BUKU AJAR
HIDROLOGI TEKNIK
Penyusun: DR. IR. MAHMUD ACHMAD, MP
Program Hibah Penulisan Buku Ajar Tahun 2011 Universitas Hasanuddin 2011
HALAMAN PENGESAHAN HIBAH PENULISAN BUKU AJAR BAGI TENAGA AKADEMIK UNIVERSITAS HASANUDDIN TAHUN 2011 Judul Buku Ajar
: Hidrologi Teknik
NamaLengkap NIP Pangkat/Golongan Prog.Studi/Jurusan Fakultas/Universitas Alamat e-mail Biaya
: Dr. Ir. Mahmud Achmad, MP : 19700603 199403 1 003 : Lektor / III c : KeteknikanPertanian/TeknologiPertanian : Pertanian/Univ. Hasanuddin :
[email protected] : Rp. 5.000.000,- (Lima juta rupiah) Dibiayai oleh Dana DIPA BLU Universitas Hasanuddin Tahun 2011 Sesuai SK Rektor Unhas Nomor: H4.2/KU.10/2011 Tanggal Makassar,23 November 2011
Dekan Fakultas Pertanian u.b.Wakil Dekan I
Penulis,
Prof. Dr.Ir. Ahmad Munir, M.Eng. NIP 19600727 198903 1 003
Dr. Ir. Mahmud Achmad, MP. NIP 19700603 199403 1 003
Mengetahui: Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Pendidikan (LKPP)
Prof. Dr. Ir. Lellah Rahim, M.Sc. NIP. 19630501 198803 1 004
Halaman Sampul
i
Halaman Pengesahan
ii
Kata Pengantar
iii
Daftar Isi
iv
Daftar Tabel
vii
Daftar Gambar
viii
I.
PENDAHULUAN
1
II.
SIKLUS HIDROLOGI
6
2.1 Pengertian, ruang lingkup dan peran ilmu hidrologi
6
2.2 Siklus hidrologi
6
III.
IV.
2.3 Hidrologi di Indonesia
17
2.4 Latihan dan Penugasan
20
2.5 Daftar Pustaka
20
HUJAN DAN PARAMETER IKLIM
21
3.1 Pengertian dan Proses Kejadian Hujan
21
3.2 Klasifikasi Hujan
23
3.3 Pengukuran Curah Hujan dan Perhitungan Hujan Wilayah
29
3.4 Latihan dan Penugasan
36
3.5 Daftar Pustaka
37
EVAPOTRANSPIRASI
38
4.1 Pendahuluan
38
4.2 Evaporasi
40
4.3 Transpirasi
40
4.4 Evapotranspirasi
42
4.5 Evapotranspirasi Acuan
46
4.6 Latihan dan Penugasan
48
4.7 Tinjauan Pustaka
50
V.
VI.
LIMPASAN HUJAN DAN HIDROMETRI
52
5.1 Pendahuluan
52
5.2 Aliran Permukaan
53
5.3 Aliran Sungai
53
5.4 Waktu Konsentrasi
61
5.5 Transformasi Hujan Aliran
69
5.6 Tipe Sungai dan Aliran
72
5.7 Latihan dan Penugasan
78
5.8 Daftar Pustaka
79
INFILTRASI
80
6.1 Pendahuluan
80
6.2 Faktor yang Mempengaruhi Infiltrasi
81
6.3 Perhitungan Infiltrasi dan Laju Infiltrasi
85
6.4 Pengukuran Infiltrasi
91
6.5 Contoh Soal
93
6.6 Latihan dan Penugasan
94
6.7 Daftar Pustaka
95
VII. PENELUSURAN BANJIR
96
7.1 Pendahuluan
96
7.2 Memilih Model Penelusuran Banjir
97
7.3 Penelusuran Aliran Tipe-Lump
98
7.4 Penelusuran Aliran Tipe-Terdistribusi
102
7.5 Metode Muskingum-Cunge
105
7.6 Latihan dan Penugasan
108
7.7 Daftar Pustaka
108
VIII. KOMPUTASI HIDROLOGI
110
8.1 Pendahuluan
110
8.2 Penyuntingan DEM
112
8.3 Menyunting Arah Aliran
116
8.4 Menyunting Elevations ke Create Streams
118
8.5 Analisa HEC-RAS
118
8.6 Penggambaran Dataran Banjir
124
8.7 Latihan dan Penugasan
126
8.8 Daftar Pustaka
126
PENUTUP
127
No Tabel
Tabel 4.1.
URAIAN
Koefisien Tanaman (Kc) Padi Menurut Nedeco/Prosida
Hal
44
dan FAO Tabel 4.2
Kisaran nilai koefisien panci pada berbagai level kecepatan
48
angin dan kelembaban udara Tabel 4.3
Kisaran nilai ET pada berbagai kondisi iklim wilayah
48
Tabel 5.1
Korelasi Nilai Koefisien dan untuk pelampung batang
58
Tabel 5.2
Pengukuran kecepatan aliran berdasarkan kedalaman
60
Tabel 6.1
Laju Infiltrasi Menurut Jenis Tanah
84
Nomor Gambar Gambar 2.1. Gambar 2.2 Gambar 2.3 Gambar 2.4 Gambar 2.5 Gambar 2.6 Gambar 2.7 Gambar 2.8 Gambar 2.9. Gambar 2.10. Gambar 3.1 Gambar 3.2 Gambar 3.3 Gambar 3. 4 Gambar 3.5 Gambar 3.6 Gambar 3.7 Gambar 3.8 Gambar 3.9 Gambar 3.10 Gambar 3.11 Gambar 3.12 Gambar 3.13 Gambar 3.14
Uraian Siklus Hidrologi (T=transpirasi, E=evaporasi, P=hujan, R=aliran ppermukaan, G=aliran airtanah dan I=infiltrasi). Sumber: Viessman et.al., 1989) Kesetimbangan dan pergerakan air secara hidrologis. (Sumber: Viessman et.al., 1989). Distribusi input presipitasi dalam siklus hidrologi Siklus Karbon di Bumi dan di Atmosfir Siklus Nitrogen di Alam (Koottatep, Polprasert & Oanh, 2000) Siklus Fosfor di Alam Siklus Karbon dan Oksigen di Alam Siklus Hidrologi Regional Aliran permukaan dari dari curah hujan dan aliran mantap (air yang tertampung di waduk, danau dan sungai) di pulau-pulau besar di Indonesia (Kodoatie dan Suripin, 2000) Ketersediaan dan kebutuhan air secara umum di pulau-pulau besar di Indonesia (Kodoatie dan Suripin, 2000) Standar alat penakar hujan (Dimensi dalam inchi). Standar alat penakar hujan (Dimensi dalam millimeter) Konsentrasi nuklei kondensasi awan di armosfir wilayah kontinental dan laut Model Konsep Siklon Ekstratropis. (Smidth dalam Maidment, 1989) Tahap pengembangan massa udara thunderstorm (Maidment, 1989) Curah hujan tahunan berdasarkan posisi latitude Bentuk butiran hujan berdasarkan diameter butiran (Maidment, 1989) Alat penakar hujan type weighing Mekanisme internal alat penakar hujan Meteorological Office Tilting-syphon. A=Collecting chamber; B=Plastic float; C=Knife-edges; D=Double siphon tubes; E=Trigger; Prinsip dasar mekanisme tipping-bucket. A, B: buckets. C: magnet. D: switch Alat Penakar Hujan (manual dan otomatis) Metode Polgon Thiessen dan prosedur pembuatannya Metode Isohyet Posisi Penakar pada suatu DAS
Hal 7 8 9 10 14 15 16 17 19 19 22 22 24 25 26 27 28 29 30 30 31 33 34 35
Nomor Gambar Gambar 4.1 Gambar 4.2 Gambar 4.3 Gambar 4.4 Gambar 4.5 Gambar 4.6 Gambar 4.7 Gambar 4.8 Gambar 5.1 Gambar 5.2 Gambar 5.3 Gambar 5.4 Gambar 5.5 Gambar 5.6 Gambar 5.7 Gambar 5.8 Gambar 5.9 Gambar 5.10 Gambar 5.11 Gambar 5.12 Gambar 6.1 Gambar 6.2 Gambar. 6.3 Gambar 6.4 Gambar 7.1 Gambar 8.1 Gambar 8.2 Gambar 8.3 Gambar 8.4 Gambar 8.5 Gambar 8.6 Gambar 8.7 Gambar 8.8 Gambar 8.9 Gambar 8.10 Gambar 8.11 Gambar 8.12 Gambar 8.12
Uraian Proses penguapan air dari badan air Komponen kesetimbangan energi pada tanaman Skema stomata pada daun tanaman Fraksi evaporasi dan transpirasi pada proses evapotranspirasi Skema faktor penentu evapotranspirasi Skema perhitungan evapotranspirasi aktual Penentuan Evaporasi dengan Grafik Panci Evaporasi Kelas A Morfologi Sungai dan bentuk pengalirannya Pembagian Penampang Melintang Sungai Profil distribusi kecepatan aliran sungai Pelampung tangkai dari batang bambu Prototipe alat Current meter Contoh Daerah Tangkapan Hujan Contoh Transformasi hidrograf hujan-aliran dan komponen aliran sungai di suatu daerah tangkapan hujan Konsep pendugaan debit puncak dengan metode time-area Pola pergerakan air di sungai dalam tanggul/bantaran sungai Pola pengaliran air sungai (SPAS) Penentuan Orde Sungai Profil Aliran Sungai Hasil Pengukuran Skema komponen rainfall excess Monogram SCS Metode grafis penentuan Konduktivitas Hidraulik Jenuh dengan segitiga tekstur Infiltrometer Sifat translasi dan attenuasi banjir Menyunting DEM Penentuan batas DAS atau sub-DAS Kesalahan penggambara DAS Das hasil perbaikan/koreksi Hasil akhir penggambaran DAS Peta Citra Aliran Permukaan (stream flow) Menyunting arah aliran dan koreksi Koreksi atribut aliran Peta Penggunaan Lahan Penggunaan HEC-HMS Hasil Pengolahan HEC-RAS di WMS Pola dampak banjir stelah diproses
Hal 39 39 41 41 43 44 45 47 54 55 56 57 59 65 70 72 73 74 75 76 88 69 91 92 97 113 114 114 115 115 116 117 117 117 120 121 123 125
Puji syukur kehadirat Tuhan pencipta alam semesta dan yang menguasai ilmu pengetahuan karena atas nikmat ilmu-Nya, maka penulis dapat menyelesaikan buku ajar Hidrologi Teknik ini. Karena banyaknya materi dan kajian tentang hidrologi, penulis membatasi tulisan ini sesuai kurikulum di Program Studi Keteknikan Pertanian. Berbagai tantangan dan halangan yang penulis hadapi dalam penulisan ini terutama dalam setting gambar. Oleh karena itu lewat pengantar ini, saya memohon bila apa yang tersaji masih banyak yang perlu dibenahi. Keterbatasan waktu dalam mebuat modul bahan ajar ini merupakan salah satu faktor pembatas. Penulis tentu akan terus memperbaiki Modul ini untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan kemudahan bagi mahasiswa dalam mempelajari ilmu hidrologi. Terima kasih saya sampaikan kepada Rektor UNHAS melalui LKPP yang telah memberikan bantuan dana penulisan untuk mendukung terwujudnya buku ajar ini. Tak lupa saya ucapkan terima kasih kepada keluarga saya Istri tercinta Hj. Nahar Zakariah dan anak-anakku (Ainun, Uswah dan Ariqah) yang telah dengan penuh pengertian dan dukungan dalam penyelesaian modul ini.
Makassar, November 2011 Penulis
Sasaran Pembelajaran/Kompetensi: 1. Mahasiswa mengetahui GBRP dan kontrak pembelajaran 2. Mahasiswa memahami sistem evaluasi pembelajaran Kondisi Pembelajaran di Teknik Pertanian Dalam rangka peningkatan kualitas pembelajaran di Program studi Keteknikan Pertanian Jurusan Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian UNHAS, maka dipandang perlu untuk membuat kelengkapan bahan pengajaran dalam bentuk yang dapat digunakan oleh dosen dan mahasiswa sebagai acuan dasar dalam proses pembelajaran. Salah satu bahan yang dapat dijadikan acuan dalam proses pembelajaran pada Mata Kuliah Hidrologi Teknik adalah MODUL yang dibuat dalam bentuk interaktif dan disertai contoh-contoh kasus dalam bidang Sumber Daya Air secara menyeluruh dan terintegrasi. Mata kuliah Hidrologi Teknik diikuti oleh rata-rata 50 mahasiswa peserta mata kuliah setiap semester dengan kelulusan yang bervariasi dari A sampai ke E. Nilai A kurangdari 5%, A- sekira 10% sedangkan nilai B+ sampai D mendominasi sampai 75%, dan kurang lebih 10% tidak lulus atau mengundurkan diri. Kelulusan mahasiswa umumnya ditentukan dengan beberapa aspek meliputi: (i) Tingkat Kognisi berupa kemampuan menghitung, mengolah data dan menganalisis persoalan hidrologi seperti peluang kejadian hujan, kejadian banjir, air tanah, dan aspek dalam siklus hidrologi lainnya; (ii) Tingkat Keterampilan (Skill) berupa kemampuan mengoperasikan alat-alat ukur hidrologi dan klimatologi, dan mengolah data dengan perangkat lunak olah data (terdistribusi atau spasial); dan (iii) Skala Sikap dan Soft Skill yang meliputi kemampuan kerja kelompok dan bekerjasama, serta etika dalam penggunaan alatalat/instrumen laboratorium. Berdasarkan rekam jejak kelulusan mahasiswa, umumnya nilai selalu rendah pada tingkat kognisi dimana mereka masih lemah dalam menghitung, mengolah dan menganalisis data.
Oleh
karena
itu,
keberadaan
MODUL
PEMBELAJARAN
HIDROLOGI
TEKNIK
diharapkan dapat meningkatkan efisiensi pembelajaran mahasiswa dalam hal peningkatan kemampuan kognitif dan keterampilan dalam bidang Hidrologi Teknik. Sasaran Pembelajaran Pada akhir penyajian matakuliah Hidrologi Teknik ini, mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan prinsip dan teori dasar hidrologi, mampu mendeskripsi komponen-komponen siklus hidrologi dan proses dari masing-masing komponen. Mahasiswa juga diharapkan memahami dan trampil dalam mengukur parameter hidrologi (hidrometri); menganalisis distribusi kebutuhan dan ketersediaan air di Indonesia atau secara lokal di DAS; trampil menggunakan perangkat lunak dalam analisis data dan proses hidrologi. Deskripsi Mata Kuliah Matakuliah ini merupakan mata ajaran yang membahas aspek-aspek yang berkaitan penyebaran, siklus dan proses air di atmosfir dan di bumi serta manfaat dan bahaya air bagi manusia. Ruang lingkup mata kuliah Hidrologi Teknik mencakup pengertian dan ilmu yang terkait dengan hidrologi; genesa dan penyebaran air; proses dan komponen siklus hidrologi; identifikasi dan deskripsi satuan analisis untuk kajian hidrologi; pengukuran komponen/parameter
hidrologi
(hidrometri),
analisis
hujan,
evapotranspirasi
dan
perhitungannya, limpasan permukaan; dan dasar komputasi hidrologi. Pelaksanaan kuliah menggunakan pendekatan ekspositori dalam bentuk ceramah dan tanya jawab (diskusi) dengan penggunaan LCD. Kelengkapan kuliah berupa penyelesaian tugas penyusunan dan penyajian
makalah
laboratoriun
dan
lapangan agar
kelompok, lapangan.
diskusi Di
dan
akhir
pemecahan
perkuliahan
masalah, juga
serta
dilaksanakan
praktikum praktek
mahasiswa memiliki keterampilan dalam menganalisa masalah-masalah
hidrologi di lapangan. Tahap penguasaan mahasiswa selain evaluasi melalui UTS dan UAS juga evaluasi terhadap tugas, penyajian, diskusi, dan laporan praktikum lapangan. Pendekatan pembelajaran Perkuliahanini
menggunakan
pendekatan
ekspositori,
penugasan,
dan
praktek
laboratorium dan lapangan a.
Metode Tatap Muka : ceramah, tanya jawab, diskusi, dan pemecahan masalah
b.
Tugas : Laporan Praktikum, penyajian makalah dan diskusi, dan Laporan praktek lapangan
c.
Media : LCD (presentasi), Penuntun Praktikum (CD), dan Modul Pembelajaran (File PDF).
Evaluasi Mahasiswa yang mengikuti perkuliahan ini dievaluasi dengan komponen prestasi yang telah ditunjukkan berupa: a.
Jumlah tatap muka (% kehadiran)
b.
Partisipasi aktif dalam kegiatan kelas
c.
Partisipasi dalam praktikum (Laboratorium dan Lapangan) dan Laporan praktikum Lab/Lapangan
d.
Tugas Makalah dan Presentasi
e.
Kuis
f.
UTS dan UAS
GBRP (GARIS BESAR RANCANGAN PEMBELAJARAN) MINGGU KE
SASARAN PEMBELAJARAN 1. 2.
1
3. 2
4. 5.
6. 3-4 7. 8.
Kontrak kuliah Mampu menjelaskan Konsep Hidrologi
Mampu menjelaskan Siklus Hidologi dan komponennya
Mampu menjelaskan proses kejadian hujan Mampu menjelaskan metode pengukuran hujan dan alat ukurnya Mampu mengidentifikasi dan menganalisis karakeristik hujan Mampu menghitung rata‐ rata hujan wlayah Mampu menjelaskan parameter iklim lain
MATERI PEMBELAJARAN − −
− − − − − − −
Pengertian dan Ruang Lingkup Hidrologi Permasalahan Hidrologi di Indonesia Siklus Hidrologi Kesetimbangan Air Siklus Komponen lain di Bumi
STRATEGI PEMBELAJARAN Kuliah/ Diskusi
KRITERIA PENILAIAN − − − − −
Kuliah/ Diskusi −
Keaktifan (1) Cara mengemukakan pendapat (2) Tingkat analisis (2) Keaktifan (1) Cara mengemukakan pendapat (2) Tingkat analisis (2)
BOBOT NILAI (%)
5
5
− Keaktifan (1) − Cara menghitung (3) − Cara menggambar area hujan (4) − Tingkat analisis (2)
Pengertian dan proses kejadian hujan Karakteristik Hujan Pengukuran Hujan Hujan Wilayah Kuliah/Penugasan
10
5-6
7‐8
9‐11
12‐13
9. Mampu menjelaskan proses evapotranspirasi 10. Mampu menjelaskan parameter evapotranspirasi 11. Mampu melakukan perhitungan evapotranspirasi potensial (Penmann) dengan benar 12. Mampu melakukan perhitungan evapotranspirasi aktual (Penmann) dengan benarMengerti cara pengukuran erosi
13. Mampu menjelaskan pengertian runoff 14. Mampu mengukur penampang pengaliran sungai (praktek lapangan) 15. Mampu melakukan pengukuran kecepatan aliran sungai dengan pelampung dan current meter (praktek lapangan) 16. Mampu menghitung debit aliran sungai hasil pengukuran (praktek lapangan) 17. Mampu menjelaskan tipe‐ tipe Pola Pengaliran Air Sungai (SPAS) 18. Memahami metoda Rasional sebagai pendugaan debit sungai 19. Mampu menghitung intensitas hujan 20. Mampu menenukan waktu konsentrasi dengan WMS 21. Mampu menghitung debit puncak 23. Mampu menjelaskan konsep infiltrasi, perkolasi dan permeabilitas 24. Mampu menjelaskan perbedaan antara konsep infiltrasi, perkolasi dan permeabilitas 25. Mampu menghitung laju infiltrasi dan kapasitas infiltrasi serta koefisien fungsi infiltrasi (Kostiakov, Horton, dan Holtan) 26. Mampu melakukan pengukuran infiltrasi dengan ring infiltrometer di lapangan. 27. Mengetahui cara prakiraan banjir jangka pendek 28. Menghitung hidrograf satuan dari suatu titik ukur ke bagian sungai lain 29. Mengetahui perhitungan debit banjir
− − − − − − −
− − − − −
− − − −
Evaporasi Transpirasi, Evapotranspirasi Pengukuran Evaporasi Perhitungan ETP
Keaktifan (1) Dokumentasi (3) Kreatifitas(3) Menghitung (3)
Kuliah/ Belajar mandiri
10
− Pengenalan Alat Ukur (3) − Pengukuran Lapang (4) − Penghitungan (2) − Laporan/ Bahan presentasi (5) − Teknik Presentasi (3) − Teknik menjawab (3)
Pengertian Aliran Permukaan Aliran Sungai APengetian Alat Ukur Pengukuran Debit Perhitungan Debit
Praktikum/Praktek Lapangan/ Presentasi/Diskusi
− − − −
Pengertian Faktor yang mempengaruhi infiltrasi Pengukuran lapangan Perhitungan Fungsi Infilrtasi
Kuliah/ Praktikum/ Praktek Lapangan/ Diskusi
− − − −
Penngertian Model penelusuran banjir Tipe Lump Tipe terdistribusi
Kuliah/ Diskusi kelompok/ Prentasi/ Penugasan
20
− Pengenalan Alat Ukur (2) − pengukuran Lapang (2) − Penghitungan (4) − Laporan/ Bahan Diskusi (4) − Teknik mengemukakan pendapat (3)
− − − −
Kektifan (2) Praktek Komputasi (5) Penghitungan (4) Laporan/ Bahan Diskusi (4)
15
15
30. Mengetahui derivasi hidrograf sintetik
14‐15
16
31. Mengetahui aplikasi komputer dalam analisis hidrologi 32. Mengetahui perhitungan menggunakan komputer 33. Mengetahui perhitungan banjir rencana menggunakan komputer 34. Mengetahui perhitungan debit menggunakan komputer 35. Mengetahui perhitungan banjir rencana menggunakan komputer 36. Mengetahui perhitungan debit menggunakan komputer 37. Penguasaan materi
− − −
Aplikasi Komputer Teknik mengoperasikan model WMS Perhitungan Debit Rencana
−
Soal ujian (materi dan praktek)
Kuliah/Praktek/ Pembuatan Laporan
UJI KOMPETENSI DAN REMEDAIL
− Keaktifan (2) − Pengenalan Software (4) − Pengolahan data (6) − Penyajian hasil/ Laporan (8)
20
− Akumulasi Kemampuan
100
Sasaran Pembelajaran/Kompetensi: 1. Mahasiswa mengetahui pengertian, ruang lingkup dan peranan Ilmu hidrologi, 2. Mahasiswa mampu menjelaskan Siklus Hidrologi, dan, Hidrologi di Indonesia
A. Pengertian, ruang lingkup dan peranan Ilmu hidrologi Hidrologi adalah cabang ilmu dari ilmu kebumian. Hidrologi merupakan ilmu yang penting dalam asesmen, pengembangan, utilisasi dana manajemen summberdaya air yang dewasa ini semakin meningkat realisasinya di berbagai level. Indonesia secara umum juga mengalami berbagai permasalahan sumberdaya air yang membutuhkan analisis hidrologi yang semakin rumit dalam mengatasinya. Hal ini mendorong para peneliti bidang
Hidrologi
untuk
semakin
intensif
dalam
mengumpulkan
data
dan
informasi dari level global sampai pada tingkat prilaku air di sub-sub daerah aliran sungai. Pemahaman ilmu hidrologi akan membantu kita dalam menyelesaikan problem berupa
kekeringan,
banjir,
perencanaan
sumberdaya
air
seperti
dalam
disain
irigasi/bendungan, pengelolaan daerah aliran sungai, degradasi lahan, sedimentasi dan problem lain yang terkait dengan kasus keairan.
B. Siklus Hidrologi Siklus hidrologi adalah pergerakan air di bumi berupa cair, gas, dan padat baik proses di atmosfir, tanah dan badan-badan air yang tidak terputus melalui proses kondensasi, presipitasi, evaporasi dan transpirasi. Pemanasan air samudera oleh sinar matahari merupakan kunci proses siklus hidrologi tersebut dapat berjalan secara kontinu. Air berevaporasi, kemudian jatuh sebagai presipitasi dalam bentuk air, es, atau kabut. Pada perjalanan menuju bumi beberapa presipitasi dapat berevaporasi kembali ke atas atau langsung jatuh yang kemudian diintersepsi oleh tanaman sebelum mencapai tanah. Setelah mencapai tanah, siklus hidrologi terus bergerak secara kontinu dalam tiga cara yang berbeda:
1.
Evaporasi / transpirasi - Air yang ada di laut, di daratan, di sungai, di tanaman, dsb. kemudian akan menguap ke angkasa (atmosfer) dan kemudian akan menjadi awan. Pada keadaan jenuh uap air (awan) itu akan menjadi bintik-bintik air yang selanjutnya akan turun (precipitation) dalam bentuk hujan, salju, es.
2.
Infiltrasi / Perkolasi ke dalam tanah - Air bergerak ke dalam tanah melalui celahcelah dan pori-pori tanah dan batuan menuju muka air tanah. Air dapat bergerak akibat aksi kapiler atau air dapat bergerak secara vertikal atau horizontal dibawah permukaan tanah hingga air tersebut memasuki kembali sistem air permukaan.
3.
Air Permukaan - Air bergerak diatas permukaan tanah dekat dengan aliran utama dan danau; makin landai lahan dan makin sedikit pori-pori tanah, maka aliran permukaan semakin besar. Aliran permukaan tanah dapat dilihat biasanya pada daerah urban. Sungai-sungai bergabung satu sama lain dan membentuk sungai utama yang membawa seluruh air permukaan disekitar daerah aliran sungai menuju laut.
Air permukaan, baik yang mengalir maupun yang tergenang (danau, waduk, rawa), dan sebagian air bawah permukaan akan terkumpul dan mengalir membentuk sungai dan berakhir ke laut. Proses perjalanan air di daratan itu terjadi dalam komponenkomponen
siklus
hidrologi
yang
membentuk
sisten
Daerah
Aliran
Sungai
(DAS).Jumlah air di bumi secara keseluruhan relatif tetap, yang berubah adalah wujud dan tempatnya
Secara umum bagan alir distribusi air hujan dalam proses hidrologi dapat dilihat pada Gambar 3 yang disajikan sebagai bentuk transformasi hyetograph menjadi streamflow hydrograph melalui berbagai proses di bumi dan di atmosfir.
Gambar 3. Distribusi input presipitasi dalam siklus hidrologi Siklus Karbon (C) Diagram dari siklus karbon. Angka dengan warna hitam menyatakan berapa banyak karbon tersimpan dalam berbagai reservoir, dalam milyar ton ("GtC" berarti Giga Ton Karbon). Angka dengan warna biru menyatakan berapa banyak karbon berpindah antar reservoir setiap tahun. Sedimen, sebagaimana yang diberikan dalam diagram, tidak termasuk ~70 juta GtC batuan karbonat dan kerogen Bagian terbesar dari karbon yang berada di atmosfer Bumi adalah gas karbon dioksida (CO2). Meskipun jumlah gas ini merupakan bagian yang sangat kecil dari seluruh gas yang ada di atmosfer (hanya sekitar 0,04% dalam basis molar, meskipun sedang mengalami kenaikan), namun ia memiliki peran yang penting dalam menyokong kehidupan. Gas-gas lain yang mengandung karbon di atmosfer adalah metan dan kloroflorokarbon atau CFC (CFC ini merupakan gas artifisial atau buatan). Gas-gas tersebut adalah gas rumah kaca yang konsentrasinya di atmosfer telah bertambah dalam dekade terakhir ini, dan berperan dalam pemanasan global.
Gambar 4. Siklus Karbon di Bumi dan di Atmosfir Karbon diambil dari atmosfer dengan berbagai cara: 1. Ketika matahari bersinar, tumbuhan melakukan fotosintesa untuk mengubah karbon dioksida menjadi karbohidrat, dan melepaskan oksigen ke atmosfer. Proses ini akan lebih banyak menyerap karbon pada hutan dengan tumbuhan yang baru saja tumbuh atau hutan yang sedang mengalami pertumbuhan yang cepat. 2. Pada permukaan laut ke arah kutub, air laut menjadi lebih dingin dan CO2 akan lebih mudah larut. Selanjutnya CO2 yang larut tersebut akan terbawa oleh sirkulasi termohalin yang membawa massa air di permukaan yang lebih berat ke kedalaman laut atau interior laut (lihat bagian solubility pump). 3. Di laut bagian atas (upper ocean), pada daerah dengan produktivitas yang tinggi,
organisme
organisme
juga
membentuk membentuk
jaringan cangkang
yang
mengandung
karbonat
dan
karbon,
beberapa
bagian-bagian
tubuh
lainnya yang keras. Proses ini akan menyebabkan aliran karbon ke bawah (lihat bagian biological pump). 4. Pelapukan batuan silikat. Tidak seperti dua proses sebelumnya, proses ini tidak memindahkan karbon ke dalam reservoir yang siap untuk kembali ke atmosfer. Pelapukan batuan karbonat tidak memiliki efek netto terhadap CO2 atmosferik
karena ion bikarbonat yang terbentuk terbawa ke laut dimana selanjutnya dipakai untuk membuat karbonat laut dengan reaksi yang sebaliknya (reverse reaction). Karbon dapat kembali ke atmosfer dengan berbagai cara pula, yaitu: 1. Melalui pernafasan (respirasi) oleh tumbuhan dan binatang. Hal ini merupakan reaksi eksotermik dan termasuk juga di dalamnya penguraian glukosa (atau molekul organik lainnya) menjadi karbon dioksida dan air. 2. Melalui pembusukan binatang dan tumbuhan. Fungi atau jamur dan bakteri mengurai
senyawa
karbon
pada
binatang
dan
tumbuhan
yang
mati
dan
mengubah karbon menjadi karbon dioksida jika tersedia oksigen, atau menjadi metana jika tidak tersedia oksigen. 3. Melalui
pembakaran
material
organik
yang
mengoksidasi
karbon
yang
terkandung menghasilkan karbon dioksida (juga yang lainnya seperti asap). Pembakaran
bahan
bakar
fosil
seperti
batu
bara,
produk
dari
industri
perminyakan (petroleum), dan gas alam akan melepaskan karbon yang sudah tersimpan selama jutaan tahun di dalam geosfer. Hal inilah yang merupakan penyebab utama naiknya jumlah karbon dioksida di atmosfer. 4. Produksi semen. Salah satu komponennya, yaitu kapur atau gamping atau kalsium oksida, dihasilkan dengan cara memanaskan batu kapur atau batu gamping yang akan menghasilkan juga karbon dioksida dalam jumlah yang banyak. 5. Di permukaan laut dimana air menjadi lebih hangat, karbon dioksida terlarut dilepas kembali ke atmosfer. 6. Erupsi vulkanik atau ledakan gunung berapi akan melepaskan gas ke atmosfer. Gas-gas tersebut termasuk uap air, karbon dioksida, dan belerang. Jumlah karbon dioksida yang dilepas ke atmosfer secara kasar hampir sama dengan jumlah karbon dioksida yang hilang dari atmosfer akibat pelapukan silikat; Kedua proses kimia ini yang saling berkebalikan ini akan memberikan hasil penjumlahan yang sama dengan nol dan tidak berpengaruh terhadap jumlah karbon dioksida di atmosfer dalam skala waktu yang kurang dari 100.000 tahun.
Karbon di biosfer Sekitar 1900 gigaton karbon ada di dalam biosfer. Karbon adalah bagian yang penting dalam kehidupan di Bumi. Ia memiliki peran yang penting dalam struktur, biokimia, dan nutrisi pada semua sel makhluk hidup. Dan kehidupan memiliki peranan yang penting dalam siklus karbon: 1. Autotroph adalah organisme yang menghasilkan senyawa organiknya sendiri dengan menggunakan karbon dioksida yang berasal dari udara dan air di sekitar tempat mereka hidup. Untuk menghasilkan senyawa organik tersebut mereka membutuhkan
sumber
energi
dari
luar.
Hampir
sebagian
besar
autotroph
menggunakan radiasi matahari untuk memenuhi kebutuhan energi tersebut, dan proses
produksi
ini
disebut
sebagai
fotosintesis.
Sebagian
kecil
autotroph
memanfaatkan sumber energi kimia, dan disebut kemosintesis. Autotroph yang terpenting dalam siklus karbon adalah pohon-pohonan di hutan dan daratan dan fitoplankton di laut. Fotosintesis memiliki reaksi 6CO2 + 6H2O → C6H12O6 + 6O2 2. Karbon
dipindahkan
di
dalam
biosfer
sebagai
makanan
heterotrop
pada
organisme lain atau bagiannya (seperti buah-buahan). Termasuk di dalamnya pemanfaatan material organik yang mati (detritus) oleh jamur dan bakteri untuk fermentasi atau penguraian. 3. Sebagian besar karbon meninggalkan biosfer melalui pernafasan atau respirasi. Ketika tersedia oksigen, respirasi aerobik terjadi, yang melepaskan karbon dioksida ke udara atau air di sekitarnya dengan reaksi C6H12O6 + 6O2 → 6CO2 + 6H2O. Pada keadaan tanpa oksigen, respirasi anaerobik lah yang terjadi,
yang
melepaskan
metan
ke
lingkungan
sekitarnya
yang
akhirnya
berpindah ke atmosfer atau hidrosfer. 4. Pembakaran biomassa (seperti kebakaran hutan, kayu yang digunakan untuk tungku penghangat atau kayu bakar, dll.) dapat juga memindahkan karbon ke atmosfer dalam jumlah yang banyak. 5. Karbon juga dapat berpindah dari bisofer ketika bahan organik yang mati menyatu dengan geosfer (seperti gambut). Cangkang binatang dari kalsium karbonat yang menjadi batu gamping melalui proses sedimentasi. 6. Sisanya, yaitu siklus karbon di laut dalam, masih dipelajari. Sebagai contoh, penemuan sebagai
terbaru
bahwa
rumah
larvacean
mucus
(biasa
dikenal
"sinkers") dibuat dalam jumlah besar yang mana mampu membawa banyak karbon ke laut dalam seperti yang terdeteksi oleh perangkap sedimen [1]. Karena ukuran dan kompisisinya, rumah ini jarang terbawa dalam perangkap sedimen,
sehingga
sebagian
besar
analisis
biokimia
melakukan
kesalahan
dengan mengabaikannya. Penyimpanan karbon di biosfer dipengaruhi oleh sejumlah proses dalam skala waktu yang berbeda: sementara produktivitas primer netto mengikuti
siklus harian
dan
musiman, karbon dapat disimpan hingga beberapa ratus tahun dalam pohon dan hingga ribuan tahun dalam tanah. Perubahan jangka panjang pada kolam karbon (misalnya melalui de- atau afforestation) atau melalui perubahan temperatur yang berhubungan dengan respirasi tanah) akan secara langsung mempengaruhi pemanasan global
Siklus Biogeokimia Materi yang menyusun tubuh organisme berasal dari bumf. Materi yang berupa unsurunsur terdapat dalam senyawa kimia yang merupakan Materi dasar makhluk hidup dan tak hidup. Siklus biogeokimia atau siklus organikanorganik adalah siklus unsur atau senyawa kimia yang mengalir dari komponen abiotik ke biotik dan kembali lagi ke komponen abiotik.
Siklus
melibatkan
unsur-unsur
reaksireaksi
tersebut
kimia
dalam
tidak
hanya
lingkungan
melalui abiotik
organisme, sehingga
tetapi
disebut
jugs siklus
biogeokimia. Siklus-siklus tersebut antara lain: siklus air, siklus oksigen, siklus karbon, siklus nitrogen, dan siklus sulfur. Di sini hanya akan dibahas 3 macam siklus, yaitu siklus nitrogen, siklus fosfor, dan siklus karbon.
1. Siklus Nitrogen (N2) Gasnitrogenbanyak terdapat di atmosfer, yaitu 80% dari udara. Nitrogen bebas dapat ditambat/difiksasi
terutama
oleh
tumbuhan
yang
berbintil
akar
(misalnya
jenis
polongan) dan beberapa jenis ganggang. Nitrogen bebas juga dapat bereaksi dengan hidrogen atau oksigen dengan bantuan kilat/ petir. Tumbuhan memperoleh nitrogen dari dalam tanah berupa amonia (NH3), ion nitrit (N02- ), dan ion nitrat (N03- ).
Beberapa bakteri yang dapat menambat nitrogen terdapat pada akar Legum dan akar tumbuhan
lain,
misalnya
Marsiella
crenata.
Selain itu, terdapat bakteri dalam
tanah yang dapat mengikat nitrogen secara langsung, yakni Azotobacter sp. yang bersifat aerob
dan
Clostridium
sp.
yang
bersifat
anaerob.
Nostoc
sp.
dan
Anabaena
sp.
(ganggang biru) juga mampu menambat nitrogen. Nitrogen
yang
diikat
biasanya
dalam
bentuk
amonia.
Amonia
diperoleh
dari
hasil
penguraian jaringan yang mati oleh bakteri. Amonia ini akan dinitrifikasi oleh bakteri nitrit, yaitu Nitrosomonas dan Nitrosococcus sehingga menghasilkan nitrat yang akan diserap
oleh
akar
menjadi
amonia
tumbuhan.
kembali,
dan
Selanjutnya amonia
oleh
diubah
bakteri
menjadi
denitrifikan,
nitrogen
yang
nitrat
diubah
dilepaskan
ke
udara. Dengan cara ini siklus nitrogen akan berulang dalam ekosistem. Lihat Gambar.
Gambar 5. Siklus Nitrogen di Alam (Koottatep, Polprasert & Oanh, 2000)
2. Siklus Fosfor Di
alam,
fosfor
terdapat
dalam
dua
bentuk,
yaitu
senyawa
fosfat
organik
(pada
tumbuhan dan hewan) dan senyawa fosfat anorganik (pada air dan tanah). Fosfat
organik
dari
(pengurai) menjadi
hewan
dan
tumbuhan
yang
mati
diuraikan
oleh
dekomposer
fosfat anorganik. Fosfat anorganik yang terlarut di air tanah atau air
laut akan terkikis dan mengendap di sedimen laut. Oleh karena itu, fosfat banyak terdapat di batu karang dan fosil. Fosfat dari batu dan fosil terkikis dan membentuk
fosfat anorganik terlarut di air tanah dan laut. Fosfat anorganik ini kemudian akan diserap oleh akar tumbuhan lagi. Siklus ini berulang terus menerus. Lihat Gambar
Gambar 6. Siklus Fosfor di Alam
3. Siklus Karbon dan Oksigen Di atmosfer terdapat kandungan COZ sebanyak 0.03%. Sumber-sumber COZ di udara berasal dari respirasi manusia dan hewan, erupsi vulkanik, pembakaran batubara, dan asap
pabrik.
Karbon
dioksida
di
udara
dimanfaatkan
oleh
tumbuhan
untuk
berfotosintesis dan menghasilkan oksigen yang nantinya akan digunakan oleh manusia dan hewan untuk berespirasi. Hewan dan tumbuhan yang mati, dalam waktu yang lama akan membentuk batubara di dalam tanah. Batubara akan dimanfaatkan lagi sebagai bahan bakar yang juga menambah kadar C02 di udara. Di ekosistem air, pertukaran C02 dengan atmosfer berjalan secara tidak langsung. Karbon dioksida berikatan dengan air membentuk asam karbonat yang akan terurai menjadi
ion
bikarbonat.
Bikarbonat
adalah
sumber
karbon
bagi
alga
yang
memproduksi makanan untuk diri mereka sendiri dan organisme heterotrof lain.
Sebaliknya, saat organisme air berespirasi, COz yang mereka keluarkan menjadi bikarbonat. Jumlah bikarbonat dalam air adalah seimbang dengan jumlah C02 di air.
Gambar 7. Siklus Karbon dan Oksigen di Alam
Kesetimbangan Air Regional Konsep kesetimbangan air juga dapat dinyatakan secara regional atau dalam suatu kawasan seperti pada suatu daerah tangkapan hujan (catchment area) atau pada suatu daerah pengaliran sungai (DAS atau Sub-DAS). Kesetimbangan air dapat diklasifikasikan berdasarkan posisinya dalam bumi menjadi: i.
Kesetimbangan air di atas permukaan tanah, Kesetimbangan
air
di
atas
permukaan
tanah
dapat
dinyatakan
dengan
dapat
dinyatakan
dengan
persamaan: P + R1 – R2 + Rg – Es –Ts – I = Ss ii.
Kesetimbangan air di bawah permukaan tanah Kesetimbangan
air
di
bawah
permukaan
tanah
persamaan: I + G1 – G2 – Rg – Eg – Tg = Sg
iii.
Kesetimbangan
total
adalah
merupaka
kombinasi
dari
persamaan
kesetimbangan air di atas permukaan dan di bawah permukaan tanah yang dinyatakan dengan persamaan:. P – (R2 –R1) – (Es + Eg) – (Ts + Tg) – (G2 – G1) = (Ss + Sg). Kesetimbangan regional air tersebut dapat dilihat pada Gambar 8.
C. Hidrologi di Indonesia Indonesia bentuk
dalam
mengimplemetasikan
perundangan
berupa
konsep
keairan
UNDANG-UNDANG
telah
menuangkan
REPUBLIK
dalam
INDONESIA
NOMOR 7 TAHUN 2004 yang memuat konsep dasar keairan berupa definisi-definisi: 1. Air adalah semua air yang terdapat pada, diatas, ataupun dibawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan, dan air laut yang berada di darat. 2. Air permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah. 3. Air tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah.
4. Sumber air adalah tempat atau wadah air alami dan/atau buatan yang terdapat pada, di atas, atau pun di bawah permukaan tanah 5. Wilayah sungai adalah kesatuan wilayah pengelolaan sumber daya air dalam
satu atau lebih daerah aliran sungai dan/atau pulau-pulau kecil yang luasnya kurang dari atau sama dengan 2.000 km2.
6. Daerah aliran sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. 7. Cekungan
air
hidrogeologis,
tanah
adalah
tempat
suatu
semua
wilayah
kejadian
yang
dibatasi
hidrogeologis
oleh
seperti
batas proses
pengimbuhan, pengaliran, dan pelepasan air tanah berlangsung. Permasalahan sumberdaya air di Indonesia masih bertumpu pada aspek kuantitatif seperti kejadian banjir dan kekeringan. Dimana air terlalu banyak pada musim hujan dan terlalu sedikit pada musim kemarau. Distribusi ketersediaan air sepanjang waktu sangat
ditentukan
oleh
distribusi
hujan
sepanjang
tahun
dan
ketersediaan
sarana
penampungan air untuk mencegah kekurangan air pada musim kemarau. Disamping persoalan kuantitas, kualitas air juga menjadi permasalahan di Indonesia dimana kualitas air permukaan sudah sangat kotor, misalnya air di Sungai Citarum yang berbau dan berwarna hitam. Permasalahan komprehensif
sumber tentang
daya
air
ini
hidrologi
dapat
diselsesaikan
wilayah/regional
dengan
pada
pemahaman
masing-masin
yang DAS.
Pemahaman yang baik dapat mengatur ketersediaan air dalam jumlah dan waktu yang cukup serta kualitas yang sesuai peruntukannya. Bentruk transformasi hujan aliran dan simpanan air di wilayah sangat ditentukan oleh kondisi bentang alam yang terdapat di wilayah jatuhnya hujan. Komposisi aliran permukaan dan tampungan air secara kuantitatif dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9.
Aliran permukaan dari dari curah hujan dan aliran mantap (air yang tertampung di waduk, danau dan sungai) di pulau-pulau besar di Indonesia (Kodoatie dan Suripin, 2000)
Sebaran kebutuhan dan ketersediaan air di Indonesia cukup bervariasi dimana pulau seperti Jawa, NTB dan Bali memiliki defisit air bila ditinjau dari aspek kebutuhan domestik dan pertanian. Sementara pulau lainnya masih cenderung cukup dalam artian ketersediaan
aliran
mantap.
Meskipun
demikian,
tersebut berpeluang terjadi pada periode waktu tertentu.
kekurangan
air
di
pulau-pulau
Gambar 10.
Ketersediaan dan kebutuhan air secara umum di pulau-pulau besar di Indonesia (Kodoatie dan Suripin, 2000).
SOAL LATIHAN
1. Apa yang dimaksud dengan: a. Hidrologi b. Presipitasi 2. Jelaskan peranan hidrologi dalam pemecahan permasalahan sumberdaya air yang ada di Indonesia 3. Gambarkan siklus hidrologi dan jelaskan komponen-komponen penyusunnya 4. Diskusikan ketersediaan dan kebutuhan air di Indonesia DAFTAR PUSTAKA Chow, VT., Maidment, DR., and Mays, LW. 1988. Applied Hydrology. McGraw-Hills. New York. Kodoatie, RJ dan Sjarief, R. 2008. Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu. Penerbit Andi. Yogyakarta. Linsley RK., Kohler, MA., and Paulhus, JLH. 1982. Hydrology for Engineers. McGrawHills. New York. Viessman, W., Lewis, GL., and Knapp, JW. 1989. Introduction to Hydrology. Harper Collins Pub. New York.
Sasaran Pembelajaran/Kompetensi: 1. Mahasiswa mampu menjelaskan proses kejadian hujan 2. Mahasiswa mampu menjelaskan metode pengukuran hujan dan alat ukurnya 3. Mahasiswa mampu mengidentifikasi dan menganalisis karakeristik hujan 4. Mahasiswa mampu menghitung rata-rata hujan wlayah 5. Mahasiswa mampu menjelaskan parameter iklim lain
3.1 Pengertian dan Proses Kejadian Hujan Presipitasi atau Hujan adalah peristiwa jatuhnya air/es dari atmosfer ke permukaan bumi dan atau laut dalam bentuk yang berbeda. Hujan di daerah tropis (termasuk Indonesia)
umumnya
dalam
bentuk
air
dan
sesekali
dalam
bentuk
es
pada
suatu
kejadian ekstrim, sedangkan di daerah subtropis dan kutub hutan dapat berupa air atau salju/es. Besarnya curah hujan adalah volume air yang jatuh pada suatu areal tertentu. Besarnya tertentu hujan
curah seperti
yang
rancangan
hujan perhari,
diperlukan
pengendalian
dapat
dimaksudkan
perbulan, untuk banjir
untuk
permusim
penyusunan adalah
curah
satu
atau suatu
kali
hujan
pertahun
(Sitanala,
rancangan
hujan
rata-rata
atau
untuk 1989).
pemanfaatan diseluruh
air
daerah
masa Curah dan yang
bersangkutan. Distribusi curah hujan adalah berbeda-beda sesuai dengan jangka waktu yang ditinjau dari curah hujan tahunan, curah hujan bulanan, curah hujan harian dan curah
hujan
perjam.
Harga-harga
yang
diperoleh
ini
dapat
digunakan
untuk
menentukan prospek dikemudian hari dan akhirnya perancangan sesuai dengan tujuan yang dimaksud (Sosrodarsono dan Takeda, 1999). Kejadian hujan menunjukkan suatu variabilitas dalam ruang dan waktu. Salah satu
konsekuensi
dari
variabliltas
hujan
adalah
terjadinya
fluktuasi
curah
hujan
di
setiap wilayah yang dapat menimbulkan kondisi ekstrim berupa kekeringan dan banjir yang terjadi dengan skala yang berbeda dan tergantung pada periode keberulangannya.
Dinamikan Atmosfir: Variabel utama yang digunakan untuk menggambarkan kondisi dinamik atmosfir adalah are kerapatan udara, tekanan udara, dan suhu. Persamaan lama menghubungkan variabel atmosfir dengan laju atmosfir melalaui sistem 6 persamaan (konservasi massa, konservasi energi, hukum gas ideal, dan 3 persamaan konservasi momentum, komponen masing-masing persamaan memiliki parameter laju) pada enam parameter (tekanan, temperature, kerapatan, dan 3 komponen laju). Salah satu komponen siklus hidrologi yang sangat penting dan selalu diukur adalah
hujan.
Pengukuran
hujan
telah
dilakukan
sejak
lama
dengan
melakukan
penakaran hujan. Penakar hujan pertama berada di Korea tahun 1400an, dan 200 tahun kemudian, Sir Christopher Wren menginvensi alat penakar hujan otomatis.
Gambar 3.1/2 Standar alat penakar hujan (Dimensi dalam inchi dan millimeter).
Data rekaman meteorologi dan hidrologi dimaksudkan untuk penilaian sumber daya
air,
evaluasi
kejadian
banjir
puncak
di
wilayah
pertanian
dan
perkotaan/
permukiman Kebutuhan data dapat bervariasi dari menit ke menit sampai bulanan dan tahunan. Proses Kejadian Hujan Pembentukan
hujan
merupakan
proses
fisika
awan
Sejumlah
proses
fisik
terdapat dalam proses terjadiinya hujan, dan proses tersebut memiliki hubungan dengan berbagai issu dari kualitas lingkungan sampai perubahan iklim. 1. Terbentuknya awan Awan terbentuk ketika udara menjadi sangat jenuh (supersaturated), dimana ketika teknan uap aktual mencapai atau melebihi tekanan uap jenuh: Supersaturation terjadi melalui pengembangan dan pendinginan kolom udara yang menyebabkan uap air terkondensasi pada partikel atmosfir. Proses ini disebut nukleasi (nucleation). Aeroso; atmosfir yang merupakan suspensipadat atau bahan cair dengan kecepatan jatuh kecil memegang peranan penting dalam permulaan kondensasi dengan memfasilitasi tempat proses nukleasi bagi uap air. Dua tipe awan dapat dibedakan atas awan dingin (cold clouds) dan awan panas (warm clouds). Awan dengan suhu di atas 0 0C disebut awan dingin. 2. Struktur Awan Di awal abad 20, Wegener menyatakan bahwa pada campuran awan yang terbentuk dari condensasi uap merupakan mekanisme umum terjadinya hujan yang terkadang juga membentuk salju dan es. Jenis hujan yang terbentuk sangat dipengaruhi oleh suhu lapisan atmosfir antara terjadinya hujan dan permukaan tanah (lapisan yang dilewati hujan). Droplet atau butiran hujan bertumbuh pada awan yang suhunya lebih tinggi (warm
clouds)
melalui
proses
kondensasi,
kollisi
(collision),
dan
koalesens
(coalescence). Umumnya awan yang terbentuk di wilayah tropis adalah awan dengan suhu diatas 0oC. Jenis awan ini mencairkan partikel kristal yang terbentuk di wilayah atmosfir dengan suhu di bawah 0oC. Proses ini juga mengecilkan kristal hujan dan membentuk butiran hujan.
Gambar 3.3 Konsentrasi nuklei kondensasi awan di armosfir wilayah kontinental dan laut
3. Proses Jatuhnya Air Hujan Mekanisme jatuhnya air hujan secara umum terjadi karena proses konveksi dan pembentukan proses
awan
berlapis
pembentukan
dan
(stratiform). pembesaran
Kedua ukuran
mekanisme
ini
dan
butiran
berat
berbeda hujan
dalam yang
menyebabkan pergerakan vertikal udara yang berasosiasi dengan awan pembentuk hujan.
Pada diinisiasi hujan
mekanisme
dekat
cukup
stratiform,
permukaan lama
atas
gerakan awan
(berjam-jam).
vertikal
hingga
Untuk
udara
proses
mekanisme
lemah,
partikel
terjadinya konvektif,
hujan
pengembangan gerakan
udara
vertikal sangat cepat sehingga pembesaran partikel butiran hujan diinisiasi dengan cepat saat terbentuknya awan. Hal ini menyebabkan proses jatuhnya butiran hujan sangat cepat (sekitar 45 menit). Mekanisme
lain
dalam
proses
hujan
adalah
kombinasi
konvektif
dan
stratiform yang merupakan proses pengangkatan massa udara dan uap air secara orografis melalui pegungungan dan perbukitan. Ada enam kelas sistem kejadian hujan secara umum yang diuraikan seperti berikut:
a. Siklon Extratropis Sirkulasi
udara
yang
terdiri
dari
massa
udara
(streams)
yang
bergerak
secara
normal dan stabil mengikuti pola gerakan di atas permukaan bumi. Suhu dan kelembaban
udara
sangat
tergantung
pada
asal
gerakan
udara;
masssa
udara
kontinental kutub dingin dan kering; massa udara laut tropis panas dan lembab. Wilayah disekitar daerah tropis sangat berbeda sehingga dua airan udara paralel dengan suhu berbeda sehingga memicu ketidak stabilan di lapisan antara keduanya yang cenderung menyebabkan terjadinya siklon. Kejadian kurva siklon ekstratropis curve dapat mencapai ribuan kilometer. Pengangkatan vertiakal dalam siklon ekstratropis diasosiasikan dengan posisi kurva dengan
kecepatan
kurng
dari
0.1
km/jam.
Kebanyakan
hujan
pada
siklon
ini
didominasi oleh mekanisme stratiform yang dimicu oleh kejadian konvektif seperti terlihat pada Gambar 3.4.
Gambar 3. 4 Model Konsep Siklon Ekstratropis. (Smidth dalam Maidment, 1989)
b. Midlatitude Thunderstorms Seperti halnya siklon ekstratropis yang merupakan contoh hujan stratiform, maka midlatitude
thunderstorms
merupakan
contoh
hujan
konveksi.
Massa
udara
thunderstorms terbentuk dari massa udara tak stabil secara konveksi dalam jumlah yang relatif besar dari kandungan uap rendah dan gesekan angin kecil. Struktur spasial hujan ditentukan dengan pola acak pada thunderstorm. Studi
pada
thunderstorm
yang
akhir
1940an
memiliki
memberikan
karakterisrik
hasil
siklus, (1)
proses
kejadian
membetuk
hujan
awan cumulus
yang membentuk pengangkatan
partikel udara
hujan
di
awan
tapi
yang
kuat,
(2)
tahap
tidak
mencapai
pematangan
bumi
dimana
karena gesekan
proses partikel
hujan menyebabkan gerak ke bumi sehingga butiran hujan jatuh, dan (3) tahap dissipasi
dimana
menghasilkan thunderstorms
butiran
curah dalam
hujan
hujan skala
kecil
yang
terus
tinggi
sedang
jatuh. pada
(mesoscale
Umumnya wilayah
c. Kluster Awan Tropis (Tropical Cloud Clusters)
yang
convective
merupakan penyebab utama terjadinya banjir di berbagai tempat.
thunderstorms luas. systems,
tidak
Kejadian MCS)
Gambar 3.6 menunjukkan bahwa secara global curah hujan rata-rata tahunan di wilayah tropis merupakan yang terbesar. Curah hujan yang maksimum tersebut berasosiasi dengan kluster awan yang terjadi pada zona putaran angin yang memusat.
Kluster
awan,
seperti
halnya
pada
sistem
awan
tropis,
konveksi
merupakan pemicu awal kejadian hujan. Meskipun sistem awan tropis meliputi jangkauan skala yang luas, kebanyakan hujan karena proses kluster awan jatuh pada luas wilayah yang dapat mencapai 50.000 km2. Hujan tropis memainkan peranan
penting
dalam
sirkulasi
global
dan
berkaitan
erat
dengan
anomali
sirkulasi atmosfir seperti El-Nino.
Gambar 3.6 Curah hujan tahunan berdasarkan posisi latitude. d. Hujan Monsoon ( Monsoon Rainfall) Akumulasi hujan terbesar selama periode lebih dari 24 jam berasosiasi dengan Asian monsoon. India dan Asia Tenggara adalah lokasi utama kejadian hujan monsoon mengalami monsoon
selama hujan diadopt
musim monsoon dari
panas
di
ekstrim
bahasa
arab
Asia. selama yang
Indonesia periode berarti
dan
Malaysia
sering
di
Asia.
Istilah
Karakteristik
umum
Winter
musim.
iklim monsoon ditandai oleh arah angin yang berlawanan pada dua musim. Misalnya di Indonesia dikenal dengan Musim Angin Timur (banyak hujan) dan Musim Angin Barat (kurang hujan).
e. Hujan Badai (hurricanes) Badai umumnya dikenal di wilayah pasifik yang menyebabkan hujan ektrim di wilayah pesisir pantai sepanjang Samudra Atlantik dan Pasifik. Kejadian hujan badai
merupakan
proses
ektrim
dari
konveksi
dan
stratiform.
Kejadian
badai
masih merupakan proses yang diperdebatkan.
f. Hujan Orografis Pengaruh Orografis dapat merubah type kejadian hujan di atas . Hujan orografis pada prinsipnya memiliki mekanisme: (1) inisiasi konveksi, (2) pengangkatan dalam skala besar, dan (3) pertumbuhan yang lambat.
1. Karakteristik Hujan Ada dua faktor fisik yang mempengaruhi curah hujan, yakni kecepatan jatuh butiran hujan dan distribusi ukuran butiran hujan. Kedua faktor ini mempengaruhi proses yang terjadi di tanah saat hujan jatuh. 2. Kcepatan jatuh butiran hujan Kecepatan terminal suatu bola padat butiran hujan merupakan proportional dari akar
pangkat
dua
dari
diameter
butiran.
Air
yang
jatuh
melewati
udara
menimbulkan gaya aerodinamik yang menyebabkan butiran hujan bergetar dan terdeformasi. Diameter
butiran
hujan
kurang
dari
0.35
mm
umumnya
bulat
dan
jatuh ke bumi dengn ukuran yang dapat mencapai diameter 1 mm dengan bentuk lonjong (oblate spheroid). Butiran yang lebih besar umumnya ujungnya cembung (flattened concave). Untuk butiran hujan besar, vibrasi dan deformasi seringkali memecah butirsn hujan.
Gambar 3.7 Bentuk
butiran hujan berdasarkan diameter butiran (Maidment, 1989)
Kecepatan jatuh hujan dapat diestimasi dengan rumus Gunn and Kinzer: v(D) = 3,86 D 0.67
…………………….
(3.1) Keterangan v(D) adalah kecepatan jatuh butiran hujan, dan D adalah diameter butiran hujan pada kisaran antara 0.8 dan 4.0 mm. 3.
Distribusi Ukuran Butiran Distribusi ukuran butiran hujan dalam volume di atmosfir dikarakterisasi oleh hubungan
densitas
butiran
(dalam butiran
per meter kubik) dan distribusi
ukuran
butiran (dalam mm). Distribusi ukuran butiran secara khusus dinyatakan sebagai fungsi N(D) yang menunjukkan densitas butiran hunan sebagai suatu fungsi diameter butiran hujan. Distribusi butiran hujan umumnya dinyatakan dengan distribusi Marshall-Palmer: N(D) = No exp(-ΛD) dimana N(D) dan No adalah jumlah butiran per meter kubik per mm masingmasing diameter butiran hujan dan Λ dalam mm. Nilai No adalah 8000 m-3mm-1. Marshall dan Palmer menghubungkan parameter Λ dengan laju hujan dengan rumus: Λ= 4,1 R-0,21 R adalah laju hujan (mm/jam). Beberapa peralatan otomatis dikembangkan untuk mengukur distribusi ukuran butirsn hujan termasuk distrometer dan raindrop camera.
3.3 Pengukuran Curah Hujan dan Perhitungan Hujan Wilayah
Alat Penakar Hujan Berbagai alat ukur atau penakar telah dikembangkan untuk menakar hujan. Dua tipe penakar: terekam dan tak terekam. Alat penakar hujan terekam otomatis menyajikan data akumulasi curah hujan pada waktu tertentu sampai pada data per menit atau lebih detail. Perekam data hujan otomatis biasanya dilengkapi dengan telemetri melalui sistem transmisi real-time dan kelengkapan khusus untuk manajemen sumber daya air.
Ada tiga tipe perekam data hujan: weighing type, float and siphontype, dan tipping-bucket type. Gambar 3.8 adalah
ilustrasi
weighing
type.
penakar Alat
hujan
penakat
tak
terekam terdiri dari penadah/wadah silinder batang
sederhana
dan
pengkalibrasi
sebuah yang
merupakan bagian penakaran.
Gambar 3.8 Alat penakar hujan type weighing
Gambar 3.9 Mekanisme internal alat penakar hujan Meteorological Office Tiltingsyphon.
A=Collecting
chamber;
D=Double siphon tubes; E=Trigger;
B=Plastic
float;
C=Knife-edges;
Gambar 3.10 Prinsip dasar mekanisme tipping-bucket. A, B: buckets. C: magnet. D: switch.
Curah Hujan Efektif (Re) Hujan yang diharapkan terjadi selama satu musim tanam berlangsung disebut curah hujan
efektif.
Masa
hujan
efektif
untuk
suatu
lahan
persawahan
dimulai
dari
pengolahan tanah sampai tanaman dipanen, tidak hanya selama masa pertumbuhan (Pasandaran dan Taylor, 1984). Curah hujan efektif untuk tanaman lahan tergenang berbeda dengan curah hujan efektif untuk tanaman pada lahan kering dengan memperhatikan pola periode musim hujan dan musim kemarau. Perhitungan curah hujan efektif dilakukan atas dasar
prinsip
hubungan
antara
keadaan
tanah,
cara
pemberian
air
dan
jenis
tanaman
(Handayani, 1992). Besarnya curah hujan efektif diperoleh dari pengolahan data curah hujan harian hasil
pengamatan
pada
stasiun
curah
hujan
yang
ada
di
daerah
irigasi/daerah
sekitarnya dimana sebelum menentukan curah hujan efektif terlebih dahulu ditentukan nilai curah hujan andalan yakni curah hujan rata-rata setengah bulanan (mm/15 hari) dengan kemungkinan terpenuhi 80% dan kemungkinan tak terpenuhi 20% dengan menggunakan rumus analisis (Chow, 1994): …………………. (3.1) ………………… (3.2)
Dimana : R80 = Curah hujan andalan tengah bulan (mm/hari) Re = Curah hujan efektif (mm/hari) n = Jumlah tahun pengamatan curah hujan. Curah hujan efektif dapat juga dihitung dengan rumus: Re = Rtot (125 – 0,2 Rtot)/125 ; Rtot < 250 mm
…… (3.3)
Re = 125 + 0,1 Rtot
…… (3.4)
; Rtot > 250 mm
Dimana : Rtot adalah jumlah curah hujan bulanan (mm/hari)
Curah Hujan Wilayah Hampir semua analisis hidrologi membutuhkan data distribusi hujan. Biasanya curah hujanrata-ratayang
mewakili
suatu
DAS
atau
Sub-DAS
dapat
ditentukan
dengan
beberapa cara. 1. Rata-rata Aritmetik Nilai curah hujan wilayah dapat ditentukan dari beberapa data curah hujan stasiun penakar/klimatologi dengan menggunakan nilai rata-rata curah hujan stasiun yang terdapat di dalam DAS. ……………… (3.5)
Keterangan: CH = Curah hujan rata-rata wilayah CHi = Curah hujan pada stasiun i n = Jumlah stasiun penakar hujan
2. Metode Poligon Thiessen Metode poligon Thiessen adalah cara penentuan hujan wilayah dengan rata-rata tertimbang.
Masing-masing
sendiri-sendiri
seperti
pos
terlihat
penakar
pada
hujan
Gambar
3.12
mempunyai (d).
daerah
Metode
pengaruh
penggambaran
poligon dapat dilihat pada Gambar 3.12 (a), (b) dan (c). 3
Gambar 3.12 Metode Polgon Thiessen dan prosedur pembuatannya Nilai curah hujan wilayah dapat ditentukan dengan menggunakan rumus:
……………… (3.6 Dimana Ai adalah luas yang diwakili oleh stasiun i. 3.
Metode Isohyet
Metode Isohyet adalah metode penentuan curah hujan wilayah berdasarkan kontur curah hujan berdasarkan data curah hujan yang ada di dalam DAS dan di sekitar wilayah (lihat Gambar 3.13).
Intensitas Hujan Dalam perencenaan bangunan hidrologi dan hidraulik, intensitas hujan merupakan data atau informasi yang dibutuhkan dalam penentuan debit rencana. Oleh karena itu perlu disajikan metode penentuan intensitas hujan untuk wilayah yang tidak memiliki pengamatan intensitas hujan akibat keterbatasan alat ukur. Ada beberapa metode untuk menghitung intensitas hujan secara empiris yakni: 1. Metode Talbot (1881) ……………… (3.7)
2. Metode Sherman (1905); hanya digunakan untuk t < 2 jam ……………… (3.8) 3. Metode Ish ……………… (3.9) 4. Metode Mononobe ……………… (3.10) Keterangan: i
= intensitas hujan (mm/jam)
t
= waktu atau durasu hujan (menit: rumus 1-3; jam: rumus 4)
a, b, m
= tetapan
d24
= curah hujan maksimum dalam 24 jam (mm)
n
= jumlah pasangan data i dan t
Metode ini lebih teliti dibandingkan dengan metode rata-rata aritmetik. CONTOH SOAL : Suatu DAS seperti pada Gambar 3.14 memiliki data curah hujan seperti pada Tabel 3.1. Hitunglah curah hujan wilayah dengan menggunakan (i) rata-rata aritmetika dan (ii) metode Poligon Thiessen.
Gambar 3.14. Posisi Penakar pada suatu DAS
Solusi: (Gunakan Kalulator atau Spreadsheet) (i)
Dengan mengunakan rata-rata aritmetika diperoleh nilai curah hujan 3.20 in.
(ii)
Dengan mengunakan metode Poligon Thiessen diperoleh nilai 3.45 in (lihat Tabel 3.1).
3.4 PENUGASAN 1. Kumpulkan data curah hujan harian suatu wilayah (sub-DAS) selama kurung satu tahun. 2. Kumpulkan data curah hujan bulanan dari suatu wilayah (sub-DAS) selama kurung waktu 10 tahun.
3.5 SOAL LATIHAN 1. Apa yang dimaksud dengan: a. Curah hujan wilayah b. Intensitas hujan 2. Jelaskan proses terjadinya hujan dan sebutkan tipe-tipe hujan. 3. Gambarkan poligon Thiessen Gambar berikut dan hitung luas masing-masing bagian dengan planimeter atau dengan screen digitasi pada Arc-GIS. Hitung Curah hujan wilayah dengan metode aritmetika jika CH di Stasiun A sampai K, adalah: 29,79; 34,97; 25,6; 24,21; 24,60; 42,61; 42,35; 15,51; 39,99; 43,04; dan 28,41.
4. Diskusikan metode penentuan curah hujan wilayah, kelebihan dan kekurangan masing-masing metode.
3.6 DAFTAR PUSTAKA Chow, VT., Maidment, DR., and Mays, LW. 1988. Applied Hydrology. McGraw-Hills. New York. Linsley RK., Kohler, MA., and Paulhus, JLH. 1982. Hydrology for Engineers. McGrawHills. New York. Maidment, DR. (ed) 1989. Handbook of Hydrology. McGraw-Hill, New York. Soemartono, CD. 1999. Hidrologi Teknik. Penerbit Erlangga, Jakarta. Sastrodarsono, Suyono dan Kensaku Takeda. 1999, Hidrologi untuk Pengairan. Pradnya Pramita. Bandung. Todd, 1983, Introduction to Hydrology. McGraw-Hill, New York Viessman, W., Lewis, GL., and Knapp, JW. 1989. Introduction to Hydrology. Harper Collins Pub. New York.
Sasaran Pembelajaran/Kompetensi: 1.
Mahasiswa mampu menjelaskan proses evapotranspirasi
2.
Mahasiswa mampu menjelaskan parameter evapotranspirasi
3.
Mahasiswa
mampu
melakukan
perhitungan
evapotranspirasi
potensial
(Penmann) dengan benar 4.
Mahasiswa mampu melakukan perhitungan evapotranspirasi aktual (Penmann) dengan benar
5.
4.1 Pendahuluan Evapotranspirasi adalah perpaduan dua proses yakni evaporasi dan transpirasi. Evaporasi adalah proses penguapan atau hilangnya air dari tanah dan badan-badan air (abiotik), sedangkan transpirasi adalah proses keluarnya air dari tanaman (boitik) akibat proses respirasi dan fotosistesis.
Kombinasi dua proses yang saling terpisah dimana kehilangan air dari permukaan tanah melalui proses evaporasi dan kehilangan air dari tanaman melalui proses transpirasi disebut sebagai evapotranspirasi (ET). Proses hilangnya air akibat evapotranspirasi merupakan salah satu komponen penting dalam hidrologi karena proses tersebut dapat mengurangi simpanan air dalam badab-badan air, tanah, dan tanaman. Untuk kepentingan sumber daya air, data ini untuk menghitung kesetimbangan air dan lebih khusus untuk keperluan penentuan kebutuhan air bagi tanaman (pertanian) dalam periode pertumbuhan atau periode produksi. Oleh karena itu data evapotranspirasi sangat dibutuhkan untuk tujuan irigasi atau pemberian air, perencanaan irigasi atau untuk konservasi air. Evapotranspirasi ditentukan oleh banyak faktor yakni: a. Radiasi surya (Rd): Komponen sumber energi dalam memanaskan badan-badan air, tanah dan tanaman. Radiasi potensial sangat ditentukan oleh posisi geografis lokasi, b. Kecepatan angin (v): Angin merupakan faktor yang menyebabkan terdistribusinya air yang telah diuapkan ke atmosfir, sehingga proses penguapan dapat berlangsung terus sebelum terjadinya keejenuhan kandungan uap di udara, c. Kelembaban relatif (RH): Parameter iklim ini memegang peranan karena udara memiliki kemampuan untuk menyerap air sesuai kondisinya termasuk temperatur udara dan tekanan udara atmosfit d. Temperatur: Suhu merupakan komponen tak terpisah dari RH dan Radiasi. Suhu ini dapat berupa suhu badan air, tanah, dan tanaman ataupun juga suhu atmosfir. Proses terjadinya evaporasi dan transpirasi pada dasarnya akibat adanya energi yang disuplai oleh matahari baik yang diterima oleh air, tanah dan tanaman. Gambar 4.1 dan Gambar 4.2 merupakan ilustrasi proses penyerapan energi yang menyebabkan evaporasi dan transpirasi.
4.2 Evaporasi Evaporasi adalah proses dimana air dalam bentuk cair dikonversi menjadi uap air (vaporization) dan dipindahkan dari permukaan penguapan (vapour removal). Air dapat terevaporasi dari berbagai permukaana seperti danau, sungai, tanah dan vegetasi hijau. Energi dibutuhkan untuk merubah bentuk molekul air dari fase cair ke fase uap. Radiasi matahari langsung dan faktor lingkungan yang mempengaruhi suhu udara merupakan sumber energi. Gaya penggerak untuk memindahkan uap air dari permukaan penguapan adalah perbedaan tekanan antara uap air di permukaan penguapan dan tekanan udara atmosfir. Selama berlangsungya proses, udara sekitar menjadi jenuh secara perlahan dan selanjutnya proses akan melambat will dan kemungkinan akan berhenti jika udara basah tidan dipindahkan ke atmosfir. Pergantianudarajenuh dengan udara kering sangat tergantung pada kecepatan angin. Oleh karena itu, radiasi surya, temperature udara, kelembaban udara dan kecepatan angin merupakan parameter iklim yang dipertimbangkan dalam penentuan proses evaporasi. Jika permukaan penguapan adalah permukaan tanah, maka tingkat penutupan tanaman pelindung (crop canopy) dan jumlah air tersedia pada permukaan penguapan juga menjadi faktor yang mempengaruhi proses evaporasi. Kejadian hujan, irigasi dan gerakan vertikal air dalam tanah dari muka air tanah dangkal merupakan sumber
pembasahan permukaan tanah. Jika tanah dapat menyuplai air dengan cepat yang memenuhi kebutuhan evaporasi, maka evaporasi dari tanah ditentukan hanya oleh kondisi meteorologi. Akan tetapi, bila interval antara hujan dan irigasi cukup lama dan kemampuan tanah mnegalirkan lengas ke dekat permukaan tanah kecil, maka kandungan air di lapisan topsoil meturun dan menyebabkan permukaan tanah menjadi kering. Pada lingkungan dimana air terbatas, maka jumlah air tersedia menjadi faktor pembatas. Berkurannya supplai air ke permukaan tanah menyebabkan evaporasi menurun drastis. Proses ini mungkin akan terjadi dalam beberapa hari. 4.3 Transpirasi Proses transpirasi meliputi penguapan cairan (air) yang terkandung pada jaringan tanaman dan pemindahan uap ke atmosfir. Tanaman umumnya kehilangan air melalui stomata. Stomata merupakan saluran terbuka pada permukaan daun tanaman melalui proses penguapan dan perubahan wujud menjadi gas seperti disajikan pada Gambar
4.3. Air bersama beberapa nutrisi lain diserap oleh akardan ditransportasikan ke seluruh
tanaman.
Proses
penguapan
terjadi
dalam daun, yang
disebut
ruang
intercellular, dan pertukaran uap ke atmossfir dikontrol oleh celah stomata (stomatal aperture). Hampir semua air yang diserap oleh akar keluar melalui proses transpirasi dan hanya sebahagian kecil saja yang digunakan dalam tanaman.
Transpirasi seperti evaporasi langsung tergantung pada suplai energi, tekan uap air dan angin. Kandungan lengas tanah dan kemampuan tanah melewatkan air ke akar juga menentukan laju transpirasi, termasuk genangan air dan salinitas air tanah. Laju transprasi juga dipengaruhi oleh karakteristik tanaman, aspek lingkungan dan praktek
pengolahan dan pengelolaan lahan. Perbedaan jenis tanaman akan memberikan laju transpirasi yang berbeda. Bukan hanya tipe tanaman saja, tetapi juga pertumbuhan tanaman,
lingkungan
dan
manajemen
harus
dipertimbangkan
dalam
penentuan
transpirasi.
4.4 Evapotranspirasi Tanaman Evapotranspirasi tanaman (ETc) adalah perpaduan dua istilah yakni evaporasi dan transpirasi. Kebutuhan air dapat diketahui berdasarkan kebutuhan air dari suatu tanaman. Apabila kebutuhan air suatu tanaman diketahui, kebutuhan air yang lebih besar dapat dihitung (Hansen dkk., 1986). Evaporasi yaitu penguapan di atas permukaan tanah, sedangkan transpirasi yaitu penguapan melalui permukaan dari air yang semula diserap oleh tanaman. Atau dengan kata lain, evapotranspirasi adalah banyaknya air yang
menguap
dari
lahan
dan
tanaman
dalam
suatu
petakan
karena
panas matahari (Asdak, 1995). Faktor-faktor yang mempengaruhi evaporasi adalah suhu air, suhu udara (atmosfir), kelembaban, kecepatan angin, tekanan udara, sinar matahari. Pada waktu pengukuran evaporasi, kondisi/keadaan iklim ketika itu harus diperhatikan, mengingat faktor itu Sangat dipengaruhi oleh perubahan lingkungan (Sosrodarsono dan Takeda, 1983). Transpirasi pada dasarnya merupakan proses dimana air menguap dari tanaman melalui daun ke atmosfer. Sistem perakaran tanaman mengadopsi air dalam jumlah yang berbeda-beda dan ditransmisikan melalui tumbuhan dan melalui mulut daun (Viesman dkk., 1972). Menurut Sri Harto (1993), ada dua bentuk transpirasi yaitu : a. Transpirasi stomata, dimana air lepas melalui pori-pori pada stomata daun
b. Transpirasi kutikular, dimana air menguap dari permukaan daun ke atmosfir melalui kutikula. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses transpirasi adalah suhu, kecepatan angin, kelembaban tanah, sinar matahari, gradien tekanan uap. Juga dipengaruhi oleh faktor karakteristik tanaman dan kerapatan tanaman (Kartasapoetra dan Sutedjo, 1994). Evapotranspirasi (ETc) adalah proses dimana air berpindah dari permukaan bumi ke atmosfer termasuk evaporasi air dari tanah dan transpirasi dari tanaman melalui jaringan tanaman melalui transfer panas laten persatuan area (Hillel, 1983). Ada 3 faktor yang mendukung kecepatan evapotranspirasi yaitu (1) faktor iklim mikro, mencakup radiasi netto, suhu, kelembaban dan angin, (2) faktor tanaman, mencakup
jenis
tanaman,
derajat
penutupannya,
struktur
tanaman,
stadia
perkembangan sampai masak, keteraturan dan banyaknya stomata, mekanisme menutup dan membukanya stomata, (3) faktor tanah, mencakup kondisi tanah, aerasi tanah, potensial air tanah dan kecepatan air tanah bergerak ke akar tanaman (Linsley dkk., 1979).
Doonrenbos dan Pruitt (1977), menjelaskan bahwa untuk menghitung kebutuhan air tanaman berupa evapotranspirasi dipergunakan persamaan: ETc = Kc × ETo .............................................................................. (4.1) Keterangan: Etc
= evapotranspirasi potensial (mm/hari)
Eto
= evapotranspirasi acuan (mm/hari)
Kc
= koefisian konsumtif tanaman
Koefisien konsumtif tanaman (Kc) didefinisikan sebagai perbandingan antara besarnya evapotranspirasi potensial dengan evaporasi acuan tanaman pada kondisi pertumbuhan
tanaman
pertumbuhan
dan
yang
tidak
perhitungan
terganggu.
evapotranspirasi
Dalam acuan
hubungannya tanaman
dengan
(ETo),
maka
dimasukkan nilai Kc yang nilainya tergantung pada musim, serta tingkat pertumbuhan tanaman (Allen, et al., 1998).
Gambar 4.6 Skema perhitungan evapotranspirasi aktual Nilai koefisien tanaman dibagi atas empat fase pertumbuhan, yaitu : Kc initial (Kc in), Kc development (Kc dev), Kc middle (Kc mid), dan Kc end. Kc in merupakan fase awal pertumbuhan tanaman selama kurang lebih dua minggu, sedangkan Kc dev adalah initial
koefisien dan
tanaman
middle).
Kc
untuk mid
masa
merupakan
perkembangan Kc
untuk
(masa
masa
antara
pertumbuhan
fase dan
perkembangan termasuk persiapan dalam masa pembuahan. Kc end merupakan Kc untuk pertumbuhan akhir tanaman dimana tanaman tersebut tidak berproduksi lagi.
Tabel 4.1. Koefisien Tanaman (Kc) Padi Menurut Nedeco/Prosida dan FAO Bulan
Bulan
Nedeco/Prosida Varietas Varietas
FAO Varietas
Varietas
biasa
unggul
biasa
unggul
0,5
1,20
1,35
1,10
1,10
1,0
1,20
1,30
1,10
1,10
1,5
1,20
1,24
1,10
1,05
2,0
1,27
0
1,10
1,05
2,5
1,32
1,12
1,10
0,95
3,0
1,33
0
1,05
0
3,5
1,40
0,95
4,0
1,30
0
Sumber : Standar Perencanaan Irigasi, 1986 Vermeiren dan Jobling (1980), mengemukakan beberapa cara untuk menghitung Kc (Koefisien tanaman) sesuai tingkat pertumbuhan tanaman adalah: a.
Koefisien tanaman untuk awal pertumbuhan tanaman (Kc ini) Kc ini = Kc ini (A1) +
............................ (4.2)
) Keterangan: Kc ini (A1) : Koefisien tanaman (Diambil dari grafik) Kc ini (B1) : Koefisien tanaman (Diambil dari grafik) I
: Laju infiltrasi pada sebelum penanaman (cm/jam)
b.
Koefisien tanaman untuk fase menengah pertumbuhan tanaman (Kc mid) Kc mid = Kc mid + [0,04(U2 – 2) – 0,004 (RHmin – 45)] (h/3)0,3 .................. (4.3) Keterangan: Kc mid : Koefisien tanaman (Diambil dari tabel) U2
: Kecepatan angin sebelum tanam (m/s)
RHmin : Kelembaban relatif sebelum tanam (%) h c.
: Tinggi tanaman pada tahap pertengahan (m)
Koefisien tanaman untuk fase akhir pertumbuhan tanaman Kc end = Kc end + [0,04(U2 – 2) – 0,004 (RH min – 45)] (h/3)0,3 ……..… (4.4) Keterangan: Kc end : Koefisien tanaman (Diambil dari tabel) U2
: Kecepatan angin sebelum tanam (m/s)
Rhmin : Kelembaban udara minimal (%) h
: Tinggi tanaman pada tahap akhir (m)
4.5 Evapotranspirasi Acuan (ETo) Evapotranspirasi acuan (ETo) adalah nilai evapotranspirasi tanaman rumputrumputan yang terhampar menutupi tanah dengan ketinggian 8 – 15 cm, tumbuh secara aktif dengan cukup air, untuk menghitung evapotranspirasi acuan (ETo) dapat digunakan beberapa metode yaitu (1) metode Penman, (2) metode panci evaporasi, (3)
metode radiasi, (4) metode Blaney Criddle dan (5) metode Penman modifikasi FAO (Sosrodarsono dan Takeda, 1983). Menduga besarnya evapotranspirasi tanaman (Handayani, 1992), ada beberapa tahap harus dilakukan, yaitu menduga evapotranspirasi acuan; menentukan koefisien tanaman kemudian memperhatikan kondisi lingkungan setempat; seperti variasi iklim setiap saat, ketinggian tempat, luas lahan, air tanah tersedia, salinitas, metode irigasi, dan budidaya pertanian. Beberapa metode pendugaan evapotranspirasi acuan : a. Metode Blaney – Cridle ETo = c [P ( 0,46 T + 8)] ……………………………………..………… (4.5) Keterangan: c = Koefisien Tanaman Bulanan p = Presentase Bulanan jam-jam Hari Terang dalam Tahun T = Suhu Udara (0C)
b. Metode Thornthwaite ETo = 1,6 [(10 T/I)]a …………………………....………….……………. (4.6) a = 0,49 + 0,0179 I – 0,0000771 I2 + 0,000000675 I3 Keterangan: T = Suhu Rata-rata Bulanan (0C) I = Indeks Panas Tahunan c. Metode Pan Evaporasi ETo = Kp × Ep …………………………………...……………………… (4.7) Keterangan: Kp = Koefisien Panci Ep = Evaporasi Panci (mm/hari)
Gambar 4.8 Panci Evaporasi Kelas A d. Metode Penman ETo = c (W Rn + (1 – W) f(u) (ea – ed) ) ................................................. (4.8) Metode Penman modifikasi (FAO) digunakan untuk luasan lahan dengan data pengukuran temperatur, kelembaban, kecepatan angin dan lama matahari bersinar (Doorenbos dan Pruitt, 1977). Harga koefisien panci evaporasi (Kp) tergantung pada iklim, tipe panci dan lingkungan panci. Untuk tipe Pan A yang dikelilingi oleh tanaman hijau pendek maka
harga koefisien panci berkisar antara 0,4 – 0,85 yang dipengaruhi oleh kecepatan angin dan kelembaban nisbih udara rata-rata. Selanjutnya dikatakan untuk daerah tropis seperti Indonesia dimana kecepatan angin lemah sampai sedang dan kelembaban nisbih udara rata-rata diatas 70 %, harga Kp hanya berkisar dari 0,65 – 0,85. Tabel 4.2
Kisaran nilai koefisien panci pada berbagai level kecepatan angin dan kelembaban udara
Linsley dan Franzini (1979), menganjurkan penggunaan nilai Kp = 0,70 yang umum digunakan di daerah tropis. Tabel 4.3 Kisaran nilai ET pada berbagai kondisi iklim wilayah
4.6 CONTOH SOAL Suatu wilayah dengan tanaman yang memiliki faktor f = 0,7. Suhu udara rata-rata adalah 20oC, koefisien konveski h = 0,7 dengan kecepatan angin pada ketinggian 2 meter adalah 5 m/det. Bila radiasi rata-rata efektif adalah 550 kal/cm2/hari nilai n/D = 0,4, Hitung besarnya nilai evapotranspirasi hari tersebut.
Jawaban: Hitung Tekanan Udara Mutlak ea = h x e
= 0,7 x 17,53 = 12,27 mmHg
e – ea
= 17,73 – 17,27 = 5,26 mmHg
Hitung Suhu Mutlak Ta = Tc + 273 = 20 + 273 = 293 K
Hitung Radiasi Gelombang Pendek Rc = Ra (0,25 + n/D) = 256,3 kal/cm2/hari Rt = (1 – 0,06) Rc = 240,9 kal/cm2/hari Rb = 117,4 x 10-9 x 2934 (0,47 – 0,077√(12,27))(0,2+0,8*0,4) = 90,1 kal/cm2/hari Hitung Energi Budget H = Rt – Rb = 240,9 – 90,1 = 150,8 kal/cm2/hari Hitung Energi Penguapan Saat Kondisi Jenuh Es = 0,35 (e – ea)(0,5 + 0,54 u2)
= 0,35 x (5,26) x (0,5 + 0,54 x 5) = 5,9 mm/hari Hitung Evaporasi Permukaan Air Bebas
Hitung Evapotranspitasi Ep = 0,7 x 3,6 = 2,5 mm/hari
4.7 PENUGASAN 1.
Baca buku FAO No. 56 tentang kebutuhan air tanaman (Crop Water Requirement), kenudian buat ringkasan perhitungan metode yang digunakan untuk menghitung ETP tanaman pada suatu wilayah (sesuai data lokasi data CH yang diambil pada tugas sebelumnya).
2.
Kumpulkan data kecepatan angin, radiasi, suhu, dan tekanan dari suatu stasiun klimatologi dalam waktu satu tahun.
3.
Kumpulkan data evaporasi dari suatu stasiun klimatologi dalam waktu satu tahun.
4.
Hitung evaporasi dan bandingkan nilai dari hasil ukur (panci Kelas A)
4.8 SOAL LATIHAN 1.
Apa yang dimaksud dengan: a. Evaporasi b. Transpirasi c. Evapotranspirasi
2.
Jelaskan faktor yang mempengaruhi nilai Evapotranspirasi.
3.
Hitung evapotranspirasi potensial dengan metode Penmann di daerah yang berada pada 10oLS pada bulan Agustus. Data yang diberikan adalah temperatur rata-rata 28oC, kecepatan angin pada 2 m di atas tanah adalah 200 km/hari, RH sebesar 70%, koefisien refleksi permukaan 25%, dan n/N adalah 80%.
4.9 DAFTAR PUSTAKA
Asdak Chay (1995). Hidrologi dan Pengeloaan daerah Aliran Sungai. Yogyakarta: Gadjah Mada Press. Black, Peter E., (1991), Watershed Hydrology, Prentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey. Doorenbos J., A.H Kassam, (1979), Yield Respons to Water, FAO, Rome. Faust, Samual D., Osman M. Aly, (1981), Chemstry of Natural Waters, Ann Arbor Science, Michigan. Freeze R. Allan, John A. Cherry (1979), Groundwater, Englewood Cliffs, New Jersey. (6) Hohnholz J. H., Applied Geography and Development, p. 8-23. Kodoatie, R.J. dan Roestam Sjarief. (2005). Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu. Yogyakarta: Andi. Linsley Ray K., Joseph B. Franzini, (1985), Teknik Sumber Daya Air, Eralanga, Jakarta. Sastrodarsono Suyono dan Kensaku Takeda, (1999), Hidrologi untuk Pengairan. Soewarno, (1991), Pengukuran dan Pengolahan Data Aliran Sungai (Hdrometri), Nova, Bandung Sprong, D., (1979), Lakes in The Humid Tropical Areas of The World, Arrevem of the literature. Todd, (1983), Introduction to Hydrology. Mc Graw Hill. USA.
Sasaran Pembelajaran/Kompetensi: 1. Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian runoff 2. Mahasiswa mampu mengukur penampang pengaliran sungai (praktek lapangan) 3. Mahasiswa
mampu
melakukan
pengukuran
kecepatan
aliran
sungai
dengan
pelampung dan current meter (praktek lapangan) 4. Mahasiswa mampu menghitung debit aliran sungai hasil pengukuran (praktek lapangan) 5. Mahasiswa mampu menjelaskan tipe-tipe Pola Pengaliran Air Sungai (SPAS) 6. Mahasiswa memahami metoda Rasional sebagai pendugaan debit sungai 7. Mahasiswa mampu menghitung intensitas hujan 8. Mahasiswa mampu menenukan waktu konsentrasi dengan WMS 9. Mahasiswa mampu menghitung debit puncak
5.1
Pendahuluan Salah satu komponen dalam siklus hidrologi adalah limpasan hujan. Komponen limpasan hujan dapat berupa runoff (aliran permukaan) ataupun aliran yang lebih besar seperti aliran air di sungai. Limpasan akibat hujan ini dapat terjadi dengan cepat dan dapat pula setelah beberapa jam setelah terjadinya hujan. Lama waktu kejadian hujan puncak dan aliran puncak sangat dipengaruhi oleh kondisi wilayah tempat jatuhnya hujan. Makin besar perbedaan waktu kejadian hujan puncak dan debit puncak, makin baik kondisi wilayah tersbut dalam menyimpan air di dalam tanah. Wilayah Indonesia dengan kondisi tropis dimana hujan terjadi terpusat pada enam bulan periode hujan menyebabkan kita harus bisa melakukan rekayasa konservasi air dengan cara menyimpan air hujan sebanyak mungkin di dalam tanah
selama musim hujan dan memanfaatkannya setelah datangnya periode musim kemarau. Disamping itu, penyimpanan air hujan yang baik akan mampu meredam kejadian aliran puncank yang tinggi yang dapat menyebabkan banjir.
5.2
Aliran Permukaan (Runoff) Aliran air yang terjadi di permukaan tanah setelah jenuhnya tanah lapisan permukaan disebut runoff. Air hujan yang jatuh di permukaan bumi akan menjadi aliran permukaan (runoff) setelah tanah di lapisan permukaan jenuh oleh air hujan dan proses hujan memiliki intensitas lebih besar dari laju perkolasi. Aliran permukaan kemudian saling bertemu pada jaringan pengaliran yang kecil sebagai anak-anakan sungai. Aliran tersebut terus berkumpul dan selanjutnya akan bertemu di sungai sebagai aliran air yang lebih besar dimana aliran permukaan berpadu dengan aliran bawah permukaan (interflow) dan aliran dasar (base flow). Aliran permukaan akibatkejadian hujan pada suatu tempat dapat dinyatakan dengan rumus: Roff = P – I
…………………..
(5.1) Dimana Roff adalah aliran permukaan (mm), P adalah hujan (mm) dan I adalah infiltrasi (mm).
5.3
Aliran Sungai Sungai merupakan salah satu unsur penting dalam siklus air di bumi, oleh karena itu pemahaman perilaku sungai dan pengelolaannya merupakan pengetahuan penting dalam keteknikan pertanian, demikian pula ahli bidang ilmu lain. Ahli lingkungan misalnya, meneliti sedimen sungai yang berasal dari buangan limbah serta pengaruhnya terhadap lingkungan. Sedangkan ahli teknik keairan, mengelola sungai untuk keperluan reservoir, perencanaan bangunan dan penanggulangan daya rusak air. Untuk keperluan tersebut, diperlukan pengetahuan tentang sungai dan pengalirannya, seperti morfologi sungai, sejarah perkembangan sungai serta pola pengaliran sungai.
Gambar 5.1 Morfologi Sungai dan bentuk pengalirannya Sungai mempunyai fungsi mengumpulkan curah hujan dalam suatu daerah tertentu dan mengalirkannya ke laut. Sungai itu dapat digunakan juga untuk berjenisjenis aspek seperti pembangkit tenaga listrik, pelayaran, pariwisata, perikanan, dan
lain – lain. Dalam bidang pertanian sungai berfungsi sebagai sumber air yang penting untuk irigasi (Sosrodarsono dan Takeda, 1993). Dua proses penting dalam sungai adalah erosi dan pengendapan, yang dipengaruhi oleh jenis aliran air dalam sungai yaitu: a.
aliran laminer: jika air mengalir dengan lambat, partikel akan bergerak ke dalam arah paralel terhadap saluran.
b.
aliran turbulen: jika kecepatan aliran berbeda pada bagian atas, tengah, bawah, depan dan belakang dalam saluran, sebagai akibat adanya perubahan friksi, yang mengakibatkan perubahan gradien kecepatan. Kecepatan maksimum pada aliran turbulen umunya terjadi pada kedalaman 1/3 dari permukaan air terhadap kedalaman sungai. Pembagian penampang sungai untuk pengukuran lebar sungai dan kedalaman
adalah sebagai berikut:
Gambar 5.2 Pembagian Penampang Melintang Sungai Sungai adalah jalur aliran air di atas permukaan bumi yang di samping mengalirkan air juga mengangkut sedimen yang terkandung dalam air sungai tersebut. Jadi sedimen terbawa hanyut oleh aliran air, yang dapat dibedakan sebagai muatan dasar (bed load) dan muatan melayang (suspended load). Sedang muatan melayang terdiri dari butiran halus, senantiasa melayang di dalam aliran air. Untuk butiran yang
sangat halus, walaupun air tidak lagi mengalir, tetapi butiran tersebut tidak mengendap serta airnya tetap saja keruh dan sedimen semacam ini disebut muatan kikisan (wash load). Untuk kebutuhan usaha pemanfaatan air, pengamatan permukaan air sungai dilaksanakan pada tempat – tempat dimana akan dibangun bangunan air seperti bendungan, bangunan – bangunan pengambil air dan lain – lain. Utnuk kebutuhan usaha pengendalian sungai atau pengaturan sungai, maka pengamatan itu dilaksanakan pada tempat yang dapat memberikan gambaran mengenai banjir termasuk tempat – tempat perubahan tiba – tiba dari penampang sungai (Sosrodarsono dan Takeda, 1993). Sungai seringkali dikendalikan atau dikontrol supaya lebih bermanfaat atau mengurangi dampak negatifnya terhadap kegiatan manusia. Berdasarkan kemanfaatan bangunan penyusun sungai, bagian sungai dapat dikelompokkan menjadi beberapa komponen yaitu: a.
Bendung dan bendungan dibangun untuk mengontrol aliran, menyimpan air atau menghasilkan energi.
b.
Tanggul dibuat untuk mencegah sungai mengalir melampaui batas dataran banjirnya.
c.
Kanal-kanal dibuat untuk menghubungkan sungai-sungai untuk mentransfer air maupun navigasi
d.
Badan sungai dapat dimodifikasi untuk meningkatkan navigasi atau diluruskan untuk meningkatkan rerata aliran.
Gambar 5.3 Profil distribusi kecepatan aliran sungai Debit sungai adalah volume air yang mengalir melalui suatu penampang lintang pada suatu titik tertentu per satuan waktu, pada umumnya dinyatakan m3/detik. Debit sungai diperoleh setelah mengukur kecepatan air dengan alat pengukur atau pelampung
untuk
mengetahui
data
kecepatan
aliran
sungai
dan
kemudian
mengalirkannya dengan luas melintang (luas potongan lintang sungai) pada lokasi pengukuran kecepatan tersebut (Sosrodarsono dan Tominaga, 1984) Menurut Asdak (1995), debit adalah laju aliran air (dalam bentuk volume air) yang melewati suatu penampang melintang sungai per satuan waktu. Rumus umum yang biasa digunakan adalah: Q=vxA
…………………….(5.2)
Keterangan: Q = Debit aliran sungai (m3/detik) A = Luas bagian penampang basah (m2) v = Kecepatan aliran (m/detik) Menurut Soewarno (1991), pengukuran debit dapat dilakukan secara langsung (direct) atau tidak langsung (indirect). Pengukuran debit dikatakan langsung apabila kecepatan alirannya diukur secara langsung dengan alat ukur kecepatan aliran. Berbagai alat ukur kecepatan aliran adalah sebagai berikut:
1.
Pengukuran kecepatan aliran dengan pelampung (floating method);
2.
Pengukuran menggunakan alat ukur arus (current meter);
3.
Pengukuran kecepatan aliran dengan menggunakan zat warna (dillution method). Menurut Sosrodarsono dan Tekeda (1993), dari cara-cara pengukuran debit di
atas cara menghitung debit dengan pengukuran kecepatan dan luas penampang melintang yang paling sering digunakan adalah metode pelampung. Cara tersebut dapat dengan mudah digunakan meskipun aliran permukaan tinggi. Cara ini sering digunakan karena tidak dipengaruhi oleh kotoran atau kayu-kayuan yang hanyut dan mudah dilaksanakan. Pelampung tangkai merupakan satu contoh pelampung yang digunakan untuk mengukur kecepatan aliran. Dimana pelampung tangkai terbuat dari setangkai kayu atau bambu yang diberi pemberat pada ujung bawahnya. Seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini :
Gambar 5.4. Pelampung tangkai dari batang bambu Pelampung jenis ini memiliki tingkat ketilitian yang lebih tinggi dibanding pelampung
jenis
lain
yang
tidak
memiliki
pemberat.
Akan
tetapi
kedalaman
pelampung tidak boleh mencapai dasar sungai sehingga tangkai tidak dipengaruhi oleh bagian kecepatan yang lambat pada lapisan bawah. Jadi hasil yang didapat adalah lebih tinggi dari kecepatan rata-rata sehingga pelampung harus disesuaikan dengan sesuatu koefisien.
Menurut Francis (1856), harga ini dapat dihitung menurut rumus sebagai berikut: ……………(5.3) Keterangan:
Pada nilai
yang tertentu berdasarkan perbandingan kedalaman tangkai dan
kedalaman air , koefisien
dapat ditentukan dengan Table 5.1.
Tabel 5.1. Korelasi Nilai Koefisien dan untuk pelampung batang
Metode lain dalam penentuan kecepatan aliran sungai adalah dengan menggunakan benda apung adalah sebagai berikut : v=L/t
………………………(5.4)
Keterangan: v : kecepatan aliran (m/s) L : jarak tempuh pelampung (m) t : waktu tempuh (detik) Current meter adalah alat untuk mengukur kecepatan aliran (kecepatan arus) air sungai atau aliran air lainnya. Ada dua tipe current meter yaitu tipe baling-baling (propeller type) dan tipe canting (cup type). Penggunaan alat tersebut dilakukan dengan tongkat berskala atau dengan menggunakan perahu. Bila menggunakan tongkat, ujung tongkat dipasang pada bagian alat yang telah tersedia lalu dimasukkan ke dalam air. Dan bila menggunakan perahu, alat dimasukkan ke dalam air dengan menggunakan tali berskala yang ujungnya diikatkan pada bagian alat pemberat yang tersedia. Skala pada tali atau tongkat ini berfungsi untuk menunjukkan kedalaman pengukuran yang dikehendaki.
Gambar 5.5 Prototipe alat Current meter Prinsip dasar pengukuran debit aliran air sungai/saluran dengan peralatan Current meter adalah sebagai berikut: a.
Gambar profil penampang pengaliran dengan mengukur kedalaman sepanjang potongan melintang sungai. Biasanya dilakukan pengukuran tiap jarak 1 m.
b.
Luas penampang basah ditetapkan berdasarkan pengukuran kedalaman air dan lebar permukaan air. Kedalaman dapat diukur dengan meteran, mistar pengukur, kabel, atau tali berskala.
c.
Tentukan jumlah segmen yang akan diukur dan posisi pengukuran dengan current meter dengan memperhatikan kedalaman ukur (lihat Tabel 5.2)
d.
Kecepatan diukur pada masing-masing titik ukur dengan current meter minimal 2 kali ulangan untuk menghindari kekeliruan pembacaan.
e.
Hitung kecepatan rata-rata masing-masing segment (dengan luasannya).
f.
Hitung debit aliran total dengan rumus: ……………… (5.5) Posisi pengukuran kecepatan aliran didasarkan pada kedalaman air yang
diukur, seperti ditunjukkan oleh Tebel 5.2. Tabel 5.2. Pengukuran kecepatan aliran berdasarkan kedalaman Tipe
Kedalaman Air (d) Titik pengamatan dari
Kecepatan rata-rata pada
permukaan
vertikal
Satu titik
0.3 – 0.6 m
0,6d
v = v0.6
Dua titik
0.6 – 3 m
0,2d dan 0,8 d
v = ½ (v0.2+v0.8)
Tiga titik
3–6m
0,2d; 0,6d dan 0,8d
v = ¼(v0.2+2v0.6+v0.8)
Lima titik
>6m
s; 0.2d; 0.6d; 0.8d;
v=1/10
dan b (dasar)
(vs+3v0.2+2v0.6+3v0.8+vb)
Keterangan: vs diukur 0,3 m dari permukaan air vb diukur 0,3 m di atas dasar permukaan sungai Pengukuran debit dikatakan secara tidak langsung apabila kecepatan alirannya tidak diukur langsung, akan tetapi dihitung berdasarkan rumus hidraulis debit dengan
rumus Manning, Chezy, serta Darcy Weisbach. Salah satu rumusnya yaitu rumus Manning dinyatakan dalam bentuk persamaan sebagai berikut: v = .R2/3.S1/2
………………….(5.6)
Q = Av
…………………..(5.7)
Keterangan: Q : debit air (m3/detik) A : luas penampang (m2) v : kecepatan aliran (m/s) R : jari-jari hidrolik (m) S : Slope/kemiringan (m/m) n : koefisien dasar saluran (0,01)
5.4
Waktu Konsentrasi Travel times adalah waktu untuk konsentrasi, waktu puncak, dan waktu perjalanan sepanjang rute; merupakan hal yang sangat penting pada analisa model hidrologi. Penentuan Metode Manual 1.
Metode Manning Metode
penentuan
waktu
konsentrasi
dengan
Manning
dapat
dilakukan
karena pada metode ini, diketahui kecepatan aliran dan jarak pengaliran. Dengan berdarkan pada karakteristik DAS berupa kemiringan aliran dan profil atau penampang pengaliran, maka waktu konsentrasi dapat ditentukan dengan persamaan kinematik Manning sebagai berikut:
Keterangan: t1 = waktu pengaliran aliran permukaan (menit) n = koefisien Manning (dimensionless) L = Panjang pengaliran (m) P = Curah hujan 24 jam (dua tahunan) ( m) S = kemiringan lahan atau media pengaliran, ( m/m)
Metode Manning dengan prosedur dapat pula dilakukan dengan urutan sebagai berikut: The Manning equation in U.S. units: Q = (1.49/n)A(R2/3)(S1/2) The Manning equation in S.I. units: Q = (1.0/n)A(R2/3)(S1/2) Dimana R = A/P V = Q/A tc = L/(60V) Keterangan: Q = Debit aliran (m3/s) V = kecepatan aliran (m/s) R = Jari jari hidraulik (= A/P) (m) A = Luas penampang prngaliran (m2) P = wetted perimeter saluran (m) S = kemiringan dasar saluran (m/m) n = koefisien Manning (dimensioness) L = panjang pengaliran (m) tc = waktu konsentrasi (menit) 2. NRCS Method
Metode ini serupa dengan metode Manning tc = L/(60V) ( menit) V = 16.1345 S0,5 dimana ( V = 4.9178 S0,5 (m/det)) untuk permukaan alamiah V = 20.3282 S0,5 dimana ( V = 6.1960 S0,5 (m/det)) untuk permukaan tertutup Keterangan: L
= panjang pengaliran (m)
V
= kecepatan aliran (m/s)
S
= kemiringan pengaliran air (m/m)
Tc
= waktu penngaliran (menit)
3. Metode FAA ( Kirpich & Kerby) Persamaan ini dinyatakan dalam Chin (2000), Chow et al. (1988), Corbitt (1999), and Singh (1992): FAA equation: t = G (1.1 - c) L0,5 / (100 S)1/3
Kirpich equation: t = G k (L / S0,5) 0,77 Kerby equation: t = G (L r / S0,5) 0,467 c
= Rational method runoff coefficient. See table below.
k
= Kirpich adjustment factor. See table below.
L
= Longest watercourse length in the watershed, ft.
r
= Kerby retardance roughness coefficient. See table below.
S
= Average slope of the watercourse, ft/ft or m/m.
t
= Time of concentration, minutes.
V
= Average velocity in watercourse, ft/min. V=L/t.
Tabel Koefisien untuk Metode FAA Rational Runoff Coefficient for FAA Ground Cover
Method, c (Corbitt, 1999; Singh, 1992)
Lawns
0.05 - 0.35
Forest
0.05 - 0.25
Cultivated land
0.08-0.41
Meadow
0.1 - 0.5
Parks, cemeteries
0.1 - 0.25
Unimproved areas
0.1 - 0.3
Pasture
0.12 - 0.62
Residential areas
0.3 - 0.75
Business areas
0.5 - 0.95
Industrial areas
0.5 - 0.9
Asphalt streets
0.7 - 0.95
Brick streets
0.7 - 0.85
Roofs
0.75 - 0.95
Concrete streets
0.7 - 0.95
Tabel Koefisien untuk Metode Kirpich
Penentuan dengan WMS (Komputasi) Pada bagian ini akan dipelajari dua perbedaan cara WMS yang dapat digunakan pada penghitungan waktu konsentrasi untuk simulasi TR-55 (waktu puncak dihitung dengan cara yang sama), yaitu: 1.
Jarak limpasan dan kemiringan lereng tiap DAS dihitung secara otomatis pada saat anda membuat modelnya dari TIN atau DEM dan menghitung data DAS. Nilai ini kemudian dapat digunakan untuk beberapa eprasmaan dalam WMS untuk menghitung waktu puncah atau waktu konsentrasi..
2.
Jika anda menginginkan pengontrolan yang lebih terhadap waktu puncak atau wkatu konsentrasi , akan akan menggunakan penghitungan waktu pada liputan untuk menentukan arah aliran penting pada setiap sub-DASnya, sebuah persamaan digunakan untuk melakukan estimasi travel time dan waktu konsentrasi aliran.
Panjang dihitung pada setiap arc sedangkan kemiringan lereng diambil dari TIN atau DEM. Pada bagian ini penetuan waktu konsentrasi dua sub-DAS dan travel time antara titik outlet yang ditunjukkan pada gambar di bawah. Anda akan menggunakan persamaan TR-55, atau anda dapat menyusun persamaan itu sendiri.
Banyak model hidrologi, termasuk TR-55 menggunakan composite curve number untuk menghitung losses. Sebuah composite curve number dihitung untuk setiap DAS dengan melakukan overlay antara Peta Penggunaan Lahan dan Peta Tanah. 1 Membaca File TIN Pertama, anda akan membaca TIN yang telah diproses dan digunakan untuk membatasi dua sub-DAS. TIN mempunyai tujuan yang sama dengan cakupan drainase yang dikombinasikan dengan DEM. 1. Sorot ke Drainage Delineation 2. Pilihlah File | Open… 3. Bukalah “aftr55.tin” 4. Pilihlah TIN | Compute Basin Data… 5. Pilihlah Current Coordinates 6. Tentukan unit Horizontal dan Vertikal ke SI Unit 7. Pilihlah OK 8. Pilihlah hectares untuk Basin Areas, dan Meters untuk Distances 9. Pilihlah OK 10. Pilihlah Display | Display Options… 11. Pilihlah bagian TIN 12. Matikan Triangles 13. Pilihlah bagian TIN Drainage 14. Matikan Displaying Drainage Basin Boundaries 15. Pilihlah OK
2 Mendefinisikan Arah Aliran Arah aliran dapat secara otomatis diikuti melalui TIN atau DEM menggunakan flowpath. 1. Pilihlah Modul Map 2. Bentangkan Direktori Data Peta (Map Data Folder) pada Data Tree 3. Klik-Kanan pada General coverage pada Data Tree 4. Pilihlah Properties… dari pop-up menu
5. Set Coverage type ke Time Computation 6. Pilihlah OK 7. Pilihlah Create Feature Points 8. Buat titik pada dua lokasi yang ditandai dengan X pada gambar berikut. Pastikan bahwa hanya terdapat satu titik di dalam setiap batas DAS.
titik ini menampilkan titik terjauh dari outlet untuk DAS tersebut. Sekarang, tampilan arcs akan dibuat dari titik ini ke outlet dengan langkah-langkah berikut: 1. Pilihlah Perangkat Pemilih Titik (Select Feature Point)/Node tool 2. Pilihlah kedua titik yang barusan dibuat gunakan SHIFT untuk memilih langsung keduanya 3. Pilihlah Feature Objects | Node->Flow Arcs 4. Pilihlah Create multiple arcs 5. Pilihlah OK Pilihan Create multiple arcs akan mengakibatkan WMS memecah arah aliran pada setiap sub-DAS, yang telah dihasilkan TIN. Metode TR-55 (atau lainnya) menggunakan tiga perbedaan bagian aliran untuk menghitung waktu konsentrasi: sheet flow (hingga 300 feet), shallow concentrated flow, dan open channel flow. WMS akan secara mengotomatis memecah arc antara overland dan channel flow, dua dari tiga bagian akan siap didefinisikan. Anda akan membutuhkan pembagian sheet flow dari shallow concentrated flow sebelum menset persamaannya. 1. Pilihlah Feature Vertex tool
2. Gambar berikut mengidentifikasikan lokasi kira-kira 200-300 kaki downstream dari awal arah aliran. Pilihlah satu verteks diantaranya. 3. Pilihlah Feature Objects | Vertex<->Node 4. Ulangi untuk verteks lainnya, atau gunakan multi select
sekarang anda mempunyai tiga arc untuk setiap DAS. Arc ini akan digunakan untuk penghitungan waktu konsentrasi pada analisis TR-55. Travel time untuk aliran dari DAS atas ke bagian bawah DAS. Ini akan membutuhkan arah aliran antara outlet atas dan bawah.
1. Pilihlah Feature Objects | Streams->Flow Arcs 2. Dengan menggunakan Node->Flow Arcs dan Streams->Flow Arcs akan secara otomatis mengeneralisasi arah aliran dari TIN begitu pula jika dari DEM dan dapat pula dibuat secara manual menggunakan Peta Kontur. 3 Menentukan Persamaan pada Waktu Hitung Arc Dengan menggunakan segmen dari arah aliran yang telah dibuat anda kini dapat menentukan persamaan yang akan digukanakan dalam menghitung travel time. Ikuti gambar berikut untuk menentukan persamaan.
1.
Pilihlah Select Feature Arc tool
2.
Klik-Ganda pada arc dengan label 1 Defaultnya TR-55 sheet flow equation arc akan tampil, yang perlu dilakukan adalah menentukan indeks kekasaran Manning dan pola hujan 2yr-24hr. Panjang dan kemiringan lereng secara default adalah dari arc terpilih.
3.
Klik pada bari n Mannings
4.
Masukkan Nilai 0.24
5.
Klik pada baris rainfall
6.
Masukkan Nilai 1.1
7.
Pilihlah OK
8.
Ulangi langkah tersebut untuk arc dengan label 4, dengan Indeks Manning = 0.15 dan rainfall = 1.1
9.
Pilihlah OK
Kini anda telah mendefinisikan persamaan untuk segmen overland sheet flow pada tiap basin, selanjutnya untuk shallow concentrated flow: 1. Klik-Ganda pada arc dengan label 2
2. Ubah equation type ke TR-55 shallow conc eqn 3. Klik pada baris Paved 4. Masukkan no 5. Pilihlah OK
5.5 Transformasi Hujan Aliran Hujan yang sampai ke permukaan tanah akan ditransformasikan sebahagian menjadi limpasan tepat setelah tanah menjadi jenuh dan laju perkolasi lebih rendah dari intensitas hujan. Kejadian aliran air sangat ditentukan oleh transformasi hujan dari langit kemudian sebahagian mengalami abstraksi dan diternsepsi oleh tanaman penutup. Tanah yang sampai di tanah mengalami infiltrasi dan menjadi jenuh. Setelah itu terjadilah aliran permukaan yang disebut runoff. Proses tranformasi ini sering disebut model transformasi hujan-aliran atau dalam bentuk transformasi hydrograf hujan menjadi hidrograf aliran.
5.7
Contoh
Transformasi
hidrograf
hujan-aliran
dan
komponen
aliran
sungai
di suatu daerah tangkapan hujan Salah satu hal yang menjadi perhatian alhi hidrologi adalah debit aliran puncak dimana kejadiannya dapat merusak wilayah yang sungai dan daerah bantaran sungai bahkan bila sampai di wilayah pertanian dan pemukiman. Aliran air yang besar dan cepat ini dapat menimbulkan kerusakan harta benda dan bahkan korban jiwa. Oleh karena itu diperlukan suatu mekanisme pendugaan debit puncak. Ada beberap metode yang sering digunakan untuk melakukan untuk pendugaan tersebut. 1. Metode Rational Metode yang paling sederhana dalam pendugaan debit puncak adalah metode rational. Metode ini sering pula disebut formula Lloyd-Davies, yang telah digunakan sejak tahun 1906 di Inggeris oleh Lloyd-Davies. Formula ini menentukan debit puncak (Qp) dengan rumus: Qp=CiA
……………………… (5.8)
Dimana C adalah koefisien pengaliran yang tergantung pada karakteristik DAS, i adalah intensitas hujan dan A adalah luas daerah pengaliran.
2. Metode Time-Area Metode time-area menetukan runoff atau discharge dari hujan melalui pengembangan dan penyempurnaan metode rational dimana debit puncak Qp dihitung dengan menjumlahkan kontribusi aliran setiap sub-sub das dengan menggunakan sistem kontur waktu (isochrones). Setiap garis mewakili flow-time menuju sungai dimana Qp dihitung. Gambar 5.6 menunjukkan konsep metode time-area.
Aliran dari masing masing daerah yang dibatasi dua isochrones (T−∆T,T) ditentukan dari perkalian intensitas rata-rata hujan efektif (i) dari waktu T−∆T sampai waktu T dan luasan (∆A). Kemudian Q4, aliran pada garis aliran X saat waktu 4 jam dihitung dengan:
Q4=i3∆A1+i2∆A2+i1∆A3+i0∆A4
……………. (5.9)
Demikian pula halnya untuk Q yang lain pada garis aliran X ditentukan dengan cara yang sama dengan Q4. Pada sistem ini dibutuhkan waktu konsentrasi yang kemudian dibagi-bagi. Penentuan waktu konsentrasi dapat dilihat pada bagian sebelumnya.
Gambar 5.8 Konsep pendugaan debit puncak dengan metode time-area 5.6 Tipe Sungai dan Aliran Sungai merupakan sumber air utama bagi masyarakat yang berada di daerah berilkim monsoon. Kondisi pengaliran air di sungai sangat ditentukan oleh jenis tanah yang menjadi daerah pengaliran sungai. Aliran air sungai sering kali berubah berdasarkan jenis tanah dan batuan penyusun daerah pengaliran sungai. Sungai yang berada di daerah alluvial dan endapan memiliki kecenderungan untuk berubah arah ketika energi yang dimiliki aliran sungai meningkat. Energi aliran (kinetik) ini menyebabkan penerobosan tanah oleh air dan membentuk aliran baru seperti yang terjadi di beberapa sungai di Sulawesi misalnya Sungai Larian di Provinsi Sul-Bar dan Sungai Rongkong di Provinsi Sul-Sel. Perubahan aliran sungai kerap kali dianalogikan dengan umur sungai. Sungai muda cenderung berubah arah dalam periode waktu tertentu, sementara sungai tua cenderung tetap pada aliran yang ada.
Gambar 5.9 Pola pergerakan air di sungai dalam tanggul/bantaran sungai Gerakan air dan angin di permukaan lahan dapat membentuk pola aliran secara alamiah mengikuti arah gerakan air sedara gravitasional. Meskipun demikian ada beberapa hal yang merupakan faktor yang mempengaruhi pembentukan pola aliran termasuk slope atau kemiringan lahan, sifat tanah dan batuan dasar penyusun DAS, dan sejarah gerakan hidraulika aktivitas batuab beku, dan transport sedimen. Tipe pola aliran yang paling umum adalah dendritik. Pola ini dicirikan oleh banyaknya aliran-aliran kecil yang berhubungan dari orde rendah ke orde yang tinggi. Pola Trellis dicirikan oleh aliran utama yang panjang yang dialiri oleh sejumlah anakan-anakan sungai pendek. Pola tipe Radial banyak ditemukan di daerah pegunungan dengan tanah dan batuan yang umumnya masih berkembang. Hal ini sering menimbulkan aliran yang terpisah-pisah menuruni pegunungan dan sangat jarang ditemukan alira yang lurus kecuali pada daarah curam dengan material dasar yang homogen. Pola Braided dicirikan oleh sejumlah percabangan sungai dan saluran air bada wilayah bantaran sungai. Aliran Braided umumnya membawa banyak sedimen, namun sering memiliki debit air yang kecil diistilahkan dengan incipient forms of meandering) dimana kenyataan bahwa kelokan sungai terrbentuk oleh sedimen dan pengaruh kecepatan aliran air yng memasukinya.
Gambar 5.10 Pola pengaliran air sungai (SPAS) Orde sungai adalah urutan aliran air berdasarkan anakan sungai yang dihitung dari aliran sungai terluar. Penetuan orde sungai dapat dilihat pada Gambar 5.9.
SOLUSI: Tahap
pertaman
adalah
menggambar
perhitungan luas penampang sungai.
profil
penampang
sungai
untuk
tujuan
Tahap kedua adalah menghitung luas masing-masing segment
•
Luas Segmen D Luas D =
= = 1.49 m2 •
Luas Segmen E Luas E = Luas A = = 0.12 m2 Atotal = Luas A + Luas B + Luas C + Luas D + Luas E = 0.465 + 2.03 + 1.99 + 1.49 + 0.12 = 6.095 m2
Tahap ketiga adalah menentukan kecepatan rata-rata menggunakan rumus berikut. •
Dept < 0,6
•
0,6 m ≤ dept < 2 m =
Selanjutnya, dilakukan lagi pengambilan data kecepatan rata-rata untuk segmen dengan rumus:
Nilai di dalam tabel di bawah ini adalah nilai kecepatan rata-rata yang dihitung dengan menggunakan rumus di atas :
Maka debit masing-masing titik adalah: •
Debit titik A (Q1) Q1 = = 6.095 m2 x 0.040 = 0.241 m/s
•
Debit titik B (Q2) Q2 = = 6.095m2 x 0.043 = 0.262 m/s
•
Debit titik C (Q3) Q3 = = 6.095 m2 x 0.038 = 0.232 m/s
•
Debit titik D (Q4)
Q4 = = 6.095 m2 x 0.053 = 0.323 m/s Qtot = Q1 + Q2 + Q3 +Q4 •
= 0.241 m/s + 0.262m/s + 0.232 m/s + 0.323 m/s
•
= 1.060 m/s
5.7 LATIHAN DAN PENUGASAN 1. Diskusikan dengan kelompok arti penting aliran permukaan bagi pertanian? 2. Sebutkan tipe-tipe aliran sungai dan penciri dari masing-masing tipe pengaliran (SPAS).
3. Hasi Pengukuran di sungai Tello diperoleh sebagai berikut:
Jika lebar sungai 30 meter, hitunglah DEBIT air sesaat sungai tersebut.
5.8 DAFTAR PUSTAKA
Asdak Chay (1995). Hidrologi dan Pengeloaan daerah Aliran Sungai. Yogyakarta: Gadjah Mada Press. Linsley Ray K., Joseph B. Franzini, (1985), Teknik Sumber Daya Air, Eralanga, Jakarta. Maidment, RD. (1989). Handbook of Hydrology. McGraw-Hill. New York Sastrodarsono Suyono dan Kensaku Takeda, (1999), Hidrologi untuk Pengairan. Pradnya Paramitha. Bandung. Shaw, Elizabeth (1994). Hidrology in Practice. Taylor & Francis. England. Todd, (1983), Introduction to Hydrology. Mc Graw Hill. New York. Viessmann, W., Lewis, GL., and Knapp, JW., (1989), Introduction to Hydrology. Harper Collins Pub., New York.
Sasaran Pembelajaran/Kompetensi:
1.
Mahasiswa mampu menjelaskan konsep infiltrasi, perkolasi dan permeabilitas
2.
Mahasiswa mampu menjelaskan perbedaan antara konsep infiltrasi, perkolasi dan permeabilitas
3.
Mahasiswa mampu menghitung laju infiltrasi dan kapasitas infiltrasi serta koefisien fungsi infiltrasi (Kostiakov, Horton, dan Holtan)
4.
Mahasiswa mampu melakukan pengukuran infiltrasi dengan ring infiltrometer di lapangan.
6.1 Pendahuluan Infiltrasi adalah proses aliran air (umumnya berasal dari curah hujan) masuk kedalam tanah. Perkolasi merupakan proses kelanjutan aliran air yang berasal dari infiltrasi ke tanah yang lebih dalam. Kebalikan dari infiltrasi adalah rembesan (speege). Laju maksimal gerakan air masuk kedalam tanah dinamakan kapasitas infiltrasi. Kapasitas infiltrasi terjadi ketika intensitas hujan melebihi kemampuan tanah dalam menyerap kelembaban tanah. Sebaliknya apabila intensitas hujan lebih kecil dari pada kapasitas infiltrasi, maka laju infiltrasi sama dengan laju curah hujan. Laju infiltrasi umumnya dinyatakan dalam satuan yang sama dengan satuan intensitas curah hujan, yaitu millimeter per jam (mm/jam). Air infiltrasi yang tidak kembali lagi ke atmosfer melalui proses evapotranspirasi akan menjadi air tanah untuk seterusnya mengalir ke sungai disekitar. Salah satu proses yang berkaitan dengan distribusi air hujan yang jatuh ke permukaan bumi adalah infiltrasi. Infiltrasi adalah proses masuk atau meresapnya air dari atas permukaan tanah ke dalam bumi. Jika air hujan meresap ke dalam tanah
maka kadar lengas tanah meningkat hingga mencapai kapasitas lapang. Pada kondisi kapasitas lapang air yang masuk menjadi perkolasi dan mengisi daerah yang lebih rendah energi potensialnya sehingga mendorong terjadinya aliran antara (interflow) dan aliran bawah permukaan lainnya (base flow). Air yang berada pada lapisan air tanah jenuh dapat pula bergerak ke segala arah (ke samping dan ke atas) dengan gaya kapiler atau dengan bantuan penyerapan oleh tanaman melalui tudung akar. Proses infiltrasi sangat ditentukan oleh waktu. Jumlah air yang masuk kedalam tanah dalam suatu periode waktu disebut laju infiltrasi. Laju infiltrasi pada suatu tempat akan semakin kecil seiring kejenuhan tanah oleh air. Pada saat tertentu laju infiltrasi menjadi tetap. Nilai laju inilah yang kemudian disebut laju perkolasi. Ketika air hujan jatuh diatas permukaan tanah, tergantung pada kondisi biofisik permukaan tanah, sebagian atau seluruh air hujan tersebut akan mengalir masuk kedalam tanah melalui pori-pori permukaan tanah. Proses mengalirnya air hujan kedalam tanah disebabkan oleh tarikan gaya gravitasi dan gaya kapiler tanah. Di bawah pengaruh gaya gravitasi air hujan mengalir vertikal kedalam tanah, sedangkan pada gaya kapiler bersifat mengalirkan air tersebut tegak lurus keatas, kebawah, dan kearah horizontal (lateral). Gaya kapiler bekerja nyata pada tanah dengan pori-pori yang relative kecil. Mekanisme infiltrasi melibatkan 3 proses yang tidak saling mempengaruhi : a.
proses masuknya air hujan melalui pori-pori permukaan tanah
b.
tertampungnya air hujan tersebut didalam tanah
c.
proses mengalirnya air tersebut ketempat lain (bawah, samping, atas)
6.2 Faktor yang Mempengaruhi Infiltrasi Perpindahan air dari atas ke dalam permukaan tanah baik secara vertikal maupun secara horizontal disebut infiltrasi. Banyaknya air yang terinfiltrasi dalam satuan waktu disebut laju infiltrasi. Besarnya laju infiltrasi f dinyatakan dalam mm/jam atau mm/hari. Laju infiltrasi akan sama dengan intensitas hujan, bila laju infiltrasi tersebut lebih kecil dari daya infiltrasinya. Jadi f ≤ fp dan f ≤ I (Soemarto, 1999). Infiltrasi berubah-ubah sesuai dengan intensitas curah hujan. Akan tetapi setelah mencapai limitnya, banyaknya infiltrasi akan berlangsung terus sesuai dengan kecepatan absorbsi setiap tanah. Pada tanah yang sama kapasitas infiltrasinya berbeda-82
beda, tergantung dari kondisi permukaan tanah, struktur tanah, tumbuh-tumbuhan dan lain-lain. Di samping intensitas curah hujan, infiltrasi berubah-ubah karena dipengaruhi oleh kelembaban tanah dan udara yang terdapat dalam tanah (Maryono, 2004). Beberapa faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi laju infiltrasi adalah sebagai berikut: 1. Tinggi genangan air di atas permukaan tanah dan tebal lapisan tanah yang jenuh. 2. Kadar air atau lengas tanah 3. Pemadatan tanah oleh curah hujan 4. Penyumbatan pori tanah mikro oleh partikel tanah halus seperti bahan endapan dari partikel liat 5. Pemadatan tanah oleh manusia dan hewan akibat traffic line oleh alat olah 6. Struktur tanah 7. Kondisi perakaran tumbuhan baik akar aktif maupun akar mati (bahan organik) 8. roporsi udara yang terdapat dalam tanah 9. Topografi atau kemiringan lahan 10. Intensitas hujan 11. Kekasaran permukaan tanah 12. Kualitas air yang akan terinfiltrasi 13. Suhu udara tanah dan udara sekitar Apabila semua faktor-faktor di atas dikelompokkan, maka dapat dikategorikan menjadi dua faktor utama yaitu: 1. Faktor yang mempengaruhi air untuk tinggal di suatu tempat sehingga air mendapat kesempatan untuk terinfiltrasi (oppurtunity time). 2. Faktor yang mempengaruhi proses masuknya air ke dalam tanah. Selain dari beberapa factor yang menentukan infiltrasi diatas terdapat pula sifatsifat khusus dari tanah yang menentukan dan membatasi kapasitas infiltrasi (Arsyad, 1989) sebagai berikut: a. Ukuran pori Laju masuknya hujan ke dalam tanah ditentukan terutama oleh ukuran pori dan susunan pori-pori besar. Pori yang demikian itu dinamakan pori aerasi, oleh karena pori-pori mempunyai diameter yang cukup besar yang memungkinkan air keluar dengan cepat sehingga tanah beraerasi baik. 83
b. Kemantapan pori Kapasitas infiltrasi hanya dapat terpelihara jika porositas semula tetap tidak terganggu selama waktu tidak terjadi hujan. c. Kandungan air Laju infiltrasi terbesar terjadi pada kandungan air yang rendah dan sedang. d. Profil tanah Sifat bagian lapisan suatu profil tanah juga menentukan kecepatan masuknya air ke dalam tanah. Ketika air hujan jatuh di atas permukaan tanah, maka proses infiltrasi tergantung pada kondisi biofisik permukaan tanah, sebagian atau seluruh air hujan tersebut akan mengalir masuk ke dalam tanah melalui pori-pori permukaan tanah. Proses mengalirnya air hujan ke dalam tanah disebabkan oleh tarikan gaya gravitasi dan gaya kapiler tanah. Oleh karena itu, infiltrasi juga biasanya disebut sebagai aliran air yang masuk ke dalam tanah sebagai akibat gaya kapiler dan gravitasi. Laju air infiltrasi yang dipengaruhi oleh gaya gravitasi dibatasi oleh besarnya diameter pori-pori tanah. Tanah dengan pori-pori jenuh air mempunyai kapasitas lebih kecil dibandingkan dengan tanah dalam keadaan kering (Asdak, 2002). Dibawah pengaruh gaya gravitasi, air hujan mengalir vertikal kedalam tanah melalui profil tanah. Dengan demikian, mekanisme infiltrasi melibatkan tiga proses yang tidak saling mempengaruhi (Asdak, 2002): a. Proses masuknya air hujan melalui pori-pori permukaan tanah. b. Tertampungnya air hujan tersebut di dalam tanah. c. Proses mengalirnya air tersebut ke tempat lain (bawah, samping dan atas). Pengukuran laju infiltrasi dapat dilakukan pada permukaan tanah, pada kedalam tertentu, pada lahan kosong atau pada lahan bervegetasi. Walaupun satuan infiltrasi serupa dengan konduktivitas hidraulik, terdapat perbedaan antara keduanya. Hal itu tidak bisa secara langsung dikaitkan kecuali jika kondisi batas hidraulik diketahui, seperti kemiringan hidraulik dan aliran air lateral atau jika dapat diperkirakan. Laju infiltrasi memiliki kegunaan seperti studi pembuangan limbah cair, evaluasi potensi lahan tanki septik, efisiensi pencucian dan drainase, kebutuhan irigasi, penyebaran air dan imbuhan air tanah, dan kebocoran saluran atau bendungan dan kegunaan lainnya (Kirkby, M.J., 1971). Jumlah dan ukuran pori yang menentukan adalah jumlah pori-pori yang berukuran besar. Makin banyak pori-pori besar maka kapasitas infiltrasi makin besar pula. Atas dasar ukuran
pori
tersebut, liat kaya akan pori halus dan miskin akan pori
besar. Sebaliknya fraksi pasir banyak mengandung pori besar dan sedikit pori halus. Dengan demikian kapasitas infiltrasi pada tanah-tanah pasir jauh lebih besar daripada tanah liat. Tanah-tanah yang bertekstur kasar menciptakan struktur tanah yang ringan. Sebaliknya tanah-tanah yang terbentuk atau tersusun dari tekstur tanah yang halus menyebabkan terbentuknya tanah-tanah yang bertekstur berat. Tanah dengan struktur tanah yang berat mempunyai jumlah pori halus yang banyak dan miskin akan pori besar. Sebaliknya tanah yang ringan mengandung banyak pori besar dan sedikit pori halus. Dengan demikian kapasitas infiltrasi dari kedua jenis tanah tanah tersebut akan berbeda pula, yaitu tanah yang berstruktur ringan kapasitas infiltrasinya akan lebih besar dibandingkan dengan tanah-tanah yang berstruktur berat (Saifuddin, 1986). Menurut Boedi Susanto (2008), laju infiltrasi berbeda menurut jenis tanahnya seperti pada tabel berikut: Tabel 6.1. Laju Infiltrasi Menurut Jenis Tanah Jenis Tanah
Laju Infiltrasi (mm/menit)
Tanah ringan (sandy soil)
0,212 – 0,423
Tanah sedang (loam clay, loam silt)
0,042 – 0,212
Tanah berat (clay, clay loam)
0,004 – 0,042
Sifat transmissi lapisan tanah tergantung pada lapisan-lapisan dalam tanah. Lapisan tanah dibedakan 4 horizon (Soesanto, 2008) : 1.
Horizon A, yang teratas, sebagian bahan organik tanaman
2.
Horizon B, merupakan akumulasi dari bahan koloidal A, ketebalan permeabilitas sangat menentukan laju infiltrasi
3.
Horizon C, kadang-kadang disebut sub soil, terbentuk dari pelapukan bahan induk
4.
Horizon D, merupakan bahan induk (bed rock)
Arti Pentingnya Infiltrasi Infiltrasi mempunyai arti penting terhadap beberapa hal berikut : a.
Proses limpasan (run off)
Daya infiltrasi menentukan banyaknya air hujan yang dapat diserap kedalam tanah. Makin besar daya infiltrasi, perbedaan antara intensitas hujan dengan daya infiltrasi 85
menjadi makin kecil. Akibatnya limpasan permukaannya makin kecil, sehingga debit puncaknya juga akan lebih kecil. b.
Pengisian lengas tanah (Soil Moisture) dan air tanah
Pengisian lengas tanah dan air tanah penting untuk tujuan pertanian. Akar tanaman menembus zone tidak jenuh dan menyerap air yang diperlukan untuk evapotranspirasi dari zona tidak jenuh. Pengisian kebali lengas tanah sama dengan selisih antara infiltrasi dan
perkolasi
(jika
ada).
Pada
permukaan
air
tanah
yang
dangkal
dalam
lapisan tanah yang berbutir tidak begitu besar, pengisian kembali lengas tanah ini dapat pula diperoleh dari kenaikan kapiler air tanah.
6.3 Perhitungan Infiltrasi dan Laju Infiltrasi Penentukan besarnya infiltrasi dapat dilakukna dengan melalui tiga cara yaitu: 1.
Menentukan perbedaan volume air hujan buatan dengan volume air larian pada percobaan laboratorium menggunakan simulasi hujan buatan (metode simulasi laboratorium).
2.
Menggunakan alat ring infiltrometer (metode pengukuran lapangan).
3.
Teknik pemisahan hidrograf aliran dari data aliran air hujan (metode separasi hidrograf). Singh (1989) menyajikan beberapa model infiltrasi yang telah diusulkan dan
digunakan pada kebanyakan analisa hidrologi dan hidraulik yang berkaitan dengan sistem keairan. Model - model tersebut dapat dikelompokkan ke dalam dua kelas yakni: (1) model empiris, dan (2) model konseptual. Model empiris menyatakan kapasitas infiltrasi sebagai fungsi waktu. Dimana kadar lengas tanah memiliki sifat dinamis terhadap waktu, sehingga laju infiltrasi ditentukan oleh kondisi lengas tanah mula-mula saat proses infiltrasi mulai terjadi. Adapun model- model empiris infiltrasi diantaranya adalah Model Kostiakov, Model Horton, Model Holtan dan Model Overton. Uraian masing-masing model disajikan sebagai berikut: a.
Model Kostiyakov Model
Kostiakov
menggunakan
pendekatan
fungsi
power
dengan
tidak
memasukkan kadar air awal dan kadar air akhir (saat laju infiltrasi tetap) sebagai komponen fungsi. Fungsi infiltrasi dan laju infiltrasi disajikan pada persamaan 6.1 dan persamaa 6.2.
F = atb , 0
…….…………………. (6.1) ……………………….. (6.2)
Dimana a dan b adalah konstanta. Konstanta a dan b tergantung pada karakteristik tanah dan kadar air tanah awal. Konstanta ini tidak bisa ditentukan sebelumnya dan biasanya ditentukan dengan penarikan sebuah garis lurus pada kertas grafik untuk data empirik atau dengan menggunakan metode pangkat terkecil. Karena kesederhanaannya, metode ini sering diterapkan pada pelajaran irigasi permukaan.
b.
Model Horton Model Horton adalah salah satu model infiltrasi yang terkenal dalam hidrologi. Horton mengakui bahwa kapasitas infiltrasi berkurang seiring dengan bertambahnya waktu hingga mendekati nilai yang konstant. Ia menyatakan pandangannya bahwa penurunan kapasitas infiltrasi lebih dikontrol oleh faktor yang beroperasi di permukaan tanah dibanding dengan proses aliran di dalam tanah. Faktor yang berperan untuk pengurangan laju infiltrasi seperti penutupan retakan tanah oleh koloid tanah dan pembentukan kerak tanah, penghancuran struktur permukaan lahan dan pengangkutan partikel halus dipermukaan tanah oleh tetesan air hujan. Model Horton dapat dinyatakan secara matematis mengikuti persamaan 6.3: f = fc + (fo – fc)e-kt ; i ≥ fc dan k = konstan …………….. (6.3) Keterangan; f : laju infiltrasi nyata (cm/h) fc : laju infiltrasi tetap (cm/h) fo : laju infiltrasi awal (cm/h) k : konstanta geofisik Model ini sangat simpel dan lebih cocok untuk data percobaan. Kelemahan utama dari model ini terletak pada penentuan parameternya f0, fc, dan k dan ditentukan dengan data-fitting. Meskipun demikian dengan kemajuan sistem komputer proses ini dapat dilakukan dengan program spreadsheet sederhana. 87
c.
Model Holtan Model Holtan pada dasarnya serupa dengan model Horton, akan tetapi pada model ini, Holtan menambahkan faktor vegetasi dalam persamaan sehingga fungsi matematiknya berubah menjadi fungsi power dan bukan fungsi eksponensial seperti pada Model Horton. Fungsi matematik model Holtan disajikan sebagai berikut: ……………………………………(6.4) Dengan Fp adalah infiltrasi potensial. a dan n adalah konstanta untuk vegetasi tanah. Holtan berpendapat bahwa kapasitas infiltrasi berbanding lurus dengan ruang pori yang tersedia. Model Holtan agak cocok dimasukkan untuk model batas air dalam ilmu tata air karena dia menghubungkan laju infiltrasi (f) dengan kelembaban tanah. Kekurangan dari model ini adalah spesifikasi kedalaman permukaan air tanah bebas. Kedalaman mempengaruhi infiltrasi secara signifikan.
d.
Model Overton Overton pada tahun 1964 merumuskan kembali model Holtan. Dia mencatat bahwa ruang pori-pori yang tersedia pada awal terjadinya hujan tidaklah selalu terisi seluruhnya sebelum kapasitas infiltrasi menjadi tetap. Jarak antar ruang pori-pori yang terisi tergantung pada tumbuh-tumbuhan penutup tanah. Persamaan matematik infiltrasi dan laju infiltrasi Model Overton disajikan pada persamaan 6.5 dan 6.6. ........................... (6.5) ............................ (6.6) Dimana d = (fc/a)0.5 dan J = (afc)0.5.
Model infiltrasi selain model empiris adalah model konseptual yang menganalogikan proses infiltrasi sebagai faktor terinterasi dengan aspek hidrologi lain. Beberapa model konseptual adalah Model SCS, Model HEC, Model Philip, dan Model Hidrograf. Uraian model konseptual adalah sebagai berikut: a.
Model SCS Model Soil Conservation Services (SCS) merupakan model konseptual yang dikembangkan oleh USDA. Model ini menggunakan pendekatan penggunaan/
penutupan lahan, jenis tanah dan kondisi hidrologi wilayah. Hasil yang diperoleh dalam model ini adalah nilai infiltrasi dan laju infiiltrasi wilayah (unit lahan) pada suatu DAS atau Sub-DAS. .................................... (6.7) .................................... (6.8) Dimana b adalah persentase faktor vegetasi, P adalah laju curah hujan (cm/s) dan p adalah intensitas curah hujan (cm/s), dan S adalah potensial storage (cm). Soil Concervation Service (SCS), mengembangkan suatu prosedur yang sering disebut metode curve-number untuk menaksir runoff. Metode ini selanjutnya dikenal dengan model SCS.
Gambar 6.1 Skema komponen rainfall excess Bila nilai CN (curve number) telah ditentukan, maka aliran permukaan langsung dapat ditentukan dengan menggunakan monogram SCS.
Gambar 6.2 Monogram SCS b.
Model HEC Model HEC merupakan model infiltrasi dasar pada suatu hubungan non linear antara intensitas curah hujan dan kapasitas infiltrasi. ………. (6.9) …… (6.10) Dimana k adalah koefisien penurunan air ke dalam tanah, k’ adalah perubahan koefisien penurunan air, p adalah intensitas curah hujan (cm/s), D adalah defisiensi kelembaban tanah dan x adalah eksponen antara 0 dan 1. Jika x = 0, f tidak terikat oleh P, asumsi ini dibuat normal dan termasuk dalam kebanyakan persamaan infiltrasi. Jika x = 1, f berbanding lurus dengan parameter p. Study hidrology yang di kembangkan oleh HEC mengindikasikan bahwa x biasanya antara 0,3 sampai 0,9 untuk konsistensi.
c.
Model Philip Tanah Dua-Lapis Pada satu seri dari papernya, Philip memperkenalkan analisis dari infiltrasi berdasarkan persamaan Fokker-Planck, atau persamaan aliran untuk tanah homogen dengan kadar
lengas tanah awal dan suplai air yang berlebihan dipermukaan.
Parameter S dan C merupakan fungsi difusi air tanah awal dan kadar air permukaan dari tanah …………………………(2.14) ……………………… (2.15) ...……………………. (2.16) Keterangan, f
d.
= laju ifiltrasi (cm/h)
S
= Sportivity (cm/h)
C
= kostanta (cm/h)
t
= interval waktu (s).
Model Hydrograf Jika akurasi data curah hujan dan runoff yang tersedia pada suatu bidang tanah kecil, jumlah air yang terinfiltrasi ke dalam tanah dapat ditentukan dengan menggunakan model yang disebut model hydrograf. Model ini didasarkan pada pendapat berikut: (1) intersepsi dan infiltrasi kecil, (2) infiltrasi merupakan abstrak utama bahwa curah hujan dikurang dengan infiltrasi akan mendekati aliran permukaan. Model ini lebih sering digunakan untuk menentukan neraca air. ................. (2.17) Keterangan; P = curah hujan (cm/s), q = discharge (cm/s) D = surface detention (cm) F = kapasitas infiltrasi (cm) Laju infiltrasi umumnya tergantung dari horizon A dan B, karena kapasitas infiltrasi C tidak akan terpenuhi oleh laju infitrasi, sedangkan D tidak tertembus air, sehingga sifat transmissi lapisan tanah dikelompokkan menjadi 2 fenomena. Jika kapasitas perkolasi lebih besar dari kapasitas infiltrasi maka lapisan di bawahlapisanpermukaan tidak akan jenuh air dan laju infiltrasiditentukan oleh infiltrasi.
Jika kapasitas perkolasi lebih kecil dari kapasitas infiltrasi maka lapisan bawah akan jenuh air dan laju infiltrasi ditentukan oleh laju perkolasi. Untuk lahan yang sulit pengambilan sample kpnduktivitas hidrauliknya di lapangan, maka dapat juga dilakukan pendekatan nilai kondukttivitas hidraulik
dengan menggunakan data tekstur tanah seperti yang diperlihatkan pada diagram segitiga tekstur.
Gambar. 6.3 Metode grafis penentuan Konduktivitas Hidraulik Jenuh dengan segitiga
tekstur
6.5 Pengukuran Infiltrasi Infiltrasi dapat diukur dengan cara berikut : a.
Dengan infiltrometer
Infiltrometer dalam bentuk yang paling sederhana terdiri atas tabung baja yang ditekankan kedalam tanah.Permukaan tanah di dalam tabung diisi air.Tinggi air dalam tabung akan menurun, karena proses infiltrasi. Kemudian banyaknya air yang ditambahkan untuk mempertahankan tinggi air dalam tabung tersebut harus diukur. Makin kecil diameter tabung makin besar gangguan akibat aliran ke samping di bawah tabung. Dengan cara ini infiltrasinya dapat dihitung dari banyaknya air yang ditambahkan kedalam tabung sebelah dalam per satuan waktu.
Gambar 6.4 Infiltrometer b.
Dengan testplot Pengukuran infiltrasi dengan infiltrometer hanya dapat dilakukan terhadap
luasan yang kecil saja, sehingga sukar untuk mengambil kesimpulan terhadap besarnya infiltrasi bagi daerah yang lebih luas. Untuk mengatasi hal ini dipilih tanah datar yang dikelilingi tanggul dan digenangi air. Daya infiltrasinya didapat dari banyaknya air yang ditambahkan agar permukaannya konstan. Jadi testplot sebenarnya adalah infiltrometer yang berskala besar. c. Lysimeter Lysimeter merupakan alat pengukur berupa tangki beton yang ditanam dalam tanah diisi tanah dan tanaman yang sama dengan sekelilingnya, dilengkapi dengan fasilitas drainage dan pemberian air. Dengan persamaan neraca air (waterbalance) seperti berikut:
P+I=D+E±S Keterangan :
…………………….. (2.18)
I = pemberian (supply) air D= air yang dikeluarkan E= penguapan (evapotranspirasi) S= tampungan air dalam tanah
Untuk mencapai tujuan ini lebih baik digunakan lysimeter timbang, dengan lysimeter timbang besarnya infiltrasi dengan kondisi curah hujan yang sebenarnya dapat dipelajari. Curah hujan harus diukur dengan alat pencatat hujan (recording rain gauge) yang harus ditemptkan di dekat lysimeter tersebut. 6.6 CONTOH SOAL 1. Suatu data hasil pengukuran disajikan sebagai berikut: t (mnt)
fob(cm/mnt)
t (mnt)
fob(cm/mnt)
0
0,00
25
1,24
1
2,50
35
1,16
2
2,25
48
1,06
3
2,13
65
0,98
5
1,86
85
0,94
8
1,68
105
0,91
12
1,50
125
0,89
17
1,38
Tentukan laju ifiltrasi air dengan rumus Kostiakov, Horton, Holtan, dan Phillip. Gambarkan Kurva dan Hasil observasi dan semua model. Penyelesaian Dengan menggunakan spreadsheed maka fungsi masing-masing model diperoleh seperti berikut: Fungsi f = 0.407 t
Model -0.16.
Kostiakov 0,287t
f = 0,242 + (0,5 - 0,242)e-
Horton
f = 0,039 (-2,091 – f)2 + 0,239
Holton
f = 0,5*0.143 t-0,5 + 0,214
Phillip
Fungsi model kemudian di gambarkan dengan menggunakan spreadsheet kembali:
6.7 LATIHAN DAN PENUGASAN 1.
Diskusikan dengan kelompok kelebihan dan kekurangan masing-masing model infiltrasi yang telah anda baca. Buat file dalam bentuk word dan Presentasi.
2.
Turunkan fungsi infiltrasi Horton dan Holtan dari hasil pengukuran sebagai berikut: Waktu
3.
f (mm/jam)
1
2,50
5
1,75
50
1,00
Lengkapi data DAS anda dengan mencari nilai CN berdasarkan kondisi hidrologi wilayah dan penutupan lahan. Hasil perhitungan CN ini akan digunakan pada pendugaan limpasan permukaan langsung.
4.
Lakukan pemasangan Infltrometer di lapangan dengan mengamati laju penurunan air dalam periode waktu tertentu (tergantung jenis tanah). Kemudian a. Gambarkan kurva laju infiltrasi b. Tentukan fungsi infiltrasi yang sesuai untuk plot data anda (Asistensi sebelum melakukan pengambilan data di Laboratorium Hidrologi dan Mekanika Fluida)
6.8 DAFTAR PUSTAKA Asdak Chay (1995). Hidrologi dan Pengeloaan daerah Aliran Sungai. Yogyakarta: Gadjah Mada Press. Kodoatie, R.J. dan Roestam Sjarief. (2005). Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu. Yogyakarta: Andi. Linsley Ray K., Joseph B. Franzini, (1985), Teknik Sumber Daya Air, Eralanga, Jakarta. Maidment, RD. (1989). Handbook of Hydrology. McGraw-Hill. New York Sastrodarsono Suyono dan Kensaku Takeda, (1999), Hidrologi untuk Pengairan. Pradnya Paramitha. Bandung Todd, (1983), Introduction to Hydrology. Mc Graw Hill. New York. Viessmann, W., Lewis, GL., and Knapp, JW., (1989), Introduction to Hydrology. Harper Collins Pub., New York.
Sasaran Pembelajaran/Kompetensi: Setelah mengikuti pembelajaran ini, mahasiswa mampu: 1. Mengetahui cara prakiraan banjir jangka pendek 2. Menghitung hidrograf satuan dari suatu titik ukur ke bagian sungai lain 3. Mengetahui perhitungan debit banjir 4. Mengetahui derivasi hidrograf sintetik 7.1 Pendahuluan Permasalahan utama yang dihadapi praktisi hidrologi adalah mengestimasi hydrograph menaik dan menurun dari suatu sungai pada sebaran titik pengaliran terutama selama periode banjir. Permasalahn ini dapat diatasi dengan teknik penelusuran aliran atau penelusuran banjir yang mengolah sifat-sifat hydrograph banjir di hulu atau di hilir dari suatu titik ke titik yang lain sepanjang aliran sungai. Penelusuran dilakukan dari titik dimana ada data pengamatan hidrograf aliran untuk memudahkan proses penelusuran itu sendiri. Suatu hidrograf banjir dapat dimodifikasi dengan dua cara sebagaimana air hujan mengalir menuruni jaringan pengaliran air (drainage network). Pertama waktu berkumpulnya aliran-aliran untuk terjadinya aliran dan puncaknya pada suatu titik di daerah hilir. Ini disebut sebagai translasi. Kedua, besarnya laju aliran puncak yang bergerak menuju titik di aliran bawah, serta lama waktu aliran mencapai titik bawah. Modifikasi hidrograf ini disebut attenuation. Penurunan hidrograf aliran di bagian bawah seperti B pada Gambar 7.1 dari hulu yang disebabkan oleh pola hidrograf banjir A merupakan hal penting untuk
diperhatikan dalam manajemen sungai sebagai upaya prediksi banjir di wilayah bagian river basin. Dalam hal disain, penelusuran hidrograf banjir juga penting untik mengatur kapasitas spillway reservoir. Disamping itu jadwal pencegahan banjir atau evaluasi tinggi bangunan jagaan banjir di tanggul sungai peru juga diperhatikan.
Gambar 7.1 Sifat translasi dan attenuasi banjir 7.2 Memilih Model Penelusuran Banjir Pemilihan model penelusuran aliran untuk tujuan penerapan tertentu dipengaruhi oleh tingkat berbagai kepentingan dengan mempertimbangkan faktor sebagai berikut: 1.
Model menyajikan informasi hidraulik yang sesuai untuk menjawab pertanyaan atau problem pemangku kepentingan;
2.
Tingkat akurasi model;
3.
Kebutuhan akurasi dalam penerapan penelusuran aliran;
4.
Tipe dan ketersediaan kebutuhan data;
5.
Ketersediaan fasilitas dan biaya komputasi;
6.
Familiaritas dengan model yang diberikan;
7.
Pengembangan dokumen, level kemampuan dan ketersediaan wadah atau paket model penelusuran;
8.
Kekompleksan formulasi matematika model penelusuran yang akan dikembangkan dengan bahasa pemrograman komputer; dan
9.
Kapabilitas dan ketersediaan waktu untuk membangun model penelusuran. Dengan
pertimbangan
pertimbangan
di
atas,
maka
pemilihan
model
penelusuran dapat dilakukan dengan asumsi bahwa tidak ada suatu model yang paling
tepat melainkan memiliki konsekuensi yang besar untuk mewujudknnya. Model penelusuran yang sederhana paling cepat dan mudah karena keserhanaan komputasi akan ada. Akan tetapi pertimbangan keakuratan akan membatasi penerapan model. Akurasi Model Penelusuran Reservoir. Dalam aplikasi reservoir, akurasi model penelusuran level-kolam sangat relatif terhadap keakurasian model penelusuran dinamis terdistribusi Akurasi Model Penelusuran Sungai. Pada penerapan penelusuran aliran sungai, tipe lump dan kinematik and model penelusuran diffusi menunjukkan keuntungan kesederhanaan dimana dampak dari aliran balik (backwater) tidak ada. Pertimbangan kekauratan membatasi model dalam penerapannya dimana hubungan kedalaman air dan debit adalah nilai tunggal, dan nilai pergerakan menaik hydrograph dan kemiringan dasar saluran tidaklah kecil. 7.3 Penelusuran Aliran Tipe-Lump Bentuk sederhana dari aliran tak tunak sepanjang pengalira air sungai adalah model lumped dimana seluruh daerah pengaliran dianggap seragam kondisinya. Pendugaan dilakukan jika ada aliran masuk (I) maka dapat diprediksi debit hidrograf keluar (Q) sebagai fungsi waktu misalnya I(t) dan Q(t). Prinsip konservasi massa dengan menghitung perbedaan antara dua aliran akan sama dengan laju perubahan simpanan air (S) dalam suatu periode waktu seperti disajikan pada persamaan berikut: ………………….. (7.1) Fungsi sederhana simpanan terhadap debit keluaran Q, misalnya S = f(Q), atau tinggi permukaan air h, misalnya S = f(h). Bentuk sederhana hubungan tinggi permukan air dan simpanan biasanya ditunjukkan pada danau atau reservoir. Bentuk hubungan akan menjadi lebih kompleks bila pada sepanjang pengaliran (sungai dan anak sungai) simpanan menjadi fungsi dari inflow dan outflow. Solusi persamaan untuk Q(t) dengan berbagai pendekatan simpanan dapat dilakukan melalui penelusuran aliran seragam. Teknik grafis dan penyelesaian persamaan matematis telah diterapkan. Model aliran lump (DAS seragam) relatif lebih sederhana dibandingkan dengan distributed flow routing. Akan tetapi pengabaian dampak aliran balik (waterback atau water-hammer) dapat menjadi sumber ketidak akuratan hidrograf yang mengalami perubahan tiba-tiba sepanjang reservoir. Metode
Lump dapat dikategorikan ke dalam tiga tipe yakni: (1) tipe level-pool untuk reservoir, (2) tipe simpanan (storage) untuk sungai, dan (3) tipe sistem linear dengan karakterisasi fungsi respon, dan hubungan inflow-outflow atau input-output yang didefinisikan dengan teknik integral konvolusi (convolution integral).
Level-Pool Reservoir Routing Dalam sistem ini reservoir diasumsikan selalu memiliki permukaan datar sepanjang muka air di reservoir. Penelusuran aliran tak tunak tidak akan terjadi lama dan hidrograf tidak berubah dengan cepat terhadap waktu, sehingga reservoir dapat
didekati
dengan
teknik
sederhana
sebagai
level-pool
routing.
Elevasi
permukaan air h berubah terhadap waktu t, dan outflow dari reservoir diasumsikan sebagai fungsi h(t). Pendekatan ini menghasilkan suatu persamaan diferensial yang dapat diselesesaikan dengan beberapa teknik numerik seperti metode Runge-Kutta atau metode integrasi iterasi trapezoid. Metode
Iterative
Trapezoidal
Integration.
Pada
metode
ini
aturan
trapesium
digunakan untuk mengintegralkan persamaan konservasi massa. Acuan waktu terdiri dari
pembagian
waktu
dengan interval t, misal t = 0, t, 2t, ... , jt, (j + 1 ) …………….. (7.2)
Dimana luas permukaan Sa merupakan fungsi h. Dengan menggunakan nilai ratarata untuk I(t) dan Q(t) sepanjang interval t dan substitusi (7.2) ke persamaan (7.1) maka diperoleh:
………………. (7.3) Inflow pada waktu j dan j+1 diketahui dari hidrograf inflow; outflow Q pada waktu j dapat dihitung dari elevasi permukaan air yang diketahui hi dengan persamaan spillway. Luas permukaan SaJ ditentukan dari nilai hi. Parameter yang belum diketahui adalah hj+1,QJ+1, SaJ+1; Q dan Sa merupakan persamaan nonlinear dari hJ+1. Sehingga persamaan (7.3) dapat diselesaikan hJ+1 melalui metode iterasi seperti Newton-Raphson: ………………. (7.4)
Muskingum River Routing Metode Muskingum dikembangkan oleh McCarthy sebagai metode yang dikenal luas untuk penelusuran aliran tipe lump. Metode ini mengasumsikan simpanan sebagai fungsi variabel inflow-discharge dan persamaan simpanan: S=K[XI+(I-X)Q]
…………… (7.5)
Laju perubahan simpanan dS/dt pada persamaan 7.1 dinyatakan sebagai berikut:
…………… (7.6) dimana superscripts j dan j+1 menujukkan waktu antara interval tj. Substitusi persamaan (7.6) ke dalam (7.1) menghasilkan persamaan: …………… (7.7) dimana penelusuran aliran Muskingum memberikan 3 koefisien:
…………… (7.8) dan C1+ C2 + C3 = 1, dan K/3 < t < 5 K merupakan batasan untuk Contoh Soal Jika waktu tempuh titik berat massa banjir antara huku dan hilir 9 jam dan faktor x=0,33. Gunakan cara Muskingum untuk mencari hidrograf aliran di hilir dengan menggunkan hidrograf aliran di hulu berikut (kehilangan air dan backwater diabaikan):
7.4 Penelusuran Aliran Tipe-Terdistribusi
Aliran tak tunak pada suatu pengaliran air secara tepat digambarkan sebagai suatu proses tersdistribusi karena laju/debit aliran, kecepatan, dan kedalaman (elevation) air bervariasi terhadap ruang (pada penampang pengaliran sepanjang saluran). Estimasi perilaku dari suatu sistem saluran dapat ditentukan dengan emnggunakan penelusuran aliran terdistribusi berdasarkan persamaan differensial lengkapaliran tak-tunak satu dimensi (Persamaan Saint-Venant). Persamaan ini menghitung secara komputasi debit aliran dan kedalaman air sebagai fungsi ruang dan waktu dan bukan hanya waktu seperti pada metode penelusuran aliran lump. Penelusuran aliran terdistribusi yang didasarkan (penelusuran
pada
Persamaan
dinamis).
Saint-Venant
Penyederhanaan
dikenal
bentuk
dengan
persamaan
dynamic Saint-Venant
routing yang
didasarkan sebagai persamaan kinematik dan diffusi (zero-inertia) apat digunakan untuk penelusuran aliran terdistribusi. Persamaan Saint-Venant. Persamaan asal Saint-Venant adalah persamaan konservasi massa: …………… (7.9) dan persamaan momentum: …………… (7.10)
1.5
Dalam hal ini t adalah waktu, x adalah jarak sepanjang pengaliran air, A adalah luas penampang, V adalah kecepatan, q adalah inflow atau outflow lateral terdistribusi sepanjang sumbu x pengaliran, g adalah tetapan gaya grafitasi, h adalah elevasi permukaan air (dari datum/acuan) misalnya dh/dx = dy/dx - So dimana y adalah kedalaman aliran dan So adalah kemiringan dasar saluran pengaliran, dan Sf adalah kemiringan gesekan yang dapat dievaluasi secara seragam. Persamaan steady-flow empirical resistance seperti persamaan Chezys atau Manning adalah persamaan diferensial parsial hyperbolik quasi-linear dengan dua dependent parameter (V dan h) yang bervariasi pada satu dimensi (arah x) dan dua independent parameter (x dan t). Luas penampang pengaliran A dan gradien Sf merupakan fungsi dari h dan/atau V. Tak ada solusi analitis dari persamaan differensial kompleks untuk hampir semua praktek penerapan dalam model penelusuran banjir. Turunan persamaan Saint-Venant mengikuti beberapa asumsi dasar: (1) Aliran satu dimensi, (2) Panjang sungai yang dipengaruhi oleh gelombang banjir umumnya lebih besar dari kedalaman aliran, (3) Percepatan vertikal diabaikan dan distribusi tekanan vertikal gelombang adalah hidrostatik, (4) Densitas/kerapatan massa air konstan, (5) Dasar dan dinding saluran ditentukan dan tidak berubah-ubah, and (6) Kemiringan dasar saluran So realitif kecil, (kurang dari 15 persen). Aplikasi Penelusuran Aliran Terdistribusi. Model tedistribusi yang menghitung debit lairan Q dan tinggi permukaan air h berguna untuk menentukan kedalaman genangan banjir, kebutuhan tinggi bangunan seperti jembatan atau wilayah sempadan sungai, and keceptan aliran air dalam transport pemindahan polutan. Model terdistribusi dapat juga digunakan untuk penerapan lain seperti pendugaan banjir real time di sungai, pemberian dan pengaliran air irigasi, melalui saluran, peta inundasi perencanaan dambreak, perubahan gelombang transient yang terjadi di reservoir oleh pintu atau turbin, longsor akibat gelombang di reservoir, dan aliran tank tunak di sistem pembuangan air hujan. Model Penelusuran Terdistribusi Sederhana. Sebelum perkembangan komputer pesat, atau untuk kepentingan ekonomi dan kepraktisannya dalam sumber komputasi,
dalam penyelesaian persamaan Saint-Venant yang kompleks, maka dikembangkanlah beberapa model terdistribusi yang disederhanakan. Model didasarkan pada persamaan konservasi massa dan berbagai penyederhanaan persamaan momentum. Model Gelombang Kinematik. Tipe tersederhana model penelusuran terdistribusi adalah model gelombang kinematik. Model ini diperkenalkan oleh Lighthill dan Whitham. Model ini didasarkan pada bentuk sederhana dari persamaan momentum sebagai berikut: Sf – So = 0
…………… (7.11)
dimana So adalah kemiringan dasar saluran (watercourse) dan komponen (dh/dx). Asumsi ini menganggap momentum aliran unsteady sama dengan pada aliran seragam tuank (steady) seperti yang ditinjau pada persamaan Chezy, Manning atau persamaan sejenisnya dimana debit sebagai fungsi tunggal oleh kedalaman, misalnya, dA/dQ = dA/dQ =1/c. Juga dA/dt = dA/dQ * dQ/dt dan Q = A V. Persamaan 7.9 dapat dikembangkan menjadi persamaan klasik gelombang kinematik seperti berikut: …………… (7.12) Dalam hal ini kecepatan gelombang kinematik atau celerity (c) didefinisikan sebagai: c = k' V
…………… (7.13)
dimana k' adalah rasio kinematika, yang merupakan perbandingan celerity gelombang kinematik dengan kecepatan aliran. Jika persamaan Manning digunakan untuk aliran tunak uniform, maka rasio kinematika dinayatak dengan persamaan: …………… (7.14) dimana B adalah lebar atas saluran pengaliran, A = luas penampang pengaliran, P wetted perimeter, dan dP/dy adalah turunan P terhadap kedalaman air y. Untuk aliran pada saluran segiempat, k' = 5/3. Metode penyelesaian persamaan gelombang kinematik terdiri dari solusi analitis menggunakan metode karakteristik atau solusi langsung dengan teknik pendekatan finite-difference secara explicit atau implicit. Persamaan gelombang kinematik secara teoritis tidak mempertimbangkan kejadian gelombang hydrograph. Model gelombang kinematik terbatas aplikasinya pada singlevalue, stage-discharge ratings yang ada dimana tidak ada rating loop dan pengaruh backwater tidak signifikan. Sejak adanya model gelombang kinematik, gangguang
gelombang dapat dipropagasi hanya kearah hilir, aliran sebaliknya tidak dapat diprediksi. hidrologi
Model suatu
gelombang DAS
untuk
kinematik penelusuran
digunakan aliran
sebagai overland
komponen flow;
model
dan
tidak
direkomendasikan untuk saluran kecuali hydrograph menaik sangat kecil, kemiringan saluran moderat sampai curam, dan kejadian hydrograph cukup kecil. Model Difusi Gelombang. Model gelombang kinematik sederhana yang laina adalah model diffusion wave (zero-inertia), dengan pendekatan persamaan momentum sebagai berikut: …………… (7.15) Teknik pendekatan finite-difference (explicit dan implicit) telah digunakan untuk mendapatkan solusi simultaneous persamaan penyusun. Model ini mempertimbangkan pengaruh backwater tetapi tidak menunjukkan distribusi secara langsung terhadap waktu sepanjang penelusuran; keakurasiannya juga rendah untuk hydrograph menaik cepat, seperti kejadian kerusakan bendung, gelombang hujan badai, atau pelepasan cepat air dari dam dan terputus-putus, dimana propagasi melalui pengaliran berkemiringan sedang sampai datar.
7.5 Metode Muskingum-Cunge Metode Muskingum dapat dimodifikasi dengan menghitung koefisien routing sebagai bagian yang ditunjukkan oleh Cunge and peneliti lain yang merubah kinematika berasarkan
Metode
Muskingum
menjadi
bentuk
analogi
difusi
yang
mampu
memprediksi perubahan hydrograph. Modifikasi metode Muskingum (dikenal dengan Metode Muskingum-Cunge) lebih efektiv digunakan dalam teknik penelusuran aliran terdistribusi. Persamaan recursive dapat diaplikasikan untuk masing-masing
dan
untuk setiap waktu …………… (7.16) dimana terdapat kesamaan dengan Metode Muskingum tetapi dikembangkan untuk memasukkan pengaruh aliran inflow lateral C4. Qj+1 sama dengan Ij+1 untuk Muskingum sedangkan Qj dan Qj+1 juga sama dengan I, dan Qj' pada motode Muskingum. Koefisien C1, C2, dan C3 adalah nilai positif yang jumlahnua harus sama dengan 1.
…………… (7.17) dalam hal ini K adalah tetapan simpanan berdimensi waktu, dan X adalah weightingfactor menunjukkan arti penting inflow dan outflow terhadap simpanan. Di sini dapat ditunjukkan
bahwa
finite-difference
menyajikan
persamaan
klasik
gelombang
kinematik; akan tetapi, jika X dinyatakan sebagai fungsi bagian dari sifat aliran, maka kombinasi persamaan penyusun akan menjadi persamaan analogi difusi parabolic yang mempertimbangkan gelombang hidrograf banjir tetapi tidak berlaku aliran balik (negative) atau backwater. Model ini relatif akurat dibanding Model Muskingum. Pada metode Muskingum-Cunge, K dan X dihitung dengan: …………… (7.18) …………… (7.19) dimana c adalah celerity, Q adalah discharge, B lebar atas saluran yang berkaitan dengan Q, Se adalah slope energi yang didekati dengan Sf untuk kondisi awal aliran, D adalah kedalaman hydraulic (A/B), dan k' adalah rasio gelombang kinematik. Bar menunjukkan variabel dengan nila rata-rata sepanjang pengaliran x selama
Untuk
kesalahan numerik minimal ditentukan oleh scheme, step waktu t dan step jarak
harus
sesuai. …………… (7.20) dimana M ≥ 5, Tr adalah waktu selama menaiknya hydrograph, dan …………… (7.21) dimana q adalah debit rata-rata per lebar pengaliran (Q/B) dan So adalah kemiringan dasar saluran. Pengembangan Persamaan Saint-Venant. Persamaan Saint-Venant lebih powerful dan bermanfaat dimana bentuk konservasi atau divergen ditambahkan ke dalam persamaan aliran lateral luas simpanan saluran dan dampak sinuositas. Pengembagan persamaan Saint-Venant adalah pada persamaan konservasi massa:
…………… (7.22) dan persamaan momentum ……… (7.23) Dimana h adalah water-surface elevation, A adalah luas penampang pengaliran air, Ao adalah luas permukaan saluran tak aktif (off-channel storage) yang sering dikleluarkan dan menyajikan friksi tahanan yang lebih tinggi untuk bagian luas penampang, sc and sm adalah koefisien sinuositas depth-weighted yang benar untuk sinus departure dalam saluran dari sumbu x floodplain, x adalah jarak longitudinal rata-rata pengaliran terukur sepanjang pusat pengaliran, t adalah waktu, q adalah debit persatuan lebar sungai lateral inflow atau outflow (inflow adalah positive dan outflow adalah negative), p adalah koefisien momentum untuk distribusi kecepatan tak seragam terhadap luas penampang, g adalah konstanta percepatan gravitasi, Sf adalah kemiringan gesekan batas, and Sec adalah kemiringan kontraksi-ekspansi (large eddy loss). Kehilangan oleh Gesekan. Kehilangan akibat gesekan Sf dievaluasi dari persamaan Manning untuk aliran uniform dan steady adalah: …………… (7.24) K adalah faktor pengaliran saluran. Efek Ekspansi dan Kontraksi. Bentuk variabel Sec dihitung dengan:
…………… (7.25) Routing Parameters. Faktor penelusuran ß ditentukan dengan rumus: …………… (7.26) .
Lateral Flow Momentum. L adalah dampak momentum lateral aliran, dan memiliki (1) bentuk lateral inflow, L = -qvx' dimana Vx adalah inflow lateral pada sumbu x saluran utama; (2) seepage lateral outflow, L = -0.5qQ/A; dan (3) bulk lateral outflow, L = -qQ/A. 7.6 PENUGASAN 1. Kembangkan model penelusuran banjir pada komputer (spreadsheet atau program buatan dengan bahasa komputer lain seperti Fortran, Visual Basic atau Delphi) sesuai dengan model yang telah dijelaskan. 2. Cari data hidrograf aliran sungai di DAS yang anda kerjakan dan lakukan sistem penelusuran di daerah hilirnya (dekat wilayah pertanian atau pemukiman) dengan model yang telah dibangun pada no. 1.. 3. Hidrograf di sungai pada titik A berpenampang beton dengan n = 0,020. Lebar
saluran 100 m dengan panjang pengaliran 10 km berkemiringan dasar 0,015. Saat mula-mula Q adalah 18,5 m3/det.
Waktu (mnt)
0
20
40
60
80
100
120
140
160
Q (m3/det)
19
52
344
430
383
202
92
30
21
Hitunglah penelusuran banjir di B dengan jarak 10 km dari hilir (A) dan gambarkan hidrograf outflownya.
7.7 DAFTAR PUSTAKA 1.
Asdak Chay (1995). Hidrologi dan Pengeloaan daerah Aliran Sungai. Yogyakarta: Gadjah Mada Press.
2.
Linsley Ray K., Joseph B. Franzini, (1985), Teknik Sumber Daya Air, Eralanga, Jakarta.
3.
Maidment, RD. (1989). Handbook of Hydrology. McGraw-Hill. New York
4.
Sastrodarsono Suyono dan Kensaku Takeda, (1999), Hidrologi untuk Pengairan. Pradnya Paramitha. Bandung.
5.
Shaw, Elizabeth (1994). Hidrology in Practice. Taylor & Francis. England.
6.
Todd, (1983), Introduction to Hydrology. Mc Graw Hill. New York.
7.
Viessmann, W., Lewis, GL., and Knapp, JW., (1989), Introduction to Hydrology. Harper Collins Pub., New York.
Sasaran Pembelajaran/Kompetensi: Setelah mengikuti pembelajaran ini, mahasiswa mampu: 1. Mengetahui aplikasi komputer dalam analisis hidrologi 2. Mengetahui perhitungan menggunakan komputer 3. Mengetahui perhitungan banjir rencana menggunakan komputer 4. Mengetahui perhitungan debit menggunakan komputer 5. Mengetahui perhitungan banjir rencana menggunakan komputer 6. Mengetahui perhitungan debit menggunakan komputer
8.1 Pendahuluan Memperoleh data parameter hidrologi dalam seri yang panjang merupakan hal yang sulit. Hal ini mendorong para ahli hidrologi khususnya yang fokus pada simulasi dan permodelan untuk melakukan pendugaan parameter hidrologi seperti debit aliran di suatu DAS. Kenyataan ini terjadi juga di Indonesia yang merupakan negara yang sedang berkembang dimana alat ukur hidrologi belum tersebar merata di seluruh wilayah Indonesia khususnya DAS-DAS yang kecil. Fenomena ini merupakan tantangan tersendiri bagi ahli hidrologi untuk mengkaji ketersediaan data baik melaluui pengadaan alat ukur sederhana sampai pendugaan parameter hidrologi yang dikembangkan melalui model matematis atau model lainnya. Untuk kasus di Indonesia dimana debit air merupakan komponen utama dalam pengembangan sumberdaya air dalam upaya pemanfaatan dan juga upaya pengendalian daya rusak air di suatu kawasan.
Secara umum model-model dalam hidrologi dapat dibagi menjadi: a.
Model Fisik: dikembangkan dengan analsis dimensi dan pemodelan fisik misalnya pada model dam-break (scale model)
b.
Model Matematik yang dapat dibagi lagi menjadi: 1. Model konseptual deteministk 2. Model empiris deterministik 3. Model konseptual stokastik 4. Model empiris stokastik Masing-masing model diatas dapat berupa model linear ataupun non-linear tergantung pada asumsi sistem yang digunakan.
Tiruan proses hidrologi untuk keperluan analisis tentang keberadaan air menurut aspek jumlah, waktu, tempat, probabilitas dan runtun waktu (time series). 1.
Rainfall runoff model: jumlah/waktu pada tempat tertentu. Prinsip pemodelan: tata buku dan kesetimbangan air. Kegunaan: perkiraan ketersediaan air (continuous flow) dan debit/ hidrograf aliran besar/banjir (event flow). Contoh: SSARR, SHE, MOCK, NASH, HEC-HMS, dll.
2.
Frequency analysis: probabilitas kejadian suatu besaran hidrologi (hujan, debit aliran) dengan nilai tertentu atau sebaliknya. Prinsip pemodelan: fungsi distribusi probabilitas. Kegunaan: perkiraan besaran hidrologi sebagai nilai besaran rancangan dengan kala ulang tertentu (banjir rancangan, hujan rancangan). Contoh: distribusi Normal, Log-Normal, Gumbel, Pearson III, dll.
3.
Stochastic analysis: karakteristik runtun waktu suatu besaran hidrologi (hujan, debit aliran). Prinsip pemodelan: perilaku komponen perulangan (tetap), trend dan simpangan (error). Kegunaan: pembangkitan data hidrologi (hujan, debit) untuk input evaluasi unjuk kerja design capacity atau pedoman operasi bangunan air Contoh: Thomas Fiering, Matallas, ARIMA, dll.
Pada komputasi hidrologi ini, mahasiswa diarahkan untuk menggunakan model WMS
8.2 Penyuntingan DEM Beberapa dari kenampakan medan, termasuk diatantarnya: jalan, kanal, reservoir, danau, dam dan sebagainya, mungkin tidak disajikan secara sempurna oleh resolusi DEM yang kasar. Adalah hal yang sangat mungkin dalam WMS untuk melakukan penyuntingan sehingga informas obyek semacan itu dapat disajikan dengan baik. Sehingga kapasitas penyimpanan dapat dihitung dari DEM dan untuk analisa – analisa lainnya. Menyunting DEM agar lebih akurat dalam merepresentasikan informasi obyek dan analisa drainase dapat dilakukan dengan urutan sebagai berikut: 1.
Menggambar DAS menggunakan TOPAZ
2.
Mengisi Gap data
3.
Menyunting arah aliran
4.
Menyunting ketinggigian untuk membuat aliran
5.
Menyunting ketinggian menggunakan arc
6.
Menghitung kapasitas penyimpanan dari reservoir, dam atau DAS
7.
Melakukan routing menggunakan input dari Hidrograf aliran
Menjalankan TOPAZ dan Penggambaran DAS a. Membuka Data DEM 1.
Pilihlah File | Open…
2.
Bukalah “mvcanyon.dem” dan “trailmount.dem”
3.
Pilihlah Open
4.
Pilihlah OK
b. Menjalankan TOPAZ 1. Sulih ke Drainage module 2.
Pilihlah DEM | Compute TOPAZ Flow Data…
3.
Pilihlah OK
4.
Pilihlah OK
5.
Pilihlah Close
6.
Pilihlah Display | Display Options…
7.
Ubah Minimum Accumulation For Display ke 0.06 mi2
8.
Pilihlah OK
9.
Perbesar hingga seperti pada gambar 8-1
Gambar 8.1 Menyunting DEM c Penggambaran DAS 1.
Pilihlah Create Outlet titik tool
2.
Klik di sembarang tempat pada DEM dimana OUTLET akan diletakkan.
3.
Pilihlah OK ,anda anda diperingatkan bahwa OUTLET tidak berada pada liran
4.
Masukan X= 379589.5 dan Y= 4271008.5
5.
Pilihlah DEM | Delineate Basins Wizard
6.
Pilihlah OK
7.
Pilihlah OK
Interpolasi DEM (Mengisi Gap Data DEM) Penggambaran secara otomatis yang dihasilkan akan terlihat agak aneh, pertama pada bagian atas kanan batas DAS tampak lurus – lurus saja hal ini diakibatkan oleh tidak adanya antar kontur dan aliran sungai yang terlalu jauh dari batas DAS.
Gambar 8.2 Penentuan batas DAS atau sub-DAS a. Kesalahan Penggambaran DAS 1.
Pilihlah Display | Display Options…
2.
Hidupkan pilihan No Data Cells
3.
Pilihlah OK
4.
Terdapat beberapa sel yang tidak ada data sehingga menggangu penggambaran DAS.
5.
Pilih OK
Gambar 8.3 Kesalahan penggambara DAS 1.
Pilihlah Display | Frame citra
2.
Sulih ke Terrain Data module
3.
Pilihlah DEM | Fill
4.
Pilihlah OK
b Menjalankan TOPAZ 1. Sulih ke Drainage module
2.
Pilihlah DEM | Compute TOPAZ Flow Data…
3.
Pilihlah OK
4.
Pilihlah OK
5.
Pilihlah Close
6.
Hasilnya seperti yang digambarkan pada Gambar 8.4
Gambar 8.4 Das hasil perbaikan/koreksi c. Penggambaran DAS 1. Pilihlah DEM | Delineate Basins Wizard 2.
Anda akan ditanyakan apakah menghapus DAS yang sudah ada: OK, untuk menghapus dan membuat kembali DAS yang telah dikoreksi data kosongnya.
3.
Pilihlah OK
4.
Nah, hasilnya akan terlihat seperti pada Gambar 8-5
Gambar 8.5 Hasil akhir penggambaran DAS
8.3 Menyunting Arah Aliran Arah aliran dapat tidak akurat berkaitan dengan presisi DEM. Arah aliran pada setiap sel DEM dapat secara manual disunting dalam rangka meningkatkan akurasi penggambaran DAS. a. Bukalah DEM 1. Pilihlah File | New 2. Pilihlah OK 3. Pilihlah File | Open… 4. Bukalah “trailmount.dem” 5. Pilihlah OK b. Bukalah Citra 1. Pilihlah File | Open… 2. Bukalah “trailmountain.TIF” 3. Zoom pada ke area seperti yang digambarkan pada Gambar 8-6
c. Jalankan TOPAZ 1. Sulih ke Drainage module 2. Pilihlah DEM | Compute TOPAZ Flow Data… 3. Pilihlah OK 4. Pilihlah OK 5. Pilihlah Close Kini arah aliran terlihat berbeda dibanding dengan pola kontur pada citra latar seperti yang digambarkan pada Gambar 8-7.
d. Menyunting Arah Aliran Arah aliran yang keliru perlu dikoreksi
1. Gunakan Select DEM points dan Klik-Ganda pada salah satu titik yang berangka; Maka akan tampil atribut DEM
2. Ubahlah arah aliran sesuai dengan pola yang benar yang ditunjukkan pada Tabel 8-1 3. Pilihlah OK 4. Pilih
Compute
flow
accumulations
hanya
setelah
anda
menyelesaikan
penyuntingan terakhir 5. Pilihlah OK 6. Ulangi langkah 1-5 untuk seluruh lokasi yang akan anda sunting. 8.4 Menyunting Elevations ke Create Streams Sungai pada DEM umumnya dihasilkan oleh arah aliran dan akumulasinya, sementara ketinggian dari DEM tidak selalu merepresentasikan ketinggian dari sungai itu sendiri tetapi ketinggian dari kemungkinan ketinggian dari permukaan air. Ini dapat menyebabkan sungai memiliki profil yang tidak alamiah dangan variasi kemiringan yang drastis. Kita akan mencoba membuatnya lebih mulus dan natural. a. Menyunting Ketinggian Menggunakan Stream Arcs 1.
Sulih ke Terrain Data module
2.
Pilihlah Display | Display Options…
3.
Matikan pilihan: Stream, Flow Accumulation, Color Fill Drainage Basins, dan Fill Basin Boundary Only
4.
Pada Map tab, ubah Points/Node dan Vertices Radius ke nilai 2
5.
Pilihlah OK
6.
Pilihlah OK
7.
Use Select Feature Arc Pilihlah arc
8.
Pilihlah DEM | Edit Elevations
9.
Pilihlah Cancel ; untuk menunda
8.5 Analisa HEC-RAS HEC-RAS menyajikan analisa backwater curve untuk kondisi ketinggian dan kecepatan air tak – terganggu dan terganggu. Model ini bertujuan untuk (1) Membangun model koseptual, (2) Kosep pemetaan data ke model hidrolik, (3) Menjalankan simulasi dengan HEC-RAS dan (4) Menampilkan hasil pada WMS.
Menyiapkan Model Konsep Langkah
pertama
membuat
model
HEC-RAS
adalah
membut
model
dengan
mendefinisikan dulu jangkauan sungai, posisi penampang melintang, dan orientasi, lakasi dan zonasi materialnya. Model konseptual ini akan digunakan untuk membuat skema jaringan dalam Modul River Hydraulic 1. Pilihlah File | Open… 2. Bukalah “wmsras.img” 3. Pilihlah File | Open 4. Bukalah “wmsras.tin” 5. Pilihlah Display Options 6. Pilihlah TIN 7. Hapus centang pada Unlocked vertices 8. Hapus centang pada Triangles 9. Hapus centang pada TIN Contours 10. Pastikan Boundaries box Terpilih 11. Pilihlah OK
Membuat Peta Penggunaan Lahan / Tutupan Materials Salah satu properti dari HEC-RAS adalah menggunakan nilai kekasaran. 1.
Pilihlah File | Open…
2.
Bukalah file “Materials.map”
3.
Pilihlah Edit | Materials…
4.
Klik tombol New 5X untuk membuat 5 material baru.
5.
Ganti nama material
6.
Jika anda menginginkan, anda dapat menset warna dan pola untuk tampilan yang lebih baik.
7.
Pilihlah OK
8.
Pastikan Area Property adalah coverage = “materials” dan active pada Data Tree
9.
Klik Kanan pada Materials layer dan Pilihlah Properties…
10. Ubah Coverage type dari General ke Area Property. 11. Pilihlah OK 12. Pilihlah Select Feature Polygon 13. Pilihlah polygon yang menyajikan area sungai (lih. Gambar 13-5) 14. Pilihlah Feature Objects | Attributes…
15. Set tipe polygon ke Material dan pilihlah sungai. 16. Pilihlah OK
Membuat Skema Jaringan Hidrologi WMS dapat berinteraksi menggunakan HEC-RAS dengan sebuah file geometri dari HEC-GeoRAS. File ini berisi penampang data penampang melintang yang digunakan oleh HEC-RAS sebagai sebuah data tergeoreferense, untuk file geometri ini, model konseptual harus dikonvert ke diagram skema jaringan menggunakan River Module: 1. Pastikan pada Modul Map 2. Set Coverage pada centerline 3. Pilihlah River Tools | Map -> Schematic HEC-RAS membutuhkan indeks kekasaran Manning pada penampang melintang ini: 1. Sulih ke 1D Hydraulic Module 2. Pilihlah HEC-RAS | Material Properties 3. Masukkan indeks kekasaran
Menggunakan HEC-RAS Dengan Menggunakan HEC-RAS kita akan menset simulasi dan mengekspor hasil simulasi tersebut pada WMS. 1. Pilihlah Edit | Geometric Data… 2. Pilihlah OK 3. Pilihlah View | Set Schematic Plot Extents… 4. Pilihlah Set to Computed Extents 5. Pilihlah OK hingga Pertama, kita masukkan data panjang: a.
Klik-kiri pada node yang mengubungkan Wilayah barat dengan hulul.
b.
Pilihlah Edit Junction… dari menu pop-up
c.
Aktifkan Jendela WMS
d.
Sulih ke Modul Map
e.
Pilihlah Measure Tool
f.
Seperti yang digambarkan pada contoh dibawah runut, sepanjang garis tengah.
g.
Ulangi kembali pada dialog HEC-RAS
h.
Masukkan panjang pada kolom yang berkatian dengan baris “To: West Tributary – West Tributary”
i.
Ulangi langkah ini untuk menghitung bagian yang lain
j.
Pilihlah OK
k.
Pilihlah File | Exit Geometry Data Editor
Langkah selanjutnya adalah mendefinisikan aliran dan kondisi batas: 1. Pilihlah Edit | Steady Flow Data 2. Untuk Profile 1 (PF 1), masukkan 4000 untuk Hulu; masukan 5000 untuk muara; untuk area barat masukan 1000 3. Klik pada Reach Boundary Conditions Untuk analisisnya: 1. Klik pada Normal Depth. Masukkan nilai pada setiap ruas: 0.003 untuk bagian atas, 0.001 untuk bagian bawah, dan 0.005 untuk area barat. 2. Pilihlah OK 3. Klik Apply Data 4. Pilihlah File | Exit Flow Data Editor Kini kita siap untul melakukan steady flow analysis. Pertama kita perlu menset pilihan: 1. Pilihlah Run | Steady Flow Analysis dari menu 2. Pilihlah Options | Flow Distribution Locations 3. Ubah Global subsections ke 3 pada kolom (LOB, Channel, dan ROB) 4. Pilihlah OK 5. Klik Compute. Ini merupakan analisa 1D 6. Tutup dialor Steady Flow Analysis 7. Keluar dari progra HEC-RAS
Post-Processing Kita telah menganalisa ketinggian air di HEC-RAS, selanjutnya kita dapat melihat solusi tersebut melalui WMS: 1. Dalam WMS, sulih ke modul 1D Hydraulic 2. Pilihlah HEC-RAS | Read Solution… 3. Bukalah “hecras.prj” 4. Bentangkan folder 2D Scatter Data 5. Sulih ke Modul Map 6. Pilihlah coverage 1D-Hyd Centerline dari Data Tree 7. Pilihlah River Tools | Interpolate Water Surface Elevations… 8. Pilihlah pada a specified spacing untuk Create a data point 9. Masukkan 60 10. 1Pilihlah OK 11. Pilihlah coverage 1D-Hyd Cross Section dari Data Tree
12. Pilihlah River Tools | Interpolate Water Surface Elevations… 13. Pilihlah OK 14. Sulih ke Terrain Data module 15. Pilihlah Flood | Delineate… 16. Centang pada Search radius dan masukkan 1000 17. Centang pada Quadrants 18. Masukan 4 untuk number of stages 19. Pilihlah OK 20. WMS akan menghitung dua dataset baru yang berhubungan dengan dataran banjir dan permukaan air. 21. Bentangkan folder bernama New tin pada Data Tree 22. Bentangkan folder bernama W.S. (FLOOD) pada Data Tree 23. Pilihlah data set bernama W.S. Elev-PF 1 (FLOOD) 24. Pilihlah Display | Display Options… 25. Pilihlah TIN tab 26. Centang pada TIN Contours dan Pilihlah Contours 27. Pilihlah Color fill between contours 28. Pilihlah OK 2X
Gambar 8.12 Hasil Pengolahan HEC-RAS di WMS
8.6 Penggambaran Dataran Banjir Penggambaran dataran banjir di WMS di memerlukan data TIN dan sebaran titik statisun air. Ketinggian dari TIN dapa diambil dari data survey atau konversi dari DEM ke TIN. Data stasiun air dapat dimasukkan secara manual atau diambil dari proyek HEC-RAS. Hal ini bertujuan: 1.
Bereksperimen dengan berbagai pilihan penggambaran dataran banjir, termasuk didalamnya: memasukkan data, pencarian jangkauan, dan arah alirannya. Menjalankan penggambaran dataran banjir tersebut menggunakan teknik – teknik: i. Secara manual memasukkan data stasiun ii. Pendekatan dengan Channel Calculator pada WMS iii. Menghitung dengan HEC-RAS
2.
Penggunaan Batas bajir, untuk: Melakukan generalisasi kedalaman banjir, dampak dan area cakupannya.
a Pilihan – pilihan Penggambaran Dataran Banjir Ada beberapa pilihan penggambaran banjir: 1. Pilihlah File | Open… 2. Bukalah “flood.tin” Matikan display TIN ini: 3. Pilihlah Display | Display Options… 4. Pilihlah TIN 5. Hapus centang pada Unlocked Vertices 6. Hapus centang pada Triangles 7. Pilihlah OK 8. Pilihlah File | Open… 9. Bukalah “samplescatter.wpr” 10. Bentangkan folder Terrain Data pada Data Tree. 11. Bentangkan Land TIN pada Data Tree, dengan cara ini anda akan dapat melihat solusi permukaan air 12. Pilihlah Flood | Delineate… 13. Masukkan 100 untuk Max search radius 14. Masukkan sr100 untuk solution name 15. Pilihlah OK
Kini akan kita ubah Search radius dan menghitung kembali dataran banjir: 1. Pilihlah Flood | Delineate… 2. Naikkan nilai Max search radius ke 500 3. Ubah solution name menjadi sr500 4. Pilihlah OK untuk menggambarakan dataran bajir baru 5. Bentangkan folder sr100 (FLOOD) dan Memilih data set sr100_fd. 6. Gambarkan dua dataran bajir lagi dengan menggunakan Max search = 1000 dan 2000. Berbeda antara 100 dan 500 yang hasilnya tampak berbeda, pada radius 1000 hingga 2000 tampak tidak jauh berbeda, kita dapat menggunakan 1000 jika dengan 2000 sudah tidak tampak jauh berbeda, selanjutnya kita gunakan arah nilai arah aliran yang berbeda. 1. Pilihlah Flood | Delineate… 2. Masukkan 1000 untuk Max search radius 3. Centang pada Flow path 4. Masukkan 500 untuk Max flow distance 5. Ganti Nama mejadi fp500 6. Pilihlah OK 7. Gambarkan dua dataran bajir lagi menggunakan nilai 1500 dan 3000.
8.7 PENUGASAN 1. Download DATA DEM dari website dengan menggunakan Global Mapper untuk daerah DAS atau Sub-DAS yang anda kumpulkan data hidrologinya. 2. Lakukan delineasi DAS 3. Lakukan penggambaran aliran sungai 4. Hitung debit aliran rencana 5. Gambar dampak banjir 5 dan 10 tahunan. 8.8 DAFTAR PUSTAKA ----------, 2005. Manual and Tutorial WMS 8.1. Emrl. Asdak Chay (1995). Hidrologi dan Pengeloaan daerah Aliran Sungai. Yogyakarta: Gadjah Mada Press. Linsley Ray K., Joseph B. Franzini, (1985), Teknik Sumber Daya Air, Eralanga, Jakarta. Maidment, RD. (1989). Handbook of Hydrology. McGraw-Hill. New York Sastrodarsono Suyono dan Kensaku Takeda, (1999), Hidrologi untuk Pengairan. Pradnya Paramitha. Bandung. Shaw, Elizabeth (1994). Hidrology in Practice. Taylor & Francis. England. Todd, (1983), Introduction to Hydrology. Mc Graw Hill. New York. Viessmann, W., Lewis, GL., and Knapp, JW., (1989), Introduction to Hydrology. Harper Collins Pub., New York.
Semoga buku ajar ini dapat menjadi penambah dalam khazanah ilmu hidrologi yang memudahkan mahasiswa dalam memahami materi pembelajaran. Begitu banyak persoalan bangsa Indonesia berkaitan dengan ilmu hidrologi dan sumber daya air, namun penguasaan dan penerapan ilmu ini belum maksimal dalam upaya pengelolaan termasuk teknik pemanfaatan air, dan pengendaliannya. Akhirul klam, semoga buku ini bermanfaat bagi pembaca. Wassalam Penulis