BAB I PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG Dalam era globalisasi ini , dunia industri berkembang dan tumbuh secara
cepat. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa arus globalisasi tersebut membawa pengaruh yang besar bagi dunia industri. Namun pemanfaatan teknologi dalam proses industri mengandung berbagai resiko. Sebuah organisasi baik perusahaan maupun instansi dalam melakukan aktivitasnya sudah tentu memerlukan sumber daya manusia yang mendukung usaha pencapaian tujuan yang telah ditetapkan oleh organisasi. Dalam operasional kerja suatu industri , khususnya industri berat tentunya mengandung potensi bahaya yang sangat tinggi (hazard). Kecelakaan , penyakit dan cedera dapat mengganggu jalanya suatu pekerjaan , mengganggu rutinitas dan pada akhirnya menimbulkan biaya tambahan dan kerugian lainnya . Beberapa fakta yang menyebutkan bahwa masih banyak terjadi kecelakaan kerja seperti laporan Global Estimates Fatalites in 2003 Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) sebanyak 6000 pekerja di seluruh dunia kehilangan nyawa mereka setara dengan satu orang setiap 15 detik atau 2,2 juta orang per tahun akibat kecelakaan atau sakit yang sesuia dengan pekerjaan mereka. Hal tersebut dapat menjadi bukti bahwa penerapan K3 di perusahaan – perusahaan belum terlalu efektif atau sesuai dengan yang diharapkan. Juka hal ini masih terus terjadi tanpa kita sadari dapat mengganggu perekonomian kita karena kurangnya sumber daya manusia. Dengan adanya pelaksanaan program kesehatan dan keselamatan kerja di harapakan para karyawan akan merasa terlindungi dan aman sehingga dapat bekerja secara efisien dan efektif. Pada umumnya kesehatan tenaga pekerja sangat mempengaruhi perkembangan ekonomi dan pembangunan nasional. Hal ini dapat dilihat pada negara-negara yang sudah maju. Secara umum bahwa kesehatan dan lingkungan dapat mempengaruhi pembangunan ekonomi.
1
Dimana
industrilisasi
banyak
memberikan
dampak
positif
terhadap
kesehatan, seperti meningkatnya penghasilan pekerja, kondisi tempat tinggal yang lebih baik dan meningkatkan pelayanan, tetapi kegiatan
industrilisasi juga
memberikan dampak yang tidak baik juga terhadap kesehatan di tempat kerja dan masyarakat pada umumnya. Melihat adanya bahaya yang dapat ditimbulkan oleh energi listrik ini, maka PT PLN (Persero) juga mementingkan segi keamanan pada setiap unitnya. Hal ini dikarenakan untuk menghasilkan zero accident dan safety condition bagi karyawan PLN, masyarakat sekitar maupun lingkungan. Salah satu cara untuk menghasilkan kondisi tersebut maka PT PLN (Persero) selalu berusaha melaksanakan prosedur K2 (Keselamatan Ketenagaanlistrikan) dan K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) pada setiap pekerjaannya.
1.2 MAKSUD DAN TUJUAN Maksud dan tujuan dalam penulisan makalah ini adalah : 1. Memperkenalkan
bagaimana
pelaksanaan
dan
penerapan
prosedur
Keselamatan Ketenagalistrikan (K2) serta Keselamatan dan Kecelakaan Kerja (K3) di PT. PLN Persero. 2. Mengetahui apa saja permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan K2 dan K3. 3. Mengetahui solusi dari masalah yang dihadapi dalam penerapan K2 dan K3. 4. Mengetahui undang-undang ketenagalistrikan dan dasar hukum, peraturan K3 konstruksi serta kebijakan direksi PLN mengenai K3. 1.3 METODOLOGI PENELITIAN Dalam penulisan makalah ini, untuk mendapatkan data dan informasi yang diperlukan, kami mempergunakan metode studi pustaka. Metode studi pustaka atau literatur ini dilakukan dengan cara mendapatkan data atau informasi tertulis yang bersumber dari buku-buku, dan berbagai artikel diinternet yang menurut saya dapat mendukung penelitian ini.
2
BAB II ISI 2.1 Pelaksanaan dan Penerapan Prosedur Keselamatan Ketenagalistrikan serta Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di PT.PLN Persero Perusahaan Listrik Negara (PLN) didirikan berdasarkan peraturan pemerintah No.30 Tahun 1970. PT.PLN Persero menjalankan bisnis kelistrikan dan bidang usaha lain yang terkait, berorientasi kepada kepuasaan pelanggan , anggota perusahaan dan pemegang saham dengan mewujudkan upaya – upaya sebagai berikut : 1. Menjadikan tenaga listrik sebagai media untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. 2. Mengupayakan agar tenaga listrik menjadi pendorong kegiatan ekonomi. 3. Menjalankan kegiatan usaha yang berwawasan lingkungan. 2.1.1 Keselamatan Ketenagalistrikan (K2) Keselamatan Ketenagalistrikan (K2) merupakan segala upaya atau langkah- langkah pengamanan instalasi tenaga listrik dan pengamanan pemanfaatan tenaga listrik untuk mewujudkan kondisi andal bagi instalasi dan kondisi aman dari bahaya bagi manusia, serta kondisi akrab lingkungan (ramah lingkungan) dalam arti tidak merusak lingkungan hidup disekitar instalasi tenaga listrik. Keselamatan Kerja adalah suatu usaha pencegahan terhadap kecelakaan kerja yang dapat menimbulkan berbagai kerugian, baik kerugian harta benda (rusaknya peralatan), maupun kerugian jiwa manusia (luka ringan, luka berat, cacat bahkan tewas). Kesehatan Kerja adalah suatu upaya atau pemikiran dan penerapannya yang ditujukan untuk menjamin keutuhan dan kesempurnaan baik jasmaniah maupun rohaniah tenaga kerja pada khususnya dan manusia pada umumnya, hasil karya dan budayanya, untuk meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja.
3
Hubungan antara K2 dan K3 dalam pelaksanaan pekerjaan adalah bila K2 dan K3 tidak dilaksanakan maka akan mudah terjadinya kecelakaan kerja, yang dapat merugikan bukan hanya personil yang melaksanakan pekerjaan, tetapi masyarakat dan lingkungan di sekitar pelaksanaan pekerjaan. Bahaya listrik merupakan segala sesuatu yang dapat meningkatkan atau menimbulkan kecelakaan, bencana, kerugian, dan sejenisnya yang diakibatkan oleh adanya arus listrik. Bahaya listrik yang dapat terjadi contohnya adalah bahaya Kuat Medan Magnet (KMM) dan Kuat Medan Listrik (KML), selain itu besarnya arus dan tegangan induksi yang mengalir dalam tubuh. Besarnya KML dan KMM yang biasanya ditakutkan oleh masyarakat biasanya dikarenakan akibat adanya pembangunan SUTET/ SUTT di daerah penduduk. Oleh karena pembangunan trnsmisi pada PT PLN (Persero) ditetapkan berdasarkan IRPA / INIRC / WHO tahun 1990 yaitu 5 kV/m untuk KML dan 0,1 mT untuk KMM pada waktu yang tidak terbatas. Sedangkan 10 kV/m untuk KML dan 0,5 mT untuk KMM selama jam kerja. Arus listrik yang mengalir pada tubuh manusia dapat menyebabkan kesemutan, pingsan, terbakar bahkan kematian. Berikut tabel pengaruh arus induksi yang mengalir terhadap tubuh manusia : Tabel 1 Pengaruh Besarnya Arus terhadap Tubuh Manusia
Besarnya Arus (mA)
Pengaruh terhadap tubuh manusia
0 – 0,9
Belum dirasakan pengaruhnya
0,9 – 1,2
Baru terasa adanya arus listrik
1,2 – 1,6
Mulai terasa seakan –akan ada yang merayap di dalam tangan
4
1,6 – 6,0
Tangan sampai siku merasa kesemutan
6,0 – 8,0
Tangan mulai kaku, rasa kesemutan makin bertambah
13,0 – 15,0
Rasa sakit tak tertahankan, penghantar masih bisa dilepaskan dengan gaya yang besar sekali
15,0 – 20, 0
Otot tidak sanggup lagi melepaskan penghantar
20,0 – 50,0
Dapat mengakibatkan kerusakan pada tubuh manusia
50,0 – 100,0
Batas arus yang dapat menyebabkan kematian
Lingup Keselamatan Ketenagalistrikan K2 1. Standarisasi Gunakan Standard dalam melaksanakan OPHAR (IEC, SNI, Dll) Bekerja memggunakan Prosedur, IK 2. KESELAMATAN (4 JALUR) Keselamatan Kerja Keselamatan Umum Keselamatan Lingkungan Keselamatan Instalasi 3. SERTIFIKASI KOMPETENSI TENAGA TEKNIK SERTIFIKASI LAIK OPERASI MULAI TAHUN 2004 K2 SUDAH MASUK KINERJA PERUSAHAAN TERTUANG PADA SK DIREKSI NO. 024&025.K/010/DIR/2004. Penerapan kegiatan kinerja K2, maksimum tidak melaksanakan Kegiatan K2 terhadap Target kinerja maka akan mendapat pengurangan nilai kinerja.
5
2.1.2 Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Pengertian K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) Dibagi menjadi 2 pengertian, yaitu: ü Secara Filosofis Suatu pemikiran atau upaya untuk menjamin keutuhan dan kesempurnaan baik jasmani maupun rohani, tenaga kerja pada khususnya dan masyarakat pada umumnya terhadap hasil karya dan budayanya menuju masyarakat adl dan makmur. ü Secara Keilmuan Ilmu
pengetahuan
dan
penerapannya
dalam
usaha
mencegah
kemungkinan terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Tujuan dari K3: o
Melindungi kesehatan, keamanan dan keselamatan dari tenaga kerja.
o
Meningkatkan efisiensi kerja.
o
Mencegah terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja.
Adanya Ilmu Tentang K3 o
Mempelajari tentang k3
o
Melaksanakan tentang k3
o
Memperoleh hasil yang sempurna dalam mencegah terjadinya kecelakaan kerja
Sasaran K3 o
Menjamin keselamatan pekerja
o
Menjamin keamanan alat yang digunakan
o
Menjamin proses produksi yang aman dan lancer
Norma-Norma yang Harus Dipahami dalam K3
o
Aturan yang berkaitan dengan keselamatan dan kesehatan kerja
o
Diterapkan untuk melindungi tenaga kerja
o
Resiko kecelakaan dan penyakit kerja
6
Tujuan norma-norma : agar terjadi keseimbangan dari pihak perusahaan dapat menjamin keselamatan pekerja. 1. Peraturan Umum SMK3 yang Harus Dilaksankan Dalam pelaksanaan SMK3 pada PT.PLN Persero ada beberapa peraturan umum yang harus dilaksakan oleh seluruh staf dan karyawan. Peraturan umum itu antar lain : - Seluruh karyawan dan pekerja yang terlibat dalam pelaksanaan pekerjaan harus memahami dan mematuhi kaedah dan peraturan keselamat dan kesehatan kerja. - Semua yang terlihat dalam pelaksanaan pekerjaan harus perduli dan tanggap akan bahaya kebakaran yang mungkin timbul. - Penanggung jawab K3 harus menetapkan sanksi atau hukaman terhadap pelanggaran peraturan K3. - Orang yang tidak berkepentingan dilarang masuk. - Semua yang terlibat dalam pelaksnaan pekerjaan yang berupa gardu induk harus peduli dan tanggap untuk menjaga kerapihan dan kebersihan pada lokasi perbaikan. - Pada lokasi – lokasi yang berbahaya harus dipasang tanda – tanda peringatan adanya bahaya seperti zona terlarang yang merupakan daerah vital yang memilki tingkat kecelakaan cukup tinggi sehingga diperlakukan izin untuk masuk. 2. Pedoman SMK3 PT.PLN Persero Pedoman SMK3 ini memuat kebijakan K3 ,daftar dokumen berupa prosedur kerja yang terkait K3 dan instruksi kerja K3 , serta bagan organisasi K3. Pedoman SMK3 ini dapat digunakan sebagai informasi kepada pelanggan dan berbagai pihak yang berkepentingan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukakan di PT.PLN Persero. Pedoman SMK3 ini juga digunakan sebagai bahan pelatihan pegawai PT.PLN Persero dalam memahami komitmen perusahaan dan peranan mereka dalam SMK3. 3. Keamanan Bekerja Berdasarkan SMK3 Dalam SMK3 , keamanan bekerja harus diperhatikan dan diutamakan oleh seluruh staf dan pegawai yang terlibat dalam perbaikan instalasi. Keamanan bekerja harus tercermin dari beberpa faktor – faktor berikut :
7
a. Sistem Kerja - Potensi bahya dan nilai resikonya dalam proses kerja yang harus diidentifikasi dan dinilai oleh petugas yang berkompeten. - Upaya pengendalian resiko dibahas dalam rapat tinjauan SMK3 di tempat kerja. - Semua pekerjaan yang beresiko tinggi setelah dilakukan inspeksi yang ketat harus diberlakukan prosedur “ ijin kerja “ sebelum pekerjaan dimulai dan disetujui oleh para ahli keselamatan kerja atau para ahli yang berkompeten. - Metode
kerja
yang
aman
untuk
seluruh
resiko
yang
diidentifikasi
dan
didokumentasi. - Alat pelindung diri harus tersedia dan digunakan secara tepat dan selalu terpelihara, dan sebelum digunakan harus diperiksa dan sesuai standar serta layak pakai. - Bila terjadi perubahan metode kerja / proses kerja maka pola pengendalian resiko harus diuji oleh. - Untuk pekerjaan berbahaya hanya dilakukan oleh personil yang telah terlatih dan profesional serta memnuhi syarat yang ditetapkan. b. Tugas dan Waktu Kerja Pegawai atau Petugas yang berada pada instalasi Tegangan Tinggi (TT) dibagi menjadai dua bagian yaitu : - Operator Gardu Induk yang ebrtugas memantau beban trafo sutter dan memantau peralatan yang terpasang di Gardu Induk (GI). - Petugas pemeliharaan bertugas memlihara peralatan instalasi Tegangan tinggi (TT). Jam kerja karyawan Gardu Induk dan Pemeliharaan diatur pada jadwal yang telah ditentukan : - Pada jam kerja operator gardu induk diatur pada jadwal yang ditentukan 24 jam, jam kerja operator gardu induk dibagi menjadi 3 shift yaitu : jam 07.30 WIB – 15.00 WIB, 15.00 WIB – 22.00 WIB , 22.00 WIB – 07.30 WIB. - Pada jam kerja bagian Pemeliharaan yaitu jamkerja dilakukan setiap hari yaitu pada pukul 07.30 WIB – 16.00 WIB. c. Pengawasan - Tiap pekerjaan yang berlangsung harus diawasi untuk memastikan dilaksankannya pekerjaan yang aman dan mengikuti instruksi dan pedoman kerja yang telah ditetapkan.
8
- Setiap orang diawasi berdasarkan tingkat kemampuan dan tingkat resiko tugasnya. - Pengawas
harus
serta
mengidentifikasi
bahaya
dan
melakukan
upaya
pegendalian.
- Pengawas harus ikit serta dalam pelaporan dan penyelidikan. Pekerja pemeliharaan peralatan instalasi Tegangan Tinggi (TT) diawasi oleh 3 pengawas yaitu : - Pengawas Manuver , Pengawas yang bertugas langsung di lokasi pekerjaan , mengontrol semua pekerja yang terlibat dan semua pekejaan yang dilakukan , dan mengetahui apakah pekerjaan tersebut sesuai dengan prosedur atau tidak. - Pengawas Pekerjaan , Pengawas yang bertugas mengontrol suatu pekerjaan yang sedang berlangsung, mengetahui kekurangan – kekurangan hasil yang telah dikerjakan, dan memberikan pengarahan kepada pekerja jika pekerjaan yang dilakukan tidak sesuai. - Pengawas K3 , Pengawas yang bertugas mengontrol kelengkapan keselamatan pekerja dalam melakukan suatu pekerjaan sehingga tidak terjadinya kecelakaan. d. Seleksi dan Penempatan Tenaga Kerja - Tenaga kerja yang dipekerjakan harus diseleksi dan ditempatkan sesuai persyaratan tugasnya dan persyartan kesehatnnya. - Penugasan pekerjaan harus disesuiakan dengan kemampuan dan tingkat ketrampilan masing – masing tenaga kerja. e. Lingkungan Kerja - Lingkungan kerja di Gardu Induk Tegangan Tinggi, semua pekerja instalasi Tegangan Tinggi (TT) berbahaya , resiko kecelakaan tinggi , pada pelaksanaan pekerjaan pemeliharaan wajib mengikuti atau melaksankan Sistem Operasional Prosedur (SPO) yang telah ditetapkan. - Tempat – tempat yang memilki pembatasan izin masuk harus dikendalikan. - Rambu – rambu peringatan K3 dan tanda – tanda daerah berbahaya harus dipasang sesuai instruksi. - Lingkungan kerja harus dinilai agar diketahui daerah – daerah yang harus memiliki pembatasan izin masuk. f. Kesiapan Untuk Menangani Keadaan Darurat - Keadaan darurat seperti kebakaran telah dikutip dalam Sistem Operasional
9
Prosedur (SOP) penanggulangan kebakaran baik di kantor region maupun di unit – unit pelaksanaan. - Keadaan darurat yang potensila di sekitar tempat kerja telah diidentifikasi sesuai dengan instruksi kerja SMK3. - Kondisi keadaan darurat setidaknya diuji sekali dalam 3 tahun. - Intruksi kerja untuk keadaan darurat perlu diuji dan ditinjau ulang secara periodik oleh petugas yang berkompeten. - Tenaga kerja mendapatka penjelasan dan pelatihan instruksi kerja keadaan darurat. - Petugas penanganan keadaan darurat diberikan pelatihan khusus. - Pemberitahuan kondisi keadaan darurat diberikan secara jelas dan diketahui oleh seluruh tenaga kerja. - Alat dan sistem keadaan darurat diperiksa , diuji dan dipelihara secar berkala. - Kesesuaian penempatan dan kemudahan untuk mendapatkan alat keadaan darurat telah dinilai oleh ahli yang berkompeten. - Pengujiaan keadaan darurat meliputi : pengujian sistem alarm ,lampu emergency , tanda keluar , pintu darurat ,peralatan P3K , fasilitas komunikasi (internal &eksternal) ,tempat evakuasi dan peralatan pemadam. 4. Peralatan Pelindung Tubuh Selain faktor – faktor keamanan bekerja yang telah disebutkan diatas , ada beberpa hal penting mengenai perlengkapan pelindung tubuh untuk menjaga keselamatn pekerja di lapangan,antara lain : - Semua pekerja , karyawan dan tamu harus menggunakan topi pengaman saat (Helm) saat berada di lapangan. - Sabuk pengaman dan tali penyelamat harus digunakan saat bekerja pada ketinggian di atas 2 meter. - Pakai seragam oprator Gardu Induk Tegangan Tinggi. - Sarung tangan harus digunakan sewaktu memegang barang atau benda yang menimbulkan listrik atau pada saat memperbaiki listrik tegangan tinggi / instalasi listrik. - Alat pelindung telinga harus digunkan jika bekerja pada situasi kerja yang bising atau pada ruangan trafo tegangan tinggi.
10
5. Penggunaan tangga pada saat berkerja di tempat tinggi Pada saat bekerja di tempat yang tinggi harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut: - Tangga digunakan untuk memperbaiki instalasi listrik yang berada pada ketinggian. - Tangga terdapat berapa macam ada tangga yang berbentuk huruf A dan tangga yang memilki tinggi lebih dari 2 meter dan disambung – sambung. - Pemakaian tangga untuk keadaan berbahaya harus sesuai dengan Sistem Operasional Prosedur (SOP). - Kemiringan tangga harus diaturs edemikian rupa sehingga aman saat digunakan. 6. Kondisi pekerjaan di tempat yang tinggi. Yang dimaksud bekerja di tempat tinggi adalah kondisi dimana terjadi perbedaan ketinggian pada lokasi pekerjaan sehingga kemungkinan terjadinya kecelakaan cukup besar.ketentuan – ketentuan yang harus diperhatikan : - Pekerja harus dalam keadaan sehat , tidak takut ketinggian , menggunakan APD yang sesuai dengan aspek kerja. - Harus dilakukan brefing / pembekalan oleh pengawas kepada pekerja yang akan berkerja. - Pekerja haruslah orang yang telah mahir melakukan pekerjaan pada ketinggian. - Pekerja harus memilki atau mengacu pada DP3 (Dokumen Prosedur Pelaksanaan Pekerjaan) dan SOP (Sistem Operasional Prosedur). 7. Prosedur Izin Kerja Untuk Pekerjaan Berbahaya atau Berisiko Tinggi Tujuan dibuatnya prosedur izin kerja untuk keadaan berbahaya dan beresiko tinggi adalah untuk memberikan pedoman pada seluruh karyawan, tenaga kerja dan mitra kerja tentang persyartan yang harus dipenuhi sebelum melakukan pekerjaan yang berisiko tinggi dalam rangka keselamatan dan kesehatan kerja. Pekerjaan berbahaya yang rutin dilaksanakan yaitu pada pemeliharaan peralatan Tegangan Tinggi (TT), maka dari itu prosedur kerjanya telah diatur dalam DP3 (Dokumen Prosedur Pelaksanaan Pekerjaan ) meliputi sebagai berikut : - Briefing rencana kerja. - Izin pembebasan instalasi untuk dikerjakan - Pelaksanaan manuver pembebasan tegangangan , yaitu pelaksanaan yang dillakukan pada instalasi yang seluruh tegangan di non-aktifkan.
11
- Pernyataan pekerjaan selesai. Kecelakaan adalah suatu kejadian yang tidak diinginkan / tidak diharapkan yang dapat menimbulkan berbagai kerugian ,baik kerugian harta benda (rusaknya peralatan) maupun kehilangan jiwa manusia. Suatu kecelakaan dapat terjadi disebabkan oleh 2 (dua) hal, yaitu : 1. Unsafe Action, yaitu sikap atau tingkah laku manusia yang tidak aman (berbahaya). 2. Unsafecondition,yaitukondisi/keadaantempat kerja atau peralatan kerja yang tidak aman (berbahaya). Dengan prosentase penyebab kecelakan kerja adalah dengan 80% akibat unsafe act, 18% unsafe condition dan 2% akibat yang lainnya. Kecelakaan kerja dapat dikurangi dan dicegah dengan penerapan safety engineering dan penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) yang sesuai dengan pekerjaan yang akan dilaksanakan.
2.2 Masalah Dalam Pelaksanaan K2 dan K3 di PT.PLN Persero PT.PLN Persero telah menerapkan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) dengan cara menetapkan beberapa Peraturan , Pedoman , Kebijakan , dan Prosedur kerja yang bertujuan unruk mencegah dan mengendalikan potensi bahaya kecelakaan yang timbul saat berlangsungnya operasi. Dalam pelaksanaan pengoperasian SMK3 di PT.PLN Persero terdapat beberapa masalah yang berkaitan dengan pengoperasian teknis karyawan maupun lingkungan dimana terdapat beberapa hal yang merugikan perusahaan maupun masyarakat di lingkungan sekitar. Kecelakaan kerja yang terjadi pada karyawan banyak diakibatkan oleh kelalaian dalam menggunakan APD dalam melaksanakan tugas serta tingginya angka kecelakaan yang diakibatkan oleh teganggan tinggi pada individu , keluarga dan masyarakat.
12
Adapun permasalahan yang dihadapi PT.PLN Persero dalam penerpan SMK3 adalah : a.
Adanya beberapa pekerja yang tidak memenuhi kebijaksanaan keselamatan
kerja
yang
telah
ditetapkan
perusahaan yaitu dengan mengkesampingkan
pemakaian APD. Contohnya : pada saat perbaikan instalasi Gardu Induk Tegangan Tinggi masih ada pekerja yang tidak menggunakan APD dengan alasan tidak nyaman. b. Kurang pahamnya pekerja mengenai prosedur kerja. Contohnya : ada pekerja yang tidak memilki surat izin kerja , tidak menggunakan sarung tangan saat perbaikan listrik dengan alasan hanya perbaikan sedikit ,dan pekerja yang tidak paham penggunaan peralatan kerja dan buku manual peralatan kerja terutama peralatan di luat yang berkaitan dengan sinar X,Radioaktif,Medam magnet dsb.
Hambatan dari Penerapan K3 a) Hambatan dari sisi pekerja/ masyarakat : -
Tuntutan pekerja masih pada kebutuhan dasar
-
Banyak pekerja tidak menuntut jaminan k3 karena SDM yang masih rendah.
b) Hambatan dari sisi perusahaan: Perusahaan yang biasanya lebih menekankan biaya produksi atau operasional dan meningkatkan efisiensi pekerja untuk menghasilkan keuntungan yang sebesar-besarnya.
2.3 Solusi Dari Masalah Yang Dihadapi Dalam Penerapan K2 dan K3 : a. Dengan memperkerjakan karyawan sesuai dengan keahlian masing – masing serta menyampaikan atau merealisasikan kebijakan K3 dengan kata – kata yang mudah di pahami oleh pegawai , melakukan inspeksi keselamatan dan kelengkapan alat pelindung diri yang berada di dalam kantor yang merupakan salah satu cara untuk menjaga agar kondisi peralatan tetap baik dan aman untuk digunakan.
13
b. Dengan memberikan pelatihan – pelatihan kepada para pekerja mengenai prosedur kerja yang ditetapkan perusahaan , serta dengan melakukan breafing kecil saat melakukan tugas. Sehingga dengan begitu pegawai akan memahami prosedur kerja yang berlaku sehingga kecelakaan bisa dikurangi. c. Kekurangan dan Kelebihan dalam Pelaksanaan SMK3 di PT.PLN Persero. Dalam pelaksanaan SMK3 PT. PLN Persero terdapat beberapa kekurangan dan kelebihan dimana faktor inilah yang menjadi kendala dalam perusahaan dan bermanfaat untuk mengevaluasi kinerja perusahaan untuk berkembang lebih baik,bermutu dan berhasil serta dapat menjawab kebutuhan pasar. 1. Kelebihan - Produktifitas perusahaan meningkat karena adanya tingkat kepuasaan pada konsumen dan kebutuhan listik masyarkat yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. - Tingkat efisien karyawan / pegawai memenuhi visi dan misi perusahaan sehingga tercipta suasana kerja yang aman , nyaman dan relatif disiplin. - Berkurangnya angka kecelakaan kerja dalam frekuensi yang kecil. 2. Kekurangan - Masih terdapat karyawan / pegawai yang tidak mematuhi aturan dan kebijakan perusahaan dalam pelaksanaan kerja. - Masih terdapat angka kecelakaan kerja walaupun dalam skala yang kecil. - Kurangnya sosialisasi dari perusahaan kepada konsumen dan masyarakat di sekitar lingkungan tentang upaya pencegahan dan perlindungan diri terhadap barang / jasa yang dipakai ( listrik).
14
2.4
Undang-Undang Ketenagalistrikan dan Dasar Hukum,Peraturan K3 Konstruksi serta Kebijakan Direksi PLN Mengenai K3.
2.4.1 Dasar Hukum Ketenagalistrikan antara lain : a. Undang-undang
Republik
Indonesia
No.
30
Tahun
2009
tentang
Ketenagalistrikan b. Keteknikan PASAL 43 Keteknikan ketenagalistrikan terdiri atas: 1. Keselamatan ketenagalistrikan ; dan 2. Pemanfaatan jaringan tenaga listrik untuk kepentingan telekomunikasi, multimedia, dan infomatika. 3. c. PASAL 44 (1) Setiap kegiatan usaha ketenagalistrikan wajib memenuhi ketentuan keselamatan ketenagalistrikan. (2) Ketentuan keselamatan ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk mewujudkan kondisi: a). Andal dan aman bagi instalasi; b). Aman dari bahaya bagi manusia dan makhluk hidup lainnya; dan c.) Ramah lingkungan (3) Ketentuan keselamatan ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a). Pemenuhan standardisasi peralatan dan pemanfaat tenaga listrik;
15
b). Pengamanan instalasi tenaga listrik; dan c). Pengamanan pemanfaat tenaga listrik. (4) Setiap instalasi tenaga listrik yang beroperasi wajib memiliki sertifikat laik operasi. (5) Setiap peralatan dan pemanfaat tenaga listrik wajib memenuhi ketentuan standar nasional Indonesia. (6) Setiap tenaga teknik dalam usaha ketenagalistrikan
wajib memiliki
sertifikat kompetensi.
(7) Ketentuan mengenai keselamatan ketenagalistrikan,sertifikat laik operasi, standar nasional Indonesia, dan sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat(1) sampai dengan ayat (6) diatur dengan Peraturan Pemerintah. d. Undang – undang Ketenagalistrikan Nomor 30 Tahun 2009 Tanggal 23 September 2009 BAB XV. KETENTUAN PIDANA Pasal 50 1) Setiap orang yang tidak memenuhi keselamatan ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) yang mengakibatkan matinya seseorang karena tenaga listrik dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). 2) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik atau pemegang izin operasi dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
16
(3) Selain pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik atau pemegang izin operasi juga diwajibkan untuk memberi ganti rugi kepada korban. (4) Penetapan dan tata cara pembayaran ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan Pasal 51 (1). Setiap orang yang tidak memenuhi keselamatan ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) sehingga mempengaruhi kelangsungan penyediaan tenaga listrik dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda palingbanyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (2) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)mengakibatkan terputusnya aliran listrik sehingga merugikan masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah). 2.4.2 Dasar Hukum K3, Peraturan K3 Proyek Konstruksi serta Kebijakan Direksi PLN Mengenai K3 Dasar hukum K3 : ü UU No.1 tahun 1970 ü UU No.21 tahun 2003 ü UU No.13 tahun 2003 ü Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. PER-5/MEN/1996. Peraturan tentang K3 Proyek Konstruksi Pemerintah telah sejak lama mempertimbangkan masalah perlindungan tenaga kerja, yaitu melalui UU No. 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja. Sesuai dengan perkembangan jaman, pada tahun 2003, pemerintah mengeluarkan UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Undang undang ini mencakup
berbagai
hal
dalam
perlindungan
pekerja
yaitu
upah,
17
kesejahteraan, jaminan sosial tenaga kerja, dan termasuk juga masalah keselamatan dan kesehatan kerja. Aspek ketenagakerjaan dalam hal K3 pada bidang konstruksi, diatur melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.PER01/MEN/1980 Tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Konstruksi Bangunan. Peraturan ini mencakup ketentuan-ketentuan mengenai keselamatan dan kesehatan kerja secara umum maupun pada tiap bagian konstruksi bangunan. Peraturan ini lebih ditujukan untuk konstruksi bangunan, sedangkan untuk jenis konstruksi lainnya masih banyak aspek yang belum tersentuh. Di samping itu, besarnya sanksi untuk pelanggaran terhadap peraturan ini sangat minim yaitu senilai seratus ribu rupiah. Sebagai tindak lanjut dikeluarkannya Peraturan Menakertrans tersebut, pemerintah menerbitkan Surat Keputusan Bersama Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Tenaga Kerja No.Kep.174/MEN/1986-104/KPTS/1986: Pedoman Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Tempat Kegiatan Konstruksi. Pedoman yang selanjutnya disingkat sebagai ”Pedoman K3 Konstruksi” ini merupakan pedoman yang dapat dianggap sebagai standar K3 untuk konstruksi di Indonesia.
Pedoman K3 Konstruksi selama hampir dua puluh tahun masih menjadi pedoman yang berlaku. Baru pada tahun 2004, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, yang kini dikenal sebagai Departemen Pekerjaan Umum, mulai memperbarui pedoman ini, dengan dikeluarkannya KepMen Kimpraswil No. 384/KPTS/M/2004 Tentang Pedoman Teknis Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Tempat Kegiatan Konstruksi Bendungan. ”Pedoman Teknis K3 Bendungan” yang baru ini khusus ditujukan untuk proyek konstruksi bendungan, sedangkan untuk jenis-jenis proyek konstruksi lainnya seperti jalan, jembatan, dan bagunan gedung, belum dibuat pedoman yang lebih baru. Namun, apabila dilihat dari cakupan isinya, Pedoman Teknis K3 untuk bendungan tersebut sebenarnya dapat digunakan pula untuk jenis-jenis proyek konstruksi lainnya. ”Pedoman
18
Teknis K3 Bendungan” juga mencakup daftar berbagai penyakit akibat kerja yang harus dilaporkan. Bila dibandingkan dengan standar K3 untuk jasa konstruksi di Amerika Serikat misalnya, (OSHA, 29 CFR Part 1926), Occupational Safety and Health
Administration
(OSHA),
sebuah
badan
khusus
di
bawah
Departemen Tenaga Kerja yang mengeluarkan pedoman K3 termasuk untuk bidang konstrusksi, memperbaharui peraturan K3-nya secara berkala (setiap tahun).Pedoman yang dibuat dengan tujuan untuk tercapainya keselamatan dan kesehatan kerja, bukan hanya sekedar sebagai aturan, selayaknya secara terus menerus disempurnakan dan mengakomodasi masukan-masukan dari pengalaman pelaku konstruksi di lapangan. Dengan demikian, pelaku konstruksi akan secara sadar mengikuti peraturan untuk tujuan keselamatan dan kesehatan kerjanya sendiri.
Kebijakan direksi PLN mengenai K3 1. SK Direksi No.: 090.K/DIR/2005 Tanggal 19 Mei 2005 Tentang Pedoman Keselamatan Instalasi BAB VIII STANDARISASI KESELAMATAN INSTALASI Pasal 12 (1)
Setiap Unit Perseroan agar menerapkan program gangguan dan
kerusakan instalasi seminimal mungkin bagi semua instalasi penyediaan tenaga listrik, bangunan dan saranya. (2) Setiap Unit Perseroan agar menerapkan Standar Nasional Indonesia (SNI) di bidang ketenagalistrikan, khususnya yang berkaitan dengan keselamatan instalasi, yang diperlukan guna mendukung program gangguan dan kerusakan instalasi seminimal mungkin pada Ayat (1) Pasal ini.
19
BAB IX KINERJA KESELAMATAN INSTALASI Pasal 13 Kinerja keselamatan kerja merupakan bagian dari kinerja keselamatan ketenagalistrikan pada kontrak kinerja perusahaan antara Unit setingkat Cabang dengan Kantor Unit setingkat Wilayah, atau antara Unit setingkat Wilayah dengan Kantor Pusat. Angka perhitungan yang diperoleh dari penyimpangan / kekurangan / ketidak- sesuaian dalam pelaksanaan keselamatan instalasi merupakan angka pengurang bagi nilai kinerja Unit Perseroan yang bersangkutan.
BAB X KOMITE KESELAMATAN KETENAGALISTRIKAN Pasal 14 (1) Perusahaan yang mempekerjakan > 100 tenaga kerja dan atau memiliki karakteristik proses atau bahan produksi yang dapat mengakibatkan kecelakaan kerja, penyakit yang timbul karena hubungan kerja, kebakaran, ledakan dan sebagainya, wajib membentuk P2K3 / Komite Keselamatan Ketenagalistrikan.
(2)
Komite
membahas
Keselamatan /
mendiskusikan
ketenagalistrikan, perlindungan,
Ketenagalistrikan
khusunya
pencegahan
setiap
keselamatan dan
mempunyai
permasalahan instalasi
pengamanan
tugas
keselamatan
meliputi
terhadap
untuk
kegiatan
kemungkinan
terjadinya gangguan dan kerusakan pada instalasi, agar dapat dicapai tingkat keselamatan instalasi yang tinggi pada setiap instalasi penyediaan tenaga listrik, bangunan dan sarana, dan hasil dari pembahasan / diskusi tersebut disampaikan ke Pimpinan Unit Perseroan sebagai bahan pengambilan keputusan dalam kegiatan keselamatan instalasi.
20
(3)
Unit-unit setingkat Cabang yang memenuhi kriteria sebagaimana
dimaksud dalam Ayat (1) Pasal ini, agar membentuk P2K3 / Komite Keselamatan Ketenagalistrikan dan dilaporkan / diinformasikan kepada Dinas Tenaga Kerja serta Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral pada Pemerintah Daerah setempat sesuai ketentuan dan peraturan perundang-undangan dan dilaporkan ke kantor Pusat.
BAB XI MANAJEMEN KESELAMATAN KETENAGALISTRIKAN Pasal 15 (1) Manajemen keselamatan ketenagalistrikan dalam pelaksaan keselamatan instalasi berdasarkan pada SMK3 sebagai standar nasional, dan dapat berdasarkan pada OHSAS 18000 sebagai standar internasional. (2) Perusahaan yang memperkerjakan > 100 tenaga kerja dan atau memiliki karakteristik proses atau bahan produksi yang dapat mengakibatkan kecelakaan kerja, penyakit yang timbul karena hubungan kerja, kebakaran, ledakan dan sebagainya, wajib menerapkan SMK3. (3) Unit-unit setingkat Cabang yang memenuhi kriteria pada Ayat (2) Pasal ini, agar menerapkan SMK3, dan bagi Unit-unit yang telah siap untuk berorientasi kearah perusahaan kelas dunia (global company) dapat menerapkan OHSAS 18000. (4) Keberhasilan dalam pelaksanaan keselamatan instalasi dinilai dengan melaksanakan Audit SMK3 dan hasilnya disampaikan kepada Dinas Tenaga Kerja pada Pemerintah Daerah setempat untuk mendapatkan penghargaan dari Pemerintah sebagai pengakuan tingkat nasional, dan atau dinilai dengan melaksanakan Audit OHSAS 18000 untuk mendapatkan penghargaan atau pengakuan tingkat internasional.
21
BAB XII PENGAWASAN DAN PEMBINAAN KESELAMATAN INSTALASI Pasal 16 (1)
Pengawasan dan pembinaan keselamatan instalasi pada Unit-unit
setingkat
Cabang
dilaksanakan
oleh
Pengawas
pekerjaan,
Pejabat
penanggung jawab pekerjaan, Pejabat keselamatan ketenagalistrikan, dan Pimpinan Unit. (2) Pengawasan dan pembinaan keselamatan instalasi pada Kantor-kantor Unit
setingkat
Wilayah
dilaksanakan
oleh
Pejabat
keselamatan
ketenagalistrikan dan Pimpinan Unit. (3) Pengawasan dan pembinaan pelaksanaan keselamatan kerja ini pada Kantor Pusat dilaksanakan oleh Pejabat keselamatan ketenagalistrikan. (4) Pembinaan pelaksanaan Keputusan ini untuk keseluruhan Perseroan dilaksanakan oleh Direksi c.q. Deputi Direktur Lingkungan dan Keselamatan Ketenagalistrikan.
BAB XIII SANKSI-SANKSI KESELAMATAN INSTALASI Pasal 17 (1) Sanksi administratip dan kewajiban dari Perseroan : a. Sanksi administratip dari Perseroan untuk kasus kerusakan instalasi yang diakibatkan oleh kelalaian dari pegawai Pelaksana pekerjaan / Pejabat Manajemen Perseroan, berupa hukuman disiplin yang dapat dijatuhkan kepada yang bersangkutan, berdasarkan bukti dari hasil investigasi oleh Tim Investigasi Kecelakaan yang diproses melalui Tim Pemeriksa Pelanggaran Disiplin Pegawai (TP2DP) dan diputuskan oleh Pejabat SDM / Pimpinan Unit Perseroan. Bila kasusnya merupakan
22
kelalaian dari outsourcing Pelaksana pekerjaan, maka diselesaikan sesuai dengan perjanjian kerjanya. b. Perseroan wajib memberikan ganti rugi / kompensasi kepada pegawai Pelaksana pekerjaan yang mengalami kecelakaan kerja atau menderita penyakit yang timbul karena hubungan kerja yang disebabkan oleh kerusakan instalasi. Bila kasusnya dialami oleh outsourcing, maka diselesaikan sesuai dengan perjanjian kerjanya.
(2)
Sanksi Pidana dari Pemerintah : Kelalaian dari pegawai / Pejabat
Manajemen Perseroan / outsourcing yang mengakibatkan pegawai lain dan atau outsourcing lain dan atau masyarakat umum tewas karena kerusakan instalasi, dapat dipidana dengan pidana sesuai peraturan perundangundangan yang berlaku 2. SK Direksi No.: 091.K/DIR/2005 Tanggal 19 Mei 2005 Tentang Pedoman Keselamatan Umum.
BAB IV KECELAKAAN MASYARAKAT UMUM Bagian Pertama Jenis Kecelakaan Masyarakat Umum Pasal 4 (1) Kecelakaan masyarakat umum karena listrik, yang terjadi pada daerah instalasi penyediaan tenaga listrik milik Perseroan sampai dengan Alat Pembatas dan Pengukur (APP), merupakan kecelakaan masyarakat umum pada daerah hukum dari Perseroan; (2) Kecelakaan masyarakat umum karena listrik, yang terjadi pada daerah instalasi pemanfaatan tenaga listrik milik pelanggan (setelah APP), merupakan kecelakaan masyarakat umum pada daerah hukum dari pelanggan. Kecelakaan ini tidak menjadi tanggung jawab
23
Perseroan, tetapi Perseroan berkepentingan memperoleh informas dan data kecelakaan sebagai bahan penyuluhan keselamaan umum kepada masyarakat. 3) Kecelakaan masyarakat umum karena listrik, yang terjadi pada daerah instalasi pemanfaatan tenaga listrik milik Pemerintah Daerah seperti instalasi penerangan jalan umum (PJU), instalasi lampu pengatur lalu lintas, instalasi taman kota dan instalasi sarana masyarakat umum (setelah Fuse / APP), merupakan kecelakaan masyarakat umum pada daerah hukum dari Pemerintah Daerah. Kecelakaan ini tidak menjadi tanggung jawab Perseroan, tetapi Perseroan berkepentingan memperoleh informasi dan data kecelakaan sebagai bahan penyuluhan keselamatan umum kepada masyarakat. (4) Kecelakaan masyarakat umum bukan karena listrik, karena sebab lain yang berhubungan dengan kegiatan Perseroan. Bagian Kedua Penyebab Dasar Terjadinya Kecelakaan Masyarakat Umum Pasal 5 (1) Penyebab dasar berupa kondisi berbahaya (unsafe condition) yang merupakan kelalaian dari Manajemen Perseroan, antara lain : Tidak memberikan penyuluhan keselamatan akan bahaya listrik kepada masyarakat yang berada dan atau melaksanakan kegiatan disekitar instalasi penyediaan tenaga listrik milik Perseroan. Tidak memberikan penyuluhan keselamatan kepada masyarakat umum yang berhubungan dengan kegiatan bangunan / sarana milik Perseroan dan kepada masyarakat sebagai tamu Perseroan. Tidak melaksanakan pemasangan tanda peringatan dan / atau poster larangan pada instalasi-instalasi penyediaan tenaga listrik milik
24
Perseroan yang berpotensi bahaya bagi masyarakat umum. Tidak melakukan pengujian / melengkapi sertifikat laik operasi bagi instalasi
penyediaan
tenaga
listrik
milik
Perseroan
yang
dioperasikan. Tidak memastikan bahwa instalasi penyediaan tenaga listrik milik Perseroan selalu terkendali dan kondisinya aman dari bahaya listrik (baik dalam keadaan beroperasi maupun tidak beroperasi atau sedang mengalami kerusakan / perbaiakan). Kelalaian-kelalaian lain yang menyebabkan terjadinya kecelakaan masyarakat umum yang bukan karena listrik yang berhubungan dengan kegiatan Perseroan. (2) Penyebab dasar berupa perbuatan berbahaya (unsafe act) yang merupakan kelalaian dari masyarakat umum, antara lain : Melaksanakan kegiatan tidak aman dengan sengaja / tidak sengaja menyentuh bagian yang berbahaya dari instalasi penyediaan tenaga listrik milik Perseroan. Melaksanakan kegiatan tidak aman dengan sengaja / tidak sengaja menyentuh bagian berbahaya dari instalasi pemanfaatan tenaga listrik milik pelanggan sendiri. Melaksanakan kegiatan tidak aman dengan sengaja / tidak sengaja menyentuh bagian berbahaya dari instalasi pemanfaatan tenaga listrik milik Pemerintah Daerah. Menggunakan tenaga listrik secara tidak sah (mencuri aliran listrik). Kelalaian-kelalaian lainnya yang menyebabkan terjadinya kecelakaan masyarakat umum yang bukan karena listrik, tetapi karena sebab lain yang berhubungan dengan kegiata Perseroan.
25
(3). Penyebab dasar berupa kondisi berbahaya (unsafe condition) yang merupakan kelalaian dari masyarakat umum, antara lain : Kurang paham akan bahaya listrik. Penggunaan / pemilikan produk pemanfaat tenaga listrik (peralatan kerja / peralatan rumah tangga) yang tidak memenuhi syarat keselamatan / tidak dilengkapi dengan sertifikat tanda keselamatan. Penggunaan / pemilikan instalasi pemanfaatan tenaga listrik (instalasi pelanggan) yang tidak memenuhi syarat keselamatan / tidak dilengkapi dengan
sertifikat
kesesuaian
dengan
standar
PUIL.
Bagian
Ketiga Penyebab Perantara Terjadinya Kecelakaan Masyarakat Umum Pasal 6 (1)
Penyebab
perantara
karena
listrik
(tenaga
listrik),
berupa
tersengatlistrik baik secara langsung maupun tidak langsung dan / atau kebakaran / terbakar karena loncatan api listrik / panas listrik, merupakan penyebab yang paling umum terjadi. (2) Penyebab perantara bukan karena listrik, seperti tertimpa bangunan milik Perseroan, tertabrak kendaraan milik Perseroan dan sebagainya. Bagian Keempat Akibat Terjadinya Kecelakaan Masyarakat Umum Pasal 7 (1) Akibat yang diderita oleh masyarakat umum, dapat berupa : c. Luka / tewas pada saat terjadi kecelakaan. d. Cacat / meninggal dunia, setelah memperoleh perawatan akibat kecelakaan. e. Kerusakan harta milik masyarakat umum. (2) Akibat yang diderita oleh Perseroan, dapat berupa kerusakan
26
instalasi penyediaan tenaga listrik / bangunan / sarana milik Perseroan dan kerugian karena energi listrik yang tidak tersalurkan yang disebabkan karena kerusakan instalasi penyediaan tenaga listrik.
BAB V PERLINDUNGAN DAN PENCEGAHAN TERHADAP TERJADINYA KECELAKAAN MASYARAKAT UMUM Pasal 8 Setiap
Unit
pencegahan
Perseroan
wajib
melaksanakan
terhadap
kecelakaan
perlindungan
masyarakat
umum
dan yang
berhubungan dengan kegiatan Perseroan, dengan melakukan kegiatan sebagai berikut :
1.
Pengendalian teknis untuk mencegah kondisi berbahaya dari instalasi / bangunan / sarana milik Perseroan, meliputi kegiatan : a. Melaksanakan pemasangan tanda peringatan dan atau poster larangan pada lokasi-lokasi instalasi / bangunan / sarana milik Perseroan yang berpotensi bahaya yang berada disekitar tempat tingal atau sekitar tempat kegiatan masyarakat umum. b. Melaksanakan pengawasan dan patroli jaringan tenaga listrik (SUTET / SUTT / SUTM / SUTR) milik Perseroan secara berkala untuk memastikan kondisi jaringan tersebut agar tetap terkendali dan aman dari bahaya listrik, dan memastikan tidak adanya kegiatan masyarakat umum yang membahayakan terhadap jaringan tenaga listrik tersebut. c. Melengkapi sertifikat laik operasi bagi instalasi penyediaan tenaga listrik milik Perseroan.
27
d. Meningkatkan kemampuan Pelaksana pekerjaan sebagai tenaga teknik ketenagalistrikan dengan pendidikan dan pelatihan, serta melengkapinya dengan sertifikat kompetensi dalam melaksanakan pekerjaan pemasangan / pemeliharan / pengoperasian instalasi penyediaan tenaga listrik milik Perseroan. 2. Pengendalian teknik untuk mencegah kondisi berbahaya pada instalasi pemanfaatan tenaga listrik dan atau alat pemanfaat tenaga listrik milik pelanggan, meliputi kegiatan : a. Menganjurkan kepada pelanggan, agar instalasi pemanfaatan tenaga listrik yang dimiliknya dilengkapi dengan sertifikat kesesuaian dengan standar PUIL. b. Menganjurkan kepada pelanggan / masyarakat, agar alat pemanfaat tenaga listrik (peralatan kerja dan atau peralatan rumah tangga) yang dimilikinya dilengkapi dengan tanda keselamatan. 3. Pengendalian personil untuk mencegah perilaku berbahaya dari masyarakat umum, meliputi kegiatan : a. Memberikan penyuluhan tentang keselamatan akan bahaya listrik kepada pelanggan dan atau kepada masyarakat yang bertempat tinggal atau melaksanakan kegiatan disekitar instalasi penyediaan tenaga listrik milik Perseroan. b. Memberikan penyuluhan keselamatan kepada masyarakat yang berhubungan dengan kegiatan bangunan dan sarana milik Perseroan dan kepada masyarakat sebagai tamu atau melaksanakan kegiatan pada Perseroan.
28
c. Memberikan
penyuluhan
tentang
larangan
terhadap
kegiatan
masyarakat yang dapat membahayakan keselamatan dirinya dan merugikan Perseroan, seperti larangan penggunaan tenaga listrik secara tidak sah atau mencuri aliran listrik. 4. Serta kegiatan-kegiatan lain dalam rangka memberikan perlindungan dan pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya kecelakaan masyarakat umum. 3. SK Direksi No.: 092.K/DIR/2005 Tanggal 19 Mei 2005 Tentang Pedoman Keselamatan Kerja.
BAB VIII STANDARISASI KESELAMATAN KERJA Pasal 15 (1) Setiap Unit Perseroan agar menerapkan program kecelakaan nihil (kecelakaan kerja dan atau penyakit yang timbul karena hubungan kerja nihil) bagi seluruh pegawai dan outsourcing. (2) Setiap Unit Perseroan agar menerapkan Standar Nasional Indonesia (SNI) di bidang ketenagalistrikan, khususnya yang berkaitan dengan keselamatan kerja, yang diperlukan guna mendukung program kecelakaan nihil pada Ayat (1) Pasal ini. BAB IX KINERJA KESELAMATAN KERJA Pasal 16 Kinerja keselamatan kerja merupakan bagian dari kinerja keselamatan ketenagalistrikan pada kontrak kinerja perusahaan antara Unit setingkat Cabang dengan Kantor Unit setingkat Wilayah, atau antara Unit setingkat
29
Wilayah dengan Kantor Pusat. Angka perhitungan yang diperoleh dari penyimpangan / kekurangan / ketidak- sesuaian dalam pelaksanaan keselamatan kerja merupakan angka pengurang bagi nilai kinerja Unit Perseroan yang bersangkutan.
BAB XIII PENGAWASAN DAN PEMBINAAN KESELAMATAN KERJA Pasal 19 (1) Pengawasan dan pembinaan keselamatan kerja pada Unit-unit setingkat Cabang dilaksanakan oleh Pengawas pekerjaan, Pejabat penanggung-jawab pekerjaan,
Pejabat
keselamatan
ketenagalistrikan,
Pejabat
SDM
dan
Pimpinan Unit. (2) Pengawasan dan pembinaan keselamatan kerja pada Kantor-kantor Unit setingkat Wilayah dilaksanakan oleh Pejabat keselamatan ketenagalistrikan, Pejabat SDM dan Pimpinan Unit. (3) Pengawasan dan pembinaan pelaksanaan keselamatan kerja ini pada Kantor Pusat dilaksanakan oleh Pejabat keselamatan ketenagalistrikan dan Pejabat SDM. (4) Pembinaan pelaksanaan Keputusan ini untuk keseluruhan Perseroan dilaksanakan oleh Direksi PT PLN (Persero) c.q. Deputi Direktur Lingkungan dan Keselamatan Ketenagalistrikan di Kantor Pusat.
30
BAB XIV SANKSI-SANKSI KESELAMATAN KERJA Pasal 20 (1) Sanksi administratip dan kewajiban dari Perseroan : .
Sanksi administratip dari Perseroan untuk kasus kecelakaan yang diakibatkan oleh kelalaian dari pegawai sebagai Pelaksana pekerjaan atau sebagai Pejabat Manajemen Perseroan berupa hukuman disiplin yang dapat dijatuhkan kepada yang bersangkutan, berdasarkan bukti dari hasil investigasi oleh Tim Investigasi Kecelakaan yang diproses melalui Tim Pemeriksa Pelanggaran Disiplin Pegawai (TP2DP) dan diputuskan oleh Pejabat SDM / Pimpinan Unit Perseroan. Bila kasusnya merupakan kelalaian dari outsourcing sebagai Pelaksana pekerjaan, maka diselesaikan sesuai dengan perjanjian kerjanya.
.
Perseroan wajib memberikan ganti rugi / kompensasi kepada pegawai Pelaksana pekerjaan yang mengalami kecelakaan kerja atau menderita penyakit yang timbul karena hubungan kerja yang bukan karena tindakan kelalaian / kesengajaan dari pegawai itu sendiri. Bila kasusnya dialami oleh outsourcing sebagai Pelaksana pekerjaan, maka diselesaikan sesuai dengan perjanjian kerjanya. (2) Sanksi pidana dari Pemerintah : Kelalaian dari Pejabat Manajemen Perseroan yang mengakibatkan pegawai dan atau outsourcing tewas karena tenaga listrik atau karena penyebab bukan listrik, dapat dipidana dengan pidana sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4. SK Direksi No.: 228.K/DIR/2005 tanggal 14 Oktober 2005
tentang
Penataan Fungsi Lingkungan Dan Keselamatan Ketenagalistrikan (K2) Pada Unit – Unit di lingkungan PT PLN (Persero). 5. SK Direksi No.: 040.K & 041.K /DIR/2006 Tanggal 20 Maret 2006 Tentang Sistem Penilaian Tingkat Kinerja Pada Unit Organisasi PT PLN (Persero) PIKITRING dan Unit – Unit Bisnis).
31
BAB III PENUTUP
3.1 KESIMPULAN Berdasarkan apa yang telah dijelaskan pada pembahasan dapat dikatakan penerapan SMK3 di PT.PLN Persero sudah cukup bagus dikarenakan perusahaan telah menentukan prosedur kerja yang berdasarkan SOP dan DP3 sehingga resiko terjadinya kecelakaan saat kerja bisa di kurangi dan dikendalikan walaupun belum sepenuhny. Hal ini dikarenakan masih ada dari para pekerja yang tidak mematuhi peraturan K3 karena alasan yang tidak seharusnya. 3.2 SARAN 1. Dengan kecelakaan yang masih ada walaupun dalam skala kecil maka PT.PLN harus lebih memperhatikan kebutuhan para pekerja seperti menyediakan fasilitas untuk keselamatan dan kesehatan kerja lebih baik lagi. 2. Melakukan penyelenggaran K3 sehingga para karyawan lebih memahami lagi masalah dan prosedur K3. 3. Memberikan sanksi bagi pekerja yang melanggar peraturan K3 sehingga perlahan timbul kesadaran pada pekerja untuk mentatai peraturan K3 demi keselamatan diri sendiri.
32
3.3 DAFTAR PUSTAKA 1. Modul K3L (Keselamatan Kesehatan Kerja dan Lingkungan) dan Hukum
2. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Keselamatan dan Kesehatan
Kerja Disusun Oleh: Sekretaris Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan 3. http://haris08.community.undip.ac.id/2012/06/03/k3-konstruksi-bangunan/
Ditulis Oleh: Abdul Haris 4. http://www.ftsl.itb.ac.id/kk/manajemen_dan_rekayasa_konstruksi/wp-
content/uploads/2007/05/makalah-reini-d-wirahadikusumah.pdf Ditulis Oleh: Reini D. Wirahadikusumah. 5. http://teknik-ketenagalistrikan.blogspot.com/2013/05/keselamatan-kerja-
listrik.html
33