Radikalisme dan Sempalan oleh Aluzar Azhar
Label: radikalisme, sempalan, apresiasi, BNPT, Kemenag RI, deradikalisasi, tanpa dikotomi agama dengan politik, teroris, koruptor, paedofil, beriman Kategori: Humaniora Tren wacana dan aksi radikalisme semakin mewabah, terlebih ketika „panci‟ meledak di Taman Pandawa dan aksi teror di kantor Kelurahan Arjuna, Kota Bandung (27/2/2017); hampir saja menggagalkan kunjungan kenegaraan Raja Salman dari Arab Saudi ke Indonesia dan Michael Essien bergabung dengan Persib. Alhamdulillaah, mereka datang serta tidak terjadi apa-apa. Kini, residu bom panci itu membekas traumatis di benak warga Kota Bandung, bahkan menjadi vektor syak-wasangka yang beranak-pinak ke wilayah Indonesia seluruhnya jika dikaitkan dengan dinamika politik. Sebutlah dengan ajang pilkada serentak sejak 2015 hingga 2018—gelombang ketiga dari tujuh hingga 2027; untuk seterusnya dilakukan kembali tiap lima tahun sekali—dan anehnya mendadak kompak ngeri apabila agama dikaitkan dengan politik. Padahal „woles‟ saja karena Negeri ini berpanglima Sila Pertama dari Pancasila. Karena itu, khususnya BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) dan Kemenag RI, jauh-jauh hari telah wara-wiri mengantisipasi radikalisme beserta derivasinya. Penulis sendiri melakukan studi literer secara sekilas melalui media online dan offline. Diperoleh hipotesis bahwa radikalisme itu kategori „wacana‟ (sikap radikal, tanathu’), sedangkan sempalan masuk kategori „aksi‟ (tindakan radikal, tasyaddud). Contohnya, peristiwa bom panci itu adalah sempalan dari radikalisme alias pemahaman melahirkan aksi teror. Pertanyaan asasi yang muncul, apa radikalisme? Untuk itu, tulisan ini bermaksud mengurai secara denotatif perihal definisi radikalisme beserta makna derivasinya. Semoga tulisan ini tidak menambah fobia, setelah kita diserang oleh teror bom, tuan hoax bin makar, dan harga céngék (cabe rawit). Level Apresiasi „Radikalisme‟ adalah 1 paham atau aliran yang radikal dalam politik; 2 paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis; 3 sikap ekstrem dalam aliran politik. „Sempalan‟ adalah 1 penggalan (misal tentang penyiaran dsb suatu peristiwa); 2 pecahan (tentang suatu organisasi dsb) (sumber: KBBI). Etimologi radikalisme dari kata radix (Inggris: akar atau bilangan dasar). Sementara „apresiasi‟, menurut P. Suparman Natawidjaja (Apresiasi Sastra & Budaya, 1982), mempunyai lima tingkatan, yaitu (l) penikmatan, bersifat
2 penonton; (2) penghargaan, bersifat pemilikan dan kekaguman; (3) pemahaman, bersifat studi, mencari pengertian, apa sebenarnya yang dihadapi; (4) penghayatan, meyakini apa dan bagaimana hakikat produk itu; dan (5) implikasi, bersifat makrifat, memperoleh daya tepat guna, bagaimana dan untuk apa. Saya kira, untuk semua level di atas, kata „radikalisme‟ tidak salah untuk dikonsumsi secara pribadi dan untuk kepentingan kerja ilmiah, hatta konservatisme, formalisme, fundamentalisme, ekstremisme, liberalisme, komunisme, ateisme, atau komodifikasi agama. Karena bagaimana akan mengcounter serangan isme/doktrin (ghazwul fikri) kalau kita tidak belajar isme tersebut? „Isme‟ di sini sistem kepercayaan berdasarkan politik, sosial, atau ekonomi (KBBI). Contoh fenomenal ketika Imam al-Ghazali „menyerang‟ filsafat (rasionalisme) dan teologi (gnostisisme) dengan tasawuf (mistisisme), padahal beliau sendiri ialah pakar filsafat, teologi, dan logika (mantiq). Ketika isme/doktrin itu disebarkan ke awam, apalagi terjadi aksi yang disebabkan penyimpangan terhadap pemahaman isme („sempalan‟), inilah yang salah dan disebut: heresi/bid‟ah, sinkretis, distorsi, ateis/kafir, fanatis/intoleran, teroris, kriminalis/anarkis (koruptor), atau psikopat/yang teralienasi (paedofil). Di sini, alangkah baiknya kita berguru kepada level kiai (‘alim-‘ulama khas), justru ikhtilaf (perbedaan pendapat) itu rahmat. Nah, mari berbaik sangka kepada Pemerintah. Tentu misinya berdasarkan konstitusi seperti aktualisasi Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4, yakni yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka dibentuk BIN, Densus Anti-Teror, atau BNPT. Satu dari tiga tugas BNPT adalah melaksanakan kebijakan di bidang penanggulangan terorisme dengan membentuk satuan-satuan tugas yang terdiri dari unsur-unsur instansi pemerintah terkait sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing. Bidang penanggulangan terorisme meliputi pencegahan, perlindungan, deradikalisasi, penindakan, dan penyiapan kesiapsiagaan nasional. Sebuah buku representatif diajukan di sini, yakni Deradikalisasi Pemahaman al-Quran dan Hadis (2008) karya Nasaruddin Umar yang di tahun 2011-2014 menjabat Wamenag RI dan sejak 2016 menjadi Imam Besar Masjid Istiqlal. Buku ini mengajak pembaca untuk memahami metodologi tafsir yang komprehensif dalam memahami teks al-Quran dan al-Sunnah seperti mempertimbangkan aspek sebab turunnya ayat al-Quran dan Hadis tentang „jihad‟, sehingga identifikasi ayat al-Quran dan Hadis jihad itu tidak hanya tekstual dan terkesan rigid serta implikasinya tidak melahirkan perilaku anarkis, intoleran, dan cenderung destruktif. Pemahaman doktrin agama yang komprehensif tersebut diharapkan juga dapat menanggulangi manifestasi yang lagi trendi, yakni aksi teroris, koruptor, dan paedofil.
3 Deradikalisasi Tokoh Presiden AS (Jamie Foxx) di film White House Down omong: “Kemiskinan menyebabkan peperangan.” Sekjen PBB (Antonio Guterres) omong: “Islamfobia pemicu terorisme.” Mahfud MD omong: “Ketidakadilan penyebab radikalisme dan intoleran.” Jika semua tokoh omong—termasuk orang pintar— dan sepakat bahwa faktor radikalisme adalah masalah sosial dalam berbangsa dan bernegara, maka solusi sebenarnya telah ditemukan alias tinggal dindaklanjuti oleh yang berwenang, yakni „deradikalisasi‟. Sedangkan faktor sempalan adalah masalah individual/komunal dalam memahami sebuah doktrin atau isme alias reaksi dari pembiaran atau pengabaian faktor isme yang sudah diidentifikasi oleh yang berwenang tadi. Misalnya masalah kemiskinan, dengan pendekatan etimologis diketahui „miskin‟ (Arab: sakana) itu diam, tentu orang diam harus digerakkan (diubah), bukan „dipelihara‟ seperti dengan Bantuan Langsung Tunai; program sekarang: Bantuan Pemerintah Non Tunai, yakni sekitar 1,4 juta keluarga mendapat Rp 110.000 per bulan melalui rekening bank masing-masing sebagai konversi sebagian program rastra (beras sejahtera). Agar kemiskinan itu tidak menimbulkan aksi (sempalan), Pemerintah harus menjadi inisator simpatik seperti tidak pura-pura tidak tahu ada orang miskin. Karena di masyarakat kita, harga cabe rawit naik pun adalah masalah besar. Di sini, kiranya manfaat pajak belum dimaksimalkan; juga level kepedulian sebagai sesama saudara terdekat (tetangga) merupakan bukti bahwa manfaat zakat belum dibumikan (lihat QS at-Taubah/9: 60). Selanjutnya untuk membaca wacana dan aksi radikalisme sekaligus memunculkan deradikalisasi, kita tinjau kembali sejarah. Studi kasus komunisme bagi negara Rusia, China, dan Korea Utara adalah cocok dan menguntungkan. Tetapi aksi komunisme yang mewujud PKI adalah tidak cocok dan merugikan bagi sejarah Nasional. Kemudian, secara personal, misalnya ateisme, dengan menjadi ateis adalah manifestasi menuhankan dirinya. Ketika manusia menjadi tuhan—harus diakui—sebagai aksi blunder, yaitu merepotkan diri-sendiri; kok mau-maunya ya jadi tuhan, menjadi manusia saja kita sudah repot! Kasus „formalisme‟ agama menjadi stigma, bahkan „formalitas‟ agama pun bermakna negatif. Padahal dalam sejarah kemunculannya, agama itu pernah memiliki identitas „formal‟ alias agama resmi atau agama standar. Khususnya untuk agama Islam, yang berwenang (Kemenag RI dan MUI) urgen membuat pedoman Islam „standar‟ (kaaffah sesuai QS al-Baqarah/2: 208) semisal Fiqh Aswaja (ahli sunnah wal jama‟ah) sebagaimana telah diterbitkan Al-Qur’an dan Terjemahnya serta Al-Qur’an dan Tafsirnya. Kemudian bagikan minimalnya untuk tiap masjid/majelis taklim; idealnya untuk tiap kepala keluarga muslim. Kasus lain masalah eksistensi Ahmadiyah dan Syi‟ah yang sudah difatwa sesat oleh MUI. Jika masih ada aksi Ahmadiyah dan Syi‟ah di Indonesia, tentu sebuah „lomba‟ kebajikan sekaligus kebijakan. Maksud saya, sungguh bajik jika non-Ahmadiyah dan non-Syi‟ah ber-introspeksi dalam keberagamaannya, misalnya disisipi kata ‘proselytize’ (dakwah); sebaliknya sungguh bijak jika penganut Ahmadiyah dan Syi‟ah ber-ekstrospeksi bahwa paham atau aksinya ini tidak cocok di Indonesia. Mungkin, cocok di negeri asalnya, India dan Iran.
4 Kemudian kata kunci „penanggulangan‟ dari Pemerintah itu harus sinkron dengan kehendak Rakyat, yaitu aktualisasi Semangat Reformasi (transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi), sehingga maksud dan tujuan program pembangunan efektif-efisien. Kiranya hal ini akan meminimalisasi miskomunikasi seperti maksud inisiatif Kemenag RI bikin standarisasi khatib dan pesantren. Namun, rencana ini keburu menjadi viral plus mengundang hoax, padahal masih dalam tahapan menjaring aspirasi dari ulama dan ormas Islam. Khusus Jawa Barat, dari 52.476.473 penduduk, 97 %-nya ialah muslim (sumber: Wikipedia 1/7/2016) tentu meradang jika khatib-nya dicurigai sebagai penyebar kebencian pada agama lain dan pesantren-nya dicurigai sebagai nest of radicalism. Untuk itu, wacana Deradikalisasi Nusantara layak dibumikan seperti Pribumisasi Islam yang digagas Gus Dur; dengan catatan: tanpa dikotomi agama dengan politik sebagaimana terkandung pada Sila Pertama Pancasila. Bukankah sumber berpolitik kita itu dari agama juga? Survei terbaru PBB (2017) terhadap 155 negara anggotanya menghasilkan Norwegia sebagai negara paling bahagia, Indonesia ke-81. PBB menggunakan parameter seperti pendapatan domestik bruto per kapita, bantuan sosial, harapan hidup sehat, kebebasan menentukan pilihan hidup, kedermawanan, dan persepsi korupsi. Survei membuktikan pula bahwa di negara-negara Barat yang kaya, kesehatan mental dianggap menjadi penentu yang paling penting (significant) dalam kebahagiaan pribadi dibanding pendapatan, pekerjaan, atau kesehatan fisik. Berarti, goal ini sejalan dengan Nawacita atau program Revolusi Mental yang diilhami misi lagu kebangsaan kita: “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya.” Karena itu, membangun mental/jiwa harus didahulukan karena mendesak (urgent). Akhirnya, bacaan saya melalui studi sekilas ini seperti diarahkan kepada kesimpulan bahwa zenit masalah beragama (kerukunan intra dan antar-umat beragama)—setelah ikhtiar dengan tangan dan lisan berupa uswah hasanah (teladan yang baik)—bagi orang beriman itu adalah istirja’ (innaa lillaahi wa inna ilaihii raaji’uun), berupa doa: semoga segala niat, cara, dan tujuan kita selalu sinergis plus selalu diberi hidayah (petunjuk), rida, dan inayah (pertolongan) dari Tuhan YME, tanpa aksi teror, apalagi anarkis, sehingga orang beragama itu personifikasi rahmatan lil’aalamiin (penyayang semesta alam), aamiin yaa Allaah yaa Rabbal’aalamiin. Wa Allaah a’lam. Bandung, 21 Maret 2017.