9
9
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Islam, secara etimologis (asal – usul kata, lughawi) berasal dari bahasa arab : Salima yang artinya selamat. Dari kata itu terbentuk aslama yang artinya menyerahkan diri atau tunduk dan patuh, pemeluknya disebut Muslim. Oranng yang memeluk agama islam berarti menyerahkan diri kepada Allah dan siap patuh terhadap ajaran-Nya. Secara terminologis (Istilah, maknawi) "islam" dapat dapat dikatakan sebagai agama wahyu berintikan tauhid atau keesaan Tuhan yang dirunkan oleh Allah S.W.T kepada Nabi Muhammad SAW sebagai utusan-Nya yang terakhir dan berlaku bagi seluruh manusia, di manapun dan kapanpun, yang ajarannya meliputi seluruh aspek kehidupan manusia.
Dalam Melaksanan ajaran agama islam ini ada satu prinsip yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW Sebagai Rasul Allah, yaitu sikap Iqtishad (moderat/sedang) atau sering juga dikenal istilah At Tawassuth (memilih jalan tengah), dalam arti tidak ekstrim atau berlebih – lebihan (tatharuf). Sikap Ekstrim/ berlebihan sering menimbulkan persepsi bahwa perintah – perintah agama terasa sebagai beban yang memberatkan, dan larangan agama terasa sebagai belenggu yang membatasi kebebasan atau kreatifitas. Padahal tujuan utama dari setiap perintah Tuhan tidak lain adalah untuk mendatangkan manfaat dan maslahat bagi pelakunya, sedangkan setiap larangan Tuhan adalah bentuk penyelamatan agar manusia terhindar dari bahaya atau kerusakan.
Akan lebih membahayakan lagi apabila sikap ekstrim itu di aplikasikan pada aspek – aspek ajaran islam yang menyangkut hubungan sosial antar sesama manusia, misalnya tentang amar ma'ruf nahi munkar, kewajiban berjihad, dan sebagainya. Implementasi semacam itulah yang pada waktu belakangan ini sering menimbulkan konotasi Islam sebagai agama yang keras dan garang. Padahal citra tersebut sangat tidak sesuai dengan hakikat Islam yang lembut dan penuh kasih sayang (Rahmatan lil'alamin).
Dalam Islam banyak kelompok-kelompok tertentu dalam komunitas muslim yang beragam—seperti muslim tradisional, muslim fundamentalis, muslim modernis, muslim liberal, dan lain-lain. Kelompok – kelompok tersebut memberikan pemahaman – pemahaman dan aksi – aksi Sebagai usaha untuk mencari format pemahaman yang utuh dalam Islam. Kelompok – kelompok ini memakai paradigma mereka masing – masing dalam memandang serta menyikapi perkembangan umat islam itu sendiri. Tetapi paradigma maupun konsep dan pemahaman – pemahaman yang di hadirkan oleh kelompok – kelompok tersebut sering menimbulkan banyak jebakan dalam memahaminya.
Sebagai contoh Terma "muslim liberal" tidak dipakai karena kata "liberal" itu berkonotasi "longgar, tidak ketat" sehingga menjadi muslim liberal cenderung dimaknai sebagai muslim yang tidak ketat mengikuti ajaran Islam. Selain itu, para muslim liberal banyak terpesona dengan modernitas, terpikat untuk mengidentifikasi diri dengan stuktur - struktur kekuasaan Amerika dan Eropa, dan tidak mampu serta tidak ingin mengkritik ketimpangan baik dalam masyarakat muslim maupun hegemoni Barat. Terma "muslim kritis" juga ditolak, karena berkonotasi hanya mengeluhkan keadaan. Terma itu juga dapat bermakna membicarakan Islam tanpa upaya mengubah realitas masyarakat muslim di level dasar. Begitu juga dengan Muslim "Fundamentalis" yang berpandangan bahwa kemunduran umat(Islam) lebih disebabkan pada ideologi dan ajaran agama lain. Mereka berasumsi bahwa, umat Islam harus kembali pada prinsip-prinsip dasar Islam yang berdasarkan al-Qur'an dan Sunnah Nabi. Dan menentang segala bentuk pemikiran diluar ajaran dasar Islam. Pemikiran ini cenderung parsial dalam menganalisa permasalahan yang terjadi dalam konteks kemasyarakatan.
Di tengah banyaknya pelabelan terhadap kelompok-kelompok tertentu dalam komunitas muslim, sekarang muncul sebutan baru, islam progresif. Istilah Islam progresif ini pun yang dalam kajian Islam kontemporer digunakan oleh para akademisi dan aktivis sejak beberapa tahun terakhir secara substantif tidak jauh berbeda dengan terma lainnya. Istilah ini biasanya dinisbahkan kepada pemahaman-pemahaman dan aksi-aksi umat Islam yang memperjuangkan penegakan nilai-nilai humanis, seperti pengembangan civil society, demokrasi, keadilan, kesetaraan jender, pembelaan terhadap kaum tertindas dan pluralisme, Perhatian utama Islam progresif antara lain adalah topik-topik sekitar keterikatan dengan tradisi (engaging tradition), keadilan sosial (social justice), keadilan jender (gender justice), dan pluralisme.3 Mengingat Islam progresif merupakan 'kelanjutan' dari Islam Liberal, Islam Transformatif, dan sebagainya, maka pemikir-pemikir yang dimasukkan dalam kelompok muslim progresif pun tersebar di berbagai negara. Diantara mereka adalah Abdul Karim Soroush dan Shirin Ebadi (Iran), Muhammad Shahrur dan Muhammad Habash (Suriah), Muhammad al-Talibi -(Tunisia/Perancis), dan Fathullah Gülen (Turki/USA).4 Selain itusejumlah tokoh seperti Kecia Ali, Khaled Abou El Fadl, Farid Esack, Michael Green, Marcia Hermansen, Amir Hussain, Ahmet T. Karamustafa, Tazim R. Kassam, Scott Kugle, Ebrahim Moosa, Ahmad S. Moussalli, Farish Ahmad-Noor, Omid Safi, Sa'diyya Shaikh, Gwendolyn Zoharah Simmons, dan Amina Wadud dapat juga dimasukkan dalam kelompok ini.5 Dalam konteks Indonesia, sejumlah tokoh seperti Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Nurcholish Madjid (Cak Nur) sering juga dimasukkan dalam tokoh pemikir Islam progresif.
Islam Progresif hadir bersuara lebih lantang dalam pelbagai media yang ada. Dengan cara menghidangkan atau menampilkan wajah islam yang lebih ramah, terbuka, dan pluralis. Dengan begitu Islam progresif menghindarkan berbagai tindak kekerasan diberbagai belahan dunia dari kaum atau kelompok – kelompok fundamentalis-radikal dll, yang berusaha mengetengahkan wajah islam yang tegas, keras, dan penuh semangat permusuhan.
Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa pertanyaan akademisi sebagai berikut :
Bagaimana karakteristik islam progresif ?
Bagaimana pemikiran dan gerakan islam progresif di Indonesia ?
Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini antara lain untuk menambah wawasan, pengetahuan, dan pengalaman penulis mengenai masalah yang dibahas dalam makalah ini. Disamping itu, tujuan penulisan ini adalah untuk memenuhi memenuhi persaratan mengikuti pelatihan kader dasar (PKD) PMII Komisariat Universitas Negeri Gorontalo.
BAB II
PEMBAHASAN
Karakteristik Pemikiran Islam Progresif
Secara garis besar, Karakteristik pemikiran dan gerakan pemikiran islam progresif dapat di petakan ke dalam dua kriteria, yakni corak pembacaan mereka atas teks keagamaan dan agenda atau tema – tema sosial keagamaan yang mereka usung. Dengan membedah kedua aspek tersebut, akan sangat memungkinkan untuk memetakan independensi posisi islam progresif terutama di tenga tarik menarik arus konservatisme-fundamentalis di satu sisi serta liberalisme di sisi yang lain.
Farish Ahmad Noor, mendefinisikan Islam progresif sebagai gerakan kultural dan politik yang berpihak pada keadilan sosial. Dengan berbasis keadilan sosial itulah, islam progresif memiliki kecenderungan untuk kritis terhadap gerakan islam simbolik dan corak epistemologi tekstual-literer yang sejauh ini identik dengan kelompok islam fundamentalik-radikal. Simbolisme serta tekstualisme kaum kanan(kelompok fundamentalik-radikal), ditengarai Farish A. Noor telah memunculkan satu pola keberislaman yang terkesan kaku, tidak luwes dalam menyikapi perbedaan dan cenderung abai pada hak – hak dasar manusia. Meski demikian islam progresif tidak pula serta merta condong dan pro terhadap modernitas yang disajikan Barat. Mempertimbangkan fenomena ketidakadilan global yang ditimbulkan oleh sejumlah kebijakan barat terhadap negara – negara muslim, islam progresif perlu untuk melakukan tinjauan kritis terhadap wacana – wacana kontemporer yang disuguhkan Barat.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa setidaknya ada tiga karakteristik khas gagasan islam progresif, pertama sikap selektif-rasional mereka atas wacana - wacana kontemporer yang sebagian besar dipopulerkan oleh Barat. Dalam hal ini, para eksponen islam progresif mampu memainkan dua peran sekaligus. Di satu sisi, mereka mengambil sikap permisif, bahkan cenderung adaptif terhadap isu – isu kontemporer, namun disisi yang lain, mereka tidak mengalpakan sikap kritis mereka terhadap bebrapa residu persoalan yang disisahkan oleh proyek modernitas Barat. Karakteristik kedua adalah keenggangan mereka untuk mengadopsi model epistemologi tekstual literer yang secara historis merupakan warisan dari tradisi Islam Klasik. Kalangan progresif berusaha menyakinkan masyarakat islam bahwa langkah pertama untuk menggulirkan proyek modernisasi Islam adalah melakukan perombakan secara radikal pada rancang bangun epistemologi islam yang notabene merupakan fondasi utama pengembangan ilmu – ilmu keislaman. Agar mampu berperan aktif dalam mengurai problematika sosial, ekonomi, politik serta ilmu pengetahuan, dunia islam mau tidak mau harus meninggalkan corak epistemologi yang menempatkan teks keagamaan sebagai satu – satunya sumber pengetahuan. Lebih dari itu, dunia islam dituntut untuk mampu membahasakan ulang doktrin islam dalam konteks kekinian , dimana kebutuhan untuk mewujudkan tata sosial yang damai dan berkeadilan menjadi kebutuhan universal yang tidak bisa lagi ditunda.
Karakteristik ketiga yang sekaligus juga menjadi benang merah gagasan Islam Progresif adalah penegasan sikap mereka terkait dengan superioritas Barat yang dalam banyak hal telah menjelma menjadi semacam ancaman bagi kedaulatan dunia Islam. Ditunjang oleh latar belakang mereka yang sebagian besar berkiprah sebagai aktivis dan pemerhatti masalah – masalah sosial-politik, kelompok Islam Progresif cenderung lebih berani dalam mengekspose kritisisme terhadap Barat.
Premis dan Asumsi Dasar
Pemikiran Islam progresif digagas di atas pondasi premis-premis tertentu yang dilahirkan atau disarikan dari ayat-ayat al-Qur'an. Keseluruhan pemikiran mereka dalam berbagai masalah yang terkait dengan tiga agenda besar mereka—keadilan sosial, kesetaraan gender, dan pluralisme—merupakan ramifikasi seluas-luasnya dari premis atau asumsi sebagaimana dijelaskan dalam paragraf paragraf di bawah ini.
Premis pertama, "setiap manusia, perempuan dan lelaki, muslim dan non-muslim, kaya dan miskin, Selatan dan Utara, memiliki kemuliaan intrinsik yang sama yang diberikan oleh Tuhan". Kemuliaan intrinsik yang sama itu, menurut al-Qur'an, adalah ruh ketuhanan yang dihembuskan oleh Tuhan ke dalam diri manusia dalam proses penciptaannya. Dua ayat al-Qur'an dengan redaksi yang persis sama menyatakan itu, yaitu al-hijr: 29.
Artinya : "Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanyaroh (ciptaan)Ku, maka hendaklah kamu tersungkur bersujud kepadanya".
Premis kedua yang selalu digandengkan dengan premis ketiga, karena keduanya diderivasikan dari ayat yang sama dalam al- Qur'an, masing-masing adalah "misi utama kehadiran manusia di dunia adalah untuk menjadi pejuang dan penegak keadilan ('adl, justice) untuk segenap umat manusia", dan "manusia wajib berbuat kebajikan dan berperilaku santun kepada sesama makhluk Tuhan (insa>n, goodness-and-beauty)". Kedua premis itu disarikan dari ayat al-Qur'an yang sama, yaitu al-Nahl : 90.
Artinya: "Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan..."
Ramifikasi premis di atas memiliki implikasi jauh terhadap produk pemikiran muslim progresif dan bagaimana mereka berpegang secara kritis terhadap tradisi Islam (critical engagement) dan juga menyikapi modernitas (multiple critique). Setiap produk pemikiran agama (ijtihad) sebagaimana halnya juga konstruk sosial dan budaya serta struktur-struktur yang berdampak kepada dehumanisasi, penodaan terhadap kemuliaan-intrinsik manusia, ketidakadilan, dan kekerasan dilawan oleh mereka.
Tiga Wilayah Pemikiran
Pemikiran Islam progresif meliputi tiga wilayah diskursus dan aksi, yaitu keadilan sosial, keadilan gender, dan pluralisme. Para penulis muslim progresif menelurkan pemikiran - pemikiran mereka dalam tiga wilayah itu merupakan elaborasi
kreatif atas asumsi dasar yang telah dijelaskan di atas ditambah dengan argumetasi-argumentasi lainnya.
Keadilan Sosial (Social Justice)
Dewasa ini banyak kelompok pemeluk agama yang terlibat dalam banyak isu keadilan sosial. Bagi sebagian umat Islam, "keadilan sosial" mungkin dirasa baru, tetapi tema keadilan dalam Islam sama sekali tidak baru, karena keadilan merupakan inti etika sosial Islam. Berulangkali al-Qur'an berbicara tentang keadilan melalui pembelaan bagi anggota masyarakat yang terpinggirkan, seperti orang miskin, anak yatim, kaum tertindas, musafir, orang kelaparan, dan lain-lain. Farid Esack menunjuk ada dua kategori al-Qur'an tentang pihak yang harus dibela dalam menegakkan keadilan sosial, yaitu arādhil (yang terpinggirkan, marginalized) dalam QS. Hûd: 27; al-Shu'arã': 70; al-Hajj: 5, dan al-mustad 'afūn fī al-ard (yang tertindas, downtrodden, oppressed) dalam QS. al-Nisã' : 97; al-A'rãf : 26. Ide-ide sosial dalam al-Qur'an dan ajaran Islam harus diterjemahkan dengan cara yang dapat dirujuk dan dimengerti oleh para pejuang keadilan sosial saat ini. Dengan bersandar pada QS. al-Mã'idah : 32 yang memerintahkan untuk melindungi setiap jiwa insan, maka memperjuangkan keadilan dewasa ini dapat dimaknai sebagai memandang setara segenap umat manusia, bertanggung jawab untuk kebaikan dan kemuliaan semua manusia, melawan orang-orang yang menebar kebencian atas nama Islam, yang Tuhannya ibarat monster pendendam yang menyuruh membunuh siapa saja, yang Tuhannya terlalu kecil, lemah, sukuistik, dan lelaki. Demikian pula dengan kata "tetangga" dalam sabda Nabi "sesungguhnya mukmin sejati adalah mereka yang tidak membiarkan tetangganya kelaparan" harus dipahami sebagai manusia di seantero dunia, karena dunia kini sudah menjadi global village.
Pemaknaan keadilan senantiasa disatupadukan dengan pemaknaan atas eksistensi dan esensi kemanusiaan. Dalam hal ini inti pemahaman muslim progresif adalah sebuah ide sederhana namun radikal, yaitu bahwa "setiap individu, perempuan atau laki-laki, muslim atau non-muslim, kaya atau miskin, belahan dunia utara atau selatan, memiliki kemuliaan intrinsik yang pasti sama, yaitu nilai esensial kehidupan manusia yang diberikan oleh Tuhan, dan tidak terkait dengan budaya, geografi, atau privelese. Ukuran sejatii kemanusiaan adalah karakternya. Agenda muslim progresif terkait dengan ramifikasi premis bahwa "semua manusia memiliki kemuliaan intrinsik itu, karena setiap dari kita memiliki ruh Tuhan yang ditiupkan ke dalam diri kita: wa nafakhtu fīhi min rūhi (QS. al-Hijr : 29 dan Sad : 72). Para muslim progresif meyakini bahwa untuk menjadi muslim sejati adalah dengan mendukung dan mengakui kemanusiaan segenap umat manusia, bertanggung jawab aktif dalam upaya distribusi yang jujur dan adil atas karunia sumber daya alam, dan berupaya hidup harmoni dengan alam. Tidak boleh ada kesejahteraan suatu komunitas tetapi dengan menyengsarakan komunitas lain.
Muslim progresif berendapat bahwa keadilan adalah dasar yang asasi bagi terciptanya kedamaian. Artinya, kedamaian tidak mungkin tercipta sebelum keadilan itu terbangun. Damai hendaknya tidak diartikan hanya sekedar "aman" atau "tidak adanya perang atau perkelahian", karena hal itu dapat menjadi kedok untuk memapankan tirani dan struktur sosial yang tidak adil. Jadi memperjuangkan tegaknya keadilan lebih diutamakan ketimbang sekedar mempertahankan situasi "aman" atau "tidak adanya perang atau perkelahian". Memperjuangkan keadilan harus dimulai hari ini juga, tidak boleh ditunda hingga hari esok. Kita hidup sekarang, maka keadilan harusdimulai sekarang, saat ini juga, dan dimulai oleh setiap orang dari kita.
Keadilan Gender (Gender Justice)
Islam progresif berpandangan bahwa "umat Islam tidak akan dapat mewujudkan keadilan tanpa adanya jaminan keadilan untuk perempuan muslimah. Kesetaraan gender merupakan tolok ukur untuk konsen yang lebih luas tentang keadilan sosial dan pluralisme." Interpretasi progresif atas Islam harus menyertakan masalah keadilan gender. Persoalan gender tidak hanya menyangkut perempuan tetapi juga laki-laki. Ketidakadilan gender bukan hanya menyangkut sistem yang menindas perempuan, tetapi juga merendahkan martabat laki-laki yang terlibat di dalamnya. Lingkup pembicaraan tentang gender itu tidak hanya terbatas pada soal hijab, tetapi banyak isu mendasar dalam konstruksi sosial yang mempengaruhi kehidupan laki-laki dan perempuan. Gerakan-gerakan feminis di dunia Islam mengambil inspirasinya kebanyakan berasal dari sumber-sumber sekuler. Muslim progresif mengupayakan hal-hal lain yang belum tersentuh dan mengusahakan apa yang secara sah diakui sebagai feminisme Islami, yang disebut oleh Sa'diyya Shaikh sebagai feminisme Islami transformatif (transformative islamic feminism). Feminisme itu meyakini partikularitas konteks dan keragaman identitas perempuan; memadukan diskursus feminis dengan artikulasi perempuan muslim tentang keterlibatan mereka dalam isu-isu gender; menciptakan ruang dialog yang bermakan dan persaudaraan horizontal (horizontal comradership) antara perempuan muslim dengan perempuan dari kontek religio-kultural yang lain. Feminisme demikian merupakan salah satu respon kontemporer yang paling terlibat dengan perintah dasar Al-Qur'an untuk menegakkan keadilan.
Pluralisme
Muslim progresif menempatkan pluralisme sebagai tantangan besar bukan saja bagi muslim tetapi juga bagi umat manusia. Pertanyaan- pertanyaan yang menggugah mereka adalah "Mampukah kita menemukan cara untuk menikmati kesamaan kemanusiaan kita bukan dengan mengingkari perbedaan tetapi justru karena perbedaan itu sendiri? Mampukah kita belajar tumbuh hingga titik dimana kita tidak merujuk kepada pengelompokan yang eksklusif, tetapi kepada banī Ādam, totalitas kemanusiaan. Al-Qur'an setidaknya tujuhkali menyebut kata banī Ādam, secara harfiah berarti anak-anak Adam", yang merujuk kepada pengertian keseluruhan umat manusia, yaitu: QS. al-A'raf: 26, 27, 31, 172, al-Isra': 70, Yâsin: 60. Dalam ayat-ayat itu al-Qur'an menantang, menggerogoti, dan menghapus kebiasaan kesukuan yang sempit masa pra-Islam, dan menggambarkan segenap manusia sebagai anggota satu maha suku, suku manusia. Oleh karena itu, bagi setiap muslim tiada ada pilihan lain selain memenuhi pesan al-Qur'an. Nabi Muhammad pun menyatakan hubungan manusia satu dengan manusia lainnya ibarat anggota dalam satu tubuh; ketika satu anggota tubuh menderita sakit maka anggota lainnya ikut merasakan perih dan ketidaknyamanan. Kurangnya penghayatan pluralisme telah menjadikan abad XX sebagai abad yang paling berdarah-darah dalam sejarah umat manusia. Kurangnya kesadaran tentang pluralisme telah melahirkan begitu banyak kekerasan baik yang dilakukan oleh teroris, orang sipil, maupun negara dengan militernya. Ada dua tolak ukur terpenting untuk menilai apakah pluralisme bersemai indah atau tidak, yaitu:
Bagaimana cara kita saling memperlakukan antara satu dengan yang lain, yaitu akhlak (manners) dan etika antar pribadi (adab). Adab yang mewujud dalam bentuk rasa mengasihi, menyayangi, tidak mementingkan diri sendiri, kejujuran, dan kemurahan hati telah banyak sirna dalam Islam kontemporer. Sebagian muslim sangat kasar kepada sesama: kita tidak saja saling menyebut orang lain sebagai kafir (takfīr), tetapi juga saling menindas, mencaci maki, dan mudah marah. Kata-kata seperti kafir, syirik, dan bid'ah sangat mudah keluar dari mulut kita. Jari telunjuk yang dalam shalat biasa mengarah ke langit dan mengingatkan akan kesesaan Allah kini lebih sering untuk menunjuk muslim lain dan menjadi simbol tuduhan pengkafiran atas orang lain. Dalam konteks demikian dibutuhkan tasawuf, bukan dalam bentuk formal aturan-ataurannya atau spekulasi-spekulasi kosmologisnya tentang realitas-realitas surgawi yang teragung dalam jiwa kemanusian yang terdalam, tetapi lebih pada aspek yang paling simpel dari ketasawufan itu sendiri, yaitu etika antar pribadi atau adab mereka pada tingkat komunal. Omid Safi menyatakan "The Sufis have attempted to cultivate this interpersonal ethic at a communal level, and we would do well tocherish their adab yet again."
Keterbukaan untuk mengambil sumber-sumber ajaran kasih sayang dan kebijaksanaan (compassion and wisdom), dari manapun asalnya. Dalam Islam, selain al-Qur'an dan hadis, ada banyak kata-kata bijak dari beberapa tokoh Islam, seperti Ali bin Abi Thalib yang menganjurkan menilai pernyataan berdasarkanatas apa yang dikatakan bukan siapa yang mengatakan, atau al-Kindi yang berkata "Kita tidak perlu malu mengakui dan memegang suatu kebenaran dari manapun datangnya, bahkan jika ia datang dari generasi sebelum kita atau dari orang asing. Bagi orang yang mencari kebenaran tak ada yang lebih bernilai dari kebenaran itu sendiri; kebenaran tidak akan merendahkannya, tetapi justru memuliakannya" Selain dari sumber-dalam-Islam kebijaksanaan dapat juga dipelajari dari sumber luar Islam baik berupa kitab atau teks-teks suci agama maupun wisdom yang terkandung dalam budaya dan hasil kontemplasi dan pemikiran manusia. Sebagai contoh, mempelajari teologi pembebasan dalam Kristen menyadarkan kita untuk membela kelompok muslim tertindas; mencermati ajaran Tao akan mengingatkan kita ajaran Islam tentang pentingnya hidup harmoni dengan alam. Melakukan itu bukan untuk menjadi penganut Kristen atau Tao, tetapi untuk menginspirasi kita bahwa hal-hal demikian sejatinya termasuk dalam spektrum pemikiran Islam. Memahami Islam pada abad XXI tidak cukup lagi dengan hanya studi al-Qur'an dan hadis saja. Di luar itu muslim dapat merengkuh dan menghayati kebijaksanaan yang bersumber dari mana saja, baik sumber-dalam-Islam maupun sumber-luar-Islam. Kebijaksanaan dari sumber-luar-Islam dapat didialogkan dengan dua sumber asasi Islam, al-Qur'an dan hadis.
Muslim progresif menganut pluralisme internal dan eksternal agama sekaligus, dan secara epistemologi mengikuti pendekatan yang pluralistik untuk memperoleh pengetahuan dan kebenaran. Mereka melampaui pandangan tentang "toleransi" (beyond tolerance) dan mengupayakan keterikatan yang mendalam melalui kesamaan dan perbedaan yang ada (strive for a profound engagement through both existing commonalities and differences).29 Konsep toleransi dipandang sudah tidak memadai lagi untuk menopang kehidupan keagamaan dan etnis yang pluralistik. Secara etimologis kata toleransi (tolerance) berasal dari istilah dalam toksikologi dan farmakologi Abad Pertengahan, yang menandai seberapa banyak racun yang sanggup tubuh tolerir (tolerate) sebelum ia tiba pada kematian. Jika istilah ini diderivasikan ke dalam konteks pluralitas
agama dan etnis, maka makna toleransi akan menunjuk kepada menentukan berapa banyak others (mungkin mereka muslim, Yahudi, Kristen, Hindu, kulit hitam, bangsa Asia, kelompok homoseksual, dan lain-lain) yang dapat kita tolerir (tolerate) sebelum ia/mereka membunuh kita. Yang diperlukan saat ini bukan menolerir others, tetapi terikat menyatu dengan "others" pada level terdalam yang membuat kita disebut sebagai manusia, melalui kesamaan dan perbedaan yang nyata di antara kita. Singkat kata, muslim progresif tidak menginginkan Islam yang "toleran", tetapi lebih dari itu Islam
yang memperjuangkan masyarakat pluralistik yang saling memuliakan. dan mengikat-menyatu antara satu dengan lainnya melalui kesamaan dan perbedaan.
Pemikiran Dan Gerakan Islam Progresif di Indonesia.
Istilah "Islam Progresif" atau "Muslim Progresif" sebenarnya kurang dikenal dalam wacana Islam di Indonesia. Istilah tersebut dipinjam dari wacana yang berkembang di negeri jiran Malaysia, yang dipromosikan oleh tidak kurang dari Perdana Menteri Malaysia sendiri, Datuk Seri Abdullah Ahmad Badawi. Dengan Islam progresif, yang juga sering disebut Islam Hadlari, yang dimaksud adalah penekanan utama kepada ilmu pengetahuan, keadilan, keterbukaan, sikap toleransi, dan perlunya membangun intergritas moral kaum Muslim. Islam hadlari bukan hanya memahami Islam sebagai agama, namun juga sebagai peradaban. Dalam konteks Indonesia, masyarakat Muslim di sini lebih akrab dengan istilah "Islam Moderat" yang sering diperhadapkan dengan "Islam Militan atau Islam Radikal"; "Islam Liberal" yang diperhadapkan dengan "Islam Konservatif" atau "Islam Fundamentalis"; dan "Islam Pluralis" atau "Inklusif Inklusif" yang diperhadapkan dengan "Islam Eksklusif". Istilah-istilah tersebut lebih sering dikemukakan dan lebih mudah dimengerti ketimbang "Islam Progresif".
Jauh ke belakang lagi, dalam studi-studi klasik mengenai Islam Indonesia, para sarjana hampir sepakat membagi Islam ke dalam dua kategoti besar, yaitu Islam Tradisionalis (yang diwakili oleh organisasi massa Islam Nahdlatul Ulama [NU]) dan Islam Modernis (yang diwakili oleh organisasi massa Islam Muhammadiyah). Dua lokomotif Islam besar inilah yang menarik rangkaian gerbong kaum Muslim Indonesia pada umumnya sepanjang abad ke-20 hingga sekarang.
Islam Progresif, Melampaui Islam Tradisionalis dan Modernis
Sarjana yang pertama kali menggunakan istilah Islam Progresif di Indonesia adalah Greg Barton. Dengan istilah itu—Islam progresif—Barton ingin menggambarkan suatu gerakan mutakhir dalam Islam Indonesia yang melampaui gerakan Islam tradisionalis dan gerakan Islam modernis. Gerakan progresif yang dimaksud adalah gerakan "Islam neo-modernis". Jadi, kata "progresif" digunakan untuk menjelaskan paradigma baru gerakan Islam Indonesia yang disebut neomodernisme Islam itu. Dengan kata lain, Islam progresif adalah sebutan atau kata sifat dari gerakan neomodernisme Islam. Tegasnya, Islam progresif bukanlah sejenis gerakan Islam baru yang berbeda dengan gerakan-gerakan Islam sebelumnya. Jangan pula membayangkan ia—Islam progresif itu—akan menjadi organisasi massa (ormas) Islam semacam NU atau Muhammadiyah. Islam progresif hanya sebuah metode atau pendekatan dalam mengangkat isu-isu tertentu melalui wacana keislaman.
Singkatnya, sejauh ini dalam sejarah gerakan dan pemikiran Islam di Indonesia tetap saja hanya dikenal tiga arus besar, yaitu, Islam tradisionalis, Islam modernis, dan Islam neomodernis. Sementara itu identitas-identitas keislaman yang disandangkan kepada kelompok tertentu seperti "liberal", "moderat", "radikal", "konservatif", "militan", "fundamentalis", tidak lebih dari identitas ad hoc alias tidak permanen. Ia lebih menegaskan sebuah kecenderungan reaksioner sementara, lebih sering bahkan bersifat politis, dan tidak menjelaskan posisi epistemologisnya di tengah agenda-agenda dakwah Islam jangka panjang. Sikap moderat atau liberal bisa muncul di kalangan tradisionalis, modernis, maupun neomodernis. Begitu pula sikap radikal, militan, konservatif, atau fundamentalis, terdapat baik dalam kelompok tradisionalis, modernis, maupun neomodernis.
Neomodernisme Islam yang Progresif.
Proses kelahiran gerakan neomodernisme di Indonesia jelas tidak bisa dilepaskan dari pergesekan dua kubu Islam tradisionalis dan modernis. Dan karena wilayah konflik keduanya mewujud dalam paham-paham keagamaan dan sikap politik, maka gerakan neomodernisme mau tak mau merefleksikan konflik tersebut dalam gagasan-gagasan yang mereka usung. Dalam kasus Nurcholish Madjid, terang bahwa yang ia serang adalah sikap-sikap jumud atau beku dalam beragama, yang tidak beranjak dari fikih lama, yang ia sebut sebagai fikihisme. Sikap jumud ini menimpa baik kalangan tradisionalis maupun kalangan modernis. Bahkan kalangan modernis yang merupakan para pembaharu seperti Muhammadiyah, al-Irsyad, dan Persatuan Islam (Persis), menurut Nurcholish, "Sekarang telah berhenti sebagai pembaharu. Mengapa? Sebab mereka pada akhirnya telah menjadi beku sendiri, karena mereka agaknya tidak sanggup menangkap semangat dari ide pembaruan itu sendiri, yaitu dinamika dan progresivitas.
Nurcholish sempat memuji kalangan tradisionalis seperti NU, PUI, dan al-Washliyah yang ternyata lebih maju karena telah melakukan sendiri dan menerima nilai-nilai yang dulunya menjadi hak monopoli kaum pembaru. Namun, sebagaimana halnya terhadap kalangan modernis, Nurcholish pun tetap kurang puas dengan perkembangan di kalangan tradisionalis. Ia melancarkan kritik yang tajam pada keduanya, yang sekaligus meneguhkan posisinya di luar kubu Islam tradisionalis maupun modernis; ia mengambil posisi yang belakangan disebut neomodernis. Kritik Nurcholish berbunyi demikian: Organisasi-organisasi Islam yang ketika didirikannya bersikap anti tradisi dan sektrarianisme, sekarang telah menjadi tradisionalis dan sektarianis sendiri; sedangkan organisasi lainnya yang semula menolak nilai-nilai baru dan sekarang menerimanya, tidak pernah terniat menjadikannya sebagai sikap hidup yang prinsipal. Kritik Nurcholish ini kemudian diikuti oleh suatu analisa ke depan, yang berangkat dari nilai-nilai Islam yang dinamis. Sebab Nurcholish meyakini bahwa umat Islam, bersama-sama dengan kelompok manusia lain, mempunyai kewajiban ikut memperbaiki nasib umat manusia di muka bumi. Lahirnya ide-ide seperti demokrasi, sosialisme, komunisme, dan lain-lain, menurut Nurcholish tidak lain merupakan puncak-puncak pemikiran manusia untuk menjawab tantangan perkembangan kehidupan masyarakat.
Oleh sebab itu, terpanggil sebagai seorang muslim, Nurcholish mengajak umat Islam untuk melakukan hal yang sama, yakni menggunakan pikiran-pikiran yang terbaik menurut ukuran prinsip-prinsip Islam. Namun mengingat kondisi umat Islam ketika itu yang sudah jatuh ke jurang stagnasi, akibat konflik satu sama lain, akibat mementingkan jumlah pengikut daripada mutu, akibat tidak bisa melihat kelemahan sendiri, maka terlebih dahulu diperlukan sekelompok orang untuk memulai tugas sejarah itu. Dalam kata-katanya sendiri: "Diperlukan adanya suatu kelompok pembaruan Islam yang liberal."[10] Yang dimaksud Nurcholish dengan pembaruan di sini tidak lain adalah apa yang dalam bahasa agama disebut ijtihad, yakni proses membaca gejala-gejala sosial dan sejarah untuk dirumuskan dalam perspektif Islam sebagai jawaban atas gejala-gejala tersebut. Ijtihad berarti terus-menerus mencari hubungan antara wahyu dan akal dalam konteks menjawab kebutuhan zaman. Dan proses tersebut tidak pernah berakhir setingkat dengan perkembangan di masyarakat yang terus berubah.
Melengkapi gagasannya tentang pembaruan Islam, Nurcholish mengedepankan program liberalisasi, yang meliputi: sekularisasi, kebebasan berpikir, idea of progress dan sikap terbuka. Bersamaan dengan kritiknya terhadap kalangan tradisionalis maupun modernis, Nurcholish juga menggugat sejumlah postulat kalangan Islam yang dominan yang mempengaruhi wacana dan kesadaran publik ketika itu. Di antara wacana yang dikritiknya dengan tandas adalah ideologi partai Islam dan Negara Islam. Terhadap partai-partai Islam Nurcholish Madjid berseru lantang dalam suatu jargon yang kemudian sangat terkenal: Islam yes, partai Islam no! Alasan Nurcholish adalah bahwa partai-partai Islam tidak berhasil membangun image positif terhadap Islam. Image yang terbangun malah sebaliknya, yaitu, reputasi korupsi di tubuh partai-partai Islam kian menanjak. Pada saat bersamaan, ada gejala psikologis di kalangan Islam bahwa untuk menjadi Muslim yang baik maka harus mendukung partai Islam, atau menjadi anggota suatu partai Islam. Dengan begitu maka komitmen keislaman seseorang akan terbukti. Orang Islam yang tidak mendukung partai Islam sama dengan tidak perduli terhadap perjuangan Islam, dan itu artinya sama dengan tidak peduli terhadap Islam sebagai agama. Oleh Nurcholish asumsi ini dibalik. Baginya, urusan partai, betatapun ia mengklaim Islam, adalah urusan duniawi. Oleh sebab itu, tidak ada kaitannya dengan komitmen keislaman seseorang. Dalam kadar tertentu, kesadaran bahwa kebenaran hanya menjadi monopoli partai Islam justru menimbulkan problem teologis. Sebab Islam sebagai sebuah nilai universal yang transendental diturunkan derajatnya menjadi sekadar identik dengan partai Islam yang bersifat temporal. Ketidaksanggupan untuk membedakan antara yang temporal dan yang transendental ini mendorong Nurcholish pada upaya pembebasan. Pembebasan inilah yang ia sebut proses sekularisasi. Yakni, menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi, termasuk partai politik, dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk meng-ukhrowi-kannya.
Kritik Nurcholish yang tidak kurang pedasnya adalah terhadap gagasan "Negara Islam". Bagi Nurcholish, ide Negara Islam tidak memiliki dasar teologis maupun historis yang kuat di dalam Islam. Ide tersebut hanya merupakan apologi, atau suatu pembelaan posisi Islam di hadapan ideologi-ideologi Barat modern seperti demokrasi, sosialisme, komunisme. Dengan maksud merespons ideologi-ideologi tersebut, maka sebagian umat Islam mencoba melakukan apresisasi ideologis terhadap ajaran Islam, sehingga muncullah gagasan Negara Islam itu. Hal ini sepadan dengan Negara Komunis, Negara Sosialis, Negara Demokrasi, dan seterusnya. Umat Islam berpandangan bahwa Islam berbeda dengan agama-agama lain yang bersifat semata-mata spiritualistik; sebab Islam adalah agama totalistik yang meliputi seluruh aspek kehidupan sosial, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya. Meski mengakui bahwa apologi semacam ini kadang-kadang diperlukan untuk mendongkrak rasa rendah diri umat, namun Nurcholish berpandangan bahwa apologi tetaplah berbahaya. Apologi memiliki efektivitas yang berumur pendek. Setelah menyadari bahwa apologi itu palsu, alias tidak otentik, maka ia akan memukul balik bagaikan bumerang bagi umat Islam.
Gerakan neomodernisme dengan sadar mengakomodasi unsur-unsur modernisme sebagai bagian dari pencapaian peradaban umat manusia, dan pada saat bersamaan juga menunjukkan apresiasi yang mendalam terhadap warisan klasik (tradisionalisme). Alasan bagi sikap ini adalah bahwa di satu sisi Islam harus dilibatkan dalam pergulatan-pergulatan modernisme, dan pada saat bersamaan tidak mungkin memungkiri kenyataan bahwa tradisi juga telah membuat Islam menjadi mapan di tengah-tengah masyarakat. Maka, diktum terkenal yang diusung oleh kalangan neomodernisme diambil dari kaidah ushul fikih yang sekaligus menjadi metodologi gerakannya adalah: al-muhafadzah 'ala al-qadim al-shalih, wa 'l-ahdzu bi 'l-jadid al-ashlah (memelihara yang lama yang baik, dan mengambil yang baru yang lebih baik).
Selain Nurcholish Madjid, tokoh-tokoh yang terlibat aktif di dalam diskursus neomodernisme sejak dasawarsa 1970-an ini bisa disebut: Harun Nasution, Abdurrahman Wahid, Djohan Effendi, M, Dawam Rahardjo, Kuntowijoyo, Moeslim Abdurrahman, dan lain-lain. Sedangkan institusi tempat dimana gagasan-gagasan neomodernisme ini menyebar adalah lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM), perguruan-perguruan tinggi Islam seperti IAIN dan STAIN, kelompok-kelompok studi keislaman yang menjamur di berbagai kampus hingga media massa. Spektrum dari gagasan neomodernisme ini juga sangat luas, dari gagasan Islam sebagai agama yang terbuka (inklusif), penghargaan terhadap akal, pengembangan toleransi, hingga dukungan terhadap konsep negara bangsa (nation state) yang mewujud dalam penerimaan Pancasila sebagai dasar negara dan asas tunggal dalam kehidupan bangsa yang plural. Singkatnya bisa dikatakan bahwa hiruk-pikuk gerakan Islam sepanjang Orde Baru adalah hiruk-pikuk wacana neomodernisme Islam dalam menyebarkan gagasan Islam kultural, pluralisme, demokrasi, kebangsaan, hingga revitalisasi khazanah klasik di lingkungan akademik seperti filsafat Islam, teologi, tasawuf, yang marak diperbincangkan, melebihi masa-masa sebelumnya yang cenderung hanya memberi arti penting pada warisan fikih klasik. Arti penting gerakan neomodernisme adalah keberhasilannya mencairkan ketegangan antar kelompok keagamaan, terutama antara tradisionalis dan modernis, karena pada neomodernisme Islam keduanya bisa bertemu. Selain itu, gerakan neomodernisme juga mampu mencairkan ketegangan hubungan Islam dan negara yang telah mengalami kebuntuan akibat sejarah perdebatan negara Islam di Majelis Konstituante, keterlibatan tokoh-tokoh Islam dalam pemberontakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) pada 1958, gagalnya rehabilitasi Masyumi oleh pemerintah Orde Baru, dan lain-lain. Gerakan neomodernisme Islam mengusung tema-tema yang relatif sejalan dengan kebijakan rezim Orde Baru, seperti sekularisasi, rasionalisasi, dan modernisasi. Tak heran jika belakangan muncul tuduhan bahwa neomodernisme Islam adalah paket rezim Suharto dalam upayanya menjinakkan kekuatan politik Islam. Slogan Islam yes, partai Islam no, misalnya, benar-benar telah "berjasa' melumpuhkan kekuatan politik Islam sehingga dalam pemilu pertama Orde Baru tahun 1971, partai Islam yang diwakili oleh Parmusi (Partai Muslimin Indonesia—reinkarnasi dari partai Masyumi—mengalami kekalahan telak. Namun, terlepas dari tuduhan itu, gerakan neomodernisme Islam telah menunjukkan peranan yang signifikan sepanjang Orde Baru. Dengan menegaskan visinya sebagai gerakan kultural, gerakan ini telah membuka ruang gerak dakwah Islam menjadi lebih lebar terbebas dari trauma politik akibat perbenturan dengan negara.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Kemunculan Muslim Progresif dengan ijtihad Progresifnya dalam menangkap pesan – pesan fundamental Al – Quran dan Hadits adalah subuah upaya untuk mengurai problema posisi dilematis muslim dalam hubungannya dengan tradisi dan modernitas. Upaya seperti itu sangat diperlukan oleh umat islam indonesia secara khususnya dan umat islam di dunia pada umumnya dalam mengatasi masalah – masalah ataupun problem – problem kekinian.
3.2 SARAN
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini kurang sempurna, maka penulis mengharapkan kritikan dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca yang budiman, agar bembuatan makalah kedepannya lebih baik, sekian dari penulis kami mengucapkan limpah trimakasih.
Daftar Pustaka
Sahiron Syamsuddin (2007), 'Islam Progresif dan Upaya Membumikannya di Indonesia',
diakses dari (http://nahdliyinbelanda.wordpress.com/2007/09/29/islam-progresif-dan-upayamembumikannya- di-indonesia/), pada 22 Mei 2015.
Gaus Ahmad Gaus Ahmad (2003), 'Progressive Muslim' di akses dari ( http://icl.google
http://icl.googleusercontent.com/?Lite_url=http://ahmadgaus.com/2003/08/03/progresive muslim/&ei=v8aldkS9&lc=id-ID&s=1) pada 22 Mei 2015.
Ahmad Iman Mawardi (2007), 'Islam Progresif Islam yang Indah', Diakses dari
(http://inilah.com/200/09/29/islam-progresif-dan-upayamembumikannya-di-indonesia/), pada 22 Mei 2015.
Hasan Tholhah Muhamad, Agama Moderat Pesantren dan Terorisme, Lista Fariska Putra,
Malang, 2004.
Mukhlis, (2006) Metodologi Muslim Progresif dalam Memahami Pesan Sejati Al – Quran
(http://www.upi-ptk.com/jurnal/file_jurnal/JURNAL%20print34_91_99.pdf) diakses
Pada tanggal 20 Mei 2015.