganisir pneumonia (BOOP / Cryptogenic organizing pneumonia) biasanya memiliki onset subakut, di mana 75 persen pasien memiliki gejala kurang dari dua bulan pada saat pasien datang dan diagnosis. BOOP idiopatik biasanya dimulai dengan gejala yang mirip dengan flu yang serupa dengan pneumonia atipikal (CAP), dengan gejala demam, malaise, kelelahan, dyspnea, dan batuk kering. Pada pasien mungkin mungkin terjadi peningkatan sedimentasi dan leukositosis. Bercak-bercak infiltrat pada alveolar biasanya terlihat pada foto rotgen thoraks, dan kasus ini sering menyerupai pneumonia.
Pneumonia eosinofilik, baik fase akut maupun kronis ditandai dengan adanya eosinofil pada ruang interstisial dan alveolar. Pneumonia eosinofilik kronis biasanya muncul sebagai penyakit subakut dengan gejala batuk, demam, dyspnea, penurunan berat badan, mengi, berkeringat di malam hari, dan infiltrat pada gambaran radiologi yang akan muncul selama berminggu-minggu hingga berbulan-bulan. Foto rontgen thoraks sering menunjukkan bercak-bercak, infiltrat pada alveolar yang sebagian besar mempengaruhi paru-paru bagian perifer, daerah pusat dan basilar. Pasien biasanya memberi respon klinis serta respon pada gambaran radiologi yang signifikan setelah pengobatan dengan kortikosteroid. Pneumonia eosinofilik akut memiliki onset demam yang lebih cepat, batuk yang tidak produktif, dyspnea, dan nyeri dada. Pada foto rontgen thoraks di awal penyakit mungkin hanya menunjukkan gambaran infiltrat retikular, ground glass appearance, yang dapat berkembang menjadi penyakit alveolar difus bilateral dan ARDS. Seperti pada pneumonia eosinofilik kronis, respons pengobatan terhadap kortikosteroid seringkali dramatis. Data yang ada menunjukkan adanya gejala klinis yang tumpang tindih pada sindrom pneumonia eosinofilik.
• Pneumonia interstisial akut adalah jenis pneumonia yang jarang ditemui dan biasanya idiopatik berasal dari kerusakan alveolar yang difus, sehingga sesuai dengan gambaran klinis sindroma gangguan pernafasan akut idiopatik (ARDS). Pasien biasanya datang kontrol ke dokter setelah fase prodromal selesai dimana gejalanya mencapai 14 hari dengan gejala demam, batuk, dan dyspnea. Foto rontgen thoraks biasanya menunjukkan adanya rongga udara bilateral, dan CT scan thoraks secara khas menunjukkan area dengan bercak-bercak atau adanya area yang difus (ground glass appearance). Efektivitas pengobatan dengan kortikosteroid tidaklah jelas, dan angka kematian diperkirakan sekitar 70 persen. • Pulmonary alveolar proteinosis (PAP) adalah penyakit paru yang jarang terjadi di mana ditandai dengan adanya akumulasi cairan lipoproteinase yang abnormal di rongga udara paru bagian distal. Pasien biasanya datang ke dokter dengan gejala dyspnea yang cenderung berbahaya, kelelahan, adanya penurunan berat badan, dan demam ringan. Foto rontgen thoraks sering menunjukkan gambaran opaksitas yang nonspesifik pada alveolar paru bagian distal dan dan pertengahan paru yang areanya yang berdekatan dengan diafragma dan jantung. Pada CT scan biasanya akan tampak gambaran "crazy paving", yang ditandai dengan “ground glass pattern” dengan adanya penebalan intralobular dan interlobular septa dan menghasilkan bentuk poligonal. • Kasus Sarkoidosis seringkali membingungkan jika disejajarkan dengan kasus dengan pneumonia yang tidak menular di mana pasien memiliki penyakit parenkim paru tanpa adanya adenopati intrathoracic dan tanpa adanya keterlibatan ekstrapulmoner secara klinis.
Penyakit paru yang diinduksi oleh obat
Penyakit paru-paru yang disebabkan oleh obat seringkali salah diagnosis jika disejajarkan dengan kasus pneumonia yang infeksius, dan evaluasi riwayat pengobatan yang ketat harus dilakukan pada pasien dengan pneumonia yang mengalami resolusi untuk menyingkirkan etiologi terkait obat. Toksisitas Amiodarone akan menimbulkan gejala serupa dengan kasus pneumonia yang tidak mengalami resolusi, dikarenakan mungkin toksin tersebut memiliki efek yang akut pada fokal infiltrat alveolar. Obat-obatan lain yang menjadi perhatian meliputi methotrexate, nitrofurantoin dan bleomycin. Selain agen antineoplastik tradisional, semakin banyak penggunaan agen biologis baru pada kasus dengan adanya gejala pada pernafasan dan kelainan pada gambaran radiologi yang
signifikan. Agen anti-tumor nekrosis-alfa telah dikaitkan dengan adanya peningkatan risiko terjadinya tuberkulosis dan juga infeksi bakteri dan jamur lainnya. Inhibitor tirosin kinase seperti erlotinib, saat ini sering digunakan pada kasus adenokarsinoma paru stadium lanjut, dan dapat dikaitkan dengan penyakit paru interstisial dan cedera paru akut. Everolimus, yang digunakan untuk mengobati karsinoma ginjal yang progresif, juga telah digunakan pada pasien dengan pneumonitis interstisial pada sepertiga pasien.
Emboli paru
Emboli paru jarang serupa dengan kasus pneumonia, berdasarkan temuan radiologi akan ditemukani infiltrat paru sebesar 30 persen dan efusi pleura pada kira-kira 20 persen kasus. Infiltrasi, yang mewakili daerah paru yang infark, mungkin memerlukan waktu beberapa minggu untuk dapat teratasi dan seringkali
salah diagnosis dengan pneumonia yang
resolusinya lambat.
Edema paru Hidrostatik
Gambaran radiologi edema paru hidrostatik yang tidak biasa atau fokal terkadang serupa dengan gambaran pneumonia. Edema paru dapat memiliki ruang yang terbatas pada area perfusi yang meningkat, seperti pada pasien dengan penyakit paru-paru bulosa atau regurgitasi mitral. Karena edema paru seringkali tampak paling menonjol di daerah yang perfusinya maksimal, maka pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik derajat berat dapat memunculkan pola asimetris edema paru.
EVALUASI LEBIH LANJUT PADA PNEUMONIA YANG BELUM MENGALAMI RESOLUSI
Evaluasi lebih lanjut terhadap pasien dengan pneumonia yang belum mengalami resolusi secara umum berpusat pada pemeriksaan penunjang pencitraan yang lebih rinci atau adanya bahan untuk dapat dilakukannya analisis mikrobiologis dan patologis.
PENDEKATAN UNTUK DIAGNOSIS
Evaluasi diagnostik pada kasus kegagalan pengobatan pneumonia dimulai dengan anamnesis riwayat secara teliti, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan riwayat kesehatan sebelumnya. Walaupun tingkat resolusi berada dalam kisaran angka yang diharapkan, namun dengan mempertimbangkan penyakit bawaan pasien, penyakit komorbiditas, tingkat keparahan penyakit, maka dugaan patogen harus tetap ditegakkan. Pada kasus pneumonia yang stabil atau
perlahan-lahan membaik, terutama walaupun adanya komorbiditas atau faktor host (inang) yang diketahui akan menunda resolusi dari pneumonia, pengamatan yang cermat dengan atau tanpa terapi dibenarkan selama empat sampai delapan minggu. Jika tidak ada resolusi atau perkembangan penyakit menjadi lebih progresif, pendekatan diagnostik yang lebih tepat harus dilakukan. Jika perlu dilakukan evaluasi lebih lanjut, CT Scan harus dilakukan untuk mencari area yang terinfeksi atau untuk menemukan temuan yang mengarah pada diagnosis lainnya. Bila pneumonia gagal diobati atau apabila terjadi perjalanan klinis yang progresif, maka harus dipertimbangkan untuk dilakukannya bronkoskopi fiberoptik. Pasien yang pada pemeriksaan bronkoskopi hasilnya negatif memiliki prognosis yang lebih bagus walaupun mengalami pneumonia yang resolusinya lambat, terutama jika mereka merupakan perokok atau usianya diatas 55 tahun. Penyakit yang tidak mudah untuk didiagnosis atau biasanya didiagnosis dengan menggunakan bronkospi fiberoptik adalah sindrom vaskulitis paru, bronkoliitis obliterans, dan penyakit alveolar paru yang difus. Dengan adanya gambaran radiologi foto rontgen thoraks yang buruk dan adanya gejala yang progresif disertai dengan hasil bronkoskopi negatif, maka diperlukan evaluasi lebih lanjut dengan dilakukannya thoracoscopic atau biopsi paru.