POTENSI PENGHAMBATAN SEL KANKER DAN KEAMANAN TEPUNG TERIPANG GAMA Sticho gatus) SEBAGAI BAHAN PANGAN ( Stichopus var i egat FUNGSIONAL
SHERLY RIDHOWATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Potensi Penghambatan Sel Kanker dan Keamanan Tepung Teripang Gama ( Stichopus variegatus) sebagai Bahan Pangan Fungsional adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi tinggi mana pun. Sumber Sumber informasi yang berasal berasal atau dikutip dari karya karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juli 2016 Sherly Ridhowati
F261110081
RINGKASAN SHERLY RIDHOWATI. Potensi Penghambatan Sel Kanker dan Keamanan Tepung Teripang Gama ( Stichopus variegatus) sebagai Bahan Pangan Fungsional. Dibimbing oleh FRANSISKA RUNGKAT ZAKARIA, DAHRUL SYAH dan EKOWATI CHASANAH. Prevalensi penyakit kanker diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan perubahan pola konsumsi pangan. Konsumsi pangan merupakan salah satu faktor risiko dominan penyebab penyakit kanker. Prevalensi kanker sebenarnya dapat dihindari melalui konsumsi pangan fungsional. Teripang gama layak untuk dikembangkan sebagai pangan fungsional, salah satunya adalah peptida bioaktif sebagai komponen bioaktif dari teripang yang berkhasiat bagi kesehatan tubuh. Tujuan penelitian ini adalah membuat tepung teripang menggunakan oven vakum dan menguji potensinya sebagai sumber antioksidan, antikanker, serta keamanannya untuk dikonsumsi sebagai bahan pangan fungsional. Penelitian ini menggunakan teripang gama ( Stichopus variegatus) yang diperoleh dari Balai Budidaya Laut (BBL) Lampung Selatan. Teripang gama yang digunakan adalah teripang dengan kisaran bobot rata-rata 600 gram/ekor dan panjang rata-rata 25 cm/ekor. Tahapan penelitian ini meliputi pembuatan tepung teripang dengan cara teripang dipotong-potong kecil, dikeringkan dengan oven vakum kondisi 50 oC, 65 cmHg selama 4 jam, kemudian teripang kering ditepungkan sampai ukuran 60 mesh. Selanjutnya, sediaan ekstrak air dibuat dengan cara tepung teripang gama sebanyak 5 g ditambahkan dengan akuades demineral 150 mL, kemudian didiamkan selama 5 menit sambil diaduk, lalu dilanjutkan dengan sonikasi selama 30 menit. Selanjutnya, ekstrak air tepung teripang disentrifuse selama 30 menit, 5031 g, suhu 4 oC. Pembuatan hidrolisat protein dilakukan dengan cara 8 g tepung teripang disuspensikan ke 160 mL akuades dan dilakukan homogenisasi selama 2 menit. Kemudian dilakukan perebusan pada suhu 98 oC selama 20 menit. Setelah dingin, dilakukan penambahan enzim pepsin (10 Unit/g), pada suhu 37 oC dan pH 2.0 selama 2 jam. Selanjutnya, proses hidrolisis diteruskan dengan tripsin dan kimotripsin secara bersamaan (0.4 Unit/g dan 100 Unit/g) pada suhu 37 oC dan pH 7.5 selama 2 jam. Setelah itu, homogenat dipanaskan pada suhu 85 oC selama 20 menit untuk menginaktifkan enzim. Setelah proses hidrolisis selesai, dilanjutkan dengan pemisahan supernatan dari presipitan menggunakan sentrifugasi 9820 g, selama 45 menit suhu 4 oC. Hidrolisat yang diperoleh dilakukan proses freeze drying. Karakterisasi tepung teripang gama, ekstrak air dan hidrolisat protein yang dilakukan meliputi kadar proksimat, profil asam lemak total, profil asam amino total, berat molekul, dan gugus fungsional. Ekstrak air dan hidrolisat protein diuji potensi antioksidan dan penghambatan terhadap sel kanker kolon WiDr, sel payudara T47D, sel normal Vero secara in vitro, dan kemampuan induksi apoptosis. Pengujian keamanan tepung teripang untuk dikonsumsi pada mencit jantan BAL/c melalui sediaan ekstrak air secara akut selama 7 hari (dosis tunggal) maupun subkronis selama 28 hari/4 minggu (dosis berulang dalam jangka waktu tertentu) dan 14 hari/2 minggu untuk masa pemulihan ( recovery). Mencit dikelompokkan menjadi 2 kelompok besar yaitu uji akut (kelompok kontrol; kelompok dosis 0.005 g/kgBB (D);
kelompok dosis 0.05 g/kgBB (F); kelompok dosis 0.5 g/kgBB (G)). Uji sub kronis (kelompok kontrol; kelompok dosis 1 g/kgBB (D1); kelompok dosis 1.5 g/kgBB (D2); kelompok dosis 2.5 g/kgBB (D3)). Mencit kelompok kontrol hanya menerima pakan normal. Pada kelompok akut, masing-masing jumlah mencit kelompok kontrol dan kelompok dosis yaitu 5 ekor. Pada kelompok subkronis, masing-masing jumlah mencit kelompok kontrol dan kelompok dosis yaitu 7 ekor. Parameter yang diamati seperti pengamatan fisik, perubahan tingkah laku, ada tidaknya kematian akibat pemberian ekstrak air tepung teripang, komposisi biokimia serum darah yaitu glukosa, lipid, protein, SGPT, SGOT, urea, natrium, klorida, kalium; dan differensiasi leukosit serta histologi hati, limfa, dan ginjal. Tepung teripang gama yang dihasilkan memiliki kandungan protein sebesar 34.33 ± 0.10% g/100g (basis kering,bk), dan lemak sebesar 1.08 ± 0.01% g/100g (bk). Tepung teripang gama memiliki kandungan asam amino glisin sebesar 4.99 ± 0.01% g/100g (bk) dan lisin sebesar 5.79 ± 0.01% g/100g (bk), kaya akan asam arakidonat, asam palmitat sebesar 3.51± 0.02% g/100g (bk), dan asam stearat sebesar 2.16± 0.03% g/100g (bk). Kandungan proksimat, asam amino, dan total fenol hidrolisat protein dan ekstrak air dari tepung teripang gama bervariasi. Hidrolisat protein memiliki fraksi peptida dengan berat molekul rendah yaitu 21, 19, dan 9 kDa sedangkan peptida ekstrak air memiliki berat molekul lebih bervariasi antara 279 sampai 9 kDa. Senyawa pada ekstrak air memiliki banyak gugus fungsi C-O stretching dan C-H bending, serta O-H bending . Ekstrak air menunjukkan aktivitas antioksidan sebesar 2.30±0.30mg/mL sedangkan hidrolisat protein sebesar 1.67±0.05mg/mL. Ekstrak air dan hidrolisat protein dari tepung teripang gama memiliki potensi sebagai antikanker terhadap sel kolon WiDr, yaitu IC50 sebesar 69.37±24.25 µg/mL dan 13.01±2.75 µg/mL secara in vitro. Pada konsentrasi IC 50 sebesar 13.01±2.75 µg/mL, hidrolisat protein mampu menghambat pertumbuhan sel kanker kolon WiDr melalui induksi apoptosis sebesar 64.9±1.63%. Hasil uji akut menunjukkan pemberian ekstrak air tepung teripang pada dosis perlakuan sampai 0.5 g/kgBB tidak mempengaruhi tingkah laku, fisik, rata-rata berat badan dan konsumsi pakan selama 7 hari pengamatan. Pada uji subkronis sampai dosis 2.5 g/kgBB menunjukkan tidak terjadi kematian, perubahan fisik dan tingkah laku, serta penurunan konsumsi pakan dan berat badan pada mencit perlakuan selama pengamatan, hasil biokimia serum darah menunjukkan glukosa, lipid, protein, SGPT, SGOT, urea, natrium, klorida, kalium dan jumlah differensiasi leukosit masih dalam rentang darah normal, serta secara histologi menunjukkan kerusakan sel organ hati, ginjal dan limfa masih bersifat reversibel. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak air tepung teripang gama aman dikonsumsi bagi mencit percobaan. Tepung teripang gama ( Stichopus variegatus) yang diproses menggunakan oven vakum berpotensi untuk dikembangkan sebagai bahan pangan fungsional antikanker Kata kunci: antioksidan, antikanker, ekstrak air, hidrolisat protein, tepung teripang gama
SUMMARY SHERLY RIDHOWATI. Potential Inhibition of Cancer Cell and Safety Flour Sea Cucumber (Stichopus variegatus) as Functional Food Ingredients. Supervised by FRANSISKA RUNGKAT ZAKARIA, DAHRUL SYAH dan EKOWATI CHASANAH. The prevalence of cancer is estimated to increase along with changing in food consumption patterns. Food consumption is one of the dominant risk factors causing a cancer. The prevalence of cancer can be avoided through the consumption of functional food. Gama sea cucumbers can be developed as a functional food, a bioactive peptides as its bioactive components. The research aimed to make sea cucumber flour using a vacuum oven and analyze the potency of it as a source of antioxidants, anticancer, and its safety for consumption as a functional food ingredient. This research used gama sea cucumber ( Stichopus variegatus) obtained from the Institute for Marine Aquaculture (BBL), South Lampung Indonesia. It has 600 gram weight and 25 cm length, approximately. In this research, sea cucumber flour was processed by cutting fresh flesh, drying with a vacuum oven (50 oC, 65 cmHg, 4h), and milling to obtain 60 mesh. Furthermore, water extract was made by sea cucumber flour 5 g and 150 mL demineralized water, then mixed, stirred for 5 minutes, followed by sonication for 30 minutes, and centrifugation for 30 minutes, 5031 g, 4 oC, to obtain supernatant. Protein hydrolysate was made using pepsin 10 Unit/g and allowed reaction at 37 0C and pH 2.0 for 2 hours. Hydrolysis was continued using trypsin and chymotrypsin (0.4 Unit/g and 100 Unit/g), 37 oC and pH 7.5 for 2 hours. Inactivation was conducted by heating the homogenate at 85 oC for 20 minutes. Then, supernatant was separated from the residue using centrifugation 9820 g , 4 oC for 45 min. The sea cucumber flour, water extracts and protein hydrolysates were analyzed including chemical composition, total fatty acid profile, total amino acids profile, molecular weight, and functional groups Both hydrolysate and water extract were analyzed for antioxidant, anticancer, and the ability of induction of apoptosis. The safety of the water extract was analyzed by in vivo acute and subchronic test using male BALB/c mice. For the in vivo acute, the doses used was 0.005g/kg body weight (BW) ; 0.05 g/kgBW ; 0.5 g/kgBW. The control group received only laboratory feed. The doses for subchronic study was 1 g/kgBW ; 1.5 g/kg; 2.5 g/kgBW). This acute experiment was done for 7 days (single dose) and sub-chronic daily for 28 days and 14 days for recovery. In the acute test, each of one control group and three doses groups were consisted of 5 mices. In the sub-chronic test, each of control group and three doses groups were consisted of 7 mices. The parameters were observed include physical observations, changes in behavior, whether or not deaths from water extract of the flour, the blood serum biochemical of glucose, lipid, protein, SGPT, SGOT, urea, sodium, chloride, potassium; and differentiation of leukocytes, then histology of the liver, spleen, and kidneys. The sea cucumber’flour had a protein of 34.33±12.10% g/100g (dry basis, db), and fat of 1.08±0.01%g/100g(db). The flour contained glysine of 4.99±0.01% g/100g (db) and lysine of 5.79±0.01% g/100g (db), and rich in arachidonic acid,
3.51±0.02% g/100g palmitic acid (db), and 2.16±0.03%g/100g stearic acid (db). The chemical composition,amino acids, total phenol of the hydrolysate and water extracts of the flour were varied. The hydrolysate had low molecular weight fraction peptides, namely 21, 19, and 9 kDa,while the water extracts contained fraction peptides having molecular weight between 279 to 9 kDa. The compounds in the water extract contained functional groups of C-O stretching, C-H bending, and O-H bending . The antioxidant activity of the water extracts and protein hydrolysate was 2.30±0.30 mg/mL and 1.67±0.05 mg/mL, respectively. The anticancer activity against WiDr colon cancer cells of the water extract and protein hydrolysate have IC 50 values of 69.37±24.25 µg/mL and 13.01±2.75 µg/mL, respectively. At the IC 50 concentration was 13.01±2.75 µg/mL, the protein hydrolysate could inhibit the WiDr cells growth through apoptosis induction by 64.9±1.63%. The result of the acute experiment showed that the water extract of sea cucumber flour at doses up to 0.5 g/kgBW did not affect behavioral, physical, average weight and feed intake during the 7 days of observation. In subchronic studies until doses 2.5 g/kgBW showed no case of death, physical changes and behavior, as well as a decrease in feed consumption and weight gain. Blood serum biochemical analysis showed glucose, lipid, protein, SGPT, SGOT, urea, sodium, chloride, potassium and total leukocyte differentiation still within the range of normal blood. Histology observation showed cell damage in the liver, kidneys and spleen that are still reversible. This indicated that the water extract of gama sea cucumber flour was safe for mice experiments. Gama sea cucumber flour (Stichopus variegatus) processs using a vacuum oven showed potential to be developed as an anticancer functional food ingredients. Keywords: anticancer, antioxidant, protein hydrolysate, sea cucumber flour, water extract.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
7
POTENSI PENGHAMBATAN SEL KANKER DAN KEAMANAN TEPUNG TERIPANG GAMA (Stichopus variegatus) SEBAGAI BAHAN PANGAN FUNGSIONAL
SHERLY RIDHOWATI
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
8
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Sukarno, M.Sc. Staf Pengajar Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dr. drh. Joko Pamungkas, M.Sc. Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (IPB) Penguji pada Ujian Terbuka : Prof. Dr. Ir. Rosmawaty Peranginangin, M.Sc. Peneliti Utama Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, Jakarta Dr. drh. Joko Pamungkas, M.Sc. Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (IPB)
10
11
PRAKATA a’ala atas Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa t a’ala segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2013 ini ialah Potensi Penghambatan Sel Kanker dan Keamanan Tepung Teripang Gama ( Stichopus variegatus) sebagai Bahan Pangan Fungsional. Terima kasih penulis penulis ucapkan ucapkan kepada ayahanda tercinta Akhmad Burhan Burhan dan ibunda tercinta tercinta Enny Sri Martini atas doa, doa, kasih sayang dan perhatian perhatian yang tak pernah putus, begitu juga kepada Bapak dan Ibu mertua, Bapak Suburian (Alm) dan Ibu Suryati. Ucapan Ucapan terima kasih kepada Ibu Prof Dr Fransiska Fransiska R. Zakaria, Bapak Dr Ir Dahrul Syah MScAgr, dan Ibu Dr Ekowati Chasanah MSc selaku pembimbing, serta Bapak drh Mawar Subangkit yang telah banyak memberi saran dan bantuan baik moril maupun maupun materil, materil, masukan masukan serta saran. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Muhammad Nursid, selaku kepala laboratorium Cell Culture di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, Jakarta, atas bimbingan, masukan serta saran. Bapak Indra Januar beserta staf peneliti dan teknisi Balai Besar Besar Penelitian Penelitian dan Pengembangan Pengembangan Pengolahan Pengolahan Produk Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, Jakarta yang telah banyak membantu selama pengumpulan pengumpulan data dan penulisan. penulisan. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Uus, Ibu drh Diah, drh Fitriya, drh Permana, Ibu Isti, Ibu Silmi beserta staf dari Pusat Studi Satwa Primata IPB, SEAFAST CENTER, Departemen Patologi FKH IPB, dan Departemen Ilmu Pangan, Laboratorium V-Stem yang telah membantu selama pengumpulan pengumpulan data. Penulis mengucapkan mengucapkan terima kasih kepada tim penguji promosi doktor yakni Bapak Dr Ir Sukarno, Bapak Dr drh Joko Pamungkas, Pamungkas, dan Prof Dr Rosmawaty Peranginangin yang bersedia menguji pada ujian tertutup, ujian terbuka, terbuka, memberikan masukan dan dan saran yang yang berguna dalam penulisan disertasi ini. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Bapak Rektor Universitas Sriwijaya, Dekan Fakultas Pertanian UNSRI, Kaprodi Teknologi Hasil Perikanan UNSRI atas izin belajar yang diberikan selama mengikuti perkuliahan di IPB, beserta teman-teman dosen dan staf di Teknologi Hasil Perikanan UNSRI. Ucapan terima terima kasih disampaikan kepada kepada Bapak Dekan Sekolah Sekolah Pascasarjana Pascasarjana IPB beserta staf dan jajarannya, kepada Ketua Program Studi Ilmu Pangan beserta staf dan jajarannya, kepada semua laboran/teknisi yang membantu selama penelitian. Terima kasih kepada KEMENRISTEK-DIKTI RI atas program Beasiswa Unggulan tahun 2011-2014 dan SUPERSEMAR atas bantuan penulisan disertasi disertasi tahun 2015. Terima kasih juga disampaikan kepada teman-teman S3 IPN 2010 (Bu Irdha, Sri Yadial Chalid, Shanora Yuliasari, Maria Belgis, Dewi Fortuna Ayu, Diana Nur Afifah, Inneke Kusumawati, Pak Hendra Wijaya & Pak Syahrul), teman S2 IPN (Habib dan istri) dan tim teripang, S3 IPN 2011 (Bu Retno, Asnani, Fitri, Eni, Henny, Pak Dwiyitno, Subaryono, Wahid, Sabariman, Tahrir, Rinto, Faleh) , S3 IPN IPN 2012,2013, serta teman kost Wisma Melati. Melati.
12
Ungkapan terima kasih tak terhingga juga disampaikan kepada anakku tercinta Syandri Fahrezi, dan seluruh keluarga tercinta (Mas Sigit, Mbak Yenny, Rina Endut, Deny, Fenny), dan semua pihak atas segala doa dan kasih sayangnya, serta Akas Amasin dan istri di Tanjung Karang, Lampung, Pak Landu dan Pak Yohanes atas segala bantuannya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2016 Sherly Ridhowati
RIWAYAT HIDUP
13
Penulis dilahirkan di Palembang, 26 April 1982 sebagai anak kedua dari empat bersaudara dari ayahanda tercinta Akhmad Burhan dan ibunda tercinta Enny Sri Martini. Pendidikan sarjana di tempuh pada tahun 2001 di Program Studi Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya, lulus pada tahun 2005. Pada tahun 2008, penulis melanjutkan pendidikan magister (S2) di Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan melalui beasiswa Tanoto Foundation, Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada dan menamatkannya pada tahun 2011. Penulis mendapat kesempatan melanjutkan pendidkan program doktor (S3) melalui beasiswa Beasiswa Unggulan dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional RI. Penulis adalah dosen di Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya sejak tahun 2012. Publikasi ilmiah baik berupa jurnal maupun buku ilmiah popular yang penulis terbitkan selama menjadi mahasiswa pascasarjana di Institut Pertanian Bogor, antara lain : 1. Sherly Ridhowati, Fransiska R Zakaria, Dahrul Syah, Ekowati Chasanah. 2014. Sea Cucumber as Anticancer Agents and Its Development For Functional Food Products. Squalen Bulletin of Marine & Fisheries Postharvest & Biotechnology. 9 (2): 85-96. 2. Sherly Ridhowati, Asnani. 2015 Profil asam amino, asam lemak pada teripang olahan ( Holothuria scabra ) Belitung . Jurnal Matematika, Sain dan Teknologi Universitas Terbuka. 16(2). 3. Sherly Ridhowati. 2014. Mengenal Pencemaran Ragam Logam. Graha Ilmu. 4. Sherly Ridhowati. 2013. Mengenal Malaria Lebih Dekat. DuaPustaka.
14
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian 2. TINJAUAN PUSTAKA Teripang Gama ( Stichopus variegatus) Keamanan Pangan Mekanisme Antikanker 3. METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Bahan Alat Metode Persiapan Bahan Baku Tahap 1. Pembuatan dan Karakteristik Ekstrak Air dan Hidrolisat Protein dari Tepung Teripang Gama (Stichopus variegatus) Tahap 2. Pengujian Potensi Aktivitas Antioksidan dan Antikanker Ekstrak Air dan Hidrolisat dari Tepung Teripang Gama terhadap Sel Kanker WiDr,T47D dan sel Vero secara In Vitro Tahap 3. Pengujian Keamanan Konsumsi melalui uji secara Akut dan Subkronis dari Ekstrak Air Tepung Teripang pada Mencit BALB/c Prosedur Analisis Analisis Data 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan dan Karakteristik Ekstrak Air dan Hidrolisat Protein dari Tepung Teripang Gama ( Stichopus variegatus) Pembuatan dan Karakteristik Tepung Teripang Gama Pembuatan dan Karakteristik Ekstrak Air dan Hidrolisat Protein dari Tepung Teripang Gama Pengujian Potensi Aktivitas Antioksidan dan Antikanker Ekstrak Air dan Hidrolisat dari Tepung Teripang Gama terhadap Sel Kanker WiDr,T47D dan sel Vero secara In Vitro Aktivitas Antioksida dari Ekstrak Air dan Hidrolisat Protein Tepung Teripang Gama Aktivitas Antikanker Ekstrak Air dan Hidrolisat Protein Tepung Teripang Gama
x xi xii xiv 1 1 3 4 4 5 6 6 9 14 18 18 18 18 19 19 20 22 24 27 37 38 38 38 45 51 51 54
15
Pengujian Keamanan Konsumsi melalui Uji secara Akut dan Subkronis dari Ekstrak Air Tepung Teripang pada Mencit BALB/c Pengamatan Keamanan Konsumsi melalui Uji secara Akut Pengamatan Fisik Berat Badan dan Sisa Pakan Pengamatan Keamanan Konsumsi melalui Uji secara Subkronis Berat Badan, Sisa Pakan, dan Berat Organ Relatif Biokimia Serum Darah dan Histologi Kadar SGPT dan SGOT Kadar Protein, Glukosa, dan Lipid Histologi Hati Kadar Urea ( Blood Urea Nitrogen/BUN) Kadar Elektrolit (Natrium, Kalium, Klorida) Histologi Ginjal Differensiasi Leukosit Histologi Limfa 5. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
59 59 59 60 61 61 63 64 65 67 70 71 72 75 77 83 83 83 84 96 99
16
DAFTAR TABEL
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Tanda toksik pada organ atau sistem fisiologi tubuh Komposisi pakan mencit BALB/c (AIN 1993 yang dimodifikasi) Volume ekstrak untuk kurva standar GOT Konversi konsentrasi standar asam piruvat terhadap kadar GOT Volume ekstrak untuk kurva standar GPT Konversi konsentrasi standar asam piruvat terhadap kadar GPT Komposisi proksimat teripang gama ( Stichopus variegatus) (% g/100g, basis basah) Komposisi profil asam amino teripang gama ( Stichopus varieagatus) (% g/100g protein, basis kering) Komposisi profil asam lemak total teripang gama ( Stichopus variegatus) (%g/100g, basis kering) Komposisi proksimat hidrolisat air dan ekstrak air tepung teripang (%g/100g, basis kering) Komposisi profil asam amino dari ekstrak air dan hidrolisat (%g/100g protein, basis kering) Karakteristik gugus fungsi ekstrak air dan hidrolisat protein hasil deteksi FTIR Nilai kapasitas antioksidan, total fenol dari ekstrak air dan hidrolisat protein Pengamatan fisik seluruh mencit BALB/c tiap kelompok perlakuan pada uji akut. Rata-rata dan standar deviasi dari berat badan, sisa pakan dan organ relatif selama pengamatan Persentase skoring sel hepatosit pada mencit BALB/c selama masa subkronis dan pemulihan Persentase skoring pada glomerulus dan tubulus mencit BALB/c selama masa subkronis dan pemulihan Rata-rata dan standar deviasi dari differensiasi leukosit selama pengamatan Persentase skoring pada pulpa merah dan pulpa putih pada mencit BALB/c selama masa subkronis dan pemulihan Nilai referensi kimia dan biokimia klinik normal pada berbagai jenis hewan Rata-rata dan standar deviasi dari biokimia serum darah selama pengamatan
11 25 34 34 35 35 40 41 44 47 48 50 52 60 63 68 74 78 79 81 82
17
DAFTAR GAMBAR
1 2 3 4 5 6 7 8 9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
21
Diagram alir tahapan penelitian Mekanisme peptida laut sebagai antikanker Diagram alir proses persiapan bahan baku Diagram alir proses pembuatan tepung teripang gama Diagram alir proses pembuatan ekstrak air tepung teripang Diagram alir proses pembuatan hidrolisat tepung teripang Diagram alir pengujian ekstrak air tepung teripang pada mencit BALB/c secara in vivo Teripang gama ( Stichopus variegatus) Proses pengolahan teripang segar beku menjadi tepung teripang gama (A:teripang gama beku; B:bubur campuran daging dan kulit teripang; C:campuran daging dan kulit yang dikeringkan; D: tepung teripang gama) Perbandingan bobot sampel daging teripang menjadi tepung teripang gama dalam satuan gram (basis kering) Hidrolisat protein dan ekstrak air dari tepung teripang gama Elektroforesis protein ekstrak air dan hidrolisat Spektra inframerah dari ekstrak air dan hidrolisat Penghambatan hidrolisat protein dan ekstrak air terhadap sel kolon WiDr Penghambatan hidrolisat protein dan ekstrak air terhadap sel payudara T47D Penghambatan hidrolisat protein dan ekstrak air terhadap sel normal Vero Persentase kemampuan induksi apoptosis oleh hidrolisat protein terhadap sel kolon WiDr pada IC 50 Pertumbuhan berat badan mencit selama 7 hari pada uji akut Jumlah sisa pakan mencit selama 7 hari pada uji akut
5 16 20 21 22 23 26 38
39 40 46 49 49 54 55 56 58 61 61
Histologi organ hati selama masa pemulihan. (A) Kelompok kontrol menunjukkan inti sel yang normal (panah hitam). (B) kelompok D1 menunjukkan degenerasi lemak (panah biru). (C) Kelompok D2 menunjukkan degenerasi lemak (panah biru). (D) Kelompok D3
menunjukkan degenerasi lemak (panah biru). Pewarnaan Hematoksilin dan Eosin. Perbesaran 400X (skala bar 50 µm). Histologi organ hati selama masa pemulihan. (A) Kelompok kontrol menunjukkan inti sel yang normal (panah hitam). (B) kelompok D1 menunjukkan degenerasi lemak (panah biru). (C) Kelompok D2 menunjukkan degenerasi lemak (panah biru). (D) Kelompok D3 menunjukkan degenerasi lemak (panah biru).. Pewarnaan Hematoksilin dan Eosin. Perbesaran 400X (skala bar 50 µm).
69
70
18
22
23
24
25
Histologi organ ginjal selama masa subkronis. (A) Kelompok kontrol menunjukkan inti sel yang normal epitel tubulus (panah hitam). (B) kelompok D1 menunjukkan kongesti (asteriks) dan endapan protein urin (panah kuning). (C) Kelompok D2 menunjukkan gambaran sel yang normal. (D) Kelompok D3 menunjukkan gambaran sel yang normal dan sedikit protein urin (panah kuning). Pewarnaan Hematoksilin dan Eosin. Perbesaran 400X (skala bar 50 µm). Histologi organ ginjal selama masa pemulihan. (A) Kelompok kontrol menunjukkan inti sel yang normal dan kongesti ringan (panah hitam). (B) kelompok D1 menunjukkan sel normal dan sangat sedikit kongesti. (C) Kelompok D2 menunjukkan gambaran sel yang normal dan kongesti ringan (panah hitam). (D) Kelompok D3 menunjukkan gambaran sel yang normal, kongesti ringan (panah hitam) dan sedikit protein urin (panah kuning). Pewarnaan Hematoksilin dan Eosin. Perbesaran 400X. (skala bar 50 µm). Histologi organ limfa selama masa subkronis. (A) Kelompok kontrol menunjukkan inti sel limfoid pulpa putih normal (panah hitam) dan beberapa inti piknosis (panah kuning). (B) kelompok D1 menunjukkan pulpa putih dan pulpa merah yang normal. (C) Kelompok D2 menunjukkan pulpa putih dan pulpa merah yang normal. (D) Kelompok D3 menunjukkan pulpa putih dan pulpa merah yang normal. Pewarnaan Hematoksilin dan Eosin. Perbesaran 400X (skala bar 50 µm). Histologi organ limfa selama masa pemulihan. (A) Kelompok kontrol menunjukkan inti sel limfoid pulpa putih normal (panah hitam) dan beberapa inti piknosis (panah kuning). (B) kelompok D1 menunjukkan pulpa putih dan pulpa merah yang normal. (C) Kelompok D2 menunjukkan pulpa putih dan pulpa merah yang normal. (D) Kelompok D3 menunjukkan pulpa putih dan pulpa merah yang normal. Pewarnaan Hematoksilin dan Eosin. Perbesaran 400X (skala bar 50 µm).
74
75
79
80
19
20
DAFTAR LAMPIRAN
1 Perhitungan konversi dosis ekstrak air tepung teripang ( Stichopus variegatus)
97
2 Parameter tingkah laku dan perubahan fisik
98
1
I PENDAHULUAN Latar Belakang
Prevalensi penyakit kanker diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan perubahan pola konsumsi pangan. Konsumsi pangan merupakan faktor risiko penyebab penyakit kanker yang dominan dibandingkan faktor genetik (WHO 2013). Prevalensi kanker sebenarnya dapat dihindari melalui konsumsi pangan nabati utuh alami sebagai salah satu alternatif pencegahan dan pengobatan penyakit tersebut (Zakaria 2015), atau dengan pangan fungsional. Pangan fungsional yang berasal dari bahan alami banyak digunakan dalam pemeliharaan kesehatan secara tradisional, pencegahan dan pengobatan kanker (Zakaria 2015; WHO 2013). Pangan fungsional merupakan pangan alami (sebagai contoh, buah buahan dan sayur-sayuran) atau pangan olahan yang mengandung komponen bioaktif sehingga dapat memberikan dampak positif pada fungsi metabolisme manusia (Wildman 2001). BPOM (2005) juga menyatakan bahwa pangan fungsional adalah pangan yang secara alamiah maupun telah melalui proses, mengandung satu atau lebih senyawa yang berdasarkan kajian-kajian ilmiah dianggap memiliki fungsi fisiologis tertentu yang bermanfaat bagi kesehatan. Sumber pangan fungsional sangat melimpah di Indonesia. Indonesia merupakan negara yang terkenal dengan mega-biodiversity akan sumber daya hayati dari laut, salah satunya adalah teripang gama Stichopus variegatus (S.variegatus). Produksi teripang di Indonesia diketahui sejak dasawarsa cenderung meningkat dengan rata-rata peningkatan pada tahun 2003-2004 sebesar 51.37% (DKP 2006). Perdagangan teripang saat ini telah meluas terutama Hongkong dan Singapura, dua negara tersebut merupakan pusat perdagangan ekspor teripang dunia. Produksi teripang di Indonesia dewasa ini umumnya berasal dari hasil tangkapan dan usaha budidaya. Usaha budidaya yang dilakukan sebagian besar terbatas kepada budidaya pembesaran yang dilakukan di habitat alami atau tambak-tambak. Teripang gama merupakan salah satu fauna laut yang sedang dikembangkan, walaupun teripang jenis ini termasuk golongan teripang bernilai ekonomis rendah dan makanan inferior. Teripang merupakan makanan laut kaya akan protein. Hasil penelitian Nurjanah (2008) mengungkapkan bahwa protein teripang pasir sebesar 38.96% bk (basis kering, bk). Teripang juga mengandung asam lemak tidak jenuh, asam amino esensial, kolagen, vitamin E, serta zat-zat mineral seperti kromium, besi, kadmium, mangan, nikel, kobalt, dan seng. Kandungan asam lemak tidak jenuh dalam teripang seperti EPA (asam eikosopentaenoat) dan DHA (asam dekosaheksaenoat) merupakan jenis asam lemak yang dikenal berperan penting sebagai agen penyembuh luka, anti thrombotik, memperlambat proses degenerasi sel, mengurangi resiko penyakit jantung, stroke, dan memperlambat proses penuaan (Bordbar et al. 2011; Maziar et al. 2012). Penelitian yang telah dilakukan di Malaysia membuktikan khasiat teripang sebagai agen-hipertensi (Maziar et al. 2012). Selain itu, hidrolisat protein dari Holothuria scabra J. memiliki daya hipoglikemik (Karnila 2012), penstimulus sistem imun dari glikosida triterpen dan asam amino (Qin et al. 2008). Teripang mengandung senyawa bioaktif dalam jumlah cukup, seperti glikosida triterpen
2
(saponin), kondroitin sulfat, glikosaminoglikan, polisakarida sulfat, sterol, fenolik, peptida, kolagen, serbrosida, dan lektin. Protein teripang yang dihasilkan dari dinding tubuh kaya akan glisin, asam glutamat dan arginin. Glisin dapat merangsang produksi dan pelepasan IL-2 dan antibodi sel B sehingga berkontribusi untuk meningkatkan fagositosis. Glisin dan asam glutamat merupakan komponen esensial bagi sel untuk mensintesis glutathione yang dapat merangsang aktivasi dan proliferasi sel NK. Arginin dapat meningkatkan imunitas sel dengan cara merangsang aktivasi dan proliferasi sel T (Bordbar et al. 2011). Penelitian Ogushi et al . (2005) menunjukkan fraksi molekul besar dari ekstrak air panas teripang, Stichopus japonicus , dapat menghambat pertumbuhan sel adenocarcinoma kolon manusia pada dosis tertentu. Penelitian lanjutan dari Ogushi et al. (2006) menyatakan bahwa ekstrak Stichopus japonicus dapat menurunkan pertumbuhan sel Caco-2 melalui induksi apoptosis. Selain itu, hasil purifikasi saponin sulfat dan glikosida triterpen dari teripang juga bisa sebagai agen antitumor dan antiangiogenik (Tian et al. 2005; Tong et al. 2005). Penelitian dari Pan et al. (2012) menunjukkan hidrolisat teripang Stichopus japonicus dari hasil hidrolisis menggunakan enzim saluran pencernaannya, memiliki aktivitas penangkapan radikal hidroksil dengan aktivitas tertinggi pada fraksi protein dengan berat molekul antara 1 sampai 5 kDa, sehingga teripang dapat dimanfaatkan sebagai pangan fungsional. Pemanfaatan teripang sebagai pangan fungsional dapat dilakukan dengan cara dikonsumsi langsung atau diolah sehingga nilai tambah teripang gama meningkat, seperti penelitian Azam dan Jyanti (2013) yang mengolah teripang Holothuria sp menjadi produk pangan berupa biskuit dan selai. Teripang umumnya mengalami proses pengolahan sebelum dikonsumsi untuk pengawetan dan menghilangkan toksisitasnya. Toksin (racun) pada kelompok teripang dari filum Echinodermata, kelas Holothuriiodea adalah golongan oligoglikosida triterpen yang memiliki satu atau beberapa kelompok sulfat dalam gugus karbohidrat (Stonik et al. 1999). Senyawa toksin tersebut bersifat larut air, dan konsentrasi racunnya banyak terdapat pada daging dibandingkan kulit (Rao et al. 1985). Laporan masyarakat di Sri Lanka juga menyebutkan bahwa setelah konsumsi teripang, mereka mengalami gejala muntah dan pusing meskipun tidak ada korban jiwa (James 2010). Hasil penelitian dari Ridzwan et al. (2014) menyatakan bahwa ada perubahan tingkah laku pada mencit yang diberikan ekstrak air Holothuria atra secara intraperitoneal. Pada dosis tertinggi ditemukan distorsi polyhedral hepatosites dengan sitoplasma yang melebar, piknotik, kariorhesis dan kariolitik nukleus. Pada pemberian ekstrak air dari Holothuria atra, mencit menjadi hipoaktif dengan LD 50 pada dosis 41 mg/kgBB. Teripang gama layak untuk dikembangkan sebagai bahan pangan fungsional, obat herbal, ataupun pengembangan lainnya dengan informasi bahwa adanya komponen pangan teripang yang telah diisolasi dan diidentifikasi dapat memberikan kontribusi bagi kesehatan, baik pencegahan maupun penghambatan penyakit kanker. Salah satunya adalah peptida bioaktif yang didefinisikan sebagai komponen makanan alami atau dihasilkan melalui proses enzimatis. Peptida ini dihasilkan selama proses pencernaan atau pengolahan makanan dari protein hewani maupun tumbuhan (Guadalupe et al. 2012).
3
Pada penelitian ini, teripang gama dibuat tepung teripang dengan menggunakan oven vakum. Penggunaan oven vakum dinilai lebih ekonomis untuk skala industri menggantikan pengeringan beku yang selama ini digunakan dalam proses pengolahan bahan untuk tujuan sebagai bahan baku produk kesehatan. Sebelum dikembangkan, tepung teripang diuji efek khasiat bagi kesehatan secara in vitro, dan keamanannya untuk dikonsumsi yang melibatkan hewan uji untuk melihat ada atau tidak efek samping yang merugikan. Uji efek negatif tepung teripang diperlukan jika dikonsumsi setiap hari, baik secara akut (dosis tunggal) maupun subkronis (dosis berulang dalam jangka waktu tertentu). Pengujian ini dilakukan mengingat tepung dibuat dari campuran daging dan kulitnya. Beberapa parameter yang diamati seperti pengamatan fisik, perubahan tingkah laku hewan coba, ada tidaknya kematian hewan coba akibat pemberian ekstrak air tepung teripang, biokimia serum darah; dan ada tidaknya gejala kerusakan hati, ginjal serta limfa. Informasi potensi khasiat tepung teripang gama sebagai sumber bahan pangan fungsional antikanker dan antioksidan masih terbatas. Komponen bioaktif teripang masih memiliki khasiat jika diproses dengan oven vakum, baik diekstrak dengan pelarut air maupun dihidrolisis dengan enzim pencernaan, yaitu pepsin, tripsin dan kimotripsin secara bertahap. Oleh karena itu, pengujian daya penghambatan tepung teripang dilakukan terhadap sel kanker kolon WiDr, sel kanker payudara T47D dan sel normal Vero secara in vitro, serta kemampuan induksi apoptosis melalui sediaan ekstrak air (EA) dan hidrolisat protein (HP) . Data penelitian berupa aktivitas antioksidan, antikanker, dan karakteristik kimia lainnya dapat dijadikan sebagai dasar informasi ilmiah untuk pengembangan tepung teripang gama asal Indonesia sebagai bahan pangan fungsional. Perumusan Masalah
Prevalensi penyakit kanker diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan perubahan pola konsumsi pangan. Konsumsi pangan merupakan salah satu faktor risiko dominan penyebab penyakit kanker. Prevalensi kanker sebenarnya dapat dihindari melalui konsumsi pangan fungsional, yaitu pangan alami utuh atau pangan olahan yang mengandung komponen bioaktif sehingga dapat memberikan dampak positif bagi kesehatan manusia. Teripang gama layak untuk dikembangkan sebagai pangan fungsional, salah satunya adalah peptida bioaktif sebagai komponen bioaktif dari teripang yang berkhasiat bagi kesehatan tubuh. Berdasarkan hasil laporan penelitian menyebutkan bahwa toksin pada teripang gama bersifat larut air, dan ditemukan pada bagian kulit dan dagingnya. Pada penelitian ini, tepung teripang gama dibuat dari campuran kulit dan daging dengan menggunakan oven vakum. Sebelum dikembangkan, tepung teripang akan diuji yang melibatkan in vitro dan hewan uji untuk melihat ada atau tidak efek samping yang merugikan dan efek khasiat bagi kesehatan. Permasalahan yang diangkat dari penelitian ini adalah karakteristik tepung teripang gama yang dibuat menggunakan oven vakum. Komponen bioaktif teripang masih memiliki khasiat jika diproses dengan oven vakum, baik diekstrak dengan pelarut air maupun dihidrolisis dengan enzim pencernaan, yaitu pepsin, tripsin dan kimotripsin secara bertahap. Oleh karena itu, pengujian daya
4
penghambatan ekstrak air (EA) dan hidrolisat protein (HP) dari tepung teripang dilakukan terhadap sel kanker kolon WiDr, sel kanker payudara T47D dan sel normal Vero secara in vitro, kemampuan induksi apoptosis , aktivitas antioksidan, dan karakteristik kimia seperti komposisi proksimat, profil asam amino total, total fenol, berat molekul, gugus fungsional dari keduanya belum diketahui, serta tepung teripang gama ( Stichopus variegatus) sebagai bahan pangan fungsional belum diketahui keamanannya untuk dikonsumsi. Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan umum untuk mempelajari aspek potensi khasiat fisiologis bagi kesehatan tubuh dari ekstrak air dan hidrolisat protein tepung teripang gama ( Stichopus variegatus) serta keamanan untuk dikonsumsi sebagai bahan pangan fungsional. Tujuan Khusus
1. Mengetahui komponen kimia yang terdapat pada tepung teripang gama 2. Mengetahui aktivitas antioksidan ektrak air dan hidrolisat dari tepung teripang gama 3. Mengetahui potensi daya penghambatan ektrak air dan hidrolisat dari tepung teripang gama terhadap sel kanker kolon WiDr, sel kanker payudara T47D dan sel normal Vero secara in vitro, serta kemampuan induksi apoptosis. 4. Mengetahui keamanan konsumsi melalui uji akut ekstrak air tepung teripang dengan berbagai dosis terhadap karakteristik fisik dan tingkah laku mencit BALB/c 5. Mengetahui keamanan konsumsi melalui uji subkronis ekstrak air tepung teripang dengan berbagai dosis terhadap karakteristik fisik dan tingkah laku, profil serum, histologi organ hati,ginjal dan limfa mencit BALB/c Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah memberikan suatu informasi ilmiah tentang potensi aktivitas antioksidan serta kemampuan penghambatan terhadap sel kanker WiDr, sel T47D, dan sel Vero dari ekstrak air dan hidrolisat protein dari tepung teripang gama, serta uji akut dan subkronis pada mencit BALB/c. Semua data tersebut bisa menjadi rujukan potensi khasiat pangan fungsional dan keamanan konsumsi dari tepung teripang gama ( Stichopus variegatus) sehingga diharapkan adanya peningkatan nilai tambah dari teripang gama melalui pengembangan pangan fungsional berbasis teripang gama.
5
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini terbagi menjadi tiga tahap penelitian, yaitu 1) tahap karakterisasi tepung teripang gama, sediaan ekstrak air dan hidrolisat tepung teripang; 2) tahap pengujian tepung teripang dalam menghambat sel kanker Wi Dr, T47D dan sel Vero secara in vitro dan aktivitas antioksidannya; dan 3) tahap pengujian keamanan konsumsi tepung teripang gama melalui uji akut dan subkronis pada mencit BALB/c. Rincian bagan alir ruang lingkup penelitian ditunjukkan pada Gambar 1. Tahap I
Teripang gama Pemisahan bagian organ dalam dan kotoran
Rendemen daging teripang Cam uran kulit dan da in
Penepungan 60 mesh Te un teri an
Analisis kadar proksimat profil asam amino total, profil asam lemak total
Ekstrak air dan Hidrolisat te un teri an
Tahap II
Tahap III
Pengujian Potensi Antioksidan dan Antikanker (in vitro)
Pengujian Keamanan Konsumsi secara in vivo
-
Analisis kadar proksimat Aktivitas antioksidan Analisis in vitro pada sel kanker WiDr, T47D dan sel Vero Profil asam amino Total fenol Berat molekul Analisis gugus fungsional
Pengujian keamanan konsumsi secara akut dan subkronis terhadap tepung teripang melalui sediaan ekstrak air pada mencit jantan BALB/c secara oral, analisis gejala klinis, biokimia serum darah dan histologi hati, ginjal, dan limfa.
Gambar 1 Diagram alir tahapan penelitian
6
II TINJAUAN PUSTAKA
Teripang Gama ( Stichopus variegatus)
Chantal dan Maria (2006) menyatakan bahwa teripang terbagi dalam tiga kategori berdasarkan nilai komersialnya, yaitu nilai komersial tertinggi ( Holothuria juscogilva, Holothuria scabra, dan Holothuria scabra versicolor ), nilai komersial menengah ( Actinopyga echinites, Actinopyga Miliaris dan Thelenota ananas ), dan nilai komersial rendah ( Holothuria atra, Holothuria juscopunctata, Stichopus chloronotus, dan Stichopus variegatus). Teripang Stichopus variegatus dikenal dengan nama duri, kasur, taikokong, curryfish/yellow meat, anjing, kapok, gama (Martoyo et al. 2007). Tubuh teripang gama memiliki warna coklat kehijauan dengan garis hitam terputus-putus mengelilingi tuberkel di seluruh permukaan dorsal; kulit tebal dan keras; di permukaan ventral terdapat garis-garis hitam yang hampir memenuhi permukaan. Papila tersebar tidak teratur; sangat pendek dan berwarna abu-abu, ujung tumpul dan berwarna hitam, dasar munculnya papila berukuran besar. Pada awetan alkohol, spesimen dari Stichopus varigatus (S. vastus) memiliki bentuk dan warna tubuh yang sangat mirip dengan teripang jenis Stichopus herrmanni dan Stichopus quadrifasciatus . Penyebarannya meliputi Indonesia, Papua Nugini, Kepulauan Palau, Mikronesia, dan Australia (Tuwo 2004). Teripang gama ( Stichopus variegatus) memiliki bentuk tubuh yaitu bulat panjang seperti ketimun dengan panjang antara 25-35 cm, badannya banyak terlihat bercak-bercak yang tidak teratur serta duri yang sebagian berwarna coklat tua dan sebagian lagi berwarna coklat muda. Tubuh teripang agak licin berlendir, kulitnya akan mencair apabila terkena udara. Teripang hidup di terumbu karang, sehingga teripang sering dijumpai pada rataan pasir atau ditemukan mengelompok di sela-sela batu dan karang. Pada stadia muda, habitat teripang berada di perairan yang dangkal, sedangkan pada stadia dewasa berada di perairan yang lebih dalam. Teripang umumnya menempati ekosistem terumbu karang dengan perairan yang jernih, bebas dari polusi, air relatif tenang dengan mutu air cukup baik. Habitat yang ideal bagi teripang adalah air laut dengan salinitas 29-33% yang memiliki kisaran pH 6.5-8.5, kecerahan air 50-150 cm, kandungan oksigen terlarut 4-8 ppm dan suhu air laut 20-25 oC (Tuwo 2004). Makanan utama teripang pada semua habitat adalah detritus, dan zat organik dalam pasir, sedangkan plankton, bakteri dan biota mikroskopis sebagai makanan pelengkapnya. Daerah penyebaran teripang di Indonesia antara lain Bangka, Sulawesi (sepanjang pantai selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara termasuk Sangir Talaut), Maluku (Maluku Tengah, Maluku Tenggara, dan Maluku Utara), Nusa Tenggara Barat (Sumbawa), Nusa Tenggara Timur (Flores da Sumba) dan Papua (Tuwo 2004). Potensi penyebaran teripang dari perikanan tangkap di Indonesia diketahui cukup besar, yaitu 184 631 ton pada tahun 2004 (DKP 2006). Daerah penghasil utama teripang adalah perairan pantai Sulawesi Tengah, perairan pantai NTT dan Sulawesi Selatan. Produksi teripang di Indonesia diketahui sejak dasawarsa cenderung meningkat dengan rata-rata peningkatan pada tahun 2003-2004 sebesar 51.37% (DKP 2006). Perdagangan teripang saat ini telah meluas, terutama
7
Hongkong dan Singapura, yang merupakan dua negara pusat perdagangan ekspor teripang dunia. Teripang kering telah diolah dan diperdagangkan di USA, Kanada, Eropa, Taiwan, Republik Korea, Cina, Australia, Malaysia, Thailand dan beberapa negara lain. Produksi teripang di Indonesia dewasa ini umumnya berasal dari hasil tangkapan dan usaha budidaya. Usaha budidaya yang dilakukan sebagian besar terbatas kepada budidaya pembesaran yang dilakukan di habitat alami atau tambak-tambak. Menurut Tuwo (2004) terdapat empat daerah penting tempat budidaya teripang, yaitu Papua (378 ton bobot basah/tahun), Sulawesi Tengah (200 ton), Sulawesi Tenggara (3 ton), dan Kalimantan Timur (1 ton). Teripang muda dengan ukuran dan bobot tertentu yang dipelihara selama 8-10 bulan akan menghasilkan teripang yang siap panen dengan ukuran komersial. Budidaya terpadu yaitu mulai dari pembenihan, pemeliharaan sampai pemanenan telah dirintis oleh Sub Balai Budidaya Laut di Lampung, akan tetapi sampai saat ini masih dalam taraf penelitian. Pemanfaatan dan penelitian tentang penggunaan teripang telah dimulai sejak lama. Etnis Cina mengenal teripang sebagai makanan berkhasiat medis sejak dinasti Ming. Zat gizi yang terkandung dalam teripang antara lain adalah air (88.99%bb), protein (38.96%bk), abu (31.43%bk), lemak (4.18%bk), dan karbohidrat (25.43%bk) (Nurjanah 2008). Martoyo et al. (2007) menyatakan bahwa kandungan gizi teripang kering adalah protein 82%, lemak 1.7%, air 8.9%, abu 8.6% dan karbohidrat 4.8%. Teripang juga mengandung fosfor, besi, iodium, natrium, vitamin A dan B (thiamin, riboflavin dan niasin ). Ekstrak dinding tubuh Stichopus variegatus tersusun dari 37% asam amino, 21% hidrokarbon, 16% ester, serta campuran fenol, alkohol dan senyawa tak diketahui berada pada konsentrasi rendah (Patar et al. 2012). Komponen asam amino dari teripang juga memiliki fungsi dalam regulasi imun. Sebagian besar (70%) dari protein dinding tubuh teripang terdiri dari kolagen (Saito et al. 2002). Kolagen dikenal sebagai komponen jaringan ikat, yang lebih lanjut dapat diubah menjadi gelatin sehingga mampu bertindak sebagai zat bioaktif fungsional. Beberapa penelitian membuktikan bahwa serangkaian zat bioaktif dalam teripang berpotensi meningkatkan immunitas, antikanker dan antikoagulasi (Bordbar et al. 2011). Hasil penelitian mengungkapkan bahwa teripang memiliki potensi sebagai antikanker dari senyawa bioaktif teripang terhadap kanker tertentu. Tian et al. (2005) melakukan uji in vivo dan in vitro pada senyawa philinopside E (PE) dari teripang sebagai anti-angiogenik. Hasil penelitian tersebut mengungkapkan adanya penghambatan secara in vitro dari senyawa teripang tersebut, seperti proliferasi, adhesi, migrasi, pembentukan tube dan apoptosis pada human umbilical vein endothelial cell (HUVECs) dan human microvascular endothelial cells (HMECs). Secara in vivo, peneliti menggunakan uji chorioallantoic membran untuk memeriksa aktivitas inhibitor PE, PE mampu menghambat proliferasi HMECs dan HUVECs. Hasilnya menunjukkan bahwa PE dapat dieksplorasi sebagai agen anti-angiogenik yang efisien, untuk menekan bentuk (terfosforilasi) aktif vaskular reseptor faktor pertumbuhan endotel yang terlibat dalam kelangsungan hidup sel endotel, proliferasi adhesi, dan migrasi.
8
Tong et al . (2005) dalam serangkaian model in vitro dan in vivo, juga mengungkap bahwa philinopside A (PA) memiliki efek sitotoksik dan antiagiogenik yang dapat menghambat receptor tirosin kinases (RTKs). Penelitian lain dari Patar et al. (2012) mengungkapkan bahwa isolat sphingoid dari serberosides teripang (Stichopus variegatus) juga memiliki efek sitotoksik terhadap human colon cancer cell lines. Isolat serberosides memiliki karakteristik berupa cabang C17 sampai C19 pada rantai alkil dan ikatan rangkap 1 sampai 3. Sphingoid teripang menunjukkan aktivitas sitotoksik kuat terhadap sel kanker (DLD-1, WiDr dan Caco-2) yang dapat mengurangi kelangsungan hidup sel kanker namun tergantung pada konsentrasi. Senyawa sphingoid yang diujikan memicu perubahan morfologi seperti senyawa fragmen kondensat kromatin yang dapat meningkatkan aktivitas caspase-3. Sphingoid dapat mengurangi viabilitas sel dengan menyebabkan apoptosis (Patar et al. 2012). Oleh karena itu, sphingoid teripang dapat berfungsi sebagai komponen pangan fungsional untuk mengurangi resiko kanker. Slichenko et al. (2007) meneliti tentang aktivitas antikanker dari tiga oligoglikosida triterpene baru, okhotosides B1, B2, dan B3, yang diisolasi dari teripang Cucumaria okhotensis, bersama dengan senyawa frondoside A, cucumarioside A2-5, dan koreoside A. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa ketiga senyawa oligoglikosida triterpene cukup toksik terhadap sel kanker HeLa, tetapi senyawa Frondoside A lebih sitotoksik terhadap sel kanker THP-1 dan HeLa. Senyawa triterpenoid dan frondoside A yang berasal dari teripang spesies Cucumaria frondosa efektif menghambat pertumbuhan sel kanker human pancreas, frondoside A menghambat proliferasi yang diikuti oleh apoptosis. Senyawa frondoside A mampu menginduksi apoptosis melalui jalur mitokondria dan aktivasi cascade. Althunibat et al. (2009) meneliti efek ekstrak tiga spesies teripang ( Holothuria leucospilota , Holothuria scabra , Stichopus chloronotus ), tiga spesies teripang tersebut diekstrak menggunakan pelarut akuades dan organik lalu diuji efektivitasnya terhadap pertumbuhan sel kanker manusia, yaitu sel kanker A549 (human non-small lung carcinoma ) dan C33A ( cervical cancer cells). Hasil yang diperoleh hanya ekstrak dari Stichopus chloronotus yang menunjukkan aktivitas antiproliferasi terhadap sel kanker yang diujikan. Antiproliferasi dan antikanker dari ekstrak teripang juga dikarenakan ada sejumlah besar senyawa fenol dan flavonoid sebagai antioksidan yang melindungi dari stress oksidatif dan penyakit degeneratif, termasuk kanker tertentu (Althunibat et al. 2009) Menurut Ogushi et al. (2006), ketika human colon adenocarcinoma Caco2 cellsdipapar dengan ekstrak air teripang jenis Stichopus japonicus maka terjadi perubahan morfologi pada human colon adenocarcinoma Caco-2 cell s yang diobati. Hasil studi memperlihatkan adanya induksi apoptosis menggunakan phosphatidylserine translocation ( APO Percentage Assay kit), terminal deoxynucleotide transferase-mediated dUTP-biotin nick-end labeling (TUNEL), dan fragmentasi DNA sebagai DNA ladder. Apoptosis diinduksi oleh fraksi dengan berat molekul besar,dan akan tetapi tergantung dosis yang digunakan. Hasil penelitian dari Dhinakaran dan Aaron (2015) mengungkapkan juga bahwa teripang Holothuria atrayang diekstrak dengan pelarut organik, memiliki aktivitas sebagai antijamur terhadap Trichoderma viride, Aspergillus niger, Aspergillus flavus, Candida albicans dan Penicillium chrysogenum dengan metode sumur
9
difusi. Aktivitas antitumor diperoleh dari ekstraknya dengan metode MTT terhadap sel Vero dan Hep2 pada konsentrasi 0,078 – 10 mg/mL. Farshadpour et al. (2014) mengungkapkan bahwa Holothuria sp. yang diekstrak dengan air memiliki daya antiviral terhadap HSV-1 melalui adsorpsi sel dan replikasi intraseluler virus sebesar 120,2 dan 189,9 µg/mL. Perez-Espadas et al. (2014) mengungkapkan bahwa Isostichopus badionotus ( Holothuridae) diekstrak dengan heksan, etil asetat dan butanol, dan ekstrak tersebut diujikan terhadap sel normal (vero), human cervical carcinoma (HeLa) dan breast adenocarcinoma (MCF-7 serta MDA-MB-231) menggunakan uji MTT. Hasilnya yaitu ekstrak heksan dari daging dan jeroan teripang memiliki nila IC 50 sebesar 48.5 dan 42.5 g/ mL terhadap sel HeLa, sedangkan ekstrak dengan etil asetat dari daging tubuh memiliki nilai IC50 samadengan 98, 3 μg/mL. Ekstrak teripang Holothuria atra dengan etanol menunjukkan aktivitas biologis sebagai anti proliferasi terhadap sel Hela dan MCF-7.Senyawa biologis itu berjumlah 57 yang diidentifikasi menggunakan 1HNMRdan13CNMR (Dhinakaran dan Aaron 2014). Penelitian dari Pan et al. (2012) melaporkan bahwa hidrolisat teripang Stichopus japonicus dari hasil hidrolisis menggunakan enzim saluran pencernaan, memiliki aktivitas penangkapan radikal hidroksil dengan aktivitas tertinggi pada fraksi protein dengan berat molekul antara 1 sampai 5 kDa. Proses hidrolisis tersebut berlangsung selama 3 jam dengan kondisi proses pH 6.5, suhu 35 oC dan 12 mg enzim kompleks dalam larutan 500 mL. Penelitian dari Soltani et al. (2014) menghasilkan bahwa saponin dari Holothuria leucospilota yang diekstrak dengan etanol memiliki aktivitas sebagai antikanker (sel kanker A549), dan berdasarkan analisis spektrum inframerah (IR),gugus hidroksil (OH), alkil(CH), eter(CO) danester(-C =O) dari ekstrak tersebut yang berperan sebagai antikanker. Penggunaan dan pemanfaatan dari teripang Stichopus hermanni dan Stichopus horrens, yang kedua teripang tersebut secara lokal dikenal sebagai gama (famili Stichopus) telah banyak dieksploitasi, namun aplikasi tersebut perlu dibuktikan secara ilmiah menggunakan beberapa model klinis, sebagaimana jenis Stichopus variegatus. Berdasarkan hasil penelitian terlihat bahwa sampai saat ini penelitian yang sudah dilakukan masih terbatas pada teknik budidaya, daerah penyebaran, ekologi dan teknologi pengolahan serta berbagai peranan bahan aktif sebagai antibakteri, antifungi, antihipertensi, antikoagulan. Pengujian keamanan terhadap konsumsi tepung teripang gama ( Stichopus variegatus) masih terbatas, begitu juga pembuktian potensi penghambatan tepung teripang jenis ini sebagai bahan pangan fungsional terhadap sel kanker secara in vitro baik dalam bentuk hidrolisat maupun ekstrak airnya. Keamanan Pangan
Keamanan pangan merupakan aspek yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Dewasa ini, kesadaran konsumen pada pangan adalah memberikan perhatian terhadap nilai gizi dan keamanan pangan yang dikonsumsi. Astawan (2003) mengatakan bahwa pangan fungsional juga harus dapat dikonsumsi sebagaimana layaknya makanan atau minuman, memiliki karakteristik sensoris seperti penampakan, warna, tekstur dan cita rasa yang dapat diterima oleh konsumen. Selain itu, pangan fungsional juga tidak memberikan kontra indikasi dan tidak memberi efek samping pada jumlah penggunaan yang dianjurkan
10
terhadap metabolisme zat gizi lainnya. Tepung teripang sebagai bahan pangan fungsional akan diuji dengan melibatkan hewan uji untuk melihat ada atau tidak efek samping (toksik) yang merugikan. Toksikologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang efek-efek yang tidak diinginkan dari zat asing yang masuk ke dalam tubuh organisme hidup, atau dikenal xenobiotik . Efek toksik atau efek yang tidak diinginkan dalam sistem biologis tidak akan dihasilkan oleh bahan tersebut. Manifestasi toksik dihasilkan bila bahan atau produk biotransformasinya mencapai tempat yang sesuai di dalam tubuh pada konsentrasi dan lama waktu yang cukup. Faktor utama yang mempengaruhi toksisitas yang berhubungan dengan situasi pemaparan terhadap bahan toksik tertentu adalah jalur masuk ke dalam tubuh, jangka waktu dan frekuensi pemaparan. Pemaparan toksikologi biasanya dibagi dalam empat kategori : akut, subakut, subkronik dan kronik. Interaksi bahan toksik dapat terjadi melalui sejumlah mekanisme dan efek dari dua atau lebih bahan toksik yang diberikan secara bersamaan akan menghasilkan suatu respon yang mungkin bersifat aditif, sinergis, potensiasi, dan antagonistik (Achmad 2004). Pemberian bahan toksik dalam jangka beberapa jam atau beberapa hari dengan dosis penuh akan menghasilkan beberapa efek. Efek toksik yang timbul tidak hanya tergantung pada frekuensi pemberian dengan dosis berbeda tetapi juga tergantung pada durasi paparannya. Efek kronis dapat terjadi apabila bahan kimia terakumulasi dalam sistem biologi dan bersifat irreversibel. Hal tersebut terjadi karena sistem biologi tidak mempunyai cukup waktu untuk pulih akibat paparan terus-menerus dari bahan toksik. Perbedaan efek toksik dapat didasarkan pada lokasi manifestasinya. Efek setempat didasarkan pada tempat terjadinya yaitu pada lokasi kontak yang pertama kali antara sistem biologi dan bahan toksikan. Efek sistemik terjadi pada jalan masuk toksikan kemudian bahan toksikan diserap, dan didistribusi hingga tiba pada beberapa tempat. Target utama efek toksisitas sistemik adalah sistem saraf pusat kemudian sistem sirkulasi dan sistem hematopoitik, organ viseral dan kulit, sedangkan otot dan tulang merupakan target yang paling belakangan (Achmad 2004). Jalur masuk dapat mempengaruhi toksisitas dari xenobiotik . Suatu bahan kimia yang didetoksifikasi di hati akan menjadi kurang toksik bila diberikan melalui sirkulasi portal (oral) dibandingkan sirkulasi sistematik (inhalasi). Efek toksik dari bahan-bahan kimia sangat bervariasi dalam sifat, organ sasaran, maupun mekanisme kerjanya. Beberapa bahan xenobiotik dapat menyebabkan cidera pada tempat yang kena bahan tersebut (efek lokal), bisa juga efek sistematik setelah bahan kimia diserap dan tersebar ke bagian organ lainnya. Efek toksik ini dapat bersifat reversibel artinya dapat hilang dengan sendirinya atau irreversibel yaitu akan menetap atau bertambah parah setelah paparan toksikan dihentikan. Efek irreversibel (efek nirpulih) diantaranya karsinoma, mutasi, kerusakan saraf, dan sirosis hati. Efek toksikan reversibel (berpulih) bila tubuh terpapar dengan kadar yang rendah atau untuk waktu yang singkat, sedangkan efek terpulih terjadi bila paparan dengan kadar yang lebih tinggi dan waktu yang lama (Achmad 2004). Parameter yang biasa digunakan dalam uji toksikologi adalah
11
1. LD50 Tolak ukur kuantitatif yang sering digunakan untuk menyatakan kisaran dosis letal/toksik adalah nilai lethal dosis 50% (LD 50), artinya dosis tunggal suatu senyawa yang diperkirakan dapat mematikan atau menimbulkan efek toksik terhadap 50% hewan uji (Akhila et al . 2007). 2. Pengamatan tingkah laku hewan percobaan Pada dosis tertentu paparan senyawa toksik terhadap suatu hewan uji tidak sampai mematikan hewan tersebut tetapi tetap dapat merusak organ sasarannya. Kerusakan terhadap organ tersebut kadang kala akan terlihat pada aktivitas dan tingkah laku keseharian hewan percobaan (Tabel 1). Tabel 1 Tanda toksik pada organ atau sistem fisiologi tubuh Sistem atau organ Autonomik Perilaku Sensorik Neuromuskuler Kardiovaskuler Pernafasan Mata Gastrointestinal Sistem kemih Kulit
Tanda toksik Membran niktitans melemh, eksoftalmos, hipersekresi hidung, salivasi, diare, keluar air seni, piloereksi Sedasi, gelisah, kepala tertunduk, kuku siap mencakar, terengah-engah, iritabilitas, sikap agresif atau defensif, ketakutan, bingung, aktivitas yang aneh Reflek kornea, reflek penempatan, reflek tungkai belakang, peka terhadap bunyi dan sentuhan, nistagmus Aktivitas meningkat atau berkurang, fasikulasi tremor, konvulsi, ataksia, lemas, opisototonus Denyut jantung meningkat atau berkurang, sianosis, vasokontriksi, vasodilatasi, pendarahan Hipopnea, dispnea, terengah-engah, apnea Warna mata, pemeriksaan oftalmologik Diare, muntah, feses, nafsu makan Volume urin, konsistensi, warna Warna, penampilan, bulu, eritema, bengkak
Sumber : Lu (1995)
3. Pengamatan terhadap berat badan dan konsumsi pakan Pengamatan ini dilakukan untuk menilai apakah percobaan yang dilakukan akan mempengaruhi konsumsi pakan hewan coba yang nantinya juga berkaitan dengan berat badan hewan coba tersebut 4. Analisis kimia darah serum atau urin Analisis kimia darah biasanya mencakup hematokrit, hemoglobin, menghitung jumlah eritrosit, leukosit dan trombosit. Pengujian yang dilakukan pada serum biasanya mencakup glukosa darah, SGOT, SGPT, alkalin fosfatase, protein total, lipid total, albumin, bilirubin, urea darah, kreatinin dan unsur-unsur anorganik seperti fosfor, kalium, kalsium, natrium dan klorida. Pada urin mencakup pemeriksaan fisik warna, berat jenis dan pH. Selain itu, pemeriksaan kimiawi juga dilakukan analisis protein, glukosa, keton, kreatinin, sel darah merah dan kristal serta benda amorf.
12
Data hasil pengujian tersebut pada beberapa analisis dapat digunakan untuk menilai kerusakan organ tertentu, misalnya keberadaan enzim SGPT dan SGOT dan juga bilirubin yang tinggi dalam serum sampel maka mengindikasikan kerusakan hati, sedangkan jumlah kreatinin dan urea yang tinggi dalam serum serta urin mengindikasikan adanya kerusakan pada ginjal. 5. Pengamatan histologi terhadap organ/jaringan yang diduga menjadi sasaran senyawa toksik. Pengamatan histologi terhadap organ sasaran aksi senyawa toksik dilakukan untuk mengkonfirmasi kerusakan dan juga menghitung paparan kerusakan terhadap sel organ tersebut. Pengamatan biasanya dilakukan terhadap sel yang normal dan sel yang mengalami degradasi, nekrosis juga apoptosis. Parameter LD50 dipakai hanya dalam pengujian toksisitas akut sedangkan parameter yang lainnya bisa dipakai baik dalam pengamatan toksisitas akut, subkronis maupun kronis. Pada pengujian toksisitas akut kadang kala hanya dilakukan dengan menggunakan parameter LD 50 seperti penelitian yang dilakukan oleh Rasekh et al .(2005), ada yang menggunakan parameter LD 50 pada pengamatan tingkah laku hewan percobaan (Joshi et al.2007, Alade et al. 2009) dan ada yang menggunakan parameter LD 50, pengamatan tingkah laku hewan percobaan, berat badan dan konsumsi ransum dan pengamatan histologi terhadap organ (Somfai-relle et al. 2005). Pengujian toksisitas subkronis maupun kronis ada yang hanya menggunakan paremeter analisis kimiawi serum (Amanvermez et al . 2009), ada yang menggunakan parameter analisis serum dan paraneter pengamatan histologi (Alade et al . 2009) dan ada juga menggunakan parameter kematian, pengamatan tingkah laku hewan percobaan, berat badan dan konsumsi pakan, analisis kimiawi terhadap darah, serum dan urin serta pengamatan histologi terhadap organ (Somfai-relle et al. 2005). Toksikan umumnya masuk ke dalam tubuh melalui 3 cara, yaitu sistem pernafasan, mulut (pencernaan) dan kulit. Toksikan tidak bisa begitu saja masuk ke dalam tubuh. Sistem ataupun organ tempat masuknya toksikan tersebut memiliki pertahanan berupa membran sel. Membran sel merupakan penghalang (barrier ) yang menghalangi masuknya toksikan pada semua sistem organ, artinya racun harus melalui membran-membran sel tersebut untuk dapat diserap, didistribusi, dimetabolisme tubuh. Membran sel mempunyai sifat semipermeabel artinya hanya melewatkan senyawa tertentu yang dikehendaki sel tersebut. Senyawa toksikan melewati membran sel melalui empat mekanisme yaitu difusi pasif, filtrasi oleh pori-pori membran, transport aktif dengan perantara carrier dan pencaplokan oleh sel (pinositosis) (Hodgson dan Levi 2000). Bagian tubuh yang berhubungan dengan distribusi toksikan : 1. Hati dan ginjal Kedua organ ini memiliki kapasitas yang lebih tinggi dalam mengikat bahan kimia, sehingga bahan kimia lebih banyak terkonsentrasi pada organ ini dibandingkan organ lainnya. Hal ini berhubungan dengan fungsi kedua organ ini dalam mengeliminasi toksikan dalam tubuh. Ginjal dan hati mempunyai
13
kemampuan untuk mengeluarkan toksikan. Organ hati cukup tinggi kapasitasnya dalam proses biotransformasi toksikan. Ginjal merupakan organ yang sangat efisien dalam mengeliminasi toksikan dari tubuh. Senyawa toksik dikeluarkan melalui urin oleh mekanisme yang sama seperti pada saat ginjal membuang hasil metabolit dari tubuh. Hati berperan penting dalam menghilangkan xenobiotik dari darah setelah diabsorbsi pada saluran pencernaan, sehingga distribusi bahan toksik tersebut ke bagian lain dari tubuh akan dapat dicegah. 2. Lemak Jaringan lemak merupakan tempat penyimpanan yang baik bagi zat yang larut dalam lemak seperti chlordane, DDT, polychlorinated biphenyl dan polybrominated biphenyl. Toksikan yang daya larutnya tinggi dalam lemak memungkinkan konsentrasinya rendah dalam target organ, sehingga toksikan tersebut dapat dianggap sebagai mekanisme perlindungan. Toksisitas zat tersebut pada orang yang gemuk menjadi lebih rendah jika dibanding dengan orang yang kurus. 3. Tulang Tulang dapat berfungsi sebagai tempat penyimpanan untuk senyawa seperti flouride, Pb dan strontium. Untuk beberapa toksikan, tulang merupakan tempat penyimpanan utama, contohnya 90 % dari Pb tubuh ditemukan pada skeleton. Penyimpanan toksikan pada tulang dapat atau tidak, mengakibatkan kerusakan. Contoh : Pb tidak toksik pada tulang, tetapi penyimpanan fluoride dalam tulang dapat menunjukkan efek kronik ( skeletal fluorosis). Toksikan dapat dieliminasi dari tubuh melalui beberapa rute. Ginjal merupakan organ penting untuk mengeluarkan racun. Beberapa xenobiotik diubah terlebih dahulu menjadi bahan yang larut dalam air sebelum dikeluarkan dalam tubuh. Rute lain yang menjadi lintasan utama untuk beberapa senyawa tertentu diantaranya: hati dan sistem empedu yang penting dalam ekskresi untuk DDT dan Pb; paru dalam ekskresi gas seperti CO. Toksikan yang dikeluarkan dari tubuh dapat ditemukan pada keringat, air mata dan air susu ibu (ASI). Sumber toksikan tidak hanya berasal dari logam berat, tetapi juga bisa dikarenakan bahan alami seperti organisme laut seperti teripang. Teripang sendiri telah diketahui memiliki khasiat farmakologi namun satu sisi diungkapkan oleh James (2010) bahwa konsumsi hewan laut ini dapat menimbulkan reaksi muntah pada manusia. Racun (toksin) dari filum Echinodermata, kelas Holothuriiodea adalah golongan oligoglikosida triterpen yang memiliki satu atau beberapa kelompok sulfat dalam gugus karbohidrat (Stonik et al. 1999). Aglikon termasuk turunan lanostane dan kadang-kadang memiliki rantai samping pendek. Ada hubungan antara struktur glikosida dan posisi taksonomi hewan yang sesuai, penghasil racun. Racun dari teripang ini memiliki aktivitas pada delta 5-sterol yang terdapat pada membran biologis dengan membentuk senyawa kompleks glikosida-sterol. Senyawa tersebut mengakibatkan gangguan permeabilitas membran dan penghambatan aktivitas beberapa enzim membran. Kehadiran racun menyebabkan perubahan dalam komposisi sterol membran teripang beracun (toksik) dibandingkan dengan spesies non-toksik. Perubahan ini termasuk perubahan delta 5-sterol pada teripang yang memiliki 7 (8) dan 9 (11) rantai ganda serta biotransformasi bagian dari fraksi sterol bebas menjadi sulfat sterol dan xylosides sterol (Stonik et al. 1999).
14
Hasil penelitian dari Qing et al. (2013) membuktikan bahwa saponin dari Pearsonothuria graeffei di bawah dosis 17.2 ; 68.8 ; 275 mg/kg BB tidak signifikan menimbulkan efek bahaya dan teratogenik pada tikus bunting dan bayi tikus. Wijengsinghe et al. (2013) mengatakan bahwa fraksi air dari teripang jenis Holothuria edulis memiliki sifat sitotoksik terhadap sel leukemia manusia HL-60 melalui ekspresi Bax dan caspase-3. Hal tersebut dikarenakan adanya komponen bioaktif berupa fenol, diantaranya asam klorogenik, pirogalol, rutin dan asam kumarit, glikosida triterpen, glukoaminoglikan, sulfat-polisakarida, sterol dan glikosphingolipid (Bordbar et al. 2011). Park et al. (2011) mengatakan bahwa ekstrak Stichopus japonicus memiliki antioksidan rendah, fraksi ekstrak kloroform dan etil asetat menunjukkan 80% dan 60% penghambatan pertumbuhan sel HL-60 dan HT-29, sedangkan fraksi larut air memperlihatkan efek antibakteri. Penelitian terbaru dari Ridzwan et al. (2014) menyatakan bahwa ada perubahan tingkah laku pada mencit yang diberikan ekstrak air Holothuria athra secara intraperitoneal. Pada dosis tertinggi ditemukan distorsi polyhedral hepatosites dengan sitoplasma yang melebar, piknotik, kariorhesis dan kariolitik nukleus. Ekstrak air dari Holothuria atra memiliki LD50 pada dosis 41 mg/kgBB dan mencit menjadi hipoaktif. MEKANISME ANTIKANKER
Kanker merupakan salah satu penyebab utama kematian tidak hanya di negara maju, karena 64% kasus kematian terjadi di negara berkembang termasuk Indonesia. Kasus kanker diperkirakan 15 juta pada tahun 2020, mortalitas ± 12 juta jiwa (Jemal et al. 2011). Menurut National Cancer Institute (2012), kanker paru-paru tertinggi terjadi pada pria, kanker payudara tertinggi pada wanita, sedangkan kanker kolon menempati urutan ketiga kematian di dunia. Kanker merupakan penyakit yang disebabkan oleh kerusakan DNA dan menyebabkan mutasi pada gen vital yang mengontrol pembelahan sel. Peptida dan kolagen dari teripang gamadapat dijadikan sebagai salah satu agen preventif kanker(Guadalupe et al. 2012). Hasil hidrolisis enzimatik kemungkinan besar dapat meningkatkan aktivitas antioksidan. Bioaktif peptida yang ditemukan dalam hidrolisat protein lautmemiliki potensi antioksidan menunjukkan potensi antikanker, imunostimulan dan efek antiproliferatif (Picot et al. 2006). Antioksidan merupakan senyawa aktif potensial yang cocok untuk digunakan sebagai pencegahan dan pengobatan penyakit yang berhubungan dengan spesies oksigen aktif, terutama berlaku untuk penyakit kanker. Penghambatan pertumbuhan sel kanker dapat terjadi melalui induksi apoptosis (Xing et al. 2011). Ada dua jalur utama apoptosis yang dapat dilalui oleh sel yaitu jalur ekstrinsik yang melibatkan reseptor di luar sel dan jalur intrinsik yang melibatkan mitokondria. Proses apoptosis sendiri memerlukan koordinasi beberapa jenis aktivitas protein spesifik, seperti caspase ( Cystein Aspartic Acid Proteases) yaitu protein yang berperan penting pada proses apotosis. Pada awal jalur ekstrinsiknya melibatkan peranan caspase-8, sedangkan awal jalur intrinsik melibatkan caspase-9. Pada akhir proses apoptosis, caspase-3 dan caspase-7 yang berperan untuk mengeksekusi sel kanker. Apoptosis merupakan bentuk kematian sel terprogram yang mempunyai ciri-ciri morfologi
15
dan biokimia spesifik yaitu kromatin terkodensasi, fragmentasi DNA, pemotongan protein dan berubahnya permeabilitas membran sel. Induksi apoptosis pada sel-sel yang memiliki DNA rusak maupun kanker pada intinya merupakan target dari pencegahan maupun terapi pada penyakit kanker (Zakaria 2001). Proliferasi sel kanker akan terjadi secara tidak terkendali, jika penghambatan sel kanker melalui jalur apoptosis tidak berhasil. Pertumbuhan sel kanker sangat tergantung dari penghantaran sinyal oleh protein kinase untuk berproliferasi. Protein kinase yaitu kelompok enzim yang dapat mentransfer gugus fosfat dari ATP ke residu asam amino berbagai protein yang disebut proses fosforilasi. Kelompok enzim protein kinase yang berperan sebagai penanda inisiasi keganasan, proliferasi sel kanker, progresi tumor, dan metastasis adalah enzim ERK ½ (extracellular signal regulated kinase-1/2) dan JNK ½ ( c-Jun NH 2-terminal kinase). Keberadaan kedua enzim ini di dalam sel kanker sebagai penanda progresivitas keganasan kanker (Xing et al. 2011). Beberapa penelitian antitumor dari peptida dari sumber kelautan telah banyak dilakukan, seperti sifat biologis dan mekanisme aktivitas peptida laut yang berbeda, serta keanekaragaman molekul juga telah diinformasikan. Peptida dapat menginduksi jalur sinyal apoptosis, mempengaruhi keseimbangan tubulinmikrotubulus dan menghambat angiogenesis. Peptida dapat sebagai antikanker,salah satunya karena kemampuannya menginduksi apoptosis (LanHong et al. 2011). Apoptosis sebagai bentuk kematian sel terprogram merupakan salah satu mekanisme utama dari kematian sel dalam merespon terapi kanker. Apoptosis merupakan proses yang terjadi secara alami dan secara evolusi, sel-sel yang tidak berguna lagi diarahkan ke kematian. Apoptosis berperan dalam proses mendasar pada perkembangan, fisiologi, dan homeostatis. Deregulasinya yakni hilangnya sinyal pro-apoptosis atau ada sinyal anti-apoptosis dapat menyebabkan berbagai kondisi patologis seperti inisiasi kanker, promosi dan progresi atau kegagalan pengobatan. Apoptosis biasanya tidak memicu respon inflamasi atau kekebalan tubuh; apoptosis menjadi cara kematian sel kanker selama pengobatan kanker (Lan-Hong et al. 2011). Modulasi jalur apoptosis dan induksi apoptosis selektif oleh agen kimia cenderung menjadi pendekatan yang menjanjikan untuk terapi kanker. Pada mamalia, ada dua sistem sinyal utama yang mengakibatkan aktivasi caspase, yaitu jalur reseptor kematian ekstrinsik dan jalur mitokondria intrinsik. Kedua jalur tersebut banyak cross talk diantara mereka seperti terlihat pada Gambar 2 di bawah ini. Penelitian telah menunjukkan bahwa peptida antikanker dari laut memiliki sitotoksisitas yang dapat memicu apoptosis dengan menargetkan banyak protein seluler, dan proses apoptosis yang diinduksi tersebut melibatkan dua jalur, yaitu jalur intraseluler dan ekstraseluler. Dalam kondisi sel normal, proto-onkogen mengkode protein yang mengirim sinyal ke dalam inti untuk merangsang pembelahan sel. Transduksi sinyal protein berlangsung dalam beberapa tahapan yang disebut cascade transduksi. Cascade ini melibatkan reseptor membran untuk sinyal molekul protein intermediet yang membawa sinyal masuk ke dalam sitoplasma dan faktor transkripsi dalam inti sel yang mengaktifkan gen untuk pembelahan sel. Pada setiap tahapan satu faktor atau protein akan mengaktifkan tahapan berikutnya (Robbins et al . 1995).
16
Gambar 2 Mekanisme peptida laut sebagai antikanker (Lan-Hong et al. 2011) Protein kinase merupakan kelompok enzim yang berperan pada proses transduksi sinyal dengan cara mentransfer gugus fosfat dari ATP ke residu asam amino berbagai protein (fosforilasi). Fosforilasi oleh tirosin kinase berperan penting sebagai molekul pemulai atau penghenti suatu cascade seluler dan sebagai pengikat antara dua protein. Kebalikan protein kinase adalah fosfatase yang berfungsi mengkatalisis pembuangan gugus fosfat dari spesies terfosforilasi. Gangguan ekspresi kedua enzim ini menyebabkan pembentukan kanker dan penyakit proliferasi lain. Peranan protein kinase pada kanker adalah pada inisiasi keganasan, proliferasi sel kanker, progresi tumor, dan metastasis (Lan-Hong et al. 2011). Sel kanker sangat tergantung pada penghantaran sinyal oleh protein kinase untuk berproliferasi, sementara sel normal jarang menggunakan jalur ini. Sel akan merespon berbagai pemicu seperti menghantarkan sinyal dari membran sel ke inti sel. Kelompok protein kinase MAPK ( Mitogen Activated Protein Kinase) memegang peranan penting dalam proses ini. MAPK terbagi 3 sub famili yaitu ERK ( Extracellular signal Regulated Kinase), JNK (c-Jun N-terminal Kinase) dan p38. Keseimbangan antara gen pro-hidup Bcl-2 dan gen pro-apoptosis Bax juga berperan penting dalam menjaga kelangsungan hidup sel. Oleh karena itu, penghambatan Bcl-2 atau induksi Bax menjadi strategi yang baik untuk memicu proses apoptosis. Identifikasi aktivator caspase menjadi pendekatan lain untuk penemuan agen antikanker baru karena caspase terlibat dalam jalur apoptosis intrinsik dan ekstrinsik. Beberapa peptida antikanker dari laut dapat mengaktifkan Jun N-terminal kinase (JNK) dan mitogen-activated protein kinase p38 (MAPK) jalur yang mengarah pada pelepasan sitokrom c (CYT C) dari mitokondria (LanHong et al. 2011). Jun N-terminal kinase (JNKs) dan kinase protein p38 mitogen-diaktifkan (MAPKs) berperan penting dalam mekanisme sinyal bahwa respon seluler mengorganisir berbagai jenis stres selular. Proliferasi merupakan ciri dari kanker, jalur JNK dan MAPK p38 yang mengatur perkembangan siklus sel pada titik-titik yang berbeda dan tergantung transkripsi dan transkripsi-independen, yang berefek
17
pada pengembangan berbagai jenis kanker. Efek pro- dan anti-apoptosis terhadap JNKs tampaknya tidak hanya tergantung pada rangsangan, tapi juga pada kekuatan sinyal. Aktivasi JNK dan jalur MAPK p38 dapat memicu lepasnya sitokrom-c dan kemudian mengaktifkan caspase cascade (Lan-Hong et al. 2011). Jalur instrinsik disebut pula dengan jalur mitokondria, umumnya diaktifkan oleh stress. Sinyal/perubahan intraseluler mengakibatkan sitokrom-c lepas ke dalam sitosol. Sitokrom-c berikatan dengan Apaf-1 ( Apoptotic-proteaseactivating factor-1) dan procaspase-9 untuk membentuk apoptosom. Fungsi apoptosom dalam mengaktifkan caspase-9 ( Cysteinyl aspartic acid-protease-9) di jalur apoptosis intrinsik, yang selanjutnya mengaktifkan procaspase-3 menjadi caspase-3 aktif sehingga terjadi caspase cascade menghasilkan apoptosis. Sel yang mati pada tahap akhir apoptosis mempunyai suatu fagositotik molekul pada permukaannnya (contohnya fosfatidilserin). Fosfatidilserin ini pada keadaan normal berada pada permukaan sitosolik dari plasma membran, tetapi pada proses apoptosis tersebar pada permukaan ekstraseluler melalui protein scramblase. Molekul ini merupakan suatu penanda sel untuk fagositosis oleh sel yang mempunyai reseptor yang sesuai, seperti makrofag. Sitoskeleton memfagosit melalui proses penelanan ( engulfment) molekul yang mengalami apoptosis tersebut. Pengangkatan sel yang mati melalui fagosit terjadi tanpa disertai dengan respon inflamasi. Antioksidan berperan penting pada tahap perkembangan kanker selanjutnya. Proses oksidatif mempromosikan karsinogenesis, meskipun mekanisme ini belum jelas dan masih butuh pembuktian lebih lanjut. Antioksidan mungkin dapat menyebabkan regresi premaligna, lesi dan menghambat perkembangan menjadi kanker (Boopathy dan Kathiresan 2010). Asam amino leusin dan hidroksiprolin memiliki kemampuan antioksidan dan ACE-inhibitor (Alem’an et al. 2011b). Peptida hidrofobik dapat menginduksi jalur apoptosis sel U937 (Lee et al. 2003; 2004). Teripang jenis Isostichopus badionotus memiliki aktivitas ACE inhibitor dan scavenging radikal, kapasitas pereduksi besi dan efek sitotoksik terhadap sel kanker kolorektal yang dievaluasi pada hidrolisat dan fraksi hidrolisat hasil ultrafilterasi. Aktivitas ACE-inhibitor yang kuat terdapat pada fraksi yang mengandung peptida <3000 Da. Aktivitas antioksidan yang diberikan oleh peptida dengan berat molekul rendah dan tinggi, tergantung pada metode hidrolisis (Perez-Vega et al. 2013). Penelitian lain dari peptida sebagai antikanker melalui modulasi hidrofobik (Huang et al. 2011). Janakiram et al. (2010) tentang kemampuan potensi antikanker kolon dari sifat Frondanol A5, ekstrak glikolipid dari teripang, Cucumaria frondosa , secara in vivo dan in vitro pada model kanker usus besar, sedangkan ekstrak tiga spesies teripang ( Holothuria leucospilota, Holothuria scabra, Stichopus chloronotus ) yang menggunakan pelarut akuades dan organik memiliki efek terhadap pertumbuhan sel kanker manusia, A549 (human non-small lung carcinoma) dan C33A (cervical cancer cells) (Althunibat et al . 2009).
18
HIPOTESIS
Komponen bioaktif dari protein dan mukopolisakarida padacampuran daging dan kulit sebagai bahan utama pembuatan tepung teripang gama (Stichopus variegatus) diduga berpotensi untuk menghambat pertumbuhan sel kanker kolon WiDr, sel kanker payudara T47D secara in vitro baik dalam bentuk ekstrak air maupun hidrolisatnya . Sediaan ekstrak air tepung teripangpada dosis tertentu aman dikonsumsi melalui uji akut dan subkronis pada model mencit jantan BALB/c.Tepungteripang gama ( Stichopus variegatus) yang diproses menggunakan oven vakum potensial untuk dikembangkan sebagai bahan pangan fungsional antikanker. III METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dimulai bulan Juli 2013 sampai dengan Juli 2015. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biokimia dan Mikrobiologi, Laboratorium Hewan SEAFAST CENTER, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian; Laboratorium Hewan V-Stem; Laboratorium Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Laboratorium Mikrobiologi, Pusat Studi Satwa Primata, Institut Pertanian Bogor; dan Laboratorium Bioteknologi dan Instrumen Balai Besar Peneitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, Jakarta. Bahan dan Alat Bahan
Bahan utama penelitian adalah teripang gama ( Stichopus variegatus) yang diperoleh dari Balai Budidaya Laut (BBL) Lampung Selatan. Teripang gama yang digunakan adalah teripang dengan kisaran bobot rata-rata 600 gram/ekor. Hewan percobaan yang digunakan adalah mencit putih jantan ( Mus musculus L) strain BALB/c berumur ± 2-3 bulan. Mencit BALB/c berasal dari Laboratorium VStem, Carang Pulang, Bogor. Bahan kimia yang digunakan: Akuades demineral, HCl, NaOH, enzim pepsin (P7000-25G, Sigma Al-drich), tripsin (T4799-5G, Sigma Al-drich), kimotripsin (C4129-250mgr, Sigma Al-drich), akuades dan bahan kimia analisis. Sel kolon WiDr ( ATCC CCL 218), sel payudara T47D, sel normal Vero (ATCC CCL 81). Penggunaan mencit jantan BALB/c sebagai hewan model sudah mendapat perizinan dari komisi etik hewan dari Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Diponegoro (No.289/EC/FKM/2014) (Lampiran 3). Alat
Alat utama penelitian adalah oven vakum, frezze dryer merk Scanvac, water bath merk Memmert, sonikator merk Branson 8510, sentrifuse merk Beckman Counter Avanti J-26 XPI, FTIR. Selain itu, alat yang digunakan
19
meliputi timbangan analitik, oven, oven vakum, labu dekstruksi, perangkat destilasi, labu shoxlet, tanur pengabuan, peralatan gelas, desikator, kromatografi cair bertekanan tinggi reversed phase dengan kolom CAPCELL PAK C18, MG II 4.6 mm ID x 150 mm; Shiseido, Tokyo, Jepang), kromatografi gas (Shimadzu GC-9AM, Jepang), blender, inkubator bergoyang, kertas saring, alat pengering beku, termometer, pH meter, penangas air, spektrofotometer uv-vis, vorteks, magnetic stirrer, dan peralatan untuk uji in vivo. Metode Penelitian
1. 2. 3.
4.
Penelitian ini dilakukan dalam empat tahap percobaan yaitu : Pembuatan tepung teripang, dan analisis komposisi kimia (proksimat), profil asam amino total, serta profil asam lemak total dari tepung dan campuran kulit dan daging teripang. Pembuatan sediaan ekstrak air dan hidrolisat enzimatis dari tepung teripang, dan analisis komposisi kimia (proksimat), berat molekul, gugus fungsional, total fenol dari kedua sediaan. Pengujian potensi penghambatan hidrolisat dan ekstrak air dari tepung teripang gama terhadap pertumbuhan sel kanker kolon WiDr, sel kanker payudara T47D, dan sel normal Vero secara in vitro, serta pengujian aktivitas antioksidan Pengujian keamanan konsumsi secara akut dan subkronis dengan berbagai tingkat dosis dari ekstrak air tepung teripang gama pada mencit jantan BALB/c, dan analisis gejala klinis dari pengamatan perilaku, serum darah (glukosa darah, total protein, total lipid, SGOT, SGPT, kreatinin, kalium, natrium dan klorida), serta histologi organ hati, ginjal, dan limfa. Persiapan Bahan Baku
Teripang gama ( Stichopus variegatus) segar diperoleh dari nelayan lokal di Lampung Selatan, Indonesia pada bulan Februari sampai Juni 2014. Tiga puluh teripang gama dipilih secara acak dengan berat badan rata-rata 600 gram/ekor dan panjang 25 cm. Bagian dalam berupa jeroan dan gonad dibuang, lalu teripang dicuci dengan air laut. Sampel teripang segar diletakkan dalam sterofoam berisi es batu kemudian diangkut ke Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor. Setelah tiba di Laboratorium, sampel teripang dipotong-potong kecil, dikeringkan dengan oven vakum pada kondisi 50 oC, 65 cmHg selama 4 jam. Kemudian sampel teripang kering ditepungkan sampai ukuran 60 mesh lalu dicampur dan disimpan dalam freezer sampai analisis, seperti terlihat pada gambar di bawah ini. Diagram alir setiap tahapan penelitian disajikan pada Gambar 3.
20
Teripang gama (Stichopus variegatus )
Pemisahan bagian dalam tubuh
Kotoran Jeroan dan gonad
Campuran kulit dan daging teripang
Tidak digunakan
Gambar 3 Diagram alir proses persiapan bahan baku Tahap 1
Pembuatan dan karakteristik ekstrak air dan hidrolisat protein dari tepung teripang gama ( Stichopus variegatus)
Target utama dari tahap pertama yaitu pembuatan tepung teripang dari campuran kulit dan daging teripang gama, tepung teripang dari tahap ini digunakan sebagai bahan utama untuk pembuatan ekstrak air dan hidrolisat protein teripang. Penelitian tahap pertama ini bertujuan untuk mengetahui komponen kimia berupa kandungan air, abu, protein, lemak, serta komponen profil asam lemak total, dan profil asam amino total dari tepung teripang gama (Stichopus variegatus), ekstrak air dan hidrolisat protein. Analisis total fenol, berat molekul, dan gugus fungsional juga dilakukan untuk mengetahui karakteristik ekstrak air dan hidrolisat protein. Semua analisis tahap pertama diulang sebanyak dua kali dan hasil analisis dinyatakan sebagai rata-rata ± standar deviasi, seperti dijelaskan pada Gambar 4 di bawah ini. Pembuatan ekstrak air tepung teripang
Pembuatan ekstrak air tepung teripang berdasarkan metode Farshadpour et al. (2014) dengan sedikit modifikasi. Tepung teripang gama ditambahkan dengan akuades demineral, yang disesuaikan dengan perlakuan dosis. Misal: rerata berat badan mencit BALB/c sebesar 25 gram, 20 ekor mencit, dan maksimal pemberian ekstrak air tepung teripang sebesar 0.5 mL. Untuk pengujian toksisitas akut : 0.005g/kgBB (2.5x10 -3g/10mL ); 0.05 g/kgBB (2.5x10 -2g/10mL) ; 0.5 g/kgBB (0.25g/10mL).
21
Misal: rerata berat badan mencit BALB/c sebesar 20 gram, 40 ekor mencit, dan maksimal pemberian ekstrak air tepung teripang sebesar 0.5 mL. Untuk pengujian toksisitas subkronis : 1 g/kgBB (2g/50mL) ; 1.5 g/kgBB (3g/50mL) ; 2.5 g/kgBB (5g/50mL). Tepung teripang gama yang telah ditimbang sesuai dosis, dicampurkan dengan akuades demineral selama 5 menit sambil diaduk, lalu dilanjutkan dengan sonikasi selama 30 menit. Larutan ekstrak tepung teripang disentrifuse selama 30 menit, 5031 g, suhu 4 oC. Ekstrak air yang diperoleh disimpan dalam freezer hingga analisis dilakukan, seperti dijelaskan pada Gambar 5 di bawah ini. Campuran kulit dan daging teripang gama (Stichopus variegatus )
Pencucian dengan air laut
Pemotongan dan pengecilan ukuran
Pengeringan dengan oven vakum ± 50 oC, 65 cmHg selama 4 jam
Penepungan sampai ukuran 60 mesh
Tepung teripang
Gambar 4 Diagram alir proses pembuatan tepung teripang gama Pembuatan hidrolisat protein tepung teripang
Pembuatan hidrolisat dilakukan dengan menggunakan metode Perez-Vega et al. (2013) dengan sedikit modifikasi. Tepung teripang sebanyak 8 g ditimbang lalu disuspensikan ke 160 ml akuades dan dilakukan homogenisasi selama 2 menit. Perebusan dilakukan pada suhu 98 oC selama 20 menit . Setelah dingin, maka penambahan enzim pepsin (10 Unit/g, Sigma Aldrich) dilakukan. Proses
22
hidrolisis dilakukan pada suhu 37 oC dan pH 2.0 selama 2 jam. Selanjutnya proses hidrolisis diteruskan dengan penambahan tripsin dan kimotripsin secara bersamaan (0.4 Unit/g dan 100 Unit/g, Sigma Aldrich) pada suhu 37 oC dan pH 7.5 selama 2 jam. Setelah itu, homogenat dipanaskan pada suhu 85 oC selama 20 menit untuk menginaktifkan enzim. Setelah proses hidrolisis selesai, dilanjutkan dengan pemisahan supernatan dari presipitan menggunakan sentrifugasi 9820 g, selama 45 menit pada suhu 4 oC. Supernatan yang diperoleh dilakukan proses freeze drying. Hidrolisat yang telah diperoleh dikemas dalam plastik sampel dan aluminium foil serta disimpan dalam cool room pada suhu 4 oC sampai siap digunakan untuk analisis berikutnya. Tahapan ketiga dari penelitian ini dijelaskan pada Gambar 6 di bawah ini
Tepung teripang gama Stichopus variegatus
Pencampuran dengan akuades selama 5 menit Sonikasi selama 30 menit Pemisahan dengan sentrifuse 5031 g, 4oC selama 30 menit
Ekstrak air tepung teripang gama Stichopus variegatus
Gambar 5 Diagram alir proses pembuatan ekstrak air tepung teripang gama Tahap 2 Pengujian potensi aktivitas antioksidan dan antikanker ekstrak air dan hidrolisat dari tepung teripang gama terhadap sel kanker WiDr, T47D dan sel Vero secara in vitro.
Pada tahap penelitian ini, sediaan uji berupa ekstrak air tepung teripang, dan hidrolisat yang diperoleh dengan hidrolisis tepung menggunakan enzim pencernaan yaitu pepsin, tripsin dan kimotripsin secara bertahap. Pengujian potensi aktivitas antioksidan dan penghambatan ekstrak air dan hidrolisat protein dilakukan terhadap sel kanker kolon WiDr, sel kanker payudara T47D, dan sel normal Vero secara in vitro, serta kemampuan induksi apoptosis. Data penelitian
23
ini dapat dijadikan sebagai dasar informasi ilmiah untuk pengembangan tepung teripang gama sebagai bahan baku fungsional antikanker dan antioksidan. Rancangan percobaan yang digunakan pada tahap penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dianalisis dengan One-Way ANOVA program SAS 9.1.3.Portable. Uji lebih lanjut menggunakan uji DMRT (Duncan’s Multiple Range Test) untuk melihat perlakuan yang memberikan perbedaan nyata. Semua data ditunjukkan dalam bentuk rata-rata (mean) ± standar deviasi dari 2 ulangan Tepung teripang
Penimbangan 8 g bahan dan campurkan dengan akuades 160 mL
Pencampuran
Perebusan pada suhu 98 oC selama 20 menit dan pendinginan
o
Hidrolisis 37 C selama 2 jam pH 2
Penambahan HCl 1.0 M; Enzim pepsin
Penambahan NaOH 1.0 M; Enzim tripsin dan kimotripsin Hidrolisis 37oC selama 2 jam pH 7.5
Sentrifugasi : 9820 g selama 45 menit, dan suhu 4 oC
Hidrolisat supernatan teripang
Freeze Dryer
Hidrolisat protein teripang
Gambar 6 Diagram alir proses pembuatan hidrolisat protein tepung teripang
24
Tahap 3
Pengujian keamanan konsumsi melalui uji secara akut dan subkronis dari ekstrak air tepung teripang pada mencit BALB/c.
Penelitian tahap ketiga meliputi kajian keamanan pangan terhadap tepung teripang gama. Analisis yang dapat dilakukan untuk melihat keamanannya yaitu melalui analisis toksikologi baik secara akut selama 7 hari (dosis tunggal) maupun subkronis selama 28 hari/4 minggu (dosis berulang dalam jangka waktu tertentu) dan 14 hari/2 minggu untuk masa pemulihan ( recovery). Beberapa parameter yang diamati seperti pengamatan fisik, perubahan tingkah laku, ada tidaknya kematian akibat pemberian ekstrak air tepung teripang, komposisi biokimia serum darah; dan histologi organ hati, limfa serta ginjal pada mencit jantan BALB/c. Analisis data yang digunakan yaitu analisis deskriptif yang diterapkan pada data makroskopis sel normal, degeneratif dan nekrosis pada organ hati, ginjal dan limfa, berdasarkan hasil skoring, yaitu sel normal, tidak terlihat lesion akibat perlakuan (skor 0), sel mengalami kongesti ringan yang diduga akibat perlakuan penelitian (skor 1), sitoplasma sel mengalami degenerasi hidropis sampai degenerasi lemak (skor 2), dan sel mengalami nekrosis (skor 3). Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap dianalisis dengan One-Way ANOVA program SAS 9.1.3.Portable. Uji lebih lanjut menggunakan uji DMRT (Duncan’s Multiple Range Test) untuk melihat perlakuan yang memberikan perbedaan nyata. Semua data ditunjukkan dalam bentuk rata-rata (mean) ± standar deviasi dari 3 ulangan. Bahan dan alat untuk pembuatan ransum
Ransum yang diberikan pada mencit mengacu pada pakan standar dari America Institute of Nutrition (AIN 1993) yang dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan gizi mencit BALB/c. Peralatan untuk pembuatan ransum standar dan ransum perlakuan seperti blender, drum dryer, oven, mixer, gelas ukur, labu ukur. Untuk pemeliharaan mencit digunakan peralatan antara lain: kandang terbuat dari plastik yang bagian atasnya ditutupi kawat berlubang rapat dilengkapi botol minum dari kaca, timbangan OHAUS. Penanganan mencit BALB / c
Desain yang digunakan adalah randomized post test control group . Populasi dan sampel yang diteliti adalah mencit galur BALB/c dengan kriteria inklusi; umur 2-3 bulan, berbobot ± 20 gram, sehat, aktivitas dan tingkah laku. Mencit diadaptasikan selama seminggu bertujuan untuk menyesuaikan dengan lingkungan baru atau lingkungan laboratorium, mengamati kemampuan beradaptasi dan berprilaku normal, tidak sakit, dan menyeragamkan kondisi sebelum diberi perlakuan. Aklimatisasi dilakukan selama satu minggu dengan diberi ransum standar modifikasi dari AIN (American Institute of Nutrition) 93 dan minum secara ad libitum. Ransum yang diberikan 5 gram/ekor/hari dalam bentuk bubuk mengikuti AIN 93 sudah mencukupi kebutuhan konsumsi mencit perhari dan menentukan jumlah ransum yang dikonsumsi setiap harinya. Tiap ekor mencit menempati
25
satu kandang yang terbuat dari plastik dan ditempatkan dalam ruangan yang telah diatur siklus udara dan cahaya. Semua mencit diberi ransum secara teratur dan ditempatkan dalam ruangan suhu kamar dan dilengkapi blower untuk menjaga kelembaban lingkungan. Banyaknya ransum yang dikonsumsi dihitung tiap hari berdasarkan jumlah pakan yang tersisa. Tabel 2 Komposisi pakan mencit BALB/c (AIN 1993 yang dimodifikasi) No. 1 2 3 4 5 6 7
Komponen Tepung teripang Protein kasein Lemak, minyak kedelei Selulosa, CMC Mineral mix Vitamin mix Sukrosa
8
Karbohidrat,pati jagung
Standar AIN,1993M (% g/100 g) 0 14 4 5 3.5 1 10 Untuk membuat 100 gr
Sumber : Reeves et al. (1993)
Mencit dikelompokkan menjadi 2 kelompok besar yaitu 20 ekor untuk uji akut (kelompok kontrol = 5 ekor; kelompok dosis 0.005 g/kgBB 9(D) = 5 ekor; kelompok dosis 0.05 g/kgBB (F) = 5 ekor ; kelompok dosis 0.5 g/kgBB (G) = 5 ekor). Sebanyak 28 ekor mencit dipersiapkan untuk uji subkronis (kelompok kontrol = 7 ekor; kelompok dosis 1 g/kgBB (D1) = 7 ekor; kelompok dosis 1.5 g/kgBB (D2) = 7 ekor; kelompok dosis 2.5 g/kgBB (D3) = 7 ekor).Kelompok mencit pada uji akut mendapat perlakuan pemberian 1 kali ekstrak air tepung teripang masing-masing sebanyak 0.5 mL dari dosis berbeda dan dilakukan pengamatan selama 7 hari. Untuk uji subkronis, masing-masing kelompok mencit mendapat perlakuan pemberian ekstrak air tepung teripang (@ 0.5 mL) diberikan menggunakan sonde lambung selama 4 minggu,masa pemulihan ( recovery) selama 2 minggu dimana semua mencit kelompok kontrol dan perlakuan tidak diberikan ekstrak air tepung teripang. Masa perlakuan baik uji akut dan subkronis berakhir maka mencit diterminasi dengan cara pembiusan dengan ketamin, yaitu disosiatif anestetik . Pada minggu ke-4, mencit perlakuan subkronis dan kontrol semuanya diterminasi/dieutanasi lalu dibedah dan diambil darahnya melalui vena orbitaori, selanjutnya organ hati, ginjal, dan limfa diambil. Darah yang didapat lalu didiamkan di suhu ruang maksimal selama 30 menit dan langsung disentrifugasi dengan kecepatan 5031 g setelah itu supernatannya diambil sebagai serum dan dilakukan analisis terhadap kandungan glukosa, total protein, SGOT, SGPT, total lipid, urea, dan elektrolit (natrium, kalium, klorida), serta analisis differensiasi leukosit melalui ulas darah dengan pewarnaan GIMSA. Organ hati, limfa dan ginjal yang diambil langsung dicuci dengan larutan buffer salin fosfat dan kemudian ditimbang, pada hati diambil lobus bagian tengahnya sedangkan limfa, ginjal diambil bagian tengahnya dengan lebar 0.5-1 cm dan langsung direndam dalam larutan fiksatif buffer netral formalin.
26
Tahapan ketiga dari penelitian ini dijelaskan pada Gambar 7 di bawah ini 48 ekor mencit BALB/c jantan
Adaptasi 1 minggu
Pengelompokkan
Akut : Kontrol ( 5 ekor mencit, Dosis @ 5 ekor mencit) Dosis 0.005 g//kg BB (D) Dosis 0.05 g/kg BB (F) Dosis 0.5 g/kg BB (G)
Subkronis : Kontrol ( 7 ekor mencit, Dosis @ 7 ekor mencit ) Dosis 2.5 g/kg BB (D3) Dosis 1.5 g/kg BB (D2) Dosis 1 g/kg BB (D1)
Perlakuan akut 1 kali pemberian ekstrak tepung teripang, sub kronis pemberian ekstrak tepung teripang setiap hari selama 4 minggu
Pengamatan 7 hari
Parameter: kematian dan tingkah laku
Pengamatan 4 minggu dan 2 minggu recovery perlakuan, pengamatan : Kematian, tingkah laku, berat badan dan konsumsi pakan
Nekropsis
Gambar 7 Diagram alir pengujian ekstrak air tepung teripang pada mencit BALB/c secara in vivo
27
Prosedur Analisis Analisis Proksimat dari Tepung Teripang, Ekstrak Air dan Hidrolisat Teripang (AOAC 2005)
Analisis proksimat terhadap produk tepung, ekstrak air dan hidrolisat teripang gama ( Stichopus variegatus) meliputi penentuan kadar air, abu, protein, dan lemak. Rendemen (Hadiwiyoto 1993)
Rendemen adalah rasio antara berat bagian yang dapat dimanfaatkan terhadap berat utuh. Rendemen umumnya digunakan untuk memperkirakan jumlah bagian yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan pangan. Rendemen tepung teripang gama dihitung dengan rumus sebagai berikut :
Derajat Hidrolisis (Hasnaliza et al. 2010)
Derajat hidrolisis dihitung berdasarkan persentase trichloroacetic acid (TCA). Sebanyak 20 ml hidrolisat protein ditambahkan TCA 20% (b/v) sebanyak 20 ml untuk menghasilkan nitrogen terlarut dalam 10%TCA. Campuran tersebut kemudian didiamkan selama 30 menit agar terjadi pengendapan, lalu disentrifugasi (kecepatan 7800 g, selama 15 menit). Kadar nitrogen sampel dan supernatan lalu dianalisis kadar nitrogennya menggunakan metode Lowry et al. (1951). Derajat hidrolisis dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :
Analisis Asam Amino Total (AOAC 2005)
Komposisi asam amino total ditentukan dengan menggunakan High Performance Liquid Chromatography (HPLC). Sebelum dipakai, perangkat HPLC harus dibilas dulu dengan eluen yang akan digunakan selama 2-3 jam. Begitu pula dengan syringe yang akan digunakan harus dibilas dengan akuades. Tahapan proses analisis asam amino dengan menggunakan HPLC adalah sebagai berikut : 1. Persiapan larutan baku/ standar Asam amino standar diambil sebanyak 40 µL yang kemudian ditambahkan 40 µ larutan internal standar AABA (DL-d-amino-n-butyric acid) dan 920 µL akuabidest, setelah itu dilakukan homogenisasi. Larutan standar diambil sebanyak 10 µL yang kemudian ditambahkan 70 µL AccQ-Flour Borat dan 20 µL reagent flour A, setelah itu didiamkan selama 1 menit dan diinkubasi selama 10 menit pada suhu 55 oC.
28
2. Persiapan larutan sampel Sampel ditimbang sebanyak 0.1 gram lalu ditambahkan 5 mL HCL 6N. Larutan sampel dihidrolisis selama 22 jam pada suhu 110 oC. Kemudian, larutan sampel dipindahkan ke dalam labu ukur 50 mL, lalu ditambahkan aquabidest sampai tanda batas. Larutan sampel disaring dengan filter 0.45 µm. Larutan sampel diambil sebanyak 500 µL lalu ditambahkan pereaksi AABA (DL-α-amino-n-butyric acid) sebanyak 40 µL yang ditambahkan aquabidest sebanyak 460 µL. Kemudian larutan tadi diambil sebanyak 10 µL direaksikan dengan 70 µL AccQ-Flour Borat dan 20 µL reagent flour A selama 1 menit. Lalu larutan tersebut diinkubasi selama 10 menit pada suhu 55oC, setelah baru diinjeksikan ke alat HPLC. Kondisi alat kromatografi Kolom : AccQtag column (3.9 x 150 mm), Temperature : 37 oC Fase gerak : Acetonitril 60% – AccqTag Eluent A , sistem gradient komposisi Laju alir : 1,0 mL per menit Detektor : Fluorescense, Eksitasi = 250 nm, emisi = 395 nm Volume penyuntikan : 5 uL Perhitungan
Analisis Asam Lemak Total (AOAC Official method 991.39 yang dimodifikasi 2005)
Prosedur analisis komposisi asam lemak total dengan gas chromatography (GC) terdiri dari tiga tahap yakni trans-esterifikasi (metilasi), analisis dengan GC dan perhitungan. Preparasi dimulai dengan penentuan kadar lemak dengan metode ekstraksi shoxlet. Selanjutnya tahap metilasi dilakukan dengan cara contoh lemak yang diperoleh ditimbang sebanyak 20-40 mg dalam tabung bertutup Teflon dan ditambah 1 mL NaOH 0.5 N dalam metanol serta dipanaskan dalam penangas air selama 20 menit. Selanjutnya kedalam tabung reaksi ditambahkan dengan larutan standar internal (asam margarat) sebanyak 5mL dan2 mL BF 320%b/v, dipanaskan kembali pada suhu100 oC selama 20 menit. Tabung didinginkan di bawah air mengalir hingga suhu ruang, ditambah 2 ml NaCl jenuh dan 1 mL heksana,kemudian divorteks. Kemudian lapisan heksana dipindahkan dengan menggunakan pipet tetes ke dalam tabung yang berisi ± 0.1 g Na 2SO4 anhidrat, dan dibiarkan selama 15 menit. Selanjutnya larutan bening pada bagian atas diambil dan dimasukkan ke dalam botol yang ditutup rapat. Sampel kemudian diinjeksi ke dalam alat GC. Tahapan analisis dengan GC dimulai dengan menginjeksikan 1 l sampel ke dalam alat GC. Bila aliran gas pembawa dan sistem pemanasan sempurna, puncak pelarut akan nampak dalam waktu kurang dari 6 menit. Kondisi GC adalah sebagai berikut: menggunakan kolom Cyanopropil methylsil (kolom kapiler) dengan dimensi panjang 60 m, diameter dalam 0.25 mm dan ketebalan film 0.25µm. Laju alir nitrogen 30 mL/menit, laju alir helium 30 mL/menit, laju alir
29
hidrogen 40 mL/menit dan laju alir udara 400 mL/menit. Suhu injektor 220 oC dan suhu detektor 240 oC. Kemudian pengaturan suhu kolom dilakukan secara gradient yakni dengan mempertahankan suhu 125 oC kolom awal selama 5 menit, kemudian penambahan suhu kolom 10 oC/menit hingga mencapai suhu 185 oC dan dipertahankan selama 5 menit. Kemudian penambahan suhu kolom 5 oC/menit hingga mencapai suhu 205 oC dan dipertahankan selama 10 menit. Kemudian penambahan suhu kolom 3 oC/menit hingga mencapai suhu 225 oC dan dipertahankan selama 7 menit. Ukur waktu retensi dan puncak masing-masing komponen. Sebagai pembanding digunakan asam lemak standar (Supelco TM 37 Component FAME mix, Sigma-Aldrich Co. USA) untuk identifikasi dan kuantifikasi asam lemak contoh. Penentuan jenis asam lemak dengan cara mencetak kromatogram dari masing-masing asam lemak yang dianalisis. Jenis asam lemak pada sampel dapat diketahui dengan membandingkan nilai Retention Time (RT) yang dimiliki asam lemak pada standar eksternal. Asam lemak dengan RT yang relative sama berasal dari asam lemak yang sama. Perhitungan konsentrasi asam lemak dilakukan dengan rumus sebagai berikut : Alx = {[Aalx / As ] x [C standar] x [V sampel /100] x 100 %} / gram sampel Dimana Alx : konsentrasi asam lemak tertentu dalam sampel (mg/g); Aalx : Luas area puncak asam lemak tertentu pada sampel; As : Luas area puncak standar C standar = konsentrasi standar, V sampel : volume sampel. Analisis Total Fenol (modifikasi metode Anesini et al. 2008)
Penentuan total fenol dari sampel hidrolisat dan ekstrak air dengan menggunakan reagen Folin – Ciocalteau. Tiap sampel diambil sebanyak 5-10 mg ekstrak kering, lalu ditambahkan 2 mL etanol 95%. Kemudian sampel dilarutkan sampai homogen, setelah itu ditambahkan 5 mL akuades dan 0.5 mL reagen Folin – Ciocalteau (50% v/v). Sampel didiamkan selama 5 menit, kemudian larutan Na2CO3 (5% b/v) sebanyak 1 mL ditambahkan, dihomogenisasi lagi baru diinkubasi dalam gelap selama 1 jam. Campuran larutan tersebut dihomogenisasi lalu dibaca pada absorbansi dengan panjang gelombang 725 nm. Sebagai Standar digunakan asam galat (mgGAE/g). Pembuatan standar asam galat yaitu dengan cara membuat konsentrasi mulai dari 10, 30, 50, 70, dan 100 ppm. Penentuan kurva standar dilakukan sama dengan penentuan sampel. Perhitungan total fenol sampel berdasarkan hasil ploting nilai absorbansi pada kurva standar. Pemisahan dan Karakterisasi Protein Hidrolisat Tepung Teripang dengan SDS-PAGE (Laemmli 1970)
Profil protein dikarakterisasi dengan SDS-PAGE ( Sodium Dodecyl Sulphate Poliacrilamide Gel Electrophoresis) yang dilakukan dengan metode standar. Sejumlah 10 μL sampel protein ditambah 10 μL RSB ( Reducing Sample Buffer ), 0 dan dimasukkan ke dalam mikrotube, kemudian dipanaskan pada suhu 100 C selama 2 menit. Elektroforesis dilakukan pada tegangan 220 Volt selama 3.5 jam. Untuk staining protein digunakan Silver Staining 0,1%(w/v). Analisis berat molekul (BM) dengan menggunakan protein Marker sebagai standar. Hasil
30
scanning pita-pita protein diplotkan ke dalam kurva persamaan regresi linier
sehingga didapatkan nilai BM protein pada masing-masing sampel. Analisis Fourier Transform Infrared (FT-IR) (Barth 2000)
FTIR digunakan untuk mengetahui gugus fungsional atau rantai samping dari suatu bahan. Prosedur analisisnya yaitu sebanyak 2 mg sampel ditimbang lalu ditambahkan dengan serbuk KBr hingga mencapai 200 mg. Sebelumnya, serbuk KBr dioven pada suhu 105 0C selama semalam. Sampel yang telah dicampur dengan KBr lalu ditumbuk menggunakan agate mortar sampai homogen. Sampel holder dipasang lalu dimasukan plat besi sampel dengan warna mengkilap dibagian atas, baru kemudian sampel dimasukkan dan ditutup dengan plat besi penutup sampel dengan warna mengkilap dibagian bawah. Sampel holder dimasukkan ke dalam unit pompa vakum lalu tekanan pompa diatur sampai konstan selama 15-20 menit. Sampel holder diletakan di FTIR lalu dipindai pada bilangan gelombang 500-3000cm -1. Sebagai blanko/background digunakan serbuk KBr. Data yang diperoleh merupakan kurva hubungan antara bilangan gelombang (sumbu x) dan absorbansi (sumbu y). Frekuensi dari bilangan gelombang yang didapat kemudian ditentukan jenis ikatan dan gugus fungsionalnya dengan dibandingkan data sekunder FTIR. Analisis Aktivitas Antioksidan (modifikasi metode Blois 1958)
Penentuan aktivitas antioksidan dengan menggunakan DPPH Scavenging Assay. Analisis aktivitas antioksidan dilakukan dengan metode DPPH berdasarkan kemampuan sampel untuk mereduksi radikal bebas stabil DPPH (1.1, 1-difenil-2-pikrilhidrazil). Tiap sampel dari berbagai konsentrasi dan standar (asam askorbat) diambil sebanyak 40 µL. Setiap sampel dimasukkan ke dalam tube yang berbeda. Setelah itu baru tiap smpel ditambahkan 160 µL larutan DPPH (0.76mM, 3 mg DPPH dalam 1 mL metanol). Setiap sampel diinkubasi dalam ruangan gelap selama 30 menit. Perlakuan kontrol dilakukan sama dengan perlakuan sampel. Perubahan absorbansi dari sampel diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 517 nm. Aktivitas antioksidan ditunjukkan dalam persen inhibisi dan dihitung dengan rumus : % inhibisi = Dimana, ab = absorbansi blanko/kontrol as = absorbansi sampel Aktivitas antioksidan diperlihatkan sebagai nilai IC 50, konsentrasi ekstrak (mg/mL) yang dibutuhkan untuk menangkap/menghambat 50% DPPH. Analisis Sitotoksisitas (modifikasi metode Doyle dan Griffiths 2006)
Sel WiDr ( ATCC CCL 218) dan T47D ditumbuhkan dalam media RPMI 1640 (Gibco, Invitrogen Corporation) yang mengandung FBS 10% (v/v) (Qualified, Gibco, Invitrogen), dan antibiotika penicillin 1000 unit/mLstreptomisin 100 μg/mL (Gibco, Invitrogen Corporation), sedangkan sel Vero
31
(ATCC CCL 81) ditumbuhkan dalam media Dulbecco’s Modified Eagle’s Medium (D-MEM) dan phosphate buffer Saline (PBS) lalu diinkubasi pada suhu 37 oC dengan aliran 5% CO 2. Analisis sitotoksisitas menggunakan MTT assay. Sel WiDr, T47D dan Vero didistribusikan ke dalam 96 well plate (Nunc) dengan jumlah 5000 sel per sumuran dan diinkubasi bersama sampel uji baik aplikasi tunggal maupun kombinasi keduanya dengan menggunakan pelarut DMSO selama 24 jam pada CO 2 (Heraceus). Pada akhir inkubasi ditambahkan 100 µL MTT (Sigma) dalam media RPMI (Gibco) untuk sel WiDr, sel T47D, dan ditambahkan juga dalam media D-MEM untuk sel Vero. Plate diinkubasi selama 4 jam pada suhu 37°C hingga terbentuk kristal formazan (lihat di bawah mikroskop inverted (Zeiss)). Sel yang hidup akan bereaksi dengan MTT membentuk warna ungu. Setelah 4 jam, reaksi MTT dihentikan dengan menambahkan reagen stopper SDS 10%, 100 µL pada masing-masing sumuran, lalu diinkubasi selama semalam pada suhu kamar dengan ditutup oleh aluminium foil. Serapan dibaca dengan ELISA reader (Bio-Rad) pada panjang gelombang 595 nm. Data yang diperoleh berupa absorbansi masing-masing sumuran dikonversi ke dalam persen sel hidup. Persen sel hidup dihitung menggunakan rumus:
Kemudian dicari persamaan regresi linearnya dan dihitung konsentrasi IC50 yaitu konsentrasi yang menyebabkan kematian 50% populasi sel sehingga dapat diketahui potensi aktivitas antikanker. Analisis Induksi Apoptosis (modifikasi metode Vermes et al. 1995).
Pembedaan sel apoptosis dan nekrosis menggunakan pewarnaan FITC Annexin V Apoptosis Detection Kit II (BD Biosciences). Sel kanker WiDr dengan kepadatan akhir 7x10 5 dalam mikrokultur 6-well, lalu diinkubasi selama 12 jam dalam CO2 inkubator (37oC, 5% CO2 mengalir). Ekstrak yang ditambahkan ke sel sesuai konsentrasi IC 50 selama 24 jam. Kemudian, larutan sel sebanyak 100 µL diresuspensi dalam 5 µL FTIC Annexin dan 5 µL PI, lalu diinkubasi selama 15 menit,di ruangan gelap pada 20-25 oC, baru dianalisis dengan flow cytometer. Analisis Biokimia Serum Darah Analisis Kadar Glukosa (RAR 2009)
Prinsip analisis glukosa darah yaitu enzim heksokinase mengkatalisis reaksi antara glukosa dan adenosin trifosfat (ATP, adenosine triphosphate) menghasilkan produk glukosa 6-fosfat dan adenosin difosfat (ADP, adenosine diphosphate ). Adanya NAD ( nicotinamide adenine dinucleotide ), enzim glukosa 6-fosfat dehidrogenase (G6PDH, glucose-6-phosphate dehydrogenase) mengoksidasi glukosa-6-fosfat menjadi 6-fosfatglukonat. Peningkatan konsentrasi NADH (nicotinamide adenine dinucleotide hydride ) secara langsung menunjukkan konsentrasi glukosa pada panjang gelombang 340 nm. Glukosa + ATP HK G-6-P + ADP G-6-P + NAD G6PDH 6-Fosfoglukonat + NADH
32
Analisis glukosa serum darah mencit menggunakan glukosa kit. Sebanyak 1 mL reagen dimasukkan ke dalam tabung blanko lalu dipipet; sebanyak 10 µL standar dan 1 mL reagen dimasukkan ke dalam tabung standar; dan sebanyak 10 µL sampel dan 1 mL reagen dimasukkan ke dalam tabung sampel. Ketiga tabung tersebut dikocok dan diinkubasi selama 10 menit pada suhu 15-25 oC dalam penangas air atau 5 menit pada suhu 37 oC. Absorbansinya diukur pada panjang gelombang 340 nm. Titik akhir pembacaan akan stabil pada menit ke-60.
Analisis Kadar Total Lipid (RAR 2009)
Lipid bereaksi dengan asam sulfur sehingga terbentuk ion karbonium, lalu bereaksi dengan vanillin-fosfat ester yang kemudian menghasilkan warna ungu komplek secara fotometri. Serum darah sebanyak 10 µL sampel dan 1000 µL asam sulfurat dimasukkan ke dalam tabung sampel. Untuk standar, larutan standar sebanyak 10 µL dan 1000 µL asam sulfurat dimasukkan ke dalam tabung standar. Tabung blanko dibiarkan kosong. Kedua tabung berisi sampel dan standar dikocok dan diinkubasi selama 20 menit dalam penangas air bersuhu 100 oC. Semua tabung dipindahkan dan dimasukkan dalam wadah/penangas berisi air dingin selama 3-5 menit. Kemudian sebanyak 2 mL reagen warna ditambahkan ke dalam ketiga tabung. Tabung-tabung reaksi dimasukkan ke dalam wadah berisi air dingin selama 15 menit. Absorbansinya dibaca pada panjang gelombang 530 nm. Warna akhir tercapai setelah 30 menit.
Analisis Kadar Total Protein (RAR 2009)
Persiapan reagen: untuk AMS TP 1, reagen biuret dibuat dengan menambahkan 100 mL air destilat ke dalam satu vial konsentrat biuret. Reagen blanko dibuat dengan mengencerkan isi botol reagen blanko dengan 200 mL air destilat. Untuk AMS TP 2, reagen biuret dibuat dengan menambahkan 48 mL air destilat ke dalam satu vial konsentrat biuret. Reagen blanko dibuat dengan mengencerkan isi botol reagen blanko dengan 144 mL air destilat. Sedangkan untuk AMS TP 3, reagen biuret dibuat dengan menambahkan 80 mL air destilat ke dalam satu vial konsentrat biuret. Untuk reagen blanko, isi botol reagen blanko diencerkan dengan 240 mL air. Sebanyak 20 µL air destilat dan 1000 µL reagen biuret dimasukkan ke dalam tabung blanko. Sebanyak 20 µL sampel dan 1000 µL reagen biuret dimasukkan ke dalam tabung sampel. Sebanyak 20 µL standar dan 1000 µL reagen biuret dimasukkan ke dalam tabung standar. Ketiga tabung tersebut dikocok dan diinkubasi selama 30 menit pada suhu 20-25 oC. Absorbansi sampel dan standar diukur pada panjang gelombang Hg 546 nm, menggunakan standar
33
Analisis Kadar Urea (RAR 2009)
Persiapan reagen, sebanyak 1 mL reagen urease dicampurkan dengan 24 mL buffer. Selanjutnya tabung reaksi disiapkan sebagai berikut. Sebanyak 1000 µL reagen kerja ditambahkan ke dalam tabung blanko, sedangkan untuk tabung standar/sampel ditambahkan standar/sampel sebanyak 10 µL dan 1000 µL reagen kerja. Tabung-tabung itu dikocok dan diinkubasi selama 5 menit pada suhu 37 oC. Kemudian sebanyak 500 µL hipoklorit ditambahkan ke dalam masing-masing tabung. Tabung-tabung itu diinkubasi lagi selama 5 menit pada suhu 37 oC dan diukur absorbansinya pada panjang gelombang Hg 365 nm. Titik akhir akan stabil setelah 2 jam. .
Analisis Kadar SGOT/AST (RAR 2009)
Persiapan: untuk AST 6, sebanyak 1 botol sodium hidroksida diencerkan dengan air destilat hingga 100 mL. Untuk AST 7, sebanyak 1 botol sodium hidroksida diencerkan dengan air destilat hingga 500 mL. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan blanko reagen dan blanko sampel. Untuk pengukuran dengan blanko reagen perlu disiapkan blanko reagen dan uji. Pada tabung blanko ditambahkan ekstrak R1 500 µL dan air destilat 100 µL; untuk tabung uji ditambahkan 100 µL dan esktrak R1 500 µL. Kedua tabung dikocok dan diinkubasi pada suhu 37 oC dalam penangas air selama 30 menit. Sebanyak 500 µL ekstrak R2 ditambahkan ke dalam masing-masing tabung. Masing-masing tabung dikocok lagi dan dibiarkan pada suhu ruang (20-25 oC) selama 20 menit. Selanjutnya tabung-tabung itu ditambahkan 5 mL NaOH (yang telah diencerkan) dan dikocok lagi, baru kemudian absorbansi dibaca pada panjang gelombang 546 nm (530-550) nm setelah 5 menit dengan menggunakan blanko reagen. Untuk tabung reaksi blanko ditambahkan ekstrak R1 sebanyak 100 µL dan untuk tabung sampel dimasukkan sebanyak 100 µL sampel dan ekstrak R1 500 µL. Kedua tabung itu dikocok dan diinkubasi dalam penangas air bersuhu 37 oC selama 30 menit. Ekstrak R2 sebanyak 500 µL ditambahkan ke dalam masingmasing tabung. Sebanyak 100 µL sampel ditambahkan ke dalam tabung blanko. Kedua tabung dikocok dan dibiarkan pada suhu ruang selama 20 menit. Selanjutnya sebanyak 5 mL NaOH (yang telah diencerkan) ditambahkan ke dalam masing-masing tabung dan dikocok lagi, kemudian absorbansi dibaca setelah 5 menit pada panjang gelombang 546 nm. Kurva kalibrasi diperoleh dengan prosedur berikut. Setiap tabung reaksi ditambahkan volume ekstrak untuk kurva standar reaksi sebagai berikut:
34
Tablel 3 Volume ekstrak untuk kurva standar GOT Tabung 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Standar piruvat (mL) 0.0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 0.35 0.4 0.45
Air destilat (mL) 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2
Buffer GOT (mL) 1.0 0.95 0.9 0.85 0.8 0.75 0.7 0.65 0.6 0.55
Setiap tabung dikocok kemudian ditambahkan 1 mL GOT dye reagen. Setiap tabung dikocok dan diinkubasi selama 20 menit pada suhu 20-25 oC, dan ditambahkan 10 mL NaOH. Setiap tabung dikocok lagi dan dibaca absorbansi setelah 5 menit dengan tabung 1 sebagai blanko. Konsentrasi dari ekstrak kalibrasi piruvat tertera dalam Tabel 4. Tabel 4 Konversi konsentrasi standar asam piruvat terhadap kadar GOT Nomor tabung 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Aktivitas (U/L) 9 18 27 37 46 56 67 77 87
Analisis Kadar SGPT/ALT (RAR 2009)
Persiapan: untuk ALT 6, sebanyak 1 botol sodium hidroksida diencerkan dengan air destilat hingga 100 mL. Untuk ALT 7, sebanyak 1 botol sodium hidroksida diencerkan dengan air destilat hingga 500 mL Pengukuran dilakukan dengan menggunakan blanko reagen dan blanko sampel. Untuk pengukuran dengan blanko reagen perlu disiapkan blanko reagen dan uji. Pada tabung blanko ditambahkan ekstrak R1 500 µL dan air destilat 100 µL; untuk tabung uji ditambahkan 100 µL dan esktrak R1 500 µL. Kedua tabung dikocok dan diinkubasi pada suhu 37 oC dalam penangas air selama 30 menit. Sebanyak 500 µL ekstrak R2 ditambahkan ke dalam masing-masing tabung. Masing-masing tabung dikocok lagi dan dibiarkan pada suhu ruang (20-25 oC) selama 20 menit. Selanjutnya tabung-tabung itu ditambahkan 5 mL NaOH (yang telah diencerkan) dan dikocok lagi, baru kemudian absorbansi dibaca pada panjang gelombang 546 nm (530-550) nm setelah 5 menit dengan menggunakan blanko reagen.
35
Untuk tabung reaksi blanko ditambahkan ekstrak R1 sebanyak 100 µL dan untuk tabung sampel dimasukkan sebanyak 100 µL sampel dan ekstrak R1 500 µL. Kedua tabung itu dikocok dan diinkubasi dalam penangas air bersuhu 37 oC selama 30 menit. Ekstrak R2 sebanyak 500 µL ditambahkan ke dalam masingmasing tabung. Sebanyak 100 µL sampel ditambahkan ke dalam tabung blanko. Kedua tabung dikocok dan dibiarkan pada suhu ruang selama 20 menit. Selanjutnya sebanyak 5 mL NaOH (yang telah diencerkan) ditambahkan ke dalam masing-masing tabung dan dikocok lagi, kemudian absorbansi dibaca setelah 5 menit pada panjang gelombang 546 nm. Kurva kalibrasi diperoleh dengan prosedur berikut. Setiap tabung reaksi ditambahkan volume ekstrak untuk kurva standar reaksi sebagai berikut : Table 5 Volume ekstrak untuk kurva standar GPT Tabung 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Standar piruvat (mL) 0.0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 0.35 0.4 0.45
Air destilat (mL) 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2
Buffer GOT (mL) 1.0 0.95 0.9 0.85 0.8 0.75 0.7 0.65 0.6 0.55
Setiap tabung dikocok kemudian ditambahkan 1 mL GPT dye reagen. Setiap tabung dikocok dan diinkubasi selama 20 menit pada suhu 20-25 oC, dan ditambahkan 10 mL NaOH. Setiap tabung dikocok lagi dan dibaca absorbansi setelah 5 menit dengan tabung 1 sebagai blanko. Konsentrasi dari ekstrak kalibrasi piruvat tertera dalam Tabel 6. Tabel 6 Konversi konsentrasi standar asam piruvat terhadap kadar GPT Nomor tabung 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Aktivitas (U/L) 6 11 16 20 25 31 37 44 52
Analisis Kadar Elektrolit (Natrium, Klorida, Kalium) Analisis Kadar Natrium (RAR 2009)
Reagen filtrat sebanyak 1 mL ditambahkan ke dalam blanko, standar dan sejumlah tabung sampel yang disyaratkan. Sebanyak 20 µL air destilat
36
ditambahkan ke dalam tabung blanko. Sebanyak 20 µL standar ditambahkan ke dalam tabung standar dan ditambahkan 20 µL sampel ke masing-masing tabung sampel. Setiap tabung disentrifuse pada 1.5 rpm selama 10 menit dan uji cairan supernatan seperti yang diilustrasikan berikut. Sebanyak 1 mL reagen asam, 40 µL supernatan blanko, dan 40 µL reagen warna ditambahkan ke dalam tabung blanko. Untuk standar, sebanyak 1 mL reagen asam, 40 µL supernatant standar, dan 40 µL reagen warna dimasukkan ke dalam tabung standar. Selanjutnya untuk tabung sampel dimasukkan 1 mL reagen asam, 40 µL supernatan sampel, dan 40 µL reagen warna. Semua tabung dikocok dan dibaca absorbansinya pada panjang gelombang 550 nm (absorbansi bernilai 0 pada pengukuran air destilat).
1 mmol/L = 1 mEq/L natrium Analisis Kadar Klorida (RAR 2009)
Tiga tabung reaksi disiapkan, yaitu tabung blanko, sampel dan standar. Pada tabung sampel dimasukkan 10 µL sampel dan 1000 µL reagen. Pada tabung standar dimasukkan 10 µL dan 1000 µL reagen. Untuk blanko hanya ditambahkan 100 µL reagen. Setiap tabung dikocok dan diinkubasi selama 5 menit pada suhu 37oC kemudian absorbansi diukur pada panjang gelombang 456 nm.
Analisis Kadar Kalium (RAR 2009)
Persiapan reagen: sodium tetraphenylboron dicampurkan dengan NaOH dalam jumlah yang sama. Sebanyak 50 µL sampel dicampurkan dengan 500 µL reagen lalu campuran tersebut dipresipitasi dan disentrifuse 4000 rpm (minimal) selama 5-10 menit. Supernatannya diambil kemudian disiapkan tabung reaksi sebagai berikut. Sebanyak 1 mL reagen kerja dan standar 100 µL ditambahkan ke dalam tabung standar. Untuk sampel, sebanyak 1 mL reagen kerja dan 100 µL supernatant dimasukkan ke dalam tabung sampel. Standar dan supernatan harus ditambahkan ke tengah permukaan reagen kerja untuk menghasilkan turbiditas yang homogen. Tabung-tabung itu dikocok dengan hati-hati dan dibiarkan 5 menit pada suhu ruang. Absorbansinya baru diukur pada panjang gelombang 578 nm.
37
Analisis Histologi (OECD 2001)
Organ hati, limfa dan ginjal yang diambil langsung dicuci dengan larutan buffer salin fosfat dan kemudian ditimbang, pada hati diambil lobus bagian tengahnya sedangkan limfa, ginjal diambil bagian tengahnya dengan lebar 0.5-1 cm dan langsung direndam dalam larutan fiksatif buffer netral formalin. Setelah itu pada masing-masing organ dilakukan proses pembuatan sediaan histologi dengan urutan : (1) dehidrasi jaringan dengan menggunakan alkohol bertingkat dari konsentrasi rendah (70 %) sampai absolut (100 %), (2) infiltrasi parafin cair ke dalam jaringan, (3) Pemotongan dengan mikrotom dan (4) diwarnai dengan menggunakan Hematoksilin-Eosin (HE). Metode pengamatan preparat histologi yang dilakukan pada jaringan hati,ginjal, dan limfa yaitu : organ histopat diamati pada semua sisi lapang pandang disekitar vena porta dengan perbesaran lensa objektif 400x. Data histologi dilakukan analisis skoring, yaitu sel hepatosit normal dan tidak terlihat lesion akibat perlakuan (skor 0), sel hepatosit mengalami kongesti ringan yang diduga akibat perlakuan penelitian (skor 1), sitoplasma sel hepatosit daerah porta mengalami degenerasi hidropis hingga degenerasi lemak (skor 2), dan sel hepatosit daerah porta mengalami nekrosis (skor 3). Analisis Data
Pada tahap penelitian analisis keamanan konsumsi melalui uji secara akut, data kuantitatif berupa berat badan dan sisa pakan hanya dilihat kecenderungannya saja. Pada tahap subkronis, data kuantitatif berupa berat badan, sisa pakan, analisis biokimia serum dan juga pengamatan preparat histologi diambil dari semua mencit dalam setiap kelompok dan dibandingkan. Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) sederhana dengan 1 perlakuan dan 3 taraf serta 5 ulangan dengan persamaan sebagai berikut : Yijk= µ + Ai + Σij
Yijk µ Ai
= Variabel respon yang dipengaruhi = Nilai tengah perlakuan = Perlakuan dosis sonde ke i (I = 1,2) Σij = Gallat error perlakuan akibat 5 kali ulangan Kemudian dilakukan uji lanjut dengan uji wilayah berganda duncan (DMRT) taraf 5 % untuk melihat perbedaan antar perlakuan. Pada penelitian tahap kedua juga menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Uji lebih lanjut menggunakan uji DMRT (Duncan’s Multiple Range Test) untuk melihat perlakuan yang memberikan perbedaan nyata. Semua data ditunjukkan dalam bentuk rata-rata (mean) ± standar deviasi dari 2 ulangan. Semua data penelitian ini dianalisis dengan One-Way ANOVA program SAS 9.1.3.Portable.
38
IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Tahap 1
Pembuatan dan Karakteristik Ekstrak Air dan Hidrolisat Protein dari Tepung Teripang Gama ( Stichopus vari egatus)
Pembuatan dan Karakteristik Tepung Teripang Gama
Teripang gama ( Stichopus variegatus) segar diperoleh dari nelayan lokal di Lampung Selatan, Indonesia pada bulan Februari sampai Juni 2014. Tiga puluh teripang gama dipilih secara acak dengan berat badan rata-rata 600 gram/ekor dan panjang 25 cm, teripang yang digunakan merupakan teripang dewasa. Menurut Dewi (2008), teripang dikatakan dewasa apabila memiliki bobot 200-500 g/ekor dengan panjang 25-35 cm. Teripang gama yang digunakan pada penelitian ini memiliki ciri morfologi yaitu berbentuk bulat, panjang, berwarna hijau tua kecoklatan dengan bintik-bintik hijau. Tubuhnya kenyal, lembek jika ditekan dan bertekstur seperti kasur sehingga sering disebut dengan istilah teripang kasur, seperti terlihat pada Gambar 8 di bawah ini.
Gambar 8 Teripang gama ( Stichopus variegatus) Teripang gama yang diteliti, Stichopus variegatus, mengalami penyusutan selama pembuatan tepung teripang. Penyusutan berat terjadi sebagaian besar selama proses pencucian, persiapan, dan proses pengangkutan ke laboratorium. Rendemen yang dihasilkan sebesar 5.12 ± 1.03% (Gambar 9) dari berat awal, mulai dari proses pengolahan sampai menjadi produk kering. Hasil penelitian yang diperoleh serupa dengan Purcell et al. (2009), mengungkapkan bahwa spesies Stichopus hermanni juga mengalami penyusutan berat sebesar 96.7% selama proses pengolahan menjadi beche-de-mer (produk kering). Rendemen menjadi salah satu parameter penting pada proses pembuatan tepung teripang. Semakin tinggi rendemen maka semakin menguntungkan dari segi ekonomi. Rendahnya rendemen yang dihasilkan pada penelitian ini dikarenakan kadar air tinggi pada bahan baku. Proses pembuatan tepung teripang gama sebagai berikut 1. Pencucian Teripang gama yang diperoleh lalu ditimbang dan diukur. Gonad dan jeroan dibuang, lalu dicuci dengan air laut. Teripang gama dikemas dalam plastik baru kemudian dimasukkan dalam wadah sterofoam berisi es batu lalu diangkut menuju laboratorium menggunakan transportasi darat. 2. Pengecilan ukuran Setelah tiba di Laboratorium, teripang tersebut disimpan dalam freezer. Teripang beku dipotong berbentuk dadu kecil ukuran 2-3 cm, hal ini bertujuan untuk mempermudah proses penghancuran dengan grinder.
39
Teripang digiling menjadi bubur daging. Sebagian air dan komponen yang larut air keluar dari tubuh teripang selama proses pemotongan dan penggilingan. 3. Pengeringan Bubur daging teripang tadi dikeringkan menggunakan oven berbentuk drum dalan kondisi vakum,yaitu 65 cmHg, suhu 50 0C selama 4 jam. Kapasitas bubur campuran daging dan kulit teripang yang dikeringkan sebanyak 1 kg dari total teripang beku yang menjadi bubur daging. 4. Penepungan Setelah pengeringan selesai, penepungan dilakukan menggunakan blender kemudian diayak dengan saringan ukuran 60 mesh. Tepung teripang dikemas dalam plastik, kemudian tepung tersebut dikemas lagi dengan alumunium foil baru disimpan di freezer sampai analisis dilakukan, seperti terlihat pada Gambar 9 di bawah ini.
A
B
C
D
Gambar 9 Proses pengolahan teripang segar beku menjadi tepung teripang gama (A:teripang gama beku; B:bubur campuran daging dan kulit teripang; C:campuran daging dan kulit yang dikeringkan; D: tepung teripang gama) Proses pengangkutan teripang segar menuju laboratorium ditempuh selama 12-14 jam, karena proses pengangkutan yang lama diduga telah terjadi proses lisis mengakibatkan komponen gizi yang larut air berkurang. Penyusutan bobot daging teripang selama pengolahan diperkirakan sebesar 27.77 ± 14.54% (Gambar 10), penyusutan itu diduga terjadi saat proses pengangkutan selama menuju laboratorium, pengeringan, dan penepungan. Pada penelitian ini, pembuatan tepung teripang menggunakan oven vakum. Penggunaan oven vakum dinilai lebih ekonomis menggantikan pengeringan beku yang selama ini digunakan dalam proses pengolahan teripang menjadi bahan pangan fungsional. Kadar air teripang segar sebesar 93.36±0.02% sedangkan tepung teripang sebesar 6.27±0.01% (Tabel 7). Kadar air pada hasil ini lebih tinggi dibandingkan kadar air bagian otot dari Parastichopus californicus sebesar 84.5 ± 0.1%bb (Bechtel et al. 2013). Kandungan air yang lebih tinggi dikarenakan makanan sumber laut umumnya mengandung banyak air. Air merupakan komponen penting pada makanan. Kemampuan reologi dan tekstur dari makanan dipengaruhi oleh interaksi air dengan komponen lain, terutama makromolekul seperti protein dan mukopolisakarida. Molekul air mengikat protein, oleh karena itu sampel yang berkadar air tinggi umumnya kadar proteinnya rendah akibat interaksi air dengan protein (Damodaran 1996).
40
457.138
500
456.696
400
368.208
352.082
pengeringan oven
penepungan
300 200 100 0 daging teripang bubur daging
Gambar 10 Perbandingan bobot sampel daging teripang menjadi tepung teripang gama dalam satuan gram (basis kering) Tabel 7 juga menunjukkan bahwa teripang gama merupakan sumber bahan hewani yang memiliki kuantitas protein tinggi dan kadar lemak rendah. Kadar protein pada penelitian ini sebesar 2.65 ± 0.01% (bb, basis basah), hampir sama dengan hasil penelitian Forghani et al. (2012) yaitu sebesar 2.83% bb pada teripang jenis Cucumaria frondosa dan Holothuria tubulosa. Tepung dari Stichopus variegatus pada penelitian ini memiliki protein sebesar34.33 ± 0.10% (bk, basis kering). Nutrisi antara daging segar dan tepung berbeda karena proses pengolahan. Kadar abu dan lemak dalam penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilaporkan untuk jenis teripang Parastichopus parvimensise, Parastichopus californicus, Acaudina molpadioides, Holothuria tubulos , dan Apostichopus japonicas (Bechtel et al. 2013). Kadar abu yang tinggi dari teripang pada penelitian ini sebesar 31.75 ± 0.75% dan 22.74 ± 0.09%, diduga dari kutikula dan ossicles di teripang yang terdiri dari silika dan kalsium karbonat yang proses pembentukannya dipengaruhi oleh keadaan geografis laut (Smiley 1994; Fechter1969). Tabel 7 Komposisi proksimat teripang gama ( Stichopus variegatus) (% g/100g, basis kering) Parameter Air (bb, basis basah) Abu Protein Lemak
Campuran daging dan kulit 93.36 ± 0.02 31.75 ± 0.75 39.80 ± 0.02 3.39 ± 0.33
Tepung 6.27 ± 0.01 22.74 ± 0.09 34.33 ± 0.10 1.08 ± 0.01
Konsumsi teripang lebih terkait dengan protein tinggi dan kadar lemak yang rendah. Profil asam amino dari Stichopus variegatus disajikan pada Tabel 8. Nilai asam amino esensial seperti lisin, secara signifikan tinggi pada daging segar dan tepung S. variegatus. Nilai profil asam amino total dari teripang ini dapat memenuhi kebutuhan tubuh akan asam amino berdasarkan acuan FAO (2013), walaupun nilai profil asam amino dari Stichopus variegatus terlihat secara signifikan lebih rendah daripada Stichopus herrmanni yang dilaporkan oleh Wen et al. (2010). Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa ada perbedaan profil asam amino antara daging segar dan tepung Stichopus variegatus, seperti asam amino lisin, glisin, dan prolin yang mengalami penurunan ± 50% dari jumlah awal. Asam
41
amino glutamat sebaliknya mengalami peningkatan jumlah dari 2.56 ± 0.01% menjadi 4.71± 0.01% . Perbedaan jumlah asam amino antara daging segar dengan tepung disebabkan proses pengeringan, terjadinya reaksi bioseparasi yaitu transaminasi dan reaminasi selama proses pembuatan sampai analisis asam amino (Pickering dan Newton 1990). Keduanya memiliki gugus amino hidrofobik lebih tinggi daripada kelompok amino lainnya. Studi literatur menunjukkan bahwa keberadaan residu asam amino hidrofobik salah satunya berkaitan dengan aktivitas ACE inhibitor (Chinq-Mars 2006; Ryan et al 2011). Profil ini menunjukkan bahwa kehadiran asam amino hidrofobik dalam tepung juga dapat bertindak sebagai urutan ACE inhibitor. Hidrofobisitas protein atau peptida sangat penting untuk aksesibilitas ke target hidrofobik dan meningkatkan afinitas dan reaktivitas protein ke dalam membran sel hidup (Chen et al. 1998; Alema'n et al. 2011a,b). Fleksibilitas tinggi dari protein atau peptida diperlukan untuk menangkap radikal bebas yang diperlukan sebagai antioksidan. Tabel 8
Komposisi profil asam amino teripang gama ( Stichopus varieagatus ) (% g/100g protein, basis kering)
Asam amino Asam aspartat Asam glutamat Serin Glisin Threonin Arginin Lisin Histidin Alanin Metionin Valin Fenilalanin Isoleusin Leusin Prolin
Campuran daging dan kulit 2.11 ± 0.01 2.56 ± 0.01 2.26 ± 0.02 8.73 ± 0.01 0.90 ± 0.01 2.26 ± 0.02 7.68 ± 0.03 0.60 ± 0.01 3.01 ± 0.01 0.30 ± 0.01 1.05 ± 0.02 0.60 ± 0.02 1.05 ± 0.01 0.44 ± 0.01 4.67 ± 0.01
Tepung 2.59 ± 0.01 4.71± 0.01 0.93 ± 0.01 4.99 ± 0.01 1.31 ± 0.02 2.33 ± 0.02 5.79 ± 0.01 0.29 ± 0.02 2.16 ± 0.02 0.51 ± 0.02 1.10 ± 0.03 0.70 ± 0.02 0.86 ± 0.03 1.17 ± 0.02 2.61 ± 0.01
Aktivitas antioksidan dari protein dipengaruhi oleh profil asam amino, urutan asam amino, berat molekul dan komponen asam amino (Alema'n et al. 2011a,b). Komponen asam amino tertinggi tepung adalah lisin (5.79 ± 0.01%), glisin (4.99 ± 0.01%) dan asam glutamat (4.71± 0.01%). Dalam studi ini, histidin dan metionin adalah asam amino terendah, sementara Wen et al. (2010) menemukan tiga asam amino esensial pembatas pada delapan produk teripang kering yang diteliti adalah histidin, lisin, dan metionin. Lisin merupakan asam amino esensial. Allisin sendiri merupakan turunan dari lisin yang digunakan dalam produksi elastin dan kolagen (Nelson dan Cox 2000). L-lisin adalah sebuah building block yang diperlukan untuk semua protein dalam tubuh (Nelson dan Cox 2000). Pada penelitian ini, histidin dan metionin sebagai asam amino pembatas berdasarkan jumlah keseluruhan dalam bahan teripang. Asam amino esensial yang paling sering bertindak dalam kapasitas pembatas adalah lisin, metionin, treonin, dan triptofan.
42
Hasil penelitian ini mirip dengan hasil studi Chen (2010) dan Nurjanah (2008), yang menyatakan bahwa teripang pasir ( Holothuria scabra J) mengandung hampir semua asam amino esensial kecuali histidin. Untuk spesies teripang lainnya, Actinopyga dan Thelenota tidak mengandung fenilalanin (Chen 2010). Fenilalanin adalah asam amino yang dibutuhkan bagi pertumbuhan dan perkembangan bayi (Crim dan Munro 1994) dan untuk mengatur kadar nitrogen keseimbangan dalam darah (Stehle et al. 1996). Kandungan asam amino prolin, glisin, lisin, asam glutamat dan asam aspartat yang tinggi terdapat pada tepung teripang tetapi metionin rendah dalam daging segar sebesar 0.30 ± 0.01%. Hasil penelitian ini sependapat dengan hasil dari Wen et al. (2010), yang mengatakan bahwa teripang memiliki rasio lisin terhadap arginin jauh lebih rendah dari yang ditemukan dalam banyak produk makanan laut lainnya termasuk ikan (Zuraini et al. 2006; Zhao et al . 2010), dan udang (Inhamuns et al. 2009). Protein dari daging teripang kaya akan glisin, asam glutamat dan arginin. Protein dan komposisi asam amino dari diet dapat mempengaruhi profil kolesterol serum (Crim dan Munro, 1994). Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa glisin dapat mengurangi kadar serum kolesterol total (Crim dan Munro, 1994). Sebagian besar (70%) dari protein teripang terdiri dari kolagen (Saito et al. 2002). Glisin, prolin dan hidroksiprolin merupakan komponen kolagen. Kolagen adalah protein struktural utama dan komponen utama dari berbagai jaringan ikat. Gelatin dari kolagen dapat digunakan dalam berbagai makanan, termasuk makanan penutup berbasis gelatin, farmasi, kosmetik, juga industri fotografi. Wen et al. (2010) mengungkapkan bahwa hampir semua teripang teridentifikasi memiliki asam amino glisin, kemudian asam glutamat, asam aspartat, alanin, dan arginin. Arginin, asam glutamat, alanin dan glisin adalah asam amino bebas yang bertanggung jawab untuk pembentukan rasa. Kualitas makanan laut dapat dipengaruhi secara signifikan oleh komposisi asam amino bebas. Glutamat, glisin dan sejumlah asam amino hidrofobik; contohnya alanin, metionin, yang dapat berfungsi sebagai imunomodulator dan antikanker (Bordbar et al. 2011). Peningkatan fagositosis terjadi melalui stimulasi glisin untuk melepaskan IL-2 dan merangsang antibodi sel-B. Glisin dan asam glutamat merupakan komponen penting bagi sel untuk mensintesis glutathione yang dapat merangsang aktivasi dan proliferasi sel NK. Arginin dapat meningkatkan sel-sel kekebalan tubuh untuk merangsang aktivasi dan proliferasi sel T (Bordbar et al. 2011). Komponenasamaminoteripangterlibat dalampengaturanfungsi sistem imun. Kandungan asam amino total teripang berkisar antara 33.32 sampai 54.13 g/100g, basis basah (Wen et al. 2010). Kandungan asam amino bisa bervariasi antar organism karena perbedaan geografis laut, spesies, umur, dan kondisi fisiologis (Capillas et al. 2002), yang berbeda dengan profil asam lemak yang tidak begitu banyak bervariasi diantara spesies. Profil dan tingkat asam lemak disajikan pada Tabel 9. Profil asam lemak didominasi oleh asam lemak tak jenuh ganda (PUFA, polyunsaturated fatty acids). Dalam penelitian ini ( S. variegatus), asam lemak utama (FA, fatty acid) adalah asam palmitat, asam stearat dan asam oleat, hasil ini berbeda dengan studi Fredalina et al. (1999). Asam palmitat (C16: 0), stearat (C18: 0), palmitoleat (C16: 1) juga ditemukan di beberapa hewan echinodermata abyssal . Secara umum, teripang yang hidup sebagai organisme pengumpan sedimen bawah, umumnya tinggi akan kandungan asam lemak rantai cabang ( fatty acid ,FA).
43
Teripang berpotensi dalam penyembuhan luka karena kandungan eikosapentaenoat acid (EPA) yang memiliki kemampuan untuk memulai perbaikan jaringan. EPA terlibat dalam penghambatan prostaglandin (Prato et al. 2010). S. variegatus mengandung asam arakidonat sebesar 46.30 ± 0.02% yang merupakan asam lemak utama di hampir semua spesies tropis. Kandungan EPA yang lebih rendah dari S. variegatus dapat dikaitkan dengan periode reproduksi dan pematangan ovarium, tetapi dugaan ini perlu ditindak lanjuti. Efek perubahan musim dalam komposisi tubuh teripang telah dilaporkan oleh Dong et al.(2006). Komposisi kimia tubuh hewan sessile sangat dipengaruhi oleh sumber daya makanan yang tersedia dan musim panen (Orban et al. 2002). Pemuliaan atau situs koleksi mempengaruhi komposisi proksimat echinodermata lainnya (Fuentes et al. 2009). Asam lemak tak jenuh tunggal (MUFA, monounsaturated fatty acids) merupakan jenis asam lemak yang paling melimpah dari asam lemak dalam daging teripang beku-kering, sedangkan asam lemak PUFA adalah kelas asam lemak dominan pada bagian otot yang dikering-beku (Zhong et al. 2007). Teripang pada penelitian ini memiliki jumlah SFA, MUFA dan PUFA lebih rendah. Perbedaan ini mungkin disebabkan banyak faktor, seperti diet dan suhu lingkungan. Suhu lingkungan mempengaruhi komposisi asam lemak pada organisme laut, dan diduga sebagai pendorong untuk akumulasi asam lemak n-3 rantai panjang dalam kemampuan mereka untuk mempertahankan fluiditas membran pada suhuyang lebih rendah (Valen-tine and Valentine 2010). Lipid bilayer dari membran sel kaya akan asam lemak n-3 rantai panjang karena kemampuan antibekunya. Penelitian sebelumnya menegaskan bahwa proses pemanasan berpengaruh terhadap komposisi asam lemak dalam makanan (Bruckner 2005). Kadar lemak dapat menurun karena kemungkinan proses oksidasi dan autooksidasi selama pemrosesan. Reaksi oksidasi lemak dipengaruhi oleh asam lemak tak jenuh, konfigurasi dari ikatan rangkap, tingkat esterifikasi, katalis, oksigen, dan suhu. Oksigen bertindak sebagai pemicu untuk reaksi oksidasi, serta penyimpanan suhu tinggi yang dapat memulai reaksi autooksidasi (Kusnandar 2010). Potensi tepung teripang sebagai bahan pangan fungsional dapat didasarkan pada asam amino total dan komposisi asam lemak tak jenuh. Olahan teripang ini juga cocok untuk penderita diabetes karena kemampuannnya merangsang kadar insulin cukup tinggi (Karnila 2012), ditambah rendahnya kandungan asam lemak jenuh cocok untuk penyakit yang berhubungan dengan lemak, seperti penyakit jantung dan ateroklorosis. Komposisi asam lemak dari teripang Stichopus variegatussangat menarik yaitu memiliki nilai EPA jauh lebih rendah dibandingkan dengan penelitian lain (Zhong et al . 2007). Asam lemak PUFA n-6 utama pada S. variegatus adalah asam arakidonat ( asam arakidonat , AA). Hal ini serupa dengan yang dilaporkan untuk spesies teripang abyssal sedangkan untuk nilai lemak tinggi dilaporkan untuk spesies tropis. AA adalah prekursor utama eikosanoid yang merupakan komponen utama dari fosfolipid membran sel (Gil 2002), dan merupakan dominan rantai panjang PUFA dari sistem saraf pusat (Carlson dan Neuringer 1999). AA berperan dalam pertumbuhan, dan AA juga diketahui bertanggung jawab untuk pembekuan darah dalam penyembuhan luka. AA akan mengganggu proses pembekuan darah dengan cara menempel pada sel endotel selama
44
penyembuhan luka. Peran asam lemak dalam pembekuan darah ini karena aktivitas antitrombotiknya (Prato et al. 2010). Tabel 9 Komposisi profil asam lemak total teripang gama ( Stichopus variegatus) (%g/100g, basis kering) Asam lemak Asam laurat (C12:0) Asam miristat (C14:0) Asam pentadekanoat (15:0) Asam palmitat (C16:0) Asam heptadekanoat (C17:0) Asam stearat (C18:0) Asam palmitooleat (C16:1) Asam oleat (C18:n9) Asam eikosenoat (C20:1) Asam linoleat (C18:2 n6) Asam linolenat (C18:3 n3) Asam arakidonat (C20:4 n6) EPA (C20:5 n3) DHA (C22:6 n3)
Campuran daging dan kulit 0.19 ± 0.01 4.43 ± 0.03 0.89 ± 0.02 22.48 ± 0.01 1.96 ± 0.01 19.89 ± 0.02 6.59 ± 0.01 20.58 ± 0.03 0.76 ± 0.02 3.86 ± 0.02 0.13 ± 0.01 46.30 ± 0.02 3.42 ± 0.04 0.32 ± 0.02
Tepung 0.05 ± 0.01 0.72 ± 0.02 0.16 ± 0.02 3.51 ± 0.02 0.33 ± 0.02 2.16 ± 0.03 1.09 ± 0.01 1.95 ± 0.02 0.07 ± 0.01 0.74 ± 0.02 td 0.63 ± 0.02 0.04 ± 0.02 td
*td (tidak terdeteksi)
EPA dan DHA berhubungan dengan penurunan risiko penyakit jantung koroner dan kanker. Dalam studi sebelumnya, kandungan asam lemak PUFA n-3 dalam mentimun laut segar dan beku yang besar adalah EPA dan DHA (Svetashev 1991; Drazen 2008). Hilangnya DHA dianggap wajar karena perlakuan pengolahan produk teripang kering, seperti pengeringan dengan pengering vakum. Komponen PUFA-rantai panjang, yaitu EPA dan DHA sangat rentan terhadap oksidasi selama pemanasan dan perlakuan kuliner lainnya (Kulas dan Ackman2001). Pada Cucumaria frondosa, kadar DHA berkisar antara 2% sampai 6% (Zhong et al. 2007). Kaneniwa et al. (1986) melaporkan kadar EPA dan DHA Cucumaria sp., masing-masing 36.9% dan 1.1% (b/b). Pada delapan produk kering yang berasal dari teripang dari Western Central Pacific, Wen et al. (2010) menemukan kandungan EPA mulai dari 0.3% sampai 3.9% dari total asam lemak. Penelitian ini melaporkan bahwa DHA tidak terdeteksi pada produk tepung teripang. Hasil penelitian Ridzwan et al. (2014) menghasilkan rendahnya persentase EPA dan tidak terdeteksinya DHA pada teripang Holothuria sp. Sebaliknya, Fredalina et al. (1999) melaporkan terdeteksinya EPA dan DHA pada profil asam lemak dari ekstrak kasar Stichopus chloronotus. Kandungan AA di S.variegatus (Tabel 9), yang merupakan asam lemak tak jenuh ganda n-6 terdeteksi. Lokasi pengambilan teripang yang berbeda, faktor lingkungan dan jenis ekstraksi pelarut berperan penting untuk menentukan komposisi dalam ekstrak lipid dari teripang (Ridzwan et al. 2014). Bagian terbaik dari penelitian ini berupa studi pertama yang mendokumentasikan pengetahuan tentang komposisi asam lemak total dari S.varieagatus sebagai wakil dari komposisi asam lemak dari organisme laut beriklim-tropis. Pada penelitian ini, teripang ditangkap dalam kondisi hidup dan segera dibersihkan, kemudian diolah menjadi produk yang dikeringkan dengan oven vakum pada 50 0C selama empat jam. Proses tersebut mengurangi kemungkinan degradasi kimia dari jaringan. Chang-Lee et al . (1989) melaporkan teripang yang
45
diproses selama 24 jam dari kematian (24h post-mortem) lalu dikeringkan dalam oven secara konveksi pada suhu 60 OC selama 36jam bisa mengurangi degradasi kimia jaringan. Pengolahan lebih lanjut diperlukan untuk meningkatkan nilai tambah dan umur simpan dari sumber tersebut. Pembuatan dan Karakteristik Ekstrak Air dan Hidrolisat Protein dari Tepung Teripang Gama
Hidrolisat protein adalah produk hasil hidrolisis protein dari tepung teripang yang prinsip pembuatannya yaitu dengan memutuskan ikatan peptida protein dengan menggunakan enzim. Pada penelitian ini, pembuatan hidrolisat protein mensimulasi proses pencernaan manusia. Enzim yang digunakan pada penelitian adalah enzim gastrointestinal; pepsin, tripsin dan kimotripsin, yang ditambahkan secara bertahap dalam proses pembuatan hidrolisat. Kondisi tersebut dikenal dengan hidrolisis berurutan ( sequentially hydrolysis). Ketiga enzim tersebut adalah enzim proteolitik. Pepsin cukup efektif dalam memecah ikatan peptida seperti fenilalanin, triptofan, dan tirosin. Pepsin merupakan enzim yang paling efisien untuk memutus ikatan yang melibatkan asam aromatik. Berbeda dengan tripsin, enzim ini spesifik memotong rantai peptida terutama di sisi karboksil dari asam amino lisin atau arginin (Koolman dan Klaus-Heinrich 2001), sedangkan kimotripsin merupakan enzim yang akan memotong peptida pada sisi karboksil dari hidrofobik seperti fenilalanin, metionin, tirosin dan triptofan (Koolman dan Klaus-Heinrich 2001). Pembuatan hidrolisat protein pada penelitian ini menggunakan enzim secara bertahap, yaitu tahap pepsin dengan derajat hidrolisis sebesar 55.67 ± 2.13% diteruskan tahap tripsin dan kimotripsin dengan derajat hidrolisis sebesar 72.34 ± 1.01%. Sifat fungsional dari hidrolisat protein ditentukan beberapa faktor, salah satunya konsentrasi enzim dan lama hidrolisis. Penentuan konsentrasi enzim dalam pembuatan hidrolisat didasarkan pada hasil penelitian pendahuluan dengan mempertimbangkan derajat hidrolisis. Jang dan Lee (2005); Rui et al. (2012); menyatakan bahwa derajat hidrolisis merupakan fungsi dari waktu hidrolisis.Waktu hidrolisis yang digunakan selama proses pembuatan hidrolisat protein, yaitu 2 jam untuk hidrolisis dengan pepsin (0.6% b/v), dan dilanjutkan dengan hidrolisis oleh tripsin dan kimotripsin selama 2 jam (0.6%b/v dan 0.06%b/v). Jenis enzim maupun sumber protein yang berbeda dalam pembuatan hidrolisat akan menghasilkan peptida dengan aktivitas fisiologis yang berbeda pula, termasuk aktivitas antikanker (Geirsdottir 2009). Beberapa penelitian menyebutkan teripang yang diektrak air juga memiliki potensi khasiat kesehatan bagi tubuh karena itu ekstrak air digunakan sebagai pembanding. Ekstrak air merupakan tepung teripang yang mengalami proses ekstraksi dengan air, kemudian mengalami perlakuan sonikasi dan sentrifugasi. Perlakuan tersebut bertujuan untuk memperoleh komponen aktif selain protein larut air sebanyak mungkin. Senyawa yang dihasilkan bersifat mudah larut dalam air (Toro dan Garcia-Carreno 2002) dan meningkatkan rendemen fraksi larut air hidrolisat protein tepung. Hal ini sesuai dengan Tavano (2013) menyatakan bahwa proteolisis berperan penting dalam pemutusan ikatan peptida, sehingga
46
menurunkan berat molekul protein, meningkatkan jumlah asam amino bebas, gugus karboksil dan peptida rantai pendek. Rendemen dan derajat hidrolisis meningkat dengan semakin meningkatnya jumlah ikatan peptida yang terputus, dikarenakan jumlah enzim bertambah dan waktu hidrolisis yang lebih lama. Hidrolisis dengan kombinasi enzim dapat meningkatkan persentase rendemen fraksi larut air hidrolisat tepung teripang dibandingkan dengan ekstrak air tepung teripang. Produk hidrolisat protein memiliki kadar asam amino bebas, peptida dan fraksi protein berberat molekul rendah dalam jumlah yang lebih banyak. Rendemen yang dihasilkan dari hidrolisis protein sebesar 61.12 ± 0.83%, sedangkan rendemen pada ekstrak air sebesar 3.33 ± 0.18%. Karakteristik warna, hidrolisat memiliki karakteristik warna coklat keputihan, warna jinga kemerahan untuk ekstrak air, seperti terlihat pada Gambar 11 di bawah ini. Warna dasar dari tepung teripang gama yang diproses menggunakan oven vakum yaitu hijau kecoklatan, warna tepung teripang juga merupakan gambaran warna asli teripang segar
Gambar 11 Hidrolisat protein dan ekstrak air dari tepung teripang gama Tabel 10 menunjukkan bahwa kandungan protein hidrolisat adalah 37.09 ± 0.06% bk dan lemak sebesar 0.45±0.02% bk. Berbeda dengan hasil penelitian Karnila (2012) , kadar proteinhidrolisat Holothuria scabra J dilaporkan sebesar 89.62 ± 3.86%bk dan 0.65 ±0.29%bk untuk lemak. Perbedaan kadar proksimat dan asam amino pada hidrolisat protein dipengaruhi jenis teripang, konsentrasi enzim, jenis enzim, suhu dan waktu hidrolisis. Hidrolisat protein yang dihasilkan memiliki kandungan protein lebih tinggi dibandingkan komponen nutrisi lainnya. Untuk analisis profil asam amino total, tepung teripang yang dihidrolisis enzim gastrointestinal dan ekstrak air mengalami perubahan jumlah asam amino dari jumlah awal asam amino tepung teripang, seperti diperlihatkan pada Tabel 11. Komponen asam amino tertinggi pada hidrolisat protein, yaitu glisin (5.90 ± 0.01%), glutamat (4.99 ± 0.01%), dan aspartat (3.06 ± 0.01%) (Tabel 11). Perbedaan jumlah asam amino diduga disebabkan perbedaan proses pembuatan ekstrak air dan hidrolisat, walaupun kedua bahan tersebut berasal dari tepung teripang gama yang sama. Kandungan asam amino hidrofobik pada ekstrak air dan hidrolisat protein lebih tinggi dibandingkan kelompok asam amino lainnya.
47
Tabel 10 Komposisi proksimat hidrolisat protein dan ekstrak air tepung teripang (% g/100g, basis kering) Komponen Air (%b/b) Abu Protein Lemak
Hidrolisat Protein 6.36 ± 0.01 3.83 ± 0.10 37.09 ± 0.06 0.45 ± 0.02
Ekstrak Air 5.14 ± 0.02 12.99 ± 0.09 5.73 ± 0.01 0.57 ± 0.66
Organisme ini secara umum diketahui mengandung protein jumlah tinggi dan berkualitas baik yang telah dikaitkan dengan efek menguntungkan (Bordbar et al.2011). Beberapa penelitian melaporkan bahwa efek menguntungkan tersebut juga dikarenakan bioaktif metabolit sekunder yang terdapat di teripang seperti metabolit glikosida triterpen, polisakarida-sulfat, glikosphingolipid dan sterol (Bordbar et al. 2011). Hasil elektroforesis SDS-PAGE ekstrak air dan hidrolisat memperlihatkan bahwa sampel hidrolisat memiliki fraksi protein dengan berat molekul 21, 19, dan 9 kDa. Fraksi protein dengan berat molekul besar dari 279 sampai 9 kDa terdapat pada sampel ekstrak air tepung teripang, sedangkan hidrolisat protein menghasilkan potongan protein dengan berat molekul lebih kecil dibandingkan ekstrak air. Gambar 12 memperlihatkan bahwa hidrolisis tepung teripang lebih efisien menggunakan enzim, seperti terlihat pada elektroforesis hidrolisat. Tidak adanya pita molekul di atas 100 kDa mengindikasikan bahwa hidrolisis protein teripang dengan pemberian enzim secara bertahap, yaitu pepsin dilanjutkan tripsin dan kimotripsin mampu mendegradasi protein utama kolagen menjadi molekul lebih kecil dengan berat molekul berkisar 21 kDa sampai 9 kDa. Hasil penelitian ini hampir sama dengan hasil h idrolisis Stichopus horrens dengan alkalase dari penelitian Forghani et al. (2012) yang menghasilkan pemutusan pada hampir semua protein dengan berat molekul besar.Hidrlisis tersebut menghasilkan polipeptida di bawah 20 kDa . Hidrolisis teripang dengan alkalase terlihat lebih efektif dibandingkan enzim papain, bromelin, tripsin, dan hidrolisat memiliki nilai IC50 sebesar 0.4 mg/mL untuk ACE-Inhibitor (Forghani et al. 2012). Hasil penelitian Forghani et al. (2012) juga mengatakan bahwa hidrolisis dengan papain dan tripsin efektif dalam mendegradasi protein besar, termasuk kolagen, sehingga pita protein 116 kDa hampir tidak terlihat. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa proses hidrolisis lebih efektif menggunakan alkalase. Hidrolisat protein oleh alkalase, papain, dan tripsin menghasilkan protein di bawah 20, 27, dan 34 kDa. Hasil elektroforesis dari studi ini juga didukung oleh identifikasi gugus fungsi senyawa, senyawa yang diduga memiliki potensi khasiat kesehatan. Identifikasi gugus fungsi senyawa yang dilakukan Soltani et al. (2014), menyebutkan bahwa saponin dari Holothuria leucospilota yang diekstrak dengan etanol, memiliki aktivitas sebagai antikanker (sel kanker A549).Hasil analisis spektrum inframerah (IR) menunjukkan gugus hidroksil (OH), alkil(CH), eter(CO) danester(-C =O) terdapat pada ekstrak saponin. Oleh karena itu, analisis spektroskopi inframerah juga dilakukan pada penelitian ini. Spektroskopi
48
inframerah adalah suatu metode untuk mengamati interaksi molekul dengan radiasi elektromagnetik pada bilangan gelombang 13.000-10cm -1. Fokusspektroskopi inframerah terletak pada radiasi elektromagnetik dengan rentang frekuensi 400-4000 cm -1, dimana cm -1 yang dikenal sebagai wavenumber (1/wavelength), yang merupakan ukuran unit untuk frekuensi. Tabel 11
Komposisi profil asam amino dari ekstrak air dan hidrolisat (%g/100g protein, basis kering) kering)
Asam amino
Hidrolisat Protein (HP)
Ekstrak Air (EA)
Asam aspartat
3.06 ± 0.01
0.43± 0.01
Asam glutamat
4.99± 0.01
0.96± 0.01
Serin
1.76± 0.01
0.17± 0.02
Glisin
5.90± 0.01
0.30± 0.01
Threonin
2.14± 0.02
0.24± 0.01
Arginin
2.91± 0.01
0.27± 0.02
Lisin
1.28± 0.01
0.21± 0.03
Histidin
0.47± 0.02
0.06± 0.02
Alanin
2.48± 0.01
0.25± 0.03
Metionin
0.96± 0.02
0.13± 0.01
Valin
1.28± 0.01
0.15± 0.01
Fenilalanin
1.07± 0.02
0.14± 0.01
Isoleusin
1.01± 0.01
0.11± 0.01
Leusin Prolin
1.64± 0.02 2.64± 0.03
0.19± 0.02 0.18± 0.01
Frekuensi yang diserap muncul sebagai penurunan sinyal yang terdeteksi. Informasi frekuensi tersebut ditampilkan sebagai suatu hubungan linear antara spektrum radiasi dari % intensitas transmisi dengan wavenumber (bilangan gelombang) (Silverstein 2002). Ada tiga bagian daerah radiasi sinar inframerah, yaitu : a) daerah IR dekat (13000-4000 cm -1), b) daerah IR tengah (4000-200 cm 1 ), dan c) daerah IR jauh (200-10 cm -1). Spektroskopi inframerah digunakan untuk analisis kualitatif (identifikasi) dari senyawa organik karena adanya spektrum unik yang dihasilkan oleh setiap zat organik dengan puncak struktural yang sesuai dengan fitur yang berbeda. Setiap kelompok fungsional menyerap sinar inframerah pada frekuensi yang unik (Day dan Underwood 2002). Hasil analisis spektrum inframerah (Gambar 13) memperlihatkan perbedaan antara ekstrak air dan hidrolisat dibandingkan tepung teripang sebagai kontrol. Tepung teripang memiliki jumlah frekuensi lebih sedikit dibandingkan hidrolisat dan ekstrak air, yang merupakan hasil proses hidrolisis dan ekstraksi air dari tepung teripang. Pada frekuensi yang sama, serapan atau persentase transmitan semakin banyak terdapat pada tepung teripang yang telah mengalami proses pengolahan. pengolahan.
49
Gambar 12 Elektroforesis protein ekstrak air air dan hidrolisat Keterangan : M (marker), H (hidrolisat), WE (ekstrak air).
Hidrolisat protein protein memiliki serapan serapan pada pada gugus gugus amina amina alifatik (C-N), amina aromatik (C-N), senyawa aromatik (N-O), amina primer (N-H), dan amina primer, sekunder sekunder serta amida (N-H) lebih banyak dibandingkan dibandingkan ekstrak air. air. Ketiga sampel penelitian dari awal memiliki serapan gugus amina primer, sekunder serta amida (N-H). Serapan pada gugus karbon dan hidroksil lebih banyak ditemukan pada sampel ekstrak air. Hasil penelitian Patar et al. (2012) menyatakan bahwa ekstrak Stichopus japonicus mengandung campuran fenol, alkohol dan senyawa tak diketahui pada konsentrasi rendah. Gambaran tipe frekuensi dan jenis ikatan diperlihatkan pada Tabel 12. 67.5 65 60 932.31,63.65 873.46,59.11
55 1243.63,53.79
50
1110.54,50.64 2110.80,48.79
45
1542.15,47.28 1455.86,50.49
599.90,47.40
1411.90,50.49
40 1334.57,39.04
35
1641.19,36.64 1250.41,35.74
30
1039.74,32.96 1413.09,31.52
%T
1117.26,31.37
25
1080.97,30.27 296 6.15,26.78
598.66,26.52
1554.50,26.04
20 15 1647.56,16.33
10
3434.68,14.00 1124.91,11.88
5
3428.27,7.09 601.93,8.10
0
3433.84,0.03
1637.80,2.61
-5 -9.7 40 0 0. 0
3 600
32 00
2 80 0
240 0
2 00 0
1 800
1 600
14 00
12 0 0
100 0
80 0
60 0
45 4 50. 0
cm-1
Panjang gelombang
Gambar 13 Spektra inframerah dari ekstrak air dan hidrolisat Keterangan : garis hitam (tepung teripang, te ripang, kontrol), garis merah (hidrolisat protein), garis biru (ekstra air)
Rangkuman karakteristik gugus fungsi hasil analisis deteksi gugus fungsional antara hidrolisat protein dan ekstrak air juga ditunjukkan pada Tabel 12. Berdasarkan hasil analisis FTIR, protein teripang gama menunjukan puncak serapan pada wilayah amida A, amida B, amida I, amida II, dan amida III. Spektra FTIR yang didapat dari penelitian ini mirip dengan beberapa penelitian lain tentang kolagen dari teripang Stichopus japonicus (Zhu et al. 2012), ikan lele
50
(Kiew dan Mashitah 2013), dan ikan mangasius (Singh et al 2011). Hasil ini menunjukkan bahwa kolagen merupakan komponen protein utama dari teripang. Tabel 12 Karakteristik Karakteristik gugus fungsi ekstrak ekstrak air dan dan hidrolisat protein protein hasil deteksi FTIR Regional
Bilangan Gelombang (ⱱ ) a
Gugus Fungsi
Referensi
b
Hidrolisat
Ekstrak air
Amida A Amida B
3428 2966
3434 -
N-H stretching CH 2 stretching
Wang et al (2008) (2008) Coates (2000)
Amida 1 Amida II
1647 1594
-
Sing et al (2011) (2011) Duan et al (2009) (2009)
1554
1542
1413
1455
1334
-
1250
1243
C=O stretching dan NC-N stretching dan H bending dan NC-N stretching dan H bending C-N stretching dan dan N H bending dan C-H N-H bending dan stretching N-H bending dan dan C-H stretching
asimetris
Amida III
Kong dan Yu (2007) Kong dan Yu (2007) Woo et al (2008) (2008) Woo et al (2008) (2008)
Keterangan : a,b merupakan hasil penelitian
Tabel 12 menunjukkan bahwa amida A terdapat pada bilangan gelombang (ⱱ ) 3428,3434 cm -1. Menurut Wang et al (2008), (2008), amida A berhubungan dengan frekuensi N-H stretching . Vibrasi N-H stretching bebas bebas terjadi pada kisaran 3400-1 3440 cm . Duan et al (2009) (2009) menyebutkan bahwa ketika gugus N-H dari peptida mengandung ikatan hidrogen, posisinya dapat bergeser ke frekuensi yang lebih rendah yaitu sekitar 3300 cm -1. Pergeseran bilangan gelombang amida A dapat dijelaskan sebagai indikasi adanya ikatan hidrogen dalam kolagen, yang kemungkinan merupakan gugus karbonil dari rantai peptida. Amida B kolagen teripang gama terdapat pada bilangan gelombang 2966 cm -1, sama seperti yang dilaporkan Nur’aeniah (2013), Singh et al (2011) (2011) dan Kittiphattanabawon et al (2010). Wilayah serapan pada bilangan gelombang 2935-2915 cm -1 menunjukan ikatan methylene C-H stretching asimetris asimetris (Coates 2000). Amida I dari kolagen teripang gama juga ditemukan pada bilangan gelombang 1647 cm -1. Singh et al (2011) menyatakan bahwa puncak amida I berada pada kisaran bilangan gelombang 1600-1700 cm -1. Puncak tersebut menunjukan adanya vibrasi C=O stretching disepanjang polypeptide backbone, sekaligus merupakan pertanda dari struktur sekunder peptida. Amida I merupakan faktor terpenting untuk struktur sekunder dari molekul protein (Prystupa dan Donald 1996), bahkan bilangan gelombang pada sekitar 1660 cm -1 ditetapkan sebagai ikatan silang intermolekul, selain itu untaian acak ( random coil ) terkarakterisasi pada bilangan gelombang yang lebih rendah. Amida I yang kuat (1647 cm-1) mengindikasikan bahwa kolagen teripang gama ditahan oleh ikatan silang intermolekul selama proses ekstraksi berlangsung. Kong dan Yu (2007) menambahkan bahwa struktur sekunder protein memiliki bilangan gelombang -sheet pada yang berbeda-beda. α-helix berada pada serapan 1658 dan 1654 cm -1, β -sheet -1 -1 1642 dan 1624 cm , sedangkan random coil pada pada 1648±2 cm .
51
Amida II terdapat pada bilangan gelombang 1413 cm -1, 1455 cm -1, 1542 cm-1 , 1554 cm -1, dan 1594 cm -1. Serapan amida II yang berada pada kisaran 1413 - 1594 cm-1 menunjukan adanya C-N stretching dan N-H bending (Kong dan Yu 2007), Menurut Duan et al (2009), serapan amida II berada pada kisaran 15501600 cm-1. Gugus fungsi yang terakhir dari kolagen adalah amida III dengan serapan (ⱱ ) 1334 cm-1 , 1250 cm -1 dan 1243 cm -1. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Woo et al (2008), yang menunjukkan bahwa amida III memiliki serapan antara 1200-1400 cm -1. Puncak pada 1250 cm -1 dan 1334 cm-1 menunjukan adanya N-H bending dan C-H stretching . Muyonga et al (2004) menyatakan bahwa derajat order molekul dan struktur triple helix dari kolagen yang dihasilkan dari C=O stretching , N-H bending , dan C-H stretching berkaitan dengan amida I, II, dan III. Kolagen teripang menghasilkan gugus fungsi amida A, amida B, amida I, amida II, dan amida III, kolagen teripang gama juga menghasilkan serapan spektra infra merah dengan bilangan gelombang ( ⱱ ) yang lebih rendah yaitu 1080 cm-1, 1110 cm-1, dan 1117 cm -1. Menurut Coates (2000), spektra infra merah pada wilayah tersebut mengindikasikan adanya C-O stretching dan C-H bending, serta O-H bending wilayah 962 cm -1 untuk senyawa ekstrak air. Berdasarkan pendapat tersebut dapat diasumsikan bahwa didalam hidrolisat protein dan ekstrak air juga terdapat komponen karbohidrat. Bordbar et al (2011) menyatakan bahwa teripang juga mengandung komponen bioaktif turunan dari karbohidrat diantaranya glikosaminoglikan, mukopolisakarida, kondroitin, dan triterpena glikosida. Komponen-komponen tersebut terdeteksi pada spektra infra merah dengan serapan dibawah 1200 cm -1. Tahap 2
Pengujian Potensi Aktivitas Antioksidan dan Antikanker Ekstrak Air dan Hidrolisat dari Tepung Teripang Gama terhadap Sel Kanker WiDr, T47D dan sel Vero secara in vitro.
Aktivitas Antioksidan dari Ekstrak Air dan Hidrolisat Protein dari Tepung Teripang Gama
Hasil penelitian telah menyatakan bahwa komponen peptida, asam amino bebas berkhasiat bagi kesehatan tubuh (Lan-Hong et al. 2011). Pada tepung teripang, komponen yang berkhasiat sebagai pangan fungsional juga adalah peptida dan asam amino bebas. Hal ini dikarenakan sebagaian besar komponen teripang adalah protein, kedua komponen tersebut merupakan hasil hidrolisis protein dari tepung teripang. Hasil pengukuran rata-rata nilai IC 50 untuk aktivitas antioksidan berbeda nyata antara ekstrak air sebesar 2.30±0.30 mg/mL dan 1.67 ± 0.05 mg/mL untuk hidrolisat (Tabel 13). Kedua ekstrak tersebut tidak mampu menangkap 50% radikal DPPH, bahkan pada konsentrasi tinggi bila dibandingkan asam askorbat sebagai kontrol yang memiliki IC 50 sebesar 10.59±0.07µg/mL. Hasil analisis antioksidan dari Althunibat et al. (2013) menyimpulkan ekstrak dengan pelarut air dan organik dari Holothuria edulis memiliki nilai IC50 sebesar 2.04 mg/mL dan 8.73 mg/mL, sedangkan ekstrak dari Stichopus horrens mampu menghambat oksidasi β-carotene sebesar 79.62% dan 46.66%.
52
Kandungan total fenol dari kedua bahan sebesar 10.90 ± 0.14 mgGAE/g untuk ekstrak air dan hidrolisat protein sebesar 10.55±0.07 mgGAE/g. Hasil studi Althunibat et al. (2009) menunjukkan bahwa ekstrak air Holothuria leucospilota memiliki kandungan total fenol sebesar 9.7 mg GAE/g, lebih tinggi dari Holothuria scabra yaitu 1.53 mg GAE/g. Penelitiannya secara menyeluruh menyimpulkan bahwa tiga spesies teripang Malaysia yang diekstrak dengan pelarut air dan organik yaitu Holothuria scabra, Holothuria leucospilota dan Stichopus chloronotus, ketiga spesies tersebut memiliki aktivitas antioksidan dan antiproliferasi. Kandungan total fenol dari kedua olahan bahan dari tepung teripang gama lebih tinggi dari ekstrak air Holothuria leucospilota dan Holothuria scabra. Kandungan total fenol dari fauna laut ini masih lebih rendah dibandingkan flora laut, seperti rumput laut dari ekstrak kasar alga coklat dengan metanol sebesar 74.63 mgGAE/g dengan aktivitas antioksidan sebesar 80.785%, sedangkan ekstrak kasar dengan heksan sebesar 35.85 mgGAE/g, aktivitas antioksidan sebesar 74.98% (Lailiyah et al. 2014). Ekstrak metanol rumput laut coklat memiliki aktivitas antioksidan dengan nilai IC 50 sebesar 220 µg/mL untuk Turbinaria conoides, sedangkan Sargassum cristaefolium memiliki nilai IC50 sebesar 1603 µg/mL (Rohimat et al. 2014). Berdasarkan beberapa hasil penelitian, total fenol dalam sampel yang diteliti bervariasi. Perbedaan kandungan total fenol disebabkan asal geografis laut, sumber makanan organisme, dan proses pengolahan yang berbeda. Tabel 13
Nilai kapasitas antioksidan, total fenol dari ekstrak air dan hidrolisat protein
Sampel
Kapasitas antioksidan (IC50 = mg/mL)
Total Fenol (mgGAE/g)
Ekstrak air Hidrolisat protein
2.30 ± 0.30a 1.67 ± 0.05b
10.90 ± 0.14a 10.55 ± 0.07b
Keterangan : angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang berbeda tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada selang kepercayaan 95%.
Hasil penelitian dari Wijesinghe et al. (2013) menunjukkan bahwa kandungan total fenol Holothuria edulis dari fraksi air sebesar 10.32% dan 4.54% untuk fraksi etil asetat. Trend hasil tersebut dikarenakan komponen polifenol cepat larut dalam pelarut air daripada pelarut non-polar. Hasil analisis aktivitas antioksidan dari Rasyid (2012) menunjukkan bahwa ekstrak metanol teripang Stichopus hermanii memiliki nilai IC50 sebesar 65.08 µg/mL. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak tersebut mempunyai aktivitas antioksidan yang kuat karena nilai IC 50 kurang dari 200 ppm (Blois 1958). Apabila dibandingkan dengan aktivitas antioksidan tocopherol (vitamin E), maka aktivitas antioksidan ekstrak metanol teripang Stichopus hermanii masih lebih rendah begitu juga dengan hasil analisis antioksidan dari penelitian ini. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh pengujian aktivitas antioksidan masih berupa ekstrak kasar. Ada kemungkinan jika isolat senyawa murni yang terkandung dalam ekstrak metanol teripang Stichopus hermanii akan memiliki nilai aktivitas penangkapan radikal bebas yang lebih kuat dibanding ekstraknya.
53
Althunibat et al. (2009), teripang merupakan salah satu biota laut yang memiliki potensi untuk dikembangkang sebagai sumber antioksidan contohnya adalah Holothuria scabra, Holothuria leucospilota, dan Stichopus chloronotus . Teripang Cucumaria frondosa juga dilaporkan memiliki aktivitas antioksidan (Zhong et al. 2007; Mamelona et al. 2007). Gelatin dari hasil hidrolisis dari teripang Stichopus japonicus memiliki aktivitas antioksidan (Wang et al. 2010). Senyawa polipeptida yang diisolasi dari teripang Acaudina molpadioides dilaporkan memiliki antivitas antioksidan (Huihui et al. 2010). Hasil penelitian Zhou et al. (2012) menunjukkan peptida memiliki sifat antioksidan yang berkaitan dengan komposisi asam amino, struktur dan berat molekul rendah. Peptida memiliki aktivitas antioksidan yang kuat. Spesifisitas protease dapat mempengaruhi ukuran, jumlah, komposisi asam amino bebas dari peptida dan urutan asam amino, yang pada gilirannya mempengaruhi aktivitas biologis dari hidrolisat. Da´valos et al. (2004) melaporkan bahwa beberapa asam amino paling reaktif termasuk asam amino yang mengandung sulfur nukleofilik (sistein dan metionin), asam amino aromatik (triptofan, tirosin, fenilalanin dan histidin mengandung imidazole). Komposisi asam amino dari kolagen menjadi gelatin kaya akan residu dari Gly, Ala, Pro, Hyp, Glx dan Asx, tetapi miskin akan metionin, sistein, histidin dan tirosin. Hasil purifikasi peptida teripang terdapat triptofan dan kaya akan residu glisin dan prolin (Zhou et al. 2012). Aktivitas scavenging radikal juga bisa dikarenakan asam amino non aromatik seperti alanin, prolin, valin, dan leusin. Selain itu, urutan asam amino dari peptida berperan penting untuk antioksidan, seperti urutan leusin-glisin dan glisin-prolin. Proporsi prolin, alanin dan leusin dapat meningkatkan aktivitas penangkap radikal bebas. Asam amino hidrofobik dan asam amino bermuatan positif pada peptida C-terminal diketahui berkontribusi dalam sifat penghambatan (IC 50) dari peptida, namun sifat IC 50 dari peptida lebih pada urutan asam amino dari peptida tersebut daripada jumlah asam amino (Forghani et al. 2012). Pada penelitian Chen et al (2010), gelatin hidrolisat dari cumi-cumi yang diperoleh secara enzimatis menunjukkan kemampuan menangkap radikal bebas pada konsentrasi 16 mg/mL dn 12 mg/mL. Hidrolisat tersebut kaya akan asam amino sebagai antioksidan, yaitu tirosin, histidin, prolin, alanin, dan leusin. Selain itu, fraksi hidrolisat tersebut memiliki berat molekul antara 383 sampai 1492 Da, fraksi itu juga diduga berperan dalam aktiviats antioksidan. Jadi, ukuran dalam hal ini berat molekul lebih rendah dan komposisi asam amino berkorelasi kuat terhadap aktivitas antioksidan (Chen et al. 1998; Chen et al. 2010). Aktivitas antioksidan dari kedua produk tersebut diduga tidak hanya berasal dari fraksi protein bermolekul kecil, peptida, asam amino bebas, tetapi juga berasal dari kelompok fenol dari golongan polisakarida yang juga larut air, atau yang berikatan dengan senyawa nitrogen. Pada umumnya sifat antioksidan dari ekstrak alami dianggap berasal senyawa reaksi redoks dengan beberapa bioproduk yang terdapat dalam ekstrak, termasuk senyawa fenolik, garam, gula, karotenoid, asam askorbat, glutathione, peptida ( Ehlenfeldt dan Prior 2001). Senyawa ini dapat menetralkan radikal bebas dengan bertindak sebagai donatur cepat dari atom hidrogen ke radikal. Penelitian dari Esmat et al. (2012) menyatakan bahwa senyawa fenolik teripang berasal dari sumber utama makanannya yang kaya akan senyawa fenolik, seperti fitoplankton dan partikel
54
turunan dari degradasi makroalga laut. Sumber makanan teripang tersebut diduga sebagai sumber senyawa aktif fenolik yang terakumulasi dalam tubuhnya. Sebagian senyawa fenolik dalam teripang adalah senyawa hidrofilik. Polifenol merupakan antioksidan utama yang dikenal sebagai terminator radikal bebas. Senyawa tersebut bereaksi dengan radikal lipid berenergi tinggi, lalu mengubah radikal lipid tersebut menjadi produk yang lebih stabil. Polifenol merupakan donor elektron atau hidrogen. Berdasarkan hasil penelitian Zhou et al (2012) menyatakan bahwa tidak terdapat korelasi antara aktivitas antioksidan dengan jumlah total fenol, tetapi lebih dikarenakan adanya komponen senyawa lain. Senyawa fenolik dapat berkontribusi terhadap aktivitas antioksidan dari teripang. Aktivitas penghambatan pertumbuhan kanker dan virus juga ditemukan pada ekstrak air Stichopus chloronotus diduga berasal dari senyawa antiprolifratif hidrofilik (Rodriguez et al. 1991). Selain asam amino, aktivitas antikanker dan antivirus yang kemungkinan berasal dari glikosida triterpen adalah senyawa larut air, oleh karena itu, senyawa tersebut diduga sebagai senyawa aktif utama dalam ekstrak air Stichopus chloronotus (Rodriguez et al. 1991). Aktivitas antioksidan dari penelitian ini sedikit lebih lemah dibandingkan dengan antioksidan sintetis, namun penggunaannya lebih aman sebagai ingridien fungsional yang ditambahkan ke dalam makanan. Aktivitas Antikanker dari Ekstrak Air dan Hidrolisat Protein dari Tepung Teripang Gama
Uji potensi khasiat berupa kemampuan penghambatan sel kanker kolon WiDr, sel kanker payudara T47D dan sel normal Vero secara in vitro,hidrolisat dan ekstrak air dari tepung teripang gama Stichopus variegatus, disajikan pada Gambar 14 di bawah ini. 120 a
b
a
a
100
c
) % ( 80 p u 60 d i H l 40 e S
b
Hidrolisat Protein Ekstrak Air
c d
20 0 kontrol
2 (µg/mL)
10 (µg/mL) 50 (µg/mL)
Konsentrasi Perlakuan Gambar 14 Penghambatan hidrolisat protein dan ekstrak air terhadap sel kolon WiDr Pengujian aktivitas antikanker secara in vitro menunjukkan bahwa hidrolisat protein dan ekstrak air memiliki aktivitas penghambatan, dengan nilai IC50 sebesar 13.01±2.75 µg/mL dan 69.37±24.25 µg/mL terhadap sel WiDr. Kemampuan hidrolisat protein yang lebih baik dalam menghambat sel kanker WiDr terlihat seiring dengan aktivitas antioksidan hidrolisat yang lebih tinggi
55
daripada ekstrak air. Kemampuan penghambatan yang lebih baik terhadap sel kanker T47D juga ditunjukkan oleh hidrolisat dengan nilai IC 50 157.92±99.91µg/mL dibanding dengan ekstrak air yang memiiki nilai IC 50 sebesar 219.10±22.17µg/mL (Gambar 15). Penelitian yang dilakukan oleh Wijesinghe et al. (2013) menunjukkan bahwa fraksi air Holothuria edulis mampu menghambat proliferasi sel lebih dari 80% pada konsentrasi 100 µg/mL. Pada penelitian juga dihasilkan penghambatan pertumbuhan sel kanker dengan MTT assay rata-rata sebesar 85 % baik untuk ekstrak air dan hidrolisat dari tepung teripang. Ekstrak air dari Stichopus chloronotus merupakan ekstrak yang efisien untuk menangkal radikal bebas ( scavenging free radical ) dengan nilai IC 50 sebesar 2.13 mg/mL. Namun demikian, ekstrak air Stichopus chloronotus hanya mampu menghambat pertumbuhan C33A (sel kanker serviks) dan A549 (karsinoma paru-paru) dengan nilai IC 50 berturut-turut 10.0 µg/mL and 28.0 µg/mL. Althunibat et al. (2009) melaporkan teripang Holothuria scabra yang diekstraksi dengan pelarut organik merupakan ektrak teripang yang paling aktif terhadap sel A549 dan sel C33A, dengan nilai IC 50 sebesar 15,5dan 3.5μg/mL. Ekstrak organik dari Stichopus horrens memiliki aktivitas penghambatan terhadap sel kanker A549 dan TE1, yaitu s ebesar 15.5 and 4.0 μg/ml (Althunibat et al. 2013). Penelitian dari Perez et al. (2014) menjelaskan bahwa bagian daging dan jeroan yang diekstrak dengan heksan memiliki aktivitas antikanker terhadap sel Hela dengan nilai IC50 48.5 dan 42.5 µg/mL, sedangkan bagian tubuh yang diekstrak dengan etil asetat memiliki aktivitas antikanker rendah dengan nilai IC50 sebesar 98.3 µg/mL. 120
) 100 % ( p 80 u d i 60 H l e 40 S
a a b
Hidrolisat Protein Ekstrak Air
b b
b b c c
d c e
20 0 kontrol
2 10 50 250 1250 (µg/mL) (µg/mL) (µg/mL) (µg/mL) (µg/mL)
Konsentrasi Perlakuan Gambar 15 Penghambatan hidrolisat protein dan ekstrak air terhadap sel payudara T47D Efek antiproliferatif (IC50) dengan MTT assay juga diperlihatkan oleh Holothuria atra dari laut Indian sebesar 468,0mg/mL terhadap sel kanker Hela. Penghambatan sel ditentukan dari konsentrasi ekstrak berkisar antara 0,078 mg/mL sampai 10mg/mL. Penghambatan sel dari H. atra maksimal sebesar 90% untuk sel Hela dan 75% inhibisi untuk sel MCF-7. Proses penghambatan sel dilaporkan melalui induksi apoptosis, selain itu ada kemungkinan memblokir reseptor seperti tirosin kinase (RTKs) pada sel kanker Hela dan MCF-7. Ekstrak
56
metanol dari Holothuria atra menunjukkan penghambatan maksimum sel anti tumor yang diamati dengan menggunakan tryphan biru (Dhinakaran dan Lipton 2014). Aktivitas penghambatan proliferasi terhadap sel normal vero memperoleh nilai IC50 sebesar 1053.49± 90.26 µg/mL dan 634.22±32.72 µg/mL berturut turut untuk EA (ekstrak air) dan HP (hidrolisat) (Gambar 16). Pengujian terhadap sel vero juga dilakukan oleh Wijesinghe et al. (2013) yang melaporkan bahwa fraksi air Holothuria edulis menunjukkan proliferasi sel vero lebih dari 85% pada konsentrasi 100 µg/mL. Penggolongan suatu senyawa bahan toksik atau inaktif dilihat berdasarkan nilai IC50 terhadap jenis sel line yang diujikan. Menurut Bézivin et al. (2003) nilai IC50> 1000 µg/mL dianggap inaktif, dan digolongkan sitotoksik sedang bila nilai IC50 berada antara 100 µg/mL dan 1000 µg/mL. HP memiliki toksisitas sedang pada sel vero sedangkan EA tidak toksik terhadap sel vero. Berdasarkan Gambar 16, ekstrak air dan hidrolisat protein mempengaruhi pertumbuhan sel vero pada konsentrasi > 1000 µg/mL. Konsumsi tepung teripang secara enzimatis maupun pengolahan dengan air aman, serta berpotensi memiliki khasiat bagi kesehatan tubuh. Potensi khasiat yang diperoleh dari EA diduga disebabkan senyawa antiproliferatif hidrofilik, berupa glikosida triterpen yang larut air (Rodriguez et al. 1991; Adrian dan Collins 2005). Khasiat fisiologis hidrolisat protein dikarenakan adanya komponen peptida bioaktif dan asam amino bebas dari hasil hidrolisis kolagen protein utamanya. Protein merupakan sumber peptida aktif biologis, namun peptida dari protein induk akan aktif ketika protein induk mengalami proses hidrolisis oleh protease (Zhou et al. 2012). 120
) 100 % ( 80 p u 60 d i H 40 l e S 20
a a
b b c
c
e
d d
Hidrolisat Protein Ekstrak Air
e
e f
0 kontrol
2 10 50 250 1250 (µg/mL) (µg/mL) (µg/mL) (µg/mL) (µg/mL)
Konsentrasi Perlakuan Gambar 16 Penghambatan hidrolisat protein dan ekstrak air terhadap sel normal Vero Asam amino aromatik yang terdapat pada urutan peptida dapat mendonasikan proton dengan mudah ke elektron radikal, sehingga asam amino aromatik diyakini efektif sebagai penangkap radikal. Asam amino hidrofobik juga berperan menginduksi apoptosis sel (Lee et al. 2004). Peptida yang memiliki asam amino hidrofobik yang lebih tinggi akan menembus lebih dalam ke inti hidrofobik dari membran sel, menyebabkan aktivitas kuat membentuk pori-pori atau saluran pada membran sel kanker. Ini dapat menjelaskan alasan bahwa
57
keberadaan asam amino hidrofobik yang lebih tinggi selalu disertai dengan aktivitas antikanker yang lebih besar (Huang et al . 2011). Hidrofobisitas protein atau peptide penting untuk aksesibilitas ke target hidrofobik dan meningkatkan afinitas dan reaktivitas peptide ke membran sel hidup. Sisi-rantai Gly terdiri dari atom hydrogen tunggal dan dapat member fleksibilitas yang tinggi dari peptide untuk menangkap radikal(Alema ’n et al. 2011a,b). Bioaktif peptida biasanya mengandung 2-20 residu asam amino per molekul, dan semakin kecil berat molekul maka semakin besar kemampuan menembus barrier usus dan efek biologis (Alema ’net al . 2011a,b). Banyaknya ikatan peptida yang terputus selama hidrolisis menghasilkan sejumlah oligopeptida, peptida berantai pendek dan asam amino bebas. Studi literatur menunjukkan bahwa peptida yang berasal dari protein pangan adalah senyawa bioaktif yang aktivitasnya masih laten ketika berada di dalam protein asalnya. Proses hidrolisis ataupun proses pencernaan menyebabkan peptida tersebut lepas dari protein asalnya dan apabila dikonsumsi dapat memberikan fungsi fisiologis bagi tubuh manusia, salah satu adalah aktivitas antihipertensi yang didapat ditunjukkan dengan aktivitas inhibitor ACE (Ryan et al. 2011).Hal yang sama terjadi dengan aktivitas antikanker yang diperoleh dari hasil hidrolisis tepung teripang gama. Banyak agen kemoterapi dilaporkan memberi efek antikanker dengan cara menginduksi apoptosis sel kanker (Kamesaki 1998). Apoptosis dikenal sebagai kematian sel terprogram, yang ditandai dengan morfologi seluler dan fitur biokimia yang khas termasuk penyusutan sel, vakuolisasi sitoplasma, kondensasi kromatin, fragmentasi DNA, dan akhirnya kerusakan seluler dalam apoptosis tubuh (Heo et al . 2011). Apoptosis merupakan mekanisme biologis penting yang memberikan kontribusi untuk pemeliharaan integritas organism multi-selular, dan tergantung pada ekspresi instrinsik sel. Permeabilitas transisi mitokondria merupakan langkah penting dalam induksi seluler apoptosis(Kang et al.2012). Berdasarkan hasil uji dari ekstrak air dan hidrolisat protein sebagai agen kemoterapi, hidrolisat protein dari tepung teripang ternyata memiliki efek antikanker yang menjanjikan dibandingkan ekstrak air. Oleh karena itu, hidrolisat protein dievaluasi lebih lanjut pada uji apoptosis sel di konsentrasi IC 50sebesar 13.01±2.75 µg/mL. Gambar 17 di bawah ini menunjukkan bahwa hidrolisat protein diduga memediasi efek penghambatan pertumbuhan sel WiDr dengan mekanisme yang melibatkan induksi apoptosis sebesar 64.9 ± 1.63%, melalui pewarnaan Annexin untuk sel apoptosis sedangkan PI untuk sel yang mengalami nekrosis. Sel yang mati pada tahap akhir apoptosis mempunyai molekul fagositotik pada permukaannnya (contohnya fosfatidilserin). Fosfatidilserin ini pada keadaan normal berada pada permukaan sitosolik dari plasma membran, tetapi pada proses apoptosis tersebar pada permukaan ekstraseluler melalui protein scramblase. Molekul ini merupakan suatu penanda sel untuk fagositosis oleh sel yang mempunyai reseptor yang sesuai, seperti makrofag. Selanjutnya, sitoskeleton memfagosit melalui proses penelanan ( engulfment) molekul yang mengalami apoptosis tersebut. Pengangkatan sel yang mati melalui fagosit terjadi tanpa disertai dengan respon inflamasi. Hidrolisat protein menekan pertumbuhan sel WiDr dengan cara induksi apoptosis yang diduga melalui modulasi apoptosis terkait ekspresi protein.
58
b
70 60
s i s 50 o t p40 o p30 a
a
20
%
10 0
Kontrol
Hidrolisat protein
Gambar 17 Persentase kemampuan induksi apoptosis oleh hidrolisat protein terhadap sel kolon WiDr pada IC 50 Banyakpenelitian telah menunjukkan bahwa regulasi apoptosis melibatkan sejumlah molekul, khususnya ekspresi protein seperti Bcl-xL dan Bax yang diubah melalui induksi apoptosis (Ren et al. 2008). Bcl-xL adalah molekul transmembran dalam mitokondria yang berperan sebagai anti-apoptosis dan Bax sebagai pro-apoptosis. Keseimbangan terjadi antara gen pro-hidup Bcl-xL dan pro-apoptosis. Gen Bax juga berperan penting dalam menjaga kelangsungan hidup sel. Oleh karena itu, penghambatan Bcl-xL atau induksi Bax menjadi strategi yang baik untuk memicu proses apoptosis (Lan-Hong et al. 2011). Selain itu, aktivasi sistem caspase cascade berperan juga pada fase apoptosis sel (Heo et al.2011). Senyawa aktif dari hidrolisat protein dan ekstrak air diduga membantu untuk mengganggu atau membalikkan proses karsinogenesis (Namvar et al.2012). Pada penelitian ini, hidrofobisitas protein atau peptide penting untuk aksesibilitas ke target hidrofobik, sehingga meningkatk anafinitas dan reaktivitas peptida dengan membran sel hidup. Aktivitas senyawa aktif dari HP dan EA diduga menyebabkan terjadinya transisi permeabilitas mitokondria sebagai langkah awal untuk menginduksi apoptosis melalui modulasi ekspresi protein apoptosis, seperti aktivasi caspase-3, up regulation Bax , down regulation Bcl-xL (Wijesinghe et al. 2013). Produk gen tersebut adalah protein yang berada di membran mitokondria dan berfungsi untuk menstabilkan integritasnya. Membran mitokondria yang stabil menghalangi lepasnya sitokrom-c sehingga sel menjadi tidak berapoptosis. Famili gen Bcl-2 pro-apoptosis menyandi protein yang berada di sitosol dan berfungsi sebagai sensor ketika sel menerima rangsangan (misalnya kerusakan DNA). Protein ini mampu membentuk homodimer dan heterodimer dan bermigrasi dari sitosol ke membran mitokondria dan berinteraksi dengan protein anti-apoptosis. Interaksi tersebut menghasilkan pori yang mengganggu permeabilitas membran, sehingga sitokrom-c lebih mudah lepas dan sel berapoptosis (Elmore 2007). Model apoptosis dari hasil penelitian ini diduga bermula dari protein Bax dapat berpindah dari sitosol ke membran mitokondria sehingga terjadi interaksi protein Bax dan protein Bcl-xL. Proses interaksi kedua protein itu mengakibatkan penstabil integritas membran rusak, pada akhirnya akan menstimulasi sel untuk berapoptosis.
59
Peptida dilaporkan dapat memberikan potensi antikanker dan antioksidan, yang dapat digunakan dalam terapi kanker (Huang et al. 2011; Lee et al. 2003). Antioksidan diketahui bermanfaat bagi kesehatan manusia karena dapat melindungi tubuh terhadap molekul yang dikenal sebagai spesies oksigen reaktif (ROS, reactive oxygen species). ROS dapat menyerang membran lipid, protein, dan DNA. Hal ini berturut-turut dapat menjadi faktor penyebab dalam berbagai penyakit seperti kanker. Seperti ROS yang terlibat dalam perkembangan kanker, pengurangan ROS tinggi cenderung mampu mencegah timbulnya kanker, karena penghambatan stres oksidatif menyebabkan berkurangnya perubahan genetik seperti mutasi dan penyusunan ulang kromosom yang berperan penting dalam inisiasi karsinogenesis (Bordbar et al. 2011). Efek antioksidan dan antikanker diasumsikan dari peptida dengan berat molekul rendah seperti yang dihasilkan oleh hidrolisat,memiliki mobilitas molekul dan difusivitas yang lebih besar daripada peptida berat molekul tinggi, yang mampu meningkatkan interaksi dengan komponen sel kanker dan meningkatkan aktivitas antikanker (Guadalupe et al. 2012). Tahap 3 Pengujian Keamanan Konsumsi melalui Uji secara Akut dan Subkronis dari Ekstrak Air Tepung Teripang pada Mencit BALB/c. Pengamatan Keamanan Konsumsi melalui Uji secara Akut Pengamatan Fisik
Tabel 14 menunjukkan bahwa pemberian ekstrak air tepung teripang pada dosis 0.005g/kgBB ; 0.05 g/kgBB ; 0.5 g/kgBB tidak menyebabkan adanya tandatanda keracunan pada mencit percobaan. Pemberian ekstrak air tepung teripang mulai dari dosis terendah sampai tertinggi yaitu 0.005 g/kgBB sampai 0.5 g/kgBB tidak menyebabkan gangguan pada sistem saraf pusat dan somatomotor. Berdasarkan hasil pengamatan selama 7 hari, seluruh mencit BALB/c dari berbagai kelompok dosis dan kelompok kontrol tidak ada yang mengalami gelisah, kedutan pada perut dan kejang-kejang. Hasil uji rangsangan dengan pemberian pakan standar, minuman, dan bunyi-bunyian menunjukkan adanya respon normal selama 7 hari. Pengamatan terhadap saluran pernafasan juga tidak menunjukkan tidak adanya dyspenea/sesak nafas, dengan kata lain 100% memiliki laju pernafasan normal. Saluran pencernaan semua kelompok perlakuan mencit tidak mengalami gangguan, hal ini terbukti dari warna dan bentuk feses yang normal serta tidak ada mencit yang mengalami mencret selama 7 hari pengamatan. Uraian di atas menunjukkan bahwa ekstrak air dari tepung teripang tidak mengandung senyawasenyawa yang dapat menyebabkan gangguan terhadap enzim pencernaan. Untuk pengamatan terhadap mulut, hidung daan genitourinary juga tidak menunjukkan adanya gejala kercunan seperti pembengkakan dan pendarahan selama 7 hari. Hasil pengamatan fisik terhadap mencit BALB/c percobaan selama 7 hari disajikan pada Tabel 14.
60
Tabel 14 Pengamatan fisik seluruh mencit BALB/c tiap kelompok perlakuan pada uji akut. No
Sistem organ
Pengamatan
Tanda-tanda Umum
1
Sistem saraf pusat dan somatomotor
Perilaku
Gelisah Kedutan di perut Konvulsi/kejang
Keaktifan terhadap rangsangan 2
Pernafasan
3
Sistem pencernaan
4
Kulit dan bulu
5
Mata
Hari (%)
Keteran gan
Jumlah Kematian
1 0 0 0
2 0 0 0
3 0 0 0
4 0 0 0
5 0 0 0
6 0 0 0
7 0 0 0
-
0 0 0
100
100
100
100
100
100
100
Normal
0
Laju pernafasan Feses
Dyspnea/sesak nafas
0
0
0
0
0
0
0
Mencret Bentuk feses Warna feses
0 100 100
0 100 100
0 100 100
0 100 100
0 100 100
0 100 100
0 100 100
Normal Normal
0 0 0
Warna dan keutuhan
Warna bulu
100
100
100
100
100
100
100
-
0
Keutuhan bulu
100
100
100
100
100
100
100
-
0
Bulu mata utuh Warna mata Kejernihan
100
100
100
100
100
100
100
-
0
Pendarahan pembengkakan Pendarahan pembengkakan Pembengkakan
100 100 0 0 0 0 0
100 100 0 0 0 0 0
100 100 0 0 0 0 0
100 100 0 0 0 0 0
100 100 0 0 0 0 0
100 100 0 0 0 0 0
100 100 0 0 0 0 0
-
0 0 0 0 0 0 0
pembengkakan
0
0
0
0
0
0
0
-
0
Bulu dan mata
mata bola
6
Mulut
Pendarahan
7
Hidung
Pendarahan
8
Genitourinari
Kelenjar mamae Penis
Keterangan: deskripsi normal disajikan pada Lampiran 2, skala 0 – 100 menunjukkan persentase jumlah hewan coba.
Berat Badan dan Sisa Pakan
Berat badan dan sisa pakan mencit percobaan ditimbang setiap hari antara pukul 08.00-09.00 WIB, sesudah sisa pakan diambil dan sebelum diberi pakan yang baru. Hal ini bertujuan untuk menyeragamkan perlakuan. Hasil penimbangan berat badan dan berat sisa pakan mencit selama 7 hari disajikan pada Gambar 8 dan 9. Pengujian toksisitas akut dilakukan untuk mengetahui dampak pemberian dosis tunggal sampel yang diujikan dalam waktu yang terbatas pada rentang paling cepat 24 jam (satu hari) ataupun paling lama sampai 14 hari, penentuan dosis didasarkan pada dosis terbatas (OECD 402 2001). Pengamatan dilakukan selama 7 hari untuk semua mencit BALB/c dari kelompok perlakuan. Pengamatan selama 7 hari menunjukkan tidak adanya mencit yang mati, sedangkan pada pengamatan fisik tidak ditemukan adanya perubahan. Data berat badan menunjukkan terjadi perubahan berat badan antar kelompok perlakuan selama 7 hari. Pada kelompok kontrol, mencit BALB/c memiliki rata-rata berat badan 24.66 ± 4.20 g. Pada kelompok dosis 0.005 g/kg BB memiliki rata-rata
-
0
61
berat badan 26.43 ± 4.02 g, kelompok dosis 0.05 g/kg BB memiliki rata-rata berat badan 25.54 ± 2.55 g, kelompok dosis 0.5 g/kg BB memiliki rata-rata berat badan 22.23 ± 2.37 g, seperti yang disajikan pada Gambar 18. 35
Kontrol Dosis 0.005 g/kg BB (D) Dosis 0.05 g/kg BB (F) Dosis 0.5 g/kg BB (G)
30
g ( 25 n a 20 d a b 15 t a r 10 e B
)
5 0 1
2
3
4
5
6
7
Penimbangan hari keGambar 18 Pertumbuhan berat badan mencit selama 7 hari pada uji akut Pengamatan berat sisa pakan selama 7 hari, seperti disajikan pada Gambar 19. Mencit kelompok kontrol memiliki rata-rata sisa pakan 0.90 ± 0.14 g, kelompok dosis 0.005 g/kg BB memiliki rata-rata sisa pakan 1.10 ± 0.39 g, kelompok dosis 0.05 g/kg BB memiliki rata-rata sisa pakan 1.05 ± 0.30 g, kelompok dosis 0.5 g/kg BB memiliki rata-rata sisa pakan 1.28 ± 0.42 g. Kontrol Dosis 0.005 g/kg BB (D) Dosis 0.05 g/kg BB (F) Dosis 0.5 g/kg BB (G)
3
) g ( 2 n a k a 2 p a s 1 i s t a r 1 e B 0 1
2
3
4
5
6
7
Penimbangan hari keGambar 19 Jumlah sisa pakan mencit selama 7 hari pada uji akut Berdasarkan data pada Gambar 18 dan 19, besar kecil berat sisa pakan pada kelompok mencit perlakuan mempengaruhi berat badan mencit perlakuan. Pada kelompok kontrol, mencit mengalami pertambahan berat badan selama pengamatan 7 hari rata-rata sebesar 1.63% dari berat badan awal. Semua kelompok perlakuan dosis mengalami penurunan berat badan selama pengamatan, yaitu untuk kelompok D sebesar 2.24%, kelompok F sebesar 1.54%, dan kelompok G sebesar 5.88%. Untuk jumlah sisa pakan pada kelompok kontrol memiliki berat sisa pakan lebih sedikit dibandingkan kelompok perlakuan dosis, sedangkan untuk mencit kelompok kontrol mengkonsumsi pakan rata-rata per hari
62
sebesar 4.10 ± 0.13g. Pada kelompok perlakuan dosis, mencit kelompok F mampu mengkonsumsi pakan lebih banyak dibandingkan kelompok D dan G, yaitu ratarata per hari sebesar 3.95 ± 0.19 g, 3.90 ± 0.18 g untuk kelompok D, dan 3.72 ± 0.15 g untuk kelompok G. Hasil pengamatan tersebut menunjukkan bahwa pemberian ekstrak air tepung teripang dapat mempengaruhi rata-rata berat badan dan konsumsi pakan selama 7 hari, tetapi tidak mempengaruhi tingkah laku, fisik. Ekstrak air mampu mempengaruhi berat badan dan konsumsi namun tidak ada mencit kelompok perlakuan dosis yang mati selama pengamatan. Penurunan berat badan dan konsumsi pakan merupakan salah satu gejala toksisitas suatu bahan (Kuroiwa et al. 2006). Berdasarkan kondisi pengamatan selama penelitian maka menurut OECD 420 (2001) dan Ball et al. (1991) bahwa nilai LD 50 dari ekstrak air tepung teripang lebih besar dari 0.5 g/kg BB. Beberapa penelitian, seperti penelitian Szabo (2013) menyimpulkan bahwa pada tikus jantan kelompok perlakuan mengalami penurunan efisiensi pakan yang sporadis, tidak tergantung dosis, tidak dipengaruhi berat badan atau konsumsi pakan, akhirnya hasil penemuan lebih bersifat insidental. Pengamatan Keamanan Konsumsi melalui Uji secara Subkronis Berat Badan, Sisa Pakan, dan Berat Organ Relatif
Pengujian toksisitas subkronis dilakukan untuk mengetahui efek kumulatif pemberian ekstrak air tepung teripang selama 4 minggu. Pelaksanaan uji memungkinkan terliputinya wujud dan sifat toksik pemberian ekstrak air tepung teripang yang munculnya lambat dan tidak teramati selama uji toksisitas akut. Volume ekstrak air tepung teripang yang diberikan sebanyak 0.5 mL. Parameter pengamatan toksisitas secara umum dibagi menjadi 2 yaitu parameter pengamatan gejala klinis dan uji klinis. Gejala klinis diperlihatkan pada data berat badan, sisa pakan dan berat organ relatif selama pengamatan. Kondisi fisik dan tingkah laku selama 4 minggu pengamatan menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan dan kelainan antara mencit kontrol dan perlakuan. Pada Tabel 11 menunjukkan adanya perubahan berat badan, sisa pakan dan berat relatif organ hati dan ginjal selama 4 minggu pengamatan. Pada mencit kontrol memiliki rerata berat badan sebesar 18.74 ± 3.60 g lebih kecil dibandingkan rerata berat badan mencit perlakuan, yaitu 20.10 ± 2.87 g (D1), 20.51 ± 2.12 g (D2), dan 22.13 ± 2.68 g (D3). Rerata berat sisa pakan berbanding terbalik dengan rerata berat badan selama 4 minggu pengamatan, mencit kelompok kontrol memiliki rerata berat sisa pakan sebesar 1.18 ± 0.78 g lebih banyak dibandingkan mencit kelompok perlakuan, yaitu 0.94 ± 0.73 g (D1), 0.91 ± 0.88 g(D2), dan 0.67 ± 0.50 g (D3). Konsumsi pakan baik mencit kelompok kontrol dan perlakuan meningkat selama 2 minggu masa pemulihan (Tabel 15), hal tersebut mengakibatkan bertambahnya berat badan. Berat badan dan sisa pakan pada mencit kelompok kontrol dan perlakuan tidak berbeda baik selama masa toksisitas subkronis dan masa pemulihan. Pada penelitian ini ternyata konsumsi pakan tidak terpengaruh oleh pemberian ekstrak air tepung teripang secara oral serta tidak menyebabkan nafsu makan berkurang dan tidak memiliki efek merusak, hal ini menunjukkan
63
tidak ada gangguan metabolisme karbohidrat, protein dan lemak (Klaassen et al . 2001). Pada data berat organ hati dan ginjal antara mencit kelompok kontrol dan perlakuan menunjukkan tidak adanya perbedaan selama pengamatan dari masa toksisitas subkronis sampai masa pemulihan. Berat organ relatif hati dan ginjal untuk mencit perlakuan lebih besar dibandingkan mencit kontrol selama masa toksisitas subkronis dan pemulihan, walaupun data berat relatif organ tersebut antara kelompok mencit kontrol dan perlakuan tidak berbeda nyata secara statistika (p > 0.05). Hasil penelitian dari Jothy et al. (2011) menunjukkan adanya perbedaan antara berat organ mencit kontrol dan perlakuan, yaitu 0.94±0.27 g menjadi 1.46 ± 0.20 g/kg BB (ginjal), 0.40±0.02 g menjadi 1.03±0.27 g/kg BB (hati). Data rerata berat organ hati mencit jantan BALB/c sebesar 1.51±0.10 g/kg BB untuk kelompok kontrol, sedangkan rerata berat organ mencit perlakuan berkisar antara 1.29±0.17 sampai 1.68±0.29 g/kgBB, data rerata berat organ tersebut tidak berbeda nyata secara statistika (Purwani et al . 2013). Perubahan berat organ relatif hati dan ginjal pada mencit kelompok perlakuan menunjukkan terjadinya hipertrofi. Berat organ dapat menjadi indikator terjadinya hipertrofi, pertambahan berat organ hati sebesar 25%-30% lebih besar dari normal menunjukkan indikasi terjadi hipertrofi hepatoseluler (Suckow et al. 2006). Tabel 15
Rata-rata dan standar deviasi dari berat badan, sisa pakan dan organ relatif selama pengamatan
Perlakuan
Berat badan (g)
Sisa pakan (g)
Organ relatif (g) Hati ginjal
Masa subkronis (4 minggu) Kontrol Dosis 1 g/kg BB (D1) Dosis 1.5 g/kg BB (D2) Dosis 2.5 g/kg BB (D3)
18.74 ± 3.60b 20.10 ± 2.87ab 20.51 ± 2.12ab 22.13 ± 2.68a
1.18 ± 0.78a 0.94 ± 0.73ab 0.91 ± 0.88ab 0.67 ± 0.50b
0.12±0.03b 0.16±0.05ab 0.17±0.03ab 0.23±0.070a
0.03±0.01a 005±0.020a 0.04±0.02a 0.07±0.02a
Masa pemulihan (2 minggu) Kontrol Dosis 1 g/kg BB (D1) Dosis 1.5 g/kg BB (D2) Dosis 2.5 g/kg BB (D3)
23.55 ± 4.23ab 25.35 ± 2.65ab 21.06 ± 0.29b 26.31 ± 0.75a
0.96 ± 0.53a 0.97 ± 0.48a 0.90 ± 0.35a 0.96 ± 0.52a
0.30±0.07a 0.27±0.07a 0.26±0.02a 0.33±0.02a
0.09±0.03a 0.07±0.02a 0.07±0.01a 0.09±0.01a
Keterangan : angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang berbeda tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada selang kepercayaan 95%.
Hasil analisis penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata berat organ hati dan ginjal mencit kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan. Hal tersebut menunjukkan bahwa dengan pemberian ekstrak air tepung teripang tidak menyebabkan kerusakan pada hati dan ginjal mencit. Data berat organ dapat digunakan sebagai acuan untuk mengetahui adanya efek toksik dari suatu senyawa (Mitchell et al. 2003). Hasil penelitian dari Lee et al. (2015) menunjukkan perubahan yang signifikan dalam konsumsi pakan dan berat relatif organ, namun Lee et al. (2015) menyimpulkan bahwa perubahan yang terjadi bersifat sementara dan dianggap tidak terkait dengan perlakuan karena perubahan tersebut tidak jelas menunjukkan pengaruh dosis.
64
Biokimia Serum Darah dan Histologi Kadar SGPT dan SGOT
Enzim SGPT, SGOT dan alkalin fosfatase merupakan enzim-enzim yang tempat utamanya berada dalam sel hepatosit (SGOT juga terdapat dalam sel otot, tulang, ginjal dan pankreas sedang alkalin fosfatase juga terdapat dalam otot). Ketiga enzim tersebut dalam jumlah tertentu juga ditemukan dalam serum dan jumlahnya akan naik jika ada masalah pada sel hepatosit. SGPT atau ALT ( alanin amino transferase) adalah enzim spesifik pada sitoplasma sel hepatosit seperti halnya sorbitol dehidrogenase dan glutamat dehidrogenase (Kaneko 1980). Enzim ini mengkatalisis reaksi bolak balik pemindahan gugus amino dari L-alanin kepada asam α-ketoglutarat sehingga menghasilkan piruvat dan glutamat. Kenaikan enzim ini dalam serum secara spesifik menunjukkan telah terjadinya kerusakan hati seperti nekrosis yang bisa diakibatkan oleh senyawa toksik seperti CCl4 (Qureshi et al. 2010). SGOT atau AST ( Aspartat amino transferase) merupakan enzim yang berperan mengkatalisis pemindahan gugus amino dari asam aspartat kepa da α-ketoglutarat menghasilkan oksaloasetat dan glutamat. Enzim SGOT terdapat pada sitoplasma dan mitokondria sel-sel hati, otot rangka, otot jantung, ginjal dan otak, jadi enzim ini tidak spesifik ada pada hati. Enzim SGOT sensitif tapi kurang spesifik dalam menandakan kerusakan hati (Suckow et al. 2006). Pengukuran enzim ini dalam serum dapat menjadi indikator terjadinya nekrosis pada hepatosit yang menguatkan hasil pengukuran SGPT dan juga mengidentifikasi seberapa parah kerusakan tersebut terjadi (Kaneko 1980). Pada kondisi hati normal kadar kedua enzim tersebut dalam serum sangat rendah, tetapi ketika terjadi nekrosa sel hepatosit konsentrasi keduanya dalam serum darah akan naik dengan cepat, bahkan jika semakin banyak sel yang mengalami nekrosis maka peningkatan konsentrasi SGPT dan SGOT bisa meningkat sebesar 8 kali lipat (Kaneko 1980). Pengukuran konsentrasi SGPT dan SGOT sudah cukup untuk mendeteksi terjadinya kerusakan pada sel hepatosit yang bisa berupa nekrosis ataupun rusaknya permeabilitas membran sel. Pada Tabel 21 memperlihatkan adanya perbedaan hasil analisis konsentrasi rata-rata SGPT dan SGOT antara mencit kontrol dan perlakuan baik pada dosis D1, D2 dan D3. Pada masa toksisitas subkronis, mencit kelompok perlakuan memiliki konsentrasi rata-rata SGPT dan SGOT lebih rendah dibandingkan mencit kontrol. Kondisi ini menunjukkan bahan yang diberikan dapat memperbaiki fungsi hati atau dikenal hepatoprotektor (Qureshi et al. 2010). Pemberian ekstrak air tepung teripang pada mencit perlakuan yang dihentikan selama masa pemulihan maka konsentrasi rata-rata SGPT dan SGOT mencit perlakuan meningkat. Nilai SGPT dan SGOT dalam penelitian ini masih dalam rentang standar mencit normal yaitu 17-77 U/l untuk SGPT dan 54-298 U/l untuk SGOT (RAR 2009). Semakin tinggi dosis ekstrak air tepung teripang maka konsentrasi ratarata SGOT dan SGPT menurun dibandingkan mencit kontrol. Rata-rata konsentrasi SGPT dan SGOT mencit perlakuan yang lebih rendah dari kontrol, hal ini dapat menjadi indikator terjadinya sel nekrosis dan kerusakan membran yang lebih sedikit pada sel hepatosit mencit perlakuan dibanding mencit kontrol.
65
Semakin sedikit nekrosis terjadi, yang salah satu sebabnya adalah kerusakan membran sel itu maka SGPT dan SGOT akan tetap berada dalam sel sehingga tidak terjadi kenaikan konsentrasinya dalam serum darah. Kadar Protein, Glukosa dan Lipid
Makronutrien penting yang dibutuhkan oleh tubuh yaitu protein, glukosa dan lipid. Protein, konsumsi protein dibutuhkan tubuh sebagai sumber nitrogen yang dapat digunakan untuk membentuk senyawa tertentu, seperti basa nitrogen untuk DNA dan RNA. Kekurangan asupan protein dapat menyebabkan masalah gizi seperti kehilangan berat badan, penyusutan jaringan otot dan edema serta sirosis hati (Gonzales et al. 2003). Protein yang masuk melalui makanan akan dicerna tubuh dalam bentuk asam amino selanjutnya akan diarahkan ke dalam hati melalui pembuluh darah. Di dalam hati, asam amino akan mengalami reaksi deaminasi dan transaminasi dengan katalis enzim seperti SGPT dan SGOT sehingga bagian nitrogennya (NH2) akan terpisah dari kerangka karbon (bagian non-nitrogen). Murray et al. (2003) menyatakan bagian non nitrogen selanjutnya dapat diubah menjadi glukosa, lipid ataupun dapat digunakan sebagai bahan untuk membuat asam amino non esensial yang dibutuhkan tubuh, sedangkan bagian nitrogennya yang toksik bagi tubuh akan masuk ke dalam siklus urea sehingga terbentuk urea dan dapat dikeluarkan melalui urin. Asam amino non esensial seperti alanin dan glutamat juga dapat disintesis di hati (Murray et al. 2003). Pengukuran total protein dapat digunakan untuk mendeteksi kerusakan hati meskipun kurang spesifik (Davidson dan Henry 1974). Konsentrasi protein yang menurun mengindikasikan sirosis pada sel hepatosit. Penurunan tersebut terjadi karena sirosis merupakan kerusakan yang irreversible, sehingga mengakibatkan berkurangnya jumlah sel hepatosit dan akhirnya akan mengurangi jumlah sel yang dapat memproduksi albumin dan juga protein yang lain. Tes ini kurang spesifik karena terjadinya hipoalbuminemia juga dapat mengindikasikan terjadinya malnutrisi, malabsorbsi dan juga sindrom nefrotik. Hasil pengukuran total protein pada mencit kelompok kontrol dan perlakuan berbeda nyata (P <0.05) selama masa toksisitas, yaitu rata-rata konsentrasi total protein untuk D1 (7.97±0.22), D2 (8.25±0.21),D3 (8.25±0.19), dan kontrol (7.82 ±0.13). Sebaliknya, rata-rata konsentrasi total protein mencit perlakuan dan kontrol tidak berbeda nyata (P>0.05) saat masa pemulihan. Nilai total protein pada penelitian ini baik masa toksisitas dan pemulihan masih dalam rentang normal yaitu sebesar 6.12 g/dL (Arbo et al. 2009), 7.25 g/dL (Saha et al. 2011). Esmat et al. (2012) membuktikan langsung dari hasil penelitiannya bahwa hepatoksisitas terlihat dari terjadinya peningkatan level marker dari aktivitas serum bilirubin conjugated, ALT, AST, ALP , ratio AST/ALT, dan konsentrasi triasilgliserol hati. Glukosa, sumber energi utama bagi tubuh yaitu glukosa. Salah satu sumber glukosa bagi tubuh adalah karbohidrat dalam makanan, karbohidrat tersebut akan diserap dalam bentuk monosakarida dan masuk ke dalam darah sehingga akan meningkatkan kadar glukosa darah. Pada kondisi normal, tubuh secara alamiah akan menjaga kadar glukosa darah tetap konstan, sehingga kelebihan glukosa dalam darah akan diarahkan ke hati dan diubah menjadi
66
glikogen melalui jalur glikogenesis. Sebagian glukosa juga akan diarahkan ke otot melalui aliran darah sebagai sumber energi yang jika berlebih juga dapat disimpan dalam bentuk glikogen otot. Kadar glukosa darah masih tinggi maka hati akan mengubahnya menjadi asam lemak melalui reaksi lipogenesis yang selanjutnya akan disimpan dalam bentuk trigliserida di jaringan adiposa (Murray et al. 2003). Kadar glukosa darah lebih rendah dari nilai normalnya maka hati akan memecah simpanan glikogennya dan mengubahnya menjadi glukosa yang selanjutnya akan dikeluarkan menuju darah. Kadar glukosa masih kurang maka akan terjadi pemecahan simpanan lemak di jaringan adiposa, simpanan lemak dalam bentuk trigliserida akan diubah menjadi asam lemak oleh enzim triasilgliserol lipase, asam lemak selanjutnya akan diarahkan ke hati dan diubah menjadi glukosa melalui jalur glukoneogenesis. Glukosa yang terbentuk selanjutnya akan dikeluarkan ke dalam darah sehingga akan meningkatkan kadar glukosa darah pada level normal. Kadar glukosa darah yang tinggi dalam waktu lama sering dihubungkan dengan penyakit diabetes melitus yang selanjutnya (jika kadarnya selalu tinggi) akan menyebabkan kerusakan pada mata, ginjal dan juga hati. Berdasarkan fungsi hati dalam mengatur kadar glukosa darah maka pengukuran kadar glukosa darah dapat menjadi salah satu indikator kerusakan hati meskipun spesifitasnya rendah (Kaneko 1980). Hasil pengukuran rata-rata konsentasi glukosa berdasarkan Tabel 21 terlihat bahwa ada perbedaan antara mencit kontrol dan perlakuan pada kedua masa perlakuan. Analisis sidik ragam menunjukkan konsentrasi rata-rata glukosa berbeda nyata (P<0.05). Pada masa toksisitas, rata-rata konsentrasi glukosa mencit perlakuan semakin tinggi dengan semakin meningkatnya dosis pemberian ekstrak air tepung teripang, namun rata-rata konsentrasi glukosanya pada mencit perlakuan dibandingkan kontrol menurun selama masa toksisitas dan pemulihan (Tabel 21). Konsentrasi tersebut masih termasuk ke dalam rentang glukosa normal pada mencit yaitu 62-175 mg/dL (RAR 2009). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian ekstrak air tepung teripang pada dosis 1 g/kgBB, 1.5 g/kgBB, dan 2.5 g/kgBB memberikan dampak terhadap konsentrasi glukosa serum mencit jantan BALB/c dibandingkan mencit kelompok kontrol. Hal ini berarti perlakuan tersebut mempengaruhi fungsi hati dalam meregulasi konsentrasi glukosa dalam serum mencit tersebut. Ekstrak air tepung teripang tidak mengandung senyawa yang dapat menganggu metabolisme glukosa, terutama tidak mempengaruhi fungsi pankreas dan sel hati dalam merubah glukosa menjadi glikogen melalui reaksi glikogenesis. Sebaliknya, kandungan teripang berupa asam amino bebas dan peptida dapat berfungsi sebagai antioksidan dan meningkatkan efektifitas kerja insulin (Karnila 2012). Lipid, makronutrien yang berfungsi sebagai sumber dan simpanan energi bagi tubuh adalah lipid. Lemak dapat diserap tubuh dalam bentuk asam lemak bebas. Proses pembentukan asam lemak pada saluran pencernaan tubuh terjadi di dalam usus halus dengan bantuan garam empedu dan enzim lipase pankreatik. Lemak yang sudah dipecah menjadi asam-asam lemaknya akan membentuk misel yang utamanya terdiri atas asam lemak rantai panjang, monogliserida dan garamgaram empedu. Asam lemak rantai panjang yang ada dalam misel tersebut dapat diserap oleh tubuh melalui jalur limfatik dengan cara membentuk kilomikron, proses tersebut selanjutnya akan mengantarkan lemak yang diserap ke dalam
67
plasma darah. Dalam darah dan dengan bantuan enzim lipoprotein lipase, sebagian asam lemak yang ada pada kilomikron akan dilepaskan dan selanjutnya akan masuk ke dalam sel, sedangkan sisa asam lemak dan kolesterol akan masuk ke hati (Murray et al. 2003). Proses selanjutnya hati akan melaksanakan fungsinya yang secara garis besar dibagi menjadi 2 yaitu metabolisme dan sintesis. Metabolisme lipid dilakukan dengan cara mengoksidasi trigliserida agar memproduksi energi yang dibutuhkan oleh sel hepatosit, selain itu hati juga merupakan organ utama yang mengubah kelebihan karbohidrat dan protein menjadi asam lemak yang selanjutnya akan dibentuk menjadi trigliserida dan selanjutnya akan disimpan dijaringan adiposa. Fungsi sintesis dilakukan oleh hati dengan memproduksi lipoprotein seperti VLDL, IDL, LDL dan HDL dan juga sintesis kolesterol dan fosfolipid. Kadar total lipid, trigliserida dan kolesterol dalam serum normal, berarti fungsi hati berjalan dengan dengan baik, jika hati mengalami mengalami kerusakan maka akan akan mempengaruhi kadar ketiga senyawa tersebut dalam serum darah. Indikator kerusakan hati dapat dilihat dari total lipid, trigliserida dan kolesterol pada serum (Khurana 2008), meskipun tidak spesifik. Pada Tabel 21 memperlihatkan hasil pengukuran rata-rata konsentrasi total lipid selama masa perlakuan, yaitu masa toksisitas dan pemulihan. Rata-rata konsentrasi total lipid pada mencit perlakuan mengalami penurunan dibandingkan mencit kontrol pada masa subkronis, yaitu 144.25±8.92 (D1), 137.00±8.92 (D2), 147.25±4.11 (D3), dan 153.50±2.08 (kontrol). Sebaliknya, rata-rata konsentrasi lipidnya meningkat selama masa pemulihan. Analisis sidik ragam menunjukkan konsentrasi rata-rata lipid total antar mencit kontrol dan perlakuan berbeda nyata (P<0.05) selama pengamatan. Konsentrasi total lipid yang diperoleh selama pengamatan masih dalam rentang normal untuk mencit yaitu sebesar 159.25 mg/dL (Shintawati et al. 2011), 380 mg/dL (LaBoede et al. 1999). Data yang dihasilkan tersebut menunjukkan pemberian ekstrak air tepung teripang t eripang memberikan dampak terhadap konsentrasi total lipid serum mencit jantan BALB/c, yaitu dapat menurunkan konsentrasinya dalam serum. Artinya perlakuan tersebut mempengaruhi fungsi hati dalam meregulasi dan mensintesis konsentrasi konsentrasi lipid total dalam serum mencit tersebut. Ekstrak air tepung teripang dapat menurunkan total lipid serum selama masa toksisitas, hal ini diduga di duga melalui dua mekanisme, yaitu meningkatkan laju β oksidasi dan degradasi lapisan adiposa. Pendugaan ini didukung dengan kadar glukosa darah yang juga meningkat melalui beberapa mekanisme, sebagian energi untuk aktivitas dan metabolisme disuplai juga dari lemak yang mengalami β oksidasi. Histologi Hati
Hati merupakan organ yang paling sering terkena dampak dari masuknya zat toksik ke dalam tubuh. Selain analisis profil biokimia serum darah, kerusakan hati juga bisa dideteksi dengan mengamati organnya melalui histoteknik. Konsep umum pelaksanaan teknik ini adalah (1) Mencegah rusaknya jaringan dengan cara merendam dalam larutan fiksatif (umumnya digunakan formalin), (2) Dehidrasi untuk menghilangkan air yang ada pada jaringan hati dengan cara merendam jaringan dalam larutan alkohol bertingkat dari presentase 70% sampai alkohol
68
absolut (100%), (3) Penghilangan alkohol dengan cara merendam jaringan dalam xilol, (4) Infiltrasi parafin cair agar masuk ke dalam jaringan yang selanjutnya parafin tersebut akan memadat, (5) Pemotongan jaringan dengan mikrotom dengan ketebalan 4-5 µm dan dilekatkan pada gelas objek. Pewarnaan yang digunakan pada penelitian ini adalah pewarnaan hematoksilin-eosin (HE) yang digunakan untuk melihat struktur umum sel khususnya sitoplasma dan inti sel. Pewarna eosin akan mewarnai sitoplasma dengan warna merah muda, sedangkan hematoksilin akan mewarnai nukleus dengan warna biru. Pengamatan Pengamatan menggunakan menggunakan pewarnaan HE pada preparat preparat hati maka dapat diamati sel yang nekrosis, degenerasi lemak, degenerasi hidropis dan juga sel normal, lalu diberi skor sesuai dengan tingkat kerusakan selama perlakuan. Analisis histologi hati pada setiap individu dengan pewarnaan HE menunjukkan bahwa baik pada organ hati perlakuan, maupun kontrol telah terjadi lesio baik degenerasi hidropis, degenerasi lemak maupun nekrosis pada Gambar 10. Persentase jumlah Persentase jumlah sel yang mengalami degenerasi hidropis, degenerasi lemak dan nekrosis pada mencit BALB/c tidak berbeda nyata selama masa toksisitas subkronis dan pemulihan (P>0.05) (Tabel 16) dibawah ini. Tabel 16 Persentase skoring sel hepatosit pada pada mencit BALB/c BALB/c selama masa subkronis dan pemulihan Perlakuan Kontrol Dosis 1 g/kg BB (D1) Dosis 1.5 g/kg BB (D2) Dosis 2.5 g/kg BB (D3)
Masa Subkronis 0.25 ± 0.50a 0.50 ± 0.58a 0.25 ± 0.50a 1.00 ± 0.01a
Masa Pemulihan 0.33 ± 0.58a 1.00 ± 1.00a 1.00 ± 0.01a 0.67 ± 0.58a
Keterangan : angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang berbeda tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada selang kepercayaan 95%.
Data histologi histologi dilakukan analisis analisis skoring, yaitu yaitu sel hepatosit hepatosit normal dan tidak terlihat lesion akibat perlakuan (skor 0), sel hepatosit mengalami kongesti ringan yang diduga akibat perlakuan penelitian (skor 1), sitoplasma sel hepatosit daerah porta mengalami degenerasi hidropis hingga degenerasi lemak (skor 2), dan sel hepatosit daerah porta mengalami nekrosis (skor 3). Berdasarkan Tabel 16 dan Gambar 20, 21 histologi hati menunjukkan selama masa toksisitas subkronis, mencit kelompok perlakuan mengalami kerusakan hati yang terjadi masih dibawah skor 1 yaitu perubahan ringan berupa kongesti non spesifik dan kariomegali. Kongesti non spesifik dan kariomegali ini terjadi akibat adanya peradangan ringan akibat metabolisme dan perubahan yang terjadi bersifat reversible. Hal ini berarti semua dosis perlakuan masih dalam tahap yang aman (Gambar 20). Identifikasi sel yang normal terlihat dari sitoplasmanya yang berwarna merah muda atau merah dan nukleusnya yang berwarna biru dan masih terlihat membran nukleusnya. Sel yang mengalami degenerasi hidropis diamati dari sitoplasma yang tampak buram seperti berawan (Cheville 2006) dan ukuran yang agak mengembang. Menurut McGavin dan Zachary (2007) dan Cheville (2006) degenerasi hidropik merupakan salah satu jenis kerusakan sel yang reversibel yang diakibatkan terganggunya permeabilitas membran sel hepatosit. Kondisi
69
tersebut menyebabkan mudahnya K + keluar dari sel dan sebaliknya Ca 2+, Na+ serta air mudah masuk ke dalam sel yang mengakibatkan terjadinya pembengkakan pembengkakan sel. Sel yang mengalami degenerasi lemak diamati berdasarkan adanya ruang kosong berbentuk bulat jernih pada sitoplasma sel hepatosit (Cheville 2006). Degenerasi lemak terjadi karena akumulasi trigliserida pada sitoplasma sel hepatosit, semakin banyak trigliserida yang terakumulasi akan ditunjukkan dengan semakin besarnya ruang bulat jernih yang terbentuk (McGavin dan Zachary 2007). Lu (1995) menyatakan bahwa akumulasi lemak intraseluler dapat terjadi melalui beberapa mekanisme yaitu (1) Penghambatan sintesis satuan protein dari lipoprotein,(2) Penekanan konjugasi trigliserida, (3) Gangguan transfer VLDL melalui membran sel, (4) Rusaknya oksidasi lipid di mitokondria dan, (5) Sintesis fosfolipid dihambat.
Gambar 20
Histologi organ hati selama masa subkronis. subkronis. (A) Kelompok kontrol menunjukkan inti sel yang normal (panah hitam). (B) kelompok D1 menunjukkan kongesti sinusoid (asteriks) dan kariomegali (panah kuning). (C) Kelompok D2 menunjukkan kariomegali inti (panah kuning). (D) Kelompok D3 menunjukkan kongesti berat (asterik), kariomegali (panah kuning) dan degenerasi lemak yang ringan (panah biru). Pewarnaan Hematoksilin dan Eosin. Perbesaran 400X (skala bar 50 µm).
Sel yang mengalami nekrosis diamati dari inti selnya yang mengecil, tidak terlihat lagi membran intinya dan terlihat berwarna gelap atau hitam. Penyebab kematian sel antara lain produksi ATP yang menurun, penurunan pH, peningkatan peningkatan 2+ jumlah Ca dalam sel serta aktivitas enzim pelisis seperti protease, fosfolipase dan endonuklease (Cheville 2006). ATP merupakan bahan bakar sel untuk melakukan metabolisme, jika ATP yang terbentuk sedikit sebagai akibat mitokondria yang rusak, maka sel akan merespon dengan memproduksi ATP melalui glikolisis. Glikolisis tersebut dilakukan secara anaerob sehingga menyebabkan akumulasi asam laktat yang dapat menurunkan pH sitoplasma sel. Penurunan pH akan mengganggu permeabilitas membran sehingga Ca 2+ mudah masuk ke dalam sel. Konsentrasi Ca 2+ yang terlalu tinggi toksik bagi sel karena akan memicu depolimerisasi sitoskeleton, filamen dan mikrotubul akibatnya aktivitas sel dalam melakukan pergerakan dan dan sekresi sekresi akan terganggu. terganggu. Ca 2+ juga akan mengaktifkan enzim fosfolipase yang dapat memecah fosfolipid membran sehingga akan
70
merusak membran sel dan akhirnya akan menyebabkan kematian sel (Cheville 2006, McGavin dan Zachary 2007).
Gambar 21
Histologi organ hati selama masa pemulihan. (A) Kelompok kontrol menunjukkan inti sel yang normal (panah hitam). (B) kelompok D1 menunjukkan degenerasi lemak (panah biru). (C) Kelompok D2 menunjukkan degenerasi lemak (panah biru). (D) Kelompok D3 menunjukkan degenerasi lemak (panah biru).. Pewarnaan Hematoksilin dan Eosin. Perbesaran 400X (skala bar 50 µm).
Histologi organ hati selama masa pemulihan (Gambar 21), semua sel hepatosit dari mencit kelompok perlakuan tidak ada yang mengalami sampai nekrosis. Kerusakan sel hepatosit yang ditemukan masih dalam tahap aman, yaitu hanya sampai degenerasi lemak. Proses metabolisme paling besar ditemukan pada kelompok D1 dan D2. Hal ini berarti sel hepatosit mencit kelompok perlakuan selama masa pemulihan mengalami proses perbaikan dari degenerasi lemak menjadi normal. Pengamatan histologi mengungkapkan bahwa adanya regenerasi cepat sel hepatik pada mencit, berarti senyawa dari bahan yang diberikan pada mencit diduga mampu mempercepat kondisi regenerasi sel hepatik, yang kemudian mengurangi kebocoran ALT, AST, dan ALP ke dalam sirkulasi. Kondisi ini menyimpulkan bahwa senyawa bahan memiliki sifat efek hepatoprotective pada mencit (Hewawasan dan Jayatilaka 2015). Pemberian ekstrak air tepung teripang pada mencit perlakuan diperoleh semakin tinggi dosis ekstrak air tepung teripang berakibat semakin besar kerusakan sel hepatosit dari normal sampai terjadi nekrosis. Sebaliknya, perbaikan sel hepatosit pada dosis tertinggi lebih cepat dibandingkan dosis yang lebih rendah. Hal ini berarti peningkatan dosis sudah mencapai dosis efek dan dosis maksimun tetapi dosis tertinggi belum mencapai dosis toksisitas. Kadar Urea (Blood Urea Ni trogen/BUN)
Senyawa organik yang disintesis di hati sebagai bentuk ekskresi nitrogen yang berasal dari katabolisme asam amino disebut urea. Urea ( Blood Urea Nitrogen/BUN) dibentuk melalui jalur siklus urea yang memerlukan 2 amonium
71
untuk membentuk satu molekul urea. Urea akan dikeluarkan ke dalam darah setelah dari hati, kemudian sebagian besar akan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui ginjal. Konsentrasi BUN tidak pernah konstan karena tergantung kepada jenis dan jumlah protein yang dikonsumsi serta jarak antara waktu makan dan pengambilan darah (Coles 1986). Banyaknya konsumsi protein maka konsentrasi BUN nya lebih tinggi dibanding dengan konsumsi protein lebih sedikit. Peningkatan katabolisme protein akibat demam, trauma, infeksi dan pendarahan saluran pencernaan juga mengakibatkan kadar BUN meningkat. Penentuan utama pada kecepatan ekskresi urea dan kreatinin melalui urin adalah (1) konsentrasi urea di dalam plasma, dan (2) laju filtrasi glomerulus (Guyton dan Hall 1997). Oleh karena itu, konsentrasi urea dalam serum darah merupakan salah satu pemeriksaan klinis yang dapat digunakan untuk mengetahui adanya kegagalan fungsi ginjal utamanya dalam melakukan laju filtrasi glomerulus (Hodgson dan Levi 2000; Suckow et al.2006). Kadar BUN akan meningkat drastis jika 70% parenkim ginjal mengalami kerusakan hebat (Coles 1986). Hasil pengukuran rata-rata konsentrasi urea antara mencit kontrol dan perlakuan selama toksisitas berbeda nyata (P<0.05), konsentrasi urea mengalami penurunan selama toksisitas, yaitu 43.50±6.14 (D1), 35.75±0.50 (D2), 34.75±0.96 (D3) dibandingkan kontrol (38.75±1.71). Sebaliknya, peningkatan konsentrasi urea terjadi saat masa pemulihan. Nilai rerata konsentrasi urea masih dalam rentang normal untuk mencit yaitu sebesar 8 – 33 mg/dL (RAR 2009). Konsentrasi urea yang semakin rendah dengan semakin tingginya pemberian ekstrak air tepung teripang berkaitan dengan kemampuan kerja ginjal walaupun input protein yang semakin tinggi. Konsentrasi urea pada serum dipengaruhi oleh katabolisme asam amino yang dapat berasal dari konsumsi protein maupun katabolisme protein tubuh (Kaneko 1980). Protein yang masuk ke tubuh akan dimetabolisme dan amoniumnya diubah menjadi urea melalui jalur siklus urea, demikian juga proses katabolisme protein tubuh contohnya katabolisme sel darah merah maka protein tersebut akan diubah menjadi asam amino yang seperti halnya dari makanan, asam amino tersebut akan dimetabolisme dan amoniumnya diubah menjadi urea melalui jalur siklus urea. Semakin tinggi konsumsi dan katabolisme protein maka keberadaan urea akan semakin banyak, atau sebaliknya. Data yang dihasilkan pada penelitian ini menunjukkan bahwa ekstrak air tepung teripang dapat memberikan dampak terhadap konsentrasi BUN serum mencit BALB/c. Artinya perlakuan tersebut dapat mempengaruhi fungsi ginjal namun ginjal masih dapat meregulasi konsentrasi BUN dalam serum mencit tersebut. Pada toksisitas subkronis secara oral, data menunjukkan bahwa ada beberapa perubahan yang signifikan dalam protein, urea. Perubahan tersebut sementara dan dianggap tidak terkait dengan perlakuan karena perubahan tersebut tidak jelas menunjukkan pengaruh dosis (Lee et al. 2015) Kadar Elektrolit (Natrium, Kalium, Klorida)
Natrium, kalium dan klorida merupakan mineral yang dibutuhkan tubuh untuk menjaga keseimbangan elektrolit dalam tubuh. Kalium berperan sebagai kofaktor contohnya untuk enzim piruvat kinase pada metabolisme karbohidrat
72
sedangkan klorida dapat berikatan dengan H + untuk membentuk asam kuat HCl yang membuat lingkungan lambung jadi asam. Dalam sel (cairan intrasel/ICF ( Internal Cell Fluid ), kalium merupakan sumber kation utama sehingga berperan penting dalam menahan cairan di dalam sel dan mempertahankan volume sel, jumlah K + di dalam cairan intrasel 10 kali lebih tinggi daripada di dalam cairan interstisial/ECF ( External Cell Fluid ) (diluar sel) dan kondisi tersebut dijaga oleh pompa Na-K yang ada pada membran sel. Persentase kalium terbesar terdapat pada cairan intrasel yaitu sebesar 90% dan pada cairan interstisial sebesar 10% (Guyton dan Hall 1997). Klorida merupakan sumber anion baik di dalam maupun di luar sel serta di dalam plasma, konsentrasi terbesar klorida terdapat pada plasma dan ECF. Konsentrasi kalium dan klorida yang terdapat dalam cairan intrasel, cairan interstisial dan juga serum harus dijaga konstan agar keseimbangan elektrolit tubuh tetap terjaga. Homeostasis kalium dan klorida tubuh dipengaruhi oleh distribusinya antara ECF dan ICF serta keseimbangan antara asupan dan pengeluaran. Satu-satunya sumber asupan kalium dan klorida bagi tubuh adalah makanan yang bisa bersumber dari hewani maupun nabati dan juga minuman, pengeluarannya bisa melalui keringat maupun ginjal. Kalium dan klorida yang telah difiltrasi oleh glomerulus akan menuju tubulus proksimal, ansa henle dan tubulus distal untuk selanjutnya akan dikeluarkan lewat urin. Tidak semua kalium dan klorida yang difiltrasi di glomerulus akan dikeluarkan lewat urin, hanya 10 % dari potasium yang difiltrasi akan dikeluarkan lewat urin, sedangkan 90% nya akan diserap kembali (reabsorpsi) di tubulus yaitu 65% di tubulus proksimal dan 25% di tubulus distal. Proses reabsorpsi klorida terjadi pada ansa henle dan tubulus distal. Proses tersebut diatur oleh hormon aldosteron. Hormon ini akan banyak disintesis pada kondisi plasma tubuh kelebihan potasium dan bekerja pada kantung pengumpul sebelum ke pelvis dengan cara meningkatkan sekresi kalium ke dalam urin (McGavin dan Zachary 2007; Guyton dan Hall 1997). Berdasarkan uraian tersebut terlihat ginjal berperan penting dalam menjaga homeostasis mineral termasuk kalium dan klorida. Menurut Davidson dan Henry (1974) pengukuran konsentrasi mineral serum dapat menjadi indikator kerusakan ginjal termasuk juga pada natrium, kalium (Osorio dan Linas 1999) dan klorida (Taylor dan Bouska 1988) Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 21 terlihat bahwa rata-rata konsentrasi elektrolit (natrium, kalium, klorida) antara mencit kontrol dan perlakuan selama toksisitas tidak berbeda nyata (P>0.05). Sebaliknya, rata-rata konsentrasi elektrolit tersebut berbeda nyata (P<0.05) antar perlakuan setelah masa subkronis. Hal ini diduga upaya ginjal dalam menjaga homeostasis tubuh. Konsentrasi elektrolit masih dalam rentang normal untuk mencit, yaitu sebesar 140-160 mEq/l untuk natrium, 5-7.5 mEq/l untuk kalium, dan 88-110 mEq/l untuk klorida (RAR 2009). Histologi Ginjal
Pengujian histologi pada ginjal bertujuan untuk melihat apakah terjadi lesio pada glomerulus dan tubulus yang merupakan unit fungsional ginjal. Glomerulus ginjal berperan melakukan filtrasi plasma darah yang secara selektif
73
akan memfiltrasi senyawa yang ukurannya lebih kecil dari 70.000 dalton (Carlton dan McGavin 1995) diantaranya adalah Ca, Na, P, K, Cl air, urea, kreatinin dan protein ukuran kecil. Filtrat akan bergerak melalui tubulus proksimal, ansa henle, tubulus distal, kantong pengumpul urin dan akhirnya akan dikeluarkan lewat urin. Tidak semua mineral dan senyawa tersebut akan dikeluarkan ke urin, ada yang akan diserap kembali di tubulus (proksimal, ansa henle dan distal) untuk menjaga homeostasis tubuh. Ada yang akan direabsorpsi semuanya seperti protein, direabsorpsi sebagian seperti mineral dan ada yang sama sekali tidak di reabsorpsi yaitu kreatinin (Guyton dan Hall 1997). Pada kondisi fisiologis ginjal yang normal proses tersebut akan berlangsung setiap hari sehingga tidak menyebabkan kelainan pada tubuh. Keberadaan senyawa toksik yang harus dikeluarkan dari tubuh dan juga metabolisme tubuh yang tidak normal misalnya pada penderita diabetes akut yang dapat memproduksi badan keton sehingga menyebabkan penurunan pH. Kerja ginjal terlalu keras dapat menyebabkan terjadinya lesio pada ginjal. Lesio pada ginjal utamanya terjadi pada glomerulus dan tubulus yang merupakan bagian nefron. Profil preparat histologi ginjal diamati pada bagian glomerulus dan tubulus, pada glomerulus diamati terjadinya endapan protein sedangkan pada tubulus diamati terjadinya degenerasi hialin. Analisis sidik ragam pada taraf 5% menunjukkan lesi yang terjadi pada glomerulus dan tubulus tidak berbeda nyata baik pada mencit kelompok perlakuan dan kontrol selama masa toksisitas subkronis dan pemulihan (P>0.05), hal ini ditunjukkan pada Tabel 17 dan Gambar 22,23. Berdasarkan data histologi organ ginjal (Gambar 22), semua mencit kelompok perlakuan dan kontrol menunjukkan gambaran perubahan jaringan yang normal, tidak terdapat lesion yang spesifik akibat pemberian perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa senyawa metabolit yang diberikan pada mencit BALB/c tidak menyebabkan kerusakan pada organ ginjal, semua perubahan yang terjadi merupakan perubahan yang bersifat reversibel. Pada tubulus untuk bebagai dosis perlakuan tidak menunjukkan adanya lesio terhadap tubulus. Pada glomerulus tidak terjadi peningkatan endapan protein dengan semakin tingginya dosis yang diberikan (Gambar 23). Lesio yang terjadi pada glomerulus biasanya berkaitan dengan fungsinya dalam melakukan filtrasi, kebocoran membran filtrasi akan mengakibatkan pengeluaran senyawa yang tidak seharusnya masuk ke tubulus misalnya protein. Protein yang terlalu banyak diloloskan saat filtrasi akan mengakibatkan peningkatan beban ginjal dalam mereabsorpsinya, proses reabsorpsi yang tidak sempurna akan mengakibatkan endapan protein pada membran glomerulus, akibatnya akan mempersempit celah ruang Bowman. Dengan pewarnaan HE, endapan protein teramati berwarna merah tipis pada ruang Bowman sehingga akan mempersempit bahkan menutupi ruang Bowman. Protein-protein tersebut selanjutnya akan memasuki tubulus dan akan terjadi reabsorpsi protein kembali menuju pembuluh darah. Menurut Carlton dan McGavin (1995) protein yang lolos dari glomerulus akan masuk ke tubulus dan mengalami reabsorpsi, sehingga pada kondisi normal tidak ada protein yang dibuang melalui urin, sedangkan jika proses reabsorpsi tidak sempurna (ada protein yang tidak direabsorpsi) maka akan terjadi penumpukan protein di lumen
74
tubulus. Penumpukan protein tersebut dapat terlihat dengan pewarnaan HE yang ditunjukan dengan keberadaan warna eosin yang lebih kuat dibanding sitoplasma sel tubulus. Tabel 17 Persentase skoring pada glomerulus dan tubulus mencit BALB/c selama masa subkronis dan pemulihan Perlakuan Kontrol Dosis 1 g/kg BB (D1) Dosis 1.5 g/kg BB (D2) Dosis 2.5 g/kg BB (D3)
Masa Toksisitas Subkronis 0.50±0.58a 0.75±0.50a 0.50±0.58a 0.50±0.58a
Masa Pemulihan 1.00±0.01a 0.33±0.58a 1.33±0.58a 1.00±0.01a
Keterangan : angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang berbeda tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada selang kepercayaan 95%.
Gambar 22 Histologi organ ginjal selama masa subkronis. (A) Kelompok kontrol menunjukkan inti sel yang normal epitel tubulus (panah hitam). (B) kelompok D1 menunjukkan kongesti (asteriks) dan endapan protein urin (panah kuning). (C) Kelompok D2 menunjukkan gambaran sel yang normal. (D) Kelompok D3 menunjukkan gambaran sel yang normal dan sedikit protein urin (panah kuning). Pewarnaan Hematoksilin dan Eosin. Perbesaran 400X (skala bar 50 µm).
Histologi organ ginjal selama masa toksisitas dan pemulihan, semua inti sel masih normal dan hanya mengalami kongesti ringan, serta sedikit protein urin, kesemuanya masih dalam tahap aman dan bersifat reversibel. Pemberian ekstrak air tepung teripang pada mencit perlakuan diperoleh semakin tinggi dosis ekstrak air tepung teripang menyebabkan adanya endapan protein urin pada tubulus dan glomerulus. Sebaliknya, perbaikan sel hepatosit pada dosis terendah lebih cepat dibandingkan dosis yang lebih tinggi. Hal ini berarti dosis tersebut sudah mencapai dosis efek dan dosis maksimun tetapi dosis tertinggi belum mencapai dosis toksisitas.
75
Gambar 23 Histologi organ ginjal selama masa pemulihan. (A) Kelompok kontrol menunjukkan inti sel yang normal dan kongesti ringan (panah hitam). (B) kelompok D1 menunjukkan sel normal dan sangat sedikit kongesti. (C) Kelompok D2 menunjukkan gambaran sel yang normal dan kongesti ringan (panah hitam). (D) Kelompok D3 menunjukkan gambaran sel yang normal, kongesti ringan (panah hitam) dan sedikit protein urin (panah kuning). Pewarnaan Hematoksilin dan Eosin. Perbesaran 400X (skala bar 50 µm). Differensiasi Leukosit
Leukosit adalah sel darah putih yang mampu menghasilkan respon imun spesifik terhadap berbagai jenis antigen yang berbeda. Limfosit merupakan sel kunci dalam proses respon imun spesifik, mengenali antigen melalui reseptor antigen dan mampu membedakannya dari komponen tubuhnya sendiri (Effendi 2003). Ada dua macam leukosit, leukosit yang mengandung granula dalam sitoplasmanya disebut granulosit dan yang tanpa granula disebut agranulosit. Leukosit terdiri dari 75 % sel granulosit dan 25 % sel agranulosit yang terbentuk dari dalam sumsum tulang belakang (Effendi 2003). Kelompok agranulosit adalah sel limfosit dan monosit, sedangkan basofil, neutrofil, dan eosinofil termasuk ke dalam kelompok granulosit (bergranula) (Roitt, 1991). Menurut Guyton dan Hall (1997), limfosit manusia berjumlah sekitar 30 % dari persentase normal sel darah putih. Sel limfosit dibentuk di dalam kelenjar timus dan sumsum tulang, berupa sel non granulosit berukuran kecil, berbentuk bulat, dan berdiameter 7 – 15 mm. Sel limfosit selain terdapat pada darah dapat pula dijumpai pada organ limfoid seperti limfa, kelenjar limfa, dan timus. Sel limfosit tidak mempunyai kemampuan bergerak seperti amoeba (Effendi 2003). Limfosit merupakan inti dalam proses respon imun spesifik karena selselnya dapat mengenal setiap jenis antigen. Sel limfosit dibentuk di dalam sumsum tulang belakang dan berproliferasi serta berdiferensiasi menjadi limfosit T dan B di dalam jaringan bursa fabricus (kelenjar timus) (Effendi 2003). Sel limfosit terdiri atas sel T dan sel B yang keduanya bertanggung jawab dalam respon imun spesifik untuk mengenali antigen melalui reseptor antigen. Sel ini juga mampu membedakan antigen dengan komponen tubuh sendiri atau berfungsi sebagai pengontrol sistem imun (Effendi 2003).
76
Limfosit yang bersirkulasi terutama berasal dari timus dan organ limfoid perifer, limpa, limfonodus, tonsil dan sebagainya. Beberapa diantara limfosit yang secara relatif tidak mengalami diferensiasi ini bermigrasi ke timus, lalu memperbanyak diri, sel limfosit ini memperoleh sifat limfosit T, kemudian dapat masuk kembali kedalam aliran darah, kembali ke dalam sumsum tulang atau ke organ limfoid perifer dan dapat hidup beberapa bulan atau tahun. Sel-sel T bertanggung jawab terhadap reaksi imun seluler dan mempunyai reseptor permukaan yang spesifik untuk mengenal antigen asing. Limfosit lain tetap berada di sumsum tulang berdiferensiasi menjadi limfosit B dan berkembang di dalam kompertemenya sendiri. Sel B bertugas untuk memproduksi antibodi humoral dan antibodi respon yang beredar dalam peredaran darah dan mengikat secara khusus dengan antigen asing yang menyebabkan antigen asing tersalut antibodi, kompleks ini mempertinggi fagositosis, lisis sel dan sel pembunuh (killer sel atau sel K) dari organisme yang menyerang. Sel T dan sel B secara marfologis hanya dapat dibedakan ketika diaktifkan oleh antigen. Tahap akhir dari diferensiasi sel-sel B yang diaktifkan berwujud sebagai sel plasma. Neutrofil berkembang dalam sumsum tulang dikeluarkan dalam sirkulasi, Sel-sel ini merupakan 60 -70 % dari leukosit yang beredar. Garis tengah sekitar 12 um, satu inti dan 2-5 lobus. Neutrofil merupakan garis depan pertahanan seluler terhadap invasi jasad renik, menfagosit partikel kecil dengan aktif. Selama proses fagositosis dibentuk peroksidase. Pengaruh zat toksik tertentu seperti streptolisin toksin streptokokus membuat membran granula-granula neutrofil pecah, zat toksik tersebut mengakibatkan proses pembengkakan diikuti oleh aglutulasi organelorganel dan destruksi neutrofil. Neutrofil mempunyai metabolisme yang sangat aktif dan mampu melakukan glikolisis baik secara aerob maupun anaerob. Kemampuan neutrofil untuk hidup dalam lingkungan anaerob sangat menguntungkan, karena mereka dapat membunuh bakteri dan membantu membersihkan debris (jaringan atau sel yang mati atau rusak) pada jaringan nekrotik. Fagositosis oleh neutrofil merangsang aktivitas heksosa monofosfat shunt, meningkatkan glikogenolisis. Monosit merupakan sel leukosit yang besar 3-8% dari jumlah leukosit normal, diameter 9-10 um tapi pada sediaan darah kering diameter mencapai 20 µm, atau lebih. Inti biasanya eksentris, adanya lekukan yang dalam berbentuk tapal kuda. Kromatin kurang padat, susunan lebih fibriler merupakan sifat tetap momosit. Monosit ditemui dalam darah, jaringan penyambung, dan ronggarongga tubuh. Monosit tergolong fagositik mononuclear (sistem retikuloendotel) dan mempunyai tempat-tempat reseptor pada permukaan membrannya. Untuk imunoglobulin dan komplemen, monosit beredar melalui aliran darah, menembus dinding kapiler masuk kedalam jaringan penyambung. Monosit berada di dalam darah beberapa hari. Dalam jaringan, monosit bereaksi dengan limfosit dan memegang peranan penting dalam pengenalan dan interaksi sel-sel immunocompetent dengan antigen. Jumlah eosinofil hanya 1-4 % leukosit darah, mempunyai garis tengah 9 µm (sedikit lebih kecil dari neutrofil). Intinya biasanya berlobus dua, Eosinofil mempunyai pergerakan amuboid, dan mampu melakukan fagositosis, lebih lambat tapi lebih selektif dibanding neutrofil. Eosinofil memfagositosis komplek antigen dan antibodi, ini merupakan fungsi eosinofil untuk melakukan fagositosis selektif
77
terhadap komplek antigen dan antibodi. Eosinofil mengandung profibrinolisin yang diduga berperan mempertahankan darah dari pembekuan, khususnya bila keadaan cairnya diubah oleh proses patologi. Basofil jumlahnya 0-1% dari leukosit darah, ukuran garis tengah 12 µm, inti satu, besar bentuk pilihan ireguler, umumnya bentuk huruf S, sitoplasma basofil terisi granul yang lebih besar, dan seringkali granul menutupi inti, granul bentuknya ireguler berwarna metakromatik. Granula basofil metakromatik dan mensekresi histamin dan heparin, dan keadaan tertentu, basofil merupakan sel utama pada tempat peradangan ini dinamakan hipersesitivitas kulit basofil. Hal ini menunjukkan basofil mempunyai hubungan kekebalan. Sel leukosit berdifferensiasi menjadi limfosit, netrofil, monosit, eosinofil, dan basofil diamati jumlahnya selama masa toksisitas subkronis dan pemulihan, seperti terlihat pada Tabel 18. Jumlah limfosit antara mencit kelompok kontrol dan perlakuan berbeda nyata (P<0.05), terjadi peningkatan jumlah limfosit selama toksisitas subkronis sebaliknya jumlah limfosit menurun selama masa pemulihan. Jumlah limfosit kelompok mencit baik kontrol maupun perlakuan masih berada rentang normal, yaitu 55-95% (RAR 2009). Peningkatan dosis pada mencit kelompok perlakuan mengakibatkan jumlah limfosit, monosit, dan eosinofil yang meningkat selama masa toksisitas. Namun, pada masa pemulihan mencit kelompok perlakuan memiliki jumlah limfosit, netrofil, dan basofil yang meningkat. Jumlah sel-sel dalam sirkulasi darah masih berada dalam rentang normal, yaitu netrofil sebesar 15 – 75%, eosinofil sebesar 0-4%, basofil sebesar 0-2%, monosit sebesar 0-8% (Williams et al. 2000). Berdasarkan data tabel 18, pemberian ekstrak air tepung teripang tidak bersifat toksik terhadap sel darah yang berperan dalam sistem immucompetent tubuh. Jumlah komponen sel leukosit masih dalam rentang normal (RAR 2009). HISTOLOGI LIMFA
Kelenjar tanpa saluran ( ductless) yang berhubungan erat dengan sistem sirkulasi dan berfungsi menghancurkan sel darah merah tua dinamakan limfa. Limfa termasuk salah satu organ sistem limfoid, selain timus, tonsil, dan kelenjar limfa. Limfoid tersebut berfungsi untuk melindungi tubuh dari kerusakan akibat zat asing. Sel-sel pada sistem ini dikenal dengan sel imunokompeten yaitu sel yang mampu membedakan sel tubuh dengan zat asing dan melakukan inaktivasi atau perusakan benda-benda asing. Sel imunokompeten terdiri atas sel utama bergerak, yakni sel limfosit dan makrofaga, dan sel utama menetap, yakni retikuloendotel dan sel plasma. Posisi limpa yang merupakan organ limfoid terbesar dan terletak di bagian depan dan dekat punggung rongga perut diantara diafragma dan lambung. Secara anatomis, tepi limpa yang normal berbentuk pipih. Limfa berfungsi untuk mengakumulasi limfosit dan makrofaga, degradasi eritrosit, tempat cadangan darah, dan sebagai organ pertahanan terhadap infeksi partikel asing yang masuk ke dalam darah. Limfa dibungkus oleh kapsula, yang terdiri atas dua lapisan, yaitu satu lapisan jaringan penyokong yang tebal dan satu lapisan otot halus. Perpanjangan kapsula ke dalam parenkim limfa disebut trabekula. Trabekula mengandung arteri, vena, saraf, dan pembuluh limpa. Parenkim limfa disebut pulpa yang terdiri atas pulpa merah dan pulpa putih. Pulpa merah berwarna merah
78
gelap pada potongan limpa segar. Pulpa merah terdiri atas sinusoid limfa. Pulpa putih tersebar dalam pulpa merah, berbentuk oval dan berwarna putih kelabu. Pulpa putih terdiri atas pariarteriolar limphoid sheats (PALS), folikel limfoid, dan zona marginal. Folikel limfoid umumnya tersusun atas sel limfosit B, makrofaga, dan sel debri. Tabel 18 Rata-rata dan standar deviasi dari differensiasi leukosit selama pengamatan Perlakuan Limfosit
Netrofil
Differensiasi leukosit Monosit Eosinofil
Basofil
Masa subkronis (4 minggu) Kontrol Dosis 1 g/kg BB (D1) Dosis 1.5 g/kg BB (D2) Dosis 2.5 g/kg BB (D3)
58.50±2.04b 54.50±2.04c 57.50±0.41b 66.00±2.45a
34.00±1.63b 38.00±0.01a 34.00±0.82b 23.00±4.08c
7.50±0.41b 7.50±2.04b 8.50±0.41b 11.00±1.63a
0.00±0.00b 0.00±0.00b 0.00±0.00b 0.50±0.00a
0 0 0 0
Masa pemulihan (2 minggu) Kontrol Dosis 1 g/kg BB (D1) Dosis 1.5 g/kg BB (D2) Dosis 2.5 g/kg BB (D3)
62.00±5.00a 55.00±2.00b 58.00±3.00ab 58.00±0.01ab
32.00±6.00a 36.50±0.50a 30.00±2.00a 32.50±1.50a
6.00±1.00c 8.50±2.50bc 12.00±1.00a 9.50±1.50ab
0 0 0 0
0.00±0.00a 0.00±0.00a 0.00±0.00a 0.50±0.00a
Keterangan : angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang berbeda tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada selang kepercayaan 95%.
Peradangan limfa disebut splenitis. Patologi limfa akibat peradangan dapat bersifat akut, kronis, granulomatous, atau abses. Hal ini biasanya dapat diamati di pulpa merah. Selain itu, inflamasi limpa sekunder dapat terjadi akibat tumor. Pendarahan dapat terjadi akibat paparan bahan kimia atau radiasi. Secara histologis, terdapat kesulitan untuk membedakan hemoragi, kongesti, atau angiektasis dari kondisi fisiologis limfa karena organ ini memiliki banyak sel eritrosit. Pada individu muda, histologi splenitis akibat racun yang akut yaitu adanya pusat germinal epiteloid . Pada hewan yang lebih tua, histologi splenitis yaitu adanya neutrofil pada zona mantel sinus dan penurunan jumlah sel pada sentra germinativum (Valli dan Parry 1993). Kelompok kontrol memiliki skor paling tinggi yaitu 1, namun hal tersebut adalah wajar karena sel dalam limfa merupakan sel yang selalu dirombak untuk regenerasi, sedangkan kelompok D1, D2 dan D3 memiliki skor lebih rendah diduga regenerasi yang lebih cepat sehingga tampak sel piknosis yang lebih sedikit. Semua perlakuan tidak membuat kerusakan pada limfa artinya perlakuan tidak membuat kerusakan kekebalan individu, seperti terlihat pada Tabel 19 dan Gambar 24. Jumlah sel yang mengalami piknosis pada pulpa merah dan putih terdapat pada mencit kelompok kontrol dibandingkan mencit kelompok perlakuan, walaupun semua perlakuan menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0.05). Kerusakan sel pada mencit kontrol tidak mengakibatkan kerusakan kekebalan pada individu, terlihat pada Gambar 24.
79
Tabel 19 Persentase skoring pada pulpa merah dan pulpa putih pada mencit BALB/c selama masa subkronis dan pemulihan Perlakuan Kontrol Dosis 1 g/kg BB (D1) Dosis 1.5 g/kg BB (D2) Dosis 2.5 g/kg BB (D3)
Masa Subkronis 1.00 ±0.58a 0.50 ±0.50a 0.25 ±0.58a 0.25 ±0.58a
Masa Pemulihan 1.00±0.01a 0.67 ±0.58a 0.67 ±0.58a 0.33±0.01a
Keterangan : angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang berbeda tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada selang kepercayaan 95%.
Mencit kelompok kontrol memiliki skor paling tinggi, hal ini wajar karena sel dalam limfa merupakan sel yang selalu dirombak untuk regenerasi, sedangkan kelompok D1, D2,dan D3 memiliki skor lebih rendah diduga regenerasi yang lebih cepat sehingga tampak sel piknosis yang lebih sedikit. Semua perlakuan dosis tidak membuat kerusakan pada limfa artinya perlakuan tidak membuat kerusakan kekebalan individu. Pemberian ekstrak air tepung teripang tidak bersifat toksik terhadap sel darah yang dapat memberikan sifat immucompetent tubuh (Tabel 19). Kelompok kontrol menunjukkan inti sel limfoid pulpa putih normal (panah hitam) dan beberapa inti piknosis (panah kuning) selama masa toksisitas dan pemulihan. Pada mencit kelompok perlakuan menunjukkan pulpa putih dan merah yang normal selama masa toksisitas dan pemulihan.
Gambar 24 Histologi organ limfa selama masa subkronis. (A) Kelompok kontrol menunjukkan inti sel limfoid pulpa putih normal (panah hitam) dan beberapa inti piknosis (panah kuning). (B) kelompok D1 menunjukkan pulpa putih dan pulpa merah yang normal. (C) Kelompok D2 menunjukkan pulpa putih dan pulpa merah yang normal. (D) Kelompok D3 menunjukkan pulpa putih dan pulpa merah yang normal. Pewarnaan Hematoksilin dan Eosin. Perbesaran 400X (skala bar 50 µm).
Histologi organ limfa selama masa toksisitas dan pemulihan, semua inti sel masih normal dan hanya mengalami kongesti ringan, kesemuanya masih dalam tahap aman dan bersifat reversibel. Pemberian ekstrak air tepung teripang pada mencit perlakuan diperoleh semakin tinggi dosis ekstrak air tepung teripang menyebabkan adanya akumulasi mast cells. Akumulasi sel tersebut sebagai refleksi aktivitas fisiologis dari ekstrak air tepung teripang yang diberikan, dosis perlakuan sudah mencapai dosis efek dan dosis maksimun tetapi dosis tertinggi
80
belum mencapai dosis toksisitas atau adverse effect (Kuroiwa et al. 2006), seperti terlihat pada Gambar 25 di bawah ini.
Gambar 25 Histologi organ limpa penelitian toksisitas. (A) Kelompok kontrol menunjukkan inti sel limfoid pulpa putih normal (panah hitam) dan beberapa inti piknosis (panah kuning). (B) kelompok D1 menunjukkan pulpa putih dan pulpa merah yang normal. (C) Kelompok D2 menunjukkan pulpa putih dan pulpa merah yang normal. (D) Kelompok D3 menunjukkan pulpa putih dan pulpa merah yang normal. Pewarnaan Hematoksilin dan Eosin. Perbesaran 400X ( skala bar 50 µm). Hasil keseluruhan dari penelitian ini menunjukkan bahwa teripang gama yang diproses menjadi tepung menggunakan oven vakum dapat diaplikasikan sebagai bahan yang digunakan dalam pengembangan pangan fungsional. Tepung teripang gama aman dikonsumsi secara uji keamanan pangan baik dikonsumsi langsung maupun diolah menggunakan enzim atau air. Hidrolisat protein maupun ekstrak air dari tepung teripang gama memiliki potensi besar sebagai ingridien fungsional baik sebagai ingridien utama maupun bahan fortifikasi yang potensi berkhasiat sebagai bahan fungsional antikanker.
81
Tabel 20 Nilai referensi kimia dan biokimia klinik normal pada berbagai jenis hewan Diff (%) Segs Band Limfosit Monosit Eosinofil Basofil Serum darah Alb (g/dl) Alk P (U/I) ALT (U/I) Amy (U/I) AST (U/I) Bili-T (mg/dl) Bili-dir BUN (mg/dl) Ca2+ (mg/dl) Kolesterol Kreatinin (mg/dl) GGT (U/I) Glukosa (mg/dl) Fosfat (mg/dl) TP (g/dl) Na+ (mEq/l) K+ (mEq/l) Cl-
Anjing
Kucing
Kelinci
Tikus
Mencit
51-84 0-4 8-38 1-9 0-9 0-1
34-84 0-1 7-60 0-5 0-12 0-2
20-60
10-30
10-40
40-80 1-4 0-4 1-7
65-85 0-5 0-6 0-1
55-95 1-4 0-4 0-1
2.6-40 3-70 4-90 220-1070 < 105 0.2-0.8 0-0.04 7-24 9-114 110-330 0.7-1.4
2.6-4.3 3-70 4-90 400-1590 < 51 0.2-0.8 0-0.2 10-30 7.8-11.7 50-150 0.8-2.0
2.7-4.6 5-20 12-67
3.8-4.8 16-50 35-80
2.5-3 35-96 17-77
14-113 0.2-0.7
0.2-0.5
54-298 0-0.9
10-25 5.6-12.5 20-80 0.8-1.8
10-21 8-13 40-130 0.5-1
8-33 7.1-10.1
80-120 2.5-7.7 5.4-8 140-165 4.4-6.1 109-122
65-110 2.5-7.7 5.4-8 140-165 3.5-5.4 117-129
75-150 4-6.2 5.3-7.5 130-150 3.6-7.5 95-120
50-160 5.3-8.3 5.6-7.6 140-150 4.3-5.6 95-115
62-175 5.7-9.2 3.5-7.2 140-160 5-7.5 88-110
Sumber : Research animal resources, RAR (2009)
0.2-0.9
82
8 2
Tabel 21 Rata-rata dan standar deviasi dari biokimia serum darah selama pengamatan Perlakuan
Glukosa
Protein
Lipid
SGOT
SGPT
Urea Na
Elektrolit Cl
K
Masa toksisitas subkronis (4 minggu) Kontrol Dosis 1 g/kg BB (D1) Dosis 1.5 g/kg BB (D2) Dosis 2.5 g/kg BB (D3)
66.25± 2.50a 61.88±2.39ab 58.75±2.50b 65.00±5.77a
7.82±0.13b 7.97±0.22ab 8.25±0.21a 8.25±0.19a
153.50±2.08a 144.25±8.92ab 137.00±8.12b 147.25±4.11ab
70.80±2.36a 76.50±6.14a 62.00±5.29b 56.80±0.50b
17.50±1.91b 26.75±8.06a 11.50±6.45bc 8.25±0.50c
38.75±1.71ab 43.50±6.14a 35.75±0.50b 34.75±0.96b
152.40±1.76a 152.72±1.58a 151.53±1.81a 151.02±1.69a
110.60±1.73a 110.00±1.25a 108.90±1.72a 109.20±1.75a
5.98±0.04a 6.03±0.05a 6.02±0.23a 5.78±0.22a
Masa pemulihan (2 minggu) Kontrol Dosis 1 g/kg BB (D1) Dosis 1.5 g/kg BB (D2) Dosis 2.5 g/kg BB (D3)
76.00±6.93a 56.00±6.93 b 52.00±6.93 b 64.00±6.93 ab
7.10±0.10a 7.10±0.20a 7.07±0.06a 7.13±0.06a
223.33±8.50bc 210.00±2.00c 236.00±8.72ab 243.67±8.08a
73.70±9.02c 134.70±9.29a 112.70±3.51b 124.70±3.51ab
11.67±1.53b 24.67±5.51a 23.67±6.51a 25.33±0.58a
46.00±2.00c 57.00±4.00a 54.67±1.53ab 51.67±1.53b
153.26±1.40a 147.63±0.32c 151.87±0.38ab 151.63±1.55b
111.40±1.39a 102.50±0.59c 105.70±2.05b 105.90±1.05b
6.35±0.15b 7.07±0.15a 6.48±0.05b 6.49±0.03b
Keterangan : angka yang diikuti oleh hu ruf yang sama pada kolom yang berbeda tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada selang kepercayaan 95%.
83
V KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Hasil analisis kimia dari tepung teripang gama menunjukkan kandungan protein sebesar 34.33 ± 0.10% g/100g bk, dan lemak sebesar 1.08 ± 0.01% g/100g bk. Selain itu, tepung teripang gama juga memiliki kandungan glisin sebesar 4.99 ± 0.01% g/100g bk dan lisin sebesar 5.79 ± 0.01% g/100g bk, kaya akan asam arakidonat, asam palmitat sebesar 3.51± 0.02% g/100g bk dan asam stearat sebesar 2.16± 0.03% g/100g bk. Kandungan proksimat, asam amino, berat molekul, dan total fenol bervariasi antara hidrolisat protein dan ekstrak air dari tepung teripang gama. Ekstrak air menunjukkan nilai IC 50 untuk aktivitas antioksidan sebesar 2.30±0.30 mg/mL sedangkan hidrolisat protein memiliki nilai IC 50 sebesar 1.67±0.05mg/mL. Senyawa bioaktif pada ekstrak air banyak terdapat gugus fungsi C-O stretching dan C-H bending, serta O-H bending . Ekstrak air dan hidrolisat protein dari tepung teripang gama memiliki potensi sebagai antikanker sel kolon WiDr, yaitu IC50 sebesar 69.37±24.25 µg/mL dan 13.01±2.75 µg/mL secara in vitro. Pada konsentrasi IC50 sebesar 13.01±2.75 µg/mL, hidrolisat protein memiliki kemampuan induksi apoptosis sebesar 64.9 ± 1.63% . Hasil uji keamanan konsumsi secara akut menunjukkan pemberian ekstrak air tepung teripang pada dosis perlakuan sampai 0.5 g/kgBB tidak mempengaruhi tingkah laku, fisik, rata-rata berat badan dan konsumsi pakan selama 7 hari pengamatan. Pada uji keamanan konsumsi secara subkronis sampai dosis 2.5 g/kgBB menunjukkan tidak terjadi kematian, perubahan fisik dan tingkah laku, serta penurunan konsumsi pakan dan berat badan pada mencit perlakuan selama pengamatan, hasil biokimia serum darah menunjukkan glukosa, lipid, protein, SGPT, SGOT, urea, natrium, klorida, kalium masih dalam rentang darah normal, serta secara histologi menunjukkan kerusakan sel organ hati, ginjal, dan limfa yang bersifat reversibel. Ini menunjukkan bahwa ekstrak air tepung teripang gama aman bagi mencit percobaan Tepung teripang gama ( Stichopus variegatus) yang diproses menggunakan oven vakum potensial untuk dikembangkan sebagai ingridien pangan fungsional baik sebagai ingridien utama maupun bahan fortifikasi yang potensi berkhasiat sebagai bahan fungsional antikanker. Saran
Diperlukan penelitian lanjutan untuk tahapan dari hidrolisat protein, tentang sekuen peptida yang berperan dalam aktivitas antikanker dan mekanisme aktivitas antikanker. Penelitian lanjutan mengenai identifikasi senyawa toksik pada teripang gama ( Stichopus variegatus) baik sebelum maupun sesudah diolah menjadi ekstrak air, serta uji keamanan secara in vitro menggunakan sel limfosit. Selain itu, perlu dilakukan uji aplikasi tepung teripangnnya dalam pengolahan pangan fungsional.
84
DAFTAR PUSTAKA
[AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 2005. Official Methods of Analysis of AOAC International Horwitz W, editor. Ed ke-18. Publ, AOAC International. Maryland USA. [BPOM] Badan Pengawasan Obat dan Makanan. 2005. Peraturan kepala badan pengawas pangan, obat dan makanan Republik Indonesia nomor HK. 00.05.52.0685. www. pom.go.id. [16 Februari 2014]. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan RI. 2006. Potensi Perikanan Ikan Tangkap di Indonesia. Jakarta. [FAO] Food and Agriculture Organization. 2013. Dietary Protein Quality Evaluation in Human Nutrition: Report of an FAO Expert Consultation, FAO Food and Nutrition Paper 92. Rome: FAO [NCI] National Cancer Institute. Cancer. www.cancer.gov. [12 Februari 2013] [OECD] Organisation for Economic Co-operation and Development. 2001. OECD 420 Guideline for Testing of Chemicals: Acute Oral Toxicity – Fixed Dose Procedure. [RAR] Research Animal Research. 2009. Reference Values for Laboratory Animals. University of Minnesota Board of Regents. www.ahc.umn.edu [10 Agustus 2015]. [WHO] World Health Organization. 2013. A global brief on hypertension : Silent killer, global public health crisis. Document number : WHO/DCO/WHD/2013.2.http: www.who.int. Achmad R. 2004. Kimia Lingkungan. Yogyakarta. Andi Press. Adrian TE, Collins P. 2005. Anticancer Glycoside Compounds. United State Patent. WO/2005/072528. Akhila JS, Shyamjith, Deepa, Alwar MC. 2007. Acute toxicity studies and determination of median lethal dose. Current Science. 93:917-920. Alade GO, Akanmu MA, Obuotor EM, Osasan SA, Omobuwajo OR. 2009. Acute and oral subacute toxicity of methanolic extract of Bauhinia monandra leaf in rats. African Journal of Pharmacy and Pharmacology. 3(7): 354358. Alem’an A, Perez-Santin E, Bordenave-Juchereau S, Arnaudin I, Gomez-Guillen M, Montero P. 2011a. Squid gelatin hydrolysates with antihypertensive, anticancer and antioxidant activity. Food Research International. 44:1044 – 1051. Alem’án, A., Giménez B, Pérez-Santin E, Gómez-Guillén MC, Montero P. 2011b. Contribution of Leu and Hyp residues to antioxidant and ACE-inhibitory activities of peptide sequences isolated from squid gelatin hydrolysate. Food Chemistry. 125(2):334-341. Althunibat OY, Ridzwan BH, Taher M, Jamaludin MD, Ikeda MA, Zali BI. 2009. In vitro antioxidant and antiproliferative activities of three Malaysian sea cucumber species. European Journal of Scientific Research. 37: 376 – 387.
85
Althunibat OY, Ridzwan BH, Taher M, Daud M, Ichwan SJA, Qaralleh H. 2013. Antioxidant and cytotoxic properties of two sea cucumbers, Holothuria edulis Lesson and Stichopus horrens Selenka. Acta Biologica Hungarica. 64(1): 1020. DOI: 10.1556/ABiol.64.2013.1.2 0236-5383. Amanvermez R, Ankarali S, Özgür KT, Tomak L, Alvur M. 2009. Effect of chronic high dose-alcohol consumption on the general biochemical parameters. Turkish Journal of Biochemistry . 34:113 – 120 Anesini C, Graciela EF and Rosana F. 2008. Total Polyphenol Content and Antioxidant Capacity of Commercially Available Tea ( Camellia sinensis) in Argentina. Journal of Agricultural and Food Chemistry. 56: 9225 – 9229. Arbo MD, Gabriela CS, Mariana FL, Mariele FC, Angela MM, Gianine LR, Eliane D, Solange CG, Mirna BL, Rnata PL. 2009. Subchronic toxicity of Citrus aurantium L. ( Rutaceae) extract and p-synepherine in mice. Regulatory Toxicology and Pharmacology. 54:114-117. Astawan M. 2003. Pangan fungsional untuk kesehatan yang optimal. Kompas 23 Maret 2003. [10 Januari 2014]. Azam K, Jyanti JS. 2013. Development of Value Added Products from Dried Sea Cucumber ( Holothuria scabra). Oceanography. 1(2): 1-3. Ball M, Bridges J, Southee J. 1991. Animal and alternatives in toxicology present status and future prospects. London: Mac Milan Press. Barth, A. 2000. The Infrared Absorption of Amino Acid Side Chain. Review. Progress in Biophysics and Molekuler Biology. 74. 141-173. Bechtel PJ, Oliveira ACM, Demir N, Smiley S. 2013. Chemical composition of the giant red sea cucumber, Parastichopus californicus, commercially harvested in Alaska. Journal of Food Science and Nutrition. 1(1): 63-73. Bezivin C, Tomasi S, Lohezic-Le Devehat F, Boustie J. 2003. Cytotoxic activity of some lichen extracts on murine and human cancer cell lines. Phytomedicine. 10: 499 – 503. doi: 10.1078/094471103322331458. Blois MS. 1958. Antioxidants determination by the use of a stable free radical. Nature. 4617: 1199 – 1200. Boopathy NS, Kathiresan K. 2010. Anticancer drugs from marine flora: an overview. Journal of Oncology. 1-18. Bordbar S, Anwar F, Nzamid S. 2011. High-value components and bioactives from sea cucumbers for functional foods — A review. Marine Drugs. 9: 1761-1805. Bruckner AW. 2005. The recent status of sea cucumber fisheries in the continental United States of America. SPC Bˆ eche-de-Mer Info Bull. 22:39 – 46. Capillas CR, Moral A, Morales J, Montero P. 2002. Characterisation of non protein nitrogen in the Cephalopods volador ( Illex coindetii), pota (Todaropsis eblanae ) and octopus ( Eledone cirrhosa). Food Chemistry. 76(2): 165-172 Carlton WW, McGavin MD. 1995. Thomson’s Special Veterinary Pathology. 2 nd edition. Missouri: Mosby-Year Book Inc. Carlson SE, Neuringer M. 1999. Polyunsaturated fattyacid status and neurodevelopment: a summary and criticalanalysis of the literature. Lipids. 34:171 – 178. Chantal C, Maria B. 2006. A review of recent developments in the world sea cucumber fisheries. The University of Sydney, N.S.W. Australia.
86
Change-Lee MV, Price RJ, Lampila LE. 1989. Effect of pro-cessing on proximate composition and mineral content of sea cucumbers ( Parastichopus spp.). Journal of Food Science. 54:567 – 572. Chinq-Mars CD. 2006. Angiotensin converting enzyme inhibitory peptide from the hydrolysis of Pacific Hake fillet by commercial protease [thesis]. Columbia: The Faculty of Graduate Studies (Food Science), The University of British Columbia. Chen SG, Li GY, Yin LA, Huang WC, Dong P, Xu J, Chang YG, Xue CH. 2010. Identification of eight species of sea cucumber chondroitin sulfates by high temperature ~1H NMR. Journal of Instrumental Analysis. 29: 8. Chen XE, Xie NN, Fang XB, Yu H, Ya-mei J, Zhen-da L. 2010. Antioxidant activity and molecular weight distribution of in vitrogastrointestinal digestive hydrolysate from Flying squid ( Ommastrephes batramii) skingelatin. Journal of Food Science. 31: 123 – 130. Chen HM, Muramoto K, Yamauchi F, Fujimoto K, Nokihara K. 1998. Antioxidative properties of histidine-containing peptides designed from peptide fragments found in the digests of a soybean protein. Journal of Agricultural and Food Chemistry . 46: 49 – 53 Cheville NF. 2006. Introduction to Veterinary Pathology. Iowa: Blackwell Publishing. Coates J. 2000. Interpretation of infrared spectra. A practical approach. Di dalam meyer R.A. Editor. Encyclopedia of analytical chemistry. Chichester: John Wiley & Sons Ltd. Coles EH. 1986. Veterinary Clinical Pathology. 2 nd ed. Iowa State University Press. Crim MC, Munro HN. 1994. Proteins and Amino Acids. Shils ME, Olson JA, Shike M (editors). Modern Nutrition in Health and Disease. Philadelphia: Lea & Feblger. Damodaran A. 1996. Investment Valuation. University edition, John Wiley & Sons. Inc. Day RA, Underwood AL. 2002. Analisis Kimia Kuantitatif . Jakarta: Erlangga Davidson I, Henry JB. 1974. Clinical diagnosis by Laboratory Methods. 15 th Edition. Philadelphia: WB Sauber Company. Da´valos A, Miguel M, Bartolome´ B, Lo´pez- Fandin˜o R . 2004. Antioxidant activity of peptides derived from egg white proteins by enzymatic hydrolysis. Journal of Food Protection. 67:1939 – 1944 Dewi KH. 2008. Kajian ekstraksi steroid teripang pasir ( Holothuria scabra J) sebagai sumber testosteron alami [disertasi]. Bogor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Dhinakaran DI, Aaron PL. 2014. Bioactive compounds from Holothuria atra of Indian ocean http://www.springerplus.com/content/3/1/673. SpringerPlus. 3:673 Dhinakaran DI, Aaron PL. 2015. Antitumor and antifungal activities of organic extract of sea cucumber Holothuria atra from the southeast coast of India. Journal of Ocean University of China. 14(1): 185-189. Doyle A, Griffiths JB. 2000. Cell and tissue culture for medical research. England: John Willey & Son LTD.
87
Dong Y, Dong S, Tian X, Wang F, Zhang M. 2006. Effects of diel temperature fluctuations on growth, oxygen consumption and proximate body composition in the sea cucumber Aposti-chopus japonicas Selenka. Aquaculture. 255(1-4):514 – 521. Drazen JC, Phleger CF, Guest MA, Nichols PD. 2008. Lipid, sterols and fatty acid composition of abyssal holothurians and ophiuroids from the NorthEast Pacific Ocean: food web implications. Comparative Biochemistry and Physiology. l151:79 – 87. Duan R, Zhang J,Du X, Yao X, Konno K. 2009. Properties of collagen from skin, scale, and bone of carp ( Cyprinus carpio). Food Chemistry. 112: 702-6. Effendi Z. 2003. Peranan Leukosit sebagai Anti Inflamasi Alergik dalam Tubuh. Bagian Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Digitized by USU digital libraray. Ehlfeldt MK, Prior RL. 2001. Oxygen radical absorbance capacity (ORAC) and phenolic and anthocyanin concentrations in fruit and leaf tissues of highbush blueberry. Journal of Agricultural and Food Chemistry . 49: 2222 – 2 Elmore S. 2007. Apoptosis: A review of programmed cell death. Journal of Toxicology and Pathology . 35:495-516. Esmat AY, Mahmoud MS, Amel AS, Khaled SHE-M, Elham AB. 2012. Bioactive compounds, antioxidant potential, and hepatoprotective activity of sea cucumber ( Holothuria atra ) against thioacetamide intoxication in rats. Nutrition (xxx) article in press. 1-10. Farshadpour F, Gharibi S, Taherzadeh M, Amirinejad R, Taherkhani R, Habibian A, Zandi. 2014. Antiviral activity of Holothuria sp. a sea cucumber against herpes simplex virus type 1 (HSV-1). European Review for Medical and Pharmacological Science . 18: 333-337. Fechter H. 1969. The Sea Cucumber. Grzimek B, editor. Grzimek’s Animal Life Encyclopedia. New York: Van Nostrand Reinhold Company. Fredalina B. 1999. Fatty acid composition in local sea cucumber, Stichopus chloronotus for wound healing. General Pharmacology. 44:337-340. Forghani B, Ebrahimpour A, Bakar J, Hamid AA, Hassan Z, Saari N. 2012. Enzyme Hydrolysates from Stichopus horrensas a New Source for Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitory Peptides . Evidence-Based Complementary and Alternative Medicine. 1-9. Fuentes A, Fernandez-Seqovia I, Escriche I, Sirra JA. 2009. Comparison of physic-chemical parameters and composition of mussels ( Mytilus galloprovincialis Lmk ) from different Spanish origin. Food Chemistry. 112:295-302. Geirsdottir M. 2009. Isolation, purification and investigation of peptides from fish proteins with blood pressure decreasing properties. Matis - Food Research, Innovation & Safety. Desember 2009. Gil A. 2002. Polyunsaturated fatty acids and inflammatory disease. Biomedicine and Pharmacotherapy . 56:388 – 396.
88
Gonzales RE, Lopez AL, Martin OR, Santolaria FF, Galindo ML, Abreu GP, Sanchez SJJ, Martinez RA. 2003. Effects of protein deficiency on liver trace elements and antioxidant activity in carbon tetrachloride-induced liver cirrhosis [Abstract]. Biological Trace Element Research. 93:127-140. Guadalupe MSJ, Armando BH, Josafat MEB. 2012. Bioactive peptides and depsipeptides with anticancer potential: sources from marine animals. Marine Drugs. 10: 963-986. Guyton AC dan Hall JE. 1997. Buku ajar fisiologi kedokteran. Jakarta : EGC. Terjemahan dari: Physiology Hadiwiyoto S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Jilid I. Jakarta: Penerbit Liberty. Hasnaliza H. 2010. The effects of enzyme concentration, temperature a nd incubation time on nitrogen content and degree of hydrolysis of protein precipitate from cockle ( Anadara granosa ) meat wash water. International Food Research Journal. 17: 147-152 Heo SJ, Kim KN, Yoon WJ, Oh C, Choi YU, Affan A. 2011. Chromene induces apoptosis via caspase-3 activation in human leukemia HL-60 cells. Food and Chemical Toxicology . 49: 1998 – 2004. Hewawasam RP, Jayatilaka KAPW. 2015. Antioxidant effect of crude water extract of Vetiveria Zizanioides ( Gramineae) in mice with acetaminophen induced hepatotoxicity. International Journal of Pharmacognosy. 2(1): 11-20 Hodgson E, Levi PE. 2000. Modern toxicology. Boston: Mc Graw Hill. Huang YB, Xiao-Fei W, Hong-Ye W. 2011. Studies on mechanism of action of anticancer peptides by modulation of hydrophobicity within a defined structural framework. Molecular Cancer Therapeutics. 10:416-426. Huihui C, Ping Y, Jianrong L. 2010. The preparation of collagen polypeptide with free radical scavenging ability purified from Acaudina molpadioides Semper. Journal China. Instrument. Food Science. Technology. Available online:http://en.cnki.com.cn/Article_en/CJFDTOTAL-ZGSP2010 01002.htm (accessed on 12 February 2013). Inhamuns AJ, Franco MRB, Batista WS. 2009.Seasonal variations in total fatty acid composition of muscles and eye sockets of tucunare ( Cichla sp.) from the Brazilian Amazon area. Food Chemistry. 117:272 – 275 James DB. 2010. Marine Poisonous Echinoderms. Fishing Chimes. 30(1). Janakiram NB, Mohammed A, Zhang Y, Choi C-I, Woodward C, Collin P, Steele VE, Rao CV. 2010. Chemopreventive effects of Frondanol A5, a Cucumaria frondosa extract, against rat colon carcinogenesis and inhibition of human colon cancer cell growth. Cancer Prevention Research. 3(1):1-11. Jang A, Lee M. 2005. Purification and identification of angiotensin converting enzyme inhibitory peptides from beef hydrolysate. Meat Science. 69: 653661 Jemal A, Freddie B, Melissa M, Jacques F, Elizabeth W, David F. 2011. Global Cancer Statistics. CA: A Cancer Journal for Clinicians. 61:69 – 90 Joshi AS, Ekambaram SP, Subramanian V. 2007. Acute and subacute toxicity studies on the polyherbal antidiabetic formulation diakyur in experimental animal models. Journal of Health Science. 53: 245-249.
89
Jothy SL, Zakaria Z, Chen Y, Lau YL, Latha LY, Sasidharan. 2011. Acute oral toxicity of methanolic seed exctract of Cassia fistula on Mice. Molecules. 16: 5268-5282. Kamesaki H. 1998. Mechanism involved in chemotherapy-induced apoptosis and their implications in cancer chemotherapy. International Journal of Hematology. 68: 29 – 43. Kaneko JJ. 1980. Clinical biochemistry of domestic animals. New York: Academic Press. Kaneniwa M, Itabashi Y, Endo S, Takagi T. 1986. Fatty acids in holonturidea: occurrence of cis-14-tricosaenoic acid. Comparative Biochemistry and Physiology. 84B(4):451 – 455. Kang SM, Kim AD, Heo SJ, Kim KN, Lee SH, Ko SC. 2012. Induction of apoptosis by diphlorethohydroxycarmalol isolated from brown alga, Ishige okamrae. Journal of Functional Foods . 4: 433 – 439. Karnila R. 2012. Daya hipoglikemik hidrolisat, konsentrat, dan isolat protein teripang pasir ( Holothuria scabra J) pada tikus percobaan [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Khurana I. 2008. Essential of medical physiology.India: Elsevier publisher. Kiew PL, Mashitah MD. 2013. Isolation and characterization of collagen from the skin of Malaysian catfish (Hybrid clarias sp). Journal of the Korean Society for Applied Biological Chemistry .56: 441-450. Kittiphanabawon P, Benjakul S, Visessanguan W, Kishimura H, Shahidi F. 2010. Isolation and characterization of collagen from the skin of brownbanded bamboo shark ( Chyloscyllum punctatum). Food Chemistry. 119:15191526. Klaassen CD. 2001. Principles of Toxicology. In Casarett and Doull’s Toxicology: The Basic Science of Poisons, 5 th ed; New York: McGrawHill; p. 13. Kong J, Yu S. 2007. Fourier transform infrared spectroscopic analysis of protein secondary structures. Acta Biochimica et Biophysica Sinica. 39(8):549559. Koolman J, Klaus-Heinrich R. 2001. Biokimia. Alih Bahasa : Septelia Inawati Wanandi. Jakarta. Hipokrates Press. Kulas E, Ackman RG. 2001. Different tocapherols and the relationship between two methods for determination of primary oxidationproducts in fish oil. Journal of Agricultural and Food Chemistry . 49:1724 – 1729. Kuroiwa K, Shibutani M, Inoue K, Lee KY, Woo GH, Hirose M. 2006. Subchronic toxicity study of water pepper extract in F344 rats. Food and Chemical Toxicology. 44: 1236-1244. Kusnandar F. 2010. Komponen Kimia Pangan: Komponen Makro. Jakarta: Dian Rakyat Press. LaBoede JB et al. 1999. Haematology and serum chemistry parameters of the pregnant rat. Laboratory Animals. 33:275-287. Laemmli UK. 1970. Cleavage of structural proteins during assembly of head of bacteriophage T4. Nature. 277: 680 – 685. Lailiyah A, Tri K, Abdul H, Eriyanto Y. 2014. Kapasitas antioksidan dan kandungan total senyawa fenol ekstrak kasar alga coklat Sargassum cristaefolium dari pantai Sumenep Madura. Alchemy. 3(1): 18 – 30.
90
Lan-Hong Z, Yue-Jun W, Jun S, Fang W, Yuan Z, Xiu-Kun L, Mi S. 2011. Antitumor peptides from marine organisms. Marine Drugs. 9: 1840-1859. Lee YG, Kim JY, Lee KW, Kim KH, Lee HJ. 2003. Peptides from anchovy sauce induce apoptosis in a human lymphoma cell (U937) through the increase of caspase-3 and -8 activity. Annals of the New York Academy of Sciences. 1010: 399 – 404. Lee YG, Kim JY, Lee KW, Kim KH, Lee HJ. 2004. Induction of apoptosis in a human lymphoma cell line by hydrophobic peptide fraction separated from anchovy sauce. Biofactors. 21: 63 – 67. Lee JS, Kim YH, Kim DB, Shim GH, Lee JH, Cho JH, Lee BY, Lee OH. 2015. Acute and subchronic (28 days) oral toxicity studies of Codonopsis lanceolata extract in Sprague – Dawley rats. Regulatory Toxicology and Pharmacology.71: 491-497. Lowry OH, Rosenbrough NJ, Fair AL, Randall RJ. 1951. Protein measurement with the Folin-phenol reagents. Journal of Biological Chemistry. 193: 265 – 275 Lu CF. 1995. Toksikologi dasar. Edisi ke-2. Jakarta: UI press. Mamelona J, Pelletier, EM, Lalancette KG, Legault J, Karboune S, Kermasha S. 2007. Quantification of phenolic contents and antioxidant capacityof Atlantic sea cucumber, Cucumaria frondosa . Food Chemistry. 104: 1040 – 1047. Martoyo J, Nugroho A, Tjahjo W. 2007. Budidaya Teripang. Jakarta: Penebar Swadaya. Maziar Y, Majid A, Javadi A, Maryam E, Khazaali A, Reza K, Amin M. 2012. Fatty acid composition in two sea cucumber species, Holothuria scabra and Holothuria leucospilata from Qeshm Island (Persian Gulf). African Journal of Biotechnology. 11(12): 2862-2668. McGavin MD, Zachary JF. 2007. Pathologic Basic Veterinary Disease. China:Elsivier Inc. Mitchell RN, Cotran RS. 2003. Acute and chronic inflammation. Robbins Basic th Pathology (7 ed.)(pp33-59). Philadelphia: Elsevier Saunders Murray KR, Graner DK, Mayes PA., Rodwell VW. 2003. Harper’s ilustrated
biochemistry.USA: Mc graw hill companies. Muyonga JH, Cole CGB, Doudu KG. 2004. Fourier transform infrared (FTIR) spectroscopic study of acid soluble collagen and gelatin from skins and bones of young and adult nile perch ( Lates niloticus). Food Chemistry. 86:325-332. Namvar F, Mohamed S, Fard SG, Behravan J, Mustapha NM, Alitheen NB. 2012. Polyphenol-rich seaweed ( Eucheuma cottonii ) extract suppresses breast tumor via hormone modulation and apoptosis induction. Food Chemistry. 130: 376 – 382. Nelson DL, Cox MM. 2000. Lehninger, Principles of Biochemistry 3rd Ed. Worth Publishing: New York. ISBN 1-57259-153-6. Nura’eniah N. 2013. Ekstraksi dan karakterisasi kolagen dan nanopartikel kolagen dari kulit ikan pari ( Pastinachus solocirostris ) sebagai bahan baku kosmetik. [Thesis]. Sekolah pascasarjana Institut pertanian Bogor. Bogor
91
Nurjanah S. 2008. Identifikasi steroid teripang pasir (Holothuria scabra) dan bioassay produk teripang sebagai sumber aprodisiaka alami dalam upaya peningkatan nilai tambah teripang [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Ogushi, M., Yoshie, Y. and Suzuki, T. 2005. Cytostatic activity of hot water extracts from the sea cucumber in Caco-2. Food Science and Technolology Research. 11:202-206. Ogushi M, Yoshie-stark M, Suzuki T. 2006. Apoptosis-inducing activity of hot water extracts from the sea cucumber in human colon tumor cells. Food Science and Technolology Research. 12: 290 – 294. Orban E, Di Lena G, Nevigato T, Casini I, Marzetti A, Caproni R. 2002. Seasonal changes in meat content, condition index and chemical composition of mussels ( Mytilus galloprovincialis) cultured in two different Italian site. Food Chemistry. 77: 57-65. Osorio FV, Linas SL. 1999. Disorders of Potassium Metabolism. www. kidneyatlas.org.[10 Juni 2014]. Pan SK, Yao DR, Zhou MQ, Wu SJ. 2012. Hydroxyl radical scavenging activity of peptide from sea cucumber using enzyme complex isolated from the digestive tract of sea cucumber. African Journal of Biotechnology. 11(5): 1214-1219. Park S Y, Lim H K, Lee S, Hwang HC, Cho SK, Cho M. 2011. Pepsinsolubilized collagen (PSC) from Red Sea cucumber ( Stichopus japonicus ) regulates cell cycle and the fibronectin synthesis in HaCat cell migration,doi:10.1016/j.foodchem.2011.11.032 Patar A, Jamalullail SMSS, Jaafar H, Jafri MA. 2012. Analysis of sea cucumber body wall extracts from Perhentian Stichopus Variegatus species using gas chromatography mass spectrophotometry. European Journal of Science Research. 68(1): 54-59. Perez-Vega JA, Leticia OC, Jose AGR, Blanca HL. 2013. Release of multifunctional peptides by gastrointestinal digestion of sea cucumber ( Isostichopus badionotus). Journal of Functional Foods. 5(2): 869-877. Perez-Espadas AR, Verde-Star MJ, Rivas-Moral C, Oranday-Caardenas A, Morales-R ME, Leon-Deniz LV, Canul-Canche J, Quijano L. 2014. In vitro cytotoxic activity of Isostichopus badionotus, sea cucumber from Yucatan Peninsula Coast. Journal of Pharmacy and Nutrition Sciences . 4: 183-186. Pickering MV, Newton P. 1990. Amino acid hydrolysis: old problems, new solutions. LC-GC. 8:1-10. Picot L, Bordenave S, Didelot S, Fruitier-Arnaudin S, Sannier F, Thorkelsson G, Berge´JP, Gue´rard F, Chabeaud A, Piot JM. 2006. Antiproliferative activity of fish protein hydrolysates on human breast cancer cell lines. Process Biochemistry. 41:1217 – 1222 Prystupa DA, Donald AM. 1996. Infrared study of gelatin conformations in the gel and sol states. Polymer Gels and Networks. 4(2),87-110. Purcell SW, Gossuin H, Agudo NS. 2009. Changes in weight and length of sea cucumbers during conversion to processed beche-de-mer: Filling gaps for some exploited tropical species. SPC Beche-de-mer Information Bulletin #29.
92
Purwani STD, Ariantari NP, Kardena IM. 2013. Pengaruh pemberian ekstrak etanol 80 daun kedondong hutan terhadap berat organ hati mencit jantan galur BALB/c.www.google.com [16 Agustus 2015]. Prato E, Danieli A, Maffia M, Bindolino F. 2010. Lipid and fatty acid composition of Mytilus galloprovincialis cultured in the Mar Grande of Taranto (Southern Italy): Feeding strategies and trophic relationships. Zoological Studies. 49: 211-219. Qing W, Jing-feng W, Hui X, Yong X, Yu-ming W, Chang-cu X. 2013. Study on the mutagenicity and teratogenicity of saponins of Pearsonothuria graeffei. Chinese Journal of Marine Drugs . 2013-06. Qin Z, Jing-feng W, Yong X, Yi W, Sen G, Min L, Chang-hu X. 2008. Comparative study on the bioactive components and immune function of three species of sea cucumber. Journal of Fishery Sciences of China. Available online: (accessed on 3 April 2011). Qureshi MN, Kuchekar BS, Logade NA, Haleem MA. 2010. In-vitro antioxidant and in-vivo hepatoprotective activity of Leucas ciliataleaves. Journal of Record of Natural Products. 4:124-130. Rao DS, James DB, Girijavallabhan KG, Muthuswamyan S, Najmuddin DM. 1985. Biotoxicity in Echinoderms. Journal of Marine Biological Association of India. 27(1&2): 88-96. Rasekh RH, Hasan Y, Leila H, Narges B, Kamalinejad M. 2005. Acute and subchronic toxicity of Teucrium polium total extract in rats. Iranian Journal of Pharmaceutical Research. 4: 245-249. Roitt LM. 2002. Essential Immunology. Hongkong: Blackwell Scientific Publications Ltd. Rasyid A. 2012. Identifikasi senyawa metabolit sekunder serta uji aktivitas antibakteri dan antioksidan ekstrak methanol teripang Stichopus hermanii. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis . 4 (2): 360-368. Reeves PG, Forrest HN, Goerge CF. 1993. Committee Report: AIN-93 Purified diets for laboratory rodents: Final Report of the American Institute Ad Hoc Writing Committee on the Reformulation of the AIN-76A Rodent Diet. The Journal of Nutrition. Available online: (downloaded on 20 November 2014). Ren G, Zhao YP, Yang L, Fu CX. 2008. Anti-proliferative effect of clitocine from the mushroom Leucopaxillus giganteus on human cervical cancer HeLa cells by inducing apoptosis. Cancer Letters. 262: 190 – 200. Ridzwan BH, Azizan NA, Zamli Z, Zulkipli FH, Mazlan N, Althunibat OY. 2014. Toxicity effects of water extracts of Holothuria atra Jaeger in mice. Asian Pacific Journal of Tropical Biomedicine. 8(4): 614-617. Ridzwan BH, Hanita MH, Nurzafirah M, Norshuhadaa S, Farah HZ. 2014. Free Fatty Acids Composition in Lipid Extracts of Several Sea Cucumbers Species from Malaysia. International Journal of Bioscience, Biochemistry and Bioinformatics . 4(3): 204-207 Robbins SL, Kumar V. 1995. Buku ajar patologi I (4th ed.)(Staf pengajar laboratorium patologi anatomik FK UI, penerjemah). Jakarta: EGC Rodriguez J, Castro R, Riguera R. 1991. Holothurinosides: New antitumor non sulphated triterpenoid glycosides from the sea cucumber Holothuria forskali. Tetrahedron. 47: 4753 – 4762.
93
Rohimat R, Ita W, Agus T. 2014. Aktivitas antioksidan ekstrak methanol rumput laut coklat (Turbinaria conoides dan Sargassum cristaefolium) yang dikoleksi dari pantai Rancabuaya Garut Jawa Barat. Journal of Marine Research. 3(3). Rui X, Boye JI, Simpson BK, Prasher SO. 2012. Angiotensin I-converting enzyme inhibitory properties of Phaseolus vulgaris bean hydrolysates: Effects of different thermal and enzymatic digestion treatments. Food Research International. (49): 739-746. Ryan JT, Ross RP, Bolton D, Fitzgerald GF, Stanton C. 2011. Bioactive peptide from muscle sources: meat and fish. Nutrients. 3:765-791. Saha S, Rajeswari R, Avik B, Debasis B, Abhijit C. 2011. Elevated levels of redox regulators, membrane-bound globin chains, and cytoskeletal protein fragments in hereditary spherocytosis erythrocyte proteome. European Journal of Haematology. 87(3) :259-266 Saito M, Kunisaki N, Urano N, Kimura S. 2002. Collagen as the Major Edible Component of Sea Cucumber ( Stichopus japonicus ). Journal of Food Science.67(4). Shintawati R, Hernawati, Desi I. 2011. Kadar Lipid Darah Mencit Betina MiddleAgedGalur Swiss Webster setelah Pemberian Jus Buah Pare ( Momordica charantia L.). Jurusan Biologi-Fakultas Pendidikan MIPA Universitas Pendidikan. Indonesia MKB. MKB, 2(43). Silchenko AS, Avilov SA, Kalinin VI, Kalinovsky AI, Dmitrenok PS, Fedorov SN, Stepanov VG, Dong Z, Stonik VA. 2007. Constituents of the sea cucumber Cucumaria okhotensis. Structures of okhotosides B1 – B3 and cytotoxic activities of some glycosides from this species. Journal of Natural Products. 71:351 – 356. Silverstein. 2002. Identification of Organic Compun., 3 rd Edition. New York: John Wiley & Sons Ltd. Singh P, Benjakul S, Maqsood S, Kishimura H. 2011. Isolation and characterization of collagen extracted from the skin of striped catfish ( Pangasianodon Hypophthalmus ). Food Chemistry 124:97-105. Smiley S. 1994. Holothuroidea. Pp. 401 – 471in F. W.Harrison, F.-S. Chia, eds. Echinodermata Vol. 14, Treatise on the microscopic anatomy of invertebrates. Wiley-Liss,New York, New York. Soltani M, Parivar K, Baharara J, Kerachian MA. 2014. Hemolytic and cytotoxic properties of saponin purified from Holothuria leucospilota sea cucumber. Reports of Biochemistry and Molecular Biology. 3(1). Oct 2014. Somfai-Relle S, Schauss AG, Financsek I, Glavits R, Varga T, Szucs Zs. 2005. Acute and subchronic toxicity studies of cryogenically-frozen, cryomilled, Pelodiscus sinensis (Japanese soft-shelled turtle — suppon) powder administered to the rat. Food and Chemical Toxicology. 43 : 575 – 580. Stehle P, Weber S, Frst P. 1996. Parenteral Glycyl-L-Tyrosine Maintains Tyrosine Pools and Sup port Growth and Nitrogen Balance in Phenylalanine-Deficient Rats. The Journal of Nutrition. 126(3): 663-667. Stonik VA, Kalinin VI, Avilov SA. 1999. Toxins from sea cucumbers (holothuroids): chemical structures, properties, taxonomic distribution, biosynthesis and evolution. Journal of Natural Toxins. 8(2):235-248
94
Suckow MA, Weisbroth SH, Franklin CL. 2006. The Laboratory Rat. Amsterdam: Elsevier Press. Svetashev VI, Levin VS, Lam CN, Nga DT. 1991. Lipid and fatty acid composition of holothurians from tropical and temperate waters. Comparative Biochemistry and Physiology. 4:489 – 494. Szabo NJ. 2013. Dietary safety of cycloastragenol from Astragalus spp.: Subchronic toxicity and genotoxicity studies. Food and Chemical Toxicology. 64: 322-334. Tavano OL. 2013. Review: Protein hydrolysis using proteases: an important tool for food biotechnology. Journal of Molecular Catalysis B: Enzymatic. 90:111. Taylor PJ, Bouska RA. 1988. Automated chloride analysis using the computer. Journal of Analytical Methods in Chemistry. 10-14. Tian F, Zhang X, Tong Y, Yi Y, Zhang S, Li L, Sun P, Lin L, Ding J. 2005. PE, a new sulfated saponin from sea cucumber, exhibits anti-angiogenic and anti-tumor activities in vitro and in vivo. Cancer Biology Theraphy. 4: 874 – 882. Tong Y, Zhang X, Tian F, Yi Y, Xu Q, Li L, Tong L, Lin L, Ding J. 2005. Philinopside A, a novel marine-derived compound possessing dual antiangiogenic and anti-tumor effects. International Journal of Cancer . 114: 843 – 853. Toro man del, Garcia-Carreno FL. 2002. Evaluation of the Progress of Protein Hydrolysis: in Current Protocols in Food Analytical Chemistry. Supl 4: B2.2.1-B2.2.14. John Wiley & Sons,Inc. Tuwo A. 2004. Status of Sea Cucumber Fisheries and farming in Indonesia. In Advances in Sea Cucumber Aquaculture and Management ; Lovatelli, A., Conand, C., Purcell, S., Uthicke, S., Hamel, J.-F., Mercier, A., Eds.; FAO Fisheries Technical Paper No. 463; FAO: Rome, Italy, 2004; pp. 49 – 55. Xing ZB., Yao L., Zhang GQ, Zhang XY, Zhang YX, Pang D. 2011. Fangchinoline inhibits breast adenocarcinoma proliferation by inducing apoptosis. Chemical and Pharmaceutical Bulletin. 59(12):1476-1480. Valli VEO, Parry BW. 1993. The Hematopietic System. Di dalam: Jubb KVF, Kennedy PC, Palmer N, Editor. Pathology of Domestic Animals Volume 3. Ed ke-4. California: Academic Press. 234-236. Valentine RC, Valentine DL. 2010. Omega-3 fatty acids and the DHA principle. CRC Press Inc., Boca Raton, FL. pp. 69 – 92. Vermes I, Haanen C, Steffens-Nakken H, Reutelingsperger C. 1995. A novel assay for apoptosis. Flow Cytometric detection of phosphatidylserine expression on early apoptotic cells using fluorescein labelled Annexin V. Journal of Immunological Methods . 184(1):39-51. Wang J, Wang Y, Tang, Q, Chang Y, Zhao Q, Xue C. 2010. Antioxidation activities of low-molecular-weight gelatin hydrolysate isolated from the sea cucumber Stichopus japonicas . Journal of Ocean University of China. 9: 94 – 98. Wen J, Chaoqun H, Sigang F. 2010. Chemical composition and nutritional quality of sea cucumber. Journal of the Science of Food and Agriculture . 90: 2469-2474.
95
Wijesinghe WAJP, Perumal R, Effendy MAW, Charles SV. 2013. Anticancer activity and mediation of apoptosis in human HL-60 leukaemia cells by edible sea cucumber ( Holothuria edulis) extract. Food Chemistry. 139 :326 – 331. Wildman REC. 2001. Handbook of Functional Food and Nutraceuticals. Boca Raton: CRC Press. ISBN 0-8493-8734-5. Williams A, Davies A, Marsh PD, Chambers MA, Hewinson RG. 2000. Comparison of the protective efficacy of Bacille Calmette-Gue´rin vaccination against aerosol challenge with Mycobacterium tuberculosis and Mycobacterium bovis. Clinical Infectious Diseases. 30:299 – 301 Woo JW, Yu S, Cho S, Lee YB, Kim SB. 2008. Extraction optimization and properties of collagen from yellow fin tuna ( Thunnus albacores ) dorsal skin. Food Hydrocolloids. 22(5): 879-887 Zakaria FR. 2001. Pangan dan Pencegahan Kanker. Jurnal Teknologi Industri Pangan. 12: 171-177. Zakaria FR. 2015. Pangan Nabati, Utuh dan Fungsional sebagai Penyusun Diet Sehat. Bogor. Bogor: IPB Press. Zhao F, Zhuang P, Song C, Shi ZH, Zhang LZ. 2010. Amino acid and fatty acid compositions and nutritional quality of muscle in the pomfret Pampus punctatissimus. Food Chemistry. 118:224 – 227. Zhou X, Wang C, Jiang A. 2012. Antioxidant peptides isolated from sea Stichopus japonicus . European Food Research and cucumber Technology. 234: 441-447. Zhong Y, Khan MA, Shahidi F. 2007. Compositional characteristics and antioxidant properties of fresh and processed sea cucumber ( Cucumaria frondosa). Journal of Agricultural and Food Chemistry. 55:1188-192. Zhu BW, Dong XP, Zhou DY, Gao Y, Yang JF, Lie DM, Zhao XK, Ren TT, Ye WX, Tan H, Wu HT, Yu C. 2012. Physichocemical properties and radical scavenging capacities of pepsin-solubilized collagen from sea cucumber Stichopus japonicus . Food Hydrocolloid s .182-188 Zuraini A, Somchit MN, Solihah MH, Goh YM, Arifah AK, Zakaria MS. 2006. Fatty acid and amino acid composition of three local Malaysian Channa spp. fish. Food Chemistry. 97:674 – 678. .
96
LAMPIRAN
97
Lampiran 1
Perhitungan konversi dosis ekstrak air tepung teripang (Stichopus variegatus)
Dosis sediaan ekstrak tepung teripang yang digunakan adalah 2.5 gram Faktor konversi dari mencit ke manusia adalah 386.7 (per 50 gram berat badan manusia) Dosis maksimal untuk 50 gram berat badan manusia setelah konversi yaitu : 386.7 x 2.5 gram = 966.75 gram per 50 gram berat badan manusia Jadi, konsumsi tepung teripang pada manusia sebanyak 966.75 gram atau sama dengan 1000 gram termasuk aman.
98
Lampiran 2. Parameter tingkah laku dan perubahan fisik No 1
Bagian tubuh/organ Keaktifan terhadap rangsang
2
Bentuk feses
3
Warna feses
4 5
Warna bulu Bulu rontok
6
Warna mata
Deskripsi Diberi makan : mendekat Botol air minum diambil, 15 menit kemudian diberikan lagi : mendekat Tutup kandang dibunyikan dengan pensil : terbangun/terkejut Bulat, panjang (lonjong), dengan panjang kirakira 0.3 – 0.7 cm, dengan diameter 1- 2 mm Hitam, mengkilat, sedikit berminyak dan tidak lengket Putih bersih dan sedikit mengkilat Bulu rontok akan terlihat dari keadaan di daerah tertentu sedemikian rupa sehingga kulit tikus akan kelihatan lebih jelas Berwarna merah jernih, sebagian berwarna merah menyala dan sebagian berwarna merah agak pucat