PATOFISIOLOGI GAGAL GINJAL KRONIS KARENA HIPERTENSI DAN ASAM URAT PATOFISIOLOGI
Hipertensi merupakan keadaan di mana tekanan darah berada di atas batas normal, yaitu di atas 120/80. Peningkatan tekanan darah berkepanjangan akan merusak pembuluh darah di sebagian besar tubuh. Di dalam ginjal terdapat jutaan pembuluh darah kecil yang berfungsi sebagai penyaring guna mengeluarkan produk sisa darah. Jika pembuluh darah di ginjal rusak, maka kemungkinan aliran darah berhenti membuang limah dan cairan esktra dari tubuh. Bila ekstra cairan di dalam pembuluh darah meningkat, maka bisa meningkatkan tekanan darah. Naiknya tekanan darah memang bisa menjadi salah satu gejala munculnya penyakit ginjal. Namun, seperti halnya hipertensi, penyakit ginjal kronik (PGK) seringkali tidak bergejala. Secara umum PGK bisa didefinisikan sebagai ketidaknormalan struktur atau fungsi ginjal, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerular (LFG) sehingga menimbulkan kerusakan ginjal. Akibat gangguan fungsi ginjal itu pasien bisa mengalami muntah-muntah, bengkak pada kaki, atau pucat.
Pada gagal ginjal kronik fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein yang normalnya diekskresikan ke dalam urin tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah, maka gejala akan semakin berat. Penurunan jumlah glomeruli yang normal menyebabkan penurunan klirens substansi darah yang seharusnya dibersihkan oleh ginjal. Dengan menurunnya glomerulo filtrat rate (GFR) mengakibatkan penurunan klirens kreatinin dan peningkatan kadar kreatinin serum. Hal ini menimbulkan gangguan metabolisme protein dalam usus yang menyebabkan anoreksia, nausea maupan vomitus yang menimbulkan perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh. Peningkatan ureum kreatinin sampai ke otak mempengaruhi fungsi kerja, mengakibatkan gangguan pada saraf, terutama pada neurosensori. Selain itu Blood Ureum Nitrogen (BUN) biasanya juga meningkat. Pada penyakit ginjal tahap akhir urin tidak dapat dikonsentrasikan atau diencerkan secara normal sehingga terjadi ketidakseimbangan cairan elektrolit. Natrium dan cairan tertahan meningkatkan resiko gagal jantung kongestif. Penderita dapat menjadi sesak nafas, akibat ketidakseimbangan suplai oksigen dengan kebutuhan. Dengan tertahannya natrium dan cairan bisa terjadi edema dan ascites. Hal ini menimbulkan resiko kelebihan volume cairan dalam tubuh, sehingga perlu dimonitor balance cairannya. Semakin menurunnya fungsi renal terjadi asidosis metabolik akibat ginjal mengekskresikan muatan asam (H+) yang berlebihan. Terjadi penurunan produksi eritropoetin yang mengakibatkan terjadinya anemia. Sehingga pada penderita dapat timbul keluhan adanya kelemahan dan kulit terlihat pucat menyebabkan tubuh tidak toleran terhadap aktifitas. Dengan menurunnya filtrasi melalui glomerulus ginjal terjadi peningkatan kadar fosfat serum dan penurunan kadar serum kalsium. Penurunan kadar kalsium serum menyebabkan sekresi parathormon dari kelenjar paratiroid. Laju penurunan fungsi ginjal dan perkembangan gagal ginjal kronis berkaitan dengan gangguan yang mendasari, ekskresi protein dalam urin, dan adanya hipertensi (Brunner dan Suddarth, 2001). Asam urat adalah produk metabolism purin. Purin (adenine dan guanine) merupakan konstituen asam nukleat. Jika terjadi penurunan filtrasi glomerulus pada gagal ginjal kronik dapat menyebabkan gangguan ekskresi asam urat dan terjadi akumulasi asam urat dalam darah ( hiperurikemia ). Selain itu, peningkatan kadar asam urat dalam urin dan serum dapat bergantung kepada fungsi ginjal, kecepatan metabolisme purin, dan asupan diet makanan yang mengandung purin (Sutedjo, 2007). Problem mayor hasil akumulasi biokimia tidak hanya urea saja,tetapi bermacam-macam elektrolit dan zat lainnya, terutama nitrogen. Urea dapat menyebabkan masalah pada saluran pencernaan dan bertanggung jawab pada kerapuhan pembuluh kapiler, serta menyebabkan purpura (lebam) pada pasien gagal ginjal. Walaupun terjadi peningkatan kadar asam urat, tetapi gejala klinik gout jarang terjadi. Selain itu, terjadi akumulasi molekul dengan bobot molekul 500-5000 Da dan nitrogen juga berkontribusi pada simptomsimptom non spesifik. Peritoneal dialysis merupakan metode yang efisien untuk membersihkan substansi ini, yang akan memicu peningkatan kualitas hidup pasien gagal ginjal. Gejala uremia seperti cepat lelah, lemah, sesak nafas, bingung, mual, muntah, perdarahan, dan hilang nafsu makan (Greene dan Harris, 2000).
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien gagal ginjal kronik yaitu: 1. Pemeriksaan laboratorium. Untuk menentukan ada tidaknya kegawatan, menentukan derajat GGK, menentukan gangguan sistem, dan membantu menetapkan etiologi. Blood ureum nitrogen (BUN)/kreatinin meningkat, kalium meningkat, magnesium meningkat, kalsium menurun, protein menurun. 2. Pemeriksaan Urinalisis. Berat jenis dan parameter kimianya yaitu pH dengan tes memakai dipstick, protein, glukosa 3. Pemeriksaan Elektrokardiogram (EKG). Untuk melihat kemungkinan hipertrofi ventrikel kiri, tanda-tanda perikarditis, aritmia, gangguan elektrolit (hiperkalemia, hipokalsemia). Kemungkinan abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan asam/basa. 4. Ultrasonografi (USG). Untuk mencari adanya faktor yang reversibel seperti obstruksi oleh karena batu atau massa tumor, dan untuk menilai apakah proses sudah lanjut. 5. Foto Polos Abdomen. Sebaiknya tanpa puasa, karena dehidrasi akan memperburuk fungsi ginjal. Menilai bentuk dan besar ginjal dan apakah ada batu atau obstruksi la in. 6. Pieolografi Intra-Vena (PIV). Dapat dilakukan dengan cara intravenous infusion pyelography, untuk menilai sistem pelviokalises dan ureter. 7. Pemeriksaan Pielografi Retrograd. Dilakukan bila dicurigai ada obstruksi yang reversibel. 8. Pemeriksaan Foto Dada. Dapat terlihat tanda-tanda bendungan paru akibat kelebihan air (fluid overload), efusi pleura, kardiomegali dan efusi perikadial.