TUTORIAL CASE BLOK NBSS
“MENINGOENSEFALITIS ”
D4 Nama Tutor : dr. Wahyunia Nama Anggota Kelompok :
Hana Fathia Ardi Hasyati Dwi Kinasih
Reza Angga Pratama
Anna Andany Lestari Maulana Wasis Waskito
Niken F. K Utami Restu Kaharseno Afria Beny Safitri Safitri Rahma Cita Halida Sanni Rizky Putri
FAKULTAS KEDOKTERAN
(1010211077) (1010211023) (1010211050) (1010211056) (1010211069) (1010211074) (1010211098) (1010211160) (1010211180) (1010211183)
UPN “ VETERAN” JAKARTA
2010/2011
Fakultas Kedokteran UPN “Veteran” Jakarta Tahun Ajaran 2010/2011
Lembar Pengesahan
Mengetahui, Tutor Tutorial D-4
dr. Wahyunia
Ketua
Hana Fathia Ardi (1010211077)
Sekretaris I
Niken F. K Utami (1010211074)
Sekretaris II
Maulana Wasis Waskito (1010211069)
KATA PENGANTAR Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT, tiada Tuhan selain Allah SWT SW T dan tiada sekutu bagi-Nya. Begitu banyak dan berlimpah nikmat yang telah Ia berikan terutama nikmat Iman, Islam, dan Ihsan. Puji syukur kami panjatkan yang dengan izinNya maka makalah ini dapat diselesaikan. Makalah ini merupakan makalah mengenai kasus “Kejang Demam” yang didiskusikan sejak tanggal 19 Maret 2012 sampai 23 Maret 2012 Kami mengucapkan terima kasih kepada dr. Wahyunia atas segala pengarahan, bimbingan, dan kasih sayang yang telah dicurahkan selama proses tutorial. Terima kasih juga kepada kelompok tutorial D-4 atas kerjasamanya mulai dari proses pembahasan hingga pembuatan makalah ini. Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai laporan dan kesimpulan dari diskusi yang telah kami lakukan dalam pembahasan kasus pertama di blok NBSS ini serta untuk menambah pengetahuan penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya. Kami menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan, maka dari itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca agar kami dapat lebih baik lagi untuk ke depannya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak yang membutuhkan, khususnya bagi tim penulis sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai. Amin
Jakarta , 23 April April 2012
DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN...............................................................
i
KATA PENGANTAR………………………………………………….
ii
DAFTAR ISI……………………………………………………….......
iii
CASE.............................................................................................
5
Learning Progress.........................................................................
8
Fisiologi Kesadaran.......................................................................
9
Fisiologi Tidur................................................................................
10
Koma.............................................................................................
13
Infeksi SSP....................................................................................
15
Virus........................................................................................ Bakteri..................................................................................... Spirochaeta............................................................................. Fungus...................................................................................... Protozoa..................................................................................... Metazoa...................................................................................... Meningitis.......................................................................................... Ensefalitis.......................................................................................... Meningoensefalitis............................................................................ Abses Serebri.................................................................................... INTERPRETASI KASUS.................................................................... DAFTAR PUSTAKA..........................................................................
CASE
PAGE 1 Tn. Parto berusia 30 tahun, datang diantar ibunya ke unit gawat darurat RSPAD Gatot Subroto dengan keluhan mengalami kejang. Kejang terjadi di seluruh tubuh. Kejang yang dialami hanya berlangsung selama 3 menit. Dan saat kejang ia dalam keadaan tidak sadar.
Riwat Penyakit Sekarang
Sudah sejak dua minggu terakhir, pasien mengalami sakit kepala hebat seperti ditusuk, terus menerus diseluruh kepala dan kaku di leher bagian belakang. Ia sering mengkonsumsi obat sakit kepala yang dibeli di warung, namun sakitnya tak kunjung sembuh. Berat badan pasien mengalami penurunan drastis.
Riwayat Penyakit Dahulu
Parto adalah seorang pecandu narkoba, ia sering menggunakan jarum suntik bergantian dengan teman-temannya sesama pecandu narkoba. Ia menjadi seorang pecandu narkoba sejak 10 tahun terakhir.
PAGE 2 Pemeriksaan Fisik Kesadaran
: delirium
Vital sign - HR
: 100x/menit
- RR
: 20 x/menit
- Suhu
: 37,5 C
- TD
: 120/80 mmHg
0
Tatto
: (+) hampir di seluru tubuh
Needle track
: (+)
Mata
: RCL/RCTL = ++/++, papil edema (-)
Mulut
: leukoplakia (+), oral thrush (+)
Kelenjar getah bening : tidak teraba membesar
Pemeriksaan Neurologis
GCS
: E4V2M6
Motorik
: hemiparesis tidak ada, normotonus, normotrofi
Reflex Fisiologis - Refleks biceps/triceps : (+) normal - Refleks patella/achiles: (+) normal Reflex Patologis - Refleks babinski
: (-)
Meningeal sign -
Kaku kuduk
: (+)
-
Brudzinsky I
: (+)
-
Brudzinsky II
: (+)
-
Kernig
: (+)
Pemeriksaan Laboratorium
-
Hb
: 12,4 g/dl
-
Ht
: 42%
-
MCV
: 60%
-
Leukosit
: 4500/mm
-
Trombosit
: 240.000/mm
-
Diff count
: 0/0/0/63/24/13
-
GDS
: 98 mg/dl
-
Pemeriksaan dengan tinta india : kriptokokus (+)
-
CT scan
3 3
: edema difus cerebri
PAGE 3 Dari hasil pemeriksaan western blot, didapatkan pasien HIV (+) dan didiagnosis mengalami meningoensefalitis akibat kriptokokus. Saat ini pasien masih dirawat di ICU. Penatalaksanaan : Manitol IV 4x125 cc Ranitidin 2x1 ampul Fluconazole 200 mg/hari IV
Pada perawatan hari ke 6, pasien masih mengalami pusing kepala, disertai muntah dan mulai terjadi penurunan kesadaran, dan akhirnya pasienmeninggal pada perawatan hari ke7.
FISIOLOGI KESADARAN Kesadaran adalah keadaan yang mencerminkan pengintegrasian impuls eferen dan aferen. Substrat kualitas dan derajat kesadaran ditentukan oleh jumlah (kuantitas) input susunan saraf pusat . Input susunan saraf terdiri dari input spesifik dan input non spesifik. Input SSP spesifik
-
Perjalanan impuls aferen yang khas dan kesadaran yang diteruskan oleh impuls aferen khas juga
-
Lintasan spesifik menghantarkan impuls dari satu titik pada alat reseptor ke satu titik pada korteks perseptif primer
-
Setibanya impuls aferen spesifik di tingkat korteks terwujudlah suatu kesadaran akan suatu modalitas perasaan yang spesifik, yaitu perasaan nyeri di kaki atau di wajah atau suatu penglihatan, penghiduan, pendengaran. Input SSP non spesifik
-
Sebagian dari impuls aferen spesifik yang disalurkan melalui lintasan aferen n on-spesifik
-
Lintasan aferen non spesifik menghantarkan setiap impuls dari titik manapun pada tubuh ke titik pada seluruh korteks serebri kedua sisi
-
Lintasan ini terdiri dari serangkaian neuron neuron di substansia retikularis medulla spinalis dan batang otak yang menyalurkan impuls aferen ke thalamus yaitu inti intralaminar
-
Setibanya di inti intralaminar akan menggalakan inti tersebut untuk memancarkan impuls yang menggiatkan seluruh korteks secara difus dan bilateral
-
Lintasan aferen non spesifik lebih dikenal dengan “difuse ascending reticular system
Neuron Penggemban Kewaspadaan Dan Neuron Penggalak Kewaspadaan
Neuron Pengemban Kewaspadaan Neuron-neuron di seluruh korteks serebri yang digalakkan oleh impuls aferen non spesifik (derajat kesadaran bias tinggi atau rendah bergantung pad a jumlah neuronneuron tersebut yang aktif)
Neuron Penggalak Kewaspadaan Aktivitas neuron-neuron tersebut digalakkan oleh neuron-neuron yang menyusun inti talamik yang dinamakan nuclei intralaminar
Gangguan Kesadaran
Gangguan kesadaran terjadi karena ada gangguan pada neuron pengemban kewaspadaan yang tidak berfungsi atau pada neuron penggalak kewaspadaan yang tidak berdaya untuk mengaktifkan neuron pengemban kewaspadaan.
FISIOLOGI TIDUR
Definisi
Suatu kondisi tidak sadar di mana individu dapat dibangunkan oleh stimulus atau sensori yang sesuai.
Status perubahan kesadaran ketika persepsi dan reaksi individu terhadap lingkungan menurun.
Suatu proses aktif yang terdiri dari periode-periode tidur gelomban g-lambat dan paradoksikal yang berseling-seling.
Pengaturan tidur
Reticular Activating System (RAS) -
RAS di bagian atas batang otak diyakini memiliki sel-sel khusus yang dapat mempertahankan kewaspadaan dan kesadaran; memberi stimulus visual, pendengaran, nyeri, dan sensori raba; serta emosi dan proses berfikir. Pada saat sadar, RAS melepaskan katekolamin.
Bulbar Synchronizing Region (BSR) -
pada saat tidur terjadi pelepasan serum serotonin dari BSR.
Macam-macam tidur
1. Tidur NREM (Non Rapid Eye Movement) -
jenis tidur yang disebabkan menurunnya kegiatan di dalam sistem pengaktivasi retikularis atau disebut dengan tidur gelombang lambat.
Perpindahan tahap 1-4 berkisar 30 sampai 45 menit.
Tahap 1 -
Tahap ini berlangsung selama 5 menit. Tahap transisi antara bangun dan tidur dengan ciri sebagai berikut:
rileks
masih sadar dengan lingkungan
merasa mengantuk
bola mata bergerak dari samping ke samping
frekuensi nadi dan napas sedikit menurun
dapat bangun segera
Tahap 2 -
Tahap ini berlangsung pendek dan berakhir 10-15 menit. Merupakan tahap tidur ringan dan proses tubuh terus menurun dengan ciri sebagai berikut:
mata pada umumnya menetap
denyut jantung dan frekuensi napas menurun
temperatur tubuh menurun
metabolisme menurun
Tahap 3 -
Merupakan tahap tidur dengan ciri denyut nadi dan frekuensi napas dan proses tubuh lainnya lambat, disebabkan adanya dominasi sistem saraf parasimpatis sulit untuk bangun
Tahap 4 -
Merupakan tahap tidur dalam dengan ciri:
kecepatan jantung dan pernapasan turun jarang bergerak
sulit dibangunkan
gerak bola mata cepat
sekresi lambung menurun
tonus otot menurun
2. Tidur REM (Rapid Eye Movement) -
jenis tidur yang disebabkan oleh penyaluran isyarat-isyarat abnormal dari dalam otak meskipun kegiatan otak mungkin tidak tertekan.
-
Terdapat pada akhir siklus gelombang lambat.
-
Berlangsung 10-15 menit.
-
Otak cenderung aktif dan metabolismenya meningkat hingga 20%.
-
Ciri tidur REM adalah sebagai berikut:
Biasanya disertai dengan mimpi aktif.
Lebih sulit dibangunkan.
Tonus otot selama tidur nyenyak sangat tertekan, menunjukkan inhibisi kuat proyeksi spinal atas sistem pengaktivasi retikularis.
Frekuensi jantung dan pernapasan menjadi tidak teratur.
Pada otot perifer terjadi beberapa gerakan otot yang tidak teratur.
Mata cepat tertutup dan terbuka, nadi cepat dan tidak teratur, tekanan darah meningkat atau berfluktuasi, sekresi gaster meningkat, dan metabolisme meningk at.
Tidur ini penting untuk keseimbangan mental, emosi, juga berperan dalam belajar, memori, dan adaptasi.
KOMA
Koma merupakan suatu keadan dimana kesadaran menurun pada derajat yang terendah, atau korteks serebri kedua sisi tidak lagi menerima impuls aferen aspesifik. Gangguan yang dapat menimbulkan koma dapat tercakup dalam gangguan : -
-
Di substansia retikularis bagian batang otak yang paling rostral o
Infratentorial
o
Supratentorial
Gangguan difus pada kedua hemisferium Hemisferium kedua sisi dapat terganggu secara menyeluruh jika sel-sel yang menyusun korteks serebri kedua sisi mengalami gangguan metabolic akibat racun endogenik maupun eksogenik.
Koma Infratentorial Diensefalik Ada dua macam proses patologik di dalam ruang infratentorial yang dapat menimbulkan koma 1. Proses patologik di dalam batang otak yang dapat merusak substansia retikularis - Lesi vascular yang merusak substansia reticularis akibat penyumbatan arteria serebri superior. - Lesi vascular di pons meliputi penyumbatan arteri-arteri perfontares yang berinduk pada arteria basilaris - Perdarahan trauma kapitis bias merusak tegmentum batang o tak berikut substansia retikularis 2. Proses diluar batang otak yang mendesak dan mengganggu fungsi substansia retikularis - Neoplasma, abses, perdarahan di serebrum yang mendesak batang otak dari luar
Koma Supratentorial Diensefalik Semua proses supratentorial yang dapat mengakibatkan destruksi dan kompresi pada substansia retikularis diensefalik (nuclei intralaminares) akan menimbulkan koma. Destruksi bias terjadi karena perdarahan, metastasis tumor, atau bisa juga karena in feksi
misalnya meningitis. Kompresi yang tersebut diatas disebabkan oleh proses desak ruan g , dimana terbagi menjadi 3 golongan : (1) Proses desak ruang yang meninggikan tekanan di dalam ruang intracranial supratentorial secara akut ; (2) lesi yang m enimbulkan syndrome unkus ; (3) lesi supratentorial yang menimbilkan syndrome kompresi rostokaudal terhadap batang otak o
Tekanan intracranial supratentorial yang mendesak menjadi tinggi
Keadaan ini bisa dijumpai jika terdapat hemorargia serebri yang massif atau perdarahan epidural
Mendesak bangunan yang terletak infratentorial
Manifestasi klinis : Tekanan darah meningkat, nadi lambat, kesadaran menurun secara progresif
o
Sindrom Unkus
Dikenal juga sindrom kompresi diensefalon ke lateral
Proses desak ruang di bagian lateral dari fosa crania media . desakannya mengakibatkan gangguan pada nervus okulomotorius
Manifestasi klinis : dilatasi pupil kontralateral, kelumpuhan nervus okulomotorius totalis
o
Sindrom Kompresi Rostokaudal terhadap batang otak
Koma Bihemisferik Difus o
Koma bihemisferik difus terjadi karena metabolism neuronal kedua belah hemisferium terganggu secara difus.
o
Proses Metabolisme ini meliputi penyediaan dan pengaturan keseimbangan natrium dan kalium di dalam dan diluar sel, membuat zat-zat yang diperlukan untuk memungkinkan serah terima potensial aksi antar neuron (neurotransmitter), mengolah katabolit-katabolit yang akan dimanfaatkan untuk resistensi enzim dan unsure-unsur sel
o
Bila terjadi kekurangan bahan-bahan yang diperlukan dalam proses metabolism, maka proses metabolism akan terganggu dan neuron di kedua hemisferium menjadi tidak berfungsi dengan baik hingga dapat menyebabkan penurunan kesadaran
INFEKSI SSP I. INEKSI VIRUS Cara masuk virus ke dalam sel pejamunya :
Melekat
Penetrasi
Pelepasan kapsid
Proses replikasi
Pelepasan virus
Ada 2 macam virus yang menimbulkan manifestasi neurologik : ada virus yang tergolong
dengan virus neurotropik dan virus viserotropik Tetapi virus viserotropik mempunyai kecenderungan tertangkap oleh sel mukosa traktus
digestivus hanya pada kondisi2 tertentu untuk tiba di sel sel saraf. Kondisinya : o
Jumlah virus yang melakukan invasi besar sekali
o
Daya ketahanan tubuh yang rendah
o
Karena bantuan biokimiawi kepada susunan saraf berkurang, akibat kerusakan diginjal, diparu, hepar, jantung, susunan eritropoietik
Setelah melakukan serangkaian cara masuk dan penyebarannya, baru timbul manifestasi2
toksemia dan disusul oleh manifestasi2 lokalisatorik Gejala toksemia : sakit kepala, febrile convulsion, vertigo, parestesia, lemas letih seluruh
tubuh, nyeri r etrobulbar, tidak jarang “organic brain syndrome” Manifestasi lokalisatorik : sindrom meningitis, ensefalitis,meningoensefalitis Enterovirus merupakan penyebab utama dari menin gitis viral Sebagian dari enterovirus dan neurotropik virus lainnya memban gkitkan ensefalitis Pembauran keduanya bisa menyebabkan meningoensefalitis
II.
INFEKSI BAKTERIAL
Kuman masuk ke dalam permukaan sel kemudian ditangkap oleh lisosom kemudian datang fagosit yang emmakan kuman sehingga kuman dihancurkan. Reruntuhan kuman itu merupakan racun (toksin) yang nantinya akan diserap oleh aliran darah sehingga timbul gejala toksemia (demam, perasaan tidak enak badan, anoreksia, selesma, batuk, dll). Nah, misalkan tubuh kita kalah oleh invasi bakteri tersebut maka kuman akan terus berkembang biak dan masuk ke dalam aliran darah kemudia masuk ke dalam otak dikarenakan otak tidak memiliki system seperti tubuh kita sehingga di a mudah dimasuki oleh mikroorganisme dan menimbulkan kerusakan (radang) sehingga timbul gejala. Gejala toksemianya meliputi sakit kepala, nyeri retroorbital , nyeri pinnggan g bagian bawah, nyeri otot, pusing, parastesia, fotofobia, latergia, delirium. Gejala lokalisatoriknya meliputi enteritis, nefritis, ensefalitis, abses serebri.
III. INFEKSI SPIROCHAETA a. Leptospirosis
Leptospirosis adalah penyakit manusia dan hewan dari kuman. Disebabkan kuman Leptospira yang ditemukan dalam air seni dan sel-sel hewan yang terkena Penularan leptospirosis melalui air minum yang terkontaminasi dengan kencing host leptospira seperti tikus, kelinci, marmot. Kuman masuk kedalam traktus digestivus menyebar melalui pembuluh darah ke organ-organ tubuh terutama ke hati dan ginjal kemudian menimbulkan reaksi peradangan, oedema akhirnya terjadi hepatic failure dengan ikterus obstruktif, renal failure. Gejala dini Leptospirosis umumnya : demam, sakit kepala parah, nyeri otot, merah,muntah dan mata merah. Gejala lain yang menyertainya : myalgia, konjunctivitis perikorneal, uveitis, hemorhagi,meningitis leptospirosis (paling sering ± 50%), hemorhagi serebri.
b. Sifilis
Sifilis adalah penyakit menular seksual
Disebabkan oleh Treponema pallidum
Bakteri ini masuk kedalam tubuh manusia melalui selaput lendir atau melalui kulit. Dalam beberapa jam, bakteri akan sampai ke kelenjar getah bening terdekat,kemudian menyebar ke seluruh tubuh melalui aliran darah. Infeksi oleh Treponema pallidum berkembang melalui 4 tahap
1. Fase Primer - Terbentuk luka atau ulkus (cangker) yang tidak nyeri pada tempat yang terinfeksi. Cangker berawal sebagai suatu daerah penonjolan kecil yang dengan segera akan berubah menjadi suatu ulkus (luka terbuka), tanpa disertai nyeri. - Luka tersebut hanya menyebabkan sedikit gejala, biasanya membaik dalam waktu 3-12 minggu dan sesudahnya penderita tampak sehat secara keseluruhan. 2. Fase Sekunder - Fase sekunder biasanya dimulai dengan suatu ruam kulit, yang muncul dalam waktu 6-12 minggu setelah terinfeksi. Ruam ini bisa berlangsung hanya sebentar, meskipun tidak diobati ruam ini akan menghilang. - Pada fase sekunder sering ditemukan luka di mulut. Sekitar 50% penderita memiliki pembesaran kelenjar getah bening di seluruh tubuhnya dan sekitar 10% menderita peradangan mata. - Peradangan mata biasanya tidak menimbulkan gejala, tetapi kadang terjadi pembengkakan saraf mata sehingga penglihatan menjadi kabur. Sekitar 10% penderita mengalami peradangan padatulang dan sendi yang disertai nyeri. Peradangan ginjal bisa menyebabkan bocornya protein kedalam air kemih. Peradangan hati bisa menyebabkan sakit kuning. - Sejumlah kecil penderita mengalami peradangan pada selaput otak (meningitis sifilitik akut ), yang menyebabkan sakit kepala, kaku kuduk dan ketulian. Di daerah perbatasan kulit dan selaput lendir serta di daerah kulit yang lembab, bisa terbentuk daerah yang menonjol (kondilomalata). - Gejala lainnya adalah merasa tidak enak badan (malaise), kehilangan nafsu makan, mual, lelah,demam, rambut rontok dan anemia 3. Fase Laten. - Fase ini bisa berlangsung bertahun-tahun. Pada awal fase laten luka yang infeksius kembali muncul dan apabila penyebab manifestasi sifilis tahap kedua itu tidak dikenal maka infeksi treponema palidum akan terus berjalan tanpa halangan, sehingga susunansaraf pusat juga akan mengalami invasi kuman tersebut. - Gambaran Prodromnya bersifat umum seperti sakit kepala,insomnia, cepat lupa, daya konsentrasi mengurang dan letih badan. Selanjutnya timbul demensia dengan perubahan watak bahkan psikosis 4. Fase Tersier. - Pada fase tersier penderita tidak lagi menularkan penyakitnya. Gejala bervariasi mulairingan sampai sangat parah, terbagi menjadi 3 kelompok utama : 1) Sifilis tersier jinak
Benjolan yang disebut gumma muncul di berbagai organ; tumbuhnya perlahan, menyembuh secara bertahap dan meninggalkan jaringan parut. Tulang juga bisa terkena, menyebabkan nyeri menusuk yang sangat dalam yang biasanya semakin memburuk di malam hari 2) Sifilis kardiovaskuler o
o
o
Biasanya muncul 10-25 tahun setelah infeksi awal. Bisa terjadi aneurisma aorta atau kebocoran katup aorta. Hal ini biasa menyebabkan nyeri dada, gagal jantung atau kematian.
3) Neurosifilis o Sifilis pada sistem saraf terjadi pada sekitar 5% penderita yang tidakdiobati. 3 jenis utama dari neurosifilis adalah neurosifilis meningovaskuler neurosifilis paretik neurosifilis tabetik
IV. INFEKSI FUNGUS
Fungi adalah organisme yang terdapat dimana-mana dengan virulensi rendah yang menjadi patogenik pada lingkungan tertentu seperti depresi immunitas bermedia sel,neutropenia, dan terapi antibiotika sistemik jangka lama. Tidak jarang menginvasi otak. Terkenanya SSP mungkin disseminate, menyebabkan meningoensefalitis atau fokal, menyebabkan abses granulomatosa.
meningitis
atau
Berbeda dengan infeksi bakterial, meningitis fungal cenderung dimulai ringan dengan perburukan bertahap. Nyeri kepala, kaku kuduk, demam, letargi, status mental depresi,dan palsi saraf kranial mungkin tampak. CT -scan tidak selalu membantu pada meningitis fungal, tapi mungkin memperlihatkan hidrosefalus, komplikasidari meningitis kronik. MRI dapat efektif memperlihatkan penguatan basiler dan inflamasi Abses otak tunggal atau multipel mungkin tampil dengan kejang, nyeri kepala, statusmental depresi, atau defisit neurologis fokal, sering bersamaan dengan pneumonia. Patogen yang umum adalah Cryptococcus, Blastomyces, Actinomyces, dan Histoplasma.
Aspergillus,
Nocardia,
V.
INFEKSI PROTOZOAL a. Tripanosomiasis Etiologinya adalah Tripanosoma gambiense , di Afrika dikenal dengan penyakit tidur yang vector penularannya lalat glosina/tsetse sedangkan di Ameriks dikenal dengan penyakit Chaga yang vector penularannya kutu busuk. Mikroorganisme ini akan berkembangbiak dalam traktus digetivus vector lalu pindah ke kelenjar liur. Ketika hospes menggigit manusia atau hewan lainnya, pada port d’entrée akan timbul lesi setempat berupa ulkus atau nodula. Setelah itu akan terjadi penjalaran secara limfogen dimana manifestasinya berupa demam dan limfadenopati, lalu akan menyebar secara hematogen dan nantinya akan invasi ke susunan saraf. Dimana pada invasi susunan saraf akan timbul gejala neurologic berupa tremor, ataksia, konvulsi, delirium, demensia dan somnolensia. Selain itu umumnya meningen juga terkena dan CSS akan banyak mengandung limfosit dan protozoa. b. Malaria Infeksinya oleh Plasmodium falsiparum, kasnya adalah multiplikasinya tidak dapat dihambat karena kebanyakan berada dieritrosit dan eritrosit cenderung melekat pada intima pembuluh kapilar sehingga menimbulkan penyumatan aliran kapilar, dengan vector nyamuk Anopheles. Karena sifat eritrosit menjadi berubah seperti tadi maka lesi vascular mudah timbul dalam bentuk ptekie hemoragi dan nekrosis fokal. Penyebaran pada otak dan meningens akan timbul manifestasi neurologic seperti sindroma meningitis, deficit serebral fokal, gejala serebral dan bulbar, gejala iritatif, organic brain syndrome dan stupor sampai koma. Jika lesi meluas secara progresif, dapat menyebabkan kematian.
c. Toksoplasmosis
Mikroorganisme bertahan dalam bentuk kista di otot d an jaringan saraf yang ukurannya lebih kecil dari eritrosit maka sangat mudah tersebar secara hematogen. Pada yang asimtomatik (kebanyakan pada yang akuisita) timbul gejala lokalisatorik seperti pneumonia, eksantema, hepatitis, polimiositis, meningitis, ensefalitis dll. Pada yang asimtomatik congenital manifestasi ke berbagai organ karena penularan t erjadi pada tahap dini dari pertumbuhan mudigah sampai fetus, lalu pada saat partus bisa terjadi mikrosefalus, mikroftalmia dan endoftalmia. Pada saat masa perkembangan bisa terjadi hidrosefalus, konvulsi, tremor, opistotonus, hemiplegia, paraplegia dan nistagmus.
d. Amebiasis Infeksi Entameba histolitika pada pengotoran makanan oleh lalat, berkembang begitu cepat, yang nantinya mulai timbul sakit kepala, gangguan fungsi mental dll. Lalu timbul gejala prodromal seperti demam dan gejala serebral fokal. Kematian dapat terjadi dalam waktu 7-10 hari.
MENINGITIS MENINGITIS VIRAL
Meningitis viral disebut juga meningitis aseptic karena jika dilakkan biakan kultur akan negative. Gejalanya biasanya sangat ringan sehingga sering luput dari diagnose, seperti n yeri kepala, demam , menggigil, nyeri otot dan sendi. Epidemiologi
Sering terjadi pada anak dan bayi
Etiologi
Paling sering Enterovirus yaitu poliomyelitis, Coxsackie dan ECHO (entric cytopathic human orphan)
Diagnose
1. Pemeriksaan CSS terdapat gambaran inflamasi lebih ringan ; diff count dominan MN ; kadar glukosa normal ; protein seringkali normal ; kultur virus dan P CR dapat menentukan jenis virus 2. Untuk menentukan etiologi virus dilakukan kultur dari darah, tinja, apus osofaring, rectum dan lesi kulit Terapi
Simtomatik seperti analgesic dan antipiretik, karena sering sembuh den gan sendirinya
Kenakan tekanan intracranial dapat diterapi dengan LP
Terapi suportif, cairan IV dan analgetik pada bayi dan anak
Prognosis
Sebagian besar sembuh dalam 3-5 hari
MENINGITIS KRIPTOKOKUS
Merupakan penyakit baru , seiring meningkatnya kejadian HIV/AIDS. Dimana lebih banyak pada orang dewasa dibandingkan anak. Den gan penyebab mikiroorganismenya yaitu Cryptococcus neoformans. Gejalanya biasanya tidak ada yang berbeda dengan M.akut tapi perjalanan penyakitnya lebih lambat dan intensitas keluhan kepala atau panas badan yang ada biasanya tidak sehebat M.akut.
Diagnose
1. Keluhan gejala klinis sejak 1-2 minggu sebelum dating ke RS berupa demam yang tidak terlalu tinggi, nyeri kepala, malaise 2. Pada pemeriksaan fisik ditemukan kaku kuduk dan penurunan kesadaran 3. Biasanya hanya mengeluhkan nyeri kepala hebat 4. CT Scan / MRI hasilnya pada pasien HIV ada hidrosefalus 5. Pemeriksaan Lab lebih dari 90% CD4 kurang dari 100 jika CDA > 200 berarti bukan kriptokokus dan tes antigen kriptokokus sebelum LP 6. Pemeriksaan CSS ditemukan tekanan pembukaan tinggi ; jumlah sel < 500 predominan MN ; kadar protein 50-100 mg/dl ; kadar glukosa <40 ; pewarnaan dengan tinta india akan ditemukan jamur bersel tunggal dengan kapsul yang besar, adanya tunas pada badan jamur merupakan tanda yang khas ; kultur jamur dengan media Saburaud Terapi
1. Antijamur
Fase induksi : amfoterisin B deoksikolat IV dosis 0,7-1 mg/kgbb/hr ditambah flusitosin 100 mg/kgbb/hr dibagi 4 dosis peroral selama 14 hari
Fase maintenance : flukonazol 400 mg/hr minimal 8 minggu 2. Pemberian ARV diberikan setelah 2-10 minggu p emberian terap[I antijamu, karena jika tidak dalam waktu tersebut akan menimbulkan IRIS
Prognosa
-
Dapat bertahan hidup denganpemberian obat yang sesuai Buruk karena penurunan kesadaran saat masuk RS, jumlah leukosit yang rendah, dan titer antigen yang tinggi
Ensefalitis Inflamasi jaringan otak oleh berbagai macam mikroorganisme, virus, bakteri, jamur, protozoa atau parasit. Etiologi
•
Virus: Herpes Simpleks (tipe 1 dan 2),Virus varicela-zoster, Virus CMV kongenital, Virus Epstein Barr, Kelompok virus poks: Vaksinia dan Virus arbo, Rabies.
•
Riketsia
•
Mycoplasma pneumonia
•
Bakteri
•
Spirochaeta: Sifilis, kongenital atau akuisita, leptospirosis
•
Jamur: Candida albicans, Cryptococcus neoformans, Coccidioides immitis, Aspergillus fumagatus, Mucor mycosis
•
Protozoa: Plasmaodium Sp., Trypanosoma Sp., Naegleria Sp., Acanthamoeba, Toxoplasma gondii
•
Metazoa: Trikinosis, Ekinokokosis, Sistiserkosis, Skistosomiasis
Klasifikasi
A. Berdasarkan waktu: -
Akut: terjadi relatif singkat hanya beberapa hari saja
-
Kronis: dapat terjadi mulai dari beberapa minggu hingga beberapa bulan.
B. Berdasarkan patogenesis: -
Infeksi primer: terjadi akibatnya masuyk virus secara langsung ke dalam S SP sehingga menghasilkan gejala klinis disfungsi kortikal atau batang otak.
-
Post-infeksi: terjadi akibat respon imun host terhadap invasi virus ke dalam S SP
Patofisiologi
virus ensefalitis masuk melalui hematogen atau neuronal
Atau saraf perifer (gerakan sentripetal) atau secara retrograde axoplasmic spread misalnya oleh virus-virus herpes simpleks, rabies, dan herpes zoster.
terjadi perkembangbiakan dan penyebaran kedalam aliran darah dan mengakibatkan infeksi pada beberapa organ.
virus memperbanyak diri secara local, kemudian menjadi viremia yang menyerang susunan saraf pusat melalui kapilaris di pleksus koroideus
Pertumbuhan virus mulai di jaringan ektraneural seperti usus atau kelenjar getah Bening dan jaringan lemak
Didalam system saraf pusat, virus menyebar secara langsung atau melalui ruang
Didalam medulla spinalis, virus menyebar melalui endoneurium dalam ruang
ekstraseluler.
intersisial pada saraf-saraf
Kerusakan neurologis
Neuron-neuron yang rusak Infeksi virus dalam otak menyebabkan meningitis aseptik dan ensefalitis
dimakan oleh makrofag atau mikroglia, disebut sebagai neuronofagia yaitu sesuatu yang
Disebabkan Invasi langsung dan destruksi jaringan saraf oleh virus yang berproliferasi aktif
khas bagi ensefalitis primer.
ensefalitis terdapat kerusakan neuron dan glia dimana terjadi intraceluler inclusion bodies, peradangan otak dan medulla spinalis serta edema otak.
peradangan pada pembuluhpambuluh darah kecil, thrombosis dan proliferasi astrosit dan microglia.
Reaksi jaringan saraf terhadap antigen-antigen virus
ENSEFALITIS PRIMER ENSEFALITIS VIRUS HERPES SIMPLEKS
Virus herpes simpleks tidak berbeda secara morfologik dengan virus varisela, dan sitomegalovirus. Secara serologik, memang dapat dibedakan dengan tegas. Menyebabkan infeksi laten; bertahan secara tak terbatas dalam inang yang terinfeksi. Sering diaktifkan kembali dalam inang yang fungsi imunitasnya tertekan Neonatus m asih mempunyai imunitas maternal. Tetapi setelah umur 6 bulan, imunitas itu lenyap dan bayi dapat mengidap gingivo-stomatitis virus herpes simpleks. Infeksi dapat hilang timbul dan berlokalisasi pada perbata san mukokutaneus antara mulut dan hidung. Infeksi – infeksi tersebut jinak sekali. Tetapi apabila neonatus tidak memperoleh imunitas maternal terhadap virus herpes simpleks dari ibunya yang mengidap herpes genitalis, maka infeksi dapat berkembang men jadi viremia. Ensefalitis merupakan sebagian dari manifestasi viremia yang juga menimbulkan peradangan dan nekrosis di hepar dan glandula adrenalis. Pada anak – anak dan orang dewasa, ensefalitis virus herpes simpleks merupakan manifestasi reaktivasi dari infeksi yang laten. Dalam hal ini, virus herpes herpes simpleks berdiam di dalam jaringan otak secara endosimbiotik , mungkin di ganglion Gasseri dan han ya ensefalitis saja yang bangkit. Reaktivitas virus herpes simpleks dapat disebabkan oleh faktor – faktor yang pernah disebut diatas, yaitu penyinaran ultraviolet, dan gangguan hormonal. Penyinaran ultraviolet dapat terjadi secara iatrogenic atau sewaktu berpergian ke tempat – tempat yang tinggi letaknya. Kerusakan pada jaringan otak berupa nekrosis di substansia alba dan grisea serta infark iskemik dengan infiltrasi limpositer sekitar pembuluh darah intraserebral. Di dalam nucleus sel saraf terdapat “inclusion body” yang khas bagi virus herpes simpleks. Gambaran penyakit ensefalitis virus herpes simpleks tidak banyak berbeda dengan ensefalitis primer lainnya lainnya. Tetapi yang menjadi ciri khas bagi ensefalitis virus herpes simpleks ialah progresivitas perjalanan penyakitnya. Mulai dengan sakit kepala, demam dan muntah – muntah. Kemudian timbul ”acute organic brain syndrome” yang cepat memburuk sampai koma. Sebelum koma dapat ditemukan hemiparesis atau afasia. Dan kejang epileptik dapat timbul sejak permulaan penyakit. Pada pungsi lumbal ditemukan pleiositosis limpositer dengan eritrosit ENSEFALITIS ARBOVIRUS
Virus arbovirus terdiri dari Togaviridae, Flaviviridae dan Bunyiviridae. Gambaran Klinis • Masa inkubasi ensefalitis antara 4 dan 21 hari. • Penyakit timbul tiba – tiba diserai nyeri kepala yang hebat, menggigil dan demam, mual dan muntah, nyeri di seluruh tubuh dan malaise. • Dalam 24 – 48 jam, timbul rasa sangat mengantuk dan penderita dapat mengalami stupor. Sering terjadi kaku kuduk. Kekacauan mental, disartria, tremor, kejang dan koma timbul pada kasus – kasus yang berat.
ENSEFALITIS PARA-INFEKSIOSA
Ensefalitis yang timbul sebagai komplikasi penyakit virus parotitis epidemika,mononukleosis infeksiosa, varisela dan herpes zooster dinamakan en sefalitis parainfeksiosa. Tetapi ensefalitis ini sebenarnya tidak murni. Gejala-gejala meningitis, mielitis, neuritis kranialis, radikulitis dan neuritis perifer dapat bergandeng dengan gambaran penyakit ensefalitis. Bahkan tidak jarang komplikasi utamanya berupa radikulitis jenis Guillain Barre atau meilitis transversa sedangkan manifestasi ensefalitisnya sangat ringan dan tidak berarti. Maka untuk beberapa jenis ensefalitis parainfeksiosa, diagnosis mielo- ensefalitis lebih tepat daripada ensefalitis. Salah satu jenisensefalitis viral yang fatal perlu disinggung dibawah ini, yaitu rabies. Rabies
Rabies disebabkan oleh virus neurotrop yang ditularkan kepada manusia melalui gigitan anjing atau binatang apapun yang mengandung virus rabies. Setelah virus melakukan penetrasi kedalam sel tuan rumah, ia dapat menjalar melalui serabut saraf perifer ke susunan saraf pusat. Sel-sel saraf (neuron) sangat peka terhadap virus tersebut. Dan sekali neuron terkena infeksi virus rabies proses infeksi itu tidak dapat dicegah lagi. Dan tahap viremia tidak perlu dilewati untuk memperluas infeksi dan memperburuk keadaan, neuron-neuron diseluruh susunan saraf pusat dari medulla spinalis sampai di korteks tidak bakal luput dari daya destruksi virus rabies. Masa inkubasi rabies ialah beberapa minggu sampai beberapa bulan. Jika dalam masa itu dapat diselenggarakan pencegahan supaya virus rabies tidak di neuron-neuron maka kematian dapat dihindarkan. Jika gejala-gejala prodromal sudah bangkit tidak ada cara pengobatan yang dapat mengelakkan progresivitas perjalanan penyakit yang fatal dan menyedihkan ini. Gejala-gejala prodromalnya terdiri dari lesu dan letih badan, anoreksia, demam, cepat marahmarah dan nyeri pada tempat yang telah digigit anjing. Suara berisik dan sinar terang sangat mengganggu penderita. Dalam 48 jam dapat bangkit gejala-gejala hipereksitasi. Penderita menjadi gelisah, mengacau, berhalusinasi meronta-ronta, kejang op istotonus dan hidrofobia. Tiap kali ia melihat air, otot-otot pernafasan dan laring kejang, sehingga ia menjadi sianotik dan apnoe. Air liur tertimbun didalam mulut oleh karena penderita tidak dapat menelan. Pada umumnya penderita meninggal karena status epilep tikus. Masa penyakit dari mula-timbulnya prodromal sampai mati adalah 3 sampai 4 hari saja. Manifestasi Klinis
Bentuk khas ensefalitis : bentuk ini mulai secara b ertahap, gejala awal nyeri kepala ringan, demam, gejala ISPA atau gastrointestinal selama beberapa hari. muncul tanda radang SSP (kaku kuduk, tanda Kernig positif, gelisah, lemah dan sukar tidur). Defisit neurologik yang timbul bergantung pada tempat kerusakan. Penurunan kesadaran men yebabkan koma, dapat terjadi kejang fokal atau umum, hemiparesis, gangguan koordinasi, kelainan kepribadian, disorientasi, gangguan bicara, dan gangguan mental. Gejala trias ensefalitis: demam, kejang dan kesadaran menurun. Gejala klinis: bersifat akut/sub akut, yaitu demam, nyeri kepala, gejala psikiatrik, kejang, muntah, kelemahan otot fokal, hilangnya memori,gangguan status mental, fotofobia, kelainan gerakan. Pada neonatus: gejala
tampak usia 4-11 hari, yaitu letargik, malas minum, iritabel, dan kejang. Tanda klinik: gangguan kesadaran, demam, disfasia, ataxia, kejang fokal-general, hemiparesis, gangguan saraf otak, hilangnya lapangan pandang dan papil edema. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium : a. Pungsi lumbal : CSS jernih, jumlah sel 20-500 / ml, kadang-kadang bisa mencapai 2000/lebih. Kadar protein meningkat sampai 80-100 mg%, sementara kadar glukosa dan klorida normal. b. Darah Pemeriksaan pelengkap a. Isolasi virus : identifikasi mikroorganisme penyebabnya (terutama virus). b. Serologi : dalam membuat diagnosis perlu untuk menentukan kenaikan titer antibodi spesifik selama infeksi c. EEG : Perubahan tidak spesifik menyeluruh. Gambaran melambatnya aktivitas otak. d. CT scan kepala dan MRI : CT scan : perubahan parenkimal, odem otak dan daerah lesi yang densitasnya berbeda dengan parenkim otak. CT scan berguna untuk menunjukkkan adanya komplikasi (perdarahan, hidrocephalus, atau herniasi). MRI lebih sensitive daripada CT scan dalam mengidentifikasi ensefalitis virus. Kriteria Diagnosis
Penegakkan diagnosis berdasarkan anamnesis yang cermat, pemeriksaan fisik, laboratorium dan penunjang yang dilakukan. a. Panas tinggi, nyeri kepala hebat, kaku kuduk, stupor, koma, kejang dan gejalagejala kerusakan SSP b. Pada pemeriksaan cairan serebro spinal (CSS) terdapat pleocytosis dan sedikit peningkatan protein c. Isolasi virus dari darah, CSS atau spesimen post mortem (otak dan darah) Identifikasi serum antibodi dilakukan dengan 2 spesimen yang diperoleh dalam 3- 4 minggu secara terpisah Diagnosis Banding
a. Meningitis bakterial b. Stroke c. Tumor otak d. Abses ekstradural e. Abses subdural Infiltrasi neoplasma g. Trauma kepala pada daerah epidemi h. Ensefalopati i. Sindrom Reye
Penatalaksanaan Farmakologis
1. Mengatasi kejang → Fenobarbital 5-8 mg/kgBB/24 jam. Jika kejang sering terjadi, perlu diberikanDiazepam (0,1-0,2 mg/kgBB) IV, dalam ben tuk infus selama 3 menit. 2. Memperbaiki homeostatis : infus cairan D5 - 1/2 S atau D5 - 1/4 S (tergantung umur) dan pemberian oksigen. 3. Mengurangi edema serebri dan akibat yang ditimbulkan oleh anoksia serebrim : Deksametason 0,15-1,0 mg/kgBB/hari i.v dibagi dalam 3 dosis. 4. Menurunkan tekanan intracranial : Manitol diberikan intravena dengan dosis 1,5-2,0 g/kgBB selama 30-60 menit, diulang setiap 8-12 jam.Gliser ol, melalui pipa nasogastrik, 0,5-1,0 ml/kgbb diencerkan dengan dua bagian sari jeruk, dapat diulangi setiap 6 jam untuk waktu lama 5. Pengobatan kausatif. Sebelum berhasil menyingkirkan etiologi bakteri diberikan antibiotik parenteral. Pengobatan untuk ensefalitis karena infeksi virus herpes simplek Acyclovir intravena, 10 mg/kgbb sampai 30 mg/kgbb per hari selama 10 hari. Non farmakologis
1. Fisioterapi dan upaya rehabilitative 2. Makanan tinggi kalori protein Komplikasi
a. Susunan saraf pusat : kecerdasan, motoris, psikiatris, epileptik, penglihatan dan pendengaran b. Sistem kardiovaskuler, intraokuler, paru, hati dan sistem lain dapat terlibat secara menetap c. Gejala sisa berupa defisit neurologik (paresis/paralisis, pergerakan koreoatetoid), hidrosefalus maupun gangguan mental sering terjadi. d. Komplikasi pada bayi biasanya berupa hidrosefalus, epilepsi, retardasi mental karena kerusakan SSP berat
Prognosis
Prognosis sukar diramalkan tergantung pada kecepatan dan ketepatan pertolongan dan penyulit yang muncul. 1. Sembuh tanpa gejala sisa 2. Sembuh dengan gangguan tingkah laku/gangguan mental 3. Kematian bergantung pada etiologi penyakit dan usia penderita
Meningoensefalitis Definisi
Merupakan gabungan dari meningitis dan ensefalitis Etiologi
•
Infeksi bakteri
•
Infeksi virus
•
Infeksi jamur
Meningoensefalitis yang disebabkan oleh infeksi bakteri, Meningoensefalitis Tuberculosis
•
Definisi
–
•
Etiologi
– •
•
Peradangan pada meningen dan otak yangg disebabkan oleh mikobakterium tuberculosis.
Organisme ini membutuhkan waktu 15-20 jam untuk berkembang biak dan menyebar.
Faktor Resiko
–
Fraktur kepala terbuka
–
Sinusitis
–
Otitis
–
Mastoiditis
–
Tuberkulosis
–
HIV
Diagnosis
–
Demam tinggi
–
Sakit kepala yg hebat
–
Mual & muntah
–
Gejala ensefalitisnya, demam, sakit kepala, muntah, penglihatan sensitif terhadap cahaya, kaku kuduk, pusing -
CT scan : pada meningitis kronik, hiperdensitas ruang subaraknoid.
-
Penatalaksanaan o
TIK kepala di tinggikan, manitol 0,25 – 1 gr/kg IV
o
Kejang diazepam 0,25 – 0,5 mg/ IV
o
Nonfarmako : -mencegah komplikasi/trauma -memberi dukungan emosional pd pasien & keluarga -memberi informasi ttgt penyakit, prognosis, dan pengobatan
Meningoensefalitis yang disebabkan oleh infeksi virus, Meningoensefalitis Virus
•
•
•
Penyebabnya :
–
Mumps
–
Rubella
–
HSV
–
CMV
Manifestasi klinis
–
Gejala umum : demam, mual-muntah, malaise
–
Gejala ensofalopati : gangg.kesadaran, kejang, defisit neurologis, nistagmus, anisokor, papiledam
Diagnosis :
–
Px. fisik
–
Px. Neurologi
–
Px. CSS
•
Talaksana
–
•
Demam asetaminofen/paracetamol 10 – 15 mg/kgBB/x 4-5/hari, ibuprofen 510mg/kg/x 3-4x/hr
Prognosis
–
Tergantung dari :
•
umur penderita
• berat ringannya infeksi •
lama sakit sebelum pengobatan
•
adanya penyulit penanganan atau tidak
ABSES CEREBRI Definisi
Abses otak adalah suatu proses infeksi dengan pernanahan yang terlokalisir diantara jaringan otak yang disebabkan oleh berbagai macam variasi bakteri, fungus dan protozoa.
Epidemiologi
Abses otak dapat terjadi pada berbagai kelompok usia, namun paling sering terjadi pada anak berusia 4 sampai 8 tahun. Penyebab abses otak yaitu, embolisasi oleh penyakit jantung kongenital dengan pintas atrioventrikuler (terutama tetralogi fallot), meningitis, otitis media kronis dan mastoiditis, sinusitis, infeksi jaringan lunak pada wajah ataupun scalp, status imunodefisiensi dan infeksi pada pintas ventrikuloperitonial (VP-Shunt). Patogenesis abses otak tidak begitu dimengerti pada 10-15% kasus. Walaupun teknologi kedokteran diagnostik dan perkembangan antibiotika saat ini telah mengalami kemajuan, namun rate kematian penyakit abses otak masih tetap tinggi, yaitu sekitar 10-60% atau rata-rata 40%. Penyakit ini sudah jarang dijumpai terutama di negara-negara maju, namun karena resiko kematiannya sangat tinggi, abses otak termasuk golongan penyakit infeksi yang mengancam kehidupan masyarakat (life threatening infection). Menurut Britt, Richard et al., penderita abses otak lebih banyak dijumpai pada laki-laki daripada perempuan dengan perbandingan 3:1 yang umumnya masih usia produktif yaitu sekitar 20-50 tahun. Yang SY menyatakan bahwa kondisi pasien sewaktu masuk rumah sakit merupakan faktor yang sangat mempengaruhi rate kematian. Jika kondisi pasien buruk, rate kematian akan tinggi.
Hasil penelitian Xiang Y Han (The University of Texas MD. Anderson Cancer Center Houston Texas) terhadap 9 penderita abses otak yang diperolehnya selama 14 tahun (19892002), menunjukkan bahwa jumlah penderita laki-laki > perempuan dengan perbandingan 7:2, berusia sekitar 38-78 tahun dengan rate kematian 55%. Demikian juga dengan hasil penelitian Hakim AA. Terhadap 20 pasien abses otak yang terkumpul selama 2 tahun (1984-1986) dari RSUD Dr Soetomo Surabaya, menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda, dimana jumlah penderita abses otak pada laki-laki > perempuan dengan perbandingan 11:9, berusia sekitar 5 bulan-50 tahun dengan angka kematian 355 (dari 20 penderita, 7 meninggal).
Etiologi dan Faktor Predisposisi
Berdasaran bakteri penyebab, maka etiologi dari abses otak dapat dibagi menjadi: 1. Organisme aerobik:
Gram positif : Streptokokus, Stafilokokus, Pneumokokus
Gram negatif : E. coli, Hemophilus influenza, Proteus, Pseudomonas
2. Organisme anaerobik: B. fragilis, Bacteroides sp, Fusobacterium sp, Prevotella
sp,
Actinomyces sp, dan Clostridium sp. 3. Fungi : Kandida, Aspergilus, Nokardia 4. Parasit : E. histolytica, Schistosomiasis, Amoeba
Sebagian besar abses otak berasal langsung dari penyebaran infeksi telinga tengah, sinusitis (paranasal, ethmoidalis, sphenoidalis dan maxillaries).
Abses otak dapat timbul akibat penyebaran secara hematogen dari infeksi paru sistemik (empyema, abses paru, bronkiektase, pneumonia), endokarditis bakterial akut dan subakut dan pada penyakit jantung bawaan Tetralogi Fallot (abses multiple, lokasi pada substansi putih dan abu dari jaringan otak). Abses otak yang penyebarannya secara hematogen, letak absesnya sesuai dengan peredaran darah yang didistribusi oleh arteri cerebri media terutama lobus parietalis, atau cerebellum dan batang otak. Dapat juga timbul akibat trauma tembus pada kepala atau trauma pasca operasi. Abses dapat juga dijumpai pada penderita penyakit immunologik seperti AIDS, penderita penyakit kronis yang mendapat kemoterapi/steroid yang dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh. 20-37% penyebab abses otak tidak diketahui. Penyebab abses yang jarang dijumpai, osteomyelitis tengkorak, sellulitis, erysipelas wajah, abses tonsil, pustule kulit, luka tembus pada tengkorak kepala, infeksi gigi luka tembak di kepala, septikemia. Berdasarkan sumber infeksi dapat ditentukan lokasi timbulnya abses di lobus otak. Infeksi sinus paranasal dapat menyebar secara retrograde thrombophlebitis melalui klep vena diploika menuju lobus frontalis atau temporal. Bentuk absesnya biasanya tunggal, terletak superficial di otak, dekat dengan sumber infeksinya. Sinusitis frontal dapat juga menyebabkan abses di bagian anterior atau inferior lobus frontalis. Sinusitis sphenoidalis dapat menyebakan abses pada lobus frontalis atau temporalis. Sinusitis maxillaris dapat menyebabkan abses pada lobus temporalis. Sinusitis ethmoidalis dapat menyebabkan abses pada lobus frontalis. Infeksi pada telinga tengah dapat pula menyebar ke lobus temporalis. Infeksi pada mastoid dan kerusakan tengkorak kepala karena kelainan bawaan seperti kerusakan tegmentum timpani atau kerusakan tulang temporal oleh kolesteatoma dapat menyebar ke dalam serebelum. Faktor predisposisi dapat menyangkut host, kuman infeksi atau faktor lingkun gan :
1. Faktor tuan rumah (host) Daya pertahanan susunan saraf pusat untuk menangkis infeksi mencakup kesehatan umum yang sempurna, struktur sawar darah otak yang utuh dan efektif, aliran darah ke otak yang adekuat, sistem imunologik humoral dan selular yang berfungsi sempurna. 2. Faktor kuman Kuman tertentu cendeerung neurotropik seperti yang membangkitkan meningitis bacterial akut, memiliki beberapa faktor virulensi yang tidak bersangkut paut dengan faktor pertahanan host. Kuman yang memiliki virulensi yang rendah dapat menyebabkan infeksi di susunan saraf pusat jika terdapat ganggguan pada sistem limfoid atau retikuloendotelial. 3. Faktor lingkungan Faktor tersebut bersangkutan dengan transisi kuman. Yang dapat masuk ke dalam tubuh melalui kontak antar individu, vektor, mela ui air, atau udara.
Histopatologi
Abses Piogenis disebabkan bakteri. Jaringan otak rentan terhadap infeksi dan tidak mempunyai mekanisme pertahanan yang baik, pembentukan kapsul kolagen merupakan respons yang terpenting dalam membatasi penyebaran abses. Untuk terjadinya abses otak harus ada daerah yang nekrosis terlebih dahulu dalam jaringan otak. Pada penderita meningitis bakteri tidak selalu terjadi abses otak, hal ini dipengaruhi oleh faktor-faktor:
1. Virulensi bakteri Komponen permukaan subkapsular bakteri (dinding sel dan lipopolisakarida) memegang peranan yang penting untuk timbulnya radang di selaput otak dan memperluas daerah yang nekrosis ke dalam jaringan otak. Bakteri pneumokokus mempunyai dua polimer dinding sel (peptidoglikan dan asam trikoik fosfat ribitol) menyebabkan timbulnya keradangan. H. influenza mempunyai kapsul lipopolisakarida, bila terjadi inokulasi ke dalam iintrasisternal memnyebabkan radang dan merusak sawar darah otak. 2. Rusaknya sawar darah otak Hanya bakteri tertentu yang bias merusak sawar darah otak. Kerusakan sawar darah otak menimbulkan eksudasi albumin yang mempercepat timbulnya edema otak, dengan kerusakan sel endotel dan mikrovaskuler otak.
3. Imunopatologis Satu sampai 3 jam setelah inokulasi lipopolisakarida terjadi pelepasan secara cepat dari TNF (Tumor Necrotic Factor ), Interleukin-1, dan Interleukin-2 ke dalam CSS, menyebabkan neutrofil melekat pada epitel serta merangsang sel-sel di susunan saraf pusat (astroglia, endotel, dan makrofag selaput otak) untuk melepaskan sitokin. Sitokin diekskresikan dan merusak sawar darah otak. Kondisi imunologis penderita yang kurang baik akan mempercepat terjadinya proses peradangan di jaringan otak.
Abses disebabkan jamur
Abses yang disebabkan jamur umumnya merupakan abses metastatik. Awalnya akan tampak invasi vaskular oleh jamur, disusul thrombosis sekunder dan infark otak. Hal ini menyerupai abses piogenik, dimana di dalam bagian nekrotik terdapat sel radang, makofag, fibroblast, dan sel besar berinti banyak terisi jamur yang telah difagosit.
Abses disebabkan parasit Amoeba menyebabkan terjadinya pusat nekrotik yang berisi debris dan terutama sel mononuclear, dikelilingi kongesti vaskular, nekrosis jaringan saraf dan sel limfotik, sel plasma dan mononuklear lain, disini pembentukan kapsul tidak ada atau hanya sedikit serta dapat ditemukannya kista dan trofozoit. Toksoplasma dapat menyebabkan ensefalitis, abses, dan granuloma dengan atau tanpa pusat nekrotik.
Abses otak dapat terjadi akibat penyebaran perkontinuitatum dari fokus infeksi di sekitar otak maupun secara hematogen dari tempat yang jauh, atau secara langsung seperti trauma kepala dan operasi kraniotomi. Abses yang terjadi oleh penyebaran hematogen dapat pada setiap bagian otak, tetapi paling sering pada pertemuan substansia alba dan grisea; sedangkan yang perkontinuitatum biasanya berlokasi pada daerah dekat permukaan otak pada lobus tertentu. Pada tahap awal AO terjadi reaksi radang yang difus pada jaringan otak dengan infiltrasi lekosit disertai edema, perlunakan dan kongesti jaringan otak, kadang-kadang disertai bintik perdarahan. Setelah beberapa hari sampai beberapa minggu terjadi nekrosis dan pencairan pada pusat lesi sehingga membentuk suatu rongga abses. Astroglia, fibroblas dan makrofag mengelilingi jaringan yang nekrotik. Mula-mula abses tidak berbatas tegas tetapi lama kelamaan dengan fibrosis yang progresif terbentuk kapsul dengan dinding yang konsentris. Tebal kapsul
antara beberapa milimeter sampai beberapa sentimeter. Beberapa ahli membagi perubahan patologi AO dalam 4 stadium yaitu : 1) Stadium serebritis dini ( Early Cerebritis) Terjadi reaksi radang lokal dengan infiltrasi polymofonuklear leukosit, limfosit dan plasma sel dengan pergeseran aliran darah tepi, yang dimulai pada hari pertama dan meningkat pada hari ke 3. Sel-sel radang terdapat pada tunika adventisia dari pembuluh darah dan mengelilingi daerah nekrosis infeksi. Peradangan perivaskular ini disebut cerebritis. Saat ini terjadi edema di sekita otak dan peningkatan efek massa karena pembesaran abses. 2) Stadium serebritis lanjut ( Late Cerebritis) Saat ini terjadi perubahan histologis yang sangat berarti. Daerah pusat nekrosis membesar oleh karena peningkatan acellular debris dan pembentukan nanah karena pelepasan enzim-enzim dari sel radang. Di tepi pusat nekrosis didapati daerah sel radang, makrofag-makrofag besar dan gambaran fibroblas yang terpencar. Fibroblas mulai menjadi retikulum yang akan membentuk kapsul kolagen. Pada fase ini edema otak menyebar maksimal sehingga lesi menjadi sangat besar 3)
Stadium pembentukan kapsul dini ( Early Capsule Formation) Pusat nekrosis mulai mengecil, makrofag menelan acellular debris dan fibroblast meningkat dalam pembentukan kapsul. Lapisan fibroblast membentuk anyaman reticulum mengelilingi pusat nekrosis. Di daerah ventrikel, pembentukan dinding sangat lambat oleh karena kurangnya vaskularisasi di daerah substansi putih dibandingkan substansi abu. Pembentukan kapsul yang terlambat di permukaan
tengah memungkinkan abses membesar ke dalam substansi putih. Bila abses cukup besar, dapat robek ke dalam ventrikel lateralis. Pada pembentukan kapsul, terlihat daerah anyaman reticulum yang tersebar membentuk kapsul kolagen, reaksi astrosit di sekitar otak mulai meningkat. 4) Stadium pembentukan kapsul lanjut ( Late Capsule Formation) Pada stadium ini, terjadi perkembangan lengkap abses dengan gambaran histologis sebagai berikut:
Bentuk pusat nekrosis diisi oleh acellular debris dan sel-sel radang.
Daerah tepi pusat nekrosis terdiri dari sel radang, makrofag, dan fibroblast.
Kapsul kolagen yang tebal.
Lapisan neurovaskular sehubungan dengan serebritis yang be rlanjut.
Reaksi astrosit, gliosis, dan edema otak di luar kapsul.
Abses dalam kapsul substansia alba dapat makin membesar dan meluas ke arah ventrikel sehingga bila terjadi ruptur, dapat menimbulkan me ningitis. Infeksi jaringan fasial, selulitis orbita, sinusitis etmoidalis, amputasi meningoensefalokel nasal dan abses apikal dental dapat menyebabkan AO yang berlokasi pada lobus frontalis. Otitis media, mastoiditis terutama menyebabkan AO lobus temporalis dan serebelum, sedang abses lobus parietalis biasanya terjadi secara hematogen.
Respon Imunologik pada Abses Otak.
Setelah kuman telah menerobos permukaan tubuh, kemudian sampai ke susunan saraf pusat melalui lintasan-lintasan berikut. Kuman yang bersarang di mastoid dapat menjalar ke otak
perkuntinuitatum. Invasi hematogenik melalui arteri intraserebral merupakan penyebaran ke otak secara langsung. Ada penjagaan otak khusus terhadap bahaya yang datang melalui lintasan hematogen, yang dikenal sebagai sawar darah otak atau blood brain barrier . Pada toksemia dan septicemia, sawar darah otak terusak dan tidak lagi bertindak sebagai sawar khusus. Infeksi jaringan otak jarang dikarenakan hanya bakterimia saja, oleh karena jaringan otak yang sehat cukup resisten terhadap infeksi. Kuman yang dimasukkan ke dalam otak secara langsung pada binatang percobaan ternyata tidak membangkitkan abses sereebri/ abses otak, kecuali apabila jumlah kumannya sangat besar atau sebelum inokulasi intraserebral telah diadakan nekrosis terlebih dahulu. Walaupun dalam banyak hal sawar darah otak sangat protektif, namun ia menghambat penetrasi fagosit, antibodi dan antibiotik. Jaringan otak tidak memiliki fagosit yang efektif dan juga tidak memiliki lintasan pembuangan limfatik untuk pemberantasan infeksi bila hal itu terjadi. Maka berbeda dengan proses infeksi di luar otak, infeksi di otak cenderung menjadi sangat virulen dan destruktif. Unsur
seluler lain dari sistem imunologik, yaitu makrofag membuat prostaglandin,
leukotrin, dan sitokin yang dapat berkomunikasi dengan neuron dan sel glia. Salah satu jenis sitokin adalah Interleukin-1 yang memiliki kemampuan untuk mengubah fungsi T-sel. Zat aktif itu homolog dengan pirogen, yang menjalankan peranan penting dalam regulasi suhu oleh hipotalamus. Kini diperoleh banyak data yang menyatakan bahwa astrosit bersama mikroglia dapat berfungsi seperti makrofag. Dalam artikel yang ditulis oleh Bryan Rock, dkk telah dikemukakan mengenai peranan mikroglia dalam infeksi susunan saraf pusat. Mikroglia sendiri merupakan jaringan saraf yang terdiri atas sel-sel interstisial kecil dan mungkin berasal dari mesoderm.
Mikroglia yang telah teraktivasi akan merilis sejumlah sitokin dan dan kemokin melalui proses parakrin dan autokrin, yang selanjutnya akan bekerjasama melawan infeksi pada susunan saraf pusat. Produk yang telah disekresi oleh microglia juga berkontribusi dalam proses imunologik dan peradangan. Dalam hal ini, diketahui bahwa matrix metalloproteinases (MMPs) berpotensial merusak sawar darah otak, masuknya leukosit ke dalam sistem saraf pusat, dan kerusakan jaringan. MMP sendiri adalah suatu enzim zinc-dependent yang mampu merusak protein, dan sering dijumpai di matriks ekstraseluler.
Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda klinis dari abses otak tergantung kepada banyak faktor, antara lain lokasi, ukuran, stadium dan jumlah lesi, keganasan kuman, derajat edema otak, respons pasien terhadap infeksi, dan juga umur pasien. Bagian otak yang terkena dipengaruhi oleh infeksi primernya. Pada stadium awal gambaran klinik AO tidak khas, terdapat gejala-gejala infeksi seperti demam, malaise, anoreksi dan gejala-gejala peninggian tekanan intrakranial berupa muntah, sakit kepala dan kejang. Dengan semakin besarnya abses otak gejala menjadi khas berupa trias abses otak yang terdiri dari gejala infeksi, peninggian tekanan intrakranial dan gejala neurologik fokal. Manifestasi abses otak sebenarnya didasarkan dengan adanya. 1. Manifestasi peningkatan tekanan intrakranial, berupa sakit kepala, muntah, dan papiledema. 2. Manifestasi supurasi intrakranial berupa iritabel, drowsiness, atau stupor, dan tanda rangsang meningeal. 3. Tanda infeksi berupa demam, menggigil, leukositosis.
4. Tanda local jaringan otak yang terkena berupa kejang, gangguan saraf kranial, afasia, ataksia, paresis.
Abses pada lobus frontalis biasanya tenang dan bila ada gejala-gejala neurologik seperti hemikonvulsi,
hemiparesis,
hemianopsia
homonim
disertai
kesadaran
yang
menurun
menunjukkan prognosis yang kurang baik karena biasanya terjadi herniasi dan perforasi ke dalam kavum ventrikel. Abses lobus temporalis selain menyebabkan gangguan pendengaran dan mengecap didapatkan disfasi, defek penglihatan kwadran alas kontralateral dan hemianopsi komplit. Gangguan motorik terutama wajah dan anggota gerak atas dapat terjadi bila perluasan abses ke dalam lobus frontalis relatif asimptomatik, berlokasi terutama di daerah anterior sehingga gejala fokal adalah gejala sensorimotorik. Abses serebelum biasanya berlokasi pada satu hemisfer dan menyebabkan gangguan koordinasi seperti ataksia, tremor, dismetri dan nistagmus. Abses batang otak jarang sekali terjadi, biasanya berasal hematogen d an berakibat fatal.
Diagnosis
Diagnosis
ditegakkan
berdasarkan
anamnesis,
gambaran
klinik,
pemeriksaan
laboratorium disertai pemeriksaan penunjang lainnya. Selain itu penting juga untuk melibatkan evaluasi neurologis secara menyeluruh, mengingat keterlibatan infeksinya. Perlu ditanyakan mengenai riwayat perjalanan penyakit, onset, faktor resiko yang mungkin ada, riwayat kelahiran, imunisasi, penyakit yang pernah diderita, sehingga dapat dipastikan diagnosisnya.
Pada pemeriksaan neurologis dapat dimulai dengan mengevaluasi status mental, derajat kesadaran, fungsi saraf kranialis, refleks fisiologis, refleks patologis, dan juga tanda rangsang meningeal untuk memastikan keterlibatan meningen. Pemeriksaan motorik sendiri melibatkan penilaian dari integritas sistem musculoskeletal dan kemungkinan terdapatnya gerakan abnormal dari anggota gerak, ataupun kelumpuhan yang sifatnya bilateral atau tunggal. Pada pemeriksaan laboratorium, terutama pemeriksaan darah perifer yaitu pemeriksaan 2,7
lekosit dan laju endap darah; didapatkan peninggian lekosit dan laju endap darah. . Pemeriksaan cairan serebrospinal pada umumnya memperlihatkan gambaran yang normal. Bisa didapatkan kadar protein yang sedikit meninggi dan sedikit pleositosis, glukosa dalam batas normal atau sedikit berkurang. kecuali bila terjadi perforasi dalam ruangan ventrikel. Foto polos kepala memperlihatkan tanda peninggian tekanan intrakranial, dapat pula menunjukkan adanya fokus infeksi ekstraserebral; tetapi dengan pemeriksaan ini tidak dapat diidentifikasi adanya abses. Pemeriksaan EEG terutama penting untuk mengetahui lokalisasi abses dalam hemisfer. EEG memperlihatkan perlambatan fokal yaitu gelombang lambat delta dengan frekuensi 13 siklus/detik pada lokasi abses. Pnemoensefalografi penting terutama untuk diagnostik abses serebelum. Dengan arteriografi dapat diketahui lokasi abses di hemisfer. Saat ini, pemeriksaan angiografi mulai ditinggalkan setelah digunakan pemeriksaan yang relatif noninvasif seperti CT scan. Dan scanning otak menggunakan radioisotop tehnetium dapat diketahui lokasi abses; daerah abses memperlihatkan bayangan yang hipodens daripada daerah otak yang normal dan biasanya dikelilingi oleh lapisan hiperderns. CT scan selain mengetahui lokasi abses juga dapat membedakan suatu
serebritis dengan abses. Magnetic Resonance
Imaging saat ini banyak digunakan, selain memberikan diagnosis yang lebih cepat juga lebih akurat.
Gambar 2.2. Early cerebritis pada CT-Scan (Sumber: http://emedicine.medscape.com )
Gambaran CT-scan pada abses :
Early cerebritis (hari 1-3): fokal, daerah inflamasi dan edema.
Late cerebritis (hari 4-9): daerah inflamasi meluas dan terdapat nekrosis dari zona central inflamasi.
Early capsule stage (hari 10-14): gliosis post infeksi, fibrosis, hipervaskularisasi pada batas pinggir daerah yang terinfeksi.
Pada stadium ini dapat terlihat gambaran ring
enhancement.
Late capsule stage (hari >14): terdapat daerah sentral yang hipodens (sentral abses) yang dikelilingi dengan kontras - ring enhancement (ka psul abses)
Gambar 2. Gambaran CT-Scan Abses Serebi Sumber: Kepustakaan 13
Pemeriksaan CT scan dapat dipertimbangkan sebagai pilihan prosedur diagnostik, dikarenakan sensitifitasnya dapat mencapai 90% untuk mendiagnosis abses serebri. Yang perlu dipertimbangkan adalah walaupun gambaran CT tipikal untuk suatu abses, tetapi tidak menutup kemungkinan untuk didiagnosis banding dengan tumor (glioblastoma), infark, metastasis, hematom yang diserap dan granuloma. Walaupun sukar membedakan antara abses dan tumor (glioblastoma, metastasis) dari CT scan, ada beberapa parameter yang dapat digunakan untuk membedakan keduanya antara lain : umur penderita, ketebalan ring (cicin tipis hanya 3-6 mm) dan biasanya uniform, diameter ring, rasio lesi dan ring. Pada ½ kasus, kapsul bagian medial lebih tipis dari kapsul subkortikal. Hal
ini menunjukkan sedikitnya vaskularisasi dari massa putih dan menjelaskan mengapa abses biasanya berkembang di medial. Abses serebri yang hematogen ditandai dengan adanya fokus infeksi (yang tersering dari paru), lokasi pada daerah yang diperdarahi oleh arteri serebri media di daerah perbatasan massa putih dan abu-abu dengan tingkat mortalitas yang tinggi. Sedangkan gambaran glioblastoma pada CT scan adalah adanya mixed density tumor, ring enhancement yang berlekuk-lekuk disertai perifokal edema yang luas.
Penatalaksanaan
Dasar pengobatan abses otak adalah mengurangi efek massa dan menghilangkan kuman penyebab. Terapi definitif untuk abses melibatkan : 1. Penatalaksanaan terhadap efek massa (abses dan edema) yang dapat mengancam jiwa 2.
Terapi antibiotik dan test sensitifitas dari kultur material abses
3.
Terapi bedah saraf (aspirasi atau eksisi)
4.
Pengobatan terhadap infeksi primer
5.
Pencegahan kejang
6.
Neurorehabilitasi
Penatalaksanaan awal dari abses otak meliputi diagnosis yang tepat dan pemilihan antibiotik didasarkan pada pathogenesis dan organisme yang memungkinkan terjadinya abses. Ketika etiologinya tidak diketahui, dapat digunakan kombinasi dari sefalosporin generasi ketiga dan metronidazole.
Jika terdapat riwayat cedera kepala dan komplikasi pembedahan kepala, maka dapat digunakan kombinasi dari napciline atau vancomycine dengan sephalosforin generasi ketiga dan juga metronidazole. Antibiotik terpilih dapat digunakan ketika hasil kultur dan tes sentivitas telah tersedia.
Tabel 2.1 Prinsip Pemilihan Antibiotik pada Abses Otak Etiologi
Antibiotik
Infeksi bakteri gram negatif,
Meropenem
bakteri anaerob, stafilokokkus dan streptokokkus Penyakit jantung sianotik
Penissilin dan metronidazole.
Post VP-Shunt
Vancomycin dan ceptazidine
Otitis
media,
sinusitis,
atau
Vancomycin
mastoiditis Infeksi meningitis citrobacter
Sefalosporin generasi ketiga, yang secara umum dikombinasikan dengan terapi aminoglikosida
Pada abses yang terjadi akibat trauma penetrasi, cedera kepala, atau sinusitis dapat diterapi dengan kombinasi dengan napsiline atau vancomycin, cefotaxime atau cetriaxone dan juga metronidazole. Monoterapi dengan meropenem terbukti baik melawan bakteri gram negatif, bakteri anaerob, stafilokokkus dan streptokokkus dan menjadi pilihana alternatif.
Pada abses yang terjadi akibat penyakit jantung sianotik dapat diterapi dengan penissilin dan metronidazole. Abses yang terjadi akibat ventrikuloperitoneal shunt dapat diterapi dengan vancomycin dan ceptazidine. Jika otitis media, sinusitis, sinusitis, atau mastoidits mastoidits yang menjadi penyebab dapat digunakan vancomycin karena strepkokkus pneumonia telah resisten terhadap penissilin. Jika meningitis citrobacter, yang merupakan bakteri utama pada abses local, dapat digunakan sefalosporin generasi ketiga, yang secara umum dikombinasikan dengan terapi aminoglikosida. Pada pasien dengan immunocompromised digunakan antibiotik yang berspektrum luas dan dipertimbangkan pula terapi amphoterids.
Tabel 2.2 Dosis dan Cara Pemberian Pembe rian Antibiotik pada Abses Otak Drug Dose
Cefotaxime (Claforan)
Frekwensi dan rute
50-
2-3 kali per hari,
100 mg/KgBBt/Hari
IV
Ceftriaxone (Rocephin)
2-3 kali per hari,
50-100 mg/KgBBt/Hari
IV
Metronidazole (Flagyl)
3 kali per hari,
35-50 mg/KgBB/Hari
IV
Nafcillin (Unipen, (Unipen, Nafcil) Nafcil)
setiap 4 jam,
2 grams
IV
Vancomycin
setiap 12 jam,
15 mg/KgBB/Hari
IV
Kebanyakan studi klinis menunjukkan bahwa penggunaan steroid dapat mempengaruhi penetrasi antibiotik tertentu dan dapat menghalangi pembentukan kapsul abses.
Tetapi
penggunaannya dapat dipertimbangkan pada kasus-kasus kasu s-kasus dimana terdapat risiko potensial dalam peningkatan tekanan intrakranial.
Dosis yang dipakai 10 mg dexamethasone setiap 6 jam
intravenous, dan ditapering dalam 3-7 hari. Pada penderita ini, kortikosteroid diberikan dengan pertimbangan adanya tekanan intrakranial yang meningkat, papil edema dan gambaran edema yang luas serta midline shift pada shift pada CT scan. Kortikosteroid diberikan dalam 2 minggu setelah itu di tap-off, dan terlihat bahwa berangsur-angsur sakit kepala berkurang dan pada pemeriksaan nervus optikus hari XV tidak didapatkan papil edema. Penatalaksanaan secara bedah pada abses otak dipertimbangkan dengan menggunakan CT-Scan, yang diperiksa secara dini, untuk mengetahui tingkatan peradangan, seperti cerebritis atau dengan abses yang multipel. Terapi optimal dalam mengatasi abses serebri adalah kombinasi antara antimikrobial dan tindakan bedah.
Pada studi terakhir, terapi terapi eksisi dan drainase abses melalui melalui kraniotomi
merupakan prosedur pilihan.
Tetapi pada center-center tertentu lebih dipilih penggunaan
stereotaktik aspirasi atau MR-guided aspiration aspiration and biopsy. Tindakan aspirasi biasa dilakukan pada abses multipel, abses batang otak dan pada lesi yang lebih luas digunakan eksisi. Pada beberapa keadaan terapi operatif tidak banyak menguntungkan, seperti: small seperti: small deep abscess, multiple abscess dan early cerebritic stage. stage. Kebanyakan studi menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna diantara penderita yang mendapatkan terapi konservatif ataupun dengan terapi eksisi dalam mengurangi risiko kejang. Pada penderita ini direncanakan untuk dilakukan operasi kraniotomi mengingat proses desak ruang yang cukup besar guna mengurangi efek massa baik oleh edema maupun abses itu
sendiri, disamping itu pertimbangan ukuran abses yang cukup besar, tebalnya kapsul dan lokasinya di temporal. Antibiotik mungkin dapat digunakan tersendiri, seperti pada keadaan abses berkapsul dan secara umum jika luas lesi yang menyebabkan sebuah massa yang berefek terjadinya peningkatan tekanan intrakranial. Namun, harus ditatalaksanakan dengan kombinasi antibiotik dan aspirasi abses. Pembedahan secara eksisi pada abses otak jarang digunakan, karena prosedur ini dihubungkan dengan tingginya angka morbiditas jika dibandingkan dengan teknik aspirasi. Indikasi pembedahan adalah ketika abses berdiameter lebih dari 2,5 cm, adanya gas di dalam abses, lesi yang multiokuler, dan lesi yng terletak di fosa posterior, atau jamur yang berhubungan dengan proses infeksi, seperti mastoiditis, sinusitis, dan abses periorbita, dapat pula dilakukan pembedahan drainase. Terapi kombinasi antibiotik bergantung pada organisme dan respon terhadap penatalaksanaan awal. Tetapi, efek yang nyata terlihat 4-6 minggu. Penggunaan antikonvulsan dipengaruhi juga oleh lokasi abses dan posisinya terhadap korteks.
Oleh karena itu kapan antikonvulsan dihentikan tergantung dari kasus per kasus
(ditetapkan berdasarkan durasi bebas kejang, ada tidaknya abnormalitas pemeriksaan neurologis, EEG dan neuroimaging). Pada penderita ini diberikan fenitoin oral, mengingat penderita sudah mengalami kejang dengan frekuensi yang cukup sering. Penghentian antikonvulsan ini ditetapkan berdasarkan perkembangan klinis penderita selanjutnya.
Diagnosa Banding
Sebagai suatu lesi desak ruang ( space-occupying lesion), abses otak dapat bermanifestasi klinis hampir sama dengan suatu neoplasma maupun hematoma subdural. Oleh karena itu, diperlukan teknik diagnosa yang menyeluruh agar terapi yang diberikan menjadi tepat.
Tabel 2.3 Perbedaan Abses dan Tumor berdasarkan Neuroimaging ABSCESS Wall
TUMOUR
Smooth, thin, regular
Thick , irregular
Thinner on inner aspect
Thinner on outer aspect
Nodularity
If present, on inner border
outer border
T1
Hyperintense rim.
T2
Hypointense rim.
Meningeal enhancement
Favours
not seen.
Diffusion imaging
High signal
low signal
Perfusion imaging.dynamic
normal signal due to collagen and fibrosis in wall
Low signal due high capillary density in tumour.
Sumber: Kepustakaan no. 16
Komplikasi
Abses otak menyebabkan kecacatan bahkan kematian. Adapun komplikasinya adalah: 1. Robeknya kapsul abses ke dalam ventrikel atau ruang subarachnoid 2. Penyumbatan cairan serebrospinal yang menyebabkan hidrosefalus
3. Edema otak 4. Herniasi oleh massa Abses otak
Prognosis
Angka kematian yang dihubungkan dengan abses otak secara signifikan berkurang, dengan perkiraan 5-10% didahului CT-Scan atau MRI dan antibiotik yang tepat, serta manajemen pembedahan merupakan faktor yang berhubungan dengan tingginya angka kematian, dan waktu yang mempengaruhi lesi, abses mutipel, kesadaran koma dan minimnya fasilitas CTScan. Angka harapan yang terjadi paling tidak 50% dari penderita, termasuk hemiparesis, kejang, hidrosefalus, abnormalitas nervus kranialis dan masalah-masalah pembelajaran lainnya. Prognosis dari abses otak ini tergantung dari: 1) Cepatnya diagnosis ditegakkan 2) Derajat perubahan patologis 3) Soliter atau multipel 4) Penanganan yang adekuat. Dengan alat-alat canggih dewasa ini AO pada stadium dini dapat lebih cepat didiagnosis sehingga prognosis lebih baik. Prognosis AO soliter lebih baik dan mu1tipel. Defisit fokal dapat membaik, tetapi keajng dapat menetap pada 50% penderita.
Interpretasi Kasus 4 Tn. Parto, 30 tahun
KU
RPS
Kejang
•
Terjadi di seluruh tubuh, berlangsung selama 3 menit,
RPD
Sakit kepala
Obat sakit kepala
Pecandu narkoba
hebat seperti
yang dibeli di
suntik
ditusuk & terus
warung (-)
menerus di
sembuh
seluruh kepala .
saat kejang tidak sadar
RPO
•
Kaku di leher belakang
•
Hipotesis
suntik secara bergantian dengan teman Memakai narkoba
BB turun drastis
Infeksi SSP
Memakai jarum
o
Meningoensefalitis
o
Meningitis
o
Ensefalitis HIV wasting sindrom , Infeksi Oportunistik
sejak 10 tahun
Pemeriksaan Fisik
Kesadaran : Dellirium
Vital sign: TD: 120/80 mmHg (N)
Pemeriksaan Neurologis
Pemeriksaan Lab
•
GCS: E4V2M6 = 12 = somnolen
•
Motorik: hemiparesis (-), normotonus, normotrofi
•
•
HR: 100 bpm (N: 60-100
bpm) RR: 20 bpm (N: 16-24
bpm)
•
T: 37,5° C (N:36,7-
37,8°C) Tatto (+) hampir seluruh
tubuh
Needle track (+)
Mata: RCL/RCTL ++/++, papil edema (-) Mulut: Leukoplakia (+),
oral thrush (+) KGB: tidak teraba
membesar
•
•
Refleks fisio: biceps/triceps (+) normal & patella/achilles (+) normal
Hb: 12,4 g/dL (L:13-16 // P:12-14) Ht: 42% (L:40-48% // P:37-43%)
•
MCV: 60% (80-95 fL)
•
Leukosit: 4500/mm3 (n: 4500-10000/mm3)
•
Trombosit: 240.000/mm3
Refleks patologis babinski (-)
(n:150.000450.000/mm3)
Meningeal sign kaku kuduk (+) Brudzinsky 1 (+)
•
kernig (+)
•
Diff count: 0/0/0/63/24/13 GDS: 98 mg/dL (70-110 mg/dL)
Brudzinsky 2 (+)
•
GDS pasien DBN.
•
Px. Tinta india: kriptokokus (+)
Diagnosis
•
CT scan: edema difus serebri
Meningoensefalitis e.c kriptokokkus
Penatalaksanaan
•
Manitol IV 4 x 125 cc
•
Ranitidin 2 x 1 ampul
•
Flukonazol 200 mg
Pada perawatan hari ke 6,
•
Western blot: HIV (+)
Prognosis
pasien masih mual muntah Dubia et malam Perawatan hari ke 7, pasien meninggal
Keluhan Utama
•
Kejang di seluruh tubuh
Ada gangguan muatan listrik berlebih, generalisata ggn mengaktivasi kedua hemisfer secara bersamaan.
•
Kejang berlangsung 3 menit, saat kejang ia tidak sadar.
Gangguan impuls di hemisfer otak mengganggu neuron pengemban kewaspadaan di korteks cerebri shg mengganggu jalannya impuls untuk kesadaran Riwayat Penyakit Sekarang
•
Sakit kepala hebat seperti ditusuk & terus menerus di seluruh kepala
Curiga ada massa atau gangguan (infeksi) di otak menekan jar. sekitar nyeri Salah satu gejala dari TTIK.
•
Kaku di leher belakang
Massa di suatu bagian otak menekan meningen shg timbul kaku leher / kaku kuduk. Curiga ada infeksi meningen, mengiritasi meningen sehingga timbul gejala.
BB turun drastic Wasting syndrome HIV/AIDS, dimana pd penderita AIDS, nutrisi tubuh berkurang k arena diambil oleh mikroorganisme baik untuk replikasi virus maupun organisme lain terutama pada infeksi oportunistik
Riwayat Pengobatan
•
Konsumsi obat sakit kepala beli di warung tp tida k kunjung sembuh
•
Bisa jadi obat yang dibeli pasien bersifat simptomatik saja (analgesic), sehingga han ya mengobati gejala bukan penyebabnya.
Riwayat Penyakit Dahulu
•
Pecandu narkoba suntik secara bergantian sejak 10 tahun terakhir
•
Mengarah ke HIV/AIDS karena terdapat faktor predisposisi, dan berdasarkan onset bisa jadi keluhan pasien disebabkan komplikasi AIDS infeksi oportunistik khususnya yg menyerang SSP.
Hipotesis
•
Infeksi SSP: Meningitis : peradangan pada selapu otak. Dari hasil anamnesa didapatkan gejala nyeri
kepala, kaku pada leher belakang yang merupakan gejala khas meningitis Ensefalitis : peradangan pada sel parenkim otak. Dari hasil anamnesa didapat kejang,
nyeri kepala yang merupakan gejala khas pada ensefalitis.
•
Meningoensefalitis: terdapat kejang, nyeri kepala, kaku pada leher belakang. Biasanya infeksi dari meningen dapat berlanjut mengenai jaringa otak
HIV/AIDS dengan wasting syndrome dan infeksi oportunistik : didapatkan dari riwayat penyakit dahulu, yaitu riwayat pemakaian narkoba suntik secara bergantian. Hal ini merupakan port d’entrée dari infeksi mikroorganisme tertentu, dan dari riwayat pe nyakit sekarang didapatkan penurunan berat badan drastis yang merupakan gejala pada penyakit HIV stadium 4, hal ini diperkuat dengan dari riwayat pemakaian narkoba selama 10 tahun terakhir. Biasanya pertama kali terinfeksi HIV sampai AIDS dalam rentang waktu 10-15 tahun.
Pemeriksaan Fisik
•
Kesadaran: Delirium
Gangguan kesadaran disertai gangguan atensi, disorientasi, memori, persepsi, dll karena adanya gangguan difus bersifat metabolik pada kedua hemisfer berikut mekanisme kompensasi seluruh korteks cerebri.
•
Vital sign: TD: 120/80 mmHg (N) HR: 100 bpm (N: 60-100 bpm) HR: 100 bpm (N: 60-100 bpm) RR: 20 bpm (N: 16-24 bpm) T: 37,5° C (N:36,7-37,8° C)
Pada vital sign seluruhnya normal, pada suhu yang tidak terlalu tinggi mengarah ke dugaan infeksi SSP yang kronik karena pada infeksi kronik tidak didapatkan demam.
•
Tatto (+) hampir seluruh tubuh
•
Needle track (+)
Port d’entrée dari virus HIV dimana HIV masuk melalui mikrolesi dan menuju ke sel langerhans mukosa.
•
Mata: RCL/RCTL ++/++, papil edema (-)
Pada meningitis, ensefalitis, meningoensefalitis biasanya di dapatkan TTIK. Kemungkinan dalam pemeriksaan ini TTIK tidak sampai menyebabkan ada gangguan pada n. okulomotorius yang mengatur pergerakan otot-otot bola mata. Dan TTIK tidak menyebabkan oklusi diskus sentralis pada retina yang dapat menyebabkan papil edema.
•
Mulut: Leukoplakia (+), oral thrush (+)
Leukoplakia dan oral thrush biasanya disebabkan jamur candida albicans, keduanya merupakan gbrn infeksi oportunistik CD4 < 200/mm3 (HIV/AIDS stadium 2).
•
KGB: tidak teraba membesar
Hal ini menandakan infeksi mikroorganisme tidak sampai menyebabkan infeksi sistemik dan merupakan tanda infeksi kronis.
Pemeriksaan Neurologis
•
GCS: E4V2M6 = 12 = somnolen E4 spontan membuka mata V2mengerang M6 dapat mengikuti perintah
Hal ini menunjukkan penurunan kesadaran, normalnya 15 = compos mentis.
•
Motorik: hemiparesis (-), normotonus, normotrofi
•
Refleks fisio: biceps/triceps (+) normal & patella/achilles (+) normal
•
Refleks patologis babinski (-)
Tidak ada gangguan yang mengenai korteks motorik primer, baik pada UMN maupun LMN sehingga tidak ada keabnormalan dari sisi motorik & refleks.
•
Meningeal sign kaku kuduk (+) Brudzinsky 1 (+)
kernig (+) Brudzinsky 2 (+)
Menandakan pasien (+) meningitis adanya infeksi pada selaput otaknya. Pemeriksaan Lab
•
Hb: 12,4 g/dL (L:13-16 // P:12-14)
Pasien mengalami anemia dimana penyebabnya bisa karena, infeksi kronik yang disebabkan suatu mikroorganisme, keganasan, dll.
•
Ht: 42% (L:40-48% // P:37-43%)
Hematokrit merupakan persentase konsentrasi eritrosit dalam plasma darah, pada pasien nilainya dalam batas normal
•
MCV: 60% (80-95 fL)
Menggambarkan ukuran besar rata-rata sel darah merah. MCV yang kecil berarti ukuran sel darah merahnya lebih kecil dari ukuran normal. Biasanya hal ini disebabkan oleh penyakit kronis atau kekurangan zat besi.
•
Leukosit: 4500/mm3 (n: 4500-10000/mm3)
Leukosit pasien DBN. Diduga infeksinya bukan karena bakteri, karena pada bakteri leukosit meningkat
•
Trombosit: 240.000/mm3 (n:150.000-450.000/mm3)
Trombosit pasien dalam batas normal, tidak ada gangguan pembekuan darah. Pada trombosit <50.000/ mm3 kontraindikasi dilakukan lumbal pungsi
Diff count: 0/0/0/63/24/13 Basofil : 0 (0-1%) o
Sel ini terlibat dalam reaksi alergi, tetapi mekanismenya blm jelas dipaha mi.
Eosinofil : 0 (1-3 %) o
Sel ini terlibat dengan alergi terutama terhadap p arasit.
Neutrofil: batang: 0 (3-5%); segmen: 63 (50-70%) o
berfungsi melawan infeksi bakteri. Penyakit HIV lanjut, obat HIV seperti gansiklovir dapat menyebabkan neutropenia).
Limfosit: 24 (20-30%) o
Limfosit berperan pada imunitas selular spesifik.
Monosit: 13 (3-8%) o
Monosit beredar dalam darah. Bila monosit ada di jaringan tubuh, mereka disebut makrofag. Jumlah monosit yang tinggi menunjukkan adan ya infeksi kronik.
Peningkatan jumlah netrofil (baik batang maupun segmen) relatif dibanding limfosit dan
monosit dikenal juga dengan sebutan shift to the left infeksi akut. Kondisi noninfeksi yang dapat menyebabkan shift to the left antara lain asma dan penyakit-penyakit alergi lainnya, luka bakar, anemia perniciosa, keracun an merkuri (raksa), dan polisitemia vera. Sedangkan peningkatan jumlah limfosit dan monosit relatif dibanding netrofil
disebut shift to the right infeksi kronis. Kondisi noninfeksi yang dapat menyebabkan shift to the right antara lain keracunan timbal, fenitoin, dan aspirin.
GDS: 98 mg/dL (70-110 mg/dL)
GDS pasien DBN.
Px. Tinta india: kriptokokus (+)
Pewarnaan negatif untuk melihat adanya kapsul di sekeliling mikroorganisme kapsul nampak jernih disekitar latar belakang yg gelap.
•
CT scan: edema difus serebri
Menandakan encephalitis, karena pd gambaran CT scan encephalitis terdapat gambaran kerusakan parenkim otak, edema serebri, dan hipodens.
•
Western blot: HIV (+)
Menandakan pasien terkena HIV (+). Diagnosis
Meningoensefalitis e.c kriptokokus Penatalaksanaan
•
Manitol IV 4 x 125 cc
–
Obat diuretik osmotik
–
Indikasi :
–
•
Profilaksis gagal jantung
•
Menurunkan tekanan & volume cairan intraokuler/CSS menaikkan tekanan osmotik plasma air akan berdifusi kembali ke ruang plasma & CES
Kontraindikasi :
•
Penyakit ginjal dengan anuria.
•
Dalam kasus ini diberikan manitol karena dari hasil CT-scan di dapatkan edema serebri.
•
Ranitidin 2 x 1 ampul
–
Antihistamin H2
–
Menghambat sekresi asam lambung,
–
Digunakan dalam pengobatan penyakit ulkus peptikum (PUD), dispepsia, profilaksis stres ulkus, dan gastroesophageal reflux disease (GERD).
–
Efek samping : pusing, malaise, diare, mialgia & a nti androgenik
–
Sediaan
•
Tablet 200, 300, 400 mg
•
–
Indikasi Digunakan untuk mengobati tukak lambung dan tukak duodenum. Akan tetapi manfaat terapi pemeliharaan dalam pencegahan tukak lambung belum diketahui secara jelas.
–
Dalam kasus ini, karena terdapatnya rangsangan dari nervus vagus yang menyebabkan muntah, makan diberikan obat ini untuk mengurangi gejala tersebut.
Flukonazol 200 mg
–
Diserap sempurna tanpa dipengaruhi makanan
–
Tersebar rata ke dalam ciran tubuh, juga saliva & sputum, CSS 50-90%
–
Kadar puncak 4-8 mg setelah beberapa kali pemberian 100 mg.
–
Dosis disarankan 100-400 mg
–
Efek samping : reksi alergi kulit, eosinofilia, sindrom Steven Jhon son, gangguan faal hati, trombositopenia pada AIDS
–
Mencegah relaps meningitis e.c kriptokokus.
–
Pada penderita meningitis karena infeksi oportunistik kriptokokkus pengobatan diawali amfoterisin B 0,7 - 1 mg/ kg BB disertai flusitosin 100 mg selama 2 minggu dan flukonazol 400 mg paling sedikit 10 minggu, jika tidak tersedia flusitosin maka diberikan amfoterisin B saja 0,7 – 1 mg/ kg BB selama 6-10 mg. terapi pemeliharaan flukonazol 200-400 mg/ hari seumur hidup. Dengan digunakan HAART, terapi pemeliharaan mungkin di hentikan, tapi kalau CD4 > 100 μl, karena CD4 < 100 rentan terhadap infeksi jamur dan perlu dilakukan penurunan TIK
–
Efektif untuk kandidiasisi mulut dan tenggorokan pada AIDS.
DAFAR PUSTAKA • Neurologi klinis dasar – dian rakyat •
Parasitologi kedokteran – FKUI
•
DUUS
•
Chernecky CC & Berger BJ. Laboratory Tests and Diagnostic Procedures 5th edition. Saunders-Elsevier, 2008.
•
Journal of clinical microbiology, July 2005, p. 3548-3550, vol. 43.
•
Farmakologi katzung
•
Farmakologi UI
•
Sistem saraf pusat dan saraf tepi. Patologi umum dan sistematik.
•
Mekanisme infeksi susunan syaraf. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat
•
Gangguan sistem neurologik. Patofisiologi Silvia volume 2.
•
Kapita selekta Kedokteran
•
Ensefalitis dan ADEM. Neurologi in daily practice. UNPAD