DR. WIDYA | DR. YOLINA | DR. ORYZA | DR. REZA DR. RESTHIE | DR. CEMARA | DR. REYNALDO
OFFICE ADDRESS: Jl padang no 5, manggarai, setiabudi, jakarta selatan (belakang pasaraya manggarai) phone number : 021 8317064 pin BB D3506D3E / 5F35C3C2 WA 081380385694 / 081314412212
Medan : Jl. Setiabudi no. 65 G, medan Phone number : 061 8229229 Pin BB : 24BF7CD2 Www.Optimaprep.Com
I L MU P E N YA K I T DALAM
1. Tuberkulosis • Tuberkulosis primer – M. tb saluran napas sarang/afek primer di bagian paru mana pun saluran getah bening kgb hilus (limfadenitis regional). – Dapat sembuh tanpa bekas atau terdapat garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus. – Morfologi: radang puth keabuan, perkejuan sental.
• Tuberkulosis postprimer/reaktivasi – Muncul bertahun-tahun setelah tb primer, di segmen apikal lobus superior atau lobus inferior. – Dapat sembuh tanpa bekas atau sembuh dengan jaringan fibrosis, pengapuran, atau kavitas yang menciut & terlihat seperti bintang. – Morfologi: fokus putih keabuan-kuning berbatas tegas, perkejuan sentral, & fbrosis perifer.
• •
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpuan Dokter Paru Indonesia. 2006 Robbins & Cotran pathologic basis of disease. 8th ed.
1. Tuberkulosis Gejala Klinis
Gejala respiratori: batuk ≥2 minggu, batuk darah, sesak napas, nyeri dada. Gejala sistemik: demam, malaise, keringat malam, turun berat badan
PF
Kelainan paru di lobus superior (apeks & segmen posterior), apeks lobus inferior: suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda penarikan paru, diafragma, dan mediastinum
Roentgen
Lesi aktif: Bayangan berawan/nodular di apeks & posterior lobus superior, segmen superior lobus inferior, Kavitas, Bayangan bercak milier, efusi pleura. Lesi inaktif: fibrotik, kalsifikasi, schwarte/penebalan pleura.
Tuberkulosis: pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. PDPI: 2006.
1. Tuberkulosis OAT kategori-1: 2(HRZE) / 4(HR)3 – Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis. – Pasien TB paru terdiagnosis klinis – Pasien TB ekstra paru Kategori -2: 2(HRZE)S / (HRZE) / 5(HR)3E3) – Pasien kambuh – Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori 1 sebelumnya – Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up) • Pemberian sisipan tidak diperlukan lagi pada pedoman TB terbaru.
Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis. 2014.
1. Tuberkulosis
Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis. 2014.
1. Tuberkulosis
Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis. 2014.
Pemantauan Tatalaksana TB
2. Limfadenitis • Lymphadenitis is the inflammation or enlargement of a lymph node. • Patients with a clinical history of any of the following may be at risk for developing lymphadenitis: – Symptoms of an upper respiratory tract infection, sore throat, earache, coryza, conjunctivitis, or impetigo – Fever, irritability, or anorexia – Contact with animals, especially kittens or livestock – Recent dental care or poor dental health – Recent use of hydantoin and/or mesantoin
2. Limfadenitis Bakterial • Penyebab tersering: Staphylococcus aureus dan Streptococcus grup A Tatalaksana • Antibiotik oral/ intravena tergantung derjata penyakit. • Jika tidak ada perbaikan dapat dilakukan USG/ CTScan • Surgical excision, jika abses terbentuk
Tanda & Gejala • Demam, nyeri tekan, fluktuasi, dan tanda radang • Limfadenopati regional • Dapat disertai nyeri telinga atau tenggorok • Berlangsung akut <7hari • Lab: leukositosis, kultur resistensi jika diperlukan.
3. Nyeri Sendi Gout: – Transient attacks of acute arthritis initiated by crystallization of urates within & about joints, – leading eventually to chronic gouty arthritis & the appearance of tophi. – Tophi: large aggregates of urate crystals & the surrounding inflammatory reaction.
Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed. McGraw-Hill; 2011. Robbins’ pathologic basis of disease. 2007.
Acute Gout
Tophy in chronic gout Current diagnosis & treatment in rheumatology. 2nd ed. McGraw-Hill; 2007.
Kriteria Klasifikasi Gout ACR/EULAR 2015 Step
Kategori
Langkah 1: Kriteria Syarat (Harus dipenuhi agar kriteria dapat digunakan)
Terdapat minimal 1 episode bengkak, atau nyeri di sendi perifer atau bursa
Langkah 2: Kriteria Cukup (Apabila ditemukan, diklasifikasikan sebagai gout tanpa harus memenuhi kriteria di bawah
Ditemukannya kristal MSU di sendi yang sakit atau bursa (cairan synovial) atau tofus
Langkah 3: Kriteria (Digunakan jika kriteria cukup tidak dipenuhi
Klasifikasi gout jika skor > 8 Skor maksimal 23
Kriteria Klasifikasi Gout ACR/EULAR 2015 Kriteria Klinis
Kategori
Pola keterlibatan sendi atau bursa selama periode simptomatik
Pergelangan kaki atau midfoot (episode 1 monoartikuler atau oligoartikuler tanpa keterlibatan sendi MTP 1)
Karakteristik episode simptomatik: - Eritem pada sendi yang sakit - Tidak dapat disentuh atau ditekan pada sendi yg sakit - Kesulitan berjalan atau tidak mampu menggunakan sendi yg sakit
Keterlibatan sendi MTP 1
2
Karakteristik yg ditemukan: 1 karakteristik 2 karakteristik 3 karakteristik
1 2 3
Rentang episode (terdapat >2 hal berikut) - Onset nyeri maksimal <24 jam Satu episode tipikal - Resolusi gejala <14 hari Episode tipikal berulang - Terdapat resolusi komplit diantara episode Terdapat tofus
Skor
Ada
1 2
4
Kriteria Klasifikasi Gout ACR/EULAR 2015 Kriteria Klinis Kriteria laboratoris Kadar asam urat serum
Analisis cairan synovial pada sendi atau bursa yang sakit Kriteria pencitraan Bukti pencitraan terdapat deposisi urat di sendi atau bursa yang sakit atau gambaran double contour pada USG atau deposisi urat dengan dual-energy computed tomography Bukti imejing kerusakan sendi terkait gout: ditemukannya minimal 1 gambaran erosi pada tangan atau kaki pada radiografi konvensional
Kategori
Skor
<4 mg/dL 6-<8 mg/dL 8-<10 mg/dL >10 mg/dL
-4 2 3 4
MSU negatif
-2
Ada
4
Ada
4
• Recommended first-line options for acute flare are colchicine (within 12 hours of flare onset) at a loading dose of 1 mg followed 1 hour later by 0.5 mg on day 1 • and/or an NSAID (plus a proton pump inhibitor if appropriate), oral corticosteroids (30–35 mg/day of equivalent prednisolone for 3–5 days) • or articular aspiration and injection of corticosteroids. • The task force does not prioritise between these options because of no direct comparative evidence • Colchicine and NSAIDs should be avoided in patients with severe renal impairment. Colchicine should not be given to patients receiving strong Pglycoprotein and/or CYP3A4 inhibitors such as cyclosporin or clarithromycin.
• Pada sebuah trial menunjukkan natrium diklofenak lebih superior dibandingkan dengan meloxicam pada artritis gout akut.
Indikasi Urate Lowering Therapy • ULT is indicated in all patients with – recurrent flare (≥2/year), – tophi, urate arthropathy and/or renal stones.
• Initiation of ULT is recommended close to the time of first diagnosis in patients – presenting at a young age (<40 years), – very high serum uric acid level (>8 mg/dL; 480 mmol/L) – Comorbidities (renal impairment, hypertension, ischaemic heart disease, heart failure)
4. Sepsis Guideline 2016
• SOFA Criteria > 2 define as organ dysfunction
4. Sepsis 2016
4. Sepsis 2016
4. Perbedaan kriteria sepsis lama dan baru Terminologi
Sepsis Kriteria Lama
Sepsis 2016
Sepsis
SIRS disertai dengan infeksi fokal
Disfungsi organ akibat infeksi (SOFA > 2)
Sepsis berat
Sepsis dengan disfungsi organ
Tidak ada
Syok sepsis
Sepsis dengan hipotensi Sepsis yang walaupun dengan membutuhkan pemberian cairan adekuat vasopressor untuk mempertahankan MAP>65 dan laktat >2 mmol/L
5. Sepsis
6. Diare Berdarah • IBD: a chronic condition resulting from inappropriate mucosal immune activation. • Ulcerative colitis – a severe ulcerating inflammatory disease that is limited to the colon and rectum and extends only into the mucosa and submucosa.
• Crohn disease – Also been referred to as regional enteritis (because of frequent ileal involvement) may involve any area of the GI tract and is typically transmural.
Robbins & Kumar Pathologic basis of disease. 2010.
6. Diare Berdarah
6. Diare Berdarah
6. IBD
6. Diare Berdarah Diagnosis
Crohn disease Colitis ulcerative
Karakteristik
Diare tidak berdarah; nyeri perut tumpul pada kuadran kanan bawah, dipicu atau diperparah seteah makan, penurunan BB Diare dengan atau tanpa darah di feses. Bila inflamasi mengenai rektum, darah terlihat melapisi feses, tnesmus, urgensi, nyeri rektal, BAB lendir
Fauci et al. Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed. McGraw-Hill; 2012.
6. Inflammatory Bowel Disease • Faktor risiko kanker pada kolitis ulseratif – kronik – meluas – Riwayat Ca pada keluarga – Kolangitis sklerosis primer – Striktur kolom – Adanya pseudopolip pada kolonoskopi Fauci et al. Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed. McGraw-Hill; 2012.
6. Diare Berdarah
IBD:
Respon imun >>> terhadap flora normal Defek barrier epitel Diare berdarah
Crohn’s: Dapat menyebabkan fistula karena ulkus transmural
String sign
Kolitis ulseratif
Crohn’s disease
Inflamasi
Mukosa
Transmural
Luas area
Rectum proksimal Continuous 50% proctosigmoiditis, 30% left-sided colitis, 20% pancolitis
Mulut – anus Skip lesion
Patologi
Mukosa rapuh Ulkus difus Pseudopolip
Mukosa tidak rapuh Ulkus aphthous Cobblestone, fisura
Barium enema
Tepi kabur (granularitas mukosa halus) Haustra kolon hilang “lead pipe”
Lesi tajam, cobblestone, ulkus dan fisura panjang, “string sign”
Mikroskopik
Inflamasi superfisial PMN Abses kripti
Inflamasi transmural Limfosit Granuloma non-kaseosa Fibrosis, ulkus, fisura
Klasifikasi IBD – Kolitis Ulseratif
Klasifikasi IBD – Crohn’s disease
WGO Guideline on IBD Treatment Distal UC Mild
Rectal or oral 5-ASA
Extensive UC Topical and oral 5-ASA
CD Sulfasalazine or other 5ASA for colonic disease Metronidazole or ciprofloxacin
Rectal CS
BUD for ileal and/or right colon Moderate
Rectal or oral 5-ASA Rectal CS
Severe
Rectal and oral 5-ASA Oral of IV CS Rectal CS
Oral CS Topical and oral 5-ASA AZA or 6-MP Anti-TNF
Oral CS AZA or 6-MP MTX Anti-TF
IV CS IV Cyclosporine or IV infliximab
Oral or IV CS MTX IM or SC IV infliximab or SC adalimumab or SC certolizumab
World Gastroenterology Organization Global Guidelines. IBD. 2015
WGO Guideline on IBD Treatment Distal UC Corticosteroid AZA or 6-MP or -resistant or preferably anti-TNF dependent or combination AZA/6-MP + anti-TNF
Extensive UC
CD
AZA or 6-MP or antiTNF or preferably combination AZA/6MP + anti-TNF
AZA or 6-MP or anti-TNF or preferably combination AZA/6-MP + anti-TNF
Vedolizumab therapy Vedolizumab therapy is is another alternative another alternative in in moderate/severe moderate/severe disease disease Quiescent
Perianal
Oral or rectal 5-ASA
Oral 5-ASA
Oral AZA or 6-MP
Oral AZA or 6-MP
AZA or 6-MP or MTX
Oral antibiotics AZA or 6-MP IV infliximab SC adalimumab
World Gastroenterology Organization Global Guidelines. IBD. 2015
7. Efusi Pleura
7. Efusi Pleura • Perbedaan eksudat dengan transudat – Tes rivalta: prinsipnya, cairan yang mengandung protein akan mengendap pada pH 4-5 Transudat
Eksudat
Rivalta
-
+
Kriteria light 1/lebih: LDH cairan pleura/LDHserum >0,6 LDH cairan >2/3 LDH serum Protein pleura/Protein serum >0,5
-
+
7. Efusi Pleura Volume cairan pleura normal < 30 mL Terbentuk dari ultrafiltrasi plasma dari kapiler di pleura viseral Fungsi: meminimalkan gesekan antar-pleura
1.Strasinger SK, Di Lorenzo MS. Serous fluid. Urinalysis and body fluids. 5th ed. Philadelphia: F.A. Davis Company; 2008. p.221-32. 2.Light RW. Physiology of the pleural space. In: Light RW, ed. Pleural diseases. 6th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2013:8-17. 3.Mundt LA, Shanahan K. Serous body fluid. Graff’s Text book of urinalysis and body fluids. 2nd ed. Philadelphia: Lippincott Willams & Wilkins; 2011. p.241-52.
7. Efusi Pleura Tekanan hidrostatik kapiler mendorong cairan ke ekstravaskular Permeabilitas kapiler menjaga keseimbangan pertukaran zat intra-ekstavaskular Tekanan onkotik menjaga cairan tetap di dalam intravaskular Saluran limfatik, tempat aliran molekul besar yang tidak bisa masuk ke kapiler
1.Strasinger SK, Di Loren zo MS. Serous flu id. Urinalysis and body fluids. 5th ed. Ph iladelphia: F.A. Davis Company; 2008. p.221-32. 2.Light RW. Physiology of the pleural space. In: Light RW, ed. Pleural diseases. 6th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2013:8-17.
7. Efusi Pleura Tekanan hidrostatik kapiler Contoh: CHF Permeabilitas kapiler Contoh: inflamasi/infeksi
Aliran Limfatik Contoh: obstruksi (keganasan), destruksi (radioterapi)
Tekanan onkotik
Contoh: hipoalbuminemia 1.Strasinger SK, Di Lorenzo MS. Serous fluid. Urinalysis and body fluids. 5th ed. Philadelphia: F.A. Davis Company; 2008. p.221-32. 2.Light RW. Physiology of the pleural space. In: Light RW, ed. Pleural diseases. 6th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2013:8-17..
7. Efusi Pleura
7. Efusi Pleura
•
Classical radiologic signs are consistent with a dependent opacity with lateral upward sloping of a meniscus-shaped contour. The diaphragmatic contour is partially or completely obliterated, depending on the amount of collected fluid (silhouette sign). In case of massive effusion, all the hemi -thorax can be filled and mediastinum can be shifted contra laterally.
7. Efusi Pleura
• Garis Ellis-Damoiseau garis lengkung konveks dengan puncak pada garis aksilaris media • Segitiga Garland daerah timpani yang dibatasi vertebrae torakalis, garis Ellis-Damoiseau dan garis horizontal yang melalui puncak cairan • Segitiga Grocco daerah redup kontralateral yang dibatasi garis vertebrae, perpanjangan garis Ellis-Damoiseau ke kontralateral dan batas paru belakang
8. Syok
8. Syok Kardiogenik • Gangguan fungsi ventrikel kiri gangguan perfusi oksigen ke jaringan • Disebabkan oleh infark miokard akut • Hilangnya >40% jaringan otot pada ventrikel kiri
8. Syok Kardiogenik
9. Atelektasis Keadaan alveoli paru sebagian / seluruhnya tidak terisi udara / kolaps, akibat hambatan aliran udara yang melewati bronkhus dan percabangannya.
9. Atelektasis 1. Penyebab intrinsik - Sumbatan dalam lumen bronkhus 2. Penyebab Ekstrinsik - Penekanan bronkhus dari luar lumen -Tekanan Ekstra Pulmonal - Paralisis gerakan pernapasan -Hambatan gerakan pernapasan
Pemeriksaan Fisik Atelektasis •
Inspeksi : – Gerak napas tertinggal, ICS menyempit ( di sisi yang mengalami atelektasis )
•
Palpasi : – Gerak napas tertinggal, Fremitus raba menurun, ICS menyempit ( di sisi atelektasis )
•
Perkusi : – Redup atau normal , bila terjadi emphysema kompensata ( batas mediastinum bergeser ke sisi atelektasis ), letak diafragma di sisi atelektasis meninggi .
•
Auskultasi : – Suara napas & Suara percakapan menurun ( di sisi atelektasis )
10. Lobus hepar
•
Pada tampakan anterior, yang mungkin teraba adalah lobus hepar kanan dan kiri
• Lobus caudatus dan quadratus pada tampakan posterior hepar
11. EFEK SAMPING OAT
11. Efek samping OAT
12. Penyakit Paru • Definisi PPOK – Ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel – Bersifat progresif & berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun/berbahaya – Disertai efek ekstraparu yang berkontribusi terhadap derajat penyakit
• Karakteristik hambatan aliran udara pada PPOK disebabkan oleh gabungan antara obstruksi saluran napas kecil (obstruksi bronkiolitis) & obstruksi parenkim (emfisema) yang bervariasi pada setiap individu. • Bronkitis kronik & emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK karena: – Emfisema merupakan diagnosis patologi (pembesaran jalan napas distal) – Bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis (batuk berdahak selama 3 bulan berturut-turut, dalam 2 tahun)
12. Penyakit Paru A. Gambaran Klinis PPOK a. Anamnesis - Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan - Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja - Riwayat penyakit emfisema pada keluarga - Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara - Batuk berulang dengan atau tanpa dahak - Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi b. Pemeriksaan fisis (PPOK dini umumnya tidak ada kelainan) • Inspeksi - Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu) - Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding) - Penggunaan otot bantu napas - Hipertropi otot bantu napas - Pelebaran sela iga - Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher dan edema tungkai
1. PPOK: diagnosis dan penatalaksanaan. PDPI 2011
12. Penyakit Paru Pemeriksaan fisis PPOK • Palpasi: pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar • Perkusi: pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah • Auskultasi - suara napas vesikuler normal, atau melemah - terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa - ekspirasi memanjang - bunyi jantung terdengar jauh, gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher dan edema tungkai
1. PPOK: diagnosis dan penatalaksanaan. PDPI 2011
12. Penyakit Paru Spirometri penyakit obstruktif paru: • Forced expiratory volume/FEV1 ↓ • Vital capacity ↓ • Hiperinflasi mengakibatkan: Normal COPD – Residual volume ↑ – Functional residual Nilaicapacity FEV1 pascabronkodilator <80% prediksi memastikan ada ↑
hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel. 1. 2. 3. 4.
Color Atlas of Patophysiology. 1st ed. Thieme: 2000. Current Diagnosis & Treatment in Pulmonary Medicine. Lange: 2003. Murray & Nadel’s Textbook of respiratory medicine. 4th ed. Elsevier: 2005. PPOK: diagnosis dan penatalaksanaan. PDPI 2011
12. Penyakit Paru
12. Penyakit Paru • Chest physiotherapy – Optimize the effects of gravity and external manipulation of the thorax by postural drainage, percussion, vibration and cough. – A mechanical percussor may also be used to transmit vibrations to lung tissues.
• Indication – Any patient whose cough alone (voluntary or induced) cannot provide adequate lung clearance or the mucociliary escalator malfunctions. – Bronchiectasis, cystic fibrosis, COPD, bronchitis, lung abscess.
12.Chest Physiotherapy • Turning – rotation of the body about its long axis
• Postural Drainage – positioning of the patient and bed in such a way as to have the carina inferior to a lung segment to be drained.
• Percussion – manual rhythmic striking of the thorax over a lung segment which is being drained.
• Vibration – placement of hands along the ribs in the direction of expiratory movement of the chest.
• Directed cough
Indication of chest physiotherapy • Excessive sputum production • Reduced effectiveness of cough • History of success in treating a pulmonary problem with CPT • Adventitious breath sounds suggestive of secretions in the airways which persist after coughing • Change in vital signs • Abnormal chest radiograph suggesting atelectasis, mucus plugging, or infiltrates • Significant deterioration in the indices of gas exchange from baseline status
Postural drainage indication • Evidence or suggestion of difficulty with secretion clearance • Adult having difficulty expectorating sputum volume greater than approximately 25 ml/day • Evidence or suggestion of retained secretions in a patient with an artificial airway • Presence of atelectasis caused by or suspected of being caused by mucus plugging • Diagnosis of a disease with altered rheology such as cystic fibrosis, bronchiectasis, or cavitary lung disease • Presence of a foreign body in the airway
Postural drainage
Percussion/vibration indication • Sputum volume or consistency suggesting a need for additional manipulation (percussion and/or vibration) to assist movement of sputum in a patient receiving postural drainage
12. Contraindication to chest percussion • Acute medical/surgical emergencies, poor or unstable cardiovascular disorders. • Fragile, fractured ribs or osteoporosis, or extremely unstable chest wall. • Fresh burns, skin grafts or infection on thorax. • Acute bronchospasm, untreated. • Incision or trauma to chest or upper abdomen. • Recent spinal fusion or surgery. • Pulmonary emboli.
• Temporary transvenous pacemaker Resectable pulmonary tumors (percussion usually not done over tumor) • Pain preventing patient's cooperation. • Extraparenchymal complications (pneumothorax, pleural effusion, empyema). • Subcutaneous emphysema. • Untreated pneumothorax. • Acute lung abscess
Directed cough • Forced Expiratory Technique (FET), also known as "huff coughing," consists of one or two huffs (forced expirations) from mid-to-low lung volumes with the glottis open, • (1) followed by a period of relaxed, controlled diaphragmatic breathing. – The process is repeated until maximal bronchial clearance is obtained, and can be reinforced by self-compression of the chest wall using a brisk adduction movement of the upper arms.
• (2) Manually assisted cough is the external application of mechanical pressure to the epigastric region or thoracic cage coordinated with forced exhalation.
13. Aspirin • AHA/ACCF Secondary Prevention and Risk Reduction Therapy for Patients With Coronary and Other Atherosclerotic Vascular Disease: 2011 Update: – Aspirin 75–162 mg daily is recommended in all patients with coronary artery disease unless contraindicated. (Level of Evidence: A) • The Role of Aspirin in the Prevention of Cardiovascular Disease. Clin Med Res. 2014 Dec; 12(3-4): 147–154. – all guidelines are clear that aspirin is inappropriate for patients with aspirin intolerance and those at increased risk of gastrointestinal bleeding or hemorrhagic stroke, which is usually evident from a previous history of such conditions. – These aspirin contraindications are relatively uncommon, however, and the benefits of CVD risk reduction typically outweigh the bleeding risks for most patients at high CVD risk.
13. Aspirin
13. Aspirin • Aspirin can cause gastrointestinal ulcers to form and cause pre-existing ulcers to bleed. • Clinicians have therefore withheld aspirin at the time of acute gastrointestinal bleeding. • The antiplatelet effects of aspirin persist for at least 7 days after discontinuation. • People with acute upper gastrointestinal bleeding who are already taking low-dose aspirin to prevent further vascular events should be advised to continue taking aspirin if their bleeding has stabilised so that the benefit of taking aspirin can be maintained.
14. Caries-Pulpitis-NecrosisPeriodontitis-Abscess • Karies mengakibatkan bakteri dapat menginfeksi pulpa pulpitis (nyeri dengan tanda vital +). • Nekrosis/gangren: nonvital & asimtomatik, kecuali jika kanal terinfeksi mengakibatkan periodontitis apikal nyeri pada perkusi/menggigit, tes vital (-) • Abses apikal akut: – Reaksi inflamasi pada infeksi pulpa & nekrosis dengan awitan cepat, nyeri spontan, nyeri tekan yang ekstrim, pembentukan pus & pembengkakan jaringan sekitar. Cawson’s essentials of oral pathology and oral medicine. 7th ed. 2002.
14. Caries-Pulpitis-NecrosisPeriodontitis-Abscess • Acute pulpitis – In the early stages the tooth is hypersensitive. Very cold or hot food causes a stab of pain which stops as soon as the irritant is removed. – As inflammation progresses, pain becomes more persistent and there may be prolonged attacks of toothache. The pain may start spontaneously, often when the patient is trying to get to sleep. Cawson’s essentials of oral pathology and oral medicine. 7th ed. 2002.
14. Caries-Pulpitis-NecrosisPeriodontitis-Abscess • Periodontitis apikal akut – The patient may give a history of pain due to previous pulpitis. – Hot or cold substances do not cause pain in the tooth. – As inflammation becomes more severe and pus starts to form, pain becomes intense and throbbing in character. – There is often a large carious cavity or filling in the affected tooth, or it may be discoloured due to death of the pulp earlier. – At this stage the gingiva over the root is red and tender, but there is no swelling while inflammation is confined within the bone. Cawson’s essentials of oral pathology and oral medicine. 7th ed. 2002.
15. HIV
15. HIV
Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed. McGraw-Hill; 2011.
15. HIV • 1. Acute HIV syndrome:
– Experienced in 50–70% of individuals with HIV infection – acute clinical syndrome occurs 3–6 weeks after primary infection. – The typical clinical findings occur along with a burst of plasma viremia.
Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed. McGraw-Hill; 2011.
15. HIV • 2. The Asymptomatic Stage—Clinical Latency – The length of time from initial infection to the development of clinical disease. Median time for untreated patients is 10 years. – Active virus replication is ongoing and progressive during this asymptomatic period. – The rate of disease progression is directly correlated with HIV RNA levels. • Patients with high levels of HIV RNA in plasma progress to symptomatic disease faster than do patients with low levels of HIV RNA. • During the asymptomatic period of HIV infection, the average rate of CD4+ T cell decline is 50/L per year. • When the CD4+ T cell count falls to <200/L, the resulting state of immunodeficiency is severe enough to place the patient at high risk for opportunistic infection and neoplasms and, hence, for clinically apparent disease. Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed. McGraw-Hill; 2011.
15. HIV 3. Symptomatic Disease • Symptoms of HIV disease can appear at any time during the course of HIV infection. •
The more severe and lifethreatening complications of HIV infection occur in patients with CD4+ T cell counts <200/L.
•
AIDS: – HIV infection & a CD4+ T cell count <200/L or – HIV infection who develops one of the HIV-associated diseases considered to be indicative of a severe defect in cell-mediated immunity (category C)
Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed. McGraw-Hill; 2011.
15. HIV • AIDS: – HIV infection & a CD4+ T cell count <200/L or – HIV infection who develops one of the HIV-associated diseases considered to be indicative of a severe defect in cellmediated immunity (category C)
Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed. McGraw-Hill; 2011.
16. PRINSIP PENGELOLAAN DM TIPE 2 • Pola hidup sehat – Terapi nutrisi medis – Aktivitas fisik
• Intervensi farmakologis – Obat antihiperglikemia oral dan/ atau suntikan
Obat Antihiperglikemia Oral
Tatalaksana DM tipe 2 (Tanpa HBA1C)
Diabetes Melitus • Modifikasi Gaya hidup
• Mulai monoterapi oral
• Modifikasi Gaya hidup • Monoterapi oral obat golongan (a)/(b)
• Kombinasi 2 obat dengan mekanisme kerja yang berbeda
HbA1c <7% HbA1c 7-9%
HbA1c ≥9%
• Diberikan Kombinasi 2 obat lini pertama dan obat lain dengan mekanisme kerja yang berbeda
HbA1c ≥10% atau • Metformin + insulin basal ± prandial atau GDS>300 dgn • Metformin + insulin Gejala basal + GLP-1 RA metabolik
Evaluasi 3 bulan, bila HbA1c >7%
HbA1c> 7%
Insulin basal plus/bolus atau premix
Perkeni. 2015
• Kombinasi 3 obat
Tidak mencapai target
a. Obat efek samping minimal/ keuntungan lebih banyak • Metformin • Alfa glukosidase inhibitor • Dipeptidil peptidase 4inhibitor • Agonis glucagone like peptide-1
b. Obat yang harus digunakan dengan hati-hati • Sulfonil urea • Glinid • Tiazolidinedion • SGLT 2-i
Kombinasi 3 obat a. Metformin + SU + TZD atau a. DPP-4i b. SGLT-2i c. GLP-1 RA d. Insulin basal b. Metformin + TZD + SU atau a. DPP-4i b. SGLT-2i c. GLP-1 RA d. Insulin basal c. Metformin + DPP 4i + SU atau a. TZD b. SGLT-2i c. Insulin basal d. Metformin + SGLT 2i +SU a. TZD b. DPP-4i c. Insulin basal e. Metformin + GLP 1-RA + SU a. TZD b. Insulin basal f. Metformin + insulin basal +TZD atau a. DPP-4i b. SGLT-2i c. GLP-1 RA
Sasaran Pengendalian DM (Perkeni 2015)
17. GERD • Definition: – a pathologic condition of symptoms & injury to the esophagus caused by percolation of gastric or gastroduodenal contents into the esophagus associated with ineffective clearance & defective gastroesophageal barrier.
• Symptoms: – Heartburn; midline retrosternal burning sensation that radiates to the throat, occasionally to the intrascapular region. – Others: regurgitation, dysphagia, regurgitation of excessive saliva. GI-Liver secrets
GERD
• Terdapat kelemahan pada sfingter esofagus bawah refluks
Diagnosis GERD • GERD-questionnaire: developed to assist establishing the diagnosis of GERD and measuring response to therapy. • Upper gastrointestinal endocopy (UGIE): is considered the gold standard for establishing the diagnosis GERD with erosive esophagitis. • 24-hour pH-metry Test: Evaluating GERD patients who do not respose to PPI therapy. • PPI test: can be performed to establish the diagnosis in patients with typical symptoms and without alarm signs or risk for Barret’s esophagus. National Consensus on the Management of Gastroesophageal Reflux Disease in Indonesia, 2014.
Tatalakana GERD – Non farmakologis • Modifying overweight and elevating head around 15-20 cm during sleep • Smoking cessation • Stop drinking • Reducing food intake and medications that stimulate gastric acid and causing reflux • Less satiating feeding and last evening meal at least 3 hours before bedtime National Consensus on the Management of Gastroesophageal Reflux Disease in Indonesia, 2014.
Tatalaksana GERD - Farmakologis
National Consensus on the Management of Gastroesophageal Reflux Disease in Indonesia, 2014.
Algoritma Tatalaksana GERD Di Layanan Primer A-L-A-R-M-S symptoms: Anaemia (iron deficiency) Loss of weight Anorexia Recent onset of progressive symptoms Melaena / haematemesis Swallowing difficulty + onset >55 y.o.
National Consensus on the Management of Gastroesophageal Reflux Disease in Indonesia, 2014.
18. Tatalaksana Hipertensi
Antihipertensi – Compelling Indications (JNC VII)
JNC VIII
Hipertensi Pada DM JNC VIII
Hipertensi Pada DM • JNC VIII
Hipertensi Pada DM Hipertensi pada DM, PERKENI 2011: • Indikasi pengobatan : – Bila TD sistolik >130 mmHg dan/atau TD diastolik >80 mmHg.
• Target tekanan darah: – Tekanan darah <130/80 mmHg – Bila disertai proteinuria ≥1gram /24 jam: < 125/75 mmHg
• ACE-I, ARB, & antagonis kalsium golongan non-dihidropiridin dapat memperbaiki mikroalbuminuria. • Pengobatan hipertensi harus diteruskan walaupun sasaran sudah tercapai. • Bila tekanan darah terkendali, setelah satu tahun dapat dicoba menurunkan dosis secara bertahap.
19. Tumor Marker
20. Diagnosis TB
20. Kalsifikasi Dan Tatalaksana TB Paru Tipe Pasien
Definisi
Baru
Belum pernah/sudah pernah OAT <1 bulan
Kambuh/relaps
Pernah sembuh atau OAT lengkap, kembali BTA +
Defaulted/drop out
OAT >1 bulan, tidak mengambil obat ≥2 bulan
Gagal
Telah berobat tapi BTA tetap + pada akhir bulan ke-5
Kronik
BTA + dengan OAT kategori 2
Bekas TB
BTA -, Ro: tidak aktif Paduan Obat
Tipe Pasien
Kategori 1: 2RHZE/4(RH)3
Pasien baru, TB paru BTA (-), TB ekstra paru.
Kategori 2 2RHZES/RHZE/5(RHE)3
Pasien kambuh, Pasien gagal
Kategori anak 2RHZ/4RH
Anak dengan skor TB >6
Profilaksis anak 6INH 5-10 mg/kgBB
Anak balita/ HIV dengan kontak penderita TB BTA (+)
21. Fraktur Terbuka • Dimana terjadi hubungan dengan lingkungan luar melalui kulit. • Terjadi kontaminasi bakteri komplikasi infeksi • Luka pada kulit : – Tusukan tulang tajam keluar menembus kulit (from within) – Dari luar misal oleh peluru atau trauma langsung (from without)
Tahap –Tahap Pengobatan Fraktur Terbuka 1. 2.
3. 4.
Pembersihan luka irigasi dengan NaCl fisiologis secara mekanis mengeluarkan benda asing yg melekat. Eksisi jaringan mati dan tersangka mati (debrideman) pada kulit, jaringan subkutaneus, lemak, fasia otot dan fragmen tulang yg lepas. Pengobatan fraktur itu sendirifiksasi interna atau eksterna Penutupan kulit – –
5.
Pemberian antibakteri –
6.
Jika diobati dalam periode emas (6 – 7 jam) sebaiknya kulit ditutup kulit tegang tidak dilakukan
Antibiotik diberikan sebelum, pada saat dan sesudah operasi
Tetanus
Koval, Kenneth J.; Zuckerman, Joseph D. Handbook of Fractures, 3rd Edition
Choice of fixation • several options to stabilize an open fracture – – – – – –
splinting, casting, and traction external fixation, plating, and intramedullary nailing
• No consensus of what method to use • Surgeons must make judgment of which method is appropriate
Koval, Kenneth J.; Zuckerman, Joseph D. Handbook of Fractures, 3rd Edition
Komplikasi fraktur • Dapat terjadi spontan, iatrogenik atau tindakan pengobatan • Tiga faktor utama: – penekanan lokal – traksi yg berlebihan – infeksi
1.
Komplikasi pada kulit – lesi akibat penekanan – ulserasi akibat dekubitus – ulserasi akibat pemasangan gips
2.
Komplikasi pemb darah – lesi akibat traksi dan penekanan – Iskemik volkman – Gangren
3.
Komplikasi pada saraf – Lesi akibat traksi dan penekanan
4.
Komplikasi pada sendi –
5.
Infeksi (artritis septik) akibat operasi terbuka
Komplikasi pada tulang – Infeksi akibat operasi terbuka – Komplikasi pada lempeng epifisis
Controlling External Bleeding • Pertolongan pertama yang harus segera dilakukan untuk menghentikan perdarahan – Memberikan tekanan langsung – Menekan langsung sumber perdarahan dengan kassa steril
Pressure Bandages • Apply over wound on extremity to maintain direct pressure • Use roller bandage to completely cover wound and maintain pressure Make sure it doesn’t cut off circulation Check victim’s fingers and toes for circulation
22. Tulang Kepala • • • •
Menutupi otak yang bentuknya ireguler Tempat dari beberapa indera tubuh Tempat masuknya dunia luar ke dalam saluran pernafasan & pencernaan. Calvaria dan tulang wajah. – Calvaria : os. frontal, parietal, temporal, sphenoid, dan occipital. – Tulang wajah : os nasal, maksila, mandibula, zygomatik. • Fraktur kalvaria trauma kepala. • Diskontinuitas tulang kalvaria. • Fraktur kalvaria : – fraktur linier – fraktur depres – fraktur diastase – fraktur basis
Penegakan Diagnosa Fraktur Tulang Kepala • • • • •
Adanya riwayat trauma Adanya jejas pada kepala Adanya hematoma Foto rontgen kepala Fraktur basis kranii : – Ecchymosis Palpebra (racoon eyes) – Ecchymosis Mastoid (battle sign) – Halo sign positif.
Fraktur Linier pada Regio Temporoparietal
Fraktur Depres Kepala • Benturan energi tinggi pada area yang kecil di kepala. • Fragmen fraktur tulang kepala terdorong ke arah intrakranial, dengan kedalaman bervariasi. – Fraktur depres tertutup = simple depressed fracture. – Fraktur depres terbuka = compound depressed fracture. • Foto rontgen kepala : double contour
• Frekuensi : – frontoparietal (75%) – temporal (10%) – occipital (5%) – tempat lainnya (10%). • 75-90% fraktur depres terbuka.
Bone Scan pada CT-Scan Kepala : Fraktur Depres Temporoparietal Kiri.
Manajemen Fraktur Depres • Fraktur depres terbuka harus dilakukan operasi craniectomy debridement. • Fragmen tulang kepala dapat dikembalikan kembali : – Luka relatif bersih, tidak terlalu kotor – Waktu kurang dari 24 jam.
• Indikasi operasi fraktur depres tertutup – memperbaiki defisit neurologis – mengurangi insidensi kejang (epilepsi traumatik) – kosmetik.
Indikasi Operasi Elevasi Fraktur Depres Pada Dewasa • Fraktur depress > 8-10 mm • Defisit neurologis. • Kebocoran cairan cerebrospinal → laserasi duramater. • Fraktur depres terbuka → craniectomy debridement. • Konservatif : fraktur depres regio sinus venosus dural, terlebih jika pasien tidak mengalami defisit neurologis. – Risiko yang lebih besar. – Keahlian Ahli BedahSaraf.
Pasien pediatrik : • Lokasi : regio frontal dan parietal • 1/3 kasus : fraktur depres tertutup
Indikasi Operasi pasien pediatrik • Terdapat bukti-bukti klinis terjadi penetrasi terhadap duramater. • Defek tulang yang persisten → kosmetik. • Terdapat gejala defisit neurologis fokal akibat fraktur tersebut.
Fraktur Bola Ping-Pong • Terjadi pada area fokal tulang kepala seperti bola pingpong yang pecah. • Bayi baru lahir karena plastisitas dari tulang kepala. • Konservatif : defek tulang akan terkoreksi seiring dengan pertumbuhan dari tulang kepala.
Fraktur Bola Ping-Pong
23. Fraktur Costae • Fraktur pada iga (costae) merupakan kelainan tersering yang diakibatkan trauma tumpul pada dinding dada. • Trauma tajam lebih jarang mengakibatkan fraktur iga, oleh karena luas permukaan trauma yang sempit, sehingga gaya trauma dapat melalui sela iga. • Etiologi: – Trauma tumpul penyebab tersering, biasanya akibat kecelakaan lalulintas, kecelakaan pada pejalan kaki, jatuh dari ketinggian, atau jatuh pada dasar yang keras atau akibat perkelahian. – Trauma tembus luka tusuk dan luka tembak.
Klasifikasi •
Menurut jumlah costa yang mengalami fraktur dapat dibedakan – –
•
Fraktur simple Fraktur multiple
Menurut jumlah fraktur pada setiap costa dapat • Fraktur segmental • Fraktur simple • Fraktur comminutif
•
Menurut letak fraktur dibedakan : • Superior (costa 1-3 ) • Median (costa 4-9) • Inferior (costa 10-12 )
•
Menurut posisi : – – –
•
Anterior Lateral Posterior
Ada beberapa kasus timbul fraktur campuran, seperti pada kasus Flail chest, dimana pada keadaan ini terdapat fraktur segmental, 2 costa atau lebih yang letaknya berurutan
Patofisiologi • Costae tulang pipih dan memiliki sifat yang lentur. Pada anak costae masih sangat lentur sehingga sangat jarang dijumpai fraktur iga pada anak. • Costae merupakan salah satu komponen pembentuk rongga dada yang berfungsi memberikan perlindungan terhadap organ di dalamnya dan yang lebih penting adalah mempertahankan fungsi ventilasi paru. • Fraktur costae dapat terjadi akibat trauma yang datangnya dari arah depan, samping, ataupun dari belakang. • Costae, tulang yang sangat dekat dengan kulit dan tidak banyak memiliki pelindung akibatnya trauma dada trauma costae. • Iga 1 – 3 paling jarang fraktur, karena dilindungi oleh struktur tulang dari bahu, tulang skapula, humerus, klavikula, dan seluruh otot-otot. Jika fraktur kemungkinan cedera pembuluh darah besar. • Iga 4 – 9 paling sering fraktur, kemungkinan cedera jantung dan paru • Iga 10 – 12 agak jarang fraktur, karena costae 10-12 ini mobil, Jika fraktur kemungkinan cedera organ intraabdomen.
X-Rays • Rontgen thorax anteroposterior dan lateral dapat membantu diagnosis hematothoraks dan pneumothoraks ataupun contusio pulmonum, mengetahui jenis dan letak fraktur costae. • Foto oblique membantu diagnosis fraktur multiple pada orang dewasa. Pemeriksaan Rontgen toraks harus dilakukan untuk menyingkirkan cedera toraks lain, namun tidak perlu untuk identifikasi fraktur iga
Gejala dan Tanda • • • • • • • •
Nyeri tekan, crepitus dan deformitas dinding dada Adanya gerakan paradoksal Tanda–tanda insuffisiensi pernafasan : Cyanosis, tachypnea, Kadang akan tampak ketakutan dan cemas, karena saat bernafas bertambah nyeri. periksa paru dan jantung,dengan memperhatikan adanya tanda-tanda pergeseran trakea, pemeriksaan ECG, saturasi oksigen periksa abdomen terutama pada fraktur costa bagian inferior :diafragma, hati, limpa, ginjal dan usus periksa tulang rangka: vertebrae, sternum, clavicula, fungsi anggota gerak nilai status neurologis: plexus bracialis, intercostalis, subclavia.
Tatalaksana 1. Fraktur 1-2 iga tanpa adanya penyulit/kelainan lain : konservatif (analgetika)—rawat jalan 2. Fraktur >2 iga : waspadai kelainan lain (edema paru, hematotoraks, pneumotoraks) 3. Penatalaksanaan pada fraktur iga multipel tanpa penyulit pneumotoraks, hematotoraks, atau kerusakan organ intratoraks lain, adalah: analgetik yang adekuat (oral/ iv / intercostal block), bronchial toilet, cek Lab berkala : Hb, Ht, Leko, Tromb, dan analisa gas darah, cek Foto Ro berkala
24. Kidney Stone
http://www.consultant360.com/article/kidney-stones-diagnostic-and-treatment-strategies
• Calcium oxalate stones – Batu ureter yang tersering – Cenderung terbentuk pada urin yang bersifat asampH rendah – Sebagian oksalat yang terdapat di urin, diproduksi oleh tubuh – Kandungan Kalsium dan oksalat yang terdapat di makanan memiliki pengaruh terhadap terbentuknya batu, tetapi bukan merupakan satu-satunya faktor yang mempengaruhi – Dietary oxalate an organic molecule found in many vegetables, fruits, and nuts – Calcium from bone may also play a role in kidney stone formation.
• Calcium phosphate stones – Lebih jarang – Cenderung terbentuk pada urin yang alkalinpH tinggi
• Struvite stones – Lebih sering ditemukan pada wanita – Hampir selalu akibat dari ISK
• Uric acid stones – These are a byproduct of protein metabolism – commonly seen with gout,and may result from certain genetic factors and disorders of your blood-producing tissues – fructose also elevates uric acid, and there is evidence that fructose consumption is helping to drive up rates of kidney disease
• Cystine stones – Representing only a very small percentage – these are the result of a hereditary disorder that causes kidneys to excrete massive amounts of certain amino acids (cystinuria)
Kristal urine Amorphous Urates and Phosphates
Calcium Oxalate
Uric Acid
Triple Phosphate
Bilirubin Crystals
Cholesterol
Kristal kalsium phosphatsering berbentuk rosette
Prinsip Pencegahan Pembentukan Batu • Cegah supersaturasi – Minum air yang cukup untuk menghasilkan 2L urin/hari – prevent solute overload by low oxalate and moderate Ca intake and treatment of hypercalcuria – replace “solubilizers” i.e... citrate – manipulate pH in case of uric acid and cystine
• Flush water intake after any dehydration
Alkaline citrate • Commonly used alkaline citrates are: sodium potassium citrate, potassium citrate, sodium citrate, potassium magnesium citrate • Alkaline citrates are used for: – – – –
Correction of hypocitraturia; Alkalinisasi urin; Inhibition of growth and aggregation of calcium oxalate; Inhibition of agglomeration of calcium phosphate
• There is evidence from RCTs that alkaline citrates are effective in preventing calcium stone recurrence European Association of Urology 2012
25. Snake Bite • Bisa ular (venom) terdiri dari 20 atau lebih komponen sehingga pengaruhnya tidak dapat diinterpretasikan sebagai akibat dari satu jenis toksin saja. • Bisa ular terdiri dari beberapa polipeptida yaitu fosfolipase A, hialuronidase, ATP-ase, 5 nukleotidase, kolin esterase, protease, fosfomonoesterase, RNA-ase, DNA-ase. Enzim ini menyebabkan destruksi jaringan lokal, bersifat toksik terhadap saraf, menyebabkan hemolisis atau pelepasan histamin sehingga timbul reaksi anafilaksis. Hialuronidase merusak bahan dasar sel sehingga memudahkan penyebaran racun. De Jong W., 1998. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC: Jakarta
Diagnosis gigitan ular berbisa tergantung pada keadaan bekas gigitan atau luka yang terjadi dan memberikan gejala lokal dan sistemik sebagai berikut (Dreisbach, 1987): • Gejala lokal : edema, nyeri tekan pada luka gigitan, ekimosis (dalam 30 menit – 24 jam) • Gejala sistemik : hipotensi, kelemahan otot, berkeringat, mengigil, mual, hipersalivasi, muntah, nyeri kepala, dan pandangan kabur • Gejala khusus gigitan ular berbisa : – Hematotoksik: perdarahan di tempat gigitan, paru, jantung, ginjal, peritoneum, otak, gusi, hematemesis dan melena, perdarahan kulit (petekie, ekimosis), hemoptoe, hematuri, koagulasi intravaskular diseminata (KID) – Neurotoksik: hipertonik, fasikulasi, paresis, paralisis pernapasan, ptosis oftalmoplegi, paralisis otot laring, reflek abdominal, kejang dan koma – Kardiotoksik: hipotensi, henti jantung, koma – Sindrom kompartemen: edema tungkai dengan tanda – tanda 5P (pain, pallor, paresthesia, paralysis pulselesness), (Sudoyo, 2006)
Bisa Ular Neurotoksin • jenis racun yang menyerang sistem saraf. • Bekerja cepat dan cepat diserap • Racun jenis ini melumpuhkan otot-otot hingga otot pernafasan, yang dapat menyebabkan kematian gagal napas • Mulai bergejala dalam hitungan menit setelah tergigitmengalami kelemahan yang progresif. • Kematian terjadi setelah 5-15 jam • Contoh jenis ular yang memiliki racun neurotoksin adalah jenis elapidae seperti ular Kobra • Gejala yang segera muncul: – Sensasi seperti ditusuk jarum pada tempat gigitan, akan menyebar keseluruh tubuh dalam 2-5 menit setelah gigitan – Udem minimal disekitar tempat gigitantidak meluas – Gigitannya sendiri tidak nyeri http://www.chm.bris.ac.uk/webprojects2003/stoneley/types.htm
Gejala Lain Neurotoksin: • Fang marks • Nyeri abdomen dan otot Abdominal • Drowsiness. • Ptosis • Paralisis otot leherkepala terkulai • Hilangnya koordinasi otot • Kesulitan berbicara 20 minutes setelah gigitan • Mual dan muntah • Disfagia Konstriksi esofagus • Peningkatan salivasikarena tidak dapat menelan • Peningkatan produksi keringat
• Tremor otot(fasiciculation) Menyerang motor neuron • Midriasis • Halusinasi and confusion
• • • • • • • •
Hipotensi Takikardia atau bradikardi Paralisis flaksid Chest tightness. Respiratory distress. Respiratory muscle paralyses. Gelisah/REstlessness. Kehilangan kontrol terhadap fungsi tubuhinkontinensia • Koma • Mati
http://www.snakes-uncovered.com/Neurotoxic_Venom.html
Hemotoksin • jenis racun yang menyerang sistem sirkulasi darah dalam tubuh, terdapat pula enzim pemecah protein (proteolytic). • Akibatnya sel-sel darah akan rusak dan terjadi penggumpalan darah, pembengkakan di daerah sekitar luka gigitan, • beberapa menit saja korban akan merasakan sakit yang dan terasa panas yang luar biasa.
Derajat Parrish (Gigitan Ular) • Derajat 0 – Tidak ada gejala sistemik setelah 12 jam – Pembengkakan minimal diameter 1 cm
• Derajat 1 – Bekas gigitan 2 taring – Bengkak dengan diameter 1-5 cm – Tidak ada tanda-tanda sistemik sampai 12 jam
• Derajat 2 – Sama dengan derajat 1 – Ptechiae, echimosis – Nyeri hebat dalam 12 jam pertama
• Derajat 3 – Sama dengan derajat 2 – Syok dan distress pernafasan/ptechiae, echimosis seluruh tubuh
• Derajat 4 – Sangat cepat memburuk
Menurut Schwartz (Depkes,2001) gigitan ular dapat di klasifikasikan sebagai berikut: Derajat Venerasi
Luka gigit
Nyeri
Udem/ Eritem
Tanda sistemik
0
0
+
+/-
<3cm/12>
0
I
+/-
+
+
3-12 cm/12 jam
0
II
+
+
+++
>12-25 cm/12 jam
+ Neurotoksik, Mual, pusing, syok
III
++
+
+++
>25 cm/12 jam
++ Syok, petekia, ekimosis
IV
+++
+
+++
>1 ekstrimitas
++ Gangguan faal ginjal, Koma, perdaraha
Tindakan Penatalaksanaan Sebelum penderita dibawa ke pusat pengobatan, beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah • Penderita diistirahatkan dalam posisi horizontal terhadap luka gigitan • Penderita dilarang berjalan dan dilarang minum minuman yang mengandung alkohol • Apabila gejala timbul secara cepat sementara belum tersedia antibisa, ikat daerah proksimal dan distal dari gigitan. Kegiatan mengikat ini kurang berguna jika dilakukan lebih dari 30 menit pasca gigitan. Tujuan ikatan adalah untuk menahan aliran limfe, bukan menahan aliran vena atau ateri.
Gambar: Imobilisasi bagian tubuh menggunakan perban.
• Setelah penderita tiba di pusat pengobatan diberikan terapi suportif sebagai berikut: • • • •
Penatalaksanaan jalan napas Penatalaksanaan fungsi pernapasan Penatalaksanaan sirkulasi: beri infus cairan kristaloid Beri pertolongan pertama pada luka gigitan: verban ketat dan luas diatas luka, imobilisasi (dengan bidai) • Ambil 5 – 10 ml darah untuk pemeriksaan: waktu trotombin, APTT, D-dimer, fibrinogen dan Hb, leukosit, trombosit, kreatinin, urea N, elektrolit (terutama K), CK. Periksa waktu pembekuan, jika >10 menit, menunjukkan kemungkinan adanya koagulopati • Apus tempat gigitan dengan dengan venom detection • Beri SABU (Serum Anti Bisa Ular, serum kuda yang dilemahan), polivalen 1 ml berisi: – – – –
10-50 LD50 bisa Ankystrodon 25-50 LD50 bisa Bungarus 25-50 LD50 bisa Naya Sputarix Fenol 0.25% v/v
• Teknik pemberian: 2 vial @5ml intravena dalam 500 ml NaCl 0,9% atau Dextrose 5% dengan kecapatan 40-80 tetes/menit. Maksimal 100 ml (20 vial). Infiltrasi lokal pada luka tidak dianjurkan.
SABU Indikasi SABU adalah adanya gejala venerasi sistemik dan edema hebat pada bagian luka. Pedoman terapi SABU mengacu pada Schwartz dan Way (Depkes, 2001): • Derajat 0 dan I tidak diperlukan SABU, dilakukan evaluasi dalam 12 jam, jika derajat meningkat maka diberikan SABU • Derajat II: 3-4 vial SABU • Derajat III: 5-15 vial SABU • Derajat IV: berikan penambahan 6-8 vial SABU
26. Trauma Buli • 86% trauma buli berkaitan dg trauma abdomen (KLL, jatuh dr ketinggian) • 90% berhubungan dg fraktur pelvis. • Sebaliknya hanya 9 – 16 % fraktur pelvis yg disertai ruptur buli. • 60% mrpk ruptur buli extraperitoneal, 30% intraperitoneal
MEKANISME CEDERA • Ruptur intraperitoneal terjadi akibat trauma pada abdomen bagian bawah atau jg trauma pelvis pada saat buli2 penuh. • Ruptur extraperitoneal lbh sering berkaitan dg fraktur pelvis
Tanda dan gejala • Hematuria – dapat merupakan gejala tunggal – 95% ruptur buli
• Nyeri perut bawah. • Kesulitan berkemih • Pruduksi urin menurun
Pemeriksaan radiologis • Cystography – Kontras > 300 cc – Foto pengosongan (drainase)
• CT scan cystography
Trauma buli • Kontusio buli – Cedera mukosa tanpa extravasasi urin
• Ruptur interstisial – Robekan sebagian dinding buli tanpa extravasasi
• Ruptur intraperitoneal – Tampak kontras mengisi rongga intraperitoneal
• Ruptur extraperitoneal – Kontras mengisi ruang perivesika dibawah garis asetabulum
• Hematoma perivesika : tear drop appearance
Sistogram Ruptur intraperitoneal
Ruptur Ekstraperitoneal
Penatalaksanaan • Pada luka tembus buli2 explorasi + repair • Ruptur intraperitoneal explorasi + repair • Pada trauma tumpul yg hanya menimbulkan trauma dinding buli yg tidak disertai extravasasi urin tidak memerlukan tindakan pembedahan.
27. Tetanus • Tetanus: gangguan neuromuskular akut berupa trismus, kekakuan dan kejang otot disebabkan oleh eksotosin spesifik Clostridium tetani. • Akibat komplikasi luka: Vulnus laceratum (luka robek), Vulnus punctum (luka tusuk), combustion (luka bakar), fraktur terbuka, otitis media, luka terkontaminasi, luka tali pusat. tetanus prone wound
Manajemen Luka Tetanus
Dosis Profilaksis: • HTIG250-500 IU • ATS 1500 IU
Tanda dan gejala • Masa inkubasi: bervariasi antara 2 hari atau beberapa minggu bahkan beberapa bulan, pada umumnya 8 – 12 hari. • Suhu tubuh normal hingga subfebris • Tetanus lokal otot sekitar luka kaku • Tetanus generalisata – – – – –
Trismus: sulit/tidak bisa membuka mulut Rhesus sardonicus Kaku otot kuduk, perut, anggota gerak Sukar menelan Opistotonus
• Kejang dalam keadaan sadar dan nyeri hebat. • Sekujur tubuh berkeringat.
Stadium klinis Derajat penyakit tetanus menurut modifikasi dari klasifikasi Albleet’s : 1. Grade 1 (ringan) , Trismus ringan sampai sedang, spamisitas umum, tidak ada penyulit pernafasan, tidak ada spasme, sedikit atau tidak ada disfagia. 2. Grade 2 (sedang), Trismus sedang, rigiditas lebih jelas, spasme ringan atau sedang namun singkat, penyulit pernafasan sedang dengan takipneu. 3. Grade 3 (berat), Trismus berat, spastisitas umum, spasme spontan yang lama dan sering, serangan apneu, disfagia berat, spasme memanjang spontan yang sering dan terjadi refleks, penyulit pernafasan disertai dengan takipneu, takikardi, aktivitas sistem saraf otonom sedang yang terus meningkat. 4. Grade 4 (sangat berat), Gejala pada grade 3 ditambah gangguan otonom yang berat, sering kali menyebabkan “autonomic storm”.
Tatalaksana Tetanus 1. Manajemen Luka • Semua luka harus dibersihkan dan jika perlu dilakukan debridemen. • Riwayat imunisasi tetanus pasien perlu didapatkan. • TT harus diberikan jika riwayat booster terakhir lebih dari 10 tahun jika riwayat imunisasi tidak diketahui, TT dapat diberikan. • Jika riwayat imunisasi terakhir lebih dari 10 tahun yang lalu, maka tetanus imunoglobulin (TIg) harus diberikan. Keparahan luka bukan faktor penentu pemberian TIg
Luka Rentan Tetanus
Luka yang tidak rentan tetanus
• • • •
• • • • • •
> 6-8 jam Kedalaman > 1 cm Terkontaminasi Bentuk stelat, avulsi, atau hancur (irreguler) • Denervasi, iskemik • Terinfeksi (purulen, jaringan nekrotik)
< 6 jam Superfisial < 1 cm Bersih Bentuknya linear, tepi tajam Neurovaskular intak Tidak infeksi
Lanjutan... 2. 3. 4. 5. 6.
Pengawasan, agar tidak ada hambatan fungsi respirasi. Ruang Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara, cahayaruangan redup dan tindakan terhadap penderita. Diet cukup kalori dan protein 3500-4500 kalori per hari dengan 100-150 gr protein. Bila ada trismus, makanan dapat diberikan per sonde atau parenteral. Oksigen, pernapasan buatan dan trakeostomi bila perlu. Antikonvulsan diberikan secara titrasi, sesuai kebutuhan dan respon klinis. Diazepam atau Vankuronium 6-8 mg/hari. –
– –
Bila penderita datang dalam keadaan kejang maka diberikan diazepam dosis 0,5 mg/kgBB/kali i.v. perlahan-lahan dengan dosis optimum 10mg/kali diulang setiap kali kejang. Kemudian diikuti pemberian Diazepam per oral (sonde lambung) dengan dosis 0,5/kgBB/kali sehari diberikan 6 kali. Dosis maksimal diazepam 240 mg/hari. Bila masih kejang (tetanus yang sangat berat), harus dilanjutkan dengan bantuan ventilasi mekanik, dosis diazepam dapat ditingkatkan sampai 480 mg/hari dengan bantuan ventilasi mekanik, dengan atau tanpa kurarisasi. Magnesium sulfat dapat pula dipertimbangkan digunakan bila ada gangguan saraf otonom.
Lanjutan... 7.
ATS, diperlukan skin tes untuk hipersensitif. Dosis biasa 50.000 iu, diberikan IM diikuti dengan 50.000 unit dengan infus IV lambat. Jika pembedahan eksisi luka memungkinkan, sebagian antitoksin dapat disuntikkan di sekitar luka. 8. Eliminasi bakteri, penisilin adalah drug of choice: berikan prokain penisilin, 1,2 juta unit IM atau IV setiap 6 jam selama 10 hari. Untuk pasien yang alergi penisilin dapat diberikan Tetrasiklin, 500 mg PO atau IV setiap 6 jam selama 10 hari. Pemberian antibiotik di atas dapat mengeradikasi Clostridium tetani tetapi tidak dapat mempengaruhi proses neurologisnya. 9. Bila dijumpai adanya komplikasi pemberian antibiotika spektrum luas dapat dilakukan. Tetrasiklin, Eritromisin dan Metronidazol dapat diberikan, terutama bila penderita alergi penisilin. Tetrasiklin: 30-50 mg/kgBB/hari dalam 4 dosis. Eritromisin: 50 mg/kgBB/hari dalam 4 dosis, selama 10 hari. Metronidazol loading dose 15 mg/KgBB/jam selanjutnya 7,5 mg/KgBB tiap 6 jam. 10. Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama, dilakukan bersamaan dengan pemberian antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat suntik yang berbeda. Pemberian dilakukan dengan dosis inisial 0,5 ml toksoid intramuskular diberikan 24 jam pertama. 11. Pemberian TT harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap tetanus selesai. 12. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.
28. Peritonitis
• Peritonitis Sekunder – Bakteri, enzim, atau cairan empedu mencapai peritoneum dari suatu robekan yang berasal dari traltus bilier atau GIT • Peritonitis TB
– Robekan tersebut dapat disebabkan oleh” • • • • • •
Pankreatitis Perforasi appendiks Ulkus gaster Crohn’s disease Diverticulitis Komplikasi tifoid
Gambaran radiologis pada peritonitis: a) adanya kekaburan pada cavum abdomen b) preperitonial fat dan psoas line menghilang c) adanya udara bebas subdiafragma atau d) adanya udara bebas intra peritoneal
29. Hemoroid
30. TRAUMA GINJAL MEKANISME TRAUMA : • Langsung • Tidak langsung ( deselerasi) JENIS TRAUMA: • Tajam • Tumpul PENCITRAAN • BNO – IVP • CT SCAN • MRI • USG TIDAK DIANJURKAN.
DIAGNOSIS • Cedera di daerah pinggang,punggung dan dada bawah dengan nyeri • Hematuri (gross / mikroskopik ) • Fraktur costa bg bawah atau proc.Spinosus vertebra. • Kadang syok • Sering disertai cedera organ lain
KLASIFIKASI TR GINJAL: • GRADE I : KONTUSIO DAN SUBKAPSULAR HEMATOM
GRADE II : LASERASI KORTEK DAN PERIRENAL HEMATOM
KLASIFIKASI TR GINJAL: GRADE III : LASERASI DALAM HINGGA KORTIKOMEDULARI JUNCTION
GRADE IV : LASERASI MENEMBUS KOLEKTING SISTEM
KLASIFIKASI TR GINJAL: GRADE V : TROMBOSIS ARTERI RENALIS,AVULSI PEDIKEL DAN SHATTERED KIDNEY.
GRADE I DAN II : CEDERA MINOR (85%) GRADE III , IV DAN V : CEDERA MAYOR. (15%)
KOMPLIKASI
PENATALAKSANAAN KONSERVATIF
• Trauma minor ( awasi vital sign)
OPERASI Absolut • Hematom yg pulsatif • Laserasi mayor parenkim dan pembuluh darah Relatif • Ekstra vasasi,non viable tissue,inkomplet staging,trombosis arterial
AWAL • • • • •
Perdarahan Urinoma Abses peri renal Urosepsis Fistula renokutan
LATE • • • •
Hipertensi Hidronefrosis Urolithiasis Pyelonefritis kronik
31. Fraktur Patologis Os Femur • Fraktur patologis adalah fraktur yang terjadi pada tulang yang abnormal • Tulang yang abnormal tersebut bisa sangat lemah sehingga fraktur terjadi dengan trauma ringan atau bahkan pada aktivitas biasa.
• Femur merupakan tulang tersering ketiga, setelah vertebrae dan pelvis, tempat ditemukannya metastasis tulang • Fraktur patologis pada femur merupakan yang paling sering membutuhkan intervensi pembedahan • Fraktur patologis pada femur merupakan 66 % fraktur patologis pada tulang panjang, dimana 87% terjadi pada femur proksimal dan shaft femur.
• Fraktur pada collum femur merupakan fraktur yang paling sering terjadi pada orang tua • Umur rata-rata 77 tahun pada wanita dan 72 tahun pada laki-laki, dan 80% terjadi pada wanita • Insidensi pada usia muda sangat rendah dan berhubungan dengan trauma hebat • Penyebab tersering fraktur patologis pada femur proksimal adalah osteoporosis. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/
Osteoporotic proximal femur fractures: a) proximal femoral neck fracture b) middle femoral neck fracture c) basilar femoral neck fractures d) inter and subtrochanteric fracture.
Gambaran radiologi yang khas pada osteoporis adalah penipisan korteks dan daerah trabekular yang lebih lusen (sumsum meluas). http://www.ncbi.nlm.nih.gov/
32. Ca Prostat • Tumor pada umumnya tumbuh dengan lambat dan sisanya terkurung pada kelenjar selama bertahuntahun • tumor menghasilkan sedikit atau tidak ada gejala-gejala yang terlihat dari luar (kelainan-kelainan di pengujian fisik).
• Kanker dapat menyebar di luar prostat ke sekitar jaringan. • metastasize ke seluruh area-area lain badan, seperti tulang-tulang, paru-paru, dan hati.
• Kanker ini paling umum pada pria, terutama mereka yang berusia di atas 65 tahun.
Faktor Risiko Genetic, yaitu BRCA1 dan BRCA2 Usia faktor risiko terbesar kanker prostat Jarang terjadi pada pria di bawah 40 tahun, namun risiko kanker prostat akan meningkat setelah usia 50 tahun Dua dari tiga kasus kanker prostat ditemukan pada pria usia 65 tahun.
Ras/etnis Orang berkulit hitam memiliki risiko lebih tinggi dibandingkan orang berkulit putihAmerika Serikat
Diet Diet tinggi lemak dan obesitas (kegemukan) meningkatkan risiko Teorinya, lemak akan meningkatkan produksi hormon testosteron yang akan membantu perkembangan sel kanker prostat.
Suku bangsa Pria Asia memiliki risiko lebih rendah dibandingkan Amerika.
Lanjutan . . . • Virus • 27% pada jaringan kanker prostat ganas ditemukan Xenotropic Murine Related Virus (XMRV) penyebab kanker pada hewan.
• Gaya hidup • Merokok dan minum alkohol ditengarai menjadi pemicu munculnya kanker prostat • Sering berganti-ganti pasangan juga membuka kesempatan terjadinya infeksi virus penyebab kanker yang ditularkan melalui hubungan kelamin.
• Lingkungan • kadmium (bahan pembuat batere) • juga bahan-bahan kimia lain berisiko tinggi mengidap kanker prostat.
Gejala Kanker Prostat :
Prostatic malignancy
Anatomi Prostat
Image Source: SEER Training Website
Lobes of the Prostate • • • •
Anterior lobe Median lobe Lateral lobe Posterior lobe
Image Source: SEER Training Website
Zones of the Prostate • Peripheral, 60 – 70% keganasan berasal dari zona perifer • Central, 5 – 10% keganasan berasal dari zona sentral. • Transitional, 10 – 20% keganasan berasal dari zona transitional.
Image Source: SEER Training Website
Kanker Prostat dikelompokkan menjadi: • Stadium I : • benjolan/tumor tidak dapat diraba pada pemeriksaan fisik, biasanya ditemukan secara tidak sengaja setelah pembedahan prostat karena penyakit lain.
• Stadium II : • tumor terbatas pada prostat dan biasanya ditemukan pada pemeriksaan fisik atau tes PSA.
• Stadium III : • tumor telah menyebar ke luar dari kapsul prostat, seperti kelenjar seminal vesicle yang memproduksi semen tetapi belum sampai menyebar ke kelenjar getah bening.
• Stadium IV: • kanker telah menyebar (metastase) ke kelenjar getah bening regional maupun bagian tubuh lainnya (misalnya tulang dan paru-paru).
DIAGNOSA
• Pria berusia > 50 tahun dianjurkan setiap setahun – Pemeriksaan PSA total sekali – Pemeriksaan Digital Rectal Examination – Bila ada keluarga yang menderita kanker prostat, skrining dianjurkan sejak usia 40 tahun • Digital rectal examination: • konsistensi yang keras • adanya nodul (benjolan di permukaan) • pembesaran prostat yang tidak simetris.
• Tes darah. antigen khusus prostat (PSA). – tidak konklusif – Pada tahap pengobatan, penurunan kadar PSA menandakan efektivitas terapi yang dijalankan.
http://www.cancer.gov/cancertopics/factsheet/detection/PSA
PSA Test • Tes yang mengukur kadar prostate specific antigen (PSA) dalam darah • PSA protein yang dihasilkan oleh prostat • Laki-laki secara normal memiliki kadar PSA rendah, dan kadarnya akan meningkat seiring dengan usia
PSA—Prostate Cancer • PSA >4.0 ng/mL mandatory biopsy • 50% of all the cancers detected because of an elevated PSA level are localized • these patients are candidates for potentially curative therapy
Biopsi Prostat • Skrinning PSA untuk Ca Prostat, tidak dapat meningkatkan survival rate USG Prostat • Hanya dapat melihat pembesaran prostat • Tidak menunjukkan derajat obstruksinya
Diagnosa • Tes PCA3. • PCA3 yang lebih tinggi di urin menunjukkan kehadiran kanker prostat. • lebih akurat dibandingkan tes darah (PSA) • Interpretasi • Kadar PSA 0,5-4,0ng/ml: normal • Kadar PSA 4,0-10ng/ml: kemungkinan Ca 20%, lakukan TRUS, jika PSAd (kadar PSA/ volume prostat) >0,15 lakukan biopsi. • Kadar PSA >10ng/ml: keumungkinan Ca 50%, perlu dilakukan TRUS dan biopsi.
• Biopsi. • Beberapa sampel diambil pada bagian-bagian yang berbeda dari prostat. • Hanya dilakukan bila PSA >3
• CT scan, MRI scan dan pemeriksaan penunjang lain • Untuk mengetahui tingkat penyebaran kanker.
• Sitologi air kemih atau cairan prostat.
Tatalaksana • Pembedahan: • prostatektomi radikal (T1-2 N0 M0), Orkiektomi
• Terapi penyinaran • Terapi penyinaran eksterna; pencangkokan butiran yodium, emas, atau iridium radioaktif pada jaringan prostat melalui sayatan kecil
• Vaksinasi • Prostvac-VF immunotherapy dibuat dari poxvirus yang dilemahkan dan direkayasa untuk menghasilkan PSA dalam merangsang sistem kekebalan
Farmakologis • Manipulasi hormonal. – Tujuannya adalah mengurangi kadar testosteron. Penurunan kadar testosteron seringkali sangat efektif dalam mencegah pertumbuhan dan penyebaran kanker. – Sintetis LHRH (luteinizing hormone releasing hormone), digunakan untuk mengobati kanker prostat stadium lanjut. Contohnya adalah lupron atau zoladeks. – Zat penghambat androgen (misalnya flutamid), yang berfungsi mencegah menempelnya testosteron pada sel-sel prostat.
Lanjutan. . . • Kemoterapi • Digunakan untuk mengatasi gejala kanker prostat yang kebal terhadap pengobatan hormonal. • Diberikan sebagai obat tunggal atau kombinasi beberapa obat • Obat-obatan yang bisa digunakan untuk mengobati kanker prostat adalah: - Mitoxantronx - Prednisone - Paclitaxel - Dosetaxel - Estramustin - Adriamycin.
33. Ruptur Tendon Achilles • Ruptur tendo Achilles adalah putusnya tendo Achilles atau cedera yangmempengaruhi bagian bawah belakang kaki. • Klasifikasi: – Tipe I: Pecah parsial, yaitu sobek yang kurang dari 50%, biasanya diobati dengan manajemen konservatif – Tipe II: sobekan yang penuh dengan kesenjangan tendon kurang dari sama dengan 3 cm, biasanya diobati dengan akhir-akhir anastomosis – Tipe III: sobek yang penuh dengan jarak tendon 3 sampai 6 cm – Tipe IV: perpisahan yang penuh dengan cacat lebih 6 cm (pecah diabaikan)
http://emedicine.medscape.com/article/1922965-overview
Manifestasi Klinik Ruptur Tendo Achilles 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
9.
Rasa sakit mendadak yang berat dirasakan pada bagian belakang pergelangan kaki atau betis Bengkak, kaku dan memar Terlihat depresi di tendon 3-5 cm diatas tulang tumit Tumit tidak bisa digerakan turun naik. Pasien mungkin menggambarkan sensasi ditendang di bagian belakang kaki. Nyeri bisa berat. Nyeri lokal, bengkak dengan gamblang sepanjang tendon Achilles dekat lokasi penyisipan, dan kekuatan plantar flexion lemah Rasa sakit mendadak dan berat dapat dirasakan di bagian belakang pegelangan kakiatau betis Terlihat bengkak dan kaku serta tampak memar dan kelemahan di dekat tumit.
10.Sebuah kesenjangan atau depresi dapat dilihat di tendon sekitar 2 cm di atas tulang tumit. 11.Tumit tidak dapat digerakan turun atau naik atau “push off” kaki terluka ketika berjalan. 12.Pasien merasa seolah-olah ia telah dipukul tepat pada tumitnya dan tidak bisaberjinjit. 13.Apabila ada robekan,suatu celah dapat dilihat dan terasa 5 cm diatas insersio tendon. 14.Plantar flexi kaki akan lemah dan tidak disertai dengan tendon
Diagnosis
• Weakness in plantarflexion • Gap in tendon • Palpable swelling • Positive Thompson test
Pemeriksaan Fisik Ruptur Tendon Achilles Infeksi dan palapasi
Copeland test
Test Thomphson
Obrie’n test/ test jarum
O’Brien test • Jarum 25G, ditusukan pada otot tungkai bawah 10cm di atas tonjolan calcaneus. • Gerakan pangkal jarum berlawanan arah saat dilakukan gerakan pasif plantar fleksi dan dorso fleksi menandakan tendon achilles yang intak.
Copeland test • Pasien dalam posisi prone, cuff sphygmomanometer diletakan pada bagian tungkai yang paling besar, kaki pasien diminta plantar fleksi, kemudian sphygmomanometer di pompa hingga 100mmHg. • Jika tendon achilles intak, tekanan akan meningkat menjadi 140mmHg saat pasien diminta dorsofleksi
Pemeriksaan Penunjang Magnetic Resonance Image (MRI) Foto Rontgen
Tatalaksana Ruptur Tendo Achilles • Tendorafi/ tenorrhapy: • penjahitan tendon yang ruptur • Tendoplasty/ tenoplasty: • Repair/ operasi plastik tendon, termasuk penjahitan, prostetik, joint release, rekonstruksi, dan graft. • Melibatkan modifikasi tendon, mis.pemanjangan, atau perubahan bentuk tendon dari pipih dibentuk bulat
• Terapi fisik
– Pengobatan konservatif Boot orthosis – Percutaneous Surgery – Open Surgical Repair
• Terapi obat NSAIDs – Ibuprofen dan Asetaminofen
Injury
Clinical Findings
Imaging
Ankle sprain
Positive drawer/inversion test
X-Ray
Achilles Rupture
Thompson test, tendon gap, unable to plantaflex foot
USG
Metatarsal fracture
Bone tenderness over the navicular bone or base of the fifth metatarsal
X-Ray
Tarsal Tunnel Syndrome
Tinnel test (+), paresthesias MRI along tibial nerve
Plantar fasciitis
Severe plantar pain, foot cord tightness
Not needed
http://www.qualitycarept.com/Injuries-Conditions/Foot/FootIssues/Achilles-Tendon-Problems/a~253/article.html
34. Kanker Tiroid • Definisi Carcinoma tiroid adalah suatu penyakit dimana sel maligna (kanker) terbentuk di jaringan kelenjar tiroid. • Epidemiologi - Merupakan jenis keganasan jaringan endokrin yang terbanyak. - Lebih banyak pada wanita - Usia penderita <20 tahun atau >50 tahun
Gejala Klinis • Biasanya, satu-satunya gejala yang diduga sebagai keganasan pada pasien dengan kanker tiroid adalah adanya massa tiroid teraba atau kelenjar getah bening yang membesar . • Terkadang, pasien datang dengan gejala dan tanda-tanda lebih bermasalah, yang perlu diwaspadai untuk kemungkinan kondisi ganas. • Gejala dan tanda tersebut misalnya: – suara serak (akibat penekanan n. Laryngeus rekuren), nyeri lokal, disfagia, sesak napas, hemoptisis, dan nodul atau massa pada leher.
Etiologi • Etiologi yang pasti belum diketahui. • Beberapa faktor predisposisi:
Penyinaran di daerah kepala leher dan dada. Stimulasi terus menerus TSH pada goitre. Hashimoto / Tiroiditis Otoimun Genetika yang abnormal. Kekurangan yodium atau kelebihan yodium. Penyakit Grave dan Stimulator Endogen. Inborn Error Metabolisme Tiroid.
231
Klasifikasi Karsinoma Tiroid menurut WHO:
•
Tumor epitel maligna – – – – – –
•
Tumor non-epitel maligna – –
•
Fibrosarkoma Lain-lain
Tumor maligna lainnya – – – –
•
Karsinoma folikulare Karsinoma papilare Campuran karsinoma folikulare-papilare Karsinoma anaplastik ( undifferentiated ) Karsinoma sel skuamosa Karsinoma Tiroid medulare
Sarkoma Limfoma maligna Haemangiothelioma maligna Teratoma maligna
Tumor sekunder dan unclassified tumors
Mc Kenzie membedakan kanker tiroid atas 4 tipe yaitu : karsinoma papilare, karsinoma folikulare, karsinoma medulare dan karsinoma anaplastik. Jenis kanker
Persen
Karsinoma tiroid papiller
75%
karsinoma tiroid folikuler
16 %
karsinoma tiroid medular
5%
Undifferentiated
3%
karsinoma jenis lainnya
1%
232
Penatalaksanaan
233
•
Foto USG
Gb.4 USG Ca Thyroid Papiler (A)Gambaran kontur yang ireguler dan deformasi kapsul thyroid. (B)Sonogram tranversal lobus kanan tampak focus echogenic punctat tanpa bayangan akustik posterior, temuan mengarah pada kalsifikasi (panah) (C)Sonogram transversal isthmus thyroid menunjukkan tumor dengan hipoechogenisitas yang jelas dan batas irreguler(panah) dan tanpa halo hipoechoic
• USG Colour Doppler
Gambar USG dan USG Doppler Ca Folikuler (A)gambaran USG Transversal menunjukkan lesi dengan batas jelas, heterogen, padat iso-hypoechoic berbentuk nodul tiroid oval,menunjukkan lesi folikular. (B)Gambaran doppler tranversal menunjukkan vaskularisasi intranodular (sentral) dan perifer
CT-Scan Tiroid
Ca Thyroid Papiler pada CT Scan dengan Kontras gambaran carcinoma thyroid bilateral berukuran kecil, perubahan substansi kistik di bagian sentral, fokus berukuran kecil yang terkalsifikasi (gambar anak panah)
34. Pemeriksaan Fisik Tiroid • Terdapat 2 aspek utama yang dapat di gambarkan yaitu: – Kondisi kelenjar tiroid – Kondisi jaringan atau organ (dampak dari kondisi gangguan tiroid)
•
INSPEKSI (perubahan bentuk) – Penampilan umum klien: – Bentuk dan proporsi tubuh (cretinism) – Pada wajah: fokuskan pada abnormalitas struktur, bentuk dan ekspresi wajah seperti bentuk dahi, rahang dan bibir – Pada mata: adanya edema periorbita dan exopthalmus serta apakah ekspresi wajah datar atau tumpul – ada tidaknya tremor pada ekstrimitas, saat diam atau bila digerakkan – Didaerah leher: apakah tampak membesar, simetris atau tidak, ada tidaknya distensi vena jugularis
INSPEKSI THYROID
Bevan, J.S. (n.d), The Endocrine System
• Palpasi: – Pada kondisi normal: • kelenjar tiroid tidak teraba adanya pembesaran/ benjolan (pasien diminta untuk menelan ludah sebelumnya).
• Auskultasi: – Pada daerah leher, diatas kelenjar tiroid dapat terdengar bunyi “bruit“. – Bruit adalah bunyi yang dihasilkan oleh karena turbulensi pada pembuluh darah tiroidea. – Normal: bunyi ini tidak terdengar. – Dapat terdengar bila terjadi peningkatan sirkulasi darah ke kelenjar tiroid sebagai dampak peningkatan aktivitas kelenjar tiroid – Auskultasi: untuk mengidentifikasi perubahan pada pembuluh darah dan jantung (TD, ritme dan rate jantung)
PALPASI THYROID
Bevan, J.S. (n.d), The Endocrine System
35. Perdarahan Cruris Distal
36. RETINOPATI DIABETIK ANAMNESIS MATA MERAH VISUS NORMAL
MATA MERAH VISUS TURUN
• struktur yang bervaskuler sklera konjungtiva • tidak menghalangi media refraksi • Konjungtivitis murni • Trakoma • mata kering, xeroftalmia • Pterigium • Pinguekula • Episkleritis • skleritis
mengenai media refraksi (kornea, uvea, atau seluruh mata) • • • • • • •
Keratitis Keratokonjungtivitis Ulkus Kornea Uveitis glaukoma akut Endoftalmitis panoftalmitis
MATA TENANG VISUS TURUN MENDADAK • • • • • •
uveitis posterior perdarahan vitreous Ablasio retina oklusi arteri atau vena retinal neuritis optik neuropati optik akut karena obat (misalnya etambutol), migrain, tumor otak
MATA TENANG VISUS TURUN PERLAHAN • Katarak • Glaukoma • retinopati penyakit sistemik • retinitis pigmentosa • kelainan refraksi
RETINOPATI DIABETIK DM ophthalmic complications :
• • • • • •
Corneal abnormalities Glaucoma Iris neovascularization Cataracts Neuropathies Diabetic retinopathy → most common and potentially most blinding
• Diabetic Retinopathy : Retinopathy (damage to the retina) caused by complications of diabetes, which can eventually lead to blindness. • It is an ocular manifestation of systemic disease which affects up to 80% of all patients who have had diabetes for 10 years or more.
RETINOPATI DIABETIK Signs and Symptoms • Seeing spots or floaters in the field of vision • Blurred vision • Having a dark or empty spot in the center of the vision • Difficulty seeing well at night • On funduscopic exam : cotton wool spot, flame hemorrhages, dot-blot hemorrhages, hard exudates
Pemeriksaan : • Tajam penglihatan • Funduskopi dalam keadaan pupil dilatasi : direk/indirek • Foto Fundus • USG bila ada perdarahan vitreus Tatalaksana : • Fotokoagulasi laser
RETINOPATI DIABETIK • Riwayat DM yang lama, biasa > 20 tahun • Mata tenang visus turun perlahan • Pemeriksaan Oftalmoskop – Mikroaneurisma (penonjolan dinding kapiler) – Perdarahan dalam bentuk titik, garis, bercak yang letaknya dekat dengan mikroaneurisma di polus posterior (dot blot hemorrhage) – Dilatasi vena yang lumennya ireguler dan berkelok – Hard exudate (infiltrasi lipid ke dalam retina akibat dari peningkatan permeabiitas kapiler), warna kekuningan – Soft exudate (cotton wall patches) adalah iskemia retina tampak sebagai bercak kuning bersifat difus dan warna putih – Neovaskularisasi – Edema retina
Klasifikasi Retinopati DM
Nonproliferative Diabetic Retinopathy • Retinal vascular related abnormalities such as microaneurysms, intraretinal hemorrhages, venous dilatation, and cotton wool spot • Increased retinal vascular permeability result in retinal thickening (edema) and lipid deposits (hard exudate) • Severe NPDR : – Venous abnormalities (dilatation, beading and loops), more severe and extensive vascular leackage (increased retinal hemorrhage and exudation) – This patient should be considered candidates for treatment with panretinal photocoagulation American Academy of Ophtalmology. Diabetic retinopathy. 2014
RETINOPATI DIABETIK - KLASIFIKASI RETINOPATI DIABETIK NONPROLIFERATIF • ditandai dengan kebocoran darah dan serum pada pembuluh darah kapiler • menyebabkan edema jaringan retina dan terbentuknya deposit lipoprotein (hard exudates) • Tidak menyebabkan gangguan penglihatan mengenai makula • Edema makula penebalan daerah makula sebagai akibat kebocoran kapiler perifoveal
Proliferative Diabetic retinopathy • Neovascularization at the inner surface of retina induced by more global retinal ischemia. • Neovaskularisasi near the optic disc and elsewhere are prone to bleed vitreous hemorrhage • Neovaskularisasi undergo fibrosis and contraction epiretinal membrane formation, vitroretinal traction band, retinal tears and traction or rhegmatogenosa ablasio retina American Academy of Ophtalmology. Diabetic retinopathy. 2014
RETINOPATI DIABETIK - KLASIFIKASI RETINOPATI DIABETIK PROLIFERATIF • ditandai dengan adanya proliferasi jaringan fibrovaskular atau neovaskularisasi pada permukaan retina & papil saraf optik serta vitreus • Proliferasi respon dari oklusi luas pembuluh darah kapiler retina yang menyebabkan iskemia retina • menyebabkan gangguan penglihatan sampai kebutaan melalui mekanisme; – Perdarahan vitreus – Tractional retinal detachment – Glaukoma neovaskular
KLASIFIKASI RETINOPATI DM • Derajat I : Mikroaneurisama dengan atau tanpa eksudat lemak pada fundus okuli • Derajat II: Mikroaneurisma, perdarahan bintik dan bercak dengan atau tanpa eksudat lemak pada fundus okuli • Derajat III: Mikroaneurisma, perdarahan bintik dan bercak, neovaskularisasi
Clinically Significant Macular Edema • Clinically significant macular edema (CSME) describe as retinal thickening and/or adjacent hard exudates that etiher involve the center of macula or threaten to invole it – Center involving – Non center involving
American Academy of Ophtalmology. Diabetic retinopathy. 2014
Dot blot hemorrhage
Flame-shaped hemorrhage
Microaneurysm / dot blot hemorrhage
Macular edema
Neovascularization
Proliferative diabetic retinopathy
Penatalaksanaan : 1. Medical Treatment : • Aldose reduktase inhibitor (sorbinil) Penelitian menurunkan proses retinopati • Vascular Endothelial Growth factor Inhibitor • Aminoguanidin (mengikat protein yang mengalami glikolisis • Pentoxypilin (memperbaiki sirkulasi perifer)
Anti-VEGF injection • Initial treatment choice for center involving macular edema with possible subsequent or deffered focal treatment. • The Diabetec Retinopathy Clinical Research Network also showed that anti-VEGF with either prompt or deffered laser photocoagulation was better than either laser alone or laser combined with triamcinolone acetonide. • AntiVEGF theraphy using bevacizumab, ranibizumab, or ablifibercept is an effective treatment for center involving significant macular edema
2. Laser Photocoagulation • Early Treatment Diabetic Retinopathy Study (ETDRS) : Fotokoagulasi dini menurunkan incident ggn visus 50% • Terapi pilihan utama pada retinopati diabetes yang telah mengancam penglihatan • Indikasi : – Perdarahan vitreous atau preretinal terokalisasi – Kontraksi progresif proliferasi fibrin – Neovaskularisasi ekstensif di COA
3. Bedah Vitrektomi : • Vitrektomi dini pada PDR dapat menyebabkan regresi NVD dan NVE • Indikasi : – Vitrektomi dipertimbangkan dilakukan jika terjadi rekurensi, kegagalan terapi dengan foto koagulasi, ataupun perdarahan vitreus yang massif hingga polus posterior tidak terlihat. – Perdarahan vitreous yang lama (3 – 6 bln) – PDR (retinopati diabetik proliferatif) yang aktif dengan visus baik – Adanya traksi pada papil, peripapil, makula – Adanya ablasio retina yang melibatkan makula – Penurunan tajam penglihatan dari 10/50 menjadi 10/100 atau lebih buruk
Defini dan gejala Oklusi arteri sentral retina
Penyumbataan arteri sentralis retina dapat disebabkan oleh radang arteri, thrombus dan emboli pada arteri, spsame pembuluh darah, akibat terlambatnya pengaliran darah, giant cell arthritis, penyakit kolagen, kelainan hiperkoagulasi, sifilis dan trauma. Secara oftalmoskopis, retina superficial mengalami pengeruhan kecuali di foveola yang memperlihatkan bercak merah cherry (cherry red spot). Penglihatan kabur yang hilang timbul tanpa disertai rasa sakit dan kemudian gelap menetap. Penurunan visus mendadak biasanya disebabkan oleh emboli
Oklusi vena sentral retina
Kelainan retina akibat sumbatan akut vena retina sentral yang ditandai dengan penglihatan hilang mendadak. Vena dilatasi dan berkelok, Perdarahan dot dan flame shaped , Perdarahan masif pada ke 4 kuadran , Cotton wool spot, dapat disertai dengan atau tanpa edema papil
ARMD
Degenerasi makula terkait usia. Penyebab pasti belum diketahui. Insidens meningkat pada usia > 50 tahun. Predominansi pada wanita, riwayat keluarga, dan riwayat merokok. Gangguan penglihatan sentral (mata kabur, distorsi atau skotoma). Ditandai oleh atrofi dan degenerasi retina bagian luar, epitel pigmen retina, membran Bruch, dan koriokapilaris dengan derajat bervariasi. Funduskopi: drusen (endapan putih, kuning, bulat, diskret tersebar di seluruh makula dan kutub posterior) Tatalaksana bisa berupa Antioksidan serta Fotokoagulasi laser
Retinopati hipertensi
suatu kondisi dengan karakteristik perubahan vaskularisasi retina pada populasi yang menderita hipertensi. Mata tenang visus turun perlahan dengan tanda AV crossing – cotton wol spot- hingga edema papil; copperwire; silverwire
Amaurosis Fugax
Kehilangan penglihatan tiba-tiba secara transient/sementara tanpa adanya nyeri, biasanya monokular, dan terkait penyakit kardiovaskular
37. KONJUNGTIVITIS NEONATAL • Bacterial conjunctivitis contracted by newborns during delivery • Cause: – Neisseria gonorrhoeae ( inkubasi 2-7 hari) – Chlamydia trachomatis (inkubasi 5-14 hari) – S. Aureus (inkubasi nongonokokal dan nonklamidial 5-14 hari) • Mucopurulent discharge • Chlamydial less inflamed eyelid swelling, chemosis, and pseudomembrane formation • Complication in chlamydia infection pneumonia (10-20% kasus) • Blindness in chlamydia rare and much slower to manifes than gonococcal caused by eyelid scarring and pannus • Terapi konj. Klamidial oral erythromycin (50 mg/kg/d divided qid) for 14 days (because of the significant risk for life-threatening pneumonia) http://emedicine.medscape.com/article
Neisseria gonorrhoeae
Chlamydia trachomatis
• • • • • •
• 5 to 12 days after birth • Mucopurulent discharge • less inflamed eyelid swelling, chemosis, and • pseudomembrane formation • Complication pneumonitis (range 2 weeks – 19 weeks after delivery) • Blindness rare and much slower to menifest caused by eyelid scarring and pannus
• •
manifests in the first five days of life marked bilateral purulent discharge local inflammation palpebral edema Complication diffuse epithelial edema and ulceration, perforation of the cornea and endophthalmitis Gram-negative intracellular diplococci on Gram stain Culture Thayer-Martin agar
Microscopic Findings Etiology Chemical Chlamydia
Bacteria Virus
Findings PMNs, few lymphocytes PMNs, lymphocytes, plasma cells, Leber cells, intracytoplasmic basophilic inclusions PMNs, bacteria Lymphocytes, plasma cells, multinucleated giant cells, intranuclear eosinophilic inclusion
http://80.36.73.149/almacen/medicina/oftalmologia/enciclopedias/duane/pages/v4/v4c006.html
KONJUNGTIVITIS GO • Neisseria gonorrhoeae Gram-negative intracellular diplococci on Gram stain • Masa inkubasi: 1-7 hari • manifests in the first five days of life • Marked bilateral purulent discharge • local inflammation palpebral edema • Complication diffuse epithelial edema and ulceration, perforation of the cornea and endophthalmitis kebutaan • Culture Thayer-Martin agar • Topical erythromycin/Tetracycline ointment and IV or IM third-generation cephalosporin
Non-Infectious
Infectious # Uncommon, potential for serious consequences - severe keratitis and endophthalmitis. Requires early recognition and treatment. Needs blood and CSF culture. Consider concomitant chlamydial infection if poor response to cephalosporin. Parents require investigation and screening. + Risk of rapid progression from purulent discharge to denuding of corneal epithelium, and perforation of cornea. The anterior chamber can fill with fibrinous exudate, iris can adhere to cornea and later blood vessel invasion. The late ophthalmic complications can be followed by bacteraemia and septic foci. * Most common pathogen, 20-50% of exposed infants will develop chlamydia conjunctivitis, 10-20% will develop pneumonia. If relapse occurs repeat course of erythromycin for further 14 days. Parents require treatment.
• • • •
Nasolacrimal duct obstruction may cause ‘sticky’ eyes. Corneal abrasion following trauma at delivery. Glaucoma (watch for corneal clouding or proptosis, is associated with portwine stains in the ophthalmic region). Foreign body. Organism
Staphylococcus aureus Streptococcus pneumoniae, Haemophilus spp, Enterococci
Age of Onset
2-5 days
Clinical Features
Therapy
Unilateral, crusted purulent discharge
Topical soframycin drops qds for 5 days
Ceftriaxone 50mg/kg IV/IM as a single dose (maximum 125mg), Saline irrigations hourly until exudate resolves. Topical erythromycin/Tetracycline ointment IV anti-pseudomonal antibiotics.
Neisseria gonorrhoeae # Infants who are positive need to be evaluated for disseminated infections
3 days to 3 weeks
Bilateral, hyperaemic, chemosis, copious thick white discharge
Pseudomonas aeruginosa +
5-18 days
Oedema and erthyema of lid, purulent discharge.
Topical Gentamicin. Chlamydia trachomatis *
Herpes simplex
5-14 days
Unilateral or bilateral, mild conjunctivitis, copious purulent discharge.
PO erythromycin 50mg/kg/day x 14d (qid)Alternative, 5 days Azithromycin syrup (= pertussis dosing 10mg/kg/day and 5mg/kg day 2-5)
Conjunctivitis with vesicles elsewhere Need ophthalmology review within 24 hours.
Acyclovir 30mg/kg/day IV tid x 14-21d.
http://www.adhb.govt.nz /newborn/guidel ines/infection /neon atalconjunctivitis.ht m
Topical acyclovir 3% 5 times daily.
38. Katarak Komplikata • Pembagian katarak berdasarkan usia: – Katarak kongenital usia < 1 thn – Katarak juvenil sesudah usia 1 thn – Katarak senilis > 50 thn
• Katarak komplikata • akibat penyakit mata lain, mis: radang, glaukoma, tumor, dll. Dpt jg disebabkan oleh peny.sistemik endokrin (mis: DM) dan keracunan obat (mis: steroid lokal lama)
• Katarak traumatik • akibat trauma, plg sering disebabkan oleh cedera benda asing atau trauma tumpul bola mata
• Katarak sekunder • terjadi sesudah operasi katarak atau sesudah suatu trauma yg memecah lensa Sumber: - Ilmu Penyakit Mata. Sidarta Ilyas. 2000. - General opthalmology. Vaughan, et al. 17th edition
Steroid induced Ocular complications IT INCLUDES: • • • •
Conjunctival necrosis Corneal stromal calcification Delayed corneal wound healing Glaucoma: Primary Open Angle Glaucoma – Ocular hypertension – Open angle – Optic nerve cupping – VF loss
• • • •
Cataract (Posterior subcapsular cataract) Retinal/choroidal emboli Central serous chorioretinopathy Decreased resistance to infection
Steroid cataract • Steroid-induced posterior subcapsular cataracts (PSCs) exhibit three main distinctive characteristics: – (i) association only with steroids possessing glucocorticoid activity – (ii) involvement of aberrant migrating lens epithelial cells – (iii) a central posterior location.
• Children are at greatest risk since they can develop cataracts with lower doses & shorter treatment durations than adults • Cataracts may be seen as early as within 6 mths of treatment & even in children on alternate day therapy. • Pathophysiology: Mechanisms involved in cataract formation include : increased glucose levels due to an increased gluconeogenesis inhibition of Na + /K + -ATPase inhibition of glucose-6-phosphate-dehydrogenase inhibition of RNA synthesis covalent binding of steroids to lens proteins.
Steroid Cataract Strategies to prevent development of steroid induced ocular complications: • Ophthalmologic examinations are recommended every 6 months for pts on long-term systemic glucocorticoid therapy. • Progression of cataract may still occur despite decreasing dose but discontinuing it may occasionally deter further cataract formation.
Strategies for treatment of established ocular complications: • Cataracts often are small but can affect visual acuity significantly requiring surgical intervention. • Stopping treatment will halt the progress of cataract but will usually not reverse the changes already present .
39. TAJAM PENGLIHATAN • Bila tajam penglihatan 6/6: dapat melihat huruf pada jarak 6 meter, yang oleh orang normal dapat dilihat pada jarak 6 mtr • Bila tidak dapat melihat huruf terbesar pada kartu Snellen : dilakukan uji hitung jari pemeriksa dengan dasar putih. Jari dapat terlihat oleh orang normal pada jarak 60 mtr • Bila pasien tidak dapat menghitung jari pada jarak 1 mtr → uji lambaian tangan. Orang normal dapat melihat lambaian tangan pada jarak 300mtr. Bila mata hanya dapat melihat pada jarak 1mtr : visus 1/300 • Bila hanya mengenal adanya sinar : 1/~ • Bila tidak mengenal adanya sinar: visus 0 atau buta total
Ilmu Penyakit Mata,Sidarta Ilyas
Visual acuity chart • Visual acuity chart for infants – Optokinetic nystagmus drum – Lea paddle.
• Visual acuity chart for school going childrens /adults – Snellen chart – LogMar chart
• Visual acuity chart for pre-school children – – – – – – – –
Landot ‘c’ Tumbling ‘E’ Sheridan Gardiner. Stycar visual acuity test . Lea symbol . Kay picture test. Cardiff chart . Allen card test .
Optokinetic Nystagmus Drum
Lea paddle
Lea paddle • It is based on preferential looking and snellen principle. • The chart is placed at a distance of 1m from the patient. • It is usually used for the age group of 3 to 9 mths. • There are cards available of various thickness of lines.
• At a time two cards are held infront of the patient .The blank infront and the one with lines ie, held behind it . • Then immediately the second card is flipped out and we keep on changing the positions. • The patient should appreciate the card with lines . • The test is done at same eye level and the eye movement of patient is seen .
Landolt ‘c’ chart
For preschool children LANDOLT ‘C’ CHART • It is usually used for age group of 3 to 6 yrs who cannot recognize letters . • The chart is shown to the patient at a distance of 6meter. • Acuity Charts using the Landolt C have traditionally been considered among the most reliable pediatric symbols.
• The patient has to identify the part from where the ring is broken by pointing the direction up ,down ,left,right by finge . • Landolt ‘c’-chart based on log MAR principle are also available. • They consist of 5 broken rings per line and the size goes on decreasing as we move a head.
Tumbling ‘E’ chart
Tumbling ‘E’ chart • It is similar to landolt ‘c’ except that it consist of letter ‘E’ • The test is again done at a distance of 6 meter. • The child is given wooden or plastic letter E and is asked to point the direction of E as instructed by the examiner . • Or the patient is directly told to point the finger in the direction up down ,left, right as shown in the main chart .
FOR SCHOOL GOING CHILDREN/ADULTS SNELLEN CHART • It was introduced in 1862 by snellen . • The chart consist of seven row namely 6/60,6/36,6/24,6/18,6/12,6/9,6/6. and sometimes 6/5 ,6/4 also will be there. • These is the most common chart used to measure the vision. • The patient is told to occlude one eye and is asked to read the chart from top until the last line or letter that he can read. • It consist of letters of varying size . • It is done at 6 meter
LOGMAR CHART
LOGMAR CHART • It was given by Bailey and lovie in 1916 and so it also called as Bailey lovie chart. • The production was done by light house . • The measurements are based on logarithm principle . • Bailey Lovie also gave another logMAR chart which had decreasing contrast as we move a head to measure the contrast level.
Landolt “C” Chart • Digunakan untuk menilai visus anak usia 3-6 tahun yang belum bisa mengenali huruf • Terdiri atas lingkaran yang tidak lengkap • Tes baca dilakukan dari jarak 6 meter, pasien disuruh menunjukkan letak hilangnya lingkaran apakah ke atas, bawah, kiri ataupun kanan dengan menggunakan jari
40. Trichiasis • Suatu kelainan dimana bulu mata mengarah pada bola mata yang akan menggosok kornea atau konjungtiva • Biasanya terjadi bersamaan dengan penyakit lain seperti pemfigoid, trauma kimia basa dan trauma kelopak lainnya, blefaritis, trauma kecelakaan, kontraksi jaringan parut di konjungtiva dan tarsus pada trakoma • Gejala : – Konjungtiva kemotik dan hiperemi, keruh – Erosis kornea, keratopati dan ulkus – Fotofobia, lakrimasi dan terasa seperti kelilipan – blefarospasme
Trichiasis • Tatalaksana: – Yang utama: bedah – Lubrikan seperti artificial tears dan salep untuk mengurasi iritasi akibat gesekan – Atasi penyakit penyebab trikiasis, cth SSJ, ocular cicatrical pemphigoid)
• Tatalaksana Bedah trikiasis segmental (fokal) – Epilasi: dengan forsep dilakukan pencabutan beberapa silia yang salah letak, dilakukan 2-3 kali. Biasanya dicoba untuk dilakukan epilasi terlebih dahulu. Trikiasis bisa timbul kembali. – Elektrolisis/ elektrokoagulasi, ES: nyeri – Bedah beku (krioterapi): banyak komplikasi dan dilakukan bila banyak bulu mata yang masuk ke dalam – Ablasi denga radiofrekuensi: sangat efektif, cepat , mudah, bekas luka minimal
Tatalaksana (cont…) • Tatalaksana bedah untuk trikiasis yg disebabkan krn kelainan anatomi: – Entropion: dilakukan tarsotomi – Posterior lamellar scarring: Grafting
Entropion • Merupakan pelipatan palpebra ke arah dalam • Penyebab: infeksi (ditandai dengan adanya jaringan parut), faktor usia, kongenital • Klasifikasi – Enteropion involusional • yang paling sering dan terjadi akibat proses penuaan • Mengenai palpebra inferior, karena kelemahan otot palpebra
– Enteropion sikatrikal • Mengenai palpebral inferior/ superior • Akibat jaringan parut tarsal • Biasanya akibat peradangan kronik seperti trakoma
– Enteropion congenital • Terjadi disgenesis retraktor kelopak mata bawa palpebra tertarik ke dalam
– Enteropion spastik akut • Terjadi penutupan kelopak mata secara spastik terjadi penarikan oleh m.orbikularis okuli entropion
N EU R OLOGI
41. Parkinson • Parkinson: – Penyakit neuro degeneratif karena gangguan pada ganglia basalis akibat penurunan atau tidak adanya pengiriman dopamine dari substansia nigra ke globus palidus. – Gangguan kronik progresif: • Tremor resting tremor, mulai pd tangan, dapat meluas hingga bibir & slrh kepala • Rigidity cogwheel phenomenon, hipertonus • Akinesia/bradikinesia gerakan halus lambat dan sulit, muka topeng, bicara lambat, hipofonia • Postural Instability berjalan dengan langkah kecil, kepala dan badan doyong ke depan dan sukar berhenti atas kemauan sendiri
• Hemibalismus/sindrom balistik – Gerakan involunter ditandai secara khas oleh gerakan melempar dan menjangkau keluar yang kasar, terutama oleh otot-otot bahu dan pelvis. – Terjadi kontralateral terhadaplesi
• Chorea Huntington – Gangguan herediter autosomal dominan, onset pada usia pertengahan dan berjalan progresif sehingga menyebabkan kematian dalam waktu 10 ± 12 tahun
Parkinson Disease Gejala dan Tanda Parkinson Gejala awal tidak spesifik • Nyeri • Gangguan tidur •Ansietas dan depresi •Berpakaian menjadi lambat •Berjalan lambat
Gejala Spesifik • Tremor • Sulit untuk berbalik badan di kasur •Berjalan menyeret •Berbicara lebih lambat
Tanda Utama Parkinson : 1. Rigiditas 2. Bradykinesia
: peningkatan tonus otot : berkurangnya gerakan spontan (kurangnya kedipan mata, ekspresi wajah berkurang, ayunan tangan saat berjalan berkurang ), gerakan tubuh menjadi lambat terutama untuk gerakan repetitif 3. Tremor : tremor saat istirahat biasanya ditemukan pada tungkai, rahang dan saat mata agak menutup 4. Gangguan berjalan dan postur tubuh yang membungkuk
Penatalaksanaan Parkinson •
Prinsip pengobatan parkinson adalah meningkatkan aktivitas dopaminergik di jalur nigrostriatal dengan memberikan : – Levodopa diubah menjadi dopamine di substansia nigra – Antagonis dopamine – Menghambat metabolisme dopamine oleh monoamine oxydase dan cathecolO-methyltransferase – Obat- obatan yang memodifikasi neurotransmiter di striatum seperti amantadine dan antikolinergik
Wilkinson I, Lennox G. Essential Neurology 4th edition. 2005
Ganiswarna, S. 1981. “Farmakologi dan Terapi, edisi 2” Fakultas Kedokteran UI. Jakarta.
42. Golongan Hidantoin • • • •
Hidantoin merupakan senyawa laktam dari asam ureidoasetat ( 2,4-diokso-imidazolidin ) Bersifat sedatif lemah, kadang-kadang bersifat stimulan. Salah satu contohnya adalah Fenitoin. Fenitoin efektif dalam – –
•
Interaksi obat: –
–
–
Serangan tonik-klonik Kejang parsial
Mekanisme kerja: –
–
•
•
Menstabilkan membran sel saraf terhadap depolarisasi mengurangi masuknya ion-ion natrium dalam neuron pada keadaan istirahat atau selama depolarisasi Menekan dan mengurangi influks ion kalsium selama depolarisasi dan menekan perangsangan sel saraf yang berulang-ulang.
Efek samping: –
– – –
Depresi saraf pusat terjadi terutama dalam serebelum dan sistem vestibular, menyebabkan nistagmus dan ataksia Masalah gastrointestinal ( mual, muntah ) sering terjadi Hiperpelasia gusi bisa menyebabkan gusi tumbuh dan melampaui gigi anak-anak Perubahan tingkah laku seperti kebingungan, halusinasi dan mengantuk sering terjadi.
•
Inhibisi metabolisme mikrosomal fenitoin dalam hati disebabkan oleh kloramfenikol, dikomarol, simetidin, sulfinamid, dan isoniazid. Penurunan konsentrasi fenitoin dalam plasma disebabkan oleh karbamazepin yang memperkuat fenitoin. Fenitoin menginduksi sistem P-450 yang menyebabkan peningkatan metabolisme anti epilepsi lain, anti koagulan, kontrasepsi oral : kuinidin, doksisiklin, siklosporin, mexiletina, metadon, dan levodopa.
Dosis: –
– –
–
Permulaan sehari 2-5 mg/kgBB dibagi dalam 2 dosis Dosis pemeliharaan 2 dd 100-300 mg pada waktu makan dan minum banyak air Pada anak-anak 2-16 tahun, permulaan sehari 4-7 mg/BB dibagi dalam 2 dosis dan dosis pemeliharaan 4-11 mg/BB Bila dikombinasi dengan fenobarbital dosisnya dapat diperkecil. Dosis harian rata-rata 200-300 mg.
Golongan Suksinimida •
• • •
Siksinimida berbeda konstitusinya secara kimia dengan definilhidantoin hanya dengan penggantian gugus NH pada posisi 1 dengan CH 2 berbeda dengan fenitoin Suksinimida hanya berkhasiat pada berbagai epilepsi tipe petit mal sedangkan gejala grand mal akan lebih diperkuat dengan pemberian obat ini. Salah satu contohnya adalah Etoksuksimida Mekanisme kerja: • •
• •
Merupakan pilihan pertama pada serangan absence Efek samping: • •
•
Etoksuksimida mengurangi perambatan aktivitas listrik abnormal didalam otak Ethosuximide bekerja dengan cara menghambat aliran kalsium ambang-rendah ('arus T')Kanal Kalsium tipe T
Berupa sedasi, antara lain rasa mengantuk dan termenung sakit kepala, anoreksia, dan mual, juga bertahap. Leukopemia jarang terjadi, namun gambaran darah juga fungsi hati dan urin perlu dikontrol secara teratur.
Dosis: •
1-2 dd 250-500 mg sebagai tablet e.c. ( enterik coated ) berhubung rasanya tidak enak dan bersifat merangsang.
Ganiswarna, S. 1981. “Farmakologi dan Terapi, edisi 2” Fakultas Kedokteran UI. Jakarta.
Ganiswarna, S. 1981. “Farmakologi dan Terapi, edisi 2” Fakultas Kedokteran UI. Jakarta.
Asam Valproat •
Asam valproat ( asam dipropil asetat ) terutama untuk: – – –
•
Mekanisme kerja: – –
•
Keluhan saluran cerna, rambut rontok, gangguan pembekuan darah dan kerusakan hati.
Interaksi obat: – – –
•
Mengurangi perambatan lepasan listrik abnormal di dalam otak Memperkuat keja GABA pada sinaps-sinaps inhibisihambatan enzim yang menguraikan GABA ( g-aminobutyric acid) kadar GABA diotak meningkat.
Efek samping: –
•
absence piknoleptik serangan grand mal mioklonik.
Menghambat metabolisme fenobarbital meningkatkan kadar barbiturat dalam sirkulasi Dapat meningkatkan kadar dan fenitoin di dalam darah Penggunaan bersamaandosis harus dikurangi sampai 30-50 % guna menghindari sedasi berlebih sebaliknya khasiatnya juga dIperkuat oleh anti epileptika lainnya.
Dosis: – – – –
Oral semula 3-4 dd 100-150 mg d.c. Dari garam natriumnya tablet ( tablet e.c ) kemudian berangsur-angsur dalam waktu 2 minggu dinaikkan sampai 2-3 dd 300-500 mg, maksimal 3 gram sehari. Anak-anak 20-30 mg/kg sehari. Asam bebasnya memberikan kadar plasma yang 15 % lebih tinggi (lebih kurang sama dengan persentase natrium dalam Na-valproat ) tetapi lain daripada itu tidak lebih menguntungkan.
Golongan Barbiturat • • • •
Memiliki sifat anti konvulsi yang baik terlepas dari sifat hipnotiknya Digunakan terutama senyawa kerja panjang untuk memberikan jaminan yang lebih kontinu terhadap serangan grand mal. Salah Satu contohnya adalah Fenobarbital Mekanisme kerja: • • • • •
•
Efek samping: • •
•
Sedasi seperti pusing, mengantuk, ataksia. Nistagmus, vertigo Agitasi dan kebingungan terjadi pada dosis tinggi.
Interaksi obat: • •
•
Fenobarbital memiliki aktivitas anti epilepsi membatasi penyebaran lepasan kejang didalam otak meningkatkan ambang serangan epilepsi. Mekanisme kerjanya tidak diketahui tetapi mungkin melibatkan potensiasi efek inhibisi dari neuronneuron yang diperantarai oleh GABA ( asam gama aminobutirat). Untuk mengatasi efek hipnotiknya obat ini dapat dikombinasi dengan kofein.
Bersifat menginduksi enzim, antara lain mempercepat penguraian kalsiferol ( Vitamin D2 ) dengan kemungkinan timbulnya rachitas ( penyakit inggris pada anak kecil ) Penggunaannya bersama dengan valproat harus hati-hati, karena kadar darah fenobarbital dapat ditingkatkan.
Dosis: •
1-2 dd 30-125 mg, maksimal 400 mg (dalam 2 kali), pada anak-anak 2-12 bulan 4 mg/kgBB sehari, pada status epileptikus, dewasa 200-300 mg.
Karbamazepin • • •
Karbamazepin merupakan turunan dibenzazepin mempunyai sistem cincin yang sama seperti timoleptika opipramol dan hanya berbeda dari senyawa ini pada subsitituen N. Disaat ini senyawa ini merupakan salah satu anti epileptika yang terpenting dan paling banyak digunakan. Mekanisme kerja: •
•
Efek samping: • • •
•
Pemberian kronik stupor, koma dan depresi pernapasan bersamaan dengan rasa pusing, vertigo, ataksia dan pandangan kabur merangsang lambung timbul mual dan muntah Anemia aplastik, agranulositosis dan trombositopenia telah terjadi pada beberapa penderita.
Interaksi obat: • •
•
Mengurangi perambatan impuls abnormal didalam otak dengan cara menghambat kanal natrium, sehingga menghambat timbulnya potensial kerja yang berulang-ulang didalam fokus epilepsi.
Metabolisme dalam hati dihambat oleh beberapa obat Penyesuaian dosis pada gangguan fungsi heparmenghindari gejala-gejala toksik
Dosis: • • • •
Permulaan sehari 200-400 mg dibagi dalam beberapa dosis Berangsur-angsur dapat dinaikkan sampai 800-1200 mg dibagi dalam 2-4 dosis Pada manula setengah dari sosis ini Dosis awal bagi anak-anak: • sampai usia 1 tahun 100 mg sehari • 1-5 tahun 100-200 mg sehari • 5-10 tahun 200-300 mg sehari • dosis pemeliharaan 10-20 mg/kgBB sehari dibagi dalam beberapa dosis.
Golongan Benzodiazepin • Contohdiazepam, dan nitrazepam • Terutama digunakan pada epilepsi petit-mal pada bayi dan anak-anak. • Efektivitas pada: • • •
Absence piknoileptik serangan mioklonik astatik serangan propulsif.
• Mekanisme Kerja: • •
Menekan serangan yang berasal dari fokus epileptogenik efektif pada serangan absence dan mioklonik tetapi terjadi juga toleransi.
• Efek samping: •
mengantuk, termenung-menung, pusing, dan kelemahan otot.
• Dosis: • • • • •
2-4 dd 2-10 mg dan i.v. 5-10 dengan perlahan-lahan (1-2 menit), bila perlu diulang setelah 30 menit pada anak-anak 2-5 mg Pada status epilepticus dewasa dan anak diatas usia 5 tahun 10 mg Pada anak-anak dibawah 5 tahun 5 mg sekali Pada konvulsi karena demam: anak-anak 0,25-0,5 mg/kg berat badan bayi • anak-anak dibawah 5 tahun5 mg • setelah 5 tahun 10 mg.
43. Epilepsi • Definisi: suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan (seizure) berulang akibat dari adanya gangguan fungsi otak secara intermiten, yang disebabkan oleh lepas muatan listrik abnormal dan berlebihan di neuron-neuron secara paroksismal, dan disebabkan oleh berbagai etiologi. Perdossi. Diagnosis Epilepsi. 2010
Kejang • Kejang merupakan perubahan fungsi otak mendadak dan sementara sebagai dari aktivitas neuronal yang abnormal dan pelepasan listrik serebral yang berlebihan. (Betz & Sowden,2002)
Manifestasi Klinik 1. Kejang parsial ( fokal, lokal ) a) Kejang parsial sederhana : Kesadaran tidak terganggu, dapat mencakup satu atau lebih hal berikut ini : – Tanda – tanda motoris, kedutan pada wajah, atau salah satu sisi . Tanda atau gejala otonomik: muntah, berkeringat, muka merah, dilatasi pupil. – Gejala somatosensoris atau sensoris khusus : mendengar musik, merasa seakan jtuh dari udara, parestesia. – Gejala psikis : dejavu, rasa takut, visi panoramik. – Kejang tubuh; umumnya gerakan setiap kejang sama.
b) Parsial kompleks – Terdapat gangguankesadaran, walaupun pada awalnya sebagai kejang parsial simpleks – Dapat mencakup otomatisme atau gerakan otomatik : mengecap – ngecapkan bibir,mengunyah, gerakan menongkel yang berulang – ulang pada tangan dan gerakan tangan lainnya. – Dapat tanpa otomatisme : tatapan terpaku
2. Kejang umum ( konvulsi atau non konvulsi ) a) Kejang absens – Gangguan kewaspadaan dan responsivitas – Ditandai dengan tatapan terpaku yang umumnya berlangsung kurang dari 15 detik – Awitan dan akhiran cepat, setelah itu kempali waspada dan konsentrasi penuh b) Kejang mioklonik – Kedutan – kedutan involunter pada otot atau sekelompok otot yang terjadi secara mendadak. – Sering terlihat pada orang sehat selaam tidur tetapi bila patologik berupa kedutan keduatn sinkron dari bahu, leher, lengan atas dan kaki. – Umumnya berlangsung kurang dari 5 detik dan terjadi dalam kelompok – Kehilangan kesadaran hanya sesaat. c) Kejang tonik klonik – Diawali dengan kehilangan kesadaran dan saat tonik, kaku umum pada otot ekstremitas, batang tubuh dan wajah yang berlangsung kurang dari 1 menit – Dapat disertai hilangnya kontrol usus dan kandung kemih – Saat tonik diikuti klonik pada ekstrenitas atas dan bawah. – Letargi, konvulsi, dan tidur dalam fase postictal d) Kejang atonik – Hilngnya tonus secara mendadak sehingga dapat menyebabkan kelopak mata turun, kepala menunduk,atau jatuh ke tanah. – Singkat dan terjadi tanpa peringatan.
EEG • Elektro Enselo Grafi (EEG) adalah suatu alat yang mempelajari gambar dari rekaman aktifitas listrik di otak, termasuk teknik perekaman EEG dan interpretasinya. • Pembacaan EEG oleh dokter dijadikan acuan untuk tindakan dan penanganan selanjutnya kepada pasien. • Elektroensefalogram (EEG) dipakai untuk membantu menetapkan jenis dan focus dan kejang.
Epilepsy - Classification • Focal seizures – account -
for 80% of adult epilepsies Simple partial seizures Complex partial seizures Partial seizures secondarilly generalised
• Generalised seizures (include absance type) • Unclassified seizures
Pemilihan OAE pada Remaja dan Dewasa Tipe Bangkitan
Lini 1
Lini 2
Lini 3
Lena
VPA LTG
ESM
LEV ZNS
Mioklonik
VPA
TPM LEV ZNS
LTG CLB CZP PB
Tonik Klonik
VPA CBZ PHT PB
LTG OXC
TPM LEV ZMS PRM
Atonik
VPA
LTG TPM
FBM
Parsial
CBZ PHT PB OXC LTG TPM GBP
VPA LEV ZNS PGB
TGB VGB FBM PRM
Unclassified
VPA
LTG
TPM LEV ZNS
• • • • • • • • • • • • • • • • •
CBZ: carbamazepine, CLB: clobazam CZP: clonazepam ESM: ethosuximide FBM: falbamate GBP: gabapentine LEV: Levetiracetam LTG: lamotrigine OXC: oxcarbamazepine PB: phenobarbital PGB: pregabalin PHT: phenytoin PRM: pirimidon TGB: tiagabine VGB: vigabatrine VPA: sodium valproate ZNS: zonisamide
Pemilihan OAE pada Anak Tipe Bangkitan
Lini 1
Lini 2
Lini 3
Lena
VPA LTG
ESM
LEV ZNS
Mioklonik
VPA
TPM ZNS
LTG CLB PB
Tonik Klonik
VPA CBZ PB
LTG TPM PHT
ZMS OXC LEV
Parsial
CBZ VPA PB
LTG TPM OXC ZNS
CLB PHT GBP LEV
Spasme Infantil
VGB ACTH
VPA NTZ
LTG ZNS TPM
Lennox-gastaut
VPA
LTG TPM
CLB FBM
Unclassified
VPA
LTG
TPM LEV ZNS
• • • • • • • • • • • • • • • • • • •
ACTH: adrenocorticotropic hormone CBZ: carbamazepine, CLB: clobazam CZP: clonazepam ESM: ethosuximide FBM: falbamate GBP: gabapentine LEV: Levetiracetam LTG: lamotrigine NTZ: nitrazepam OXC: oxcarbamazepine PB: phenobarbital PGB: pregabalin PHT: phenytoin PRM: pirimidon TGB: tiagabine VGB: vigabatrine VPA: sodium valproate ZNS: zonisamide
Penghentian OAE Setelah bangkitan terkontrol dalam jangka waktu tertentu, OAE dapat dihentikan tanpa kekambuhan. Pada anak-anak dengan epilepsi, pengehntian sebaiknya dilakukan secara bertahap setelah 2 tahun bebas dari bangkitan kejang. Sedangkan pada orang dewasa penghentian membutuhkan waktu lebih lama yakni sekitar 5 tahun. Ada 2 syarat yang penting diperhatika ketika hendak menghentikan OAE yakni, 1. Syarat umum yang meliputi : – Penghentian OAE telah diduskusikan terlebih dahulu dengan pasien/keluarga dimana penderita sekurang-kurangnya 2 tahun bebas bangkitan. – Gambaran EEG normal – Harus dilakukan secara bertahap, umumnya 25% dari dosis semula setiap bulan dalam jangka waktu 3-6bulan. – Bila penderita menggunakan 1 lebih OAE maka penghentian dimulai dari 1 OAE yang bukan utama.
Perdossi. Diagnosis Epilepsi. 2010
2. Kemungkinkan kekambuhan setelah penghentian OAE – Usia semakin tua, semakin tinggi kemungkinan kekambuhannya. – Epilepsi simtomatik – Gambaran EEG abnormal – Semakin lamanya bangkitan belum dapat dikendalikan. – Penggunaan OAE lebih dari 1 – Masih mendaptkan satu atau lebih bangkitan setelah memulai terapi – Mendapat terapi 10 tahun atau lebih. – Kekambuhan akan semaikn kecil kemungkinanya bila penderita telah bebas bangkitan selama 3-5 tahun atau lebih dari 5 tahun. Bila bangkitan timbul kembali maka pengobatan menggunakan dosis efektif terakhir, kemudian evaluasi.
Perdossi. Diagnosis Epilepsi. 2010
44. Gerakan Involunter Abnormal Gangguan sistem ekstrapiramidalis: 1. Tremor • • •
serentetan gerakan involunter, agak ritmis, merupakan getaran. Timbul karena berkontraksinya otot2 yg berlawanan secara bergantian, melibatkan 1 atau lebih bagian tubuh. Jenis-jenis: • Tremor fisiologis, karena ketakutan atau marah • Tremor halus; pada hipertiroid, tremor pada jari dan tangan, keracunan nikotin, kafein, obat-obatan spt adrenalin, efedrin, barbiturat) • Tremor kasar; pada penyakit parkinson, gerakan jari seperti menghitung uang • Tremor intensi; tremor kasar, tjd pada kerusakan serebelum, diagnosa dgn tes telunjuk hidung
2. Khorea ; (Yunani = menari) • Gerakan otot cepat, aritmik dan kasar • Meliputi 1 ekstremitas, sebagian atau seluruh badan • Umumnya pada anggota gerak atas (lengan, tangan), terutama distal • Gerakan tidak harmonis antara otot2 penggerak • Anamnesa; luruskan tangan dan lengan, didapatkan hiperekstensi talang proksimal dan terminal, pergelangan tangan fleksi dengan sedikit pronasi. Lebih jelas bila tangan diangkat keatas jari-jari tangan akan direnggangkan , ibu jari abduksi dan terarah ke bawah.
• Korea sydenham – Manifestasi utama dari demam rematik akut (kriteria JONES pada tahun 1992) – Korea rematik ditandai dengan kelemahan otot dan terjadinya korea – Pasien menunjukkan milkman grip sign, gaya berjalan kaku dan gangguan bicara.
• Korea huntington – secara umum ditandai adanya kedutan pada jarijari dan pada wajah. Seiring waktu, amplitudo meningkat, pergerkan seperti menari mengganggu pergerakan voluntar dari ekstremitas dan berlawanan dengan gaya berjalan. Berbicara menjadi tidak teratur. (menyertai pasien dengan huntington disease)
3. Atetose (yunani = berubah) • Gerakan lebih lamban. Berlainan dari khorea yang gerakannya berlangsung cepat, mendadak, dan terutama melibatkan bagian distal, maka atetose ditandai oleh gerakan yang lebih lamban, seperti gerak ular, dan melibatkan otot bagian distal. Namun demikian hal ini cenderung menyebar juga ke proksimal. Atetosis dapat dijumpai pada banyak penyakit yang melibatkan ganglia basal. 4. Distonia • Kerusakan besar ekstrapiramidal melibatkan ganglia basal. Gejalanya kompleks, dimulai dgn gerak otot (atetose) pada lengan / anggota gerak lain, dapat terjadi jg di otot leher dan punggung.
5. Balismus (hemibalismus) • Gerak otot yg datang tiba-tiba, kasar, cepat. Terjadi pada otot proksimal 6. Tik (tic) • Tik merupakan suatu gerakan terkoordinir, berulang, dan melibatkan sekelompok otot dalam hubungan yang sinergistik. Ada tik yang menyerupai spasme klonik, dan disebutkan sebagai spasme-kebiasaan (habit spasm). 7. Fasikulasi • Merupakan gerakan halus, cepat, dan berkedut dari 1 berkas (fasikulus) serabut otot / 1 unit motorik (kedutan kulit) 8. Spasme • Gerakan abnormal tjd karena kontraksi otot-otot yg dipersarafi satu saraf • Tjd karena iritasi saraf perifer / otot atau iritasi di suatu tempat (dari korteks – serabut otot) • Klonik; tiba-tiba, sebentar dan dapat berulang-ulang • Tonik ; lama dan terus menerus
9. Miokloni – Gerakan timbul karena kontraksi otot secara cepat, sekonyong2, sebentar aritmik, asinergik atau tidak terkendali – Meliputi sebagian satu otot, seluruh otot / sekelompok otot – Pada otot2 ekstemitas dan badan, pada otot muka, rahang, lidah faring dan laring – Miokloni hebat; rangsang emosional, mental, taktil, visual / auditorial – Berkurang; gerakan volunter bertambah, dapat timbul pada saat pasien tidur dan hilang saat setelah tidur
45. HIPERTENSI KRISIS • Peningkatan tekanan darah mendadak (> 180/120 mmHg) - T.O.D +/- KELUHAN +/- PENANGGULANGAN SEGERA
Table 2 : Algorithm for Triage Evaluation
Parameter
Severe Hypertension (Urgency)
Hypertensive Emergency
Asymptomatic
Symptomatic
Blood pressure (mmHg)
> 180/110
> 180/110
Usually > 220/140
Symptoms
Headache, anxiety; often asymtomatic
Severe headache, shortness of breath
Shortness of breath, chest pain, nocturia, dysarthria, weakness, altered consciousness
Examination
No target organ damage, no clinical cardiovascular disease
Target organ damage; clinical cardiovascular disease present, stable
Encephalopathy,pulmonary edema, renal insufficiency, cerebrovascular accident, cardiac ischemia
Therapy
Observe 1-3 hr; initiate, resume medication; increase dosage of inadequte agent
Observe 3-6 hr; lower BP with shortacting oral agent; adjust current therapy
Baseline laboratory tests; intravenous line; monitor BP, may initiate parenteral therapy in emergency room
Plan
Arrange follow-up within 3-7 days; if no prior evaluation, schedule appointment
Arrange follow-up evaluation in less than 72 hr
Immediate admission to ICU; treat to initial goal BP, additional diagnostic studies
BP, Blood pressure; ICU, Intensive care unit Sumber : Hebert e.j Prim Care 2008. 35 (3)
Table 3 : Clinical Characteristics of the Hypertensive Emergency
Blood Pressure (mmHg)
Funduscopi c Findings
Neurologic Status
Cardiac Findings
Renal Symptoms
Gastrointestinal Symptoms
Usually >220/140
Hemorrhage s, exudates, papiledema
Headache, confusion, somnolence, stupor, visual loss, seizures, focal neurologic deficits, coma
Prominent apical pulsation, cardiac eniargement, congestive heart failure
Azotemia, proteinuria, oliguria
Nausea. vomiting
Sumber : Hebert e.j Prim Care 2008. 35 (3)
Table 4 : Clinical Manifestations of End-Organ Damage From Hypertensive Emergency
Central nervous system
Dizzness, NV, confusion, weakness, encephalopathy, ICH, SAH, ischemic stroke
Eyes
Ocular hemorrhage, exudates, or papiledema on fundoscopic exam, blurred vision, loss of sight
Heart
Angina, ACS, LVF, PE, aortic dissection, cardiogenic shock
Kidneys
Hematuria, proteinuria, pyelonephritis, elevated SCr and BUN, ARF
ACS; acute coronary syndrome; ARF: acute renal failure: BUN: blood urea nitrogen: ICH: intracranial hemorrhage; LVF: left ventricular failure; NV: nausea and vomiting: PE: pulmonary edema: SAH: subarachnoid hemorrhage; SCr, serum creatinine
Pergolini MS. The Management of hypertensive crises. Clin Ter 2009. 160 (2)
PENGOBATAN Hipertensi Urgensi - Tidak memerlukan penurunan tekanan darah segera sp normal dalam waktu observasi - Oral anti hipertensi bekerja cepat - Target tidak tercapai, tingkatkan dosis - Target tercapai dalam 3-7 hari
Table 5 : Management of Hypertensive Urgencies
AGENT
DOSE
ONSET/DURATION OF ACTION (AFTER DISCONTINUATION)
Captopril
25 mg p.o., repeat as needed SL, 25 mg
15-30 min/6-8 h SL, 15-30 min/2-6 h
Hypotension, renal failure in bilateral renal artery stenosis
Clonidine
0.1-0.2 mg p.o., repeat hourly as required to total dose of 0.6 mg
30-60 min/8-16 h
Hypotension, drowsiness, dry mouth
Labetalol
200-400 mg p.o repeat every 2-3 h
30 min-2 h/2-12 h
Bronchoconstriction, heart block, orthostatic hypotension
Amblodipi n
2,5-5 mg
1-2 hr/12-18 hr
Tachycardia, hypotension
Nifedipin
5 mg sl
5-20 min/2-6 hr
Tachycardio, hypotension
PRECAUTIONS
Adapted with permission from Vidt DG. Hypertensive crises: emergencies and urgencies. J Clin Hypertens (Greenwich ). 2004;6:520-525
Sumber : - Adaptec etc - InaSH - Hebert C.J Hypertensive Crises Prim Care 2008. 35 (3)
PENGOBATAN Hipertensi Emergensi - Dirawat di ICU - Obat anti hipertensi parenteral - Target : - Penurunan tekanan darah pd jam pertama 20-25 % - Minimalisir hipoperfusi organ vital - Penurunan tekanan darah selanjutnya dl 24 jam
Table 6 : Treatment of Hypertensive Emergencies Agent
Dosage
Onset/Duration of Action (after discontinuation)
Precautions
Sodium Nitroprusside
0.25-10 g/kg/min as IV infusion
Immediate/2-3 min after infusion
Nausea, vomiting; prolonged use may cause thiocyanate intoxication, methemoglobinemia, acidosis, cyanide poisoning; bags, bottles, delivery sets must be light resistant
Nitroglycerin
5-100 g as IV infusion
2-5 min/5-10 min
Headache, tachycardia, vomiting; flushing. Methemoglobinemia; requires special delivery system because of drug binding to PVC tubing
Nicardipine
5-15 mg/hr as IV infusion
1-5 min/15-30 min, but may exceed 12 hr after prolonged infusion
Tachycardia, nausea, vomiting, headache, increased intracranial pressure; hypotension may be protracted after prolonged infusions
Fenoldopam Mesylate
0.1-0.3 g/kg/min as IV infusinon
<5 min/30 min
Headache, tachycardia, flushing, local phlebitis, dizziness
Hydralazine
5-20 mg as IV bolus or 10-40 mg IM; repeat every 4-6 hr
10 min IV/> 1 hr (IV); 20-30 min IM/4-6 hr (IM
Tachycardia, headache, vomiting, aggravation of angina pectoris, sodium and water retension, increased intracranial pressure
Parenteral Vasodilators
Sumber : Hebert e.j Prim Care 2008. 35 (3)
Keadaan Khusus di Bidang Neurologi • Hipertensi Ensefalopati
– Perfusi ke serebral edem serebral progresif – Klinis : • kesadaran • Perdarahan retina • Papil edem • Defisit neurologi – Terapi : • tekanan darah 20-25% jam pertama • Obat : – Na Nitropruside – Labetalol
• Stroke Iskemi – Penurunan tekanan darah masih kontroversi – tekanan darah tiba-tiba iskemi cerebri bertambah – tekanan darah bila awal > 220/120 mmHg: • tdk lebih 10% pd jam I, 20%
– Obat
:
• Na Nitropruside • Nicardipin
pada 6-12 jam berikut
• Perdarahan serebral – Biasanya tekanan darah > 240/120 mmHg – Klinis : • penurunan kesadaran • Ngorok • tanda-tanda defisit neurologi
– Terapi :
• tek darah 20-25 % jam pertama 160/90 mmHg dl 24 jam • Obat : – Na Nitropruside – Nicardipin – CCB
ILM U PSIK IATR I
46. Jenis Waham Waham
Karakteristik
Bizzare
keyakinan yang keliru, mustahil dan aneh
Sistematik
keyakinan yang keliru atau keyakinan yang tergabung dengan satu tema/kejadian.
Nihilistik
perasaan yang keliru bahwa diri dan lingkungannya atau dunia tidak ada atau menuju kiamat.
Somatik
perasaan yang keliru yang melibatkan fungsi tubuh.
Paranoid (curiga)
termasuk didalamnya waham kebesaran, waham kejaran/presekutorik, waham rujukan (reference), dan waham dikendalikan.
Kebesaran/ grandiosity
keyakinan atau kepercayaan, biasanya psikotik sifatnya, bahwa dirinya adalah orang yang sangat kuat, sangat berkuasa atau sangat besar.
Kejar/ persekutorik
mengira bahwa dirinya adalah korban dari usaha untuk melukainya, atau yang mendorong agar dia gagal dalam tindakannya.
Rujukan/ delusion of reference
selalu berprasangka bahwa orang lain sedang membicarakan dirinya dan kejadian-kejadian yang alamiah pun memberi arti khusus/berhubungan dengan dirinya
Jenis Waham Waham
Karakteristik
Kendali
keyakinan yang keliru bahwa keinginan, pikiran, atau perasaannya dikendalikan oleh kekuatan dari luar. Termasuk di dalamnya: thought of withdrawal, thought of broadcasting, thought of insertion.
Thought of withdrawal
waham bahwa pikirannya ditarik oleh orang lain atau kekurangannya.
Thought of insertion
waham bahwa pikirannya disisipi oleh orang lain atau kekuatan lain.
Thought of broadcasting
waham bahwa pikirannya dapat diketahui oleh orang lain, tersiar diudara.
Cemburu
keyakinan yang keliru yang berasal dari cemburu patologis tentang pasangan yang tidak setia.
Erotomania
keyakinan yang keliru, biasanya pada wanita, merasa yakin bahwa seseorang sangat mencintainya.
PPDGJ
SKIZOFRENIA Skizofrenia
Gangguan isi pikir, waham, halusinasi, minimal 1 bulan
Paranoid
merasa terancam/dikendalikan
Hebefrenik
15-25 tahun, afek tidak wajar, perilaku tidak dapat diramalkan, senyum sendiri
Katatonik
stupor, rigid, gaduh, fleksibilitas cerea
Skizotipal
perilaku/penampilan aneh, kepercayaan aneh, bersifat magik, pikiran obsesif berulang
Waham menetap
hanya waham
Psikotik akut
gejala psikotik <2 minggu.
Skizoafektif
gejala skizofrenia & afektif bersamaan
Residual
Gejala negatif menonjol, ada riwayat psikotik di masa lalu yang memenuhi skizofrenia
Simpleks
Gejala negatif yang khas skizofrenia (apatis, bicara jarang, afek tumpul/tidak wajar) tanpa didahului halusinasi/waham/gejala psikotik lain. Disertai perubahan perilaku pribadi yang bermakna (tidak berbuat sesuatu, tanpa tujuan hidup, penarikan diri).
Kaplan & Sadock synopsis of psychiatry.
47. SEXUAL DISORDER (PARAFILIA) Diagnosis
Karakteristik
Fetishism
Sexually arousing fantasies, sexual urges, or behaviors involving the use of nonliving objects (e.g., female undergarments).
Frotteurism
Sexually arousing fantasies, sexual urges, or behaviors involving touching and rubbing against a nonconsenting person.
Masochism
Sexually arousing fantasies, sexual urges, or behaviors involving the act (real, not simulated) of being humiliated, beaten, bound, or otherwise made to suffer.
Sadism
Sexually arousing fantasies, sexual urges, or behaviors involving acts (real, not simulated) in which the psychological or physical suffering (including humiliation) of the victim is sexually exciting to the person.
Voyeurism
Sexually arousing fantasies, sexual urges, or behaviors involving the act of observing an unsuspecting person who is naked, in the process of disrobing, or engaging in sexual activity.
Necrophilia
Necrophilia is an obsession with obtaining sexual gratification from cadavers.
Diagnosis
Karakteristik
Pedophilia
Sexually arousing fantasies, sexual urges, or behaviors involving sexual attraction to prepubescent children (generally 13 years or younger) and the pedophilia must at least 16 years or older and at least 5 years older than the child
Eksibisionis
Seseorang yang selalu ingin memperlihatkan kemaluannya/genital kepada orang lain (biasanya orang asing) untuk mendapatkan kepuasan seksual
Pedoman Diagnosis Ekshibisionisme (DSM-IV)
48. TAHAPAN BERDUKA (KUBLER ROSS)
Tahapan Berduka TAHAPAN BERDUKA
PENJELASAN
Penyangkalan Penyangkalan terhadap kecemasan karena penyakit yang dialami (Denial ) pasien. Contoh: pasien merasa dokter telah salah mendiagnosis. Kemarahan (Anger)
Karena penyangkalan tidak mengubah apa-apa, emosi yang muncul adalah gusar, iri, marah kepada orang lain. Contoh: pasien marah dan bertanya-tanya kenapa ia harus menghadapi sakit, sementara orang lain tidak.
Tawar menawar (Bargaining)
Biasanya tidak disadari karena berlangsung singkat. Di tahap ini, pasien bertanya-tanya apakah ia dapat membuat kesepakatan dengan Tuhan atau takdirnya, sehingga ia dapat menunda kematian.
Depresi (Depression)
Pasien merasa lelah, menarik diri, putus asa, dan memancarkan kesedihan mendalam.
Penerimaan (Acceptance)
Pemikiran mulai rasional. Pikiran pasien terbuka bahwa ia tidak bisa menghindar dari kematian, tetapi ada hal yang dapat ia lakukan untuk mengoptimalkan kualitas hidup.
49. GANGGUAN SOMATOFORM Diagnosis
Karakteristik
Gangguan somatisasi
Banyak keluhan fisik (4 tempat nyeri, 2 GI tract, 1 seksual, 1 pseudoneurologis).
Hipokondriasis
Keyakinan ada penyakit fisik.
Disfungsi otonomik somatoform
Bangkitan otonomik: palpitasi, berkeringat, tremor, flushing.
Nyeri somatoform
Nyeri menetap yang tidak terjelaskan.
Gangguan Dismorfik Tubuh
Preokupasi adanya cacat pada tubuhnya Jika memang ada kelainan fisik yang kecil, perhatian pasien pada kelainan tersebut akan dilebih-lebihkan
PPDGJ
Bedanya dengan Psikosomatis, Gangguan Konversi, Malingering, Factitious disorder Kelainan
Karakteristik
Psikosomatis
Pada gangguan psikosomatis, ada keluhan dan ditemukan keabnormalan pada pemeriksaan. Namun penyebabnya adalah masalah psikis.
Gangguan Konversi
Adanya satu atau beberapa gejala neurologis (misalnya buta, lumpuh anestesi, amnesia, dll) yang tidak dapat dijelaskan dengan penjelasan medis maupun neurologis yang ada.
Malingering
Berpura-pura sakit atau melebih-lebihkan kondisi fisik yang sudah ada sebelumnya dengan tujuan untuk mendapatkan kompensasi tertentu (misalnya untuk mendapatkan cuti kerja).
Factitious disorder/ Munchhausen syndrome
Berpura-pura sakit atau membuat dirinya sakit. Namun hal ini dilakukan semata-mata untuk mendapatkan perhatian/ simpati dari orang lain saja.
50. PRINSIP TERAPI ANTIPSIKOTIK • Key points for using antipsychotic therapy: 1. 2.
3.
4.
An oral atypical antipsychotic drug should be considered as first-line treatment. Choice of medication should be made on the basis of prior individual drug response, patient acceptance, individual sideeffect profile and cost-effectiveness, other medications being prescribed and patient co-morbidities. The lowest-effective dose should always be prescribed initially, with subsequent titration. The dosage of a typical or an atypical antipsychotic medication should be within the manufacturer’s recommended range.
Western Australian Psychotropic Drugs Committee. Antipsychotic Drug Guidelines Version 3 August 2006
Psikofarmaka • Key points for using antipsychotic therapy: 5. 6. 7. 8. 9.
Treatment trial should be at least 4-8 weeks before changing antipsychotic medication. Antipsychotic medications, atypical or conventional, should not be prescribed concurrently, except for short periods to cover changeover. Treatment should be continued for at least 12 months, then if the disease has remitted fully, may be ceased gradually over at least 1-2 months. Prophylactic use of anticholinergic agents should be determined on an individual basis and re-assessment made at 3-monthly intervals. A trial of clozapine should be offered to patients with schizophrenia who are unresponsive to at least two adequate trials of antipsychotic medications.
Western Australian Psychotropic Drugs Committee. Antipsychotic Drug Guidelines Version 3 August 2006
Obat Antipsikotik Tipikal dan Atipikal
Dosis Obat Antipsikotik Chlorpromazine • PO: 30-75 mg/day divided q6-12hr initially; maintenance: usually 200 mg/day (up to 800 mg/day in some patients; some patients may require 1-2 g/day) Haloperidol • PO: Moderate disease, 0.5-2 mg q812hr initially • Severe disease, 3-5 mg q8-12hr initially; not to exceed 30 mg/day
Risperidone • 2 mg/day initially; may be increased in increments of 1-2 mg/day at intervals ≥24 hoursRecommended target dosage: 2-8 mg/day once daily or divided q12hr (efficacy follows bell-shaped curve; 4-8 mg/day more effective than 12-16 mg/day) Clozapine • 12.5 mg PO once daily or q12hr initially; increased daily in increments of 25-50 mg/day, if well tolerated, to achieve target dosage of 300-450 mg/day by end of 2 weeks • On occasion, may have to be increased to 600-900 mg/day to obtain acceptable response
KULIT & KELAMIN, MIKROBIOLOGI, PARASITOLOGI
51. Insect Bite • Etiologi – Nyamuk, kutu, skabies, lebah dan serangga lain
• Faktor Risiko – Pakaian terbuka, paparan terhadap serangga (kebun dll), hunian padat, higienitas rendah, binatang peliharaan
• Gejala dan Tanda – Nyeri (sengatan), gatal, urtikaria, bagian tengah terdapat vesikel/bula dengan isi jernih/hemoragik nekrosis
• Tatalaksana – Dinginkan lesi, losion kalamin atau anestesi lokal, steroid topikal potensi sedang bila terdapat urtikaria – Reaksi anafilaksis injeksi adrenalin http://www.dermnetnz.org/arthropods/bites.html
52. Kandidiosis Kutis • Candidiosis: penyakit yang disebabkan oleh genus candida • Klasifikasi: - Kandidiosis mukosa: kandidiosis oral, perleche, vulvovaginitis, balanitis, mukokutan kronik, bronkopulmonar - Kandidiosis kutis: lokalisata, generalisata, paronikia dan onikomikosis, dan granulomatosa - Kandidiosis sistemik: endokarditis, meningitis, pyelonefritis, septikemia - Reaksi id (kandidid)/autoeczematization: reaksi akut generalisat pada kulit akibat multifaktorial Buku Ajar Kulit dan Kelamin FKUI 2015
Kandidiosis Kutis • Faktor predisposisi - Endogen: perubahan fisiologik (kehamilan, obesitas, iatrogenik, DM, penyakit kronik), usia (orang tua dan bayi), imunologik - Eksogen: iklim panas, kelembapan tinggi, kebiasaan berendam kaki, kontak dengan penderita
Buku Ajar Kulit dan Kelamin FKUI 2015
Kandidiosis Kutis • Bentuk klinis: - Kandidiosis intertriginosa: - Kandidiosis perianal - Kandidiosis kutis generalisata
• Pemeriksaan diagnostik: KOH (ditemukan sel ragi, blastospora, atau hifa semu), kultur agar Saboraud • Tatalaksana: - menghindari faktor predisposisi - Antifungal: group azol oral (ketokonazole, fluconazole), topikal (miconazole) Buku Ajar Kulit dan Kelamin FKUI 2015
53. Paronikia • Infeksi jaringan lunak di lipatan kulit sekitar kuku • Awalnya berupa selulitis berkembang menjadi abses • Jenis: - Akut - Kronik • Gejala dan tanda umum: - Eritema, bengkak, pus terbentuk di bawah kulit, eponikia, kuku berubah warna • Diagnosis - Pewarnaan gram, KOH
Paronikia: (Klasifikasi) – Akut: Etiologi: Staphylococcus aureus Gejala: nyeri atau eritema di daerah posterior atau lateral lipatan kuku, dan diikuti oleh pembentukan abses superfisial Tanda: pus berwarna kuning di bawah kutikula – Kronik Etiologi: Candida albicans Gejala dan tanda: pemisahan abnormal lipatan kuku proximal dari lempeng kukuada space yg memungkinkan untuk kolonisasi Durasi: ≥ 6 minggu
TERAPI • Terapi sistemik pilihan paronikia akut – clindamycin 150-450 mg, 3-4 kali sehari – amoxicillin-asam klavulanat 250-500 mg 3 kali sehari efektif untuk bakteri yang resisten terhadap beta laktamase – Dicloxacillin maupun cephalexin juga efektif
• Paronikia kronik biasanya diberikan antimikotik seperti ketokonazole 200 mg per hari
• Terapi topikal •
•
miconazole krim 2 kali sehari selama 2-6 minggu. Losion atau krim Amfoterisin B ( fungizone ) tidak dapat digunakan bersamaan dengan imidazole, terdapat efek menetralkan antara satu sama lain.
• Pembedahan dilakukan atas dasar indikasi, jika infeksi akut sudah teratasi • Irisan (Insisi) dapat dilakukan jika ada abses. • Jika upaya di atas tidak berhasil dan kuku menancap ke dalam kulit maka dapat dilakukan pengangkatan kuku. (Roserplasty)
Komplikasi dan Prognosis • Komplikasi jarang terjadi, tapi jika terjadi dapat menyebabkan : – Abses – Infeksi Menyebar ke tendo, tulang ( osteomyelitis ) atau pembuluh darah. .
• Prognosis sangat baik dengan pengobatan yang tepat. • Paronikia akut sembuh dalam 5 sampai 10 hari dengan kerusakan kuku yang tidak permanen. • Paronikia kronik butuh waktu berminggu – minggu untuk sembuh, kulit & kuku akhirnya akan kembali normal. • Harus diingat untuk mengobati jika berulang, dan tetap menjaga agar daerah tersebut tetap kering
54. Nevus Pigmentosus • Etiologi – Sel-sel nevus kulit berasal dari neural crest, sel-sel ini membentuk sarangsarang kecil pada lapisan sel basal epidermis dan pada zona taut dermoepidermal. Sel-sel ini membelah dan masuk dermis dan membentuk sarang- sarang pada dermis
• Diagnosis Banding – Melanoma maligma, nevus biru, nevus sel epiteloid dan atau nevus spindel, KSB berpigmen, Histiositoma, Keratosis seboroik berpigmen
• Pengobatan • Umumnya tidak diperlukan pengobatan • Bila menimbulkan masalah secara kosmetik, atau sering terjadi iritasi karena gesekan pakaian, dapat dilakukan bedah eksisi • Bila ada kecurigaan ke arah keganasan dapat dilakukan eksisi dengan pemeriksaan histopatologi
Nevus Pigmentosus Kongenital
Nevus: Pola Dermatoskopik Melanosit
Lentigo • A lentigo is a small, sharply circumscribed, pigmented macule surrounded by normal-appearing skin. • Lentigines may evolve slowly over years, or they may be eruptive and appear rather suddenly. • Pigmentation may be homogeneous or variegated, with a color ranging from brown to black. • There are several types of lentigo, such as lentigo simplex, solar lentigo, ink spot lentigo, PUVA lentigo, generalised lentigo • Freckles will increase in number and darkness with sunlight exposure, whereas lentigo will stay stable in their color regardless of sunlight exposure
Histology • Histologic findings may include hyperplasia of the epidermis and increased pigmentation of the basal layer. • A variable number of melanocytes are present; these melanocytes may be increased in number, but they do not form nests. • Lentigo simplex is characterized by a slight-to-moderate elongation of the rete ridges with melanocyte proliferation in the basal layer, increased melanin in both the melanocytes and the basal keratinocytes, and the presence of melanophages in the upper dermis. • Ephelides (freckles) have an increase in pigment content in the basal cell layer, with neither elongated rete ridges nor increased number of melanocytes.
Ephelides/ Freckles • • • •
• • • •
•
Ephelides (freckles) are tanned macules found on the skin. Ephelides are associated with fair skin and red or blonde hair. In contrast to solar lentigines, ephelides are not strongly associated with age. Commonly, ephelides first appear at age 2 years and increase in number into young adulthood. In older ages, the number usually decreases. Simple ephelides are multiple, small, tanned macules, ranging from 1-5 mm in diameter, with uniform pigmentation. They are most commonly found on sun-exposed areas, such as the nose, the cheeks, the shoulders, and the upper part of the back. The macules may be discrete or confluent. Histopathologically in ephelides, the epidermis is unchanged. Specifically, the number of melanocytes is not increased. However, the melanosomes are larger than those in the surrounding skin. Cellular atypia of melanocytes have been noticed in some freckles. In contrast, solar lentigines have an increased number of melanocytes in the basal cell layer.
Melasma • Melasma is an acquired hypermelanosis of sun-exposed areas. • more common in light brown skin types, especially Latinos and Asians, from areas of the world with intense sun exposure. • Aetiology: Sunlight – Hormonal – Genetic predisposition. • Commonly among : – Constitutive brown skin. – Whose taking contraceptive pills. – Living in sunny climates.
• 90% are women
Melasma • Melasma presents as symmetrically distributed hyperpigmented macules, which can be confluent or punctate. • Areas that receive excessive sun exposure, • The macular hyperpigmentation of melasma is commonly tan to brown. • Blue or black may be evident in patients with dermal melasma. • The distribution is one of three patterns. – Centrofacial involves the forehead, cheeks, nose, upper lip, and chin. – Malar involves solely the nose and the cheeks. – Mandibular affects the ramus of the mandible
Histology • Melanin is increased in the epidermis, in the dermis, or (most commonly) in both locations in melasma patients. • Epidermal melanin is found in keratinocytes in the basal and suprabasal area. • In most cases, the number of melanocytes is not increased, yet the melanocytes that are present are larger, more dendritic, and more active. • Dermal melanin is found in the superficial and mid dermis within macrophages, which often congregate around small, dilated vessels.
Classification Of Melasma Epidermal
Dermal
Mixed
Indetermined
Comments
melanin is increased in the epidermis, with only a few melanocytes in the upper dermis
many melanophages throughout the entire dermis
melanin is increased in the epidermis, many melanophages throughout the dermis
Seen with people with Fitzpatrick type V or VI skin
Wood lamp examination
Enhanced
does not enhance
spotty enhancement
Not helpful
55. Pitiriasis versikolor •
Penyakit jamur superfisial kronik yang disebabkan Malassezia furfur
•
Gejala – Bercak berskuama halus yang berwarna putih sampai coklat hitam, meliputi badan, ketiak, lipat paha, lengan, tungkai atas, leher, muka, kulit kepala yang berambut – Asimtomatik – gatal ringan, berfluoresensi
•
Pemeriksaan • Lampu Wood (kuning keemasan), KOH 20% (hifa pendek, spora bulat: meatball & spaghetti appearance)
•
Obat • Selenium sulfida (shampoo), azole, sulfur presipitat – Jika sulit disembuhkan atau generalisata, dapat diberikan ketokonazol 1x200mg selama 10 hari Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
ILMU K E S E H ATAN ANAK
56. HEMOSTASIS Hemostasis („hemo”=blood;; ta=„remain”) is the stoppage of bleeding, which is vitally important when blood vessels are damaged. Following an injury to blood vessels several actions may help prevent blood loss, including:
Formation of a clot
http://practical-haemostasis.com/Screening%20Tests/aptt.html
Spontaneous bleeding (without injury)
DEEP, SOLITARY
SUPERFICIAL, MULTIPLE petechiae, purpura, ecchymoses
platelet disorder
hematoma, hemarthrosis
coagulation disorder Kuliah Hemostasis FKUI.
B L E E D IN G
Severe
Mild
intervention
stopped continues prolonged Platelet disorder
delayed Coagulation disorder Kuliah Hemostasis FKUI.
Simple schematic diagram to diagnose hemostasic disorders
Kuliah Hemostasis FKUI.
Finding
Disorders of Coagulation
Disorders of Platelets or Vessels
Petechiae
Rare
Characteristic
Deep dissecting hematomas
Characteristic
Rare
Superficial ecchymoses
Common; usually large and solitary
Characteristic; usually small and multiple
Hemarthrosis
Characteristic
Rare
Delayed bleeding
Common
Rare
Bleeding from superficial cuts and scratches
Minimal Persistent
often profuse
Sex of patient
80–90% of inherited forms Relatively more common occur only in male patients in females
Positive family history
Common
Rare (exc. vWF , hereditary hemorr. telangiectasia)
Clinical characteristic
Clotting factor deficiency
Platelet defect
Site of bleeding
Deep in soft tissues (joints, muscles)
Petechiae
Absent
Skin, mucous membranes (gingivae, nares, GI and genitourinary tracts) Present
Ecchymoses
Large, palpable
Small, superficial
Hemarthroses, muscle hematomas
Common
Rare
Bleeding after surgery
Delayed, severe
Immediate, mild
Kelainan Pembekuan Darah
http://periobasics.com/wp-content/uploads/2013/01/Evaluation-of-bleeding-disorders.jpg
Bleeding Disorder
Henoch Schonlein Purpura • Also called “anaphylactoid purpura” • HSP is a systemic vasculitic syndrome with: – – – –
Palpable purpura Arthralgias GI involvement Glomerulonephritis
• 90% of cases reported in children – Peak in children aged 4-7
• Male:Female (1.5:1) • Renal disease is more severe in adults
PATHOGENESIS • Likely mechanism thought to be an immunecomplex mediated disease with deposits in the glomerular capillaries, dermal capillaries and GI tract. • Mesangial deposits of IgA are the same as those seen in IgA nephropathy
CLINICAL FEATURES: Tetrad of symptoms • Abdominal pain – GI INVOLVEMENT: more common in children. Symptoms include abdominal pain, nausea, vomiting, diarrhea, constipation or bowel intussusception. May present with GI bleeding.
• Renal disease – in up to 50% of patients; May present with hematuria; Usually resolve spontaneously. – Can have mild glomerulonephritis leading to microscopic hematuria and can lead to a rapidly progressive glomerulonephritis with RBC casts
• Palpable purpura – most commonly seen on lower extremities and buttocks, however can also been seen on the trunk and arms. – Lesions begin as erythematous macules and progress to purpuric, non-blanching, nonpruritic lesions that may become confluent
• Arthritis/arthralgias – more common in adults and most common in knees and ankles. Generally self-limiting
DIAGNOSIS LABORATORIUM
DIAGNOSIS
• May have mild leukocytosis • Normal platelet count • Normal serum complement levels • Elevated IgA in 50%
• Generally a clinical diagnosis • Skin Biopsy: can be helpful and used to confirm IgA and C3 deposits and leukocytoclastic vasculitis. • Renal Biopsy: not usually needed for diagnosis. Will show mesangial IgA deposits and segmental glomerulonephritis
MANAGEMENT • Usually self-limiting (1-6 weeks) • Steroids: – may decrease tissue edema, may aid in arthralgias and some abdominal pain – Has not been shown to be beneficial in kidney disease or dermal manifestations – Does not lessen chance of recurrence – Does not shorten duration of disease
Palpable Purpura in HSP: Symmetrical Dependent areas
Von Willebrand Disease • Most common inherited bleeding disorder affecting ~ 1% of the population • Inherited VWD is caused by genetic mutations that lead to decreased production OR impaired function of Von Willebrand Factor (VWF) • Acquired VWD is most commonly associated with immunoproliferative cancer and Autoimmune Dz ( SLE) • There are 4 type of VWD: Type I-IV – Type I is the most common form accounting for ~ 70% of all patients with VWD. Autosomal dominant inheritance – Type II has 4 subtype: IIA, IIB, IIN, IIM – Type III is extremely rare (~1/1,000,000). Autosomal Rescessive; This is the most severe form of VWD due to very low VWF levels resulting in decreased platelet aggregation AND low Factor VIII level
• Primary symptoms of Von Willebrand Disease include: – – – –
abnormal or heavy menstrual bleeding easy bruising frequent or hard-to-stop nosebleeds skin rash
How does VWF promote clotting • VWF is a large molecule which usually circulates in the blood in the form of a “Multimer” composed of two basic subunits. • These large Multimers have two main binding sites. One site binds to injured epithelium and the other site binds to platelets. • These VWF multimers form an adhesive bridge between platelets and injured vascular epithelium • They also form a bridge between adjacent platelets allowing them to bind together and effectively form a platelet plug at sites of endothelial injury • VWF additionally functions as a carrier for factor VIII AND it also protects factor VIII from being rapidly broken down thereby extending its half life. Therefore VWF is also extremely important in normal Fibrin clot formation
Some Lab test for VWF • Plasma VWF antigen level (VWF:Ag) • • • • • •
Plasma VWF activity (ristocetin Cofactor activity) Factor VIII Activity Platelet function analyzer assay VWF Multimer Gel Electrophoresis Ristocetin induced platelet aggregation Bleeding time
What do the test Measure • VWF Ag : Immunological assay ( ELISA) Quantitative test only No assessment of function (Type I decreased)
• VWF activity : Ristocetin cofactor activity : quantitate platelet agglutination after addition of ristocetin and VWF OR Collagen binding activity: quantitate binding of VWF to collagen coated platelets (decreased in all except Type IIN)
• VWF Electrophoresis : Size distribution of VWF Multimers
(Type
IIA decreased large and intrmd multimer)
• Risocetin induced platelet aggregation:
Measures the
ability of the pt VWF to bind to platelets after the addition of ristocetin (Type IIB Increased platelet antigen)
• Liver disease: mengalami kelainan hemostasis primer berupa trombositopenia dan juga kelainan hemostasis sekunder (koagulopati) karena liver adalah tempat utama penghasil prokoagulan dan antikoagulan • vWF disease terjadi akibat defisiensi faktor vWF yang bertugas membangun jembatan adhesi platelet dengan dinding vaskular yang terluka pada hemostasis primer dan memiliki tugas tambahan mengikat dan menstabilisasi faktor VIII yang tidak stabil. • HSP (henoch schonlein purpura) kelainan vaskulitis yang diperantarai oleh IgA pada pembuluh darah kecil, ditandai dengan adanya purpura, kelainan ginjal, kelainan GI (melena), kelainan sendi (atralgia/artritis) • Kawasaki disease: an acute febrile vasculitic syndrome of early childhood Fever (Enanthem, Bulbar conjunctivitis, Rash, Internal organ involvement, Lymphadenopathy, Extremity changes)
Analisis soal • Pada soal, terdapat gejala berupa ekimosis dan purpura, yang berarti termasuk dalam kelainan hemostasis primer, yaitu kelainan vaskular dan trombosit. • Dari semua pilihan yang ada, yang termasuk dalam kelainan ini adalah HSP, ITP, DHF, dan von willebrand disease
57. Hepatitis Viral Akut • Hepatitis viral: Suatu proses peradangan pada hati atau kerusakan dan nekrosis sel hepatosit akibat virus hepatotropik. Dapat akut/kronik. Kronik → jika berlangsung lebih dari 6 bulan • Perjalanan klasik hepatitis virus akut – Fase inkubasi – Stadium prodromal/ preikterik: flu like syndrome, – Stadium ikterik: gejala-gejala pada stadium prodromal berkurang disertai munculnya ikterus, urin kuning tua – Stadium konvalesens/penyembuhan
• Anamnesis Hepatitis A : – Manifestasi hepatitis A: • Anak dicurigai menderita hepatitis A jika ada gejala sistemik yang berhubungan dengan saluran cerna (malaise, nausea, emesis, anorexia, rasa tidak nyaman pada perut) dan ditemukan faktor risiko misalnya pada keadaan adanya outbreak atau diketahui sumber penularan.
Pedoman Pelayanan Medis IDAI Behrman RE. Nelson’s textbook of pediatrics, 19th ed. McGraw-Hill; 2011.
Hepatitis A • Virus RNA (Picornavirus) ukuran 27 nm • Kebanyakan kasus pada usia <5 tahun asimtomatik atau gejala nonspesifik • Rute penyebaran: fekal oral; transmisi dari orang-orang dengan memakan makanan atau minumanterkontaminasi, kontak langsung. • Inkubasi: 2-6 minggu (ratarata 28 hari) Behrman RE. Nelson’s textbook of pediatrics, 19th ed. McGraw-Hill; 2011.
Hepatitis Hepatitis
Jenis virus
Antigen
Antibodi
Keterangan
HAV
RNA
HAV
Anti-HAV
Ditularkan secara fekaloral
HBV
DNA
HBsAg HBcAg HBeAg
Anti-HBs Anti-HBc Anti-HBe
•Ditularkan lewat darah •Karier
HCV
RNA
HCV C100-3 C33c C22-3 NS5
Anti-HCV
Ditularkan lewat darah
HDV
RNA
HBsAg HDV antigen
Anti-HBs Anti-HDV
Membutuhkan perantara HBV (hepadnavirus)
HEV
RNA
HEV antigen
Anti-HEV
Ditularkan secara fekaloral
Hepatitis A • Self limited disease dan tidak menjadi infeksi kronis • Gejala: – – – – –
Fatique Demam Mual Nafsu makan hilang Jaundice karena hiperbilirubin – Bile keluar dari peredaran darah dan dieksresikan ke urin warna urin gelap – Feses warna dempul (claycoloured)
• Diagnosis – Deteksi antibodi IgM di darah – Peningkatan ALT (enzim hati Alanine Transferase)
• Pencegahan: – Vaksinasi – Kebersihan yang baik – Sanitasi yang baik
• Tatalaksana: – Simptomatik – Istirahat, hindari makanan berlemak dan alkohol – Hidrasi yang baik – Diet
Profilaksis Hepatitis A • Imunoglobulin yang diberikan sebelum pajanan atau sewaktu masa inkubasi awal efektif mencegah timbulnya gejala klinis hepatitis A. • Untuk profilaksis pascaterpajan orang dekat dengan hepatitis A (tinggal serumah, pasangan seks), imunoglobulin segera diberikan dengan dosis 0,02 mL/kg.
• Ig masih efektif bila diberikan paling lambat 2 minggu setelah terpajan. • Imunoglobulin profilaksis tidak diberikan untuk: – – – –
Orang yang sudah vaksin hepatitis A, Kontak kasual di tempat kerja, sekolah, rumah sakit, Lansia yang kemungkinan besar sudah imun, Orang yang sudah anti-HAV (+).
Harrison’s principles of internal medicine. 19th ed.
Profilaksis Hepatitis A
Profilaksis Hepatitis A
• • •
Vaksin diberikan dengan injeksi IM. Proteksi anti-HAV pascavaksin mulai timbul 4 minggu setelah pemberian pertama. Proteksi bertahan hingga 20 tahun. Harrison’s principles of internal medicine. 19th ed.
Jadwal Imunisasi Anak Umur 0 – 18 tahun Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Tahun 2014 Umur pemberian vaksin Jenis vaksin Hepatit i s B Polio BCG DTP Hib PCV Rotavirus e Influ nza Campak MMR Tifoid Hepatit i s A Varisela HPV
Lahir
1
1
2
0
2
3
4
Bulan 5 6
9
12
15
18
24
3
5
6
Tahun 7 8
10
12
18
3 1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
4
5
4
5
1 kali 6 (Td)
7(Td)
4 4 Ulangan 1 kaliptia tpahun 1
Keterangan Cara membaca kolom umur: misal 2 u berarti mu r 2 bul an (60 har i) sd 2 bul an 29 har i (89 har i) Rekomendasi imunisasi berlaku mulai 1 Januaril 2014 dan dapat diakses pada website IDAI (http : // idai.or.id/public-artices/kl ini k/i mu ni sasi /j adw al-imunisasi-anak-idai.html) Untuk memahami tabel jadwal imunisasi perlu membaca keterangan tabel 1. Vaksin hepatit i s B. Paling baik diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir dan didahului pemberian suntikan vitamin K1. Bayi lahir dari ibu HBsAg positif, diberikan vaksin hepatit i s B dan imunoglobulin hepatit i s B (HBIg) pada ekstremitas yang berbeda. Vaksinasi hepatit i s B selanjutnya dapat menggunakan vaksinihepatit Bs mon o valen atau vaksin kombinasi. 2. Vaksin polio. Pada saat lahir atau pada saat bayi dipulangkan harus diberikan vaksin polio oral (OPV-0). Selanjutnya, untuk polio-1, polio-2, polio-3 dan polio booster dapat diberikan vaksin OPV atau IPV, namun sebaiknya paling sedikit mendapat satu dosis vaksin IPV. 3. Vaksin BCG. Pemberian vaksin BCG dianjurkan sebelum 3 bulan, a optiml umur 2 bulan. Apabila diberikan sesudah umur 3 bulan, perlu dilakukan uji tuberkulin. 4. Vaksin DTP. Vaksin DTP pertama diberikan paling cepat pada umur 6 minggu. Dapat diberikan vaksin DTwP atau DTaP atau kombinasi dengan vaksin lain. Untuk anak umur lebih dari 7 tahun diberikan vaksin Td, dibooster setia p 10 t ahun. 5. Vaksin campak. Vaksin campak keduaa tidk perlu diberikan pada umur 24 bulan, apabila MMR sudah diberikan pada 15 bulan.
2 1
3 2 Ulangan tia 3 t ahun 2 kali, interval 6-12 bulan 1 kali 3 kali
6. Vaksin pneumokokus (PCV). Apabila diberikan pada umur 7-12 bulan, PCV diberikan 2 kali dengan interval 2 bulan; pada umur lebih dari 1 tahun diberikan 1 kali, namun keduanya perlu booster 1 kali pada umur lebih dari 12 bulan atau minimal 2 bulan setelah dosis terakhir. Pada anak umur di atas 2 tahun PCV diberikan cukup satu kali. 7. Vaksin rotavirus. Vaksin rotavirus monovalen diberikan 2 kali, vaksin rotavirus pentavalen diberikan 3 kali. Vaksin rotavirus monovalen dosis I diberikan umur 6-14 minggu, dosis ke-2 diberikan dengan interval minimal 4 minggu. Sebaiknya vaksin rotavirus monovalen selesai diberikan sebelum umur 16 minggu danatidk melampaui umur 24 minggu. Vaksin rotavirus pentavalen : dosis ke-1 diberikan umur 6-14 minggu, interval dosis ke-2 dan ke-3, 4-10 minggu; dosis ke-3 diberikan pada umur kurang dari 32 minggu (interval minimal 4 minggu). 8. Vaksin varisela. Vaksin varisela dapat diberikan setelah umur 12 bulan, terbaik pada umur sebelum masuk sekolah dasar. Apabila diberikan pada umur lebih dari 12 tahun, perlu 2 dosis dengan interval minimal 4 minggu. 9. Vaksineinflunz a. Vaksineinflunz a diberikan pada umur minimal 6 bulan, diulang p setia tahun. Untuk imunisasi pertama kali (primary immunizatio n ) pada anak umur kurang dari 9 tahun diberi dua kali dengan interval minimal 4 minggu. Untuk anak 6 - < 36 bulan, dosis 0,25 mL. 10. Vaksin human papiloma virus (HPV). Vaksin HPV dapat diberikan mulai umur 10 tahun. Vaksin HPV bivalen diberikan tiga kali dengan interval 0, 1, 6 bulan; vaksin HPV tetravalen dengan interval 0,2,6 bulan.
JADWAL IMUNISASI TAHUN 2016
Serologi Hepatitis A, B, C
Penanda Serologis Hepatitis
Hepatitis relaps didefinisikan sebagai meningkatnya kembali konsentrasi aminotransferase dan bilirubin yang sudah kembali normal dalam masa penyembuhan.
58. HERNIA DIAFRAGMA
Photograph of a one-day-old infant with congenital diaphragmatic hernia. Note the scaphoid abdomen. This occurs if significant visceral herniation into the chest is present. http://emedicine.medscape.com/article/934824-overview
http://emedicine.medscape.com/article/934824-overview#a0104
Because of bowel herniation into the chest during crucial stages of lung development, airway divisions are limited
Because airspace development follows airway development, alveolarization is similarly reduced
Development of the pulmonary arterial system parallels development of the bronchial tree, and, therefore, fewer arterial branches
Pathogenesis Pulmonary hypertension resulting from these arterial anomalies leads to right-to-left shunting at atrial and ductal levels
vicious cycle of progressive hypoxemia, hypercarbia, acidosis, and pulmonary hypertension observed in the neonatal period
The pathophysiology of congenital diaphragmatic hernia involves pulmonary hypoplasia, pulmonary hypertension, pulmonary immaturity, and potential deficiencies in the surfactant and antioxidant enzyme system
Management • Immediately following delivery, the infant is intubated (bag and mask ventilation is avoided). • A nasogastric tube is passed to decompress the stomach and to avoid visceral distention. • Adequate assessment involves continuous cardiac monitoring, ABG and systemic pressure measurements • Urinary catheterization to monitor fluid resuscitation, • preductal (radial artery) and postductal (umbilical artery) oximetry. • Surfactant http://emedicine.medscape.com/article/934824-overview#a0104
Management • No ideal time for repair of congenital diaphragmatic hernia is recognized, but the authors suggest that the window of opportunity is 24-48 hours after birth to achieve normal pulmonary arterial pressures and satisfactory oxygenation and ventilation with minimal ventilator settings. • Bisa semi-elektif pada pasien stabil http://emedicine.medscape.com/article/934824-overview#a0104
Presentation • In the physical examination, the abdomen is scaphoid • Upon auscultation, breath sounds are diminished, bowel sounds may be heard in the chest, and heart sounds are distant or displaced.
http://emedicine.medscape.com/article/934824-overview#a0104
Late presentation • Patients may present outside of the neonatal period with variable respiratory distress and cyanosis, feeding intolerance, intestinal obstruction, bowel ischemia, and necrosis following volvulus. • Most patients with Congenital Diaphragmatic Hernia present early rather than late in life; however, a subset of adults may present with a congenital hernia that was undetected during childhood.
Chest Radiograph An early chest radiograph is obtained to confirm the diagnosis of CDH. Findings include loops of bowel in the chest, mediastinal shift, paucity of bowel gas in the abdomen, and presence of the tip of a nasogastric tube in the thoracic stomach.
59. Defisiensi Yodium • Defisiensi yodium yang parah berpengaruh pada sintesis hormon tiroid dan/atau pembesaran tiroid. • Spektrum Iodine deficiency disorders (IDDs): endemic goiter, hypothyroidism, cretinism, decreased fertility rate, increased infant mortality, and mental retardation • Manifestasi klinis: – Endemic goiter – Hipotiroid: fatigue, weight gain, cold intolerance, dry skin, constipation, or depression – Kretinism – Retardasi mental
• Tx: yodium 150 mcg/day (pd ps. Yg tdk hamil), levotiroksin, radioactive iodine, bedah (jika kompresif) • Sediaan yang mudah didapatkan adalah Garam beryodium, Lainnya bisa berupa: – Suplementasi yodium pada binatang – Suntikan minyak beryodium (Lipiodol) – Kapsul minyak beryodium
60. GIGANTISME
http://physrev.physiology.org/content/physrev/92/1/1/F1.large.jpg
http://www.elsevierimages.com/images/vpv/000/000/028/282600550x0475.jpg
Gigantisme • Pertumbuhan linear yang abnormal karena kerja insulinlike growth factor I (IGF-I) yang berlebihan ketika masa kanak-kanak dimana epiphyseal growth plates masih terbuka • Acromegaly merupakan kelainan yang sama tetapi terjadi setelah lempeng epifise tertutup. • Gigantisme biasa muncul saat kanak-kanak atau remaja muda.
Normal Growth Hormone Physiology • Disekresikan oleh hipofisis anterior secara pulsatil. – –
Oleh karena itu memeriksa kadar GH secara random tidak berguna GH turun secara drastis setelah gula masuk ke dalam tubuh (hal ini tidak terjadi pada akromegali/gigantisme yang tidak mengalami penurunan GH setelah diberi tes toleransi glukosa)
• GH mempunyai efek langsung pada tubuh, tetapi juga berefek pada sel kelenjar untuk melepaskan hormon lainnya: –
–
GH bekerja pada sel khusus di hepar melepaskan hormon yang disebutInsulinlike Growth Factor (IGF-1) (atau disebut juga Somatomedin-C) Karena IGF-1 dilepaskan dengan kadar yg relatif spontan, maka lebih bagus digunakan untuk memeriksa akromegali/ gigantisme
Normal Control of Growth Hormone Production
• Hipotalamus mengontrol jumlah GH yang dikeluarkan oleh hipofisis dengan mengeluarkan neuropeptida growth hormone releasing hormone (GHRH). • Neuropeptida utama yang menghambat pelepasan GH disebut somatostatin
Etiologi • Causes of excess IGF-I action can be divided into the following 3 categories: – Release of primary GH excess from the pituitary – Increased GHRH secretion or hypothalamic dysregulation – Hypothetically, the excessive production of IGF-binding protein, which prolongs the half-life of circulating IGF-I
• Gigantism is a form of familial pituitary adenomas, and may run in some families due to a genetic mutation. • Gigantism can also be associated with other conditions, including: – Carney complex – McCune-Albright syndrome (MAS) – Multiple endocrine neoplasia type 1 (MEN-1) – Neurofibromatosis
Gejala dan Tanda Gigantisme • Tall stature • Mild to moderate obesity (common) • Macrocephaly (may precede linear growth) • Headaches • Visual changes • Hypopituitarism • Soft tissue hypertrophy • Exaggerated growth of the hands and feet, with thick fingers and toes • Coarse facial features
• • • • • • • •
Frontal bossing Prognathism Hyperhidrosis Osteoarthritis (a late feature of IGF-I excess) Peripheral neuropathies (eg, carpel tunnel syndrome) Cardiovascular disease Benign tumors Endocrinopathies
http://emedicine.medscape.com/article/925446-treatment#a1156
Gigsntisme Pemeriksaan
Tatalaksana
• Laboratorium
• Pengobatan
– Growth Hormon – IGF-I pemeriksaan lab paling baik karena pengeluaran oleh tubuh tidak bersifat pulsatil
• Imaging – Radiografi – CT Scan – MRI
• Histologi – Untuk menemukan adenoma/ karsinoma/ hiperplasia
– – – –
Analog somatostatin Agonis reseptor dopamin Antagonis reseptor GH Radiasi
• Operasi transphenoidal
61. Sindrom eisenmenger • Suatu kondisi dimana defek jantung kongenital yang tidak dikoreksi menyebabkan hipertensi pulmonal yang ireversibel, reversal flow, dan sianosis • Pirau dari kiri ke kanan berubah menjadi kanan ke kiri akibat meningkatnya tekanan arteri pulmonal. • 50% dari VSD besar yg tidak dikoreksi dan 10% dari pasien dgn ASD besar tdk dikoreksi, serta hampir semua pasien truncus arteriosus berpotensi mengalami sindrom eisenmenger
Etiology • Peningkatan aliran arteri pulmoner - Atrial septal defect (ASD), systemic arteriovenous fistulae, total anomalous pulmonary venous return • Peningkatan aliran dan tekanan arteri pulmoner VSD besar, PDA besar, truncus arteriosus, single ventricle dgn aliran darah pulmoner yang normal • Peningkatan tekanan vena pulmoner - Mitral stenosis, cor triatriatum, obstructed pulmonary venous return
Gejala GEJALA HIPERTENSI PULMONAL: • Sesak napas • Fatigue • Letargi • Toleransi latihan fisik berkurang dengan fase pemulihan yg lambat • Presyncope • Syncope GEJALA GAGAL JANTUNG: • DOE • Orthopnea • Paroxysmal nocturnal dyspnea • Edema • Ascites • Anorexia • Nausea
GEJALA ERYTHROCYTOSIS: • Myalgias • Anorexia • Fatigue • Paresthesia jari-jari dan bibir • Tinnitus • Pandangan kabur • Nyeri kepala & pusing • Irritabilitas GEJALA VASODILATASI: • Presyncope • Syncope
Tanda • Sianosis sentral • Clubbing finger/ jari tabuh • Palpasi prekordial didapatkan adanya ventricular heave kanan dan palpable S2. • Suara P2 yang keras • High-pitched early diastolic murmur dari insufiensi pulmonal • Right-sided fourth heart sound • Pulmonary ejection click • Single S2
Tatalaksana • • • • •
Jaga fluid balance Gagal jantung kanan: diuretik utk mengurangi gejala kongestif Pulmonary vasodilating agents: fosfodiesterase, prostasiklin Eritrositosis flebotomi Bedah paliatif: – tidak ada bedah korektif yang bisa mengkoreksi kelainan kongenital (defek primer) yang telah menyebabkan eisenmenger syndrome – Heart-lung transplantation and single or bilateral, sequential lung transplantation are viable transplant procedures and are the only surgical options for a patient with Eisenmenger syndrome. • Untuk ps. Wanita disarankan jangan hamil (mother mortality rate 50%) ligasi tuba
Prognosis • Eisenmenger syndrome bersifat fatal; tetapi sebagian kecil pasien berhasil bertahan hidup hingga dekade keenam. • Angka harapan hidup biasanya sekitar 20-50 tahun jika didiagnosa awal dan ditatalaksana maksimal.
62. Vitamin B1 • Vitamin thiamin (B1) memiliki bentuk aktif thiamine pyrophosphate yang merupakan koenzim dari metabolism karbohidrat dalam proses dekarboksilasi alpha ketoacids (cth: asam piruvat) . • Dengan kata lainn, Thiamin berperan penting pada siklus kreb di dua tempat: – The oxidative decarboxylation of pyruvate to acetyl CoA;
– The oxidative decarboxylation of alpha-ketoglutarate to succinyl CoA.
• Thiamine juga berperan sebagai koenzim pada pembentukan glukosa di jalur pentose monophosphate (reaksi transketolase).
Krebs cycle
TPP: Thiamine Pyrophosphate TPP is the coenzyme for alpha-ketoacid dehydrogenases: • pyruvate dehydrogenase • alpha-ketoglutarate dehydrogenase
Defisiensi Vitamin B Vitamin B1 (Thiamine)
Beriberi - a disease whose symptoms include weight loss, body weakness and pain, brain damage, irregular heart rate, heart failure, and death if left untreated
Causes distinctive bright pink tongues, although other Vitamin B2 (Riboflavin) symptoms are cracked lips, throat swelling, bloodshot eyes, and low red blood cell count Pellagra - symptoms included diarrhea, dermatitis, dementia, Vitamin B3 (Niacin) and finally death (4D) Vitamin B5 Acne and Chronic paresthesia (Pantothenic Acid) Microcytic anemia, depression, dermatitis, high blood Vitamin B6 pressure (hypertension), water retention, and elevated levels (Pyridoxine) of homocysteine Causes rashes, hair loss, anaemia, and mental conditions Vitamin B7 (Biotin) including hallucinations, drowsiness, and depression Causes gradual deterioration of the spinal cord and very Vitamin B12 gradual brain deterioration, resulting in sensory or motor (Cobalamin) deficiencies
Water-Soluble Vitamins Small Intestine
Fat-Soluble Vitamins Small Intestine
Hydrophilic
Hydrophobic
Absorbed into the
Blood
Lymph
Stored in the body
Not Generally
Yes
Can build up and become toxic
Not Generally
Yes
Need to consume daily
Yes
No
Absorbed in the Hydrophobic or Hydrophilic
Beriberi • Beriberi is a disease caused by a vitamin B1 (thiamine) deficiency. • There are two types of the disease: wet beriberi and dry beriberi. • Wet beriberi affects the heart and circulatory system. In extreme cases, wet beriberi can cause heart failure. • Dry beriberi damages the nerves and can lead to a loss of muscle strength and eventually, muscle paralysis. • Beriberi can be life-threatening if it isn’t treated.
Who Is at Risk? • The main cause of beriberi is a diet low in thiamine. • Beriberi is most common in regions of the world where the diet includes a lot of unenriched white rice, which only has a tenth of the amount of thiamine as brown rice. • Alcohol abuse (can’t absorb and store thiamine). • Genetic beriberi is a rare condition that prevents the body from absorbing thiamine. • Pregnant women, breast-feeding mothers, and anyone with hyperthyroidism (over-active thyroid gland) need extra thiamine. • Prolonged diarrhea or use of diuretics can lead to depletion of thiamine. • Kidney dialysis (depleting body’s stores of thiamine more quickly)
Sources • • • • • • • • • • •
Pork & pork products, All meat, Liver Beans Sunflower seeds, Cereals Enriched and wholegrains Dry beans and peas Bread, flour Avocado Yeast Milk
B1 – Thiamin Functions •
•
•
•
Thiamine helps a great many bodily functions, acting as the coenzyme thiamine pyrophosphate (TPP). Coenzyme TPP is required for series of metabolic reactions to release energy from carbohydrate mainly, branched-chain amino acids & fatty acid Thiamine is also needed to metabolize ethanol, converting it to carbon dioxide and water. B1 helps in the initial steps of fatty acid and sterol production. In this way, thiamine also helps convert carbohydrate to fat for storage of potential energy.
•
• •
•
•
Thiamine is important to the health of the nerves and nervous system, possibly because of its role in the synthesis of acetylcholine (via the production of acetyl CoA). With a lack of vitamin B1, the nerves are more sensitive to inflammation. Thiamine is linked to individual learning capacity and to growth in children. It is also important to the muscle tone of the stomach, intestines, and heart because of the function of acetylcholine at nerve synaptic junction. Assists in production of DNA and RNA
Classification of Beri-Beri • Dry Beriberi • Cardiovascular (Wet Beriberi) • Infantile Beriberi • Shoshin Beriberi • Wernicke-Korsakoff syndrome
Biochemistry for medics
Pathophysiology of Thiamine deficiency (Beri-Beri) • Deficiency causes degeneration of peripheral nerves, thalamus, mammillary bodies, and cerebellum. • Cerebral blood flow is markedly reduced, and vascular resistance is increased. • The heart may become dilated; muscle fibers become swollen, fragmented, and vacuolized, with interstitial spaces dilated by fluid. • Vasodilation occurs and can result in edema in the feet and legs. • Arteriovenous shunting of blood increases. Eventually, high-output heart failure may occur. Biochemistry for medics
Dry Beriberi • Nervous system involvement is termed dry beriberi. • The neurologic findings can be peripheral neuropathy characterized by symmetric impairment of sensory, motor, and reflex functions of the extremities • These deficits are bilateral and roughly symmetric, occurring in a stocking-glove distribution. Biochemistry for medics
Dry Beriberi (Contd.) •
• • • • • • •
They affect predominantly the lower extremities, beginning with paresthesias in the toes, burning in the feet (particularly severe at night), muscle cramps in the calves, pains in the legs, and plantar dysesthesias. Calf muscle tenderness, difficulty rising from a squatting position, and decreased vibratory sensation in the toes are early signs Continued deficiency worsens polyneuropathy, which can eventually affect the arms. mental confusion difficulty speaking vomiting involuntary eye movement paralysis Biochemistry for medics
Dry Beriberi
Deficiency causes degeneration of peripheral nerves, thalamus, mammillary bodies, and cerebellum. Biochemistry for medics
Cardiovascular (wet) beriberi • Wet beriberi is the term used for the cardiovascular involvement of thiamine deficiency. • The first effects are vasodilatation, tachycardia, a wide pulse pressure, sweating, warm skin, and lactic acidosis. • Later, heart failure develops, causing orthopnea and pulmonary and peripheral edema. • Vasodilatation can continue, sometimes resulting in shock. Biochemistry for medics
Cardiovascular (wet) beriberi
"Pedal edema before and after the application of pressure to the shin." Biochemistry for medics
63. EKSANTEMA AKUT
Roseola Infantum ≈ Exanthem Subitum • Human Herpes Virus 6 (and 7) • Yg rentan: 6-36 bulan (puncak 6-7 bulan) • Musim: sporadik • Inkubasi: 9 hari • Masa infeksius: berada dalam saliva secara intermiten sepanjang hidup; infeksi asimtomatik persisten.
• Demam tinggi 3-4 hari • Demam turun mendadak dan mulai timbul ruam kulit. • Kejang yang mungkin timbul berkaitan dengan infeksi pada meningens oleh virus.
Scarlet Fever • Sindrom yang memiliki karakteristik: faringitis eksudatif, demam, dan rash. • Disebabkan oleh group Abetahemolyticstreptococci (GABHS) • Masa inkubasi 1-4 hari. • Manifestasi pada kulit diawali oleh infeksi streptokokus (umumnya pada tonsillopharynx) : nyeri tenggorokan dan demam tinggi, disertai nyeri kepala, mual, muntah, nyeri perut, myalgia, dan malaise.
• Rash : Timbul 12-48 jam setelah onset demam. Dimulai dari leher kemudian menyebar ke badan dan ekstremitas. • Pemeriksaan : Throat culture positive for group A strep • Tatalaksana : Antibiotik antistreptokokal minimal 10 hari (Eritromisin atau Penicillin G)
Scarlet Fever. http://emedicine.medscape.com/article/1053253-overview
64. Skrining Tumbuh Kembang Anak • Pertumbuhan : bertambahnya ukuran fisik anak dalam hal panjang/tinggi badan, berat badan, dan lingkar kepala – Pemantauan : melalui penilaian klinis dan pengukuran antropometris (Z Score WHO atau kurva NCHS CDC)
• Perkembangan : bertambahnya kemampuan fungsi individu antara lain dalam bidang motorik kasar, motorik halus, komunikasi dan bahasa, intelektual, emosi, dan sosial – Pemantauan : penilaian klinis dan skrining perkembangan Denver II
• Pemantauan setiap bulan hingga usia 1 tahun dan setiap 3 bulan hingga 5 tahun
Child Developmental Sectors
3/27/2017
467
Denver II • Mencakup usia 0-6 tahun • Ada 4 bidang perkembangan – Personal-sosial: berhubungan dengan orang lain dan pemenuhan kebutuhan sendiri – Motorikhalus: koordinasimata- tangan, manipulasi objek kecil – Motorik kasar: meliputi gerakan yang menggunakan otot-otot besar secara keseluruhan (duduk, berjalan, melompat) – Bahasa-dengar: mengerti dan menggunakan bahasa
Interpretasi Denver II • Skor Penilaian – P (Pass) : Anak dapat melakukan ujicoba dengan baik, atau terdapat laporan yang dapat dipercaya – F (Fail) L : Anak tidak dapat melakukan ujicoba dengan baik – No (No opportunity) : Tidak ada kesempatan untuk ujicoba karena ada hambatan – R (Refusal) : Anak menolak melakukan ujicoba
• Interpretasi – Lebih (advanced) : bila anak Pass pada uji coba yang terletak di kanan garis umur – Normal : bila anak Fail/Refusal pada ujicoba di sebelah kanan garis – Caution/peringatan : bila anak Fail/Refusal pada ujicoba yang dilewati garis umur pada persentil 75-90 – Delayed/keterlambatan : bila anak Fail/Refusal pada ujicoba yang terletak lengkap di sebelah kiri garis umur
65. Obat anti diare Kaolin
Gastrointestinal adsorbent: adsorbs water, toxins and bacteria, contributing to firmer stools, reducing fluid loss from diarrhea.
Pektin
Gastrointestinal adsorbent
Arang Aktif
Gastrointestinal adsorbent
Attapulgit (kaopectate)
Gastrointestinal adsorbent
Loperamide
Mempengaruhi motilitas usus (mengurangi gerakan peristaltik)
Papaverin
It is a direct-acting smooth muscle relaxant used in the treatment of impotence and as a vasodilator, especially for cerebral vasodilation.
Loperamide • • •
•
Loperamide: opioid receptor agonist Does not affect the central nervous system Loperamide hydrochloride acts by slowing intestinal motility and by affecting water and electrolyte movement through the bowel. Loperamide binds to the opiate receptor inmyenteric plexus in large intestines Consequently, it inhibits the release of acetylcholine and prostaglandins decreases the motility of the circular and longitudinal smooth muscles of the intestinal wall thereby reducing peristalsis, and increasing intestinal transit time
•
•
•
•
•
Loperamide increases the tone of the anal sphincter, thereby reducing incontinence and urgency. Loperamide hydrochloride prolongs the transit time of the intestinal contents. Loperamide also decreases colonic mass movements and suppresses the gastrocolic reflex. It reduces the daily fecal volume, increases the viscosity and bulk density, and diminishes the loss of fluid and electrolytes. Elimination of Loperamide mainly occurs by oxidative N-demethylation.
http://www.drugs.com/pro/loperamide.html
Papaverin • Papaverine relaxes various smooth muscles. This relaxation may be prominent if spasm exists. • The muscle cell is not paralyzed by Papaverine and still responds to drugs and other stimuli causing contraction. • The antispasmodic effect is a direct one, and unrelated to muscle innervation. • The mechanism of its pharmacological actions is not clear, but it apparently can inhibit phosphodiesterases and it may have direct actions on calcium channels. • It appears that papaverin don’t cause ileus as side effect
Ileus paralitik Penyebab ileus paralitik: • Postoperative and bowel resection • Intraperitoneal infection or inflammation • Ischemia • Extra-abdominal: Chest infection, Myocardia infarction • Endocrine: hypothyroidism, diabetes • Spinal and pelvic fractures • Retro-peritoneal haematoma • Metabolic abnormalities: – – – –
• •
Hypokalaemia Hyponatremia Uraemia Hypomagnesemia
Bed ridden Drug induced: morphine, tricyclic antidepressants
• Diare akut pada anak TIDAK diberikan obatobatan antimotilitas seperti LOPERAMIDE • LOPERAMIDE dapat menyebabkan konstipasi, distensi abdomen, dan ileus paralitik
66. Duchenne Muscular Dystrophy • An inherited progressive myopathic disorder; rapidly progressing muscle weakness and wasting, • X-linked recessive form of muscular dystrophy • Affects 1 in 3600 boys • Caused by mutations in the dystrophin gene, and hence is termed “dystrophinopathy” • Duchenne muscular dystrophy (DMD) is associated with the most severe clinical symptoms • Becker muscular dystrophy (BMD) has a similar presentation to DMD, but typically has a later onset and a milder clinical course
Four phases of DMD • Early phase (<6 yrs): clumsy, fall frequently, difficulty jumping or running, enlarged muscles, contractures. • Transitional Phase (ages 6-9): Trunk weakness (Gowers manouvre), muscle weakness, heart problems, fatigue. • Loss of ambulation (ages 10-14): by 12 yrs most boys use a powered wheelchair. Scoliosis due to constant sitting and back weakness, upper limb weakness make ADL’s difficult (retain use of fingers). • Late stage (15+): life threatening heart and respiratory problems more prevalent, dyspnea, oedema of the LL’s. Average age of death is 19 yrs in untreated DMD
Pathogenesis
•
Dystrophin links the muscle cells to the extracellular matrix stabilising the membrane and protecting the sarcolemma from the stresses that develop during muscle contraction. • Mechanically induced damage through eccentric contractions puts a high stress on fragile membranes and provokes micro-lesions that could eventually lead to loss of calcium homeostasis, and cell death. • Imbalance between necrotic and regenerative processes: early phase of disease. • Later phases the regenerative capacity of muscle fibers are exhausted and fibers are gradually replaced by connective tissue and adipose tissue. (Deconinck and Dan, 2007)
Clinical Manifestations • • • • • •
Proximal before distal limb muscles Lower before upper extremities Difficulty running, jumping, and walking up steps Waddling gait Lumbar lordosis Pseudohypertrophy of calf muscles, due to fat infiltration • Patients are usually wheelchair-bound by the age of 12
Diagnosis • Characteristic age and sex • Presence of symptoms and signs suggestive of a myopathic process • Markedly increased serum creatine kinase values • Myopathic changes on electromyography and muscle biopsy • A positive family history suggesting X-linked recessive inheritance
Serum Muscle Enzyme • Markedly raised serum CK level, 10-20 times the upper limit of normal – Levels peak at 2-3 years of age and then decline with increasing age, due to progressive loss of dystrophic muscle fibres
• Elevated serum ALT, AST, aldolase and LDH
67. Hipoglikemia pada Neonatus • Hipoglikemia adalah kondisi bayi dengan kadar glukosa darah <45 mg/dl (2.6 mmol/L), baik bergejala atau tidak • Hipoglikemia berat (<25 mg/dl) dapat menyebabkan palsi serebral, retardasi mental, dan lain-lain • Etiologi – Peningkatan pemakaian glukosa (hiperinsulin): Neonatus dari ibu DM, Besar masa kehamilan, eritroblastosis fetalis – Penurunan produksi/simpanan glukosa: Prematur, IUGR, asupan tidak adekuat – Peningkatan pemakaian glukosa: stres perinatal (sepsis, syok, asfiksia, hipotermia), defek metabolisme karbohidrat, defisiensi endokrin, dsb
• Insulin dalam aliran darah fetus tidak bergantung dari insulin ibu, tetapi dihasilkan sendiri oleh pankreas bayi • Pada Ibu DM terjadi hiperglikemia dalam peredaran darah uteroplasental bayi mengatasinya melalui hiperplasia sel B langerhans yang menghasilkan insulin insulin tinggi • Begitu lahir, aliran glukosa yang menyebabkan hiperglikemia tidak ada, sedangkan insulin bayi tetap tinggi hipoglikemia
Pedoman Pelayanan Medis IDAI 2010
Hipoglikemia • Diagnosis – Anamnesis: tremor, iritabilitas, kejang/koma, letargi/apatis, sulit menyusui, apneu, sianosis, menangis lemah/melengking – PF: BBL >4000 gram, lemas/letargi/kejang beberapa saat sesudah lahir – Penunjang: Pemeriksaan glukosa darah baik strip maupun darah vena, reduksi urin, elektrolit darah
• Penatalaksanaan – Bolus 200 mg/kg dengan dextrosa 10% IV selama 5 menit – Hitung Glucose Infusion Rate (GIR), 6-8 mg/kgBB/menit untuk mencapai GD maksimal. Dapat dinaikkan sampai maksimal 12mg/kgBB/menit – Cek GD per 6 jam – Bila hasil GD 36-47 mg/dl 2 kali berturut-turut + Infus dextrosa 10% – Bila GD >47 mg/dl setelah 24 jam terapi, infus diturunkan bertahap 2mg/kgBB/menit setiap jam – Tingkatkan asupan oral
Pemantauan dan Skrining Hipoglikemia
PPM IDAI jilid 1
68. ISK • 3 bentuk gejala UTI: – Pyelonefritis (upper UTI): nyeri abdomen, demam, malaise, mual, muntah, kadang-kadang diare – Sistitis (lower UTI): disuria, urgency, frequency, nyeri suprapubik, inkontinensia, urin berbau – Bakteriuria asimtomatik: kultur urin (+) tetapi tidak disertai gejala • Pemeriksaan Penunjang : – Urinalisis : Proteinuria, leukosituria (>5/LPB), Hematuria (Eritrosit>5/LPB) – Biakan urin dan uji sensitivitas – Kreatinin dan Ureum – Pencitraan ginjal dan saluran kemih untuk mencari kelainan anatomis maupun fungsional • Diagnosa pasti : Bakteriuria bermakna pada biakan urin (>10 5 koloni kuman per ml urin segar pancar tengah (midstream urine) yang diambil pagi hari) Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. WHO. & PPM IDAI
Tatalaksana • •
•
Tujuan : Memberantas kuman penyebab, mencegah dan menangani komplikasi dini, mencari kelainan yang mendasari Umum (Suportif) – Masukan cairan yang cukup – Edukasi untuk tidak menahan berkemih – Menjaga kebersihan daerah perineum dan periurethra – Hindari konstipasi Khusus – Sebelum ada hasil biakan urin dan uji kepekaan, antibiotik diberikan secara empirik selama 710 hari – Obat rawat jalan : kotrimoksazol oral 24 mg/kgBB setiap 12 jam, alternatif ampisilin, amoksisilin, kecuali jika : • Terdapat demam tinggi dan gangguan sistemik • Terdapat tanda pyelonefritis (nyeri pinggang/bengkak) • Pada bayi muda – Jika respon klinis kurang baik, atau kondisi anak memburuk berikan gentamisin (7.5 mg/kg IV sekali sehari) + ampisilin (50 mg/kg IV setiap 6 jam) atau sefalosporin gen-3 parenteral – Antibiotik profilaksis diberikan pada ISK simpleks berulang, pielonefritis akut, ISK pada neonatus, atau ISK kompleks (disertai kelainan anatomis atau fungsional) – Pertimbangkan komplikasi pielonefritis atau sepsis
Interpretasi Hasil Biakan Urin
Algoritme Penanggulangan dan Pencitraan Anak dengan ISK
Dosis Obat Pada UTI Anak
69. Komplikasi Diare • Dehidrasi • Asidosis Metabolik • Hipoglikemia, terutama dengan predisposisi undernutrition • Gangguan elektrolit – hipo/hipernatremia – Hipokalemia – (NB: Hiperkalemia bisa menstimulasi intestinal motility menyebabkan watery diarrhea.)
• Gangguan gizi • Gangguan sirkulasi (syok)
Electrolyte: kalium • K has important role in resting membrane potential & action potentials. • The level of K influences cell depolarization – the movement of the resting potential closer to the threshold more excitability & hyperpolarization – decreased resting membrane potential to a point far away from the threshold less excitability.
• The most critical aspect of K, it affects:
– Cardiac rate, rhythm, and contractility – Muscle tissue function, including skeletal muscle and muscles of the diaphragm, which are required for breathing – Nerve cells, which affect brain cells and tissue – Regulation of many other body organs (intestinal motility)
Johnson JY. Fluids and Electrolytes demystified. 2008
Electrolyte: kalium Hypokalemia
• Disorientation • Confusion • Discomfort of muscles • Muscle weakness • Ileus paralytic • Paralysis of the muscles of the lung, resulting in death
Hyperkalemia
• Rapid heart beat (fibrillation) • Skin tingling • Numbness • Weakness • Flaccid paralysis
Johnson JY. Fluids and Electrolytes demystified. 2008
Tatalaksana Hipokalemia • Transient, asymptomatic, or mild hypokalemia may spontaneously resolve or may be treated with enteral potassium supplements. • Symptomatic or severe hypokalemia should be corrected with a solution of intravenous potassium.
PPM IDAI http://emedicine.medscape.com/article/907757-treatment
135. Methemoglobinemia • Kompleks heme dalam Hb memiliki ion besi dalam bentuk tereduksi yaitu ferro (Fe2+). • Ion besi dalam Fe2+ inilah yang bisa mengikat oksigen menjadi oksihemoglobin. • Oksihemoglobin kemudian melepas oksigen di jaringan dan kembali ke dalam bentuk Fe2+. • Ketika hemoglobin kehilangan salah satu elektronnya dan teroksidasi, Fe2+ berubah menjadi Fe3+ atau bentuk ferri inilah yang disebut methemoglobin • Methemoglobin kekurangan satu electron untuk bisa mengikat oksigen • Kadar normal methemoglobin dibawah 1% • Terdapat mekanisme tubuh untuk mengembalikan Hb yang teroksidasi tersebut melalui reduksi oleh glutathione, Cytochrome b5 reductase, dan glucose-6-phosphate dehydrogenase (G6PD)
Etiology D E S I G N AT I O N
EXAMPLES
NADH-cytochrome b5 reductase deficiency, cytochrome b5 deficiency, M Hb, unstable Hb
Hereditary
Drug/chemical induced
Diet induced
Acetaminophen, amyl nitrite, benzocaine, dapsone, nitroglycerin, nitroprusside, phenazopyridine (pyridium), sulfanilamide, aniline dyes, chlorates, nitrofurans, sulfones Nitrites, nitratesa
Adapted from Mansouri and Lurie (1993). M HB is an abnormal type of Hb. a When followed up, cases have generally been linked to high nitrite levels (e.g., Keating et al. 1973). Lorna Fewtrell, Drinking-Water Nitrate, Methemoglobinemia, and Global Burden of Disease: A Discussion. Environ Health Perspect. Oct 2004; 112(14): 1371–1374.
Methemoglobinemia • Acquired methemoglobinemia lebih sering terjadi dibandingkan congenital methemoglobinemia .
• Methemoglobin yang terbentuk akibat paparan suatu substansi melebihi kapasitas enzim pereduksi yang dimiliki oleh eritrosit. • Acquired methemoglobinemia lebih sering terjadi pada bayi premature dan bayi < 4 bulan, karena: – Hb Fetal (HbF) teroksidasi lebih mudah dibanding Hb Adult (HbA) – Level NADH reductase (enzim pereduksi) rendah saat lahir dan meningkat sesuai usia (usia 4 bulan kadarnya baru sama dgn dewasa) – pH gaster yang lebih tinggi memfasilitasi proliferasi bakteri sehingga meningkatkan konversi nitrat dalam asupan makanan menjadi nitrit.
Acquired Methemoglobinemia: Etiology • Nitrit organik dan inorganik merupakan penyebab methemoglobinemia yang umum. • Air minum yang terkontaminasi oleh nitrat. • Makanan yang dikemas mungkin memiliki nitrit yang tinggi • Sayuran yang tidak dimasak dan terkontaminasi bakteri • Bayi rentan terhadap methemoglobinemia karena asam lambung yg dihasilkan tidak cukup untuk menjaga jumlah bakteri penghasil nitrat di usus tetap rendah
Manifestasi Klinis • Darah yang mengandung methemoglobin berwarna merah gelap kecokelatan. Inilah yang menimbulkan gambaran sianosis. • Perubahan warna kulit muncul ketika kadar methemoglobin sekitar 10% • sianosis adalah tanda pertama yang ditemukan pada methemoglobinemia
In tubes 1 and 2, methemoglobin fraction is 70%; in tube 3, 20%; and in tube 4, normal.
METHB C O N C E N T R AT I O N (%)
CLINICAL FINDINGS
10–20
Central cyanosis of limbs/trunk
20–45
Central nervous system depression (headache, dizziness, fatigue, lethargy), dyspnea
45–55
Coma, arrhythmias, shock, convulsions
> 60
High risk of mortality
Adapted from Kross et al. (1992).
Lorna Fewtrell, Drinking-Water Nitrate, Methemoglobinemia, and Global Burden of Disease: A Discussion. Environ Health Perspect. Oct 2004; 112(14): 1371–1374.
OBSTETRI & GINEKOLOGI
71. HPP: Inversio Uteri • Etiologi – Tonus otot rahim lemah – Tekanan/tarikan pada fundus (tekanan intraabdominal, tekanan dengan tangan, tarikan pada tali pusat) – Kanalis servikalis yang longgar • Oleh karena servik mendapatkan pasokan darah yang sangat banyak maka inversio uteri yang total dapat menyebabkan syok dan memicu terjadinya perdarahan pasca persalinan yang masif akibat atonia uteri yang menyertainya. • Jenis – Complete: fundus uteri terdapat dalam vagina dengan selaput lendirnya berada diluar – Incomplete: fundus hanya menekuk ke dalam dan tidak keluar ostium uteri • Bila uterus yang berputar balik keluar dari vulva: inversio prolaps
Akibat traksi talipusat dengan plasenta yang berimplantasi dibagian fundus uteri dan dilakukan dengan tenaga berlebihan dan diluar kontraksi uterus akan menyebabkan inversio uteri
Hemorrhagia Post Partum: Inversio Uteri • Gejala – Syok – Fundus uteri tidak teraba/ teraba lekukan – Kadang tampak massa merah di vulva atau teraba massa dalam vagina dengan permukaan kasar – Perdarahan
• Terapi – Atasi syok – Reposisi dalam anestesi – Bila plasenta belum lepas: reposisi uterus baru dilepaskan karena dapat memicu perdarahan >>
Inversio Uteri: Terapi • Replacement of Inverted Uterus
72. Trichomoniasis • Discharge Keputihan kuning-kehijauan, berbusa, berbau busuk • Gejala Gatal, Dispareunia, Disuria • Pemeriksaan mikroskopik motile trichomonads dan leukosit • Pemeriksaan Amine whiff test strong odor • Kultur media Diamond • Ph 4.5 • Tanda khas Strawberry cervix • Terapi Metronidazole 2gram oral dosis tunggal, ATAU Metronizadole 400 atau 500mg 2x/hari selama 7 hari Habif T.P. Clinical Dermatology A Color Guide To Diagnosis and Therapy. Sixth edition. 2016
Habif T.P. Clinical Dermatology A Color Guide To Diagnosis and Therapy. Sixth edition. 2016
Diagnosis Banding
Habif T.P. Clinical Dermatology A Color Guide To Diagnosis and Therapy. Sixth edition. 2016
Terapi
Habif T.P. Clinical Dermatology A Color Guide To Diagnosis and Therapy. Sixth edition. 2016
73. Manajemen Aktif Kala III
Uterotonika • 1 menit setelah bayi lahir • Oksitosin 10 unit IM di sepertiga paha atas bagian distal lateral • Dapat diulangi setelah 15 menit jika plasenta belum lahir
Peregangan Tali Pusat Terkendali • Tegangkan tali pusat ke arah bawah sambil tangan yang lain mendorong uterus ke arah dorso-kranial secara hati-hati
Massase Uterus • Letakkan telapak tangan di fundus masase dengan gerakan melingkar secara lembut hingga uterus berkontraksi (fundus teraba keras).
Manajemen Aktif Kala III • Manajemen aktif kala III adalah proses pimpinan kala III persalinan yang dilakukan secara proaktif (Henderson, 2005). • Langkah-langkah manajemen aktif kala III meliputi: – Memberikan oksitosin – Penegangan tali pusat terkendali
Perangsangan puting payudara • Impuls neural yang terbentuk dari rangsangan papila mamae (puting susu) merupakan stimulus primer bagi pelepasan oksitosin. • Apabila papila mamae dirangsang (dengan taktil ataupun isapan bayi) akan terjadi impuls sensoris ke hipofisis posterior pelepasan oksitosin endogen yang tersimpan pada ujung- ujung saraf. • Oksitosin kemudian dilepas ke aliran darah menuju target organ dan antara lain – Miometrium menimbulkan kontraksi uterus – Desidua merangsang pelepasan prostaglandin yang akan membantu memperkuat kontraksi uterus.
74. Demam Tifoid • Etiologi: Bacterium Salmonella typhi (Salmonella enterica Serovar Typhi ) dan Salmonella paratyphi (jarang)
• Acute generalized infection of the reticulo endothelial system, intestinal lymphoid tissue, and the gall bladder.
• The infection always comes from another human, either an ill person or a healthy carrier of the bacterium. The bacterium is passed on with water and foods and can withstand both drying and refrigeration.
Symptoms • • • • • • •
Poor appetite, Headaches, Generalized aches and pains, Fever, Lethargy, Diarrhea, Have a sustained fever as high as 103 to 104 degrees Fahrenheit (39 to 40 degrees Celsius) in 5-7 days • Chest congestion develops in many patients, and abdominal pain and discomfort are common, • Constipation, mild vomiting, slow heartbeat.
Penatalaksanaan Demam Tifoid
Penatalaksanaan Demam tifoid dalam Kehamilan • Pelayanan kesehatan Ibu di Faskes Dasar dan Rujukan 2013 : – Berikan sefotaksim 200 mg/kgBB IV per 24 jam dibagi menjadi 3-4 dosis, ATAU seftriakson 100 mg/kgBB IV per 24 jam (maksimal 4 g/24 jam) dibagi menjadi 1-2 dosis.
• PPK dokter umum di Faskes Primer – Obat lini pertama : kloramfenikol, Ampisilin atau Amoxicilin, Kotrimoksazol – Obat Lini kedua : Seftriakson, Sefiksim, Kuinolon – Obat lini kedua digunakan bila lini pertama tidak efektif
• Kloramfenikol dapat melewati plasenta dan konsentrasi obat akan mendekati konsentrasi plasma ibu. • Peningkatan resiko teratogenisitas tidak terkait dengan penggunaan kloramfenikol dalam kehamilan. • Penggunaan kloramfenikol perlu diwaspadai bila diberikan pada ibu hamil yang mendekati masa persalinan
Gray Baby Syndrome • Merupakan komplikasi yang fatal pada neonatus akibat penggunaan kloramfenikol dosis tinggi. • Gejala dan tanda : – Bayi tampak pucat kebiruan, tidak mau menyusu, akral dan tubuh dingin – Paling sering terjadi pada beberapa hari pertama setelah dilahirkan
• Faktor resiko : – Penggunaan kloramfenikol pada neonatus (biasanya pada 3 hari pertama setelah lahir) tanpa pengawasan yang baik dan ketat – Bayi prematur dan BBLR – Ibu hamil yang menggunakan kloramfenikol pada saat mendekati persalinan (1 minggu sebelum bersalin)
Using Antibiotics During Pregnancy A few guidelines should be followed before prescribing an antibiotic to a pregnant patient, include: • Only use antibiotics if no other treatment option will suffice. • Avoid prescribing antibiotics during the first trimester when possible. • Choose a safe medication (typically an older antibiotic tested on pregnant women). • Choose single prescriptions over polypharmacy when possible. • Dose at the lowest possible amount proven effective. • Advise patients not to use over the counter medications during antibiotic treatment.
Some of the antibiotics that may be prescribed safely during pregnancy include: • Amoxicillin • Ampicillin • Clindamycin • Erythromycin • Penicillin • Gentamicin • Ampicillin-Sulbactam • Cefoxitin • Cefotetan • Cefazolin
Pregnancy Category of Chloramphenicol and Cotrimoxazole • Chloramphenicol has pregnancy category C (Use with caution if benefits outweigh risks. Animal studies show risk and human studies not available or neither animal nor human studies done). • Cotrimoxazole Pregnancy category: D (Use in LIFE-THREATENING emergencies when no safer drug available. Positive evidence of human fetal risk). • Cotrimoxazole is avoided near term due to risk of kernicterus in the newborn. • Some epidemiologic studies suggest that exposure to cotrimoxazole during pregnancy may be associated with an increased risk of congenital malformations, particularly neural tube defects, cardiovascular malformations, urinary tract defects, oral clefts, and club foot
75. HELLP Syndrome • The HELLP syndrome is a serious complication in pregnancy characterized by haemolysis, elevated liver enzymes and low platelet count occurring in 0.5 to 0.9% of all pregnancies and in 10–20% of cases with severe preeclampsia • complete HELLP syndrome requires the presence of all 3 major components, • Partial or incomplete HELLP syndrome consists of only 1 or 2 elements of the triad (H or EL or LP)
Clinical Manifestation • • • • • • • • •
Right upper abdominal quadrant or epigastric pain, nausea and vomiting. The upper abdominal pain may be fluctuating, colic-like [Many patients report a history of malaise some days before presentation 30–60% of women have headache; about 20% visual symptoms unspecific symptoms or subtle signs of preeclampsia or non-specific viral syndrome-like symptoms The symptoms usually continuously progress and their intensity often changes spontaneously. The HELLP syndrome is characterized by exacerbation during the night and recovery during the day. Women with partial HELLP syndrome have fewer symptoms and develop less complications than those with the complete form [3]. However, a partial or incomplete HELLP syndrome may develop to a complete form of the disorder Partial or total reversal of the syndrome may also occasionally occur, albeit rarely
76. Epilepsi Pada Kehamilan • Epilepsi pada kehamilan dibagi 2 kelompok: – Yang sebelumnya sudah menderita epilepsi – Berkembang menjadi epilepsi selama hamil • Hormon yang berpengaruh terhadap bangkitan: estrogen dan progesteron • Komplikasi persalinan untuk ibu dan bayi adalah: – Frekuensi bangkitan meningkat 33% – Perdarahan post partum meningkat 10% – Bayi mempunyai resiko 3% berkembang menjadi epilepsi – Apabila tanpa profilaksis vitamin K yang diberikan pada ibu, terdapat resiko 1)\\1 s% terjadi perdarahan perinatal pada bayi (Johnston, 1992) • Pengaruh epilepsi terhadap kehamilan yaitu: – Melahirkan bayi prematur (4-11%) – BBLR (7–10%) – Mikrosefali – Apgar skor yang rendah Laidlaw J., Riches A., Oxley J. 1988. A textbook of epilepsi. 3th ed. New York : Churchill Livingstone, p. 203-211; 544-557
Penggunaan Obat Antiepilepsi pada Kehamilan • Mullers-Kuppers yang pertama kali menjelaskan hubungan antara pajanan obat antiepilepsi (OAE) prenatal dengan malformasi kongenital mayor • Terdapat peningkatan risiko malformasi fetal pada wanita yang mengonsumsi valproat pada dosis >1100 mg/hari dibandingkan dengan obat antiepilepsi yang lain. • teratogenitas obat antiepilepsi disebabkan oleh : – – – – –
defisiensi asam folat, interaksi antar-obat antiepilepsi, efek konvulsi, faktor genetik, faktor lain (alkohol, merokok, usia, umur kehamilan, dsb.).
Efek Obat Anti Epilepsi Terhadap Kehamilan • Prosentase malformasi akibat obat anti epilepsi adalah: – – – – –
Trimetadion: lebih 50% Fenitoin: 30% Sodium Valproat: 1,2% Karbamazepin: 0,5-1% Fenobarbital: 0,6%
• Efek samping sodium valproat dan karbamazepin: defek neural tube dan bibir sumbing diatasi dengan meningkatkan suplemen asam folat Laidlaw J., Riches A., Oxley J. 1988. A textbook of epilepsi. 3th ed. New York : Churchill Livingstone, p. 203-211; 544-557
Pencegahan efek teratogen obat Antiepilepsi dalam kehamilan • Asam valproat tidak dijadikan pilihan utama OAE pada wanita usia subur • Gunakan OAE yang sesuai dengan dosis obat efektif terendah • Suplementasi Asam folat 5 mg/hari dimulai sebelum kehamilan hingga akhir trimester pertama mengurangi insiden malformasi kongenital
77. AKDR: Profil • Sangat efektif, reversibel dan berjangka panjang (dapat sampai 10 tahun: CuT 380A) • Haid menjadi lebih lama dan lebih banyak • Pemasangan dan pencabutan memerlukan pelatihan • Dapat dipakai oleh semua perempuan usia reproduksi • Tidak boleh dipakai oleh perempuan yang terpapar pada infeksi menular seksual (IMS) • Jenis • Copper-releasing: Copper T 380A, Nova T, Multiload 375 • Progestin-releasing: Progestasert, LevoNova (LNG-20), Mirena • AKDR CuT-380A • Kecil kerangka dari plastik yang fleksibel, berbentuk huruf T diselubungi oleh kawat halus yang terbuat tembaga (Cu) • Tersedia di Indonesia dan terdapat di mana-mana • AKDR lain yang beredar di Indonesia ialah NOVA T (Schering)
Mekanisme Kerja • Ada beberapa mekanisme cara kerja AKDR: – Timbulnya reaksi radang radang lokal di dalam cavum uteri sehingga implantasi sel telur yang telah dibuahi terganggu.
– Produksi lokal prostaglandin yang meninggi, yang menyebabkan terhambatnya implantasi. – Immobilisasi spermatozoa saat melewati cavum uteri serta merusak sperma
• Copper IUDs work by disrupting sperm motility and damaging sperm (Copper acts as a spermicide within the uterus) • The presence of copper increases the levels of copper ions, prostaglandins, and white blood cells within the uterine and tubal fluids. • Ova from copper IUD users were distinctive for being without vitellus (abnormal) and surrounded by macrophages • Copper can also alter the endometrial lining, this alteration can prevent implantation
AKDR: Informasi Umum • AKDR bekerja langsung efektif segera setelah pemasangan
• AKDR bekerja dengan membuat inflamasi ringan pada rahim • AKDR dapat keluar dari uterus secara spontan, khususnya selama beberapa bulan pertama • Kemungkinan terjadi perdarahan atau spotting beberapa hari setelah pemasangan perdarahan menstruasi biasanya akan lebih lama dan lebih banyak • Tidak ada efek samping hormonal dari CuT-380A • AKDR mungkin dilepas setiap saat atas kehendak kliennya • Jelaskan pada klien jenis AKDR apa yang digunakan, kapan akan dilepas dan berikan kartu tentang informasi semua ini http://staff.ui.ac.id/system/files/users/budi.iman/material/akdr.pdf
AKDR Alat kecil yang dipasang dalam rahim
Sangat efektif dan aman
Dapat dicabut kapan saja Anda inginkan Bekerja hingga 10 tahun, tergantung jenisnya Dapat menambah pendarahan menstruasi atau menyebabkan kram Tidak melindungi dari AIDS/IMS
• Rangka plastik yang lentur dengan lengan tembaga dan benang.
• Sangat efektif dan tidak tergantung pada daya ingat. • Cara kerja utama mencegah sperma bertemu telur. • Sebagian besar ibu bisa memakai AKDR, termasuk ibu yang belum pernah hamil. . Rumor yang umum: • AKDR tidak dapat keluar dari rahim atau berjalan ke seluruh tubuh • AKDR tidak mengganggu selama bersenggama, walaupun kadang pasangan merasakan benangnya. • AKDR tidak berkarat di dalam tubuh, bahkan setelah bertahun-tahun.
• Klien bisa kembali hamil setelah AKDR dilepas. • Copper T 380 A bekerja hingga 10 tahun. • Harus dilepas 1 tahun setelah menstruasi terakhir pada menopause. Efek Samping: • Biasanya kembali normal setelah 3 bulan. • Untuk perlindungan terhadap AIDS/IMS, pakai juga kondom.
Yang tidak bisa memakai AKDR Sebagian besar ibu tidak bisa memakai AKDR, jika:
Kemungkinan hamil Baru saja melahirkan (2 – 28 hari pasca persalinan) Memiliki risiko IMS (termasuk HIV)
Menstruasi yang tak biasa Infeksi atau masalah dengan organ kewanitaan: — IMS atau Penyakit Radang Panggul dalam 3
bulan terakhir? — HIV atau AIDS? — Infeksi setelah melahirkan atau keguguran — Kanker pada organ kewanitaan atau TB
panggul
• Jika ragu, pakai daftar periksa pada Tambahan 1 atau lakukan tes kehamilan.
• Pemasangan AKDR hanya boleh dilakukan sebelum 48 jam dan setelah 4 minggu pasca persalinan. Mereka yang berisiko terinfeksi IMS/HIV mencakup mereka: • Yang mempunyai lebih dari 1 pasangan tidak selalu memakai kondom; • Yang memiliki pasangan dengan HIV/IMS dan tidak selalu memakai kondom; • Memakai jarum suntik bersama, atau pasangan memakai jarum suntik bersama (hanya untuk HIV tetapi tidak untuk IMS) • Menstruasi tak biasa harus diases sebelum memasang AKDR. • Setiap infeksi harus diobati sepenuhnya sebelum AKDR dipasang. • Obati penyakit radang panggul ataupun IMS dan tunggu 3 bulan sebelum memasang AKDR. Anjurkan agar pasangan juga diobati.
• Jika HIV atau AIDS pakai AKDR hanya jika tidak ada metode lain yang cocok. • Jangan memasang AKDR jika klien memiliki kanker rahim, endometrium atau kanker indung telur; penyakit tropoblas jinak atau ganas; tbc panggul.
Setelah pemasangan, AKDR bisa diperiksa oleh akseptor KB sendiri. • Kapan memeriksa? • Satu minggu setelah pemasangan • Kapan saja setiap selesai masa haid • Bagaimana cara memeriksa benang? • Cuci tangan, duduk dalam posisi jongkok, masukkan jari ke dalam vagina dan rasakan benang AKDR di mulut rahim. Jangan menarik benangnya. Cuci tangan setelah selesai. • Jika tidak bisa merasakan benang, atau benang terasa lebih panjang atau pendek secepatnya kembali ke klinik. AKDR mungkin telah terlepas dan perlu memakai back up.
Perbandingan AKDR dan Implan dalam resiko terjadinya kehamilan ektopik
Perbandingan AKDR dan Implan dalam resiko terjadinya kehamilan ektopik • Past ectopic pregnancy and IUD use – The absolute risk of ectopic pregnancy is extremely low due to the high effectiveness of iuds. – However, when a woman becomes pregnant during iud use, the relative likelihood of ectopic pregnancy is greatly increased
78. Antihipertensi dalam Kehamilan • DOC: Metildopa – Tidak mempengaruhi cardiac output atau aliran darah janin dan ginjal
• Labetalol – Dapat digunakan untuk tatalaksana preeklampsia dan hipertensi kronik pada kehamilan – Digunakan dalam waktu pendek (<6 minggu) pada trimester III
• Antagonis kalsium (nifedipine) – Dapat digunakan pada trimester akhir
• Hydralazine – Biasanya digunakan untuk terapi kombinasi dengan metildopa – Pemberian IV adalah DOC untuk tatalaksana akut pada hipertensi berat http://www.medscape.com/viewarticle/406535_6
Antihipertensi dalam Kehamilan • ACE inhibitor – Penggunaan pada trimester II dan III dapat menimbulkan IUGR, gagal ginjal, persistent patent ductus arteriosus, respiratory distress syndrome, fetal hypotensive syndrome, kematian prepartum
• Anti diuretik – Menurunkan volume plasma ibu, gangguan elektrolit
• Ca Channel Blocker (Verapamil) – Termasuk kategori C – Penggunaan harus hati-hati bila perfusi uteroplasenta terganggu
79. Terapi Abortus Iminens
Penatalaksanaan • Pertahankan kehamilan. • Tidak perlu pengobatan khusus. • Jangan melakukan aktivitas fisik berlebihan atau hubungan seksual. • Jika perdarahan berhenti, pantau kondisi ibu selanjutnya pada pemeriksaan antenatal termasuk pemantauan kadar Hb dan USG panggul serial setiap 4 minggu. Lakukan penilaian ulang bila perdarahan terjadi lagi. • Jika perdarahan tidak berhenti, nilai kondisi janin dengan USG. Nilai kemungkinan adanya penyebab lain.
80. Pengaruh Tuberkulosis Paru terhadap Kehamilan • Pengaruh TB selama kehamilan: – Insidens dari prematuritas menjadi 2 kali lipat
• Pengaruh TB terhadap janin: – kematian janin 6 kali lebih besar baik karena IUFD ataupun partus prematurus – insidens dari:KMK (kecil untuk masa kehamilan; hal ini terkait dengan ukuran perkembangan uterus yang kecil selama kehamilan) dan BBLR (berat badan lahir rendah) (<2500g) menjadi 2 kali lipat
• Pengaruh tidak langsung tuberkulosis terhadap kehamilan ialah efek teratogenik terhadap janin karena obat anti tuberkulosis yang diberikan kepada sang ibu. Najoan Nan Warouw, Aloysius Suryawan .Manajemen TBC dalam Kehamilan. JKM. Vol. 6, No. 2, Februari 2007
81. Adenoma Hipofisis Fungsional • 52% merupakan tumor yang mengekskresikan prolaktin • Lainnya: mensekresi kortikotropin (Cushing disease), growth hormone (akromegali), gonadotropin, TSH (hipertiroidisme) • Berdasarkan ukuran: – Mikroadenoma: ukuran < 1 cm, lokasi masih dalam sella turcica (belum menginvasi struktur lain) – Makroadenoma: ukuran > 1 cm, sudah meluas dari sella turcica (menginvasi struktur berdekatan)
• Gejala dan Tanda (Prolaktinoma): – Dapat menimbulkan efek kompresi pada optic chiasm – Amenorea, galaktorea, infertilitas, penurunan libido, osteoporosis
Adenoma Hipofisis Fungsional: Prolaktinoma Terapi • Obat-obatan dopaminergik: bromokriptin atau cabergoline Follow Up • Scan MRI 12 bulan setelah pengobatan pada tumor fungsional
http://emedicine.medscape.com/article/126702-followup
82. Tatalaksana Plasenta Previa Tatalaksana Umum • PERHATIAN! Tidak dianjurkan melakukan pemeriksaan dalam sebelum tersedia kesiapan untuk seksio sesarea. Pemerik¬saan inspekulo dilakukan secara hati-hati, untuk menentukan sumber perdarahan. • Perbaiki kekurangan cairan/darah dengan infus cairan intravena (NaCl 0,9% atau Ringer Laktat). • Lakukan penilaian jumlah perdarahan. • Jika perdarahan banyak dan berlangsung, persiapkan seksio sesarea tanpa memperhitungkan usia kehamilan • Jika perdarahan sedikit dan berhenti, dan janin hidup tetapi prematur, pertimbangkan terapi ekspektatif
Terapi Konservatif • •
• • •
• • •
Agar janin tidak terlahir prematur dan upaya diagnosis dilakukan secara non-invasif. Syarat terapi ekspektatif: – Kehamilan preterm dengan perdarahan sedikit yang kemudian berhenti dengan atau tanpa pengobatan tokolitik – Belum ada tanda inpartu – Keadaan umum ibu cukup baik (kadar Hb dalam batas normal) – Janin masih hidup dan kondisi janin baik Rawat inap, tirah baring dan berikan antibiotika profilaksis. Lakukan pemeriksaan USG untuk memastikan letak plasenta. Berikan tokolitik bila ada kontraksi: – MgSO4 4 g IV dosis awal dilanjutkan 4 g setiap 6 jam, atau Nifedipin 3 x 20 mg/hari – Pemberian tokolitik dikombinasikan dengan betamethason 12 mg IV dosis tunggal untuk pematangan paru janin Perbaiki anemia dengan sulfas ferosus atau ferous fumarat per oral 60 mg selama 1 bulan. Pastikan tersedianya sarana transfusi. Jika perdarahan berhenti dan waktu untuk mencapai 37 minggu masih lama, ibu dapat dirawat jalan dengan pesan segera kembali ke rumah sakit jika terjadi perdarahan.
Terapi aktif • Rencanakan terminasi kehamilan jika: – Usia kehamilan cukup bulan – Janin mati atau menderita anomali atau keadaan yang mengurangi kelangsungan hidupnya (misalnya anensefali) – Pada perdarahan aktif dan banyak, segera dilakukan terapi aktif tanpa memandang usia kehamilan – Jika terdapat plasenta letak rendah, perdarahan sangat sedikit, dan presentasi kepala pemecahan selaput ketuban dan persalinan pervaginam masih dimungkinkan. Jika tidak, lahirkan dengan seksio sesarea •
Jika persalinan dilakukan dengan seksio sesarea dan terjadi perdarahan dari tempat plasenta: u
– Jahit lokasi perdarahan dengan benang, – Pasang infus oksitosin 10 unitin 500 ml cairan IV (NaCl 0,9% atau Ringer Laktat) dengan kecepatan 60 tetes/menit – Jika perdarahan terjadi pascasalin, segera lakukan penanganan yang sesuai, seperti ligasi arteri dan histerektomi
83. Distosia Kelainan Tenaga • His Normal: mulai dari fundus menjalar ke korpus, dominasi di fundus dan disertai relaksasi yang merata
• Jenis Kelainan His – Inersia Uteri (Kontraksi Uterus Hipotonik) • His lemah, pendek, jarang tidak adekuat untuk mebuka serviks dan mendorong janin
– His terlalu kuat (Kontraksi Uterus Hipertonik) • His terlalu kuat dan terlalu efisien sehingga persalinan terlalu cepat
– Incoordinate uterine contraction • Tidak ada koordinasi antara kotraksi bagian atas, tengah dan bawah; tidak ada dominasi fundus
• Faktor predisposisi – Primigravida, terutama primi tua – Kelainan letak janin/disporposi fetopelviks – Peregangan rahim yang berlebihan: gemeli, hidramnion
Inersia Uteri: Tatalaksana 1.
Periksa keadaan serviks, presentasi dan posisi janin, turunnya bagian terbawah janin dan keadaan janin
2.
Bila kepala sudah masuk PAP, anjurkan pasien untuk jalan-jalan
3.
Buat rencana untuk menentukan sikap dan tindakan yang akan dikerjakan misalnya pada letak kepala : a. b.
a. b.
Oksitosin drips 5-10 IU dalam 500 cc dextrose 5%, dimulai dengan 12 tpm, dinaikkan 10-15 menit sampai 40-50 tpm. Tujuan: agar serviks dapat membuka. Bila his tidak >> kuat setelah pemberian oksitosin stop istirahat Pada malam hari berikan obat penenang (valium 10 mg) ulang lagi pemberian oksitosin drips Bila inersia uteri + CPD seksio sesaria Bila semula his kuat inersia uteri sekunder, ibu lemah, dan partus telah berlangsung lebih dari 24 jam (primi) dan 18 jam (multi) oksitosin drips tidak berguna Selesaikan partus sesuai dengan hasil pemeriksaan dan indikasi obstetrik lainnya (Ekstrasi vakum, forcep dan seksio sesaria) Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu, WHO
84. Induksi & Akselerasi Persalinan • Definisi – Induksi: upaya menstimulasi uterus untuk memulai persalinan – Augmentasi atau akselerasi: meningkatkan frekuensi, lama, dan kekuatan kontraksi uterus dalam persalinan. (Saifuddin, 2002)
• Indikasi (Oxford, 2013) – KPD, kehamilan lewat waktu, oligohidramnion, korioamnionitis, PEB, hipertensi akibat kehamilan, IUFD) dan PJT, insufisiensi plasenta, perdarahan antepartum, dan umbilical abnormal arteri doppler
• Kontraindikasi (Cunningham, 2013 & Winkjosastro, 2002) – CPD, plasenta previa, gamelli, polihidramnion, riwayat sectio caesar klasik, malpresentasi atau kelainan letak, gawat janin, vasa previa, hidrosefalus, dan infeksi herpes genital aktif
Induksi Persalinan • Indikasi Darurat: – HT gestational berat, komplikasi janin akut, IUGR berat, penyakit maternal bermakna, korioamnionitis
• Indikasi Segera (Urgent) – KPD saat aterm atau dekat aterm, PJT tanpa komplikasi akut, DM tidak terkontrol, penyakit isoimun saat aterm/dekat aterm
• Indikasi Tidak Segera (Non Urgent) – Kehamilan post term, DM terkontrol, riwayat IUFD
Proses Induksi/Akselerasi • Kimia – Prostaglandin E2 (PGE2) gel atau pesarium – Prostaglandin E1 (PGE1): misoprostol atau cytotec tab 100200 mcg – Oksitosin IV • Protokol dosis rendah (1 – 4 mU/menit) atau dosis tinggi (6 – 40 mU/menit)
• Mekanik – – – – –
Kateter Transservikal (Kateter Foley) Dilator Servikal Higroskopik (Batang Laminaria) Stripping membrane Induksi Amniotomi Stimulasi putting susu
Induksi Persalinan: Metode Mekanik • Metode Mekanik – Metode stripping, pemasangan balon keteter, (oley chateter) dimulut rahim, serta memecahkan ketuban saat persalinan sedang berlangsung.
Kateter Foley Transervikal
Stripping of The Membrane
Induksi Persalinan: Metode Kimia • Oksitosin – 2.5 - 5 unit Oksitosin dilarutkan dalam 500 ml kristaloid dan diberikan dengan dosis awal 10 tetes per menit. – Naikkan jumlah tetesan sebesar 10 tetes permenit setiap 30 menit sampai tercapai kontraksi uterus yang adekuat. – Jika terjadi hiperstimulasi (lama kontraksi > 60 detik atau lebih dari 4 kali kontraksi per 10 menit) hentikan infus dan kurangi hiperstimulasi dengan pemberian: • Terbutalin 250 mcg IV perlahan selama 5 menit atau • Salbutamol 5 mg dalam 500 ml cairan RL 10 tetes permenit
• Misoprostol: – Intravagina dengan dosis 25 µg pada fornix posterior dan dapat diulang pemberiannya setelah 6 jam bila kontraksi uterus masih belum terdapat. – Bila dengan dosis 2 x 25 µg masih belum terdapat kontraksi uterus, berikan ulang dengan dosis 50 µg. – Dosis maks adalah 4 x 50 µg ( 200 µg ) a
Oksitosin 1. Penderita diberi oleum ricini, kemudian klisma 3 jam
2. Infus oksitosin 5 Unit dalam 500 cc lar glukosa 5% awal: 8 tts/menit Pantau FN,TD, DJJ, His 3. Naikkan kecepatan 4 tts/mnt tiap 30’ (s.d 60 tts) His adekuat
pertahankan sampai kelahiran
His belum adekuat
Ulangi langkah 2 & 3 (ttsn lanjut)
His adekuat
His belum adekuat
Ulangi langkah 2&3 (ttsn lanjut) + pecahkan ketuban
His belum adekuat (KP 24 jam)
pertahankan sampai kelahiran
His adekuat
SC
Oksitosin: Efek samping • Efek maternal terlihat pada pemakaian IV • hipotensi, hipertensi, mual, muntah, penurunan aliran darah uterus, ruam kulit, dan anoreksia, tetani uterus, anafilaksis, asfiksia, kejang, koma, pendarahan intracranial, intoksikasia air, dan disritmia • Pada Janin – Karena induksi motilitas uterus, oksitosin dapat menyebabkan bradikardia, kontraksi ventrikel prematur, dan aritmia lain, dan sangat jarang kematian janin, nilai Apgar rendah, ikterik, dan pendarahan retina Oxytocin (pitocin). VIHA pharmacy. 2006
Synthetic Oxytocin • When given by low-dose intravenous infusion, Syntocinon elicits rhythmic uterine contractions that are indistinguishable in frequency, force and duration from those observed during spontaneous labour. • At higher infusion dosages, or when given by single injection,the drug is capable of causing sustained tetanic uterine contractions. • Oxytocin also causes contraction of the myoepithelial cells surrounding the mammary alveoli.
Synthetic Oxytocin • When Syntocinon is given for the induction and augmentation of labour, it must only be administered as an intravenous infusion, preferably by means of a motor-driven variable speed infusion pump, and not by subcutaneous, intramuscular or intravenous bolus injection. • When administered by rapid intravenous bolus injection oxytocin cause transient direct relaxing effect on vascular smooth muscle, resulting in brief hypotension, flushing and reflex tachycardia
85. Pemeriksaan Kehamilan dengan USG Perkiraan Usia Gestasional
Pemeriksaan USG: Perkiraan Ukuran Janin Pe n g u k u ra n
Mulai dari Minggu
Gestational Sac (GS)
Hingga usia 6 minggu
Crown-Lump Length (CRL)
6-12 minggu
Biparietal Diameter (BPD)
12 – 42 minggu
Femur Length (FL)
12 – 42 minggu
Abdominal Circumference (AC)
12 – 42 minggu
Estimated Fetal Weight (EFW)
12 – 42 minggu
Amniotic Fluid Index (AFI) • The amniotic fluid index (AFI) is an estimate of the amniotic fluid volume in a fetus. It is part of the fetal biophysical profile. • Technique – uterus is divided into four imaginary quadrants with linea nigra and umbilicus acting as the vertical and the horizontal axis respectively – the deepest pocket devoid of umbilical cord and fetal parts is measured in the vertical dimension – measurment of the four pockets is in centimeters – sum of all the four quadrant measurements is AFI – normal AFI values range from 5 to 25 cm
• Values – AFI between 8-18 cm is considered normal; median AFI level is ~14 cm from week 20 to week 35, after which the amniotic fluid volume begins to reduce – AFI <5 cm is considered as oligohydramnios – value changes with age: the 5th percentile for gestational ages is most often taken as the cutoff value, and this around an AFI of 7 for second and third trimester pregnancies; and AFI of 5 is two standard deviations from the mean – AFI >20-24 cm is considered as polyhydramnios
86. Tabel Uji Hipotesis
TABEL UJI HIPOTESIS VARIABEL INDEPENDEN
DEPENDEN
Kategorik
Kategorik
Kategorik (2 kategori)
Numerik
Kategorik (>2 kategori)
Numerik
Numerik
Numerik
U J I S TAT I S T I K
Chi square
U J I A LT E R N AT I F Fisher (digunakan untuk tabel 2x2)* Kolmogorov-Smirnov (digunakan untuk tabel bxk)*
T-test independen
Mann-Whitney**
T-test berpasangan
Wilcoxon**
One Way Anova (tdk berpasangan)
Kruskal Wallis**
Repeated Anova (berpasangan) Korelasi Pearson Regresi Linier
Keterangan: * : Digunakan bila persyaratan untuk uji chi square tidak terpenuhi **: Digunakan bila distribusi data numerik tidak normal
Friedman** Korelasi Spearman**
Langkah Menentukan Uji Statistik • Tentukan sifat variabel yang diuji (numerik atau kategorik) • Bila ada variabel yang bersifat numerik, tentukan apakah variabel tersebut terdistribusi normal atau tidak. Atau bila kedua variabel bersifat kategorik, tentukan apakah memenuhi persyaratan uji chi square. Untuk mengerjakan soal UKDI, bila tidak disebutkan, maka diasumsikan bahwa variabel tersebut terdistribusi normal atau memenuhi persyaratan chi square. • Lihat tabel untuk menentukan uji hipotesis apa yang sesuai.
One Sample vs Two Sample T-Test One sample T-test • Mengetahui perbedaan mean (rerata) satu kelompok dibandingkan dengan mean yang sudah ditetapkan peneliti atau mean sudah diketahui di populasi. • Misalnya penelitian tentang mean gula darah sewaktu (GDS) pada pasien DM yang diberi metformin. Contoh pertanyaan penelitiannya adalah: apakah mean GDS pasien DM yang diberi metformin lebih dari 200 mg/dl?
Two Sample T-test • Mengetahui apakah terdapat perbedaan mean antara dua kelompok populasi. • Misalnya penelitian ingin mengetahui apakah terdapat perbedaan mean GDS dari kelompok pasien DM yang diberi metformin dengan kelompok pasien DM yang diberi insulin?
Independent vs Paired T-Test Independent T-test • Prinsipnya adalah setiap subjek hanya dilakukan 1 kali pengukuran.
Paired T-test • Prinsipnya adalah setiap subjek dilakukan pengukuran lebih dari 1 kali.
• Contoh: penelitian obat A dan obat B terhadap kadar kolesterol. Subyek dibagi dua kelompok, kelompok pertama diberi obat A dan kelompok kedua diberi obat B. setelah 3 bulan, tiap subyek diukur kadar kolesterolnya.
• Contoh: penelitian obat A dan obat B terhadap kadar kolesterol. Subyek dibagi dua kelompok, kelompok pertama diberi obat A dan kelompok kedua diberi obat B. Sebelum mulai penelitian, tiaap subyek diukur kadar kolesterolnya. setelah 3 bulan, tiap subyek diukur kadar kolesterolnya lagi.
87. UKURAN MORBIDITAS PENYAKIT Definisi Jumlah kasus baru dalam periode waktu tertentu
Insidens/ insidens kumulatif/ attack rate/ Attack rate/risk lebih sering attack risk digunakan pada konteks KLB. jumlah penderita baru suatu penyakit yang terjangkit pada serangan kedua dibandingkan Secondary attack rate dengan jumlah penduduk dikurangi orang/penduduk yang pernah terkena penyakit pada serangan pertama.
Incidence rate (or person-time rate)
jumlah penderita baru suatu penyakit yang ditemukan pada suatu jangka waktu tertentu (dalam satuan orang-waktu)
Rumus Jumlah kasus baru/ jumlah populasi berisiko di awal periode
Jumlah penderita baru pd serangan kedua/ (jumlah populasi berisikojumlah orang yang terkena serangan pertama)
Jumlah kasus baru/ jumlah populasi berisiko di awal periode (dalam satuan orang-waktu)
Ukuran Morbiditas Penyakit (2) Definisi
Rumus Jumlah seluruh kasus (kasus lama dan kasus baru)/ jumlah populasi berisiko pada satu waktu yang spesifik (tanggal tertentu atau jam tertentu).
Point prevalence
Jumlah seluruh kasus pada satu waktu tertentu, misalnya jumlah seluruh kasus hipertensi per tanggal 1 April 2017.
Period prevalence
Jumlah seluruh kasus (kasus lama dan kasus baru)/ jumlah populasi Jumlah seluruh kasus pada satu berisiko pada satu periode periode tertentu, misalnya jumlah tertentu. seluruh kasus hipertensi dari Januari-Desember 2016. Jumlah populasi berisiko diambil dari jumlah populasi pada pertengahan periode.
Rumus • Insidens = jumlah kasus baru/jumlah populasi berisiko x100% • Prevalens= jumlah seluruh kasus/jml populasi berisikox100% • Attack rate= jumlah kasus baru/jumlah populasi berisiko x100% • Catatan: jumlah populasi berisiko tidak sama dengan jumlah seluruh populasi. Misalnya, jumlah seluruh populasi adalah 500 orang, 400 orang di antaranya sudah diimunisasi campak. Maka bila menghitung insidens/prevalens campak, yang menjadi penyebut adalah sejumlah 100 orang.
88. FAMILY ASSESSMENT TOOLS • Family dynamic interaksi dan hubungan antar anggota keluarga • Family assesment tools alat yang digunakan untuk menilai family dynamic
Family Genogram • Suatu alat bantu berupa peta skema dari silsilah keluarga pasien yang berguna untuk mendapatkan informasi mengenai nama anggota keluarga, kualitas hubungan antar anggota keluarga • Berisi nama, umur, status menikah, riwayat perkawinan, anakanak, keluarga satu rumah, penyakit spesifik, tahun meninggal, dan pekerjaan. • Juga mengenai informasi tentang hubungan emosional, jarak/konflik antar anggota keluarga, hubungan penting dengan profesional yang lain serta informasi lain yang relevan.
Family Life Cycle/Circle • Siklus Hidup Keluarga (Family Life Cycle) adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan perubahan-perubahan dalam jumlah anggota, komposisi dan fungsi keluarga sepanjang hidupnya. • Siklus hidup keluarga juga merupakan gambaran rangkaian tahapan yang akan terjadi atau diprediksi yang dialami kebanyakan keluarga. • Siklus hidup keluarga terdiri dari variabel yang dibuat secara sistematis menggabungkan variable demografik yaitu status pernikahan, ukuran keluarga, umur anggota keluarga, dan status pekerjaan kepala keluarga.
TAHAPAN-TAHAPAN SIKLUS HIDUP KELUARGA Menurut Duvall tahun 1977 siklus hidup keluarga dapat dikategorikan menjadi 8 golongan yakni: 1.
Pasangan yang baru menikah ( tanpa anak ) lamanya ± 2 tahun
2.
Keluarga dengan anak yang baru dilahirkan ( usia anak tertua adalah baru lahir – 30 bulan ) lamanya ± 2,5 tahun
3.
Keluarga dengan anak pra sekolah ( usia anak tertua adalah 30 bulan – 6 tahun ) lamanya ± 3,5 tahun
4.
Keluarga dengan anak yang bersekolah ( usia anak tertua adalah 6 – 13 tahun) lamanya ± 7 tahun Keluarga dengan anak usia remaja ( usia anak tertua adalah 13 – 20 tahun) lamanya ± 7 tahun
5. 6.
Keluarga dengan anak meninggalkan keluarga ( anak pertama pergi dan anak terakhir tinggal di rumah) lamanya ± 8 tahun
7.
Keluarga dengan usia orang tua pertengahan ( tak berkumpul lagi hingga pensiun ) lamanya ± 15 tahun
8.
Keluarga dengan usia orang tua jompo (pensiun hingga kedua suami istri meninggal ) lamanya ± 10 - 15 tahun
Family APGAR • APGAR Keluarga merupakan kuesioner skrining singkat yang dirancang untuk merefleksikan kepuasan anggota keluarga dengan status fungsional keluarga dan untuk mencatat anggota-anggota rumah tangga. • APGAR ini merupakan singkatan dari; Adaptation, Partnership, Growth, Affection dan Resolve.
ADAPTATION Adaptasi
Saya puas dengan keluarga saya karena masing-masing anggota keluarga sudah menjalankan kewajiban sesuai dengan seharusnya
0-2
PARTNERSHIP Kemitraan
Saya puas dengan keluarga saya karena dapat membantu memberikan solusi terhadap permasalahan yang saya hadapi
0-2
GROWTH pertumbuhan
Saya puas dengan kebebasan yang diberikan keluarga saya untuk mengembangkan kemampuan yang saya miliki
0-2
AFFECTION Kasih ssayang
Saya puas dengan kehangatan / kasih sayang yang diberikan keluarga saya
0-2
RESOLVE Kebersamaan
Saya puas dengan waktu yang disediakan keluarga untuk menjalin kebersamaan
0-2
Interpretasi : 8-10 = Highly functional family (fungsi keluarga baik) 4-7 = Moderately dysfunctional family (disfungsi keluarga moderat) 0-3 = Severely dysfunctional family (keluarga sakit / tidak sehat)
Family Lifeline
• Garis kehidupan menggambarkan secara kronologis stress kehidupan, sebagai contoh dari gambar disamping menunjukkan tingkat kesakitan berupa migrain yang naik turun sesuai dengan tingkat stress yang dialami oleh pasien • Misal : – pada tahun 1969 pasien berusia 22 tahun kejadian hidup yang dialami adalah lulus dari kampus dan pasien mengalami migrain yang cukup berat, – sedangkan pada tahun 1972 saat pasien berusia 25 dan menikah justru pasien tidak mengalami migrain, – akan tetapi pada tahun 1973 ketika pasien berusia 26 tahun dan mulai bekerja serta mengalami kesulitan bekerja, pasien mengalami migrain yang cukup berat.
SCREEM RESOURCE SOCIAL
• •
social interaction is evident among family members Family members have well-balanced lines of communication with extra-familial social groups
CULTURAL
•
cultural pride and satisfaction can be identified
•
RELIGIOUS
MEDICAL
• •
Isolated from extrafamilial Problem of over commitment
•
Ethnic and cultural inferiority
Offers satisfying spiritual experiences as well as contacts with an extra-familial support group
•
Rigid dogma/rituals
•
Economic stability is sufficient to provide both reasonable satisfaction with financial status and an ability to meet economic demands of normative life events
• •
Economic deficiency Inappropriate economic plan
•
Education of members is adequate to allow members to solve or comprehend most problems that arise within the format of the lifestyle established by the family
•
handicapped to comprehend
•
Medical health care is available through channels that are easily established and have previously been experienced in a satisfactory manner
•
Not utilizing health care facilities/resources
ECONOMIC
EDUCATIONA L
PATHOLOGY
89. JENIS RUJUKAN • Interval referral: pelimpahan wewenang dan tanggungjawab penderita sepenuhnya kepada dokter konsultan untuk jangka waktu tertentu, dan selama jangka waktu tersebut dokter tsb tidak ikut menanganinya. • Collateral referral: menyerahkan wewenang dan tanggungjawab penanganan penderita hanya untuk satu masalah kedokteran khusus saja. • Cross referral: menyerahkan wewenang dan tanggungjawab penanganan penderita sepenuhnya kepada dokter lain untuk selamanya. • Split referral: menyerahkan wewenang dan tanggungjawab penanganan penderita sepenuhnya kepada beberapa dokter konsultan, dan selama jangka waktu pelimpahan wewenang dan tanggungjawab tersebut dokter pemberi rujukan tidak ikut campur.
90. PENYIMPANAN VAKSIN • Vaksin hidup – Polio oral, BCG, campak, MMR, varicelle – Sebaiknya disimpan di suhu 2-8 derajat celcius. Di atas itu, vaksin akan mati.
• Vaksin mati – DPT, Hib, PCV, tifoid, IPV – Sebaiknya disimpan di suhu 2-8 derajat celcius. Di bawah itu, vaksin akan rusak.
• Syarat penyimpanan: disimpan di lemari es, transportasi dalam kontak dingin tertutup rapat, terlindung dari sinar matahari langsung, ada indikator suhu berupa vaccine vial monitor.
Cara Pemeriksaan Vaksin: UJI KOCOK VAKSIN • Dilakukan untuk meyakinkan apakah vaksin tersangka beku masih layak digunakan atau tidak. • Cara melakukan uji kocok: – Pilih satu contoh dari tiap tipe dan batch vaksin yang dicurigai pernah beku, utamakan dengan evaporator dan bagian lemari es yang paling dingin. Beri label ”Tersangka Beku”. Bandingkan dengan vaksin dari tipe dan batch yang sama yang sengaja dibekukan hingga beku padat seluruhnya dan beri label ”Dibekukan”. – Biarkan contoh ”Dibekukan” dan vaksin ”Tersangka Beku” sampai mencair seluruhnya. – Kocok contoh ”Dibekukan” dan vaksin ”Tersangka Beku” secara bersamaan. – Amati contoh ”Dibekukan” dan vaksin ”Tersangka Beku” bersebelahan untuk membandingkan waktu Pengendapan (umumnya 5-30 menit) – Bila terjadi: a) Pengendapan vaksin ”Tersangka Beku” lebih lambat dari contoh ”Dibekukan”: vaksin dapat digunakan. b) Pengendapan vaksin ”Tersangka Beku” lebih cepat dari contoh ”Dibekukan”: vaksin jangan digunakan, vaksin sudah rusak.
Vaccine Vial Monitor
Penanganan Vaksin Rusak • Vaksin yang rusak dikeluarkan dari lemari es, kemudian dilaporkan kepada atasan petugas. Jika sedikit dapat dimusnahkan sendiri oleh Puskesmas, tetapi bila banyak dapat dikumpulkan ke Dinkes Kabupaten/Kota dengan dibuat berita acara pemusnahan.
91. KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT) • KDRT: tiap perbuatan terhadap seseorang, terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan fisik, seksual, psikologis, dan/ atau penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. • Yang termasuk rumah tangga: – Suami, istri, anak (termasuk anak angkat dan anak tiri) – Orang yang mempunyai hubungan keluarga ddengan poin 1 – Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik dalam Proses Penyidikan, A. Munim Idris, 2011
UU Tentang KDRT: UU No. 23 Tahun 2004 • Kekerasan fisik Adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. (Pasal 6) • Kekerasan psikis Adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. (Pasal 7) • Kekerasan seksual : Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam rumah tangga tersebut; Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersil dan/atau tujuan tertentu. (Pasal 8)
Karakteristik Luka Kasus KDRT • Biasanya datang dengan luka ringan seperti luka memar atau luka lecet. Dapat pula datang dengan keluhan sakit kepala, sakit perut, atau diare, dan keluhan nonspesifik lainnya. • Datang terlambat, dalam arti kejadian sudah satu atau dua hari sebelum mereka ke dokter. • Dapat terjadi ketidaksinkronan cerita dengan luka yang ditemukan. • Luka multipel yang berbeda umurnya. Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik dalam Proses Penyidikan, A. Munim Idris, 2011
Ketentuan Pidana pada Kasus KDRT • UU No.23 tahun 2004 Pasal 44: kekerasan fisik dalam rumah tangga • UU No.23 tahun 2004 Pasal 45: kekerasan psikis dalam rumah tangga • UU No.23 tahun 2004 Pasal 46: kekerasan seksual dalam rumah tangga
Apakah Dokter Wajib Lapor pada Kasus KDRT? • Umumnya korban KDRT belum tentu bersedia melaporkan pada pihak yang berwajib (dengan alasan takut, cinta, dsb). • UU PKDRT (UU No.23 Tahun 1992 Pasal 15) tidak menyebutkan dengan jelas bahwa tenaga kesehatan yang menemukan kasus tersebut wajib melaporkannya. Namun dalam UU tersebut berbunyi: “setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya KDRT wajib melakukan upaya-upaya sesuai batas kemampuannya untuk mencegah berlangsungnya tindak pidana, memberikan perlindungan pada korban memberikan pertolongan darurat, dan membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan”
92. Inhalation of suffocating gasses • Ada 3 cara kematian pada korban kasus inhalation of suffocating gasses, yaitu menghisap gas : 1. CO 2. CO2 3. H2S • Gas CO banyak pada kebakaran hebat. Gas CO2 banyak pada sumur tua dan gudang bawah tanah. Gas H2S pada tempat penyamakan kulit.
Perbedaan Keracunan CO dan Keracunan CO2 • Perbedaan terutama terlihat pada warna darah korban. – Pada keracunan CO, darah berwarna merah terang (cherry red) – Pada keracunan CO2, darah berwarna merah gelap.
Keracunan CO • Diagnosis keracunan CO pada korban hidup biasanya berdasarkan anamnesis adanya kontak dan ditemukannya gejala keracunan CO. • Pada jenazah, dapat ditemukan warna lebam mayat yang berupa Cherry Red pada kulit, otot, darah dan organ-organ interna, yang tampak jelas bila kadar COHb mencapai 30% atau lebih. Akan tetapi pada orang yang anemik atau mempunyai kelainan darah warna cherry red ini menjadi sulit dikenali. • Pemeriksaan Laboratorium: – Uji Kualitatif, menggunakan 2 cara: uji dilusi alkali dan uji formalin – Uji Kuantitatif menggunakan cara Gettler-Freimuth
Keracunan CN • Pemeriksaan luar jenazah dapat tercium bau amandel yang merupakan tanda patognomonik untuk keracunan CN, dengan cara menekan dada mayat sehingga akan keluar gas dari mulut dan hidung. • Selain itu didapatkan sianosis pada wajah dan bibir, busa keluar dari mulut, dan lebam jenazah berwarna merah terang, karena darah kaya akan oksi hemoglobin (karena jaringan dicegah dari penggunaan oksigen) dan ditemukannya cyanmethemoglobin. • Pemeriksaan selanjutnya biasanya tidak memberikan gambaran yang khas. • Pada korban yang menelan garam alkali sianida, dapat ditemukan kelainan pada mukosa lambung berupa korosi dan berwarna merah kecoklatan karena terbentuk hematin alkali dan pada perabaan mukosa licin seperti sabun. • Korosi dapat mengakibatkan perforasi lambung yang dapat terjadi antemortal dan postmortal.
PEMERIKSAAN PADA KASUS KERACUNAN SIANIDA • Pemeriksaan luar: korban mati tercium amandel dengan menekan dada mayat sehingga akan keluar gas dari mulut dan hidung. Sianosis pada wajah & bibir, busa keluar dari mulut, & lebam mayat berwarna merah terang, karena darah vena kaya akan oksi-Hb. • Pemeriksaan bedah jenasah: dapat tercium bau amandel saat membuka ronga dada, perut & otak serta lambung (bila racun melalui mulut). Darah, otot & penampang organ tubuh dapat berwarna merah terang. Selanjutnya hanya ditemukan tanda asfiksia pada organ tubuh.
Pemeriksaan Laboratorium Kasus Keracunan Sianida • Uji kertas saring menggunakan asam pikrat jenuh: Kertas tersebut dicelupkan kedalam darah korban, bila positif berubah menjadi warna merah terang (sianmethemoglobin). • Reaksi Schonbein-Pagenstecher (reaksi Guajacol): Pada reaksi ini bila hasilnya positif akan membentuk warna biru hijau pada kerta saring. Reaksi ini tidak spesifik, hasil positif semu didapat bila isi lambung mengandung klorin, nitrogen oksida atau ozon sehingga reaksi ini hanya untuk skrining. • Reaksi Prussian Blue: hasil positif menunjukkan endapan larut dan terbetuk warna biru berlin. • Cara Gettler Goldbaum: hasil positif ditunjukkan oleh perubahan warna kertas saring menjadi biru.
93. KODEKI •
Pasal 1:Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dokter.
•
Pasal 2: Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi yang tertinggi.
•
Pasal 3: Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi.
•
Pasal 4: Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri.
•
Pasal 5: Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun fisik hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah memperoleh persetujuan pasien.
•
Pasal 6: Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan menerapkan setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat.
•
Pasal 7:Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri kebenarannya.
•
Pasal 7a: Seorang dokter harus, dalam setiap praktik medisnya, memberikan pelayanan medis yang kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang (compassion) dan penghormatan atas martabat manusia.
•
Pasal 7b: Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki kekurangan dalam karakter atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau penggelapan, dalam menangani pasien
•
Pasal 7c: Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan hak tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien
•
Pasal 7d: Setiap dokten harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani.
•
Pasal 8: Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan kepentingan masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh (promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif), baik fisik maupun psiko-sosial, serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenar-benarnya.
•
Pasal 9: Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang kesehatan dan bidang lainnya serta masyarakat, harus saling menghormati.
KODEKI-Kewajiban Dokter Terhadap Pasien • Pasal 10:Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan ketrampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ini ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka atas persetujuan pasien,ia wajib menujuk pasien kepada dokten yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut. • Pasal 11: Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadat dan atau dalam masalah lainnya.
• Pasal 12: Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia. • Pasal 13: Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya.
KODEKI-Kewajiban Dokter Terhadap Teman Sejawat • Pasal 14: Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan. • Pasal 15: Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dan teman sejawat, kecuali dengan persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis.
KODEKI-Kewajiban Dokter Terhadap Diri Sendiri • Pasal 16: Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja dengan baik. • Pasal 17: Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran/kesehatan.
Penjelasan Pasal 3 KODEKI
Penjelasan Pasal 3 KODEKI
94. LUKA PETIR • Lightning / eliksem adalah kecelakaan akibat sambaran petir. Petir termasuk arus searah (DC) dengan tegangan 20 juta volt dan kuat arus 20 ribu ampere. Ada 3 keadaan yang berpotensi besar terkena petir : 1. Berada di tanah lapang. 2. Berada dibawah pohon yang tinggi. 3. Kehujanan dan memakai perhiasan yang terbuat dari logam. Ada 3 kelainan akibat sambaran petir : 1. Efek listrik. 2. Efek panas. 3. Efek ledakan.
Luka Petir Ada 3 efek listrik akibat sambaran petir : • Current mark / electrik mark / electrik burn. Efek ini termasuk salah satu tanda utama luka listrik (electrical burn). • Aborescent markings. Tanda ini berupa gambaran seperti pohon gundul tanpa daun akibat terjadinya vasodilatasi vena pada kulit korban sebagai reaksi dari persentuhan antara kulit dengan petir (lightning / eliksem). Tanda ini akan hilang sendiri setelah beberapa jam. • Magnetisasi. Logam yang terkena sambaran petir (lightning / eliksem) akan berubah menjadi magnet. Efek ini termasuk salah satu tanda luka listrik (electrical burn).
Arborescent mark
Luka Petir Ada 2 efek panas akibat sambaran petir : • Luka bakar sampai hangus. Rambut, pakaian, sepatu bahkan seluruh tubuh korban dapat terbakar atau hangus. • Metalisasi. Logam yang dikenakan korban akan meleleh seperti perhiasan dan komponen arloji. Arloji korban akan berhenti dimana tanda ini dapat kita gunakan untuk menentukan saat kematian korban. Efek ini juga termasuk salah satu tanda luka listrik (electrical burn).
95. PERSETUJUAN TINDAKAN MEDIS • Persetujuan tindakan medis secara praktis dibagi menjadi 2: Implied consent Pasien tidak menyatakan persetujuan baik secara tertulis maupun lisan, namun dari tingkah lakunya menyatakan persetujuannya. Contoh: pasien membuka baju untuk diperiksa, pasien mengulurkan lengan untuk diambil sampel darah. Expressed consent
Persetujuan dinyatakan secara lisan atau tertulis. Khusus setiap tindakan yang mengandung risiko tinggi, harus diberikan persetujuan tertulis oleh pasien atau yang berhak mewakili (sesuai UU No.29 tahun 2004 pasal 45) Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik dalam Proses Penyelidikan, A. Munim Idries, 2013
Jenis Consent Lainnya JENIS CONSENT
PENJELASAN
Informed consent
Consent yang diberikan pada pasien secara tertulis, yang ditandatangani langsung oleh pasien yang berangkutan.
Proxy consent
Consent yang diberikan oleh wali pasien (orangtua, suami/istri, anak, saudara kandungnya dsb) karena pasien tidak kompeten untuk memberikan consent (misalnya pada pasien anak).
Presumed consent
Pasien tidak dapat memberikan consent, namun diasumsikan bahwa bila pasien sadar, ia akan setuju dengan tindakan medis yang diambil. Consent jenis ini biasanya dilakukan pada kondisi kegawatdaruratan atau pada donor organ dari cadaver.
Appelbaum PS. Assessment of patient’ s competence to consent to treatment. New England Journal of Medicine. 2007; 357: 18341840.
TANGGUNG JAWAB DOKTER PADA KASUS KEGAWATDARURATAN
KODEKI 2012
Informed Consent pada Kasus Kegawatdaruratan •
Pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Medik, pengaturan mengenai informed consent pada kegawatdaruratan lebih tegas dan lugas. Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 pasal 4 ayat (1) dijelaskan bahwa “Dalam keadaan darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran”.
•
Di USA dikenal penerapan doktrin Good Samaritan dalam peraturan perundangundangan pada hampir seluruh negara bagian. Doktrin tersebut terutama diberlakukan dalam fase pra-rumah sakit untuk melindungi pihak yang secara sukarela beritikad baik menolong seseorang dalam keadaan gawat darurat. Dengan demikian seorang pasien dilarang menggugat dokter atau tenaga kesehatan lain untuk kecederaan yang dialaminya.
•
Dua syarat utama doktrin Good Samaritan yang harus dipenuhi adalah: – Kesukarelaan pihak penolong. – Itikad baik pihak penolong.
THT-KL
96. Miringitis
97. Laringomalasia • Laringomalasia adalah kelainan kongenital dimana epiglotis lemah • Akibat epiglotis yang jatuh, akan menimbulkan stridor kronik, yang diperparah dengan gravitasi (berbaring). • Pada pemeriksaan dapat terlihat laring berbentuk omega • Laringomalasia biasanya terjadi pada anak dibawah 2 tahun, dimulai dari usia 4-6 minggu, memuncak pada usia 6 bulan dan menghilang di usia 2 tahun. • Sebagian besar kasus tidak memerlukan tatalaksana.
Causes of Stridor neonate Laryngomalacia Vocal cord dysfunction Congenital tumours Choanal atresia Laryngeal webs
1st 2nd
Chronic Chronic Chronic Chronic Chronic
Chilld Infection -epiglottitis -Laryngitis Croup : 1-2 days duration less severe FB Laryngeal dyskinesia
acute Acute Acute chronic
adult Infection -epiglottitis -Laryngitis Trauma – acquired stenosis CA Larynx or Trachea or main bronchus http://medschool.lsuhsc.edu
Acute Acute chronic
http://dnbhelp.files.wordpress.com/2011/10/stridor.jpg?w=645
98. Rhinofaringitis • Rhinopharyngitis or acute coryza is an infectious disease which is generally known as common cold because of the speed with which it can spread from one person to another. • Affects the throat, the nasal, and respiratory systems, causing mucus to run down the nose, with difficulty in breathing, headache, fever, coughing, constant sneezing, and sore throat.
Rhinopharyngitis • Sign and symptom – Fever: Rhinopharyngitis usually starts with an increase in temperature – Runny nose: mucus may be infected and alternate with nasal obstruction which gives the feeling of a blocked nose. It is clear in the beginning but progressively becomes thicker as it becomes infected – Sneezing – Cough – Vomiting or diarrhoea are experienced from time to time.
Treatment • In the majority of cases, rhinopharyngitis gets better by itself in about a week. • The treatment is mostly aimed at relieving symptoms such as a sore throat, headache and nasal congestion. • Use nasal drops or saline solution to relieve congestion.
99. Herpes Zoster Otikus • Disebabkan oleh reaktivasi infeksi virus varicella zoster. • Ramsay Hunt syndrome is defined as VZV infection of the head and neck that involves the facial nerve, often the seventh cranial nerve (CN VII). • Other cranial nerves (CN) might be also involved, including CN VIII, IX, V, and VI (in order of frequency). • Menyerang satu atau lebih dermatom saraf kranial: saraf trigeminus, ganglion genikulatum, radiks servikalis bagian atas (Ramsay Hunt syndrome). • This infection gives rise to vesiculation and ulceration of the external ear and ipsilateral anterior two thirds of the tongue and soft palate, as well as ipsilateral facial neuropathy (in CN VII), radiculoneuropathy, or geniculate ganglionopathy. • Lesi kulit vesikuler di daerah muka sekitar liang telinga, otalgia, kadang paralisis otot wajah. • Keadaan berat : tuli sensorineural.
99. Herpes zoster oticus • Herpes zoster oticus/Ramsay Hunt syndrome
Contemp Clin Dent. 2010 Apr-Jun; 1(2): 127–129.
Ramsay Hunt Syndrome Treatment • Pengobatan sesuai dengan tatalaksana herpes zoster • Corticosteroids and oral acyclovir are commonly used in the treatment of Ramsay Hunt syndrome. – Prednisone during acute inflammatory period (1-2 wk) and then tapered slowly.
• Temporary relief of otalgia may be achieved by applying a local anesthetic • Carbamazepine may be helpful, especially in cases of idiopathic geniculate neuralgia.
100. Tonsillitis • Acute tonsillitis: – Viral: similar with acute rhinits + sore throat – Bacterial: • Group A-β hemolytic Streptococcus pyogenes (GABHS) is the pathogenic organism responsible for most cases of bacterial pharyngitis in adults • Others: pneumococcus, S. viridan, S. pyogenes. • • • •
Detritus → follicular tonsillitits Detritus coalesce → lacunar tonsillitis. Sore throat, odinophagia, fever, malaise, otalgia. Th: penicillin or erythromicin
• Chronic tonsillitis – Persistent sore throat, anorexia, dysphagia, & pharyngotonsillar erythema – Lymphoid tissue is replaced by scar → widened crypt, filled by detritus. – Foul breath, throat felt dry.
Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007. Diagnostic handbook of otorhinolaryngology.
Terapi tonsilofaringitis bakterial • Antibiotik – Penisilin G benzatin 50.000 U/kgBB IM dosis tunggal atau amoksisilin 50 mg/kgBB dosis dibagi 3 kali sehari selama 10 hari (anak) atau pada dewasa 3 x 500 mg selama 6-10 hari – Eritromisin 4 x 500 mg
• Kortikosteroid – Dexamethasone 8-16 mg, IM 1 kali; pada anak 0,08-0,3 mg/kgBB IM 1 kali
• Analgetik • Kumur dengan air hangat atau antiseptik • Recurrent tonsillitis may be managed with the same antibiotics as acute GABHS pharyngitis.
Buku Ajar THT | Emedicine
Tonsilitis • Indikasi tonsilektomi pada Tonsilitis: – Serangan lebih dari 3 kali/tahun walaupun telah mendapatkan terapi adekuat. – Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan gangguan pertumbuhan orofasial. – Sumbatan jalan nafas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan jalan nafas, sleep apnea, gangguan menelan, gangguan bicara, dan cor pulmonale. – Rinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang tidak berhasil hilang dengan pengobatan. – Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan. – Tonsilitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A streptococcus beta hemoliticus. – Hipertrofi tonsil yang dicurigai keganasan. – Otitis media efusa/otitis media supuratif. Buku ajar ilmu THT 2007
Tonsilektomi
Current diagnosis & treatment in otolaryngology. 2nd ed. McGraw-Hill.