REFERAT -1
HEMOPTISIS
OLEH : Aulia Rahman 1610248006
PEMBIMBING : Dr. Zarfiardy Aksa Fauzi, SpP (K)
PPDS-1 PULOMONOLOGI DAN ILMU KEDOKTERAN RESPIRASI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSTAS RIAU RSUD ARIFIN ACHMAD PROVINSI RIAU PEKANBARU 2017
SURAT PERNYATAAN
Saya yang bertandatangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa tugas makalah ini saya susun tanpa tindakan plagiarisme sesuai dengan peraturan yang berlaku di Universitas Riau. Jika dikemudian hari ternyata saya melakukan tindakan plagiarisme, saya akan bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh Universitas Riau kepada saya.
Pekanbaru, September 2017
Aulia Rahman
ii
DAFTAR ISI
JUDUL.................................................................................................................... i HALAMAN PERNYATAAN.............................................................................. ii DAFTAR ISI........................................................................................................ iii PENDAHULUAN .............................................................................................… 1 DEFENISI ............................................................................................................. 2 ANATOMI DAN VASKULARISASI PAPU…………...................................... 3 KLASIFIKASI……………................................................................................... 4 ETIOLOGI............................................................................................................ 5 PATOGENESIS……………………………........................................................ 7 DIAGNOSIS…………………............................................................................ 12 PEMERIKSAAN PENUNJANG....................................................................... 13 KOMPLIKASI………………………………..……………………………...…15 PENATALAKSANAAN..................................................................................... 16 PROGNOSIS………………………………...………….................................... 19 KESIMPULAN.................................................................................................... 20 DAFTAR PUSTAKA………………………………………..……………….... 21
iii
PENDAHULUAN Batuk
darah
atau
hemoptisis
merupakan
salah
satu
penyakit
kegawatdaruratan respirasi yang menyebabkan penderita segera datang berobat untuk meminta pertolongan, karena bagi masyarakat awam batuk darah merupakan pengalaman yang menakutkan dan pertanda bahwa penyakit yang dideritanya cukup membahayakan dan akan membawa maut baginya.1,2 Pada umumnya penderita telah mempunyai penyakit dasar sebelumnya, tetapi keluhan-keluhan yang ditimbulkan dari penyakit tersebut tidak mendorong penderita untuk segera pergi berobat. Pada dasarnya hemoptisis akan berhenti sendiri jika robekan pembuluh darah tidak luas, sehingga penutupan luka cepat terjadi.3 Volume darah yang dibatukkan bervariasi dari dahak bercampur darah dalam jumlah minimal hingga masif, tergantung laju pendarahan dan lokasi pendarahan.4 Di Indonesia, berdasarkan studi yang dilakukan pada pasien rawat inap RS Persahabatan, didapatkan kejadian hemoptisis pada penderita rawat inap didapatkan 31,47% (164 penderita, tahun 2006), 30,99% (115 penderita, tahun 2007), 34,68% (171 penderita tahun 2008).1 Prevalensi hemoptisis pada pasien di bangsal paru RSUP Dr. M. Djamil Padang periode Januari 2011 – Desember 2012 sebesar 3,6%, terbanyak ditemukan pada kelompok usia 31 - 40 tahun, didominasi oleh laki-laki, paling banyak disebabkan oleh TB paru dan angka kematiannya sebesar 6,8% dari total kejadian hemoptisis.5
1
Hemoptisis pada pasien rawat inap di RSUP Sanglah periode Juli 2013 sampai dengan Juni 2014 di dapatkan 78 pasien rawat inap, sebagian besar pasien adalah laki-laki dengan kelompok usia terbanyak yaitu 21-30 tahun, etiologi utamanya adalah tuberkulosis paru dan angka kematian pasien sebesar 7,7% dari total kejadian hemoptisis.6
DEFINISI Hemoptisis adalah ekspektorasi darah atau dahak bercampur darah yang berasal dari saluran napas bawah dan parenkim paru. Batuk darah lebih sering merupakan tanda atau gejala dari penyakit dasar sehingga etiologinya harus dicari melalui pemeriksaan yang seksama.7,8 Untuk mengetahui penyebab batuk darah kita harus memastikan bahwa perdarahan tersebut berasal dari saluran pernafasan bawah, dan bukan berasal dari nasofaring atau gastrointestinal. Dengan perkataan lain bahwa penderita tersebut benar-benar batuk darah dan bukan muntah darah.8 Untuk membedakannya, dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel. Diagnosis banding antara hemoptisis dan hematemesis 9,10,11 No
Perbedaan
Hemoptisis
Hematemesis
1
Riwayat penyakit
Penyakit kardiorespirasi
Penyakit gastro intestinal (peminum alkohol, ulkus peptikum, kelainan hepar)
2
2
Gejala
Darah dibatukkan dengan rasa panas
Darah dimuntahkan
di tenggorokan, sesak, nyeri dada
dengan rasa mual (Stomach Distress)
3
Tampilan
Darah berbuih/ berbusa
Darah tidak berbuih
4
Warna darah
Merah terang, segar
Kecoklatan/hitam
5
pH sputum darah
Basa
Asam
6
Komponen lain
Sekret dari saluran pernapasan,
Sisa-sisa makanan
lekosit, hemosiderin, mikroorganisme, makrofag 7
Anemia
Jarang, kecuali hemoptisis yang
Sering
mengancam jiwa 8
Tinja
Blood test (-) / Benzidine Test (-)
Blood Test (+) / Benzidine Test (+)
9
Konfirmasi
Bronkoskopi
Endoskopi
ANATOMI DAN VASKULARISASI PARU Sirkulasi darah paru berasal dari 2 sistem sirkulasi yaitu sirkulasi pulmoner dan bronkial. Sirkulasi pulmoner memiliki fungsi khusus yaitu mengatur pertukaran gas. Arteri pulmonalis membawa darah dari ventrikel kanan menuju pembuluh darah kapiler paru dan kembali ke atrium kiri melalui vena pulmonalis. Sirkulasi pulmoner merupakan suatu sistem sirkulasi dengan tekanan rendah yaitu berkisar 15-20 mmHg pada saat sistolik dan 5-10 mmHg pada saat diastolik. Arteri pulmoner berjalan sepanjang bronkus dan hanya memperdarahi bronkiolus terminalis serta selanjutnya bercabang-cabang ke alveolus membentuk pembuluh darah kapiler paru yang berfungsi dalam pertukaran gas.4
3
Sirkulasi bronkial berfungsi sebagai pemberi nutrisi pada paru dan saluran napas. Pembuluh darah pada sirkulasi bronkial memiliki tekanan sesuai tekanan pembuluh darah sistemik. Variasi sirkulasi bronkial antar individu sangat beragam. Sirkulasi bronkial memegang peranan penting dalam patofisiologi batuk darah, karena sirkulasi tersebut memperdarahi sebagian besar jalan napas dan berada dalam pengaruh tekanan sistemik sehingga pendarahan yang berasal dari sirkulasi bronkial cenderung dapat terjadi pendarahan hebat.4 Sumber pendarahan pada batuk darah dapat berasal dari kedua sistem sirkulasi tersebut yaitu sirkulasi bronkial dan pulmoner. Kematian akibat batuk darah masif umumnya akibat asfiksia, kehilangan darah sehingga terjadi syok. Umumnya pada batuk darah masif, sumber batuk darah berasal dari sirkulasi bronkhial (90%) dan dari sirkulasi pulmoner (5%). Penderita kelainan pleura dan parenkim paru umumnya memiliki pembuluh darah kolateral sistemik nonbronkial, sehingga perlu diperhitungkan keterlibatan pembuluh darah kolateral terutama bila akan dilakukan embolisasi arteri. 4
KLASIFIKASI Berdasarkan dari perkiraan jumlah darah yang dibatukkan oleh penderita, hemoptisis dapat diklasifikasikan sebagai berikut ini: 12 1. Bercak (Streaking): total volume darah yang dibatukkan <15-20 ml/ 24 jam. Darah bercampur dengan sputum merupakan hal yang sering terjadi, paling umum pada bronkhitis. 2. Hemoptisis: total volume darah yang dibatukkan 20-600 ml/24 jam.Hal ini
4
memberi tanda bahwa perdarahan terjadi pada pembuluh darah yang lebih besar. Biasanya pada kanker paru, pneumonia, TB paaru, atau emboli paru. 3. Hemoptisis masif: total volume darah yang dibatukkan >600 ml/24 jamBiasanya pada kanker paru, kavitas pada TB, atau bronkiektasis. 4. Pseudohemoptisis:merupakan batuk darah dari struktur saluran napas bagian atas (di atas laring) atau dari saluran cerna atas atau hal ini dapat berupa perdarahan buatan (factitious). Perdarahan yang terakhir biasanya karena luka yang disengaja di mulut, faring atau rongga hidung.
Kriteria yang paling banyak dipakai untuk hemoptisis masif yaitu yang diajukan oleh Busroh dari Bagian Pulmonologi FKUI di RS. Persahabatan: 10 1. Apabila pasien mengalami batuk darah lebih dari 600 cc/ 24 jam dan dalam pengamatannya perdarahan tidak berhenti. 2. Apabila pasien mengalami batuk darah kurang dari 600 cc/ 24 jam dan tetapi lebih dari 250 cc/ 24 jam jam dengan kadar Hb kurang dari 10 gr/dL, sedangkan batuk darahnya masih terus berlangsung. 3. Apabila pasien mengalami batuk darah kurang dari 600 cc/ 24 jam dan tetapi lebih dari 250 cc/ 24 jam dengan kadar Hb lebih dari 10 gr/dL, tetapi selama pengamatan 48 jam yang disertai dengan perawatan konservatif batuk darah tersebut tidak berhenti.
ETIOLOGI Hemoptisis atau batuk darah merupakan tanda dan gejala dan penyakit yang mendasarinya. Penyakit atau keadaan yang menyebabkan batuk darah sangat
5
beragam sehingga anamnesis, pemeriksaan fisis serta berbagai pemeriksaan penunjang perlu dilakukan dengan teliti agar dapat menentukan etiologinya.4 Secara umum penyebab batuk darah dapat dikelompokkan menjadi : 9,12,13,14 1. Penyakit paru a. Infeksi saluran napas: bronkhitis, pneumonia, tuberkulosis, abses paru, infeksi jamur (aspergilloma). b. Bronkiektasis/ fibrosis kistik, fibrosis pulmoner c. Keganasan: karsinoma bronkogenik, tumor karsinoid, metastasis endobronkial d. Penyakit inflamasi atau imunologi (perdarahan alveolar difus): Sindrom Goodpasture, lupus eritematosus sistemik (SLE), granulomatosis dengan polangitis (Wegener's), polyaritis mikroskopis. e. Fistula antara trakeobronkial dan pembuluh darah (aneurisma aorta toraks) f. Penyakit Dieulafoy pada bronkus (adanya arteri bronkialis yang abnormal, bersebelahan dengan mukosa bronkus) 2. Penyakit kardiovaskuler a. Emboli arteri pulmoner b. Malformasi vaskuler: malformasi arteriovenosa pulmoner, aneurisma arteri pumoner c. Hemosiderosis pulmoner idiopatik d. Emboli septik e. Hipertensi pulmoner 3. Lain-lain: a. Iatrogenik: biopsi paru, kateterisasi
6
b. Benda asing, luka c. Traumatik/ kontusio paru d. Gangguan pembekuan: trombositopenia, koagulopati e. Obat-obatan: kokain, antiangiogenik, pengobatan antikoagulan atau antiplatelet.
PATOGENESIS Patogenesis terjadinya batuk darah yang disesabkan oleh berbagai penyakit yang
mendasarinya
pada
prinsipnya
hampir
sama,
yaitu
bila
terjadi
penyakit/kelainan pada parenkim paru, sistem sirkulasi bronkhial atau pulmoner, maupun pleura sehingga terjadi perdarahan pada kedua sistem sirkulasi tersebut.4 Patogenesis hemoptisis bergantung dari tipe dan lokasi dari kelainan. Secara umum bila perdarahan berasal dari lesi endobronkial, maka perdarahan adalah dari sirkulasi bronkialis, sedang bila lesi di parenkim maka perdarahan adalah dari sirkulasi pulmoner. 15
Tuberkulosis Ekspektorasi darah dapat terjadi akibat infeksi tuberkulosis yang masih aktif ataupun akibat kelainan yang ditimbulkan akibat penyakit TB yang telah sembuh. Susunan parenkim paru dan pembuluh darahnya dirusak oleh penyakit ini sehingga terjadi bronkiektasis dengan hipervaskularisasi, pelebaran pembuluh darah bronkial, anastomosis pembuluh daran bronkial dan pulmoner.
7
Penyakit TB juga dapat mengakibatkan timbulnya kavitas dan terjadi pneumonitis TB akut yang dapat menyebabkan ulserasi bronkus disertai nekrosis pembuluh darah di sekitarnya dan alveoli bagian distal. Pecahnya pembuluh darah tersebut mengakibatkan ekspektorasi darah dalam dahak, ataupun batuk darah masif. Ruptur aneurisma Rassmussen telah diketahui sebagai penyebab batuk darah masif pada penderita TB ataupun pada bekas penderita TB. Kematian akibat batuk darah masif pada penderita TB berkisar antara 5-7%. Pada pemeriksaan postmortem, ternyata pada penderita tersebut ditemukan ruptur aneurisma arteri pulmoner. Umumnya pada penderita yang meninggal tersebut, terjadi ruptur pada bagian arteri pulmoner yang mengalami pelebaran akibat inflamasi pada kaviti TB. Hal tersebut dapat terjadi karena keterlibatan infeksi TB pada tunika adventisia atau media pembuluh darah namun juga akibat proses destruksi dari inflamasi lokal. Hemoptisis masif juga dapat terjadi pada bekas penderita TB. Hal tersebut dapat terjadi akibat erosi lesi kalsifikasi pada arteri bronkial sehingga terjadi hemoptisis masif. Selain itu ekspektorasi bronkolit juga dapat menyebabkan batuk darah.
Bronkiektasis Bronkiektasis terjadi akibat destruksi tulang rawan pada dinding bronkus akibat infeksi ataupun penarikan oleh fibrosis alveolar. Perubahan yang terjadi ternyata juga melibatkan perubahan arteri bronkial yaitu hipertrofi, peningkatan atau pertambahan jumlah jaring vaskuler. Pendarahan dapat terjadi akibat infeksi
8
ataupun proses inflamasi. Pecahnya pembuluh darah bronchial yang memiliki tekanan sistemik dapat berakibat fatal.
Infeksi jamur paru Angioinvasi oleh elemen jamur menimbulkan kerusakan pada parenkim dan struktur vaskuler sehingga dapat menimbulkan infark paru dan pendarahan. Meskipun demikian infeksi jamur paru yang invasif jarang menimbulkan hemoptisis. Sebaliknya pembentukan misetoma dapat menimbulkan hemoptisis pada 50-90 % penderita misetoma. Misetoma umumnya terbentuk pada penderita dengan penyakit paru berkavitas misalnya TB, sarkoidosis, cavitary lung carcinoma, infark paru, emfisema bulosa, bronkiektasis, penyakit fibrobulosa dari arthritis reumatoid dan ankylosing spondilytis, trauma mekanik akibat pergerakan fungus ball di dalam kavitas, jejas vaskuler akibat endoktosin Aspergillus, dan kerusakan vaskuler akibat reaksi hipersensitivitas tipe III merupakan beberapa teori penyebab terjadinya hemoptisis pada misetoma. Hemoptisis dapat pula terjadi akibat bronkolitiasis dari adenopati Histoplasma yang mengalami kalsifikasi.
Abses paru Hemoptisis dapat terjadi pada 11-15 % penderita abses paru primer. Pendarahan masif dapat terjadi pada 20-50 % penderita abses paru yang mengalami hemoptisis. Mekanisme pendarahan adalah akibat proses nekrosis pada parenkim paru dan pembuluh darahnya.
9
Neoplasma Hemoptisis dapat terjadi akibat proses nekrosis dan inflamasi pembuluh darah pada jaringan tumor. Invasi tumor ke pembuluh darah pulmoner jarang terjadi. Hemoptisis dapat terjadi pada 7-10 % penderita dengan karsinoma bronkogenik. Penderita kanker metastasis ke paru, hemoptisis terjadi akibat lesi endobronkial. Tumor mediastinum juga dapat menimbulkan batuk darah, terutama karsinoma esophagus akibat penyebarannya ke pohon trakeobronkial.
Penyakit autoimun atau pendarahan alveolar Alveolar hemorrhage (pendarahan alveolar) merupakan hal yang cukup sering terjadi pada penyakit autoimun ataupun penyakit idiopatik sistemik. Umumnya pendarahan disebabkan oleh penyakit Anti Basement Membrane Antibody (ABMA), penyakit vaskuler kolagen, glomerulonefritis progresif atau penyakit hemosiderosis idiopatik. Tanda pendarahan alveolar diantaranya adalah hemoptisis, anemia dan infiltrat alveoler pada foto toraks.
Fibrosis kistik Pendarahan pada penderita fibrosis kistik multi faktorial, namun umumnya pendarahan berasal dari arteri bronkhial. Pemeriksaan postmortem menunjukkan bronkiektasis luas, abses paru dan bronkopneumonia. Sistem arteri bronkhial mengalami hipervaskularisasi dan anastomosis bronkopulmoner. Kelainan tersebut di atas ditambah dengan hipertensi pulmoner menyebabkan tingginya insiden
10
hemoptisis pada penderita fibrosis kistik, walaupun demikiam hemoptisis masih jarang terjadi.
Hemoptisis iatrogenik Hemoptisis
iatrogenik
dapat
terjadi
akibat
komplikasi
tindakan
bronkoskopi, biopsi transtorakal, atau pemasangan kateter Swan-Ganz. Pendarahan pada bronkoskopi dapat terjadi akibat proses penyikatan, ataupun biopsi endobronkial dan transbronkial. Umumnya pendarahan dapat berhenti dengan sendirinya namun pendarahan masif dapat pula terjadi. Estimasi pendarahan sebagai komplikasi tindakan bronkoskopi berkisar 2-9 %. Pendarahan juga dapat terjadi pada proses terapi laser dengan bronkoskopi (laser Nd-YAG) terhadap penderita dengan keganasan trakeobronkial. Pencegahan terjadinya komplikasi pendarahan pada saat tindakan tersebut perlu diperhatikan misalnya penderita dengan kelainan pembekuan darah serta kesiapan operator dalam mengantisipasi terjadinya pendarahan.
Hemoptisis kriptogenik Hemoptisis kriptogenik atau idiopatik adalah hemoptisis yang tidak diketahui sumber pendarahan atau penyebabnya walaupun telah menjalani berbagai pemeriksaan. Adelman dkk menemukan bahwa 71,9 % penderita hemoptisis kriptogenik adalah perokok.
11
DIAGNOSIS Diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan gambaran radiologis. Untuk menegakkan diagnosis, seperti halnya pada penyakit lain perlu dilakukan urutan-urutan dari anamnesis yang teliti hingga pemeriksaan
fisik
maupun
penunjang
sehingga
penanganannya
dapat
disesuaikan.12,16 Hal pertama yang harus diketahui dalam mengevaluasi hemoptisis adalah mengetahui apakah perdarahan berasal dari saluran napas bawah, dari saluran napas atas (contoh epistaksis), atau dari saluran cerna (hematemesis). Penentuan sumber perdarahan
merupakan
hal
penting
karena
akan
menentukan
langkah
penatalaksanaan selanjutnya. Anamnesis dan pemeriksaan fisis sangat menentukan di dalam menentukan apakah perdarahan yang terjadi merupakan hemoptisis, epistaksis atau hematemesis. 4
Anamnesis Hal-hal yang perlu ditanyakan dalam batuk darah adalah jumlah dan warna darah yang dibatukkan, lamanya perdarahan, batuk yang diderita bersifat produktif atau tidak, batuk terjadi sebelum atau sesudah perdarahan, ada merasakan nyeri dada, nyeri substernal atau nyeri pleuritik, riwayat penyakit paru atau jantung. terdahulu, hubungannya perdarahan dengan: istirahat, gerakan fisik, posisi badan dan batuk, perdarahan di tempat lain serempak dengan batuk darah, perokok berat dan telah berlangsung lama, sakit pada tungkai atau adanya pembengkakan serta sakit dada dan hematuria yang disertai dengan batuk darah.
12
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisis dapat membantu diagnosis penyebab hemoptisis. pemeriksaan saluran napas atau harus dilakukan dengan teliti untuk menyingkirkan kemungkinan sumber pendarahan selain dari paru atau saluran napas bawah. Mulut juga perlu diperiksa mengenai kemungkinan laserasi dan tumor. Pemeriksaan laringoskopi tidak langsung untuk menyingkirkan kemungkinan pendarahan dari sekitar faring. Bunyi napas tambahan seperti stridor atau mengi dapat memberikan petunjuk tumor/benda asing didaerah trakeolaring. Gambaran saddle nose atau perforasi septum dapat menunjukkan granulomatosis wegener. Jari tubuh (clubbing finger) memberikan petunjuk kemungkinan keganasan intratolokal dan supurasi intratorakal (abses paru bronkiektasis).
PEMERIKSAAN PENUNJANG 4 Pemeriksaan sputum Pemeriksaan sputum perlu dilakukan untuk mengetahui kemungkinan penyebab hemoptisis. Pemeriksaan sputum dilakukan atas indikasi yang tepat. Pemeriksaan sputum yang dapat dilakukan adalah untuk pemeriksaan bakteri pewarnaan gram, basil tahan asam/ BTA. Pemeriksaan sputum sitologi dilakukan apabila penderita berusia > 40 tahun dan perokok. Biakan kuman juga dapat dilakukan terutama untuk BTA dan jamur.
13
Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan darah tepi lengkap, analisis gas darah, elektrolit, fungsi ginjal dan hati perlu diperiksa untuk mengetahui keadaan klinis penderita akibat hemoptosis serta menganalisis kemungkinan penyebabnya.
Pemeriksaan radiologis Pemeriksaan foto toraks merupakan salah satu komponen penting dalam pemeriksaan untuk mengetahui penyebab pendarahan terutama kelainan parenkim paru, misalnya pemeriksaan dengan kavitas, tumor, infiltrat dan atelektasis. Pendarahan intra alveolar menimbulkan pola infiltrat retikulonedular. Namun demikian gambaran foto toraks bisa normal atau tidak informatif. Pemeriksaan computer tomografi dapat memberikan informasi yang lebih jelas dari foto toraks, misalnya gambaran bronkiektasis atau karsinoma bronkus yang berukuran kecil. Pemeriksaan payar paru dengan resolusi tinggi merupakan metode pilihan dalam diagnosis bronkiektasis. Pemeriksaan ini sebaiknya dikerjakan
sebelum
pemeriksaan
bronkoskopi,
kecuali
dalam
keadaan
kegawatdaruratan.
Bronkoskopi Tindakan bronkoskopi merupakan tindakan yang dapat bersifat diagnostik untuk mencari penyebab batuk darah namun juga untuk terapeutik. Tindakan bronkoskopi dapat dilakukan dengan menggunakan bronkoskopi kaku atau bronkoskopi serat lentur (fiberoptik bronkoskopi).
14
Pemeriksaan penunjang lain Pemeriksaan penunjang lainnya dilakukan sesuai dengan indikasi. Misalnya pada penderita dengan kecurigaan gangguan pembekuan darah atau kelainan hematologi lainnya dilakukan pemeriksaan faal hemostasis, pada penderita dengan kecurigaan penyakit autoimun systemic lupus eritomateus (SLE) dilakukan pemeriksaan anti ds DNA atau ANA (Anti Nuclear Antibody).
KOMPLIKASI Komplikasi yang terjadi merupakan kegawatan dari hemoptosis, yaitu ditentukan oleh tiga faktor:8 1. Terjadinya asfiksia oleh karena terdapatnya bekuan darah dalam saluran pernapasan. 2. Jumlah darah yang dikeluarkan selama terjadinya hemoptosis dapat menimbulkan renjatan hipovolemik. 3. Aspirasi, yaitu keadaan masuknya bekuan darah maupun sisa makanan ke dalam jaringan paru yang sehat bersama inspirasi. Penyulit hemoptisis yang biasanya didapatkan:8 1. Bahaya utama batuk darah ialah terjadi penyumbatan trakea dan saluran napas, sehingga timbul sufokasi yang sering fatal. Penderita tidak tampak anemis tetapisianosis, hal ini sering terjadi pada batuk darah masif (600-1000 cc/24 jam). 2. Pneumonia aspirasi merupakan salah satu penyulit yang terjadi karena darah
15
terhisap ke bagian paru yang sehat. 3. Karena saluran nafas tersumbat, maka paru bagian distal akan kolaps dan terjadiatelektasis.
Bila perdarahan banyak, terjadi hipovolemia. Anemia timbul bila perdarahan terjadi dalam waktu lama.
PENATALAKSANAAN Tujuan utama terapi hemoptisis ialah mencegah asfiksia, menghentikan perdarahan dan mengobati penyebab utama perdarahan. Bila perdarahan hanya sedikit atau hanya berupa bercak di dahak dan umumnya pertukaran gas tidak terganggu, maka penegakkan diagnosis menjadi prioritas. Namun apabila perdarahan massif, maka mempertahankan jalan nafas dan pertukaran gas harus didahulukan. Upaya mempertahankan jalan nafas adalah termasuk mencegah asfiksia atau darah masuk dan menyumbat saluran nafas yang sehat. 1.
Konservatif 4,13,16 Hemoptisis ringan atau sedang atau pada hemoptisis non masif seringkali dapat dikelola dengan perawatan konservatif dari penyakit yang mendasarinya. Terapi dasar berupa tirah baring pasien, monitoring jalan napas, napas dan sirkulasi serta pengobatan terhadap infeksi atau anti inflamasi. Selanjutnya, optimalisasi status koagulasi yang dapat dicapai dengan menstabilkan koagulasi dan dengan demikian perdarahan berhenti. Studi kecil tentang hemoptisis pada berbagai etiologi atau pada fibrosis kistik telah menunjukkan bahwa hemoptisis dapat dikendalikan dengan pengobatan antifibrinolitik
16
dengan asam traneksamat. Reflek batuk harus ditekan dengan kodein fosfat 3060 mg IM setiap 4-6 jam selama 24 jam. Obat penekan batuk hanya diberikan bila terdapat batuk yang berlebihan dan merangsang timbulnya perdarahan lebih banyak. Terapi spesifik berdasarkan atas penyakit dasar penyebab perdarahan tersebut. 2.
Bronkoskopi terapeutik4 -
Bilas bronkus dengan larutan garam fisiologis (iced saline lavage) Pemberian
larutan
garam
fisiologis
dingin
dimaksudkan
untuk
meningkatkan hemostasis dengan menginduksi vasokonstriksi. Suatu studi tanpa kontrol mengamati 23 penderita yang diberikan pembilasan dengan aliquot 50 ml sekuensial dengan suhu 4°C (total 500 ml) melalui bronkoskop kaku. Ternyata kontrol pendarahan dicapai pada 21 penderita. -
Pemberian obat topikal pemberian epinefrin topikal dengan konsentrasi 1:20.000 dimaksudkan untuk vasokontriksi pembuluh darah, namun efektivitasnya masih dipertanyakan terutama pada hemoptisis masif. Tsukamoto dkk melakukan studi pemberian trombin topikal dan larutan fibrinogen-trombin. Namun terapi ini masih perlu penelitian lebih lanjut.
-
Tamponade endobronkial Isolasi pendarahan menggunakan kateter balon tamponade (balloon tamponade catheter) dapat mencegah aspirasi darah ke paru kontralateral dan menjadi pertukaran gas pada hemoptisis masif. Teknik ini diperkenalkan oleh Hiebert pada tahun 1974. Prosedur ini diawali dengan memasukkan BSOL sampai ke segmen atau subsegmen yang menjadi
17
sumber pendarahan. Kateter balon bernomor 4-7F dengan panjang 200 cm dimasukkan ke dalam segmen atau subsegmen bronkus yang dituju melalui lumen pengisap BSOL, lalu balon dikembangkan. BSOL dikeluarkan dan kateter dibiarkan tertinggal selama 24 jam, kemudian balon dikempiskan di bawah pengamatan BSOL. Bila tidak ada pendarahan lagi, kateter dikeluarkan. Bila visualisasi melalui BSOL sulit, maka pipa endotrakeal lumen ganda dengan katup. -
Fotokoagulasi laser (Nd-YAG Laser) Fototerapi menggunakan laser Neodymium-yttrium-aluminium-garnet (NdYAD) telah digunakan sebagai terapi paliatif dengan hasil bervariasi pada penderita hemoptisis masif. Terapi ini digunakan pada penderita dengan pendarahan endobronkial karena kemampuan koagulasinya.
3.
Embolisasi arteri bronkialis dan pulmoner 4 Teknik ini pertama kali dilakukan oleh Remy dkk pada tahun 1973. Teknik ini adalah melakukan oklusi pembuluh darah yang menjadi sumber pendrahan dengan embolisasi transkateter. Embolisasi dapat dilakukan pada arteri bronkialis dan sirkulasi pulmoner. Teknik ini terutama dipilih untuk penderita dengan penyakit bilateral, fungsi paru sisa yang minimal, menolak operasi ataupun memiliki kontrainsikasi tindakan operasi. Terapi ini dapat diulang beberapa kali untuk mengontrol pendarahan. Embolisasi memiliki angka keberhasilan dalam mengontrol pendarahan (jangka pendek) antara 64-100 %. Pada evaluasi lanjut selama 3-5 tahun, Rabkin dkk mengamati terjadinya rekurensi pendarahanpada 23 % penderita. Komplikasi yang dapat terjadi yaitu akibat oklusi arteri bronkialis yaitu nyeri dada, demam maupun emboli ektopik.
18
4.
Bedah 4 Pembedahan merupakan terapi denitif pada penderita batuk darah masif yang sumber pendarahannya telah diketahui dengan pasti, fungsi paru adekuat, tidak ada kontraindikasi bedah, ada kontraindikasi embolisasi arteri atau kecurigaan perforasi arteri pulmoner dan rupture misetoma dengan kolateral arteri yang banyak. Suatu laporan di luar negeri melakukan pembedahan parsial reseksi dengan video assisted thoracoscopic surgery (VATS) pada penderita hemoptisis katamenial dan ternyata memberikan hasil yang baik. Pada pengamatan lanjut selama 14 bulan, penderita tidak ada rekurensi. Pembedahan terhadap penderita batuk darah masif tahun 1970-1995 di RS Persahabatan Jakarta dilaporkan oleh Busroh dkk. Pada tahun 1970-1989 angka kematian penderita batuk darah masif yang menjalani pembedahan 25 % tahun 19811990 sebesar 8,3 % sedangkan tahun 1991-1995 sebesar 5,8 %.
PROGNOSIS Pada hemoptosis idiopatik prognosisnya baik kecuali bila penderita mengalami hemoptosis yang rekuren. Sedangkan pada hemoptisis sekunder ada beberapa faktor yang menentukan prognosis : 8,12 1. Tingkatan hemoptisis: hemoptisis yang terjadi pertama kali mempunyai prognosis yang lebih baik. 2. Jenis penyakit dasar yang menyebabkan hemoptisis. 3. Cepatnya kita bertindak, misalnya bronkoskopi yang segera dilakukan untuk menghisap darah yang beku di bronkus dapat menyelamatkan penderita.
19
a. Hemoptisis <200ml/24jam prognosa baik b. Profuse massive >600cc/24jam prognosanya jelek, 85% meninggal
KESIMPULAN Hemoptisis adalah ekspektorasi darah atau dahak bercampur darah yang berasal dari saluran napas bawah dan parenkim paru yang disebabkan oleh berbagai macam etiologi. Batuk darah merupakan keadaan darurat yang dapat mengancam jiwa dan lebih sering merupakan tanda atau gejala dari penyakit dasar sehingga etiologi harus dicari melalui pemeriksaan yang lebih teliti. Tujuan pokok terapi hemoptisis ialah mencegah asfiksia, menghentikan perdarahan dan mengobati penyebab utama perdarahan. Prognosis dari hemoptisis ditentukan oleh tingkatan hemoptisis, macam penyakit dasar dan cepatnya tindakan yang dilakukan.
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Seriosna RE, Swidarmoko B, Syahrudin E. Discharge Criteria of Patient with Hemoptysis and Evaluation for One Month in Persahabatan Hospital. Jurnal Respirologi Indonesia. 2010:30(4):197-205
2. Rasyid A, Sudarto. Hemoptisis. Dalam: PERPARI. Kompendium Tatalaksana Respirologi & Respirasi Kritis. Jilid 2. Bandung. 2013;58: Hal 545-552
3. Alsagaff H, Mukty A. Dasar Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga University Press. 2008; Hal 301-5
4. Sanri Pramahdi. Batuk Darah. Dalam: Kosasih A, Susanto AD, Pakki TR, Martini T. Diagnosis dan Tatalaksana Kegawatdaruratan Paru Dalam Praktek Sehari-hari. Jakarta: Sagung Seto, 2008. Hal 1-5
5. Irfa I, Medison I, Iryani D. Gambaran Kejadian Hemoptisis pada Pasien di Bangsal Paru RSUP Dr. M. Djamil Padang Periode Januari 2011–Desember 2012. Jurnal Kesehatan Andalas. 2014; 3(3)
6. Pertiwi ES, Sukrama D. Profil Penderita Hemoptisis Pada Pasien Rawat Inap Rsup Sanglah Denpasar Periode Juni 2013-Juli 2014. E-Jurnal Medika, Vol. 5 No.11, November, 2016
7. Djojodibroto RD. Respirologi. Jakarta: Penerbit EGC. 2009.p 206-9 8. Arief, Nirwan. Kegawat Daruratan Paru. Jakarta: Departemen Pulmonologi Dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI. 2009.
9. Cordovilla R, Bollo de Miguel E, Nuñez Ares A, Cosano Povedano FJ, Herráez Ortega I, Jiménez Merchán R. Diagnosis and Treatment of Hemoptysis. Archivos de Bronconeumología (English Edition). 2016 Jul;52(7):368–77.
21
10. Amirullah, R. Gambaran dan Penatalaksanaan Batuk Darah di Biro Pulmonologi RSMTH. Cermin Dunia Kedokteran. 2004. No.33.
11. Pramanik B. Hemoptysis with diagnostic dilemma. Expert Review of Respiratory Medicine. 2013 Feb;7(1):91–7.
12. PAPDI. Hemoptisis. Dalam: Rani Aziz, Sugondo Sidartawan, Nasir Anna U.Z., Wijaya Ika Prasetya, Nafrialdi, Mansyur Arif. Panduan pelayanan medik. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.2012
13. Ittrich H, Bockhorn M, Klose H, Simon M. The Diagnosis and Treatment of Hemoptysis. Dtsch Arztebl Int. 2017 Jun;114(21):371–81.
14. Ali J, Summer WR, Levitzky MG. Pulmonary Pathophysiology. 3rd Edition. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc. 2010. p. 36-50.
15. Sudoyo AW dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI: 2006.
16. Pitoyo CW. Hemoptisis. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku ajar ilmu penyakit dalam, jilid II, edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;2006. hal.220-1
17. Wibisono MJ dkk. . Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru 2010. Departemen Ilmu Penyakit Paru FK Unair. Surabaya: 2010.
22