BAB 4 HASIL PENELITIAN
4.1. Gambaran Umum Puskesmas Parsoburan Kota Pematangsiantar
Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Pematangsiantar Nomor 15 Tahun 1986 tentang pembentukan Kecamatan Siantar Marihat. Puskesmas Parsoburan terletak di Kelurahan Sukamakmur Kecamatan Siantar Marihat berada pada 3°.01´.09´ LU dan 99°.06´.23´ BT, dengan ketinggian ± 400 meter di atas permukaan laut. Batas wilayah kerja Puskemas Parsoburan:
- Sebelah Utara
: Kecamatan Siantar Selatan, Kecamatan Siantar Timur dan Kabupaten Simalungun
- Sebelah Selatan : Kecamatan Siantar Marimbun dan Kab. Simalungun - Sebelah Barat
: Kecamatan Siantar Marimbun, Kecamatan Siantar Selatan dan Kecamatan Siantar Timur
- Sebelah Timur : Kabupaten Simalungun Wilayah kerja UPTD Puskesmas Parsoburan, yang meliputi: 1. Kelurahan Sukamaju 2. Kelurahan Sukamakmur
53
54
Kelurahan
yang paling banyak jumlah penduduknya adalah Kelurahan
Sukamaju (3.868 jiwa), sedangkan Kelurahan yang paling sedikit jumlah penduduknya adalah Kelurahan Sukamakmur (1.747 jiwa). Jika dilihat jumlah penduduk menurut golongan umur di Kecamatan Siantar Marihat, maka kelompok umur terbesar adalah kelompok usia 15-19 tahun sebanyak 13,88% laki-laki dan 10,49% perempuan, disusul kelompok usia 10-14 tahun sebanyak 10,41% laki-laki dan 10,10%
perempuan.
Sedangan kelompok umur
paling sedikit adalah kelompok umur 75 tahun ke atas sebesar 1,11% laki-laki dan 2,22% perempuan. Sebagaimana diketahui bahwa penyelenggaraan kesehatan tidak hanya dilakukan pemerintah, tetapi juga diselenggarakan oleh swasta. Oleh karena itu gambaran situasi ketersediaan tenaga kesehatan baik yang bekerja disektor pemerintah maupun sektor swasta perlu diketahui. Namun saat ini data tenaga kesehatan yang bekerja disektor swasta sangat sulit diperoleh, data yang tersedia adalah tenaga kesehatan yang bekerja di Puskesmas yaitu: dokter umum 2 orang, dokter gigi 1 orang, perawat 9 orang, bidan 7 orang, apoteker 1 orang, tenaga gizi 1 orang, sanitarian 1 orang, tenaga kesehatan masyarakat 1 orang, dan tenaga kesehatan lainnya (penunjang administrasi/pengelola program).
54
Kelurahan
yang paling banyak jumlah penduduknya adalah Kelurahan
Sukamaju (3.868 jiwa), sedangkan Kelurahan yang paling sedikit jumlah penduduknya adalah Kelurahan Sukamakmur (1.747 jiwa). Jika dilihat jumlah penduduk menurut golongan umur di Kecamatan Siantar Marihat, maka kelompok umur terbesar adalah kelompok usia 15-19 tahun sebanyak 13,88% laki-laki dan 10,49% perempuan, disusul kelompok usia 10-14 tahun sebanyak 10,41% laki-laki dan 10,10%
perempuan.
Sedangan kelompok umur
paling sedikit adalah kelompok umur 75 tahun ke atas sebesar 1,11% laki-laki dan 2,22% perempuan. Sebagaimana diketahui bahwa penyelenggaraan kesehatan tidak hanya dilakukan pemerintah, tetapi juga diselenggarakan oleh swasta. Oleh karena itu gambaran situasi ketersediaan tenaga kesehatan baik yang bekerja disektor pemerintah maupun sektor swasta perlu diketahui. Namun saat ini data tenaga kesehatan yang bekerja disektor swasta sangat sulit diperoleh, data yang tersedia adalah tenaga kesehatan yang bekerja di Puskesmas yaitu: dokter umum 2 orang, dokter gigi 1 orang, perawat 9 orang, bidan 7 orang, apoteker 1 orang, tenaga gizi 1 orang, sanitarian 1 orang, tenaga kesehatan masyarakat 1 orang, dan tenaga kesehatan lainnya (penunjang administrasi/pengelola program).
55
Dalam rangka rangka mencapai tujuan pembangunan kesehatan yang meningkatkan derajat kesehatan masyarakat di Kecamatan Siantar Marihat, telah dilakukan berbagai upaya pelayanan kesehatan masyarakat yang dikembangkan di UPTD Puskesmas Parsoburan. Berikut ini diuraikan gambaran situasi pelayanan kesehatan lansia. Pelayanan kesehatan usia lanjut (usila (usila ≥ 60 tahun), selama tahun 2015 pelaksanaan pelayanan kesehatan usila selain dilakukan di Puskesmas, juga dilaksanakan pada kelompok-kelompok masyarakat seperti seperti Posyandu Lansia. Dari jumlah Usila yang ada 476 orang, yang mendapat pelayanan kesehatan adalah 377 orang (79,2 %) .
4.2. Hubungan Umur dengan Kepatuhan Responden (Penderita Hipertensi) Peserta Prolanis dalam Menjalani Pengobatan di Wilayah Kerja Puskesmas Parsoburan Kota Pematangsiantar Tahun 2017
Pada tabel 3 tertera distribusi frekuensi umur responden (penderita hipertensi) peserta Prolanis di wilayah kerja Puskesmas P uskesmas Parsoburan Kota Pematangsiantar Tahun 2017. Umur responden (penderita hipertensi) paling banyak adalah kelompok pralansia sebanyak 43 orang (56,60%) dan paling sedikit kelompok lansia sebanyak 33 orang (43,40%). Tabel 3. Distribusi Frekuensi Umur Responden (Penderita Hipertensi) Peserta Peserta Prolanis Di Wilayah Kerja Puskesmas Parsoburan Kota Pematangsiantar Tahun 2017 No. 1.
Umur 1. Pralansia 2. Lansia Jumlah
f 43 33 76
% 56,60 43,40 100,00
56
Berdasarkan uji X2 sebagaimana tertera pada tabel 4 bahwa tidak ada hubungan yang signifikan (p > 0,05) antara umur responden (penderita hipertensi) dengan kepatuhan dalam menjalani pengobatan. Kepatuhan responden (penderita hipertensi) dalam menjalani pengobatan paling banyak dengan kepatuhan tinggi baik pada pralansia maupun lansia, sehingga umur responden (penderita hipertensi) tidak berhubungan dengan kepatuhan dalam menjalani pengobatan. Tabel 4. Hasil Uji X2 Hubungan Umur dengan Kepatuhan Responden (Penderita Hipertensi) Peserta Prolanis dalam Menjalani Pengobatan di Wilayah Kerja Puskesmas Parsoburan Kota Pematangsiantar Tahun 2017 Umur
Pralansia Lansia
Kepatuhan Rendah Tinggi 1 42 1 32 2 74
Jumlah
p
43 33 76
1,000
4.3. Hubungan Jenis Kelamin dengan Kepatuhan Responden (Penderita Hipertensi) Peserta Prolanis dalam Menjalani Pengobatan di Wilayah Kerja Puskesmas Parsoburan Kota Pematangsiantar Tahun 2017
Pada tabel 5 tertera distribusi frekuensi jenis kelamin responden (penderita hipertensi) peserta Prolanis di wilayah kerja Puskesmas Parsoburan Kota Pematangsiantar Tahun 2017. Jenis kelamin responden (penderita hipertensi) paling banyak adalah perempuan sebanyak 41 orang (53,90%) dan paling sedikit laki-laki sebanyak 35 orang (46,10%).
57
Tabel 5. Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Responden (Penderita Hipertensi) Peserta Prolanis Di Wilayah Kerja Puskesmas Parsoburan Kota Pematansiantar Tahun 2017 No. 1.
Jenis Kelamin 1. Laki-laki 2. Perempuan Jumlah
f 35 41 76
% 46,10 53,90 100,00
Berdasarkan uji X2 sebagaimana tertera pada tabel 6 bahwa tidak ada hubungan yang signifikan (p > 0,05) antara jenis kelamin responden (penderita hipertensi) dengan kepatuhan dalam menjalani pengobatan. Kepatuhan responden (penderita hipertensi) dalam menjalani pengobatan paling banyak dengan kepatuhan tinggi baik laki-laki maupun perempuan, sehingga jenis kelamin responden (penderita hipertensi) tidak berhubungan dengan kepatuhan dalam menjalani pengobatan. Tabel 6. Hasil Uji X2 Hubungan Jenis Kelamin dengan Kepatuhan Responden (Penderita Hipertensi) Peserta Prolanis dalam Menjalani Pengobatan di Wilayah Kerja Puskesmas Parsoburan Kota Pematangsiantar Tahun 2017 Jenis Kelamin
Laki-laki Perempuan
Kepatuhan Rendah Tinggi 0 35 2 39 2 74
Jumlah
p
35 41 76
0,496
58
4.4. Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Kepatuhan Responden (Penderita Hipertensi) Peserta Prolanis dalam Menjalani Pengobatan di Wilayah Kerja Puskesmas Parsoburan Kota Pematangsiantar Tahun 2017
Pada tabel 7 tertera distribusi frekuensi tingkat pendidikan responden (penderita hipertensi) peserta Prolanis di wilayah kerja Puskesmas Parsoburan Kota Pematangsiantar Tahun 2017. Tingkat pendidikan responden (penderita hipertensi) paling banyak adalah tingkat pendidikan menengah sebanyak 61 orang (53,90%) dan paling sedikit adalah tingkat pendidikan perguruan tinggi sebanyak 16 orang (21,20%). Tabel 7. Distribusi Frekuensi Tingkat Pendidikan Responden (Penderita Hipertensi) Peserta Prolanis Di Wilayah Kerja Puskesmas Parsoburan Kota Pematansiantar Tahun 2017 No. 1.
Tingkat Pendidikan 1. Rendah 2. Menengah 3. Perguruan Tinggi Jumlah
f 19 61 16 76
% 25,00 53,90 21,20 100,00
Berdasarkan uji Mann-Whitney sebagaimana tertera pada tabel 8 bahwa tidak ada hubungan yang signifikan (p > 0,05) antara tingkat pendidikan responden (penderita hipertensi) dengan kepatuhan dalam menjalani pengobatan. Kepatuhan responden (penderita hipertensi) dalam menjalani pengobatan paling banyak dengan kepatuhan tinggi pada tingkat pendidikan rendah, menengah dan pendidikan tinggi, sehingga tingkat pendidikan responden (penderita hipertensi) tidak berhubungan dengan kepatuhan dalam menjalani pengobatan.
59
Tabel 8. Hasil Uji X2 Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Kepatuhan Responden (Penderita Hipertensi) Peserta Prolanis dalam Menjalani Pengobatan di Wilayah Kerja Puskesmas Parsoburan Kota Pematangsiantar Tahun 2017 Tingkat Pendidikan
Rendah Menengah Pendidikan Tinggi
Kepatuhan Rendah Tinggi 0 19 1 40 1 15 2 74
Jumlah
p
19 41 16 76
0,258
4.5. Hubungan Status Pekerjaan dengan Kepatuhan Responden (Penderita Hipertensi) Peserta Prolanis dalam Menjalani Pengobatan di Wilayah Kerja Puskesmas Parsoburan Kota Pematangsiantar Tahun 2017
Pada tabel 9 tertera distribusi frekuensi status pekerjaan responden (penderita hipertensi) peserta Prolanis di wilayah kerja Puskesmas Parsoburan Kota Pematangsiantar Tahun 2017. Status pekerjaan responden (penderita hipertensi) paling banyak adalah bekerja (sebagai PNS, TNI/Polri, buruh, pegawai swasta, pedagang, dan petani) sebanyak 55 orang (72,40%) dan paling sedikit adalah tidak bekerja (termasuk pensiunan TNI/Polri) sebanyak 21 orang (27,60%). Tabel 9. Distribusi Frekuensi Status Pekerjaan Responden (Penderita Hipertensi) Peserta Prolanis Di Wilayah Kerja Puskesmas Parsoburan Kota Pematansiantar Tahun 2017 No. 1.
Status Pekerjaan 1. Tidak bekerja 2. Bekerja Jumlah
f 21 55 229
% 27,60 72,40 100,00
60
Berdasarkan uji X2 sebagaimana tertera pada tabel 10 bahwa tidak ada hubungan yang signifikan (p > 0,05) antara status pekerjaan responden (penderita hipertensi) dengan kepatuhan dalam menjalani pengobatan. Kepatuhan responden (penderita hipertensi) dalam menjalani pengobatan paling banyak dengan kepatuhan tinggi pada status pekerjaan baik tidak bekerja maupun bekerja,
sehingga
status
pekerjaan
responden
(penderita
hipertensi)
tidak
berhubungan dengan kepatuhan dalam menjalani pengob atan. Tabel 10. Hasil Uji X2 Hubungan Status Pekerjaan dengan Kepatuhan Responden (Penderita Hipertensi) Peserta Prolanis dalam Menjalani Pengobatan di Wilayah Kerja Puskesmas Parsoburan Kota Pematangsiantar Tahun 2017 Status Pekerjaan
Tidak Bekerja Bekerja
Kepatuhan Rendah Tinggi 0 21 2 53 2 74
Jumlah
p
21 55 76
0,496
4.6. Hubungan Lama Menderita Hipertensi dengan Kepatuhan Responden (Penderita Hipertensi) Peserta Prolanis dalam Menjalani Pengobatan di Wilayah Kerja Puskesmas Parsoburan Kota Pematangsiantar Tahun 2017
Pada tabel 11 tertera distribusi frekuensi lama responden menderita hipertensi peserta Prolanis di wilayah kerja Puskesmas Parsoburan Kota Pematangsiantar Tahun 2017. Lama responden menderita hipertensi paling banyak > 3 tahun sebanyak 56 orang (73,70%) dan paling sedikit ≤ 3 tahun sebanyak 20 orang (26,30%).
61
Tabel 11. Distribusi Frekuensi Lama Responden Menderita Hipertensi Peserta Prolanis Di Wilayah Kerja Puskesmas Parsoburan Kota Pematansiantar Tahun 2017 No. 1.
Lama Menderita Hipertensi 1. ≤ 3 tahun 2. > 3 tahun Jumlah
f 20 56 76
% 26,30 73,70 100,00
Berdasarkan uji X2 sebagaimana tertera pada tabel 12 bahwa ada hubungan yang signifikan (p < 0,05) antara lama menderita hipertensi responden (penderita hipertensi) dengan kepatuhan dalam menjalani pengobatan. Kepatuhan responden (penderita hipertensi) tinggi dalam menjalani pengobatan paling banyak pada lama menderita hipertensi > 3 tahun, sedangkan pula kepatuhan responden (penderita hipertensi) rendah dalam menjalani pengobatan paling banyak pada lama menderita hipertensi
≤
3 tahun, sehingga lama menderita hipertensi
responden (penderita hipertensi) berhubungan dengan kepatuhan dalam menjalani pengobatan. Tabel 12. Hasil Uji X2 Hubungan Lama Menderita Hipertensi dengan Kepatuhan Responden (Penderita Hipertensi) Peserta Prolanis dalam Menjalani Pengobatan di Wilayah Kerja Puskesmas Parsoburan Kota Pematangsiantar Tahun 2017 Lama Menderita Hipertensi ≤ 3 tahun > 3 tahun
Kepatuhan Rendah Tinggi 13 7 0 56 13 63
Jumlah
p
20 56 76
0,000
62
4.7. Hubungan Tingkat Pengetahuan tentang Hipertensi dengan Kepatuhan Responden (Penderita Hipertensi) Peserta Prolanis dalam Menjalani Pengobatan di Wilayah Kerja Puskesmas Parsoburan Kota Pematangsiantar Tahun 2017
Pada tabel 13 tertera distribusi frekuensi tingkat pengetahuan responden (penderita hipertensi) peserta Prolanis di wilayah kerja Puskesmas Parsoburan Kota Pematangsiantar Tahun 2017. Tingkat pengetahuan responden (penderita hipertensi) paling banyak adalah tinggi sebanyak 76 orang (98,70%) dan paling sedikit adalah rendah sebanyak 1 orang (1,30%). Tabel 13. Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan Responden (Penderita Hipertensi) Peserta Prolanis Di Wilayah Kerja Puskesmas Parsoburan Kota Pematansiantar Tahun 2017 No. 1.
Tingkat Pengetahuan 1. Rendah 2. Tinggi Jumlah
f 1 75 76
% 1,30 98,70 100,00
Berdasarkan uji X2 sebagaimana tertera pada tabel 14 bahwa ada hubungan yang signifikan (p < 0,05) antara tingkat pengetahuan responden (penderita hipertensi) dengan kepatuhan dalam menjalani pengobatan. Kepatuhan responden (penderita hipertensi) tinggi dalam menjalani pengobatan paling banyak pada tingkat pengetahuan tinggi, sedangkan kepatuhan responden (penderita hipertensi) rendah dalam menjalani pengobatan paling banyak pada tingkat pendidikan rendah, sehingga tingkat pengetahuan responden (penderita hipertensi) berhubungan dengan kepatuhan dalam menjalani pengob atan.
63
Tabel 14. Hasil Uji X2 Hubungan Tingkat Pengetahuan tentang Hipertensi dengan Kepatuhan Responden (Penderita Hipertensi) Peserta Prolanis dalam Menjalani Pengobatan di Wilayah Kerja Puskesmas Parsoburan Kota Pematangsiantar Tahun 2017 Tingkat Pengetahuan
Rendah Tinggi
Kepatuhan Rendah Tinggi 11 1 2 62 13 63
Jumlah
p
12 64 76
0,000
4.8. Hubungan Keterjangkauan Akses Pelayanan dengan Kepatuhan Responden (Penderita Hipertensi) Peserta Prolanis dalam Menjalani Pengobatan di Wilayah Kerja Puskesmas Parsoburan Kota Pematangsiantar Tahun 2017
Pada tabel 15 tertera distribusi frekuensi keterjangkauan akses pelayanan kesehatan responden (penderita hipertensi) peserta Prolanis di wilayah kerja Puskesmas Parsoburan Kota Pematangsiantar tahun 2017. Keterjangkauan akses pelayanan kesehatan responden (penderita hipertensi) paling banyak adalah jauh sebanyak 40 orang (52,60%) dan keterjangkauan akses pelayanan kesehatan responden (penderita hipertensi) paling sedikit adalah dekat sebanyak 36 orang (47,40%). Tabel 15. Distribusi Frekuensi Keterjangkauan Akses Pelayanan Kesehatan Responden (Penderita Hipertensi) Peserta Prolanis Di Wilayah Kerja Puskesmas Parsoburan Kota Pematangsiantar Tahun 2017 No. 1.
Tingkat Pengetahuan 1. Dekat 2. Jauh Jumlah
f 36 40 76
% 47,40 52,60 100,00
64
Berdasarkan uji X2 sebagaimana tertera pada tabel 16 bahwa ada hubungan yang signifikan (p < 0,05) antara keterjangkauan akses pelayanan kesehatan responden (penderita hipertensi) dengan kepatuhan dalam menjalani pengobatan. Kepatuhan responden (penderita hipertensi) tinggi dalam menjalani pengobatan paling banyak pada keterjangkauan akses pelayanan kesehatan yang dekat, demikian pula kepatuhan responden (penderita hipertensi) rendah dalam menjalani pengobatan paling banyak pada keterjangkauan akses pelayanan kesehatan yang jauh, sehingga keterjangkauan
akses
pelayanan
kesehatan
responden
(penderita
hipertensi)
berhubungan dengan kepatuhan dalam menjalani pengobatan. Tabel 16. Hasil Uji X2 Keterjangkauan Akses Pelayanan Kesehatan dengan Kepatuhan Responden (Penderita Hipertensi) Peserta Prolanis dalam Menjalani Pengobatan di Wilayah Kerja Puskesmas Parsoburan Kota Pematangsiantar Tahun 2017 Keterjangkauan Akses Pelayanan Dekat Jauh
Kepatuhan Rendah Tinggi 7 23 33 13 40 63
Jumlah
p
30 46 76
0,000
4.9. Hubungan Motivasi dengan Kepatuhan Responden (Penderita Hipertensi) Peserta Prolanis dalam Menjalani Pengobatan di Wilayah Kerja Puskesmas Parsoburan Kota Pematangsiantar Tahun 2017
Pada tabel 17 tertera distribusi frekuensi motivasi responden (penderita hipertensi) peserta Prolanis di wilayah kerja Puskesmas Parsoburan Kota Pematangsiantar tahun 2017. Motivasi responden (penderita hipertensi) paling
65
banyak adalah tinggi sebanyak 64 orang (84,20%) dan paling sedikit adalah rendah sebanyak 12 orang (15,80%). Tabel 17. Distribusi Motivasi Responden Prolanis Di Wilayah Kerja Pematansiantar Tahun 2017 No. 1.
Motivasi 1. Rendah 2. Tinggi Jumlah
(Penderita Hipertensi) Peserta Puskesmas Parsoburan Kota
f 12 64 76
% 15,80 84,20 100,00
Berdasarkan uji X2 sebagaimana tertera pada tabel 18 bahwa ada hubungan yang signifikan (p < 0,05) antara motivasi responden (penderita hipertensi) dengan kepatuhan dalam menjalani pengobatan. Kepatuhan responden (penderita hipertensi) tinggi dalam menjalani pengobatan paling banyak pada motivasi yang tinggi, demikian pula kepatuhan responden (penderita hipertensi) rendah dalam menjalani pengobatan paling banyak pada motivasi yang rendah, sehingga motivasi berhubungan dengan kepatuhan dalam menjalani pengobatan. Tabel 18. Hasil Uji X2 Motivasi dengan Kepatuhan Responden (Penderita Hipertensi) Peserta Prolanis dalam Menjalani Pengobatan di Wilayah Kerja Puskesmas Parsoburan Kota Pematangsiantar Tahun 2017 Motivasi
Rendah Tinggi
Kepatuhan Rendah Tinggi 12 4 1 59 13 63
Jumlah
p
16 60 76
0,000
66
4.10. Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kepatuhan Responden (Penderita Hipertensi) Peserta Prolanis dalam Menjalani Pengobatan di Wilayah Kerja Puskesmas Parsoburan Kota Pematangsiantar Tahun 2017
Pada tabel 19 tertera distribusi frekuensi dukungan keluarga responden (penderita hipertensi) peserta Prolanis di wilayah kerja Puskesmas Parsoburan Kota Pematangsiantar Tahun 2017. Dukungan keluarga responden (penderita hipertensi) paling banyak adalah tinggi sebanyak 61 orang (80,30%) dan paling sedikit adalah rendah sebanyak 15 orang (19,70%). Tabel 19. Distribusi Dukungan Keluarga Responden (Penderita Hipertensi) Peserta Prolanis Di Wilayah Kerja Puskesmas Parsoburan Kota Pematansiantar Tahun 2017 No. 1.
Dukungan Keluarga 1. Rendah 2. Tinggi Jumlah
f 15 61 76
% 19,70 80,30 100,00
Berdasarkan uji X2 sebagaimana tertera pada tabel 20 bahwa ada hubungan yang signifikan (p < 0,05) antara dukungan keluarga responden (penderita hipertensi) dengan kepatuhan dalam menjalani pengobatan. Kepatuhan responden (penderita hipertensi) tinggi dalam menjalani pengobatan paling banyak pada dukungan keluarga yang tinggi, demikian pula kepatuhan responden (penderita hipertensi) rendah dalam menjalani pengobatan paling banyak pada dukungan keluarga yang rendah, sehingga dukungan keluarga berhubungan dengan kepatuhan dalam menjalani pengobatan.
67
Tabel 20. Hasil Uji X2 Dukungan Keluarga dengan Kepatuhan Responden (Penderita Hipertensi) Peserta Prolanis dalam Menjalani Pengobatan di Wilayah Kerja Puskesmas Parsoburan Kota Pematangsiantar Tahun 2017 Dukungan Keluarga
Rendah Tinggi
Kepatuhan Rendah Tinggi 17 2 2 55 19 57
Jumlah
p
19 57 76
0,000
4.11. Hubungan Peran Petugas Kesehatan dengan Kepatuhan Responden (Penderita Hipertensi) Peserta Prolanis dalam Menjalani Pengobatan di Wilayah Kerja Puskesmas Parsoburan Kota Pematangsiantar Tahun 2017
Pada tabel 21 tertera distribusi frekuensi peran petugas kesehatan terhadap responden (penderita hipertensi) peserta Prolanis di wilayah kerja Puskesmas Parsoburan Kota Pematangsiantar Tahun 2017. Ada peran petugas kesehatan terhadap responden (penderita hipertensi) paling banyak yaitu sebanyak 61 orang (80,30%) dan tidak ada peran petugas kesehatan paling sedikit yaitu sebanyak 15 orang (19,70%). Tabel 21. Distribusi Peran Petugas Kesehatan terhadap Responden (Penderita Hipertensi) Peserta Prolanis Di Wilayah Kerja Puskesmas Parsoburan Kota Pematansiantar Tahun 2017 No. 1.
Peran Petugas Kesehatan 1. Tidak Ada 2. Ada Jumlah
f 15 61 76
% 19,70 80,30 100,00
68
Berdasarkan uji X2 sebagaimana tertera pada tabel 22 bahwa ada hubungan yang signifikan (p < 0,05) antara peran petugas kesehatan terhadap responden (penderita hipertensi) dengan kepatuhan dalam menjalani pengobatan. Kepatuhan responden (penderita hipertensi) tinggi dalam menjalani pengobatan paling banyak pada adanya peran petugas kesehatan yang tinggi, demikian pula kepatuhan responden (penderita hipertensi) rendah dalam menjalani pengobatan paling banyak pada tidak adanya peran petugas kesehatan, sehingga peran petugas terhadap responden (penderita hipertensi) berhubungan dengan kepatuhan dalam menjalani pengobatan. Tabel 22. Hasil Uji X2 Peran Petugas Kesehatan dengan Kepatuhan Responden (Penderita Hipertensi) Peserta Prolanis dalam Menjalani Pengobatan di Wilayah Kerja Puskesmas Parsoburan Kota Pematangsiantar Tahun 2017 Peran Petugas Kesehatan Tidak Ada Ada
Kepatuhan Rendah Tinggi 14 5 5 52 19 57
Jumlah
p
19 57 76
0,000
69
BAB 5 PEMBAHASAN
5.1. Hubungan Umur dengan Kepatuhan Responden (Penderita Hipertensi) Peserta Prolanis dalam Menjalani Pengobatan di Wilayah Kerja Puskesmas Parsoburan Kota Pematangsiantar Tahun 2017
Umur responden (penderita hipertensi) peserta Prolanis di wilayah kerja Puskesmas Parsoburan Kota Pematangsiantar tahun 2017 paling banyak kelompok pralansia (<60 tahun) dibanding lansia (60-74 tahun). Lai et. al. (2001) dalam Suhadi (2011) menyatakan bahwa lansia di Taiwan yang menderita hipertensi rata-rata umur 67,8-78,4 tahun. Berdasarkan uji X2 tidak ada hubungan yang signifikan (p > 0,05) antara umur responden (penderita hipertensi) dengan kepatuhan dalam menjalani pengobatan. Kepatuhan responden (penderita hipertensi) dalam menjalani pengobatan paling banyak dengan kepatuhan tinggi baik pada pralansia maupun lansia, sehingga umur responden (penderita hipertensi) tidak berhubungan dengan kepatuhan dalam menjalani pengobatan. Umur merupakan faktor resiko kuat yang tidak dapat dimodifikasi untuk kejadian hipertensi, tetapi dalam hal kepatuhan bukan menjadi patokan bahwa umur mempengaruhi kepatuhan dalam perawatan hipertensi. Penelitian ini kelompok pralansia dan lansia tinggi kepatuhannya dalam perawatan hipertensi. Disamping itu, ketidakpatuhan dalam perawatan hipertensi dapat disebabkan oleh persepsi individu
70
terhadap dampak sakit yang dirasakan serta respon sakit yang bervariasi serta berbagai alasan yang setiap individu yang sangat bervariasi, antara lain: kesibukan, merasa sudah sembuh, tidak adanya gejala hipertensi yang dirasakan. Kepatuhan minum obat secara umum menurut penelitian oleh Lin et al., (2007) menggambarkan kepatuhan penggunaan obat hipertensi pada lansia sebesar 57,6% dengan rata-rata kepatuhan penggunaan obat sebesar 39,3-44,4%. Dibandingkan penelitian sejenis oleh Kabir dkk (2004) tentang kepatuhan minum obat dalam kelompok umur 20-94 tahun mengkategorikan kepatuhan minum obat dalam kategori kepatuhan sedang sebesar 45,8%, kepatuhan baik sebesar 54,2%. Peningkatan tekanan darah bukan merupakan bagian normal dari ketuaan, dan berkaitan dengan tingginya insiden hipertensi pada lansia. Prevalensi hipertensi meningkat sampai 50% setelah umur 69 tahun (Kuswardhani, 2005). Bertambah usia juga berdampak pada sistem aorta dan arteri perifer menjadi kaku dan tidak lurus. Perubahan ini sebagai akibat peningkatan serat kolagen dan hilangnya elastisitas lapisan medial arteri. Lapisan intima menebal karena deposit kalsium. Kondisi ini berakibat meningkatkan kekakuan dan ketebalan arteri atau menjadi arteriosklerosis. Konsekuensi dari proses ini, aorta dan arteri mengalami vasodilatasi untuk menerima lebih banyak volume darah (Stanley dan Beare, 2006). Kepatuhan pada kelompok umur sangat berperan dalam kepatuhan dalam perawatan hipertensi. Lansia yang menderita hipertensi pada kelompok umur >75 tahun secara empiris lansia tersebut memiliki pengalaman yang panjang dalam
71
perawatan hipertensi yang lama, pengalaman berobat dan merasakan manfaat minum obat antihipertensi dapat mengurangi keluhan secara fisik. Pengalaman keberhasilan melakukan pengobatan tersebut menyebabkan lansia bertahan dalam kepatuhan perawatan hipertensi. Selain itu, faktor usia semakin bertambahnya usia seseorang, maka memiliki kecenderungan semakin meningkatnya tekanan darah karena faktor biologis. Peningkatan tekanan darah tersebut berdampak besarnya terhadap keluhan yang muncul secara fisik. Keluhan secara fisik dan besarnya resiko komplikasi yang dirasakan oleh lansia (Suhadi, 2011).
5.2. Hubungan Jenis Kelamin dengan Kepatuhan Responden (Penderita Hipertensi) Peserta Prolanis dalam Menjalani Pengobatan di Wilayah Kerja Puskesmas Parsoburan Kota Pematangsiantar Tahun 2017
Jenis kelamin responden (penderita hipertensi) peserta Prolanis di wilayah kerja Puskesmas Parsoburan Kota Pematangsiantar tahun 2017 lebih banyak perempuan dibanding laki-laki. Berdasarkan uji X2 tidak ada hubungan yang signifikan (p > 0,05) antara jenis kelamin responden (penderita hipertensi) dengan kepatuhan dalam menjalani pengobatan. Kepatuhan responden (penderita hipertensi) dalam menjalani pengobatan paling banyak dengan kepatuhan tinggi baik laki-laki maupun perempuan, sehingga jenis kelamin responden (penderita hipertensi) tidak berhubungan dengan kepatuhan dalam menjalani pengobatan.
72
Jenis kelamin dapat mempengaruhi persepsi terhadap penyakit hipertensi sebagai penyakit yang mengancam keselamatan ataupun penyakit yang serius. Persepsi bahwa hipertensi sebagai penyakit yang serius mengancam kesehatan lansia dan panjang umur hidup sehat sampai tua merupakan keinginan semua lansia baik laki-laki maupun perempuan sehingga dapat disimpulkan bahwa faktor umur tidak mempengaruhi kepatuhan dalam perawatan hipertensi pada lansia.
5.3. Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Kepatuhan Responden (Penderita Hipertensi) Peserta Prolanis dalam Menjalani Pengobatan di Wilayah Kerja Puskesmas Parsoburan Kota Pematangsiantar Tahun 2017
Tingkat pendidikan responden (penderita hipertensi) peserta Prolanis di wilayah kerja Puskesmas Parsoburan Kota Pematangsiantar tahun 2017 lebih banyak tingkat pendidikan menengah dibanding tingkat pendidikan rendah dan tinggi. Berdasarkan uji Mann-Whitney diperoleh bahwa tidak ada hubungan yang signifikan (p > 0,05) antara tingkat pendidikan responden (penderita hipertensi) dengan kepatuhan dalam menjalani pengobatan. Kepatuhan responden (penderita hipertensi) dalam menjalani pengobatan paling banyak dengan kepatuhan tinggi pada tingkat pendidikan rendah, menengah dan pendidikan tinggi, sehingga tingkat pendidikan responden (penderita hipertensi) tidak berhubungan dengan kepatuhan dalam menjalani pengobatan. Kelompok lansia yang berpendidikan menengah memiliki kepatuhan lebih besar 53,94% dalam perawatan hipertensi dibandingkan dengan kepatuhan dalam perawatan hipertensi pada kelompok lansia yang berpendidikan rendah dan tinggi.
73
Tingkat pendidikan seseorang dapat mempengaruhi untuk menyerap informasi, menyelesaikan masalah dan berperilaku baik. Pendidikan rendah juga berisiko ketidakpatuhan pada lansia dalam mengontrol kesehatannya (WHO, 2003). Zulfitri (2006) mengatakan bahwa lebih banyak lansia yang berpendidikan rendah 64,6% yang menderita hipertensi. Latar belakang pendidikan lansia tidak dapat menjadi menjadi suatu ukuran tentang patuh dan tidak patuh dalam perawatan dan bukan menjadi jaminan bahwa pendidikan yang tinggi menjadi identik dengan kepatuhan yang dilakukan oleh seseorang. Seseorang yang berpendidikan menengah atau tinggi tidak dapat diprediksi bahwa orang tersebut memiliki kepatuhan yang tinggi pula. Demikian juga pada seseorang yang berpendidikan rendah belum tidak dapat diprediksi bawa orang tersebut lebih rendah kepatuhannya terhadap perawatan hipertensi. Oleh karena itu hasil penelitian ini menggambarkan bahwa tingkat pendidikan lansia tidak berhubungan dan mempengaruhi perilaku patuh atau kepatuhan dalam perawatan hipertensi. Kepatuhan lansia dalam perawatan hipertensi dipengaruhi faktor umur, keluhan secara fisik, dan status tinggal lansia bersama anak atau hidup sendirian. Menurut Menurut Sani (2008), faktor yang menjadi hambatan dalam pengendalian perawatan hipertensi pada individu lansia di masyarakat adalah faktor ketidakpatuhan dan ketidakpatuhan pasien minum obat antihipertensi berkaitan dengan tingkat
74
pendidikan pasien yang rendah mengenai obat-obatan dan pengetahuan pasien yang rendah.
5.4. Hubungan Status Pekerjaan dengan Kepatuhan Responden (Penderita Hipertensi) Peserta Prolanis dalam Menjalani Pengobatan di Wilayah Kerja Puskesmas Parsoburan Kota Pematangsiantar Tahun 2017
Status pekerjaan responden (penderita hipertensi) peserta Prolanis di wilayah kerja Puskesmas Parsoburan Kota Pematangsiantar tahun 2017 lebih banyak yang bekerja (sebagai PNS, TNI/Polri, buruh, pegawai swasta, pedagang, dan petani) dibanding yang tidak bekerja (termasuk pensiunan TNI/Polri). Berdasarkan uji X2 diperoleh bahwa tidak ada hubungan yang signifikan (p > 0,05) antara status pekerjaan responden (penderita hipertensi) dengan kepatuhan dalam menjalani pengobatan. Kepatuhan responden (penderita hipertensi) dalam menjalani pengobatan paling banyak dengan kepatuhan tinggi pada status pekerjaan baik tidak bekerja maupun bekerja, sehingga status pekerjaan responden (penderita hipertensi) tidak berhubungan dengan kepatuhan dalam menjalani pengobatan. Menurut Thomas yang dikutip oleh Nursalam (2003), pekerjaan adalah sesuatu yang harus dilakukan terutama untuk menunjang kehidupannya dan keluarga. Pekerjaan bukanlah sumber kesenangan, tetapi lebih banyak merupakan cara mencari nafkah yang membosankan, berulang, dan banyak tantangan (Wawan dan Dewi, 2010). Orang yang bekerja cenderung memiliki sedikit waktu untuk mengunjungi fasilitas kesehatan (Notoatmodjo, 2007).
75
Status pekerjaan pada penelitian ini bukan menjadi ukuran terhadap patuh tidaknya dalam perawatan hipertensi. Apapun status pekerjaan seseorang yang menderita hipertensi akan berupaya agar dapat sembuh atau paling tidak mampu mengontrol tekanan darah melalui pemanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan. Penelitian ini berlawanan dengan penelitian yang dilakukan oleh Su-Jin Cho (2014) pekerjaan memiliki hubungan yang signifikan dengan kepatuhan pasien hipertensi dalam menjalani pengobatan ( p=0,006), dimana pasien yang bekerja cenderung tidak patuh dalam menjalani pengobatan dibanding dengan mereka yang tidak bekerja.
5.5. Hubungan Lama Menderita Hipertensi dengan Kepatuhan Responden (Penderita Hipertensi) Peserta Prolanis dalam Menjalani Pengobatan di Wilayah Kerja Puskesmas Parsoburan Kota Pematangsiantar Tahun 2017
Lama responden menderita hipertensi peserta Prolanis di wilayah kerja Puskesmas Parsoburan Kota Pematangsiantar Tahun 2017lebih banyak > 3 tahun dibanding ≤ 3 tahun. Berdasarkan uji X2 diperleh bahwa ada hubungan yang signifikan (p < 0,05) antara lama menderita hipertensi responden (penderita hipertensi) dengan kepatuhan dalam menjalani pengobatan. Kepatuhan responden (penderita hipertensi) tinggi dalam menjalani pengobatan paling banyak pada lama menderita hipertensi > 3 tahun, sedangkan pula kepatuhan responden (penderita hipertensi) rendah dalam menjalani pengobatan paling banyak pada lama menderita hipertensi ≤ 3 tahun, sehingga lama
76
menderita hipertensi responden (penderita hipertensi) berhubungan dengan kepatuhan dalam menjalani pengobatan. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Adriansyah (2009) dimana antara lamanya menderita hipertensi dengan kepatuhan dalam melaksanakan terapi obat menunjukkan hubungan yang signifikan secara statistik (nilai p<0,05), sehingga faktor lamanya menderita hipertensi berhubungan dengan kepatuhan dalam minum obat. Lama menderita hipertensi pada lansia berkaitan dengan lamanya melakukan pengobatan hipertensi sehingga, lama menderita hipertensi bukan menjadi faktor yang mempengaruhi kepatuhan dalam perawatan hipertensi. Faktor lain yang dominan adalah keluhan secara fisik akibat menderita hipertensi lebih besar pengaruhnya terhadap kepatuhan dalam perawatan hipertensi dibandingkan lamannya menderita hipertensi. Patuh adalah menuruti perintah, taat pada perintah atau aturan. Sedangkan kepatuhan adalah perilaku sesuai aturan dan berdisiplin. faktor lain yang menyebabkan lansia tidak patuh dalam perawatan hipertensi antara lain: lanjut usia tidak teratur minum obat, menghentikan pengobatan sendiri karena bosan minum obat, tidak ada keluhan hipertensi yang dirasakan lanjut usia tidak teratur minum obat, menghentikan pengobatan sendiri karena bosan minum obat, tidak ada keluhan hipertensi yang dirasakan, dan malas kontrol atau merasa sudah sembuh. Seseorang dikatakan patuh berobat bila mau datang ke petugas kesehatan yang telah ditentukan sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan serta mau melaksanakan
77
apa
yang
dianjurkan
oleh
petugas
(Suparyanto,
2010).
Beberapa
kondisi
ketidakpatuhan lansia dalam perawatan hipertensi tersebut, pada gilirannya akan berdampak pada peningkatan jumlah lansia yang menderita hipertensi dan besarnya risiko komplikasi akibat hipertensi seperti penyakit strok dan penyakit jantung yang lain. Perilaku kepatuhan lebih rendah untuk penyakit kronis (karena tidak ada akibat buruk yang segera dirasakan atau resiko yang jelas), saran mengenai ga ya hidup dan kebiasaan lama, pengobatan yang kompleks, pengobatan dengan efek samping, perilaku yang tidak pantas (Suparyanto, 2010). Tingkat kepatuhan penderita hipertensi di Indonesia untuk berobat dan kontrol cukup rendah. Semakin lama seseorang menderita hipertensi maka tingkat kepatuhanya makin rendah, hal ini disebabkan kebanyakan penderita akan merasa bosan untuk berobat (Gama et al, 2014). Demikian pula penelitian yang dilakukan oleh Suwarso (2010) menunjukan ada hubungan yang signifikan antara lama menderita hipertensi dengan ketidakpatuhan pasien penderita hipertensi dalam menjalani pengobatan. Semakin lama seseorang menderita hipertensi maka cenderung untuk tidak patuh karena merasa jenuh menjalani pengobatan atau meminum obat sedangkan tingkat kesembuhan yang telah dicapai tidak sesuai dengan yang diharapkan.
78
5.6. Hubungan Tingkat Pengetahuan tentang Hipertensi dengan Kepatuhan Responden (Penderita Hipertensi) Peserta Prolanis dalam Menjalani Pengobatan di Wilayah Kerja Puskesmas Parsoburan Kota Pematangsiantar Tahun 2017
Tingkat pengetahuan responden (penderita hipertensi) peserta Prolanis di wilayah kerja Puskesmas Parsoburan Kota Pematangsiantar tahun 2017 lebih banyak tinggi dibanding rendah. Berdasarkan uji X2 diperoleh bahwa ada hubungan yang signifikan (p < 0,05) antara tingkat pengetahuan responden (penderita hipertensi) dengan kepatuhan dalam menjalani pengobatan. Kepatuhan responden (penderita hipertensi) tinggi dalam menjalani pengobatan paling banyak pada tingkat pengetahuan tinggi, sedangkan kepatuhan responden (penderita hipertensi) rendah dalam menjalani pengobatan paling banyak pada tingkat pendidikan rendah, sehingga tingkat pengetahuan responden (penderita hipertensi) berhubungan dengan kepatuhan dalam menjalani pengobatan. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Adriansyah (2009) dimana pengetahuan menunjukkan hubungan yang bermakna dengan kepatuhan dalam pengobatan hipertensi. Tingginya tingkat pengetahuan yang dimiliki penderita hipertensi mengenai penyakitnya, berimplikasi terhadap kepatuhan instruksi yang diberikan oleh dokter kepadanya dan sadar akan panyakit hipertensi begitu fatal bagi kesehatannya. Salah satu faktor yang mempengaruhi kepatuhan dalam perawatan hipertensi salah adalah pengetahuan tentang perawatan hipertensi. Pengetahuan tentang
79
penyakit hipertensi dan pengobatan serta perawatnnya di rumah akan mempengaruhi kepatuhan dalam perawatan hipertensi. Rendahnya pengetahuan lansia tentang perawatan hipertensi menjadi salah satu hambatan untuk berhasilnya kepatuhan dalam perawatan hipertensi, karena penderita kurang mendapat penyuluhan dan informasi yang adekuat dari petugas kesehatan. Hal tersebut sejalan dengan penelitian ini bahwa pengetahuan tentang hipertensi berkaitan erat dengan tingkat pendidikan lansia dan juga berkaitan dengan sering atau tidaknya lansia memperoleh pendidikan kesehatan tentang perawatan hipertensi. Dapat disimpulkan bahwa pengetahuan sangat berpengaruh terhadap kepatuhan lansia dalam perawatan hipertensi. Seseorang perlu mengetahui apa yang hendak dilakukan agar dapat melakukan tindakan dengan tepat dan benar (Klein, 2006).
5.7. Hubungan Keterjangkauan Akses Pelayanan dengan Kepatuhan Responden (Penderita Hipertensi) Peserta Prolanis dalam Menjalani Pengobatan di Wilayah Kerja Puskesmas Parsoburan Kota Pematangsiantar Tahun 2017
Keterjangkauan akses pelayanan kesehatan responden (penderita hipertensi) peserta Prolanis di wilayah kerja Puskesmas Parsoburan Kota Pematangsiantar tahun 2017 lebih banyak jauh dibanding dekat. Berdasarkan uji X2 diperoleh bahwa ada hubungan yang signifikan (p < 0,05) antara keterjangkauan akses pelayanan kesehatan responden (penderita hipertensi) dengan kepatuhan dalam menjalani pengobatan. Kepatuhan responden (penderita hipertensi) tinggi dalam menjalani pengobatan paling banyak pada keterjangkauan
80
akses pelayanan kesehatan yang dekat, demikian pula kepatuhan responden (penderita hipertensi) rendah dalam menjalani pengobatan paling banyak pada keterjangkauan akses pelayanan kesehatan yang jauh, sehingga keterjangkauan akses pelayanan kesehatan responden (penderita hipertensi) berhubungan den gan kepatuhan dalam menjalani pengobatan. Menurut Notoatmodjo (2008), perilaku dan usaha yang dilakukan dalam menghadapi kondisi sakit, salah satu alasan untuk tidak bertindak karena fasilitas kesehatan yang jauh jaraknya. Akses pelayanan kesehatan merupakan tersedianya sarana kesehatan (seperti rumah sakit, klinik, puskesmas), tersedianya tenaga kesehatan, dan tersedianya obat-obatan (Depkes RI, 2012). Pelayanan kesehatan yang baik adalah pelayanan kesehatan yang dapat dijangkau oleh seluruh masyarakat. Akses pelayanan kesehatan dapat dilihat dari sumber daya dan karakteristik pengguna pelayanan kesehatan. Keterjangkauan akses yang dimaksud dalam penelitian ini dilihat dari segi jarak, waktu tempuh dan kemudahan transportasi untuk mencapai pelayanan kesehatan. semakin jauh jarak rumah pasien dari tempat pelayanan kesehatan dan sulitnya transportasi maka, akan berhubungan dengan keteraturan berobat. Penelitian yang dilakukan oleh Prayogo (2013) menyatakan bahwa ada hubungan antara akses pelayanan kesehatan menuju fasilitas kesehatan dengan kepatuhan minum obat.
81
5.8. Hubungan Motivasi dengan Kepatuhan Responden (Penderita Hipertensi) Peserta Prolanis dalam Menjalani Pengobatan di Wilayah Kerja Puskesmas Parsoburan Kota Pematangsiantar Tahun 2017
Motivasi responden (penderita hipertensi) peserta Prolanis di wilayah kerja Puskesmas Parsoburan Kota Pematangsiantar tahun 2017 lebih banyak tinggi dibanding rendah. Berdasarkan uji X2 diperoleh bahwa ada hubungan yang signifikan (p < 0,05) antara motivasi responden (penderita hipertensi) dengan kepatuhan dalam menjalani pengobatan. Kepatuhan responden (penderita hipertensi) tinggi dalam menjalani pengobatan paling banyak pada motivasi yang tinggi, demikian pula kepatuhan responden (penderita hipertensi) rendah dalam menjalani pengobatan paling banyak pada motivasi yang rendah, sehingga motivasi berhubungan dengan kepatuhan dalam menjalani pengobatan. Motivasi memberi artiadanya
dorongan dari dalam diri manusia untuk
bertindak atau berperilaku (reasoning ) seseorang untuk bertindak dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Pengertian motivasi tidak terlepas dari kata kebutuhan atau keinginan. Motivasi pada dasarnya merupakan interaksi seseorang dengan situasi tertentu yang dihadapinya. (Notoatmodjo, 2010). Penelitian ini sejalan dengan penelitian Ekarini (2011) yang menunjukkan bahwa tingkat motivasi berhubungan dengan tingkat kepatuhan pasien hipertensi dalam menjalani pengobatan. Dengan adanya kebutuhan untuk sembuh maka pasien hipertensi akan terdorong untuk patuh dalam menjalani pengobatan. Motivasi yang
82
tinggi dapat terbentuk karena adanya hubungan antara kebutuhan, dorongan dan tujuan. Dengan adanya kebutuhan untuk sembuh, maka klien hipertensi akan terdorong untuk patuh dalam menjalani pengobatan, dimana tujuan ini merupakan akhir dari siklus motivasi.
5.9. Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kepatuhan Responden (Penderita Hipertensi) Peserta Prolanis dalam Menjalani Pengobatan di Wilayah Kerja Puskesmas Parsoburan Kota Pematangsiantar Tahun 2017
Dukungan keluarga responden (penderita hipertensi) peserta Prolanis di wilayah kerja Puskesmas Parsoburan Kota Pematangsiantar tahun 2017 lebih banyak dukungan yang tinggi dibanding dukungan yang rendah. Berdasarkan uji X2 diperoleh bahwa ada hubungan yang signifikan (p < 0,05) antara dukungan keluarga responden (penderita hipertensi) dengan kepatuhan dalam menjalani pengobatan. Kepatuhan responden (penderita hipertensi) tinggi dalam menjalani pengobatan paling banyak pada dukungan keluarga yang tinggi, demikian pula kepatuhan responden (penderita hipertensi) rendah dalam menjalani pengobatan paling banyak pada dukungan keluarga yang rendah, sehingga dukungan keluarga berhubungan dengan kepatuhan dalam menjalani pengobatan. Penelitian Costa dan Nogueria (2005) terhadap 146 referensi dikelompokkan dalam dua kategori yaitu yang memperoleh dukungan keluarga sebagai faktor positif sebanyak 58 dan kategori yang tidak mendapatkan dukungan sebanyak 88. Faktor yang positif diartikan mendapat dukungan keluarga merupakan faktor yang positif untuk perbaikan hipertensi dan faktor yang negatif diartikan bahwa kurangnya
83
dukungan keluarga merupakan faktor yang negatif untuk perbaikan hipertensi bahwa dukungan keluarga berperan dalam penyembuhan hipertensi. Demikian pula penelitian
Kusumaning (2009) diperoleh bahwa yang mendapat dukungan sosial
keluarga dengan kategori baik memiliki hipertensi sebesar 14,17 kali untuk terkontrol dibandingkan dengan yang memiliki dukungan sosial keluarga dengan kategori kurang. Dukungan keluarga pada penderita hipertensi berperan besar dalam upaya mempertahankan status normotensi pada penderita hipertensi. Faktor yang positif diartikan mendapat dukungan keluarga merupakan faktor yang positif untuk perbaikan hipertensi dan faktor yang negatif diartikan bahwa kurangnya dukungan keluarga merupakan faktor yang negatif untuk perbaikan hipertensi bahwa dukungan keluarga berperan dalam penyembuhan hipertensi. Keharmonisan keluarga, keuangan keluarga merupakan faktor positif untuk mendukung perbaikan kondisi pasien hipertensi. Pujiyanto (2008) menyatakan bahwa keluarga sebagai motivator diamana hasil penelitiannya menunjukkan bahwa anggota keluarga yang menunjukkan sikap kepedulian (caring ) kepada anggota keluarga yang menderita hipertensi berperan penting dalam kepatuhan minum obat antihipertensi. Perhatian anggota keluarga mulai dari mengingatkan minum obat, menyiapkan obat pada waktunya, terbukti lebih patuh minum obat dibandingkan dengan anggota keluarga yang kurang mendapatkan perhatian dari anggota keluaragnya.
84
Dukungan keluarga dapat menjadi faktor yang dapat berpengaruh dalam menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu serta menentukan program pengobatan yang akan mereka terima. Keluarga juga memberi dukungan dan membuat keputusan mengenai perawatan anggota keluarga yang sakit. Seseorang yang terisolasi dari pendampingan orang lain, isolasi sosial, secara negatif berhubungan dengan kepatuhan. Dukungan sosial dalam bentuk dukungan emosional dari anggota keluarga teman, waktu, dan uang merupakan faktor penting dalam kepatuhan contoh yang sederhana, jika tidak ada transportasi dan biaya dapat mengurangi kepatuhan penderita. Keluarga dan teman dapat membantu mengurangi kecemasan yang disebabkan oleh penyakit tertentu, mereka dapat menghilangkan ketidakpatuhan dan dapat menjadi kelompok pendukung untuk mencapai kepatuhan (Suparyanto, 2010). Penelitian ini terdapat 80,30% lansia telah mendapatkan dukungan yang kuat dari keluarganya dalam kepatuhan dalam perawatan hipertensi. Dukungan keluarga erat kaitannya dengan status tinggal lansia. Status tinggal lansia yang menderita hipertensi memiliki kepatuhan yang besar terhadap kepatuhan. Dukungan secara fisik, mental, dan finansial serta kebutuhan lain yang diperlukan lansia dalam mempertahankan status normotensi. Dukungan tersebut meliputi penyediaan diet, mengantarkan lansia berobat atau kontrol tekanan darah, dukungan kehadiran secara fisik dan psikologis akan menurunkan tingkat kecemasan lansia saat tekanan darahnya naik. Dukungan yang besar dari keluarga sangat memberikan makna yang
85
besar pula terhadap kepatuhan lansia dalam perawatan hipertensi. Jadi dapat disimpulkan bahwa dukungan keluarga dalam bentuk dukungan emosional, dukungan keuangan, dukungan kehadiran secara fisik dan dukungan dalam bentuk apapun sangat mempengaruhi kepatuhan dalam perawatan hipertensi pada lansia. Dukungan keluarga merupakan sikap, tindakan dan penerimaan terhadap penderita yang sakit. Hipertensi memerlukan pengobatan seumur hidup, dukungan sosial dari orang lain sangat diperlukan dalam menjalani pengobatanya. Dukungan dari keluarga dan teman-teman dapat membantu seseorang dalam menjalankan program-program kesehatan dan juga secara umum orang yang menerima penghiburan, perhatian dan pertolongan yang mereka butuhkan dari seseorang atau kelompok biasanya cenderung lebih mudah mengikuti nasehat medis (Suprianto et al, 2009). Penelitian yang dilakukan Lilis Triani (2011) menunjukkan dukungan keluarga berhubungan dengan kepatuhan berobat pada pasien hipertensi.
5.10. Hubungan Peran Petugas Kesehatan dengan Kepatuhan Responden (Penderita Hipertensi) Peserta Prolanis dalam Menjalani Pengobatan di Wilayah Kerja Puskesmas Parsoburan Kota Pematangsiantar Tahun 2017
Peran petugas kesehatan terhadap responden (penderita hipertensi) peserta Prolanis di wilayah kerja Puskesmas Parsoburan Kota Pematangsiantar tahun 2017 lebih banyak ada peran petugas kesehatan dibanding tidak ada peran petugas kesehatan.
86
Berdasarkan uji X2 diperoleh bahwa ada hubungan yang signifikan (p < 0,05) antara peran petugas kesehatan terhadap responden (penderita hipertensi) dengan kepatuhan dalam menjalani pengobatan. Kepatuhan responden (penderita hipertensi) tinggi dalam menjalani pengobatan paling banyak pada adanya peran petugas kesehatan yang tinggi, demikian pula kepatuhan responden (penderita hipertensi) rendah dalam menjalani pengobatan paling banyak pada tidak adanya peran petugas kesehatan, sehingga peran petugas terhadap responden (penderita hipertensi) berhubungan dengan kepatuhan dalam menjalani pengob atan. Dukungan dari tenaga kesehatan profesional merupakan faktor yang dapat mempengaruhi perilaku kepatuhan. Pelayanan yang baik dari petugas dapat menyebabkan berperilaku positif. Perilaku petugas yang ramah dan segera mengobati pasien tanpa menunggu lama-lama, serta penderita diberi penjelasan tentang obat yang diberikan dan pentingnya makan obat yang teratur. Peran serta dukungan petugas kesehatan sangatlah besar bagi penderita, dimana petugas kesehatan adalah pengelola penderita sebab petugas adalah yang paling sering berinteraksi, sehingga pemahaman terhadap konsisi fisik maupun psikis menjadi lebih baik dan dapat mempengaruhi rasa percaya dan menerima kehadiran petugas kesehatan dapat ditumbuhkan dalam diri penderita dengan baik (Novian, 2013). Selain itu peran petugas kesehatan dalam pelayan kesehatan dapat berfungsi sebagai pemberi rasa nyaman (comforter ), pelindung ( protector ), pembela
(advocate),
penyampai
informasi (communicator ), perantara (mediator ) , dan pemulih (rehabilitator ). Peran
87
petugas kesehatan juga dapat berfungsi sebagai konseling kesehatan, dapat dijadikan sebagai tempat bertanya oleh individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat untuk memecahkan berbagai masalah dalam bidang kesehatan yang dihadapi oleh masyarakat (Mubarak, 2009).
88
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat diambil kesimpulan bahwa: 1. Tidak ada hubungan yang signifikan antara umur dengan kepatuhan penderita hipertensi dalam menjalani pengobatan. 2. Tidak ada hubungan yang signifikan antara umur jenis kelamin dengan kepatuhan penderita hipertensi dalam menjalani pengobatan. 3. Tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan dengan kepatuhan penderita hipertensi dalam menjalani pengobatan. 4. Tidak ada hubungan yang signifikan antara status pekerjaan dengan kepatuhan penderita hipertensi dalam menjalani pengobatan. 5. Ada hubungan yang signifikan antara lama menderita hipertensi dengan kepatuhan penderita hipertensi dalam menjalani pengobatan. 6. Ada hubungan yang signifikan antara lama tingkat pengetahuan dengan kepatuhan penderita hipertensi dalam menjalani pengobatan. 7. Ada hubungan yang signifikan antara keterjangkauan akses pelayanan kesehatan dengan kepatuhan penderita hipertensi dalam menjalani pengobatan.