MAKALAH FISIOLOGI LINGKUNGAN
PENGARUH INTENSITAS CAHAYA DENGAN PEMBERIAN NAUNGAN TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TANAMAN TEH
DISUSUN OLEH : 1. DEVI ALVIOLIANA
(16/407496/PPN/04147)
2. EKO SRIHARTANTO
(17/418736/PPN/04203)
3. PUTRI RATNASARI
(17/418739/PPN/04206)
4. WANRISKI FAUZI
(17/418742/PPN/04209)
5. WISKI IRAWAN
(17/418743/PPN/04210)
PROGRAM STUDI S2 AGRONOMI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA YOGYAKARTA 2017
I. PENDAHULUAN
2.1 Latar Belakang Teh merupakan salah satu tanaman perkebunan andalan di Indonesia selain tanaman perkebunan lainnya seperti kelapa sawit, karet, kopi dan kakao. Perkebunan teh di Indonesia dikelola oleh perkebunan negara, swasta dan rakyat dengan luas mencapai 10.320.000 ha di tahun 2016 (BPS,2017). Luas perkebunan teh di Indonesia megalami penurunan hampir di setiap tahun dikarenakan alih fungsi lahan ke komoditas lain maupun ke sektor non-pertanian. Tantangan industri teh di masa yang akan dating akan semakin berat bukan saja masalah konversi ke tanaman lain namun juga hambatan yang diakibatkan perubahan iklim global yang dapat mempengaruhi produksi, untuk pemahaman mengenai faktor lingkungan sebagai pendukung perkebunan teh harus dipahami dengan baik untuk menjaga produktivitas tetap lestari. Tanaman teh merupakan salah satu komoditas perkebunan penting di Indonesia. Produksi teh pada tahun 2015 mencapai 132.615 ton dan produktivitas 1.495 kg/ha dengan luas areal 114.891 ha, sedangkan tahun 2016 angka sementara produksi teh yaitu 144.015 ton dan produktivitas 1.618 kg/ha dengan luas areal 117.268 ha (Ditjenbun, 2016). Dalam rangka peningkatan produksi baik kualitas maupun kuantitas, maka perlu diperhatikan teknik pengelolaannya mulai dari persiapan lahan, pemeliharaan, pemanenan sampai ke bagian pengolahan. Aspek teknis budidaya yang kurang tepat dan efektif, dapat menurunkan produktivitas dan kualitas tanaman teh. Menurut Widayat dan Dini (2011) produksi teh sangat dipengaruhi oleh faktor tanah dan iklim, terutama iklim mikro. Tanaman teh yang berasal dari negara subtropis membutuhkan kondisi lingkungan optimal: suhu udara 12-25 oC, kelembapan udara di atas 60%, dan intensitas penyinaran matahari 70%. Cahaya sangat menentukan proses fotosintesis tanaman, jika tanaman tidak dapat melakukan fotosintesis karena kekurangan sinar matahari maka tanaman tersebut tidak dapat tumbuh dengan baik dan tidak dapat menghasilkan produksi yang diinginkan. Pada tanaman teh, fotosintesis sangat menentukan kualitas pucuk daun sehingga fotosintesis harus berjalan dengan baik agar kualitas tersebut dapat dicapai. Namun, cahaya tidak selalu berperan positif terhadap pertumbuhan tanmaan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa Pt teh menurun karena adanya fotoinhibisi ketika intensitas cahaya meningkat di atas 1400- 1500 μmol m-2 s-1 (Smith et al., 1993; Mohotti dan Lawlor, 2002). Fotoinhibisi adalah serangkaian reaksi kimia yang menghambat berbagai aktivitas PS II, PS I kurang rentan terhadap kerusakan akibat cahaya dibandingkan dengan PS II. Kemudian
Smith et al. (1993a) mengamati pengaruh interaksi antara fotoinhibisi dan N. Fotoinhibisi meningkat seiring dengan penurunan konduktansi stomata (gs) karena meningkatnya radiasi, suhu daun (TL) dan defisit tekanan uap air (VPD). Dalam studi lapangan pada teh produktif peningkatan radiasi, TL dan VPD menuju tengah hari, dapat menurunkan gs dan konsentrasi CO2 sub-stomata (Ci), sehingga menurunkan RuBP carboxylation dan fotosintesis bersih (Pn). Penurunan karboksilasi menyebabkan sisa energi eksitasi disalurkan ke jalur non-fotokimia sehingga meningkatkan fotoinhibisi. Fotoinhibisi dapat dikurangi dengan modifikasi kondisi lingkungan agar lebih terkendali. Studi dengan tanaman teh muda di bawah kondisi lingkungan yang terkendali menunjukkan bahwa naungan meningkatkan Pn dengan meningkatkan efisiensi PSII dan laju transpor elektron linier (Mohotti dan Lawlor 2002). Naungan juga diperlukan saat komdisi kekeringan, karena naungan mengurangi transpirasi sat terjadi kekeringan. Selain itu, naungan mengurangi fotoinhibisi dengan meningkatkan gs (sehingga memungkinkan masuknya CO2 lebih besar) dan dengan demikian menyalurkan proporsi energi eksitasi yang lebih besar ke arah karboksilasi (yaitu pendinginan fotokimia meningkat). Hasil serupa juga diperoleh dalam penelitian lapangan tentang teh matang (Mohotti dan Lawlor, 2002). Menurut Das et al. (2010) penanaman pohon pelindung di perkebunan teh juga akan meningkatkan keanekaragaman hayati yang diharapkan dapat menurunkan masalah hama yang biasanya dihadapi perkebunan teh yang diusahakan secara monokultur. Penanaman pohon pelindung di perkebunan teh juga merupakan cara manipulasi habitat yang akan membantu konservasi musuh alami dengan menyediakan perlindungan, nektar, polen, dan inang alternatif bagi musuh alami. 1.2 Tujuan Tujuan dari makalah ini adalah untuk mengkaji mengenai pengaruh intensitas cahaya terhadap fisiologi tanaman teh, dan mengkaji mengenai efektifitas tanaman penaung dalan meminimalisir fotoinhibisi yang diakibatkan cahaya matahari.
II. PENGARUH NAUNGAN DENGAN INTENSITAS CAHAYA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TANAMAN TEH
2.1 Intensitas Cahaya pada Tanaman Teh Cahaya matahari adalah sumber energi utama bagi kehidupan seluruh makhluk hidup di dunia. Bagi tumbuhan khususnya yang berklorofil, cahaya matahari sangat menentukan proses fotosintesis.
Fotosintesis
adalah
proses
dasar
pada
tumbuhan
untuk
menghasilkan
makanan. Makanan yang dihasilkan akan menentukan ketersediaan energi untuk pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan. cahaya merupakan faktor penting terhadap berlangsungnya fotosintesis,
sementara
fotosintesis
merupakan
proses
yang
menjadi
kunci
dapat
berlangsungnya proses metabolisme yang lain di dalam tanaman. Pengaruh cahaya juga berbeda pada setiap jenis tanaman. Tanaman C4, C3, dan CAM memiliki reaksi fisiologi yang berbeda terhadap pengaruh intensitas, kualitas, dan lama penyinaran oleh cahaya matahari (Onrizal, 2009). Selain itu, setiap jenis tanaman memiliki sifat yang berbeda dalam hal fotoperiodisme, yaitu lamanya penyinaran dalam satu hari yang diterima tanaman. Perbedaan respon tumbuhan terhadap lama penyinaran atau disebut juga fotoperiodisme, menjadikan tanaman dikelompokkan menjadi tanaman hari netral, tanaman hari panjang, dan tanaman hari pendek. Tanaman teh memiliki nama latin Camellia sinensis L.(O.) Kuntze, tanaman ini tumbuh baik di dataran tinggi pada
ketinggian diatas 800 mdpl, faktor-faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan dan produksi tanaman teh antara lain suhu, kelembaban, tanah, dan cahaya matahari. Salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan produksi teh adalah intensitas cahaya matahari yang sangat berperan pada proses fotosintesis. Tanaman teh sangat peka terhadap peningkatan intensitas cahaya maka itu pada perkebunan teh kita sering menjumpai tanaman penaung yang timbuh di antara tanaman teh yang teratur pada jarak tanam tertentu, selain sebagai pelindung dari intesitas cahaya pohon pelindung juga berfungsi untuk mengurangi hantaman angin. Intensitas cahaya yang rendah akan menyebabkan fotosintesis tanaman menjadi kurang maksimal, namun pada tanaman teh intensitas cahaya yang tinggi akan menyebabkan tanaman mengalami gangguan pertumbuhan dan metabolisme karena terjadi fotoinhibisi, yang ditandai dengan
menurunnya
laju
fotosisntesis
tanaman
yang
berdampak
pada
menurunnya
pembentukan asimilat sehingga pertumbuhan terhambat (Karunaratne et al., 2003). Selain itu intensitas yang berlebih juga menyebabkan menurunnya pembentukan senyawa metabolit
sekunder seperti katekin (Saijo, 1980) sehingga dapat mengurangi kualitas rasa dari teh yang dihasilkan. Intensitas cahaya matahari menunjukkan pengaruh primer pada fotosintesis, dan pengaruh sekundernya pada morfogenetik. Pengaruh terhadap morfogenetik hanya terjadi pada intensitas rendah
(Fitter dan Hay, 1991). Pengaruh tanaman dalam kaitannya dengan
intensitas cahaya salah satunya adalah penempatan daun dalam posisi di mana akan diterima intersepsi cahaya maksimum. Daun yang menerima intensitas maksimal adalah daun yang berada pada tajuk utama yang terkena sinar matahari (Fitter dan Hay, 1991). 2.2 Tanaman Penaung pada Budidaya Tanaman Teh Tanaman penaung di perkebunan teh memberikan manfaat yang baik bagi adaptasi lingkungan tanaman teh terutama terhadap cekaman intensitas matahari yang tinggi, seperti hasil penelitian Mohotti and Lawlor (2002) yang menyatakan bahwa naungan berperan mengurangi dampak fotoinhibisi hanya di hari yang cerah, namun kejadian intensitas matahari yang tinggi pada hari cerah di tanaman teh yang ditanam di dataran tinggi sangat jarang terjadi sepanjang tahun dan kemungkinan hanya terhadi beberapa hari dalam sebulan sehingga tidak begitu berpengaruh terhadap produksi, sehingga efektivitasnya perlu dikaji kembali. Efektivitas tanaman penaung justru sangat bermanfaat pada pertanaman teh di dataran yang lebih rendah, seperti yang dilaporkan oleh Gamade et al. (2007) yang menyatakan bahwa level naungan antara 30%-40% merupakan level optimum pada pertanaman teh di dataran lebih rendah sampai 600 mdpl. Selain mempengaruhi jumlah cahaya matahari, tanaman penaung juga berperan dalam mempengaruhi faktor lingkungan lainnya seperti temperatur tanah dan udara, kelembaban dan kimia tanah serta meningkatkan senyawa-senyawa bermanfaat yang terkandung di daun teh (Hirai et al ., 2008). Karunaratne et al . (2003) mengatakan bahwa manajemen naungan yang buruk akan menyebabkan buruknya produktivitas tanaman teh. Buruknya manajemen tersebut dipicu oleh keacuhan pemilik perkebunan akan pentingnya tanaman penaung dalam sistem budidaya tanaman teh. Othieno (1987) melaporkan bahwa pentingnya keberadaan tanaman penaung masih menjadi suatu perdebatan, karena beberapa penelitian menyatakan tanaman penaung dapat meningkatkan hasil tanaman (Barua dan Gogoi, 1979), dan beberapa penelitian menyatakan bahwa tanaman penaung akan menurunkan hasil tanaman (Obaga dan Othieno, 1983). Penurunan hasil tanaman teh karena naungan dipicu oleh ledakan penyakit blister blight karena kelembaban yang tinggi pada tanaman yang dinaungi. Namun, permasalahan yang lebih rumit terjadi setelah tanaman penaung dihilangkan, yaitu penurunan produktivitas hingga 25%.
Tanaman naungan merupakan tanaman yang tumbuh di dekat tanaman budidaya dan menempati ruang yang tidak bersaing dengan tanaman yang dibudiayakan yang biasanya lebih rendah. Intensitas penaungan perlu diatur sedemikian rupa sehingga masih dapat meneruskan cahaya 60-80% dari cahaya langsung. Manfaat yang didapatkan dari tanaman pelindung/peneduh antara lain sebagai pohon penaung untuk menjaga iklim pada saat musim kemarau agar kelembabannya tetap stabil dan pada musim hujan untuk menahan erosi, sebagai pemecah angin, penambah bahan organik, mulsa, aerasi tanah, konservasi, menstabilkan kondisi lingkungan, mengurangi intensitas cahaya matahari, kelembaban udara dan tanah. Berdasarkan fungsinya, terdapat dua macam tanaman penaung, yaitu penaung sementara dan penaung tetap. 1. Penaung sementara Disebut penaung sementara karena penggunaannya hanya pada saat tanaman teh masih muda (belum berproduksi). Fungsinya untuk melindungi daun-daun muda dari tiupan angin kencang serta teriknya cahaya matahari, syarat spesies tanaman yang dapat digunakan untuk penaung sementara, yaitu pertumbuhan tanamannya tegak, pertumbuhannya cepat, memiliki struktur kayu yang lunak sehingga tahan terhadap pemangkasan, sistem perakarannya tidak didominasi oleh akar samping, dan idealnya berasal dari suku leguminosa. Jenis tanaman yang biasa digunakan sebagai tanaman penaung sementara antara lain Laucaena glauca, Moghania macrophylla, Flemingia congesta, dan Musa sp. 2. Penaung Tetap Tanaman penaung yang tetap keberadaannya harus dipertahankan secara terusmenerus selama teh masih hidup. Beberapa syarat spesies tanaman penaung tetap yang ideal, yaitu bukan merupakan inang hama dan penyakit, tahan terhadap angin kencang, tidak mengandung senyawa alelopat, dan mampu meloloskan cahaya 60-80%. Spesies tanaman penaung tetap yang banyak digunakan antara lain Leucaena sp. (lamtoro), Gliricidia sepium (gamal), Erythrina lithosperma (dadap), Cocos nucifera (kelapa), dan Areca catechu (pinang). Keberadaan pohon pelindung tetap pada areal tanaman teh menghasilkan (TM) dapat menurunkan suhu udara, meningkatkan kelembaban relatif (RH) dan menurunkan intensitas cahaya pada musim kemarau, sehingga iklim mikro terjaga tetap sesuai untuk pertumbuhan tanaman teh, dapat menekan serangan populasi hama dan meningkatkan populasi musuh alami. keberadaan pohon pelindung tetap pada areal tanaman teh menghasilkan dapat
meningkatkan produksi pucuk teh sebanyak 20% pada musim hujan dan 55% pada musim kemarau. 2.3 Pengaruh Naungan terhadap Fotosintesis Tanaman Teh Kekurangan cahaya matahari akan mengganggu proses fotosintesis dan pertumbuhan, meskipun kebutuhan cahaya tergantung pada jenis tumbuhan. Selain itu, kekurangan cahaya saat perkembangan berlangsung akan menimbulkan gejala etiolasi, dimana batang kecambah akan tumbuh lebih cepat namun lemah dan daunnya berukuran kecil, tipis dan berwarna pucat (tidak hijau). Gejala etiolasi tersebut disebabkan oleh kurangnya cahaya atau tanaman berada di tempat yang gelap. Cahaya juga dapat bersifat sebagai penghambat (inhibitor) pada proses pertumbuhan, hal ini terjadi karena dapat memacu difusi auksin ke bagian yang tidak terkena cahaya. Cahaya yang bersifat sebagai inhibitor tersebut disebabkan oleh tidak adanya cahaya sehingga dapat memaksimalkan fungsi auksin untuk penunjang sel – sel tumbuhan sebaliknya, tumbuhan yang tumbuh ditempat terang menyebabkan tumbuhan – tumbuhan tumbuh lebih lambat dengan kondisi relatif pendek, lebih lebar, lebih hijau, tampak lebih segar dan batang kecambah lebih kokoh. Tanaman teh merupakan tanaman tanaman yang termasuk dalam golongan C3 pada sistem fotosintesisnya (Roberts dan Keys, 1978). Pada kondisi lingkungan yang normal, fotosintesis bersih pada tanaman teh memiliki nilai 19%. Hampir keseluruhan dari fotosintesis terjadi di dau teh, meskipun fotosintesis juga terjadi pada batangnya yang berwarna hijau (Sivapalan, 1975). Laju fotosintesis bersih (Pn) dari daun teh dewasa yang telah terbuka secara penuh ( fully-expanded mature tea) menunjukkan respon asimtotik yang khas terhadap meningkatnya intensitas cahaya. Terdapat variasi yang cukup besar dalam intensitas cahaya jenuh yang dilaporkan, berkisar antara 600- 800 μmol PAR m-1s-1, melalui 1.000 PAR m -1s-1, hingga 1.200 -1.500 μmol PAR m-1s-1 (Mohotti, 2004). Variasi tersebut mengindikasikan bahwa memang terdapat interaksi antara genetic dengan lingkungan tumbuh tanaman teh (Okano et al ., 1995). Demikian pula pada laju fotosintesis maksimum dalam kondisi jenuh cahaya (Pmax) bervariasi dengan genotipe dan kondisi lingkungan dimana teh ditanam. Rentang nilai dari Pmax yang telah dilaporkan oleh Karunaratne et al . (2003) adalah sebesar 2-11 μmol PAR m -1s-1. Nilai tersebut setara dengan nilai-nilai Pmax yang diperoleh untuk beberapa tanaman tahunan lainnya seperti kelapa sawit (Smith, 1989), kakao (Balasimha et al., 1991), karet (Gunasekara et al., 2007) dan kelapa (Nainanayke, 2004). Namun, tidak ada korelasi yang jelas antara Pmax dan potensi hasil di seluruh genotipe teh. Selain itu, semua parameter kurva respon cahaya dari kultivar tertentu menunjukkan variasi sistematis dengan suplai N dan iradiasi pertumbuhan dan pada tahap
yang berbeda dari siklus pemangkasan. Biasanya, Pmax menurun selama bagian akhir dari siklus pemangkasan secara paralel dengan peningkatan laju respirasi gelap. Tabel 1. Rerata parameter fotosintetis (QE, quantum efficiency, μmol -1 CO2μmol-1 PAR; Pmax, laju fotosintesis maksimum jenuh cahaya, R d merupakan laju respirasi gelap, μmol dari kurva Pn-C i; Vcmax, laju maksimum dari karboksilasi Rubisco , μmol CO2 m-2 s-1; dan RSL, pembatasan stomata relative pada fotosintesis, % cahaya dan kurva respon CO2 terhadap tanaman teh dewasa di Sri Lanka. HN = Aplikasi N tinggi (720 kg ha-1 yr-1); MN = aplikasi N medium (360 kg ha-1 yr-1); NN = Tidak ada aplikasi N (Mohotti, 1998).
Tabel
tersebut
menunjukkan
terdapat
hubungan
antara
beberapa
parameter
fotosintesis dengan aplikasi pupuk N yang diberikan pada lahan pertanaman teh. parameter fotosintesis yang diamati antara lain laju fotosintesis bersih pada saat cahaya jenuh, efisiensi kuantum, laju maksimum dari karboksilasi rubisco, pembatasan stomata relatif, serta kurva respon CO2. Dapat dilihat bahwa terdapat interaksi pada saat tanaman diberi naungan dengan pemupukan N. Pada saat tanaman tidak diberi naungan, Pmax memiliki nilai tertinggi pada aras pemberian pupuk N medium, namun nilai QE, R d, Vmax, dan RSL nya paling rendah pada saat tanaman diberi aras perlakuan tanpa aplikasi N. Namun pada perlakuan dengan penaung sebanyak 35%, Pmax terjadi pada saat tanaman diberi pupuk N medium, namun nilai QE paling rendah berada pada perlakuan N medium, dan nilai Vmax paling rendah juga terdapat pada aras perlakuan N medium. Pada perlakuan naungan sebesar 75%, nilai Pmax pada berbagai aras pemberian pupuk memiliki nilai yang paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan penaungan yang lain. Hal tersebut menunjukkan bahwa organel fotosintesis dapat berfungsi secara maksimum pada saat tanaman diberi perlakuan naungan. Berdasarkan hasil penelitian Mohotti (1998) tersebut dapat dikatakan bahwa tanaman teh merupakan tanaman yang adaptif terhadap naungan. Nilai Pn, konduktansi stomata, dan efisiensi kuantum menunjukkan nilai yang tinggi pada saat tanaman diberi naungan. Efisiensi kuantum merupakan nilai yang menunjukkan perbandingan jumlah pasangan lubang elektron yang terjadi secara optis dengan jumlah foton yang dating.
Efisiensi kuantum yang meningkat akan memberikan energy yang besar pada tanaman untuk dapat melakukan fotosintesis, sehingga akan meningkatkan nilai Pmax. Namun, nilai Pn pada tanaman teh akan menurun akibat adanya fotoinhibisi saat tanaman teh terpapar cahaya yang memiliki intensitas sebesar 1400- 1500 μmol m -2 s-1 (Smith et al ., 1993).
Gambar 1. Kurva Respon Cahaya Pada Perlakuan Naungan dan Tanpa Naungan pada Lahan Pertanaman Teh Mahotti (1998) juga melaporkan bahwa pada pengamatan Gambar 1 menunjukkan pemberian naungan rata-rata memiliki laju fotosintesis yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman yang tidak dinaungi. Nilai PAR dari rentang 500 – 2.500 μmol m-2 s1
menunjukkan bahwa energi radiasi matahari yang digunakan untuk fotosintesis memiliki
nilai pada rentang 500 – 2.500 μmol m-2 s-1. Terlihat bahwa perlakuan pemberian naungan dapat meningkatkan serapan energi radiasi yang dapat digunakan untuk fotosintesis. Pada nilai 800 μmol m-2 s -1, fotosintesis tanaman teh mengalami jenuh cahaya. Intensitas cahaya di atas 800 μmol m-2 s-1 menunjukkan telah terjadi fotoinhibisi pada tanaman teh, yang menunjukkan bahwa intensitas cahaya di atas 800 μmol m-2 s-1 akan mengakibatkan tanaman
mengalami
fotoinhibisi.
Meningkatnya
laju
fotosintesis
kemudian
akan
meningkatkan produksi bahan kering untuk pertumbuhan. Menurut Mahotti (1998), naungan dapat meningkatkan efisiensi fotosintesis pada tanaman teh, namun dapat menurunkan laju respirasi gelap pada tanaman teh. sehingga produksi asimilat akan meningkat dan dapat
meningkatkan kualitas dan produktivitas pucuk daun teh sebagai lubuk atau penerima asimilat.
Gambar 2. Variasi PAR pada teh dalam kondisi tidak ternaungi, dinaungi dengan pohon penaung, dan menggunakan penaung buatan (Karunarate et al ., 2013).
Karunarate et al . (2003) dalam hasil penelitiannya menunjukkan bahwa penggunaan tanaman penaung juga dapat mempengaruhi hasil dari tanaman teh, di Sri Lanka. Pada penelitian tersebut, PAR saat waktu menunjukkan siang hari. Pada saat siang hari, intensitas cahaya matahari akan maksimum, sehingga akan meningkatkan nilai PAR. Pada perlakuan tanpa naungan, nilai PAR pada saat intensitas cahaya matahari paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan dengan naungan, baik naungan buatan maupun naungan dengan pohon penaung. Tingginya nilai PAR akan menyebabkan tanaman teh menurun laju fotosintesisnya pada kondisi jenuh cahaya. Tanaman penaung akan menyebabkan PAR rendah, sehingga tanaman teh dapat secara optimal menyerap radiasi matahari. Namun, penaung yang terlalu rapat, justru akan menyebabkan menurunnya fotosintesis.
Intensitas cahaya matahari maksimum akan terjadi pada saat waktu menunjukkan 13.00 di wilayah Sri Lanka. Intensitas cahaya matahari tinggi akan diikuti dengan suhu udara yang meningkat. Intensitas cahaya matahari tersebut juga akan menyebabkan beberapa permasalahan seperti terjadinya fotoinhibisi, terganggunya metabolisme karena pengaruh suhu tinggi, serta Vapor pressure Deficit yang akan menurunkan konduktansi stomata. Menurunnya konduktansi stomata akan menyebabkan penyerapan CO 2 pada tanaman teh menurun, serta menyebabkan konduktansi mesofil dalam mengalirkan CO 2 pada klorofil menurun. Kondisi A merupakan kondisi lingkungan pada saat wilayah tersebut memiliki cuaca yang cerah (daylight ) tanpa adanya awan. Kondisi B merupakan kondisi saat cuaca pada wilayah sedikit berawan, sedangkan kondisi C merupakan kondisi saat cuaca berawan tebal atau mendung. Variasi PAR ditunjukkan pada kondisi A, dimana cuaca cerah tanpa adanya awan. Pada cuaca yang mendung (kondisi C), nilai PAR pada waktu pengamatan menunjukkan nilai yang relatif sama pada perlakuan naungan maupun tanpa naungan. Cuaca mendung ternyata juga dapat menjadi suatu penghambat intensitas cahaya matahari yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman teh. Kondisi A memiliki laju fotosintesis lebih rendah sebanyak 16% pada kondisi tanpa naungan dibandingkan dengan kondisi dengan naungan. Begitu pula pada kondisi B, kondisi tanpa naungan memiliki laju fotosintesis lebih rendah 16% dibandingkan dengan kondisi dengan naungan. Namun pada kondisi C, laju fotosintesis pada kondisi tanpa naungan lebih rendah 20% dibandingkan dengan kondisi dengan naungan. Hal tersebut membuktikan bahwa tanaman teh memang sangat membutuhkan tanaman penaung untuk mendukung pertumbuhan dan produktivitasnya.
Gambar 3. Pengaruh Naungan terhadap Hasil Pucuk Daun Teh
Karunarate et al . (2003) juga menunjukkan bahwa penggunaan naungan yang berasal dari tegakan tanaman dapat meningkatkan produktivitas tanaman teh. Pada gambar 3, disajikan data produksi pucuk daun tanaman teh per kg/ha/tahun. Tanaman yang ditanam dibawah tegakan tanaman penaung memiliki nilai produksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan naungan buatan dan tanpa naungan. Naungan buatan memiliki nilai produktivitas yang paling rendah, bahkan lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan tanpa naungan. Hal tersebut menunjukkan bahwa kebutuhan naungan pada tanaman teh memang terbatas pada rentang tertentu saja, yaitu 70% di daerah Sri Lanka. Dalam penelitian tersebut, kerapatan pada penaung buatan diberikan hingga 90%, sedangkan tegakan tanaman penaung
memberikan
kerapatan
hingga
70%.
Naungan
yang
terlalu
rapat
akan
menyebabkan PAR menjadi rendah sehingga laju fotosintesis akan terganggu. Tabel 2. Pengaruh naungan dan posisi tajuk terhadap anatomi daun teh (Wijeratne et al ., 2008)
Hasil penelitian dari Wijeratne et al . (2008) menunjukkan bahwa naungan dan posisi tajuk atau kanopi dapat mempengaruhi karakteristik dari daun teh. Semakin dalam posisi daun, maka ketebalan daunnya akan semakin rendah. Perlakuan naungan medium memberikan nilai ketebalan daun yang paling tinggi, baik pada posisi daun bagian atas maupun dalam. Semakin dalam posisi daun pada tanaman, maka ketebalan lapisan palisade akan semakin rendah atau berkurang. Namun, ketebalan lapisan palisade juga akan berkurang dengan semakin rapatnya naungan yang diberikan. Perbedaan struktur daun dari
perlakuan tanpa naungan dan naungan memiliki pengaruh penting untuk gradien cahaya dan penyerapan cahaya di dalam daun (Pearcy, 1998). Spons mesofil cukup efektif dalam menyebarkan cahaya di dalam daun, dan membuat penyerapan cahaya lebih efektif. Fungsi palisade dalam penyaluran cahaya dari sinar matahari tidak diperlukan pada perlakuan naungan. Oleh karena itu perubahan anatomis yang disebutkan di atas pada daun teh di bawah kondisi naungan mendukung penyerapan cahaya di lingkungan seperti itu. Berbeda dengan konduktansi stomata, indeks stomata tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan antara perlakuan naungan dengan posisi daun di kanopi. Hasil ini mungkin menunjukkan bahwa jumlah stomata per satuan luas bukanlah faktor yang dapat diubah karena kondisi lingkungan. Namun, jumlah stomata yang terbuka dan ukuran pori stomata dimungkinkan menunjukkan adaptasi terhadap lingkungan tanpa naungan. Tabel 3 Pengaruh Penggunaan Naungan terhadap Kandungan Katekin pada Teh
Sumber: Wang et al. (2012). Kualitas daun teh ditentukan oleh kandungan katekin yang berasal dari senyawa flavonoid. Katekin mempengaruhi aroma dan rasa teh. senyawa
kompleks
yang
tersusun
atas
epikatekin
Katekin dalam teh merupakan (EC),
epikatekin
galat
(ECG),
epigalokatekin (EGC), epigalokatekin galat (EGCG), dan galokatekin (GC). Intensitas sinar matahari berpengaruh terhadap kandungan katekin pada teh, semakin tinggi intensitas cahaya semakin tinggi kandungan katekin. Pemberian naungan pada teh akan mengurangi intensitas cahaya, sehingga total katekin juga akan menurun. Logika tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Anjarsari (2016) bahwa umumnya hasil biomassa teh akan tinggi di wilayah dengan suhu lebih dari 16 oC, sedang kualitas mempunyai tendensi yang berkebalikan dengan hasil tersebut. Dapat diartikan bahwa bahwa hasil biomassa teh akan tinggi di lokasi yang rendah, dan biomassa rendah pada lokasi yang tinggi, sedang kualitas teh (katekin) mempunyai tendensi yang berkebalikan dengan hasil teh tersebut. Sehingga disini dapat diketahui bahwa pemberian naungan dapat meningkatkan biomassa teh namun mengurangi kadar katekin.
III.
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kesimpulan berdasarkan pembahasan di atas adalah teh merupakan tanaman yang sangat sensitif terhadap keberadaan cahaya. cahaya dapat meningkatkan fotosintesis, namun apabila berlebihan dapat menyebabkan fotoinhibisi yang merugikan bagi tanaman teh tersebut. Pemberian naungan berfungsi menurunkan intensitas cahaya yang diterima tanaman teh terutama ketika terjadi kekeringan, sehingga mengurangi transpirasi dan pada akhirnya mengurangi stres tanaman teh terhadap cekaman kekeringan.
DAFTAR PUSTAKA Anjarsari, I.R.D. 2016. Katekin teh Indonesia : prospek dan manfaatnya. Jurnal Kultivasi 15(2): 99-106 BPS. 2017. Statistik Perkebunan Teh. . Diakses pada 17 November 2017 Das, S., R. Somnath, dan M. Ananda. 2010. Diversity of arthropod natural enemies in the tea plantations of North Bengal with emphasis on their association with tea pests. Current Science. 99. De Costa, W.A.J.M.; Mohotti, A.J.; Wijeratne, M.A. 2007. Ecophysiology of tea. Braz. J. Plant Physiol., 19(4):299-332 Ditjenbun. 2016. Buku Statistik Teh. Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian. Fitter ,A.H dan Hay. R.K.M. 1991. Fisiologi Lingkungan Tanaman. Gajah Mada. University Press. Hirai M, Yoshikoshi H, Kitano M, Wakimizu K, Sakaida T, Yoshioka T, Nitabaru J, Nakazono K, Hayashi M, Maki T. 2008. Production of value-added crop of green tea in summer under the shade screen net: canopy microenvironments. In: ISHS Acta Horticulturae 797: International Workshop on Greenhouse Environmental Control and Crop Production in Semi-Arid Regions, pp. 411 –417. Karunaratne, S., Asaeda, T., and Yutani, K. 2003. Growth performance of Phragmites australis in Japan: influence of geographic gradient. Environ. Exp. Bot. 50, 51 –66. Mohotti AJ dan Lawlor DW. 2002. Diurnal variation of photosynthesis and photoinhibition in tea: effects of irradiance and nitrogen supply during growth in the field. J. Exp. Bot. 53:313-322. Mohotti, A.J. 2004. Shade In Tea: Is It Beneficial? S.U Tea Sci. 69(1 & 2), 27-39 Obaga, S. M. O and Othieno C. O. 1987. Effect o f different types o f shades and nitrogen rates on tea yields; Preliminary results. Tea 8 (2), 57-62. Othieno, C. O. 1983. Studies on the use o f shade in tea plantations in Kenya. 1. Effects on nutrient uptake and yield o f tea-preliminary results. Tea 4 (2), 13-20. Rajkumar R, Marimuthu S and Muraleedharan N. 2002. Photosynthetic efficiency of sun and shade grown tea plants, S. L. J. Tea Sci. 67 (1/2), 67-75. Saijo, R. 1980. Effect of shade treatment on biosynthesis of catechins in tea plants. Plant and Cell Physiology 21 : 989 –998 Sivapalan, P. 1993. Shade and green manure trees in t e a - A holistic appraisal. S. L. J. Tea Sci. 62 (2), 41-46. Smith BG, Stephens W, Burgess PJ, Carr MKV. 1993. Effects of light, temperature, irrigation and fertilizer on photosynthetic rate in tea (Camellia sinensis). Exp. Agric. 29:291-306. Wang, Y.S., LiPing, G., Yu, S., YaJun, L. YanWei, T. Tao, X. 2012. Influence of shade on flavonoid biosynthesis in tea (Camellia sinensis (L.) O. Kuntze). Scientia Horticulturae 114: 7-16 Widayat, W. dan J.R.Dini. 2011. Pengaruh pohon pelindung tetap pada tanaman teh menghasilkan terhadap iklim mikro, populasi serangga hama dan musuh alami, serta produksi pucuk teh. Pusat Penelitian Teh dan Kina Gambung, Bandung.