BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Pengolahan dan pengawetan bahan makanan memiliki interelasi terhadap pemenuhan gizi masyarakat, maka tidak mengherankan jika semua negara baik negara maju maupun berkembang selalu berusaha untuk menyediakan suplai pangan yang cukup, aman dan bergizi. Salah satunya dengan melakukan berbagai cara pengolahan dan pengawetan pangan yang dapat memberikan perlindungan terhadap bahan pangan yang akan dikonsumsi. Seiring dengan kemajuan teknologi, manusia terus melakukan perubahan perubahan dalam hal pengolahan bahan makanan. Hal ini wajar sebab dengan semakin berkembangnya teknologi kehidupan manusia semakin hari semakin sibuk sehinngga tidak mempunyai banyak waktu untuk melakukan pengolahan bahan makanan yang hanya mengandalkan bahan mentah yang kemudian diolah didapur. Dalam keadaaan demikian, makanan cepat saji (instan) yang telah diolah dipabrik atau telah diawetkan banyak manfatnya bagi masyarakat itu sendiri. Permasalahan atau petanyaan yang timbul kemudian adalah apakah proses pengawetan, bahan pengawet yang ditambahkan atau produk pangan yang dihasilkan aman dikonsumsi m anusia? Banyaknya kasus keracunan makanan yang terjadi dimasyarakat saat ini mengindikasikan adanya kesalahan yang dilakukan masyarakat ataupun makaan dalam mengolah dan mengawetkan bahan makanan yang dikonsumsi. Problematika mendasar pengolahan makanan m akanan yang dilakukan masyarakat lebih disebabkan budaya pengelohan pangan yang kurang berorientasi terhadap nilai gizi, serta keterbatasan pengetahuan sekaligus desakan ekonomi sehingga masalah pemenuhan dan pengolahan bahan pangan terabaikan, Industri makanan sebagai pelaku penyedia produk makanan seringkali melakukan tindakan yang tidak terpuji dan hanya berorientasi profit oriented orie nted dalam menyediakan berbagai produk di pasar sehinngga hal itu membuka peluang terjadinya penyalahgunaan bahan dalam pengolahan bahan makanan untuk masyarakat diantaranya seperti kasusu penggunaan berbagai bahan tambahan makanan yang seharusnya tidak layak dikonsumsi.
1
Kasus yang paling menyeruak dikalangan masyarakat baru-baru ini ialah penggunaan formalin dan borak dibeberapa produk p roduk makanan pokok masyarakat mas yarakat dengan berbagai dalih dali h untuk menambah rasa ras a dan keawetan ke awetan makana tanpa t anpa memperdulikan me mperdulikan efek bahan yang digunankan terhadap kesehatan masyarakat, hal inilah yang mendorong diperlukannya berbagai regulasi/peraturan dari instansi terkait Agar dapat melindungi konsumen dari pelbagai masalah keamanan pangan dan industri pangan diindonesia. Selain Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) yang bernaung di bawah Departemen Kesehatan, pengawasan dan pengendalian juga dilakukan oleh Departemen Pertanian, Departemen Perdagangan, dan Departemen Perindustrian Rekonstruksi Budaya, selain itu diperlukan juga adanya rekonsruksi budaya guna merubah kebiasaan dan
memberikan
pemaham
kepada
masyarakat
akan
pentingnya
gizi
bagi
keberlangsungan kehidupan.
1.2. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan pengawetan makanan? 2. Apa tujuan dilakukannya makanan? 3. Bagaimana proses pengawetan dan pengeringan suhu tinggi? 4. Apa saja faktor yang mempengaruhi pengawetan dan pengeringan suhu tinggi? 5. Apa kelebihan dari pengawetan dan pengeringan suhu tinggi? 6. Apa kekurangan dari pengawetan dan pengeringan suhu tinggi? 7. Apa saja aplikasi dari pengawetan dan pengeringan suhu tinggi?
1.3. Tujuan
1. Mengetahui pengertian dari pengawetan makanan. 2. Mengetahui tujuan dari dilakukannya pengawetan makanan. 3. Mengetahui proses pengawetan dan pengeringan s uhu tinggi. 4. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pengawetan dan pengeringan suhu tinggi. 5. Mengetahui kelebihan dari pengawetan dan pengeringan suhu tinggi. 6. Mengetahui kekurangan dari pengawetan dan pengeringan suhu tinggi. 7. Mengetahui pengaplikasian dari pengawetan dan pengeringan suhu tinggi.
2
1.4. Manfaat
Manfaat dari penulisan makalah ini adalah untuk menambah wawasan pembaca mengenai pengawetan dan pengeringan makanan suhu tinggi sehingga para pembaca dapat mengetahui apa saja proses yang termasuk di dalam pengawetan dan pengeringan suhu tinggi, kelebihan dan kekurangannya, serta aplikasi dari pengawetan dan pengeringan suhu tinggi dalam kehidupan sehari-hari.
3
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Pengawetan Makanan
Pangan secara umum bersifat mudah rusak ( perishable), karena kadar air yang terkandung di dalamnya sebagai faktor utama penyebab kerusakan pangan itu sendiri. Semakin tinggi kadar air suatu pangan, akan semakin besar kemungkinan kerusakannya baik sebagai akibat aktivitas biologis internal (metabolisme) maupun masuknya mikroba perusak. kriteria yang dapat digunakan untuk menentukan apakah makanan tersebut masih pantas di konsumsi, secara tepat sulit di laksanakan karena melibatkan factor-faktor nonteknik, sosial ekonomi, dan budaya suatu bangsa. Idealnya, makanan tersebut harus: bebas polusi pada setiap tahap produksi dan penanganan makanan, bebas dari perubahan-perubahan kimia dan fisik, bebas mikroba dan parasit yang dapat menyebabkan penyakit atau pembusukan. (Winarno,1993) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 menyatakan bahwa kualitas pangan yang dikonsumsi harus memenuhi beberapa kriteria, di antaranya adalah aman, bergizi, bermutu, dan dapat terjangkau oleh daya beli masyarakat. Pengawetan makanan adalah cara yang digunakan untuk membuat makanan memiliki daya simpan yang lama dan mempertahankan sifat-sifat fisik dan kimia makanan. Dalam melakukan pengawetan makanan perlu memperhatikan beberapa hal, yaitu jenis bahan makanan yang diawetkan, keadaan bahan makanan, cara pengawetan yang dipilih dan daya tarik produk pengawetan makanan. Untuk menghindari terjadinya suatu kerusakan bahan pangan akibat mikroba maka dilakukan pengolahan bahan pangan dengan menggunakan suhu tinggi. Pengolahan pangan dengan menggunakan suhu tinggi merupakan pengolahan pangan dengan menggunakan panas, yaitu penggolahan yang dilakukan dengan pemanasan di atas suhu normal. Suhu normal atau suhu ruangan yang dimaksud adalah suhu yang berkisar antara 27 OC sampai dengan 30 OC. Pengeringan merupakan proses penurunan kadar air bahan sampai mencapai kadar air tertentu sehingga dapat memperlambat laju kerusakan produk akibat aktivitas biologi dan kimia. Pengeringan pada dasarnya merupakan proses perpindahan energy yang digunakan untuk menguapkan air yang berada dalam bahan, sehingga mencapai kadar
4
air tertentu agar kerusakan bahan pangan dapat diperlambat. Kelembapan udara pengering harus memenuhi syarat yaitu sebesar 55 – 60% (Pinem, 2004). Proses utama yang terjadi pacta proses pengeringan adalah penguapan. Penguapan terjadi apabila air yang dikandung oleh suatu bahan teruap, yaitu apabila panas diberikan kepada bahan tersebut. Panas ini dapat diberikan melalui berbagai sumber, seperti kayu api, minyak dan gas, arang baru ataupun tenaga surya. Proses pengeringan bahan pangan dipengaruhi oleh luas permukaan bahan pangan, suhu pengeringan, aliran udara, tekanan uap air dan sumber energi yang digunakan serta jenis bahan yang akan dikeringkan. Nilai gizi makanan yang kering akan lebih rendah jika dibandingkan dengan makanan yang segar. Pengeringan akan menyebabkan tejadinya perubahan warna, tekstur dan aroma bahan pangan. Pada umunmya bahan pangan yang diikeringkan akan mengalami pencoklatan (browning) yang disebabkan oleh reaksi-reaksi non-enzimatik. Pengeringan menyebabkan kadar air bahan pangan menjadi rendah yang juga akan menyebabkan zat-zat yang terdapat pada bahan pangan seperti protein, lemak, karbohidrat dan mineral akan lebih terkonsentrasi. Vitamin vitamin yang terdapat dalam bahan pangan yang dikeringkan akan mengalami penurunan mutu, hal ini disebabkan karena ada berberapa vitamin yang tidak tahan terhadap suhu tinggi. Proses pengeringan yang berlangsung pada suhu yang sangat tinggi akan menyebabkan terjadinya case hardening, yaitu bagian permukaan bahan pangan sudah kering sekali bahkan mengeras sedangkan bagian dalamnya masih basah.
2.2. Tujuan Pengawetan Makanan
Pengawetan makanan bertujuan untuk: 1. Memperpanjang umur simpan bahan makanan (lamanya suatu produk dapat disimpan tanpa mengalami kerusakan); 2. Mempertahankan sifat fisik dan kimia bahan makanan; 3. Mencegah atau memperlambat laju proses dekomposisi (autolisis) bahan makanan; 4. Mencegah pertumbuhan mikroba yang menggunakan pangan sebagai subst rat untuk memproduksi toksin didalam pangan; 5. Mencegah kerusakan yang disebabkan oleh faktor lingkungan termasuk serangan hama;
5
6. Mencegah atau memperlambat kerusakan mikrobial, dilakukan dengan cara:
Mencegah masuknya mikroorganisme (bekerja dengan aseptis);
Mengeluarkan mikroorganisme, misalnya dengan proses filtrasi;
Menghambat pertumbuhan dan aktivitas mikroorganisme misalnya dengan penggunaan suhu rendah, pengeringan, penggunaan kondisi anaerobik atau penggunaan pengawet kimia;
Membunuh mikroorganisme, misalnya dengan sterilisasi dan radiasi;
2.3. Proses Pengawetan dan Pengeringan Suhu Tinggi
Pengolahan dengan suhu tinggi harus tetap memperhatikan tujuan utama dari bahan pangan itu sendiri, yaitu sumber energi, fungsi kesehatan, serta kenikmatan visual dan citarasa. Dalam pengawetan, metode yang digunakan biasanya berbeda dengan pengolahan yang digunakan sehari-hari seperti penggorengan dan pemanggangan. Pengawetan suhu tinggi yang sering digunakan adalah blanching , pasteurisasi dan sterilisasi. Teknik-teknik pengawetan suhu tinggi antara lain: 2.3.1. Blanching Blanching merupakan suatu cara pemanasan pendahuluan atau perlakuan pemanasan tipe pasteurisasi yang dilakukan pada suhu kurang dari 100 OC selama beberapa menit, dengan menggunakan air panas atau uap. Proses blanching termasuk ke dalam porses termal dan umumnya membutuhkan suhu berkisar 75 - 95°C selama 10 menit. Tujuan utama blanching ialah menginaktifan enzim diantaranya enzim peroksidase dan katalase, walaupun sebagian dari mikroba yang ada dalam bahan juga turut mati. Kedua jenis enzim ini paling tahan terhadap panas. Blanching biasanya dilakukan terhadap sayur-sayuran dan buah-buahan yang akan dikalengkan atau dikeringkan. Di dalam pengalengan sayur-sayuran dan buah-buahan, selain untuk menginaktifkan enzim, tujuan blanching yaitu : a. Membersihkan bahan dari kotoran dan mengurangi jumlah mikroba dalam bahan; b. Mengeluarkan atau menghilangkan gas-gas dari dalam jaringan tanaman, sehingga mrngurangi terjadinya pengkaratan kaleng dan memperoleh keadaan vakum yang baik dalam “headspace” kaleng;
6
c. Melayukan atau melunakkan jaringan tanaman, agar memudahkan pengisian bahan ke dalam wadah; d. Menghilangkan bau dan flavor yang tidak dikehendaki; e. Menghilangkan lendir pada beberapa jenis sayur-sayuran; f. Memperbaiki warna produk, a.l. memantapkan warna hijau sayur-sayuran. Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi waktu blanching , yaitu: 1. Tipe bahan pangan: buah/sayuran 2. Ukuran bahan pangan 3. Suhu 4. Metode Cara melakukan blanching ialah dengan merendam dalam air panas (merebus) atau dengan uap air (mengukus atau dinamakan juga “ steam blanching ”). Merebus yaitu memasukkan bahan ke dalam panci yang berisi air mendidih. Sayur-sayuran atau buah buahan yang akan diblanching dimasukkan ke dalam keranjang kawat, kemudian dimasukkan ke dalam panci dengan suhu blanching biasanya mncapai 82 – 83°C selama 3 – 5 menit. Setelah blanching cukup waktunya, kemudian keranjang kawat diangkat dari panci dan cepat-cepat didinginkan dengan air. Pengukusan tidak dianjurkan untuk sayur-sayuran hijau, karena warna bahan akan menjadi kusam. Caranya ialah dengan mengisikan bahan ke dalam keranjang kawat, kemudian dimasukkan ke dalam dandang yang berisi air mendidih. Dandang ditutup dan langkah selanjutnya sama dengan cara perebusan. Kemampuan proses blanching sebagai perlakuan pendahuluan untuk mendapatkan produk yang baik didasari oleh beberapa fungsi, yaitu : a. Menginaktivasi enzim yang dapat menyebabkan perubahan kualitas bahan pangan, terutama bahan pangan segar yang mudah mengalami kerusakan akibat aktivitas enzim yang tinggi. Bahan pangan yang mudah mengalami kerusakan jenis ini adalah buah-buahan dan sayursayuran. Aktivitas enzim ini terkait karakteristik biologi, fisiologi, dan hidratasi bahan pangan. Akibat buruk akibat aktivitas enzim lebih tampak jika pada proses pengolahan terjadi penundaan. Beberapa enzim oksidatif yang menjadi inaktif pada proses blanching adalah peroksidase, katalase, polifenol oksidase, lipoksigenase, dan lain-lain. Sebagai contoh blanching dilakukan sebagai perlakuan pendahuluan pada proses pembuatan sari buah apel
7
dengan tujuan untuk menginaktifkan enzim polifenolase. Enzim polifenolase dapat mengkatalis reaksi oksidasi terhadap senyawa fenol yang mengakibatkan pembentukan warna coklat yang tidak dikehendaki karena merusak penampilan produk dan tidak disukai konsumen. b. Mengurangi gas antarsel untuk mengurangi perubahan oksidatif. Berkurangnya gas antarsel berakibat pada menurunya kadar oksigen dalam bahan, sehingga akan berakibat pada menurunya aktivitas enzim oksidatif yang aktifitasnya dipengaruhi oleh kandungan oksigen dalam bahan. c. Selain inaktifasi enzim, prinsip proses blanching yang menggunakan pemanasan juga akan menurunkan aktifitas bahkan mematikan mikroorganisme. Namun selain dari keuntungan yang diperoleh dari proses blanching tersebut, ada juga kekurangan dari proses tersebut, yaitu efek negatif berupa kehilangan zat gizi yang sensitif terhadap pemanasan. Zat gizi yang sensitif terhadap pemanasan akan larut pada proses blanching yang dilakukan dengan metode perebusan. Proses blanching dibutuhkan jika terdapat waktu tunggu sebelum perlakuan panas pada proses pengeringan atau pengalengan dilakukan. Proses blanching juga diperlukan jika tidak terdapat perlakuan panas pada produk selama pengolahan seperti pada pembekuan. I. Metode Blanching
Secara garis besar metode blanching yang sering diterapkan ada 2 (dua), yaitu : blanching dengan air panas, dan blanching dengan uap panas. 1. Blanching dengan air panas ( Hot Water Blanching ) Metode blanching ini hampir sama dengan proses perebusan. Metode ini cukup efisien, namun memiliki kekurangan yaitu kehilangan komponen bahan pangan yang mudah larut dalam air serta bahan yang tidak tahan panas. 2. Blanching dengan uap air panas (Steam Blanching ) Blanching dengan metode ini paling sering diterapkan. Metode ini mengurangi kehilangan komponen yang tidak tahan panas. II. Mesin Blanching
Ada beberapa jenis/tipe mesin blanching yang sering digunakan pada proses pengolahan industri pertanian khususnya pengolahan pangan. Pemilihan jenis mesin dilakukan berdasarkan jenis bahan, kondisi bahan, serta tujuan dari
8
pengolahan atau spesifikasi produk yang diinginkan. Beberapa jenis mesin blanching tersebut adalah : 1. Rotary Drum Blancher Rotary drum blancher terdiri atas sebuah drum berputar yang secara substansial ditutup selama operasi untuk meningkatkan efisiensi proses. Bagan dari rotary drum blancher dapat dilihat pada Gambar 2.1, dan gambar fisik rotary drum blancher dapatr dilihat pada Gambar 2.2.
Gambar 2.1 Bagan Rorary Drum Blancher Selama operasi, produk makanan secara substansial terus dimasukkan ke blancher melalui inlet produk makanan (I), diproses oleh blancher , dan kemudian dikaluarkan dari blancher melalui outlet produk makanan.
Gambar 2.2 Rotary Drum Blancher
9
2. Batch Blancher
Gambar 2.3. Batch blancher 3. Continuous Blancher
Gambar 2.4. Continuous blancher 4. Belt blancher
Gambar 2.5 Belt blancher
10
5. Thermoscrew blancher Thermoscrew blancher memiliki ulir yang terdapat lubang pada bagian tengah. Lubang pada bagian tengah ulir tersebut berisi medium pemanas. Pada alat ini bahan dan air panas bergerak dengan arah yang berlawanan untuk mempercepat proses transfer panas.
Gambar 2.6 Thermoscrew blancher 6. Steam Blancher Steam blancher digunakan untuk proses blanching dengan uap air panas atau steam blanching . Blanching dengan cara ini dapat mengurangi kehilangan komponen bahan pangan akibat proses blanching dengan air panas. Pada alat ini uap air diberikan pada lapisan irisan sayuran atau buah-buahan sebanyak 25 kali penyemprotan
Gambar 2.7. Tray-Type Steam Blancher. Fmc Corporation
11
7. Pasta Blancher
Gambar 2.8. Pasta Blancher 8. Key Screw Conveyor Blancher
Gambar 2.9. Blancher - Key Screw Conveyor Blancher – Vegetables, Blanching, Water 9. Vegetables Blancher
Gambar 2.10. Vegetable blancher with air cooling
12
2.3.2. Pasteurisasi Pasteurisasi dilakukan dengan suhu pemanasan 65 OC selama 30 menit. Pada suhu dan waktu proses ini sebagian besar mikroba pathogen dan mikroba penyebab kebusukan telah musnah, namun jenis mikroba lainnya tetap hidup. Pasteurisasi biasanya digunakan untuk susu, sari buah, anggur, makanan asam, serta makanan lain yang tidak tahan suhu tinggi. Proses ini tidak terlalu merusak gizi serta mengubah aroma dan cita rasa. Tetapi karena tidak semua jenis mikroba mati dengan proses ini, pengawetan dengan pasteurisasi biasanya tidak memiliki umur simpan yang lama. Misalkan susu yang dipasteurisasi tanpa pengemasan, biasanya hanya tahan 1-2 hari dalam suhu kamar, sedangkan dalam suhu pendingin hanya dapat bertahan hingga seminggu. Agar memperoleh hasil yang optimal, pasteurisasi harus dikombinasikan dengan cara lain misalnya penyimpanan suhu rendah dan modifikasi kemasan. Uniknya, pada beberapa bahan pasteurisasi justru dapat memperbaiki cita rasa produk. Tujuan dari pasteurisasi sendiri adalah: 1. Membunuh semua bakteri patogen yang umum dijumpai pada bahan pangan bakteribakteri patogen yang berbahaya ditinjau dari kesehatan masyarakat 2. Memperpanjang daya tahan simpan dengan jalan mematikan bakteri dan menginaktifkan enzim 3. Mikroba terutama mikroba non patogen dan pembusuk masih ada pada bahan yang dipasteurisasi dan bisa berkembang biak. Oleh karena itu daya tahan simpannya tidak lama. Contohnya : susu yang sudah dipasteurisasi bila disimpan pada suhu kamar hanya akan tahan 1 – 2 hari, sedangkan bila disimpan dalam lemari es tahan kira-kira seminggu. Karena itu untuk tujuan pengawetan, pasteurisasi harus dikombinasikan dengan cara pengawetan lainnya, mis alnya dengan pendinginan. 4. Menonaktifkan enzim-enzim Metode pasteurisasi yang umum digunakan yaitu : 1. HTST/ High Temperature Short Time High Temperature Short Time (HTST) Pasteurization dilakukan pada temperature tinggi dan waktu singkat, yaitu pada temperature 71,7-75,0°C selama 15-16 detik. Prosesnya menggunakan metode kontinyu dengan pelat pemindah panas. Produknya tahan maksimal selama 2 minggu dalam lemari es.
13
2. LTLT/ Low Temperature Long Time, Merupakan
proses
pasteurisasi
paling
tua
dan
pertama
kali
digunakan.Pemanasannya dilakukan di dalam tangki besar pada suhu 61-63°C selama 30 menit. Untuk menjaga agar panas tetap konstan dan merata maka dilakukan pengadukan terhadap susu selama proses berlangsung. 3. UHT/Ultra High Temperature, Ultra High Temperature (UHT) pasteurization merupakan proses pasteurisasi yang dilakukan pada temperatur sangat tinggi dan waktu sangat singkat, yaitu pada temperatur 131-150 °C selama 0,5-1 detik. Pemanasan dilakukan dengan tekanan tinggi ( High Pressasure) untuk mencegah terjadinya pembakaran susu pada alat pemanas. Produk dapat tahan dalam suhu ruangan hingga beberapa bulan jika dikemas dengan baik. 2.3.3. Sterilisasi Sterilisasi adalah proses termal untuk mematikan semua mikroba beserta sporasporanya hingga menadi steril. Pada proses ini, bahan yang disterilkan akan memiliki daya tahan hingga lebih dari 6 bulan pada suhu ruang. Spora-spora mikroba bersifat tahan panas, maka umumnya diperlukan pemanasan s elama 15 menit pada suhu 121 oC. Penggunaan panas lembab dengan uap bertekanan sangat efektif untuk sterilisasi karena menggunakan suhu jauh diatas titik didih. Proses ini dapat menyebabkan sel mikroba hancur dengan cepat. Contoh dari sterilisasi adalah produk-produk olahan dalam kaleng seperti sarden, kornet, buah dalam kaleng, dan lainnya. I. Metode Sterilisasi
A. Metode sterilisasi panas Penguapan bertekanan tinggi yang menggunakan autoklaf atau pemanasan kering dengan oven. 1. Sterilisasi uap tekanan tinggi Metode sterilisasi yang efektif untuk mensterilkan instrumen dan alat- alat lain yang digunakan pada berbagai fasilitas pelayanan kesehatan. 2. Sterilisasi panas kering (oven ) Membutuhkan
listrik
terus-menerus,
kurang
efektif
di
daerah
terpencil,digunakan pada benda-benda gelas atau logam,karena akan melelehkan bahan lainnya.
14
B. Sterilisasi dengan cara penguapan Penguapan adalah sterilan yang efektif karena 2 alasan yaitu : 1. Uap pekat adalah sebuah kendaraan energi termal yang s angat efektif. 2. Uap adalah sterilan yang efektif karena lapisan luar mikroorganisme bersifat protektif dan resistan dapat dilemahkan oleh uap,sehingga terjadi koagulasi pada bagian mikroorganisme yang sensitif. Kelebihan dari penggunaan sterilisasi dengan cara penguapan adalah waktu sterilisasi lebih pendek dari pada panas kering atau siklus kimia. Sedangkan untuk kerugiaan dari cara ini, membutuhkan sumber panas yang terus-menerus, membutuhkan peralatan yang butuh perawatan serius, bahan plastik tidak tahan suhu tinggi. C. Sterilisasi Kimia Digunakan apabila dengan sterilisasi panas kering atau sterilisasi tekanan tinggi akan merusak objek tersebut atau peralatan tidak tersedia. kelebihan dari cara ini larutan glutyaraldehid dan formaldehid tidak begitu mudah dinonaktifkan oleh materi organik, kedua larutan ini digunakan untuk instrumen yang tidak tahan sterilisasi panas,seperti leparoskop. Sedangkan untuk kekurangan cara ini glutaraldehid mahal harganya. Formaldehid tidak dapat dicampur dengan clorin karena memproduksi gas berbahaya. II. Macam-macam Sterilisasi
Pada prinsipnya sterilisasi dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu secara mekanik dan fisik 1. Sterilisasi secara mekanik (filtrasi) menggunakan suatu saringan yang berpori sangat kecil (0,22 mikron atau 0,45 mikron) sehingga mikroba tertahan pada saringan tersebut. Proses ini ditujukan untuk sterilisasi bahan yang peka panas, misalnya larutan enzim dan antibiotic. 2. Sterilisasi secara fisik dapat dilakukan dengan pemanasan dan penyinaran.
Pemanasan a. Pemijaran (dengan api langsung) : membakar alat pada api secara langsung. Contoh alat : jarum inokulum, pinset, batang L.
15
b. Panas kering : sterilisasi dengan oven kira-kira 60-1800 C. sterilisasi panas kering cocok untuk alat yang terbuat dari kaca misalnya Erlenmeyer, tabung reaksi. c. Uap air panas : konsep ini mirip dengan mengukus. Bahan yang mengandung air lebih tepat menggunakan metode ini supaya tidak terjadi dehidrasi d. Uap air panas bertekanan : menggunakan autoklaf.
Penyinaran dengan UV Sinar ultra violet juga dapat digunakan untuk proses sterilisasi, misalnya untuk membunuh mikroba yang menempel pada permukaan interior safety cabinet dengan disinari lampu UV.
2.3.4. Pemasakan Pemasakan bahan pangan selain dengan cara blanching , pasteurisasi dan sterilisasi dapat dilakukan juga dengan cara pemasakn. Pemasakan dengan cara pemasakan ini bertujuan untuk meningkatkan cita rasa atau kelezatan suatu pangan. Pemasakan dapat juga dianggap sebagai salah satu cara pengawetan bahan pangan, sebab bahan pangan yang dimasak dapat tahan disimpan lebih lama dari pada bahan mentah. Apabila dilihat dari cara dan bentuk pemisahan maka dapat dibedakan menjadi tiga macam cara pemasakan yang biasa dilakukan, yaitu : a. Pemasakan dengan menggunakan cara keying pada s uhu 100 OC atau lebih; b. Pemasakan dengan menggunakan media air panas atau uap air pada suhu 100
O
C
atau lebih; c. Pemasakan dengan menggunakan media minyak panas pada suhu 100
O
C atau
lebih, biasa dikenal dengan istilah penggorengan. Sebagai contoh pemasakan dengan menggunakan cara kering pada suhu 100
O
C
atau lebih, antara lain pemanggangan atau penyangraian. Pemanggangan termasuk di dalamnya pemanganggan dengan oven maupun pembakaran langsung dnegan arang, kayu, ataupun api. Pemanggangan diatas kayu atau api, terutama hasil perikanan, biasa disebut sebagai pengasapan. Sebagai contoh pemasakan dengan menggunakan media air panas atau uap air pada suhu 100 OC atau lebih, antara lain perebusan atau pengukusan. Perebusan atau pendidihan adalah pemanasan dengan menggunakan media air panas, sedangkan pengukusan adalah pemanasan dengan menggunkan media uap air.
16
Perebusan dan pemgukusan bahan pangan sampai matang, dapat mencapai suhu lebih dari 100
O
C sehingga dapat menurunkan kadar gizi, tertama vitamin. Namun di lain
pihak perebusan dan pengukusna sampai matang dapat meningkatkan daya cerna protein dan pati. Dalam penggorengan bahan pangan karena menggunakan minyak sebagai media pemanasan makan akan mencapai suhu lebih dari 100 OC. Lama waktu yang dibutuhkan untuk penggorengan tidak dapat bditentukan secara pasti karena disesuaikan dengan bahan yang digoreng. Untuk proses penggorengan perlu diperhatikan pengaruh minyak yang digunakan untuk menggoreng dan bahan yang digoreng. Penggunaan pemgolahan bahan pangan dengan suhu panas dapat dikatakan engolahan yang ekonomis, aman, bebas dari bahan kimia, memperbaiki tekstur bahan pangan, meningkatkan cita rasa bahan pangan, efektif membunuh mikroorganisme, meningkatkan umur simpan bahan pangan, dan menonaktifkan enzim-enzim. Namun dengan pengolahan ini terdapat dampak buruk yang dapat ditemui seperti over heating, penyimpangan tekstur dan rasa, dan penurunan jumlah nutrisi dalam pangan.
Dasar pengeringan adalah terjadinya penguapan air ke udara karena perbedaan kandungan uap air antara udara dengan bahan yang dikeringkan. Dalam hal ini, kandungan uap air udara lebih sedikit atau udara mempunyai kelembapan nisbi yang rendah sehingga terjadi penguapan (Adawyah, 2006). Proses pengeringan didasari oleh terjadinya penguapan air (pengisapan air oleh udara) sebagai akibat perbedaan kandungan air produk dengan udara sekitar. Apabila kandungan uap air diudara cukup rendah berarti udara mempunyai kelembaban nisbi yang rendah sehingga kesempatan untuk terjadinya penguapan semakin besar. Makin tinggi perbedaan kandungan uap air di udara dengan produk, maka semakin banyak kandungan air yang dikeringkan dapat menguap karena kesanggupan udara untuk menampungnya semakin besar (Zaelanie, 2004). Teknik-teknik pengeringan antara lain: Munurut Murniyati dan Sunarman (2000), pada dasarnya, cara-cara pengeringan atau pengurangan kadar air dapat dibagi menjadi dua golongan sebagai berikut:
17
a. Pengeringan Alami (natural drying) i. Pengeringan dengan Sinar Matahari Keuntungan pengeringan dengan menggunakan sinar metahari tidak diperlukan penanganan khhusus dan mahal serta dapat dikerjakan oleh siapa saja. Namun kelemahan dari pengeringan dengan menggunakan sinarmatahari berjalan sangat lambat sehingga terjadi pembusukan sebelum menjadi kering. Hasil pengeringan pun tidak merata dan pelaksanaan tergantung oleh alam. Jarang diperoleh ikan kering yang berkualitas tinggi, selain itu memerlukan tempat yang luas dan udah terkontaminasi (Adawyah, 2007). Intensitas sinar matahari mempengaruhi kecepatan penguapan. Penguapan berjalan lebih lambat apabila tidak ada sinar matahari (Murniyati dan Sunarman. 2000) ii. Pengeringan Rumah Kaca/Surya Menurut Tapotubun dan fien (2008), Untuk mengetasi kontaminasi, pengeringan dapat dilakukan dengan menggunakan rumah pengering surya berpelidung kasa yang tembus cahayapada bagian atas sehingga pengeringan dapat berjalan dengan baik. Sedangkan untuk bagian bawah dan samping digunakan kasa berwarna gelap atau hitam sehingga panas yang masuk tidak langsung keluar tetapi terkumpul di rumah pengering sehingga proses pengeringan berlangsung lebih cepat. Pengering surya mempunyai keuntungan: sederhana, biaya rendah dan tidak memerlukan banyak tenaga kerja. Waktu proses pengeringan dengan pengering surya dapat berkurang sebanyak 65% dibanding pengeringan tradisional yang hanya menggunakan sinar matahari di tempat terbuka. Suhu dalam ruangan dapat ditingkatkan dengan penggunaan bidang warna hitam. Bidang hitam (misalnya:lembaran plastic hitam) bersifat menyerap panas lebih cepat. Lembaran plastic warna hitam ini dapat dijadikan sebagai alas rak – rak penjemur bahan dan dapat juga diletakkan di sebagian dinding. Sisi yang hitam diletakkan di bagian barat pada pagi hari dan di bagian timur pada sore hari. Pengering rumah kaca ini sangat bermanfaat dalam upaya peningkatan hygiene. Gangguan lalat, kontaminasi debu, dan kotoran dapat diminimalisasi. Manfaat lain adalah ketika musim hujan, air hujan tidak akan membasahi bahan dan kita tidak perlu memindahkan bahan ketempat yang teduh (Zaelanie et al., 2004).
18
b. Pengeringan Buatan (artificial drying) atau Pengeringan Mekanis (mechanical drying). Menurut Murniyati dan Sunarman (2000), karena banyaknya kesultan-kesulitan yang didapat pada pengeringan secara alami, maka manusia telah mencoba membuat peralatan untuk memperoleh hasil yang lebih baik dengan cara yang lebih efisien. Alat pengering mekanis berupa suatu ruang atau cabinet dengan udara panas yang ditiupkan didalamnya. Hal – hal pokok yang membuat pengeringan mekanis ini lebih baik daripada pengeringan alami ialah: 1. Suhu, kelembapan, dan kecepatan angin dapat diukur 2. Sanitasi dan hygiene dapat lebih mudah dikendalikan Disambung penjelasan menurut Zaelanie (2004), pemanasan udara dalam pengering mekanis (dryer ) dapat dilakukan menggunakan:
Pipa-pipa yang berisi uap panas didalamnya
Logam atau batu yang dipanaskan dengan api
Elemen pemanas listrik
Pemindahan panas dengan mesin pendingin
Udara dalam dryer disirkulasikan dengan blower (kipas angin) yang terletak didalam ruangan atau di dinding. Kecepatan udara yang optimal adalh 70 – 100 m/menit. Semua bahan dalam dryer diusahakan mengalami pengeringan yang merata. Ditambahkan menurut Adawyah (2007), cara pengeringannya yaitu udara dipanaskan kemudian dialirkan kedalam ruangan yang berisi bahan dalam rak-rak pengering melalui pertolongan kipas angin. Setelah cukup kering, bahan dikeluarkan dan diganti dengan bahan yang lainnya, demikian dilakukan terus menerus. Di Indonesia pernah dicoba alat pengering berbentuk trowongan (tunnel dryer), bentuk lemari (cabinet dryer), dan cool dryer. Digambarkan dalam penelitian Haryanto et al., (2008) bahwa alat pengering tipe cabinet (cabinet dryer) dalam skala kecil berkapasitas 5 kg. spesifikasi alat pengering ini adalah berupa kotak bertingkat, bagian bawah utuk pengeringan dan bagian atas untuk sirkulasi pengembalian udara. Dimensi panjang kabin 190 cn, lebar 65 cm, tinggi 97 cm. Udara pengering di sirkulasikan dengan 9 buah kipas berdiameter 12 cm dengan kecepata 1,1 m/s. Udara pengering didehumidifikasikan dengan dehumifier yang dibuat dari modifikasi AC dengan kompresor 0,5 PK. Sumber
19
pemanas menggunakan elemen lampu inframerah sebanyak 3 buah masing-masing berdaya 1500W dilengkapi dengan thermosfat. Try untuk pengeringan berukuran 40x35 cm disusun bertingkat 11 dengan jarak antar tingkat 4 cm. Pengeringan buatan atau pengeringan mekanis dapat dilakukan dengan dua metode yaitu :
Pengeringan kontinyu/berkesinambungan (continuous drying), dimana pemasukan dan pengeluaran bahan berjalan terus menerus.
Pengeringan tumpukan (batch drying), bahan masuk ke alat pengering sampai pengeluaran hasil kering, kemudian baru dimasukkan bahan berikutnya. Pada metode berkesinambungan, bahan bergerak melalui ruang pengering dan
mengalami kontak dengan udara panas secara paralel atau berlawanan. Pada metode tumpukan terdapat dua jenis yaitu : 1. Pengeringan langsung (direct drying), bahan yang dikeringkan langsung berhubungan dengan udara yang dipanaskan. 2. Pengeringan tidak langsung (indirect drying), udara panas berhubungan dengan bahan melalui perantara, umumnya berupa dinding-dinding atau tempat meletakkan bahan. Bahan akan kontak dengan panas secara konduksi.
2.4. Faktor yang Mempengaruhi Pengawetan dan Pengeringan Suhu Tinggi
Faktor yang mempengaruhi pengawetan bahan makanan, antara lain: 1. Karakteristik bahan pangan Bahan pangan yang berasal dan hewan seperti daging, susu, telur dan ikan dalam keadaan segar adalah kelompok bahan pangan yang paling mudah rusak ( perishable foods). Buah-buahan dan sayuran dalam keadaan segar adalah kelompok bahan pangan yang agak mudah rusak. Pangan nabati seperti biji-bijian dan kacang-kacangan yang sudah dikeringkan adalah kelompok bahan pangan yang relatif awet pada suhu kamar. 2. Konsistensi enzim dalam bahan pangan Contohnya enzim katalase lebih tahan perlakuan panas dari pada peroksidase.
20
3. Resistensi mikroba terhadap proses pengawetan pangan. Proses pengeringan:
Cendawan dapat tumbuh dnegan kadar air substrat >=12%, beberapa dapat hidup <5%,
Bakteri dan khamir dapat tumbuh pada kadar air substrat >30%
Proses pemanasan:
Suhu 700C Streptococcus lactis masih dapat hidup
Suhu 1000C Lactobacillus bulgaricus masih dapat hidup
Suhu 1500C biasanya mati kecuali Lactobacillus thermophilus
4. Kontaminasi serangga, parasit, dan tikus. 5. Kerusakan fisik akibat faktor lingkungan (kondisi proses dan penyimpanan).
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengeringan terutama antara lain: 1. Luas permukaan Semakin luas permukaan bahan yang dikeringkan, maka akan semakin cepat bahan menjadi kering. Biasanya bahan yang akan dikeringkan dipotong – potong untuk mempercepat pengeringan. 2. Suhu Semakin besar perbedaan suhu (antara medium pemanas dengan bahan yang dikeringkan), maka akan semakin cepat proses pindah panas berlangsung sehingga mengakibatkan proses penguapan semakin cepat pula. Atau semakin tinggi suhu udara pengering, maka akan semakin besar energi panas yang dibawa ke udara yang akan menyebabkan proses pindah panas semakin cepat sehingga pindah massa akan berlangsung juga dengan cepat. 3. Kecepatan udara Umumnya udara yang bergerak akan lebih banyak mengambil uap air dari permukaan bahan yang akan dikeringkan. Udara yang bergerak adalah udara yang mempunyai kecepatan gerak yang tinggi yang berguna untuk mengambil uap air dan menghilangkan uap air dari permukaan bahan yang dikeringkan. 4. Kelembaban udara Semakin lembab udara di dalam ruang pengering dan sekitarnya, maka akan semakin lama proses pengeringan berlangsung kering, begitu juga sebaliknya.
21
Karena udara kering dapat mengabsorpsi dan menahan uap air. Setiap bahan khususnya bahan pangan mempunyai keseimbangan kelembaban udara masing – masing, yaitu kelembaban pada suhu tertentu dimana bahan tidak akan kehilangan air (pindah) ke atmosfir atau tidak akan mengambil uap air dari atmosfir. 5. Tekanan atm dan vakum Pada tekanan udara atmosfir 760 Hg (=1 atm), air akan mendidih pada suhu 100 OC. Pada tekanan udara lebih rendah dari 1 atmosfir air akan mendidih pada suhu lebih rendah dari 100 OC. P 760 Hg = 1 atrm air mendidih 100 OC P udara < 1 atm air mendidih < 100 OC Tekanan (P) rendah dan suhu (T) rendah cocok untuk bahan yang sensitif terhadap panas , contohnya : pengeringan beku (freeze drying) 6. Waktu Semakin lama waktu (batas tertentu) pengeringan, maka semakin cepat proses pengeringan selesai.
Dalam pengeringan diterapkan konsep HTST (High
Temperature Short Time), Short time dapat menekan biaya pengeringan.
2.5. Kelebihan Pengawetan dan Pengeringan Suhu Tinggi
Keuntungan dari melakukan pengawetan terhadap makanan adalah:
Ekonomis
Aman
Bebas bahan kimia
Memperbaiki tekstur bahan pangan
Meningkatkan cita rasa bahan pangan
Efektif membunuh mikroorganisme
Meningkatkan umur simpan bahan pangan
Menonaktifkan enzim-enzim
Keuntungan dari pengeringan bahan makanan:
Bahan menjadi lebih awet dengan volume bahan menjadi lebih kecil sehingga mempermudah dan menghemat ruang pengangkutran dan pengepakan;
Berat bahan menjadi berkurang sehingga memudahkan transport;
Biaya produksi menjadi lebih murah;
22
Jenis makanan menjadi beraneka ragam, misalnya untuk makanan ringan;
Tidak tergantung cuaca;
Kapasitas pengeringan dapat dipilih sesuai dengan yang diperlukan;
Kondisi pengeringan dapat dikontrol;
Panen dapat dilakukan lebih awal;
Pekerjaan menjadi lebih mudah;
Dapat meningkatkan nilai ekonomis bahan.
2.6. Kekurangan Pengawetan dan Pengeringan Suhu Tinggi
Kerugian dari pengawetan makanan adalah:
Over heating
Penyimpangan tekstur dan flavor
Penurunan nilai nutrisi
Kerugian dari pengeringan bahan makanan:
Sifat asal dari bahan yang dikeringkan dapat berubah, misalnya : bentuknya, sifatsifat, fisik dan kimianya, penurunan mutu dan lain-lain;
Beberapa bahan kering perlu pekerjaan tambahan sebelum dipakai misalnya harus dibasahkan kembali (rehidratasi) sebelum digunakan.
2.7. Aplikasi Pengawetan dan Pengeringan Suhu Tinggi
Pengaplikasian pengawetan makanan sangat beraneka ragam dan terus berkembang seiring dengan berjalannya waktu. Berikut contoh hasil dari pengawetan makanan: 1. Susu UHT 2. Kornet 3. Sarden 4. Buah-buahan yang dikeringkan 5. Keripik kentang 6. Kismis 7. Keripik singkong
23
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Pengolahan pangan dengan menggunakan suhu tinggi merupakan pengolahan pangan dengan menggunakan panas, yaitu penggolahan yang dilakukan dengan pemanasan di atas suhu normal. Suhu normal atau suhu ruangan yang dimaksud adalah suhu yang berkisar antara 27 OC sampai dengan 30 OC. Untuk melakukan pengolahan bahan dengan suhu tinggi dapat dilakukan dengan empat cara, yang pertama blanching yang merupakan pemanasan pendahuluan yang harus dilakukan sebelum proses pembekuan, pengeringan dan pengalengan yang dilakukan pada suhu kurang dari 100oC selama beberapa menit, dengan menggunakan air panas atau uap. Kedua, Pasteurisasi yang merupakan pemanasan yang lebih ringan dari sterilisasi dan biasanya suhu yang digunakan di bawah 100 derajat Celcius berkisar 65 OC yang dilakukan selama 30 menit. Pada suhu dan waktu proses ini sebagian besar mikroba pathogen dan mikroba penyebab kebusukan telah musnah, namun jenis mikroba lainnya tetap hidup. Ketiga, Sterilisasi, yaitu proses termal untuk memastikan semua mikroorganisme beserta spora-sporanya mati. bahan yang disterilkan akan memiliki daya tahan hingga lebih dari 6 bulan pada suhu ruang. Terakhir, Pemasakan, yaitu pengolahan bahan pangan suhu tinggi paling sederhana. Contohnya: pemanggangan, penyangraian, perebusan, pengukusan, dan penggorengan. Keempat, pemasakan, yaitu proses peningkatan cita rasa atau kelezatan pada makanan yang dapat dinilai sebagai proses pengawetan karena makanan yang sudah dimasak akan lebih tahan lama jika dibandingkan dengan makanan pada saat masih menjadi bahan mentah. Penggunaan pemgolahan bahan pangan dengan suhu panas dapat dikatakan pengolahan yang ekonomis, aman, bebas dari bahan kimia, memperbaiki tekstur bahan pangan, meningkatkan cita rasa bahan pangan, efektif membunuh mikroorganisme, meningkatkan umur simpan bahan pangan, dan menonaktifkan enzim-enzim. Namun dengan pengolahan ini terdapat dampak buruk yang dapat ditemui seperti over heating, penyimpangan tekstur dan rasa, dan penurunan jumlah nutrisi dalam pangan.
24
Pengeringan merupakan proses penurunan kadar air bahan sampai mencapai kadar air tertentu sehingga dapat memperlambat laju kerusakan produk akibat aktivitas biologi dan kimia. Pengeringan dapat dibagi menjadi pengeringan alami dan pengeringan buatan, dimana pengeringan alami merupakan pengeringan yang biasanya dilakukan dengan bantuan sinar matahari sedangkan pengeringan buatan atau pengeringan mekanis biasanya dilakukan dengan bantuan alat. Keuntungan yang bisa didapatkan dari proses pengeringan adalah bahan menjadi lebih awet dengan volume bahan menjadi lebih kecil sehingga mempermudah dan menghemat ruang pengangkutran dan pengepakan; berat bahan menjadi berkurang sehingga memudahkan transport; biaya produksi menjadi lebih murah; jenis makanan menjadi beraneka ragam, misalnya makanan ringan; tidak tergantung cuaca; kapasitas pengeringan dapat dipilih sesuai dengan yang diperlukan; kondisi pengeringan dapat dikontrol; panen dapat dilakukan lebih awal; pekerjaan menjadi lebih mudah; dan dapat meningkatkan nilai ekonomis bahan. Namun disamping berbagai macam keuntungan yang bisa didapatkan, terdapat pula beberapa kerugian dari proses pengeringan, yaitu sifat asal dari bahan yang dikeringkan dapat berubah, misalnya bentuknya, sifat-sifat, fisik dan kimianya, penurunan mutu dan lain-lain; dan beberapa bahan kering perlu pekerjaan tambahan sebelum dipakai misalnya harus dibasahkan kembali (rehidratasi) sebelum digunakan.
25
DAFTAR PUSTAKA
Budiono,
Agung.
2013.
Pengawetan
dengan
Cara
Pengeringan,
http://www.gogreen.web.id/2013/11/pengawetan-dengan-cara-pengeringan.html (diakses pada tanggal 19 Februari 2017). Nutrisionista.
2010.
Faktor
yang
Mempengaruhi
Pengawetan
Pangan,
http://nutrisionista-viertame.blogspot.co.id/2010/10/faktor-yang-mempengaruhi pengawetan.html (diakses pada tanggal 20 Februari 2017). Safnowandi. 2012. Pengawetan Makanan untuk Mengendalikan Aktivitas Mikroba Perusak
Makanan,
https://safnowandi.wordpress.com/2012/11/03/pengawetan-
makanan-untuk-mengendalikan-aktivitas-mikroba-perusak-makanan/ (diakses pada tanggal 18 Februari 2017). Sunami,
Siti.
2015.
Pemanasan,
Pengeringan,
dan
Pendinginan,
http://animalbandry.blogspot.co.id/2015/11/pemanasan-pengeringan-dan pendinginan.html (diakses pada tanggal 19 Februari 2017). Zaif. 2009. Pengolahan dan Pengawetan Bahan Makanan serta Permasalahannya , https://zaifbio.wordpress.com/2009/02/02/pengolahan-dan-pengawetan-bahanmakanan-serta-permasalahannya/ (diakses pada tanggal 18 Februari 2017). Zaif. 2013. Blansing , https://zaifbio.wordpress.com/2013/01/01/blansing/ (diakses pada 20 Februari 2017).
26