Tugas Makalah
PERTUSSIS
Oleh Abdurrahmanto, S.Ked NIM. I1A005051
BAGIAN/ SMF ILMU KESEHATAN ANAK FK UNLAM/ BLUD RSU ULIN BANJARMASIN Mei 2013
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pertusis atau “batuk rejan” atau “batuk 100 hari” merupakan salah satu penyakit menular saluran pernapasan yang sudah diketahui adanya adan ya sejak tahun t ahun 1500 1
an. Penyebab tersering dari pertusis adalah bakteri gram (-) Bordetella (-) Bordetella pertussis . Di seluruh dunia insidensi pertussis banyak didapatkan pada bayi dan anak kurang dari 5 tahun, meskipun anak yang lebih besar dan orang dewasa masih mungkin terinfeksi oleh B. pertussis pertussis.. Insidensi terutama didapatkan pada bayi atau 1
anak yang belum diimunisasi . Dahulu pertusis adalah penyakit yang sangat epidemic karena menyerang bukan hanya negara-negara berkembang namun juga beberapa bagian dari negara maju. Namun setelah digalakkannya vaksinasi untuk pertusis, angka kematian dapat ditekan, dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi pertusis 1,6
diharapkan tidak ditemukan lagi, meskipun ada kasusnya namun tidak signifikan . Dengan mendiagnosa secara dini kasus pertusis, dari anamnesis, pemeriksaan fisik, manifestasi klinis, foto roentgen, dan pemeriksaan penunjang lainnya, diharapkan para klinisi mampu memberikan penanganan yang tepat dan cepat sehingga derajat penyakit pertusis tidak menimbulkan komplikasi yang lebih lanjut.
2
B. Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui definisi, prevalensi, etiologi, patogenesis, manifestasi klinis, diagnosis, penatalaksanaan, pencegahan, komplikasi dan prognosis pertussis. C. Manfaat Penulisan
Penulisan makalah ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai penyakit pertussis.
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Pertusis adalah infeksi pernapasan akut yang diuraikan dengan baik pada tahun 1500. Prevalensi di seluruh dunia sekarang berkurang hanya karena imunisasi aktif. Penyakit ini di tandai oleh suatu sindrom yang terdiri dari batuk yang sangat spasmodik dan paroksimal disertai nada yang meninggi , karena penderita berupaya keras untuk menarik nafas sehingga pada akhir batuk sering di sertai bunyi yang khas 1,2
(whoop), sehingga penyakit ini disebut Whooping Cough
Pertusis (batuk rejan) disebut juga whooping cough, tussis quinta, violent cough, dan di Cina disebut batuk seratus hari. Sydenham yang pertama kali menggunakan istilah pertussis (batuk kuat) pada tahun 1670. Istilah ini lebih disukai dari batuk rejan (whooping cough) karena kebanyakan individu yang terinfeksi tidak berteriak (whoop artinya berteriak). Pertusis yang berarti batuk yang sangat berat atau batuk yang intensif, merupakan penyakit infeksi saluran nafas akut yang dapat menyerang setiap orang yang rentan seperti anak yang belum diimunisasi atau orang 1,2,3
dewasa dengan kekebalan yang menurun
.
Pertusis masih merupakan penyebab terbesar kesakitan dan kematian pada anak, terutama di negara berkembang. WHO memperkirakan lebih kurang 600.000 kematian disebabkan pertussis setiap tahunnya terutama pada bayi yang tidak
4
diimunisasi. Dengan kemajuan perkembangan antibiotik dan program imunisasi maka 4
mortalitas dan morbiditas penyakit ini mulai menurun .
B. Angka Kejadian
Pertusis merupakan salah satu penyakit yang paling menular yang dapat menimbulkan attack rate 80-100% pada penduduk yang rentan. Di seluruh dunia ada 60 juta kasus pertusis setahun dengan lebih dari setengah juta meninggal. Selama masa pra-vaksin tahun 1922-1948, pertusis adalah penyebab utama kematian dari penyakit menular pada anak di bawah usia 14 tahun di Amerika Serikat. Dilaporkan juga bahwa 50 persen adalah bayi kurang dari setahun, 75 persen adalah anak kurang 1,2,3,5,6
dari 5 tahun
. 6
Pertusis adalah penyakit endemik dengan siklus endemik setiap 3-4 tahun . Dalam satu keluarga infeksi cepat menjalar kepada anggota keluarga lainnya. Dilaporkan sebagian kasus terjadi dari bulan Juli sampai dengan Oktober. Pertusis dapat mengenai semua golongan umur. Terbanyak terdapat pada umur 1-5 tahun, umur penderita termuda ialah 16 hari. Dahulu dikatakan bahwa perempuan terkena 1,3
lebih sering daripada laki-laki dengan perbandingan 0.9:1 . Namun berdasarkan (Farizo, 1992), perbandingan insidensi antara perempuan dan laki-laki menjadi sama sampai umur dibawah 14 tahun. Sedangkan proporsi anak belasan tahun dan orang 7
dewasa yang terinfeksi pertusis naik secara bersama sampai 27 % . Cara penularan ialah kontak dengan dengan penderita pertussis. Imunisasi sangat mengurangi angka kejadian dan kematian yang disebabkan pertussis oleh karena itu di negara dimana imunisasi belum merupakan prosedur rutin masih banyak 5
didapatkan pertusis. Imunitas setelah imunisasi tidak berlangsung lama. Tingkat infeksi pertussis menurun drastis setelah vaksin pertusis mulai digunakan secara luas, 5
dan terendah sepanjang kasus yang dilaporkan di Amerika Serikat pada tahun 1976 . Antibodi dari ibu (transplasental) selama kehamilan tidaklah cukup untuk mencegah bayi baru lahir terhadap pertussis. Pertussis yang berat pada neonatus dapat ditemukan dari ibu dengan gejala pertussis ringan. Kematian sangat menurun setelah diketahui bahwa dengan pengobatan eritromicyn dapat menurunkan tingkat penularan pertussis karena biakan nasofaring akan negatif setelah 5 hari pengobatan. Tanpa reinfeksi alamiah dengan B.pertussis atau vaksinasi booster berulang, anak yang lebih 1
tua dan orang dewasa lebih rentan terhadap penyakit ini jika terpajan .
6
Gambar 1: Peta persebaran pertusis pada tahun 1990, 2000, 2010
Pertusis lebih sering menyerang anak wanita dari pada anak pria. Banyak peneliti mengemukakan bahwa bayi kulit lebih hitam pada usia muda mempunyai insinden lebih tinggi daripada bayi kulit putih, diduga perbedaan rasial ini 1,3
dihubungkan dengan tingkat kekebalan
7
C. Etiologi
Penyebab pertusis adalah Bordetella pertusis atau Haemoephilus pertusis, adenovirus tipe 1, 2, 3, dan 5 dapat ditemukan dalam traktus respiratorius, traktus gastrointestinalis dan traktus urinarius. Bordotella pertusis ini mengakibatkan suatu bronchitis akut, khususnya pada bayi dan anak – anak kecil yang ditandai dengan 1,3
batuk paroksismal berulang dan stridor inspiratori memanjang ” batuk rejan”.
Bordetellah pertusis suatu cocobasilus gram negatif aerob minotil kecil dan tidak membentuk spora dengan pertumbuhan yang sangat rumit dan tidak bergerak. Bisa didapatkan dengan swab pada daerah nasofaring penderita pertusis dan 1
kemudian ditanam pada agar media Bordet – Gengou . Ada enam spesies dari Bordetella yaitu B. parapertussis, B. bronchiseptica, B. avium, B. hinzii, B. holmesii,
8
dan B. trematum. B. pertusis dan B. parapertussis adalah dua patogen yang paling 8
umum ditemukan pada manusia . Spesies Bordetella memiliki kesamaan tingkat homologi DNA yang tinggi pada gen virulen, dan ada kontroversi apakah cukup ada perbedaan untuk menjamin klasifikasi sebagai spesies yang berbeda. Hanya Bordetella Pertusis yang mengeluarkan toksin pertusis (TP), protein virulen yang utama. Penggolongan serologis tergantung pada aglutinogen klabil panas. Dari 14 aglutinogen, 6 adalah 1
spesifik untuk B.pertusis serotip bervariasi secara geografis dan sesuai waktu . B.pertussis menghasilkan beberapa bahan aktif secara biologis, banyak sarinya dimaksudkan untuk memainkan peran dalam penyakit dan imunitas. Pasca penambahan aerosol, agglutinin filamentosa (HAF), beberapa aglutinogen (terutama FIM2 dan FIM3), dan protein permukaan nonfimbria 69-kd yang disebut pertaktin 1
(PRN) penting untuk perlekatan terhadap sel sel epitel bersilia saluran pernapasan . Sitotoksin
trachea,
adenilat
siklase,
dan
TP
tampak
menghambat
pembersihan organisme. Sitotoksin trakea, faktor dermonekrotik, dan adenilat siklase diterima secara dominan menyebabkan cedera epitel lokal yang menghasilkan gejala 1
pernafasan dan mempermudah penyerapan TP . TP terbukti mempunyai banyak aktifitas biologis (misal, sensitivitas histamine, sekresi insulin, disfungsi leukosit), beberapa darinya merupakan manifestasi sistemik penyakit. TP menyebabkan limfositosis segera pada binatang percobaan dangan pengembalian limfosit agar tetap dalam sirkulasi darah. TP tanpa 1
memainkan peran sentral tetapi bukan peran tunggal dalam pathogenesis .
9
D. Patogenenis
Bordetella pertusis setelah ditularkan melalui sekresi udara pernapasan kemudian melekat pada silia epitel saluran pernapasan. Mekanisme patogenesis infeksi oleh Bordetella pertusis terjadi melalui empat tingkatan yaitu perlekatan, perlawanan terhadap mekanisme pertahanan pejamu, kerusakan lokal dan akhirnya 1,9
timbul penyakit sistemik . Filamentous Hemaglutinin (FHA), Lymphosithosis Promoting Factor (LPF)/ Pertusis Toxin (PT) dan protein 69-Kd berperan pada perlekatan Bordetella pertusis pada silia. Setelah terjadi perlekatan, Bordetella pertussis kemudian bermultiplikasi dan menyebar ke seluruh permukaan epitel saluran napas. Proses ini tidak invasif oleh karena pada pertusis tidak terjadi bakteremia. Selama pertumbuhan Bordetella pertusis, maka akan menghasilkan toksin yang akan menyebabkan penyakit yang 1,9
dikenal dengan whooping cough . Toksin terpenting yang dapat menyebabkan penyakit disebabkan karena pertusis toxin. Toksin pertusis mempunyai 2 sub unit yaitu A dan B. Toksin sub unit B selanjutnya berikatan dengan reseptor sel target kemudian menghasilkan subunit A yang aktif pada daerah aktivasi enzim membrane sel. Efek LPF menghambat migrasi 1,9
limfosit dan makrofag ke daerah infeksi .
10
Toxin mediated adenosine diphosphate (ADP) mempunyai efek mengatur sintesis protein dalam membrane sitoplasma, berakibat terjadi perubahan fungsi fisiologis dari sel target termasuk limfosit (menjadi lemah dan mati), meningkatkan pengeluaran histamine dan serotonin, efek memblokir beta adrenergic dan 1,9
meningkatkan aktifitas insulin, sehingga akan menurunkan konsentrasi gula darah . Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hyperplasia jaringan limfoid peribronkial dan meningkatkan jumlah lendir pada permukaan silia, maka fungsi silia sebagai pembersih terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder (tersering oleh Streptococcus pneumonia, H. influenzae dan Staphylococcus aureus). Penumpukan lendir akan menimbulkan plak yang dapat menyebabkan obstruksi dan 1,9
kolaps paru . Hipoksemia dan sianosis disebabkan oleh gangguan perukaran oksigenasi pada saat ventilasi dan timbulnya apnea saat terserang batuk. Terdapat perbedaan
11
pendapat mengenai kerusakan susunan saraf pusat, apakah akibat pengaruh langsung 1
toksin ataukah sekunder sebagai akibat anoksia . Terjadi perubahan fungsi sel yang reversible, pemulihan tampak apabila sel mengalami regenerasi, hal ini dapat menerangkan mengapa kurangnya efek antibiotik terhadap proses penyakit. Namun terkadang Bordetella pertusis hanya menyebabkan 1
infeksi yang ringan, karena tidak menghasilkan toksin pertusis .
E. Gejala Klinis
Masa inkubasi pertusis 6-20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan penyakit ini berlangsung antara 6 – 8 minggu atau lebih. Gejala timbul dalam waktu 7-10 hari setelah terinfeksi. Bakteri menginfeksi lapisan tenggorokan, trakea dan 1
saluran udara sehingga pembentukan lendir semakin banyak .
12
Pada awalnya lendir encer, tetapi kemudian menjadi kental dan lengket. 1,10
Infeksi berlangsung selama 6 minggu, dan berkembangan melalui 3 tahapan
:
1. Tahap Kataral Mulai terjadi secara bertahap dalam waktu 7-10 hari setelah terinfeksi, ciri-cirinya menyerupai flu ringan :
Bersin-bersin
Mata berair
Nafsu makan berkurang
Lesu
Batuk (pada awalnya hanya timbul di malam hari kemudian terjadi sepanjang hari)
2. Tahap Paroksismal Mulai timbul dalam waktu 10-14 hari (setelah timbulnya gejala awal) 515 kali batuk diikuti dengan menghirup nafas dalam dengan pada tinggi. Batuk bisa disertai pengeluaran sejumlah besar lendir vang biasanya ditelan oleh bayi/anak-anak atau tampak sebagai gelembung udara di hidungn ya). Batuk atau lendir yang kental sering merangsang terjadinya muntah. Serangan batuk bisa diakhiri oleh penurunan kesadaran yang bersifat sementara. Pada bayi, apnea (henti nafas) dan tersedak lebih sering terjadi dibandingkan dengan tarikan nafas yang bernada tinggi.
13
3. Tahap Konvalesen Mulai terjadi dalam waktu 4-6 minggu setelah gejala awal. Batuk semakin berkurang, muntah juga berkurang, anak tampak merasa lebih baik. Kadang batuk terjadi selama berbulan-bulan, biasanya akibat iritasi saluran pernafasan.
F.
Diagnosis
1. Anamnesis Dalam anamnesis ditanyakan identitas, keluhan utama serta gejala klinis pertusis lainnya, faktor resiko, riwayat keluarga, riwayat penyakit dahulu, dan riwayat imunisasi. 2. Pemeriksaan fisik Gejala klinis yang didapat pada pemeriksaan fisik tergantung dari stadium saat pasien diperiksa. 3. Pemeriksaan laboratorium Pada pemeriksaan labratorium didapatkan leukositosis 20,000-50,000 / UI dengan limfositosis absolute khas pada akhir stadium kataral dan selama stadium paroksismal. Pada bayi jumlah leukosit tidak menolong untuk 1,3,10
diagnosis oleh karena respon limfositosis juga terjadi pada infeksi lain
.
Isolasi B.pertussis dari secret nasofaring dipakai untuk membuat diagnosis pertussis. Biakan positif pada stadium kataral 95-100%, stadium
14
paroksismal 94% pada minggu ke-3 dan menurun sampai 20% untuk waktu 1,3,10
berikutnya
.
Tes serologi berguna pada stadium lanjut penyakit dan untuk menetukan adanya infeksi pada individu dengan biakan. Cara ELISA dapat dipakai untuk menentukan serum IgM, IgG, dan IgA terhadap FHA PT. Nilai serum IgM FHA dan PT menggambarkan respon imun primer baik disebabakan penyakit atau vaksinasi. IgG toksin pertusis merupakan tes yang paling sensitive dan spesifik untuk mengetahui infeksi dan tidak tampak setelah pertussis
10,12
.
4. Pemeriksaan penunjang Pada pemeriksaan foto toraks dapat memperlihatkan infiltrat perihiler, atelektasis atau emfisema.
15
Diagnosis banding pertusis pada bayi perlu dipikirkan bronkiolitis, pneumonia
bakterial,
sistik
fibrosis,
tuberkulosis
dan
penyakit
lain
yang
menyebabkan limfadenopati dengan penekanan diluar trakea dan bronkus. Pada umumnya pertusis dapat dibedakan dari gejala klinis dan laboratorium. Benda asing juga dapat menyebabkan batuk paroksismal, tetapi biasanya gejalanya mendadak dan dapat dibedakan dengan pemeriksaan radiologi dan endoskopi. Infeksi B. parapertussis, B. bronkiseptika, dan adenovirus dapat menyerupai sindrom klinis 1
B.pertussis, dapat dibedakan dengan isolasi kuman penyebab .
G. Penatalaksanaan
Tujuan terapi adalah membatasi jumlah paroksismal, untuk mengamati keparahan batuk, memberi bantuan bila perlu, dan memaksimalkan nutrisi, istirahat, dan penyembuhan tanpa sekuele. Tujuan rawat inap spesifik, terbatas adalah untuk menilai kemajuan penyakit dan kemungkinan kejadian yang mengancam jiwa pada puncak penyakit, mencegah atau mengobati komplikasi, dan mendidik orang tua pada riwayat alamiah penyakit dan pada perawatan yang akan diberikan di rumah. Untuk kebanyakan bayi yang tanpa komplikasi, keadaan ini disempurnakan dalam 48-72 1,11
jam
. Frekuensi jantung, frekuensi pernafasan, dan oksimetri nadi dimonitor terus,
pada keadaan yang membahayakan, sehingga setiap paroksismal disaksikan oleh personel perawat kesehatan. Rekaman batuk yang rinci dan pencatatan pemberian makan, muntah, dan perubahan berat memberikan data untuk penilaian keparahan.
16
Paroksismal khas yang tidak membahayakan mempunyai tanda sebagai berikut lamanya kurang dari 45 detik, perubahan warna merah tetapi tidak biru, bradikardi, atau desaturasi oksigen yang secara spontan selesai pada akhir paroksismal, berteriak atau kekuatan untuk menyelamatkan diri pada akhir paroksismal, mengeluarkan 1,11
sumbatan lendir sendiri, kelelahan pasca batuk tetapi bukan tidak berespons
.
Pengobatan suportif yang bisa dilakukan diantaranya menghindarkan faktorfaktor yang menimbulkan serangan batuk, mengatur hidrasi dan nutrisi, oksigen dapat diberikan pada distres pernapasan akut/kronik, dan penghisapan lendir terutama pada bayi dengan pneumonia dan distres pernapasan. Beberapa agen terapeutik atau 1,11,12
medikamentonsa yang digunakan pada pasien pertussis adalah sebagai berikut
:
1. Agen Antimikroba Agen antimikroba selalu diberikan bila pertussis dicurigai atau diperkuat karena kemungkinan manfaat klinis dan membatasi penyebaran infeksi. Eritromisin, 40-50 mg/kg/24 jam, secara oral dalam dosis terbagi empat (maksimum 2 g/24 jam) selama 14 hari merupakan pengobatan baku. Beberapa pakar lebih menyukai preparat estolat tetapi etilsuksinat dan stearat juga manjur. Penelitian kecil eritromicin etilsuksinat yang diberikan dengan dosis 50 mg/kg/24 jam dibagi menjadi dua dosis, dengan dosis 60 mg/kg/24 jam dibagi menjadi tiga dosis, dan eritromicin estolat diberikan dengan dosis 40 mg/kg/24 jam dibagi menjadi dua dosis menunjukkan pelenyapan organisme pada 98% anak. Azitromisin, Claritomisin, Ampisillin, Rifampin, Trimethoprim-Sulfametoksasol cukup aktif tetapi sefalosporin generasi pertama dan ke-2 tidak. Pada penelitian klinis, eritromicin lebih unggul 17
daripada amoksisilin untuk pelenyapan B. pertussis dan merupakan satusatunya agen dengan kemanjuran yang terbukti.
2. Salbutamol Sejumlah kecil trial klinis dan laporan memberi kesan cukup pengurangan gejala-gejala dari stimulan 2-adrenergik salbutamol (albuterol). Tidak ada trial klinis tepat yang telah menunjukkan pengaruh manfaat, satu penelitian kecil tidak menunjukkan pengaruh. Pengobatan dengan aerosol memicu paroksismal.
3. Kortikosteroid Tidak ada trial klinis buta acak cukup besar yang telah dilakukan untukan mengevaluasi penggunaan kortikosteroid dalam manajemen pertussis. Penelitian pada binatang menunjukkan pengaruh yang bermanfaat pada manifestasi penyakit yang tidak mempunyai kesimpulan pada infeksi pernafasan pada manusia. Pengguanaan klinisnya tidak dibenarkan.
H. Pencegahan
1. Imunisasi aktif : Dosis total 12 unit protektif vaksin pertussis dalam 3 dosis yang seimbang dengan jarak 8 minggu. Imunisasi dilakukan dengan menyediakan toksoid pertussis, difteria dan tetanus (kombinasi). Jika pertusis bersifat
18
prevalen dalam masyarakat, imunisasi dapat dimulai pada waktu berumur 2 minggu dengan jarak 4 minggu. Anak-anak berumur > 7 tahun tidak rutin 1,11,13,14
diimunisasi
.
Imunitas tidak permanen oleh karena menurunnya proteksi selama adolesens infeksi pada penderita besar biasanya ringan tetapi berperan sebagai sumber infeksi B. pertussis pada bayi-bayi non imun. Vaksin pertusis monovalen (0.25 ml,i.m) telah dipakai untuk mengontrol epidemi diantara 13,14
orang dewasa yang terpapar
.
Efek samping sesudah imunisasi pertussis termasuk manifestasi umum seperti eritema, indurasi, dan rasa sakit pada tempat suntikan dan sering terjadi panas, mengantuk, dan jarang terjadi kejang, kolaps, hipotonik, hiporesponsif, ensefalopati, anafilaksis. Resiko terjadinya kejang demam dapat dikurangi dengan pemberian asetaminofen (15mg/kg BB, per oral) pada 1,11,14
saat imunisasi dan setiap 4-6 jam untuk selama 48-72 jam
.
19
Imunisasi pertama pertussis ditunda atau dihilangkan jika penyakit panas, kelainan neurologis yang progresif atau perubahan neurologis, riwayat kejang. Riwayat keluarga adanya kejang, Sudden Infant Death Syndrome (SIDS) atau reaksi berat terhadap imunisasi pertussis bukanlah kontra indikasi untuk imunisasi pertussis. Kontraindikasi untuk pemberian vaksin pertussis berikutnya termasuk ensefalopati dalam 7 hari sebelum imunisasi, kejang demam atau kejang tanpa demam dalam 3 hari sebelum imunisasi, menangis 3 jam, “high picth cry” dalam 2 hari, kolaps atau hipotonik/hiporesponsif dalam 2 hari, suhu yang tidak dapat diterangkan 1,13,14
anafilaksis
.
2. Kontak dengan penderita : Eritromisin efektif untuk pencegahan pertussis pada bayi-bayi baru lahir dan ibu-ibu dengan pertussis. Eritromisin 50 mg/kg BB/hari dibagi dalam 4 dosis, peroral selama 14 hari. Anak yang berumur > 7 tahun yang telah
mendapatkan
imunisasi
juga
diberikan
eritromisin
profilaksis.
Pengobatan eritromisin awal akan mengurangi penyebaran infeksi eliminasi B.
pertussis 1,11,12
penyakit
dari
saluran
pernafasan
dan
mengurangi
gejala-gejala
.
Orang-orang yang kontak dengan penderita pertussis yang belum mendapat imunisasi sebelumnya, diberikan eritromisin selama 14 hari sesudah kontak diputuskan. Jika ada kontak tidak dapat diputuskan, eritromisin diberikan sampai batuk penderita berhenti atau mendapat eritromisin selama 7 hari. Vaksin pertussis monovalen dan eritromisin diberikan pada waktu terjadi 20
1,11,12
epidemi
.
I. Komplikasi 1,11,17
1. Komplikasi terjadi terutama pada sistem respirasi dan saraf pusat
.
2. Pneumonia komplikasi paling sering terjadi pada 90% kematian pada anakanak B. pertussis sendiri tetapi lebih sering karena bakteria sekunder ( H.influenzae, S.Pneumonia, S.auris, S.piogenes)
1,11
.
3. TBC laten dapat juga menjadi aktif. 4. Atelektasis dapat timbul sekunder oleh karena ada sumbatan lendir yang kental. Aspirasi lendir atau muntah dapat menimbulkan pneumonia. 5. Panas tinggi sering menandakan adanya infeksi sekunder oleh bakteria. 6. Batuk dengan tekanan tinggi dapat menimbulkan ruptur alveoli, empisema interstitiel/subkutan dan pneumotoraks. Bronkiektasia dapat timbul dan menetap. 7. Sering terjadi otitis media yang sering disebabkan oleh S.pneumonia. 8. Kenaikan tekanan intratoraks dan intra-abdomen selama batuk dapat menyebabkan perdarahan subkonjungtiva, hematoma, perdarahan epidural, perdarahan
intrakranial,
ruptura
diafragma,
hernia
umbikalis, 1,11
inguinalis, prolapsus rekti, dehidrasi dan gangguan nutrisi
hernia
.
9. Dapat pula terjadi konvulsi dan koma, merupakan refleksi dari hipoksia serebral (asfiksia), perdarahan subarachnoid, tetapi kadang-kadang kejang 1,10,18
dapat disebabkan oleh temperatur tinggi
.
21
10. Kejang-kejang oleh karena hiponatremia yang sekunder terhadap Syndrome 10
of Inappropriate Secretion of Antidiuretic Hormone (SIADH) .
J. Prognosis
Angka kematian karena pertussis telah menurun menjadi 10/1000 kasus. Rasio kasus kematian bayi < 2 bulan adalah 1,8 % selama tahun 2000-2004 di USA. Persentase rawat inap pada dewasa sebesar 3 % (12% dewasa tua). Tingkat berkembangnya menjadi pneumonia hingga 5 % dan mengalami patah tulang rusuk 12
sampai 4 % . Kebanyakan kematian disebabkan oleh ensefalopati dan pneumonia 1,12,19
atau komplikasi paru-paru lain
.
22
BAB III PENUTUP
Pertusis (batuk rejan) disebut juga whooping cough adalah batuk yang sangat berat atau batuk yang intensif, merupakan penyakit infeksi saluran nafas akut yang dapat menyerang setiap orang yang rentan seperti anak yang belum diimunisasi atau orang dewasa dengan kekebalan yang menurun. Pertusis merupakan salah satu penyakit yang paling menular yang dapat menimbulkan attack rate 80-100% pada penduduk yang rentan. Di seluruh dunia ada 60 juta kasus pertusis setahun dengan lebih dari setengah juta meninggal. Selama masa pra-vaksin tahun 1922-1948, pertusis adalah penyebab utama kematian dari penyakit menular pada anak di bawah usia 14 tahun di Amerika Serikat. Dilaporkan juga bahwa 50 persen adalah bayi kurang dari setahun, 75 persen adalah anak kurang dari 5 tahun. Penyebab pertusis adalah Bordetella pertusis atau Haemoephilus pertusis, adenovirus tipe 1, 2, 3, din 5 dapat ditemukan dalam traktus respiratorius, traktus gastrointestinalis dan traktus urinarius. Bordotella pertusis ini mengakibatkan suatu bronchitis akut, khususnya pada bayi dan anak kecil yang ditandai dengan batuk paroksismal berulang dan stridor inspiratori memanjang, ” batuk rejan”. Bordetella pertusis suatu cocobasilus gram negatif aerobik minotil kecil dan tidak membentuk spora dengan pertumbuhan yang sangat rumit dan tidak bergerak.
23
Bisa didapatkan dengan swab pada daerah nasofaring penderita pertusis dan kemudian ditanam pada agar media Bordet – Gengou. Bordetella pertussis menghasilkan toksin pertusiss (TP). TP terbukti mempunyai banyak aktifitas biologis (misal, sensitivitas histamine, sekresi insulin, disfungsi leukosit), beberapa darinya merupakan manifestasi sistemik penyakit. Bordetella pertusis setelah ditularkan melalui sekresi udara pernapasan kemudian melekat pada silia epitel saluran pernapasan. Mekanisme patogenesis infeksi oleh Bordetella pertusis terjadi melalui empat tingkatan yaitu perlekatan, perlawanan terhadap mekanisme pertahanan pejamu, kerusakan local dan akhirnya timbul penyakit sistemik. Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hyperplasia jaringan limfoid peribronkial dan meningkatkan jumlah lendir pada permukaan silia, maka fungsi silia sebagai pembersih terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder (tersering oleh Streptococcus pneumonia, H. influenzae dan Staphylococcus aureus). Penumpukan lendir akan menimbulkan plak yang dapat menyebabkan obstruksi dan kolaps paru. Masa inkubasi pertusis 6-20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan penyakit ini berlangsung antara 6 – 8 minggu atau lebih. Gejala timbul dalam waktu 7-10 hari setelah terinfeksi. Bakteri menginfeksi lapisan tenggorokan, trakea dan saluran udara sehingga pembentukan lendir semakin banyak. Perkembangan penyakit melalui 3 tahapan yaitu kataral, paroksismal, dan konvalesen. Pada tahap paroksismal mulai timbul dalam waktu 10-14 hari (setelah timbulnya gejala awal) 5-15 kali batuk diikuti dengan menghirup nafas dalam dengan pada tinggi. 24
DAFTAR PUSTAKA
1. S. Long, Sarah. (2000). Pertusis. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol II . Jakarta : EGC. 181: 960-965. 2. Garna, Harry. Pertusis. Azhali M.S, dkk. (1993). Ilmu Kesehatan Anak Penyakit Infeksi Tropik . Bandung, Indonesia : FK Unpad : 80-86. 3. Law Barbara J. (1998). Pertussis. Kendig’s : Disorders of Respiratory Tract in Children. WB Saunders. 6th edition. Philadelphia, USA. Chapter 62. h :10181023. 4. Heininger, U. (2010). Update on pertussis in children. Expert review of antiinfective therapy 8 (2): 163 – 73. 5. Black S. (1997). Epidemiology of pertussis. Pediatr Infect Dis J. Diakses 29 Mei 2013 dari, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/9109162. 6. Cherry JD. (2005). The epidemiology of pertussis: a comparison of the epidemiology of the disease pertussis with the epidemiology of Bordetella pertussis infection. Pediatrics : 115:1422-1427. 7. Farizo KM. (1992). Epidemiological features of pertussis in the United States, 1980-1989. Clin Infect Dis ; 14(3):708-19. 8. Hewlett EL. (2005). Bordetella species. In: Principles and Practice of Infectious Diseases, 6th ed, Mandell GL, Bennett JE, Dolin R (Eds), Churchill Livingstone, Philadelphia. p.2701.. 9. Todar, Kenneth. (2011). Bordetella pertussis and Whooping Cough. Diakses dari http://textbookofbacteriology.net/pertussis_2.html. 10. Shehab, Ziad M. Pertussis. Taussig-Landau : Pediatric Respiratory Medicine. Missouri, USA. Mosby Inc. 2009. Chapter 42. h: 693-699. 11. Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. (2005). Pertusis. Staf pengajar I.K.Anak FKUI : Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta, Indonesia. FKUI, 1997. Jilid 2. h: 564-566. 12. Tejpratap Tiwari. (2005). Recommended Antimicrobial Agents for the Treatment and Postexposure Prophylaxis of Pertussis. CDC Guideline. http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/rr5414a1.htm
25
13. Kretsinger K, Broder KR, Cortese MM, et al. (2006). Preventing tetanus, diphtheria, and pertussis among adults: use of tetanus toxoid, reduced diphtheria toxoid and acellular pertussis vaccine. MMWR Recomm Rep. 55(RR-17):1-33.. 14. Update: Vaccine Side Effects, Adverse Reactions, Contraindications, and Precautions Recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices. http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/00046738.htm 15. Nelson E Waldo , Behrman E Richard, Kliegman Robert, Arvin M Ann. Nelson Textbook Of Pediatric. Edisi 15, volume 2, cetakan I. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 2000. Hal : 960 – 965 16. Jackson D.W and Rohani Pejman, Perplexities of Pertussis: recent global epidemiological trends and their potential causes. Cambridge University Press 2013. Epidemiol infect. Page1 of 13. 17. Moerman L, et al. The re-emergence of pertussis in Israel. Israel Medical Association Journal . 2006; 3. 308-311 18. Shinall MC, et al. Potential impact of acceleration of the pertussis vaccine primary series for infant. Pediatrics. 2008; 122: 1021-1026 19. Mooi FR. Bordetella pertussis and vaccination: the persistance of a genetically monomorphic pathogen Infection. Genetics and Evolution. 2010; 10: 36-49
26
27