DR. WIDYA | DR. YOLINA | DR. ORYZA | DR. REZA DR. RESTHIE | DR. CEMARA | DR. RYNALDO
OFFICE ADDRESS: Jl padang no 5, manggarai, setiabudi, jakarta selatan (belakang pasaraya manggarai) phone number : 021 8317064 pin BB D3506D3E / 5F35C3C2 WA 081380385694 / 081314412212
Medan : Jl. Setiabudi no. 65 G, medan Phone number : 061 8229229 Pin BB : 24BF7CD2 Www.Optimaprep.Com
I L MU P E N YA K I T DALAM
1. Ensefalopati Hepatikum • Kerusakan hepar metabolisme ammonia menurun kadar ammonia meningkat
Ensefalopati Hepatikum
Ensefalopati Hepatikum • Lactulose – first-line therapy of HE – menurunkan pH kolon dan mengganggu uptake glutamin pada mukosa usus menurunkan sintesis dan absorbsi amonia.
• Antibiotic (rifaximin, neomycin) – menghambat glutaminase mukosa saluran cerna menurunkan produksi amonia di usus.
• Sodium benzoat – berinteraksi dengan glisin membentuk hipurat, senyawa yang membutuhkan amonia ketika diekskresi di renal.
Cirrhosis • Therapy – improve mental status by diminishing the absorption of ammonia & other noxious substances from the GI tract.
• Lactulose (nonabsorbable carbohydrate) metabolized by microbes acidic environment trap ammonia as charged NH4+ excreted by the resultant osmotic diarrhea.
Pathophysiology of disease. 2nd ed. Springer; 2006.
2. Hypersensitivity Reaction
2. Anemia Hemolitik
•
Sebagian besar anemia hemolitik berhubungan dengan sedikit gejala/tanda yang spesifik. Pada kasus hemolisis intravaskular akut dapat timbul gejala demam, menggigil, dan low back pain. Pada hemolisis kronik dapat ditemukan splenomegali karena hiperfungsi dalam mendestruksi eritrosit di limpa.
2. Anemia Hemolitik
Pada hemolisis intravaskular terdapat hemoglobinemia, hemoglobinuria, dan hemosiderinuria, sedangkan pada hemolisis ekstravaskular tidak ada.
2. Anemia Hemolitik
3. Pneumonia • Community acquired pneumonia: – Pneumonia yang didapat di masyarakat
• Hospital acquirede pneumonia (HAP) – Pneumonia yang terjadi setelah pasien 48 jam dirawat di rumah sakit dan disingkirkan semua infeksi yang terjadi sebelum masuk rumah sakit.
• Ventilator associated pneumonia (VAP) – Pneumonia yang terjadi lebih dari 48 jam setelah pemasangan intubasi endotrakeal.
• Healthcare associated pneumonia (HCAP), meliputi pasien: – Pernah dirawat di RS selama 2 hari/lebih dalam waktu 90 hari sebelum awitan pneumonia, – Tinggal di panti atau fasilitas rawat jangka panjang , – Mendapat antibiotik IV, kemoterapi, atau perawatan luka dalam waktu 30 hari dari sebelum awitan pneumonia, – Pasien hemodialisis.
3. Pneumonia • Diagnosis pneumonia komunitas: Infiltrat baru/infiltrat progresif + ≥2 gejala: 1. Batuk progresif 2. Perubahan karakter dahak/purulen 3. Suhu aksila ≥38 oC/riw. Demam 4. Fisis: tanda konsolidasi, napas bronkial, ronkhi 5. Lab: Leukositosis ≥10.000/leukopenia ≤4.500 • Gambaran radiologis: – Infiltrat sampai konsolidasi dengan “air bronchogram”, penyebaran bronkogenik & interstisial serta gambaran kaviti. – Air bronchogram: gambaran lusen pada bronkiolus yang tampak karena alveoli di sekitarnya menjadi opak akibat inflamasi.
Pneumonia komuniti, pedoman diagnosis & penatalaksanaan di Indoneisa. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003.
3. Pneumonia • Diagnosis pneumonia nosokomial: 1. Onset pneumonia yang terjadi 48 jam setelah dirawat di rumah sakit dan menyingkirkan semua infeksi yang inkubasinya terjadi pada waktu masuk rumah sakit 2. Diagnosis pneumonia nosokomial ditegakkan atas dasar : – Foto toraks : terdapat infiltrat baru atau progresif – Ditambah 2 diantara kriteria berikut: • • •
suhu tubuh > 38oC sekret purulen leukositosis
Pneumonia nosokomial, pedoman diagnosis & penatalaksanaan di Indoneisa. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003.
Pneumonia Petunjuk terapi empiris menurut PDPI • Rawat jalan – Sebelumnya sehat atau tanpa riwayat antibiotik 3 bulan sebelumnya: • β laktam atau β laktam + anti β laktamase • Makrolid baru (klaritromisin, azitromisin)
– Dengan komorbid atau riwayat antibiotik 3 bulan sebelumnya: • Fluorokuinolon respirasi: levofloksasin 750 mg, moksifloksasin • β laktam + anti β laktamase • β laktam ditambah makrolid
– Bila dicurigai pneumonia atipik: makrolid baru (roksitrosin, klaritromisin, azitromosin)
• Rawat inap – Tanpa faktor modifikasi : • golongan beta laktam + anti beta laktamase i.v • sefalosporin G2,G3 i.v • Fluorokuinolon respirasi i.v (levofloksasin 750 mg, moksifloksasin)
– Dengan faktor modifikasi: • sefalosporin G2,G3 i.v • Fluorokuinolon respirasi i.v
– Bila curiga disertai infeksi bakteri atipik ditambah makrolid baru
• ICU, tanpa faktor risiko infeksi pseudomonas: β laktam ditambah makrolid baru atau fluorokuinolon respirasi IV
•
Fluoroquinolon respirasi levofloksasin, moxifloksasin, gemifloksasin
Pneumonia komuniti, pedoman diagnosis & penatalaksanaan di Indoneisa. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2014.
3. Pneumonia Faktor modifikasi pada terapi pneumonia: • Pneumokokus resisten terhadap penisilin – – – – –
Umur lebih dari 65 tahun Memakai obat-obat golongan P laktam selama tiga bulan terakhir Pecandu alkohol Penyakit gangguan kekebalan Penyakit penyerta yang multipel
• Bakteri enterik Gram negatif – – – –
Penghuni rumah jompo Mempunyai penyakit dasar kelainan jantung paru Mempunyai kelainan penyakit yang multipel Riwayat pengobatan antibiotik
• Pseudomonas aeruginosa – – – –
Bronkiektasis Pengobatan kortikosteroid > 10 mg/hari Pengobatan antibiotik spektrum luas > 7 hari pada bulan terakhir Gizi kurang
4. Nyeri Sendi Gout: – Transient attacks of acute arthritis initiated by crystallization of urates within & about joints, – leading eventually to chronic gouty arthritis & the appearance of tophi. – Tophi: large aggregates of urate crystals & the surrounding inflammatory reaction.
Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed. McGraw-Hill; 2011. Robbins’ pathologic basis of disease. 2007.
Gout histopathology
Acute Gout
Tophy in chronic gout Current diagnosis & treatment in rheumatology. 2nd ed. McGraw-Hill; 2007.
4. Nyeri Sendi • The management of acute gout is to provide rapid & safe pain relief. – NSAID, – Colchicine. – Corticosteroid if NSAID is contraindicated.
• Preventing further attacks by uric acid lowering agent: – Allopurinol – Probenecid
• Uric acid lowering agent shouldn’t be given on acute attack, unless the patient has consumed it since 2 weeks before.
Current diagnosis & treatment in rheumatology. 2nd ed. McGraw-Hill; 2007.
Ciri Prevalens
OA
RA
Gout
Spondilitis Ankilosa
Arthritis
Female>male, >50 tahun, obesitas
Female>male 40-70 tahun
Male>female, >30 thn, hiperurisemia
Male>female, dekade 2-3
gradual
gradual
akut
Variabel
Inflamasi
-
+
+
+
Patologi
Degenerasi
Pannus
Mikrotophi
Enthesitis
Poli
Poli
Mono-poli
Oligo/poli
Tipe Sendi
Kecil/besar
Kecil
Kecil-besar
Besar
Predileksi
Pinggul, lutut, punggung, 1st CMC, DIP, PIP
MCP, PIP, pergelangan tangan/kaki, kaki
MTP, kaki, pergelangan kaki & tangan
Sacroiliac Spine Perifer besar
Temuan Sendi
Bouchard’s nodes Heberden’s nodes
Ulnar dev, Swan neck, Boutonniere
Kristal urat
En bloc spine enthesopathy
Osteofit
Osteopenia erosi
erosi
Erosi ankilosis
-
Nodul subkutan, pulmonari cardiac splenomegaly
Tophi, olecranon bursitis, batu ginjal
Uveitis, IBD, konjungtivitis, insuf aorta, psoriasis
Normal
RF +, anti CCP
Asam urat
Awitan
Jumlah Sendi
Perubahan tulang Temuan Extraartikular Lab
Tumor
Description
Chondroma
benign tumors composed of mature hyaline cartilage. lobulated, cartilaginous masses with a covering of fibrous tissue Histologic: lobules of mature hyaline cartilage with varying cellularity. Cellular tumors may contain chondrocytes with plump or double nuclei.
Fibromixoid
rare, malignant, soft tissue tumor often seen in young adults. Mostly present in the extremities (arms and legs), or chest and back region. benign histological appearance with spindle cells in a whorling pattern, as well as collagenized and myxoid areas
Osteosarkoma
most common malignant bone tumor, predisposed in distal femur or proximal tibia Histologic: presence of osteoid in the lesion, even at sites distant from bone
5. Anemia Heart Disease • Chronic anemia is associated with high cardiac ouput when haemoglobin is equal to or less than approximately 8gm/dl. • Reduced system vascular resistance which results from decreased arteriolar tone and decreased blood viscocity. • Enhanced basal production of endothelium-derived nitric oxide the low systemic vascular resistance in patients with anemia. • Impaired renal excretion of sodium and water volume overload may be due to decreased renal blood flow.
5. Anemia in Heart Disease • Anemia is known to be associated with heart failure
5. Anemia in heart disease
5. Transfusi darah
Type
Descriptions
Indications
Whole blood
• • • •
PRC
• 150–200 ml red cells from which most of the plasma has been removed • Hb ± 20 g/dL (not less than 45 g per unit) • Ht: 55%–75%
• Replacement of red cells in anaemic patients • Use with crystalloid or colloid solution in acute blood loss
FFP
• Plasma separated from whole blood within 6 hours of collection and then rapidly frozen to –25°C or colder • Contains normal plasma levels of stable clotting factors, albumin & immunoglobulin
• Replacement of multiple coagulation factor • deficiencies, • DIC • TTP
Platelet conc.
Single donor unit in a volume of 50–60 ml of plasma should contain: At least 55 x 10 9 platelets, <1.2 x 109 red cells, <0.12 x 109 leucocytes
• Treatment of bleeding due to: — Thrombocytopenia — Platelet function defects • Prevention of bleeding due to thrombocytopenia.
Cryopresi pitate
• Prepared by resuspending FFP presipitate. • Contains about half of the Factor VIII and fibrinogen in the donated whole blood.
Treatment of vWD, Haemophilia A, FXIII def, source of fibrinogen acquired coagulopathies (DIC)
Up to 510 ml total volume Hb ± 12 g/ml, Ht 35%–45% No functional platelets No labile coagulation factors (V & VIII)
• Red cell replacement in acute blood loss with hypovolaemia • Exchange transfusion • Patients needing red cell transfusions where PRC is not available
5. Komponen Darah
Indikasi whole blood: • Perdarahan akut dengan hipovolemia • Transfusi Tukar (Exchange transfusion) • Pengganti darah merah endap (packed red cell) saat memerlukan transfusi sel darah merah Indikasi PRC: • Pengganti sel darah merah pada anemia • Anemia karena perdarahan akut (setelah resusitasi cairan kristaloid atau koloid)
Indikasi washed erythrocyte: • Transfusi masif pada neonatus sampai usia < 1 tahun • Penderita dengan anti-IgA atau defisiensi IgA dengan riwayat alergi transfusi berat • Riwayat reaksi transfusi berat yang tidak membaik dengan pemberian premedikasi • Penderita dengan reaksi terhadap protein plasma darah transfusi (pada pasien dengan Coombs test positif) Indikasi FFP: • Defisiensi faktor koagulasi (penyakit hati, overdosis antikoagulan-warfarin, kehilangan faktor koagulasi pada penerima transfusi dalam jumlah besar) • DIC • TTP
Indikasi trombosit konsentrat: • Perdarahan akibat trombositopenia atau gangguan fungsi trombosit • Pencegahan perdarahan karena trombositopenia (gangguan sumsum tulang) kurang dari 10.000 /micro liter Indikasi Cryoprecipitate: • Alternatif terapi F VIII konsentrat pada defisiensi : – Faktor von Willebrand (von Willebrand’s disease) – Faktor VIII (hemofilia A) – Faktor XIII
• Sumber fibrinogen pada gangguan koagulopati dapatan misalnya DIC
6. Hepatitis •
Incubation periods for hepatitis A range from 15–45 days (mean, 4 weeks), for hepatitis B and D from 30–180 days (mean, 8–12 weeks), for hepatitis C from 15– 160 days (mean, 7 weeks), and for hepatitis E from 14–60 days (mean, 5–6 weeks).
•
The prodromal symptoms – Constitutional symptoms of anorexia, nausea and vomiting, fatigue, malaise, arthralgias, myalgias, headache, photophobia, pharyngitis, cough, and coryza may precede the onset of jaundice by 1–2 weeks. – Dark urine and clay-colored stools may be noticed by the patient from 1–5 days before the onset of clinical jaundice.
•
The clinical jaundice – The constitutional prodromal symptoms usually diminish. – The liver becomes enlarged and tender and may be associated with right upper quadrant pain and discomfort. Spleen may enlarge.
•
During the recovery phase, constitutional symptoms disappear, but usually some liver enlargement and abnormalities in liver biochemical tests are still evident.
Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed. 2011.
6. Hepatitis
6. Hepatitis
7. Penyakit Hepatobilier
7. Penyakit Hepatobilier • Kolelitiasis: – Nyeri kanan atas/epigastrik mendadak, hilang dalam 30 menit-3 jam, mual, setelah makan berlemak.
• Kolesistitis: – Nyeri kanan atas bahu/punggung, mual, muntah, demam – Nyeri tekan kanan atas (murphy sign)
• Koledokolitiasis: – Nyeri kanan atas, ikterik, pruritis, mual.
• Kolangitis: – Triad Charcot: nyeri kanan atas, ikterik, demam/menggigil – Reynold pentad: charcot + syok & penurunan kesadaran Pathophysiology of disease. 2nd ed. Springer; 2006.
7. Penyakit Hepatobilier • Koledokolitiasis – Batu empedu di duktus biliaris komunis
• Manifestasi klinis – Kolik bilier, kolangitis asending, ikterus obstruktif, pankreatitis akut.
• Radiologi – USG, sensitivitas 13-55%, temuan: visualisasi batu (hiperekoik), dilatasi duktus bilier – CT dengan kontras: 65-88%
• Terapi – ERCP dengan sfingterotomi http://radiopaedia.org/articles/choledocholithiasis
7. Penyakit Hepatobilier Lokasi Nyeri
Anamnesis
Pemeriksaan Fisis
Nyeri epigastrik Kembung
Membaik dgn makan (ulkus duodenum), Memburuk dgn makan (ulkus gastrikum)
Tidak spesifik
Nyeri epigastrik menjalar ke punggung
Gejala: mual & muntah, Demam Penyebab: alkohol (30%), batu empedu (35%)
Nyeri tekan & defans, perdarahan retroperitoneal (Cullen: periumbilikal, Gray Turner: pinggang), Hipotensi Ikterus, Hepatomegali
Nyeri kanan atas/ Prodromal epigastrium (demam, malaise, mual) kuning. Nyeri kanan atas/ Risk: Female, Fat, epigastrium Fourty, Hamil Prepitasi makanan berlemak, Mual, TIDAK Demam Nyeri epigastrik/ Mual/muntah, kanan atas Demam menjalar ke bahu/ punggung
Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis
Terapi
Urea breath test (+): H. pylori Endoskopi: eritema (gastritis akut) atropi (gastritis kronik) luka sd submukosa (ulkus) Peningkatan enzim amylase & lipase di darah
Dispepsia
PPI: ome/lansoprazol H. pylori: klaritromisin+amok silin+PPI
Transaminase, Serologi HAV, HBSAg, Anti HBS Nyeri tekan USG: hiperekoik abdomen dgn acoustic Berlangsung 30-180 window menit Murphy Sign
USG: penebalan dinding kandung empedu (double rims)
Pankreatitis
Hepatitis Akut
Resusitasi cairan Nutrisi enteral Analgesik
Suportif
Kolelitiasis
Kolesistektomi Asam ursodeoksikolat
Kolesistitis
Resusitasi cairan AB: sefalosporin gen. 3 + metronidazol Kolesistektomi
8. Anemia Aplastik Etiologi anemia aplastik Idiopatik (dimediasi imun): 70% kasus
Sekunder: 10-15% kasus
Obat Toksin Virus PNH Penyakit autoimun Timoma Kehamilan Iatrogenik
Lichtman MA, Segel GB. Aplastic anemia: acquired and inherited. In: Lichtman et al, editors. William’s hematology. 8th ed. New York: McGraw Hill; 2010. p.463-79
Inisiasi oleh: obat, virus, toksin.
Kerusakan yang dimediasi sistem imun
Neoantigen di HSC/progenitor
Diproses oleh APC
Aktivasi Sel T
Sel punca hematopoietik mati Lichtman MA, Segel GB. Aplastic anemia: acquired and inherited. In: Lichtman et al, editors. William’s hematology. 8th ed. New York: McGraw Hill; 2010. p.463-79
8. Anemia Aplastik Manifestasi klinis disebabkan oleh sitopenia
Anemia
Pucat, lemah, dispnea
Trombositopenia Ptekiae, epistaksis, perdarahan gusi, menoragia
Leukopenia
Demam, infeksi
Tidak ada limfadenopati atau splenomegali
Lichtman MA, Segel GB. Aplastic anemia: acquired and inherited. In: Lichtman et al, editors. William’s hematology. 8th ed. New York: McGraw Hill; 2010. p.463-79
8. Anemia Aplastik • Temuan lab anemia aplastik: – Normositik normokrom atau makrositik (MCV sering 95110 fL). – Jumlah retikulosit rendah. – Leukopenia dengan limfositosis relatif. – Tidak ada sel abnormal di darah. – Sumsum tulang hipoplasia, dengan jaringan hematopoietik digantikan lemak. Hoffbrand, Essential Hematology
8. Anemia Aplastik Penyebab
Sumsum tulang
Pemeriksaan Diagnostik Lain
Anemia aplastik
Hiposelular, sel lemak
Eksklusi penyakit lain
Leukemia akut
Hiper/hiposelular, blas > 20%
Flowsitometri, sitogenetika
Mielodisplasia
Hiper/hiposelular, displasia
Imunophenotyping
Mielofibrosis
Fibrosis retikulin
PNH
Variabel
Ham/sugar water test, imunophenotyping
Infiltrasi keganasan
Infiltrasi sel ganas
Mencari tumor primer
Anemia megaloblastik
Hiperselular, megaloblas
Kadar B12/folat serum
Hodgkin disease
Infiltrasi atau hiposelular
Penyakit histiositik
Hiposelular, hemofagositosis
Osteopetrosis
Trabekula tulang >>
Biopsi trephine
Storage disorder
Hiperselular, infiltrasi
Biopsi trephine
Anoreksia nervosa
Hiposelular ± nekrosis lemak
Pemeriksaan fisis & psikiatri
Hipersplenisme
Hiperplasia
Splenomegali
Guinan EC. Diagnosis and management of aplastic anemia. American Society of Hematology. Hematology 2011. Marsh JCW., et al. Guidelines for the diagnosis and management of aplastic anaemia. BJH Aug 2009;143:43-70.
9. Algoritme Takikardia ACLS
9. Aritmia • How To Do Carotid Massage: – Auscultate for carotid bruits. If there is evidence of significant carotid disease, do not perform carotid massage. – With the patient lying flat, extend the neck and rotate the head slightly away from you. – Palpate the carotid artery at the angle of the jaw and apply gentle pressure for 10 to 15 seconds. – Never compress both carotid arteries simultaneously! – Try the right carotid first because the rate of success is somewhat better on this side. If it fails, however, go ahead and try the left carotid next. – Have a rhythm strip running during the entire procedure, so that you can see what is happening. Always have equipment for resuscitation available; in rare instances, carotid massage may induce sinus arrest.
10. Aritmia • When should you suspect that someone had or is having an arrhythmia? – Many arrhythmias go unnoticed by the patient. – First and foremost are palpitations, an awareness of one's own heartbeat. Patients may describe intermittent accelerations or decelerations of their heartbeat, or a sustained rapid heartbeat that may be regular or irregular. – More serious are symptoms of decreased cardiac output, which can occur when the arrhythmia compromises cardiac function. Among these are light-headedness & syncope (a sudden faint). – Rapid arrhythmias can increase the oxygen demands of the myocardium and cause angina (chest pain). The sudden onset of an arrhythmia in a patient with underlying cardiac disease can also precipitate congestive heart failure. – Sometimes, the first clinical manifestation of an arrhythmia is sudden death.
The only ECG book you ever need.
10. Aritmia
10. Aritmia • AF berpotensi berbahaya karena: 1. HR yang terlalu cepat menurunkan preload sehingga curah jantung
menurun, 2. Kontraksi atrium yang ireguler mengakibatkan stasis di atrium trombus embolisasi.
• Klasifikasi AF: – Paroksismal: • Episode < 48 jam. • Sekitar 50% kembali normal dalam 24 jam. – Persisten: • Episode 48 jam s.d. 7 hari • Diperlukan kardioversi untuk kembali ke irama sinus – Kronik/permanen • Berlangsung lebih dari 7 hari • Dengan kardioversi pun sulit kembali ke irama sinus. The only ECG book you ever need.
10. Aritmia • Prinsip tatalaksana AF: 1. Pengontrolan laju irama jantung, • Target 60-80 x/menit saat istirahat, 90-115 kali/menit saat aktivitas.
2. Pengembalian ke irama sinus (kardioversi), • Kardioversi farmakologis – Pasien AF episode pertama tanpa gangguan hemodinamik bermakna tidak perlu terapi spesifik. – Pasien AF persisten rekuren dengan gejala mengganggu diberikan antiaritmia.
• Electric cardioversion: – Untuk pasien tidak stabil (penurunan kesadaran, hipotensi, nyeri dada, sinkop), bifasik 120-200 J, monofasik 200 J.
3. Pencegahan tromboemboli • Warfarin diberikan untuk pasien dengan risiko tinggi terjadi stroke (usia >65, hipertensi, penyakit jantung reumatik, DM, CHF, riwayat stroke/TIA). Target INR of 2.0 to 3.0 Pathophysiology of Heart Disease.
10. Aritmia • Rate control: – If the patient presents with atrial fibrillation and a rapid rate associated with severe heart failure or cardiogenic shock, emergency direct-current cardioversion is indicated. – For patients with atrial fibrillation associated with rapid rate but with stable hemodynamics, attempts to achieve acute rate control are indicated.
Pathophysiology of Heart Disease.
Aritmia 2014 AHA/ACC/HRS Atrial Fibrillation Guideline •
•
Kelas 1 (manfaat > risiko, terapi diberikan): – Rate control dengan beta blocker atau nondihydropyridine CCB direkomendasikan untuk pasien AF persisten dan permanen dan gagal jantung terkompensasi dengan preserved EF – Digoxin efektif untuk mengontrol HR istirahat pada pasien HF dengan penurunan fraksi ejeksi. Kelas 3 (merugikan): – Untuk rate control, nondihydropyridine calcium channel antagonists, beta blockers, & dronedarone tidak boleh diberikan untuk pasien gagal jantung dekompensasi.
Pocket medicine 5th ed.
Aritmia • Acute and chronic management strategies (BMJ. 2000 Feb 26; 320(7234): 559–562) – In compensated heart failure, symptoms are stable, and many overt features of fluid retention and pulmonary oedema are absent. – Decompensated heart failure refers to a deterioration, which may present either as an acute episode of pulmonary oedema or as lethargy and malaise, a reduction in exercise tolerance, and increasing breathlessness on exertion.
• Cleveland clinic med: – Decompensated HF: • May be tachycardic and tachypneic, with bilateral inspiratory rales, jugular venous distention, and edema. • Often are pale and diaphoretic. • Patients with decompensated diastolic dysfunction usually have a loud S4 (which may be palpable), rales, and often systemic hypertension.
– Compensated HF:
• will likely have clear lungs but a displaced cardiac apex.
10. Aritmia
11. Aflatoxin • Aflatoxin is a potent human carcinogen. • A type of mycotoxin. • It is a naturally occurring toxic metabolite produced by certain fungi (Aspergillus flavus), a mold found on food products such as corn and peanuts, peanut butter. • Epidemiological studies done in Asia and Africa that have demonstrated a positive association between dietary aflatoxins and Liver Cell Cancer (LCC)
12. Hyperparathiroidism • Hyperparathyroidism is a disease characterized by excessive secretion of parathyroid hormone. • The main effects of parathyroid hormone are to increase the concentration of plasma calcium by – increasing the release of calcium and phosphate from bone matrix – increasing calcium reabsorption by the kidney – increasing renal production of 1,25-dihydroxyvitamin D-3 (calcitriol), which increases intestinal absorption of calcium.
12. Hyperparathyroidism • Overproduction of parathyroid hormone results in elevated levels of plasma calcium. • Parathyroid hormone also causes phosphaturia, thereby decreasing serum phosphate levels. • Hyperparathyroidism is usually subdivided into primary, secondary, and tertiary hyperparathyroidism. – Tertiary hyperparathyroidism is a state of excessive secretion of parathyroid hormone after longstanding secondary hyperparathyroidism and resulting in hypercalcemia.
Metabolisme kalsium dan fosfat
Hyperparathyroidism • Tertiary hyperparathyroidism is a state of excessive secretion of parathyroid hormone (PTH) after a long period of secondary hyperparathyroidism and resulting in a high blood calcium level. • It reflects development of autonomous (unregulated) parathyroid function following a period of persistent parathyroid stimulation.
13. Tuberkulosis • Tuberkulosis primer – M. tb saluran napas sarang/afek primer di bagian paru mana pun saluran getah bening kgb hilus (limfadenitis regional). – Dapat sembuh tanpa bekas atau terdapat garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus. – Morfologi: radang puth keabuan, perkejuan sental.
• Tuberkulosis postprimer/reaktivasi – Muncul bertahun-tahun setelah tb primer, di segmen apikal lobus superior atau lobus inferior. – Dapat sembuh tanpa bekas atau sembuh dengan jaringan fibrosis, pengapuran, atau kavitas yang menciut & terlihat seperti bintang. – Morfologi: fokus putih keabuan-kuning berbatas tegas, perkejuan sentral, & fbrosis perifer.
• •
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpuan Dokter Paru Indonesia. 2006 Robbins & Cotran pathologic basis of disease. 8th ed.
13. Tuberkulosis Gejala Klinis
Gejala respiratori: batuk ≥2 minggu, batuk darah, sesak napas, nyeri dada. Gejala sistemik: demam, malaise, keringat malam, turun berat badan
PF
Kelainan paru di lobus superior (apeks & segmen posterior), apeks lobus inferior: suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda penarikan paru, diafragma, dan mediastinum
Roentgen
Lesi aktif: Bayangan berawan/nodular di apeks & posterior lobus superior, segmen superior lobus inferior, Kavitas, Bayangan bercak milier, efusi pleura. Lesi inaktif: fibrotik, kalsifikasi, schwarte/penebalan pleura.
Tuberkulosis: pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. PDPI: 2006.
13. TB Milier Gambaran radiologis TB milier: • “Snow storm appearance” • Nodul uniform berukuran 1-3 mm tersebar di seluruh lapang paru
13. Tuberkulosis OAT kategori-1: 2(HRZE) / 4(HR)3 – Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis. – Pasien TB paru terdiagnosis klinis – Pasien TB ekstra paru
Kategori -2: 2(HRZE)S / (HRZE) / 5(HR)3E3) – Pasien kambuh – Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori 1 sebelumnya – Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up)
• Pemberian sisipan tidak diperlukan lagi pada pedoman TB terbaru.
Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis. 2014.
13. Tuberkulosis
Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis. 2014.
13. Tuberkulosis
Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis. 2014.
14. Penyakit Ginjal
Kidney International Supplements (2012) 2, 8–12; doi:10.1038/kisup.2012.7
Gangguan pada:
14. Penyakit Ginjal
14. Penyakit Ginjal
14. Indikasi Hemodialisis • Terdapat indikasi absolut (emergency dialysis) dan indikasi elektif. • Elektif: Secara ideal semua pasien dengan LFG < 15 ml/mnt dapat mulai menjalani dialisis. Namun dalam pelaksanaan klinis pedoman yang dapat dipakai sebagai berikut: – LFG < 10 ml/ mnt dengan gejala uremia / malnutrisi – LFG < 5 ml/mnt walaupun tanpa gejala3 – Terdapat komplikasi akut (edema paru, hiperkalemia, as idosis metabolik berulang) – Pada pasien nefropati diabetik dapat dilakukan lebih awal
Terapi Pengganti Ginjal Indikasi emergency memulai terapi pengganti ginjal: • Oligouria: urine output<200 cc/ 12 jam • Anuria: urine output<50 cc/ 12 jam • Hiperkalemia: K+>6,5 mmol/L • Asidemia berat: pH <7 • Azotemia: kadar urea >30 mmol/L • Ensefalopati uremikum • Neuropati/miopati uremikum • Perikarditis uremikum • Natrium abnormalitas plasma: Na+>155 mmol/L atau <120 mmol/L • Hipertermia • Keracunan obat
Diuretic in CKD
Diuretic in CKD
15. Gambaran EKG Takikardia Ditandai dengan gelombang P yang tidak jelas, QRS kompleks sempit, jarak R-R ireguler.
Ditandai dengan tidak adanya gelombang P, QRS kompleks sempit, jarak R-R reguler.
Ditandai dengan gelombang P seperti gigi gergaji, QRS kompleks sempit, jarak R-R reguler.
Ventricular tachycardia: Ditandai dengan tidak adanya gelombang P, kompleks QRS lebar, reguler.
Ventricular fibrillation: Ditandai kompleks QRS lebar, ireguler. Gelombang lain tidak dapat diidentifikasi.
15. Aritmia • Ventricular fibrillation – – – –
Chaotic irregular deflections of varying amplitude No identifiable P waves, QRS complexes, or T waves Rate 150 to 500 per minute Amplitude decreases with duration (coarse VF -> fine VF)
Coarse VF
Fine VF
Ventricular tachycardia: The rate >100 bpm Broad QRS complex (>120 ms) Regular or may be slightly irregular
16. Sindrom Koroner Akut
Lilly LS. Pathophysiology of heart disease. 5th ed. Lipincott Williams & Wilkins; 2011.
16. Sindrom Koroner Akut
16. Sindrom Koroner Akut • Gejala khas – Rasa tertekan/berat di bawah dada, menjalar ke lengan kiri/leher/rahang/bahu/ulu hati. – Dapat disertai berkeringat, mual/muntah, nyeri perut, sesak napas, & pingsan.
• Gejala tidak khas: – Nyeri dirasakan di daerah penjalaran (lengan kiri/leher/rahang/bahu/ulu hati). – Gejala lain berupa rasa gangguan pencernaan, sesak napas atau rasa lemah yang sulit dijabarkan. – Terjadi pada pasien usia 25-40 tahun / >75thn / wanita / diabetes / penyakit ginjal kronik/demensia.
• Angina stabil: – Umumnya dicetuskan aktivtas fisik atau emosi (stres, marah, takut), berlangsung 2-5 menit, – Angina karena aktivitas fisik reda dalam 1-5 menit dengan beristirahat & nitrogliserin sublingual. Penatalaksanaan STEMI, PERKI
Lilly LS. Pathophysiology of heart disease. 5th ed. Lipincott Williams & Wilkins; 2011.
16. ACS
16. ACS
• Indikasi terapi reperfusiOnset < 12 jam • Onset < 3jamFibrinolitik dan PCI memiliki efikasi yang sama baiknya • Onset > 3jam PCI lebih baik, namun bila tidak ada, atau terlalu lama untuk dilakukan, maka fibrinolitik masih dapat dilakukan • Facilitated PCIPemberian fibrinolitik setengah dosis sebelum PCIHARM
Fibrinolitik
Fibrinolitik
17. Sindrom Metabolik
17. Sindrom Metabolik
18. Vaksin Hepatitis B • Unvaccinated healthcare personnel (HCP) and/or those who cannot document previous vaccination should receive a 3-dose series of hepatitis B vaccine at 0, 1, and 6 months. • HCP who perform tasks that may involve exposure to blood or body fluids should be tested for hepatitis B surface antibody (anti-HBs) 1–2 months after dose #3 to document immunity. – If anti-HBs is at least 10 mIU/mL (positive), the vaccinee is immune. No further serologic testing or vaccination is recommended. – If anti-HBs is less than 10 mIU/mL (negative), the vaccinee is not protected from hepatitis B virus (HBV) infection, and should receive 3 additional doses of HepB vaccine on the routine schedule, followed by anti-HBs testing 1–2 months later.
19. Edema
Robbins & Cotran pathologic basis of disease. 8th ed. Saunders; 2010.
19. Edema
19. Edema
• In nephrotic syndrome, the glomerular injury is manifested primarily as an increase in permeability of the capillary wall to protein. • By contrast, in the nephritic syndrome, there is evidence of glomerular inflammation resulting in a reduction in GFR, non-nephrotic proteinuria, edema and hypertension (secondary to sodium retention), and hematuria with RBC casts.
19. Sindrom Nefrotik
Diagnosis
Characteristic
Acute glomerulonephritis
an abrupt onset of hematuria & proteinuria with reduced GFR & renal salt and water retention, followed by full recovery of renal function.
Rapidly progressive glomerulonephritis
recovery from the acute disorder does not occur. Worsening renal function results in irreversible and complete renal failure over weeks to months.
Chronic glomerulonephritis
renal impairment after acute glomerulonephritis progresses slowly over a period of years & eventually results in chronic renal failure.
Nephrotic syndrome
manifested as marked proteinuria, particularly albuminuria (defined as 24-h urine protein excretion > 3.5 g), hypoalbuminemia, edema, hyperlipidemia, and fat bodies in the urine.
Acute kidney injury
Increase in Cr by ≥0,3 mg/dL within 48 hours OR increase in Cr to ≥1,5 times baseline which is known or presume to have occured within the prior 7 days OR urine volume <05 mL/kg/h for 6 hours.
Pathophysiology of disease: an introduction to clinical medicine. 5th ed.
20. Disentri • Trias disentri: demam, tenesmus, diare berdarah. • Manifestasi klinis disentri amoeba: – Awitan perlahan atau fulminan. – Tenesmus terdapat pada 50% pasien & selalu terkait dengan keterlibatan rektosigmoid. – Nyeri tekan abdomen bawah, biasanya di daerah caecum, kolon transversum atau sigmoid.
20. Disentri Diagnosis
Characteristic
Crohn disease
Diare; nyeri abdomen kuadran kanan bawah, sering timbul setelah makanan; turun berat badan & terdapat nyeri tekan abdomen. Diare biasanya tidak berdarah.
Colitis ulcerative
Diare, dengan atau tanpa darah. Jika inflamasi terdapat di rektum (proktitis), darah dapat muncul di permukaan feses; gejala lain: tenesmus, urgensi, nyeri rektum, keluar mukus tanpa diare.
Disentri
Diare akut dengan BAB berdarah, tenesmus, demam.
Shigellosis
Variasi dari diare cair yang ringan hingga disentri berat. Pada kasus berat, awitan cepat, dengan tenesmus, demam, dan feses lendir darah yang sering. Sering disertai demam, sakit kepala, & malaise.
IBS
Nyeri perut hilang dengan defekasi, hilang timbul, terkait stres, tidak ada kelainan anatomis. Fauci et al. Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed. McGraw-Hill; 2012.
21.Intoksikasi Organofosfat • Organophosphorus pesticides inhibit esterase enzymes, especially acetylcholinesterase in synapses and on red-cell membranes. • Acetylcholinesterase inhibition accumulation of acetylcholine & overstimulation of acetylcholine receptors in synapses of the autonomic nervous system, CNS, and neuromuscular junctions DUMBELS. • DUMBELS: diarrhea, urination, miosis, bradycardia/bronchorea/bronchos pasm, emesis, lacrimation, salivation.
21. Intoksikasi Organofosfat
21. Intoksikasi Organofosfat • Buku ajar IPD: – Sulfas atropin 1-2 mg IV, ulang 10-15 menit.
• CDC: – Dosis awal atropin untuk dewasa 1-2 mg, untuk anak 0,01 mg/kg (minimum 0,01 mg), diberikan IV. Jika tidak bisa IV, boleh via IM, SK, ETT. – Dosis diulang tiap 15 menit sampai sekret & keringat berlebih terkontrol. – Dosis pralidoksim untuk dewasa 1 g, anak 25-50mg/kg. Diberikan IV selama 30-60 menit.
• Tanda atropinisasi: muka merah, mulut kering, takikardi, Midriasis
21. Intoksikasi Organofosfat
22. Rekomendasi Diet American Heart Association •
Choose lean meats and poultry without skin and prepare them without added saturated and trans fat.
•
Eat fish at least twice a week. Recent research shows that eating oily fish containing omega-3 fatty acids (for example, salmon, trout and herring) may help lower your risk of death from coronary artery disease.
•
Select fat-free, 1 percent fat and low-fat dairy products.
•
Cut back on foods containing partially hydrogenated vegetable oils to reduce trans fat in your diet.
•
To lower cholesterol, reduce saturated fat to no more than 5 to 6 percent of total calories. For someone eating 2,000 calories a day, that’s about 13 grams of saturated fat.
•
Cut back on beverages and foods with added sugars.
•
Choose and prepare foods with little or no salt. To lower blood pressure, aim to eat no more than 2,400 milligrams of sodium per day. Reducing daily intake to 1,500 mg is desirable because it can lower blood pressure even further.
•
If you drink alcohol, drink in moderation. That means one drink per day if you’re a woman and two drinks per day if you’re a man.
Modifikasi Gaya Hidup Untuk Dislipidemia
Pedoman Tatalaksana Dislipidemia, PERKI, 2013.
23. Penyakit Katup Jantung • Gejala klasik stenosis aorta: – Angina, – Effort syncope, • Secara umum, sinkop terjadi karena perfusi serebral yang inadekuat • Sinkop sering terjadi saat exercise.
– Gagal jantung kongestif.
24. Diabetes Mellitus • Kriteria diagnosis DM: 1. Glukosa darah puasa ≥126 mg/dL. Puasa adalah kondisi tidak ada asupan kalori minimal 8 jam, atau 2. Glukosa darah-2 jam ≥200 mg/dL pada Tes Toleransi Glukosa Oral dengan beban glukosa 75 gram, atau 3. Pemeriksaan glukosa darah sewaktu ≥200 mg/dL dengan keluhan klasik (poliuria, polidipsia, polifagia, unexplained weight loss), atau
4. Pemeriksaan HbA1C ≥6,5% dengan metode HPLC yang terstandarisasi NGSP Konsensus pengelolaan dan pencegahan DM tipe 2. 2015.
24. Diabetes Mellitus • Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau DM digolongkan ke dalam prediabetes (TGT & GDPT): – Glukosa darah puasa terganggu (GDPT): • GDP 100-125 mg/dL, dan • TTGO-2 jam <140 mg/dL
– Toleransi glukosa terganggu (TGT): • Glukosa darah TTGO-2 jam 140-199 mg/dL, dan • Glukosa puasa <100 mg/dL
– Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT – Diagnosis prediabetes berdasarkan HbA1C: 5,7-6,4%
Konsensus pengelolaan dan pencegahan DM tipe 2. 2015.
24. Diabetes Mellitus • Cara pelaksanaan TTGO: – Tiga hari sebelum pemeriksaan, pasien makan & beraktivitas seperti biasa, – Puasa minimal 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, boleh minum air tanpa gula, – Dilakukan pemeriksaan glukosa puasa, – Diberikan glukosa 75 gram dalam air 250 ml, diminum dalam 5 menit, – Puasa kembali selama 2 jam, – Dilakukan pemeriksaan glukosa darah 2 jam sesudah beban glukosa, – Selama proses pemeriksaan, subjek tetap istirahat & tidak merokok.
Konsensus pengelolaan dan pencegahan DM tipe 2. 2015.
Diabetes Melitus • Modifikasi Gaya hidup
• Mulai monoterapi oral
• Modifikasi Gaya hidup • Monoterapi oral obat golongan (a)/(b)
• Kombinasi 2 obat dengan mekanisme kerja yang berbeda
HbA1c <7% HbA1c 7-9%
HbA1c ≥9%
• Diberikan Kombinasi 2 obat lini pertama dan obat lain dengan mekanisme kerja yang berbeda
HbA1c ≥10% atau • Metformin + insulin basal ± prandial atau GDS>300 dgn • Metformin + insulin Gejala basal + GLP-1 RA metabolik
Evaluasi 3 bulan, bila HbA1c >7%
HbA1c> 7%
Insulin basal plus/bolus atau premix
Perkeni. 2015
• Kombinasi 3 obat
Tidak mencapai target
a. Obat efek samping minimal/ keuntungan lebih banyak • Metformin • Alfa glukosidase inhibitor • Dipeptidil peptidase 4inhibitor • Agonis glucagone like peptide-1
b. Obat yang harus digunakan dengan hati-hati • Sulfonil urea • Glinid • Tiazolidinedion • SGLT 2-i
Kombinasi 3 obat a. Metformin + SU + TZD atau a. DPP-4i b. SGLT-2i c. GLP-1 RA d. Insulin basal b. Metformin + TZD + SU atau a. DPP-4i b. SGLT-2i c. GLP-1 RA d. Insulin basal c. Metformin + DPP 4i + SU atau a. TZD b. SGLT-2i c. Insulin basal d. Metformin + SGLT 2i +SU a. TZD b. DPP-4i c. Insulin basal e. Metformin + GLP 1-RA + SU a. TZD b. Insulin basal f. Metformin + insulin basal +TZD atau a. DPP-4i b. SGLT-2i c. GLP-1 RA
HbA1C
Pengobatan
Keterangan
<7%
Gaya hidup sehat (GHS)
Evaluasi HbA1C 3 bulan
7-<9%
GHS + monoterapi oral
Evaluasi 3 bulan, jika HbA1C tidak mencapai <7%, tingkatkan menjadi 2 obat
>9%
GHS + kombinasi 2 obat
Jika HbA1C tidak mencapai <7%, tingkatkan menjadi 3 obat; Jika tidak tercapai dengan 3 obat berikutnya adalah insulin basal plus/bolus atau premix
>10% atau GDS Metformin + Insulin basal + Target HbA1C <7% atau individual >300
dengan insulin prandial atau
gejala
Metformin + insulin basal +
metabolik
GLP-1 RA
24. Diabetes Mellitus
24. Diabetes Mellitus • Kriteria Pengendalian DM – IMT 18,5 - <23 kg/m2 – TD <140/90 mmHg – GDP 80-130 mg/dL – GD2PP <180 mg/dL – HbA1C <7 (atau individual) – LDL <100 mg/dL (<70 jika risiko KV tinggi) – HDL laki-laki >40 mg/dL, perempuan >50 mg/dL – Trigliserida <150 mg/dL
25. TB-HIV • TB is the most common cause of death in HIV & increase progresivity of AIDS. • The problems in TB-HIV: – TB drugs & ARV have overlapping side effects – Drug interaction between TB drugs & ARV – Paradoxal therapy (immune reconstitution inflammatory syndrome/IRIS): worsening symptoms (fever, lymph node enlargement, infiltrate) after receive TB drugs /ARV/both which are not caused by therapeutic failure, but caused by reactivation of immune system to TB antigen.
25. TB-HIV • Principles of medication: – TB medication is a priority – Do not give TB drugs & ARV simultaneously because of drugs interaction, toxicity, & IRIS – In life threatening case (disseminated TB or CD4 <200/mm3), ARV & TB drugs can be given concurrently with closed monitoring. – ARV that has been given is continued. – In situation where there is no threat to life, ARV may be delayed to prevent IRIS & drug interaction.
25. Immune Reconstitution Inflammatory Syndrome
25. IRIS • Diagnostic criteria of IRIS – AIDS with a low pretreatment CD4 count (often less than 100 cells/microL), however IRIS secondary to preexisting M. tuberculosis infection may occur in individuals with CD4 counts >200. – Positive virologic and immunological response to ART – Absence of evidence of drug-resistant infection, bacterial superinfection, drug allergy or other adverse drug reactions, patient noncompliance, or reduced drug levels due to drugdrug interactions or malabsorption after appropriate evaluation for the clinical presentation. – Presence of clinical manifestations consistent with an inflammatory condition – Temporal association between HAART initiation and the onset of clinical features of illness
Timing of ART in adult and children with TB (WHO Guideline 2015) • ART should be started in all TB patients living with HIV regardless of CD4 count (strong recommendation, high quality evidence). • TB treatment should be initiated first, followed by ART as soon as possible within the first 8 weeks of treatment (strong recommendation, high quality evidence). • HIV-positive TB patients with profound immunosuppression (e.g. CD4 counts less than 50 cells/mm3) should receive ART within the first two weeks of initiating TB treatment. • ART should be started in any child with active TB disease as soon as possible and within eight weeks following the initiation of anti-tuberculosis treatment regardless of the CD4 count and clinical stage (strong recommendation, low quality evidence).
26. Keganasan • Gejala & tanda limfoma: – Limfadenopati – B symptoms (systemic symptoms): • demam • Keringat malam • Penurunan berat badan
• Gejala lain: – – – – – – –
Penurunan nafsu makan Lemah Sesak napas Pruritus Nyeri punggung/tulang Splenomegali dan/atau hepatomegali Sindrom vena kava superior bila terdapat limfadenopati mediastinal masif
• LDH yang meningkat menandakan turn over cell yang meningkat pada keganasan.
5. Limfadenitis
Limfadenopati • Hepatoma: – Riwayat hepatitis kronik, ikterus, massa nodul di hepar
• TB kelenjar – Bengkak, tidak nyeri, nodul, ulserasi
• Mieloma multipel – Pansitopenia, hipergammaglobulinemia – Organomegali – Nyeri tulang
Hodgkin
Non-hodgkin
Sel Reed Sternberg
Ada
Tidak ada
Usia
Dewasa muda
Sering usia 40-70 tahun
B symptoms (demam >38 C, keringat, turun BB >10% dalam 6 bulan)
40%
Bervariasi tergantung tipe, 20%
Keterlibatan & penyebaran Superfisial, biasanya ke nodus limf servikal/supraservikal±me diastinal limfadenopati, penyebaran kontinyu ke nodus sebelah Relatif jarang <1% <1% <1% 5% 8-12% <1%
Difus, nodal & ekstranodal, penyebaran nonkontinyu
Penyakit ekstranodal: 1. SSP 2. GI tract 3. Genitourinary tract 4. Bone marrow 5. Lung parenchyma 6. Bone
Lebih sering
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Keterlibatan hepar
Jarang
Sering
Stage saat datang
>80% early stage I, II
>85% late stage III, IV
1. 2. 3. 4. 5. 6.
2% 5-15% 1-5% 20-40% 3-6% 1-2%
Manifestasi Klinis
27. Asma • Definisi: – Gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel dan elemennya. – Inflamasi kronik mengakibatkan hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang: • mengi, sesak napas, dada terasa berat, dan batuk-batuk terutama malam dan atau dini hari.
– Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi & seringkali bersifat reversibel. PDPI, Asma pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. GINA 2005
27. Asma • Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan dengan cuaca. • Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal paru terutama reversibiliti kelainan faal paru, akan lebih meningkatkan nilai diagnostik. • Riwayat penyakit / gejala : – – – – –
Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan Gejala berupa batuk , sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak Gejala timbul/ memburuk terutama malam/ dini hari Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu Respons terhadap pemberian bronkodilator
• Tanda klinis: sesak napas, mengi, & hiperinflasi. Serangan berat: sianosis, gelisah, sukar bicara, takikardi, penggunaan otot bantu napas. PDPI. Asma: pedoman diagnosis & penatalaksanaan di Indonesia. 2004
27. Asma • Manfaat pemeriksaan spirometri dalam diagnosis asma : – Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP < 75% atau VEP1 < 80% nilai prediksi. – Reversibilitas: perbaikan VEP1 ≥ 15% secara spontan, atau setelah inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah pemberian bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian kortikosteroid (inhalasi/ oral) 2 minggu. – Menilai derajat berat asma
• Manfaat arus puncak ekspirasi dengan spirometri atau peak expiratory flow meter: – Reversibiliti, yaitu perbaikan nilai APE > 15% setelah inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator), atau bronkodilator oral 10-14 hari, atau respons terapi kortikosteroid (inhalasi/oral) 2 minggu – Variabilitas, menilai variasi diurnal APE yang dikenal dengan variabiliti APE harian selama 1-2 minggu. Juga dapat digunakan menilai derajat asma. PDPI. Asma: pedoman diagnosis & penatalaksanaan di Indonesia. 2004
PRIMARY CARE
Patient presents with acute or sub-acute asthma exacerbation
Is it asthma?
ASSESS the PATIENT
Risk factors for asthma-related death? Severity of exacerbation?
MILD or MODERATE
SEVERE
Talks in phrases, prefers sitting to lying, not agitated
Talks in words, sits hunched forwards, agitated
Respiratory rate increased
Respiratory rate >30/min
Accessory muscles not used
Accessory muscles in use
Pulse rate 100–120 bpm
Pulse rate >120 bpm
O2 saturation (on air) 90–95%
O2 saturation (on air) <90%
PEF >50% predicted or best
PEF ≤50% predicted or best
START TREATMENT
Controlled oxygen (if available): target saturation 93–95% (children: 94-98%)
GINA 2016, Box 4-3 (4/7)
Drowsy, confused or silent chest
URGENT
TRANSFER TO ACUTE CARE FACILITY
SABA 4–10 puffs by pMDI + spacer, repeat every 20 minutes for 1 hour Prednisolone: adults 1 mg/kg, max. 50 mg, children 1–2 mg/kg, max. 40 mg
LIFE-THREATENING
WORSENING
While waiting: give inhaled SABA and ipratropium bromide, O2, systemic corticosteroid
© © Global Global Initiative Initiative for for Asthma Asthma
START TREATMENT TRANSFER TO ACUTE CARE FACILITY
SABA 4–10 puffs by pMDI + spacer, repeat every 20 minutes for 1 hour Prednisolone: adults 1 mg/kg, max. 50 mg, children 1–2 mg/kg, max. 40 mg
WORSENING
Controlled oxygen (if available): target saturation 93–95% (children: 94-98%)
CONTINUE TREATMENT with SABA as needed ASSESS RESPONSE AT 1 HOUR (or earlier)
While waiting: give inhaled SABA and ipratropium bromide, O2, systemic corticosteroid
WORSENING
IMPROVING
ASSESS FOR DISCHARGE
ARRANGE at DISCHARGE
Symptoms improved, not needing SABA
Reliever: continue as needed
PEF improving, and >60-80% of personal best or predicted
Controller: start, or step up. Check inhaler technique, adherence
Oxygen saturation >94% room air
Prednisolone: continue, usually for 5–7 days (3-5 days for children)
Resources at home adequate
Follow up: within 2–7 days
FOLLOW UP Reliever: reduce to as-needed
Controller: continue higher dose for short term (1–2 weeks) or long term (3 months), depending on background to exacerbation Risk factors: check and correct modifiable risk factors that may have contributed to exacerbation, including inhaler technique and adherence Action plan: Is it understood? Was it used appropriately? Does it need modification?
GINA 2016, Box 4-3 (7/7)
© Global Initiative for Asthma
INITIAL ASSESSMENT A: airway
B: breathing
Are any of the following present? C: circulation
Drowsiness, Confusion, Silent chest
NO YES
Further TRIAGE BY CLINICAL STATUS according to worst feature
Consult ICU, start SABA and O 2, and prepare patient for intubation
MILD or MODERATE
SEVERE
Talks in phrases Prefers sitting to lying Not agitated Respiratory rate increased Accessory muscles not used Pulse rate 100–120 bpm O2 saturation (on air) 90–95% PEF >50% predicted or best
Talks in words Sits hunched forwards Agitated Respiratory rate >30/min Accessory muscles being used Pulse rate >120 bpm O2 saturation (on air) < 90% PEF ≤50% predicted or best
GINA 2016, Box 4-4 (2/4)
© Global Initiative for Asthma
MILD or MODERATE
SEVERE
Talks in phrases Prefers sitting to lying Not agitated Respiratory rate increased Accessory muscles not used Pulse rate 100–120 bpm O2 saturation (on air) 90–95% PEF >50% predicted or best
Talks in words Sits hunched forwards Agitated Respiratory rate >30/min Accessory muscles being used Pulse rate >120 bpm O2 saturation (on air) < 90% PEF ≤50% predicted or best
Short-acting beta2-agonists Consider ipratropium bromide Controlled O2 to maintain saturation 93–95% (children 94-98%) Oral corticosteroids
Short-acting beta2-agonists Ipratropium bromide Controlled O2 to maintain saturation 93–95% (children 94-98%) Oral or IV corticosteroids Consider IV magnesium Consider high dose ICS
GINA 2016, Box 4-4 (3/4)
Short-acting beta2-agonists
Short-acting beta2-agonists
Consider ipratropium bromide
Ipratropium bromide
Controlled O2 to maintain saturation 93–95% (children 94-98%)
Controlled O2 to maintain saturation 93–95% (children 94-98%)
Oral corticosteroids
Oral or IV corticosteroids
Consider IV magnesium Consider high dose ICS
If continuing deterioration, treat as severe and re-assess for ICU ASSESS CLINICAL PROGRESS FREQUENTLY MEASURE LUNG FUNCTION in all patients one hour after initial treatment
FEV1 or PEF 60-80% of predicted or personal best and symptoms improved MODERATE Consider for discharge planning
GINA 2016, Box 4-4 (4/4)
FEV1 or PEF <60% of predicted or personal best,or lack of clinical response SEVERE Continue treatment as above and reassess frequently
© Global Initiative for Asthma
28. Diabetes Mellitus • Diagnosis KAD: – Kadar glukosa 250 mg/dL – pH <7,35 – HCO3 rendah – Anion gap tinggi – Keton serum (+)
Harrison’s principles of internal medicine
28. Diabetes Mellitus
American Diabetes Association. Hyperglycemic Crises in Patients With Diabetes Mellitus. Diabetes care, Vol 24, No 1, January 2001
28. Diabetes Mellitus • Prinsip pengobatan KAD: 1. Penggantian cairan dan garam yang hilang 2. Menekan lipolisis & glukoneogenesis dengan pemberian insulin. Dimulai setelah diagnosis KAD dan rehidrasi yang memadai. 3. Mengatasi stres pencetus KAD 4. Mengembalikan keadaan fisiologi normal, pemantauan & penyesuaian terapi
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
28. Diabetes Mellitus • Hyperglycemic hyperosmolar state – The prototypical patient is an elderly individual with type 2 DM, with a several-week history of polyuria, weight loss, and diminished oral intake that culminates in mental confusion, lethargy, or coma. – The physical examination reflects profound dehydration and hyperosmolality and reveals hypotension, tachycardia, and altered mental status. – Notably absent are symptoms of nausea, vomiting, and abdominal pain and the Kussmaul respirations characteristic of DKA. – HHS is often precipitated by a serious, concurrent illness such as myocardial infarction or stroke. Sepsis, pneumonia, and other serious infections are frequent precipitants and should be sought. Harrison’s principles of internal medicine
Insulin
29. Syok Anafilaksis • Anafilaksis adalah reaksi tipe segera yang dimediasi oleh interaksi antara alergen dengan IgE yang terikat pada permukaan sel mast atau basofil. Interaksi tersebut akan menimbulkan berbagai manifestasi klinis yaitu gejala sistemik. • Susah dibedakan dengan reaksi anafilaktoid namun anafilaktoid secara mekanisme tidak melibatkan IgE. • Manifestasi klinis yang timbul meliputi gejala pada kulit, pernapasan, kardiovaskuler, gastrointestinal, dan gejala pada sistem organ lain seperti rinitis, konjungtivitis.
29. Syok Anafilaksis • Tatalaksana anafilaksis – Segera berikan suntikan epinefrin 1:1000 0,3 ml i.m di daerah deltoid atau vastus lateralis. Dapat diulang 15-20 mg bila diperlukan – Hentikan infus media kontras, antibiotika, dan zat lain yang dicurigai sebagai alergen. – Berikan difenhidramin 50 mg intravena, ranitidin 50 mg atau cimetidin 300 mg intravena, oksigen, infus cairan garam, metilprednisolon 125 mg intravena – Intubasi bila diperlukan – Bila terdapat hipotensi segera berikan rehidrasi dan dopamin atau norepinefrine. – Bila terdapat sesak napas berikan salbutamol inhalasi dan oksigen
29. Hypersensitivity Reaction
29. Hypersensitivity Reaction
29. Anaphylactic Shock
World Allergy Organization anaphylaxis guidelines: Summary
29. Anaphylactic Shock
World Allergy Organization anaphylaxis guidelines: Summary
Pharmacological management of Drugs alergy DRUG AND ROUTE OF A D M I N I S T R AT I O N
FREQUENCY OF A D M I N I S T R AT I O N
PA ED I ATR I C D O S I N G (MAXIMUM DOSE)
Immediately, then every 5–15 min as required
0.01 mg/kg (0.5 mg)
Single daily dose
6 months to <2 years: 2.5 mg OD 2–5 years: 2.5–5 mg OD >5 years: 5–10 mg OD
Every 4–6 h as required for cutaneous manifestations
1 mg/kg/dose (50 mg)
Every 8 h as required for cutaneous manifestations
1 mg/kg/dose (50 mg)
Every 6 h as required
1 mg/kg PO (75 mg) or 1 mg/kg IV (125 mg)
Salbutamol
Every 20 min or continuous for respiratory symptoms (wheezing or shortness of breath)
5–10 puffs using MDI or 2.5–5 mg by nebulization
Nebulized epinephrine (1:1000)
Every 20 min to 1 h for symptoms of upper airway obstruction (stridor)
2.5–5 mL by nebulization
Epinephrine IV (infusion)
Continuous infusion for hypotension – titrate to effect
0.1–1 μg/kg/min (maximum 10 μg/min)
Glucagon IV
Bolus followed by continuous infusion – titrate to effect
20–30 μg/kg bolus (maximum 1 mg), then infusion at 5–15 μg/min
Epinephrine (1:1000) IM Cetirizine PO
Diphenhydramine IM/IV Ranitidine PO/IV Corticosteroids: prednisone PO or methylprednisolone IV
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3043023/
30. Infeksi Dengue
• Transfusi trombosit: • Hanya diberikan pada DBD dengan perdarahan masif (4-5 ml/kgBB/jam) dengan jumlah trombosit <100.000/uL, dengan atau tanpa DIC. • Pasien DBD trombositopenia tanpa perdarahan masif tidak diberikan transfusi trombosit.
30. Infeksi Dengue
Shock Bleeding
Primary infection: • IgM: detectable by days 3–5 after the onset of illness, by about 2 weeks & undetectable after 2–3 months. • IgG: detectable at low level by the end of the first week & remain for a longer period (for many years).
Secondary infection: • IgG: detectable at high levels in the initial phase, persist from several months to a lifelong period. • IgM: significantly lower in secondary infection cases.
31. Epididymo-Orchitis • Epididimo orkitis adalah inflamasi akut yang terjadi pada testis dan epididimis yang memiliki ciri yaitu nyeri hebat dan terdapatnya pembengkakan di daerah belakang testis yang juga disertai skrotum yang bengkak dan merah. • Cara membedakan orchitis dengan torsio testis yaitu melalui Prehn Sign yaitu membaik jika scrotum yang sakit dinaikkan.
Etiologi •
• •
Orkitis bisa disebabkan oleh sejumlah bakteri dan virus. Virus yang paling sering menyebabkan orkitis adalah virus gondong (mumps). Sekitar 15-25% pria yang mengalami gondongan (parotitis), akan mengalami orkitis ketika masa setelah pubernya. Orkitis juga ditemukan pada 2-3% pria yang menderita bruselosis. Orkitis sering dikaitkan dengan infeksi prostat atau epidedemis, serta merupakan manifestasi dari penyakit menular seksual (gonore atau klamidia). Faktor resiko untuk orkitis yang tidak berhubungan dengan penyakit menular seksual adalah: a. b. c. d.
•
Imunisasi gondongan yang tidak adekuat Usia lanjut (lebih dari 45 tahun) Infeksi saluran kemih berulang Kelainan saluran kemih
Sedang untuk faktor resiko orkitis yang berhubungan dengan penyakit menular seksual antara lain : a. Berganti-ganti pasangan b. Riwayat penyakit menular seksual pada pasangan c. Riwayat gonore atau penyakit menular seksual lainnya
Gejala dan Tanda
Diagnosis
a. Pembengkakan skrotum b. Testis yang terkena terasa berat, membengkak dan teraba lunak c. Pembengkakan selangkangan pada testis yang terkena d. Demam e. Keluar nanah dari penis f. Nyeri ketika berkemih / disuria g. Nyeri saat berhubungan seksual / saat ejakulasi h. Nyeri selangkangan i. Nyeri testis, bias saat mengejan atau ketika BAB j. Semen mengandung darah
• Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik. • Terjadi pembengkakan kelenjar getah bening di selangkangan dan di testis yang terkena. • Pemeriksaan lain yang bias dilakukan adalah : – Analisa air kemih – Pembiakan air kemih – Tes penyaringan untuk klamidia dan gonore – Pemeriksaan darah lengkap – Pemeriksaan kimia darah
Tatalaksana • Jika penyebabnya bakteri maka diberikan antibiotik. Selain itu diberikan obat pereda nyeri dan anti peradangan. • Tapi jika penyebabnya virus, hanya diberikan obat anti nyeri. • Penderita sebaiknya menjalani tirah baring. Skrotumnya diangkat dan dikompres dengan es.
Phren’s Sign • Indications – Scrotal Pain
• Technique – – – –
Examiner elevates Scrotum with hand, supporting Testicle Interpretation: Positive Elevation of Scrotum relieves pain in Epididymitis Does not offer relief in Testicular Torsion (elevation may worsen pain)
• Efficacy – Unreliable test – Test Sensitivity: 91.3% • Does not exclude Testicular Torsion • Pada beberapa penelitian, terdapat 30% kasus torsio testis yang menunjukkan phren sign positif
– Test Specificity: 78.3% • Present in more than 20% of Epididymitis cases • Hasil negatif bukan berarti bukan epididimitis http://embasic.org/wp-content/uploads/2012/09/27-testicular-pain.pdf http://www.fpnotebook.com/mobile/uro/exam/PrhnsSgn.htm Asgari S.A. et al. Diagnostic accuracy of C-reactive protein and erythrocyte sedimentation rate in patients with acute scrotum. 2016
32. Penyakit Vaskular Perifer Peripheral Vascular Disease
Mixed
Arteries
Veins
Lymphatics
Venous Thrombosis Varicoid Veins
Lymphedema lipedema
(Arteriovenous Fistula)
Functional
Occlusives
Vasospastics: Raynaud Phenomenon and Disease Vadilatators: Erythromeialgia
Vasculitis
Thromboangitis Obliterans, Takayasu, Giant Cells Arterytis Acute: Emboly, Break Sheet, Dissecter Aneurysm Chronic: Atherosclerosis, Microangiopathy
Penyakit Vaskular Perifer Kelompok penyakit pada arteri, vena, dan limfatik • Proses patologis : 1. Perubahan struktur dinding vaskular (degeneratif, infeksi, inflamasi) 2. Penyempitan lumen vaskular (aterosklerosis, trombosis, inflamasi) 3. Spasme otot polos vaskular Mostaghimi A, Crager MA. Disease of the peripheral vasculatureLilly LS. Pathophysiology of Heart Disease. 2010
Penyakit Arteri Perifer Penurunan perfusi ekstremitas dan organ lain akibat oklusi pembuluh darah Penyebab Tersering: 1. Penyakit arteri oklusif (aterosklerosis): CLI 2. Penyakit oklusi akut (tromboembolisme): ALI 3. Vaskulitis: arteritis takayasu
Mostaghimi A, Crager MA. Disease of the peripheral vasculatureLilly LS. Pathophysiology of Heart Disease. 2010
32. Acute Limb Ischemia
Aterotromboembolisme oklusi arteri perifer akibat materi ateromatosa (kolesterol, platelet, dan fibrin) dari pembuluh darah proksimal. • Penyebab emboli paling banyak berasal dari jantung • 50 – 60% spontan; setelah prosedur intraarterial kateterisasi jantung • Cedera jaringan tergantung pada lokasi, durasi oklusi, dan derajat sirkulasi kolateral. Lilly LS. Pathophysiology of heart disease. 5th ed. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins; 2011. p. 350
Lilly LS. Pathophysiology of heart disease. 5th ed. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins; 2011. p. 350
Tanda & Gejala • 5P : pain, pallor, paralysis, paresthesia, dan pulselessness (+poikilotermia) • Nyeri akut • Sindrom “blue toe” gangrene dan nekrosis. • Livedo reticularis (bintik ungu pada kulit), gagal ginjal dan iskemia intestinal
1. Lilly LS. Pathophysiology of heart disease. 5 th ed. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins; 2011. p. 350 2. Kumar, Abbas, Fausto. Robbins and Cotran’s pathologic basis of disease. 7 th ed.
Manifestasi Klinis Manifestasi Klinis
Lebih dari 2 minggu*
Kronik
Iskemi tungkai kronis kritis
Iskemi tungkai kronis non kritis
Akut
<2 minggu*
Iskemi Tungkai Akut
*2007 Inter-Society Consensus for the Management of Peripheral Arterial Disease
Vaskulitis Inflamasi yang terjadi pada dinding pembuluh darah yang disebabkan oleh deposisi kompleks imun atau cell mediated immune reactions • Dibagi menjadi 3: – Takayasu arteritis – Giant cell arteritis – Thromboangilitis obliterans (Buerger disease)
Lilly LS. Pathophysiology of heart disease. 5th ed. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins; 2011. p. 350
Patogenesis KOMPLEKS IMUN Aktivasi jalur komplemen
CELL MEDIATED IMMUNE REACTION Limfosit T + antigen vaskular
Kemoatraktan & anafilatoksin (migrasi neutrofil & peningkatan permeabilitas) Neutrofil konten lisosomal + toksin radikal bebas oksigen
Pelepasan limfokin (menarik limfosit & makrofag) Nekrosis vaskular & trombosis lokal Iskemia organ
Vessel injury Lilly LS. Pathophysiology of heart disease. 5 th ed. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins; 2011. p. 350
Takayasu Arteritis
Giant Cell Arteritis
Tromboangitis Obliterans
Lokasi
Aorta & cabang utama
Arteri sedang-besar (kranial, aorta+cabang)
Arteri kecil-sedang distal (inflamasi segmental)
Prevalensi
1-3 per 1 juta 24 per 100.000 80-90% wanita 10-40 tahun >50 tahun, 65% wanita
Pria <45 tahun, merokok HLA-A9 &HLA B-5 +
Gejala
Malaise & demam Iskemia serebrovaskular, miokard, claudication lengan, hipertensi
Polimialgia rheumatika Nyeri kepala Nyeri wajah + fatigue mengunyah Gangguan penglihatan
Oklusi arteri distal fatigue, iskemia Fenomena Raynaud Thrombophlebitis
Histologi
Inflamasi granulomatosa, proliferasi & gangguan elastisitas intima, fibrosis
Infiltrasi limfosit + makrofag, fibrosis intima, nekrosis fokal + granuloma
Inflamasi & thrombosis tanpa nekrosis (keterlibatan vaskular minimal)
ESR & CRP meningkat USG : halo hipoechoic sekitar lumen arteri stenosis
Penanda inflamasi & penyakit autoimun (-) Arteriograf : stenosis segmental (distal berat), corkscrew kolateral, aterosklerosis proks(-)
Penghentian merokok, debridemen
Pemeriksaan
Tatalaksana
Steroid & sitotoksik, pembedahan bypass
Steroid sistemik dosis tinggi
Prognosis
5 tahun 80-90%
Self limiting 1-5 tahun
Lilly LS. Pathophysiology of heart disease. 5 th ed. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins; 2011. p. 350 - 2
Arteritis Takayasu • Vaskulitis dari pembuluh darah besar, yang melibatkan aorta dan cabang-cabang utamanya • Lebih sering pada wanita dan bergejala sebelum usia 40 thn • Typical symptoms – Klaudikatio ekstremitas saat beraktivitas – Nyeri dada – Gejala sistemikpenurunan berat badan, malaise, demam subfebris, myalgia.
• On examination – Bruit pada karotis, aorta abdominal atau a.subclavia – Perbedaan TD • Antara sisi kanan dan kiri • Antara ektremitas atas dan bawah
– Murmur karena aorta regurgitasibila terdapat dilatasi dari cabang aorta
Takayasu’s Arteritis
Vaskulitis granulomatosa sistemik aorta dan percabangannya Arteri besar & sedang A. Subklavia & a. brachiocephalica Kriteria dx (3 dari 6, Se 90.5%, Sp 97.8%
Usia ≤40 tahun Klaudikasio ekstremitas ↓ pulsasi a. Brakhialis Perbedaan TD >10 mmHg antara kedua lengan Bruit a. subklavia atau aorta Abnormalitas angiogram
American College of Rheumatology 1990 criteria for the diagnosis of Takayasu’s arteritis. Arth Rheum 1990;330:1129
Classification
• Type I Hanya cabang dari arkus aorta • Type IIa Aorta asenden dan atau pada arkus aorta. Cabang dari arkus aorta juga dapat terkena. Bagian aorta yang lain tidak terkena. • Type IIb Aorta torakalis desenden dengan atau tanpa keterlibatan aorta asenden, arkus aorta dan cabang-cabangnya. Aorta abdominal tidak terkena. • Type III Aorta torakalis desenden, aorta abdominal dan atau a.renalis. Aorta asenden dan arkus aorta tidak terkena. • Type IV hanya aorta abdominal dan a.renalis • Type V a generalized type, with combined features of the other types.
IIB
Branches of the aortic arch
IIA
Abdominal aorta, renal arteries, or both
Ascending aorta, aortic arch, and its branches
intechopen.com
uvahealth.com Type IIa region plus thoracic descending aorta
Thoracic descending aorta, abdominal aorta, renal arteries, or a combination
http://www.ispub.com/journal/the-internet-journal-of-cardiology/volume-7-number-2/
Buerger’s Disease (Thrombangiitis Obliterans) • Secara khusus dihubungkan dengan merokok • Terjadi Oklusi pada arteri muskular, dengan predileksi pada pembuluh darah tibial • Presentation – Nyeri tidak dipengaruhi aktivitas – Gangrene – Ulceration
• Recurrent superficial thrombophlebitis (“phlebitis migrans”) • Dewasa muda, perokok berat, tidak ada faktor risiko aterosklerosis yang lain • Angiography - diffuse occlusion of distal extremity vessels • Progresivitas – dari distal ke proximal • Remisi klinis dengan penghentian merokok
Buerger’s treatment • Rawat RS • Memastikan diagnosis dan arterial imaging. • Vasoactive dilation is done during initial admission to hospital, along with debridement of any gangrenous tissue. • Tatalaksana selanjutnya diberikan bergantung keparahan dan derajat nyeri • Penghentian rokok menurunkan insidens amputasi dan meningkatkan patensi dan limb salvage pada pasien yang melalui surgical revascularisation
CT-angiografi menunjukan stenosis segmental arteri tungkai bawah
Vasoactive drugs • Nifedipine dilatasi perifer dan meningkatkan aliran darah distal – Diberikan bersamaan dengan penghentian rokok, antibiotik dan iloprost
• Pentoxifylline and cilostazol have had good effects, although there are few supportive data. Pentoxifylline has been shown to improve pain and healing in ischaemic ulcers. Cilostazol could be tried in conjunction with or following failure of other medical therapies (e.g., nifedipine). http://bestpractice.bmj.com/best-practice/monograph/1148/treatment/step-bystep.html
Disease
Pathophysiology
Symptoms
Peripheral Artery Occlusive Disease
Arterial narrowing Claudication Decreased with exertion, in blood flow = Pain severe occlusion ischemic pain at Pain results from rest. an imbalance Pain reproduced between supply by elevating the and demand of leg. blood flow
Buerger
Combination of acute inflammation and thrombosis of the arteries and veins in the hands and feet
Pain or tenderness not affected by exercise Numbness and tingling in the limbs. Skin ulcers or gangrene of the digits.
Physical
Workup
Abnormal lower extremity pulse mottling & cyanosis
Ankle Brachial Index. Duplex Ultrasound. Digital Subtraction Angiography Buerger Test: Gold Elevate the leg Standard to 45° - and Intervention look for pallor at the same time Enlarged, red, tender cordlike veins. Discoloration Two or more limbs affected
An angiogram or arteriogram of the extremities. A Doppler ultrasound.
Fixed mottling & cyanosis
Discoloration and necrosis of finger tips
VASOSPASME: FENOMENA RAYNAUD
Fenomena Raynaud Spasme otot polos vaskular Vasospastik arteri digitalis yang biasanya terjadi saat temperatur dingin/ stress emosional respons simpatik • Patogenesis: Vasospasme vasokonstriksi ekstrem obliterasi lumen vaskular menghambat aliran darah. • Predominan: Wanita 20-40 tahun Karaktersitik tiga fase perubahan warna : 1. Memucat karena aliran darah terhambat. 2. Sianosis akibat akumulasi lokal hemoglobin terdesaturasi 3. Memerah akibat kembalinya aliran darah 1. Lilly LS. Pathophysiology of heart disease. 5 th ed. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins; 2011. p. 350 2. Kumar, Abbas, Fausto. Robbins and Cotran’s pathologic basis of disease. 7 th ed.
Tipe Primer • 60% jari tangan, 40% ibu jari kaki • Prognosis : baik Sekunder • Timbul akibat suatu kondisi tertentu : Penyakit jaringan ikat (skleroderma, SLE), pernyakit arteri oklusif, obat, thermal, vibrasi 1. Lilly LS. Pathophysiology of heart disease. 5 th ed. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins; 2011. p. 350 2. Kumar, Abbas, Fausto. Robbins and Cotran’s pathologic basis of disease. 7 th ed.
Tatalaksana • Hindari lingkungan dingin , gunakan pakaian hangat • Antivasospasme : calcium channel brocker, αadrenergik bloker (kondisi berat)
1. Lilly LS. Pathophysiology of heart disease. 5 th ed. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins; 2011. p. 350 2. Kumar, Abbas, Fausto. Robbins and Cotran’s pathologic basis of disease. 7 th ed.
33. Hemato Pneumothorax • Akumulasi dari cairan dan udara bebas pada rongga pleura • Menyebabkan tekanan positif pada rongga pleuraparu-paru kolaps • Karena trauma Biasanya darah hematopneumothorax • X-RaysAir fluid
34. Ensefalokel • Herniasi isi kranium berupa suatu bagian otak dan meninges (selaput otak) melalui suatu defek pada tengkorak yang muncul secara kongenital atau didapat. • Isi kantung ensefalokel: • meninges (meningokel) • meninges dan otak (meningoensefalokel) • meninges, otak, dan ventrikel (meningoensefalosistokel).
• Secara garis besar berdasar letak defek, ensefalokel dapat terbagi atas: • ensefalokel frontal/sinsipital (75%) • ensefalokel basal (15%) • ensefalokel oksipital (10%)
Manifestasi Klinis • Benjolan atau kantung pada garis tengah yang ada sejak lahir dan cenderung membesar, terbungkus kulit normal, membranous ataupun kulit yang mengalami maserasi • Konsistensi kistous dan kenyal atau lebih solid bila terdapat herniasi otak • Kantung dapat mengempis dan menegang, tergantung tekanan intrakranial karena berhubungan dengan ruang intrakranial. • Hidrosefalus • Mikrosefalus • Pada ensefalokel basal adanya kantung seringkali tidak tampak menonjol di
luar melainkan di dalam rongga hidung atau massa epifaringeal sehingga seringkali tampak seperti polip nasal. • Kelumpuhan anggota gerak, gangguan perkembangan, gangguan penglihatan
Diagnosis • Terdapat benjolan yang muncul sejak lahir di daerah kepala, bisanya di garis tengah (khas). Penegakan diagnosis: • USG antenatal sebelum kelahiran • Kriteria USG untuk menegakkan diagnosis ensefalokel : • Tampak massa melekat pada kepala janin atau bergerak sesuai gerakan kepala janin. • Tampak defek tulang tengkorak. • Tampak ketidaknormalan anatomis, contohnya hidrosefalus. • Scan tulang belakang untuk mengetahui ada tidaknya spina bifida.
• Pemeriksaan ginjal janin, karena tingginya keterkaitan dengan penyakit
ginjal kistik.
Terdapat beberapa kelainan pada sistem saraf pusat yang dapat membantu diagnosa ensefalokel, yakni sebagai berikut: • • • •
Defek tengkorak (didapatkan pada 96% kasus). Ventrikulomegali (didapatkan pada 23% kasus). Mikrosefali (didapatkan pada 50% kasus). Basio-occiput mendatar (didapatkan 38% kasus)
Diagnosis banding • Higroma kistik • Teratoma • Polip Nasal (dengan Ensefalokel Nasoethmoidal)
• Ensefalokel Oksipital Berukuran Besar
Ensefalokel Nasofrontal
PEMERIKSAAN PENUNJANG • • • •
USG CT-SCAN MRI Foto Polos Kepala
Contoh: Gambaran CT-Scan Esenfalokel Oksipital
Contoh: Foto Polos Lateral dengan serviko-oksipital
PENATALAKSANAAN Dengan pembedahan sedini mungkin (usia <4bulan) (kecuali terjadi rupture pada kantung dan kebocoran CSF) • Pembedahan ensefalokel terdiri dari membuka dan mengeksplorasi isi kantung, eksisi jaringan otak yang mengalami displasia • Menutup kembali defek, jaringan otak displastik di dalam kantung telah menjadi non-fungsional akibat strangulasi, iskemi, dan edema sehingga dapat diangkat dengan aman daripada mendorongnya ke dalam rongga cranium. • Pada ensefalokel dengan ukuran dan herniasi sangat minimal, jaringan yang mengalami herniasi dimasukkan kembali ke dalam rongga intracranial. • Pembedahan ini dihadapkan pada tantangan untuk menutup defek anatomis pada tulang tengkorak, hasil operasi sedekat mungkin dengan fungsi normal, dan menghindari defek pada psikomotor .
Komplikasi • Ensefalokel besar dapat berkomplikasi pada kebocoran CFS dan terjadi infeksi • Pada kasus yang jarang, baik ensefalokel maupun pembedahannya dapat mengakibatkan kebutaan. • Pembedahan yang dilakukan sebagai tatalaksana utama ensefalokel dapat menimbulkan perdarahan intraserebral, infeksi kehilangan kemampuan penghidu, epilepsy, disfungsi lobus frontal, edema serebri, dan defisit kemampuan konsentrasi.
• Istilah meningokel tidak lazim digunakan untuk lesi di kepala • Umumnya lesi di kepala disebut ensefalokel, karena didapatkan massa otak yang keluar • Spina Bifidakegagalan pentupan vertebra
35. Male Genital Disorder EpispadiaOUE berada di dorsum penis • Penis lebar, pendek dan melengkung keatas (dorsal chordee) • Penis menempel pada tulang pelvis • Tulang pelvis terpisah lebar • Classification: • the glans (glanular) • along the shaft of the penis (penile) • near the pubic bone (penopubic)
http://www.genitalsurgerybelgrade.com/urogenital_surgery _detail.php?Epispadias-4
http://emedicine.medscape.com/article/1015227
Hypospadia • OUE berada pada ventral penis • Three anatomical characteristics • An ectopic urethral meatus • An incomplete prepuce • Chordee ventral shortening and curvature
36.
36. Penanganan Fraktur 1. Tempat kejadian Masyarakat,
(Injury
Sosial
Disarter)
worker,
Polisi,
petugas medis dll 2. Pra Hospital (Transportation) 3. Hospital Emergency Room, Operating Room, ICU, Ward Care 4. Rehabilitasi Physical, Psycological
C
Emergency Orthopaedi
Jika tak ditolong segera bisa terjadi †
1. Fraktur terbuka
Fraktur disertai hancurnya jaringan (Major crush injury)
Fraktur dengan amputasi
2. Fraktur dengan ggn neurovaskuler (Compartmen Syndrome) 3. Dislokasi sendi
Pertolongan Pertama (First Aid) Life Saving ABCD Obstructed Airway Shock : Perdarahan Interna /External Balut tekan, IV fluid Limb Saving Reliave pain Splint & analgetic Pergerakan fragmen fr Spasme otot Udema yang progresif.
Transportasi penderita Dont do harm
Pengelolaan Fraktur di RS Prinsip : 4 R R 1 = Recognizing
Anamnesa, PE, Penunjang R 2 = Reduction
= Diagnosa = Reposisi
Mengembalikan posisi fraktur keposisi sebelum fraktur R 3 = Retaining = Fiksasi /imobilisasi
Mempertahankan hasil fragmen yg direposisi R 4 = Rehabilitation
Mengembalikan fungsi kesemula
Retaining (Imobilisasi)
Mempertahankan hasil reposisi sampai tulang menyambung
Kenapa ssd reposisi harus retaining
Manusia bersifat dinamis Adanya tarikan tarikan otot Agar penyembuhan lebih cepat Menghilangkan nyeri
Cara Retaining (Imobilisasi)
Isitrahat
Pasang splint / Sling
Casting / Gips
Traksi Kulit atau tulang
Fiksasi pakai inplant
Sling / Split
Sling : Mis Arm Sling
Splint/ Pembidaian
Cara Imobilisasi
Casting / Gips
Hemispica gip Long Leg Gip Below knee cast
Umbrical slab
Retaining (Imobilisasi) Traksi
Cara imobilisasi dengan menarik
bahagian proksimal dan distal secara terus menerus.
1. Kulit 2. Tulang
Retaining (Imobilisasi)
Fiksasi pakai inplant
■ Internal fikasasi ■ Plate/ skrew ■ Intra medular nail Kuntsher Nail
■ Ekternal fiksasi
37. Pneumoperitoneum • Udara bebas intraperitoneum atau ekstraluminer • Causa : - Robeknya dinding saluran cerna (trauma, iatrogenik, kelainan di saluran cerna), - Tidakan melalui permukaan peritoneal (transperitoneal manipulasi, endoscopic biopsy, abdominal needle biopsy) - Intraperitoneal ( gas forming peritonitis, ruptur abses )
Gambaran Radiologi : • Cupula sign • Foot ball sign • Double wall sign /Rigler sign • Ligamentum falciforum sign • Umbilical sign • Urachus sign
• Biasanya menggunakan minimal 2 proyeksi foto - FPA supine - Erect dan/ atau left lateral decubitus
Falciform Ligament Sign
Cupula sign Cupula sign
Football sign
Air on both sides of bowel wall – Rigler’s Sign
Free Intraperitoneal Air
Umbilical sign
Urachus sign
38. Kriptorkismus • Undesensus testis adalah suatu keadaan dimana setelah usia 1 tahun, satu atau kedua testis tidak berada di dalam kantung skrotum, tetapi masih berada di salah satu tempat sepanjang jalur desensus normal. • Kriptorkismus : cryptos (Yunani) tersembunyi Dan orchis (latin) testis
Epidemologi • Undesensus testis anak laki – laki. • Angka kejadian : pada bayi prematur ± 30% yaitu 10 kali lebih banyak daripada bayi cukup bulan (3%). • Dengan bertambahnya usia, testis mengalami desensus secara spontan. Dengan bertambahnya umur menjadi 1 tahun, insidennya menurun menjadi 0,7-0,8%, angka ini hampir sama dengan populasi dewasa.
FASE DESENSUS TESTIS
Embriology
Faktor yang menyebabkan : •Tekanan intra abdomen •Regresi ekstraabdomen gubernakulum 235 • Hormonal Androgen dan SPM (subtansi penghambat muleri) yaitu sel sertoli.
Etiologi • Etiology 23%genetik • Pada masa embrilogi terjadi karena adanya kelainan pada 1. gubernakulum testis, Penurunan testis dipandu oleh gubernakulum. Bila struktur ini tidak terbentuk atau terbentuk abnormal akan menyebabkan maldesensus testis. 2. kelainan intrinsik testis, Maldesensus dapat disebabkan disgenesis gonadal dimana kelainan ini membuat testis tidak sensitif terhadap hormon gonadotropin. 3. defisiensi hormon gonadotropin yang memacu proses desensus testis, Hormon gonadotropin maternal yang inadequat menyebabkan desensus inkomplet. Tidak adequatnya HCG menstimulasi pelepasan testosteron masa fetus akibat dari imaturnya sel Leydig dan imaturnya aksis hipothalamus-hipofisistestis. Penurunan testis dimediasi oleh androgen yang diatur lebih tinggi oleh gonadotropin pituitary.
Klasifikasi • Undesensus testis sesungguhnya ( true undescended) : testis mengalami penurunan parsial melalui jalur yang normal, tetapi terhenti. Dibedakan menjadi teraba (palpable) dan tidak teraba ( impalpable) • Testis ektopik : testis mengalami penurunan di luar jalur penurunan yang normal. • Testis retractile: testis dapat diraba/dibawa ke dasar skrotum tetapi akibat refleks kremaster yang berlebihan dapat kembali segera ke kanalis inguinalis, bukan termasuk UDT yang sebenarnya. 237
1. Testis retraktil, 2. Inguinal, dan 3. Abdominal, 4. Inguinal superfisial, 5. Penil, 6. Femoral 238
Komplikasi 1. Hernia –
Sekitar 90% penderita kriptorkismus menderita hernia inguinalis ipsilateral yang disebabkan oleh kegagalan penutupan prosesus vaginalis.
2. Torsi –
Terjadi karena abnormalnya jaringan yang menjangga testis yang kriptorkismus dan tingginya mobilitas testis16 serta sering terjadi setelah pubertas.
3. Trauma –
Testis yang terletak di atas pubic tubercle mudah terjadi injuri oleh trauma.
4. Neoplasma – – – –
Testis yang mengalami kriptorkismus pada dekade ke-3 atau ke-42, mempunyai kemungkinan keganasan 20–30 kali lebih besar daripada testis yang normal Kejadian neoplasma lebih besar terhadap testis intra abdominal yang tidak diterapi, atau yang dikoreksi secara bedah saat/setelah pubertas, bila dibandingkan dengan yang intra kanalikular. Neoplasma umumnya jenis seminoma. Namun, ada laporan bahwa biop si testis saat orchiopexy akan meningkatkan risiko keganasan.
5. Infertilitas – –
Kriptorkismus bilateral yang tidak diterapi akan mengalami infertilitas lebih dari 90% kasus, sedangkan yang unilateral 50% kasus. Testis yang berlokasi di intra abdominal dan di dalam kanalis inguinalis, akan mengurangi spermatogenik, merusak epitel germinal.
6. Psikologis –
Perasaan rendah diri terhadap fisik atau seksual akibat tidak adanya testis di skrotum
Testicular Tumors • Uncommon, incidence: 5/100,000 men • <1% of all malignancies in men • Peak: 30-40 years, rare in prepubertal children & elderly • >90% are of germ cell origin • >90% are malignant • Serum tumor markers found in 50% of patients. Eg: AFP, hCG
Risk factors for testicular cancers • Sex chromosome abnormalities – Germ cell tumors occur at a rate of 25% in dysgenetic gonads,intersexes, hermaphrodites & pseudohermaphrodites.
• Cryptorchidism – 10-fold increase in incidence of testicular germ cell tumors.
Seminoma • Most common type of germinal tumor (50%) • Most patients are 25-45 years of age • Presents as a scrotal mass • Most tumors diagnosed early • No serologic tumor markers for seminoma • Treatment: surgery, radiation therapy & chemotherapy • Cure rate>90%
Gross features of seminoma: • Produces bulky masses, sometimes10x normal testis • Homogenous, grey-white, lobulated cut-surface, usually devoid of hemorrhage & necrosis • Replaces entire testis in half of cases
Histologic features of seminoma: • Composed of single cell type • Tumor cells have clear cytoplasm, filled with glycogen • Tumor cells are arranged in lobules which are surrounded by fibrous stroma • The fibrous septa are infiltrated by lymphocytes & plasma cells
Metastases occur in paraaortic abdominal lymph nodes
39. Caustic Ingestion • Merupakan tertelannya zat korosif. • Beberapa zat korosif yang dapat membakar mulut, kerongkongan, esofagus, lambung antara lain: asam sulfat, kaustik soda, atau beberapa zat desinfektans yang mengandung bahan fenol. • Beberapa zat korosif yang dapat membakar saluran cerna bila terminum, terutama bagian atas dari esofagusesofagitis korosif
Gejala Esofagitis Erosif FREQUENT SIGNS AND SYMPTOMS • Tiba-tiba tidak dapat menelan atau secara perlahan-lahan menjadi sulit menelan. • Disfagia secara gradual, awalnya terhadap makanan padat, kemudian cairan. • Nyeri pada mulut dan dada saat makan. • Hipersalivasi. • Takipnea. • Muntah, kadang disertai lendir atau darah
Derajat Luka • Tingkat I: terjadinya edem pada mukosa dan penderita akan dapat menelan kembali dalam waktu singkat secara normal. • Tingkat II adalah terjadinya erosi pada mukosa, dan • Tingkat III terjadi nikrose pada mukosa submukosa s/d otot.
Komplikasi • Komplikasi yang sering terjadi adalah striktur esofagus. Hal ini bergantung pada beratnya jejas yang dapat dilihat melalui endoskopi.4 • Grade I = tidak ada risiko striktur esofagus • Grade IIB = 75% akan terjadi striktur • Grade III = 100% akan terjadi striktur
Am. J. Respir. Crit. Care Med. April 15, 2002 vol. 165 no. 8 1037-1040
Bulletin of the World Health Organization 2009;87:950-954. doi: 10.2471/BLT.08.058065
Esophageal Stricture Causes: 1) intrinsic diseases that narrow the esophageal lumen through inflammation, fibrosis, or neoplasia (eg peptic stricture) 2) extrinsic diseases that compromise the esophageal lumen by direct invasion or lymph node enlargement (e.g. caustic material ingestion) 3) diseases that disrupt esophageal peristalsis and/or lower esophageal sphincter
Sign and Symptoms: • Progressive dysphagia for solids, may progress to liquids • Heartburn • Food impaction • Weight loss • Chest pain.
Esophageal stricture diagnostic • Contrast esophagography (barium swallowing) • Fibroesophagoscopy • Biopsy
Esophageal stricture treatment • Dilation – The esophagus is stretched by passing a dilator or air-filled balloon is passed through a endoscope.
• Repeated dilation may be necessary to prevent the stricture from returning.
• Esophageal bypass grafting (Esophagoplasty) – Total colonoesophagoplasty – Total gastroesophagoplasty – Total jejunoesophagoplasty
Diagnosis Banding Term
Definition
erosive esophagitis
when the esophagus is repeatedly exposed to refluxed material for prolonged periods. It is erosions of squamous epithelium
barrets esophagus
replacement of the normal squamous epithelial lining of the esophagus by specialized columnar type epithelium
Eophageal stricture
narrowing or stenosis of the esophagus that requires corrective surgery
erosive gastritis
result from the exposure to a variety of agents or factors: NSAIDs, alcohol, cocaine, stress, radiation, bile reflux, and ischemia
Esofagitis Korosif
Peradangan dan kerusakan pada esofagus setelah menelan cairan kimia kaustik. komplikasistriktur esofagus sementara atau permanen J Clin Gastroenterol 2003;37(2):119–124.
40. Ankylosing Spondylitis • Ankylosing Spondylitis (a Spondyloarthropathy) adalah suatu kelainan inflamasi kronik multisistem secara primer menyerang sendi sakroiliaka dan tulang-tulang aksial. • Gejala umum AS: – berkaitan dengan radang tulang belakang • low back pain/ sendi tulang belakang kaku/ kifosis • enthesitis dan arthritis perifer
– Gejala-gejala diluar arthritis • Uveitis, penyakit kardiovaskular, pulmoner, renal, neurologik, GI, dan penyakit metabolik http://emedicine.medscape.com/article/332945-overview
Diagnosis New York Criteria
Rome Criteria
•Low back pain with inflammatory characteristics •Limitation of lumbar spine motion in sagittal and frontal planes •Decreased chest expansion •Bilateral sacroiliitis grade 2 or higher •Unilateral sacroiliitis grade 3 or higher
•Low back pain and stiffness for >3 months that is not relieved by rest •Pain and stiffness in the thoracic region •Limited motion in the lumbar spine •Limited chest expansion •History of uveitis
Definite ankylosing spondylitis when the fourth or fifth criterion mentioned presents with any clinical criteria
Diagnosis of ankylosing spondylitis when any clinical criteria present with bilateral sacroiliitis grade 2 or higher
Ossification of anulus fibrosus at multiple levels and squaring of vertebral bodies can be observed.
Bilateral sacroiliitis with sclerosis can be observed.
Tatalaksana Terapi farmakologis • Nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs) • Sulfasalazine • Tumor necrosis factor-α (TNF-α) antagonists • Corticosteroids Terapi bedah • Vertebral osteotomy - Patients with fusion of the cervical or upper thoracic spine may benefit from extension osteotomy of the cervical spine • Fracture stabilization • Joint replacement - Patients with significant involvement of the hips may benefit from total hip arthroplasty
41. Fraktur Antebrachii • Fraktur Galeazzi: adalah fraktur radius distal disertai dislokasi atau subluksasi sendi radioulnar distal. • Fraktur Monteggia: adalah fraktur ulna sepertiga proksimal disertai dislokasi ke anterior dari kapitulum radius. • Fraktur Colles: fraktur melintang pada radius tepat diatas pergelangan tangan dengan pergeseran dorsal fragmen distal. • Fraktur Smith: Fraktur smith merupakan fraktur dislokasi ke arah anterior (volar), karena itu sering disebut reverse Colles fracture.
Prinsip diagnostik • Secara umum, pada kasus fraktur dilakukan foto polos AP dan lateral • Khusus untuk fraktur pada lengan bawah dan pergelangan, urutan foto polos: - PA Bila hanya pergelangan tangan saja yang difoto - APBila meliputi sendi siku dan pergelangan tangan - Lateral - Oblique Ekayuda I. Radiologi diagnostik. 2nd ed
PA
Akan menentukan tangan sebelah mana yang patah dan arah pergeserannya pada foto lateral
PA
Fraktur Monteggia Fraktur Galeazzi
Fraktur Smith
Fraktur Colles
42. Ruptur Tendon Achilles • Ruptur tendo Achilles adalah putusnya tendo Achilles atau cedera yangmempengaruhi bagian bawah belakang kaki. • Klasifikasi: • Tipe I: Pecah parsial, yaitu sobek yang kurang dari 50%, biasanya diobati dengan manajemen konservatif • Tipe II: sobekan yang penuh dengan kesenjangan tendon kurang dari sama dengan 3 cm, biasanya diobati dengan akhir-akhir anastomosis • Tipe III: sobek yang penuh dengan jarak tendon 3 sampai 6 cm • Tipe IV: perpisahan yang penuh dengan cacat lebih 6 cm (pecah diabaikan)
http://emedicine.medscape.com/article/1922965-overview
Manifestasi Klinik Ruptur Tendo Achilles 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
9.
Rasa sakit mendadak yang berat dirasakan pada bagian belakang pergelangan kaki atau betis Bengkak, kaku dan memar Terlihat depresi di tendon 3-5 cm diatas tulang tumit Tumit tidak bisa digerakan turun naik. Pasien mungkin menggambarkan sensasi ditendang di bagian belakang kaki. Nyeri bisa berat. Nyeri lokal, bengkak dengan gamblang sepanjang tendon Achilles dekat lokasi penyisipan, dan kekuatan plantar flexion lemah Rasa sakit mendadak dan berat dapat dirasakan di bagian belakang pegelangan kakiatau betis Terlihat bengkak dan kaku serta tampak memar dan kelemahan di dekat tumit.
10.Sebuah kesenjangan atau depresi dapat dilihat di tendon sekitar 2 cm di atas tulang tumit. 11.Tumit tidak dapat digerakan turun atau naik atau “push off” kaki terluka ketika berjalan. 12.Pasien merasa seolah-olah ia telah dipukul tepat pada tumitnya dan tidak bisaberjinjit. 13.Apabila ada robekan,suatu celah dapat dilihat dan terasa 5 cm diatas insersio tendon. 14.Plantar flexi kaki akan lemah dan tidak disertai dengan tendon
Diagnosis
• Weakness in plantarflexion • Gap in tendon • Palpable swelling • Positive Thompson test
Pemeriksaan Fisik Ruptur Tendon Achilles Infeksi dan palapasi
Copeland test
Test Thomphson
Obrie’n test/ test jarum
O’Brien test • Jarum 25G, ditusukan pada otot tungkai bawah 10cm di atas tonjolan calcaneus. • Gerakan pangkal jarum berlawanan arah saat dilakukan gerakan pasif plantar fleksi dan dorso fleksi menandakan tendon achilles yang intak.
Copeland test • Pasien dalam posisi prone, cuff sphygmomanometer diletakan pada bagian tungkai yang paling besar, kaki pasien diminta plantar fleksi, kemudian sphygmomanometer di pompa hingga 100mmHg. • Jika tendon achilles intak, tekanan akan meningkat menjadi 140mmHg saat pasien diminta dorsofleksi
Pemeriksaan Penunjang Magnetic Resonance Image (MRI) Foto Rontgen
Tatalaksana Ruptur Tendo Achilles
• Terapi fisik
– Pengobatan konservatif Boot orthosis – Percutaneous Surgery – Open Surgical Repair
• Terapi obat NSAIDs – Ibuprofen dan Asetaminofen
Injury
Clinical Findings
Imaging
Ankle sprain
Positive drawer/inversion test
X-Ray
Achilles Rupture
Thompson test, tendon gap, unable to plantaflex foot
USG
Metatarsal fracture
Bone tenderness over the navicular bone or base of the fifth metatarsal
X-Ray
Tarsal Tunnel Syndrome
Tinnel test (+), paresthesias MRI along tibial nerve
Plantar fasciitis
Severe plantar pain, foot cord tightness
Not needed
http://www.qualitycarept.com/Injuries-Conditions/Foot/FootIssues/Achilles-Tendon-Problems/a~253/article.html
43. Rabies • Penyakit infeksi akut pada Sistem Saraf Pusat (SSP) yang disebabkan oleh virus rabies, dan ditularkan melalui gigitan hewan menular rabies terutama anjing, kucing, kera, dan kelelawar. • Penyakit rabies atau penyakit anjing gila – Penyakit yang bersifat fatal – selalu diakhiri dengan kematian bila tidak ditangani dan diobati dengan baik.
• Telah dilaporkan 98 persen kasus rabies di Indonesia ditularkan akibat gigitan anjing dan 2 persen akibat gigitan kucing dan kera.
Gejala Klinis • Stadium Prodromal –
Gejala awal berupa demam, malaise, mual, dan rasa nyeri di tenggorokan dalam beberapa hari.
• Stadium Sensoris –
Penderita merasa nyeri, rasa panas disertai kesemutan pada tempat bekas luka. Kemudian disusul dengan gejala cemas dan reaksi yang berlebihan terhadap rangsang sensorik.
• Stadium Eksitasi – – –
– –
Tonus otot-otot dan aktivitas simpatik menjadi meninggi dengan gejala hiperhidrosis, hipersalivasi, hiperlakrimasi, dan pupil dilatasi. Adanya macam-macam fobi, yang sangat terkenal diantaranya ialah hidrofobi. Kontraksi otot-otot faring dan otot-otot pernapasan dapat ditimbulkan oleh rangsang sensorik seperti meniupkan udara ke muka penderita atau dengan menjatuhkan sinar ke mata atau dengan menepuk tangan di dekat telinga penderita. Pada stadium ini dapat terjadi apnoe, sianosis, konvulsi, dan takikardi. Gejala-gejala eksitasi ini dapat terus berlangsung sampai penderita meninggal, tetapi pada saat dekat kematian justru lebih sering terjadi otot-otot melemah, hingga terjadi paresis flaksid otot-otot.
• Stadium Paralis –
Sebagian besar penderita rabies meninggal dalam stadium eksitasi. Kadang-kadang ditemukan juga kasus tanpa gejala-gejala eksitasi, melainkan paresis otot-otot yang bersifat progresif. Hal ini karena gangguan sumsum tulang belakang, yang memperlihatkan gejala paresis otot-otot pernafasan.
Tatalaksana • Setiap ada kasus gigitan hewan menular rabies harus ditangani dengan cepat dan sesegera mungkin. • Untuk mengurangi/mematikan virus rabies yang masuk pada luka gigitan, usaha yang paling efektif ialah mencuci luka gigitan dengan air (sebaiknya air mengalir) dan sabun atau deterjen selama 10-15 menit, kemudian diberi antiseptik (alkohol 70 %, betadine, obat merah dan lain-lain). • Bila memang perlu sekali untuk dijahit (jahitan situasi), maka diberi Serum Anti Rabies (SAR) sesuai dengan dosis, yang disuntikan secara infiltrasi di sekitar luka sebanyak mungkin dan sisanya disuntikan secara intra muskuler. • Dipertimbangkan perlu tidaknya pemberian serum/vaksin anti tetanus, antibiotik untuk mencegah infeksi dan pemberian analgetik.
Bila ada indikasi pengobatan : 1. Terhadap luka resiko rendah diberi Vaksin Anti Rabies (VAR) saja • • •
2.
Terhadap luka resiko tinggi, selain VAR juga diberi SAR • • • •
3. 4.
Jilatan pada kulit luka garukan atau lecet (erosi, ekskoriasi) luka kecil disekitar tangan, badan dan kaki. jilatan/luka pada mukosa luka diatas daerah bahu (muka, kepala, leher) luka pada jari tangan/kaki, genetalia, luka yang lebar/dalam luka yang banyak (multipel).
Untuk kontak (dengan air liur atau saliva hewan tersangka/hewan rabies atau penderita rabies), tetapi tidak ada luka, kontak tak langsung, tidak ada kontak, maka tidak perlu diberikan pengobatan VAR maupun SAR. Sedangkan apabila kontak dengan air liur pada kulit luka yang tidak berbahaya, maka diberikan VAR atau diberikan kombinasi VAR dan SAR apabila kontak dengan air liur pada luka berbahaya.
44. Limfadenitis TB • Limfadenitis: peradangan pada kelenjar limfe atau getah bening. • Limfadenitis tuberkulosis (TB): peradangan pada kelenjar limfe atau getah bening yang disebabkan oleh basil tuberkulosis. • Peradangan yang terjadi pada kelenjar limfe di leher disebut dengan scrofula.
Gejala Klinis
Pemeriksaan Penunjang
• Dalam tahap awal, nodus berbatas tegas, mobil, tidak lembut (kenyal), dan nyeri tekan (+/-). • Jika infeksi tetap tidak diobati, nodus melunakkan, menjadi fluksus, dan melekat pada kulit yang mungkin menjadi eritematus.
• Diagnosis definitif • Kultur • Amplifikasi nucleic amplifikasi Mycobacterium tuberculosis • Demonstrasi basil tahan asam dan peradangan granulomatosa dapat membantu.
• Biopsi eksisional • kepekaan tertinggi80%,
• Aspirasi jarum • kurang invasif dan mungkin berguna, terutama pada hos dengan immunitas rendah dan pengaturan sumber daya terbatas.
• Gambaran klinis dan mikroskopis limfadenitis TB (tuberkel) • Pengobatan limfadenitis TB OAT • Dapat juga dengan eksisi+biopsi
45.
46. Tetanus • Tetanus: gangguan neuromuskular akut berupa trismus, kekakuan dan kejang otot disebabkan oleh eksotosin spesifik Clostridium tetani. • Akibat komplikasi luka: Vulnus laceratum (luka robek), Vulnus punctum (luka tusuk), combustion (luka bakar), fraktur terbuka, otitis media, luka terkontaminasi, luka tali pusat. tetanus prone wound
Tanda dan gejala • Masa inkubasi: bervariasi antara 2 hari atau beberapa minggu bahkan beberapa bulan, pada umumnya 8 – 12 hari. • Suhu tubuh normal hingga subfebris • Tetanus lokal otot sekitar luka kaku • Tetanus generalisata – – – – –
Trismus: sulit/tidak bisa membuka mulut Rhesus sardonicus Kaku otot kuduk, perut, anggota gerak Sukar menelan Opistotonus
• Kejang dalam keadaan sadar dan nyeri hebat. • Sekujur tubuh berkeringat.
Stadium klinis Derajat penyakit tetanus menurut modifikasi dari klasifikasi Albleet’s : 1. Grade 1 (ringan) – Trismus ringan sampai sedang, spamisitas umum, tidak ada penyulit pernafasan, tidak ada spasme, sedikit atau tidak ada disfagia.
2.
Grade 2 (sedang) – Trismus sedang, rigiditas lebih jelas, spasme ringan atau sedang namun singkat, penyulit pernafasan sedang dengan takipneu.
3.
Grade 3 (berat) – Trismus berat, spastisitas umum, spasme spontan yang lama dan sering, serangan apneu, disfagia berat, spasme memanjang spontan yang sering dan terjadi refleks, penyulit pernafasan disertai dengan takipneu, takikardi, aktivitas sistem saraf otonom sedang yang terus meningkat.
4.
Grade 4 (sangat berat) – Gejala pada grade 3 ditambah gangguan otonom yang berat, sering kali menyebabkan “autonomic storm”.
Diagnosis dan Komplikasi • Diagnosis – Klinis – Pewarnaan gram
• Komplikasi – – – – – –
Anoksia otak fraktur vertebra Aspirasi, penumonia Low intake, Dehidrasi Disfungsi otonom: hiper/hipotensi, hiperhidrosis Kematian
Manajemen Luka Tetanus
Dosis Profilaksis: • HTIG250-500 IU • ATS 1500 IU
Tatalaksana Tetanus 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Pemberian antitoksin tetanus Penatalaksanaan luka Pemberian antibiotika Penanggulangan kejang Perawatan penunjang Pencegahan komplikasi
Tatalaksana Tetanus 1. Manajemen Luka • Semua luka harus dibersihkan dan jika perlu dilakukan debridemen. • Riwayat imunisasi tetanus pasien perlu didapatkan. • TT harus diberikan jika riwayat booster terakhir lebih dari 10 tahun jika riwayat imunisasi tidak diketahui, TT dapat diberikan. • Jika riwayat imunisasi terakhir lebih dari 10 tahun yang lalu, maka tetanus imunoglobulin (TIg) harus diberikan. Keparahan luka bukan faktor penentu pemberian TIg
Luka Rentan Tetanus
Luka yang tidak rentan tetanus
• • • •
• • • • • •
> 6-8 jam Kedalaman > 1 cm Terkontaminasi Bentuk stelat, avulsi, atau hancur (irreguler) • Denervasi, iskemik • Terinfeksi (purulen, jaringan nekrotik)
< 6 jam Superfisial < 1 cm Bersih Bentuknya linear, tepi tajam Neurovaskular intak Tidak infeksi
Lanjutan... 2. 3. 4.
Pengawasan, agar tidak ada hambatan fungsi respirasi. Ruang Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara, cahayaruangan redup dan tindakan terhadap penderita. Diet cukup kalori dan protein – 3500-4500 kalori per hari – 100-150 gr protein – Bila ada trismus, makanan dapat diberikan per sonde atau parenteral
5. 6.
Oksigen, pernapasan buatan dan trakeostomi bila perlu. Antikonvulsan diberikan secara titrasi, sesuai kebutuhan dan respon klinis. Diazepam atau Vankuronium 6-8 mg/hari. – Bila penderita datang dalam keadaan kejang maka diberikan diazepam dosis 0,5 mg/kgBB/kali i.v. perlahan-lahan dengan dosis optimum 10mg/kali diulang setiap kali kejang. Kemudian diikuti pemberian Diazepam per oral (sonde lambung) dengan dosis 0,5/kgBB/kali sehari diberikan 6 kali. Dosis maksimal diazepam 240 mg/hari. – Bila masih kejang (tetanus yang sangat berat), harus dilanjutkan dengan bantuan ventilasi mekanik, dosis diazepam dapat ditingkatkan sampai 480 mg/hari dengan bantuan ventilasi mekanik, dengan atau tanpa kurarisasi. – Magnesium sulfat dapat pula dipertimbangkan digunakan bila ada gangguan saraf otonom.
Lanjutan... 7.
ATS – – –
8.
Eliminasi bakteri – – –
9.
Skin tes untuk hipersensitif Dosis biasa 50.000 iu, diberikan IM diikuti dengan 50.000 unit dengan infus IV lambat Jika pembedahan eksisi luka memungkinkan, sebagian antitoksin dapat disuntikkan di sekitar luka. DOC: Penisilin berikan prokain penisilin, 1,2 juta unit IM atau IV setiap 6 jam selama 10 hari. Alergi penisilin Tetrasiklin, 500 mg PO atau IV setiap 6 jam selama 10 hari dapat mengeradikasi Clostridium tetani tetapi tidak dapat mempengaruhi proses neurologisnya.
Bila dijumpai adanya komplikasi pemberian antibiotika spektrum luas – – – –
Tetrasiklin, Eritromisin dan Metronidazol dapat diberikan, terutama bila penderita alergi penisilin Tetrasiklin: 30-50 mg/kgBB/hari dalam 4 dosis Eritromisin: 50 mg/kgBB/hari dalam 4 dosis, selama 10 hari Metronidazol loading dose 15 mg/KgBB/jam selanjutnya 7,5 mg/KgBB tiap 6 jam.
10. Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama – –
Dilakukan bersamaan dengan antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat suntik yang berbeda Dosis inisial 0,5 ml toksoid intramuskular diberikan 24 jam pertama.
11. Pemberian TT harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap tetanus selesai. 12. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.
Pencegahan komplikasi • Anoksia otak dengan – Pemberian antikejang, sekaligus mencegah laringospasme, – Jalan napas yang memadai, bila perlu lakukan intubasi (pemasangan tuba endotrakheal) atau lakukan rakheotomi berencana, pemberian oksigen.
• Pneumonia – membersihkan jalan napas yang teratur, pengaturan posisi penderita berbaring, pemberian antibiotika.
• Fraktur vertebra: pemberian antikejang yang memadai.
47. Klasifikasi Syok Penyebab syok dapat diklasifikasikan sebagai berikut: • Syok kardiogenik (kegagalan kerja jantungnya sendiri)
• Syok obstruktif (gangguan kontraksi jantung akibat di luar jantung):
• (a) Penyakit jantung iskemik, seperti infark • (b) Obat-obat yang mendepresi jantung; • • (c) Gangguan irama jantung.
• Syok hipovolemik (berkurangnya volume sirkulasi darah): • (a) Kehilangan darah, misalnya perdarahan; • (b) Kehilangan plasma, misalnya luka bakar; • (c) Dehidrasi: cairan yang masuk kurang (misalnya puasa lama), cairan keluar yang banyak (misalnya diare, muntahmuntah, fistula, obstruksi usus dengan penumpukan cairan di lumen usus).
• • •
(a) Tamponade jantung; (b) Pneumotorak; (c) Emboli paru.
Syok distributif (berkurangnya tahanan pembuluh darah perifer) • • • • • •
(a) Syok neurogenik; (b) Cedera medula spinalis atau batang otak; (c) Syok anafilaksis; (d) Obat-obatan; (e) Syok septik; (f) Kombinasi, misalnya pada sepsis bisa gagal jantung, hipovolemia, dan rendahnya tahanan pembuluh darah perifer.
Perkiraan Kehilangan Cairan dan Darah
Resusitasi Cairan
48. Insufisiensi Vena Kronik • Penyakit vena kronik atau chronic venous disease (CVD) • abnormalitas fungsi sistem vena akibat inkompetensi katup vena dengan atau tanpa disertai obstruksi aliran vena, yang mempengaruhi sistem vena superfisial, sistem vena profunda, atau keduanya.
• Bisa juga diartikan sebagai kondisi medis yang ditandai dengan nyeri dan pembengkakan pada tungkai akibat kerusakan pada katup vena dan gumpalan darah yang menyebabkan darah terakumulasi di dalam vena
Etiologi • Kerusakan pada katup dalam pembuluh darah • Pembentukan gumpalan darah di salah satu pembuluh darah dalam utama kaki • Sindrom post-flebitis yang terjadi akibat komplikasi DVT, suatu kondisi yang ditandai dengan terbentuknya gumpalan darah pada vena-vena dalam
Faktor Risiko • Keadaan yang meningkatkan resiko terkena insufisiensi vena kronis: • Perempuan > laki-laki • Perokok • Berdiri untuk waktu yang lama • Bertambah tua • Berusia lebih dari 50 tahun • Duduk untuk waktu yang lama • Pernah melakukan operasi besar pada kaki atau tungkai • Sedang hamil
Patofisiologi • Pada vena terdapat katup-katup yang mencegah aliran balik dari darah • Ketika katup-katup tersebut rusak, darah mulai mengalir ke belakang akibat gravitasi dan terakumulasi di dalam vena, terutama vena-vena tungkai • Kelebihan cairan merembes keluar dari pembuluh venapembengkakan tungkai – Kapiler-kapiler pada tungkai pecahpewarnaan coklat kemerahan pada kulit
• Timbul gejala seperti rasa gatal dan perubahan warna pada kulit tungkai • Fase lanjut terbentuk ulkus yang sukar disembuhkan
Patofisiologi
Gejala Klinik • • • • • •
Kulit bersisik pada tungkai dan kaki Kulit berwarna kecoklatan di dekat mata kaki Kulit yang terasa gatal Pembengkakan pada mata kaki Pembengkakan pada tungkai kaki Nyeri
Insufisiensi vena kronis • Atrophie blanche • a particular type of scar arising on the lower leg • It occurs after a skin injury when the blood supply is poor.
• Submalleolar Venous Flare • Incompetence in perforating vein valve which results in venous hypertension • Causes dilation of the venules • Venule sometimes forms tiny bleb that will rupture with +++bleeding
49. Medial Epicondyle Fractures • Represent 5% to 10% of pediatric elbow fractures – usually occur in children between the ages of 9 and 14 years – Rare in adult
• Mechanism of injury: – Direct blow to the elbow • Occurs with valgus stress to the elbow, which avulses the medial epicondyledirect blow to elbow or arm
– fall on outstretched arm • most common
– elbow dislocation • associated with elbow dislocations in up to 50% • most spontaneously reduce but fragment may be incarcerated in joint
– traumatic avulsion • usually occurs in overhead throwing athletes Landin. Elbow fractures in children. An epidemiological analysis of 589 cases. Acta Orthop Scand. 1986;57:309.
Medial Humerus Fracture
www2.aofoundation.org
ANATOMY
• Nerves on both sides of the distal humerus run very closely to the bone, especially the ulnar nerve • Ulnar nerveperforates the medial intermuscular septum runs and then in its sulcus behind the medial epicondyle • It can be directly compressed in distal humeral fractures • Radial nerve perforates the lateral intermuscular septum as it loares the spiral groove on the humerus, to run anteriorly and distally • At the level of the radial head it divides into its deep and superficial branches. • Median nerve crosses the anterior capsule of the elbow joint, running into the forearm between the two heads of the pronator teres muscle.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2758175/
Presentation •Symptoms • medial elbow pain •Physical exam • tenderness over medial epicondyle • valgus instability Treatment •Nonoperative • brief immobilization (1 to 2 weeks) in a long arm cast or splint • indications • isolated fractures of the medial epicondyle with between 5 to 15 mm of displacement heal well. • fibrous union of the fragment is not associated with significant symptoms or diminished function • < 5mm displacement usually treated non-operatively, 5-15 mm remains controversial •Operative • open reduction internal fixation • indications • absolute • displaced fx with entrapment of medial epicondyle fragment in joint • relative • ulnar nerve dysfunction • > 5-15mm displacement • displacement in high level athletes
Complications of Surgery •Nerve injury • ulnar nerve can become entrapped • neuropathy with dislocatoin which usually resolves •Missed incarceration • missed incarceration of fragment in elbow joint •Elbow stiffness • loss of elbow extension, avoid prolonged immobilization •Non-union
http://www.rch.org.au/clinicalguide/guideline_index/fractures/Medial_epicondyle_emerg/
Opposition of The finger • The ability to touch your thumb and pinky
• Need 2 muscle: – M. Opponens Pollicis • N. Medianus
– M. Opponens digiti minimi • N. Ulnaris
Opponens Pollicis • Origin – Flexor retinaculum and tubercles of scaphoid and trapezium
• Insertion – Lateral side of 1st metacarpal
• Action – Draws 1st metacarpal laterally to oppose thumb toward center of palm
• Innervation – Recurrent branch of median nerve (C8 and T1)
Pemeriksaan Fisik: •
•
Anterior interosseous nerve (branch of median nerve) injuryin distal humerus fracture OK sign
Opponens Digiti Minimi • Origin Hook of hamate and flexor retinaculum • Insertion Medial border of 5th metacarpal • Action brings little finger (5th digit) into opposition with thumb • Innervation Deep branch of ulnar nerve (C8 and T1)
50. N. Ulnar
• • • • • http://www.msdlatinamerica.com/ebooks/HandSurgery/sid731790.html
ADMabductor digiti minimi FCUflexor carpi ulnaris FDIfirst dorsal interosseous FDPflexor digitorum profundus FPBflexor pollicis brevis.
Ulnar Nerve Palsy • If the MCP joint hyperextends, it is a positive Jeanne’s sign and also indicates ulnar nerve palsy
• Froment’s sign: • the action of adductor pollicis weak with an ulnar nerve palsy • Patient holds piece of paper between the thumb and index paper (pinch grip). If the distal phalanx flexes, it is a positive test ulnar nerve palsy. • With ulnar nerve palsy, the patient will experience difficulty maintaining a hold and will compensate by flexing the FPL (flexor pollicis longus) of the thumb to maintain grip pressure causing a pinching effect.
Tinels sign & Phalens ManeuverCTS • • •
•
Phalen’s maneuver (Penderita melakukan fleksi tangan secara maksimal. Bila dalam waktu 60 detik timbul gejala → CTS +) Tinel’s sign (timbul parestesia atau nyeri pada daerah distribusi nervus medianus kalau dilakukan perkusi pada terowongan karpal dengan posisi tangan sedikit dorsofleksi) Luthy's sign/bottle's sign (Penderita diminta melingkarkan ibu jari dan jari telunjuknya pada botol atau gelas. Bila kulit tangan penderita tidak dapat menyentuh dindingnya dengan rapat → CTS +) Pemeriksaan sensibilitas/two-point discrimination (Bila penderita tidak dapat membedakan dua titik pada jarak lebih dari 6 mm di daerah nervus medianus CTS +)
Tinel’s sign
Phalen’s maneuver
Bunnel-Littler Test • Evaluates the tightness of intrinsic muscles or joint capsular tightness • How? – Hold MP joint in slight extension – Try to flex PIP joint
• Positive finding – Unable to bend = tightness in intrinsic muscles
• Finkelstein test: Tests for De Quervain’s or Hoffmann’s disease. • A positive test indicates a tenosynovitis of the abductor pollicis longus and extensor pollicis brevis tendons
• Client makes a fist with thumb inside the fingers. The therapist passively deviates the wrist towards the ulnar sidepain (positive result)
51. Osteosarkoma
52. Luka Bakar
Rule of nines
Adult
Infant
• Bayi berusia sampai satu tahun – Luas permukaan kepala dan leher berkisar 18% – Luas permukaan tubuh dan tungkai berkisar 14%.
• Dalam masa pertumbuhannya, setiap tahun di atas usia satu tahun, maka ukuran kepala berkurang sekitar 1% dan ukuran tungkai bertambah 0. 5% • Proporsi dewasa tercapai saat seorang anak mencapai usia sepuluh tahun • Usia 10 thn penambahan ukuran tungkai dipindahkan ke genitalia dan perineum 1% Emergency Management of Severe Burns (EMSB) COURSE MANUAL 17th edition Feb 2013 Australia and New Zealand Burn Association Ltd 1996
• 40 x 45 x 4cc = 7200cc
Indikasi Resusitasi Cairan
Indikasi Rawat Inap Luka Bakar
53. Abdominal Injuries Ruptur organ berongga • Akan mengeluarkan udara dan cairan/sekret GIT yang infeksius • Sangat mengiritasi peritoneumperitonitis
Ruptur Organ Solid • Menyebabkan perdarahan internal yang berat • Darah pada rongga peritoneum peritonitis • Terlihat gejala syok akibat perdarahan hebat – Gejala peritonitis dapat tidak terlalu terlihat
Hollow and Solid Organs • The hollow include: typeorgans of injury will depend on whether the organ injured is solid or hollow. – stomach
– intestines – gallbladder – Bladder
solid organs include:
liver spleen kidneys
Stomach/duodenum • Not commonly injured by blunt trauma • Protected location in abdomen • Penetrating trauma may cause gastric transection or laceration – Signs of peritonitis from leakage of gastric contents
• Diagnosis confirmed during surgery – Unless nasogastric drainage returns blood
Stomach/duodenum Perforation • Presentation : • • • •
abdominal pain rigidity peritonism, shock Air under diaphragm on X-ray
• Treatment • Antibiotics • resuscitate • repair
Bleeding • Presentation : – Haematemesis +/– Melaena – Severity • Increased PR>90 • Fall BP<100
• Treatment : – transfusion – inject DU
Colon and Small Intestine • Usually injured by penetrating trauma • May be injured by compression forces: – High-speed motor vehicle crashes – Deceleration injuries associated with wearing personal restraints
• Bacterial contamination common
Pattern of Injury in Blunt Abdominal Trauma Spleen
40.6%
Colorectal
3.5%
Liver
18.9%
Diaphragm
3.1%
Retroperitoneum
9.3%
Pancreas
1.6%
Small Bowel
7.2%
Duodenum
1.4%
Kidneys
6.3%
Stomach
1.3%
Bladder
5.7%
Biliary Tract
1.1%
* Rosen: Emergency Medicine (1998)
54. Fraktur Nasal • Diagnosis: • riwayat trauma • bengkak, dan krepitus pada jembatan hidung • epistaksis, namun tidak harus selalu bercampur dengan CSF.
• Fraktur nasal sering menyebabkan deformitas septum nasal karena adanya pergeseran septum dan fraktur septum. • Fraktur NOE dicurigai jika pasien memiliki bukti patah hidung dengan telecanthus, pelebaran jembatan hidung dengan canthus medial terpisah, dan epistaksis atau rhinorrhea CSF.
• Method of palpating the nasal complex for fractures. The nasal pyramid should be moved right and left to detect mobility. • Patient with naso-orbitoethmoid fracture and cerebrospinal fluid rhinorrhea (A). The fluid leaves a double ring where it drips onto fabric (B).
• Lateral radiographic view of a displaced nasal bone fracture in a patient who sustained this injury because of a punch to the face during a hockey game.
• A patient with nasoorbitoethmoid fracture. Note the increase in the intercanthal distance and the rounded shape of the medial palpebral fissure on the right. The normal palpebral fissure on the patient's left has an angular relationship between the upper and lower eyelids.
Fraktur Nasal •
KONSERVATIF • • Pasien dengan perdarahan hebat, dikontrol dengan vasokonstriktor topikal. • Jika tidak berhasil bebat kasa tipis, kateterisasi balon, atau prosedur lain dibutuhkan tetapi ligasi pembuluh darah jarang dilakukan. • Bebat kasa tipis merupakan prosedur untuk mengontrol perdarahan setelah vasokonstriktor topikal. Biasanya diletakkan dihidung selama 2-5 hari sampai perdarahan berhenti. • Pada kasus akut, pasien harus diberi es pada hidungnya • Antibiotik diberikan untuk mengurangi resiko infeksi, komplikasi dan kematian. • Analgetik berperan simptomatis untuk mengurangi nyeri dan memberikan rasa nyaman pada pasien.
OPERATIF • Untuk fraktur nasal yang tidak disertai dengan perpindahan fragmen tulang, penanganan bedah tidak dibutuhkan karena akan sembuh dengan spontan. • Deformitas akibat fraktur nasal sering dijumpai dan membutuhkan reduksi dengan fiksasi adekuat untuk memperbaiki posisi hidung.
FRAKTUR NASAL • ELEVATING A FRACTURE OF THE NOSE. • A, inflitrating the site of the fracture. • B, raising the depressed bones with curved artery forceps. Always suspect a fracture after any blow on the nose. Swelling of the soft tissues can easily hide it.
Blow Out Fracture • Blow-out fracture • fraktur dinding orbita yang disebabkan peningkatan tibatiba dari tekanan intraorbital tanpa keterlibatan rima orbita. • sebagian besar terjadi pada dasar orbita • sebagian kecil terjadi pada dinding medial dengan atau tanpa disertai fraktur dasar orbita.
• Blow-out fracture umumnya terjadi pada orang dewasa dan jarang terjadi pada anak-anak • Dapat terjadi karena kecelakaan lalu lintas) kecelakaan kerja) kecelakaan olahraga)terjatuh atau karena kekerasan.
Gejala Klinis • Penderita blow-out fracture sering mengeluh: – nyeri intraokula – mati rasa pada area tertentu diwajah – tidak mampu menggerakkan bola mata – melihat ganda bahkan kebutaan blow-out fracture – Edema, hematoma, enophtalmus – trauma nervus cranialis – emphysema dari orbita dan palpebra
55. Atheroma cyst (Sebacous cyst) • Massa non kanker yang tumbuh dengan lambat • Berisi material dari folikel ramabutkulit atau komponen minyak yang disebut dengan sebum • Kista sebaceous dapat muncul saat pilosebaseus atau kelenjar sebaseus tersumbat • Biasanya sewarna dengan kulit, dan memiliki punctum (comedo, blackhead) pada bag.puncak kubah
Diagnosis
Histologic
Lipoma
Soft mass, pseudofluctuant with a slippery edge
Epidermal cyst
Raised nodule on the skin of the face or neck. HistologicLined by keratinizing epithelium the resembles the epithelium of the skin. The lumen is usually filled with keratin scales
Dermoid Cyst and Benign Cystic Teratoma
Developmental cyst often present at birth or noted in young children. It is usually found on the floor of the mouth. May have a doughy consistency. Histologic Lined by orthokeratinized, stratified squamous epithelium surrounded by a connective tissue wall. Hair follicles, sebaceous glands, and sweat glands may be seen in the cyst wall
56. Klasifikasi Luka
57. Konjungtivitis Alergi • Allergic conjunctivitis may be divided into 5 major subcategories. • Seasonal allergic conjunctivitis (SAC) and perennial allergic conjunctivitis (PAC) are commonly grouped together. • Vernal keratoconjunctivitis (VKC), atopic keratoconjunctivitis (AKC), and giant papillary conjunctivitis (GPC) constitute the remaining subtypes of allergic conjunctivitis.
Konjungtivitis Atopi • Biasanya ada riwayat atopi • Gejala + Tanda: sensasi terbakar, sekret mukoid mata merah, fotofobia • Terdapat papila-papila halus yang terutama ada di tarsus inferior • Jarang ditemukan papila raksasa • Karena eksaserbasi datang berulanga kali neovaskularisasi kornea, sikatriks
• Terapi topikal jangka panjang: cell mast stabilizer • Antihistamin oral • Steroid topikal jangka pendek dapat meredakan gejala
Konjungtivitis Atopik
Papila halus pada konjungtiva tarsal superior dan inferior
Keratokonjungtivitis atopik disertai vaskularisasi tindakan: transplantasi kornea
Etiologi
Diagnosis
Karakteristik
Viral
Konjungtivitis folikuler akut
Merah, berair mata, sekret minimal, folikel sangat mencolok di kedua konjungtiva tarsal
Klamidia
Trachoma
Seringnya pd anak, folikel dan papil pd konjungtiva tarsal superior disertai parut, perluasan pembuluh darah ke limbus atas
Konjungtivitis inklusi
Mata merah, sekret mukopurulen (pagi hari), papil dan folikel pada kedua konjungtiva tarsal (terutama inferior)
Konjungtivitis vernalis
Sangat gatal, sekret berserat-serat, cobblestone pd konjungtiva tarsal superior, horner-trantas dots (limbus)
Konjungtivitis atopik
Sensasi terbakar, sekret berlendir, konjungtiva putih spt susu, papil halus pada konjungtiva tarsal inferior
Konjungtivitis fliktenularis
Reaksi hipersensitif tersering akibat protein TB, nodul keabuan di limbus atau konjungtiva bulbi, mata merah dan berair mata
Keratokonjungtivitis sicca
Akibat kurangnya film air mata, tes shcirmer abnormal, konjungtiva bulbi hiperemia, sekret mukoid, semakin sakit menjelang malam dan berkurang pagi
Alergi/hipersensitivitas
Autoimun
Tatalaksana Konjungtivitis Alergi • Self-limiting • Akut: • Steroid topikal (+sistemik bila perlu), jangka pendek mengurangi gatal (waspada efek samping: glaukoma, katarak, dll.) • Vasokonstriktor topikal • Kompres dingin & ice pack
• Jangka panjang & prevensi sekunder: • Antihistamin topikal • Stabilisator sel mast Sodium kromolin 4%: sebagai pengganti steroid bila gejala sudah dapat dikontrol • Tidur di ruangan yang sejuk dengan AC • Siklosporin 2% topikal (kasus berat & tidak responsif)
• Desensitisasi thdp antigen (belum menunjukkan hasil baik)
Vaughan & Asbury General Ophtalmology 17th ed.
Allergic Conjunctivitis
58. Congenital Nasolacrimal Duct Obstruction (CNDO) • Embriology – This condition affects nearly 20 % of all newborns – The development of the lacrimal drainage system begins at approximately 6 weeks of gestation – Communication between the lacrimal drainage system and the nose occurs at the end of the sixth month. – Tears are normally produced a few weeks after birth; hence nasolacrimal duct (NLD) obstruction may not be recognised until several weeks after birth.
• Etiology : – Most commonly, this is due to the presence of a membrane at the level of the valve of Hasner, which is present at the nasal opening of the nasolacrimal duct Murthy R. Congenital Nasolacrimal Duct Obstruction (CNLDO). Kerala Journal of Ophthalmology. 2007.9:2
Congenital nasolacrimal duct obstruction
Epiphora and matting
Infrequently acute dacryocystitis
Treatment • one third: bilateral • Role out congenital glaucoma fotophobia • Conservative management by massage can be done safely upto 1 year of age; • the reason being most of the cases (96 %) will resolve within the first year of life • Massage of nasolacrimal duct: 10 strokes 4 times a day • antibiotic drops 4 times daily for mucopurulent discharge • If no improvement - probe at 12 months • Results - 90% cure by first probing, 6% by repeated probing
DAKRIOSISTITIS • Partial or complete obstruction of the nasolacrimal duct with inflammation due to infection (Staphylococcus aureus or Streptococcus B-hemolyticus), tumor, foreign bodies, after trauma or due to granulomatous diseases. • Clinical features : epiphora, acute, unilateral, painful inflammation of lacrimal sac, pus from lacrimal punctum, fever, general malaise, pain radiates to forehead and teeth • Diagnosis : Anel test(+) :not dacryocystitis, probably skin abcess; (-) or regurgitation (+) : dacryocystitis. Swab and culture • Treatment : Systemic and topical antibiotic, irrigation of lacrimal sac, Dacryocystorhinotomy
59. KELAINAN REFRAKSI: HIPERMETROPIA
ANAMNESIS MATA MERAH VISUS NORMAL
MATA MERAH VISUS TURUN
• struktur yang bervaskuler sklera konjungtiva • tidak menghalangi media refraksi • Konjungtivitis murni • Trakoma • mata kering, xeroftalmia • Pterigium • Pinguekula • Episkleritis • skleritis
mengenai media refraksi (kornea, uvea, atau seluruh mata) • • • • • • •
Keratitis Keratokonjungtivitis Ulkus Kornea Uveitis glaukoma akut Endoftalmitis panoftalmitis
MATA TENANG VISUS TURUN MENDADAK • • • • • •
uveitis posterior perdarahan vitreous Ablasio retina oklusi arteri atau vena retinal neuritis optik neuropati optik akut karena obat (misalnya etambutol), migrain, tumor otak
MATA TENANG VISUS TURUN PERLAHAN • Katarak • Glaukoma • retinopati penyakit sistemik • retinitis pigmentosa • kelainan refraksi
HIPERMETROPIA • Gangguan kekuatan pembiasan mata dimana sinar sejajar jauh tidak cukup dibiaskan sehingga titik fokusnya terletak di belakang retina (di belakang makula lutea) • Etiologi : – sumbu mata pendek (hipermetropia aksial), – kelengkungan kornea atau lensa kurang (hipermetropia kurvatur), – indeks bias kurang pada sistem optik mata (hipermetropia refraktif)
• Gejala : penglihatan jauh dan dekat kabur, sakit kepala, silau, rasa juling atau diplopia Ilmu Penyakit Mata, Sidharta Ilyas ; dasar – teknik Pemeriksaan dalam Ilmu Penyakit Mata, sidarta Ilyas
HIPERMETROPIA •
•
•
•
Pengobatan : Pemberian lensa sferis positif akan meningkatkan kekuatan refraksi mata sehingga bayangan akan jatuh di retina koreksi dimana tanpa siklopegia didapatkan ukuran lensa positif maksimal yang memberikan tajam penglihatan normal (6/6), hal ini untuk memberikan istirahat pada mata. Jika diberikan dioptri yg lebih kecil, berkas cahaya berkonvergen namun tidak cukup kuat sehingga bayangan msh jatuh dibelakang retina, akibatnya lensa mata harus berakomodasi agar bayangan jatuh tepat di retina. Contoh bila pasien dengan +3.0 atau dengan +3.25 memberikan tajam penglihatan 6/6, maka diberikan kacamata +3.25 Ilmu Penyakit Mata, Sidharta Ilyas
BENTUK HIPERMETROPIA • Hipermetropia total = laten + manifest – Hipermetropia yang ukurannya didapatkan sesudah diberikan siklopegia
• Hipermetropia manifes = absolut + fakultatif – Yang dapat dikoreksi dengan kacamata positif maksimal dengan hasil visus 6/6 – Terdiri atas hipermetropia absolut + hipermetropia fakultatif – Hipermetropia ini didapatkan tanpa siklopegik
• Hipermetropia absolut : – “Sisa”/ residual dari kelainan hipermetropia yang tidak dapat diimbangi dengan akomodasi – Hipermetropia absolut dapat diukur, sama dengan lensa konveks terlemah yang memberikan visus 6/6
Ilmu Penyakit Mata, Sidharta Ilyas
BENTUK HIPERMETROPIA • Hipermetropia fakultatif : – Dimana kelainan hipermetropia dapat diimbangi sepenuhnya dengan akomodasi – Bisa juga dikoreksi oleh lensa – Dapat dihitung dengan mengurangi nilai hipermetrop manifes – hipermetrop absolut
• Hipermetropia laten: – – – –
Hipermetropia yang hanya dapat diukur bila diberikan siklopegia bisa sepenuhnya dikoreksi oleh tonus otot siliaris Umumnya lebih sering ditemukan pada anak-anak dibandingkan dewasa. Makin muda makin besar komponen hipermetropia laten, makin tua akan terjadi kelemahan akomodasi sehingga hipermetropia laten menjadi fakultatif dan kemudia menjadi absolut
Ilmu Penyakit Mata, Sidharta Ilyas & Manual of ocular diagnosis and therapy
• Contoh pasien hipermetropia, 25 tahun, tajam penglihatan OD 6/20 – Dikoreksi dengan sferis +2.00 tajam penglihatan OD 6/6 – Dikoreksi dengan sferis +2.50 tajam penglihatan OD 6/6 – Diberi siklopegik, dikoreksi dengan sferis +5.00 tajam penglihatan OD 6/6 ARTINYA pasien memiliki: – Hipermetropia absolut sferis +2.00 (masih berakomodasi) – Hipermetropia manifes Sferis +2.500 (tidak berakomodasi) – Hipermetropia fakultatif sferis +2.500 – (+2.00)= +0.50 – Hipermetropia laten sferis +5.00 – (+2.50) = +2.50
60. Trauma Mekanik Bola Mata • Cedera langsung berupa ruda paksa yang mengenai jaringan mata. • Beratnya kerusakan jaringan bergantung dari jenis trauma serta jaringan yang terkena • Gejala : penurunan tajam penglihatan; tanda-tanda trauma pada bola mata • Komplikasi :
Endoftalmitis Uveitis Perdarahan vitreous Hifema Retinal detachment Glaukoma Oftalmia simpatetik
Panduan Tatalaksana Klinik RSCM Kirana, 2012
• Pemeriksaan Rutin : Visus : dgn kartu Snellen/chart projector + pinhole TIO : dgn tonometer aplanasi/schiotz/palpasi Slit lamp : utk melihat segmen anterior USG : utk melihat segmen posterior (jika memungkinkan) Ro orbita : jika curiga fraktur dinding orbita/benda asing
• Tatalaksana : Bergantung pada berat trauma, mulai dari hanya pemberian antibiotik sistemik dan atau topikal, perban tekan, hingga operasi repair
Ocular Foreign body • An ocular foreign body : – common condition, in which a small particle (such as a piece of grit or small rust particle) becomes stuck on eye. • Corneal foreign body CA stuck on the eye ; • sub-tarsal foreign body the object is stuck under your lid scratches to the surface of your cornea.
– Symptoms • painful, red, watery and light sensitive and ↓ vision • Subconjunctival hemorrhage • Corneal laceration and abrasion heal within 48 hours after removal • if CA is metal, a small ring of rust may form around it a dark spot on the white of eye and can cause a scar that may affect vision
Management • First aid – Wash the eye with water or saline. Do not try to remove a foreign body yourself. Go straight to doctor
• Emergency departement 1. Local anaesthetic eye drops to numb the eye pain may return after the anaesthetic drops wear off, 20 to 60 minutes. 2. Remove the foreign body with a cotton bud or a small sterile needle 3. Painkiller PCT or ibuprofen 4. Antibiotic drops or oinment to prevent infection www.moorfields.nhs.uk
Benda Asing di Konjungtiva • •
•
Gejala : – nyeri, mata merah dan berair, sensasi benda asing, dan fotofobia. Faktor Risiko – Pekerja di bidang industri yang tidak memakai kacamata pelindung, seperti: pekerja gerinda, pekerja las, pemotong keramik, pekerja yang terkait dengan bahan-bahan kimia (asam-basa), dll. Pemeriksaan Fisik – Biasanya visus normal; – Ditemukan injeksi konjungtiva tarsal dan/atau bulbi – Pada konjungtiva tarsal superior
•
Penatalaksanaan (menurut buku panduan layanan primer IDI & emedicine) – Berikan tetes mata pantokain 2% sebanyak 1-2 tetes pada mata yang terkena benda asing. – Gunakan kaca pembesar (lup) dalam pengangkatan benda asing. – Periksa lokasi benda asing dengan meminta pasien melihat ke atas, ke bawah, kiri, dan kanan – Periksa inferior conjunctival cul-de-sac dengan meminta pasien melihat ke atas ketika pemeriksa membuka kelopak mata bawah – Untuk memeriksa superior conjunctival cul-desac, lakukan eversi kelopak mata atas dengan kapas lidi atau paper clip (seperti gambar) – Angkat benda asing dengan menggunakan lidi kapas yang lembab atau jarum suntik ukuran 23G. – Arah pengambilan benda asing dilakukan dari tengah ke tepi. – Oleskan lidi kapas yang dibubuhkan betadin pada tempat bekas benda asing. – Kemudian, berikan antibiotik topikal (salep atau tetes mata) seperti kloramfenikol tetes mata, 1 gtt setiap 2 jam selama 2 hari.
Corneal Foreign Body • If a corneal foreign body is discovered, it must be removed to prevent permanent scarring and vision loss. Saline irrigation is often successful. • If irrigation is unsuccessful, a topical anesthetic should be administered and a cotton swab gently swept over the cornea. • If the foreign body is superficial, irrigate the eye to moisten the cornea and attempt to remove the foreign body by using a gentle rolling motion with a wetted cotton-tipped applicator. – Take care not to apply pressure, which may push the foreign body deeper into the cornea, or scrape, which may create a large corneal abrasion.
• If swabbing is unsuccessful, foreign body removal using an eye spud or 25-gauge needle should be done by a trained, experienced physician. Emedicine & AAFP
61. Eyelid trauma • Eyelid is specialized tissue characterized by skin on anterior surface and mucous membrane – tarsal conjunctiva on its posterior. • Eyelid skin is thinnest in the body. • It has loose attachment and absence of fat in corium. • Lid contains muscle, glands, blood vessels and nerves. • The firmness to the lid is provided with tarsus which is dense fibrous tissue and not a cartilage
• Eyelid margin has slightly rounded anterior edge and sharp posterior edge. – – – –
Vichare N. Management of Eyelid Lacerations. DOS Times - Vol. 20, No. 8 February, 2015
Mucocutaneous junction Meibomian gland orifices Gray line Eyelash follicles
Repair of eyelid trauma • Preoperative evaluation • Repairing of eyelid injuries – Detailed history is obtained to determine requires knowledge and time, course and circumstances of injury. meticulous approach. – Management of ocular injury starts after • Gentle tissue handling and proper traumatized patient is stabilized and life threatening injuries are addressed alignment should be done. – Detailed ocular examination includes visual • Aim should be to achieve best acuity, ocular movements, intra ocular possible functional and cosmetic pressure, pupillary reactions and posterior segment examination. outcome – Eyelid trauma can be associated with • Timing of repair hyphema, angle recession or retinal detachment. – Every effort must be made to – Globe injuries should be attended before lid reconstruct the injured injuries. tissues as soon as possible. – Systemic antibiotics should be started. Intravenous antibiotics are preferable for – Primary repair can be done severely contaminated wounds. even after 24 -48 hrs after the – Wounds are irrigated thoroughly to remove patient is stabilized. all debris. – Tetanus toxoid must be given to nonimmunized patients.
62. TRAUMA KIMIA MATA •
•
• •
Merupakan trauma yang mengenai bola mata akibat terpaparnya bahan kimia baik yang bersifat asam atau basa yang dapat merusak struktur bola mata tersebut Keadaan kedaruratan oftalmologi karena dapat menyebabkan cedera pada mata, baik ringan, berat bahkan sampai kehilangan penglihatan Etiologi : 2 macam bahan yaitu yang bersifat asam (pH < 7) dan yang bersifat basa (pH > 7,6) Pemeriksaan Penunjang : Kertas Lakmus : cek pH berkala Slit lamp : cek bag. Anterior mata dan lokasi luka Tonometri Funduskopi direk dan indirek
•
Klasifikasi : Derajat 1: kornea jernih dan tidak ada iskemik limbus (prognosis sangat baik) Derajat 2: kornea berkabut dengan gambaran iris yang masih terlihat dan terdapat kurang dari 1/3 iskemik limbus (prognosis baik) Derajat 3: epitel kornea hilang total, stroma berkabut dengan gambaran iris tidak jelas dan sudah terdapat 1/2 iskemik limbus (prognosis kurang) Derajat 4: kornea opak dan sudah terdapat iskemik lebih dari 1/2 limbus (prognosis sangat buruk)
http://samoke2012.files.wordpress.com/2012/10/trauma-kimia-pada-mata.pdf
TRAUMA KIMIA MATA TRAUMA BASA LEBIH BERBAHAYA DIBANDINGKAN ASAM; gejala: epifora, blefarosasme, nyeri
Trauma Asam : • Bahan asam mengenai mata maka akan segera terjadi koagulasi protein epitel kornea yang mengakibatkan kekeruhan pada kornea, sehingga bila konsentrasi tidak tinggi maka tidak akan bersifat destruktif • Biasanya kerusakan hanya pada bagian superfisial saja • Bahan kimia bersifat asam : asam sulfat, air accu, asam sulfit, asam hidrklorida, zat pemutih, asam asetat, asam nitrat, asam kromat, asam hidroflorida
Trauma Basa : • Bahan kimia basa bersifat koagulasi sel dan terjadi proses safonifikasi, disertai dengan dehidrasi • Basa akan menembus kornea, kamera okuli anterior sampai retina dengan cepat, sehingga berakhir dengan kebutaan. • Pada trauma basa akan terjadi penghancuran jaringan kolagen kornea. • Bahan kimia bersifat basa: NaOH, CaOH, amoniak, Freon/bahan pendingin lemari es, sabun, shampo, kapur gamping, semen, tiner, lem, cairan pembersih dalam rumah tangga, soda kuat.
http://samoke2012.files.wordpress.com/2012/10/trauma-kimia-pada-mata.pdf
TRAUMA KIMIA MATA - TATALAKSANA Tatalaksana Emergensi : Irigasi : utk meminimalkan durasi kontak mata dengan bahan kimia dan menormalkan pH mata; dgn larutan normal saline (atau setara) Double eversi kelopak mata : utk memindahkan material Debridemen : pada epitel kornea yang nekrotik
Tatalaksana Medikamentosa : Steroid : mengurangi inflamasi dan infiltrasi neutrofil Siklopegik : mengistirahatkan iris, mencegah iritis (atropine atau scopolamin) → dilatasi pupil Antibiotik : mencegah infeksi oleh kuman oportunis
http://samoke2012.files.wordpress.com/2012/10/trauma-kimia-pada-mata.pdf; Ilmu Penyakit Mata, Sidarta Ilyas
TRAUMA KIMIA MATA TATALAKSANA •
Removing the offending agent –
Immediate copious irrigation • •
–
•
– –
Prophylactic topical antibiotics
Controlling IOP –
•
Inflammatory inhibits reepithelialization and increases the risk of corneal ulceration and perforation Topical steroids Ascorbate (500 mg PO qid)
Preventing infection –
•
artificial tears Ascorbate → collagen remodeling Placement of a therapeutic bandage contact lens until the epithelium has regenerated
Controlling inflammation –
•
Pain relief → Topical anesthetic
Promoting ocular surface(epithelial)healing – – –
•
With a sterile balanced buffered solution normal saline solution or ringer's lactate solution Until the ph (acidity) of the eye returns to normal
In initial therapy and during the later recovery phase, if IOP is high (>30 mm Hg)
Control pain – –
Cycloplegic agents → ciliary spasm Oral pain medication
Ocular Chemical Trauma Treatment • Early irrigation is critical in limiting the duration of chemical exposure. • The goal of irrigation is to remove the offending substance and restore the physiologic pH. • It may be necessary to irrigate as much as 20 liters. • To optimize patient comfort and ensure effective delivery of the irrigating solution, a topical anesthetic is generally administered
• early irrigation is paramount to limiting the duration of chemical exposure. • If clean water is available at the site of injury and a standard irrigating solution is not, then the eyes should immediately be washed out with water without using topical anesthetic, while waiting transport to referral facility http://eyewiki.aao.org/Chemical_(Alkali_and_Acid)_Injury_of_the_Conjunctiva_and_ Cornea#Irrigation
63. Defisiensi vitamin A • Vitamin A meliputi retinol, retinil ester, retinal dan asam retinoat. Provitamin A adalah semua karotenoid yang memiliki aktivitas biologi βkaroten • Sumber vitamin A: hati, minyak ikan, susu & produk derivat, kuning telur, margarin, sayuran hijau, buah & sayuran kuning • Fungsi: penglihatan, diferensiasi sel, keratinisasi, kornifikasi, metabolisme tulang, perkembangan plasenta, pertumbuhan, spermatogenesis, pembentukan mukus Kliegman RM. Nelson’s textbook of pediatrics, 19th ed. McGraw-Hill; 2011
• Konjungtiva normalnya memiliki sel goblet. Hilangnya/ berkurangnya sel goblet secara drastis bisa ditemukan pada xerosis konjungtiva. • Gejala defisiensi: – Okular (xeroftalmia): rabun senja, xerosis konjungtiva & kornea, keratomalasia, bercak Bitot, hiperkeratosis folikular, fotofobia – Retardasi mental, gangguan pertumbuhan, anemia, hiperkeratosis folikular di kulit
Xerophthalmia (Xo) Stadium : XN X1A X1B X2 X3A X3B XS XF
: night blindness (hemeralopia) : xerosis conjunctiva : xerosis conjunctiva (with bitot’s spot) : xerosis cornea : Ulcus cornea < 1/3 : Ulcus cornea > 1/3, keratomalacea : Corneal scar : Xeroftalmia fundus
Xeroftalmia XN. NIGHT BLINDNESS • Vitamin A deficiency can interfere with rhodopsin production, impair rod function, and result in night blindness. • Night blindness is generally the earliest manifestation of vitamin A deficiency. • “chicken eyes” (chickens lack rods and are thus night-blind) • Night blindness responds rapidly, usually within 24—48 hours, to vitamin A therapy
X1A, X1B. CONJUNCTIVAL XEROSIS AND BITOT’S SPOT • The epithelium of the conjunctiva in vitamin A deficiency is transformed from the normal columnar to the stratified squamous, with loss of goblet cells, formation of a granular cell layer, and keratinization of the surface. • Clinically, these changes are expressed as marked dryness or unwettability, the affected area appears roughened, with fine droplets or bubbles on the surface.
• Conjunctival xerosis first appears billateraly, in the temporal quadrant, as an isolated oval or triangular patch adjacent to the limbus in the interpalpebral fissure.
X1A, X1B. CONJUNCTIVAL XEROSIS AND BITOT’S SPOT • In some individuals, keratin and saprophytic bacilli accumulate on the xerotic surface, giving it a foamy or cheesy appearance, known as Bitot’s spots and they’re easily wiped off) • Generalized conjunctival xerosis, involving the inferior and/or superior quadrants, suggests advanced vitamin A deficiency.
• Conjunctival xerosis and Bitot’s spots begin to resolve within 2—5 days, most will disappear within 2 weeks.
X2 CORNEAL XEROSIS • Corneal changes begin early in vitamin A deficiency, long before they can be seen with the naked eye which characteristic are superficial punctate lesions of the inferior—nasal aspects of the cornea, which stain brightly with fluorescein • Early in the disease the lesions are visible only through a slitlamp biomicroscope • With more severe disease the punctate lesions become more numerous, spreading upwards over the central cornea, and the corneal stroma becomes oedematous
• Clinically, the cornea develops classical xerosis, with a hazy, lustreless, dry appearance, first observable near the inferior limbus • Corneal xerosis responds within 2—5 days to vitamin A therapy, with the cornea regaining its normal appearance in 1—2 weeks
X3A, X3B. Corneal ulceration/keratomalacia • Ulceration/keratomalacia indicates permanent destruction of a part or all of the corneal stroma, resulting in permanent structural alteration • Ulcers are classically round or oval “punchedout” defects • The ulceration may be shallow, but is commonly deep
• Superficial ulcers heal with little scarring, deeper ulcers, especially perforations, form dense peripheral adherent leukomas. • Localized keratomalacia is a rapidly progressive condition affecting the full thickness of the cornea
XS. SCARS • Healed sequelae of prior corneal disease related to vitamin A deficiency include opacities or scars of varying density (nebula, macula, leukoma), weakening and outpouching of the remaining corneal layers (staphyloma, and descemetocele), and phthisis bulbi.
XF. XEROPHTHALMIC FUNDUS • The small white retinal lesions described in some cases of vitamin A deficiency • They may be accompanied by constriction of the visual fields and will largely disappear within 2—4 months in response to vitamin A therapy • Gambaran funduskopi “ fenomena cendol”
Pemeriksaan Penunjang • A serum retinol study is a costly but direct measure using highperformance liquid chromatography. – A value of less than 0.7 mg/L in children younger than 12 years is considered low.
• A serum RBP study – easier to perform and less expensive than a serum retinol study, because RBP is a protein and can be detected by an immunologic assay. – RBP is also a more stable compound than retinol – However, RBP levels are less accurate, because they are affected by serum protein concentrations and because types of RBP cannot be differentiated.
• The serum retinol level may be low during infection because of a transient decrease in the RBP. • A zinc level is useful because zinc deficiency interferes with RBP production. • An iron panel is useful because iron deficiency can affect the metabolism of vitamin A. • Albumin levels are indirect measures of vitamin A levels. • Obtain a complete blood count (CBC) with differential if anemia, infection, or sepsis is a possibility.
Therapy & Prevention • Therapy : - Day 1 : 100.000 IU im or 200.000 IU oral - Day 2 : 100.000 IU im or 200.000 IU oral - Day 14 / worsened / before discharge : 200.000 IU im / oral
• Prevention (every 6 months): – < 6 months : 50.000 IU oral – 6 – 12 months : 100.000 IU oral – > 1 year : 200.000 IU oral
64. Komplikasi HIV pada Mata
Uveitis • Dibedakan dalam bentuk granulomatosa akut-kronis dan non-granulomatosa akut- kronis • Bersifat idiopatik, ataupun terkait penyakit autoimun, atau terkait penyakit sistemik • Biasanya berjalan 6-8 minggu • Dapat kambuh dan atau menjadi menahun • Gejala akut: – – – – –
mata sakit Merah Fotofobia penglihatan turun ringan mata berair
• Tanda : – pupil kecil akibat rangsangan proses radang pada otot sfingter pupil – edema iris – Terdapat flare atau efek tindal di dalam bilik mata depan – Bila sangat akut dapat terlihat hifema atau hipopion – Presipitat halus pada kornea
Radang iris dan badan siliar menyebabkan rusaknya Blood Aqueous Barrier sehingga terjadi peningkatan protein, fibrin, dan sel-sel radang dalam humor akuos. Pada pemeriksaan biomikroskop (slit lamp) hal ini tampak sebagai flare, yaitu partikel-partikel kecil dengan gerak Brown (efek tyndall). Ilmu Penyakit Mata Ed 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2006
HIV related anterior uveitis • Direct manifestation of the human immunodeficiency virus infection • autoimmnune in origin • drug induced ie: rifabutin, secondary to direct toxic effect upon the non-pigmented epithelium of the ciliary body • Any of the different infections associated with AIDS, ie: Herpes Zoster Virus, Herpes Simplex Virus,Cytomegalovirus, Toxoplasma gondii, Syphilis
Retinal microvasculitis related to HIV infection • Retinal microvasculopathy occurs in more than half of the patients with HIV • It is seen as transient cotton wool spots (CWS), intraretinal haemorrhages and microaneurysm, which occurs in 50-70% of patients. It is usually asymptomaticusually asymptomatic. • It has an unclear pathogenesis, but it is thought to be HIV infection of retinal vascular cells. • In an otherwise healthy individual the presence of CWS, should be differentiated from other forms of retinopathy, such as diabeticor hypertensive retinopathy. Serological test for HIV will confirm the diagnosis • Treatment is based in delaying the progression of the disease associated with HIV
65. UVEITIS Radang uvea: • mengenai bagian depan atau selaput pelangi (iris) iritis • mengenai bagian tengah (badan silier) siklitis • mengenai selaput hitam bagian belakang mata koroiditis • Biasanya iritis disertai dengan siklitis = uveitis anterior/iridosiklit is
Anterior Uveitis – Classification • Uveitis by location: – Anterior Uveitis • Iritis • Iridocyclitis • Cyclitis
– Intermediate Uveitis • Pars planitis
– Posterior Uveitis • • • •
Choroiditis Chorioretinities Retinochoroiditis Retinitis
– Panuveitis
• Uveitis by time course: – Acute • < 6 weeks duration • May be recurrent
– Chronic • > 6 weeks duration • White eye • Mild signs of inflammation • Mild or no symptoms
Anterior Uveitis – Classification • Chronic Anterior Uveitis associated with:
– Juvenile chronic arthritis – Posterior Uveitis due to: • • • • • • •
Sarcoidosis Toxoplasmosis Syphilis Tuberculosis Herpes Zoster Cytomegalovirus AIDS
– Fuch’s Heterochromic Iridocyclitis
• Asymptomatic • 2% of uveitis patients • Progressive loss of iris stromal pigment -> heterochromia • Mild inflammation resistant to treatment
• Source:
– Endogenous – Exogenous • trauma • surgery
• Inflammatory process: – Granulomatous – Non-granulomatous
• Unable to find cause?
– “idiopathic anterior uveitis” – 30% of all cases
Anterior Uveitis – Pathophysiology • Non-granulomatous – No pathogen – Responsive to topical treatment
• Granulomatous – Pathogen induced – Less responsive to topical treatment
Anterior Uveitis – Pathophysiology • Inflammatory response causes breakdown of the blood-aqueous barrier • Plasma protein -> Flare • Cells are WBC • Fibrin derives from clotting factors • Deposition of cells and proteins – KP – Hypopyon • Visual Acuity reduced due to: – – – –
Corneal oedema Aqueous flare Aqueous cells Cystoid macular oedema (CME)
Anterior Uveitis – Pathophysiology • Deposition of calcium salts in cornea – Band keratopathy – Only after recurrent attacks
• Inflammation causes iris tissue to become sticky – PAS -> reduced aqueous outflow -> IOP+ – Posterior synechiae -> pupil block -> IOP+++
• Deposition of Macrophages – Mutton Fat KP – Iris nodules
Anterior Uveitis – Pathophysiology • Circumlimbal injection – Due to common blood supply with uveal vessels
• Lack of normal oxygen supply to iris – – – – –
Vessel growth factors released Leaky new vessel growth on iris Rubeosis Iridis Extension of vessels into AC angle ACG
UVEITIS • Dibedakan dalam bentuk granulomatosa akut-kronis dan non-granulomatosa akut- kronis • Bersifat idiopatik, ataupun terkait penyakit autoimun (RA, SLE) , atau terkait penyakit sistemik • Biasanya berjalan 6-8 minggu • Dapat kambuh dan atau menjadi menahun • Gejala akut: – – – – –
mata sakit Merah Fotofobia penglihatan turun ringan mata berair
• Tanda : – pupil kecil akibat rangsangan proses radang pada otot sfingter pupil – edema iris – Terdapat flare atau efek tindal di dalam bilik mata depan – Bila sangat akut dapat terlihat hifema atau hipopion – Presipitat halus pada kornea
Radang iris dan badan siliar menyebabkan rusaknya Blood Aqueous Barrier sehingga terjadi peningkatan protein, fibrin, dan sel-sel radang dalam humor akuos. Pada pemeriksaan biomikroskop (slit lamp) hal ini tampak sebagai flare, yaitu partikel-partikel kecil dengan gerak Brown (efek tyndall). Ilmu Penyakit Mata Ed 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2006
Anterior Uveitis – Signs - Slit lamp biomicroscopy – – – – – –
Circumlimbal injection AC flare and cells Keratic precipitates (KP) Pupil miosis Hypopyon Band Keratopathy
– Fibrin in the AC – Cells in the anterior vitreous – Peripheral Anterior Synechiae (PAS) – Posterior synechiae – Rubeosis iridis – Mutton fat KP (granulomatous disease) – Iris nodules (granulomatous disease)
Anterior Uveitis – Management • Goals of management – Preserve visual acuity – Relieve ocular pain – Eliminate ocular inflammation – Identify the source of inflammation – Prevent formation of synechiae – Control the IOP
Anterior Uveitis – Management • Treatment regimen – Topical Corticosteroid therapy • • • • •
Reduce inflammation Reduce exudate leakage Increase cell wall stability Inhibit lysozyme release by granulocytes Inhibit circulation of lymphocytes
– Cycloplegia • Relieve pain • Prevent posterior synechiae • Stabilize the blood-aqueous barrier
– Systemic steroid therapy – Systemic NSAID therapy (aspirin, ibuprofen)
Anterior Uveitis – Clinical Pearls • Four major complications exist – – – –
Cataract Secondary glaucoma Band keratopathy Cystoid macular oedema
• Easy to spot acute by signs & symptoms • Check patients with associated systemic conditions for chronic condition, which may be asymptomatic • Acute condition is most commonly caused by blunt trauma. Recurrence in such cases is rare • Any three recurrent acute episodes, with no other explanations, indicates a systemic cause
66. Trauma Mekanik Bola Mata • Cedera langsung berupa ruda paksa yang mengenai jaringan mata. • Beratnya kerusakan jaringan bergantung dari jenis trauma serta jaringan yang terkena • Gejala : penurunan tajam penglihatan; tanda-tanda trauma pada bola mata • Komplikasi :
Endoftalmitis Uveitis Perdarahan vitreous Hifema Retinal detachment Glaukoma Oftalmia simpatetik
Panduan Tatalaksana Klinik RSCM Kirana, 2012
• Pemeriksaan Rutin : Visus : dgn kartu Snellen/chart projector + pinhole TIO : dgn tonometer aplanasi/schiotz/palpasi Slit lamp : utk melihat segmen anterior USG : utk melihat segmen posterior (jika memungkinkan) Ro orbita : jika curiga fraktur dinding orbita/benda asing
• Tatalaksana : Bergantung pada berat trauma, mulai dari hanya pemberian antibiotik sistemik dan atau topikal, perban tekan, hingga operasi repair
TRAUMA MATA Kondisi Akibat trauma mata Iridodialisis
known as a coredialysis, is a localized separation or tearing away of the iris from its attachment to the ciliary body; usually caused by blunt trauma to the eye
may be asymptomatic and require no treatment, but those with larger dialyses may have corectopia (displacement of the pupil from its normal, central position) or polycoria (a pathological condition of the eye characterized by more than one pupillary opening in the iris) and experience monocular diplopia, glare, or photophobia
Hifema
Blood in the front (anterior) chamber of the eyea reddish tinge, or a small pool of blood at the bottom of the iris or in the cornea. May partially or completely block vision. The most common causes of hyphema are intraocular surgery, blunt trauma, and lacerating trauma The main goals of treatment are to decrease the risk of rebleeding within the eye, corneal blood staining, and atrophy of the optic nerve.
Treatment :elevating the head at night, wearing an patch and shield, and controlling any increase in intraocular pressure. Surgery if non- resolving hyphema or high IOP Complication: rebleeding, peripheral anterior synechiea, atrophy optic nerve, glaucoma (months or years after due to angle closure)
TRAUMA MATA Kondisi Akibat trauma mata Hematoma Palpebral
Pembengkakan atau penimbunan darah di bawah kulit kelopak akibat pecahnya pembuluh darah palpebra.
Sering terlihat pada trauma tumpul kelopak. Bila perdarahan terletak lebih dalam dan mengenai kedua kelopak dan berbentuk seperti kacamata hitam yang sedang dipakai
Perdarahan Subkonjungtiva
Pecahnya pembuluh darah yang terdapat dibawah konjungtiva, seperti arteri konjungtiva dan arteri episklera. Bisa akibat dari batu rejan, trauma tumpul atau pada keadaan pembuluh darah yang mudah pecah.
Pemeriksaan funduskopi perlu dilakukan pada setiap penderita dengan perdarahan subkonjungtiva akibat trauma tumpul. Akan hilang atau diabsorbsi dengan sendirinya dalam 1 – 2 minggu tanpa diobati.
Penglihatan kabur dan terlihatnya pelangi sekitar bola lampu atau sumber cahaya yang dilihat. Kornea akan terlihat keruh dengan uji plasedo yang positif
Edema Kornea
Terjadi akibat disfungsi endotel kornea local atau difus. Biasanya terkait dengan pelipatan pada membran Descemet dan penebalan stroma. Rupturnya membran Descemet biasanya terjadi vertikal dan paling sering terjadi akibat trauma kelahiran.
Ruptur Koroid
Trauma keras yang mengakibatkan ruptur koroid perdarahan subretina, biasanya terletak di posterior bola mata
Perdarahan subretina, visus turun dengan sangat, bila darah telah terabsorpsi maka daerah ruptur akan tampak berwarna putih (daerah sklera)
Subluksasi
Lensa berpindah tempat
Penglihatan berkurang, pada iris tampak iridodenesis (iris tampak bergetar atau bergoyang saat mata bergerak)
HIFEMA • Definisi: – Perdarahan pada bilik mata depan – Tampak seperti warna merah atau genangan darah pada dasar iris atau pada kornea
• Halangan pandang parsial / komplet • Etiologi: pembedahan intraokular, trauma tumpul, trauma laserasi
• Tujuan terapi: – Mencegah rebleeding (biasanya dalam 5 hari pertama) – Mencegah noda darah pada kornea – Mencegah atrofi saraf optik
• Komplikasi: – – – –
Perdarahan ulang Sinekiae anterior perifer Atrofi saraf optik Glaukoma
• Tatalaksana: – – – – –
Kenali kasus hifema dengan risiko tinggi bed rest & Elevasi kepala malam hari Eye patch & eye shield Mengendalikan peningkatan TIO Pembedahan bila tak ada perbaikan / terdapat peningkatan TIO – Hindari Aspirin, antiplatelet, NSAID, warfarin – Steroid topikal (dexamethasone 0.1% atau prednisolone
acetate 1% 4x/hari) – Pertimbangkan siklopegia (atropine 1% 2x/hari, tetapi masih kontroversial).
67. Blepharitis • Terdiri dari blefaritis anterior dan posterior • Blefaritis anterior: radang bilateral kronik di tepi palpebra – Blefaritis stafilokokus: sisik kering, palpebra merah, terdapat ulkus-ulkus kecil sepanjang tepi palpebra, bulu mata cenderung rontok antibiotik stafilokokus – Blefaritis seboroik: sisik berminyak, tidak terjadi ulserasi, tepi palpebra tidak begitu merah – Blefaritis tipe campuran
•
Tx blefaritis seboroik: perbaikan hygiene mata dengan cara: – kompres hangat untuk evakuasi dan melancarkan sekresi kelenjar – tepi palpebra dicuci + digosok perlahan dengan shampoo bayi untuk membersihkan skuama – pemberian salep antibiotik eritromisin (bisa digunakan kombinasi antibioti-KS)
•
Blefaritis posterior: peradangan palpebra akibat difungsi kelenjar meibom bersifat kronik dan bilateral Kolonisasi stafilokokus Terdapat peradangan muara meibom, sumbatan muara oleh sekret kental
• •
Blepharitis
Definisi
Gejala
Tatalaksana
Blefaritis superfisial
Infeksi kelopak superfisial yang diakibatkan Staphylococcus
Terdapat krusta dan bila menahun disertai dengan meibomianitis
Salep antibiotik (sulfasetamid dan sulfisoksazol), pengeluaran pus
Hordeolum
Peradangan supuratif kelenjar kelopak mata
Kelopak bengkak, sakit, rasa mengganjal, merah, nyeri bila ditekan
Kompres hangat, drainase nanah, antibiotik topikal
Blefaritis skuamosa/seboroik
Blefaritis diseratai skuama atau krusta pada pangkal bulu mata yang bila dikupas tidak terjadi luka pada kulit, berjalan bersamaan dengan dermatitis sebore
Etiologi: kelainan metabolik atau jamur. Gejala: panas, gatal, sisik halus dan penebalan margo palpebra disertai madarosis
Membersihkan tepi kelopak dengan sampo bayi, salep mata, dan topikal steroid
Meibomianitis (blefaritis posterior)
Infeksi pada kelenjar meibom
Tanda peradangan lokal pada kelenjar tersebut
Kompres hangat, penekanan dan pengeluaran pus, antibiotik topikal
Blefaritis Angularis
Infeksi Staphyllococcus pada tepi kelopak di sudut kelopak atau kantus
Gangguan pada fungsi pungtum lakrimal, rekuren, dapat menyumbat duktus lakrimal sehingga mengganggu fungsi lakrimalis
Dengan sulfa, tetrasiklin, sengsulfat
Ilmu Penyakit Mata, Sidharta Ilyas
68. OKLUSI ARTERI RETINA • Kelainan retina akibat sumbatan akut arteri retina sentral yang ditandai dengan hilangnya penglihatan mendadak. • Predisposisi – Emboli paling sering (hipertensi, aterosclerosis, penyakit katup jantung, trombus pasca MCI, tindakan angiografi, – Penyakit spasme pembuluh darah karena endotoksin (keracunan alkohol, tembakau, timah hitam – Trauma(frakturorbita) – Koagulopati (kehamilan, oral kontrasepsi) – Neuritis optik, arteritis, SLE Kuliah SUB BAG. VITREORETINA ILMU P. MATA FK.USU/RSUP H.ADAM MALIK MEDAN
Gejala Klinis : • • • •
Visus hilang mendadak tanda nyeri Amaurosis Fugax (transient visual loss) Lebih sering laki-laki diatas 60thn Fase awal setelah obstruksi gambaran fundus normal. • Setelah 30 menit retina polusposterior pucat kecuali di daerah foveola dimana RPE dan koroid dapat terlihat Cherry Red Spot • Setelah 4-6 minggu : fundus normal kembali kecuali arteri halus, dan berakhir papil atropi Kuliah SUB BAG. VITREORETINA ILMU P. MATA FK.USU/RSUP H.ADAM MALIK MEDAN
Cherry red Spot
Kuliah SUB BAG. VITREORETINA ILMU P. MATA FK.USU/RSUP H.ADAM MALIK MEDAN
Penatalaksanaan : • Tx berkaitan dengan penyakit sistemik • Untuk memperbaiki visus harus waspada sebab 90 menit setelah sumbatan kerusakan retina ireversible. • Prinsip “gradient perfusion pressure” (menurunkan TIO secara mendadak sehingga terjadi referfusi dengan menggeser sumbatan)
• Gradient perfusion pressure : – Parasentesis sumbatan di bawah 1 jam 0,1 – 0,4cc – Masase bola mata (dilatasi arteri retina) – ß blocker – acetazolamide – Streptokinase (fibrinolisis) – Mixtur O2 95% dengan CO2 5% (vasodilatasi)
Kuliah SUB BAG. VITREORETINA ILMU P. MATA FK.USU/RSUP H.ADAM MALIK MEDAN
Defini dan gejala Oklusi arteri sentral retina
Penyumbataan arteri sentralis retina dapat disebabkan oleh radang arteri, thrombus dan emboli pada arteri, spsame pembuluh darah, akibat terlambatnya pengaliran darah, giant cell arthritis, penyakit kolagen, kelainan hiperkoagulasi, sifilis dan trauma. Secara oftalmoskopis, retina superficial mengalami pengeruhan kecuali di foveola yang memperlihatkan bercak merah cherry(cherry red spot). Penglihatan kabur yang hilang timbul tanpa disertai rasa sakit dan kemudian gelap menetap. Penurunan visus mendadak biasanya disebabkan oleh emboli
Oklusi vena sentral retina
Kelainan retina akibat sumbatan akut vena retina sentral yang ditandai dengan penglihatan hilang mendadak. Vena dilatasi dan berkelok, Perdarahan dot dan flame shaped , Perdarahan masif pada ke 4 kuadran , Cotton wool spot, dapat disertai dengan atau tanpa edema papil
Ablatio retina
suatu keadaan lepasnya retina sensoris dari epitel pigmen retina (RIDE). Gejala:floaters, photopsia/light flashes, penurunan tajam penglihatan, ada semacam tirai tipis berbentuk parabola yang naik perlahan-lahan dari mulai bagian bawah hingga menutup
Perdarahan vitreous
Perdarahan pada selaput vitreous sampai ke dalam vitreous. Gejala: penglihatan buram tiba-tiba, peningkatan floaters,dan kilatan cahaya
Amaurosis Fugax
Kehilangan penglihatan tiba-tiba secara transient/sementara tanpa adanya nyeri, biasanya monokular, dan terkait penyakit kardiovaskular
69. Dry Eye Syndrome (Keratokonjungtivitis Sicca) • International Dry Eye Workshop (DEWS) 2007 definition: – Mata kering merupakan penyakit multifaktorial pada produksi air mata dan permukaan mata yang menyebakan rasa tidak nyaman, gangguan penglihatan, dan instabilitas lapisan air mata yang beresiko menyebabkan kerusakan permukaan okular. Kondisi ini disertai pula dengan peningkatan osmolaritas lapisan air mata dan peradangan pada permukaan mata.
• Dry eye is a disorder of the tear film due to tear deficiency or excessive tear evaporation which causes damage to the interpalpebral ocular surface and is associated with symptoms of ocular discomfort • Tear film total thickness 7-10 µm, consist of: – Mucus layer (0.02- 0.04 µm) – Aqueous layer (6.5 µm) – Lipid layer (0.1 µm)
ELEMENTS OF OCULAR DEFENCE Stable precorneal tear film
Compositional factors
Hydrodynamic factor
• Lipid
• Meibomian gland
• Aqueous
• Lacrimal gland
• Mucin
• Ocular surface epithelium
• Lid blinking
• Tear spread • Tear clearance
• Lid closure
• Prevents evaporation
VICIOUS CYCLE OF DRY EYE Loss of goblet cells
KCS
VICIOUS CYCLE
Tear film destabilizes
Absence of mucin
CLASSIFICATION •
Tear-deficient dry eye: – There is a disorder of lacrimal function or a failure of transfer of lacrimal fluid into the conjunctival sac
•
Tear-sufficient dry eye: – Lacrimal function is normal, the tear abnormality is due to increased tear evaporation
TEAR - DEFICIENT Non- Sjogren tear deficient
Sjogren syndrome
Primary
Secondary
Rh arthritis SLE Wegener’s Granulomatosis Systemic sclerosis
Lacrimal Disease Primary Cong alacrimia Primary lacrimal disease
Lacrimal obstruction
Secondary Sarcoid HIV Vit A def
Reflex
Trachoma Pemphigoid Burns
Contact lens VII n Palsy Neuropkeratitis
EVAPORATIVE Oil deficient
Primary Absent glands Distichiasis
Lid related
Secondary Blepharitis Meibomian gland disease
Blink, Aperture abnormal Lid surface incongruity
Ocular surface disorder
Contact lens
Xerophthalmia
CLINICAL MANIFESTATION • • • •
Burning or itching Fluctuating vision Foreign body sensation Grittiness or irritation
• • • • • •
Sore or tired eyes History of Styes Ocular discharge Light sensitivity Contact lens discomfort Watering or excessive tearing
Dry Eye Severity Level Variable
1
Discomfort (severity and frequency)
Mild, episodic; occurs under environmental stress
Visual symptoms
None or episodic mild fatigue
2 Moderate, episodic or chronic; occurs with or without stress Annoying or activity-limiting, episodic
3
4 (must have signs and symptoms)
Severe, frequent or Severe or disabling, constant; occurs constant without stress Annoying, chronic or constant, activity-limiting
Constant and possibly disabling
Conjunctival injection None to mild
None to mild
+/–
+/++
Conjunctival staining
None to mild
Variable
Moderate to marked
Marked
Corneal staining (severity and location)
None to mild
Variable
Marked central
Severe punctate erosions
Filamentary keratitis, mucus clumping, increased tear debris
Filamentary keratitis, mucus clumping, increased tear debris, ulceration
Corneal and tear signs
None to mild
Mild debris, decreased meniscus
Lid and meibomian glands
MGD variably present
MGD variably present
MGD frequent
Trichiasis, keratinization, symblepharon
Tear breakup time
Variable
≤ 10 s
≤5s
Immediate
Schirmer score
Variable
≤ 10 mm/5 min
≤ 5 mm/5 min
≤ 2 mm/5 min
MGD=meibomian gland dysfunction.
DIAGNOSIS • Slit lamp examination • Demonstration of tear instability (Tear film break up time, TBUT) with Tearscope/ Xeroscope • Demonstration of ocular surface damage – – – –
Schirmer’s test Fluorescein Staining Rose bengal stain Lissamine Green Staining
• Demonstration of tear hyperosmolarity
SCHIRMER’S TEST
• Measurement of the aqueous layer quantity only • 5x30 strips of Whatman filter paper • The amount of moistening is of the exposed paper is recorded at the end of 5minutes
SCHIRMER’S TEST Measures total reflex and basic tear secretion Results: Normals will wet approximately 10 to 30mm at the end of 5minutes. If wetting > 30 mm, reflex tearing is intact but not controlled or tear drainage is insufficient A value of <5mm indicates hyposecretion
Treatment •
Level 1 treatment consists of the following: – –
–
•
–
Education and environmental or dietary modifications Elimination of offending systemic medications Preserved artificial tear substitutes, gels, and ointments Eyelid therapy
If level 1 treatment is inadequate, level 2 measures are added, including the following: – – – – – –
Nonpreserved artificial tear substitutes Anti-inflammatory agents (topical cyclosporine, topical steroids) Tetracyclines (for meibomitis or rosacea) Punctal plugs (after inflammation has been controlled) Secretagogues Moisture chamber spectacles
• If level 2 treatment is inadequate, level 3 measures are added, including the following: – Autologous serum or umbilical cord serum – Contact lenses – Permanent punctal occlusion
• If level 3 treatment is inadequate, level 4 treatment, consisting of the administration of systemic anti-inflammatory agents, is added.
70. Keratokonjungtivitis toksik • Definition : – Corneal toxicity is caused by chemical trauma and by iatrogenic and factitious disease, which are often overlooked
• Iatrogenic toxicity occurs in patients with acute or chronic ocular surface disorders as a result of both the short-term and, more often, the longtermuse of topical medications • The commonest conjunctival reactions were toxic papillary, toxic follicular, and delayed hypersensitivity
• The commonest associated drugs were : – Idoxuridine (IDU), arabinoside A, aminoglycosides, pilocarpine, chloramphenicol, and the preservatives benzalkonium chloride, phenylmercuric nitrate (which is no longer used in the UK), thiomersal, and EDTA Dart J. Corneal toxicity : The epithelium and stroma in iatrogenic and factitious disease. Eye (2003) 17;886-92
• The clinical signs – Both iatrogenic and factitious disease are usually nonspecific and identical to those resulting from other causes of corneal epithelial disease such as: • • • • •
punctate keratopathy, Coarse focal keratopathy, pseudodendrites, Filamentary keratopathy, and persistent epithelial defect
N EU R OLOGI
71. Tension Headache Nyeri Kepala Tension
•Nyeri kepala ini sering ditemui dalam praktek sehari – hari •Prevalensi antara 30 – 78% • dapat dibagi lagi menjadi 4 kelas yaitu : 1. Infrequent episodic tension type headache 2. Frequent episodic tension type headache 3. Chronic tension type headache 4. Probable tension type headache
Olesen J et al. The International Classification of Headache Disorders 3rd edition. International Headache Society . 2013
Kriteria Diagnosis infrequent tension type headache Setidaknya 10 kali serangan nyeri kepala yang muncul <1 hari per bulan dan memenuhi kriteria A - E A.
Berlangsung selama 30 menit hingga 7 hari B. Setidaknya terdapat dua dari empat karakteristik Lokasi bilateral Terasa tertekan atau terikat Intensitas ringan – sedang Tidak dipengaruhi oleh aktivitas fisik rutin seperti berjalan atau menaiki tangga
C. Memenuhi kedua kriteria berikut: a. Tidak terdapat mual atau muntah b. Tidak terdapat fotofobia atau fonofobia
Olesen J et al. The International Classification of Headache Disorders 3rd edition. International Headache Society . 2013
Kriteria Diagnosis frequent tension type headache Setidaknya 10 kali serangan nyeri kepala yang muncul dalam 1 14 hari per bulan selama > 3bulan dan memenuhi kriteria A - E A.
Berlangsung selama 30 menit hingga 7 hari B. Setidaknya terdapat dua dari empat karakteristik Lokasi bilateral Terasa tertekan atau terikat Intensitas ringan – sedang Tidak dipengaruhi oleh aktivitas fisik rutin seperti berjalan atau menaiki tangga
C. Memenuhi kedua kriteria berikut: a. Tidak terdapat mual atau muntah b. Tidak terdapat fotofobia atau fonofobia
Olesen J et al. The International Classification of Headache Disorders 3rd edition. International Headache Society . 2013
Tatalaksana • TTH umumnya mempunyai respon yang baik dengan pemberian analgesik seperti ibuprofen, parasetamol / asetaminofen, dan aspirin. • Kombinasi Analgesik/sedative digunakan secara luas (contoh , kombinasi analgesik/antihistamine seperti Syndol, Mersyndol and Percogesic). • Pengobatan lain pada TTH termasuk amitriptyline / mirtazapine / dan sodium valproate (sebagai profilaksi). The International Classification of Headache Disorders: 2nd edition. Cephalalgia 2004, 24 Suppl 1:9-160.
72. Brain Death Neurological Examination • Mati otak/Mati batang otak (MBO) : – Hilangnya fungsi otak/batang otak secara Irreversibel
• Kondisi klinis yang sebelumbya harus ada: Diketahui adanya penyebab yang Irreversibel Eksklusi kondisi Reversible yang potensial • Intoksikasi atau keracunan obat • Gangguan keseimbangan asam basa, elektrolit • Gangguan endokrin
Suhu tubuh inti> 32° C
• 3 Kondisi harus ada: – Koma – Tidak adanya refleks batang otak – Apnea
Absence of Brain Stem Reflexes • Refelsk pupil • Gerakan bola mata • Respon sensorik dan motorik fasial • Pharyngeal (Gag) Reflex • Tracheal (Cough) Reflex
Apnea Testing • Kondisi yang harus ada sebelumnya: – Suhu tubuh inti > 32° C – Tekanan darah sistolik ≥ 90 mm Hg – Normal Electrolytes – Normal PCO2
Apnea Testing 1. Pre-Oxygenation • 100% Oxygen via Tracheal Cannula • PO2 = 200 mm Hg
2. Monitor PCO2 and PO2 dengan pulse oksimetri 3. Ventilator dilepas 4. Perhatikan gerakan napas sampai PCO2 = 60 mm Hg 5. Hentikan pemeriksaan bila tekanan darah sistolik < 90, saturasi PO2 menurun atau terlihat adanya disaritmia
Joel S. Cohen, M.D. Associate Professor of Clinical Neurology Albert Einstein College of Medicine. https://hods.org/English/ppt/new/DrCohen.ppt
Brainstem Reflexes Reflex
Injury
Facial palsy unilateral
Kerusakan N.VII- Basilar skull #
Corneal reflex ( V1+V2)
Rostral Pontine function
Dolls eye maneuver
Vestibuloocular function
Ice water caloric test ( never in awake child)
COWS normal responseCold Opposite, Warm SameFAST direction of nystagmus Coma – same side deviation Stuporous/obtunded – nystagmus to contralateral rapid component
Gag and cough reflex
N. IX,X, Pusat menelan batang otak
Periodic( Cheyne-stokes)
Caused by hemispheric/diencephalic injury to as caudal as upper pons
Apneustic ( prolonged ispiratory plateau)
Mid- caudal pons injury
Ataxic breathing( irregular stuttering resp)
Medullary respiratory generator center.
Diagnosis MATI OTAK/MATI BATANG OTAK harus ditunda bila Ada satu atau lebih refleks batang otak (walaupun hanya satu sisi)
Brainstem Reflexes Pupillary Reflex Pupils dilated with no constriction to bright light
Eye Movements
Occulo-Cephalic Response “Doll’s Eyes Maneuver”
Facial Sensation and Motor Response: • Corneal Reflex • Jaw Reflex • Grimace to Supraorbital or • Temporo-Mandibular Pressure
Batang otakkerusakan dimulai dari midbrain, pons, terakhir medulla oblongata MidbrainCranial Nerve III pupillary function eye movement
Pons Cranial Nerves IV, V, VI conjugate eye movement
corneal reflex
MedullaCranial Nerves IX, X Pharyngeal (Gag) Reflex Tracheal (Cough) Reflex Respiration
73. Spondilitis TB
74. Stroke Hemiparesis Alternans • Lesi vaskular regional di otak akan menyebabkan hemiparesis yang kontralateral terhadap sisi lesi. • Jika lesi vaskular berada di daerah batang otak sesisi, maka akan menyebabkan hemiparesis alternans yang mana berarti pada tingkat lesi kelainan bersifat ipsilateral sedangkan pada bagian distal dari lesi kelainan bersifat kontralateral. • Tergantung pada lokasi lesi paralitiknya, dapatlah dijumpai sindrom hemiplegiaa alternan di mesensefalon, pons, dan medulla oblongata.
Hemiplegia Alternans • Hemiplegia alternans superior – (Weber) – n.III • Hemiplegia alternans media – (Millard Gubler) – n.VII • Hemiplegia alternans inferior – (Jackson II) – n.XII
Sindrom Hemiplegia/ hemiparesis Alternans di Mesensefalon •
•
•
•
Lesi di batang otak menduduki pedunkulus serebri di tingkat mesensefalon. Nervus okulomotorius (N.III) yang hendak meninggalkan mesensefalon melalui permukaan ventral melintasi daerah yang terkena lesi sehinggaikut terganggu fungsinya. Dikenal sebagai hemiplegia alternans n. okulomotorius atau sindrom dari weber.
Adapun manifestasi kelumpuhan n.III itu ialah (a) paralisis m.rectusinternus (medialis), m.rectus superior, m.rectus inferior, m.obliqusinferior, dan m.levator palpebrae superior sehingga terdapat strabismus divergen, diplopia jika melihat ke seluruh jurusan dan ptosis. (b) paralisism.sfingter pupilae, sehingga terdapat pupil yang melebar (midriasis).
Sindrom Hemiplegia/ hemiparesis Alternans di Pons
• Hemiplegiaa alternans akibat lesi di pons adalah kelumpuhan UMN yang melibatkan belahan tubuh sisi kontralateral, yang berada di bawah tingkat lesi yang berkombinasi dengan kelumpuhan LMN ipsilateral pada otot-otot yang disarafi oleh nervus abdusens (n.VI) atau nervus fasialis (n.VII).
Sindrom Hemiplegia/ hemiparesis Alternans di Medulla Oblongata
• Kelumpuhan UMN yang terjadi di bagian tubuh kontralateral yang berada di bawah leher dan diiringi oleh kelumpuhan LMN pada belahan lidah sisi ipsilateral. • Itulah sindrom hemiplegia alternans nervus hipoglossus atau sindrom medular medial.
Kekuatan Motorik • Derajat kekuatan motorik : 5 : Kekuatan penuh untuk dapat melakukan aktifitas 4 : Ada gerakan tapi tidak penuh 3 : Ada kekuatan bergerak untuk melawan gravitas bumi 2 : Ada kemampuan bergerak tapi tidak dapat melawan gravitasi bumi. 1 : Hanya ada kontraksi 0 : tidak ada kontraksi sama sekali
75. EPIDURAL HEMATOM Pengumpulan darah diantara tengkorak dg duramater. Biasanya berasal dari arteri yg pecah oleh karena ada fraktur atau robekan langsung. • Gejala (trias klasik) : 1. Interval lusid. 2. Hemiparesis/plegia. 3. Pupil anisokor. Diagnosis akurat dg CT scan kepala : perdarahan bikonveks atau lentikulerdi daerah epidural. •
PERDOSSI. Trauma Kapitis. 2006
EPIDURAL HEMATOM Epidural
HEMATOM EPIDURAL
HEMATOM SUBDURAL
• Lucid interval • Kesadaran makin menurun • Late hemiparesis kontralateral lesi • Pupil anisokor • Babinsky (+) kontralateral lesi • Fraktur daerah temporal * akibat pecah a. meningea media
• SDH akut : kurang dari 72 jam • SDH subakut : 3-21 hr pasca trauma. • SDH khronis : > 21 hari. • Gejala: sakit kepala disertai /tidak disertai penurunan kesadaran * akibat robekan bridging vein
HEMATOM SUBARAKHNOID • Kaku kuduk • Nyeri kepala • Bisa didapati gangguan kesadaran • Akibat pecah aneurisme berry
76. Bell’s Palsy
77. Cedera Medulla Spinalis • Medula spinalis merupakan satu kumpulan saraf-saraf yang terhubung ke susunan saraf pusat yang berjalan sepanjang kanalis spinalis yang dibentuk oleh tulang vertebra. • Ketika terjadi kerusakan pada medula spinalis, masukan sensoris, gerakan dari bagian tertentu dari tubuh dan fungsi involunter seperti pernapasan dapat terganggu atau hilang sama sekali. Ketika gangguan sementara ataupun permanen terjadi akibat dari kerusakan pada medula spinalis, kondisi ini disebut sebagai cedera medula spinalis.
PATOFISIOLOGI • Kompresi karena tulang, ligamen,herniasi diskus intervertebralis & hematom paling berat akibat kompresi tulang, trauma hiperekstensi corpus dislokasi ke posterior. • Regangan jaringan.biasanya terjadi pada hiperpleksi, toleransi medula spinalis terhadap regangan tergantung usia • Edema.timbul segera setelah trauma • Sirkulasi terganggu.
• 2 jam pasca cedera terjadi invasi sel-sel inflamasi dimulai oleh microglia dan leukosit polimorfonuklear. • 4 jam pasca cedera hampir separuh medula spinalis menjadi nekrotik. • 6 jam pasca cedera terjadi edema primer vaskogenik. • 48 jam terjadi edema dan nekrotik kros-sektional pada tempat cedera.
Manifestasi lesi traumatik • Komusio ,Kontusio,Laserasio,Perdarahan Kompresi, Hemiseksi ,Transeksi medula spinalis • Sindrom medula spinalis bagian anterior & posterior • Shok spinal • Aktivitas refleks yg meningkat
Transeksi medula spinalis akan terjadi masa Spinal Shok • Semua gerakan volunter dibawah lesi hilang secara mendadak • Semua sensibilitas bawah lesi hilang • Semua refleks hilang. • Berlangsung 3-6 mg
KLASIFIKASI ASIA (American Spinal Injury Association) dan IMSOP (International Medical Society of Paraplegia) pada tahun 1990 dan 1991. • Berdasarkan fungsi: • Berdasarkan tipe dan lokasi:
Berdasarkan fungsi: – Grade A – complete • tidak ada fungsi motorik atau sensorik sampai sefmen S4-S5
– Grade B – incomplete • tidak ada fungsi sensorik tapi fingsi motorik masik ada di bawah level cedera spinal sampai segmen S4-S5
– Grade C – incomplete • fungsi motorik masih ada dibawah level cedera spinal dan sebagian besar 10 otot ektrimitas dibawah level cedera spinal mempunyai kekuatan motorik <3
– Grade D – incomplete : • seperti grade C, tapi kekuatan motorik ≥3
– Grade E – normal • fungsi motorik dan sensorik normal
GEJALA KLINIK • Cervico-Medullary Syndrome – Respiratory arrest, hipotensi, tetraplegia. – C1 – C4 – ggn sensibilitas wajah, – Lengan lebih berat dari tungkai
• Central cord syndrome – Gangguan motorik pada ekstrimitas atas lebih berat dari tungkai dengan gangguan sensibilitas – sembuh spontan
Sacral sparing
GEJALA KLINIK • Anterior Cord Syndrome – Paralisis komplit yang mendadak dengan hiperestesia pada tingkat lesi, dibawah lesi ada rasa raba, merupakan kasus yang harus dintervensi operasi secara dini.
• Posterior cord syndrome – Jarang ada, kelemahan dr batas lesi kebawah Gangguan proprioseptik
GEJALA KLINIK • Brown-sequard syndrome – Gangguan motorik dan propioseptik sisi ipsilateral dan gangguan sensasi rasa suhu dan nyeri pada sisi kontralateral – Cedera hiperekstensi
• Conus Medullaris syndrome – Daerah T11-T12 dan T12-L1 24% dari kasus – Gangguan lower motor neuron, flaksid tungkai & sfingter ani, spastisitas(kronik).
MRI Vertbrae Thoracal
PENATALAKSANAAN 1.Tentukan cedera medula spinalis akut? 2.Lakukan stabilisasi medula spinalis 3. Atasi gangguan fungsi vital yaitu airways, breathing 4.Perhatikan perdarahan dan sirkulasi, hipotensi, shok neurogenik 5.Medical: – methylprednisolon 30mg/kgBB iv bolus dalam 15 menit – dilanjutkan 5,4mg/kgBB/jam iv hingga 24 jam bila dosis inisial diberikan <3jam setelah trauma – Atau dilanjutkan hingga 48 jam bila dosis inisial diberikan 3-8jam post trauma – Di atas 8 jam tidak ada pengaruh pemberian steroid.
78. Disartria • Disartria adalah gangguan artikulasi yang disebabkan oleh kerusakan sistem saraf pusat yang secara langsung mengontrol aktivitas otototot yang berperan dalam proses artikulasi dalam pembentukan suara pengucapan. • Menunjukkan gangguan di dalam pelaksanaan pola – pola motorik wicara yang mengarah kepada kelumpuhan, kelemahan, atau kesalahan dalam mengorganisasikan otot – otot wicara. • Disartria Ataksia berhubungan dengan kerusakan ada system cerebellum.
Lesi pada bagian spesifik: • Paralisis palatum – bicara sengau • Lesi serebelum – biacara tidak jelas (skrining irreguler) • Lesi ekstrapiramidal – bicara dengan nada monoton dan lemah • Kerusakan kortikobulbar bilateral – bicara lambat, menggerutu, “spastic”
Kerusakan antara saraf otak V, VII, IX, X dan XII
Kerja sama gerak antar otot lidah, bibir, pita suara dan otot-otot yang membuka dan menutup mulut bersimpang siur, sehingga kelancaran kalimat dan konyinuitas kalimat yang diucapkan sangat terganggu
Keterangan Disfagia
Disfagia biasanya merujuk kepada gangguan dalam makan sebagai gangguan dari proses menelan. Disfagia dapat mejadi ancaman yang serius terhadap kesehatan seseorang karena adanya resiko pneumonia aspirasi, malnutrisi, dehidrasi, penurunan berat badan, dan sumbatan jalan napas.
Disfasia
Disfasia adalah gangguan perkembangan bahasa yang tidak sesuai dengan perkembangan kemampuan usia seharusnya. (biasa pada anak-anak).
Dismetria
Dismetria berarti hilangnya kemampuan untuk memulai atau menghentikan suatu gerak motorik halus. Untuk menguji adanya suatu dismetria bisa dilakukan beberapa pemeriksaan, salah satunya adalah finger to nose test.
79. Status Epileptikus • Definisi: – Kondisi 5 menit atau lebih dari (i) kejang klinis kontinu dan/ atau aktifitas elektrografi atau (ii) kejang rekuren tanpa ada keadaan sadar diantara dua kejang. – Definisi SE diubah dari awalnya 60 menit, 30 menit, pada akhirnya 5 menit atau lebih: – Alasan: • Kejang yang berlangsung lebih dari 5 menit tidak akan berhenti secara spontan • Kejang >30 menit sudah terdapat kerusakan di substantia nigra, 45 menit – 120 menit dapat terjadi kerusakan di lapis ketiga dan keempat neurokorteks, CA1 dan CA4 neuron piramidal dari hipokampus. • Jejas neuronal dan farmakoresisten dapat terjadi sebelum 30 menit kejang kontinu. Guidelines for the Evaluation and Management of Status Epilepticus. Neurocrit Care DOI 10.1007/s12028-012-9695-z
Tatalaksana Status Epileptikus • Status epileptikus adalah keadaan yang mengancam nyawa. • Tujuan pengobatan : menghentikan kejang yang terjadi secara klinis dan elektrofisiologis.
• Tatalakana : 1. Lakukan CAB (Circulation, Airway, Breathing) 2. Hentikan kejang 3. Cari penyebab 4. Mengatasi penyebab
Behrouz, R. : JAOA • Vol 109 • No 4 • April 2009 •
Sirven J, Waterhouse E. Management of Status Epilepticus. Am Fam Physician 2003;68:469-76
Algorithm for the Initial Management of Status Epilepticus 1. Assess and control airway 2. Monitor vital signs (including temperature) 3. Conduct pulse oximetry and monitor cardiac function 4. Perform rapid blood glucose assay
Start intra
venous infusion
Administer thiamine (100 mg) and glucose (50 ml of 50 percent dextrose)
Start anticonvulsant therapy Take focused history and examine patient Known seizure disorder or other illnesses? Trauma? Focal neurologic signs? Signs of medical illnesses (e.g., infection, hepatic or renal disease, substance abuse)?
DANIELH. LOWENSTEIN, M.D.,AND BRIAN K. ALLDREDGEPHARM.D The New England Journal of Medicine April 2, 1998
.
Perform laboratory studies Complete blood count Serum electrolytes and calcium Arterial-blood gas Liver function Renal function Toxicology Serum antiepileptic-drug concentrations
Undertake further workup to define cause Manage other medical problems
Behrouz, R. : JAOA • Vol 109 • No 4 • April 2009 •
80. Traumatic Brain Injury KETERANGAN Concussion
Merupakan cedera kepala yang paling ringan dan sering terjadi. Terjadi kehilangan kesadaran sementara setelah cedera (gegar otak)
Contussion
Pembengkakan jaringan otak disertai dengan bocornya darah dari pembuluh darah yang robek. Dapat disebabkan oleh cederea countercoup. Countercoup terjadinya goncangan pada kepala, sehingga otak terbentur ke kranium contoh: mobil dengan kecepatan tinggi berhenti mendadak atau shaken baby syndrome
Hematom
Cedera kepala yang menyebabkan robeknya pembuluh darah otak dapat menyebabkan hematoma (hematom epidural, subdural, subarakhnoid)
Diffuse Axonal Injury
Kerusakan pada sel saraf (neuron) sehingga sinaps antar neuron rusak atau terputus. Biasanya disebabkan oleh cedera countercoup
Lesi yg dapat timbul pada trauma kepala : 1. Kulit kepala robek atau mengalami perdarahan subkutan. 2. Otot-otot dan tendo pd kepala mengalami kontusio. 3. Perdarahan terjadi dibawah galea aponeurotika. 4. Tulang tengkorak patah 5. Gegar otak. 6. Edema serebri traumatik. 7. Kontusio serebri. 8. Perdarahan subarahnoid. 9. Perdarahan epidural 10. Perdarahan subdural. PERDOSSI. Trauma Kapitis. 2006
KLASIFIKASI BERDASARKAN PATOFISIOLOGI 1. Komosio serebri : tidak ada jaringan otak yang rusak tp hanya kehilangan fungsi otak sesaat (pingsan < 10 mnt) atau amnesia pasca cedera kepala. 2. Kontusio serebri : kerusakan jar. Otak + pingsan > 10 mnt atau terdapat lesi neurologik yg jelas. 3. Laserasi serebri : kerusakan otak yg luas + robekan duramater + fraktur tl. Tengkorak terbuka. BERDASARKAN GCS: 1. GCS 13-15 : Cedera kepala ringan CT scan dilakukan bl ada lucid interval/ riw. kesdran menurun. evaluasi kesadaran, pupil, gejala fokal serebral + tanda-tanda vital. 2. GCS 9-12 : Cedera kepala sedang prks dan atasi gangg. Nafas, pernafasan dan sirkulasi, pem. Ksdran, pupil, td. Fokal serebral, leher, cedera orga lain, CT scan kepala, obsevasi. 3. GCS 3-8 : Cedera kepala berat : Cedera multipel. + perdarahan intrakranial dg GCS ringan /sedang. PERDOSSI. Trauma Kapitis. 2006
Diffuse Axonal Injury
81. Vertigo
Dismetria • Dismetria berarti hilangnya kemampuan untuk memulai atau menghentikan suatu gerak motorik halus. • Terjadi akibat adanya gangguan pada serebelum atau saraf – saraf propioseptif. • Untuk menguji adanya suatu dismetria bisa dilakukan beberapa pemeriksaan: – finger to nose test – Disdiadokinesis – Rebound test
Cerebellum Terdiri dari 2 hemisfer yg dihubungkan oleh vermis Terbagi atas 3 lobus: 1. Lobus anterior corpus cerebelli 2. Lobus posterior 3. Lobus flokulonodularis Fungsi Cerebellum: 1. Koordinasi gerakan volunter 2. Keseimbangan tubuh 3. Tonus otot 4. Mekanisme memori & motor learning
Control of body posture & equilibrium.
Tuesday, March 14, 2017
Control of muscle tone & stretch reflex.
Tuesday, March 14, 2017
Control of voluntary movements.
Tuesday, March 14, 2017
Signs of cerebellar dysfunction. • Tone & posture disturbance – Atonia or hypotonia – Attitude changes. • Rotation of face to opposite side • Lowering of shoulder. • Outward rotation & abduction of leg.
– Deviation movements. – Effect on deep reflexes. (weak & pendular)
Tuesday, March 14, 2017
Signs of cerebellar dysfunction. • Equilibrium disturbance. (drunken gait) • Movements disturbance. – Ataxia – Intention tremors – Nystagmus. – Dysarthria. – Astasia.
Tuesday, March 14, 2017
Clinical tests of cerebellar dysfunction. • Upper limb – – – –
Finger nose test Diadokokinesia. Rebound phenomenon. Past pointing.
Tuesday, March 14, 2017
• Lower limb. – Rombergs test. – Tandem gait.
Tests .
Tuesday, March 14, 2017
Vertigo Perifer I. VERTIGO 1. Tipe 2. Arah
Sering ditemukan rotatory directional Horisontal, Rotatory
Sentral Sering non Rotational Horisontal, Rotatory dan bentukan oscillopsia, scotoma
II PEMERIKSAAN FISIK a. Perubahan Posisi
Dipengaruhi perubahan posisi kepala/tubuh
Dipengaruhi gerakan leher
b. Gangguan gait
Jarang/tidak ada
Sering ada
c. Gangguan fungsi otonom
Selalu ada
Tidak/jarang terjadi
d. Keluhan lain
Tinitus, tuli
Gangguan kesadaran
III. PEMERIKSAAN NISTAGMUS a. Arah
Indirectional
Bidirectional
b. Jenis
Horisontal atau Horisontal Rotatory
Rotatory vertikal, downbeat up beat
c. Fiksasi mata
menghambat
Tidak menghambat
d. Posisional nistagmus
Sukar diulang, latensi lama
Mudah diulang, singkat
e. Eye tracking
Sinusoid
Saccadic/ ataxic
f. Kalori
Unilateral weakness
Bilateral weakness
IV. PEMERIKSAAN VESTIBULO SPINAL a. Romberg- test mata terbuka
Normal
Abnormal
Abnormal
Abnormal
b. Writing test
Deviasi abnormal
Ataxic/ gelombang
c. Ataksia
Tidak ada
Sering ada
tertutup
d. Finger to finger test
Normal
Abnormal
e. Past pointing test
Abnormal kedua tangan Penyimpangan sisi
Abnormal, sisi lesi Penyimpangan tak
f. Stepping
Penyimpangan sisi lesi
Penyimpangan tak menentu
g. Walking
Mata tertutup ada penyimpangannya
Mata terbuka / tertutup ada penyimpangannya
82. Neuralgia Trigeminal
83. Inervasi Otot Ekstraokuler
Goetz, Christopher G. Textbook of clinical neurology. 3 rd ed. Philadelphia: Saunders; 2007.
Goetz, Christopher G. Textbook of clinical neurology. 3 rd ed. Philadelphia: Saunders; 2007.
84. Myasthenia Gravis
ILM U PSIK IATR I
85. ANSIETAS (GANGGUAN CEMAS) Diagnosis
Characteristic
Gangguan panik
Serangan ansietas yang intens & akut disertai dengan perasaan akan datangnya kejadian menakutkan. Tanda utama: serangan panik yang tidak diduga tanpa adanya provokasi dari stimulus apapun & ada keadaan yang relatif bebas dari gejala di antara serangan panik. Tanda fisis:Takikardia, palpitasi, dispnea, dan berkeringat. Serangan umumnya berlangsung 20-30 menit, jarang melebihi 1 jam. Tatalaksana: terapi kognitif perilaku + antidepresan.
Gangguan fobik
Rasa takut yang kuat dan persisten terhadap suatu objek atau situasi, antara lain: hewan, bencana, ketinggian, penyakit, cedera, dan kematian.
Gangguan penyesuaian
Gejala emosional (ansietas/afek depresif ) atau perilaku dalam waktu <3 bulan dari awitan stresor. Tidak berhubungan dengan duka cita akibat kematian orang lain.
Gangguan cemas menyeluruh
Ansietas berlebih terus menerus berlangsung setiap hari sampai bbrp minggu disertai Kecemasan (khawatir akan nasib buruk), ketegangan motorik (gemetar, sulit berdiam diri, dan sakit kepala), hiperaktivitas otonomik (sesak napas, berkeringat, palpitasi, & gangguan gastrointestinal), kewaspadaan mental (iritabilita).
GANGGUAN CEMAS MENYELURUH (PPDGJ-III) • Penderita harus menunjukan anxietas sebagai gejala primer yg harus berlangsung setiap hari untuk beberapa minggu sampai beberapa bulan. • Gejala tersebut mencakup unsur-unsur: – Kecemasan (khawatir akan nasib buruk, merasa seprti diujung tanduk dan nasib buruk) – Ketegangan motorik (gelisah, sakit kepala, gemetaran, tidak santai) – Overaktivitas otonomik (kepala terasa sakit, keringatan, jantung berdebar-debar, sesak napas, kelujhan lambung, pusing kepala)
• Pada anak-anak sering terlihat kebutuhan berlebihan untuk ditenangkan & keluhan somatik berulang yg menonjol. • Adanya gejala lain yg sifatnya sementara, khususnya untuk depresi, tidak membatalkan diagnosis utama gangguan cemas menyeluruh selama tidak memenuhi kriteria lengkap dari episode depresif.
Tatalaksana Gangguan Cemas Menyeluruh
Prinsip Tatalaksana Gangguan Cemas • Gangguan cemas memiliki patofisiologi yang berhubungan dengan depresi. Oleh karena itu, tatalaksana pada gangguan cemas serupa dengan tatalaksana depresi. • Tatalaksana medikamentosa definitif dengan antidepresan. Namun antidepresan baru efektif mengurangi gejala setelah diberikan selama 2-4 minggu. • Obat anxiolytic seperti golongan benzodiazepin hanya boleh digunakan untuk fase akut karena mengandung efek adiktif dan tubuh mudah toleransi (butuh dosis makin tinggi bila digunakan terus menerus).
http://www.medscape.com/viewarticle/762477
Tatalaksana Gangguan Cemas: Terapi Antidepresan
SSRI sebagai drug of choice dari antidepresan.
Jenis dan Dosis Antidepresan
86. WAHAM • Waham merupakan suatu perasaan keyakinan atau kepercayaan yang keliru, berdasarkan simpulan yang keliru tentang kenyataan eksternal, tidak konsisten dengan intelegensia dan latar belakang budaya pasien, dan tidak bisa diubah lewat penalaran atau dengan jalan penyajian fakta.
Jenis Waham Waham
Karakteristik
Bizzare
keyakinan yang keliru, mustahil dan aneh
Sistematik
keyakinan yang keliru atau keyakinan yang tergabung dengan satu tema/kejadian.
Nihilistik
perasaan yang keliru bahwa diri dan lingkungannya atau dunia tidak ada atau menuju kiamat.
Somatik
perasaan yang keliru yang melibatkan fungsi tubuh.
Paranoid (curiga)
termasuk didalamnya waham kebesaran, waham kejaran/presekutorik, waham rujukan (reference), dan waham dikendalikan.
Kebesaran/ grandiosity
keyakinan atau kepercayaan, biasanya psikotik sifatnya, bahwa dirinya adalah orang yang sangat kuat, sangat berkuasa atau sangat besar.
Kejar/ persekutorik
mengira bahwa dirinya adalah korban dari usaha untuk melukainya, atau yang mendorong agar dia gagal dalam tindakannya.
Rujukan/ delusion of reference
selalu berprasangka bahwa orang lain sedang membicarakan dirinya dan kejadian-kejadian yang alamiah pun memberi arti khusus/berhubungan dengan dirinya
Jenis Waham Waham
Karakteristik
Kendali
keyakinan yang keliru bahwa keinginan, pikiran, atau perasaannya dikendalikan oleh kekuatan dari luar. Termasuk di dalamnya: thought of withdrawal, thought of broadcasting, thought of insertion.
Thought of withdrawal
waham bahwa pikirannya ditarik oleh orang lain atau kekurangannya.
Thought of insertion
waham bahwa pikirannya disisipi oleh orang lain atau kekuatan lain.
Thought of broadcasting
waham bahwa pikirannya dapat diketahui oleh orang lain, tersiar diudara.
Cemburu
keyakinan yang keliru yang berasal dari cemburu patologis tentang pasangan yang tidak setia.
Erotomania
keyakinan yang keliru, biasanya pada wanita, merasa yakin bahwa seseorang sangat mencintainya.
87. INSOMNIA Menurut DSM-IV, Insomnia didefinisikan sebagai keluhan dalam hal kesulitan untuk memulai atau mempertahankan tidur atau tidur nonrestoratif yang berlangsung setidaknya satu bulan dan menyebabkan gangguan signifikan atau gangguan dalam fungsi individu. The International Classification of Diseases mendefinisikan Insomnia sebagai kesulitan memulai atau mempertahankan tidur yang terjadi minimal 3 malam/minggu selama minimal satu bulan Menurut The International Classification of Sleep Disorders, insomnia adalah kesulitan tidur yang terjadi hampir setiap malam, disertai rasa tidak nyaman setelah episode tidur tersebut.
Klasifikasi Insomnia • Early insomnia (initial insomnia/ sleep onset insomnia), yaitu kesulitan untuk memulai tidur yang ditandai dengan perpanjangan masa laten tidur (waktu dari berbaring hingga tertidur). Gangguan ini sering berkaitan dengan gangguan cemas.
• Middle insomnia (sleep maintenance insomnia), merupakan kesulitan untuk mempertahankan tidur. Gangguan ini ditandai dengan seringnya terbangun di malam hari dan suliit memulai tidur lagi, dan sering berkaitan dengan penyakit organik, nyeri, dan gangguan depresi. • Terminal insomnia (late insomnia/ early morning wakening insomnia) ditandai dengan bangun lebih pagi dari yang diperlukan secara terus menerus. Gangguan ini berkaitan dengan depresi.
Klasifikasi Insomnia Berdasarkan Waktu Insomnia Akut
Insomnia Kronik
• Terjadi pada 1 malam dalam beberapa minggu. • Penyebab yang sering: stres (stres dalam pekerjaan, putus cinta, dll), jet lag
• Terjadi pada 3 malam dalam seminggu, terjadi selama minimal 1 bulan . • Penyebab yang sering: gangguan cemas, depresi, stres kronik, nyeri kronik
Tatalaksana Insomnia • Terapi utama: Cognitive Behavioral Therapy (CBT), yang terdiri dari: – Edukasi sleep hygiene: mengurangi kafein/ alkohol di malam hari, tidak nonton TV/melihat hp di tempat tidur – Terapi kognitif: memperbaiki pemahaman yang salah dan kekhawatiran terhadap tidur. – Terapi relaksasi – Terapi kontrol stimulus: menggunakan tempat tidur hanya untuk tidur dan aktivitas seksual, tidak berbaring sebelum mengantuk – Terapi restriksi tidur: membatasi waktu berbaring di tempat tidur mulai dari 5 jam per hari. American Academy of Sleep Medicine (AASM), 2008
Tatalaksana Insomnia • Terapi farmakologis digunakan bila insomnia belum teratasi setelah dilakukan CBT. Golongan Obat
Keterangan
Hipnotik sedatif (DOC)
Dapat berupa gol.non benzodiazepin (zolpidem, zaleplon) atau gol.nbenzodiazepin short acting (triazolam, alprazolam). Diberikan maksimal selama 4 minggu.
Antidepresan
Yang digunakan adalah antidepresan yang memiliki efek sedasi (seperti amitriptilin, doksepin, mirtazapine). Digunakan untuk insomnia kronik, terutama jenis middle dan terminal insomnia.
Antihistamin generasi 1
Saat ini tidak dianjurkan lagi penggunaannya untuk insomnia.
Melatonin
Berfungsi mengurangi waktu laten tidur, sehingga lebih tepat dipakai untuk early insomnia. Tidak direkomendasikan untuk tatalaksana insomnia kronik.
88. GANGGUAN AFEKTIF BIPOLAR
Gangguan mood
1 atau lebih episode mania atau hipomania
1 atau lebih episode depresi
Dengan/ tanpa psikosis?
Gangguan afektif bipolar
Episode kini manik/ depresi?
Pedoman Diagnosis Gangguan Bipolar (PPDGJ-III) • Ditandai setidaknya 2 episode yang menunjukkan pada 1 waktu tertentu terjadi peninggian mood dan energi (mania/hipomania), dan pada 1 waktu lain berupa penurunan mood dan energi (depresi). • Ada periode penyembuhan sempurna antar episode. • Manik terjadi tiba-tiba, lamanya antara 2 minggu5 bulan. • Depresi biasanya terjadi selama 6 bulan-1 tahun.
Tatalaksana: Mood Stabilizer
Tatalaksana Gangguan Bipolar FASE AKUT (DOC: Lithium) • Manik – Lithium, atau – Asam valproat
• Depresi – Lithium, atau – Lamotrigine – Monoterapi dengan antidepresan tidak direkomendasikan
MAINTENANCE – Lithium atau Asam valproat, setidaknya selama 6 bulan. – Antipsikotik perlu diteruskan bila pasien cenderung memiliki risiko mengalami gejala psikotik berulang – Psikoterapi – Electroconvulsive therapy (ECT)
• Gejala psikotik – Antipsikotik, diutamakan golongan atipikal American Psychiatric Association, 2010
Kaplan & Sadock synopsis of psychiatry.
89. SEXUAL DISORDER (PARAFILIA) Diagnosis
Karakteristik
Fetishism
Sexually arousing fantasies, sexual urges, or behaviors involving the use of nonliving objects (e.g., female undergarments).
Frotteurism
Sexually arousing fantasies, sexual urges, or behaviors involving touching and rubbing against a nonconsenting person.
Masochism
Sexually arousing fantasies, sexual urges, or behaviors involving the act (real, not simulated) of being humiliated, beaten, bound, or otherwise made to suffer.
Sadism
Sexually arousing fantasies, sexual urges, or behaviors involving acts (real, not simulated) in which the psychological or physical suffering (including humiliation) of the victim is sexually exciting to the person.
Voyeurism
Sexually arousing fantasies, sexual urges, or behaviors involving the act of observing an unsuspecting person who is naked, in the process of disrobing, or engaging in sexual activity.
Necrophilia
Necrophilia is an obsession with obtaining sexual gratification from cadavers.
Diagnosis
Karakteristik
Pedophilia
Sexually arousing fantasies, sexual urges, or behaviors involving sexual attraction to prepubescent children (generally 13 years or younger) and the pedophilia must at least 16 years or older and at least 5 years older than the child
Eksibisionis
Seseorang yang selalu ingin memperlihatkan kemaluannya/genital kepada orang lain (biasanya orang asing) untuk mendapatkan kepuasan seksual
Pedoman Diagnosis Froteurisme (DSM-IV)
90. GEJALA EKSTRAPIRAMIDAL
Gejala Ekstrapiramidal Karakteristik
Akathisia
Gelisah dan merasa perlu bergerak terus. Menggerakkan kaki mengetuk lantai (foot tapping atau toe tapping). Gejala ini berkurang saat tidur atau pada posisi berbaring. Pasien merasa tertekan bila tidak dapat bergerak.
Dystonia
Kelainan neurologis dimana terdapat kontraksi otot yang terus-menurus sehingga mengakibatkan gerakan repetitif dan twisting atau postur yang abnormal. Dapat melibatkan punggung, leher, ekstremitas atas dan bawah, rahang, dan laring. Bisa terjadi kesulitan menelan, bernapas, bicara, dan menggerakkan leher. Oculogyric crisisDeviasi keatas bola mata yang ekstrim disertai dengan konvergen, menyebabkan diplopia. Berkaitan dengan fleksi posterolateral dari leher dan dengan mulut terbuka atau rahang terkunci.
Parkinsonism
Tremor, rigiditas, dan kelambatan bergerak, yang melibatkan batang tubuh dan ekstremitas. Kesulitan berdiri dari posisi duduk, postur tidak seimbang, muka topeng.
Tardive dyskinesia
Gerakan koreatetoid abnormal yang melibatkan regio orofasial dan lidah. Lebih jarang mengenai ekstremitas dan batang tubuh. Ada gerakan mulut mencucu, gerakan mengunyah, dan lidah menjulur. Gejala tidak menimbulkan nyeri, namun menyebabkan penderitanya malu di depan umum. http://www.uspharmacist.com/content/c/10205/?t=women%27s_health,neurology
Prinsip Terapi Gejala Ekstrapiramidal • Yang terpenting adalah Pencegahan – Setiap pasien yang menerima antipsikotik harus dievaluasi dan dimonitor terhadap munculnya gejala ekstrapiramidal.
• Obat yang mencetuskan gejala ekstrapiramidal harus dikurangi dosisnya atau distop, dan diganti dengan obat antipsikotik lain yang risiko gejala ekstrapiramidalnya lebih rendah.
Prinsip Terapi Gejala Ekstrapiramidal AKATHISIA • Obat yang menyebabkannya dihentikan atau dikurangi dosisnya. • Ganti obat menjadi antipsikotik atipikal • Diberikan antimuskarinik atau beta bloker • Obat lain: amantadine, amiitriptilin, benzodiazepin, klonidin, kodein, siproheptadine, mirtazaine.
TARDIVE DYSKINESIA • Obat yang menyebabkan gejala dikurangi dosisnya atau dihentikan. • Bila sedang mendapat antimuskarinik, harus dihentikan juga. • Ganti antipsikotik menjadi atipsikotik atipikal • Tatalaksana ansietas • Pada diskinesia fokal, dapat diberi toksin Botulinum • Obat lain: amantadine, benzodiazepine, levetiracetam, pregabalin, vitamin E, dopamindepleting-agent • Deep brain stimulation
Prinsip Terapi Gejala Ekstrapiramidal DYSTONIA • Hentikan atau turunkan dosis obat yang menyebabkan distonia. • Ganti obat menjadi golongan antipsikotik atipikal • Berikan obat-obatan antimuskarinik • Tatalaksana ansietas • Pada distonia fokal , dapat diberi toksin Botulinum • Pemberian relaksan otot, dopamin-depleting agent • Deep brain stimulation
• PARKINSONISME • Hentikan atau turunkan dosis obat yang menyebabkan gejala. • Ganti obat menjadi golongan antipsikotik atipikal • Obat lain: Amantadine, golongan antimuskarinik, agonis dopamin, levodopa
Contoh obat antimuskarinik: Triheksifenidil, Benzodiazepin, Levetiracetam, Pregabalin
91. F50 GANGGUAN MAKAN F50.0 Anoreksia Nervosa Untuk diagnosis dibutuhkan : Berat badan dipertahankan 15 % di bawah yang seharusnya Berkurangnya berat badan dilakukan sendiri dengan cara menghindari makanan Distorsi ‘body image’ takut gemuk terus menerus. Adanya gangguan endokrin yang meluas Jika terjadi pada masa pra-pubertas maka perkembangan pubertas tertunda
F50.2 Bulimia Nervosa Untuk diagnosis pasti dibutuhkan: Terdapat pre-okupasi yang menetap untuk makan dan ketagihan. Pasien berusaha melawan efek kegemukan dengan : ▪ Merangsang muntah oleh diri sendiri ▪ Menggunakan pencahar berlebihan ▪ Menggunakan obat penekan nafsu makan Merasa ketakutan yang luar biasa untuk gemuk
Anorexia vs Bulimia
http://www.wfsbp.org/fileadmin/user_upload/Treatment_Guidelines/Aigner_WF SBP_guidelines_eating_disorder_World_J_Biol_Psychia_11.pdf. 2011
Terapi Farmakologi Anoreksia Nervosa • Tidak ada terapi farmakologi yang terbukti efektif untuk anoreksia nervosa • Terapi farmakologi tidak dapat dijadikan satusatunya terapi – Merupakan terapi tambahan bila terdapat komorbid lain seperti depresi dan ansietas
http://www.wfsbp.org/fileadmin/user_upload/Treatment_Guidelines/Aigner_WF SBP_guidelines_eating_disorder_World_J_Biol_Psychia_11.pdf. 2011
Treatment with Antidepressants • The rationale : – the hypothetical dysfunction in the serotonergic and noradrenergic system in the pathophysiology of anorexia nervosa – the comorbidity and psychopathological overlap with anxiety disorders, obsessive compulsive disorders and depression with anorexia nervosa
• Dari berbagai penelitian dan RCT, didapatkan bahwa tidak ada antidepresan yang membantu dalam meningkatkan berat badan pada anoreksia nervosa • Antidepresan dapat mengurangi gejala depresi dan OCD – Antidepresan dapat digunakan untuk anoreksia nervosa yang memiliki komorbid depresi dan OCD
• Antidepresan yang dapat digunakan adalah antidepresan trisiklik (amitriptilin,clomipramin), SSRI (fluoxetin, sertralin,citalopram)
http://www.wfsbp.org/fileadmin/user_upload/Treatment_Guidelines/Aigner_WF SBP_guidelines_eating_disorder_World_J_Biol_Psychia_11.pdf. 2011
Treatment with Antipsikotik Typical Antipsychotics • HALOPERIDOL – Cassano et al. (2003) trial with haloperidol in 13 outpatients with treatment-resistant anorexia nervosa (restricting type) over 6 months • suggest that haloperidol might be effective as adjunct treatment for patients with severe AN-R
Atypical Antipsychotics • OLANZAPINE – There are some open or retrospective studies with olanzapine, with promising weight gain or psychopathological improvement in patients with anorexia nervosa. (Jensen and Mejlhede, 2000; Boachie et al., 2003; Barbarich et al., 2004)
• RISPERIDONE – Some case studies (Fishman et al., 1996; Newman-Toker, 2000) suggest that risperidone might be useful – To evaluate the effectiveness of risperidone a larger number of clinical trails with a randomized study design is necessary
Treatment with Zinc • Pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa pasien remaja dengan anoreksia nervosa mengalami defisiensi zinc • Pemberian zinc akan memperbaiki peningkatan berat badan, gejala depresi dan ansietas.
http://www.wfsbp.org/fileadmin/user_upload/Treatment_G uidelines/Aigner_WFSBP_guidelines_eating_disorder_World _J_Biol_Psychia_11.pdf. 2011
Bulimia Nervosa • SSRIs (specifically fluoxetine) – the drugs of first choice for the treatment of bulimia nervosa in terms of acceptability, tolerability and reduction of symptoms
• Dosis Lebih tinggi daripada untuk depresi (60 mg daily) • Tidak ada obat-obatan lain, selain antidepresan yang direkomendasikan untuk terapi bulimia nervosa • Fluoxetine merupakan satu-satunya terapi farmakologi yang di setujui oleh FDA untuk gangguan makan http://www.nice.org.uk/guidance/cg9/resources/guidanceeating-disorders-pdf. January 2004
PPDGJ
92. SKIZOFRENIA Skizofrenia
Gangguan isi pikir, waham, halusinasi, minimal 1 bulan
Paranoid
merasa terancam/dikendalikan
Hebefrenik
15-25 tahun, afek tidak wajar, perilaku tidak dapat diramalkan, senyum sendiri
Katatonik
stupor, rigid, gaduh, fleksibilitas cerea
Skizotipal
perilaku/penampilan aneh, kepercayaan aneh, bersifat magik, pikiran obsesif berulang
Waham menetap
hanya waham
Psikotik akut
gejala psikotik <2 minggu.
Skizoafektif
gejala skizofrenia & afektif bersamaan
Residual
Gejala negatif menonjol, ada riwayat psikotik di masa lalu yang memenuhi skizofrenia
Simpleks
Gejala negatif yang khas skizofrenia (apatis, bicara jarang, afek tumpul/tidak wajar) tanpa didahului halusinasi/waham/gejala psikotik lain. Disertai perubahan perilaku pribadi yang bermakna (tidak berbuat sesuatu, tanpa tujuan hidup, penarikan diri).
Pedoman Diagnostik Skizofrenia • Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua gejala atau lebih bila gejalagejala itu kurang tajam atau kurang jelas): – Thought echo, atau thought insertion or withdrawal, atau thought broadcasting – Delusion of control/ passivity/ influence/ perception – Halusinasi auditorik – Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil (misalnya mampu mengendalikan cuaca atau berkomunikasi dengan mahluk asing atau dunia lain)
Referensi: PPDGJ-III
Pedoman Diagnostik Skizofrenia • Atau paling sedikitnya dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas: – Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja – Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan (interpolation) yang berakibat inkoherensia atau pembicaraan yang tidak relevan atau neologisme. – Perilaku katatonik seperti keadaan gaduh gelisah (excitement), posisi tubuh tertentu (posturing) atay fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor. – Gejala negatif seperti sikap apatis, bicara yang jarang dan respons emosional yang menumpul tidak wajar
• Telah berlangsung selama kurun waktu satu bulan atau lebih Referensi: PPDGJ-III
SKIZOFRENIA HEBEFRENIK (DISORGANIZED TYPE SCHIZOPHRENIA)
PRINSIP TERAPI ANTIPSIKOTIK • Key points for using antipsychotic therapy: 1. 2.
3.
4.
An oral atypical antipsychotic drug should be considered as first-line treatment. Choice of medication should be made on the basis of prior individual drug response, patient acceptance, individual sideeffect profile and cost-effectiveness, other medications being prescribed and patient co-morbidities. The lowest-effective dose should always be prescribed initially, with subsequent titration. The dosage of a typical or an atypical antipsychotic medication should be within the manufacturer’s recommended range.
Western Australian Psychotropic Drugs Committee. Antipsychotic Drug Guidelines Version 3 August 2006
Psikofarmaka • Key points for using antipsychotic therapy: 5. 6. 7. 8. 9.
Treatment trial should be at least 4-8 weeks before changing antipsychotic medication. Antipsychotic medications, atypical or conventional, should not be prescribed concurrently, except for short periods to cover changeover. Treatment should be continued for at least 12 months, then if the disease has remitted fully, may be ceased gradually over at least 1-2 months. Prophylactic use of anticholinergic agents should be determined on an individual basis and re-assessment made at 3-monthly intervals. A trial of clozapine should be offered to patients with schizophrenia who are unresponsive to at least two adequate trials of antipsychotic medications.
Western Australian Psychotropic Drugs Committee. Antipsychotic Drug Guidelines Version 3 August 2006
Obat Antipsikotik Tipikal dan Atipikal
93. GANGGUAN MENTAL SESUDAH TRAUMA
GANGGUAN MENTAL SESUDAH TRAUMA Gangguan
Karaktristik
Reaksi stres akut
Kesulitan berkonsentrasi, merasa terlepas dari tubuh, mengingat detail spesifik dari peristiwa traumatik (prinsipnya gejala serupa dengan PTSD), terjadinya beberapa jam setelah kejadian traumatis, dan paling lama gejala tersebut bertahan selama 1 bulan.
Reaksi stres pasca trauma (Post traumatic stress disorder/ PTSD)
Adanya bayang-bayang kejadian yang persisten, mengalami gejala penderitaan bila terpajan pada ingatan akan trauma aslinya, menimbulkan hendaya pada kehidupan sehari-hari. Gejala terjadi selama 1-6 bulan.
Pedoman Diagnosis Reaksi Stres Akut
Reaksi Stres Akut vs PTSD vs Gangguan Penyesuaian Reaksi Stres Akut
Ggn. Penyesuaian
PTSD
Tipe stresor
Berat (kejadian traumatis, kehilangan orang terdekat)
Ringan-sedang
Berat (kejadian traumatis, kehilangan orang terdekat)
Waktu antara stresor dan timbulnya gejala
Beberapa hari hingga maksimal 4 minggu
Maksimal 3 bulan
Bisa bertahuntahun
Durasi gejala
Maksimal 1 bulan
Maksimal 6 bulan setelah stresor berakhir
>1 bulan
94-95. OBAT PSIKOAKTIF • Secara umum, sering dibagi menjadi 3 golongan utama berdasarkan gejalanya, yaitu: – Golongan depresan – Golongan stimulan – Golongan halusinogen
Depressant • Zat yang mensupresi, menghambat dan menurunkan aktivitas CNS. • Yang termasuk dalam golongan ini adalah sedatives/hypnotics, opioids, and neuroleptics. • Medical uses sedation, sleep induction, hypnosis, and general anaesthesia. • Contoh: – Alcohol dalam dosis rendah, anaesthetics, sleeping pills, and opioid drugs such as heroin, morphine, and methadone. – Hipnotik (obat tidur), sedatif (penenang) benzodiazepin
• Effects: – Relief of tension, mental stress and anxiety – Warmth, contentment, relaxed detachment from emotional as well as physical distress – Positive feelings of calmness, relaxation and well being in anxious individual – Relief from pain
Stimulants • Zat yang mengaktivkan dan meningkatkan aktivitas CNS psychostimulants • Memiliki berbagai efek fisiologis – Perubahan denyut jantung, dilatasi pupil, peningkatan TD, banyak berkeringat, mual dan muntah. – Menginduksi kewaspadaan, agitasi, dan mempengaruhi penilaian
• Penyalahgunaan kronik akan menyebabkan perubahan kepribadian dan perilaku seperti lebih impulsif, agresif, iritabilitas, dan mudah curiga • Contoh: – Amphetamines, cocaine, caffeine, nicotine, and synthetic appetite suppressants.
•
Effects: – feelings of physical and mental well being, exhilaration, euphoria, elevation of mood – increased alertness, energy and motor activity – postponement of hunger and fatigue
Hallucinogens (psyche delics) • Zat yang merubah dan mempengaruhi persepsi, pikiran, perasaan, dan orientasi waktu dan tempat. • Menginduksi delusi, halusinasi, dan paranoia. • Adverse effects sering terjadi – Halusinasi yang menakutkan dan tidak menyenangkan (“bad trips”) – Post-hallucinogen perception disorder or flashbacks – Delusional disorder persepsi bahwa halusinasi yang dialami nyata, setelah gejala mereda – mood disorder (anxiety, depression, or mania).
• Effects: – Perubahan mood, perasaan, dan pikiran“mind expansion” – Meningkatkan kepekaan sensorismore vivid sense of sight, smell, taste and hearing – dissociation of body and mind
• Contoh: – – – – – –
Mescaline (the hallucinogenic substance of the peyote cactus) Ketamine LSD psilocybin (the hallucinogenic substance of the psilocybe mushroom) phencyclidine (PCP) marijuana and hashish
Intoksikasi vs Putus Obat (Withdrawal)
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK64115/pdf/Bookshelf_NBK64115.pdf
Gejala Umum Putus Obat
Tanda dan Gejala Putus Obat Opiat
Ganja
Sedatif-Hipnotik
Alkohol
Amfetamine
* nyeri
* jarang
* cemas
* cemas
* cemas
* mata dan hidung
ditemukan
* tangan gemetar
* depresi
* depresi
* perubahan persepsi
* muka merah
* kelelahan
berair * perasaan panas
* gangguan daya ingat * mudah marah
* energi
* tidak bisa tidur
* tangan gemetar
berkurang
* diare
* mual muntah
* kebutuhan tidur
* gelisah
* tidak bisa tidur
meningkat
dingin
* tidak bisa tidur
Intoksikasi vs Withdrawal opioid Intoksikasi
Withdrawal
Gejala dan tanda
Koma, miosis, hiporefleks, hipotermia, bising usus menurun, bradikardi, bradipnea, hipotensi atau TD normal
Piloereksi, muntah, midriasis, rinorea, hipersekresi saluran napas, diare; takikardia atau takipnea
Mekanisme
Overstimulasi reseptor opioid
Perubahan produksi, pelepasan, dan fungsi neurotransmiter akibat penghentian penggunaan obat secara tiba-tiba
www.pdui-pusat.com/contents/upload/CEVA-Intoksikasi-PDUI-new.ppt
96. GANGGUAN WAHAM MENETAP (DSM-IV)
Jenis Gangguan Waham Menetap (DSM-IV)
PRINSIP TERAPI ANTIPSIKOTIK • Key points for using antipsychotic therapy: 1. 2.
3.
4.
An oral atypical antipsychotic drug should be considered as first-line treatment. Choice of medication should be made on the basis of prior individual drug response, patient acceptance, individual sideeffect profile and cost-effectiveness, other medications being prescribed and patient co-morbidities. The lowest-effective dose should always be prescribed initially, with subsequent titration. The dosage of a typical or an atypical antipsychotic medication should be within the manufacturer’s recommended range.
Western Australian Psychotropic Drugs Committee. Antipsychotic Drug Guidelines Version 3 August 2006
Psikofarmaka • Key points for using antipsychotic therapy: 5. 6. 7. 8. 9.
Treatment trial should be at least 4-8 weeks before changing antipsychotic medication. Antipsychotic medications, atypical or conventional, should not be prescribed concurrently, except for short periods to cover changeover. Treatment should be continued for at least 12 months, then if the disease has remitted fully, may be ceased gradually over at least 1-2 months. Prophylactic use of anticholinergic agents should be determined on an individual basis and re-assessment made at 3-monthly intervals. A trial of clozapine should be offered to patients with schizophrenia who are unresponsive to at least two adequate trials of antipsychotic medications.
Western Australian Psychotropic Drugs Committee. Antipsychotic Drug Guidelines Version 3 August 2006
Obat Antipsikotik Tipikal dan Atipikal
97. GANGGUAN AFEKTIF BIPOLAR
Gangguan mood
1 atau lebih episode mania atau hipomania
1 atau lebih episode depresi
Dengan/ tanpa psikosis?
Gangguan afektif bipolar
Episode kini manik/ depresi?
Pedoman Diagnosis Gangguan Bipolar (PPDGJ-III) • Ditandai setidaknya 2 episode yang menunjukkan pada 1 waktu tertentu terjadi peninggian mood dan energi (mania/hipomania), dan pada 1 waktu lain berupa penurunan mood dan energi (depresi). • Ada periode penyembuhan sempurna antar episode. • Manik terjadi tiba-tiba, lamanya antara 2 minggu5 bulan. • Depresi biasanya terjadi selama 6 bulan-1 tahun.
Tatalaksana: Mood Stabilizer
Tatalaksana Gangguan Bipolar FASE AKUT (DOC: Lithium) • Manik – Lithium, atau – Asam valproat
• Depresi – Lithium, atau – Lamotrigine – Monoterapi dengan antidepresan tidak direkomendasikan
MAINTENANCE – Lithium atau Asam valproat, setidaknya selama 6 bulan. – Antipsikotik perlu diteruskan bila pasien cenderung memiliki risiko mengalami gejala psikotik berulang – Psikoterapi – Electroconvulsive therapy (ECT)
• Gejala psikotik – Antipsikotik, diutamakan golongan atipikal American Psychiatric Association, 2010
98. RETARDASI MENTAL • Retardasi mental merupakan suatu penurunan fungsi intelektual secara menyeluruh yang terjadi pada masa perkembangan dan dihubungkan dengan gangguan adaptasi sosial (AAMD). • 3 komponen utama yang terganggu: penurunan fungsi intelektual, adaptasi sosial, dan masa perkembangan.
Ringan
• Masih dapat dididik (educable) • Komunikasi sehari-hari masih baik • Masih dapat merawat diri secara independen (makan, mandi, mencuci) • Kesulitan utamanya pada pekerjaan akademik di sekolah (terutama membaca dan menulis)
Sedang
• Retardasi mental yang dapat dilatih (trainable) • Keterlambatan pemahaman dan penggunaan bahasa • Kemampuan motorik dan kemampuan merawat diri terbatas, butuh pengawasan • Kemampuan sekolah terbatas
Berat Sangat Berat
• Kemampuan serupa dengan RM sedang • Pada kelompok ini, kemampuan motorik sangat terbatas • Umumnya disertai defisit neurologis
• Sangat terbatas untuk mengerti instruksi • Sangat terbatas dalam mobilitas • Hanya mampu komunikasi non verbal yang sederhana Sari Pediatri, Vol. 2, No. 3, Desember 2000
Mental Retardation
Kaplan & Sadock synopsis of psychiatry.
Klasifikasi Retardasi Mental Berdasarkan IQ American Association on Mental Retardation (AAMR)
http://pedsinreview.aappublications.org/content/27/6/204.full
PPDGJ-III • Ketentuan subtipe retardasi mental meliputi: – F70: Ringan (IQ 50-69) – F71: Sedang (IQ 35-49) – F72: Berat (IQ 20-34) – F73: Sangat Berat (<20)
KULIT & KELAMIN, MIKROBIOLOGI, PARASITOLOGI
99. Schistosoma • Penyakit : skistosomiasis= bilharziasis • Spesies tersering: S. japonicum dan S. haematobium
• Morfologi dan Daur Hidup
– Hidup in copula di dalam pembuluh darah vena-vena usus, vesikalis dan prostatika – Di bagian ventral cacing jantan terdapat canalis gynaecophorus, tempat cacing betina – Telur tidak mempunyai operkulum dan berisi mirasidium, mempunyai duri dan letaknya tergantung spesies – Telur dapat menembus keluar dari pembuluh darah, bermigrasi di jaringan dan akhirnya masuk ke lumen usus atau kandung kencing – Telur menetas di dalam air mengeluarkan mirasidium
Daur Hidup Schistosoma sp.
Schistosoma Haematobium • Tersebar terutama di Afrika dan Timur Tengah • Ukuran telur: panjang 110-170 µm dan lebar 40-70 µm, memiliki tonjolan spinal • Telur mengandung mirasidium matur yang tersebar di urin
Schistosoma japonicum TELUR BENTUK : BULAT AGAK LONJONG DNG TONJOLAN DI BAGIAN LATERAL DEKAT KUTUB
UKURAN : 100 x 65 µm TELUR BERISI EMBRIO TANPA OPERKULUM
Tersebar di daerah Timur (termasuk Indonesia)
SERKARIA Schistosoma sp EKOR BERCABANG
Gejala Klinis & Pemeriksaan Penunjang –
Efek patologis tergantung jumlah telur yang dikeluarkan dan jumlah cacing Keluhan
– •
•
S. mansoni & japonicum: demam Katamaya, fibrosis periportal, hipertensi portal, granuloma pada otak & spinal S. haematobium: hematuria, skar, kalsifikasi, karsinoma sel skuamosa, granuloma pada otak dan spinal
– –
Pada infeksi berat → Sindroma disentri Hepatomegali timbul lebih dini disusul splenomegali; terjadi 6-8 bulan setelah infeksi
–
Pemeriksaan Penunjang • •
Mikroskopik feses: semua spesies Mikroskopik urin: spesies haematobium Sumber: http://www.cdc.gov/dpdx/schistosomiasis/dx.html
Terapi Schistosomiasis
Sumber: http://www.cdc.gov/dpdx/schistosomiasis/dx.html
DOC Antihelmintik JENIS CACING
DOC ANTIHELMINTIK
Keterangan
Ascaris lumbricoides
1. Mebendazol 2x100 mg selama 3 hari atau 500 mg PO SD 2. Albendazol 400 mg PO SD 3. Pyrantel Pamoat 10 mg/kg PO
Pada infeksi gabungan askaris dan cacing tambang DOC: Albendazol
Cacing Tambang (ancylostoma Duodenale & Necator Americanus)
• •
Mebendazole 2x 100 mg selama 3 hari atau 500 mg SD PO Albendazol 400 mg PO SD
Trichuris Trichiura
• •
Mebendazol 500 mg PO SD atau 2x100 selama 3 hari Albendazole 400 mg PO qDay x 3 days
• •
Prazikuantel 60 mg/kg PO dibagi 3 dosis selama satu hari Prazikuantel 40 mg/kg PO dibagi 2 dosis selama satu hari
Schistosoma japonicum, S. mekongi Schistosoma mansoni, S. hematobium, S intercalatum
Enterobius vermicularis
Semua rejimen diulang dalam waktu 2 minggu • Mebendazol 100 mg PO SD • Albendazol 400 mg PO SD • Pyrantel Pamoat 11 mg/kg PO
Taeniasis (T. Solium & Saginata)
Prazikuantel 5-10 mg/kg SD Niclosamide 2 g PO SD (adults) and 50 mg/kg orally PO SD (children).
Cysticercosis (T. Solium)
Prazikuantel 50-100 mg/kg/d divided q8hr PO for 14 days
100. Pedikulosis • Infeksi kulit/rambut pada manusia yang disebabkan Pediculus • 3 macam infeksi pada manusia – Pedikulosis kapitis: disebabkan Pediculus humanus var. capitis – Pedikulosis korporis: disebabkan pediculus humanus var. corporis – Pedukulosis pubis: disebabkan Phthirus pubis Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
Pedikulosis kapitis • Infeksi kulit dan rambut kepala • Banyak menyerang anak-anak dan higiene buruk • Gejala • Mula-mula gatal di oksiput dan temporal, karena garukan terjadi erosi, ekskoriasi, infeksi sekunder
• Diagnosis • Menemukan kutu/telur, telur berwarna abu-abu/mengkilat
• Pengobatan • Malathion 1%, gameksan 1%, benzil benzoat 25%
Pedikulosis kapitis • Infeksi kulit dan rambut kepala • Banyak menyerang anak-anak dan higiene buruk • Gejala • Mula-mula gatal di oksiput dan temporal, karena garukan terjadi erosi, ekskoriasi, infeksi sekunder
• Diagnosis • Menemukan kutu/telur, telur berwarna abu-abu/mengkilat
• Pengobatan: malathion 0.5%- 1%, gameksan 1%, benzil benzoat 25%, Permetrin 1% • Permethrin 1% lotion or shampoo (Nix) is first-line treatment for pediculosis, except in places with known permethrin resistance. • Topical therapies should be used twice, at day 0 and again at day 7 to 10, to fully eradicate lice.
Pedikulosis kapitis: Tatalaksana Permethrin 1% lotion (Nix)
Malathion 0.5% lotion (Ovide)
Apply to damp hair and leave on for 10 minutes, then rinse; repeat in seven days (per package insert
First-choice treatment per guidelines
Apply to dry hair enough to Flammable; do not use hair sufficiently wet the hair dryer, cigarettes, or open and scalp; allow to dry flame while hair is wet naturally Shampoo eight to 12 hours later, rinse, and use lice comb Repeat after seven to nine days if live lice still are present
http://www.aafp.org/afp/2012/0915/p535.html
Prinsip pemberian terapi pedikulosis kapitis • Terapi topikal diberikan sebanyak 2 kali, yaitu pada hari 0 dan hari 7-10 agar dapat mengeradikasi kutu dengan sempurna.
Pedikulosis korporis • Biasanya menyerang orang dewasa dengan higiene buruk (jarang mencuci pakaian) • Kutu melekat pada serat kapas dan hanya transien ke kulit untuk menghisap darah • Gejala • Hanya bekas garukan di badan
• Diagnosis • Menemukan kutu/telur pada serat kapas pakaian
• Pengobatan • Gameksan 1%, benzil benzoat 25%, malathion 2%, pakaian direbus/setrika
Pedikulosis pubis • Infeksi rambut di daerah pubis dan sekitarnya • Menyerang dewasa (tergolong PMS), dapat menyerang jenggot/kumis • Dapat menyerang anak-anak, seperti di alis/bulu mata dan pada tepi batas rambut kepala • Gejala • Gatal di daerah pubis dan sekitarnya, dapat meluas ke abdomen/dada, makula serulae (sky blue spot), black dot pada celana dalam
Pedikulosis Pubis: Tatalaksana • Pengobatan • Permetrin 1% lotion • Membunuh kutu namun tidak dengan telur pengobatan kedua 9 hari setelah pengobatan pertama • Untuk bayi > 2 bulan
• Malathion 0,5% lotion • Juga membunuh kutu • Untuk anak > 6 tahun
• Gameksan 1%, http://emedicine.medscape.com/article/225013-treatment#d11
Sky Blue Spot/ Macula cerulae
101. Pemeriksaan Penunjang Lesi Kulit • Lampu Wood – Sumber sinar UV yang difilter nikel oksida – Untuk memperjelas 3 gambaran penyakit kulit • Organisme tertentu penyebab jamur • Organisme penyebab eritrasma (coral red) • Beberapa kelainan pigmen
• Kerokan – Bila dicurigai ada infeksi janur atau skabies
• Biopsi Kulit – Biopsi insisi/eksisi – Punch biopsy
• Tes Tempel: untuk dermatitis kontak • Mikroskopik – Pewarnaan gram untuk bakteri – Pewarnaan Tzank (Giemsa) untuk lesi akibat virus: didapatkan sel datia berinti banyak
Brown, RG dan Tony Burns. 2005. Dermatologi ed 8. Jakarta : EMS
Pemeriksaan Penunjang untuk Lesi Kulit Pemeriksaan
Diagnosis
Biopsi Kulit
Leprae, pathologic diagnostic; skin cancer
Kultur kerokan
Jamur dan infeksi bakteri
KOH
Infeksi Jamur Kulit
Giemsa
Infeksi Chylamdial atau virus
Lampu Wood
Jamur pada kulit dan rambut
Pemeriksaan Lampu Wood Warna
Etiologi
Kuning Emas
Tinea versicolor – M. fufur
Hijau Pucat
Trichophyton schoenleini
Hijau Kekuningan (terang)
Microsporum audouini or M. Canis
Tosca - Biru
Pseudomonas aeruginosa
Pink – Coral
Porphyria Cutanea Tarda
Ash-Leaf-Shaped
Tuberous Sclerosis
Putih Pucat
Hypopigmentation
Coklat-Ungu
Hyperpigmentation
Putih terang, Putih Kebiruan
Depigmentation, Vitiligo
Putih terang
Albinism
Bluewhite
Leprosy
Tzank Test • Fungsinya untuk menentukan adanya virus herpes. Dari tes ini akan banyak ditemukan sel-sel epitel raksasa berinti banyak atau sel Tzanck. • Sel Tzanck biasa ditemukan di herpes simpleks, varicella dan herpes zoster, Pemphigus vulgaris, dan Cytomegalovirus. • Terkadang tes ini disebut Chikenpox skin test atau herpes skin test karena sering digunakan pada virus-virus tersebut.
Varicella (chicken pox) • Infeksi akut oleh virus varicella-zoster yang menyerang kulit dan mukosa • Transmisi secara aerogen • Gejala – Masa inkubasi 14-21 hari – Gejala prodromal: demam subfebris, malaise, nyeri kepala – Disusul erupsi berupa papul eritematosa yang kemudian berubah menjadi vesikel berupa tetesan air (tear drops) mejadi pustula menjadi krusta. Bisa menimbulkan gejala polimorfik karena timbul vesikel baru – Predileksi: daerah badan kemudian menyebar secara sentrifugal
• Pemeriksaan: percobaan Tzanck (sediaan apus dengan pewarnaan Giemsa) Sel datia berinti banyak Menaldi, Sri Linuwih. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Ketujuh, 2015. Badan Penerbit FKUI.
Pengobatan • Simtomatik (antipiretik, analgesik, antipruritus): Bedak Salicil 2 %, Salep Salicil 2% bila terdapat ulserasi • Antivirus: – Acyclovir • 2≥ and <40 kg: 4-5x20 mg/kgBB/kali (maks 800 mg/x) selama 5 hari • 5x800 mg/hari selama 5 hari atau
– Atau Valasiklovir 3x1 gram/hari selama 5 hari (>2 years: 20 mg/kg PO q8hr for 5 days; not to exceed 1 g PO q8hr) – Atau famsiklovir 3x500 mg/hari selama 7 hari Emedicine
102. Phemfigus vulgaris DISEASES Paraneoplastic pemphigus Phemphigus foliceus
Pemphigus vulgaris
Cicatricial pemphigoid
Bullous pemphigoid
S I G N A N D S Y M P TO M S linked to an underlying lymphoproliferative disorder scaly, crusted erosions, often on an erythematous base • • • •
chronic skin disease Flat bullae Nikolsky’s sign (+) transudative fluid accumulates in between the keratinocytes and basement membrane (suprabasal split)
• • •
Nikolsky’s sign (+) common : mouth erosive skin lesion of the mucous membranes and skin that results in scarring of at least some sites of involvement
• • • • •
acute/chronic skin disease common : inner thighs and upper arms ring-like configuration, with a central depression or centrally collapsed bullae Nikolsky’s sign (-) detachment occurs between the epidermis and dermis (subepidermal bullae)
KELAINAN
PENJELASAN
Penyakit kulit autoimun berbula kronik, menyerang kulit dan membran mukosa yang secara histologik ditandai dengan bula intraepidermal akibat proses akantolisis dan secara imunopatologik ditemukan antibodi PEMFIGUS VULGARIS terhadap komponen desmosom pada permukaan keratinosit jenis IgG, baik terikat maupun beredar dalam darah. Khas: bula kendur, bila pecah menjadi krusta yang bertahan lama, nikolsky sign (+)
PEMFIGOID BULOSA
Perbedaan dengan pemfigus vulgaris: keadaan umum baik, dinding bula tegang , bula subepidermal, terdapat IgG linear, nikolsky sign (-)
Pemfigoid Bullosa • Penyakit autoimun berlepuh kronik dengan bula subepidermal dan biasanya terjadi pada usia tua • Pada kulit ditemukan bula tegang dengan dasar kulit normal atau eritematosa. Tempat predileksi pada perut bawah, paha bagian dalam dan anterior, lengan bawah bagian fleksor. Tidak terjadi jaringan parut, tanda nikolsky (-), lesi urtika kadang ditemukan. • Pemeriksaan histopatologi dari biopsi lesi yang baru timbul memperlihatkan lepuh subepidermal dengan infiltrate pada dermis superficial, terdiri atas limfosit, histiosit dan yang khas adalah disertai eosinofil.
Pemphigus Vulgaris
Paraneoplastic Pemphigus e.c Castleman tumor Cleared when the tumor removed
Pemphigus Vulgaris
Pemphigus Foliceus
Bullous Pemphigoid
Cicatricial Pemphigoid
Terapi Pemfigus • Target seperti penyakit autoimun bulosa lain: untuk menurunkan pembentukan bula dan erosi, mempercepat penyembuhan, meminimalisir obat-obatan • Agen yang dapat dipakai: – anti-inflammatory agents (eg, corticosteroids, tetracyclines, dapsone) • Steroid topikal ultrapoten: Clobetasol propeionat • Steroid topikal potensi sedang dan emolient • Steroid sistemik
– Immunosuppressants/ agen sitostatik (eg, azathioprine (yg umum digunakan), methotrexate, mycophenolate mofetil, cyclophosphamide) – Antibodi monoklonal: Rituximab – Antibiotik untuk infeksi sekunder – Pereda nyeri
http://emedicine.medscape.com/article/1064187-treatment | www.dermnetnz.or
103. Herpes Simpleks • Infeksi, ditandai dengan adanya vesikel yang berkelompok di atas kulit yang sembab dan eritematosa di daerah dekat mukokutan • Predileksi HSV tipe I di daerah pinggang ke atas, predileksi HSV tipe II di daerah pinggang ke bawah terutama genital
• Gejala klinis: – Infeksi primer: vesikel berkelompok di atas kulit yang sembab & eritematosa, berisi cairan jernih yang kemudian seropurulen, dapat menjadi krusta dan kadang mengalami ulserasi dangkal, tidak terdapat indurasi, sering disertai gejala sistemik – Fase laten: tidak ditemukan gejala klinis, HSV dapat ditemukan dalam keadaan tidak aktif di ganglion dorsalis – Infeksi rekuren: gejala lebih ringan dari infeksi primer, akibat HSV yang sebelumnya tidak aktif mencpai kulit dan menimbulkan gejala klinis Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2015.
Herpes Simpleks • Pemeriksaan – Ditemukan pada sel dan dibiak, antibodi, percobaan Tzanck (ditemukan sel datia berinti banyak dan badan inklusi intranuklear, glass cell)
Tipe II
• Komplikasi – Meningkatkan morbiditas/mortalitas pada janin dengan ibu herpes genitalis
Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2015.
Prinsip Terapi (CDC 2015) • Terapi yang menjadi pilihan: acyclovir, valacyclovir, dan famcyclovir • Valacyclovir lebih unggul dalam masalah absorbsi • Famciclovir memiliki bioavaibilitas oral yang jauh lebih tinggi • Terapi antiviral topikal tidak banyak bermanfaat dan tidak disarankan • Sediaan yang dipilih ORAL, namun jika gejala berat dipilih sediaan acyclovir IV 5-10 mg/kgBB/8 jam selama 2-7 hari (sampai ada perbaikan) kemudian dilanjutkan terapi oral sampai total durasi terapi 10 hari • Khusus ensefalitis HSV durasi acyclovir IV 21 hari
Regimen terapi (CDC 2015) Untuk yang baru pertama kali menderita • Acyclovir 3x400 mg/hari selama 7-10 hari, ATAU • Acyclovir 5x200 mg/hari selama 7-10 hari, ATAU • Valacyclovir 2x1 gram/hari selama 7-10 hari, ATAU • Famcyclovir 3x250 mg/hari selama 7-10 hari
Untuk yang rekuren (syarat: hanya boleh diberikan max 1 hari setelah onset) • Acyclovir 3x400 mg/hari selama 5 hari, ATAU • Acyclovir 2x800 mg/hari selama 5 hari, ATAU • Acyclovir 3x800 mg/hari selama 2 hari, ATAU • Valacyclovir 2x500 mg/hari selama 3 hari, ATAU • Valacyclovir 1 gr/hari selama 5 hari, ATAU • Famcyclovir 2x125 mg/hari selama 5 hari, ATAU • Famcyclovir 2x1 gram/hari selama 1 hari, ATAU • Famcyclovir 1x500 SD kemudian dilanjutkan 2x250 mg/hari selama 2hari
104. Fascioliasis • Biasanya menginfeksi duktus biliaris dan hati, namun dapat mengenai bagian tubuh yang lain • Fase Akut: gejala muncul akibat migrasi parasit dari intestinal ke dan melewati hati • Gejala dan Tanda – Masalah GI seperti mual, muntah, nyeri perut, – Demam, ruam, dan sulit bernapas dapat terjadi
Fase Infeksi •
Acute Phase – Rarely seen in humans – Occurs only when a large number of metacercariae are ingested at once. – After 4-7 days after ingestion: Fever, tender hepatomegaly, and abdominal pain the most frequent symptoms – vomiting, diarrhea, urticaria (hives), anemia, and may all be present. – Caused by the migration of the F. hepatica larvae throughout the liver parenchyma., the larvae penetrate the liver capsule – Migration continues for 6-8 weeks until the larvae mature and settle in the bile ducts.
•
Chronic Phase – Much more common in human populations – Biliary cholic, abdominal pain, tender hepatomegaly, and jaundice, severe anemia (In children) – These symptoms reflect the biliary obstruction and inflammation caused by the presence of the large adult worms and their metabolic waste in the bile ducts. – Inflammation of the bile ducts eventually leads to fibrosis and a condition called "pipestem liver", a term describing the white appearance of the biliary ducts after fibrosis portal cirrhosis and death.
•
Halzoun – a type of Fasciola hepatica infection in which the worm settles in the pharynx – This occurs when an individual consumes infected raw liver. – The young adult worms then attach themselves to the pharyngeal mucosa which causes considerable pain, edema, and bleeding that can interfere with respiration – The adults can live in the biliary ducts, causing symptoms for up to 10 years.
•
Ectopic Infection – Ectopic infections through normal transmission are infrequent but can occur in the peritoneal cavity, intestinal wall, lungs, subcutaneous tissue, and very rarely in other locations.
http://web.stanford.edu/group/parasites/ParaSites2001/fascioliasis/Fasciola.htm
Fasciola Hepatica: Siklus Hidup
Fasciola Hepatica: Telur pada Mikroskopik
A, B, C: Telur Fasciola hepatica. Pengecatan: iodine. A,B bentuk membulat; C. Terlihat operculum pada terminal
Fasciola Hepatica: Tatalaksana • DOC: Triclabendazole – Dosis: 10 mg/kg/dosis, dalam 2 dosis terpisah 12-24 jam • Alternatif: Nitazoxanide – Untuk fase kronik – 2x500 mg/hari selama 7 hari • Praziquantel – Tidak efektif untuk mengobati fasciola, tapi dipertimbangkan sebagai alternatif ketiga karena ketersediaannya yang mudah) – Dosis: 75 mg/kg/hari PO 3x/hari selama 1-2 hari • Bithionol: no longer available http://emedicine.medscape.com/article/997890-treatment http://reference.medscape.com/drug/biltricide-praziquantel-342666
Nama cacing
Gejala Klinis
Morfologi
Fasciola hepatika
Gangguan GIT mual, muntah, nyeri abdomen, demam Peradangan, penebalan,sumbatan sal.empedusiroris periporta
• Cacing pipih spt daun • Cacing dewasa memiliki batil isap kepala dan perut • Telursulit dibedakan dengan F.buski, sdkt melebar pada abopercular • Telur dikeluarkan belum matang, matang dalam air berisi mirasidium
Fasciolopsis buski
Sebagian besar asimptomatik. Nyeri perut (epigastrium),diare kronik diselingi konstipasi,tinja berisi makanan yang tidak tercerna,anemia akibat perdarahan ulkus/abses,reaksi alergi thdp komponen cacing,obstruksi usus
• Cacing dewasa memiliki batil isap kepala dan perut • Telurelips,dinding transparan,operkulum kecil nyaris tidak terlihat,imatur(tidak ada embrio)
Bentuk
105. Ulkus Tropikum • Ulkus yang cepat berkembang dan nyeri, biasanya pada tungkai bawah, lebih sering ditemukan pada anak-anak kurang gizi di daerah tropik • Etiologi – Trauma, higiene dan gizi, serta infeksi oleh kuman Bacillus fusiformis yang biasanya bersama-sama dengan Borrelia vincentii
• Klinis – Dimulai dengan luka kecil papula meluas menjadi vesikel pecah ulkus kecil terinfeksi kuman meluas ke samping dan dalam
Ulkus Tropikum/ Tropical Phagedenic Ulcer • Predileksi terutama di tungkai bawah • Efloresensi: – Ulkus soliter, numular, kadang disertai lesi satelit akibat autoinokulasi, nyeri, tanpa gejala konstitusi – Pinggir ulkus meninggi, dinding menggaung, dasar kotor, cekung berbenjol-benjol, tepi teratur, sekret produktif (kuning coklta kehijauan), berbau
• Tatalaksana – Perbaikan gizi dan higiene – Pengobatan Topikal: kompres dengan larutan antiseptik ringan seperti KMnO4 (kalium permanganas) 1:5.000/ solusio asam salisilat 1:1000 (0,1%); dilanjutkan dengan pemberian salep salisilat 2% (untuk membantu keratoplasti) – Pengobatan sistemik: • Penisilin 600.000-1,2 juta IU/hari, IM selama 7-10 hari • Tetrasiklin 3 x 500 mg/hari, PO, selama 7 hari
Leg Ulcer Penyakit
Keterangan
Ektima
• infeksi pioderma pada kulit dengan karakteristik berbentuk krusta disertai ulserasi • ulkus superfisial dengan gambaran “punched out appearance” atau berbentuk cawan dengan dasar merah dan tepi meninggi
Ulkus tropikum
• Ulkus tropikum adalah ulkus yang cepat berkembang dan nyeri, biasanya padatungkai bawah, dan lebih sering ditemukan pada anak-anak kurang gizi di daerah tropik • Bentuk ulkus lonjong atau bulat, tertutup oleh jaringan nekrotik dan secret serosanguinolen yang banyak dan meleleh
Ulkus Varikosum/ stasis vena
• dasar ulkus terlihat jaringan granulasi atau bahan fibrosa. Dapat juga terlihat eksudat yang banyak. Kulit sekitarnya tampak merah kecoklatan akibat hemosiderin • Kulit sekitar luka mengalami indurasi, mengkilat, dan fibrotik • Daerah predileksi yaitu daerah antara maleolus dan betis, tetapi cenderungtimbul di sekitar maleolus medialis
Ectima
Ulkus varikosum Ulkus tropikum
106. Melasma •
Disebut juga kloasma/topeng kehamilan
•
Etiologi – Paparan matahari, kehamilan, terapi hormon (pil KB dll), obat dan produk kecantikan, hipotiroidism
•
Efloresensi – Makula hiperpigmentosis, umumnya simetris, warna coklat muda-tua, predileksi di daerah pipi, dahi, daerah atas bibir, hidung, dan dagu
•
Tatalaksana – – – –
Hentikan terapi hormon (bila ada), gunakan sunblock & produk kecantikan yang lembut Hidrokuinon 2-4% (krim atau lotion) selama 2-4 bulan Krim/gel/lotion asam azelaik 2x/hari (aman untuk kehamilan) Kortikosteroid krim
http://www.dermnetnz.org/colour/melasma.html
Melasma: Diagnosis Banding MELASMA
SUN-DAMAGE PIGMENTATION
• Melanosit merespon perubahan hormonal kronik dan sulit sembuh • Dapat mengenai dermis • Plak coklat muda-tua di dahi, pipi, dagu, atas bibir • Simetris • Diskolorisasi pekat dan mengenai epidermis-dermis • Berhubungan dengan hormonal • Paparan matahari, panas, dan kelembaban dapat memperparah
• Lentigo, keratosis seboroik, freckles, sun spots, liver spots) • Hanya dipermukaan kulit • Muncul acak di semua area wajah • Tidak simetris • Berhubungan dengan perubahan tekstur kulit (keriput, garis) • Tidak berhubungan dengan hormon namun paparan matahari • Respon baik terhadap terapi laser • Tidak termasuk kondisi kronik
http://www.celibre.com/difference-between-melasma-and-sun-damage.aspx
MSH: Reseptor Estrogen • Melanosit mengandung reseptor estrogen • Bereaksi terhadap peningkatan estrogen selama kehamilan
• Daerah hiperpigmentasi pada kehamilan: tidak ada peningkatan jumlah melanosit, namun melanosit menjadi lebih besar, lebih dendritik, dan terjadi peningkatan melanogenesis (terutama eumelanin)
107. Morbus Hansen • Etiologi: Mycobacterium leprae • Pemeriksaan fisik: - Sensibilitas kulit: hypoesthesia - Pemeriksaan saraf tepi: penebalan N. fascialis, N. auricularis magnus, N. radialis, N. medianus, N. peroneus communis, N. ulnaris, N. tibialis posterior - Foot drop atau clawed hands - Wasting dan kelemahan otot - Ulserasi yang tidak nyeri pada tungkai atas atau bawah - Lagophtalmus, iridocyclitis, ulserasi kornea, dan/atau katarak sekunder akibat kerusakan saraf atau invasi bakteri secara langsung, bahkan hingga amputasi
Claw hands
Pemeriksaan penunjang Histopatologi • •
Histiosit: makrofag di kulit, sel virchow/sel lepra/foamy cell Granuloma: akumulasi makrofag dan derivatnya
Bakteriologi • •
Pemeriksaan BTA dari kerokan kulit atau sekret mukosa hidung Lokasi pengambilan: cuping telinga kiri dan kanan, dan bercak paling aktif
Imunologi • •
Immunoglobulin: IgM dan IgG Lepromin skin test
Klasifikasi Kusta tipe MB berdasarkan Jopling Sifat
Lepromatosa (LL)
Borderline Lepromatosa (BL)
Mid Borderline (BB)
Bentuk
Makula Infiltrat difus Papul Nodul
Makula Plakat Papul
Plakat Dome shape (kubah) Punched out
Jumlah
Tidak terhitung, tidak Sukar dihitung, masih ada ada kulit sehat kulit sehat
Dapat dihitung, kulit sehat jelas masih ada
Distribusi
Simetris
Hampir simetris
Asimetris
Permukaan
Halus berkilat
Halus berkilat
Agak kasar, agak berkilat
Batas
Tidak jelas
Agak jelas
Agak jelas
Anestesia
Tidak jelas
Tidak jelas
Jelas
Lesi kulit
Banyak (ada globus)
Banyak
Agak banyak
Sekret hidung
Banyak (ada globus)
Biasanya negatif
Negatif
Lesi
BTA
Klasifikasi Kusta tipe PB berdasarkan Jopling Sifat
Tuberculoid (TT)
Borderline Tuberculoid (BT)
Intermediate (I)
Bentuk
Makula dibatasi infiltrat
Makula dibatasi infiltrat atau infiltrat saja
Hanya infiltrat
Jumlah
Satu atau beberapa
Beberapa atau satu dengan lesi satelit
Satu atau beberapa
Distribusi
Terlokalisir dan asimetris
Asimetris
Bervariasi
Permukaan
Kering, berskuama
Kering, skuama
Fapat halus agak berkilat
Batas
Jelas
Jelas
Bisa jelas/tidak jelas
Anestesia
Jelas
Jelas
Tidak ada sampai tidak jelas
Lesi kulit
Hampir selalu negatif
Negatif atau hanya 1+
Negatif
Tes lepromin
Positif kuat (3+)
Positif lemah
Dapat positif lemah atau negatif
Lesi
BTA
Pengobatan Kusta
108. Dermatitis Numularis • Dermatitis dengan lesi berbentuk mata uang (coin) atau agak lonjong, berbatas tegas, dengan efloresensi berupa papulovesikel, plak eritematosa • Sekarang diklasifikasikan sebagai bentuk dermatitis atopik • Etiologi – Multifaktorial, sering adalah alergi makanan yang dipicu virus saluran pernapasan, trauma lokal, kontak dengan iritan/serangga
• Paling sering ditemukan pada lengan dan kaki
• Perjalanan – Papula bergabung menjadi plak dengan skuama – Awal lesi: vesikel yang berisi eksudat serosa (sangat gatal)
• Terapi – Steroid potensi sedang-kuat 2-4 x/hari (triamcinolone, prednisone, clobetasol) – Antibiotik topikal bila ada infeksi sekunder – Antihistamin untuk pruritus https://allergycliniconline.com/2012/05/06/penanganan-terkini-dermatitis-numularisis/
109. Limfogranuloma Venerum • Etiologi: Chlamydia trachomatis serovar L1,L2,L3 intraselular obligat • Papul & ulus genital self-limited, yang diikuti oleh limfadenopati inguinal dan/ femoral yang nyeri – Tahap pertama: papul/pustul genital yang tidak nyeri dan cepat sembuh, sulit dibedakan dengan sifilis periksa secara serologis. Pria: genitalia eksterna; Wanita: vagina bagian dalam dan serviks – Tahap kedua: limfadenopati inguinal yang nyeri muncul setelah 2-6 minggu dari tahap pertama Peradangan KGB inguinal medial, multipel, berbenjol, berkonfluensi, 5 tanda radang akut perlunakan tidak serentak, bubo (dapat pecah), groove sign (pada pria). Sering pada pria dan wanita dengan afek primer di vagina 1/3 bagian bawah – Tahap ketiga: proktokolitis, sindrom genitoanorektal (sering pada wanita atau gay). Peradangan KGB perirektal (kelenjar Gerota). Pada senggama secara genitoanal atau wanita yang afek primernya di vagina 2/3 atas atau serviks
Limfogranuloma Venerum Diagnosis • Klinis • Tes serologis sulit untuk mengkultur organisme – Tes Frei Currently, the Frei intradermal test is only of historical interest. The Frei test would become positive 2-8 weeks after infection. Unfortunately, the Frei antigen is common to all chlamydial species and is not specific to LGV. Commercial manufacturing of Frei antigen was discontinued in 1974.
– Complement fixation (CF) – The microimmunofluorescence test
• Gambaran badan inklusi • Definitive diagnosis may be made by aspiration of the bubo and growth of the aspirated material in cell culture. C trachomatis can be cultured in as many as 30% of cases. • Tatalaksana – Doksisiklin 100 mg PO 2x/hari selama 21 hari atau – Eritromisin 500 mg PO 4x/hari selama 21 hari http://emedicine.medscape.com/article/220869-treatment
110. Karakteristik beberapa IMS Penyakit
Karakteristik
Gonorrhea
Duh purulen kadang-kadang disertai darah. Diplokokus gram negatif.
Trikomoniasis
Duh seropurulen kuning/kuning kehijauan, berbau tidak enak, berbusa. Strawberry appearance.
Vaginosis bakterial
Duh berbau tidak enak (amis), warna abu-abu homogen, jarang berbusa. Clue cells.
Kandidosis vaginalis
Duh berwarna kekuningan, disertai gumpalan seperti kepala susu berwarna putih kekuningan. Sel ragi, blastospora, atau hifa semu.
110. TRIKOMONIASIS • • • • • • • • •
Oval, panjang 4-32 μm dan lebar 2,4-14,4 μm, memiliki flagella; Tidak memiliki bentuk kista Discharge: Keputihan kuning-kehijauan, berbusa, berbau busuk Gejal: Gatal, Dispareunia, Disuria Pemeriksaan mikroskopik: motile trichomonads dan leukosit Pemeriksaan Amine whiff test: strong odor Kultur: media Diamond Ph 4.5 Tanda khas: Strawberry cervix Terapi Metronidazole – – – –
2 gram, dosis sekali minum (single dose) 250 mg 3 kali sehari selama 7-10 hari 500 mg 2 kali sehari selama 5-7 hari Dapat digunakan untuk kehamilan trimester berapapun (CDC)
Habif T.P. Clinical Dermatology A Color Guide To Diagnosis and Therapy. Sixth edition. 2016
Diagnosis Banding
Habif T.P. Clinical Dermatology A Color Guide To Diagnosis and Therapy. Sixth edition. 2016
Terapi
Habif T.P. Clinical Dermatology A Color Guide To Diagnosis and Therapy. Sixth edition. 2016
111. Prurigo • The term ‘prurigo‘ designates an intensely pruritic skin lesions that have no apparent cause – characterized by domeshaped papules topped with a small vesicle or crust – Secondary excoriation due to scratching Principles of pediatric dermatology http://www.drmhijazy.com/english/chapters/chapter36.htm
Prurigo: Etiologi • Faktor Eksternal – – – –
Insect bite Ektoparasit Alergi kontak Faktor fisik seperti panas, dingin, dan cahaya
• Faktor Internal – Stres emosional dan faktor psikogenik lainnya
• Faktor Endokrin – Alergi makanan dan obat
• Infeksi – Fokus septik internal seperti tonsilitis dan sinusitis
Prurigo: Klinis • Eruption consists of small, irritable papules, usually most numerous on the extensor aspects of the limbs, the upper trunk and the buttocks • Crusting and scaling may cover recently excoriated lesions
• The large, more or less symmetrical nodules and the intense pruritus usually establish the diagnosis
ILMU K E S E H ATAN ANAK
Gambar 8. metabolisme bilirubin dalam tubuh. Perhatikan fungsi hepatosit yang melakukan konjugasi bilirubin indirek menjadi bilirubin direk. Adanya ikterik merupakan manifestasi gangguan di prehepatik, intrahepatik atau ekstrahepatik. (Chandrasoma P, Taylor CR. Concise Pathology. 3 rd edition. McGrawHill. http://www.accessmedicine.com diunduh tanggal 25 Juli 2013)
113. Metabolisme Bilirubin
Ikterus Neonatorum • Ikterus neonatorum: fisiologis vs non fisiologis. • Ikterus fisiologis: – Awitan terjadi setelah 24 jam – Memuncak dalam 3-5 hari, menurun dalam 7 hari (pada NCB) – Ikterus fisiologis berlebihan → ketika bilirubin serum puncak adalah 7-15 mg/dl pada NCB
• Ikterus non fisiologis: – – –
Awitan terjadi sebelum usia 24 jam Tingkat kenaikan > 0,5 mg/dl/jam Tingkat cutoff > 15 mg/dl pada NCB
– Ikterus bertahan > 8 hari pada NCB, > 14 hari pada NKB – Tanda penyakit lain
• Gangguan obstruktif menyebabkan hiperbilirubinemia direk. Ditandai bilirubin direk > 1 mg/dl jika bil tot <5 mg/dl atau bil direk >20% dr total bilirubin. Penyebab: kolestasis, atresia bilier, kista duktus koledokus.
Indrasanto E. Hiperbilirubinemia pada neonatus.
Ikterus Neonatorum • Ikterus yang berkembang cepat pada hari ke-1 – Kemungkinan besar: inkompatibilitas ABO, Rh, penyakit hemolitik, atau sferositosis. Penyebab lebih jarang: infeksi kongenital, defisiensi G6PD
• Ikterus yang berkembang cepat setelah usia 48 jam – Kemungkinan besar: infeksi, defisiensi G6PD. Penyebab lebih jarang: inkompatibilitas ABO, Rh, sferositosis.
Kramer’s Rule
Daerah tubuh Muka Dada/punggung
Kadar bilirubin mg/dl 4 -8 5 -12
Perut dan paha
8 -16
Tangan dan kaki
11-18
Telapak tangan/kaki
>15
20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
fisiologis non- fisiologis
hari 1
hari 2
hari 3
hari 4
hari 5
hari 6
hari 7
• Ikterus yang berkembang cepat pada hari ke-1 – Kemungkinan besar: inkompatibilitas ABO, Rh, penyakit hemolitik, atau sferositosis. Penyebab lebih jarang: infeksi kongenital, defisiensi G6PD
• Ikterus yang berkembang cepat setelah usia 48 jam – Kemungkinan besar: infeksi, defisiensi G6PD. Penyebab lebih jarang: inkompatibilitas ABO, Rh, sferositosis.
Panduan foto terapi
AAP, 2004
Panduan transfusi tukar
AAP, 2004
114. Gagal Ginjal Akut • Gagal ginjal akut (GGA) ialah penurunan fungsi ginjal mendadak yang mengakibatkan hilangnya kemampuan ginjal untuk mempertahankan homeostasis • Terdapat peningkatan kadar kreatinin darah secara progresif 0,5 mg/dL per hari dan peningkatan ureum sekitar 10-20 mg/dL per hari. • GGA dapat bersifat oligurik dan non-oligurik. – Oliguria ialah produksi urin <1 ml/kgBB/ jam untuk neonatus dan <0,8 ml/kgBB/jam untuk bayi dan anak.
• Jenis GGA – GGA prarenal: dehidrasi, syok, perdarahan, gagal jantung, sepsis – GGA renal: pielonefritis, glomerulonefritis, nefrotoksisitas karena obat atau kemoterapi, lupus nefritis, nekrosis tubular akut, SHU, HSP – GGA pascarenal: keracunan jengkol, batu saluran kemih, obstruksi saluran kemih, sindrom tumor lisis, buli-buli neurogenik
Patogenesis • The primary renal insult is a critical decrease in the blood supply, which results in the desquamation of tubular cells, tubular cast formation, intraluminal tubular obstruction and back leakage of the glomerular filtrate. • Consequently, retention of nitrogenous waste products, an increase in the serum creatinine and derangement of the fluid and electrolyte homeostasis occurs. • Structural damage ensues, and neutrophils adhere to the injured ischaemic endothelium in the kidney, releasing substances which promote inflammation.
Tatalaksana Medikamentosa GGA • Terapi sesuai penyakit primer • Bila terdapat infeksi, dosis antibiotik disesuaikan dengan beratnya penurunan fungsi ginjal • Pemberian cairan disesuaikan dengan keadaan hidrasi • Koreksi gangguan ketidakseimbangan cairan elektrolit • Natrium bikarbonat untuk mengatasi asidosis metabolik sebanyak 1-2 mEq/kgBB/ hari sesuai dengan beratnya asidosis
• Pemberian diuretik pada GGA renal dengan furosemid 1-2 mg/kgBB dua kali sehari dan dapat dinaikkan secara bertahap sampai maksimum 10 mg/kgBB/kali. (pastikan kecukupan sirkulasi dan bukan merupakan GGA pascarenal). • Bila gagal dengan medikamentosa, maka dilakukan dialisis peritoneal atau hemodialisis.
115. Epiglotitis • Acute bacterial epiglottitis – Life-threatening, medical emergency due to infection with edema of epiglottis and aryepiglottic folds
• Organism – Haemophilus influenzae type B: most common (bacil gram -, needs factor X and V for growth) – Also caused by Pneumococcus, Streptococcus group A, Viral infection – herpes simplex 1 and parainfluenza
• Age – Typically between 3-7 years – Peak incidence has become older over last decade and is now closer to 6-7 years
• Location – Purely supraglottic lesion • Associated subglottic edema in 25%
– Associated swelling of aryepiglottic folds causes stridor
Epiglotitis • • • • •
Classical triad is: drooling, dysphagia and distress (respiratory) Abrupt onset of respiratory distress with inspiratory stridor Sore throat Severe dysphagia, muffled voice/hot potato voice Older child may have neck extended and appear to be sniffing due to air hunger • Resembles croup clinically, but think of epiglottitis if: – Child can not breathe unless sitting up – “Croup” appears to be worsening – Child can not swallow saliva and drools (80%)
• Cough is unusual
Tripod sign • Pt appears anxious • Leans forward with support of both forearms
• Extends neck in an attempt to maintain an open airway
Investigations 1. Flexible laryngoscopy: carried out only in ICU or OT with intubation / tracheostomy set ready 2. Post-intubation direct laryngoscopy 3. Plain x-ray soft tissue of neck lateral view
4. Culture from epiglottis during intubation: +ve in 15% cases of H. influenzae 5. Blood culture: +ve in 15% cases of H. influenzae
X-ray soft tissue neck • Lateral view taken in erect position only (Supine
position may close off airway) – – – –
Enlargement of epiglottis (thumb sign) Absence of well defined vallecula (Vallecula sign) Thickening of aryepiglottic folds (cause for stridor) Circumferential narrowing of subglottic portion of trachea during inspiration (25% cases) – Ballooning of hypopharynx
Thumb Sign pada epiglotitis
Gambaran epiglotis normal
X-ray soft tissue neck
Red arrow = enlarged epiglottis Yellow arrow = thickened ary-epiglottic folds
Epiglotitis • Diff Diagnosis: Croup – – – –
Dilatation of the hypopharynx Dilation of the laryngeal ventricle Narrowing of the subglottic trachea Epiglottis is normal
• Tx: – – – –
Secure airway May require intubation or emergency tracheostomy Some use IV steroids Empiric antibiotic therapy
Acute Viral croup epiglottitis
Bacterial croup
Spasmodic croup
R.P. abscess
Age (yr)
3-7
1-3
1-8
1-3
1-3
Voice
Normal or muffled
Hoarse
Hoarse
Hoarse
Hoarse
Cough
Absent
Barking seal-like
Barking seal-like
Barking seal-like
Absent
Stridor
Inspiratory
Biphasic
Biphasic
Biphasic
Inspiratory
Dysphagia + drooling
Severe
Absent
Absent
Absent
Severe
Fever
> 102 F
< 102 F
> 102 F
< 102 F
> 102 F
Posture
Quiet, sitting
Restless, supine
Restless, supine
Restless, supine
Restless, sitting
116. Oral Thrush • Etiology: Candida Albicans • Clinical Manifestation – White curdish like lesions on the buccal mucosa, tongue, palate, and gingiva. The lesions are difficult to scrape off and this differentiates it from milk. After scraping, there is an erythematous base and some bleeding. – Oral candidiasis may be associated with diaper candidiasis (diaper rash)
TREATMENT NYSTATIN Infants • 200,000 units PO q6hr (100,000 units in each side of mouth) Children • Oral suspension: 400,000600,000 units PO q6hr Intestinal Candidiasis • Oral Tablets: 500,000 units - 1 million units q8hr
117. Jadwal pemantauan bayi lahir dengan program PPIA Lahir
10-14 hari
4 mgu
BB/TB/ Lingkar kepala Nutrisi ARV profilaksis (AZT 4mg/kgBB/x, 2x/hari)
PCR RNA/DNA
2 bln
3 bln
4 bln
6 bln
9 bln
18 bln
SF
SF + MP
SF + MP
Dilakukan pemeriksaan rutin tiap kunjungan SF
SF
SF
SF
SF
SF
SF
Diberikan selama 6 minggu
Kotrimoksazol
Imunisasi
6 mgu
Diberikan setelah selesai zidovudin. Diberikan hingga dinyatakan HIV negatif Imunisasi Hep B, OPV, DPT, HiB, dilakukan sesuai jadwal. Imunisasi campak dapat diberikan kecuali HIV simtomatik. Imunisasi BCG diberikan bila infeksi HIV dapat disingkirkan I
II
Ab HIV
Pemilihan Makanan Bayi pada Ibu HIV (+) • Pemilihan makanan bayi harus didahului dengan konseling tentang risiko penularan HIV melalui ASI. • Pengambilan keputusan oleh ibu dilakukan setelah mendapat informasi secara lengkap. • Pilihan apapun yang diambil oleh ibu harus didukung. • Ibu dengan HIV yang sudah dalam terapi ARV memiliki kadar HIV sangat rendah, sehingga aman untuk menyusui bayinya. • Dalam Pedoman HIV dan Infant Feeding (2010), World Health Organization (WHO) merekomendasikan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan untuk bayi lahir dari ibu yang HIV dan sudah dalam terapi ARV untuk kelangsungan hidup anak (HIV-free and child survival). • Eksklusif artinya hanya diberikan ASI saja, tidak boleh dicampur dengan susu lain (mixed feeding).
• Setelah bayi berusia 6 bulan pemberian ASI dapat diteruskan hingga bayi berusia 12 bulan, disertai dengan pemberian makanan padat. • Bila ibu tidak dapat memberikan ASI eksklusif, maka ASI harus dihentikan dan digantikan dengan susu formula untuk menghindari mixed feeding • Beberapa studi menunjukkan pemberian susu formula memiliki risiko minimal untuk penularan HIV dari ibu ke bayi, sehingga susu formula diyakini sebagai cara pemberian makanan yang paling aman. • Namun, penyediaan dan pemberian susu formula memerlukan akses ketersediaan air bersih dan botol susu yang bersih, yang di banyak negara berkembang dan beberapa daerah di Indonesia persyaratan tersebut sulit dijalankan. • Selain itu, keterbatasan kemampuan keluarga di Indonesia untuk membeli susu formula dan adanya norma sosial tertentu di masyarakat mengharuskan ibu menyusui bayinya.
118. Sindrom Nefrotik •
•
• •
Spektrum gejala yang ditandai dengan protein loss yang masif dari ginjal Pada anak sindrom nefrotik mayoritas bersifat idiopatik, yang belum diketahui patofisiologinya secara jelas, namun diperkirakan terdapat keterlibatan sistem imunitas tubuh, terutama sel limfosit-T Gejala klasik: proteinuria, edema, hiperlipidemia, hipoalbuminemia Gejala lain : hipertensi, hematuria, dan penurunan fungsi ginjal
•
•
Di bawah mikroskop: Minimal change nephrotic syndrome (MCNS)/Nil Lesions/Nil Disease (lipoid nephrosis) merupakan penyebab tersering dari sindrom nefrotik pada anak, mencakup 90% kasus di bawah 10 tahun dan >50% pd anak yg lbh tua. Faktor risiko kekambuhan: riwayat atopi, usia saat serangan pertama, jenis kelamin dan infeksi saluran pernapasan akut akut (ISPA) bagian atas yang menyertai atau mendahului terjadinya kekambuhan, ISK
Lane JC. Pediatric nephrotic syndrome. http://emedicine.medscape.com/article/982920-overview
Sindrom Nefrotik • Sindrom nefrotik (SN) adalah suatu sindrom klinik dengan gejala: – Proteinuria massif (≥ 40 mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik ≥ 2+) – Hipoalbuminemia ≤ 2,5 g/dL – Edema – Dapat disertai hiperkolesterolemia
• Etiologi SN dibagi 3 yaitu kongenital, primer/idiopatik, dan sekunder (mengikuti penyakit sistemik antara lain lupus eritematosus sistemik (LES), purpura Henoch Schonlein) KONSENSUS TATA LAKSANA SINDROM NEFROTIK IDIOPATIK PADA ANAK. Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia
Diagnosis • Anamnesis : Bengkak di kedua kelopak mata, perut, tungkai atau seluruh tubuh. Penurunan jumlah urin. Urin dapat keruh/kemerahan • Pemeriksaan Fisik : Edema palpebra, tungkai, ascites, edema skrotum/labia. Terkadang ditemukan hipertensi • Pemeriksaan Penunjang : Proteinuria masif ≥ 2+, rasio albumin kreatinin urin > 2, dapat disertai hematuria. Hipoalbumin (<2.5g/dl), hiperkolesterolemia (>200 mg/dl). Penurunan fungsi ginjal dapat ditemukan.
Protein Esbach • Terdapat berbagai metode untuk menilai kadar Albumin di dalam urin, salah satunya metode Esbach (uji kuantitatif) • Metode ini tidak terlalu akurat, namun sederhana, dan tidak memerlukan peralatan yang rumit • Prinsip : presipitasi protein (albumin) pada urin dengan menggunakan larutan asam pikrat (Reagen Esbach) di dalam wadah yang disebut tabung albuminometer • Urin yang digunakan harus urin tampung selama 24 jam, dan urin dengan BJ di atas 1,010 harus dilarutkan terlebih dahulu meningkatkan kesalahan penilaian • Komposisi Reagen Esbach : – 10 g Asam pikrat, 20 g asam sitrat, dilarutkan dalam 1000 ml air
Definisi pada Sindrom Nefrotik • Remisi : proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2 LPB/jam) 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu • Relaps : proteinuria ≥ 2+ (proteinuria ≥ 40 mg/m2 LPB/jam) 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu • Relaps jarang : relaps terjadi kurang dari 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respons awal atau kurang dari 4 kali per tahun pengamatan • Relaps sering (frequent relaps) : relaps terjadi ≥ 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respons awal atau ≥ 4 kali dalam periode 1 tahun • Dependen steroid : relaps terjadi pada saat dosis steroid diturunkan atau dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan, dan hal ini terjadi 2 kali berturut-turut • Resisten steroid : tidak terjadi remisi pada pengobatan prednison dosis penuh (full dose) 2 mg/kgBB/hari selama 4 minggu.
Tatalaksana
KONSENSUS TATA LAKSANA SINDROM NEFROTIK IDIOPATIK PADA ANAK. Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia
Tatalaksana Diet pada SN Anak • Pemberian diit tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi karena akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan sklerosis glomerulus. • Bila diberi diit rendah protein akan terjadi malnutrisi energi protein (MEP) dan menyebabkan hambatan pertumbuhan anak. • Jadi cukup diberikan diit protein normal sesuai dengan RDA (recommended daily allowances) yaitu 1,5-2 g/kgbb/hari. • Diit rendah garam (1-2 g/hari) hanya diperlukan selama anak menderita edema.
Diuretik pada SN Anak • Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. • Biasanya diberikan loop diuretic seperti furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila perlu dikombinasikan dengan spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-4 mg/kgbb/hari. • Sebelum pemberian diuretik, perlu disingkirkan kemungkinan hipovolemia. Pada pemakaian diuretik lebih dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit kalium dan natrium darah. • Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter), biasanya terjadi karena hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (≤ 1 g/dL), dapat diberikan infus albumin 20-25% dengan dosis 1 g/kgbb selama 2-4 jam untuk menarik cairan dari jaringan interstisial dan diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgbb. • Bila diperlukan, suspensi albumin dapat diberikan selang-sehari untuk memberi kesempatan pergeseran cairan dan mencegah overload cairan. Bila asites sedemikian berat sehingga mengganggu pernapasan, dapat dilakukan punksi asites berulang
119. Anemia Hemolisis Neonatus/ Hemolytic Disease of Neonates P E N YA K I T
KETERANGAN
Inko m pati bi l i tas ABO
Adanya aglutinin ibu yang bersirkulasi di darah anak terhadap aglutinogen ABO anak. Ibu dengan golongan darah O, memproduksi antibodi IgG Anti-A/B terhadap gol. darah anak (golongan darah A atau B). Biasanya terjadi pada anak pertama
Inko m pati bi l i tas Rh
Rh+ berarti mempunyai antigen D, sedangkan Rh– berarti tidak memiliki antigen D. Hemolisis terjadi karena adanya antibodi ibu dgn Rh- yang bersirkulasi di darah anak terhadap antigen Rh anak (berati anak Rh+). Jarang pada anak pertama krn antibodi ibu terhadap antigen D anak yg berhasil melewati plasenta belum banyak. Ketika ibu Rh - hamil anak kedua dgn rhesus anak Rh + antibodi yang terbentuk sudah cukup untuk menimbulkan anemia hemolisis
Inkompatibilitas ABO • Terjadi pada ibu dengan golongan darah O terhadap janin dengan golongan darah A, B, atau AB • Tidak terjadi pada ibu gol A dan B karena antibodi yg terbentuk adalah IgM yg tdk melewati plasenta, sedangkan 1% ibu gol darah O yang memiliki titer antibody IgG terhadap antigen A dan B, bisa melewati plasenta
• Gejala yang timbul adalah ikterik, anemia ringan, dan peningkatan bilirubin serum. • Lebih sering terjadi pada bayi dengan gol darah A dibanding B, tetapi hemolisis pada gol darah tipe B biasanya lebih berat. • Inkompatibilitas ABO jarang sekali menimbulkan hidrops fetalis dan biasanya tidak separah inkompatibilitas Rh
Inkompatibilitas Rhesus • Faktor Rh: salah satu jenis antigen permukaan eritrosit • Inkompatibilitas rhesus: kondisi dimana wanita dengan rhesus (-) terekspos dengan eritrosit Rh (+), sehingga membentuk antibodi Rh – Ketika ibu Rh (-) hamil dan memiliki janin dengan Rh (+), terekspos selama perjalanan kehamilan melalui kejadian aborsi, trauma, prosedure obstetrik invasif, atau kelahiran normal – Ketika wanita dengan Rh (-) mendapatkan transfusi darah Rh (+)
Inkompatibilitas Rhesus • Faktor Rh: salah satu jenis antigen permukaan eritrosit • Inkompatibilitas rhesus: kondisi dimana wanita dengan rhesus (-) terekspos dengan eritrosit Rh (+), sehingga membentuk antibodi Rh – Ketika ibu Rh (-) hamil dan memiliki janin dengan Rh (+), terekspos selama perjalanan kehamilan melalui kejadian aborsi, trauma, prosedure obstetrik invasif, atau kelahiran normal – Ketika wanita dengan Rh (-) mendapatkan transfusi darah Rh (+)
• Setelah eksposure pertama, ibu akan membentuk IgG maternal terhadap antigen Rh yang bisa dengan bebas melewati plasenta hingga membentuk kompleks antigen-antibodi dengan eritrosit fetus dan akhirnya melisiskan eritrosit tersebut fetal alloimmune-induced hemolytic anemia. • Ketika wanita gol darah Rh (-) tersensitisasi diperlukan waktu kira-kira sebulan untuk membentuk antibodi Rh yg bisa menandingi sirkulasi fetal. • 90% kasus sensitisasi terjadi selama proses kelahiran o.k itu anak pertama Rh (+) tidak terpengaruhi karena waktu pajanan eritrosit bayi ke ibu hanya sebentar, tidak bisa memproduksi antibodi scr signifikan
Inkompatibilitas Rhesus • Risiko dan derajat keparahan meningkat seiring dengan kehamilan janin Rh (+) berikutnya, kehamilan kedua menghasilkan bayi dengan anemia ringan, sedangkan kehamilan ketiga dan selanjutnya bisa meninggal in utero • Risiko sensitisasi tergantung pada 3 faktor: – Volume perdarahan transplansental – Tingkat respons imun maternal – Adanya inkompatibilitas ABO pada saat bersamaan • Adanya inkompatibilitas ABO pada saat bersamaan dengan ketidakcocokan Rh justru mengurangi kejadian inkompatibilitas Rh karena serum ibu yang mengandung antibodi ABO menghancurkan eritrosit janin sebelum sensitisasi Rh yg signifikan sempat terjadi • Untungnya inkompatibilitas ABO biasanya tidak memberikan sekuele yang parah http://emedicine.medscape.com/article/797150
Pemeriksaan Penunjang Inkompatibilitas • Prenatal emergency care for Rh incompatibility: – Tipe Rh ibu – the Rosette screening test atau the KleihauerBetke acid elution test bisa mendeteksi alloimmunization yg disebabkan oleh fetal hemorrhage – Amniosentesis/cordosentesis http://emedicine.medscape.com/article/797150
Pemeriksaan Penunjang Inkompatibilitas • Pemeriksaan penunjang yang dilakukan post natal baik untuk inkompatibilitas ABO dan Rh – Cek tipe ABO dan Rh, hematokrit, Hb, serum bilirubin, apusan darah, dan direct Coombs test. – direct Coombs test yang positif menegakkan diagnosis antibody-induced hemolytic anemia yang menandakan adanya inkompabilitas ABO atau Rh • Pada inkompatibilitas ABO manifestasi yg lebih dominan adalah hiperbilirubinemia, dibandingkan anemia, dan apusan darah tepi memberikan gambaran banyak spherocyte dan sedikit erythroblasts, sedangkan pada inkompatibilitas Rh banyak ditemukan eritoblas dan sedikit spherocyte
Tatalaksana Inkompatibilitas Rh • Jika sang ibu hamil Rh – dan belum tersensitisasi, berikan human anti-D immunoglobulin (Rh IgG atau RhoGAM) • Jika sang ibu sudah tersensitisasi, pemberian Rh IgG tidak berguna • Jika bayi telah lahir dan mengalami inkompatibilitas, transfusi tukar/ foto terapi tergantung dari kadar bilirubin serum, rendahnya Ht, dan naiknya reticulocyte count http://emedicine.medscape.com/article/797150
Tatalaksana Umum Hemolytic Disease of Neonates • •
•
•
•
In infants with hyperbilirubinemia due to alloimmune HDN, monitoring serum bilirubin levels, oral hydration, and phototherapy are the mainstays of management. For infants who do not respond to these conventional measures, intravenous fluid supplementation and/or exchange transfusion may be necessary to treat hyperbilirubinemia. Intravenous immunoglobulin (IVIG) also may be useful in reducing the need for exchange transfusion. Phototherapy — Phototherapy is the most commonly used intervention to treat and prevent severe hyperbilirubinemia. It is an effective and safe intervention. The AAP has developed guidelines for the initiation and discontinuation of phototherapy based upon total serum bilirubin (TSB) values at specific hourly age of the patient, gestational age, and the presence or absence of risk factors for hyperbilirubinemia including alloimmune HDN Hydration — Phototherapy increases insensible skin losses and as a result the fluid requirements of infants undergoing phototherapy are increased. In addition, by-products of phototherapy are eliminated in the urine. If oral hydration is inadequate, intravenous hydration may be necessary. Exchange transfusion — Exchange transfusion is used to treat severe anemia, as previously discussed, and severe hyperbilirubinemia. Exchange transfusion removes serum bilirubin and decreases hemolysis by the removal of antibodycoated neonatal RBCs and unbound maternal antibody.
I N K O M PAT I B I L I TA S A B O
I N K O M PAT I B I L I TA S R H
Bisa terjadi pada anak pertama
Tidak pernah terjadi pada anak pertama dengan rhesus (+) karena antibodi ibu yg terbentuk belum cukuop untuk menyebabkan inkompatibilitas
Inkompatibilitas ABO jarang sekali menimbulkan hidrops fetalis dan biasanya tidak separah inkompatibilitas Rh
Gejala biasanya lebih parah jika dibandingkan dengan inkompatibilotas ABO, bahkan hingga hidrops fetalis
Risiko dan derajat keparahan tidak meningkat di anak selanjutnya
Risiko dan derajat keparahan meningkat seiring dengan kehamilan janin Rh (+) berikutnya, kehamilan kedua menghasilkan bayi dengan anemia ringan, sedangkan kehamilan ketiga dan selanjutnya bisa meninggal in utero
apusan darah tepi memberikan gambaran banyak spherocyte dan sedikit erythroblasts
pada inkompatibilitas Rh banyak ditemukan eritoblas dan sedikit spherocyte
120. Defisiensi Vitamin B Vitamin B1 (Thiamine)
Beriberi - a disease whose symptoms include weight loss, body weakness and pain, brain damage, irregular heart rate, heart failure, and death if left untreated
Causes distinctive bright pink tongues, although other Vitamin B2 (Riboflavin) symptoms are cracked lips, throat swelling, bloodshot eyes, and low red blood cell count Pellagra - symptoms included diarrhea, dermatitis, dementia, Vitamin B3 (Niacin) and finally death (4D) Vitamin B5 Acne and Chronic paresthesia (Pantothenic Acid) Microcytic anemia, depression, dermatitis, high blood Vitamin B6 pressure (hypertension), water retention, and elevated levels (Pyridoxine) of homocysteine Causes rashes, hair loss, anaemia, and mental conditions Vitamin B7 (Biotin) including hallucinations, drowsiness, and depression Causes gradual deterioration of the spinal cord and very Vitamin B12 gradual brain deterioration, resulting in sensory or motor (Cobalamin) deficiencies
Vitamin B12: Cobalamin absorption • Initially bound to protein in diet, liberated by acid and pepsin, then binds to R factors in saliva and gastric acids • Freed from R factors by pancreatic proteases them binds to Intrinsic Factor secreted by gastric parietal cells • Absorbed together (Cbl + IF) in ileum • Released from IF in ileal cell then exocytosed bound to trans-Cbl II • Cbl bound to transcobalamin II binds to cell surface receptors and is endocytosed
Kaferle J. Evaluation of Macrocytosis. Am Fam Physician. 2009;79(3):203-208
Actions of Cobalamin & Folate
Anemia Makrositik (Defisiensi Vitamin B12) • Macrocytosis : mean corpuscular volume greater than 100 fL
B12 Deficiency Symptoms Atrophic glossitis (shiny tongue) Shuffling broad gait Anemia and related sx Vaginal atrophy Malabsorption Jaundice Personality changes Hyperhomocysteinemia Neurologic symptoms (next slide) Copper deficiency can cause similar neurologic symptoms
B12 Symptoms: Neurologic
Paresthesias Memory loss Numbness Weakness Loss of dexterity due to loss of vibration and position sense Symmetric neuropathy legs>arms Severe weakness, spasticity, clonus, paraplegia and incontinence
Subacute combined degeneration of the dorsal (posterior) and lateral spinal columns Due to a defect in myelination NOT ALL PATIENTS WITH B12 DEFICIENCY RELATED NEUROLOGIC ABNORMALITIES ARE ANEMIA OR MACROCYTOSIS
B12 Lab findings Macroovalocytic anemia with elevated serum bili and LDH Increased red cell breakdown due to ineffective hematopoiesis Retic, WBC & platelets normal to low Hypersegmented neurophils Also occur in renal failure, fe deficiency, inherited
Hipersegmentasi (segmen 5/lebih)
Makro-ovalosit pada anemia makrositik megaloblastik
Anemia makrositik
Wintrobe Clinical Hematology. 13 ed.
121. EKSANTEMA AKUT
Morbili/Rubeola/Campak •
•
•
•
Pre-eruptive Stage – Demam – Catarrhal Symptoms – coryza, conjunctivitis – Respiratory Symptoms – cough Eruptive Stage/Stage of Skin Rashes – Exanthem sign • Maculopapular Rashes – Muncul 2-7 hari setelah onset • Demam tinggi yang menetap • Anoreksia dan iritabilitas • Diare, pruritis, letargi dan limfadenopati oksipital Stage of Convalescence – Rash – menghilang sama dengan urutan munculnya (muka lalu ke tubuh bag bawah) → membekas kecoklatan – Demam akan perlahan menghilang saat erupsi di tangan dan kaki memudar Tindakan Pencegahan : – Imunisasi Campak pada usia 9 bulan – Mencegah terjadinya komplikasi berat
Morbili • Paramyxovirus • Kel yg rentan: – Anak usia prasekolah yg blm divaksinasi – Anak usia sekolah yang gagal imunisasi
• Musin: akhir musim dingin/ musim semi • Inkubasi: 8-12 hari • Masa infeksius: 1-2 hari sblm prodromal s.d. 4 hari setelah muncul ruam
• Prodromal – Hari 7-11 setelah eksposure – Demam, batuk, konjungtivitis,sekret hidung. (cough, coryza, conjunctivitis 3C)
• Enanthem ruam kemerahan • Koplik’s spots muncul 2 hari sebelum ruam dan bertahan selama 2 hari.
Morbili KOMPLIKASI • Otitis Media (1 dari 10 penderita campak pada anak) • Diare (1 dari 10 penderita campak) • Bronchopneumonia (komplikasi berat; 1 dari 20 anak penderita campak) • Encephalitis (komplikasi berat; 1 dari 1000 anak penderita campak) • Pericarditis • Subacute sclerosing panencephalitis – late sequellae due to persistent infection of the CNS; 7-10 tahun setelahnya; 1: 100,000 orang)
DIAGNOSIS & TERAPI • Diagnosis: – manifestasi klinis, tanda patognomonik bercak Koplik – isolasi virus dari darah, urin, atau sekret nasofaring – pemeriksaan serologis: titer antibodi 2 minggu setelah timbulnya penyakit
• Terapi: – Suportif, pemberian vitamin A 2 x 200.000 IU dengan interval 24 jam.
Penatalaksanaan • Terapi suportif diberikan dengan menjaga cairan tubuh dan mengganti cairan yang hilang dari diare dan emesis. • Obat diberikan untuk gejala simptomatis, demam dengan antipiretik. • Jika terjadi infeksi bakteri sekunder, diberikan antibiotik. • Suplementasi vitamin A diberikan pada: – – – –
Bayi usia kurang dari 6 bulan 50.000 IU/hari PO diberi 2 dosis. Umur 6-11 bulan 100.000 IU/hari PO 2 dosis. Umur di atas 1 tahun 200.000 IU/hari PO 2 dosis. Anak dengan tanda defisiensi vitamin A, 2 dosis pertama sesuai umur, dilanjutkan dosis ketiga sesuai umur yang diberikan 2-4 minggu kemudian.
Konseling & Edukasi • Edukasi keluarga dan pasien bahwa morbili merupakan penyakit yang menular. • Namun demikian, pada sebagian besar pasien infeksi dapat sembuh sendiri, sehingga pengobatan bersifat suportif. • Edukasi pentingnya memperhatikan cairan yang hilang dari diare/emesis. • Untuk anggota keluarga/kontak yang rentan, dapat diberikan vaksin campak atau human immunoglobulin untuk pencegahan. • Vaksin efektif bila diberikan dalam 3 hari terpapar dengan penderita. • Imunoglobulin dapat diberikan pada individu dengan gangguan imun, bayi umur 6 bulan -1 tahun, bayi umur kurang dari 6 bulan yang lahir dari ibu tanpa imunitas campak, dan wanita hamil.
Rubella • Togavirus • Yg rentan: orang dewasa yang belum divaksinasi • Musim: akhir musim dingin/ awal musim semi. • Inkubasi 14-21 hari • Masa infeksius: 5-7 hari sblm ruam s.d. 3-5 hari setelah ruam muncul
• Asymptomatik hingga 50% • Prodromal – Anak-anak: tidak bergejala s.d. gejala ringan – Dewasa: demam, malaside, nyeri tenggorokan, mual, anoreksia, limfadenitis oksipital yg nyeri.
• Enanthem – Forschheimer’s spots petekie pada hard palate
Rubella - komplikasi • Arthralgias/arthritis pada org dewasa • Peripheral neuritis • encephalitis • thrombocytopenic purpura (jarang) • Congenital rubella syndrome – Infeksi pada trimester pertama – IUGR, kelainan mata, tuli, kelainan jantung, anemia, trombositopenia, nodul kulit.
Roseola Infantum ≈ Exanthem Subitum • Human Herpes Virus 6 (and 7) • Yg rentan: 6-36 bulan (puncak 6-7 bulan) • Musim: sporadik • Inkubasi: 9 hari • Masa infeksius: berada dalam saliva secara intermiten sepanjang hidup; infeksi asimtomatik persisten.
• Demam tinggi 3-4 hari • Demam turun mendadak dan mulai timbul ruam kulit. • Kejang yang mungkin timbul berkaitan dengan infeksi pada meningens oleh virus.
Scarlet Fever • Sindrom yang memiliki karakteristik: faringitis eksudatif, demam, dan rash. • Disebabkan oleh group Abetahemolyticstreptococci (GABHS) • Masa inkubasi 1-4 hari. • Manifestasi pada kulit diawali oleh infeksi streptokokus (umumnya pada tonsillopharynx): nyeri tenggorokan dan demam tinggi, disertai nyeri kepala, mual, muntah, nyeri perut, myalgia, dan malaise.
• Rash : Timbul 12-48 jam setelah onset demam. Dimulai dari leher kemudian menyebar ke badan dan ekstremitas. • Pemeriksaan : Throat culture positive for group A strep • Tatalaksana : Antibiotik antistreptokokal minimal 10 hari (Eritromisin atau Penicillin G)
Scarlet Fever. http://emedicine.medscape.com/article/1053253-overview
122. Intoleransi Laktosa VS Milk Allergy Intoleransi Laktosa
Milk Allergy
Definisi
•
Ketidakmampuan tubuh untuk mencerna “gula susu/laktosa” akibat defisiensi enzim laktase. • reaksi non – imunologis
•
Manifestasi klinis
•
mual, keram perut, kembung, nyeri perut, flatus dan diare • gejala muncul dalam waktu 15 menit hingga beberapa jam setelah mengkonsumsi laktosa
Manifestasi tidak hanya pada sal. cerna, tetapi juga pada mukosa, kulit, hingga saluran napas
Pemeriksaan Klinis
• Analisis tinja : • Metode klini test • Kromatografi tinja • pH tinja tinja bersifat asam • Pemeriksaan radiologis lactosabarium meal • Ekskresi galaktos pada urin • Uji hidrogen napas
• Double blind placebo controlled food challenge (DBPCFC) gold standar lebih banyak untuk riset • pemeriksaan lain yang resiko lebih rendah namun memiliki efikasi yg sama • skin prick test, pengukuran antibodi IgE spesifik terhadap protein susu sapi, patch test
reaksi hipersensitivitas terhadap protein susu sapi. Dapat melalui 2 mekanisme : 1). Diperantarai IgE ; 2). Non IgE (rx hipersensitivitas tipe IV)
123. TRANSFUSI DARAH • Darah lengkap (whole blood) • Komponen darah ~ Sel darah merah ~ Leukosit ~ Trombosit ~ Plasma (beku-segar) ~ Kriopresipitat
PRC
PRC
JUMLAH DARAH YANG DIPERLUKAN Darah lengkap: BB(kg) x 6x (Hbdiinginkan – Hbtercatat)
SDM pekat (2/3 dari darah lengkap) BB(kg) x 4x (Hbdiinginkan – Hbtercatat) Hb penderita Jumlah SDM (g/dL) (diberikan dalam 3-4 jam) ------------------------------------------------------------------------------7-10 10 mL/kg.bb 5-7 5 mL/kb.bb* <5, payah jantung (-) 3 mL/kg.bb* <5, payah jantung (±) 3 mL/kg.bb+furosemid <5, payah jantung (+) transfusi tukar ------------------------------------------------------------------------------*dapat diulang dengan interval 6-12 jam
Dosis SDM untuk transfusi Hb penderita Jumlah SDM (g/dL) (diberikan dalam 3-4 jam) ------------------------------------------------------------------------------7-10 10 mL/kg.bb 5-7 5 mL/kb.bb* < 5, payah jantung (-) 3 mL/kg.bb* < 5, payah jantung (±) 3 mL/kg.bb+furosemid < 5, payah jantung (+) transfusi tukar ------------------------------------------------------------------------------* dapat diulang dengan interval 6-12 jam
Fresh Frozen Plasma
Cryoprecipitate
Thrombocyte Concentrate
Indikasi transfusi darah pada Thalasemia
124. Asfiksia Neonatal
Mathai SS. Management of respiratory distress in the newborn. MJAFI 2007; 63: 269-72.
WET LUNG SYNDROME (TTN; TRDN) Normalnya, saat lahir pervaginam tubuh bayi mengalami
kompresi oleh karena sempitnya jalan lahir N O R M A L
Alveolus dan bronkus janin terisi cairan
Cairan dalam paru terperas keluar Cairan yang tersisa dibatukkan/diserap
Beberapa bayi proses di atas tidak terjadi sal. napas masih terisi cairan sesak napas 766
Faktor Risiko 1. Bedah caesar
2. Hipoksia janin atau asfiksia berat 3. Ibu mengalami sedasi 4. Polihidramnion
767
Diagnosis • Cukup bulan/kurang bulan • Sesak napas saat atau segera setelah lahir • Sesak akan membaik dalam 24 jam pertama, menghilang dalam 72 jam • Foto torak – Foto toraks usia <6 jam ~ PMH
768
Tatalaksana • Tidak ada penanganan khusus • Jarang perlu perawatan level 2 atau 3 • Makanan per oral setiap 3 jam melalui sonde lebih dianjurkan
769
Distres Pernapasan pada Neonatus Kelainan
Gejala
Sindrom aspirasi mekonium
Biasanya pada bayi matur, pertumbuhan janin terhambat, terdapat staining mekonium di cairan amnion dan kulit, kuku, atau tali pusar. Pada radiologi tampak air trapping dan hiperinflasi paru, patchy opacity, terkadang atelektasis.
Respiratory distress syndrome (penyakit membran hyalin)
Pada bayi prematur, pada bayi dengan ibu DM atau kelahiran SC, gejala muncul progresif segera setelah lahir. Pada radiologi tampak gambaran diffuse “ground-glass” or finely granular appearance, air bronkogram, ekspansi paru jelek.
Transient tachypnea of newboorn
Biasanya pada bayi matur dengan riwayat SC. Gejala muncul setelah lahir, kemudian membaik dalam 72 jam pasca lahir. Pada radiologi tampak peningkatan corakan perihilar, hiperinflasi, lapangan paru perifer bersih.
Pneumonia neonatal
Terdapat risiko pneumonia (KPD, demam pada ibu, cairan amnion berbau, dsb). Gejala meliputi gejala distress dan gejala sepsis. Gambaran radiologis : Diffuse, relatively homogeneous infiltrates
Asfiksia perinatal (hypoxic Asidemia pada arteri umbilikal, Apgar score sangat rendah, ischemic encephalopathy) terdapat kelainan neurologis, keterlibatan multiorgan
KLASIFIKASI HMD
Derajat I, Bercak retikulogranuler dengan air bronchogram
Derajat II, Bercak retikulogranular menyeluruh dengan air bronchogram
Derajat III, Opasitas lebih jelas, dengan airbronchogram lebih jelas meluas kecabang di perifer. Gambaran jantung menjadi kabur.
Derajat IV, Seluruh lapangan paru terlihat putih (opak), Tidak tampak airbronchogram, jantung tak terlihat, disebut juga “White lung”
Meconium Aspiration Syndrome
Densitas ropey, kasar, patchy luas menyeluruh pada kedua lapangan paru. Selain itu pada MAS juga bisa ditemukan • Hiperaerasi paru pada daerah yang mengalami air-trapping • Efusi pleura minimal (20%). • pneumotoraks atau pneumomediastinum spontan. • atelektasis paru emfisema obstruktif.
Transient Tachypnea of Newborn
(a) Fuzzy vessel, fisura interlobaris terisi cairan; (b) densitas bergaris divergen di medial dengan sedikit efusi kanan. Gambaran paru membaik dalam waktu yang cepat sejalan dengan perbaikan klinis.
Pneumonia neonatal
Infiltrat inhomogen pada lapang paru kanan atas. Bila terjadi dalam 72 jam pertama kehidupan, pneumonia neonatal perlu dipikirkan.
125. Tetanus Neonatorum • Tetanus : Penyakit spastik paralitik akut akibat toksin tetanus (tetanospasmin) yang dihasilkan Clostridium tetani. Tanda utama : spasme tanpa gangguan kesadaran • Tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir, disebabkan adanya infeksi tali pusat, gejala yang sering timbul adalah ketidakmampuan untuk menetek, kelemahan, irritable diikuti oleh kekakuan dan spasme. • Kejadian tetanus neonatorum sangat berhubungan dengan aspek pelayanan kesehatan neonatal, terutama pelayanan persalinan (persalinan yang bersih dan aman), khususnya perawatan tali pusat • Komplikasi yang ditakutkan adalah spasme otot diafragma
GEJALA KLINIS, DIAGNOSIS, & PEMERIKSAAN PENUNJANG • Pada tetanus neonatorum ditemukan kekakuan dan spasme dan posisi tubuh klasik: trismus, kekakuan pada otot punggung menyebabkan opisthotonus yang berat dengan lordosis lumbal. – Bayi mempertahankan ekstremitas atas fleksi pada siku dengan tangan mendekap dada, pergelangan tangan fleksi, jari mengepal, ekstremitas bawah hiperekstensi dengan dorsofleksi pada pergelangan dan fleksi jari-jari kaki.
• Diagnosis berdasarkan tanda dan Gejala • Pemeriksaan Penunjang
– Hanya dilakukan untuk membedakan dengan sepsis atau meningitis – Pungsi lumbal – Darah rutin, kultur, dan sensitivitas
Tatalaksana • Diazepam 10 mg/kg/hari secara IV dalam 24 jam atau bolus IV setiap 3-6 jam (0,1-0,2 mg/kg per kali), maksimum 40 mg/kg/hari • Human tetanus imunoglobulin 500 U IM atau Antitoksin Tetanus Serum 5000 U IM • Metronidazol 30 mg/kg/hari dengan interval setiap 6 jam selama 7-10 hari • Berikan pengobatan untuk infeksi lokal tali pusat • Bila terjadi spasme berulang atau gagal napas, rujuk ke RS dengan NICU • Langkah promotif/preventif : – Pelaksanaan Pelayanan Neonatal Esensial, lakukan pemotongan tali pusat secara steril – Tidak mengoles atau menabur sesuatu yang tidak higienis pada tali pusat – Bila sudah terjadi infeksi tali pusat, berikan pengobatan yang tepat dengan antibiotik lokal dan sistemik jika diperlukan
126. Congenital Hypothyroidism Etiology •
Thyroid Function: – normal brain growth and myelination and for normal neuronal connections. – The most critical period fis the first few months of life.
• • • •
The thyroid arises from the fourth branchial pouches. The thyroid gland develops between 4 and 10 weeks' gestation. By 10-11 weeks' gestation, the fetal thyroid is capable of producing thyroid hormone. By 18-20 weeks' gestation, blood levels of T4 have reached term levels. T
http://emedicine.medscape.com/article/919758-overview#aw2aab6b2b2aa
•
•
The fetal pituitary-thyroid axis is believed to function independently of the maternal pituitary-thyroid axis. The contributions of maternal thyroid hormone levels to the fetus are thought to be minimal, but maternal thyroid disease can have a substantial influence on fetal and neonatal thyroid function. – Immunoglobulin G (IgG) autoantibodies, as in autoimmune thyroiditis, can cross the placenta and inhibit thyroid function (transient) – Thioamides (PTU) can block fetal thyroid hormone synthesis (transient) – Radioactive iodine administered to a pregnant woman can ablate the fetus's thyroid gland permanently.
http://www.montp.inserm.fr/u632/images/TR-CAR1.gif
Pathology: Congenital Hypotyroidism
http://php.med.unsw.edu.au/embryology /index.php?title=File:Congenital_hypothyr oidism.jpg
• Causes: – Deficient production of thyroid hormone • Disgenesis congenital Hypothyroidism • Iodine deficiencyendemic goiter
– Defect in thyroid hormonal receptor activity
Hipotiroid kongenital pada Anak • Hipotiroid kongenital ditandai produksi hormon tiroid yang inadekuat pada neonatus • Penyebab: – Defek anatomis kelenjar tiroid atau jalur metabolisme hormon tiroid – Inborn error of metabolism
• Merupakan salah satu penyebab retardasi mental yang dapat dicegah. Bila terdeteksi setelah usia 3 bulan, akan terjadi penurunan IQ bermakna. • Tata laksana tergantung penyebab. Sebaiknya diagnosis etiologi ditegakkan sebelum usia 2 minggu dan normalisasi hormon tiroid (levotiroksin)sebelum usia 3 minggu.
Postellon DC. Congenital hypothyroidism. http://emedicine.medscape.com/article/919758-overview
•
•
Most affected infants have few or no symptoms, because their thyroid hormone level is only slightly low. However, infants with severe hypothyroidism often have a unique appearance, including: – Dull look – Puffy face – Thick tongue that sticks out This appearance usually develops as the disease gets worse. The child may also have: – Choking episodes – Constipation – Dry, brittle hair – Jaundice – Lack of muscle tone (floppy infant) – Low hairline – Poor feeding – Short height (failure to thrive) – Sleepiness – Sluggishness
Neeonatal hypothyroidism. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0002174/
Figure 3 Diagnostic algorithm for the detection of primary congenital hypothyroidism
Grüters, A. & Krude, H. (2011) Detection and treatment of congenital hypothyroidism Nat. Rev. Endocrinol. doi:10.1038/nrendo.2011.160
http://findmeacure.com/2008/04/13/growth-disorders/
Kretinisme • Kretin merupakan keadaan hipotiroid berat dan ekstrim yang terjadi pada waktu bayi dan anak yang ditandai dengan kegagalan pertumbuhan – Kretinisme endemik merupakan kretinisme yang terjadi pada bayi yang lahir pada daerah dengan asupan yodium yang rendah serta goiter endemik; sehingga mengalami kekurangan yodium yang berat pada masa fetal – Kretinisme sporadik merupakan kretinisme akibat hipotiroid kongenital
• Seseorang dikatakan kretin endemik jika ia lahir di daerah gondok endemik dan menunjukkan dua gejala atau lebih: retardasi mental, tuli sensorineural nada tinggi, gangguan neuromuskular
Manifestasi Klinis • 3 tipe kretinisme sporadik: – Tipe nervosa: RM berat, bisu tuli, strabismus, paresis sistem piramidalis tungkai bawah, spastik ataksik (motor rigidity) – Tipe miksedema: RM dengan derajat lebih ringan; dan tanda hipotiroid klinis seperti perawakan pendek, miksedema, kulit kering, rambut jarang, perkembangan seksual terhambat, spastik tungkai bawah, gangguan gaya jalan – Tipe campuran: gabungan antara keduanya
Pemeriksaan penunjang • Pemeriksaan kadar hormon TSH, fT4, dan T3 • Pada pemeriksaan radiologis: – Bone age: temuan radiologis yang tipikal pada kretinisme adalah bone age yang terlambat. Pusat osifikasi sering mengalami malformasi dan memiliki bentuk yang ireguler – Pemeriksaan skintigrafi kelenjar tiroid (sidik tiroid) – USG bisa dijadikan alternatif sidik tiroid
127. Reaksi Hipersensitivitas Type
Prototype Disorder
Anaphylaxis; allergies; bronchial Tipe I Immediate asthma (atopic forms)
Tipe II
Tipe III
Tipe IV
Immune Mechanisms
Pathologic Lesions
Vascular dilation, edema, Production of IgE antibody ➙ immediate smooth muscle release of vasoactive amines and other contraction, mucus mediators from mast cells; recruitment of production, inflammatory cells (late-phase reaction) inflammation Production of IgG, IgM ➙ binds to antigen on target cell or tissue ➙ phagocytosis or Cell lysis; inflammation lysis of target cell by activated complement or Fc receptors; recruitment of leukocytes
Antibodymediated
Autoimmune hemolytic anemia; Goodpasture syndrome
Immune complex mediated
Systemic lupus Deposition of antigen-antibody complexes erythematosus; ➙ complement activation ➙ recruitment Necrotizing vasculitis some forms of of leukocytes by complement products and (fibrinoid necrosis); glomerulonephritis; Fc receptors ➙ release of enzymes and inflammation serum sickness; other toxic molecules Arthus reaction
Cellmediated (delayed)
Contact dermatitis; multiple sclerosis; Activated T lymphocytes ➙ i) release of type I, diabetes; cytokines and macrophage activation; ii) T transplant cell-mediated cytotoxicity rejection; tuberculosis Sources: Robbins & Cotran’s Pathologic Basis of Disease. 7th ed. 2005.
Perivascular cellular infiltrates; edema; cell destruction; granuloma formation
Fase Dini/ Initial Response Terjadi beberapa menit setelah terpapar alergen yang sama untuk kedua kalinya puncaknya 15-20 menit pasca paparan berakhir 60 menit kemudian
REAKSI HIPERSENSITIFITAS TIPE I
Fase Lanjut/ Late Phase Reaction Disebabkan akumulasi dan infiltrasi eosinofil, neutrofil, basofil, limfosit dan makrofag sehingga terjadi inflamasi berlangsung 4-8 jam, dapat menetap beberapa hari
Tipe I (IgE-Mediated type)
Table 6-3. Summary of the Action of Mast Cell Mediators in Immediate (Type I) Hypersensitivity Action
Mediator
Vasodilation, increased
Histamine
vascular permeability
PAF
Leukotrienes C4, D4, E4 Neutral proteases that activate complement and kinins Prostaglandin D2 Smooth muscle spasm
Leukotrienes C4, D4, E4 Histamine Prostaglandins PAF
Cellular infiltration
Cytokines, e.g., TNF Leukotriene B4 Eosinophil and neutrophil chemotactic factors (not defined biochemically) PAF
REAKSI HIPERSENSITIVITAS
Syok Anafilaktik pada Anak • ‘‘Anaphylaxis is a serious allergic reaction that is rapid in onset and may cause death.’’ • Anaphylaxis involves an immunoglobulin E (IgE)–mediated immediate hypersensitivity reaction resulting in the release of potent chemical mediators from mast cells and basophils. – Hipersensitivitas tipe 1 • most effects involve the cutaneous, respiratory, cardiovascular, and gastrointestinal systems. • Children withatopy, including asthma, eczema, and allergic rhinitis, are at higher risk of anaphylaxis. • The severity of a previous reaction does not necessarily predict the severity of a subsequent reaction. • Certainly, individuals with a previous anaphy- lactic reaction are at higher risk for recurrence. Roni D. Lane and Robert G. Bolte. Pediatric Anaphylaxis in Pediatric Emergency Care. Volume 23, Number 1, January 2007. http://www.library.musc.edu/tree_docs/pem/anaphylaxis-one.pdf
Gejala klinis Syok Anafilaktik • Diagnosis didasarkan atas temuan klinis • Hati-hati karena 69% anak yg menderita anafilaksis tidak memiliki riwayat alergi terhadap agen kausatifnya. • Gejala bisa timbul dalam hitungan detik hingga beberapa jam (pada anak rata-rata muncul 5-30 menit postexsposure) • 80% – 90% mengalami gejala kutaneus, termasuk flushing, pruritus, urtikaria, diaphoresis, sensasi panas, dan angioedema. • Gejala pernapasan muncul hingga 94% kasus • Gejala tersering: rasa tercekik, pruritus, serak, stridor, dada terasa berat, wheezing, dan hipoksemia. Roni D. Lane and Robert G. Bolte. Pediatric Anaphylaxis in Pediatric Emergency Care. Volume 23, Number 1, January 2007. http://www.library.musc.edu/tree_docs/pem/anaphylaxis-one.pdf
Gejala klinis Syok Anafilaktik SY S T E M General/CNS Skin
S I G N S A N D SY M P TO M S Fussiness, irritability, drowsiness, lethargy, reduced level of consciousness, somnolence Urticaria, pruritus, angioedema, flushing
Upper airway
Stridor, hoarseness, oropharyngeal or laryngeal edema, uvular edema, swollen lips/tongue, sneezing, rhinorrhea, upper airway obstruction
Lower airway
Coughing, dyspnea, bronchospasm, tachypnea, respiratory arrest
Cardiovascular
Tachycardia, hypotension, dizziness, syncope, arrhythmias, diaphoresis, pallor, cyanosis, cardiac arrest
Gastrointestinal
Nausea, vomiting, diarrhea, abdominal pain http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3043023/
Pharmacological management of anaphylaxis DRUG AND ROUTE OF A D M I N I S T R AT I O N
FREQUENCY OF A D M I N I S T R AT I O N
PA ED I ATR I C D O S I N G (MAXIMUM DOSE)
Immediately, then every 5–15 min as required
0.01 mg/kg (0.5 mg)
Single daily dose
6 months to <2 years: 2.5 mg OD 2–5 years: 2.5–5 mg OD >5 years: 5–10 mg OD
Every 4–6 h as required for cutaneous manifestations
1 mg/kg/dose (50 mg)
Every 8 h as required for cutaneous manifestations
1 mg/kg/dose (50 mg)
Every 6 h as required
1 mg/kg PO (75 mg) or 1 mg/kg IV (125 mg)
Salbutamol
Every 20 min or continuous for respiratory symptoms (wheezing or shortness of breath)
5–10 puffs using MDI or 2.5–5 mg by nebulization
Nebulized epinephrine (1:1000)
Every 20 min to 1 h for symptoms of upper airway obstruction (stridor)
2.5–5 mL by nebulization
Epinephrine IV (infusion)
Continuous infusion for hypotension – titrate to effect
0.1–1 μg/kg/min (maximum 10 μg/min)
Glucagon IV
Bolus followed by continuous infusion – titrate to effect
20–30 μg/kg bolus (maximum 1 mg), then infusion at 5–15 μg/min
Epinephrine (1:1000) IM Cetirizine PO
Diphenhydramine IM/IV Ranitidine PO/IV Corticosteroids: prednisone PO or methylprednisolone IV
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3043023/
128. Demam rematik • Penyakit sistemik yang terjadi setelah faringitis akibat GABHS (Streptococcus pyogenes) • Usia rerata penderita: 10 tahun • Komplikasi: penyakit jantung reumatik • Demam rematik terjadi pada sedikit kasus faringitis GABHS setelah 1-5 minggu • Pengobatan: – Pencegahan dalam kasus faringitis GABHS: penisilin/ ampisilin/ amoksisilin/ eritromisin/ sefalosporin generasi I – Dalam kasus demam rematik: • Antibiotik: penisilin/eritromisin • Antiinflamasi: aspirin/kortikosteroid • Untuk kasus korea: fenobarbital/haloperidol/klorpromazin Chin TK. Pediatric rheumatic fever. http://emedicine.medscape.com/article/1007946-overview Behrman RE. Nelson’s textbook of pediatrics, 19th ed. McGraw-Hill; 2011.
Ket: ASO=ASTO
Physical Findings • Migratory Polyarthritis – is the most common symptom – (polyarticular, fleeting, and involves the large joints) – frequently the earliest manifestation of acute rheumatic fever (70-75%).
• Carditis – (40% of patients) – and may include cardiomegaly, new murmur, congestive heart failure, and pericarditis, with or without a rub and valvular disease.
• Characteristic murmurs of acute carditis include – the high-pitched, blowing, holosystolic, apical murmur of mitral regurgitation; – the low-pitched, apical, middiastolic, flow murmur (CareyCoombs murmur); – and a high-pitched, decrescendo, diastolic murmur of aortic regurgitation heard at the aortic area. – Murmurs of mitral and aortic stenosis are observed in chronic valvular heart disease.
Physical Findings • Subcutaneous nodules (ie, Aschoff bodies): – 10% of patients and are edematous, fragmented collagen fibers. – They are firm, painless nodules on the extensor surfaces of the wrists, elbows, and knees.
• Erythema marginatum: – 5% of patients. – The rash is serpiginous and long lasting.
• Chorea (also known as Sydenham chorea and "St Vitus dance"): – occurs in 5-10% of cases – consists of rapid, purposeless movements of the face and upper extremities. – Onset may be delayed for several months and may cease when the patient is asleep.
Rheumatic Fever - Treatment • Bed rest 2-6 weeks(till inflammation subsided) • Supportive therapy - treatment of heart failure • Anti-streptococcal therapy - Benzathine penicillin(long acting) 1.2 million units once(IM injection) or oral penicillin V 10 days, if allergic to penicillin erythromycin 10 days (antibiotic is given even if throat culture is negative)
• Anti-inflammatory agents Aspirin in anti-inflammatory doses effectively reduces all manifestations of the disease except chorea, and the response typically is dramatic. • Aspirin 100 mg/kg per day for arthritis and in the absence of carditis- for 4-6 weeks to be tapered off • Corticosteroids If moderate to severe carditis is present as indicated by cardiomegaly, third-degree heart block, or CHF, add PO prednisone to salicylate therapy -2 mg/kg per day – for 2-6 weeks to be tapered off
Rheumatic Fever -Pprevention Secondary prevention – prevention of recurrent attacks • Benzathine penicillin G 1.2 million units IM SD every 4 week • Penicillin V 250 mg twice daily orally • Or If allergic – Erythromycin 250 mg twice daily orally
AHA Scientific Statement
Rheumatic Fever - Prevention Duration of secondary rheumatic fever prophylaxis • Rheumatic fever + carditis + persistent valve disease - 10 years since last episode or until 40 years of age (whichever is longer), sometimes life long • Rheumatic fever + carditis + no valvar disease – 10 years or well into adulthood whichever is longer • Rheumatic fever without carditis - 5 years or until 21 years whichever is longer (Continous prophylaxis is important since patient may have asymptomatic GAS infection)
AHA Scientific Statement
129. Hemofilia • Hemophilia is the most common inherited bleeding disorder. • There are: – Hemophilia A : deficiency of factor VIII – Hemophilia B : deficiency of factor IX (christmas disease)
• Both hemophilia A and B are inherited as X-linked recessive disorders • Symptoms could occur since the patient begin to crawl • Incidence: – hemophilia A (± 85%) – hemophilia B (± 15%)
• Approximately 70% had family history of bleeding problems • Clinical manifestasion: mild, Moderate, severe
Genetic • Inherited as sex (X)-linked recessive • Genes of factor VIII/IX are located on the distal part of the long arm (q) of X chromosome • Female (women) are carriers
Kuliah Hemofilia FKUI. Pustika A.
http://www.cdc.gov/ncbddd/hemophilia/inheritance-pattern.html
Clinical manifestation • Bleeding: – usually deep (hematoma, hemarthrosis) – spontaneous or following mild trauma
• Type: – – – – – –
Hemarthrosis Hematoma intracranial hemorrhage Hematuria Epistaxis bleeding of the frenulum (baby) Kuliah Hemofilia FKUI. Pustika A.
Diagnosis • •
• •
• • •
history of abnormal bleeding in a boy normal platelet count bleeding time usually normal clotting time: prolonged prothrombin time usually normal partial thromboplastin time prolonged decreased antihemophilic factor
Antenatal diagnosis • •
antihemophilic factor level F-VIII/F-IX gene identification (DNA analysis ) Kuliah Hemofilia FKUI. Pustika A.
Classification of Hemophilia A & B • The classification of the severity of hemophilia has been based on either clinical bleeding symptoms or on plasma procoagulant levels; the latter are the most widely used criteria. • Classification according to plasma procoagulant levels is as follows: – Severe hemophilia – FVIII/FIX level less than 1% of normal (< 0.01 IU/mL) – Moderate hemophilia – FVIII/FIX level 1-5% of normal (0.01-0.05 IU/mL) – Mild hemophilia – FVIII/FIX level more than 5% but less than 40% of normal (>0.05 to < 0.40 IU/mL)
• Severe disease presents in children younger than 1 year • Moderate disease presents in children aged 1-2 years • Mild disease presents in children older than 2 years
Classification of Hemophilia A & B
5-40% (emedicine)
Tatalaksana Hemofilia
Blood Replacement Therapy factor-VIII (unit/ml)
fresh-frozen plasma cryoprecipitate factor - VIII concentrate factor - IX concentrate
~ 0,5 ~ 4,0 25 - 100 -
Kuliah Hemofilia FKUI. Pustika A.
factor-IX (unit/ml)
(ml)
~ 0,6
200 20 10 20
25 - 35
130. Keracunan Sianida • Sianida (CN) merupakan racun yang sangat toksik garam sianida dosis kecil dapat menyebabkan kematian dengan cepat • Kematian akibat keracunan CN umumnya pada pembunuhan atau bunuh diri • Adanya racun dalam umbi gadung sudah sejak lama diketahui. Jenis racun yang ada antara lain: – Dioscorin: Dioskorin dilaporkan memiliki sifat sebagai antioksidan, antiinflamatori, anti serangga, antipatogen serta memperlihatkan aktivitas inhibisi terhadap tripsin. – HCN (sianida) dikenal sebagai racun yang mematikan. HCN akan menyerang langsung dan menghambat sistem antar ruang sel, yaitu menghambat sistem cytochroom oxidase dalam sel-sel, hal ini menyebabkan zat pembakaran (oksigen) tidak dapat beredar ketiaptiap jaringan sel-sel dalam tubuh
• Hidrogen sianida (HCN) atau racun asam biru adanya bercak warna biru pada singkong • Menjadi toksin (racun) bila dikonsumsi pada kadar HCN lebih dari 50 ppm. • Mekanisme kerja sianida dalam tubuh – Hidrogen sianida menginaktivasi enzim sitokrom oksidase dalam mitokondria sel dengan mengikat Fe3 + / Fe2 + yang terkandung dalam enzim penurunan dalam pemanfaatan oksigen dalam jaringan oksigen menurun terutama jaringan otak asfiksia, hipoksia dan kejang. – Sianida menyebabkan peningkatan glukosa darah dan kadar asam laktat dan penurunan ATP / ADP rasio yang menunjukkan pergeseran dari aerobik untuk metabolisme anaerobik.
• Penatalaksanaan pasien keracunan sianida oleh petugas medis adalah sbb : 1. 2. 3. 4.
Stabilisasi pasien melalui penatalaksanaan jalan nafas, fungsi pernafasan dan sirkulasi Rangsang muntah dan kumbah lambung dilakukan tidak boleh dari 4 jam setelah mengkonsumsi singkong beracun. Pemberian arang aktif dengan dosis 1 g/kg atau 30-100 gram dan anak-anak 15 – 30 gram Antidotum : antidotum diberikan jika pasen mengalami penurunan kesadaran atau koma • Natrium siosulfat 25% melalui intravena 400 mg/kg atau 1,6 cc/kg maks 50 cc (12,5 g) • Amyl nitrit per inhalasi • Natrium nitrit 3% 10 mg/kg atau 0,33 cc/kg • Larutan hydroxocobalamin 40% • Dimethylaminophenol (4-DMAP) 5% • Larutan Dicobalt edetat 1,5%
131. Cedera Pleksus Brachialis • Lesi pleksus brakhialis adalah lesi saraf yang menimbulkan kerusakan saraf yang membentuk pleksus brakhialis, mulai dari “radiks” saraf hingga saraf terminal. • Keadaan ini dapat menimbulkan gangguan fungsi motorik, sensorik atau autonomic pada ekstremitas atas. • Istilah lain yang sering digunakan yaitu neuropati pleksus brakhialis atau pleksopati brakhialis Am Fam Physician. 2010 Jan 15;81(2):147-155.
Etiologi 1. Trauma Merupakan penyebab terbanyak lesi pleksus brakhialis pada orang dewasa maupun neonatus. Keadaan ini dapat berupa ; cedera tertutup, cedera terbuka, cedera iatrogenic.
2. Tumor Dapat berupa tumor neural sheath yaitu ; neuroblastoma, schwannoma, malignant peripheral nerve sheath tumor dan meningioma. Tumor non-neural ; jinak (desmoid, lipoma), malignant ( kangker mammae dan kangker paru)
3. Radiation-induced Frekuensi cedera pleksus brachialis yang dipicu oleh radiasi diperkirakan sebanyak 1,8 – 4,9% dari lesi dan paling sering pada pasien kangker mammae dan paru.
4. Entrapment Keadaan ini merupakan penyebab cedera pleksus brakhialis pada thoracic outlet syndrome. Faktor lain yaitu payudara berukuran besar yang dapat menarik dinding dada ke depan (anterior dan inferior).
5. Idiopatik Pada Parsonage Turner Syndrome terjadi pleksitis tanpa diketahui penyebab yang jelas namun diduga terdapat infeksi virus yang mendahului. Presentasi klasik adalah nyeri dengan onset akut yang berlangsung selama 1 – 2 minggu dan kelemahan otot timbul lebih lambat. Nyeri biasanya hilang secara spontan dan pemulihan komplit terjadi dalam 2 tahun.
Sindroma Erb-Duchenne • Lesi di radiks servikal atas (C5 dan C6) atau trunkus superior dan biasanya terjadi akibat trauma. • Pada bayi biasanya akibat distosia bahu, orang dewasa terjadi karena jatuh pada bahu dengan kepala terlampau menekuk kesamping. • Presentasi klinis pasien berupa waiter’s tip position dimana lengan berada dalam posisi adduksi (kelemahan otot deltoid dan supraspinatus), rotasi internal pada bahu (kelemahan otot teres minor dan infraspinatus), pronasi (kelemahan otot supinator dan brachioradialis) dan pergelangan tangan fleksi (kelemahan otot ekstensor karpi radialis longus dan brevis). • Selain itu terdapat pula kelemahan pada otot biseps brakhialis, brakhialis, pektoralis mayor, subscapularis, rhomboid, levator scapula dan teres mayor. • Refleks bisep biasanya menghilang, sedangkan hipestesi terjadi pada bagian luar (lateral) dari lengan atas dan tangan. Am Fam Physician. 2010 Jan 15;81(2):147-155.
Sindroma Klumpke’s Paralysis • Lesi di radiks servikal bawah (C8, T1) atau trunkus inferior dimana penyebab pada bayi baru dilahirkan adalah karena penarikan bahu untuk mengeluarkan kepala, sedangkan pada orang dewasa biasanya saat mau jatuh dari ketinggian tangannya memegang sesuatu kemudian bahu tertarik. • Presentasi klinis berupa deformitas clawhand (kelemahan otot lumbrikalis) sedangkan fungsi otot gelang bahu baik. • Selain itu juga terdapat kelumpuhan pada otot fleksor carpi ulnaris, fleksor digitorum, interosei, tenar dan hipotenar sehingga tangan terlihat atrofi. • Disabilitas motorik sama dengan kombinasi lesi n. Medianus dan ulnaris. • Kelainan sensorik berupa hipestesi pada bagian dalam/ sisi ulnar dari lengan dan tangan. Am Fam Physician. 2010 Jan 15;81(2):147-155.
“claw hand”
Netter 1997
2006 Moore & Dalley COA
Am Fam Physician. 2010 Jan 15;81(2):147-155.
Lesi Pan-supraklavikular (radiks C5-T1 / semua trunkus)
• Pada lesi ini terjadi kelemahan seluruh otot ekstremitas atas, defisit sensorik yang jelas pada seluruh ekstremitas atas dan mungkin terdapat nyeri. • Otot rhomboid, seratus anterior dan otot-otot spinal mungkin tidak lemah tergantung dari letak lesi proksimal (radiks) atau lebih ke distal (trunkus). Am Fam Physician. 2010 Jan 15;81(2):147-155.
132. Kejang demam • Kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh diatas 38 C. Demam disebabkan proses ekstra kranial. • Mayoritas terjadi pada hari pertama sakit • Bukan disebabkan infeksi SSP, gangguan metabolik, tidak pernah ada riwayat kejang tanpa demam. • Usia antara 6 bulan – 6 tahun, mayoritas usia 1218 bulan. • KD pada anak > 6 tahun : Febrile seizure plus (FS+). 2-4 % pada anak kurang dari 5 tahun Pedoman Pelayanan Klinis Anak RSCM 2015
Klasifikasi Kejang demam sederhana Kejang demam kompleks
• Kejang kurang dari 15 menit • Kejang umum tonik-klonik • Kejang tidak berulang
• Kejang lebih dari 15 menit • Kejang fokal, fokal menjadi umum • Kejang berulang dalam 24 jam
Diagnosis • Indikasi Pungsi Lumbal (konsensus UKK 2016) – Terdapat tanda dan gejala rangsang meningeal – Terdapat kecurigaan adanya infeksi SSP berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis – Dipertimbangkan pada anak dengan kejang disertai demam yang sebelumnya telah mendapat antibiotik dan pemberian antibiotik tersebut dapat mengaburkan tanda dan gejala meningitis.
• Indikasi CT scan/MRI – Tidak diperlukan pada kejang demam sederhana ataupun kompleks – Insiden kelainan patologis intrakranial pada kejang demam kompleks sangat rendah – Harus dilakukan : • Makro/mikrosefali • Kelainan neurologi yang menetap, terutama lateralisasi
• Indikasi EEG – Tidak diperlukan terutama pada KDS atau kejang tanpa defisit neurologis – Kejang fokal (UKK 2016)
Tatalaksana • Saat kejang : algoritme tatalaksana kejang akut dan SE • Setelah kejang berhenti : – Profilaksis atau tidak – Profilaksis intermiten atau kontinyu
• Antipiretik: – – – –
Tidak mengurangi risiko berulangnya kejang Memberikan rasa nyaman bagi pasien Parasetamol atau ibuprofen Mengurangi kekhawatiran orangtua
Profilaksis (Konsensus UKK Neurologi IDAI 2015) – Profilaksis intermiten • Kejang demam dengan faktor risiko • Defisit neurologis berat, berulang 3x/6 bln atau 4x/lebih dalam 1 tahun, usia < 6 bulan, kejang terjadi pada suhu tubuh tidak terlalu tinggi, kenaikan suhu tubuh yang cepat • Obat diazepam 0,3 mg/kgBB/kali, maksimum 7,5 mg/kali. – Diberikan selama 48 jam – Efek samping : ataksia, sedasi
• Profilaksis kontinyu – Kejang fokal – Kejang > 15 menit – Defisit neurologis yang berat – Obat : fenobarbital atau asam valproat – Diberikan selama 1 tahun, tidak usah tapp-off obat
Faktor resiko berulangnya KD • Faktor risiko : – Usia muda saat awitan kejang I – Riwayat KD pada keluarga kandung – Suhu yang rendah saat kejang – nterval yang pendek antara demam dan kejang
• Semua faktor risiko ada, kemungkinan berulang 70% • Tidak ada faktor risiko : 20%
Diagnosis diferensial infeksi SSP KLINIS/LA B.
ENSEFAL ITIS
MENING. BAKTERi
MENING. TBC
MENING. VIRUS
ENSEFALO PAT I
Onset
Akut
Akut
Kronik
Akut
Akut/kronik
Demam
< 7 hari
< 7 hari
> 7 hari
< 7 hari
> 7 hari/(-)
Kejang
Umum/foka l
Umum
Umum
Umum
Umum
Penurunan kesadaran
Somnolensopor
Apatis
Variasi, apatis sopor
CM - Apatis
Apatis - Somnolen
Paresis
+/-
+/-
++/-
-
-
Perbaikan kesadaran
Lambat
Cepat
Lambat
Cepat
Cepat/Lambat
Etiologi
Tidak dpt diidentifikas i
++/-
TBC/riw. kontak
-
Ekstra SSP
Terapi
Simpt/antivi ral
Antibiotik
Tuberkulostatik
Simpt.
Atasi penyakit primer
133. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) • Definisi : suatu kejadian sakit yang terjadi setelah menerima imunisasi yang diduga disebabkan oleh imunisasi. KLASIFIKASI KIPI Induksi vaksin (vaccine induced). Provokasi vaksin (vaccine potentiated)
Kesalahan (pelaksanaan) program (programmatic errors) Koinsidensi (coincidental)
KETERANGAN Terjadinya KIPI disebabkan oleh karena faktor intrinsik vaksin terhadap individual resipien. Misalnya, seorang anak menderita poliomielitis setelah mendapat vaksin polio oral. Gejala klinis yang timbul dapat terjadi kapan saja, saat ini terjadi oleh karena provokasi vaksin. Contoh: Kejang demam pasca imunisasi yang terjadi pada anak yang mempunyai predisposisi kejang Gejala KIPI timbul sebagai akibat kesalahan pada teknik pembuatan dan pengadaan vaksin atau teknik cara pemberian. Contoh: terjadi indurasi pada bekas suntikan disebabkan vaksin yang seharusnya diberikan secara intramuskular diberikan secara subkutan KIPI terjadi bersamaan dengan gejala penyakit lain yang sedang diderita. Contoh: Bayi yang menderita penyakit jantung bawaan mendadak sianosis setelah diimunisasi
Hadinegoro SR. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi. Sari pediatri, Vol.2, No.1. Juni 2000: 2-10
Hadinegoro SR. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi. Sari pediatri, Vol.2, No.1. Juni 2000: 2-10
VAKSINASI
KIPI
Hepatitis B
KIPI jarang terjadi, segera setelah imunisasi dapat timbul : demam, tidak tinggi, kemerahan pada tempat penyuntikan, pembengkakan, nyeri rasa mual dan nyeri sendi.
DPT
Demam tinggi, rewel, nyeri tempat suntikan, dan pembengkakan yang akan hilang dalam waktu 2 hari. DT kemerahan, pembengkakan , nyeri pada tempat suntikan,
Polio
Sangat jarang timbul reaksi KIPI
MMR
tidak nyaman pada tempat suntikan. 5-12 hari setelah penyuntikan yaitu demam tidak tinggi, erupsi kulit halu/tipis yang berlangsung kurang dari 48 jam. Pembengkakan KGB postaurikula 3 minggu post penyuntikan
134. Kejang pada Neonatus • Neonatal seizures are a manifestation of neurological dysfunction. • Neonatal seizures are paroxysmal electroencephalograph (EEG) activity often with motor manifestations and sometimes with autonomic or behavioural clinical manifestations including effects on respiration, heart rate and blood pressure. • Frequent or prolonged seizures may contribute to a worsening of brain injury. • Seizures may be an: – Electro clinical seizure with both clinical signs and an EEG seizure2, or an – Electrographic seizure with no clinical signs
• Some apparent clinical seizure-like activity, e.g. jitteriness and irritability, is not associated with EEG abnormality. These are not seizures and do not require treatment.
• Seizures occur more frequently in the neonatal period (the first 28 days of life) than at any other time. • Incidence in the newborn baby is: – 1.5-3.5 per 1000 live term births – 10-130 per 1000 live preterm births • Seizures are very common and occur in up to 70% of preterm infants with intraventricular haemorrhage or periventricular leukomalacia • Clinically diagnosed status epilepticus (continuous seizure activity or recurrent seizures lasting greater than 30 minutes3,11 without definite return to the baseline neurologic condition between seizures14) is less common and occurs in only 5% of babies with seizures • Recognition is more frequent with the use of continuous EEG monitoring3
Cause of Neonatal seizure
135. Imunisasi pada Anak dengan Ibu Penderita Hepatitis B • Tujuan utama imunisasi hepatitis B (HB) ialah untuk mencegah terjadinya hepatitis kronik serta karier dan bukan untuk menyembuhkan hepatitis akut atau infeksi oleh virus HB (VHB) • Indonesia adalah negara dengan angka prevalensi HB berkisar antara 5 – 20 % endemisitas sedang sampai tinggi • Transmisi vertikal HB 48 % imunisasi harus diberikan segera setelah lahir • Dosis dan jadwal imunisasi HB diberikan berdasarkan status HBsAg ibu
Bayi lahir dari ibu dengan status HBsAg yang tidak diketahui :
• Diberikan vaksin rekombinan (10 mg) secara intramuskular, dalam waktu 12 jam sejak lahir. • Dosis ke dua diberikan pada umur 1-2 bulan dan dosis ke tiga pada umur 6 bulan. • Apabila pada pemeriksaan selanjutnya diketahui HbsAg ibu positif, segera berikan 0,5 ml imunoglobulin anti hepatitis (HBIG) (sebelum usia 1 minggu).
2. Bayi lahir dari ibu dengan HBsAg positif.
3. Bayi lahir dari ibu dengan HBsAg negatif.
• Dalam waktu 12 jam setelah lahir, secara bersamaan diberikan 0,5 ml HBIG dan vaksin rekombinan secara intramuskular di sisi tubuh yang berlainan. • Dosis ke dua diberikan 1-2 bulan sesudahnya, dan dosis ke tiga diberikan pada usia 6 bulan
• Diberikan vaksin rekombinan secara intramuskular pada umur 26 bulan. • Dosis ke dua diberikan 1-2 bulan kemudian dan dosis ke tiga diberikan 6 bulan setelah imunisasi pertama.
• Bayi prematur, termasuk bayi berat lahir rendah, tetap dianjurkan untuk diberikan imunisasi,sesuai dengan umur kronologisnya dengan dosis dan jadwal yang sama dengan bayi cukup bulan
Pemberian vaksin HB pada bayi prematur dapat juga dilakukan dengan cara di bawah ini: • Bayi prematur dengan ibu HBsAg positif harus diberikan imunisasi HB bersamaan dengan HBIG pada 2 tempat yang berlainan dalam waktu 12 jam. Dosis ke-2 diberikan 1 bulan kemudian, dosis ke- 3 dan ke-4 diberikan umur 6 dan 12 bulan. • Bayi prematur dengan ibu HBsAg negatif pemberian imunisasi dapat dengan : – Dosis pertama saat lahir, ke-2 diberikan pada umur 2 bulan, ke-3 dan ke-4 diberikan pada umur 6 dan 12 bulan. Titer anti Hbs diperiksa setelah imunisasi ke-4. – Dosis pertama diberikan saat bayi sudah mencapai berat badan 2000 gram atau sekitar umur 2 bulan. Vaksinasi HB pertama dapat diberikan bersama-sama DPT, OPV (IPV) dan Haemophylus influenzae B (Hib). Dosis ke-2 diberikan 1 bulan kemudian dan dosis ke-3 pada umur 8 bulan. Titer antibodi diperiksa setelah imunisasi ke-3.
136. Basic heart sound
Sumber:Lily LS. Patophysiology of heart disease. 5th ed.
Sumber:Lily LS. Patophysiology of heart disease. 5th ed.
Sumber:Lily LS. Patophysiology of heart disease. 5th ed.
Grading murmur SISTOLIK
Sumber:Lily LS. Patophysiology of heart disease. 5th ed.
DIASTOLIK
136. Stenosis Aorta • Congenital aortic valve stenosis accounts for approximately 5% of all cases of congenital heart disease, with reported incidences ranging from 0.04 to 0.38 per 1000 live births • Aortic valve stenosis is the obstruction to outflow from the left ventricle because of an abnormal aortic valve. • The discharge restriction to the systemic ventricle may also be produced by an anomaly at a sub or supravalvar level. • Nevertheless, the most common site of occurrence is by far the annulus (70%)
Normal Aorta
Aortic stenosis
• Aortic stenosis means that the aortic valve cannot open fully. • When the aortic valve is narrow, the muscle of the left pumping chamber – the left ventricle has to work harder than normal thickening of the muscle of the left ventricle. • The thicker the muscle becomes, the less efficient it is at pumping blood in the long term. • If the narrowing is very severe, the heart cannot pump normally and this can limit the amount of exercise or play your child can do. • If this is left untreated, serious complications such as heart failure can occur, or in some cases the child may even die.
Diagnosis • The symptoms vary depending on how narrow the aortic valve is. – Most children will not have any symptoms, – the symptoms that can occur include a lack of energy or being tired, or breathlessness when exercising or playing. – if the aortic stenosis is severe, fainting can occur.
• In most cases, aortic stenosis is not diagnosed until after the baby is born, although some severe cases may be diagnosed before birth. • The diagnosis is usually made because a heart murmur (an extra sound from the heart) is detected at birth,or during a routine examination when the child is older.
Tekanan di dalam Jantung
137. Congenital Heart Disease Congenital HD
Acyanotic
With ↑ volume load:
- ASD - VSD - PDA - Valve regurgitation
With ↑ pressure load: - Valve stenosis - Coarctation of aorta
Cyanotic
With ↓ pulmonary blood flow: - ToF - Atresia pulmonal - Atresia tricuspid
1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed. 2. Pathophysiology of heart disease. 5t ed.
With ↑ pulmonary blood flow: - Transposition of the great vessels - Truncus arteriosus
Penyebab • Penyebab pasti: tidak diketahui • Multifaktor, keterkaitan genetik & faktor lingkungan • Kelainan kromosom (6-10% dari PJB) eg Down’s syndrome • Genetik – berulang dalam satu keluarga • Infeksi saat dalam kandungan eg Rubella • Obat-obatan eg Phenytoin, Alkohol, Lithium (Ebstein’s) • Autosomal Dominant
ASD Risiko berulang Bila anak sebelumnya memiliki PJB: 2-5% terulang Bila 2 anak sebelumnya memiliki PJB: 5-10% terulang Bila ibu PJB, risiko memiliki anak dng PJB ~ 7% Bila ayah PJB, risiko memiliki anak dng PJB ~ 1.5-3%
Penyakit jantung kongenital • Asianotik: L-R shunt – ASD: fixed splitting S2, murmur ejeksi sistolik – VSD: murmur pansistolik – PDA: continuous murmur
• Sianotik: R-L shunt – TOF: AS, VSD, overriding aorta, RVH. Boot like heart pada radiografi – TGA http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0002103/
Park MK. Pediatric cardiology for practitioners. Mosby; 2008.
Acyanotic Congenital HD: General Pathophysiology
With ↑ volume load
Clinical Findings
The most common: left to right shunting
e.g. ASD, VSD, PDA
Blood back into the lungs
↓ compliance & ↑ work of breathing
Fluid leaks into the interstitial space & alveoly
Pulmonary edema, tachypnea, chest retraction, wheezing ↑ Heart rate & stroke volume
High level of ventricular output -> ↑sympathetic nervous system
↑Oxygen consumption -> sweating, irritability, FTT Remodelling: dilatation & hypertrophy
If left untreated, ↑ volume load will increase pulmonary vascular resistance
Eventually leads to Eisenmenger Syndrome
1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.
Acyanotic Congenital HD: General Pathophysiology With ↑ pressure load
Clinical Findings
Obstruction to normal blood flow: pulmonic stenosis, aortic
Murmur PS & PS: systolic murmur;
stenosis, coarctation of aorta.
Hypertrophy & dilatation of ventricular wall
Defect location determine the symptoms
1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.
Dilatation happened in the later stage Severe pulmonic stenosis in newborn right-sided HF (hepatomegaly, peripheral edema) Severe aortic stenosis leftsided (pumonary edema, poor perfusion) & right-sided HF
Atrial Septal Defect
ASD: Pathophysiology & Clinical Findings The degree of L-to-R shunting is dependent on: - the size of the defect, - the relative compliance of the R and L ventricles, & - the relative vascular resistance in the pulmonary & systemic circulations
Infant has thick & less compliant RV minimal symptoms As children grow older: subtle failure to thrive, fatigue, dyspneu on effort, recurrent respiratory tract infection
Overflow in the right side of heart
Enlargement of the RA & RV Dilatation of the pulmonary artery
The LA may be enlarged
Pulmonary vascular resistance may begin to increase in adulthood reversal of the shunt & cyanosis 1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.
ASD: Pathophysiology & Clinical Findings Ro:
Increased flow into right side of the heart & lungs
- enlargement of RV, RA, & pulmonary artery - increased vasvular marking
Constant increased of ventricular diastolic volume
Wide, fixed 2nd heart sound splitting
Increased flow across tricuspid valve
Mid-diastolic murmur at the lower left sternal border
Increased flow across pulmonary valve
Thrill & systolic ejection murmur, best heard at left middle & upper sternal border
Flow across the septal defect doesn’t produce murmur because the pressure gap between LA & RA is not significant 1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.
ASD: Pathophysiology & Clinical Findings
• size of the main pulmonary artery • size of the right atrium • size of the right ventricle (seen best on the lateral view as soft tissue filling in the lower & middle retrosternal space). 1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed. 2. Essentials of Radiology. 2nd ed.
Tatalaksana
Klinis, EKG, Ro, Ekokardiografi
ASD
Aliran Pirau kecil
Aliran Pirau Besar
Observasi Klinis Evaluasi pada usia 5-8 thn Sadap jantung
FR < 1.5
FR > 1.5
Bayi GJK (+)
GJK (-) HP (-)
Gagal
HP (+)
Tanda Tanda PVD (-) PVD (+)
Medikamentosa
Segera
Konser vatif
Anak / Dewasa
Sadap jantung
Berhasil Elektif
Operasi Tutup ASD
Reaktif Non reaktif
Konser vatif
Ventricular Septal Defect
VSD: Pathophysiology & Clinical Findings Flow across VSD
Pansystolic murmur & thrill over left lower sternum.
Over flow across mitral valve
If defect is large 3rd heart sound & mid diastolic rumble at the apex.
LA, LV, RV volume overload
ECG: Left ventricular hypertrophy or biventricular hypertrophy, peaked/notched P wave Ro: gross cardiomegaly
High systolic pressure & high flow to the lungs pulmonary hypertension
Dyspnea, feeding difficulties, poor growth, profuse perspiration, pneumonia, heart failure.
Duskiness during crying or infection Ph/: increased of 2nd heart sound
1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.
VSD: Pathophysiology & Clinical Findings • cardiomegaly with prominence of – both ventricles, – the left atrium, & – the pulmonary artery.
• pulmonary vascular marking
1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.
Patent Ductus Arteriosus
138. Diarrheagenic Escherichia coli Noninflammatory Diarrheas
Enterotoxigenic E. coli (ETEC)
Rapid onset of watery, nonbloody diarrhea of considerable volume, accompanied by little or no fever. Diarrhea and other symptoms cease spontaneously after 24 to 72 hours
Inflammatory Diarrheas Enteroinvasive E. coli (EIEC)
Present most commonly as watery diarrhea. Minority of patients experience a dysentery syndrome, with fever, systemic toxicity, crampy abdominal pain, tenesmus, and urgency
Enteropathogenic E. coli (EPEC)
Profuse watery, nonbloody diarrhea with mucus, vomiting and low-grade fever. Chronic diarrhea and malnutrition can occur. Usually at < 2 y.o, esp <6 mo (at weaning period)
Shigatoxin-producing E. coli (STEC)/EHEC
Symptoms ranging from mild diarrhea to severe hemorrhagic colitis and hemolytic-uremic syndrome in all ages
Enteroaggregative E. coli (EAggEC)
Watery, mucoid, secretory diarrhea with low-grade fever and little or no vomiting. One third of patients have grossly bloody stools. The watery diarrhea usually persist ≥14 days
Diarrheagenic Escherichia coli
Diarrheagenic Escherichia coli • E. coli species are members of the Enterobacteriaceae family. • Characteristic: oxidase-positive, facultatively anaerobic, gram-negative bacilli. Fermentation of lactose(+). • Pada soal, pasien berusia 8 tahun dengan keluhan BAB tanpa darah kemungkinan ETEC atau EPEC • ETEC dan EPEC sama-sama menyebabkan infantile diarrhea, ETEC pada anak >1 tahun, EPEC pada anak < 2 tahun (terutama usia 6 bulan) • ETEC banyak pada daerah yang endemis terutama di daerah tropis, tanpa menghasilkan lendir maupun darah • Oleh karena itu, penyebab diare pada soal lebih condong pada ETEC Behrman: Nelson Textbook of Pediatrics, 17th ed
OBSTETRI & GINEKOLOGI
139. TORCH • Infeksi TORCH – T=toxoplasmosis – O=other (syphilis) – R=rubella – C=cytomegalovirus (CMV) – H=herpes simplex (HSV)
• Bayi yang dicurigai terinfeksi TORCH – Bayi dengan IUGR – Trombositopenia – Ruam abnormal – Riwayat ibu sakit saat hamil – Adanya gejala klasik infeksi
TORCH: Rubella • Karakteristik – – – –
Single-stranded RNA virus Dapat dicegah oleh vaksin Ringan, self-limiting Infeksi pada trimester pertama memiliki kemungkinan mengenai janin yang tinggi
• Diagnosis – IgG maternal bisa akibat imunisasi atau infeksi lampau tidak dapat dipegang – Virus dapat diisolasi dari sekret nasa – IgM (+) maternal: terinfeksi rubella
• Terapi - Pencegahan: Imunisasi - Perawatan: suportif dengan mengedukasi orangtua
• Tes Serologik Rubella Kongenital • Bayi • IgM = Infeksi baru atau kongenital • Peningkatan titer IgG bulanan mengarah pada kongenital • Diagnosis setelah anak berusia 1 tahun sulit
Rubella Kongenital: Manifestasi Klinis • • • • •
Tuli sensorineural (50-75%) Katarak dan glaukoma (20-50%) Kelainan jantung (20-50%) Neurologis (10-20%) Lainnya termasuk pertumbuhan terhambat, gangguan tulang, trombositopenia, lesi “blueberry muffin”
TORCH: Cytomegalovirus (CMV) • Etiologi • Virus Cytomegalo (keluarga Herpes dapat tinggal secara laten dalam tubuh)
• Ibu hamil terinfeksi janin yang dikandung mempunyai risiko tertular mengalami gangguan: pembesaran hati, kuning, pengkapuran otak, ketulian, retardasi mental, dan lain-lain
• Pemeriksaan laboratorium • Mengetahui infeksi akut atau infeksi berulang, dimana infeksi akut mempunyai risiko yang lebih tinggi. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan meliputi Anti CMV IgG dan IgM, serta Aviditas Anti-CMV IgG. Sumber :Pengertian TORCH Berikut Pencegahannya - Bidanku.comhttp://bidanku.com/pengertian-torch-berikutpencegahannya
TORCH: Herpes Simpleks Tipe II • •
Etiologi Infeksi herpes pada alat genital disebabkan oleh Virus Herpes Simpleks tipe II (HSV II). Virus ini dapat berada dalam bentuk laten, menjalar melalui serabut syaraf sensorik dan berdiam diganglion sistem syaraf otonom
• •
Gejala dan Tanda Bayi yang dilahirkan dari ibu yang terinfeksi HSV II biasanya memperlihatkan lepuh pada kulit, tetapi hal ini tidak selalu muncul sehingga mungkin tidak diketahui. Infeksi HSV II pada bayi yang baru lahir dapat berakibat fatal (Pada lebih dari 50 kasus)
• •
Laboratorium Pemeriksaan laboratorium, yaitu Anti-HSV II IgG dan IgM sangat penting untuk mendeteksi secara dini terhadap kemungkinan terjadinya infeksi oleh HSV II dan mencegah bahaya lebih lanjut pada bayi bila infeksi terjadi pada saat kehamilan
Sumber :Pengertian TORCH Berikut Pencegahannya - Bidanku.comhttp://bidanku.com/pengertian-torch-berikutpencegahannya
Toksoplasmosis pada Kehamilan • Deteksi antibodi spesifik toksoplasma merupakan metode diagnostik primer • Deteksi inisial adalah IgG untuk menentukan status imun (+): indikasi infeksi pada suatu waktu lampau uji IgM • Uji IgM (-): menyingkirkan infeksi kini (recent infection) • Uji IgM toksoplasma: kurang spesifitas – IgM (+)/IgG (-): spesimen I mencurigakan tes ulang 2 minggu kemudian dengan spesimen II • Bila spesimen I diambil pada awal infeksi, maka spesimen II seharusnya IgG (+) tinggi • Bila IgG (-) dan IgM (+) pada kedua spesimen: positif palsu, pasien tidak terinfeksi
– IgM (+)/IgG (+): ambil spesimen II uji di lab lain yang menggunakan metode tes berbeda untuk konfirmasi – IgM (+)/IgG (+) dan hamil: IgG avidity Test
140. Infeksi Puerpurium • Merujuk kepada infeksi traktus genitalis setelah melahirkan • Puerperalis = periode 42 hari setelah kelahiran janin & ekspulsi plasenta • Mencakup: – Endometritis, parametritis, salpingo-ooforitis, tromboflebitis pelvis, peritonitis, selulitis perineum/vagina, hematoma terinfeksi, dan abses luka
• Morbiditas nifas (demam saat nifas) peningkatan suhu oral hingga 38 C/lebih selama 2 hari dari 10 hari pertama postpartum, terpisah dari 24 jam pertama Kapita Selekta Kedaruratan Obstetri dan Ginekologi, EGC hal 364
Infeksi Puerperalis • Faktor Predisposisi – Perdarahan, trauma persalinan, partus lama, retensio plasenta, anemia, malnutrisi
• Patologi – Bekas tempat perlekatan plasenta merupakan luka yang cukup besar untuk masuknya mikroorganisme penyebab infeksi – Infeksi dapat terbatas pada luka (infeksi luka perineum, vagina, serviks, atau endometrium) atau menjalar ke jaringan sekitar (tromboflebitis, parametritis, sapingitis, dan peritonitis) Obstetri Patologi Edisi 2. Fakultas Kedokteran Univ Padjadjaran hal 188
Infeksi Puerpuralis: Perbandingan Klinis TIPE
C A K U PA N
PEMERIKSAAN
Endometritis Infeksi pada endometrium dan kelenjar glandular
Demam, lokia berbau, nyeri perut bawah & pinggang
Metritis
Infeksi pada endometrium + kelenjar glandular + lapisan otot
Akut: serupa endometritis Kronik: >> jaringan ikat uterus membesar
Parametritis
Inflamasi pada parametrium (selulitis pelvika/ligamentum latum)
Nyeri unilateral, defans muskular, infiltrat keras di dinding panggul, uterus terdorong ke bagian sehat
Perimetritis
Inflamasi pada lapisan serosa uterus (perimetrial)
Pelveoperitonitis gejala salpingitis dll
Endometritis • Inflamasi pada lapisan endometrial uterus, dapat meluas hingga miometrium dan parametrium (metritis) • Patogenesis • Kuman masuk kedalam luka endometrium (t.u bekas perlekatan plasenta) leukosit >> pus dan kontraksi otot • Dapat menghalangi involusi uterus
• Endometritis: hanya mengenai endometrium dan kelenjar glandular
Obstetri Patologi Edisi 2. Fakultas Kedokteran Univ Padjadjaran hal 188
http://emedicine.medscape.com/article/254169-overview
Endometritis: Klasifikasi Pregnancy-related endometritis • Akut: Penyebab utama Infeksi postpartum • Kronik: sisa hasil konsepsi, abortus elektif Endometritis unrelated to pregnancy (Pelvic Inflammatory Disease) • Akut: PID, prosedur ginekologik invasif • Kronik: Infeksi (chlamydia, TB, BV), AKDR http://emedicine.medscape.com/article/254169-overview
Endometritis: Etiologi • Polimikroba, biasanya 2-3 mikroorganisme • Paling banyak: infeksi ancending dari flora normal vagina • Bakteri: Ureaplasma urealyticum,Peptostreptococcus, Gardnerella vaginalis, Bacteroides bivius, streptococcus grup B • Chlamydia: sering pada endometritis post partum • Enterococcus: pada 25% wanita yang menerima profilaksis sefalosporin • Herpes dan TB: kasus jarang
http://emedicine.medscape.com/article/254169-overview
Endometritis: Gejala dan Tanda • Gejala umum: Demam, nyeri perut bawah, lokia berbau busuk, perdarahan vagina abnormal, keputihan abnormal, dispareunia, disuria, malaise • Postpartum: demam dalam 36 jam setelah partus, menggigil, nyeri perut bawah, lokia berbau busuk, uterine tenderness
• PID: nyeri perut bawah, keputihan, dispareunia, disuria, demam, nyeri adeneksa, gejala sistemik lain • Infeksi chlamydia: tanpa gejala spesifik http://emedicine.medscape.com/article/254169-overview
Endometritis: Faktor Risiko • Faktor risiko umum • AKDR, darah menstruasi, servisitis GO atau non GO, BV, bilas vagina, aktivitas seksual tidak aman
• Endometritis obstetrik • Mayor: SC, KPD lama, persalinan lama dengan VT sering, bimanual plasenta • Minor: pemberian kortikosteroid pada persalinan preterm, operasi lama, anestesi umum, anemia postpartum http://emedicine.medscape.com/article/254169-overview
Endometritis: Laboratorium • Leukositosis dengan left-shift (sulit dilihat pada postpartum karena leukositosis fisiologis) • Endometritis kronik > 5 neutrofil pada pembesaran 400x di endometrium superfisial > 1 plasma cells pada pembesaran (120x) pada stroma endometrium
http://emedicine.medscape.com/article/254169-workup
Endometritis: Terapi • Digunakan untuk endometritis post partum dan endometritis secara umum • Kombinasi klindamisin 900 mg dan gentamisin 2mg/kgBB IV/ 8 jam
• Monoterapi: sefalosporin, penisilin spektrum luas, fluorokuinolon • Profilaksis: Sefalosporin generasi II (cefazolin) http://emedicine.medscape.com/article/254169-treatment#d10
Metritis • Metritis adalah infeksi uterus pasca persalinan. Keterlambatan terapi metritis dapat menyebabkan abses, peritonitis, syok, trombosis vena, emboli paru, infeksi panggul kronik, sumbatan tuba, dan infertilitas. • Faktor predisposisi: – kurangnya higiene pasien, – Kurangnya nutrisi, dan – Kurangnya tindakan aseptik saat melakukan tindakan.
• Tanda dan Gejala : – – – – – –
demam di atas 380C dapat disertai menggigil, nyeri perut bawah, lokia berbau dan purulen, nyeri tekan uterus, subinvolusi uterus, dan dapat disertai perdarahan per vaginam hingga syok
Pemeriksaan Penunjang Metritis • • • • • •
Pemeriksaan darah perifer lengkap Golongan darah AB0 dan jenis rhesus Glukosa darah sewaktu Analisis urin Kultur (cairan vagina, urin, dan darah) USG (untuk menyingkirkan kemungkinan sisa plasenta)
Tatalaksana Metritis • Berikan antibiotika sampai 48 jam bebas demam dengan Ampisilin 2 gram IV tiap 6 jam ditambah gentamisin 5 mg/kgB IV tiap 24 jam dan metronidazol 500 mg IV tiap 8 jam. Bila demam tidak menurun dalam 72 jam, lakukan kaji ulang tatalaksana dan diagnosis. • Cegah dehidrasi • Pertimbangkan imunisasi TT bila dicurigai terpapar tetanus • Periksa apakah ada kemungkinan sisa plasenta • Jika tidak ada kemajuan dan ada peritonitis lakukan laparotomi dan drainase abdomen bila terdapat pus Buku pelayanan kesehatan ibu di fasilitas kesehatan dasar dan rujukan
141. Prolaps Uteri Definisi • Penurunan uterus dari posisi anatomis yang seharusnya • Insidens: meningkat dengan bertambahnya usia Gejala dan Tanda • Manifestasi klinis yang sering didapatkan adalah keluarnya massa dari vagina dan adanya gangguan buang air kecil hingga disertai hidronefrosis • Sitokel (BAK sedikit-sedikit, tidak tuntas, stres inkontinensia), rektokel (konstipasi), koitus terganggu, leukorea (ec jongesti daerah serviks), luka gesek pada portio, enterokel (rasa berat dan penuh pada panggul), servisitis (bisa menyebabkan infertilitas), menoragia ec bendungan Komplikasi • Keratinasi mukosa vagina dan portio, ulkus dekubitus, hipertrofi serviks, gangguan miksi & stres inkontinensia, ISK, infertilitas, gangguan partus, hemoroid, inkarserasi usus
141. Classification of Genitourinary Prolapse • The Pelvic Organ Prolapse Quantification (POPQ)by The international continence society. It is based on the position of the most distal portion of the prolapse during straining – Stage O: no prolapse – Satge 1 : more than 1 cm above the hymen – Stage 2 : witihin 1 cm proximal or distal to the plane of the hymen – Stage 3 : more than 1 cm below the plane of the hymen but protrudes no further than 2 cm less than the total length of vagina – Stage 4: there is complete eversion of the vagina
• Baden Walker or Beecham classification systems: – 1st degre : cervix is visible when the perineum is depressed – prolapse is contained within the vagina – 2nd degree: cervix prolapsed through the introitus with the fundus remaining in the pelvis – 3rd degree: procidentia (complete prolaps)- entire uterus is outside the introitus
Prolaps Uteri: Tatalaksana • Pengobatan Tanpa Operasi – Tidak memuaskan dan hanya bersifat sementara pada prolapsus uteri ringan, ingin punya anak lagi, menolak untuk dioperasi, Keadaan umum pasien tak mengizinkan untuk dioperasi – Caranya : Latihan otot dasar panggul (Kegel), Stimulasi otot dasar panggul dengan alat listrik, Pemasangan pesarium (cincin plastik) – Prinsipnya : alat ini mengadakan tekanan pada dinding atas vagina sehingga uterus tak dapat turun melewati vagina bagian bawah – Biasanya dipakai pada keadaan: Prolapsus uteri dengan kehamilan, Prolapsus uteri dalam masa nifas, Prolapsus uteri dengan dekubitus/ulkus, Prolapsus uteri yang tak mungkin dioperasi: keadaan umum yang jelek
Prolaps Uteri: Tatalaksana Pengobatan dengan Operasi • • • •
Operasi Manchester/Manchester-Fothergill Histeraktomi vaginal Kolpoklelsis (operasi Neugebauer-La fort) Operasi-operasi lainnya :Ventrofiksasi/hlsteropeksi, Interposisi
Jika Prolaps uteri terjadi pada wanita muda yang masih ingin mempertahankan fungsi reproduksinya cara yang terbaik adalah dengan : • Pemasangan pesarium • Ventrofiksasi (bila tak berhasil dengan pemasangan pesarium)
142. Kanker Serviks • Keganasan pada serviks • Perubahan sel dari normal pre kanker (displasia) kanker • Insidens : usia 40-60 tahun
Faktor Risiko : • HPV (faktor utama) 50% oleh HPV 16 & 18 • Multipartner • Merokok • Riwayat penyakit menular seksual • Berhubungan seks pertama pada usia muda • Kontrasepsi oral • Multiparitas • Status ekonomi sosial rendah • Riwayat Keluarga • Imunosupresi • Defisiensi nutrien dan vitamin
Kanker Serviks: Patogenesis
The oncogenic proteins
http://media.jaapa.com/Images/2009/
Kanker Serviks: Tanda dan Gejala • Perdarahan pervaginam • Perdarahan menstruasi lebih lama dan lebih banyak dari biasanya • Perdarahan post menopause atau keputihan >> • Perdarahan post koitus • Nyeri saat berhubungan • Keputihan (terutama berbau busuk + darah) • Massa pada serviks, mudah berdarah • Nyeri pada panggul, lumbosakral, gluteus, gangguan berkemih, nyeri pada kandung kemih dan rektum
Panduan Pelayanan Klinis Kanker Serviks, Komite Penanggulangan Kanker (KPKN) 2015
Kanker Serviks: Diagnostik • Deteksi Lesi Pra Kanker – Pelayanan Primer: IVA, VILI (Visual inspection with Lugol's iodine (VILI), a.k.a Schiller's test), sitologi pap smear – Pelayanan Sekunder: Liquid base cytology – Pelayanan Tersier: DNA HPV
• Diagnostik – Pelayanan primer: anamnesis dan pemeriksaan fisik – Pelayanan Sekunder: kuret endoserviks, sistoskopi, IVP, foto toraks dan tulang, konisasi, amputasi serviks – Pelayanan Tersier: Proktoskopi Panduan Pelayanan Klinis Kanker Serviks, Komite Penanggulangan Kanker (KPKN) 2015
Kanker Serviks Displasia Serviks • Perubahan abnormal pada sel di permukaan serviks, dapat terlihat dari pengamatan mikroskopik •
Histologi – Cervical intraepithelial neoplasia (CIN) I (mild) a benign viral infection – CIN II (moderate) – CIN III (severe)
•
Sitologi – low-grade SIL (squamous intraepithelial lesion)low-grade lesions – high-grade SIL (HSIL) high-grade dysplasia
Kanker Serviks: Pembagian
Kanker Serviks: Pembagian
http://www.sh.lsuhsc.edu/fammed/Images/PAP-fig1.jpg
Kanker Serviks: Stadium
Staging Kanker Serviks (IIIA)
143. Vasa Previa • Definition: – Fetal vessels crossing or running in close proximity to the inner cervical os. These vessels course within the membranes (unsupported by the umbilical cord or placental tissue) and are at risk of rupture when the supporting membranes rupture
• prevalence of 1.5-4:10,000 • Associated with vilamentous insertion of the umbilical cord, bipartite placenta or succenturiate lobe • About 10% of vasa previa occur in twins
• Pathogenesis 1. velamentous insertions (where the cord inserts directly into the membranes, leaving unprotected vessels running to the placenta) (25- 62%) 2. vessels crossing between lobes of the placenta such as in succenturiate or bilobate placentas (33- 75%) 3. A vessel that courses over the edge of a marginal placenta or a placenta previa may become a vasa previa after extension of the placenta over better vascularized area (trophotropism) and involution of the cotyledons that were previa
Risk Factor • Conditions associated with vessels that run close to the cervix, such as – – – –
low-lying placenta placenta previa multiple pregnancies multi-lobate placentas and velamentous insertion [1% of singleton pregnancy , 10% in multifetal pregnancies].
• Placenta membranacea
Clinical Presentation • The classical modes of presentation included: – – – – –
vessel rupture at amniotomy, vessel rupture before rupture of membranes, vessel rupture after rupture of membranes, vessel compression, and vessels palpable on vaginal examination
• The most frequent presentation is still vaginal bleeding occurring at the time the membranes rupture, the bleeding being most often attributed to a placenta previa, placental abruption, or “heavy show.” • Bleeding of even 100 mL is sufficient to cause fetal shock and death. SOGC CLINICAL PRACTICE GUIDELINE. GUIDELINES FOR THE MANAGEMENT OF VASA PREVIA. 2009
144. Korioamnionitis • Etiologi dan Faktor Risiko – Infeksi ascending dari vagina (IMS, BV) – serviks pendek – – – – – –
Persalinan prematur Persalinan lama Ketuban pecah lama Pemeriksaan dalam yang dilakukan berulang-ulang Alkohol Rokok
• Gejala dan Tanda – Demam > 38 C (paling sering), takikardia ibu > 100 bpm, takikardia janin > 160 bpm, cairan ketuban/keputihan purulen atau berbau, nyeri fundus saat tidak berkontraksi, leukositosis ibu > 15.000
• Bila terdapat 2 atau lebih gejala dan tanda diatas risiko sepsis neonatal >>> http://emedicine.medscape.com/article/973237-medication
Korioamnionitis: Tatalaksana • Bila diagnosis tegak pikirkan terminasi kehamilan • Antibiotik terutama yang dapat mencegah GBS (Guillain-Barre Syndrome) • Kortikosteroid pada kehamilan < 34 minggu
http://emedicine.medscape.com/article/973237-medication
Tatalaksana • Rujuk pasien ke rumah sakit. • Beri antibiotika kombinasi: ampisilin 2 g I tiap 6 jam ditambah gentamisin 5 mg/kgBB I setiap 24 jam. • Terminasi kehamilan. Nilai serviks untuk menentukan cara persalinan: – Jika serviks matang: lakukan induksi persalinan dengan oksitosin – Jika serviks belum matang: matangkan dengan prostaglandin dan infus oksitosin, atau lakukan seksio sesarea
• Jika persalinan dilakukan pervaginam, hentikan antibiotika setelah persalinan. Jika persalinan dilakukan dengan seksio sesarea, lanjutkan antibiotika dan tambahkan metronidazol 500 mg IV tiap 8 jam sampai bebas demam selama 48 jam.
145. Hemorrhagia Post Partum Etiologi (4T dan I) • Tone (tonus) – atonia uteri • Trauma – trauma traktus genital • Tissue (jaringan)retensi plasenta • Thrombin – koagulopati • Inversio Uteri
• Palpasi uterus – Bagaimana kontraksi uterus dan tinggi fundus uterus.
• Memeriksa plasenta dan ketuban: – lengkap atau tidak.
• Melakukan eksplorasi kavum uteri untuk mencari : – Sisa plasenta dan ketuban. – Robekan rahim. – Plasenta suksenturiata.
• Inspekulo : – untuk melihat robekan pada serviks, vagina dan varises yang pecah.
• Pemeriksaan laboratorium : – periksa darah, hemoglobin, clot observation test (COT), dan lain-lain.
Hemorrhagia Post Partum: Definisi • Definisi Lama – Kehilangan darah > 500 mL setelah persalinan pervaginam – Kehilangan darah > 1000 mL setelah persalinan sesar
(SC)
• Definisi Fungsional – Setiap kehilangan darah yang memiliki potensial untuk menyebabkan gangguan hemodinamik
• Insidens
– 5% dari semua persalinan
Hemorrhagia Post Partum: Diagnosis G E J A L A D A N TA N D A YA N G S E L A L U A D A
G E J A L A & TA N D A Y A N G KADANG-KADANG ADA
• •
Uterus tidak berkontraksi dan lembek Perdarahan setelah anak lahir (perdarahan pascapersalinan primer)
• • • •
Perdarahan segera • Darah segar yang mengalir segera setelah bayi • lahir • Uterus kontraksi baik Plasenta lengkap
• • •
Plasenta belum lahir setelah 30 menit Perdarahan segera (P3) Uterus kontraksi baik
•
•
Plasenta atau sebagian selaput (mengandung pembuluh darah) tidak lengkap Perdarahan segera
•
•
DIAGNOSIS
Syok
Atonia uteri
Pucat Lemah Menggigil
Robekan jalan lahir
Retensio plasenta
• •
Tali pusat putus akibat traksi berlebihan Inversio uteri akibat tarikan Perdarahan lanjutan
• • •
Uterus berkontaksi tetapi tinggi fundus tidak berkurang (kontraksi hilang-timbul)
Tertinggalnya sebagian plasenta
Hemorrhagia Post Partum: Diagnosis G E J A L A D A N TA N D A YA N G KADANG-KADANG ADA
G E J A L A D A N TA N D A YA N G S E L A L U A D A
DIAGNOSIS
• • • • •
Uterus tidak teraba Lumen vagina terisi massa Tampak tali pusat (jika plasenta belum lahir) Perdarahan segera Nyeri sedikit atau berat
• •
Syok neurogenik Pucat dan limbung
Inversio uteri
• • •
Sub-involusi uterus Nyeri tekan perut bawah Perdarahan > 24 jam setelah persalinan. Perdarahan sekunder atau P2S. Perdarahan bervariasi (ringan atau berat, terus menerus atau tidak teratur) dan berbau (jika disertai infeksi)
• •
Anemia Demam
Perdarahan terlambat Endometritis atau sisa plasenta (terinfeksi atau tidak)
•
Perdarahan segera (Perdarahan intraabdominal dan / atau pervaginam Nyeri perut berat atau akut abdomen
• • •
Syok Nyeri tekan perut Denyut nadi ibu cepat
Robekan dinding uterus (Ruptura uteri
•
HPP: Tatalaksana 2 komponen utama: 1. Tatalaksana perdarahan obstetrik dan kemungkinan syok hipovolemik 2. Identifikasi dan tatalaksana penyebab utama
Hemorrhagia Post Partum: Terapi • Atonia Uteri - Bimanual Massage
•
Risk Factors for PPH - Antepartum – previous PPH or manual removal – placental abruption, especially if concealed
– intrauterine fetal demise – placenta previa
– gestational hypertension with proteinuria – overdistended uterus (e.g. twins, polyhydramnios)
– pre-existing maternal bleeding disorder (e.g. ITP)
Risk Factor Of PPH Risk Factors for PPH - Intrapartum • operative delivery - cesarean or assisted vaginal • prolonged labour • rapid labour • induction or augmentation • chorioamnionitis • shoulder dystocia • internal podalic version and extraction of second twin • acquired coagulopathy (e.g. HELLP, DIC)
Risk Factors for PPH - Postpartum • lacerations or episiotomy • retained placenta/placental abnormalities • uterine rupture • uterine inversion • acquired coagulopathy (e.g. DIC)
•
Prevention – be prepared – active management of the third stage • prophylactic oxytocin with delivery or with delivery of anterior shoulder – 10 U IM or 5 U IV bolus – 20 U/L N/S IV run rapidly
• early cord clamping and cutting • gentle cord traction with suprapubic countertraction
Diagnosis • Diagnosis - Is this a PPH? – consider risk factors
• Diagnosis - What is the cause?
– observe vaginal loss
– assess the fundus
– express blood from vagina following C/S – REMEMBER
– inspect the lower genital tract
• blood loss is consistently underestimated • ongoing trickling can lead to significant blood loss • blood loss is generally well tolerated to a point
– explore the uterus • retained placental fragments • uterine rupture • uterine inversion
– assess coagulation
Management • Management - ABC ’s – talk to and observe patient – large bore IV access ( 16 gauge) – crystalloid - lots! – CBC – cross-match and type – get HELP!
• Management - Assess the fundus – simultaneous with ABC ’s – atony is the leading cause of PPH – if boggy bimanual massage • rules out uterine inversion • may feel lower tract injury • evacuate clot from vagina and/or cervix • may consider manual exploration at this time
Management - Bimanual Massage
Management • Management - Oxytocin – 5 units IV bolus – 20 units per L N/S IV wide
open – 10 units intramyometrial
given transabdominally
• Management - Manual Exploration – if no response to bimanual massage and oxytocin then proceed to exploration – manual exploration will: • • • •
rule out uterine inversion palpate cervical injury remove retained placenta or clot from uterus rule out uterine rupture or dehiscence
Masase uterus segera setelah plasenta lahir (15 detik)
kompresi bimanual interna maks 5 menit
Jika terus berdarah, Kompresi bimanual eksterna + infus 10-20 IU oksitosin dalam 500 ml NS/RL 40 tpm Infus untuk restorasi cairan & jalur obat esensial, kemudian lanjutkan KBI
Tidak berhasil
Berhasil
Terkontrol Transfusi
Rujuk; Selama perjalanan Kompresi bimanual eksterna Kompresi aorta abdominalis Tekan segmen bawah atau aorta abdominalis; lanjutkan infus infus 20 IU oksitosin dalam 500 ml NS/RL/ jam
Ligasi a. uterina & ovarika
Rawat & Observasi
HISTEREKTOMI
ATONIA UTERI: TATALAKSANA Identifikasi sumber perdarahan lain • Laserasi jalan lahir • Hematoma parametrial • Ruptur uteri • Inversio uteri • Sisa fragmen plasenta
Perdarahan masih
Transfusi
Hemorrhagia Post Partum: Inversio Uteri • Etiologi – Tonus otot rahim lemah – Tekanan/tarikan pada fundus (tekanan intraabdominal, tekanan dengan tangan, tarikan pada tali pusat) – Kanalis servikalis yang longgar • Jenis – Complete: fundus uteri terdapat dalam vagina dengan selaput lendirnya berada diluar – Incomplete: fundus hanya menekuk ke dalam dan tidak keluar ostium uteri • Bila uterus yang berputar balik keluar dari vulva: inversio prolaps
Hemorrhagia Post Partum: Inversio Uteri • Gejala – Syok – Fundus uteri tidak teraba/ teraba lekukan – Kadang tampak massa merah di vulva atau teraba massa dalam vagina dengan permukaan kasar – Perdarahan
• Terapi – Atasi syok – Reposisi dalam anestesi – Bila plasenta belum lepas: reposisi uterus baru dilepaskan karena dapat memicu perdarahan >>
Inversio Uteri: Terapi • Replacement of Inverted Uterus
Retensio plasenta • Plasenta atau bagianbagiannya dapat tetap berada dalam uterus setelah bayi lahir • Sebab: plasenta belum lepas dari dinding uterus atau plasenta sudah lepas tetapi belum dilahirkan
• Plasenta belum lepas: kontraksi kurang kuat atau plasenta adhesiva (akreta, inkreta, perkreta)
Sisa Plasenta • Etiologi – His kurang baik, tindakan pelepasan plasenta yang salah, plasenta akreta, atonia uteri
• Tanda dan Gejala – Perdarahan dari rongga rahim setelah plasenta lahir, dapat segera atau tertunda – Uterus tidak dapat berkontraksi secara efektif – Plasenta yang keluar tidak utuh/tercerai berai
• Penanganan – Pengeluaran plasenta secara manual – Kuretase – Uterotonika http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/150/jtptunimus-gdl-fujifatmaw-7485-2-babii.pdf
Retensio plasenta: Terapi • Posisi Plasenta – Terlihat dalam vagina, minta ibu mengedan – Plasenta dapat teraba dalam vagina keluarkan
• Pastikan kandung kemih kosong kateterisasi bila perlu • Jika plasenta belum keluar berikan oksitosin 10 unit IM • Jika plasenta belum dilahirkan setelah 30 menit pemberian oksitosin dan uterus terasa berkontraksi, lakukan penarikan tali pusat terkendali
• Jika traksi tarikan tali pusat terkendali belum berhasil, cobalah untuk mengeluarkan plasenta secara manual
Depkes RI. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. Bakti Husada
Hemorrhagia Post Partum: Medikamentosa
146. Malaria dalam Kehamilan • Ditemukan parasit pada darah maternal dan darah plasenta
• Pengaruh pada Janin – IUFD, abortus, prematur, BBLR, malaria placenta, malaria kongenital • Gambaran klinis pada wanita hamil – Non imun: ringan sampai berat – Imun : tidak timbul gejala tidak dapat didiagnosa klinis
Kemoprofilaksis Malaria dalam Kehamilan WHO: Dosis terapeutik anti malaria untuk semua wanita hamil di daerah endemik malaria pada kunjungan ANC pertama, kemudian diikuti kemoprofilaksis teratur. Pengobatan malaria di Indonesia hanya memakai klorokuin untuk kemoprofilaksis pada kehamilan. Perlindungan dari gigitan nyamuk, kontak antara ibu dengan vektor dapat dicegah dengan: • Memakai kelambu yang telah dicelup insektisida (misal: permethrin) • Pemakaian celana panjang dan kemeja lengan panjang • Pemakaian penolak nyamuk (repellent) • Pemakaian obat nyamuk (baik semprot, bakar dan obat nyamuk listrik) • Pemakaian kawat nyamuk pada pintu-pintu dan jendela-jendela
Penatalaksanaan Umum 1. Perbaiki keadaan umum penderita (pemberian cairan dan perawatan umum) 2. Monitoring vital sign setiap 30 menit (selalu dicatat untuk mengetahui perkembangannya), kontraksi uterus dan DJJ juga harus dipantau 3. Jaga jalan nafas untuk menghindari terjadinya asfiksia, bila perlu beri oksigen
• Pemberian antipiretik untuk mencegah hipertermia • Parasetamol 10 mg/kgBB/kali, dan dapat dilakukan kompres • Jika kejang, beri antikonvulsan: diazepam 5-10 mg iv (secara perlahan selama 2 menit) ulang 15 menit kemudian jika masih kejang; maksimum 100 mg/24 jam. Bila tidak tersedia diazepam, dapat dipakai fenobarbital 100 mg im/kali (dewasa) diberikan 2 kali sehari
Farmakologi Terapi Malaria dan Kehamilan • Malaria Falciparum – Trimester pertama: kina 3x2 tablet selama 7 hari atau 3x10mg/kgBB selama 7 hari ditambah dengan Klindamisin 2x300mg atau 2x10mg/kgBB selama 7 hari – Trimester II-III: artemisin based combination (ACT): DHP (dihidroartemisinin- piperakuin) 1 x 3 tablet (BB 41-59 kg) / 1x4 tablet (BB ≥ 60 kg) selama 3 hari ATAU artesunat 1 x 4 tablet dan amodiakuin 1 x 4 tablet selama 3 hari.
• Malaria non Falciparum – Trimester I: kina3x2tabletselama7hari atau 3 x 10mg/kgBB selama 7 hari. – Trimester II & III: artemisin based combination (ACT): DHP (dihidroartemisininpiperakuin) 1 x 3 tablet (BB 41-59 kg) / 1x4 tablet (BB ≥ 60 kg) selama 3 hari ATAU artesunat 1 x 4 tablet dan amodiakuin 1 x 4 tablet selama 3 hari.
• Kontraindikasi: primakuin hemolisis sel darah merah, doksisiklin, tetrasiklin • Profilaksis – Klorokuin (sudah banyak resistensi), meflokuin (rekomendasi untuk semua trimester) – Kontraindikasi: doksisiklin dan primakuin
Tatalaksana Malaria Berat pada Kehamilan Untuk kehamilan trimester pertama, berikan: • Loading dose kina: 20 mg garam/kgBB dilarutkan dalam 500 ml dextrose 5% atau NaCl 0,9% diberikan selama 4 jam pertama. Selanjutnya selama 4 jam kedua hanya diberikan cairan dextrose 5% atau NaCl 0,9%. Setelah itu, diberikan kina dengan dosis rumatan 10 mg/kgBB dalam larutan 500 ml dekstrose 5 % atau NaCl selama 4 jam. Empat jam selanjutnya, hanya diberikan cairan dextrose 5% atau NaCl 0,9%. Dst sampai penderita dapat minum kina per oral. • Efek samping: perpanjangan interval QT, Hipoglikemia, dan Hipotensi • Bila sudah dapat minum obat pemberian kina IV diganti dengan kina tablet dengan dosis 10 mg/kgBB/kali diberikan tiap 8 jam. • Kina oral diberikan bersama klindamisin pada ibu hamil. • Dosis total kina selama 7 hari dihitung sejak pemberian kina per infus yang pertama
Tatalaksana Malaria Berat pada Kehamilan • Untuk kehamilan trimester kedua dan ketiga, berikan: – Artesunat (AS) diberikan dengan dosis 2,4 mg/kgbb I sebanyak 3 kali jam ke 0, 12, 24. Selanjutnya diberikan 2,4 mg/kgBB IV setiap 24 jam sampai penderita mampu minum obat. Pengobatan dilanjutkan dengan regimen dihydroartemisinin-piperakuin (ACT lainnya) + primakuin, ATAU – Artemeter diberikan dengan dosis 3,2 mg/kgBB IM, dilanjutkan pada hari berikutnya 1,6 mg/kgBB IM satu kali sehari sampai penderita mampu minum obat. Bila penderita sudah dapat minum
147. Kala Persalinan PERSALINAN dipengaruhi 3 FAKTOR “P” UTAMA 1. Power His (kontraksi ritmis otot polos uterus), kekuatan mengejan ibu, keadaan kardiovaskular respirasi metabolik ibu. 2. Passage Keadaan jalan lahir 3. Passanger Keadaan janin (letak, presentasi, ukuran/berat janin, ada/tidak kelainan anatomik mayor) (++ faktor2 “P” lainnya : psychology, physician, position)
• PEMBAGIAN FASE / KALA PERSALINAN Kala 1 Pematangan dan pembukaan serviks sampai lengkap (kala pembukaan) Kala 2 Pengeluaran bayi (kala pengeluaran) Kala 3 Pengeluaran plasenta (kala uri) Kala 4 Masa 1 jam setelah partus, terutama untuk observasi
Kala Persalinan: Sifat HIS Kala 1 awal (fase laten) • Tiap 10 menit, amplitudo 40 mmHg, lama 20-30 detik. Serviks terbuka sampai 3 cm • Frekuensi dan amplitudo terus meningkat Kala 1 lanjut (fase aktif) sampai kala 1 akhir • Terjadi peningkatan rasa nyeri, amplitudo makin kuat sampai 60 mmHg, frekuensi 2-4 kali / 10 menit, lama 60-90 detik (minimal 2x/10 menit lama min 40”). Serviks terbuka sampai lengkap (+10cm). Kala 2 • Amplitudo 60 mmHg, frekuensi 3-4 kali / 10 menit. • Refleks mengejan akibat stimulasi tekanan bagian terbawah menekan anus dan rektum Kala 3 • Amplitudo 60-80 mmHg, frekuensi kontraksi berkurang, aktifitas uterus menurun. Plasenta dapat lepas spontan dari aktifitas uterus ini, namun dapat juga tetap menempel (retensio) dan memerlukan tindakan aktif (manual aid).
Kala Persalinan: Kala I Fase Laten • Pembukaan sampai mencapai 3 cm (8 jam) Fase Aktif • Pembukaan dari 3 cm sampai lengkap (+ 10 cm), berlangsung sekitar 6 jam • Fase aktif terbagi atas : 1. Fase akselerasi (sekitar 2 jam), pembukaan 3 cm sampai 4 cm. 2. Fase dilatasi maksimal (sekitar 2 jam), pembukaan 4 cm sampai 9 cm. 3. Fase deselerasi (sekitar 2 jam), pembukaan 9 cm sampai lengkap (+ 10 cm).
Kala Persalinan: Kala II • Dimulai ketika pembukaan serviks sudah lengkap (10 cm) dan berakhir dengan lahirnya bayi • Gejala dan tanda kala II persalinan – Dor-Ran Ibu merasakan ingin meneran bersamaan dengan terjadinya kontraksi – Tek-Num Ibu merasakan adanya peningkatan tekanan pada rektum dan/atau vaginanya. – Per-Jol Perineum menonjol – Vul-Ka Vulva-vagina dan sfingter ani membuka – Meningkatnya pengeluaran lendir bercampur darah
• Tanda pasti kala II ditentukan melalui periksa dalam (informasi objektif) – Pembukaan serviks telah lengkap, atau – Terlihatnya bagian kepala bayi melalui introitus vagina
Amniotomi • Definisi – Tindakan untuk membuka selaput amnion dengan jalan membuat robekan kecil yang akan melebar spontan akibat adanya tekanan cairan dan rongga amnion
• Indikasi – Jika ketuban belum pecah dan pembukaan sudah lengkap – Akselerasi persalinan – Persalinan pervaginam menggunakan instrumen – Kasus solusio plasenta
Istilah untuk menjelaskan penemuan cairan ketuban/selaput ketuban • Utuh (U), membran masih utuh, memberikan sedikit perlindungan kepada bayi dalam uterus, tetapi tidak memberikan informasi tentang kondisi janin • Jernih (J), membran pecah dan tidak ada anoksia • Mekonium (M), cairan ketuban bercampur mekonium, menunjukkan adanya anoksia/anoksia kronis pada bayi • Darah (D), cairan ketuban bercampur dengan darah, bisa menunjukkan pecahnya pembuluh darah plasenta, trauma pada serviks atau trauma bayi • Kering (K), kantung ketuban bisa menunjukkan bahwa selaput ketuban sudah lama pecah atau postmaturitas janin
Kala Persalinan: Kala III • Dimulai setelah lahirnya bayi dan berakhir dengan lahirnya plasenta dan selaput ketuban
• Tanda pelepasan plasenta – Semburan darah dengan tiba-tiba: Karena penyumbatan retroplasenter pecah saat plasenta lepas – Pemanjangan tali pusat: Karena plasenta turun ke segmen uterus yang lebih bawah atau rongga vagina – Perubahan bentuk uterus dari diskoid menjadi globular (bulat): Disebabkan oleh kontraksi uterus – Perubahan dalam posisi uterus, yaitu uterus didalam abdomen: Sesaat setelah plasenta lepas TFU akan naik, hal ini disebabkan oleh adanya pergerakan plasenta ke segmen uterus yang lebih bawah (Depkes RI. 2004. Buku Acuan Persalinan Normal. Jakarta: Departemen Kesehatan)
Manajemen Aktif Kala III
Uterotonika • 1 menit setelah bayi lahir • Oksitosin 10 unit IM di sepertiga paha atas bagian distal lateral • Dapat diulangi setelah 15 menit jika plasenta belum lahir
Peregangan Tali Pusat Terkendali • Tegangkan tali pusat ke arah bawah sambil tangan yang lain mendorong uterus ke arah dorso-kranial secara hati-hati
Massase Uterus • Letakkan telapak tangan di fundus masase dengan gerakan melingkar secara lembut hingga uterus berkontraksi (fundus teraba keras).
Pelepasan Plasenta
• Pelepasan mulai pada pinggir plasenta. Darah mengalir keluar antara selaput janin dan dinding rahim, jadi perdarahan sudah ada sejak sebagian dari placenta terlepas dan terus berlangsung sampai seluruh placenta lepas. • Terutama terjadi pada placenta letak rendah
Pelepasan Plasenta
• Pelepasan dimulai pada bagian tengah placenta hematoma retroplacenter plasenta terangkat dari dasar Placenta dengan hematom di atasnya jatuh ke bawah menarik lepas selaput janin. • Bagian placenta yang nampak dalam vulva: permukaan foetal tidak ada perdarahan sebelum placenta lahir atau sekurang-kurangnya terlepas seluruhnya plasenta terputar balik darah sekonyong-konyong mengalir.
148. Torsio Kista Ovarium • Terjadi akibat perubahan dari volume dan berat kista yang mengubah posisi kista, sehingga memungkinkan terjadinya puntiran • Berhubungan dengan penurunan venous return dari ovarium akibat edema stromal, internal hemorrhage, hiperstimulasi, atau massa • Kebanyakan kasus bersifat unilateral pada ovarium yang berukuran besar • Tanda dan gejala – – – – – –
Nyeri mendadak yang muncul pada saat beraktivitas Nyeri menjalar ke pinggang, panggul, dan paha Unilateral pada bagian bawah perut Mual dan muntah (70%) Biasanya berhubungan dengan pengecilan ukuran kista Demam hanya muncul pada saat terjadi nekrosis http://emedicine.medscape.com/article/2026938-treatment
Torsio Kista Ovarium • Faktor Risiko • Kista ovarium pada kehamilan • Tumor ovarium • Riwayat operasi ligasi tuba
• Pemeriksaan Penunjang – USG: pembesaran kista
• Terapi – Medikamentosa – Anti nyeri, anti emesis
– Operatif – Laparoskopi/ laparotomi
• Komplikasi – Infeksi, peritonitis, sepsis, adesi, nyeri kronik, infertilitas
149. Condyloma Acuminata • Anogenital warts (condylomata acuminata) is the most common viral sexually transmitted disease • Etiology: human papilloma virus (HPV) infection type 6 and 11 (90% case) • The incubation period after exposure ranges from three weeks to eight months. Most infections are transient and cleared within two year
• Risk factor :
• Clinical manifestation
– Digital/anal, oral/anal and digital/vaginal contact probably can also spread the virus, as may fomites – The disease is also more common in immunosuppressed individuals
Breen E, et,al. Condyloma Acuminata (Anogenital warts). www.uptodate.com
– Patients with a small number of warts are often asymptomatic. – Other patients may have pruritus, bleeding, burning, tenderness, vaginal discharge (women), or pain – Condylomata can occasionally form large exophytic masses that can interfere with defecation, intercourse, or vaginal delivery. – Lesions involving the proximal anal canal may also cause stricturing.
Kondiloma Akuminta pada Kehamilan • Selama kehamilan, kondiloma akuminata dapat berproliferasi dengan cepat karena perubahan imunitas dan peningkatan suplai darah, dan kelainan ini dapat muncul dalam bentuk klinis atau subklinis (laten).
• Bentuk klinis lebih menyebabkan gangguan emosional dan fisik pada pasien karena ibu harus melahirkan secara sectio caesaria dan jika melahirkan secara spontan akan terdapat kemungkinan risiko kontaminasi HPV pada bayi.
Terapi • Modalitas terapi utama untuk kondiloma akuminata adalah terapi destruktif: – – – –
Elektrokauterisasi, krioterapi dengan nitrogen cair, eksisi, Kemoterapi: tingtura podofilin 25%, podofilin resin, asam trikloroasetat (TCA) 80% - 90% (CDC 2010) atau 50% (buku ajar kulit kelamin FKUI, 5-Fluorourasil 1-5%, – Laser karbondioksida
• Pada wanita hamil tidak semua modalitas terapi di atas dapat digunakan, pilihan terapi yang dapat diberikan antara lain krioterapi, elektrokauterisasi, terapi laser, dan asam trikloroasetat.
150. Bentuk Panggul Wanita Menurut Caldwell dan Molloy, bentuk panggul terbagi menjadi 4 yaitu: •PANGGUL GYNECOID Panggul paling baik untuk perempuan. Bentuk pintu atas panggul hampir bulat. Diameter anteroposterior sama dengan diameter transversa bulat. Jenis ini ditemukan pada 45% wanita •PANGGUL ANDROID Bentuk pintu atas panggul hampir segitiga. Umumnya pria mempunyai jenis seperti ini. Panjang diameter transversa dekat dengan sakrum. Pada wanita ditemukan 15%. •PANGGUL ANTHROPOID Bentuk pintu atas panggul agak lonjong seperti telur. Panjang diameter anteroposterior lebih besar daripada diameter transversa. Jenis ini ditemukan 35% pada wanita •PANGGUL PLATYPELOID Sebenarnya jenis ini adalah jenis ginekoid yang menyempit pada arah muka belakang. Ukuran melintang jauh lebih besar daripada ukuran muka belakang. Jenis ini ditemukan pada 5% perempuan.
151. IUFD • Kematian hasil konsepsi sebelum dikeluarkan dengan sempurna dari rahim ibunya tanpa memandang tuanya kehamilan • Etiologi – perdarahan antepartum seperti plasenta previa dan solusio plasenta – preeklamsia dan eklamsi – penyakit kelainan darah – penyakit infeksi menular – penyakit saluran kencing – penyakit endokrin sperti DM dan hipertiroid – malnutrisi
IUFD Tanda dan gejala • Terhentinya pertumbuhan uterus, atau penurunan TFU • Terhentinya pergerakan janin • Terhentinya denyut jantung janin • Penurunan atau terhentinya peningkatan berat badan ibu. • Perut tidak membesar tapi mengecil dan terasa dingin • Terhentinya perubahan payudara Tatalaksana • Terminasi Kehamilan – Pengakhiran kehamilan jika ukuran uterus tidak lebih dari 12 minggu kehamilan • Persiapan: • •
Keadaan memungkinkan yaitu Hb > 10 gr%, tekanan darah baik. Dilakukan pemeriksaan laboratorium, yaitu:pemeriksaan trombosit, fibrinogen, waktu pembekuan, waktu perdarahan, dan waktu protombin.
• Tindakan: • • •
Kuretasi vakum Kuretase tajam Dilatasi dan kuretasi tajam
– Pengakhiran kehamilan jika ukuran uterus lebih dari 12 minggu sampai 20 minggu • Misoprostol 200mg intravaginal, yang dapat diulangi 1 kali 6 jam sesudah pemberian pertama.
152. Mioma Uteri • • • •
Disebut juga: fibroid, leimioma, leimiomata, fibromioma Tumor jinak yang tumbuh dari jaringan otot uterus Dapat terdiri dari satu mioma atau beberapa mioma kecil Epidemiologi: 20-50% wanita usia subur
• 4 Tipe Mioma Uteri • Subserosa • Tumbuh dilapisan luar uterus dan kearah luar • Intramural • Tumbuh didalam dinding uterus • Submukosa • Dibawah lapisan kavum uteri polimenorrhea, infertilitas, keguguran • Pedunculated • Memiliki tangkai
http://www.myoma.co.uk/about-uterine-myoma.html
Mioma Uteri Gejala dan Tanda: • Perdarahan banyak dan lama selama masa haid atau pun di luar masa haid • Rasa nyeri karena tekanan tumor dan terputarnya tangkal tumor, serta adanya infeksi rahim • Penekanan pada organ di sekitar tumor seperti kandung kemih, ureter, rektum, organ panggul lain gangguan BAB atau BAK, pelebaran pembuluh darah vena dalam panggul, gangguan ginjal • Infertilitas karena terjadi penekanan pada saluran indung telur • Pada bagian bawah perut dekat rahim terasa kenyal. Pada kehamilan • Membesar pada trimester pertama karena pengaruh estrogen • Degenerasi merah pada masa hamil atau nifas • Torsio dengan tanda akut abdomen Faktor Predisposisi • Nulipara, infertilitas, riwayat keluarga Diagnosis • Massa yang menonjol/ teraba seperti bagian janin, tes HCG (-) • USG abdominal/ transvaginal Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu, WHO
Mioma Uteri: Tatalaksana • Pemeriksaan Berkala – Pemeriksaan fisik &USG setiap 6-8 minggu untuk mengawasi pertumbuhan, ukuran, dan jumlah bila stabil observasi setiap 3-4 bulan
• Terapi Hormonal – Preparat progestin atau GnH efek hipoestrogen
• Terapi Operasi – Miomektomi • Bila pasien masih muda/ingin memiliki anak
– Histerektomi • Bila tidak ingin memiliki anak lagi atau nyeri hebat yang tidak sembuh dengan terapi
– Miolisis • Koagulasi laparoskopik dengan neodymium
– Embolisasi arteri uteri
Mioma Geburt • Mioma submukosa pedinkulata: jenis mioma submukosa yang mempunyai tangkai • Dapat keluar dari rongga rahim ke vagina melalui saluran servik: mioma geburt atau mioma yang dilahirkan
153. Hipertensi dalam kehamilan Definisi - Tekanan darah ≥140/90 mmHg - Pada 2 kali pemeriksaan dengan jarak 4-6 jam Faktor predisposisi - Gemelli - Penyakit trofoblas - Hidroamnion - DM - Gangguan vaskuler
plasenta - Faktor herediter - Riwayat preeklampsia sebelumnya - Obesitas sebelum hamil
Sumber: Buku saku pelayanan kesehatan ibu di fasilitas kesehatan dasar dan rujukan WHO, 2013
Hipertensi Kronik - Hipertensi tanpa proteinuria - TD ≥140/90 mmHg - Sebelum hamil pasien sudah memiliki hipertensi, atau - Pasien sudah memiliki hipertensi saat usia kehamilan masih <20 minggu Tatalaksana: - Jika TD sistolik ≥ 160 mmHg atau TD diastolik ≥ 110 mmHg terapi antihipertensi - Kontraindikasi: ACE-I, ARB, dan thiazide - Suplementasi kalsium 1.5-2 gram per hari + aspirin 75 mg/hari mulai dari usia kehamilan 20 minggu - Jika HR janin <100 x/menit atau > 180x/menit tatalaksana sebagai gawat janin - Jika tidak ada komplikasi tunggu sampai aterm Sumber: Buku saku pelayanan kesehatan ibu di fasilitas kesehatan dasar dan rujukan WHO, 2013
Hipertensi Gestasional - Hipertensi tanpa proteinuria - TD ≥140/90 mmHg - Tidak ada riwayat hipertensi sebelum hamil - Dapat disertai gejala preeklampsia seperti nyeri ulu hati dan trombositopenia - Diagnosis pasti ditegakkan pasca persalinan TD normal setelah melahirkan Tatalaksana - Pantau tekanan darah, urin untuk proteinuria, dan kondisi janin setiap minggu - Jika tekanan darah meningkat tatalaksana sebagai preeklampsia - Kondisi janin memburuk atau pertumbuhan janin terhambatrawat untuk pemantauan kesehatan janin - Jika TD stabil bisa persalinan normal Sumber: Buku saku pelayanan kesehatan ibu di fasilitas kesehatan dasar dan rujukan WHO, 2013
Preeklampsia Ringan - TD ≥140/90 mmHg pada usia kehamilan >20 minggu - Proteinuria 1+ atau protein kuantitatif >300 mg/24 jam Preeklampsia Berat - TD >160/110 mmHg pada usia kehamilan >20 minggu - Proteinuria 2+ atau protein kuantitatif >5 g/24 jam - Atau disertai kelainan organ lain: trombositopenia (<100.000), hemolisis mikroangiopati, peningkatan SGOT/SGPT, nyeri abdomen kuadran atas, sakit kepala, skotoma penglihatan, pertumbuhan janin terhambat, oligohidroamnion - Peningkatan SGOT/SGPT+trombositopenia HELLP Syndrome Superimposed preeklampsia - Sudah ada hipertensi kronik sebelum hamil atau saat usia kandungan <20 minggu - Proteinuria 1+ atau trombosit <100.000 pada usia kehamilan <20 minggu Eklampsia - Kejang umum dan/atau koma - Ada tanda preeklampsia - Tidak ada kemungkinan penyebab lain seperti epilepsi, perdarahan subarachnoid, atau meningitis
Sumber: Buku saku pelayanan kesehatan ibu di fasilitas kesehatan dasar dan rujukan WHO, 2013
Pre Eklampsia & Eklampsia: Kejang • Pencegahan dan Tatalaksana Kejang – Bila terjadi kejang perhatikan prinsip ABCD • MgSO4 – Eklampsia untuk tatalaksana kejang – PEB pencegahan kejang
Depkes RI. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. Bakti Husada
• Syarat pemberian MgSO4: Terdapat refleks patella, tersedia kalsium glukonas, napas> 16x/menit, dan jumlah urin minimal 0,5 ml/kgBB/jam
• Antihipertensi
• Pertimbangan terminasi kehamilanharus dilahirkan dalam 12 jam setelah kejang Sumber: Buku saku pelayanan kesehatan ibu di fasilitas kesehatan dasar dan rujukan WHO, 2013
154. Suplementasi dan Nutrisi Kehamilan • Suplementasi dan Medikamentosa – Asam Folat – Zat Besi – Kalsium – Aspirin – Tetanus Toxoid
• Nutrisi – Penambahan kalori 300 Kal/Hari dan air 400 ml/hari Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu, WHO
Suplementasi Kehamilan: Asam Folat • Kebutuhan Asam Folat • 50-100 μg/hari pada wanita normal • 300-400 μg/hari pada wanita hamil hamil kembar lebih besar lagi
• Dosis – Pencegahan defek pada tube neural: Min. 400 mcg/hari – Defisiensi asam folat: 250-1000 mcg/hari – Riwayat kehamilan sebelumnya memiliki komplikasi defek tube neural atau riwayat anensefali: 4mg/hari pada sebulan pertama sebelum kehamilan dan diteruskan hingga 3 bulan setelah konsepsi
Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu, WHO
Suplementasi Kehamilan: Zat Besi • Tablet Tambah Daerah Generik dikemas dalam bungkus warna putih, berisi 30 tab/bungkus • Memenuhi spesifikasi – Setiap tablet mengandung 200 mg Ferro Sulfat atau 60 mg besi elemental dan 0,25 mg asam folat
• Pemakaian dan Efek Samping – Minum dengan air putih, jangan minum dengan teh, susu atau kopi mengurangi penyerapan zat besi dalam tubuh – Efek samping dari minum TTD adalah mual dan konstipasi, namun tidak berbahaya – Untuk menghindari efek mual dan konstipasi, dianjurkan minum TTD menjelang tidur malam – Lebih baik disertai makan buah dan sayur. Misalnya pepaya atau pisang
Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu, WHO
Suplementasi Kehamilan: Kalsium • Sasaran – Area dengan asupan kalsium rendah
• Tujuan – Pencegahan preeklampsia bagi semua ibu hamil, terutama yang memiliki risiko tinggi (riwayat preeklampsia di kehamilan sebelumnya, diabetes, hipertensi kronik, penyakit ginjal, penyakit autoimun, atau kehamilan ganda)
• Dosis – 1,5-2 g/ hari
Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu, WHO
Medikamentosa Kehamilan: Aspirin • Pemberian 75 mg aspirin tiap hari dianjurkan untuk pencegahan preeklampsia bagi ibu dengan risiko tinggi, dimulai dari usia kehamilan 20 minggu • Aspirin juga digunakan pada ibu dengan hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya pengentalan darah selama kehamilan
Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu, WHO
Medikamentosa Kehamilan: TT • Didahului dengan skrining untuk mengetahui jumlah dosis dan status) imunisasi TT yang telah diperoleh selama hidupnya
• Pemberian tidak ada interval maks, hanya terdapat interval min antar dosis TT • Jika ibu belum pernah imunisasi atau status imunisasinya tidak diketahui, berikan dosis vaksin (0,5 ml IM di lengan atas) sesuai tabel berikut
Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu, WHO
Medikamentosa Kehamilan: TT • Dosis booster mungkin diperlukan pada ibu yang sudah pernah diimunisasi. Pemberian dosis booster 0,5 ml IM disesuaikan dengan jumlah vaksinasi yang pernah diterima sebelumnya seperti pada tabel berikut:
Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu, WHO
155. Fritsch or Asherman Syndrome • Merupakan suatu kondisi yang memiliki ciri khas adanya adesi atau fibrosis endometrium yang sering disebabkan oleh proses dilatasi dan kuretase. • Istilah lain yang sering digunakan: adesi intrauterin, atresia uterine, atrofi uterine traumatika, sklerosis endometrium, dan sinekia intrauterin • Diagnosis: riwayat dilatasi dan kuretase ditunjang dengan adanya jaringan parut pada uterus oleh histerosonografi atau histerosalfingografi. • Terapi: Bedah diikuti dengan hormonal untuk mencegah timbulnya jaringan parut.
Sindrom Sheehan • Hipopituarisme disebabkan oleh nekrosis akibat kehilangan banyak darah, terutama akibat syok hipovolemik selama dan setelah melahirkan • Gejala awal: agalaktorea dan/atau kesulitan menyusui, amenorea atau oligomenorea setelah partus • Pituitari anterior disuplai oleh sistem vena portal bertekanan rendah • Bila terdapat perdarahan hipotensi iskemia nekrosis pituitari • Pituitari posterior biasanya tidak terkena dampak hipotensi karena memiliki suplai arteri sendiri
Sindrom Sheehan • Pemeriksaan Penunjang & Diagnosis – Riwayat, hiponatremia, kadar hormon tiroid dan kortisol rendah – Radiologis: tidak terlalu terlihat kadang sella terlihat kosong
• Terapi – Pemberian hidrokortison terlebih dulu baru baru tiroksin terapi tiroksin dapat menginduksi krisis adrenal • Dosis: 20 mg/hari (15 mg pagi dan 5 mg sore hari)
Meigs Syndrome • Trias dari tumor jinak ovarium, efusi pleura, dan asites yang akan mereda setelah tumor diangkat • Etiologi paling sering adalah fibroma ovarium, tumor Brenner (neoplasma epitelial dan stroma jinak), dan tumor sel granulosa • Gejala klinis yang sering didapatkan adalah kelelahan, sesak napas, adanya massa abdomen-pelvis, perubahan berat badan, batuk tidak produktif, kembung, amenore pada usia premenopause, dan menstruasi tidak teratur • Pemeriksaan fisis didapatkan adanya massa pelvis disertai tanda efusi pleura dan asites
Meigs Syndrome: Pemeriksaan Penunjang • Laboratorium: darah lengkap, serum elektrolit, fungsi ginjal, fungsi hati, fungsi koagulasi, Ca125 • Imaging: CT-scan abdomen dan thorax, foto rontgen thorax, parasentensis cairan asites • Terapi: Bedah, suportif http://emedicine.medscape.com/article/255450
156. Distosia Bahu • Keadaan dimana setelah kepala dilahirkan, bahu anterior tidak dapat lewat dibawah simfisis pubis • Kegagalan melahirkan bahu dengan metode biasa • Incidence • 1 to 2 per 1000 deliveries • 16 per 1000 deliveries of babies > 4000 g • Diagnosis: – Kesulitan melahrikan wajah dan dagu – “Turtle Sign”: kepala bayi melekat erat di vulva atau bahkan tertarik kembali – Kegagalan paksi luar kepala bayi – Kegagalan turunnya bahu
Complications of Shoulder Dystocia • Fetal/neonatal - death - asphyxia and sequelae - fractures - clavicle, humerus - brachial plexus palsy
• Maternal - postpartum hemorrhage - uterine rupture
Risk Factors Risk factors are present in < 50% of cases
• post-term pregnancy
• maternal obesity • fetal macrosomia • previous shoulder dystocia • operative vaginal delivery • prolonged labour • poorly controlled diabetes
Distosia Bahu: Faktor Predisposisi
Manuver McRobert
Penekanan Suprasimfisis
Management of Shoulder Dystocia Ask for help Lift - the buttocks - the legs
} McRobert’s manoeuver
Anterior disimpaction of shoulder - rotate to oblique - suprapubic pressure
Rotation of the posterior shoulder - Woods’ manoeuver Manual removal of posterior arm
Avoid the P’s • Panic • Pulling
(on the head)
• Pushing
(on the fundus)
• Pivoting
(sharply angulating the head, using the coccyx as a fulcrum)
Ask for HELP • get the mother on your side • partner, coach • nursing
• notify physician back up or other appropriate personnel
Lift - McRobert’s Manoeuver
Lifting the legs and buttocks • McRobert’s manoeuver • flexion of thighs on abdomen • requires assistance • 70% of cases are resolved
with this manoeuvre alone
Anterior Disimpaction 1) Suprapubic Pressure (Massanti Manoeuvre)
• NO fundal pressure • Abdominal approach: suprapubic pressure applied with heel of clasped hand from the posterior aspect of the anterior shoulder to dislodge it
Anterior Disimpaction 2) Rubin Manoeuver
• vaginal approach
• adduction of anterior shoulder by pressure applied to the posterior aspect of the shoulder (the shoulder is pushed toward the chest) • consider episiotomy • NO fundal pressure
Rotation of Posterior Shoulder - Step 1 • pressure on anterior aspect of posterior shoulder • may be combined with anterior disimpaction manoeuvers • NO fundal pressure
Rotation of Posterior Shoulder - Step 2 Wood’s screw manoeuvre • can be done simultaneously with anterior dissimpaction
Rotation of Posterior Shoulder - Step 3 • may be repeated if delivery not accomplished by Steps 1 & 2
Rotation of Posterior Shoulder - Step 4
Manual removal of posterior arm • flex arm at elbow • (pressure in antecubital fossa to flex arm) • sweep arm over chest • grasp wrist/forearm or hand • deliver arm
Manual removal of the posterior arm
157. TORCH: Toksoplasma •
Etiologi: Toxoplasma gondi
•
Gejala dan Tanda – Tanpa gejala spesifik hanya 10-20% kasus yang bergejala ringan, mirip flu – Wanita hamil terinfeksi Toxoplasma abortus spontan/ keguguran (4%), lahir mati (3%) atau bayi menderita Toxoplasmosis bawaan gejala dapat muncul setelah dewasa, misalnya kelainan mata dan telinga, retardasi mental, kejang-kejang dan ensefalitis.
•
Diagnosis – Gejala: tidak spesifik atau bahkan tidak menunjukkan gejala (sub klinik). – Pemeriksaan laboratorium: Anti-Toxoplasma IgG, IgM dan IgA, serta Aviditas AntiToxoplasma IgG. – Pemeriksaan perlu dilakukan pada orang yang diduga terinfeksi, ibu-ibu sebelum atau selama masa hamil (bila hasilnya negatif perlu diulang sebulan sekali khususnya pada trimester pertama, selanjutnya tiap trimester), serta bayi baru lahir dari ibu yang terinfeksi Toxoplasma
Sumber :Pengertian TORCH Berikut Pencegahannya - Bidanku.comhttp://bidanku.com/pengertian-torch-berikutpencegahannya
TORCH: Terapi Toksoplasma • Untuk wanita hamil (CDC): – DOC: Spiramisin (trimester I dan II) • Dosis: 100 mg/kgBB/hari selama 30-45 hari
– Pirimetamin/sulfadiazin & leucovorin (Trimester II akhir & III) dan bila terdapat kemungkinan janin terinfeksi (pemeriksaan cairan amnion pada minggu 18) • Dosis Pirimetamin: 100 mg di hari 1 lanjut 25-50 mg/hari • Dosis Sulfadiazin: 4 x 1 gram/hari • Dosis Leucovorin (asam folat): 7.5 mg/hari selama 4-6 minggu http://www.cdc.gov/parasites/toxoplasmosis/health_professionals/
Toksoplasmosis pada Kehamilan • Deteksi antibodi spesifik toksoplasma merupakan metode diagnostik primer • Deteksi inisial adalah IgG untuk menentukan status imun (+): indikasi infeksi pada suatu waktu lampau uji IgM • Uji IgM (-): menyingkirkan infeksi kini (recent infection) • Uji IgM toksoplasma: kurang spesifitas – IgM (+)/IgG (-): spesimen I mencurigakan tes ulang 2 minggu kemudian dengan spesimen II • Bila spesimen I diambil pada awal infeksi, maka spesimen II seharusnya IgG (+) tinggi • Bila IgG (-) dan IgM (+) pada kedua spesimen: positif palsu, pasien tidak terinfeksi
– IgM (+)/IgG (+): ambil spesimen II uji di lab lain yang menggunakan metode tes berbeda untuk konfirmasi – IgM (+)/IgG (+) dan hamil: IgG avidity Test
Toksoplasmosis pada Kehamilan: Uji Aviditas • Uji aviditas tinggi pada kehamilan usia 12-16: menyingkirkan infeksi terjadi pada masa gestasi • Uji aviditas rendah: belum tentu infeksi dapat akibat adanya persisten low IgG avidity dalam beberapa bulan setelah infeksi • Wanita hamil yang dicurigai terinfeksi harus diuji ulang di lab lain – Bila terdapat gejala yang sesuai tapi titer IgG rendah uji ulang 2-3 minggu kemudian bila terdapat kenaikan titer: infeksi toksoplasma (+) https://www.cdc.gov/dpdx/toxoplasmosis/dx.html
Algoritma Imunodiagnosis Toksoplasma
* Except Infant https://www.cdc.gov/dpdx/toxoplasmosis/dx.html
Toksoplasma pada Kehamilan • Insiden toksoplasmosis kongenital pada ibu yang diketahui terinfeksi sebelum masa gestasi sangat rendah (mendekati nol) – Terapi menggunakan spiramycin atau dengan pyrimethamine, sulfadiazine, dan folinic acid serta diagnosis prenatal untuk infeksi fetal tidak diindikasikan kecuali ibu imunokompromais – Dari keterangan diatas, dapat disimpulkan bahwa adanya antibodi yang muncul setelah infeksi pada ibu sebelum masa gestasi akan melindungi janin terhadap toksoplasmosis kongenital http://cid.oxfordjournals.org /content/47/4/554.long
158. Bishop Score http://perinatology.com/calculators/Bishop%20Score%20Calculator.htm
• Menilai kematangan serviks, keberhasilan induksi, kemungkinan persalinan pervaginam, dan memperkirakan kapan terjadi persalinan (normal)
• Dilatasi/Pembukaan seviks – Skor 0 (0 cm) – 3 (> 6 cm)
• Penipisan serviks – Skor 0(0%) – 3 (80-100% setipis kertas)
• Station/Penurunan Kepala (Hodge) – Skor 0 (-3) – 3 (+1 atau +2)
• Konsistensi serviks – Keras – sedang - lunak
• Posisi Serviks – Kebelakang – Searah sumbu jalan lahir – kedepan
BISHOP Score
Bishop Score: Keterangan • Metode ini telah digunakan selama beberapa tahun dan telah terbukti memuaskan • Nilai Bishop ≥ 6 bisa berhasil induksi dan persalinan pervaginam • Nilai Bishop <6 kemungkinan pervaginam gagal karena serviks belum matang, diperlukan pematangan serviks • Seleksi pasien untuk induksi persalianan dengan letak verteks • Dipakai pada kehamilan 36 minggu atau lebih
159. Infertilitas pada Pria: Etiologi
https://www.andrologyaustralia.org/your-health/male-infertility/
Cutt-off reference values for semen Characteristics as published in consecutive WHO manuals
Sperma Abnormal
• Azoospermia: tidak terdapat sperma hidup dalam cairan sperma dalam cairan ejakulat ejakulat • Oligospermia: jumlah sperma • Astenozoospermia: motilitas < kurang dari 20 juta per ml normal cairan ejakulat • Teratozoospermia: morfologi abnormal • Necrozoospermia: tidak ada
Infertilitas: Tatalaksana
ICSI: Intra-cytoplasmic sperm injection IUI : Intrauterine insemination IVF: In Vitro Fertilization
160. Solusio Plasenta • Terlepasnya plasenta dari tempat implantasinya • Diagnosis – Perdarahan kehitaman dan cair, syok tidak sesuai dengan jumlah darah keluar (tersembunyi), anemia berat, gawat janin/ hilangnya DJJ, uterus tegang dan nyeri
• Faktor Predisposisi – – – – – –
Hipertensi Versi luar Trauma abdomen Hidramnion Gemelli Defisiensi besi
Solusio Plasenta: Gambaran Klinis • Solusio Placenta Ringan – Luas plasenta yang terlepas < 25% atau < 1/6 bagian (Jumlah perdarahan < 250 ml) – Tumpahkan darah yang keluar terlihat seperti pada haid, sukar dibedakan dari plasenta previa kecuali warna darah yang kehitaman – Komplikasi terhadap ibu dan janin belum ada
• Solusio Placenta Sedang – Luas plasenta yang terlepas 25-50% (Jumlah perdarahan 250 ml-1.000 ml – Gejala dan tanda sudah jelas: rasa nyeri pada perut yang terus menerus, denyut jantung janin menjadi cepat, hipotensi dan takikardia
• Solusio Placenta Berat – Luas plasenta yang terlepas > 50%, dan jumlah perdarahan > 1.000 ml – Gejala dan tanda klinik jelas: keadaan umum penderita buruk disertai syok, dan hampir semua janinnya telah meninggal. Komplikasi koagulopati dan gagal ginjal yang ditandai pada oliguri biasanya telah ada
Solusio Plasenta: Patofisiologi • Perdarahan pada pemb. Darah plasenta/uterus hematma pada desidua plasenta terdesak dan terlepas • Perdarahan berlangsung teru karena otot uterus yang telah meregang oleh kehamilan tidak mampu untuk lebih berkontraksi menghentikan perdarahannya hematoma retroplasenter bertambah besar sebagian/ seluruh plasenta lepas dari dinding uterus • Sebagian darah akan menyusup di bawah selaput ketuban keluar dari vagina atau menembus selaput ketuban masuk ke dalam kantong ketuban atau mengadakan ektravasasi di antara serabut-serabut otot uterus • Apabila ektravasasinya berlangsung hebat,maka seluruh permukaan uterus akan berbercak biru atau ungu (uterus Couvelaire) Perut terasa sangat tegang dan nyeri • Akibat kerusakan jaringan miometrium dan pembekuan retroplasenter banyak trombosit akan masuk ke dalam peredaran darah ibu pembekuan intravaskuler dimana-mana menghabiskan sebagian besar persediaan fibrinogen hipofibrinogenemia gangguan pembekuan darah tidak hanya di uterus tetapi juga pada alat-alat tubuh yang lainnya
Solusio Plasenta: Plasenta: Tata Laksana Solusio Tatalaksana Tatalaksana • Perdarahan hebat (nyata atau tersembunyi) dengan tanda- tanda awal syok pada ibu, lakukan persalinan segera bergantung pembukaan serviks: – Lengkap ekstraksi vakum – Belum ada/ lengkap SC – Kenyal, tebal, dan tertutup SC •
Jika perdarahan ringan/ sedang dan belum terdapat tanda-tanda syok, tindakan bergantung pada denyut jantung janin (DJJ): • DJJ normal, lakukan seksio sesarea • DJJ tidak terdengar namun nadi dan tekanan darah ibu normal: pertimbangkan persalinan pervaginam • DJJ tidak terdengar dan nadi dan tekanan darah ibu bermasalah: – pecahkan ketuban dengan kokher: – Jika kontraksi jelek, perbaiki dengan pemberian oksitosin • DJJ abnormal (kurang dari 100 atau lebih dari 180/menit): lakukan persalinan pervaginam segera, atau SC bila tidak memungkinkan
161. PELVIC INFLAMMATORY DISEASE • Infeksi pada traktus genital atas wanita yang melibatkan kombinasi antara uterus, ovarium, tuba falopi, peritonium pelvis, atau jaringan penunjangnya. • PID terutama terjadi karena ascending infection dari traktus genital bawah ke atas • Patogen: Dapat berupa penyakit akibat hubungan seksual atau endogen (Tersering: N. Gonorrhea & Chlamydia Trachomatis) • Faktor Risiko:
Kontak seksual Riwayat penyakit menular seksual Multiple sexual partners IUD
PID:Current concepts of diagnosis and management,Curr Infect Dis Rep, 2012
Salphingitis •
Inflamasi pada tuba fallopi
•
Salphingitis akut biasanya disamakan dengan PID karena merupakan bentuk paling sering dari PID
•
Faktor Risiko
– Instrumentasi pada serviks dan uteri (IUD, biopsi, D&C) – Perubahan hormonal selama menstruasi, menstruasi retrogard
•
Gejala dan Tanda – Spotting, dismenorea, dispareunia, demam, nyeri punggung bawah, sering BAK, mual dan muntah, nyeri goyang serviks
•
Diagnosis • •
•
Nyeri perut bawah, nyeri adneksa bilateral, nyeri goyang serviks Tambahan: suhu oral > 38.3 C, keputihan abnormal, peningkatan C rekative protein, adanya bukti keterlibatan N. gonorrhoeae atau C. trachomatis
Terapi – Rawat inap dengan antibiotik IV (cefoxitin dan doksisiklin) – Rawat jalan dengan cefotixin IM dan Doksisiklin oral – Operatif bila antibiotik gagal http://emedicine.medscape.com/article/275463-overview#a2
PID:Current concepts of diagnosis and management,Curr Infect Dis Rep, 2012
PID: Pengobatan • Harus berspektrum luas • Semua regimen harus efektif melawan N. gonorrhoeae dan C. trachomatis karena hasil skrining endoserviks yang negatif tidak menyingkirkan infeksi saluran reproduksi atas • Rawat jalan atau rawat inap bergantung pada:
Adanya emergensi (contoh; apendisitis) Pasien hamil Pasien tidak berespon baik terhadap antibiotik oral Pasien tidak memungkinkan untuk menoleransi antibiotik oral Pasien memiliki penyakit berat, mual-muntah, demam tinggi Pasien memiliki abses tubo-ovarian
http://www.cdc.gov/std/treatment/2010/pid.htm
Sexually active woman presenting with abnormal vaginal discharge, lower abdominal pain, OR dyspareunia
Uterine tenderness, OR Adnexal tenderness, OR Cervical motion tenderness on pelvic exam?
YES
NO
1) Perform NAAT for gonorrhea and chlamydia 2) Perform pregnancy testing 3) Perform vaginal microscopy if available 4) Offer HIV testing
See Vaginal Discharge algorithm, consider other organic causes
Empiric treatment for PID* if no other organic cause found (e.g. ectopic pregnancy, appendicitis)
Signs of severe illness (i.e. high fever, nausea/vomiting), OR Surgical emergency (e.g. appendicitis) not excluded, OR Suspected to have a tubo-ovarian abscess, OR Unable to tolerate or already failed oral antibiotics, OR Pregnant?
YES
NO
Inpatient PID treatment: Cefotetan 2g IV Q12 hours OR Cefoxitin 2g IV Q6 hours, PLUS Doxycycline 100mg PO/IV Q12 hours** (other regimens available****)
Outpatient PID treatment: Ceftriaxone 250mg IM x 1 dose PLUS Doxycycline 100mg PO BID x 14 days,** WITH OR WITHOUT Metronidazole 500mg PO BID x 14 days*** OR Cefoxitin 2g IM x 1 dose and Probenecid 1g PO x 1dose together PLUS Doxycycline 100mg PO BID X 14 days,** WITH OR WITHOUT Metronidazole 500mg PO BID x 14 days*** (other regimens available****) Response to treatment 72 hours later?
1) Hospitalize 24-48 hours to ensure response to treatment 2) Discharge on oral antibiotics to complete 14 day course
NO
YES
See Inpatient treatment
Continue treatment for 14 days
http://depts.washington.edu/handbook/syndromesFemale/ch8_pid.html
Pelvic Inflammatory Disease
http://www.cdc.gov/std/treatment/2010/pid.htm
162. Cervicitis • Cervicitis is a general term describing inflammation of the cervix • Two major diagnostic signs characterize cervicitis: – a purulent or mucopurulent endocervical exudate visible in the endocervical canal or on an endocervical swab specimen (commonly referred to as mucopurulent cervicitis) and – sustained endocervical bleeding easily induced by gentle passage of a cotton swab through the cervical os
• Cervicitis frequently is asymptomatic, but some women complain of an abnormal vaginal discharge and intermenstrual vaginal bleeding (e.g., after sexual intercourse ) CDC. Sexually Transmitted Diseases Treatment Guidelines, 2015
• Etiology – C. trachomatis or N. gonorrhoeae. – Cervicitis also can accompany trichomoniasis and genital herpes (especially primary HSV-2 infection). – However, in most cases of cervicitis, no organism is isolated, especially in women at relatively low risk for recent acquisition of these STDs (e.g., women aged >30 years)
Tatalaksana Lesi Prakanker • Tatalaksana lesi pra kanker disesuaikan dengan fasilitas pelayanan kesehatan, sesuai dengan kemampuan sumber daya manusia dan sarana prasarana yang ada. • Pada tingkat pelayanan primer dengan sarana dan prasarana terbatas dapat dilakukan program skrining atau deteksi dini dengan tes IVA. • Skrining dengan tes IVA dapat dilakukan dengan cara single visit approach atau see and treat program, yaitu bila didapatkan temuan IVA positif maka selanjutnya dapat dilakukan pengobatan sederhana dengan krioterapi oleh dokter umum atau bidan yang sudah terlatih. • Pada skrining dengan tes Pap smear, temuan hasil abnormal direkomendasikan untuk konfirmasi diagnostik dengan pemeriksaan kolposkopi. • Bila diperlukan maka dilanjutkan dengan tindakan Loop Excision Electrocauter Procedure (LEEP) atau Large Loop Excision of the Transformation Zone (LLETZ) untuk kepentingan diagnostik maupun sekaligus terapeutik.
PapSmear, Lesi Pra Kanker: Tatalaksana LSIL
Skrining 12 bulan
LSIL
Observasi ulang test 3 bulan
(+)
Kolposkopi
LSIL/HSIL Panduan Pelayanan Klinis Kanker Serviks, Komite Penanggulangan Kanker (KPKN) 2015
PapSmear, Lesi Pra Kanker: Tatalaksana HSIL (-)
Observasi
NIS I
HSIL
Kolposkopi
-
Observasi
+
Ablasi
DNA HPV
NIS II
+
Ablasi
NIS III
+
Ablasi
Konisasi
Panduan Pelayanan Klinis Kanker Serviks, Komite Penanggulangan Kanker (KPKN) 2015
ASC-H: atypical squamous cells cannot exclude high grade ASC-US: atypical squamous cells of undetermined significance
Papsmear
Accuracy of the Papanicolaou Test in Screening for and Follow-up of Cervical Cytologic Abnormalities: A Systematic Review Kavita Nanda, MD, MHS; Douglas C. McCrory, MD, MHSc; Evan R. Myers, MD, MPH; Lori A. Bastian, MD, MPH; Vic Hasselblad, PhD; Jason D. Hickey; and David B. Matchar, MD
Classification of Pap smear Class
Reagen(WHO)
Ruchart
Bethesda
Class 1
negative
negative
Within normal
Class 2
inflammation
------
Class 3
Mild dysplasia
CIN-l (HPV)
LSIL (HPV)
Class 4
Mod dysplasia Seve dysplasia Carcinoma in situ
CIN-ll CIN-lll
HSIL
Class 5
Invasive cancer
Invasive cancer
Invasive cancer
ASCUS
Lower 1/3 of Epithelium
Middle 1/3 of Epithelium
> 2/3 of Epithelium
Bethesda (NCI) squamous intraepithelial lesion
LSIL
HSIL
HSIL
Cervical intraepithelial neoplasia
CIN1
CIN2
CIN3
Reagan terminology
mild
moderate
severe/CIS (dysplasia)
Various types of cervical lesions as seen on Pap smears: CIN Il
Various types of cervical lesions as seen on Pap smears: CIN I.
Cervicitis. Acute inflammatory exudate (numerous neutrophils). (Ecto/endocervical smear, Pap, 200x)
Pap smear. Metaplastic cells sometimes binucleated and inflammation on the background suggestive of ASCUS. (Papanicolaou, x100)
Various types of cervical lesions as seen on Pap smears: CIN lll
Various types of cervical lesions as seen on Pap smears: invasive squamous cell carcinoma.
Infection in Pap Smear • Evidence of the presence of sexually transmitted organisms may be found on Pap smears. In some cases, this evidence is specific (e.g., finding a trichomonad), whereas in other cases the evidence may be nonspecific (e.g., inflammatory cells). • Bacterial vaginosis can be detected by the presence of clue cells • In general, the Pap smear is insensitive for the diagnosis of lower genital tract infections, but it may be reasonably specific. • HPV infection can be reliably diagnosed if both nuclear and cytoplasmic changes are present.
Sensitivity and Specifity of Pap Smear for Gynecologic Infections Organism
Sensitivity
Specificity
HSV
0.25-0.66
0.97-0.99
Trichomonas
0.33-0.79
0.89-1.0
Multinucleate giant cells Protozoan
Bacterial vaginosis
1.0
0.9
Clue cells*
Pap smear showing clue cells consistent with bacterial vaginosis.
Finding
Pap smear showing Trichomonas vaginalis infection
Inflammation in Pap Smear • Inflammation is a very common finding on a Pap smear. It is probably only significant when it is "obscuring" or "severe." • Inflammation on Pap smear may reflect a genital tract infection or may be nonspecific • Inflammation is often reported with a recommendation to "clear and repeat Pap smear." • Patients with obscuring or severe inflammation should be tested for gonorrhea and Chlamydia. • Increasing the frequency of Pap smears after finding inflammation and colposcopic examination of patients who have persistent inflammation might be warranted. • In populations where inflammatory Pap smears are common, a policy of routine wet mount examination at the time of screening Pap smears in asymptomatic patients might prove more manageable than recalling large numbers of patients for so-called "infection checks."
Inflammatory Atypia or ASCUS • Inflammatory atypia would be an anticipated progression should the inflammatory process remain unresolved. • Inflammatory atypia, or ASCUS (atypical squamous cells of undetermined significance), is frequently the result of cervical inflammation that becomes chronic. • Although cellular changes classified as atypia are generally benign, progression can occur leading to dysplasia. • In summary, inflammation reported on a Pap smear warrants investigation to determine possible causes.
Tes IVA
Tes IVA
163. Labor • Partus / persalinan adalah pengeluaran hasil konsepsi (janin dan placenta/membrane) mampu hidup (viable) dari uterus. • Persalinan immature : pengeluaran konsepsi dengan berat 500-100 gram dengan umur kehamilan 20-28 minggu • Persalinan premature : pengeluaran konsepsi dengan berat 1000-2500 gram atau usia kehamilan 28-36 minggu. • Persalinan serotinus atau post matur : persalinan dengan usia kehamilan lebih dari 42 minggu. • Partus aterm : pengeluaran hasil konsepsi antara usia kehamilan 37-40 minggu atau BB bayi 2500 gram atau lebih.
Kehamilan Serotinus • Definisi – Kehamilan melewati waktu 294 hari atau 42 minggu
• Etiologi – Penurunan kadar estrogen pada kehamilan normal umumnya tinggi – Faktor hormonal yaitu kadar progesteron tidak cepat turun walaupun kehamilan telah cukup bulan kepekaan uterus terhadap oksitosin berkurang – Hereditas – Teori kortisol: kortisol plasma janin >> mempengaruhi plasenta produksi progesteron << dan sekresi estrogen >> produksi prostaglandin >> – Tidak adanya tekanan pada ganglion servikalis dari pleksus frankenhauser tidak ada kontraksi uterus. Misal pada kelainan letak, tali pusat pendek dll http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/150/jtptunimus-gdl-afahanikfi-7474-2-12.bab-i.pdf
Kehamilan Serotinus: Patofisiologi Manuaba (2007 : 450), patofiologi pada kehamilan serotinus adalah sebagai berikut : • Jika fungsi plasenta masih cukup baik tumbuh kembang janin berlangsung terus BB terus bertambah sekalipun lambat, dapat mencapai lebih dari 4.000-4.500 gram (makrosomia)
• Jika fungsi plasenta telah mengalami disfungsi, sehingga tidak mampu memberikan nutrisi dan oksigen yang cukup, akan terjadi sindrom postmatur, dengan kriteria : – Bayi tampak tua – Kuku panjang – Lemak kulit berkurang sehingga menimbulkan keriput, terutama ditelapak tangan dan kaki – Verniks kaseosanya telah hilang atau berkurang http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/150/jtptunimus-gdl-afahanikfi-7474-2-12.bab-i.pdf
Kehamilan Serotinus: Klasifikasi Prawiroharjo (2009 : 691), klasifikasi pada bayi lewat bulan adalah : • Stadium I: Kulit menunjukkan kehilangan verniks kaseosa dan terjadi maserasi seperti kulit kering, rapuh, dan mudah mengelupas • Stadium II: Seperti stadium I dan disertai pewarnaan mekonium (kehijauan ) di kulit • Stadium III: Seperti stadium I dan disertai dengan pewarnaan kekuningan pada kuku, kulit, dan tali pusat
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/150/jtptunimus-gdl-afahanikfi-7474-2-12.bab-i.pdf
Kehamilan Serotinus: Diagnosis & Pemeriksaan Penunjang • Diagnosis (Sujiyatini, 2009 : 36), yaitu : – BB ibu turun, lingkaran perut mengecil, dan air ketuban berkurang – Pemeriksaan dengan USG: diameter biparental kepala janin dapat diukur dengan teliti tanpa bahaya – Pemeriksaan sitologi cairan amnion yaitu amniostropi dan periksa pHnya dibawah 7,20 dianggap sebagai tanda gawat janin
• Pemeriksaan Penunjang (Dr. Taufan, 2012 : 144) yaitu: – Sitologi vagina yaitu dengan indeks kariopiknotik meningkat (> 20%) – Amniostropi yaitu warna air ketuban – USG yaitu menilai jumlah dan kekeruhan air ketuban, derajat maturitas plasenta, besarnya janin, keadaan janin – Kardiotokografi yaitu menilai kesejahteraan janin dengan Nonstress test (NTS) relaktif atau tidak, maupun Contraction Stress Test (CTS) negatif atau positif http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/150/jtptunimus-gdl-afahanikfi-7474-2-12.bab-i.pdf
Kehamilan Serotinus: Tatalaksana • Monitoring janin sebaik- baiknya • Apabila tidak ada tanda-tanda insufisiensi plasenta persalinan spontan dapat ditunggu dengan pengawasan ketat (Dr. Taufan, 2012: 145) • Bishop score: Tatalaksana disesuaikan skor
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/150/jtptunimus-gdl-afahanikfi-7474-2-12.bab-i.pdf
164. Presentasi Bokong • Bila bokong merupakan bagian terendah janin • Ada 3 macam presentasi bokong: complete breech(bokong sempurna),Frank breech(bokong murni),footling breech(presentasi kaki) • Partus lama merupakan indikasi utk melakukan SC, karena kelainan kemajuan persalinan merupakan salah satu tanda disproporsi • Etiologi • Multiparitas, hamil kembar, hidramnion, hidrosefal, plasenta previa, CPD
Irmansyah, Frizar. Malpresentasi dan Malposisi
Vaginal Breech delivery • When the buttocks or feet of the fetus enter the maternal pelvis before the head, the presentation is termed a breech presentation. • Incidence – Breech presentation affects 3% to 4% of all pregnant women reaching term; the earlier the gestation the higher the percentage of breech fetuses
Technique for vaginal breech delivery 1. Explain the necessity of effective pushing in the second stage of labour. 2. Ensure adequate analgesia. 3. Spontaneous descent and expulsion to the umbilicus should occur with maternal pushing only . . . DO NOT PULL ON THE BREECH! 4. Rotation to the sacrum anterior position is desired and may be facilitated. 5. Episiotomy may be considered once the anterior buttock and anus are “crowning.” 6. If the legs do not deliver spontaneously, perform the Pinard manoeuvre. Do not attempt to extract the legs until the popliteal fossae are visible.
9. Support the baby to maintain the head in a flexed position. Suprapubic pressure may help. Maternal expulsive efforts should be encouraged.
165. DESAIN PENELITIAN Secara umum dibagi menjadi 2: • DESKRIPTIF: memberi gambaran distribusi dan frekuensi penyakit saja. Misalnya prevalensi DM tipe 2 di DKI Jakarta, 10 penyakit terbanyak di Puskesmas X. • ANALITIK: mencari hubungan antara paparan dengan penyakit. Misalnya penelitian hubungan antara obesitas dengan DM tipe 2.
DESAIN PENELITIAN STUDY DESIGNS
Descriptive
Analytical
Case report
Observational
Experimental
(E.g. Cholera)
Case series Cross-sectional
1. 2. 3. 4.
Cross-sectional Cohort Case-control Ecological
Clinical trial (parc vs. aspirin in Foresterhill)
Field trial (preventive programmes )
Prinsip Desain Studi Analitik Observasional Cross-sectional – Pajanan/ faktor risiko dan outcome dinilai dalam waktu yang bersamaan. Cohort study – Individu dengan pajanan/ faktor risiko diketahui, diikuti sampai waktu tertentu, kemudian dinilai apakah outcome terjadi atau tidak. Case-control study – Individu dengan outcome diketahui, kemudian digali riwayat masa lalunya apakah memiliki pajanan/ faktor risiko atau tidak.
Prinsip Desain Studi Analitik Observasional PAST
PRESENT
FUTURE
Time Assess exposure and outcome
Cross - sectional study Case - control study
Assess exposure
Known exposure
Prospective cohort Retrospective cohort
Known outcome
Known exposure
Assess outcome
Assess outcome
Contoh: Penelitian ingin mengetahui Hubungan ASI Eksklusif dengan Diare pada Anak 1-3 tahun • Bila menggunakan desain cross sectional, maka dalam satu waktu peneliti mengumpulkan data semua anak berusia 1-3 tahun dan ditanyakan apakah mendapat ASI eksklusif dan berapa frekuensi diare selama ini secara bersamaan. • Bila menggunakan desain case control, dimulai dengan peneliti menentukan subyek anak 1-3 tahun yang pernah mengalami diare dengan yang tidak pernah mengalami diare. Kemudian ibu diwawancara apakah sebelumnya memberi ASI eksklusif atau tidak.
Contoh: Penelitian ingin mengetahui Hubungan ASI Eksklusif dengan Diare pada Anak 1-3 tahun • Bila menggunakan desain kohort (prospektif), maka dimulai dengan peneliti mengumpulkan subyek penelitian berusia 6 bulan yang diberi ASI eksklusif dan yang tidak diberi ASI eksklusif. Kemudian, subyek tersebut diamati selama 1 tahun untuk dilihat apakah mengalami diare atau tidak. • Bila menggunakan desain kohort (retrospektif), dari catatan rekam medis RS tahun 2015 dimulai dengan dikumpulkan data bayi yang diberi ASI eksklusif dan yang tidak diberi ASI eksklusif. Kemudian rekam medis ditelusuri, dari tahun 2015-2016 apakah subyek pernah mengalami diare atau tidak.
Desain Cross Sectional KELEBIHAN: • Mengukur angka prevalensi • Mudah dan cepat • Sumber daya dan dana yang efisien karena pengukuran dilakukan dalam satu waktu • Kerjasama penelitian (response rate) dengan desain ini umumnya tinggi.
KELEMAHAN: • Sulit membuktikan hubungan sebab-akibat, karena kedua variabel paparan dan outcome direkam bersamaan. • Desain ini tidak efisien untuk faktor paparan atau penyakit (outcome) yang jarang terjadi.
Desain Case Control KELEBIHAN: • Dapat membuktikan hubungan sebab-akibat. • Tidak menghadapi kendala etik, seperti halnya penelitian kohort dan eksperimental. • Waktu tidak lama, dibandingkan desain kohort. • Mengukur odds ratio (OR).
KEKURANGAN: • Pengukuran variabel secara retrospektif, sehingga rentan terhadap recall bias. • Kadang sulit untuk memilih subyek kontrol yang memiliki karakter serupa dengan subyek kasus (case)nya.
Desain Kohort KELEBIHAN: • Mengukur angka insidens. • Keseragaman observasi terhadap faktor risiko dari waktu ke waktu sampai terjadi outcome, sehingga merupakan cara yang paling akurat untuk membuktikan hubungan sebab-akibat. • Mengukur Relative Risk (RR).
KEKURANGAN: • Memerlukan waktu penelitian yang relative cukup lama. • Memerlukan sarana dan prasarana serta pengolahan data yang lebih rumit. • Kemungkinan adanya subyek penelitian yang drop out/ loss to follow up besar. • Menyangkut masalah etika karena faktor risiko dari subyek yang diamati sampai terjadinya efek, menimbulkan ketidaknyamanan bagi subyek.
166. FAMILY ASSESSMENT TOOLS • Family dynamic interaksi dan hubungan antar anggota keluarga • Family assesment tools alat yang digunakan untuk menilai family dynamic
Family Genogram • Suatu alat bantu berupa peta skema dari silsilah keluarga pasien yang berguna untuk mendapatkan informasi mengenai nama anggota keluarga, kualitas hubungan antar anggota keluarga • Berisi nama, umur, status menikah, riwayat perkawinan, anakanak, keluarga satu rumah, penyakit spesifik, tahun meninggal, dan pekerjaan. • Juga mengenai informasi tentang hubungan emosional, jarak/konflik antar anggota keluarga, hubungan penting dengan profesional yang lain serta informasi lain yang relevan.
Family Life Cycle/Circle • Siklus Hidup Keluarga (Family Life Cycle) adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan perubahan-perubahan dalam jumlah anggota, komposisi dan fungsi keluarga sepanjang hidupnya. • Siklus hidup keluarga juga merupakan gambaran rangkaian tahapan yang akan terjadi atau diprediksi yang dialami kebanyakan keluarga. • Siklus hidup keluarga terdiri dari variabel yang dibuat secara sistematis menggabungkan variable demografik yaitu status pernikahan, ukuran keluarga, umur anggota keluarga, dan status pekerjaan kepala keluarga.
TAHAPAN-TAHAPAN SIKLUS HIDUP KELUARGA Menurut Duvall tahun 1977 siklus hidup keluarga dapat dikategorikan menjadi 8 golongan yakni: 1.
Pasangan yang baru menikah ( tanpa anak ) lamanya ± 2 tahun
2.
Keluarga dengan anak yang baru dilahirkan ( usia anak tertua adalah baru lahir – 30 bulan ) lamanya ± 2,5 tahun
3.
Keluarga dengan anak pra sekolah ( usia anak tertua adalah 30 bulan – 6 tahun ) lamanya ± 3,5 tahun
4.
Keluarga dengan anak yang bersekolah ( usia anak tertua adalah 6 – 13 tahun) lamanya ± 7 tahun Keluarga dengan anak usia remaja ( usia anak tertua adalah 13 – 20 tahun) lamanya ± 7 tahun
5. 6.
Keluarga dengan anak meninggalkan keluarga ( anak pertama pergi dan anak terakhir tinggal di rumah) lamanya ± 8 tahun
7.
Keluarga dengan usia orang tua pertengahan ( tak berkumpul lagi hingga pensiun ) lamanya ± 15 tahun
8.
Keluarga dengan usia orang tua jompo (pensiun hingga kedua suami istri meninggal ) lamanya ± 10 - 15 tahun
Family APGAR • APGAR Keluarga merupakan kuesioner skrining singkat yang dirancang untuk merefleksikan kepuasan anggota keluarga dengan status fungsional keluarga dan untuk mencatat anggota-anggota rumah tangga. • APGAR ini merupakan singkatan dari; Adaptation, Partnership, Growth, Affection dan Resolve.
ADAPTATION Adaptasi
Saya puas dengan keluarga saya karena masing-masing anggota keluarga sudah menjalankan kewajiban sesuai dengan seharusnya
0-2
PARTNERSHIP Kemitraan
Saya puas dengan keluarga saya karena dapat membantu memberikan solusi terhadap permasalahan yang saya hadapi
0-2
GROWTH pertumbuhan
Saya puas dengan kebebasan yang diberikan keluarga saya untuk mengembangkan kemampuan yang saya miliki
0-2
AFFECTION Kasih ssayang
Saya puas dengan kehangatan / kasih sayang yang diberikan keluarga saya
0-2
RESOLVE Kebersamaan
Saya puas dengan waktu yang disediakan keluarga untuk menjalin kebersamaan
0-2
Interpretasi : 8-10 = Highly functional family (fungsi keluarga baik) 4-7 = Moderately dysfunctional family (disfungsi keluarga moderat) 0-3 = Severely dysfunctional family (keluarga sakit / tidak sehat)
Family Lifeline
• Garis kehidupan menggambarkan secara kronologis stress kehidupan, sebagai contoh dari gambar disamping menunjukkan tingkat kesakitan berupa migrain yang naik turun sesuai dengan tingkat stress yang dialami oleh pasien • Misal : – pada tahun 1969 pasien berusia 22 tahun kejadian hidup yang dialami adalah lulus dari kampus dan pasien mengalami migrain yang cukup berat, – sedangkan pada tahun 1972 saat pasien berusia 25 dan menikah justru pasien tidak mengalami migrain, – akan tetapi pada tahun 1973 ketika pasien berusia 26 tahun dan mulai bekerja serta mengalami kesulitan bekerja, pasien mengalami migrain yang cukup berat.
SCREEM RESOURCE SOCIAL
• •
social interaction is evident among family members Family members have well-balanced lines of communication with extra-familial social groups
CULTURAL
•
cultural pride and satisfaction can be identified
•
RELIGIOUS
MEDICAL
• •
Isolated from extrafamilial Problem of over commitment
•
Ethnic and cultural inferiority
Offers satisfying spiritual experiences as well as contacts with an extra-familial support group
•
Rigid dogma/rituals
•
Economic stability is sufficient to provide both reasonable satisfaction with financial status and an ability to meet economic demands of normative life events
• •
Economic deficiency Inappropriate economic plan
•
Education of members is adequate to allow members to solve or comprehend most problems that arise within the format of the lifestyle established by the family
•
handicapped to comprehend
•
Medical health care is available through channels that are easily established and have previously been experienced in a satisfactory manner
•
Not utilizing health care facilities/resources
ECONOMIC
EDUCATIONA L
PATHOLOGY
167. UKURAN ASOSIASI DALAM PENELITIAN • Digunakan pada studi analitik (cross sectional, case control, kohort, studi eksperimental). • Untuk mengukur kekuatan hubungan sebab-akibat antara variabel paparan dengan variabel outcome. • Menunjukkan bagaimana suatu kelompok lebih rentan mengalami sakit dibanding kelompok lainnya.
Ukuran Asosiasi yang Sering Digunakan
– Relative risk (RR) ukuran asosiasi dari studi kohort – Odds ratio (OR) ukuran asosiasi dari studi case control – Prevalence ratio (PR) & prevalence odds ratio (POR) ukuran asosiasi dari studi cross sectional
Tabel 2x2 Cara yang paling umum dan sederhana untuk menghitung ukuran asosiasi. Outcome Exposure
Yes
No
Total
Yes
a
b
a+b
No
c
d
c+d
a+c
b+d
a+b+c+d
Total
Outcome Exposure
Yes
No
Total
Yes
a
b
a+b
No
c
d
c+d
a+c
b+d
a+b+c+d
Total
Relative risk (RR): insidens penyakit pada kelompok yang terpapar (a/(a+b)) dibandingkan dengan insidens penyakit pada kelompok yang tidak terpapar (c/(c+d)) Rumus RR: a/(a+b) c/(c+d)
Outcome Exposure
Yes
No
Total
Yes
a
b
a+b
No
c
d
c+d
a+c
b+d
a+b+c+d
Total
Odds ratio (OR): Odds penyakit pada kelompok terpapar (a/b) dibandingkan dengan odds penyakit pada kelompok tidak terpapar (c/d) Rumus OR: a/b = ad c/d bc
Outcome
Exposure
Yes
No
Total
Yes
a
b
a+b
No
c
d
c+d
a+c
b+d
a+b+c+d
Total
Rumus prevalence ratio (PR) sama dengan rumus RR, yaitu: PR: a/(a+b) c/(c+d)
Rumus prevalence odds ratio (POR) sama dengan rumus OR, yaitu: POR: ad bc
Interpretasi RR/OR/PR RR/OR/PR= 1 menunjukkan tidak ada hubungan antara paparan dengan outcome. RR/OR/PR lebih dari 1 menunjukkan asosiasi positif (semakin tinggi paparan, semakin tinggi risiko mengalami penyakit) paparan yang diteliti merupakan FAKTOR RISIKO suatu penyakit.
RR/OR/PR kurang dari 1 menunjukkan bahwa paparan bersifat protektif terhadap terjadinya outcome(semakin tinggi paparan, semakin rendah risiko mengalami penyakit) paparan yang diteliti merupakan FAKTOR PROTEKTIF terjadinya suatu penyakit.
Pada Soal • Penelitian di soal merupakan penelitian kohort, karena dimulai dari exposure (bayi sufor dan tidak sufor) diikuri selama 1 tahun untuk menilai outcome (asma dan tidak asma). Pada penelitian kohort, ukuran asosiasi yang digunakan adalah relative risk (RR). Maka soal di atas menanyakan RR dari penelitian ini. • Ada 2 cara menghitung RR.
Cara Pertama • Cara pertama, dengan membuat tabel 2x2 sebagai berikut: Diare (+)
Diare (-)
Total
Susu (+)
50 (a)
30 (b)
80
Susu (-)
100 (c)
120 (d)
220
Total
150
150
300
• RR = a/(a+b) = 420/700 = 3 c/ (c+d) 60/300
Cara Kedua • RR adalah insidens outcome pada kelompok exposure(+) dibagi insidens outcome pada kelompok exposure (-). Maka pada soal ini: • RR = insidens diare pada kelompok susu(+) Insidens diare pada kelompok susu (-) • Dari soal diketahui bahwa 150 anak mengalami diare (50 anak minum susu, 100 anak tidak minum susu). • Diketahui bahwa total anak yang minum susu sebanyak 80 anak, maka total anak yang tidak minum susu sebanyak (30080) anak. • Maka RR = 50/80 100/220
168. Teori Fungsi Manajemen (George R. Terry, 1990) 1. Planning: • menentukan serangkaian tindakan untuk mencapai suatu hasil sesuai target.
2. Organizing: • mengelompokkan orang-orang serta penetapan tugas, fungsi, wewenang, serta tanggung jawab masing-masing supaya aktivitas berdaya guna dan berhasil guna.
Teori Fungsi Manajemen (George R. Terry, 1990) 3. Actuating • menggerakkan semua anggota kelompok untuk bekerja agar mencapai tujuan organisasi. • Actuating membuat urutan rencana menjadi tindakan nyata. • Kegiatan dalam Fungsi Pengarahan dan Implementasi antara lain : – Mengimplementasikan proses kepemimpinan, pembimbingan, dan pemberian motivasi kepada tenaga kerja agar dapat bekerja secara efektif dan efisien dalam pencapaian tujuan. – Memberikan tugas dan penjelasan rutin mengenai pekerjaan dan menjelaskan kebijakan yang ditetapkan.
Teori Fungsi Manajemen (George R. Terry, 1990) 4. Controlling • Agar pekerjaan dapat berjalan sesuai dengan visi, misi, aturan serta program kerja maka dibutuhkan pengontrolan. • Baik itu dalam bentuk supervisi, pengawasan, inspeksi sampai audit. • Agar sejak dini dapat diketahui penyimpanganpenyimpangan atau kesalahan yang terjadi, baik itu dalam tahap perencanaan, pelaksanaan ataupun pengorganisasian. • Sehingga dapat segera dilakukan antisipasi, koreksi, serta penyesuaian-penyesuaian yang sesuai dengan situasi.
Teori Fungsi Manajemen (Luther Gullick) Fungsi manajemen terdiri dari: 1. Planning 2. Organizing 3. Staffing/assembling resources 4. Directing 5. Coordinating 6. Reporting 7. Budgeting 8. Controlling
Teori Fungsi Manajemen (Luther Gullick) • Planning – menentukan serangkaian tindakan untuk mencapai suatu hasil sesuai target.
• Organizing – mengelompokkan orang-orang serta penetapan tugas, fungsi, wewenang, serta tanggung jawab masingmasing supaya aktivitas berdaya guna dan berhasil guna.
• Staffing/assembling resources – menunjuk orang-orang yang akan memangku masingmasing tugas yang telah ditentukan.
Teori Fungsi Manajemen (Luther Gullick) • Directing – Memberikan penjelasan, petunjuk, serta pertimbangan dan bimbingan terdapat para petugas yang terlibat, baik secara struktural maupun fungsional agar pelaksanaan tugas dapat berjalan dengan lancar, dengan pengarahan staff yang telah diangkat dan dipercayakan melaksanakan tugas di bidangnya masing-masing tidak menyimpang dari garis program yang telah ditentukan
• Coordinating – pengkoordinasian merupakan satu dari beberapa fungsi manajemen untuk melakukan berbagai kegiatan agar tidak terjadi kekacauan, percekcokan, kekosongan kegiatan dengan jalan menghubungkan, menyatukan dan menyelaraskan pekerjaan bawahan sehingga terdapat kerja sama yang terarah dalam upaya mencapai tujuan organisasi. q
Teori Fungsi Manajemen (Luther Gullick) • Reporting – penyampaian perkembangan atau hasil kegiatan atau pemberian keterangan mengenai segala hal yang bertalian dengan tugas dan fungsi-fungsi kepada pejabat yang lebih tinggi,
• Budgeting – menetapkan ikhtisar biaya yang diperlukan dan pemasukan uang yang diharapkan akan diperoleh dari rangkaian tindakan yang akan dilakukan.
• Controlling – mengadakan penilaian, bila perlu mengadakan koreksi sehingga apa yang dilakukan bawahan dapat diarahkan ke jalan yang benar dengan maksud tercapai tujuan yang sudah digariskan semula.
169. UJI DIAGNOSTIK SAKIT (+)
SAKIT (-)
HASIL TEST (+)
True Positive (TP)
False Positive (FP)
HASIL TEST (-)
False Negative (FN)
True Negative (TN)
SENSITIVITAS =
Kemampuan tes untuk mendeteksi orang yang sakit dengan benar.
TP TP+FN
S P E S I F I S I TA S =
Kemampuan tes untuk mendeteksi orang yang tidak sakit dengan benar.
TN FP+TN
UJI DIAGNOSTIK SAKIT (+)
SAKIT (-)
HASIL TEST (+)
True Positive (TP)
False Positive (FP)
HASIL TEST (-)
False Negative (FN)
True Negative (TN)
POSITIVE PREDICTIVE VALUE =
Persentase pasien dengan hasil test (+) yang benar-benar sakit
TP TP+FP
NEGATIVE PREDICTIVE VALUE =
Persentase pasien dengan hasil test(-) yang benar-benar tidak sakit
TN FN+TN
Soal Nomor 169 • Suatu penelitian ingin dilakukan dengan uji baru skrining terhadap karsinoma tiroid. • Sampel diambil dari 400 orang yang positif karsinoma tiroid dengan biopsi dan 400 orang normal. • Dari uji baru, didapatkan 100 positif dari sampel karsinoma tiroid dan 50 positif dari sampel normal.Berapa sensifisitas penelitian?
Cara Pertama Ca tiroid (+)
Ca tiroid (-)
Skrining (+)
100
50
150
Skrining( -)
300
350
650
400
400
800
• Sensitivitas = 100/ (100 + 300) = 100/400 = 25%
Cara Kedua • Sensitivitas adalah proporsi orang sakit dengan hasil test yang positif. • Sensitivitas = orang sakit yang hasil testnya positif semua orang yang benar-benar sakit • Sampel diambil dari 400 orang yang positif karsinoma tiroid dengan biopsi dan 400 orang normal. Dari uji baru, didapatkan 100 positif dari sampel karsinoma tiroid dan 50 positif dari sampel normal. • Sensitivitas = 100/400
170. FIVE LEVEL OF PREVENTION Health promotion Specific protection
• Dilakukan pada orang sehat • Promosi kesehatan • Contoh: penyuluhan • Dilakukan pada orang sehat • Mencegah terjadinya kesakitan • Contoh: vaksinasi, cuci tangan pakai sabun
Early diagnosis & prompt treatment
• Dilakukan pada orang sakit • Tujuannya kuratif • Contoh: Pengobatan yang tepat pada pasien TB
Disability limitation
• Dilakukan pada orang sakit • Membatasi kecacatan • Contoh: pasien neuropati DM latihan senam kaki
Rehabilitation
• Dilakukan pada orang sakit dengan kecacatan • Optimalisasi fungsi tubuh yang masih ada • Contoh: latihan berjalan pada pasien pasca stroke
Pencegahan Primer-Sekunder-Tersier
Hubungan Riwayat Alamiah Penyakit dan Tingkat Pencegahan Tingkat pencegahan
Fase penyakit
Kelompok target
Primordial
Kondisi normal kesehatan
Populasi total dan kelompok terpilih
Primary
Susceptibility (prepathogenesis)
Populasi total dan kelompok terpilih dan individu sehat
Secondary
Presymptomatic & clinical diseaase (pathogenesis)
Pasien
Tertiary
Disability/ recovery
Pasien
Beagelhole, WHO, 1993
Pencegahan Primer-Sekunder-Tersier
171. KEJADIAN EPIDEMIOLOGIS PENYAKIT • Sporadik: kejadian penyakit tertentu di suatu daerah secara acak dan tidak teratur. Contohnya: kejadian pneumonia di DKI Jakarta. • Endemik: kejadian penyakit di suatu daerah yang jumlahnya lebih tinggi dibanding daerah lain dan hal tersebut terjadi terus menerus. Contohnya: Malaria endemis di Papua.
• Epidemik dan KLB: Epidemik dan KLB sebenarnya memiliki definisi serupa, namun KLB terjadi pada wilayah yang lebih sempit (misalnya di satu kecamatan saja). Indonesia memiliki kriteria KLB berdasarkan Permenkes 1501 tahun 2010 (di slide selanjutnya). • Pandemik: merupakan epidemik yang terjadi lintas negara atau benua. Contohnya: kejadian MERS-COV di dunia tahun 2014-2015.
Kriteria KLB (Permenkes 1501, tahun 2010) • Timbulnya suatu penyakit menular tertentu yang sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal pada suatu daerah • Peningkatan kejadian kesakitan terus-menerus selama 3 (tiga) kurun waktu dalam jam, hari atau minggu berturut-turut menurut jenis penyakitnya • Peningkatan kejadian kesakitan dua kali atau lebih dibandingkan dengan periode sebelumnya dalam kurun waktu jam, hari, atau minggu menurut jenis penyakitnya • Jumlah penderita baru dalam periode waktu 1 (satu) bulan menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan angka rata-rata jumlah per bulan dalam tahun sebelumnya • Rata-rata jumlah kejadian kesakitan per bulan selama 1 (satu) tahun menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan rata-rata jumlah kejadian kesakitan per bulan pada tahun sebelumnya • Angka kematian kasus suatu penyakit (Case Fatality Rate) dalam 1 (satu) kurun waktu tertentu menunjukkan kenaikan 50% (lima puluh persen) atau lebih dibandingkan dengan angka kematian kasus suatu penyakit periode sebelumnya dalam kurun waktu yang sama • Angka proporsi penyakit (Proportional Rate) penderita baru pada satu periode menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibanding satu periode sebelumnya dalam kurun waktu yang sama
172. Tabel Uji Hipotesis
TABEL UJI HIPOTESIS VARIABEL INDEPENDEN
DEPENDEN
Kategorik
Kategorik
Kategorik (2 kategori)
Numerik
Kategorik (>2 kategori)
Numerik
Numerik
Numerik
U J I S TAT I S T I K
Chi square
U J I A LT E R N AT I F Fisher (digunakan untuk tabel 2x2)* Kolmogorov-Smirnov (digunakan untuk tabel bxk)*
T-test independen
Mann-Whitney**
T-test berpasangan
Wilcoxon**
One Way Anova (tdk berpasangan)
Kruskal Wallis**
Repeated Anova (berpasangan) Korelasi Pearson Regresi Linier
Keterangan: * : Digunakan bila persyaratan untuk uji chi square tidak terpenuhi **: Digunakan bila distribusi data numerik tidak normal
Friedman** Korelasi Spearman**
Langkah Menentukan Uji Statistik • Tentukan sifat variabel yang diuji (numerik atau kategorik) • Bila ada variabel yang bersifat numerik, tentukan apakah variabel tersebut terdistribusi normal atau tidak. Atau bila kedua variabel bersifat kategorik, tentukan apakah memenuhi persyaratan uji chi square. Untuk mengerjakan soal UKDI, bila tidak disebutkan, maka diasumsikan bahwa variabel tersebut terdistribusi normal atau memenuhi persyaratan chi square. • Lihat tabel untuk menentukan uji hipotesis apa yang sesuai.
Syarat Uji Chi Square • Tidak ada cell dengan nilai frekuensi kenyataan atau disebut juga Actual Count (F0) sebesar 0 (Nol). • Apabila bentuk tabel kontingensi 2 X 2, maka tidak boleh ada 1 cell saja yang memiliki frekuensi harapan atau disebut juga expected count (“Fh”) kurang dari 5. • Apabila bentuk tabel lebih dari 2 x 2, misak 2 x 3, maka jumlah cell dengan frekuensi harapan yang kurang dari 5 tidak boleh lebih dari 20%. Bila tidak memenuhi salah satu atau lebih persyaratan di atas, maka uji chi square tidak dapat digunakan.
173. PROSEDUR PELAYANAN BPJS
PROSEDUR PELAYANAN BPJS
174. TEKNIK SAMPLING
Probability Sampling Techique lebih baik dibanding non-probability • Simple Random Sampling: pengambilan sampel dari semua anggota populasi dilakukan secara acak tanpa memperhatikan strata/tingkatan yang ada dalam populasi itu. • Stratified Sampling: Penentuan sampling tingkat berdasarkan karakteristik tertentu (usia, jenis kelamin, dsb). Misalnya untuk mengambil sampel dipisahkan dulu jenis kelamin pria dan wanita. Baru kemudian dari kelompok pria diambil sampel secara acak, demikian juga dari kelompok wanita.
Probability Sampling Techique lebih baik dibanding non-probability • Cluster Sampling: disebut juga sebagai teknik sampling daerah. Pemilihan sampel berdasarkan daerah yang dipilih secara acak. Contohnya mengambil secara acak 20 kecamatan di Jakarta. Seluruh penduduk dari 20 kecamatan terpilih dijadikan sampel.
• Multistage random sampling: teknik sampling yang menggunakan 2 teknik sampling atau lebih secara berturut-turut. Contohnya mengambil secara acak 20 kecamatan di Jakarta (cluster sampling). Kemudian dari masing-masing kecamatan terpilih, diambil 50 sampel secara acak (simple random sampling). • Systematical Sampling anggota sampel dipilh berdasarkan urutan tertentu. Misalnya setiap kelipatan 10 atau 100 dari daftar pegawai disuatu kantor, pengambilan sampel hanya nomor genap atau yang ganjil saja.
Non-probability Sampling • Purposive/judgmental Sampling: sampel yang dipilih secara khusus berdasarkan tujuan penelitiannya. • Snowball Sampling: Dari sampel yang prevalensinya sedikit ,peneliti mencari informasi sampel lain dari yang dijadikan sampel sebelumnya, sehingga makin lama jumlah sampelnya makin banyak • Quota Sampling:anggota sampel pada suatu tingkat dipilih dengan jumlah tertentu (kuota) dengan ciri-ciri tertentu • Convenience sampling:mengambil sampel sesuka peneliti (kapanpun dan siapapun yang dijumpai peneliti)
175. DESAIN PENELITIAN Secara umum dibagi menjadi 2: • DESKRIPTIF: memberi gambaran distribusi dan frekuensi penyakit saja. Misalnya prevalensi DM tipe 2 di DKI Jakarta, 10 penyakit terbanyak di Puskesmas X. • ANALITIK: mencari hubungan antara paparan dengan penyakit. Misalnya penelitian hubungan antara obesitas dengan DM tipe 2.
DESAIN PENELITIAN STUDY DESIGNS
Descriptive
Analytical
Case report
Observational
Experimental
(E.g. Cholera)
Case series Cross-sectional
1. 2. 3. 4.
Cross-sectional Cohort Case-control Ecological
Clinical trial (parc vs. aspirin in Foresterhill)
Field trial (preventive programmes )
Prinsip Desain Studi Analitik Observasional Cross-sectional – Pajanan/ faktor risiko dan outcome dinilai dalam waktu yang bersamaan. Cohort study – Individu dengan pajanan/ faktor risiko diketahui, diikuti sampai waktu tertentu, kemudian dinilai apakah outcome terjadi atau tidak. Case-control study – Individu dengan outcome diketahui, kemudian digali riwayat masa lalunya apakah memiliki pajanan/ faktor risiko atau tidak.
Prinsip Desain Studi Analitik Observasional PAST
PRESENT
FUTURE
Time Assess exposure and outcome
Cross - sectional study Case - control study
Assess exposure
Known exposure
Prospective cohort Retrospective cohort
Known outcome
Known exposure
Assess outcome
Assess outcome
Contoh: Penelitian ingin mengetahui Hubungan ASI Eksklusif dengan Diare pada Anak 1-3 tahun • Bila menggunakan desain cross sectional, maka dalam satu waktu peneliti mengumpulkan data semua anak berusia 1-3 tahun dan ditanyakan apakah mendapat ASI eksklusif dan berapa frekuensi diare selama ini secara bersamaan. • Bila menggunakan desain case control, dimulai dengan peneliti menentukan subyek anak 1-3 tahun yang pernah mengalami diare dengan yang tidak pernah mengalami diare. Kemudian ibu diwawancara apakah sebelumnya memberi ASI eksklusif atau tidak.
Contoh: Penelitian ingin mengetahui Hubungan ASI Eksklusif dengan Diare pada Anak 1-3 tahun • Bila menggunakan desain kohort (prospektif), maka dimulai dengan peneliti mengumpulkan subyek penelitian berusia 6 bulan yang diberi ASI eksklusif dan yang tidak diberi ASI eksklusif. Kemudian, subyek tersebut diamati selama 1 tahun untuk dilihat apakah mengalami diare atau tidak. • Bila menggunakan desain kohort (retrospektif), dari catatan rekam medis RS tahun 2015 dimulai dengan dikumpulkan data bayi yang diberi ASI eksklusif dan yang tidak diberi ASI eksklusif. Kemudian rekam medis ditelusuri, dari tahun 2015-2016 apakah subyek pernah mengalami diare atau tidak.
176. JENIS RUJUKAN • Interval referral: pelimpahan wewenang dan tanggungjawab penderita sepenuhnya kepada dokter konsultan untuk jangka waktu tertentu, dan selama jangka waktu tersebut dokter tsb tidak ikut menanganinya. • Collateral referral: menyerahkan wewenang dan tanggungjawab penanganan penderita hanya untuk satu masalah kedokteran khusus saja. • Cross referral: menyerahkan wewenang dan tanggungjawab penanganan penderita sepenuhnya kepada dokter lain untuk selamanya. • Split referral: menyerahkan wewenang dan tanggungjawab penanganan penderita sepenuhnya kepada beberapa dokter konsultan, dan selama jangka waktu pelimpahan wewenang dan tanggungjawab tersebut dokter pemberi rujukan tidak ikut campur.
177. RAHASIA MEDIS • Segala temuan pada diri pasien dapat dikatakan sebagai rahasia medik atau rahasia kedokteran dan rahasia ini sepenuhnya milik pasien. • Dasar wajib simpan rahasia kedokteran: – – – –
Sumpah dokter (Sumpah Hipocrates) KODEKI pasal 12 PP No. 10 tahun 1966 Permenkes No.269 tahun 2008
• Rahasia medis harus tetap dijaga, bahkan setelah pasien meninggal dunia (KODEKI pasal 12).
Siapa Saja Yang Wajib Menyimpan Rahasia Medis? • Yang diwajibkan menyimpan rahasia medis ialah: – Dokter/Dokter ahli – Mahasiswa Kedokteran – Perawat/Bidan – Petugas Administrasi Kedokteran – Forensik/kamar jenazah Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1966
Kapan Rahasia Medis Dapat Dibuka? • Atas persetujuan/izin pasien • untuk kepentingan kesehatan pasien • Mendesak/membahayakan kepentingan umum atau membahayakan orang lain • Memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum atas perintah pengadilan; • Permintaan institusi/lembaga berdasarkan ketentuan perundang-undangan; dan • Untuk kepentingan penelitian, pendidikan, dan audit medis, sepanjang tidak menyebutkan identitas pasien. Pasal 10 ayat (2) Permenkes No. 269/2008 UU No.36 Tahun 2009
PEMBUKAAN RAHASIA MEDIS PERMENKES NO.36 TAHUN 2012 PASAL 5: • Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien, memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Yang Dimaksud Kepentingan Kesehatan Pasien Pasal 6 Pembukaan rahasia kedokteran untuk kepentingan kesehatan pasien meliputi: • Kepentingan pemeliharaan kesehatan, pengobatan, penyembuhan, dan perawatan pasien; dan • Keperluan administrasi, pembayaran asuransi atau jaminan pembiayaan kesehatan. o Dilakukan dengan persetujuan dari pasien o Dalam hal pasien tidak cakap untuk memberikan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), persetujuan dapat diberikan oleh keluarga terdekat atau pengampunya
Yang Dimaksud Untuk Penegakan Hukum Pasal 7 • Pembukaan rahasia kedokteran untuk memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dapat dilakukan pada proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan sidang pengadilan. • Pembukaan rahasia kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melalui pemberian data dan informasi berupa visum et repertum, keterangan ahli, keterangan saksi, dan/atau ringkasan medis. • Permohonan untuk pembukaan rahasia kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan secara tertulis dari pihak yang berwenang. • Dalam hal pembukaan rahasia kedokteran dilakukan atas dasar perintah pengadilan atau dalam sidang pengadilan, maka rekam medis seluruhnya dapat diberikan.
Pasal 9 PMK no. 36 Tahun 2012 • Pembukaan rahasia kedokteran berdasarkan ketentuan perundang-undangan dalam pasal 5 dilakukan tanpa persetujuan pasien dalam rangka kepentingan penegakan etik/ disiplin, serta kepentingan umum • Pembukaan rahasia kedokteran dalam rangka kepentingan penegakan etik/ disiplin diberikan atas permintaan tertulis dari MKEK atau MKDKI • Pembukaan rahasia kedokteran dalam rangka kepentingan umum dilakukan tanpa membuka identitas pasien.
178. KAIDAH DASAR MORAL
Hanafiah, J., Amri amir. 2009. Etika Kedokteran dan Hukum\Kesehatan (4th ed). Jakarta: EGC.
Tidak berbuat yang merugikan (nonmaleficence)
Berbuat baik (beneficence) • Selain menghormati martabat manusia, dokter juga harus mengusahakan agar • pasien yang dirawatnya terjaga keadaan kesehatannya (patient welfare). • Pengertian ”berbuat baik” diartikan bersikap ramah atau menolong, lebih dari sekedar memenuhi kewajiban.
Praktik Kedokteran haruslah memilih pengobatan yang paling kecil risikonya dan paling besar manfaatnya. Pernyataan kuno: first, do no harm, tetap berlaku dan harus diikuti. Keadilan (justice)
Menghormati martabat manusia (respect for person) / Autonomy
•
• Setiap individu (pasien) harus diperlakukan sebagai manusia yang memiliki otonomi (hak untuk menentukan nasib diri sendiri), • • Setiap manusia yang otonominya berkurang atau hilang perlu mendapatkan • perlindungan.
Perbedaan kedudukan sosial, tingkat ekonomi, pandangan politik, agama dan faham kepercayaan, kebangsaan dan kewarganegaraan, status perkawinan, serta perbedaan jender tidak boleh dan tidak dapat mengubah sikap dokter terhadap pasiennya. Tidak ada pertimbangan lain selain kesehatan pasien yang menjadi perhatian utama dokter. Prinsip dasar ini juga mengakui adanya kepentingan masyarakat sekitar pasien yang harus dipertimbangkan
Beneficence Kriteria 1. Mengutamakan altruism (menolong tanpa pamrih, rela berkorban untuk kepentingan orang lain) 2. Menjamin nilai pokok harkat dan martabat manusia
3. Memandang pasien/keluarga sebagai sesuatu yang tak hanya menguntungkan dokter 4. Mengusahakan agar kebaikan lebih banyak dibandingkan keburukannya 5. Paternalisme bertanggungjawab/berkasih sayang 6. Menjamin kehidupan baik minimal manusia 7. Pembatasan goal based (sesuai tujuan/kebutuhan pasien) 8. Maksimalisasi pemuasan kebahagiaan/preferensi pasien 9. Minimalisasi akibat buruk 10. Kewajiban menolong pasien gawat darurat 11. Menghargai hak-hak pasien secara keseluruhan
12. Tidak menarik honorarium di luar kewajaran 13. Maksimalisasi kepuasan tertinggi secara keseluruhan 14. Mengembangkan profesi secara terus menerus 15. Memberikan obat berkhasiat namun murah 16. Menerapkan golden rule principle
Non-maleficence Kriteria 1. Menolong pasien emergensi : Dengan gambaran sbb : - pasien dalam keadaan sangat berbahaya (darurat) / berisiko kehilangan sesuatu yang penting (gawat) - dokter sanggup mencegah bahaya/kehilangan tersebut - tindakan kedokteran tadi terbukti efektif - manfaat bagi pasien > kerugian dokter 2. Mengobati pasien yang luka 3. Tidak membunuh pasien ( euthanasia ) 4. Tidak menghina/mencaci maki/ memanfaatkan pasien 5. Tidak memandang pasien hanya sebagai objek 6. Mengobati secara proporsional 7. Mencegah pasien dari bahaya 8. Menghindari misrepresentasi dari pasien 9. Tidak membahayakan pasien karena kelalaian 10. Memberikan semangat hidup 11. Melindungi pasien dari serangan 12. Tidak melakukan white collar crime dalam bidang kesehatan
Autonomy Kriteria 1. Menghargai hak menentukan nasib sendiri, menghargai martabat pasien 2. Tidak mengintervensi pasien dalam membuat keputusan (kondisi elektif) 3. Berterus terang 4. Menghargai privasi 5. Menjaga rahasia pasien 6. Menghargai rasionalitas pasien 7. Melaksanakan informed consent 8. Membiarkan pasien dewasa dan kompeten mengambil keputusan sendiri 9. Tidak mengintervensi atau menghalangi otonomi pasien
10. Mencegah pihak lain mengintervensi pasien dalam mengambil keputusan termasuk keluarga pasien sendiri 11. Sabar menunggu keputusan yang akan diambil pasien pada kasus non emergensi 12. Tidak berbohong ke pasien meskipun demi kebaikan pasien 13. Menjaga hubungan (kontrak)
Justice Kriteria 1. Memberlakukan sesuatu secara universal 2. Mengambil porsi terakhir dari proses membagi yang telah ia lakukan 3. Memberi kesempatan yang sama terhadap pribadi dalam posisi yang sama 4. Menghargai hak sehat pasien 5. Menghargai hak hukum pasien 6. Menghargai hak orang lain 7. Menjaga kelompok yang rentan 8. Tidak melakukan penyalahgunaan 9. Bijak dalam makro alokasi 10. Memberikan kontribusi yang relative sama dengan kebutuhan pasien 11. Meminta partisipasi pasien sesuai kemampuannya 12. Kewajiban mendistribusikan keuntungan dan kerugian (biaya, beban, sanksi) secara adil 13. Mengembalikan hak kepada pemiliknya pada saat yang tepat dan kompeten 14. Tidak memberi beban berat secara tidak merata tanpa alas an tepat/sah 15. Menghormati hak populasi yang sama-sama rentan penyakit/gangguan kesehatan 16. Tidak membedakan pelayanan pasien atas dasar SARA, status social, dsb
179. INSIDENS KESELAMATAN PASIEN Pasien tidak cedera
NEAR MISS
Pasien cedera
ADVERSE EVENT
Medical Error - Kesalahan nakes - Dapat dicegah -Karena berbuat (commission) -Karena tdk berbuat (ommision)
Process of care (Non error)
Pasien cedera
ADVERSE EVENT
MALPRAKTIK
Adverse Event Kejadian tidak diharapkan (KTD)/ Adverse Event: • Suatu kejadian yang mengakibatkan cedera yang tidak diharapkan pada pasien karena suatu tindakan (commission) atau karena tidak bertindak (ommision), dan bukan karena “underlying disease”. • Adverse event yang menimbulkan akibat fatal, misalnya kecacatan atau kematian, disebut juga sentinel event.
Kejadian Nyaris Cedera/ Near Miss • Suatu kejadian akibat melaksanakan suatu tindakan (commission) atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (omission), yang dapat mencederai pasien, tetapi cedera serius tidak terjadi, karena : – “keberuntungan” (mis.,pasien terima suatu obat kontra indikasi tetapi tidak timbul reaksi obat), – “pencegahan” (suatu obat dengan overdosis lethal akan diberikan, tetapi staf lain mengetahui dan membatalkannya sebelum obat diberikan), – “peringanan” / mitigasi (suatu obat dengan overdosis lethal diberikan, diketahui secara dini lalu diberikan antidotenya
Patient Safety • Error: Tindakan yang mencederai pasien dan sebenarnya dapat dicegah. Contoh: salah memberikan obat kepada pasien.
• Acceptable risk (risiko medis): Kejadian tidak diharapkan yang merupakan risiko yang harus diterima dari pengobatan yang tidak dapat dihindari. Contoh: Pasien Ca mammae muntah-muntah pasca kemoterapi. • Unforseeable risk: Kejadian tidak diharapkan yang tidak dapat diduga sebelumnya. Contoh: Terjadi Steven Johnson Syndrome pasca pasien minum paracetamol, tanpa ada riwayat alergi obat sebelumnya. • Complication of disease: Kejadian tidak diharapkan yang merupakan bagian dari perjalanan penyakit atau komplikasi penyakit. Contoh: Pasien luka bakar dalam perawatan mengalami sepsis.
180. MALPRAKTEK/ KELALAIAN MEDIS • Malpraktek pada prinsipnya merujuk pada suatu praktek profesi yang buruk karena tidak sesuai standar profesi yang telah ditetapkan sebelumnya. • Dapat berupa pelanggaran terhadap standar kompetensi, standar perilaku, dan standar pelayanan. • Tidak semua kerugian yang timbul dalam pelayanan kedokteran dapat dikategorikan malpraktek, karena ada kerugian yang terjadi meski dokter telah melakukan tindakan sesuai standar.
Unsur Yang Harus Dipenuhi Dalam Malpraktek • Duty of care – Dokter telah menyatakan kesediaan untuk merawat pasien tersebut. Harus ditinjau juga legalitas dari semua pihak (dokter, pasien, RS).
• Breach of duty – Ada kegagalan atau kelalaian dokter dalam memenuhi kewajibannya dalam merawat atau mengobati pasien.
• Injury – Ada kerusakan atau kerugian materi dan imateriil yang timbul dari kelalaian tersebut, misalnya biaya, hilangnya kesempatan mendapat penghasilan.
• Proximated cause – Ada hubungan langsung atau sebab akibat yang jelas antara tindakan dokter dengan kerugian yang dialami pasien.
Jenis Malpraktek CIVIL MALPRACTICE
CRIMINAL MALPRACTICE
• Deviasi dari standar pelayanan
• Penyimpangan berat atau tidak melakukan standar pelayanan sama sekali
• Kompensasi: uang ganti rugi
• Kompensasi: Hukuman penjara, disertai/tidak disertai uang ganti rugi
• Masalah antara hubungan dokter-pasien saja
• Melibatkan negara karena melanggar hukum negara
181. PENENTUAN ANAK KANDUNG • Melalui pemeriksaan fisik – Dapat dilakukan dengan beberapa cara baik pemeriksaan fisik yang melihat ciri – ciri fisik dari orang tuanya, misalnya warna rambut, warna kornea, bentuk muka dan lainnya. Namun, pada pemeriksaan fisik tidak dapat ditentukan secara pasti.
• Melalui golongan darah – Yang paling sering digunakan berdasarkan golongan darah ABO dan Rhesus.
• Melalui pemeriksaan DNA – Merupakan gold standard. Tes paternitas membandingkan pola DNA anak dengan terduga ayah untuk memeriksa bukti pewarisan DNA yang menunjukkan kepastian adanya hubungan biologis.
182. Ciri Penjeratan Dengan Tangan (Pencekikan) • Manual Strangulation biasa dilakukan bila korbanya lebih lemah dari si pelaku, seperti orang tua, anak-anak, wanita gemuk. • Adanya luka lecet pada bahu si pelaku berbentuk bulan sabit yang disebabkan oleh kuku si pelaku. • Patahnya tulang lidah disertai dengan resapan darah di jaringan ikat dan otot sekitarnya. • Sembabnya kutub pangkal tenggorokan (epiglotis) dan jaringan longgar di sekitarnya dengan bintik-bintik pendarahan. • Jika mekanisme kematiannya oleh asfiksia maka akan dijumpai tanda-tanda asfiksia • Jika mekanisme kematiannya inhibisi vagal, kelainan terbatas pada bagian leher disertai tanda-tanda asfiksia. • Waktu yang dibutuhkan untuk melakukan pencekikan sekitar 30 detik-beberapa menit.
183. CADAVERIC SPASM • Cadaveric spasme atau instantaneous rigor adalah suatu keadaan dimana terjadi kekakuan pada sekelompok otot dan kadang-kadang pada seluruh otot, segera setelah terjadi kematian somatis dan tanpa melalui relaksasi primer. • Berhubungan dengan kehabisan cadangan glikogen dan ATO yang bersifat setempat pada saat mati klinis karena kelelahan atau emosi yang hebat sesaat sebelum meninggal • Dapat terjadi pada semua otot di tubuh akan tetapi biasanya pada grup – grup otot tertentu, misalnya otot lengan atas. • Kepentingan medikolegal adalah menunjukan sikap terakhir masa hidupnya, misalnya tangan menggenggam erat benda yang diraihnya pada kasus tenggelam ; terjadi sesaat setelah kematian, sebelum onset normal dari rigor mortis.
Cadaveric Spasme atau Rigor Mortis? • Bedakan rigor mortis dengan cadaveric spasme. – Rigor mortis baru terjadi pada 2-4 jam pertama, terjadi secara komplit pada 6-12 jam paska kematian,dan terutama terlihat jelas pada otot – otot kecil. – Cadavaric spasme segera setelah terjadi kematian somatis. Dapat terjadi pada semua otot di tubuh akan tetapi biasanya pada grup – grup otot tertentu.
Bedanya dengan stiffening • Heat stiffening : kekakuan otot akibat koagulasi protein oleh panas. Otot-otot berwarna merah muda, kaku, tetapi rapuh (mudah robek) – dapat dijumpai pada korban mati terbakar – pada heat stiffening serabut-serabut ototnya memendek sehingga menimbulkan flexi leher, siku, paha, dan lutut, membentuk sikap petinju (pugilistic attitude)
• Cold stiffening : kekakuan tubuh akibat lingkungan dingin, sehingga terjadi pembekuan cairan tubuh, termasuk cairan sendi, pemadatan jaringan lemak subkutan dan otot, sehingga bila sendi ditekuk akan terdengar bunyi pecahnya es dalam rongga sendi.
184. PROFESSIONAL MISCONDUCT • Pelanggaran dilakukan dalam Dokter bentuk pelanggaran ketentuan etik, ketentuan disiplin profesi, hukum administratif, serta hukum pidana dan perdata. • Lebih berkaitan dengan motivasi, daripada human error.
PELANGGARAN DALAM PELAYANAN KEDOKTERAN • Pelanggaran dapat berupa: – Pelanggaran etik – Pelanggaran disiplin – Pelanggaran hukum (pidana dan perdata)
Pelanggaran Etik • Dasar: Kode Etik Dokter Indonesia (KODEKI), yang berisi kewajiban umum, kewajiban terhadap pasien, dan kewajiban terhadap teman sejawat. • Alur: Laporan dari institusi pelayanan komite etik di institusi pelayanan MKEK ditentukan sanksi ringan/ sedang/ berat
Intisari KODEKI KEWAJIBAN UMUM
KEWAJIBAN THD PASIEN
KEWAJIBAN THD DIRI SENDIRI & TS
menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dokter (pasal 1)
..wajib merujuk jika tidak mampu, atas persetujuan pasien(pasal 14)
setiap dokter harus memelihara kesehatannya supaya dapat bekerja dengan baik (pasal 20)
Seorang dokter wajib selalu melakukan pengambilan keputusan profesional secara independen, dan mempertahankan perilaku profesional dalam ukuran yang tertinggi. (pasal 2)
setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien , bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia (pasal 16)
setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran/kesehatan (psl 21)
dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan & kemandirian profesi (pasal 3) seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri kebenarannya (pasal7)
setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sbg suatu tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya (pasal 17)
setiap dokter memperlakukan teman sejawat nya sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan (pasal 18)
Pelanggaran Disiplin • Pelanggaran terhadap standar profesi kedokteran. • Alur: delik aduan MKDKI sanksi. • Sanksi Disiplin (Pasal 69 ayat 3, UUPK): 1. Pemberian peringatan tertulis 2. Rekomendasi pencabutan STR atau SIP 3. Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran
Pelanggaran Hukum • Dokter adalah bagian dari komunitas (publik) sehingga berlaku kepadanya HUKUM PUBLIK. • Hukum publik dapat berupa pidana atau perdata.
Sanksi Pidana dalam UU No.29 Th 2004 Tentang Praktik Kedokteran • Pasal 75 Praktik tanpa STR • Pasal 76 praktik tanpa SIP • Pasal 77 menggunakan gelar seolah-olah dr/drg yang memiliki STR • Pasal 79 tidak memasang papan praktik, tidak membuat rekam medik, tidak sesuai standar profesi (rasional,merujuk,dll) • Pasal 80 mempekerjakan dr/drg tanpa STR & SIP
Sanksi Perdata Menurut KUH Perdata • Wan Prestasi, jika hubungan yuridis dokter-pasien adalah perjanjian membawa hasil (resultaatverbintenis) dengan memakai pasal 1239 KUH Perdata, • Perbuatan melawan hukum, jika hubungan yuridis dokter-pasien adalah perjanjian memasang tekad (inspanningsverbintenissen) atau perjanjian teraupetik dengan memakai pasal 1365 KUH Perdata. • Melalaikan pekerjaan sebagai penanggungjawab. Artinya, dokter bertanggungjawab atas kesalahan yang dibuat bawahannya (perawat, paramedis) yang secara langsung diawasinya dalam melaksanakan perintah atau petunjuk dokter. Bawahan dokter tersebut merupakan perpanjangan tangan dokter (verlengende arm van de geneesher) dalam melakukan tindakan medik. Pasal yang digunakan adalah pasal 1367 ayat (3) KUH Perdata,
185. TUJUAN PELAYANAN KESEHATAN KERJA • Memberikan bantuan kepada tenaga kerja dalam penyesuaian diri baik fisik maupun mental, terutama dalam penyesuaian pekerjaan dengan tenaga kerja • Melindungi tenaga kerja terhadap setiap gangguan kesehatan yang timbul dari pekerjaan atau lingkungan kerja • Meningkatkan kesehatan badan, kondisi mental (rohani) dan kemampuan fisik tenaga kerja • Memberikan pengobatan dan perawatan serta rehabilitasi bagi tenaga kerja yang menderita sakit.
Kode Etik Kedokteran Okupasi (1) • • •
• • •
•
Bahwa kami mengutamakan kesehatan dan keselamatan setiap tenaga kerja, orang lain di tempat kerja dan lingkungan sekitar. Bahwa kami melaksanakan tugas sebagai suatu amal ilmiah yang obyektif dan terpadu. Bahwa kami terus-menerus berusaha agar pengetahuan dan praktik kedokteran/kesehatan baik mengenai tenaga kerja perseorangan maupun kelompok tenaga kerja dapat ditingkatkan dan dikembangkan. Bahwa kami membuat sesuatu pernyataan dan atau persetujuan atas dasar hasil pengamatan dan pemeriksaan yang jujur berbasis bukti ilmiah. Bahwa kami dalam membuat keputusan medik membebaskan diri dari tekanan dan atau pengaruh yang berasal dari perbedaan kepentingan. Bahwa kami mengusahakan dengan penuh kesadaran untuk mengetahui segala persyaratan kesehatan, kebugaran dan lingkungan kerja yang perlu ditetapkan dan diterapkan untuk mencegah semua bahaya yang diakibatkan oleh pekerjaan, semua risiko kesehatan dan keselamatan kerja yang menyangkut hasil dan kegiatan perusahaan. Bahwa kami memegang teguh rahasia kesehatan dan atau keadaan sakit setiap orang terhadap siapapun, kecuali bila diperlukan atas dasar kekuatan Undang-Undang, dan atau atas pertimbangan kesehatan masyarakat yang lebih penting, dan atau kepentingan kesehatan penderita dan atau untuk pertolongan oleh dokter lainnya.
Kode Etik Kedokteran Okupasi (2) •
•
•
• •
Bahwa kami berpegang pada prinsipbahwa pengusaha mempunyai hak dan kewajiban untuk berkonsultasi tentang kesehatan tenaga kerja dan keserasian kesehatan terhadap pekerjaannya, tetapi tidak memiliki hak untuk mengetahui diagnosis penyakit dan atau hasil pemeriksaan medik tenaga kerja yang bersangkutan. Bahwa kami menyampaikan penjelasan yang mudah dipahami kepada tenaga kerja tentang kesehatannya, anjuran pemeriksaan kesehatan lebih lanjut yang diperlukan, pemberian nasehat dan pengobatannya sesuai dengan keperluan dan pertimbangan medik. Bahwa kami mengadakan konsultasi dengan pihak-pihak yang dapat melengkapi keterangan dan pengetahuan, apabila terdapat masalah yang diragukan atau kurang jelas dan tatalaksana yang lebih baik. Bahwa kami selalu menjalin kerjasama secara baik dengan setiap petugas kesehatan lainnya diluar profesi kedokteran/kesehatan kerja. Bahwa kami senantiasa menghindarkan penawaran dan atau penggunaan jasa yang mendatangkan keuntungan bagi suatu pihak dan atau kerugian bagi pihak lainnya.
Kode Etik Kedokteran Okupasi (3) • Bahwa kami dengan cermat memperhatikan nilai-nilai psikologis, kebudayaan dan agama yang terdapat dalam masyarakat tenaga kerja dan menyerasikannya kepada tujuan kesehatan dan keselamatan kerja dengan sebaik-baiknya. • Bahwa kami juga memperhatikan masalah lain di luar lingkungan tempat kerja yang dapat mempengaruhi kesehatan dan keselamatan kerja. • Bahwa kami menjunjung tinggi peraturan perundangan yang berlaku dalam kesehatan dan keselamatan kerja. • Bahwa kami secara aktif tidak membenarkan dan berusaha untuk memperbaiki perbuatan yang menyalahi etik pelayanan kedokteran/kesehatan kerja. • Bahwa kami melaksanakan kode etik spesialis kedokteran okupasi dengan penuh kesadaran dan keyakinan dalam rangka menjunjung tinggi profesi kedokteran okupasi.
186. HAK DOKTER • Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai standar profesi dan standar operasional prosedur • Memberikan pelayanan medis sesuai standar profesi dan standar operasional prosedur • Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya • Menerima imbalan jasa
KEWAJIBAN DOKTER • Memberikan pelayanan medis sesuai standar profesi dan standar operasional prosedur serta kebutuhan medis • Apabila tidak tersedia alat kesehatan atau tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan/pengobatan, bisa merujuk pasien ke dokter/sarana kesehatan lain yang mempunyai kemampuan lebih baik. • Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan setelah pasien itu meninggal dunia • Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang mampu melakukannya • Mengikuti perkembangan ilmu kedokteran
187. ETIKA KLINIS • Medical Indication (terkait prosedur diagnostik dan terapi yang sesuai … dari sisi etik kaidah yang digunakan adalah beneficence dan nonmaleficence) • Patient Preference (terkait nilai dan penilaian pasien tentang manfaat dan beban yang akan diterimanya … cerminan kaidah otonomi) • Quality of Life (aktualisasi salah satu tujuan kedokteran :memperbaiki, menjaga atau meningkatkan kualitas hidup insani … terkait dengan beneficence, nonmaleficence & otonomi) • Contextual Features (menyangkut aspek non medis yang mempengaruhi pembuatan keputusan, spt faktor keluarga, ekonomi, budaya … kaidah terkait justice) Etika Klinis. (Jonsen, siegler & winslade, 2002)
Pertimbangan Etika Klinis
Albert R. Jonsen. (1998). Clinical Ethics: A Practical Approach to Ethical Decisions in Clinical Medicine. [Fourth Edition]. McGraw Hill
188. PERSETUJUAN TINDAKAN MEDIS • Persetujuan tindakan medis secara praktis dibagi menjadi 2: Implied consent Pasien tidak menyatakan persetujuan baik secara tertulis maupun lisan, namun dari tingkah lakunya menyatakan persetujuannya. Contoh: pasien membuka baju untuk diperiksa, pasien mengulurkan lengan untuk diambil sampel darah. Expressed consent
Persetujuan dinyatakan secara lisan atau tertulis. Khusus setiap tindakan yang mengandung risiko tinggi, harus diberikan persetujuan tertulis oleh pasien atau yang berhak mewakili (sesuai UU No.29 tahun 2004 pasal 45) Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik dalam Proses Penyelidikan, A. Munim Idries, 2013
Jenis Consent Lainnya JENIS CONSENT
PENJELASAN
Informed consent
Consent yang diberikan pada pasien secara tertulis, yang ditandatangani langsung oleh pasien yang berangkutan.
Proxy consent
Consent yang diberikan oleh wali pasien (orangtua, suami/istri, anak, saudara kandungnya dsb) karena pasien tidak kompeten untuk memberikan consent (misalnya pada pasien anak).
Presumed consent
Pasien tidak dapat memberikan consent, namun diasumsikan bahwa bila pasien sadar, ia akan setuju dengan tindakan medis yang diambil. Consent jenis ini biasanya dilakukan pada kondisi kegawatdaruratan atau pada donor organ dari cadaver.
Appelbaum PS. Assessment of patient’ s competence to consent to treatment. New England Journal of Medicine. 2007; 357: 18341840.
189. PENGGANTUNGAN (HANGING) • Penggantungan (Hanging) adalah suatu keadaan dimana terjadi konstriksi dari leher oleh alat penjerat yang ditimbulkan oleh berat badan seluruh atau sebagian. • Alat penjerat sifatnya pasif, sedangkan berat badan sifatnya aktif sehingga terjadi konstriksi pada leher. Umumnya penggantungan melibatkan tali, tapi hal ini tidaklah perlu. Penggantungan yang terjadi akibat kecelakaan bisa saja tidak terdapat tali.
Tipe Penggantungan • Suicidal hanging (gantung diri) – Paling banyak ditemui – Korban bunuh diri
• Accidental hanging – Lebih banyak ditemukan pada anak-anak utamanya pada umur antara 6-12 tahun. Tidak ditemukan alasan untuk bunuh diri karena pada usia itu belum ada tilikan dari anak untuk bunuh diri. Hal ini terjadi akibat kurangnya pengawasan dari orang tua. – Pada orang dewasa, bisa terjadi akibat pelampiasan nafsu seksual yang menyimpang.
• Homicidal hanging – Pembunuhan yang dilakukan dengan metode menggantung korban. – Biasanya dilakukan bila korbannya anak-anak atau orang dewasa yang kondisinya lemah baik oleh karena penyakit atau dibawah pengaruh obat, alcohol, atau korban sedang tidur.
PENGGANTUNGAN ANTEMORTEM VS POSTMORTEM NO
PENGGANTUNGAN ANTEMORTEM
PENGGANTUNGAN POSTMORTEM
1
Tanda-tanda penggantungan ante-mortem bervariasi. Tergantung dari cara kematian korban
Tanda-tanda post-mortem menunjukkan kematian yang bukan disebabkan penggantungan
2
Tanda jejas jeratan miring, berupa lingkaran terputus (non-continuous) dan letaknya pada leher bagian atas
Tanda jejas jeratan biasanya berbentuk lingkaran utuh (continuous), agak sirkuler dan letaknya pada bagian leher tidak begitu tinggi
3
Simpul tali biasanya tunggal, terdapat pada sisi leher
Simpul tali biasanya lebih dari satu, diikatkan dengan kuat dan diletakkan pada bagian depan leher
4
Ekimosis pada salah satu sisi jejas penjeratan tidak Ekimosis tampak jelas pada salah satu sisi dari ada atau tidak jelas. Lebam mayat terdapat pada jejas penjeratan. Lebam mayat tampak di atas bagian tubuh yang menggantung sesuai dengan posisi jejas jerat dan pada tungkai bawah mayat setelah meninggal
5
Pada kulit di tempat jejas penjeratan teraba seperti perabaan kertas perkamen, yaitu tanda parchmentisasi
Tanda parchmentisasi tidak ada atau tidak begitu jelas
PENGGANTUNGAN ANTEMORTEM VS POSTMORTEM NO
PENGGANTUNGAN ANTEMORTEM
PENGGANTUNGAN POSTMORTEM
6
Sianosis pada wajah, bibir, telinga, dan lainlain sangat jelas terlihat terutama jika kematian karena asfiksia
Sianosis pada bagian wajah, bibir, telinga dan lain-lain tergantung dari penyebab kematian
7
Wajah membengkak dan mata mengalami kongesti dan agak menonjol, disertai dengan gambaran pembuluh dara vena yang jelas pada bagian dahi
Tanda-tanda pada wajah dan mata tidak terdapat, kecuali jika penyebab kematian adalah pencekikan (strangulasi) atau sufokasi
8
Lidah bisa terjulur atau tidak sama sekali
Lidah tidak terjulur kecuali pada kasus kematian akibat pencekikan
9
Penis. Ereksi penis disertai dengan keluarnya cairan sperma sering terjadi pada korban pria. Penis. Ereksi penis dan cairan sperma tidak Demikian juga sering ditemukan keluarnya ada.Pengeluaran feses juga tidak ada feses
10
Air liur. Ditemukan menetes dari sudut mulut, Air liur tidak ditemukan yang menetes pad kasus dengan arah yang vertikal menuju dada. Hal ini merupakan pertanda pasti penggantungan selain kasus penggantungan. ante-mortem
GANTUNG DIRI VS PEMBUNUHAN NO
PENGGANTUNGAN PADA BUNUH DIRI
PENGGANTUNGAN PADA PEMBUNUHAN
1
Usia. Gantung diri lebih sering terjadi pada Tidak mengenal batas usia, karena tindakan remaja dan orang dewasa. Anak-anak di bawah pembunuhan dilakukan oleh musuh atau lawan dari usia 10 tahun atau orang dewasa di atas usia 50 korban dan tidak bergantung pada usia tahun jarang melakukan gantung diri
2
Tanda jejas jeratan, bentuknya miring, berupa lingkaran terputus (non-continuous) dan terletak pada bagian atas leher
Tanda jejas jeratan, berupa lingkaran tidak terputus, mendatar, dan letaknya di bagian tengah leher, karena usaha pelaku pembunuhan untuk membuat simpul tali
3
Simpul tali, biasanya hanya satu simpul yang letaknya pada bagian samping leher
Simpul tali biasanya lebih dari satu pada bagian depan leher dan simpul tali tersebut terikat kuat
4
Riwayat korban. Biasanya korban mempunyai Sebelumnya korban tidak mempunyai riwayat untuk riwayat untuk mencoba bunuh diri dengan cara bunuh diri lain
5
Cedera. Luka-luka pada tubuh korban yang bisa menyebabkan kematian mendadak tidak ditemukan pada kasus bunuh diri
Cedera berupa luka-luka pada tubuh korban biasanya mengarah kepada pembunuhan
GANTUNG DIRI VS PEMBUNUHAN NO
PENGGANTUNGAN PADA BUNUH DIRI
PENGGANTUNGAN PADA PEMBUNUHAN
6
Racun. Adanya racun dalam lambung korban, misalnya arsen, sublimat korosif, dll tidak bertentangan dengan kasus gantung diri. Rasa nyeri yang disebabkan racun tersebut mungkin mendorong korban untuk gantung diri
7
Tangan tidak dalam keadaan terikat, karena sulit Tangan yang dalam keadaan terikat mengarahkan dugaan pada untuk gantung diri dalam keadaan tangan terikat kasus pembunuhan
8
Kemudahan. Pada kasus bunuhdiri, biasanya tergantung pada tempat yang mudah dicapai oleh korban atau di sekitarnya ditemukan alat yang digunakan untuk mencapai tempat tersebut
Pada kasus pembunuhan, mayat ditemukan tergantung pada tempat yang sulit dicapai oleh korban dan alat yang digunakan untuk mencapai tempat tersebut tidak ditemukan
9
Tempat kejadian. Jika kejadian berlangsung di dalam kamar, dimana pintu, jendela ditemukan dalam keadaan tertutup dan terkunci dari dalam, maka kasusnya pasti merupakan bunuh diri
Tempat kejadian. Bila sebaliknya pada ruangan ditemukan terkunci dari luar, maka penggantungan adalah kasus pembunuhan
10
Tanda-tanda perlawanan, tidak ditemukan pada kasus gantung diri
Tanda-tanda perlawanan hampir selalu ada kecuali jika korban sedang tidur, tidak sadar atau masih anak-anak.
Terdapatnya racun berupa asam opium hidrosianat atau kalium sianida tidak sesuai pada kasus pembunuhan, karena untuk hal ini perlu waktu dan kemauan dari korban itu sendiri. Dengan demikian maka kasus penggantungan tersebut adalah karena bunuh diri
190. Visum et Repertum (VeR) Dasar: PASAL 133 KUHAP • Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya Pengantar Medikolegal, Budi Sampurna
Permintaan VeR Menurut Ps. 133 KUHAP • • • • •
Wewenang penyidik Tertulis (resmi) Terhadap korban, bukan tersangka Ada dugaan akibat peristiwa pidana Bila mayat : – Identitas pada label – Jenis pemeriksaan yang diminta – Ditujukan kepada : ahli kedokteran forensik / dokter di rumah sakit Pengantar medikolegal, budi sampurna
Ketentuan Lain Dalam VeR Korban Hidup • Surat permintaan ver dapat “terlambat” : – Korban luka dibawa ke dokter (rs) dulu sebelum ke polisi – Spv menyebutkan peristiwa pidana yang dimaksud – Ver = surat keterangan, jadi dapat dibuat berdasarkan rekam medis (rm telah menjadi barang bukti sejak datang spv) – Pembuatan ver tanpa ijin pasien, sedangkan skm lain harus dengan ijin. – Sebaiknya diantar petugas agar dapat dipastikan identitas korban dan statusnya sebagai “barang bukti” Pengantar medikolegal, budi sampurna
VeR dan Rekam Medis • Seorang pasien yang datang berobat ke RS dengan perlukaan dan/atau keracunan, apalagi dengan anamnesis yang menunjukkan adanya kemungkinan kaitan dengan suatu tindak pidana, pertama-tama harus DIANGGAP sebagai kasus forensik, tanpa melihat ada atau tidaknya Surat Permintaan VER dari polisi. • Dokter yang menangani pasien ini harus melakukan pencatatan anamnesis secara lengkap dan detil. Pemeriksaan fisik dilakukan seperti biasa, akan tetapi pencatatan luka-lukanya dilakukan secara lengkap dan mendetil. • VER kasus forensik klinik dibuat berdasarkan rekam medis korban, yang dibuat oleh dokter IGD, dokter yang merawat, SpF maupun perawat. Suatu VER yang baik hanya dapat dihasilkan dari Rekam Medis (RM) yang baik pula. Cara Pencatatan Rekam Medis untuk Kasus Forensik Klinik, Djaja Surya Atmadja
Sanksi Hukum Bila Menolak Pembuatan VeR PASAL 216 KUHP Barangsiapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat berdasarkan tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian pula barangsiapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau denda paling banyak sembilan ribu rupiah. Pengantar Medikolegal, Budi Sampurna
THT-KL
191. Tonsilitis • Acute tonsillitis: – Bakteri penyebab: GABHS, pneumococcus, S. viridan, S. pyogenes. • Detritus tonsilitis folikularis • Detritus bergabung, membentuk alur tonsillitis lakunaris • Gejala: nyeri tenggotok, odinofagia, demam, malaise, otalgia. • Th: penicillin atau erythromicin
• Tonsilitis kronik – Tonsil membesar dengan permukaan tidak rata, kriptus melebar, & beberapa terisi detritus. – Gejala: rasa mengganjal, kering, & halitosis Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007. Diagnostic handbook of otorhinolaryngology.
191. Tonsilitis • Fungal Tonsilitis pada pemeriksaan swab tonsil akan ditemukan hifa (+)
192. Uji Penala • Uji pendengaran dengan garputala dapat membedakan ketulian karena tuli konduktif Tes Rinne
Tes Weber
Tes Swabach
Diagnosis
Positif
Tidak ada lateralisasi
Sama dengan pemeriksa
normal
Negatif
Lateralisasi ke telinga yang sakit
memanjang
Tuli konduktif
Positif
Lateralisasi ke telinga yang sehat
memendek
Tuli
192. Uji Penala • Cara Pemeriksaan : – Tes Rinne penala digetarkan, tangkainya diletakkan pada prosesus mastoid, setelah tidak terdengar penala diletakkan depan telinga • Positif (+) bila masih terdengar • Negatif (-) bila tidak terdengar
– Tes Weber penala digetarkan dan tangkai penala dilerakkan di garis tengah kepala – Tes Swabach penala digetarkan, tangkai penala diletakkan pada prosesus mastoideus sampai tidak terdengar bunyi, lalu segera pindahkan pada prosesus mastoid pemeriksa • Memendek bila pemeriksa masih mendengar
193. Epistaksis Penatalaksanaan • Perbaiki keadaan umum – Nadi, napas, tekanan darah
• Hentikan perdarahan – Bersihkan hidung dari darah & bekuan – Pasang tampon sementara yang telah dibasahi adrenalin 1/5000-1/10000 atau lidokain 2% – Setelah 15 menit, lihat sumber perdarahan
• Cari faktor penyebab untuk mencegah rekurensi – Trauma, infeksi, tumor, kelainan kardiovaskular, kelainan darah, kelainan kongenital
193. Epistaksis • Epistaksis anterior: – Sumber: pleksus kisselbach plexus atau a. ethmoidalis anterior – Dapat terjadi karena infeksi & trauma ringan, mudah dihentikan. – Penekanan dengan jari selama 10-15 menit akan menekan pembuluh darah & menghentikan perdarahan. – Jika sumber perdarahan terlihat kauter dengan AgNO3, jika tidak berhenti tampon anterior 2 x 24 jam.
Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
193. Epistaksis • Epistaksis Posterior – Perdarahan berasal dari a. ethmoidalis posterior atau a. sphenopalatina, sering sulit dihentikan. – Terjadi pada pasien dengan hipertensi atau arteriosklerosis. – Terapi: tampon bellocq/posterior selama 2-3 hari. Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
194. Gangguan Pendengaran • Gangguan pendengaran pada lansia, 25-30% terjadi pada usia 65-70 tahun. • Presbikusis: tuli simetris, terutama nada tinggi, karena proses penuaan. – – – –
Sensorik: sel rambut & sel sustentakular berkurang, organ korti rata Neural:neuron koklea berkurang Strial: atropi stria vaskularis Konduktif: membran basilar kaku
194. Gangguan Pendengaran • Cocktail party deafness – Tanda tuli koklear, pasien terganggu oleh suara background sulit mendengar di lingkungan ramai. – Dijumpai pada presbikusis & noice induced hearing loss.
• Presbikusys ₋ Terjadi pada usia >65 tahun. ₋ Bilateral
• Noise induced hearing loss ₋ Pajanan bising jangka panjang cochlear sensorineural deafness dengan/tanpa tinnitus. ₋ Bilateral
Circles indicate hearing losses for air conduction whereas squares indicate hearing loss for bone conduction.
195. Rhinosinusitis Diagnosis
Clinical Findings
Rinosinusitis akut
2/lebih gejala: obstruksi nasal/rhinorea ditambah nyeri wajah atau hiposmia/anosmia. • Nyeri pipi: sinusitis maksilaris • Nyeri retroorbital: sinusitis etmoidalis • Nyeri dahi atau kepala: sinusitis frontalis Akut bila gejala sampai 4 minggu, lebih dari 3 minggu sampai 3 bulan disebut subakut.
Sinusitis kronik
Kronik: > 3 bulan. Gejala tidak spesifik, dapat hanya ada 1 atau 2 dari gejala berikut: sakit kepala kronik, postnasal drip, batuk kronik, gangguan tenggorok, gangguan telinga akibat sumbatan tuba, sinobronkitis, pada anak gastroenteritis akibat mukopus yang tertelan.
Sinusitis dentogen Dasar sinus maksila adalah prosesus alveolaris, dan hanya terpisahkan oleh tulang tipis. Infeksi gigi rahang atas mudah menyebar secara langsung ke sinus, atau melalui pembuluh darah dan limfe. Sinusitis jamur
Faktor risiko:pemakaian antibiotik, kortikosteroid, imunosupresan, dan radioterapi.Ciri: sinusitis unilateral, sulit sembuh dengan antibiotik, terdapat gambaran kerusakan tulang dinding sinus, atau bila ada membran berwarna putih keabuan pada irigasi antrum. Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
•
Normal sinonasal mucociliary clearance is predicated on (1) ostial patency, (2) ciliary function, and (3) mucus consistency. Impairment of any of these factors at the osteomeatal complex may result in mucus stasis, which under the proper conditions induces bacterial growth.
195. Rhinosinusitis • Sebagian besar sinusitis akut, terjadi sekunder karena: 1. 2. 3.
common cold; influenza; measles, whooping cough, etc.
• Pada 10% kasus infeksi berasal dari gigi: 1. 2.
Abses apikal, Cabut gigi.
• Organisme penyebab umumnya: Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Moraxella catarrhalis. Pada infeksi gigi, bakteri anaerob dapat ditemukan.
195. Rhinosinusitis • Pemeriksaan penunjang rhinosinusitis: – Foto polos: posisi waters, PA, lateral. Tapi hanya menilai sinus-sinus besar (maksila & frontal). Kelainan yang tampak: perselubungan, air fluid level, penebalan mukosa. – CT scan: mampu menilai anatomi hidung & sinus, adanya penyakit dalam hidung & sinus, serta perluasannya gold standard. Karena mahal, hanya dikerjakan untuk penunjang sinusitis kronik yang tidak membaik atau pra-operasi untuk panduan operator. Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
195. Rhinosinusitis
195. Sinusitis • Tujuan terapi sinusitis: – Mempercepat penyembuhan – Mencegah komplikasi – Mencegah perubahan menjadi kronik
• Prinsip pengobatan: – Membuka sumbatan di KOM sehingga drainase dan ventilasi sinus-sinus pulih alami
• Sinusitis akut bakterial antibiotik dan dekongestan • Sinusitis kronik antibiotik yang sesuai untuk kuman gram negatif dan anaerob
2011 Approach to the Treatment of Acute Rhinosinusitis 1. Hydration (6 - 8 glasses of water per day) 2. Long-acting topical nasal decongestant, BID X 3-7 days (oxymetazole) 3. Nasal saline applied with nasal irrigation device, BID 4. Topical nasal CCS, 2 sprays EN BID 5. If symptoms persist past 7-10 days: Antibiotics X 714 days (until asymptomatic +5-7 days). Choices: amoxicillin/clavulanate, cephalosporin, clarithromycin
Antibiotics in acute rhinosinusitis?
Don’t treat common viral cold with antibiotics Use symptomatic treatment in mild acute rhinosinusitis
• •
saline topical decongestant NCCS Analgesics
Use topical steroids in acute and chronic sinusitis (evidence A) Reserve antibiotics for severe, acute, presumably bacterial rhinosinusitis
Recommended antibiotic - 2011 First choice: • Amoxicillin/clavulate or cephalosporin • Good second choice: Clarithromycin • Azithromycin may also be quite useful Back-ups: • Quinolones • Use metronidazole plus one of the above or clindamycin when gram negative is suspected • Topical mupiricin very useful in select cases
SALINE NASAL IRRIGATION • Nasal irrigation with saline may be used to soften viscous secretions and improve mucociliary clearance. • The mechanical cleansing of the nasal cavity with saline has been shown to benefit patients with chronic rhinosinusitis and frequent sinusitis
196-197. Otitis eksterna Tanda OE: Nyeri jika aurikel ditarik ke belakang atau tragus ditekan. • Otitis externa sirkumskripta (furuncle) – Etiologi: Staph. aureus, Staph. albus – Terbatas pada kelenjar minyak/rambut yg terobstruksi – Hanya pada bagian kartilago telinga, tidak ada jaringan penyambung di bawah kulit sangat nyeri – Th/: AB topikal, analgetik topikal. Menner, a pocket guide to the ear. Thieme; 2003. Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
196-197. Otitis Externa • Otitis eksterna difus (swimmer’s ear) – Etiologi: Pseudomonas, Staph. albus, E. coli. – Kondisi lembab & hangat bakteri tumbuh – Sangat nyeri, liang telinga: edema, sempit, nyeri tekan (+), eksudasi – Jika edema berat pendengaran berkurang – Th/: AB topikal, kadang perlu AB sistemik – AB: ofloxacin, ciprofloxacin, colistin, polymyxin B, neomycin, chloramphenicol, gentamicin, & tobramycin. – Ofloxacin & ciprofloxacin: AB tunggal dengan spektrum luas untuk patogen otitis eksterna. Menner, a pocket guide to the ear. Thieme; 2003. Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
196-197. Otitis Externa • Malignant otitis externa (necrotizing OE) – Pada pasien diabetik lansia atau imunokompromais. – OE dapat menjadi selulitis, kondritis, osteitis, osteomielitis neuropati kranial.
– Liang telinga bengkak & nyeri, jaringan granulasi merah tampak di posteroinferior sambungan kartilago dengan tulang, di 1/3 dalam. – Awalnya gatal, lalu cepat menjadi nyeri, sekret (+), & pembengkakan liang telinga. – Th/: antibiotik topikal & sistemik, debridemen agresif. Menner, a pocket guide to the ear. Thieme; 2003. Diagnostic handbook of otorhinolaryngology. Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
198. Rinitis Diagnosis
Clinical Findings
Rinitis alergi
Riwayat atopi. Gejala: bersin, gatal, rinorea, kongesti. Tanda: mukosa edema, basah, pucat atau livid, sekret banyak.
Rinitis vasomotor
Gejala: hidung tersumbat dipengaruhi posisi, rinorea, bersin. Pemicu: asap/rokok, pedas, dingin, perubahan suhu, lelah, stres. Tanda: mukosa edema, konka hipertrofi merah gelap.
Rinitis hipertrofi
Hipertrofi konka inferior karena inflamasi kronis yang disebabkan oleh infeksi bakteri, atau dapat juga akrena rinitis alergi & vasomotor. Gejala: hidung tersumbat, mulut kering, sakit kepala. Sekret banyak & mukopurulen.
Rinitis atrofi / ozaena
Disebabkan Klesiella ozaena atau stafilokok, streptokok, P. Aeruginosa pada pasien ekonomi/higiene kurang. Sekret hijau kental, napas bau, hidung tersumbat, hiposmia, sefalgia. Rinoskopi: atrofi konka media & inferior, sekret & krusta hijau.
Rinitis medikamentosa
Hidung tersumbat yang memburuk terkait penggunaan vasokonstriktor topikal. Perubahan: vasodilatasi, stroma edema,hipersekresi mukus. Rinoskopi: edema/hipertrofi konka dengan sekret hidung yang berlebihan. Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
198. Rinitis Vasomotor Deskripsi Batasan
keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa adanya infeksi, alergi, eosinofilia, hormonal atau pajanan obat
Etiologi
belum diketahui
Diagnosis
Anamnesis: Hidung tersumbat bergantian kiri dan kanan, tergantung posisi pasien disertai sekret yang mukoid atau serosa yang dicetuskan oleh rangsangan non spesifik Rinoskopi anterior: Edema mukosa hidung, konka merah gelap atau merah tua dengan permukaan konka dapat licin atau berbenjol (hipertrofi) disertai sedikit sekret mukoid Penunjang: Eosinofilia ringan
Tatalaksana Menghindari stimulus Simptomatis: dekongestan oral, kortikosteroid topikal Operasi Neurektomi nervus vidianus Sumber: Buku ajar ilmu THT 2007
199. Abses Leher Dalam DIAGNOSIS
C L I N I C A L F E AT U R E S
ABSES PERITONSIL
Odynophagia, otalgia, vomit, foetor ex ore, hypersalivation, hot potato voice, & sometimes trismus.
ABSES PARAFARING
1.Trismus, 2. Angle mandible swelling, 3. Medial displacement of lateral pharyngeal wall.
ABSES RETROFARING
In children: irritability,neck rigidity, fever,drolling,muffle cry, airway compromise In adult: fever, sore throat, odynophagia, neck tenderness, dysnea
SUBMANDIBULAR Fever, neck pain, swelling below the mandible or tongue. Trismus often ABSCESS found. If spreading fast bilateral, cellulitis ludwig angina LUDWIG/LUDOVI CI ANGINA
Swelling bilaterally, hypersalivation, airway obstrution caused by retracted tongue, odynophagia, trismus, no purulence (no time to develop)
1) Menner, a pocket guide to the ear. Thieme; 2003. 2) Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007. 3) Cummings otolaryngology. 4th ed. Mosby; 2005.
Abses Leher Dalam ABSES PERITONSIL
ABSES RETROFARING
ABSES PARAFARING
ABSES SUBMANDIBULA
ANGINA LUDOVICI
ISPA, limfadenitis retrofaring
Penjalaran infeksi
GEJALA DAN TANDA
Odinofagia, otalgia, regurgitasi, foetor ex ore, hipersalivasi, trismus
Nyeri, disfagia, demam, leher kaku, sesak napas, stridor
Trismus, Trismus, pembengkakan bawah indurasi sekitar angulus mandibula/ bawah lidah, mandibula fluktuasi
Nyeri, dasar mulut membengkak mendorong lidah kebelakang
PEMERIKSAAN
Paltum mole bengkak, uvula terdorong, detritus
Dinding belakang faring ada benjolan unilateral
rontgen
rontgen
Riwayat sakit gigi, mengorek atau mencabut gigi
TERAPI
Antibiotik, obat kumur, pungsi, insisi, tonsilektomi
AB parenteral dosis tinggi, insisi abses
AB parenteral dosis tinggi, insisi
AB parenteral dosis tinggi, insisi
AB parenteral dosis tinggi, insisi
ETIOLOGI
Komplikasi tonsilitis
Penjalaran infeksi
Selulitis ec penjalaran infeksi
Ludwig’s Angina • Ludwig’s angina is a rapidly progressing polymicrobial cellulitis of the sublingual and submandibular spaces • Rarely become fluctuant • Results in life threatnening air way compromise • The organisms most often isolated in patients with the disorder are Streptococcus viridans and Staphylococcus aureus • Anaerobes also are frequently involved, including bacteroides, peptostreptococci, and peptococcus, fusiform bacilli , diptheroids. • Non specific mixed infection
Ludwig’s Angina Anatomy
submaxillary space = submylohyoid space
• • • •
The submandibular space is composed of two spaces separated anteriorly by the mylohyoid muscle: the sublingual space, which is superior, and the submaxillary space, which is inferior. These 2 spaces can communicate each other by mylohyoid cleft Ludwigs angina begins in the submaxillary space and secondarily involves submental and sublingual space Typically affected structures, in order of most frequent contamination, are the anterior neck, the pharyngomaxillary space, the retropharynx, and the superior mediastinum.
193. Sore Throats
Ludwig’s Angina • The spread of infection is halted anteriorly by the mandible and inferiorly by the mylohyoid muscle. • The infectious process expands superiorly and posteriorly, elevating the floor of the mouth and the tongue. • The hyoid bone limits the process inferiorly, and swelling spreads to the anterior aspect of the neck, causing distortion and a “bull neck” appearance. Spread of process superiorly and posteriorly elevates floor of mouth and tongue. In anterior spread, the myoid bone limits spread inferiorly, causing a “bull neck” appearance.
• This then evolves to an infectious compartment syndrome of the submandibular and sublingual spaces.
Ludwig Angina: Etiology • It is primarily caused by infection of the second and third molars as the roots of these teeth have direct access to the submaxillary space. • Other causes of Ludwig's angina include: – Dental abscesses – Dental injury or trauma can also cause Ludwig's Angina – Peritonsillar/parapharyngeal abscesses – Mandibular fractures – Oral lacerations and piercings – Oral cancer – Pre-disposing factors include: Poor oral hygiene, Dental caries, Recent dental treatment or tooth extraction
Clinical Manifestations • Bilateral ‘wood like’ swelling in the submandibular, sublingual and submental spaces • Double chin appearance • Skin is tense and tends to pit and blanch on pressure • Rapidly spreading edema • Edema and congestion of floor of the mouth • Elevation and protrusion of tongue • Elevation of the tongue is associated with dysphagia, odynophagia, dysphonia and cyanosis • Poor oral hygeine, tooth pain • Tachypnea, and tachycardia and fever • Hoarseness, stridor, respiratory distress, decreased air movement, cyanosis
On Oral examination • Board like swelling of floor of mouth • Elevation of the tongue • Nonfluctuant suprahyoid swelling typify the disease process. There is typically a bilateral submandibular edema, • The swelling of the anterior soft tissues of the neck above the hyoid bone sometimes leads to the characteristic “bull’s neck” appearance of affected patients. • Adenopathy and fluctuance are not usually seen in patients with Ludwig’s angina
Tongue protrusion culminating in rapid and progressive airway obstruction.
Treatment of Ludwig’s Angina • Treatment includes assessment and protection of the airway – Tracheostomy if nescessary
• use of intravenous antibiotics – Recommended initial antibiotics are high-dose penicillin G, sometimes used in combination with an anti-staphylococcal drug or metronidazole IV. – In penicillin-allergic patients, clindamycin hydrochloride is a good choice. – Alternative choices include cefoxitin sodium or combination drugs such as ticarcillin-clavulanate, piperacillin-tazobactam or amoxicillin-clavulanate
• Surgical evaluation and, if necessary, operative decompression. – Surgical drainage may be indicated if no clinical improvement is seen within 24 hours.
• Intravenous dexamethasone sodium phosphate given for 48 hours, has been beneficial in reducing edema, which helps maintain airway integrity and enhances antibiotic penetration.
MANAGEMENT ALGORITHM OF LUDWIG’S ANGINA
Tracheostomy and drainage
Abses Leher Dalam
Peritonsillar abscess
Parapharyngeal abscess
Retropharyngeal abscess
Submandibular abscess
Abses Peritonsil Pe r i t o n s i l l a r a b s c e s s Inadequately treated tonsillitis spread of infection pus formation between the tonsil bed & tonsillar capsule
Symptoms & Signs Quite severe pain with referred otalgia Odynophagia & dysphagia drooling Irritation of pterygoid musculature by pus & inflammation trismus unilateral swelling of the palate & anterior pillar displace the tonsil downward & medially uvula toward the opposite side
T h e ra p y Needle aspiration: if pus (-) cellulitis antibiotic. If pus (+) abscess . If pus is found on needle aspirate, pus is drained as much as possible.
Abses Submandibula
200. Audiologi dasar Audiometri nada murni:
• Pada interpretasi audiogram harus ditulis (a) telinga yang mana, (b) apa jenis ketuliannya, (c) bagaimana derajat ketuliannya, misalnya: telinga kiri tuli campur sedang • Dalam menentukan derajat ketulian, yang dihitung hanya ambang dengar hantaran udaranya (AC) saja. • Ambang Dengar (AD): bunyi nada murni terlemah pada frekuensi tertentu yang masih dapat didengar oleh telinga seseorang. • Perhitungan derajat ketulian: (AD 500 Hz + AD 1000 Hz + AD 2000 Hz + AD 4000 Hz) / 4 • Derajat ketulian ISO: – – – – – –
0-25 dB >25-40 dB >40-55 dB >55-70 dB >70-90 dB >90 dB
: normal : tuli ringan : tuli sedang : tuli sedang berat : tuli berat : tuli sangat berat
Audiologi Khusus • Audiometri impedans – Memeriksa kelenturan membran timpani dengan tekanan tertentu pada meatus akustikus eksterna, meliputi timpanometri, fungsi tuba, & refleks tapedius
• Audiometri tutur – Menilai kemampuan pasien dalam pembicaraan sehari-hari – Pasien mengulangi kata-kata yang didengar melalui tape – Jumlah kata yang benar speech discrimination score: • • • • •
90-100%: normal 75-90%: tuli ringan 60-75%: tuli sedang 50-60%: sukar mengikuti pembicaraan seharihari <50%: tuli berat