Proximate Analysis by Hendra Yudisaputro on October 11, 2015 Proximate Analysis2015-10-11T21:58:30+00:00 by Hendra Analysis2 015-10-11T21:58:30+00:00- Batu Bara, O&M Bara, O&M - No Comment
Proximate analysis merupakan suatu analisis yang dil akukan terhadap sampel batubara untuk menentukan kandungan air (moisture) (moisture),, zat terbang (volatile matter), matter), abu serta karbon tetap (fixed carbon),, yang penjelasannya adalah sebagai berikut : carbon) Kandungan Air (Moisture)
Air atau moisture moisture yang yang terkandung dalam batubara terbagi menjadi tiga macam yaitu : 1. Free Moisture
Semua batubara mengandung mengandung free free moisture dalam moisture dalam jumlah tertentu, t ertentu, yang pada umumnya disebabkan oleh air bawah tanah yang bergabung dalam proses pembentukan batubara serta semprotan-semprotan air pada proses-proses pencucian maupun berasal dari hujan dan salju. Pada kebanyakan analisis, free analisis, free moistureditetapkan moistureditetapkan sebagai langkah pertama untuk memeperoleh total moisture,, termasuk bagian yang menguap ketika sampel dalam proses menuju keseimbangan moisture dengan udara sekitar. 5 – F r ee mo moi st stur ure e dinyatakan dalam presentase dan diukur dari berkurangnya berat sampel antara 5 – 15 kg, hal ini dilakukan dengan cara menempatkan sampel pada udara yang bersikulasi bebas pada temperatur kurang dari 15 0C diatas temperatur ambient selama 16 sampai 24 jam. Sampel tersebut kemudian disebarkan dengan rata sehingga memiliki ketebalan penampang sekitar 2,5 cm dan apabila sampel batubara memiliki tingkat kebasahan yang lebih tinggi maka waktu pengeringan mungkin mungkin meningkat sampai melebihi melebihi 24 jam. 2. Inherent Moisture
Diukur dengan mengukur kehilangan berat jika 1 kg sampel dipanaskan dalam oven sampai 105 0C – 110 110 0C selama 5 – 5 – 6 6 jam dalam aliran udara lambat. 3. Air – Dry Dry Moisture
Untuk menetapkan kandungan air dari sampel laboratorium dalam rangka melakukan analisa secara umum maka dapat dilakukan dengan dengan cara mengeringkan 1 gram sampel dalam suatu oven oven vakum menggunakan cara yang sama dengan free moisture dan selanjutnya menimbang secara langsung kandungan air yang diserap oleh absorbent (alat (alat penyerap) dari gas nitrogen nitrogen kering kering yang dilewatkan pada batubara di dalam tabung pemanas. Jika batubara dipanaskan di udara pada suhu lebih dari 100 0C tetapi dibawah titik nyalanya maka akan terjadi perubahan lain selain hilangnya uap air yang meliputi :
Kehilangan berat sehubungan dengan evolusi gas-gas serta terurainya batubara.
Bertambahnya berat sehubungan dengan pembentukan peroksida padat. Pemakaian
Nitrogen untuk mengeluarkan Oksigen dapat mencegah terjadinya hal ini. Abu (Ash)
Ada tiga tipe abu yang diperoleh saat analisa, yaitu :
1. Abu Inherent (inherent ash)
Abu inherent adalah kandungan abu yang tidak dapat dihilangkan dengan metoda pembersihan apapun. Abu inherent boleh dianggap sama seperti unsur-unsur pokok mineral dari bahan tumbuhan pada saat batubara diperoleh, dan ditambah dengan endapan (lumpur) dimana tumbuhan itu tumbuh.
2. Abu campuran (associated ash)
Abu campuran terdapat pada lapisan betubara dalam bentuk pola “bercak - bercak”, dan diantaranya terdiri dari semacam zat mineral yang belum terpisahkan dari bongkahan-bongkahan batubara selama penambangan
3. Adventitous ash
Adventitous ash tidak terdapat pada lapisan batubara, akan tetapi berasal dari lantai atau atap tambang yang tergantung pada kondisi geologis setempat. Adventitous ash mungkin berupa lempung (tanah liat) tahan api atau serpihan carbon dari tanah liat yang mengendap pada air dangkal dilokasi tambang batubara. Zat Terbang (Volatile Matter)
Zat terbang dipakai sebagai pedoman dalam sistem klasifikasi batubara karena zat terbang dapat mencerminkan tipe batubara serta karakteristiknya dalam suatu proses pembakaran. Pengukuran dilakukan dengan cara memanaskan 1 gram sampel betubara dalam wadah peleburan dengan suhu 900 0C selama 7 menit tanpa kontak langsung dengan udara. Dihitung berdasarkan berkurangnya berat setelah dikurangi dengan pengurangan berat karena hilangnya uap air. Zat terbang terdiri dari hidrogen dan nitrogen yang ada dalam batubara dan campuran organik yang amat kompleks dari unsur kimia. Karbon Tetap (F ixed Carbon)
Karbon tetap adalah zat yang tidak menguap dan tersisa setelah kandungan moisture, volatile matter (zat terbang) dan kadar abu dihilangkan. Fixed carbon didapatkan dengan formula sebagai berikut.
F ixed Carbon = 100 % – % Moisture – % Volatile Matter – % Abu.
Sulfur (belerang) dihitung terpisah, namun terkadang dihitung pada saat penentuan nilai kalor batubara.
Analisis Sifat Kimia, Sifat Fisik, Nilai Kalor Dan Dekomposisi Pembakaran Pada Sampah Padat Campuran Organik-Anorganik Combustible di Kota Malang Sebagai Alternatif Bahan Bakar Terbarukan Volume sampah di kota Malang tiap tahun mengalami peningkatan (DKP:2015), sehingga merupakan potensi yang besar sebagai sumber daya dan energi. Untuk mengetahui kelayakan sampah perlu dilakukan beberapa pengujian diantaranya: uji nilai kalor, sifat kimia, sifat fisika dan dekomposisi pembakaran sampah. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui data sampah padat campuran organikanorganik combustible yang akan dijadikan rujukan awal dalam pengembangan energi yaitu sebagai alternatif bahan bakar terbarukan layak pakai. Metode penelitian ini, sampah diambil dari lima tempat pembuangan sampah yang ada di kota Malang pada kecamatan yang berbeda, yakitu: TPS Tanjung, TPS Merjosari, TPS Tidar, TPS Comboran, dan TPS Brantas. Sampah yang diambil adalah sampah padat campuran organik-anorganik combustible. Sampah yang sudah terkumpul kemudian dicuci, dikeringkan dan kemudian dipotong kecil-kecil untuk dijadikan sampel. Setelah jadi sampel tiap jenis sampah lalu sampel dicampur melalui proses penimbangan dengan jumlah takaran yang sama. Selanjutnya sampel dilakukan pengujian nilai kalor dengan Bom calorimeter hasilnya nilai kalor tinggi (HHV) mencapai 25,8 MJ/Kilogram berada diatas nilai kalor dari batubara bitumin d an batubara lignit. Sifat kimia sampah diuji dengan Scanning Electron Microscopy dan Energy Dispersive X-ra (SEMEDX) hasilnya terdapat unsur C, O, S, K, Al, Si, Ca, Cu dan Zn. Sifat fisik sampah didapat dengan uji proximate dengan thermogravimetri hasilnya komposisi kadar air 4,69 wt%, kadar volatil 82,16 wt%, karbon tetap 7,90 wt%, dan abu 5,25 wt%. Proses dekomposisi pembakaran sampah padat campuran organik-anorganik combustible Kota Malang terjadi dalam empat tahap mulai 0°C sampai 1000°C. Tahap pertama penguapan kandungan air dan terbakarnya volatil ringan, tahap kedua penurunan massa terbesar dengan terbakarnya volatil berat, tahap ketiga terbakarnya sisa volatil berat bersama dengan arang yang terbentuk pada proses pembakaran, tahap keempat terbakarnya sisa arang bersama dengan abu yang menempel pada arang.
KARAKTERISTIK DEKOMPOSISI PEMBAKARAN SAMPAH PADAT ANORGANIK COMBUSTIBLE SEBAGAI ALTERNATIF BAHAN BAKAR PADA VARIASI HEATING RATE Risa Asmarani
Abstrak
ABSTRAK Asmarani, Risa. 2016. Karakteristik Dekomposisi Pembakaran Sampah Padat Anorganik Combustible Sebagai Alternatif Bahan Bakarpada Variasi Heating Rate. Skripsi, Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Negeri Malang. Pembimbing: (I) Dr. Sukarni, S. T., M. T, (II) Drs. H. Imam MudaNauri, S. T., M. T Kata Kunci: alternatifbahanbakar, pembakaran, sampah padatan organik combustible, energy aktivasi Bahan bakar fosil sudah menjadi kebutuhan utama masyarakat untuk menunjang kebutuhan hidup. Namun ketersediaannya semakin menipis dan bahaya emisi yang ditimbulkan besar. Masalah sampah anorganik di Kota Malang masih belum ditangani dengan baik. Hal ini terbukti dengan semakin banyaknya tumpukan sampah ditempat pemrosesan akhir(TPA)dan pengolahan yang tidak menghasilkan nilai ekonomi. Berdasarkan permasalahan tersebut maka penelitian tentang pengolahan sampah padat anorganik combustibledi kota Malang sebagai alternative pengganti bahan ba kar fosil dilakukan. Dengan penelitian ini akan didapat pola dekomposisi dan nilai energy aktivasi (Ea)sebagai dasar untuk perancangan reaktor yang tepat yang sesuai dengan karakteristiknya. Metode penelitian yang digunakan adalah eksperimental eksploratif. Penelitian diawali dengan pengambilan sampah di beberapa tempat penampungan sementara (TPS)Kota Malang. Kemudian sampah dicuci, dikeringkan, dihaluskan, ditimbang dan dikemas hingga siap diujikan keLaboratorium Sentral UM. Instrumen pengujian adalah alat TGA Linseis STA PT 1600. Analisis data menggunakan aplikasi Linseis dan Origin. Selanjutnya dapat dihitung energy aktivasinya. Hasil penelitian berupa grafik thermogavimetric(TG) dan derivativethermogravimetric(DTG).Terdapat tiga tahap dekomposisi dimana tahap pertama merupakan hilangnya kadar air, tahap kedua merupakan pelepasan volatile sedangkan tahap ketiga adalah dekomposisi abu. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, pertama,terjadi 3 tahap dekomposisi pembakaran pada heating rate 10° C/min. Penurunan massa pada tahap 2 sebanyak 83% dengan kadar abu 1.1%. Laju penurunan massa maksimum tahap 2 adalah -0.09 %/s pada temperatur 350.6° C.Kedua, terjadi 3 tahap dekomposisi pembakaran pada heating rate 15° C/min. Penurunan massa pada tahap 2 sebanyak 77% dengan kadar abu 4.8%. Laju penurunan massa maksimum tahap 2 adalah -0.16 %/s pada temperatur 351.4° C.Ketiga, terjadi 3 tahap dekomposisi pembakaran pada heating rate 20° C/min. Penurunan massa pada tahap 2 sebanyak 73% dengan kadar abu 9.6%. Laju penurunan massa maksimumtahap 2 adalah 0.18 %/s pada temperatur 356.3° C.Keempat, nilai energi aktivasi sebesar 47 kJ/mol menunjukkansampel mudah bereaksi.
Analisis Thermogravimetric Dekomposisi Pembakaran Campuran Mikroalga Laut Spirulina platensis dengan Tongkol jagung Za'im Zarkasi
Abstrak
ABSTRAK Zarkasi, Za’im. 2016. Analisis Thermogravimetric Dekomposisi Pembakaran Campuran Mikroalga Laut Spirulina platensis dengan Tongkol jagung. Skripsi, Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Negeri Malang. Pembimbing: (I) Dr. Sukarni, S.T., M.T.(II) Drs. Solichin, S.T., M.Kes. Kata kunci: Mikroalga Spirulina Platensis, Tongkol jagung, Physical Properties, Chemical Properties, Dekomposisi Pembakaran. Penggunaan bahan bakar fosil menghadapi masalah saat ini, dimana pembakaran dari bahan bakar fosil mengakibatkan banyaknya polusi udara. Selain hal tersebut, bahan bakar fosil juga sangat lama dalam proses memperbaruinya. Perlu adanya penggantian bahan bakar fosil padat yang umum digunakan yaitu batu bara yang dengan bahan bakar biomassa dari tumbuh-tumbuhan. Biomassa yang berpotensi pengganti bahan bakar fosil adalah mikroalga S pirulina paltensis dan tongkol jagung. Hal tersebut disebab luas dua pertiga wilayah I ndonesia berupa lautan, selain itu lahan pertanian di I ndonesia juga melimpah. Penelitian ini bertujuan mendapatkan data sebagai acuan untuk merancang sebuah dapur pembakaran, sehingga dapat diketahui jumlah pasokan oksigen untuk dapur. Metode penelitian yang digunakan adalah eksperimental eksploratif yang bertujuan untuk menggali temuan baru berupa teori dari suatu penelitian. Hasil physical properties mikroalga Spirulina platensis memiliki kandungan moisture 7,88%, volatile matter 74,76%, fix carbon 8,75%, ash 8,61%, dan nilai kalor sebesar 16,57 MJ/kg. Hasil physical properties tongkol jagung memiliki kandungan moisture 7,44%, volatile matter 73,13%, fix carbon 10,59%, ash 8,54%, dan nilai kalor sebesar 17,24 MJ/kg. Hasil Chemical properties menunjukkan data komposisi kimia dari Spirulina platensis yang didominasi unsur C sebesar 43,55 + 3,5 wt% dan unsur O sebesar 22,86+4,35 wt%. Hasil Chemical properties tongkol jagung didominasi unsur C sebesar 62,48+1,62 wt% dan unsur O sebesar 30,16+3,64 wt%. Pengujian Differential Thermal Analysis (DTA) dekomposisi pembakaran campuran mikroalga Spirulina platensis dan tongkol jagung menghasilkan empat tahapan dekomposisi yaitu: a) pelepasan moisture, b) pelepasan volatile, c) pelepasan arang, dan d) abu sebagai sisa pembakaran.
DEKOMPOSISI PEMBAKARAN MIKROALGA SPIRULINA PLATENSIS PADA VARIASI KADAR KATALIS ZINC OXIDESEBAGAI BAHAN BAKAR ALTERNATIF TERBARUKAN Muhammad Misbachul Huda
Abstrak
ABSTRAK
Huda, Muhammad Misbachul, Dekomposisi Pembakaran Mikroalga Spirulina Platensis Pada Variasi Kadar Katalis Zinc Oxide Sebagai Bahan Bakar Alternatif Terbarukan. Skripsi, Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Negeri Malang. Pembimbing: (I) Dr. Sukarni, S.T., M.T.(II) Rr. Poppy Puspitasari, S.Pd., M.T. Ph.D. Kata Kunci: Mikrolaga Spirulina platensis, Analisis thermogravimetric, dekomposisi pembakaran, ZnO. Menipisnya cadangan bahan bakar minyak dunia khususnya dari bahan bakar fosil yang tidak dapat diperbarui telah menimbulkan masalah berupa krisis energi. Banyak cara menangani masalah ini salah satunya dengan penghematan penggunaan. Namun, penghematan saja belum cukup menyelesaikan masalah. Perlu ada tindakan lebih dari sekedar mengurangi pemakaian misalnya dengan menciptakan energi terbarukan. Mikroalga dengan laju pertumbuhannya yang cepat, dan telah dilakuka n penelitian bahwa mikroalga dapat menghasilkan biofuel, yakni biodiesel dan bioethanol, menjadikan latar belakang tulisan ini untuk meneliti mikroalga sebagai bahan bakar alternatif terbarukan, dengan dilihat dari dekomposisi pembakaran menggunakan katalis zinc oxide. Pengujian dilakukan dengan mikroalga Spirulina p. dibakar dengan pada suhu ruangan hingga suhu 1200 oC dengan laju pemanasan 10 oC/min pada udara atmosphere dengan laju udara 50 ml/min. dengan didapatkan bahwa, semakin tinggi kadar katalis, semakin banyak pula massa Spirulina p. yang dilepaskan pada saat pembakaran. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dekomposisi pembakaran campuran mikroalga Spirulina p. dan zinc oxide sebagai bahan bakar terbarukan. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan penelitian eksperimental. Metode tersebut merupakan metode yang mengidentifikasi sifat mendasar terlebih dahulu pada material yang diteliti kemudian dilakukan beberapa pengujian untuk diketahui data dan info tema penelitian yang diangkat. Berdasarkan hasil penelitian dekomposisi pembakaran mikroalga Spirulina p. terjadi pada 4 tahap pembakaran. Tahap pertama merupakan tahap pelepasan kandungan moisture, tahap kedua adalah tahap dimana volatil matters terlepas, kemudian tahap ke tiga proses terdekomposisi dan terlepasnya fixed carbon, serta tahap ke empat adalah tahap akhir dari dekomposisi pembakaran, tahap ini merupakan proses dekomposisi lambat abu. Dibandingkan di antara lima variasi, kadar zinc oxide yang paling baik digunakan untuk campuran biomassa mikroalga Spirulina p. adalah 6% dan 9 % dari massa total sampel. Penambahan 6% dan 9% katalis zinc oxide dapat mempercepat laju kehilangan massa, zinc oxide dengan kadar 6% dan 9% juga efektif digunakan untuk menghilangkan moisture, volatil matter, dan fixed carbon jika dibandingkan dengan zinc oxide dengan kadar 3%, 12% dan 15%. Selain itu zinc oxide dengan kadar 6% dan 9% mampu menurunkan temperatur pembakaran masing-masing sekitar 13,7 oC dan 10,9 oC pada tahap pelepasan moisture. Zinc oxide dengan kadar 6%, dan 9% mampu menurunkan temperatur masing-masing sekitar 7 oC dan 4,8 oC pada laju pelepasan volatile matter. Pada pelepasan fixed carbon zinc oxide kadar 9% mampu menurunkan temperatur masing-masing sekitar 5 oC.
Konversi Energi Biomassa Teknologi konversi biomassa tentu saja membutuhkan perbedaan pada alat yang digunakan untuk mengkonversi biomassa dan menghasilkan perbedaan bahan bakar yang dihasilkan. Secara umum teknologi konversi biomassa menjadi bahan bakar dapat dibedakan menjadi tiga yaitu pembakaran langsung, konversi termokimiawi dan konversi biokimiawi. Pembakaran langsung merupakan teknologi yang paling sederhana karena pada umumnya biomassa telah dapat langsung dibakar. Beberapa biomassa perlu dikeringkan terlebih dahulu dan didensifikasi untuk kepraktisan dalam penggunaan. Konversi termokimiawi merupakan teknologi yang memerlukan perlakuan termal untuk memicu terjadinya reaksi kimia dalam menghasilkan bahan bakar. Sedangkan konversi biokimiawi merupakan teknologi konversi yang menggunakan bantuan mikroba dalam menghasilkan bahan bakar.
Gambar 1
Teknologi
Konversi
Biomassa
Pengetahuan awal tentang jenis proses konversi biomassa menjadi energi m erupakan pertimbangan penting dalam perencanaan, karena akan menentukan jenis mesin atau teknologipembangut yang akan digunakan. Proses konversi biomassa iti terbagi dua kelompok utamayaitu proses termokimia dan proses biokimia. Pada proses termokimia, biomassa dapat dibakar (combustion), dijadikan gas (gasication), atau diproses secara pirolisa. Pada proses biokimia, biomassa akan ditampung dalam tangki (seperti dalam pencernaan mahluk hidup) tanpa adamasukan oksigen. Penjelasan dua kelompok proses itu disajikan pada Tabel 1. berikut ini. Tabel 1. Dua Tipe Proses Konversi Biomassa
STRATEGI PERENCANAAN PEMBANGUNANPEB ER BA SI S BI OMA SS A
Pengolahan biomassa menjadi bioenergi dapat dilakukan dalam tiga cara : (i) (ii)
pembakaran produksi
bahan
biomassa bakar
gas
padat dari
biomassa
(iii) produksi bahan bakar cair dari biomassa. Cara yang pertama adalah dengan membakar langsung biomassa dan diambil energi panasnya. Energi panas ini dapat digunakan untuk apa saja, bisa sebagai pemanas ruangan, ventilasi, atau jika dalam terminologi kelistrikan, energi panas ini kemudian digunakan untuk memanaskan dan menguapkan air pada aplikasi turbin uap. Biomassa yang digunakan bisa apa saja, namun umumnya adalah sisa produk hutan dan pertanian, arang, atau sampah kota (pada PLTSa). Pengolahan biomassa dengan cara ini umumnya sudah ditinggalkan (kecuali pada PLTSa), karena walaupun teknologinya sederhana namun efisiensinya sangat rendah. Selain itu biomassa padat memiliki kerapatan energi yang relatif kecil, sehingga proses transportasinya memakan biaya yang besar. Khusus untuk biomassa sampah kota, PLTSa dapat menjadi solusi yang menarik untuk dikembangkan, mengingat produksi sampah kota terus meningkat dari tahun ke tahun. PLTSa di dunia kini sudah mencapai lebih dari 3 GW dengan setengahnya berada di eropa. Di Indonesia sendiri PLTSa masih menjadi solusi yang sulit untuk diterapkan. Penolakan terhadap PLTSa umumnya disebabkan kekhawatiran masyarakat akan pencemaran lingkungan, terutama pencemaran udara. Namun tidak perlu khawatir karena teknologi PLTSa yang berkembang saat ini sudah dilengkapi dengan sistem pengeringan dan filter abu. Sistem ini berfungsi untuk mengurangi unsur-unsur kimia berbahaya yang terkandung pada abu gas buangan, sehingga gas buangan PLTSa masih dalam taraf aman.
Gambar 2. Pembangkit Listrik tenaga sampah Cara yang kedua adalah produksi biomassa dalam bentuk gas. Ada beberapa alasan dibalik berkembangnya teknologi ini. Hasil yang didapatkan melalui produk biogas ini selain dapat dimanfaatkan untuk pembakaran biasa / pemanasan, ternyata bisa juga digunakan sebagai bahan bakar pada mesin bakar dan turbin gas. Produk biogas juga menawarkan efisiensi yang lebih tinggi dari pembakaran biomassa padat, selain itu karena dalam bentuk gas, penyalurannya relatif lebih mudah (bisa dengan menggunakan pipa). Konversi kedalam bentuk gas dapat dilakukan melalui proses biokimia dan termokimia. Untuk proses biokimia, digunakan anaerob yang kemudian akan memecah materi organik kedalam senyawa gula, dan kemudian menjadi zat asam, dan akhirnya menjadi gas. Pada tahun 1999, Inggris telah memiliki 1-MW-anaerobic-disgestion-plant . Sementara di Cina ada 5 juta pembangkit anaerob skala kecil pada pertengahan 1990 dan di India ada 2.8 juta yang sudah terpasang sejak 1998 dan akan membangun lagi 12 juta pembangkit anaerob skala kecil. Untuk proses termokimia, gasifikasi dilakukan dengan cara yang tidak jauh berbeda dengan proses gasifikasi batu bara, hanya saja yang menjadi objeknya adalah biomassa. Produksi gasifikasi dalam kondisi tertentu dapat menghasilkan gas sintesis, kombinasi antara hidrokarbon dan hidrogen. Dari gas sintesis ini hampir seluruh hidrokarbon, bensin sintesis dan bahkan hidrogen murni dapat dibentuk (yang nantinya dapat digunakan pada fuel cell). Tantangan dari biogas ini adalah proses pembuatannya yang rumit, dan di negara berkembang seperti indonesia ini masih membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk investasi awalnya. Cara yang ketiga adalah dengan memproduksi biofuel cair dari biomassa. Fokus terbesar pengembangan bioenergi terletak pada biofuel sebagai pengganti bahan bakar minyak. Ada tiga macam olahan biofuel yang dapat mereduksi penggunaan bahan bakar minyak, yaitu (i) bio-ethanol (ii) bio-diesel (iii) bio-oil. Bio-ethanol
didapatkan
melalui
proses
fermentasi.
Proses
fermentasi
ini
membutuhkan produk gula, sehingga sumber paling efektif untuk digunakan dalam produksi bio-etanol ini adalah tebu. Brazil adalah negara terbesar penghasil ethanol dari residu gula. Kegunaan dari bio-ethanol adalah dapat mereduksi penggunaan bensin, yaitu dengan mencampurkan bio-ethanol kedalam bensin (premium). Salah satu produknya yang sudah
banyak dikenal adalah Gasohol E-10, didapatkan dengan mencampurkan 10% Bio-ethanol dengan 90% premium. Seiring dengan perkembangan teknologi, bukan tidak mungkin campuran Bio-ethanol di kemudian hari akan semakin besar persentasenya. Bio-diesel didapatkan melalui transesterifikasi minyak sayur (diekstrak da ri biji-bijian seperti jarak, kelapa sawit, dsb). Sebenarnya minyak sayur dapat digunakan langsung pada mesin diesel, hal senada diungkapkan oleh Dr Rudolf Diesel pada tahun 1911 dalam tulisannya, hal ini disebabkan minyak sayur memiliki kandungan energi yang tidak jauh berbeda (37-39 Gj/t) dengan solar (42 Gj/t). Namun bio-diesel lebih dipilih karena minyak sayur memiliki pembakaran yang tidak sempurna jika dioperasikan langsung pada mesin diesel. Kegunaan dari bio-diesel adalah dapat mereduksi penggunaan solar, yaitu dengan mencampurkan bio-diesel kedalam solar. Salah satu produknya yang sudah banyak dikenal adalah Biodiesel B-10, didapatkan dengan mencampurkan 10% Bio-diesel dengan 90% solar. Di beberapa negara iklim tropis seperti filipina dan Brazil, campuran 70% solar dengan 30% minyak sayur tanpa transesterifikasi dilakukan untuk menggantikan diesel. Namun, biasanya sektor pangan dan kosmetik mau membayar lebih mahal, sehingga hal tersebut hanya dilakukan pada daerah tertentu yang kekurangan supply solar. Produksi biodiesel dunia kini mencapai lebih dari 1.5 juta ton per tahunnya. Dan kini pemerintah USA serta Inggris sedang mengembangkan teknologi biodiesel dari minyak jelantah. Bio-oil didapatkan melalui proses pyrolisis dari sekam, tempurung kelapa, jarak atau kelapa sawit. Proses ini melibatkan penguapan material biomassa sehingga terbagi menjadi uap dan padatan residu. Kemudian uapnya diembunkan sehingga dihasilkan cairan bio-oil yang membawa kandungan energi cukup besar. Bio-oil digunakan sebagai pengganti solar industri (IDO), Marine Fuel Oil (MFO), dan kerosin. Bio-oil dapat digunakan pada pembangkit listrik diesel
Gambar 3. Penggunaan Kelapa Sawit sebagai pembangkit listrik diesel