Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) 1. Definisi Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya. (Silvia & Lorraine: 2006). POOK atau Penyakit paru obstruksi kronik adalah penyakit-penyakit yang mengakibatkan kesulitan dalam bernapas atau sesak napas selain asma dan penyakit jantung. Yang digolongkan dalam penyakit ini adalah bronchitis kronik dengan sesak napas, emfisema, dan bronchitis dengan gejala mirip asma (asthmatic bronchitis) (djojodibroto.2003:93). Pada sumber lain juga disebutkan bahwa bronkioktasis dimasukkan dalam golongan ini (Kee, Joyce L. 1996: 435). Bronkitis kronik adalah penyakit dengan gejala batuk dan berdahak berlebihan setiap hari yang terjadi minimal tiga bulan dan telah berlangsung selama dua tahun berturut-turut. Penyebab bronchitis kronik adalah pejanan lama terhadap pencemaran udara baik oleh debu, ataupun asap industry, asap rokok, dll (djojodibroto.2001:93). Bronchitis kronik ditandai dengan batuk kronik produktif yang menghasilkan mukus selama paling sedikit 3 bulan setiap tahunnya selama 2 tahun. Pada bronchitis kronis ini terjadi perubahan peradangan di mukosa bronkus (Graber, Mark A. 2006:126127). Peradangan bronchial dan sekresi mukus yang berlebihan menyebabkan obstruksi saluran napas. Batuk produktif adalah mekanisme respons untuk mengeluarkan kelebihan produk mukus dan iritasi bronchial kronik. Ronki pada saat inspirasi maupun ekspirasi akan terdengar pada pemeriksaan auskultasi. Hiperkapnia (peningkatan retensi karbon dioksida) dan hipoksemia (penurunan oksigen darah) menyebabkan asidosis respiratori. Emfisema adalah penyakit paru progresif yang disebabkan oleh merokok, kontaminan atmosfir, atau kekurangan protein alfa1-antiripsin yang menghambat enzim proteolitik yang merusak alveoli (kantung udara). Enzim proteolitik dilepaskan dalam paru oleh sel-sel fagosit atau bacteria. Bronkiolus terminal tersumbat oleh mukus, menyebabkan hilangnya jaringan elastin dan serat dalam alveoli. Dengan banyaknya dinding alveoli yang rusak maka alveoli akan membesar. Udara terperangkap di dalam alveoli yang membesar, mengarah pada pertukaran gas (O2 dan CO2) yang tidak adekuat (Kee, Joyce L. 1996: 435). Emfisema ini ditandai dengan dekstruksi parenkim paru tanpa melibatkan bronkiolus terminalis dengan bersatunya
alveoli. Pada temuan klinisnya, sebagian besar pasien tidak hanya mengalami emfisema murni melainkan dibarengi oleh adanya bronchitis kronik. Emfisema ini dapat digolongkan menjadi 2 tipe, yaitu Panlobular, yang disebabkan oleh defisiensi alfa1-antitripsinase, dan Sentrilobular, yang disebabkan oleh merokok dan bronchitis kronik (Graber, Mark A. 2006:127). Sedangkan asma bronchial adalah penyakit paru obstruktif yang ditandai oleh periode bronkospasme yang menimbulkan penderita sukar bernapas dan mengi. Bronkospasme, atau bronkokonstriksi, terjadi karena jaringan paru terpajan oleh faktor ekstrinsik dan instrinsik yang merangsang respons bronkokonstriktif. Faktorfaktor yang merangsang serangan asma (bronkospasme) mencakup kelembaban, perubahan tekanan udara, perubahan temperature, asap, uap (debu asap, parfum), kekecewaan emosi, dan alergi terhadap partikel dari bulu binatang, makanan, dan obat-obatan seperti aspirin, indometasin, dan ibuprofen (Kee, Joyce L. 1996: 435). Bronkioktasis adalah dilatasi dan peradangan kronik bronkus yang berukuran sedang. Secara klinis bronkiostasis tampak serupa dengan bronchitis kronik dengan pembentukan sputum mukopurulen. Namun, pembentukan sputum seringkali sangat banyak dan mungkin mengandung kuman pseudomonas. Bronkioktasis ini paling sering terjadi pada lobus bawah kiri, diikuti oleh lingual dan lobus tengah kanan. Terjadinya bronkiektasis dapat dipengaruhi oleh faktor predisposisi antara lain, pneumonia berulang, penyakit granulomatosa, karsinoma, atau setiap proses yang dapat menyebabkan sekuesterasi lobus (Graber, Mark A. 2006:130).
2. Etiologi dan pembagian derajat Penyebab terjadinya PPOK diantaranya adalah : a. Asap Rokok Penyebab utama dari PPOK adalah asap rokok, baik karena dihisap sendiri secara langsung (perokok aktif) maupun karena menghisap asap rokok orang lain (perokok pasif). Asap rokok dapat menekan sistem pertahan saluran napas, paralisis pada silia dan penurunan aktivitas makrofag alveolus, dan produksi mukus yang berlebihan sehingga terjadi obstruksi saluran napas. b. Polusi Udara Berbagai macam deb, zat kimia, dan serta dalam lingkungan kerja mempunyai pengaruh merugikan pada sistem pernapasan. Selain itu hasil sampingan bahan
bakar seperti minyak tanah, batu bara, kayu bakar, dan diesel dapat menjadi faktor resiko PPOK c. Infeksi Saluran Napas Bawah Berulang d. Status Sosial Ekonomi (Alsagaff, Hood dan Abdul Mukly (ed). 2005) Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan faal paru, PPOK dapat diklasifikasikan ke dalam 4 stadium, yaitu : a. Stadium 1 : Ringan Gejala batuk kronik dan produksi sputum ada tetapi tidak sering. Pada derajat ini pasien sering tidak menyadari bahwa fungsi paru mengalami penurunan. Hasil spirometri menunjukkan VEP1 / KVP < 70% dan VEP1 ≥80% nilai prediksi.
b. Stadium 2 : Sedang Gejala sesak mulai dirasakan saat aktivitas dan kadang ditemukan gejala batuk dan produksi sputum. Pada derajat ini biasanya pasien mulai memeriksakan kesehatannya. Hasil spirometri menunjukkan VEP1 / KVP <70% dan VEP1 50% 80 % nilai prediksi. c. Stadium 3 : Berat Gejala sesak lebih berat, penurunan aktivitas, rasa lelah dan serangan eksaserbasi semakin sering dan berdampak pada kualitas hidup pasien. Hasil spirometri menunjukkan VEP1 / KVP < 70% dan VEP1 30% - 50% nilai prediksi. d. Stadium 4 : Sangat Berat Gejala di atas ditambah tanda-tanda gagal napas atau gagal jantung kanan dan ketergantungan oksigen. Pada derajat ini kualitas hidup pasien memburuk dan jikka eksaserbasi dapat mengancam jiwa. Hasil spirometri menunjukkan VEP1 / KVP < 70% dan VEP1 < 30% nilai prediksi atau VEP1< 50% nilai prediksi disertai gagal napas kronik. (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2011; Alsagaff, Hood dan Abdul Mukly (ed). 2005)
3. Epidemiologi PPOK merupakan masalah kesehatan utama di masyarakat yang menyebabkan 26.000 kematian/tahun di Inggris. Prevalensinya adalah > 600.000. angka ini lebih tinggi di Negara maju, daerah perkotaan, kelompok masyarakat menengah kebawah, dan pada manula (Davey, Patrick. 2006). Di Amerika, kasus kunjungan pasien PPOK di
instalasi gawat darurat mencapai angka 1,5 juta, 726.000 memerlukan perawatan di rumah sakit dan 119.000 meninggal selama tahun 2000. Sebagai penyebab kematian, PPOK menduduki peringkat ke empat setelah penyakit jantung, kanker dan penyakti serebro vascular. Biaya yang dikeluarkan untuk penyakit ini mencapai $24 milyar per tahunnya. WHO memperkirakan bahwa menjelang tahun 2020 prevalensi PPOK akan meningkat. Akibat sebagai penyebab penyakit tersering peringkatnya akan meningkat dari ke duabelas menjadi ke lima dan sebagai penyebab kematian akan meningkat dari ke enam menjadi ke tiga. Berdasarkan survey kesehatan rumah tangga Dep. Kes. RI tahun 1992, PPOK bersama asma bronchial menduduki peringkat ke enam. Merokok merupakan faktor risiko terpenting penyebab PPOK di samping faktor risiko lainnya seperti polusi udara, faktor genetik dan lain-lainnya (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2011).
4. Faktor Risiko Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan : a.
Riwayat merokok - Perokok aktif - Perokok pasif - Bekas perokok
b. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah ratarata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun : - Ringan : 0-200 - Sedang : 200-600 - Berat : >600 c. Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja d.
Hipereaktiviti bronkus
e. Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang f. Defisiensi antitripsin alfa - 1, umumnya jarang terdapat di Indonesia (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2011) PPOK yang merupakan inflamasi lokal saluran nafas paru, akan ditandai dengan hipersekresi mukus dan sumbatan aliran udara yang persisten. Faktor-faktor risiko
yang ada adalah genetik, paparan partikel, pertumbuhan dan perkembangan paru, stres oksidatif, infeksi saluran nafas, dan komorbiditas, berikut penjelasannya : a.
Genetik PPOK merupakan suatu penyakit yang poligenik disertai interaksi lingkungan genetik yang sederhana. Faktor risiko genetik yang paling besar dan telah di teliti lama adalah defisiensi α1 antitripsin, yang merupakan protease serin inhibitor . Biasanya jenis PPOK yang merupakan contoh defisiensi α1 antitripsin adalah emfisema paru yang dapat muncul baik pada perokok maupun bukan perokok, tetapi memang akan diperberat oleh paparan rokok.
b.
Paparan partikel inhalasi Setiap individu pasti akan terpapar oleh beragam partikel inhalasi selama hidupnya. Dari berbagai macam pejanan inhalasi yang ada selama kehidupan, hanya asap rokok dan debu-debu pada tempat kerja serta zat-zat kimia yang diketahui sebagai penyebab PPOK. Polusi udara dalam ruangan yang dapat berupa kayu-kayuan, kotoran hewan, sisa-sisa serangga, batubara, asap dari kompor juga akan menyebabkan peningkatan insidensi PPOK khususnya pada wanita. Selain itu, polusi udara diluar ruangan juga dapat menyebabkan progresifitas kearah PPOK menjadi tinggi seperti seperti emisi bahan bakar kendaraan bermotor. Kadar sulfur dioksida (SO2) dan nitrogen dioksida (NO2) juga dapat memberikan sumbatan pada saluran nafas kecil (Bronkiolitis) yang semakin memberikan perburukan kepada fungsi paru.
c. Pertumbuhan dan perkembangan paru
Pertumbuhan dan perkembangan paru yang kemudian menyokong kepada terjadinya PPOK pada masa berikutnya lebih mengarah kepada status nutrisi bayi bayi pada saat dalam kandungan, saat lahir, dan dalam masa pertumbuhannya. Dimana pada suatu studi yang besar didapatkan hubungan yang positif antara berat lahir dan VEP1 pada masa dewasanya. d. Stres Oksidatif
Paparan oksidan baik dari endogen maupun eksogen terus menerus dialami oleh paru-paru. Sel paru-paru sendiri sebenarnya telah memiliki proteksi yang cukup baik secara enzimatik maupun non enzimatik. Perubahan keseimbangan antara oksidan dan anti oksidan yang ada akan menyebabkan stres oksidasi pada paruparu. Hal ini akan mengaktivasi respon inflamasi pada paru-paru. Ketidak
seimbangan inilah yang kemudian memainkan peranan yang penting terhadap patogenesis PPOK. e. Infeksi
Infeksi, baik viral maupun bakteri akan memberikan peranan yang besar terhadap patogenesis dan progresifitas PPOK dan kolonisasi bakteri berhubungan dengan terjadinya inflamasi pada saluran pernafasan dan juga memberikan peranan yang penting terhadap terjadinya eksaserbasi. Kecurigaan terhadap infeksi virus juga dihubungkan dengan PPOK, dimana kolonisasi virus seperti rhinovirus pada saluran nafas berhubungan dengan peradangan saluran nafas dan jelas sekali berperan pada terjadinya eksaserbasi akut pada PPOK. Riwayat tuberkulosis juga dihubungkan dengan di temukannya obstruksi saluran nafas pada dewasa tua pada saat umur diatas 40 tahun. f.
Komorbiditas Asma memiliki faktor risiko terhadap kejadian PPOK, dimana didapatkan dari suatu penelitian pada Tucson Epidemiologi Study of Airway Obstructive Disease, bahwa orang dewasa dengan asma akan mengalami 12 kali lebih tinggi risiko menderita PPOK.
5. Patofisiologi
6. Manifestasi klinis Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanda dan gejala ringan hingga berat. Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan samapai ditemukan kelaianan yang jelas dan tanda inflasi paru, berikut diantaranya : a. Batuk Gejala batuk cenderung meningkat bersifat kronik. Batuk bersifat hilang timbul dan
mungkin
tidak
berdahak.
Setiap
batuk
kronik
berdahak
dapat
mengindikasikan PPOK. Batuk produktif awalnya intermitten kemudian terjadi hampir tiap hari seiring waktu. Sputum berwarna bening dan mukoid, namun dapat pula menjadi tebal, kuning, bahkan kadang ditemukan darah selama terjadinya infeksi bakteri respiratorik. b. Sesak Sesak bersifat progresif (sesak bertambah berat seiring berjalannya waktu). Sesak napas bertambah berat setelah beraktivitas berat. Pada keadaan yang berat, sesak napas bahkan terjadi dengan aktivitas minimal dan bahkan pada saat istirahat akibat semakin memburuknya abnormalitas pertukaran udara. c. Pemeriksaan fisik Pada pemeriksaan fisik, PPOK dini umumnya tidak ada kelainan. Pada inspeksi dapat ditemukan pursed-lips breathing , barrel chest, penggunaan otot bantu nafas,hipertrofi otot bantu nafas, pelebaran sel iga, bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis dileher dan edema tungkai , penampilan pink puffer atau blue bloater. Pada palpasi dapat ditemukan fremitus melemah,sel iga
melebar. Perkusi pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diapragma rendah,hepar terdorong ke bawah. Pada auskultasi dapat ditemukan suara nafas vesikuler normal, atau melemah, terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernafas biasa atau ekspirasi paksa, ekspirasi memanjang dan bunti jantung terdengan jauh. (Prasetya, Ifan. 2011)
7. Komplikasi Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah : a. Gagal napas
Pada gagal napas ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu gagal napas kronik dan gagal napas akut pada gagal napaskronik, berikut penjelasannya: 1) Gagal napas kronik
Hasil analisis gas darah Po2 < 60 mmHg dan Pco2 > 60 mmHg, dan pH normal, penatalaksanaan :
Jaga keseimbangan Po2 dan PCo2
Bronkodilator adekuat
Terapi oksigen yang adekuat terutama waktu latihan atau waktu tidur
Antioksidan
Latihan pernapasan dengan pursed lips breathing
2) Gagal napas akut pada gagal napas kronik
Dapat ditandai dengan :
Sesak napas dengan atau tanpa sianosis
Sputum bertambah dan purulen
Demam
Kesadaran menurun
b. Infeksi berulang
Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Pada kondisi kronik ini imuniti menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limposit darah. c.
Kor pulmonal Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50 %, dapat disertai gagal jantung kanan (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2011)
8. Pemeriksaan diagnostik Berikut beberapa tes diagnostic yang digunakan untuk menunjang ditegakkannya diagnose PPOK, yaitu : a. Tes fungsi paru Tes fungsi paru digunakan untuk menunjukkan obstruksi aliran napas dan menurunnya pertukaran udara akibat dekstruksi jaringan paru. Kapasitas total paru bisa normal atau meningkat akibat udara yang terperangkap. Dilakukan pemeriksaan reversibilitas karena 20% pasien mengalami perbaikan dari pemberian bronkodilator. b. Foto toraks
Hasil dari foto toraks ini bisa normal, namun pada emfisema, akan menunjukkan hiperinflasi disertai hilangnya batas paru serta jantung tampak kecil c. Analisa gas darah Analisa gas darah harus dilakukan jika ada kecurigaan gagal napas. Pada keadaan hipoksemia kronis akan ditemukan kadar hemoglobin yang meningkat. d. Computed tomography Digunakannya pemeriksaan tomography ini dapat digunakan untuk memastikan adanya pembentukan bula emfisematosa. (Davey, Patrick. 2006).
9. Penatalaksanaan Jenis piñata laksanaan pada penderita dengan PPOK, dapat dibagi menjadi beberapa jenis yaitu : a. Umum Penatalak sanaan dari penderita POOK yang diberikan secara umum melalui edukasi. Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena PPOK adalah penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktiviti dan mencegah kecepatan perburukan fungsi paru. Tujuan edukasi pada pasien PPOK : 1) Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan 2) Melaksanakan pengobatan yang maksimal 3) Mencapai aktiviti optimal 4) Meningkatkan kualiti hidup Edukasi PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut secara berulang pada setiap kunjungan, baik bagi penderita sendiri maupun bagi keluarganya. Edukasi dapat diberikan di poliklinik, ruang rawat, bahkan di unit gawat darurat ataupun di ICU dan di rumah. Secara intensif edukasi diberikan di klinik rehabilitasi atau klinik konseling, karena memerlukan waktu yang khusus dan memerlukan alat peraga. Edukasi yang tepat diharapkan dapat mengurangi kecemasan pasien PPOK, memberikan semangat hidup walaupun dengan keterbatasan aktiviti. Penyesuaian aktiviti dan pola hidup merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kualiti hidup pasien PPOK. Bahan dan cara pemberian
edukasi harus disesuaikan dengan derajat berat penyakit, tingkat pendidikan, lingkungan sosial, kultural dan kondisi ekonomi penderita. Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah : 1) Pengetahuan dasar tentang PPOK 2) Obat - obatan, manfaat dan efek sampingnya 3) Cara pencegahan perburukan penyakit 4) Menghindari pencetus (berhenti merokok) 5) Penyesuaian aktiviti Edukasi diberikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah diterima, langsung ke pokok permasalahan yang ditemukan pada waktu itu. Pemberian edukasi sebaiknya diberikan berulang dengan bahan edukasi yang tidak terlalu banyak pada setiap kali pertemuan. Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil, karena PPOK merupakan penyakit kronik progresif yang ireversibel. Berikut daftar pemberian edukasi berdasar derajat penyakit yang harus diberikan pada saat pemberian edukasi bergantung pada derajat keparahan penyakit : Ringan
Penyebab dan pola penyakit PPOK yang ireversibel
Mencegah penyakit menjadi berat dengan menghindari pencetus, antara lain berhenti merokok
Segera berobat bila timbul gejala
Sedang
Menggunakan obat dengan tepat
Mengenal dan mengatasi eksaserbasi dini
Program latihan fisik dan pernapasan
Berat
Informasi tentang komplikasi yang dapat terjadi
Penyesuaian aktiviti dengan keterbatasan
Penggunaan oksigen di rumah
(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2011) b. Obat Penatalaksanaan pasien dengan PPOK secara farmakologis mempunyai banyak pilihan, diantaranya adalah :
1) Bronkodilator Bronkodilator digunakan untuk mengontrol gejala. Pemilihan pengobatan didasarkan pada kepatuhan pasien, respon individu dan dan efek samping. Keuntungan klinis bronkodilator termasuk peningkatan kapasitas latihan fisik, penurunan terperangkapnya udara, dan peredaran gejala seperti dispnea. (Sukandar, Erlin Y. 2009). Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat ( slow release ) atau obat berefek panjang ( long acting ). Macam-macam bronkodilator yaitu : a) Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir ( maksimal 4 kali perhari ). Ketika diberikan secara inhalasi, agen antikolinergik memproduksi bronkodilatasi
dengan
menginhibisi
reseptor
kolinergik
secara
kompetitif pada otot polos bronchial. Aktivitas ini memblok asetilkolin, yang efek selanjutnya adalah pengurangan guanosin monofosfat siklik (cGMP), yang umumnya mengkostriksi otot polos bronchial. Contoh dari golongan antikolinergik yaitu :
Ipatropium bromida, memiliki onset yang yang agak lambat yaitu 15-20 menit. Efek puncaknya muncul pada 1,5 hingga 2 jam dan durasinya adalah 4 hingga 6 jam. Dosis yang direkomendasikan menggunakan MDI adalah 2 hirup empat kali sehari dengan peningkatan bertahap yang sering hingga 24 hirup/hari. Zat ini juga tersedia dalam bentuk larutan untuk nebulisasi. Keluhan dari pasien adalah mulut kering, mual dan kadang rasa seperti logam. Karena antikolinergik tidak diserap baik
secara
sistemik,
efek
sampingnya
jarang
terlihat
(pandangan kabur, retensi urinaria, mual dan takikardi).
Tiotropium bromida, merupakan agen aksi panjang yang memberikan perlindungan terhadap bronkokonstriksi kolinergik
selama lebih dari 24 jam. Onset terjadi dalam 30 menit dan efek puncak tercapai dalam 3 jam. Zat ini diberikan menggunakan HandiHaler,
suatu alat nafas beraktuator untuk sekali isi
serbuk-kering. Dosis yang direkomendasikan adalah inhalasi isi satu kapsul satu kali sehari menggunakan alat inhalasi HandiHaler. Karena efeknya yang lokal, tiotropium ditolerans dengan baik. b) Golongan agonis beta – 2
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang.
Bentuk
nebuliser
dapat
digunakan
untuk
mengatasi
eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat. Golongan agonis bata-2 menyebabkan relaksasi otot polos bronchial dan bronkodilatasi dengan menstimulasi enzim adenil siklik (cAMP), zat ini juga dapat meningkatkan klirens mukosiliar. Golongan agonis beta-2 dapat dibagi menjadi 2 jenis, yaitu :
Golongan agonis aksi pendek Albuterol, levalbuterol, bitolterol, pirbuterol, dan terbutalin merupakan agen aksi pendek yang lebih disukai karena mempunyai selektivitas beta-2 lebih besar dan durasi aksi lebih panjang dibandingkan dengan agen aksi pendek lainnya (isoproterenol, metaprotelenol, dan isoetarin). Rute inhalasi lebih diminati dibandingkan rute oral dan parental dalam hal efikasi dan efek samping. Agen aksi pendek dapat digunakan untuk meredakan gejala secara akut atau berdasarkan jadwal untuk mencegah atau meredakan gejala. Durasi aksi agonis beta-2 aksi pendek adalah 4-6 jam.
Golongan agonis aksi panjang Formoterol dan salmeterol merupakan agonis beta-2 inhalasi aksi panjang yang diberikan setiap 12 jam berdasarkan jadwal dan
menghasilkan
bronkodilatasi
selama
interval
dosis.
Penggunaan agen ini sebaiknya dipertimbangkan untuk pasien yang memperlihatkan kebutuhan yang sering akan agen aksi pendek. c) Kombinasi antikolinergik dan agonis beta-2
Kombinasi
kedua
golongan
obat
ini
akan
memperkuat
efek
bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita. Kombinasi ini sering digunakan terutama ketika perkembangan penyakit dan gejala semakin memburuk seiring waktu. Mengkombinasikan bronkodilator dengan mekanisme yang berbeda membuat dosis efektif terendah dapat digunakan dan mengurangi efek samping dari masing-masing zat. Kombinasi kedua agonis beta-2 aksi pendek dan aksi panjang dengan ipratropium menunjukkan pertambahan peredaan gejala dan peningkatan fungsi paru-paru. d) Golongan Xantin/Metilxantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk mengatasi sesak ( pelega napas ), bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah. Teofilin dan aminofilin dapat menghasilkan bronkodilatasi dengan menghibisi fosfodiesterase (yang kemudian meningkatkan kadar cAMP), inhibisi infulks ion kalsium ke dalam oto polos, antagonis prostaglandin, stimulasi katekolamin endogen, antagonis reseptor adenosine, dan inhibisin pelepasan mediator dari sel mast dan leukosit. Penggunaan kronik teofilin dalam PPOK menunjukkan peningkatan fungsi paruparu, termasuk kapasitas vital dan FEV. Secara subjektif, teofilin mengurangi dipsnea, meningkatkan toleransi terhadap latihan, dan memperbaiki kendali respirasi. Efek nonpulmonari yang yang mungkin berkontribusi terhadap kapasitas fungsional yang lebih baik termasuk peningkatan fungsi kardiak dan penurunan tekanan arteri pulmonary. Peranan teofilin dalam PPOK adalah sebagai terapi pemeliharaan pada pasien sakit bukan akut. Terapi diawali pada dosis 200 mg dua kali
sehari dan ditingkatkan bertahap setiap 3 sampai 5 hari sampai dosis target. Efek smaping teofilin yang paling umum termasuk dyspepsia, mual, muntah, diare, sakit kepala, pusing, dan takikardi. Aritmia dan seizure dapat muncul, terutama pada konsentrasi toksik. 2) Antiinflamasi Agen antiinflamasi yang sering digunakan adalah golongan kortikosteroid , dimana kortikosteroid memberikan efek yang menguntungkan selain sebagai antiinflamasi, yaitu sebagai penurun permeabilitas kapiler untuk mengurangi mukus, inhibisi pelepasan enzim proteolitik dari leukosit, dan inhibisi prostaglandin. Situasi yang sesuai untuk pemberian kortikosteroid untuk PPOK termasuk penggunaan sistemik jangka pendek untuk kondisi buruk akut, dan terapi inhalasi untuk PPOK kronik stabil. Efek samping kortikosteroid inhalasi relative ringan dan termasuk parau, tenggorokan kering, kandidiasis oral, dan memar pada kulit. Efek samping yang parah seperti supresi adrenal, osteoporosis dan pembentukan katarak lebih jarang dilaporkan
dibandigkan
kortikosteroid
sistemik,
tetapi
klinis
harus
memperhatikan pasien yang menerima terapi inhalasi dosis tinggi kronik. (Sukandar, Yulinah Erlin.2009) 3) Antibiotika Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :
Lini I : amoksisilin dan makrolid
Lini II : amoksisilin dan asam klavulanat, sefalosporin, kuinolon dan makrolid baru
Jika pasien masih dalam perawatan di Rumah Sakit maka dapat dipilih Amoksilin dan klavulanat, Sefalosporin generasi II & III injeksi, Kuinolon per oral dan ditambah dengan yang anti pseudomonas yaitu Aminoglikose per injeksi, Kuinolon per injeksi atau Sefalosporin generasi IV per injeksi 4) Antioksidan Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan N asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2011) 5) Mukolitik
Mukolitik bekerja seperti deterjen dengan mencairkan dan mengencerkan secret mukosa yang kental sehingga dapat dikeluarkan. Asetilsistein (Mucomyst) diberikan dengan cara nebulisasi. Obat ini tidak boleh dicampur dengan obat-obat lain. Pengobatan harus diberikan bersama-sama dengan bronkodilator. Efek sampingnya meliputi mual, dan muntah, stomatitis (tukak mulut), dan “hidung berair”.
6) Antimikroba Antibiotic hanya dipakai jika terjadi infeksi akibat tertahannya sekresi mukus. (Kee, Joyce L. 1996) c. Terapi Oksigen Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ - organ lainnya. Manfaat terapi oksigen ini diantaranya adalah :
Mengurangi sesak Memperbaiki aktiviti
Mengurangi hipertensi pulmonal
Mengurangi vasokonstriksi
Mengurangi hematokrit
Memperbaiki fungsi neuropsikiatri
Meningkatkan kualiti hidup
Indikasi dari penggunaan terapi oksigen ini yaitu :
Pao2 < 60mmHg atau Sat O2 < 90% Pao2 diantara 55 - 59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Kor Pulmonal, perubahan P pullmonal, Ht >55% dan tanda - tanda gagal jantung kanan, sleep apnea, penyakit paru lain
Macam terapi oksigen :
Pemberian oksigen jangka panjang
Pemberian oksigen pada waktu aktiviti
Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak
Pemberian oksigen secara intensif pada waktu gagal napas
Terapi oksigen dapat dilaksanakan di rumah maupun di rumah sakit. Terapi oksigen di rumah diberikan kepada penderita PPOK stabil derajat berat dengan gagal napas kronik. Sedangkan di rumah sakit oksigen diberikan pada PPOK eksaserbasi akut di unit gawat daruraat, ruang rawat ataupun ICU. Pemberian oksigen untuk penderita PPOK yang dirawat di rumah dapat dibedakan menjadi :
Pemberian oksigen jangka panjang (Long Term Oxygen Therapy = LTOT)
Pemberian oksigen pada waktu aktiviti
Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak
Terapi oksigen jangka panjang yang diberikan di rumah pada keadaan stabil terutama bila tidur atau sedang aktiviti, lama pemberian 15 jam setiap hari, pemberian oksigen dengan nasal kanul 1 - 2 L/mnt. Terapi oksigen pada waktu tidur bertujuan mencegah hipoksemia yang sering terjadi bila penderita tidur. Terapi oksigen pada waktu aktiviti bertujuan menghilangkan sesak napas dan meningkatkan kemampuan aktiviti. Sebagai parameter digunakan analisis gas darah atau pulse oksimetri. Pemberian oksigen harus mencapai saturasi oksigen di atas 90%. Dimana ada bermacam-macam jenis alat bantu pemberian oksigen, yaitu :
Nasal kanul
Sungkup venturi
Sungkup rebreathing
Sungkup nonrebreathing
Pemilihan alat bantu ini disesuaikan dengan tujuan terapi oksigen dan kondisi analisis gas darah pada waktu tersebut. (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2011) Namun
penggunaan
terapi
oksigen
ini
dapat
menimbulkan
komplikasi,
diantaranya yaitu :
Toksisitas oksigen dalam paru antara lain, pengeringan mukosa, disfungsi mukosiliaris, atelektasis, edema interstitial dan alveolar, serta perdarahan alveolar
Penurunan daya pernapasan, retensi karbon dioksida, dan kegagalan pernapasan pada pasien hipoksemia kronik, yang daya pernapasannya berdasar pada hipoksia (seperti pada pasien PPOK)
Fibroplasias retrolental pada neonates dengan berat lahir rendah atau usia kehamilan <34 minggu
Dysplasia bronkopulmonal pada bayi yang memerlukan ventilasi mekanik setelah lahir
Risiko terbakar dan meledak
(Graber, Mark A. 2006) d. Rehabilitasi Tujuan
program
rehabilitasi
untuk
meningkatkan
toleransi
latihan
dan
memperbaiki kualiti hidup penderita PPOK. Penderita yang dimasukkan ke dalam program rehabilitasi adalah mereka yang telah mendapatkan pengobatan optimal yang disertai dengan Simptom pernapasan berat, beberapa kali masuk ruang gawat darurat, dan kualiti hidup yang menurun. Program dilaksanakan di dalam maupun diluar rumah sakit oleh suatu tim multidisiplin yang terdiri dari dokter, ahli gizi, respiratori terapis dan psikolog. Program rehabilitiasi terdiri dari 3 komponen yaitu : latihan fisis, psikososial dan latihan pernapasan. Ditujukan untuk memperbaiki efisiensi dan kapasiti sistem transportasi oksigen. Latihan fisis yang baik akan menghasilkan :
Peningkatan VO2 max
Perbaikan kapasiti kerja aerobik maupun anaerobik
Peningkatan cardiac output dan stroke volume
Peningkatan efisiensi distribusi darah
Pemendekkan waktu yang diperlukan untuk recovery
Hal tersebut dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu : 1) Latihan untuk meningkatkan otot pernapasan Latihan ini diprogramkan bagi penderita PPOK yang mengalami kelelahan pada otot pernapasannya sehingga tidak dapat menghasilkan tekanan insipirasi yang cukup untuk melakukan ventilasi maksimum yang dibutuhkan. Latihan khusus pada otot pernapasan akan mengakibatkan bertambahnya kemampuan ventilasi maksimum, memperbaiki kualiti hidup dan mengurangi sesak napas. Pada penderita yang tidak mampu melakukan latihan endurance, latihan otot pernapasan ini akan besar manfaatnya. Apabila ke dua bentuk latihan tersebut
bisa dilaksanakan oleh penderita, hasilnya akan lebih baik. Oleh karena itu bentuk latihan pada penderita PPOK bersifat individual. Apabila ditemukan kelelahan pada otot pernapasan, maka porsi latihan otot pernapasan diperbesar, sebaliknya apabila didapatkan CO2 darah tinggi dan peningkatan ventilasi pada waktu latihan maka latihan endurance yang diutamakan. 2) Endurance exercise
Respons kardiovaskuler tidak seluruhnya dapat terjadi pada penderita PPOK. Bertambahnya cardiac output maksimal dan transportasi oksigen tidak sebesar pada orang sehat. Latihan jasmani pada penderita PPOK akan berakibat meningkatnya toleransi latihan karena meningkatnya toleransi kapasiti kerja maksimal dengan rendahnya konsumsi oksigen. Perbaikan toleransi latihan merupakan resultante dari efisiensinya pemakaian oksigen di jaringan dari toleransi terhadap asam laktat. Pada penderita PPOK berat, kelelahan kaki mungkin merupakan faktor yang dominan untuk menghentikan latihannya. Berkurangnya aktiviti kegiatan sehari-hari akan menyebabkan penurunan fungsi otot skeletal. Imobilitasasi selama 4 - 6 minggu akan menyebabkan penurunan kekuatan otot, diameter serat otot, penyimpangan energi dan activiti enzim metabolik. Berbaring ditempat tidur dalam jangka waktu yang lama menyebabkan menurunnya oxygen uptake dan control kardiovaskuler. e. Asuhan keperawatan 1) Pengkajian A. Identitas Klien
Nama
: Tn. K
Usia
: 65 tahun
Jenis kelamin
: Laki-laki
Alamat
:-
No. telepon
:-
Status pernikahan
: sudah menikah
Tgl. Pengkajian : 29/2/2012 Sumber informasi : Anak Tn. K
B. Status kesehatan Saat Ini 1. Keluhan utama
: sesak napas dan napas berbunyi
2. Lama keluhan
: sejak kemarin malam jam 23.15
3. Faktor pencetus
: kehujanan satu hari yang lalu
4. Faktor pemberat
: kebiasaan merokok selama 20 tahun
5. Upaya yg telah dilakukan :
membawa kerumah sakit
C. Riwayat Kesehatan Saat Ini
Napas sesak dan berbunyi, semakin bertambah sesak bila digunakan untuk berjalan dan mengangkat benda-benda berat, dan mengalami batuk berdahak dengan dahak warna putih kental D. Riwayat Kesehatan Terdahulu 1. Penyakit yg pernah dialami
: batuk selama 5 tahun
E. Pemeriksaan Fisik 1. Keadaan Umum: klien sadar dan terlihat cemas
Kesadaran: GCS : 456
Tanda-tanda vital: - Tekanan darah : 145/100 mmHg
- Nadi Tinggi badan: - cm
: 115 x/meni
- Suhu : 37,5 oC - RR
: 29 x/menit
Berat Badan:- kg
2. Kepala & Leher
a. Mulut & tenggorokan: Sianosis pada mukosa bibir 3. Thorak & Dada:
Paru
- Inspeksi: bentuk dada barrel chest, pernafasan cuping hidung, terdapat penggunaan otot bantu pernafasan reaksi otot area supraklavikular dan sternoclaidomastoideus
- Palpasi: - Perkusi: - Auskultasi: ronki dan wheezing di kedua paru 4. Ekstermitas
Atas: -
Bawah: akral dingin dan berkeringat
10. Kulit & Kuku
Kulit: -
Kuku: CRT : 3”
F. Hasil Pemeriksaan Penunjang
Rongent toraks: terdapat pelebaran antar iga, diafragma letak rendah, penumpukan udara daerah retrosternal, tampak penurunan vaskuler dan peningkatan bentuk bronkovaskuler, jantung tampak membesar. ECG: deviasi aksis kanan, gelombang P pada lead II, III tinggi
dan lebih panjang. Spirometri : FEV1/FVC 60%, BGA: Pa CO2: 52 mmHg, Pa O2: 70 mmHg, Sa O2: 79%, PH: 7,25, H CO3 -: 20 mEq/L G. Terapi
IV Line Na Cl 0,9% : 20 tts/menit, Amofilin 250 mg IV (5 mg/kg BB), Metilpredisolon 260 mg IV (4 mg/kg BB), Nebulizer: Ventolin : Bisolvon : Na CL 0,9% = 1:1:2, Venturi Masker 6 lpm. 2) Analisa Data DATA
ETIOLOGI
MASALAH KEPERAWATAN
Merokok (infeksi scr inhalan) DO : RR: 29 x/mnt, rhonki dan wheezing dikedua paru DS
:
sesak,
semakin
Hipertrofi kel. Mukosa bronkus + peningkatan jumlah & ukuran sel goblet
bertambah saat pagi hari dan mengangkat
benda
berat,
Hipersekresi mukus
Ketidak efektifan bersihan jalan napas
batuk dengan dahak putih dan Menyumbat saluran nafas
kental
Ketidak efektifan bersihan jalan napas DO : RR: 29 x/mnt, rhonki dan wheezing, dipsnea, bentuk dada
barrel
chest,
Sumbatan saluran napas
napas
cuping hidung, otot bantu
Hiperinflasi paru
pernapasan, akral dingin dan berkeringat,
rhonki
dan
fragmentasi jar.elastis interalveolar dan Rusaknya sekat interalveolar
napas
yang
Area difusi berkurang
wheezing DS
:
sesak
Gangguan pertukaran gas
semakin bertambah saat pagi hari
dan
saat
mengangkat
Gangguan pertukaran gas
beban berat Sumbatan saluran napas DO
:
dipsnea
setelah
beraktivitas, tampak gelisah,
Hiperinflasi paru
RR:29 x/mnt DS
:
sesak
napas
yang
fragmentasi jar.elastis interalveolar dan Rusaknya sekat interalveolar
semakain bertambah saat pagi dan
setelah
menganggkat
Area difusi berkurang
benda berat Hipoksia
Intoleransi aktivitas
Intoleransi aktivitas
3) Diagnosa Keperawatan:
Ketidak efektifan bersihan jalan napas
Gangguan pertukaran gas
Intoleransi aktifitas a) Ketidak efektifan bersihan jalan napas Tujuan : dalam waktu 2x24 jam setelah diberikan intervensi kebersihan jalan napas kembali efektif Kriteria hasil :
Klien mampu melakukan batuk efektif
Pernapasan klien normal (16-20 x /menit) tanpa ada penggunaan otot bantu napas. Bunyi napas normal, Rh- dan pergerakan pernapasan normal
Intervensi Mandiri Kaji fungsi pernapasan (bunyi napas, kecepatan, irama, kedalaman, dan penggunaan otot bantu napas). Kaji kemampuan mengeluarkan sekresi, catat karakter, volume sputum dan adanya hemoptisis
Berikan posisi fowler/semifowler tinggi dan bantu klien berlatih napas dalam dan batuk efektif
Pertahankan intake cairan sedikitnya 2500 ml/hari kecuali tidak diindikasikan Bersihkan secret dari dari mulut dan trakea, bila perlu lakukan penghisapan (suction) Kolaborasi Agen mukolitik Pemberian bronkodilator
Kortikosteroid
b) Gangguan pertukaran gas
Rasional Ronkhi menunjukkan akumulasi secret dan ketidakefektifan pengeluaran sekresi yang selanjutnya dapat menimbulkan penggunaan otot bantu napas dan peningkatan kerja pernapasan Pengeluaran akan sulit bila secret sangat kental (efek infeksi dan hidrasi yang tidak adekuat Posisi fowler/semifowler memaksimalkan ekspansi paru dan menurunkan upaya napas. Ventilasi maksimal membuka area atelektasis dan meningkatkan gerakan seklet ke jalan napas besar untuk dikeluarkan Hidrasi yang adekuat membantu mengencerkan secret dan mengefektifkan pembersihan jalan napas Mencegah obstruksi dan aspirasi. Penghisapan perlu dilakukan bila klien tidak mampu mengeluarkan sekret Agen mukolitik menurunkan kekentalan dan perlengketan secret paru untuk memudahkan pembersihan Bronkodilator meningkatkan diameter lumen percabangan trakeabronkhial sehingga menurunkan tahanan terhadap aliran udara Kortikosteroid berguna dengan keterlibatan luas pada hipoksemia dan bila reaksi inflamasi mengancam kehidupan
Tujuan : dalam waktu 2 x 24 jam setelah diberikan, gangguan pertukaran gas tidak terjadi Kriteria hasil :
Klien melaporkan tidak adanya/penurunan dispnea
Klien menunjukkan tidak ada gejala distress pernapasan
Menunjukkan perbaikan ventilasi dan kadar oksigen jaringan adekuat dengan gas darah arteri dalam rentang normal
Intervensi Mandiri Kaji dispnea, takipnea, bunyi napas, peningkatan upaya pernapasan, ekspansi thoraks, dan kelemahan Evaluasi perubahan tingkat kesadaran, catat sianosis, dan perubahan warna kulit, termasuk membrane mukosa dan kuku Tunjukkan dan dukung pernapasan bibir selama ekspirasi khususnya untuk klien dengan kerusakan parenkim paru Tingkatkan tirah baring, batasi aktivitas
Kolaborasi Pemberian oksigen sesuai kebutuhan tambahan
Rasional Pada PPOK terjadi hiperinflasi paru. Efeknya terhadap pernapasan bervariasi dari gejala ringan, dispnea berat, sampai distress pernapasan Akumulasi secret dan berkurangnya jaringan paru yang sehat dapat mengganggu oksigenasi organ vital dan jaringan tubuh Membuat tahanan melawan udara luar untuk mencegah kolaps/penyempitan jalan napas sehingga membantu menyabarkan udara melalui paru dan mengurangi napas pendek Menurunkan konsumsi oksigen selama periode penurunan pernapasan dan dapat menurunkan beratnya gejala Terapi oksigen dapat mengoreksi hipoksemia yang terjadi akibat penurunan ventilasi/menurunnya permukaan alveolar paru
c) Intoleransi aktivitas Tujuan : dalam waktu 2 x 24 jam setelah diberikan, intoleransi aktivitas tidak lagi terjadi Kriteria hasil :
Klien mendemonstrasikan peningkatan toleransi terhadap aktivitas
Klien dapan melakukan aktivitas, dapat berjalan jauh tanpa mengalami napas tersengal-sengal, sesak napas, dan kelelahan.
Intervensi Monitor aktivitas jika frekuensi nadi dan napas sebelum dan sesudah aktivitas Tunda aktivitas jika frekuensi nadi dan napas meningkat secara cepat dan klien mengeluh sesak napas dan kelelahan, tingkatkan aktivitas secara bertahap untuk meningkatkan toleransi Bantu klien dalam melaksanakan aktivitas sesuai dengan kebutuhannya. Beri klien waktu beristirahat
Rasional Mengidentifikasi kemajuan atau penyimpangan dari sasaran yang diharapkan Gejala-gejala tersebut merupakan tanda adnya intoleransi aktivitas. Konsumsi oksigen meningkat jika aktivitas meningkat dan daya tahan tubuh klien dapat bertahan lebih lama jika ada waktu istirahat di antara aktivitas Membantu menurunkan kebutuhan oksigen yang meningkat akibat peningkatan aktivitas
tanpa diganggu berbagai aktivitas Pertahankan terapi oksigen selama aktivitas dan lakukan tindakan pencegahan terhadap komplikasi akibat imobilisasi jika klien dianjurkan tirah baring lama Konsultasikan dengan dokter jika sesak napas tetap ada atau bertambah berat saat istirahat
Aktivitas fisik meningkatkan kebutuhan oksigen dan sistem tubuh akan berusaha menyesuaikan. Keseluruhan sistem berlangsung dalam tempo yang lebih lambat saat tidak ada aktivitas fisik (tirah baring). Tindakan perawatan yang spesifik dapat meminimalkan komplikasi imobilisasi Hal tersebut dapat merupakan tanda awal dari komplikasi khususnya gagal napas
(Muttaqin, Arif. 2008) 4) Evaluasi Diagnosis
Evaluasi
Ketidak efektifan bersihan alan napas
S: klien tidak lagi merasakan sesak dan dapat melakukan batuk efektif O: tidak ada penggunaan otot bantu napas, bunyi napas normal, RhA: masalah teratasi P: lanjutkan intervensi dan selalu memantau kepatenan jalan napas klien
Gangguan pertukaran gas
S: klien tidak lagi merasakan sesak setelah beraktivitas O: penurunan/ hilangnya dipsnea, tidak ada distress pernapasan A: masalah teratasi P: lanjutkan intervensi dan memonitor klien b.d. dipsnea yg dialami klien
Intoleransi aktifitas
S: tidak lagi merasa sesak setelah beraktivitas O: dapat melakukan aktivitas tanpa disertai dipsnea, dapat mentoleransi aktivitas dengan baik A: masalah teratasi P: lanjutkan intervensi, dan tunjang kemandirian klien
10.SAP PPOK PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik)
Pokok bahasan
: PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik)
Sasaran
: penderita dan keluarga
Tempat
: ruang pertemuan balai desa Tamanharjo
Hari/tanggal
: Kamis/30 Februari 2012
Alokasi waktu
: 75 menit
Metode
: ceramah, tanya jawab, dan diskusi
Pertemuan ke
: satu
Pemateri
: Aliyah Adek Rahmah
A. Tujuan lnstruksional a.
Umum
:
setelah mengikuti kegiatan penyuluhan, peserta mengerti dan memahami tentang penyakit b.
Khusus
:
1. Peserta dapat menyebutkan definisi dari PPOK 2. Peserta dapat menjelaskan penyebab dari PPOK 3. Peserta dapat membedakan tingkat keparahan derajat PPOK 4. Peserta dapat menyebutkan faktor-faktor yang meningkatkan kejadian PPOK 5. Peserta dapat menjelaskan komplikasi dari PPOK 6. Peserta dapat menyebutkan penatalaksanaan (pengobatan) pasien PPOK
B. Sub Pokok Bahasan 1. Pengertian 2. Etiologi 3. Pembagian derajat 4. Faktor risiko 5. Tanda dan gejala 6. Komplikasi 7. Penatalaksanaan C. Kegiatan Penyuluhan Tahap
Waktu
Kegiatan Pemateri
Kegiatan Peserta
Pendahuluan
10 menit
Pembukaan :
1. Menjawab salam
1. Salam pembukaan
2.Mendengarkan
2. Memperkenalkan diri
keterangan
3. Menjelaskan maksud
Penyaji
Metode Ceramah
Media Microphone
dan tujuan 4. Membagikan leaflet
Penyajian
60 menit
Pelaksanaan : Menjelaskan definisi,
1. Memperhatikan
tentang etiologi,
dan mendengarkan
pembagian derajat, faktor
keterangan
risiko, tanda dan gejala,
penyaji
komplikasi, penatalaksanaan POOK,
video
dan tanya jawab
peragaan model
menjawab pertanyaan
Microphon
2. Peragaan
Proyektor
Model
Laptop
3. Pemutaran
Leaflet
video
2. Memperhatikan
3. Bertanya
1. Ceramah
dan
dan
4. Diskusi
penyaji Penutup
5 menit
Penutupan:
1. Mendengarkan
Evaluasi peserta tentang materi, kesimpulan,
penyaji
penyampaian
2. Menjawab
dan
pertanyaan
penutupan
1. Diskusi
Microphon
2. Tanya
jawab
penyaji
D. Evaluasi 1. Evaluasi Proses :
a) perserta mengikuti kegiatan pengajaran dengan baik b) perserta terlibat aktif dalam pembelajaran c) perserta aktif bertanya 2. Evaluasi hasil
:
a) perserta mampu memahami tentang penyakit PPOK b) perserta mampu menyebutkan faktor risiko PPOK c) perserta mampu menyebutkan penatalaksanaan PPOK d) perserta mampu maenjawab pertanyaan penyaji E. Materi (terlampir) F. Daftar Pustaka Djojodibroto, Darmanto. 2003. Seluk Beluk Pemeriksaan Kesehatan (General Medicine Check Up): Bagaimana Menyikapi Hasilnya. Jakarta: Pustaka Populer Obor Kee, Joyce L. 1996. Farmakologi: Pendekatan Proses Keperawatan. Jakarta: EGC Alsagaff, Hood dan Abdul Mukley (ed). 2005. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru ed/3. Surabaya: Airlangga University Perss Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2011. PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik) Pedoman Praktis Diagnosis Dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Prasetya, Irfan. 2011. Seorangan Laki-laki Usia 55 Tahun dengan PPOK Ekstraserbasi Akut.Pdf. Surakarta
Materi 1. Definisi Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya. (Silvia & Lorraine: 2006). Yang digolongkan dalam penyakit ini adalah bronchitis kronik dengan sesak napas, emfisema, dan bronchitis dengan gejala mirip asma (asthmatic bronchitis) (djojodibroto.2003:93). Pada sumber lain juga disebutkan bahwa bronkioktasis dimasukkan dalam golongan ini (Kee, Joyce L. 1996: 435). 2. Etiologi a.
Asap Rokok Asap rokok dapat menekan sistem pertahan saluran napas, paralisis pada silia dan penurunan aktivitas makrofag alveolus, dan produksi mukus yang berlebihan sehingga terjadi obstruksi saluran napas.
b.
Polusi udara Berbagai macam deb, zat kimia, dan serta dalam lingkungan kerja mempunyai pengaruh merugikan pada sistem pernapasan
c.
Infeksi saluran napas bawah
d.
Status sosial ekonomi (Alsagaff, Hood dan Abdul Mukly (ed). 2005)
3. Pembagian derajat Dapat dibagi menjadi 4 kategori, berdasarkan hasil spirometri, yaitu : a. Ringan Gejala batuk kronik dan produksi sputum ada tetapi tidak sering. Hasil spirometri menunjukkan VEP1 / KVP < 70% dan VEP1 ≥80% nilai prediksi.
b. Sedang Gejala sesak mulai dirasakan saat aktivitas dan kadang ditemukan gejala batuk dan produksi sputum. Hasil spirometri menunjukkan VEP1 / KVP <70% dan VEP1 50% - 80 % nilai prediksi. c. Berat Gejala sesak lebih berat, penurunan aktivitas, rasa lelah dan serangan eksaserbasi semakin sering dan berdampak pada kualitas hidup pasien. Hasil spirometri menunjukkan VEP1 / KVP < 70% dan VEP1 30% - 50% nilai prediksi. d. Sangat berat
Gejala di atas ditambah tanda-tanda gagal napas atau gagal jantung kanan dan ketergantungan oksigen. Hasil spirometri menunjukkan VEP1 / KVP < 70% dan VEP1 < 30% nilai prediksi atau VEP1< 50% nilai prediksi disertai gagal napas kronik. (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2011) 3. Faktor risiko Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan : a.
Riwayat merokok - Perokok aktif - Perokok pasif - Bekas perokok
b. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah ratarata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun : - Ringan : 0-200 - Sedang : 200-600 - Berat : >600 c. Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja d.
Hipereaktiviti bronkus
e. Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang f. Defisiensi antitripsin alfa - 1, umumnya jarang terdapat di Indonesia (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2011) 4. Tanda dan gejala a. Batuk Gejala batuk cenderung meningkat bersifat kronik. Batuk bersifat hilang timbul dan
mungkin
tidak
berdahak.
Setiap
batuk
kronik
berdahak
dapat
mengindikasikan PPOK. Batuk produktif awalnya intermitten kemudian terjadi hampir tiap hari seiring waktu. Sputum berwarna bening dan mukoid, namun dapat pula menjadi tebal, kuning, bahkan kadang ditemukan darah selama terjadinya infeksi bakteri respiratorik. b. Sesak Sesak bersifat progresif (sesak bertambah berat seiring berjalannya waktu). Sesak napas bertambah berat setelah beraktivitas berat. Pada keadaan yang berat, sesak
napas bahkan terjadi dengan aktivitas minimal dan bahkan pada saat istirahat akibat semakin memburuknya abnormalitas pertukaran udara. (Prasetya, Ifan. 2011) 5. Komplikasi a. Gagal napas
Ketidak mampuan dalam bernapas secara normal, biasanya napas banyak dan pendek b. Infeksi berulang
Dapat terjadi bila seseorang mengalami infeksi saluran pernapasan berulangkali 6. Penata laksanaan a. Bronkodilator Bronkodilator digunakan untuk mengontrol gejala, dan mengurangi sesak napas. b. Antiinflamasi Digunakan apabila dideteksi adanya infeksi. Dapat digunakan sebagai sebagai penurun permeabilitas kapiler untuk mengurangi mukus, inhibisi pelepasan enzim proteolitik dari leukosit, dan inhibisi prostaglandin. c. Mukolitik Mukolitik bekerja untuk mencairkan dan mengencerkan secret mukosa yang kental sehingga dapat dikeluarkan
DAFTAR PUSTAKA Alsagaff, Hood dan Abdul Mukley (ed). 2005. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru ed/3. Surabaya: Airlangga University Perss Davey, Patrick. 2003. At a Glance Medecine. Jakarta: EGC Djojodibroto, Darmanto. 2003. Seluk Beluk Pemeriksaan Kesehatan (General Medicine Check Up): Bagaimana Menyikapi Hasilnya. Jakarta: Pustaka Populer Obor Djojodibroto, Darmanto. 2009. Respirologi: Respiratory medicine. Jakarta: EGC Graber, Mark A. 2006. Buku Saku Dokter Keluarga, Jakarta: EGC Kee, Joyce L. 1996. Farmakologi: Pendekatan Proses Keperawatan. Jakarta: EGC Muttaqin, Arif. 2008. Penyakit Dalam: Perawatan Dan Keperawatan Sistem Pernafasan. Jakarta: Salemba Medika NANDA Internasional. 2011. Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 20092011. Jakarta: EGC Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2011. PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik) Pedoman Praktis Diagnosis Dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Prasetya, Irfan. 2011. Seorangan Laki-laki Usia 55 Tahun dengan PPOK Ekstraserbasi Akut.Pdf. Surakarta Sukandar, Elin Yulinah, dkk. 2009. ISO Farmakoterapi. Jakarta: PT.ISFI Penerbitan