PENDIDIKAN HAK ASASI MANUSIA DALAM MENGANTISIPASI RADIKALISME DAN TERORISME1 Dr. Mulyawan Safwandy Nugraha, M.Ag., M.Pd.,1 Isep Ali Sandi 2 1 Peneliti dan Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Sukabumi. 2 Peneliti dan Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Mas’udiyah Sukabumi dan Mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga – Yogyakarta.
[email protected] - 08161117577 Abstrak Pendidikan Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan model pendidikan yang dikembangkan oleh kalangan aktivis hak asasi manusia sebagai jalur pendidikan kritis dalam merancang sebuah sistem pendidikan yang mengajarkan terkait penanaman nilai moral dan kesadaran individu untuk menjalin rasa persaudaraan, penjagaan hak-hak individu, penerimaan terhadap hak privat, penerimaan terhadap perbedaan ras, penerimaan terhadap perbedaan agama, dan penerimaan terdadap globalisasi sebagai bentuk perwujudan dari konsep dasar kemanusiaan. Sehingga program yang dikembangkan untuk proyeksi pendidikan berbasis pada hak asasi manusia adalah menggagas sejumlah kebebasan dasar manusia yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan. Dalam pendidikan hak asasi manusia sejumlah paparan yang akan banyak dibahas yaitu terkait dengan ketentuan Undang-Undang nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia pada pasal 4 yang menyatakan bahwa setiap individu memiliki hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak hak manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan keadaan apapun dan oleh siapapun. Untuk itu, makalah ini akan membahas konsep pendidikan hak asasi manusia dalam tinjauan yuridis untuk dapat diimplementasikan sebagai upaya dalam mencegah atau mengantisipasi radikalisme dan terorisme yang kerap terjadi di Indonesia sebagai Negara yang memiliki multi-budaya, multi-ras, multi-agama, multi-suku dan multigolongan. Sehingga dengan kata lain makalah ini menawarkan konsepsi baru bagi perkembangan dunia pendidikan dalam mengajarkan sistem nilai kehidupan masyarakat yang berlandaskan pada hokum normative yang berlaku dalam menjaga stabilitas keamanan nasional dengan mengurangi tingkat radikalisme dan terorisme yang ada. Dengan demikian, maka hasil dari penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah berkaitan dengan bagaimana program pelaksanaan pendidikan hak asasi manusia, langkah praktis pelaksananaan pendidikan hak asasi manusia, metode penerapan pendidikan hak asasi manusia dan peran pendidikan hak asasi manusia dalam menanggulangi radikalisme dan terorisme yang kerap terjadi. Kata Kunci 1
: Hak Asasi Manusia, Pembelajaran, Antisipasi, Radikalisme, Terorisme
Tulisan ini sebagai bahan untuk Prodeeding pada International Seminar on Islamic Law, Human Rights and Democracy yang diselenggarakan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN SGD Bandung di Hotel Puri Khatulistiwa pada Kamis, 27 November 2013.
HUMAN RIGHTS EDUCATION IN ANTICIPATION RADICALISM AND TERRORISM Dr. Mulyawan Safwandy Nugraha, M.Ag., M.Pd.,1 Isep Ali Sandi 2 1 Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Sukabumi. 2 Peneliti dan Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Mas’udiyah Sukabumi dan Mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga – Yogyakarta.
[email protected] /
[email protected] atau 081646920930
abstract Education for Human Rights ( HR ) is an educational model developed by human rights activists as an educational pathways critical in designing an education system that teaches moral values and associated planting individual consciousness to establish a sense of brotherhood, guarding individual rights, acceptance of the right private, acceptance of racial differences, acceptance of religious differences, and acceptance terdadap globalization as a form of embodiment of the basic concepts of humanity. So that programs developed for projection -based education on human rights was initiated a number of basic human freedoms must be protected, respected, and enforced in order to improve human dignity, well-being, happiness, and intelligence and justice. In human rights education a lot of exposure that will be discussed is related to the provisions of Law No. 39 of 1999 on human rights in article 4 which states that every individual has the right to life, the right not to be tortured , the right of personal freedom , the mind and conscience, freedom of religion, the right not to be enslaved, the right to recognition as a person before the law and equality, and the right not to be prosecuted based on retroactive laws are human rights that can not be reduced under any circumstances and the circumstances by anyone. To that end, this paper will discuss the concept of human rights education in the judicial review to be implemented in an effort to prevent or anticipate radicalism and terrorism that often occurs in Indonesia as a country which has a multi-cultural, multi- racial, multi- religious, and multi-ethnic groups. So in other words this paper offers a new concept for the development of education in teaching the value system of a society that is based on normative law applicable in maintaining the stability of national security by reducing the level of radicalism and terrorism there. Thus, the results of research conducted by the researchers are concerned with how the program implementation of human rights education , practical steps implementation human rights education, methods of implementation of human rights education and the role of human rights education in tackling radicalism and terrorism that often occur. Keywords : Human Rights , Learning , Anticipation , Radicalism , Terrorism
A. PENDAHULUAN Sejak diumumkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) pada tahun 1948 telah terjadi perubahan arus global di dunia internasional untuk mengubah cara pandang dan kesadarannya terhadap pentingnya suatu perlindungan hak-hak asasi manusia (HAM). Meningkatnya kesadaran masyarakat internasional mengenai isu HAM ini dalam tempo yang relatif singkat merupakan pula suatu langkah maju dalam kehidupan bernegara secara demokratis menuju sistem kenegaraan yang menjunjung tinggi nilai-nilai HAM. Semenjak Indonesia merdeka, negara ini memiliki konsep kehidupan masyarakat dengan berpedoman pada pancasila. Oleh karena itu setiap program yang dirancang selalu diupayakan untuk sesuai dengan nilai-nilai pancasila yang ada. Maka dengan demikian, untuk dapat menjalankan dan menerapkan nilai-nilai pancasila tersebut diperlukan sebuah sarana khusus, yang dapat menujang konsep idiologis kehidupan berbangsa dan bernegara. Hampir telah disetujui oleh seluruh para ahli bahwa pendidikan merupakan kebutuhan mendasar dalam membangun sebuah masyarakat, sehingga oleh karena itu, peran lembaga pendidikan dalam membangun sebuah masyarakat sangatlah besar, terutama dalam menentukan tumbuh kembang suatu masyarakat untuk maju dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, social kemasyarakatan, kehidupan beragama, dan penegakan hukum2. Fokus utama pendidikan agama dititikberatkan pada kepercayaan, prilaku, moral dan berbagai bentuk ritual seremonial keagamaan yang ada. Logikanya, telah 12 tahun mereka merasakan kegiatan belajar mengajar (KBM) di bangku sekolah. Selama itu pula mata pelajaran pendidikan tidak pernah absen menemani mereka. Pada dewasa ini, sistem pendidikan yang dirancang di Indonesia sesuai dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan Undang-Undang nomor 12 tahun 2012 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Mengarahkan Indonesia untuk membangun sebuah sistem pendidikan yang menjunjung tinggi nilai-nilai pancasila yang dijabarkan melalui sejumlah program seperti pendidikan berbasis karakter, pendidikan berbasis gender 3, pendidikan berbasis hak asasi manusia4, pendidikan berbasis kearifan local5, pendidikan berbasis perdamaian dan pendidikan berbasis multi-kultural. Yang dilakukan dalam kurikulum tersembunyi dalam proses penyelenggaraan pendidikan yang dibantu oleh stuktur kurikulum dalam sejumlah mata pelajaran seperti pendidikan kewarganegaraan, ilmu pendidikan social, dan pendidikan agama. 2
Isep Ali Sandi, Feminist Contributions Indonesia In The Islamic Education Curriculum-Based Character Gender (Case Study At The Centre For Women's Studies Of Gadjah Mada University And The Center For Women's Studies Islamic University Of Sunan Kalidjaga), (Paper Presentation and proceeding Seminar on Islam, Science and Technology: State Islamic University of Sunan Kalijaga, 2013), hlm 73-75 3 Isep Ali Sandi, Investment Values of Character-Based Religious Education Gender and Local Wisdom, (Paper Presentation at International Conference- ISRA, UIN Sunan Kalijaga; Yogyakarta), 2012, hlm 115. 4 Isep Ali Sandi, Rohmalina Wahab, 2013, HUMAN RIGHTS-BASED EDUCATION: A Review of Policies and Implementation Measures in Indonesia (Paper Presentation Annual Conference Asia Pacific Network on Moral Education: Yogyakarta State University) hlm 1-13. 5 Isep Ali Sandi, Mulyawan Safwandy Nugraha, 2013, INVESTMENT POLICIES IN THE IMPLEMENTATION OF THE NATIONAL CHARACTER VALUE OF INDONESIA; Review Before Application of Curriculum 2013. (Paper Presentation and in Print Book in Programme International Seminar on Primary Education; Yogyakarta State University Print), hlm 66-72.
Hal ini dilaksanakan bertujuan untuk membangun sebuah masyarakat yang berbineka tunggal ika yang menjadi pedoman bangsa. Sehingga kedepannya diharapkan mampu mewujudkan sebuah masyarakat yang harmonis dan dinamis dalam membangun masyarakat Indonesia. Karena perkembangan pemikiran manusia terkait gender dan Hak Asasi Manusia (HAM) 6 di Indonesia sangat besar dipengaruhi oleh budaya masyarakat yang multi-budaya, multi-agama dan multi-ras. Oleh karenanya, dalam ranah kehidupan sering berlajut hingga titik nadir memunculkan sejumlah asumsi dan kegiatan yang mengarah pada perbaikan system social masyarakat disuatu tempat. Pendidikan Islam di Indonesia dihadapkan pada tantangan semakin berkembangnya model-model pendidikan yang diselenggarakan oleh berbagai lapisan masyarakat. Dari tingkat yang paling dasar (Madrasah Ibtidaiyah/MI) hingga perguruan tinggi (UIN, IAIN, STAIN, PTAI), pencarian yang ideal tentang studi Islam terus dilakukan, terutama untuk mewujudkan cita-cita pendidikan Islam. Model pendidikan Islam di Indonesia masih jauh dari memuaskan, terutama jika dilihat dari sistem pengelolaan, kualitas kurikulum, hingga pada kualitas lulusannya. Yang tak kalah seriusnya adalah tantangan globalisasi yang memungkinkan sebuah lembaga pendidikan mesti memiliki kualifikasi tertentu sehingga orientasi pendidikan Islam di Indonesia masih belum begitu jelas, terutama dalam menentukan pola, arah, dan capaian tertentu yang diinginkan, sehingga pendidikan Islam kita dapat diakui secara internasional. Tantangan pendidikan Islam yang sudah diharuskan memiliki kualifikasi internasional, tidak lepas dari pandangan tentang studi Islam, yang selama ini diperdebatkan antara studi Islam di Timur dan Barat. B. PEMBAHASAN dan ANALISIS 1. Pembelajaran Pembelajaran berasal dari kata belajar, yang berarti proses pembentukan tingkah laku secara terorganisir7. Belajar merupakan suatu upaya penguasaan kognitif, afektif, dan psikomotor melalui proses interaksi antara individu dan lingkungan yang terjadi sebagai hasil atau akibat dari pengalaman dan mendahului perilaku 8. Dalam proses belajar mengajar terjadi interaksi antara siswa dengan guru maupun siswa dengan siswa, sehingga dibutuhkan kerjasama yang baik untuk mencapai tujuan pembelajaran. Disamping adanya interaksi antara guru dan siswa, kegiatan pembelajaran juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain. Menurut Muhibin Syah beberapa faktor yang mempengaruhi kegiatan belajar siswa antara lain faktor internal siswa yang meliputi aspek fisiologis dan psikologis 9. Disamping itu, faktor eksternal juga turut berpengaruh. Faktor eksternal meliputi lingkungan sosial dan non sosial. Dari factor eksternal yang paling berpengaruh adalah terkait struktur kurikulum dari mulai silabus dan modul atau bahan ajar yang dipergunakan.
6
Martinus Nijhoff , Economic, Social and Cultural Right, (Martinus Nijhoff Publisher an imprint of Brill Academic Publishers; English) 2001. Hlm. 351-373. Penjelasan lebih detail terkait masalah yang berkaitan dengan hak asasi manusia yang berkaitan dengan bahasan feminism dan perempuan dapat dipelajari dalam buku terjemahan bahasa Indonesia. 7 Sholahudin, Mahfudz. Pengantar Psikologi Pendidikan. (Surabaya: Bina Ilmu, 1996), hlm. 36. 8 Sagala, Syaiful. 2010. Supervisi Pembelajaran Dalam Profesi penddikan. Bandung: Penerbit Alfabeta, hlm. 30. 9 Syah, Muhibin. Psikologi Pendidikan : Suatu Pendekatan Baru. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995), hlm. 32.
Modul merupakan bahan ajar yang ditulis dengan tujuan agar siswa dapat belajar secara mandiri tanpa atau dengan bimbingan guru 10. Modul telah disusun secara terstruktur sehingga siswa dapat belajar sesuai dengan instruksi yang ada dalam modul. Pembelajaran menggunakan modul di kelas dapat digunakan untuk membantu guru dalam mengatur kegiatan belajar mengajar. Menurut Wena modul merupakan salah satu bahan ajar yang berisi satu unit pembelajaran, dilengkapi dengan berbagai komponen sehingga memungkinkan siswasiswa yang mempergunakannya dapat mencapai tujuan secara mandiri, dengan sekecil mungkin bantuan guru, siswa dapat mengevaluasi kemampuan sendiri, yang selanjutnya dapat menentukan mulai dari mana kegiatan belajar selanjutnya harus dilakukan 11. Dengan demikian, modul merupakan bahan ajar yang menuntut kemandirian siswa. Kebebasan siswa dalam mengatur kegiatan belajarnya sendiri, menuntut siswa untuk memiliki motivasi yang cukup tinggi dalam melakukan kegiatan belajar. Modul dapat digunakan oleh guru sebagai salah satu alternatif bahan ajar yang dapat disusun sendiri maupun menggunakan modul yang sudah ada. Penggunaan modul yang sudah disusun secara terstruktur akan membantu guru dalam mengorganisasi kegiatan pembelajaran. Sebelum memulai kegiatan belajar mengajar, guru harus melakukan berbagai persiapan agar tercapai tujuan pembelajaran yang diharapkan. Sebagai salah satu bahan ajar, modul tidak hanya berisi uraian materi pelajaran, namun juga berisi petunjuk pelaksanaan kegiatan pembelajaran. Berbagai kegiatan pembelajaran dalam modul diharapkan dapat membantu guru menyelenggarakan kegiatan pembelajaran yang bermakna bagi siswa. Menurut Vembriarto menyatakan modul sebagai bahan ajar yang terstruktur hendaknya terdiri atas beberapa unsur, antara lain rumusan tujuan pengajaran yang eksplisit dan spesifik, petunjuk untuk guru, lembaran kegiatan siswa, lembar kerja bagi siswa, kunci lembar kerja, lembar evaluasi, dan kunci lembar evaluasi 12. Modul dapat disusun sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kegiatan pembelajaran yang diinginkan. Penggunaan modul dapat mendukung kegiatan pembelajaran agar lebih terstruktur. Berbagai lembar kegiatan, lembar kerja siswa, maupun kegiatan pembelajaran lainnya dalam modul dapat disusun sesuai dengan model pembelajaran yang diharapkan. Kegiatan pembelajaran aktif seperti pembelajaran kontekstual, pembelajaran konstruktivisme, dan kegiatan pembelajaran aktif lainnya dapat dilaksanakan dengan menggunakan bahan ajar berupa modul. 2. Konsep Hak Asasi Manusia Pendidikan selayaknya mendapatkan perhatian yang sangat serius dalam membangun sebuah konsep kehidupan, terutama terkait dengan nilai-nilai kemanusiaan (Human Assesment Values), sebab dalam proses kehidupan dunia modern, pendidikan akan berhubungan erat dengan penciptaan sebuah struktur sistem masyarakat yang berlaku. Dalam memahami sebuah konsepsi untuk membangun kesejahtraan bersama, menjadi hal yang pasti adalah terlindunginya sejumlah hak-hak yang mendasar bagi 10
Wenno, Izzak H. 2010. Pengembangan Model Modul IPA Berbasis Problem Solving Method Berdasarkan Karakteristik Siswa Dalam Pembelajaran Di SMA/MTs. (Jurnal Cakrawala Pendidikan. 2). hlm 176-188. 11 Wena, Made. 2009. Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer : Suatu Tinjauan Konseptual Operasional. (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2009), hlm. 232. 12 Vembriarto. 1985. Pengantar Pengajaran Modul. Yogyakarta: Yayasan Pendidikan Paramita, hlm 3738.
manusia itu sendiri, sebab tidak dapat dipungkiri bahwa keberlangsungan sebuah kehidupan yang beradab diawali oleh individu-individu, sehingga mampu saling menghargai, menghormati dan menjaga hak-hak yang mendasar bagi dirinya maupun orang lain sebagai sebuah keharusan. Indonesia saat ini mulai menerapkan nilai-nilai demokrasi. Tujuan kami adalah mempersiapkan generasi yang akan datang untuk menangani berbagai masalah berdasarkan nilai-nilai HAM, termasuk bagaimana menangani masyarakat usia tidak produktif, masyarakat terbelakang, serta masalah etnik agar dapat menghentikan berbagai macam kekerasan seperti yang terjadi di masa lampau. Karena itu, strategi mengatasi berbagai macam masalah berdasarkan nilai-nilai HAM perlu diciptakan. Taktik yang cukup efektif untuk membuat masyarakat sadar mengenai pentingnya mempelajari HAM adalah melibatkan agen perubahan yang terdiri atas tokoh agama serta tokoh masyarakat termasuk guru dalam pengembangan serta pelatihan pengimplemetasian kurikulum HAM di sekolah negeri dan swasta dalam semua tingkatan.13 Sistem Pendidikan Nasional Indonesia yang termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945; Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen; UndangUndang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, pada dasarnya dirancang untuk dapat menjawab setiap problematika yang dihadapi di dunia pendidikan, kendati demikian hal ini sebenarnya belumlah cukup, karena bukan hanya sebatas konsepsi yang dirancang, melainkan juga akan berhubungan erat dengan kesadaran praktisi pendidikan, akademisi, pemerintah, dan masyarakat dalam memahami system yang dirancang. Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai bagian dari keilmuan humaniora, hingga saat ini menjadi perhatian sejumlah peneliti, baik dalam skala nasional regional maupun internasional, untuk terus dikaji, diteliti dan dikembangkan sebagai bagian keilmuan yang mampu memanusiakan manusia secara holistic, tanpa cela. Bahkan jika diperhatikan secara seksama dalam konsepsi penelitian terkait Hak Asasi Manusia (HAM) cukup beragam pendekatan keilmuan yang digunakan, seperti; hukum, pendidikan, social, agama, ekonomi dan budaya. Dari proses dan pendekatan yang digunakan, seharusnya hasil penelitian yang dilakukan juga mampu menawarkan konsepsi ideal dalam rancangan proses penyelanggaraan pendidikan yang berlangsung, agar benar-benar mampu mencetak out-come pendidikan yang lebih humanis. Perancangan sistem pendidikan yang direalisasikan dalam pendidikan Indonesia, cukup banyak menghasilkan sejumlah tindakan kekerasan dalam pendidikan (violance in education) serta berujung pada kriminalitas, intimidasi dan bullying; dalam proses pendidikan. Jika diperhatikan masalah ini muncul bukanlah disebabkan oleh system rancangan yuridis yang berlaku, akan tetapi lebih banyak dipengaruhi oleh pengaruh kurikulum, kesadaran dan kemampuan tenaga pendidikan, kurangnya pembinaan pemerintah, dan ketidaktahuan masyarakat dalam memahami hak-hak mendasar yang melekat pada setiap manusia.
13
Mashadi Said, Penegakan Hak Asasi Manusia Melalui Pemanfaatan Perspektif Agama Dan Tokoh Masyarakat: Pemajuan Pendidikan Hak Asasi Manusia (HAM) secara Nasional di Indonesia, Pusat Korban Penganiayaan Taktik Baru dalam Proyek HAM, Minneapolis-USA, 2006, hlm 6.
Sebagaimana diungkapkan oleh M Nafiah Ibnor dalam laporan di jurnal kopertis pada tahun 2009 yang menyebutkan bahwa: Namun demikian, proses dan tata kehidupan politik yang telah berjalan dalam usia relatif dini nampaknya belum memberikan dampak yang mengembirakan dan menunjukkan tanda-tanda yang meyakinkan (convincing signs). Karena masih ditemukan beberapa tindakan kontraproduktif dan destruktif seperti tindakan pelanggaran HAM, kecenderungan tindakan yang mengarah pada "destabilisasi", kecenderungan tindakan mobokrasi, tindak kekerasan, rendahnya penegakan hukum bagi para pelaku pelanggaran HAM, penyalahgunaan kekerasan, masih maraknya tindak korupsi, tingginya pertentangan antara legislatif dengan yudikatif dalam kerangka otonomi daerah dan sebagainya.14 Hal ini tentunya memerlukan sejumlah grand desain, terkait tawaran konsepsi dalam membangun rancangan sistem pendidikan yang dilakukan agar mengedepankan Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai sebuah jawaban dan bentuk kebutuhan yang mendasar (Need Assesment). Mengapa bisa demikian? Hal ini tentunya dikarenakan selama ini terdapat masalah penting, serta perlu di garis bawahi dan menjadi perhatian bersama terkait pola kehidupan berbangsa dan bernegara dengan nilai-nilai kemanusiaan. Memang benar, masalah tersebut adalah dikarenakan kurangnya kesadaran akan memahami hakikat manusia secara utuh, bukan disebabkan oleh system yang salah. 3. Radikalisme Radikalisme merupakan faham (isme), tindakan yang melekat pada seseorang atau kelompok yang menginginkan perubahan baik, sosial, politik dengan menggunakan kekerasan, berfikir asasi dan bertindak ekstrim15. Penyebutan istilah radikalisme dalam tinjauan sosio-historis pada awalnya dipergunakan dalam kajian sosial budaya dan dalam perkembangan selanjutnyanya istilah tersebut dikaitkan dengan persoalan politik dan agama. Istilah radikalisme merupakan konsep yang akrab dalam kajian keilmuan sosial, politik dan sejarah. Istilah radikalisme digunakan untuk menjelaskan fenomena sosial dalam suatu masyarakat atau negara 16. Adapun yang dimaskud kelompok Islam radikal adalah kelompok yang mempunyai keyakinan idiologis tinggi dan fanatik yang mereka perjuangkan untuk menggantikan tatanan nilai dan sistem yang sedang berlangsung17. Secara umum, meminjam terminologi Esposito, dapat diidentifikasi beberapa landasan idiologis yang dijumpai dalam gerakan Islam radikal. Pertama, kelompok ini berpendapat bahwa Islam adalah agama yang komprehensif. Kedua, ideologi masyarakat Barat yang sekuler dan materialistik harus ditolak kalau masyarakat mencontoh ideologi Barat berarti masyarakat muslim tidak berhasil karena ideologi masyarakat Barat bukan ideologi yang ideal menurut ajaran Islam. Ketiga, Perubahan 14
M Nafiah Ibnor, Nilai-Nilai Demokrasi Dan Ham Dalam Sistem Pendidikan Indonesia, Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 7 No.11 April 2009, hlm 2. 15 Tim Penyusun Pusat Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: DEPDIKBUD & Balai Pustaka, 1998), hlm. 425. 16 Bachtiar Effendy, Radikalisme: Sebuah Pengantar (Jakarta: PPIM. IAIN, 1998), hlm. xviixviii 17 Jamhari dan Jajang Jahroni (penyuting ), Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, Penerbit : PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, Cetakan Pertama 2004, hlm. 2-3.
sosial yang diinginkan oleh masyarakat Islam adalah perubahaan sosial yang berlandaskan pada sumber hukum Islam yang utama yaitu Al-Quran dan Al-Hadist. Keempat, idiologi Barat harus ditolak, oleh karena itu masyarakat muslim harus menegakkan hukum Islam. Kelima, kelompok ini memberlakukan sistem sosial dan hukum yang sesuai dengan ajaran yang dibawa nabi Muhammad saw, dan menolak ideologi Barat tetapi sebenarnya kelompok ini tidak menolak moderenisasi. Moderenisasi dalam bidang sains dan teknologi diterima asal tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Keenam, mereka berkeyakinan bahwa upaya-upaya Islamisasi pada masyarakat muslim tidak akan berhasil tanpa menekankan aspek pengorganisasian pada masyarakat ataupun pembentukan sebuah kelompok yang kuat 18. Selain itu dengan menyakinkan pengikutnya untuk menjalankan tugas suci keagamaan dalam rangka menegakkan hukum Islam. Gerakan Islam radikal telah memberikan warna berbeda bagi perjalanan corak keberagamaan di Indonesia. Misalnya, dalam pengalaman umat Islam, terjadi polarisasi yang sangat tajam antar Islam moderat dan Islam radikal di masa sekarang. Setelah Islam moderat berhasil mendapatkan tempat di hati penguasa sejak 1980-an, kini di era reformasi, mereka mendapat tantangan serius dari gerakan Islam radikal yang menyeruak ke dalam lapisan sosial masyarakat. Mereka berhasil merebut simpati publik secara terbatas dengan membangun opini publik dan organisasi gerakan. Tak heran jika suara mereka di pentas nasional begitu nyaring terdengar. Karena itu, perkembangan radikalisme Islam di Indonesia merupakan suatu kenyataan sosio-historis dalam negara majemuk, tetapi juga bisa menjadi ancaman bagi masa depan pluralisme di Indonesia. Sebagai antisipasi, perlu memeperluas gerakan Islam yang moderat, pluralis, dan inklusif di tengah-tengah masyarakat. Gagasan globalisasi dan modernitas didasarkan pada dua hal. Pertama, secara diskursif, gerakan moderasi umat diyakini sebagai penopang terciptanya harmonisasi sosial masyarakat di era mulikultural. Karena multikulturalisme merupakan realitas historis dalam masyarakat yang mesti disikapi secara positif. Dengan demikian, ekslusivitas beragama diyakini secara total sebagai kebenaran agama (religious truth) bisa menjadi batu sandungan ideologis untuk memecahkan problem pluralisme di Indonesia. Itu sebabnya pendidikan pluralis menjadi prioritas dalam menjembatani doktrin ekslusif. Kedua, secara praksis, praktek kehidupan beragama masih mendikotomi klaim kebenaran dan keselamatan dalam masing-masing umat beragama mesti dikikis. Dari sisi perjuangan dapat dianalisis adanya kesamaan visi dan misi gerakan radikal Islam Indonesia dan Timur Tengah. Gerakan yang dilakukan FPI, FPIS dan Laskar Jihad mirip dengan apa yang dilakukan oleh Gerakan Wahabi di Arab Saudi. Gerakan radikal Islam Indonesia diilhami atau dipengaruhi oleh gerakan pemaharuan Islam yang dicetuskan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab (1703- 1792) di Timur Tengah ini. Sementara Hizbut Tahrir, yang sebagian besar pengikutnya berasal dari kalangan kampus, tidak mengedepankan aspek kekerasan dalam memperjuangkan visi dan misinya. Gerakan Hizbut Tahrir memiliki kesamaan dengan gerakan Pan-Islamisme yang ditokohi oleh Jamaluddin Al-Afghani (1871) dan diteruskan oleh Rasyid Ridha. Baik Al-Afghani maupun Hizbut Tahrir sama-sama ingin mengembalikan kejayaan umat Islam masa lampau untuk membangkitkan kembali umat Islam dari kemerosotan yang amat parah, membebaskan umat Islam dari ide-ide, sistem perundang-undangan, 18
Yusuf Qardhawi, al-Thtarruf al-Dini, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2004) hlm. 4-5.
dan hukum kufur, serta dari dominasi negara kafir dengan membangun Daulah Islamiyah dan mempercayai sistem kekhalifahan dengan seorang khalifah yang dibaiat oleh kaum muslimin untuk mereka taati. Keduanya juga anti peradaban dan imperialisme barat dan berusaha mengembangkan kebudayaan Islam sendiri 19. Majelis Mujahidin Indonesia juga memiliki visi membangun kekhalifahan Islam, hanya saja mereka menghendaki kekhalifahan Islam ini mencakup seluruh negara di Asia Tenggara. Gerakan radikal Islam juga menghedaki berdirinya negara Islam dan dijalankannya syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari. Hampir seluruh gerakan radikal Islam memandang bahwa obat mujarab untuk mengobati krisis multidimensi yang dihadapi oleh Indonesia adalah dengan menjalankan syariat Islam dengan sesungguhnya. Keterpurukan bangsa ini diakibatkan karena penduduknya yang mengingkari Allah dan meninggalkan agamanya dengan lebih mementingkan kepentingan duniawi. 4. Terorisme Pembahasan terkait terorisme pada dasarnya sangat erat kaitannya dengan tidak kejahatan criminal, hal ini disetujui oleh sejumlah negara yang ikut menandatangani deklarasi universal tentang hak asasi manusia, sebagaimana diungkapkan oleh Farouk Muhamad yang menyatakan bahwa “Teror merupakan reaksi jahat terhadap aksi yang dipandang “lebih jahat” oleh pelaku, sehingga bukan merupakan kejahatan yang berdiri sendiri (interactionism) dan dapat dikelompokkan ke dalam kejahatan balas dendam (hate crimes). Pandangan “lebih jahat” itu sendiri lebih merupakan persepsi dari pada fakta. Karena itu, prasyarat utama bagi terjadinya teror adalah sikap/perbuatan seseorang/sekelompok orang bahkan kebijakan penguasa (negara) yang dipandang secara subyektif oleh pelaku atau kelompok pelaku sebagai mendzolimi, semena‐mena, diskrimintaif dan/atau tidak adil bagi pihak lain. Kedua, bahwa pelaku tidak mempunyai kemampuan untuk memberi reaksi (jahat) secara langsung dan terbuka sementara di lain pihak tidak tersedia legitimate means untuk mengoreksi sikap/perbuatan dan/atau kebijakan dimaksud. Kedua kondisi itulah yang merupakan akar permasalahan yang menumbuhkan perbuatan teror20. Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak tunduk pada tatacara peperangan seperti waktu pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak serta seringkali merupakan warga sipil21. Sebagaimana dipaparkan dalam penjelasan pengertian terorisme dalam wikipedia dinyatatakan bahwa Istilah teroris oleh para ahli kontraterorisme dikatakan merujuk kepada para pelaku yang tidak tergabung dalam angkatan bersenjata yang dikenal atau tidak menuruti peraturan angkatan bersenjata tersebut. Aksi terorisme juga mengandung makna bahwa serang-serangan teroris yang dilakukan tidak berperikemanusiaan dan tidak memiliki justifikasi, dan oleh karena itu para pelakunya ("teroris") layak mendapatkan pembalasan yang kejam. Akibat makna-makna negatif yang dikandung oleh perkataan "teroris" dan "terorisme", para teroris umumnya menyebut diri mereka sebagai separatis, pejuang pembebasan, pasukan perang salib, militan, mujahidin, dan 19 20
21
Zuhari Miswari dan Khamami Zada, Islam Melawan Terorisme, (Ciputat: LSIP, 2004), hlm. 56-166. Prof. Dr. Farouk Muhammad, TERORISME : UPAYA PENGATURAN POLITIK DAN INSTITUSI, Makalah disampaikan pada Simposium Nasional “Memutus Mata Rantai Radikalisme dan Terorisme”, Rabu, 28 Juli 2010, hlm 1. http://id.wikipedia.org/wiki/Terorisme, diakses pada 15 Oktober 2012.
lain-lain. Tetapi dalam pembenaran dimata terrorism : "Makna sebenarnya dari jihad, mujahidin adalah jauh dari tindakan terorisme yang menyerang penduduk sipil padahal tidak terlibat dalam perang". Padahal Terorisme sendiri sering tampak dengan mengatasnamakan agama22. Selain oleh pelaku individual, terorisme bisa dilakukan oleh negara atau dikenal dengan terorisme negara (state terorism). Misalnya seperti dikemukakan oleh Noam Chomsky yang menyebut Amerika Serikat ke dalam kategori itu. Persoalan standar ganda selalu mewarnai berbagai penyebutan yang awalnya bermula dari Barat. Seperti ketika Amerika Serikat banyak menyebut teroris terhadap berbagai kelompok di dunia, di sisi lain liputan media menunjukkan fakta bahwa Amerika Serikat melakukan tindakan terorisme yang mengerikan hingga melanggar konvensi yang telah disepakati 23. 5. Pendidikan Hak Asasi Manusia Perancangan system pendidikan yang berlandaskan pada nilai-nilai kemanusiaan, menjadi bagian sangat penting untuk dilakukan, guna meningkatkan kualitas kehidupan manusia sebagai makhluk social dan makhluk berpendidikan. Sebab, berbicara terkait sejumlah isu mengenai Hak Asasi Manusia (HAM), akan sangat erat kaitannya dengan perkembangan kehidupan manusia secara global. Agar dapat dijalankan sebuah konsepsi, perlu dirancang sistem pendidikan Indonesia yang menjungjung tinggi hak dasar bagi manusia dengan berlandaskan pada demokrasi pancasila, agar mengarah pada perbaikan dalam bidang Hak Asasi Manusia (HAM) pendidikan Indonesia, pemikiran dari James A. Beane dan Micchael W. Apple dapat menjadi rujukan yang cukup tepat, untuk Indonesia sebab sebagaimana pernyataannya bahwa: Pendidikan demokratis tiada lain adalah mengimplementasikan pola-pola demokratis dalam pengelolaan pendidikan, yang secara umum mencakup dua aspek, yakni struktur organisasi dan prosedur kerja dalam struktur tersebut, serta merancang kurikulum yang bisa mengantarkan pribadi Indonesia memiliki berbagai pengalaman tentang prakti-praktik demokrasi. Dengan kata lain pendidikan demokratis adalah pendidikan yang dikelola dengan memungkinkannya praktik-praktik demokratis itu terlaksana.24 Agar dapat melaksanakan sebuah sistem pendidikan yang berbasis pada hak asasi manusia maka diperlukan tenaga pendidik yang professional. Sebab dalam proses penyelenggaraan pendidikan akan berhubungan erat kaitannya dengan pendidik, peserta didik, lembaga pendidikan, kebijakan pemerintah dan dukungan masyarakat. Bahkan lebih tegasnya lagi kebutuhan terhadap kualitas pendidik menjadi hal yang krusial untuk bisa menjalankan pendidikan berbasis hak asasi manusia, sebagimana diungkapkan oleh Zein sebagai berikut: Pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan perundangundangan. Pengakuan kedudukan Guru sebagai tenaga profesional adalah terkait mengenai pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang 22
Ibid.
23
Ibid.
24
Apple, Michael W., and James A. Beane, The Case of Democratic school, ASCD, Alexandria, Virginia, 1995, hlm. 9.
memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi. Hal ini dilakukan pemerintah agar para guru di berbagai daerah di tanah air dapat bekerja secara profesional dilakukan dengan cara mengumpulkan berbagai berkas portofolio yang terdiri bukti-bukti prestasi, hasil kinerja dan berbagai hal yang terkait dengan kiprah guru tersebut.25 Hal ini sebagaimana digambarkan oleh Budi seorang peneliti dari Pusat Penelitian dan pengembangan hak-hak ekonomi social dan budaya.26 Mengemukakan sebagai berikut: Guru profesional yang dibentuk adalah untuk : (1) menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, (2) meningkatkan proses dan mutu hasil pendidikan, (3) meningkatkan martabat guru, (4) meningkatkan profesionalitas guru. Jika dirumuskan lagi terhadap pendidikan hak asasi manusia yang lebih mengarah pada persepsi penyelenggaran pendidikan yang sesuai dengan amat dari undang-undang sistem pendidikan nasional nomor 20 tahun 2003, maka akan didapatkan bahwa sebenarnya proses pendidikan dilakukan memerlukan kualitas tertentu atau dengan kata lain perlu pendidikan yang bermutu. Adapun untuk konsepsi pendidikan bermutu, penulis mengadopsi pada konsepsi sebagi berikut: Pendidikan bermutu adalah investasi bukan hanya bagi individu tetapi juga bagi masyarakat. Pendidikan bermutu merupakan investasi masa depan bangsa dalam membentuk warga negara seutuhnya yang terdidik, cerdas, dan merupakan aset yang menentukan eksistensi serta kemajuan bangsa dalam berbagai dimensi kehidupan. Sehingga disimpulkan bahwa kualitas pendidikan baik di sekolah umum maupun di madrasah dapat dicapai melalui adanya program sertifikasi termasuk perbedaan yang berarti antar hasil belajar yang dicapai sekolah umum maupun sekolah unggulan. 27 Jika kualitas pendidikan telah bermutu maka peran pemerintah untuk menjalankan pendidikan berbasis karakter dapat dilaksanakan. Terutama yang berkaitan dengan program pendidikan hak asasi manusia sebagai bagian yang integral dalam merancang system pendidikan humanis, demokratis, dan religious. Dengan demikian, maka perancangan system pendidikan berbasis hak asasi manusia sanga diperlukan, guna lebih meningkatkan dan menjaga harkat martabat manusia itu sendiri yang dilaksanakan melalui lingkungan buatan atau lembaga pendidikan sebagai pelaku program untuk mengedepankan nilai-nilai hak asasi manusia sebagai ruh dalam sistem pendidikan yang dilaksanakannya. Mengkaji Hak Asasi Manusia (HAM) dalam dunia pendidikan merupakan wacana baru dan masih banyak membingungkan bagi para pelaku dunia pendidikan, baik praktisi, akademisi maupun peneliti, dalam mengembangkan projek pendidikan berbasis hak asasi manusia. Hal ini terjadi karena, dalam konstruksi pemikiran sejumlah kalangan yang berbasis agama di Indonesia, lebih banyak yang menyatakan bahwa hak asasi manusia merupakan produk barat bukan produk agama. Konsepsi yang demikian, 25
Zein, HM, 2010, Kiat Sukses Mengikuti Sertifikasi Guru, (Malang: Cakrawala Media Publisher), hlm 27. 26 Budi, Evaluasi Pelaksanan Sertifikasi Guru Sekolah Umum Dan Guru Sekolah Madrasah, Jurnal Hak Asasi Manusia, Juli 2012, hlm 17-24. 27 Ibid, hlm 28.
tentunya mempersulit bagi para penggiat keilmuan yang akan mengembangkan konsep pendidikan berbasis hak asasi manusia. Pendidikan berbasis hak asasi manusia pada dasarnya memiliki perbedaan dengan konsep pendidikan perdamaian (peace education) yang mengedepankan persamaan derajat manusia dan pendidikan multi-kultural (multiculturalism education) yang mengusung tema-tema yang berkaitan dengan perbedaan buaya yang harus dihargai dan dihormati. Adapun untuk pembelajaran berbasis hak asasi lebih mengedepankan nilai-nilai karakter individu yang dibangun melalui proses pembelajaran tentang pemahaman jati diri manusia sehingga lebih menghargai hak-hak individu, bertanggungjawab, memiliki kesadaran untuk saling menjaga, menolong, menghargai, dan menjunjung tinggi hokum legal formal sehingga tidak terjadi pelanggaran terhadap hak-hak yang melakat dari setiap individu itu dikarenakan terjadinya bullying, intimidasi, pemaksaan yang mencerabut hak asasi individu baik secara sistemik maupun cultural, dalam ruang lingkup pendidikan. Program penyadaran pendidikan tentang hak asasi manusia inilah yang ditawarkan dengan nama pendidikan berbasis hak asasi manusia, yang dilakukan melalui struktur kurikulum maupun kurikulum tersembunyi terkait hak-hak antar individu yang ada baik di sekolah maupun di lingkungan masyarakat yang bersumber pada hokum atau norma yang berlaku di wilayah tertentu baik dari segi legal formal maupun dari segi sosio-kultural. C. ANALISIS Dalam upaya menutup masa lalu dan menyongsong masa depan yang lebih beradab, tenteram, sejahtera dan damai, ada baiknya kita dapat mencontoh apa yang telah dilakukan oleh Afrika Selatan dalam melaksanakan program rekonsiliasinya. Suatu negara yang pernah teraniaya oleh bangsa kulit putih melalui sistem Apartheidnya, yang kini dapat hidup berdampingan dengan mengubur permasalahan masa lalu sedalam-dalamnya untuk menuju menjadi bangsa yang besar. Rekonsiliasi merupakan alternatif proses penyelesaian permasalahan HAM melalui pemberian pengampunan. Di Afrika Selatan proses ini dilakukan oleh suatu komisi yaitu Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Komisi ini memiliki tugas dan wewenang antara lain memberikan pengampunan bagi tindakan-tindakan politik tertentu yang telah dilakukan oleh organisasi politik atau anggota dinas keamanan dalam tugas dan kewajiban mereka. Komisi ini juga dapat memanggil orang dan memeriksa dokumen dan artikel sebagai usaha mendapatkan kebenaran. Selain itu juga menyusun identitas para korban dan membuat proposal pemulihannya, serta memberikan amnesti, ganti rugi, kompensasi dengan bantuan dana dari pemerintah28. Melihat fenomena yang demikian ikhlasnya menunjukkan kebesaran dan kewibawaan suatu bangsa dalam menghadapi era globalisasi di masa sekarang ini. Kiranya bangsa Indonesia dapat berbuat hal yang sama sehingga dapat membangun bangsa dan Negara secara bersama-sama menjadi salah satu bangsa yang besar di masyarakat internasional. Pada era pemerintahan Abdurrahman Wahid, sebuah solusi ditawarkan berbagai pihak dengan menyampaikan alternatif penyelesaian permasalahan HAM di Indonesia. Solusi yang ditawarkan berupa pembentukan Komisi Kebenaran 28
J.E. Sahetapy, “Penyelesaian Kasus HAM Berat Didominasi Faktor Politis,” dapat diakses di http://www.komisihukum.go.id/news_event.php?mode=detil&jenis=news&id=79, diakses tanggal 10 September 2013.
dan Rekonsiliasi (KKR) yang dimuat dalam RUU KKR. Solusi ini perlu ditindaklanjuti guna memberikan jawaban-jawaban atas ketidakadilan melalui tugas dan kewenangannya sebab adanya keprihatinan masyarakat akan ketidakmampuan melakukan penanganan terhadap penegakan HAM di Indonesia secara efektif29. 32 Namun demikian, wacana, ide ataupun usulan terbentuknya KKR secara formil dimulai dengan dikeluarkannya TAP MPR No.V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional yang kemudian dipertegas dengan UU tentang Pengadilan HAM. Eksistensi KKR dalam UU Pengadilan HAM tersebut tercantum dalam Pasal 47 ayat (1) dan (2). Komisi yang akan dibentuk dengan UU tersendiri dimaksudkan sebagai lembaga ekstra yudisial yang ditetapkan dengan UU bertugas untuk menegakkan kebenaran dengan mengungkapkan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran HAM pada masa lampau30, sesuai dengan ketentuan hukum dan perundangundangan yang berlaku dan melaksanakan rekonsiliasi nasional dalam perspektif kepentingan bersama sebagai bangsa. Akan tetapi, hingga detik ini RUU KKR masih dalam proses pembahasan antara eksekutif dengan legislatif. Mengingat pembentukan komisi ini sangat penting untuk segera dilakukan dan mengingat berhasiltidaknya penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat pada masa lalu juga tergantung pada sukses tidaknya penyelenggaraan komisi ini. Berkenaan dengan hal ini masih belum adanya konfigurasi politik yang melatabelakangi melahirkannya RUU KKR menjadi UU. Hal ini dapat dijelaskan karena di Indonesia hukum merupakan sebagai produk politik, dimana berdasarkan kenyataan bahwa setiap produk hukum merupakan keputusan politik sehingga hukum dapat dilihat sebagai kristalisasi dari pemikiran politik yang saling berinteraksi di kalangan para politisi31. Dengan demikian kita dapat memahami bahwa politik hukum yang terjadi masih menyimpan suatu tanda tanya perihal hukum apa yang akan diberlakukan atau tidak yang akan diberlakukan di suatu tempat atau kasus mengenai Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Begitu sulitnya negara ini membetuk pengadilan Hak Asasi Manusia, begitupun juga terkait pembanguan proyek pendidikan berbasis hak asasi manusia yang ada. Untuk itu, kebijakan untuk menjalankan program pendidikan agama berbasis hak asasi manusia, hanya akan dapat dilaksanakan jika telah memenuhi lima strategi utama, yaitu: penyediaan akses pendidikan yang bermutu, terutama pendidikan dasar secara merata bagi anak laki-laki dan perempuan baik melalui pendidikan persekolahan maupun pendidikan luar sekolah; penyediaan akses pendidikan kesetaraan bagi penduduk usia dewasa yang tidak dapat mengikuti pendidikan sekolah; peningkatan penyediaan pelayanan pendidikan baca tulis untuk meningkatkan derajat melek huruf, terutama penduduk perempuan; peningkatan koordinasi, informasi, dan edukasi dalam rangka mengarusutamakan pendidikan berwawasan hak asasi manusia; dan pengembangan kelembagaan institusi pendidikan baik di tingkat pusat maupun daerah mengenai pendidikan berwawasan hak asasi manusia.
29
Yusril Ihza Mahendra, Mewujudkan Supremasi Hukum di Indonesia: Catatan dan Gagasan Prof. DR. Yusril Ihza Mahendra, (Jakarta: Tim Pakar Hukum Departemen Kehakiman dan HAM, 2002), hlm. 86128.
30
Penyelesaian oleh KKR dalam UU Pengadilan HAM ini dibatasi hanya pada pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya UU ini (lihat Pasal 47 ayat (1).
31
Moh Mahfud MD, “Konfigurasi Politik dan Karakter Produk Hukum,” Prisma (Juli 1997):12.
D. SIMPULAN 1. Pendidikan hak asasi manusia hingga saat ini belum dapat dilaksanakan secara holistik dan terintegrasi dalam sistem pendidikan nasional, karena belum terjalin kerjasama dalam nota kesepahaman antara menteri pendidikan nasional dengan menteri hokum dan hak asasi manusia terkait sistem pendidikan nasional. 2. Perjalanan panjang peradilan hak asasi manusia di Indonesia dapat menjadi sebuah contoh bagi kalangan akademisi untuk mulai menyususn program pendidikan berbasis pendidikan hak asasi manusia yang dapat diterapkan dalam sistem pendidikan. 3. Kekerasan yang terjadi, baik itu terorisme atau radikalisme di Negara Indonesia sangat besar dipengaruhi oleh pandangan atau idiologi yang diajarkan kepada individu-individu tertentu sehingga meraka kerap kali menggangu kemanan dan ketertiban yang berdampak pada terror. 4. Pelaksanaan pendidikan berbasis hak asasi manusia, sebenarnya sudah diproyeksikan oleh kami selaku peneliti bersama dengan rekan peneliti di Universitas Sultan Idris Malaysia, untuk menyususn konsep pendidikan hak asasi manusia dalam skala Asia terutama Asia Tenggara. E. DAFTAR PUSTAKA Apple, Michael W., and James A. Beane, The Case of Democratic school, ASCD, Alexandria, Virginia, 1995. Bachtiar Effendy, Radikalisme: Sebuah Pengantar, Jakarta: PPIM. IAIN, 1998. Budi, Evaluasi Pelaksanan Sertifikasi Guru Sekolah Umum Dan Guru Sekolah Madrasah, Jurnal Hak Asasi Manusia, Juli 2012 Farouk Muhammad, TERORISME : UPAYA PENGATURAN POLITIK DAN INSTITUSI, Makalah disampaikan pada Simposium Nasional “Memutus Mata Rantai Radikalisme dan Terorisme”, Rabu, 28 Juli 2010. http://id.wikipedia.org/wiki/Terorisme, diakses pada 15 Oktober 2012. Isep Ali Sandi, Feminist Contributions Indonesia In The Islamic Education CurriculumBased Character Gender (Case Study At The Centre For Women's Studies Of Gadjah Mada University And The Center For Women's Studies Islamic University Of Sunan Kalidjaga), (Paper Presentation and proceeding Seminar on Islam, Science and Technology: State Islamic University of Sunan Kalijaga, 2013). Isep Ali Sandi, Investment Values of Character-Based Religious Education Gender and Local Wisdom, (Paper Presentation at International Conference- ISRA, UIN Sunan Kalijaga; Yogyakarta), 2012. Isep Ali Sandi, Rohmalina Wahab, 2013, HUMAN RIGHTS-BASED EDUCATION: A Review of Policies and Implementation Measures in Indonesia (Paper Presentation Annual Conference Asia Pacific Network on Moral Education: Yogyakarta State University). Isep Ali Sandi, Mulyawan Safwandy Nugraha, 2013, INVESTMENT POLICIES IN THE IMPLEMENTATION OF THE NATIONAL CHARACTER VALUE OF INDONESIA; Review Before Application of Curriculum 2013. (Paper Presentation and in Print Book in Programme International Seminar on Primary Education; Yogyakarta State University Print).
Jamhari dan Jajang Jahroni (penyuting ), Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, Penerbit : PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, Cetakan Pertama 2004. J.E. Sahetapy, “Penyelesaian Kasus HAM Berat Didominasi Faktor Politis,” dapat diakses di http://www.komisihukum.go.id/news_event.php?mode-detil&jenisnews&id-79, diakses tanggal 10 September 2005. M Nafiah Ibnor, Nilai-Nilai Demokrasi Dan Ham Dalam Sistem Pendidikan Indonesia, Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 7 No.11 April 2009. Martinus Nijhoff , Economic, Social and Cultural Right, (Martinus Nijhoff Publisher an imprint of Brill Academic Publishers; English) 2001. Mashadi Said, Penegakan Hak Asasi Manusia Melalui Pemanfaatan Perspektif Agama Dan Tokoh Masyarakat: Pemajuan Pendidikan Hak Asasi Manusia (HAM) secara Nasional di Indonesia, Pusat Korban Penganiayaan Taktik Baru dalam Proyek HAM, Minneapolis-USA, 2006. Moh Mahfud MD, “Konfigurasi Politik dan Karakter Produk Hukum,” Prisma, Juli 1997. Sagala, Syaiful. Supervisi Pembelajaran Dalam Profesi penddikan. Bandung: Penerbit Alfabeta, 2010. Sholahudin, Mahfudz. Pengantar Psikologi Pendidikan. Surabaya: Bina Ilmu, 1996. Syah, Muhibin. Psikologi Pendidikan : Suatu Pendekatan Baru. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995. Tim Penyusun Pusat Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: DEPDIKBUD & Balai Pustaka, 1998. Vembriarto. Pengantar Pengajaran Modul. Yogyakarta: Yayasan Pendidikan Paramita. 1985. Wenno, Izzak H. Pengembangan Model Modul IPA Berbasis Problem Solving Method Berdasarkan Karakteristik Siswa Dalam Pembelajaran Di SMA/MTs. Jurnal Cakrawala Pendidikan. 2010. Wena, Made. Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer : Suatu Tinjauan Konseptual Operasional. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2009. Yusril Ihza Mahendra, Mewujudkan Supremasi Hukum di Indonesia: Catatan dan Gagasan Prof. DR. Yusril Ihza Mahendra, Jakarta: Tim Pakar Hukum Departemen Kehakiman dan HAM, 2002. Yusuf Qardhawi, al-Thtarruf al-Dini, Kairo: Maktabah Wahbah, 2004. Zein, HM, 2010, Kiat Sukses Mengikuti Sertifikasi Guru, Malang: Cakrawala Media Publisher. 2010. Zuhari Miswari dan Khamami Zada, Islam Melawan Terorisme, Ciputat: LSIP, 2004.