PENGANTAR
Puji dan syukur patut penulis panjatkan kehadirat Tuhan, atas rahmat dan karunianya makalah yang berjudul “ Citra Kekerasan Perempuan dalam Poster Film Pulp Fiction: Sebuah
Kajian Semiotika“ dapat diselesaikan. Makalah ini merupakan sebuah analisa terhadap citra kekerasan perempuan yang ditampilkan dalam poster film Pulp Fiction dan disusun sebagai persyaratan dalam memenuhi tugas akhir mata kuliah Sosiologi Komunikasi di Universitas Multimedia Nusantara. Dalam pelaksanaan proses penyusunan makalah ini penulis menyadari bahwa tidak mungkin makalah ini selesai tanpa bantuan dari berbagai pihak dalam menyelesaikan hambatan. Oleh karena itu penulis ingin berterima kasih kepada Bapak Iding Rosyidin, S.Ag., M.Sc., selaku pembimbing sekaligus dosen mata kuliah sosiologi komunikasi di UMN, kepada Agnes Theodora, dan kepada seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu. Akhir kata, penulis ingin menyampaikan semoga makalah ini dapat bermanfaat, baik sebagai sumber informasi maupun inspirasi bagi para pembaca.
Tangerang, Januari 2013
Hana Krisviana Penulis
1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1.
LATAR LATAR BELAKANG
Poster sering dikategorikan sebagai media luar ruang yang bertujuan untuk mencuri perhatian sebesar mungkin, oleh karena itu seringkali poster dibuat dengan warna-warna yang kontras dan desain yang seatraktif mungkin. Poster tidak dimaksudkan untuk sekedar ‘menyapa’ pejalan kaki yang lewat, namun n amun ‘mencegat’ mereka agar berhenti dan mau melihat pesan yang terkandung di dalamnya. Dengan sihirnya, poster dipakai untuk mengiklankan dan menjual sesuatu yang tidak hanya produk, namun juga ideologi, pemikiran, citra, dan lain sebagainya. Apapun yang ingin ‘dijual’ lewat poster, efek dan dampak visualitas yang ditimbulkannya itulah yang barangkali menjadikan poster sebagai medium penting di era periklanan massal dan komunikasi massa pada masyarakat. Jika ditilik, sejarah poster memang setua sejarah iklan jaman Mesir kuno yang ditulis di atas papirus untuk mempromosikan barang dagangan, berita kehilangan, dan lain-lain. Di reruntuhan kota Pompeii, negara-negara Arab kuno, Romawi dan Yunani kuno, poster dapat ditemukan dalam bentuk iklan dan kampanye politik 1. Barulah pada tahun 1440 ketika mesin cetak pertama kali ditemukan oleh Johannes Gutenberg, poster mulai mengalami perkembangan dalam d alam bentuk cetak. Berangkat dari papirus dan mesin cetak, cet ak, kini poster dapat kita temui dalam bentuk digital atau kertas raksasa yang tertempel di dinding untuk memberitahu tentang adanya event tertentu. Sekilas, memang poster lebih menonjolkan dimensi visual daripada tekstual. Namun yang lebih penting dari itu adalah informasi atau pesan yang terkandung terkandun g di dalamnya. Poster yang baik bak telegram visual”2, begitu menurut seniman poster asal Perancis,
“
A. M. Cassandre. Senada dengan itu, Abram Games menyatakan bahwa poster semestinya tidak mengatakan sebuah kisah melainkan membuat pernyataan. Dengan kata lain, sebuah poster harus lebih fokus untuk menyampaikan gagasan ketimbang bercerita dengan berteletele. Ibarat telegram, poster harus mampu menyampaikan sesuatu dengan kalimat terbatas
1 2
http://en.wikipedia.org/wiki/Advertising#History http://www.giga-usa.com/quotes/authors/a_m_cassandre_a001.htm
2
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1.
LATAR LATAR BELAKANG
Poster sering dikategorikan sebagai media luar ruang yang bertujuan untuk mencuri perhatian sebesar mungkin, oleh karena itu seringkali poster dibuat dengan warna-warna yang kontras dan desain yang seatraktif mungkin. Poster tidak dimaksudkan untuk sekedar ‘menyapa’ pejalan kaki yang lewat, namun n amun ‘mencegat’ mereka agar berhenti dan mau melihat pesan yang terkandung di dalamnya. Dengan sihirnya, poster dipakai untuk mengiklankan dan menjual sesuatu yang tidak hanya produk, namun juga ideologi, pemikiran, citra, dan lain sebagainya. Apapun yang ingin ‘dijual’ lewat poster, efek dan dampak visualitas yang ditimbulkannya itulah yang barangkali menjadikan poster sebagai medium penting di era periklanan massal dan komunikasi massa pada masyarakat. Jika ditilik, sejarah poster memang setua sejarah iklan jaman Mesir kuno yang ditulis di atas papirus untuk mempromosikan barang dagangan, berita kehilangan, dan lain-lain. Di reruntuhan kota Pompeii, negara-negara Arab kuno, Romawi dan Yunani kuno, poster dapat ditemukan dalam bentuk iklan dan kampanye politik 1. Barulah pada tahun 1440 ketika mesin cetak pertama kali ditemukan oleh Johannes Gutenberg, poster mulai mengalami perkembangan dalam d alam bentuk cetak. Berangkat dari papirus dan mesin cetak, cet ak, kini poster dapat kita temui dalam bentuk digital atau kertas raksasa yang tertempel di dinding untuk memberitahu tentang adanya event tertentu. Sekilas, memang poster lebih menonjolkan dimensi visual daripada tekstual. Namun yang lebih penting dari itu adalah informasi atau pesan yang terkandung terkandun g di dalamnya. Poster yang baik bak telegram visual”2, begitu menurut seniman poster asal Perancis,
“
A. M. Cassandre. Senada dengan itu, Abram Games menyatakan bahwa poster semestinya tidak mengatakan sebuah kisah melainkan membuat pernyataan. Dengan kata lain, sebuah poster harus lebih fokus untuk menyampaikan gagasan ketimbang bercerita dengan berteletele. Ibarat telegram, poster harus mampu menyampaikan sesuatu dengan kalimat terbatas
1 2
http://en.wikipedia.org/wiki/Advertising#History http://www.giga-usa.com/quotes/authors/a_m_cassandre_a001.htm
2
tapi mudah untuk dipahami. Oleh karena itu tidak aneh jika dalam pembuatan poster, desainer lebih mempunyai peran ketimbang penulis. Poster mengandung makna-makna terselubung yang mampu membujuk dan mempersuasi sasarannya untuk melakukan sesuatu. Hal yang paling nyata tentu terlihat pada masa Perang Dunia I
II. Peran poster sebagai media propaganda ampun mampu
–
memobilisasi dukungan, meningkatkan moralitas tentara yang sedang berperang, merekrut prajurit, menggalang dana dengan menggalakkan pembelian saham perang dan mendorong masyarakat untuk turut bekerja dalam industri alat perang, menurunkan moril prajurit lawan, serta meningkatkan patriotisme. Adapun makna tersebut didapat dari simbol yang dibuat sedemikian rupa sehingga dapat menyihir orang untuk melakukan sesuatu. Menurut Brent D. Ruben dan Lea P. Stewart dalam bukunya Communications and Human Behavior , simbol merupakan karakter, huruf, angka, kumpulan kata, obyek, manusia, atau tindakan yang mewakili atau mencerminkan sesuatu yang terlihat sebagaimana adanya. Simbol merepresentasikan suatu hal atau ide mengenai hal yang lain. Sehingga dengan kata lain, poster dapat dibilang merupakan kumpulan simbol kuat yang mempunyai agenda untuk merubah perilaku masyarakat. Apapun jenisnya, apakah poster propaganda atau politik, film, wisata, event , acara olahraga, atau konser, poster memiliki makna dan tanda tertentu yang lebih dalam dari apa yang sekedar terlihat di tampilan luarnya. Sangat penting untuk memisahkan tanda dan makna yang terkandung dalam sebuah poster, untuk menjelaskan mengapa satu tanda yang sama dapat memiliki makna yang berbeda-beda bagi setiap orang. Karena itulah, poster dapat dijadikan sebagai salah satu obyek kajian semiotika, mengingat semiotika merupakan salah satu model ilmu pengetahuan sosial yang berusaha untuk memahami dunia sebagai suatu sistem hubungan yang memiliki unit dasar dengan ‘tanda’3. Ahli semiotika, Umberto Eco bahkan menyebut tanda sebagai suatu ‘kebohongan’ yang mempunyai sesuatu yang tersembunyi di baliknya dan bukan merupakan tanda itu sendiri. Fokus utama pada semiotika terletak pada teks dalam arti luas yang dapat dijumpai dalam film, gambar, berita, novel, dan tidak hanya berupa tulisan. Dalam kaitannya dengan media massa, poster film menarik untuk dikaji karena tidak hanya merepresentasikan film dan pandangan si pembuat film, poster juga merupakan media 3
Wibowo, Indiwan Seto, Semiotika Komunikasi, Mitra Wacana Media, hal. 7
3
untuk menciptakan hiper-realitas lewat fenomena-fenomena yang dimaksudkan untuk menarik masyarakat untuk menonton filmnya. Sebagai media iklan atau pemasaran, poster film kerap menggunakan figur manusia pada penyajiannya. Figur manusia menurut Roderick White lebih mudah menyampaikan pesan kepada khalayak langsung ke intinya dan cepat diterima karena bekerja melalui jenis kelamin, ras, dan pekerjaan4. Namun dalam menyampaikan figur manusia, seringkali poster menampilkan citra pria atau perempuan menurut si pembuat film atau poster sehingga citra yang ditampilkan tidak sesuai dengan realitas. Dengan dalih menyesuaikan dengan isi film, poster seringkali menampilkan sosok pria sebagai pahlawan, kuat, mandiri. Sementara menurut penelitian Erving Goodman, perempuan cenderung digambarkan pemalu, penghayal, lembut, sangat suka dibohongi, dan butuh pertolongan. Ketika perempuan menjadi simbol dalam seni komersial, maka acapkali citranya ditampilkan secara diskriminatif, tendensius, dan bahkan menjadi subordinasi dari simbolsimbol kekuatan pria5. Bahkan terkadang, perempuan terkesan hanya merupakan simbol kelas sosial dan kehadirannya dalam kelas tersebut hanya karena kerelaan pria. Dengan makin meningkatnya karya seni kreatif dalam berbagai media massa, posisi perempuan menjadi sangat potensial untuk dikomersialkan dan dieksploitasi, mengingat posisi perempuan sebagai sumber inspirasi’ sekaligus tambang uang yang tidak ada habisnya.
‘
Poster film Pulp Fiction besutan Quentin Tarantino merupakan salah satu poster yang menampilkan figur perempuan di dalamnya. Namun figur yang ditampilkan tidak sesuai dengan penelitian Erving Goodman yang mengesankan perempuan sebagai damsel in distress. Poster Pulp Fiction yang menampilkan tokoh Mia Wallace, istri bos narkoba
Marsellus Wallace ini menampilkan citra yang lain dari figur perempuan pada umumnya, yaitu citra kekerasan perempuan. Adapun kekerasan yang dimaksud disini tidak berupa tampilan pipi biru lebam, namun berupa eksploitasi terhadap perempuan, baik itu eksploitasi tubuh maupun eksploitasi peran. Seperti dikatakan Alex Sobur dalam Analisis Teks Media, keseluruhan isi media pada hakekatnya merupakan konstruksi realitas. Apa yang terlihat merupakan hasil para pekerja media dalam mengkonstruksikan berbagai realitas yang dipilih. Poster pun tidak terlepas dari itu. Pemunculan figur-figur manusia dan visualisasi lain pada dasarnya adalah konstruksi 4 5
Roderick White, Advertising, McGraw-Hill, Singapore, 2000, hal. 258 Bungin, Burhan, Sosiologi Komunikasi, Kencana, 2006, hal. 350
4
realitas yang dilakukan oleh pembuat poster tersebut sebagai bagian dari proses pengerjaan isi media. Oleh karena itu, kajian isi pesan yang terkandung dalam poster film perlu diadakan untuk melihat proses dan kecenderungan yang mungkin ada dalam media massa ini. Dari sini diharapkan dapat diperoleh gambaran detil tentang makna tanda-tanda yang terkonstruksi pada media tersebut. 1. 2 RUMUSAN MASALAH
Dalam kajian ini ingin dijawab suatu pertanyaan mengenai bagaimanakah kekerasan perempuan direpresentasikan dalam tokoh perempuan melalui tanda-tanda verbal dan non verbal pada poster film Pulp Fiction? 1.3 TUJUAN PENELITIAN
Kajian ini bertujuan untuk mendapatkan temuan-temuan tentang bagaimana citra kekerasan perempuan ditampilkan dalam poster film Pulp Fiction, melalui pengungkapan tanda-tanda verbal dan non verbal yang tertera dalam poster. 1.3 MANFAAT PENELITIAN
Penelitian mengenai makna tanda-tanda ini bermanfaat untuk membuktikan kecenderungan media dalam mengkonstruksi realitas dengan cara menampilkan beragam bentuk citra kekerasan perempuan dalam balutan seni komersial. Penting untuk melakukan penelitian ini karena dewasa ini media kian pintar dalam membungkus konstruksinya, sehingga perlu kejelian dan kedalaman dalam melihat apa maksud tanda-tanda yang ditampilkannya.
5
BAB 2 KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 TANDA DAN MAKNA
Erns Cassier menyebut manusia sebagai animal symbolicum, yaitu makhluk atau ciptaan yang hidup dengan mempergunakan simbol, sehingga sudah merupakan hal kodrati bagi manusia untuk senantiasa melakukan penandaan bagi hal-hal di sekitarnya. Pada dasarnya manusia hidup dalam dunia yang penuh tanda atau simbol, dan jika ingin mengenalnya, manusia harus terlebih dahulu melakukan pemaknaan atas tanda tersebut dalam segala tindakan dan interaksinya. Manusia dengan akalnya berusaha menggunakan tanda untuk berbagai macam tujuan dalam upayanya untuk lebih memahami serta mengenal semesta tempatnya tinggal. Pemikiran ini senada dengan pendapat Charles Sanders Peirce, pemikir argumentatif dan filsuf Amerika yang disebut-sebut paling orisinal dan multidimensional, yang mengatakan bahwa tanda memungkinkan manusia untuk berpikir, berhubungan dengan orang lain, dan memberikan makna pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta Adapun tanda merupakan sesuatu yang bersifat fisik, bisa dipersepsi indera, mengacu pada sesuatu di luar tanda itu sendiri, dan bergantung pada pengenalan oleh penggunanya. Secara singkat, tanda merupakan sesuatu yang berdiri atas sesuatu yang lain. Tanda dapat dikatakan sebagai media untuk mengemas maksud atau pesan dalam setiap peristiwa komunikasi dimana manusia saling melontarkan tanda dan dari tanda-tanda tersebut terbentuklah suatu makna yang berkenaan dengan eksistensi masing-masing individu. Tanda mempunyai dua dimensi. Pertama, ekspresi, yang merupakan bentuk fisik tanda atau tanda itu sendiri. Misalnya simbol kata-kata, rambu lalu lintas. Kedua, isi, yang merupakan isi dari tanda tersebut. Inilah yang dikatakan sebagai makna dari tanda. Sementara makna menurut Shimp merupakan tanggapan internal yang dimiliki atau diacu seseorang terhadap rangsangan dari luar. Senada dengan itu, Schramm mengatakan bahwa makna selalu bersifat individual dan dibangun berdasar pengalaman pribadi sehingga dua inividu bisa mempunyai pemaknaan berbeda walaupun mereka sedang memperhatikan objek yang sama. Saussure berpendapat, makna tidak dapat berdiri sendiri melainkan sangat dipengaruhi oleh 6
tanda-tanda lainnya. Makna dapat dipahami sebagai gabungan antara beberapa unsur, sehingga jika berdiri sendiri, suatu unsur tidak dapat membentuk sebuah makna yang utuh. Pada dasarnya makna mengacu pada kepentingan-kepentingan si pembuat makna, baik berupa kepentingan budaya, ekonomi, sosial, politik, dan lain sebagainya. Adapun berdasar pemikiran BrodBeck, makna mempunyai tiga corak, yaitu: 1. Makna inferensial, yaitu makna satu kata (lambang) berupa objek, pikiran, gagasan, konsep yang dirujuk kata tersebut. 2. Makna significance, yaitu istilah yang dihubungkan dengan konsep lain atau arti istilah tersebut. 3. Makna intensional , yaitu makna yang menekankan maksud pembicara. Dalam penelitian ini, konsep tanda dan makna mengacu pada konsep tanda Charles Sanders Peirce yang akan dibahas lebih lanjut dalam bab berikutnya. 2.1 POSTER FILM DAN KONSTRUKSI REALITAS MEDIA MASSA Film dan Poster Film Sebagai Media Massa
Sejak diperkenalkan pada sekitar abad ke-19 oleh gabungan usaha antara Thomas Edison, W. K. L. Dickson, George Eastman, Lumiere bersaudara dan beberapa penemu lainnya, film telah menjadi fenomena yang mampu menyihir para penontonnya. Sejak dahulu hingga sekarang, masyarakat telah tersihir oleh fenomena visual tersebut sehingga mereka terpancing untuk bertindak sesuai apa yang mereka lihat di film, seolah yang mereka saksikan merupakan kenyataan itu sediri. Walaupun awalnya kegunaan film diperuntukkan sebagai media hiburan, antusiasme masyarakat yang sedemikian rupa menunjukkan bahwa film ternyata memiliki kekuatan dan kemampuan dalam menjangkau banyak segmen sosial serta mengkomunikasikan
berbagai
macam
pesan.
Adapun
pada
mulanya,
pesan
yang
dikomunikasikan lewat film masih berupa pesan yang terbebas dari unsur politik, ekonomi, sosial, dan lain sebagainya. Namun seiring perkembangan jaman, unsur komunikasi film yang begitu luas dan dapat menjangkau berbagai kalangan mulai dimanfaatkan untuk keperluan propaganda, atau untuk mensosialisasikan ideologi juga pemikiran kepada khalayak luas. Misalnya saja film propaganda Nazi, Triumph of the Will (1934), besutan sutradara Leni Riefenstahl yang ingin menampilkan kehebatan Jerman dalam memulihkan diri pasca kekalahan di Perang Dunia I, serta keagungan Adolf Hitler sebagai pemimpin baru 7
yang akan memimpin mereka keluar dari keterpurukan. Seiring dengan perkembangan industri film, penggunaan poster sebagai media promosi juga mulai digalakkan. Meminjam kegunaannya sebagai alat iklan, poster digunakan sebagai garda depan dalam peperangan menarik perhatian penonton. Sekitar awal tahun 1900-an, poster film berwujud ilustrasi salah satu atau beberapa adegan. Kemudian di tahuntahun selanjutnya, poster film menggunakan interpretasi artistik dari salah satu adegan atau bahkan tema dari film itu sendiri, yang diwakili dengan berbagai macam gaya artistik. Seringkali pesan-pesan yang terdapat dalam film, dinyatakan juga dalam poster film melalui kumpulan tanda terkait. Menurut Cangara, media massa didefinisikan sebagai alat yang digunakan dalam penyampaian pesan-pesan dari sumber kepada khalayak (penerima) dengan menggunakan alat-alat komunikasi mekanis. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila poster film dan film itu sendiri dikatakan sebagai media massa. Kemudian seperti halnya media massa yang lain, poster film dan film tentu tidak terhindar dari kecenderungan untuk mengkonstruksi realitas sosial. Konstruksi Realitas Media Massa
Istilah konstruksi sosial atas realitas (social construction of reality), menjadi terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann melalui bukunya yang berjudul The Social Construction of Reality, a Treatise in the Sociological of Knowledge (Bungin,
“
”
2006: 189). Isi media merupakan suatu bentuk konstruksi realitas sosial. Media melakukan konstruksi terhadap pesan-pesan yang disampaikan melalui tulisan, gambar, suara, atau simbol lain melalui proses penyeleksian dan menipulasi tertentu sesuai keinginan atau ideologi media tersebut. Pada dasarnya, masyarakat menerima suatu bentuk realitas yang dikonstruksi oleh media. Menurut Gerbner dan kawan-kawan, dunia simbol media membentuk konsepsi khalayak tentang dunia nyata. Dengan kata lain, media merupakan konstruksi realitas. Realitas sosial menurut Berger dan Luckmann adalah pengetahuan yang bersifat keseharian yang hidup dan berkembang di masyarakat seperti konsep, kesadaran umum, wacana publik, sebagai hasil dari konstruksi sosial6. Adapun realitas sosial ini terbentuk
6
Burhan Bungin, Imaji Media Massa, Jendela, Yogyakarta, 2001, hal. 12
8
melalui tiga tahap, yaitu: a. Eksternalisasi, yaitu saat terjadi interaksi antara individu dengan produk sosial masyarakatnya dan kemudian individu tersebut menyesuaikan diri (esternalisasi) ke dalamnya. Tahap ini terjadi ketika sebuah produk sosial sudah menjadi suatu bagian penting yang selalu dibutuhkan oleh individu dalam melihat dunia luar. b. Objektivasi, yaitu tahap saat individu memanifestasikan diri dalam produk-produk sosial, baik penciptanya maupun individu lain. Tahap ini dapat terjadi tanpa harus ada tatap muka, bisa melalui penyebaran opini di masyarakat tentang produk sosial tersebut. c. Internalisasi, merupakan proses pemahaman atau penafsiran langsung dari dari suatu peristiwa objektif. Tahap ini adalah proses pengungkapan suatu makna sehingga makna tersebut mempunyai nilai subjektif bagi individu yang bersangkutan. Dalam hal ini konstruksi sosial merupakan sebuah pandangan yang mengatakan bahwa semua nilai, ideologi, dan institusi sosial. Komunikasi, terutama dari media masa, tidak dapat terlepas dari konstruksi-konstruksi realitas sosial. Alex Sobur berpendapat bahwa isi media merupakan hasil konstruksi beberapa realitas yang dipilih oleh para pekerja media. Terdorong oleh hal tersebut, penelitian ini ingin memberi gambaran tentang realitas simbolik dalam proses konstruksi yang dilakukan oleh pembuat poster film Pulp Fiction. Dimana simbol-simbol yang terdapat disana merupakan hasil dari konstruksi tanda yang dibuat pada tahap objektivasi untuk kemudian diinternalisasikan dalam benak pemirsa film tersebut, secara khusus. Pembentukan Konstruksi Citra
Menurut Burhan Bungin dalam bukunya Sosiologi Komunikasi, pembentukan konstruksi citra adalah bangunan yang diinginkan oleh tahap konstruksi. Adapun konstruksi citra yang dibangun oleh media massa, terbentuk dalam dua model; (1) model good news dan (2) model bad news. Pada model good news, objek dikonstruksi sebagai sesuatu yang memiliki citra
baik sehingga terkesan lebih baik dari kebaikan sesungguhnya. Sementara pada model bad news, sebuah konstruksi cenderung membangun kejelekan atau memberi citra buruk pada
objek sehingga terlihat lebih jelek, buruk, jahat dari sesungguhnya. Citra-citra tersebut menyebabnya terbentuknya konstruksi engetahuan dan/atau 9
wacana dalam dunia kognitif yang hanya hidup dalam pikiran individu dan simbol-simbol masyaraat namun sebenarnya tidak ditemukan dalam dunia nyata. Refleksi realitas tersebut baru terlihat saat individu yang bersangkutan harus menentukan pilihan mereka terhadap produk untuk dipakai. Menurut Tomagola, citra perempuan yang biasa digambarkan oleh media massa, khususnya media cetak, adalah sebagai berikut: a. Citra pigura, yaitu penekanan terhadap pentingnya perempuan untuk selalu tampil memikat dengan mempertegas sifat kewanitaannya secara biologis, atau dengan menebar isu „natural anatomy‟ bahwa ketuaan perempuan merupakan momok yang tidak dapat dihindari. b. Citra pilar, yaitu penggambaran perempuan sebagai tulang punggung utama keluarga. Namun karena kodratnya berbeda dengan laki-laki, perempuan digambarkan memiliki tanggung jawab terhadap persoalan domestik (rumah tangga) c. Citra pinggan, yaitu penggambaran perempuan yang tidak bisa lepas dari dapur, mengingat anggapan bahwa dapur merupakan „dunia perempuan‟. d. Citra pergaulan, yaitu citra yang menunjukkan pergulatan perempuan untuk masuk ke dalam kelas tertentu yang lebih tinggi di masyarakatnya. Adapun selain keempat citra di atas, Burhan Bungin menyatakan bahwa ada satu lagi citra yang bersifat bad news atau memberi citra buruk bagi perempuan, yaitu citra kekerasan. Kekerasan yang dimaksud disini tidak berwujud dalam bentuk lebam-lebam atau wajah yang berdarah, namun berupa eksploitasi perempuan. Terkadang tampil pula sosok perempuan yang lebih keras, yang keluar dari stereotip perempuan sebagai sosok lembut dan tak berdaya. Misalnya dalam bungkus perayu, penindas, atau bahkan sebagai pecundang. Itulah yang ingin dikaji dalam penelitian ini.
10
Bab 3 PARADIGMA PENELITIAN
3.1 LANDASAN TEORI
Semiotika merupakan istilah dari bahasa yunani semion atau tanda. Di sini “tanda” memiliki
arti khusus, mengacu pada konteks sosial dan budaya di mana semua tanda digunakan agar kita memperoleh signifikansi atau makna tertentu. Bahasa dan sistem simbolis lainnya seperti musik dan gambar disebut sistem “tanda”, karena mereka diatur, dipelajari, dan ditularkan
berdasarkan aturan dan konvensi bersama oleh suatu masyarakat. Mengenai hal tersebut, Marcel Danesi dalam buku Pesan, Tanda, dan Makna memberi penjelasan bahwa semiotika adalah ilmu yang mencoba menjawab pertanyaan: Apa yang dimaksud dengan X? Adapun X dapat berupa apa saja, mulai dari kata, gambar, warna,
maupun komposisi musik atau film. X juga dapat dimaknai secara berbeda, misalnya X adalah warna utih. X dapat dimaknai sebagai Y (salah satu warna primer), namun dapat juga dimaknai sebagai V (kesucian) atau Z (tanda menyerah – bendera putih). Penggambaran dan penelusuran sifat X sebagai Y, V, maupun Z itulah yang menjadi subjek penelitian semiotika. Memahami semiotika tidak dapat terlepas dari pengaruh teori yang dicetuskan oleh, terutama, Ferdinand De Saussure, Charles Sanders Peirce, juga Roland Barthes. Teori ini bercabang menjadi beberapa aliran yang antara lain dikatakan sebagai aliran strukturalis dan pragmatis. Para strukturalis (Ferdinand De Saussure dan pengikutnya, salah satunya Roland Barthes), melihat tanda sebagai pertemuan antara bentuk (yang tercipta dalam kognisi seseorang) dan makna (atau isi, pemahaman manusia sebagai pemakai tanda) yang menstruktur dan terstruktur dalam kognisi manusia, sehingga hubungan antara tanda dan makna tidak bersifat pribadi namun sosial, yang didasari oleh kesepakatan (kovensi) sosial. Sementara itu, para pragmatis (Charles Sanders Peirce) melihat tanda sebagai “sesuatu yang mewakili sesuatu”. Dalam teorinya, Peirce memandang bahwa tanda terdiri
atas representament (perwakilan), object (sesuatu yang ada dalam kognisi manusia), dan interpretant (proses penafsiran). Selanjutnya, teknik yang akan dipakai dalam mengkaji
penelitian ini akan menggunakan teori semiotika milik Charles Sanders Peirce. Teori Semiotika Charles S. Peirce 11
Charles Sanders Peirce lahir pada tahun 1839 dalam keluarga intelektual. Ayahnya, Benjamin Peirce merupakan profesor dalam bidang astronomi dan matematika di Harvard University. Oleh karena itu tidak heran jike Peirce kemudian juga mempunyai prestasi yang membanggakan di Harvard. Pada tahun 1859, dia menerima gelar B. A. dari universitas tersebut, lalu M. A dan B. Sc pada tahun 1862 dan 1863. Teori Peirce seringkali disebut sebagai grand theory dalam dunia semiotika, mengingat gagasannya yang bersifat menyeluruh dan merupakan deskripsi struktural dai semua sistem penandaan. Oleh karena itu tidak heran jika teori semiosis triadik Peirce digunakan untuk menganalisis suatu tanda.
Dalam segitiga tanda Peirce, tanda atau representamen merupakan sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain dalam beberapa hal. Sesuatu yang lain itu disebut sebagai interpretan, yang akan mengacu pada objek tertentu. Maka dari itu, Peirce mengatakan
bahwa sebuah tanda atau representamen memiliki hubungan triadik langsung dengan interpretan dan objeknya. Proses inilah yang dikatakan sebagai semiosis. Tipologi Tanda versi Peirce
Peirce mengklasifikasikan tipe-tipe tanda menjadi: ikon (icon), indeks (index), dan simbol (symbol) yang dibangun atas relasi antara representamen, objek, dan interpretannya.
1. Ikon: merupakan tanda yang mengandung kemiripan „rupa‟ sehingga mudah dikenali para penggunanya. Dalam tipe ini, hubungan antara representamen dan objeknya mempunyai kesamaan dalam beberapa kualitas. Contohnya rambu lalu lintas untuk berjalan yang mempunyai kesamaan dengan objek sebenarnya (orang berjalan) dapat dikategorikan ikonik.
12
2. Indeks: merupakan tanda yang memiliki keterkaitan fenomenal atau eksistensial diantara representamen dan objeknya. Dalam indeks, hubungan antara tanda dengan objeknya bersifat konkret, aktual. Contohnya, jejak telapak kaki di atas permukaan tanah merupakan indeks dari seseorang atau binatang yang lewat disana. 3. Simbol: merupakan tanda yang didasarkan atas kesepakatan atau konvensi sejumlah orang atau masyarakat. Misalnya adalah tanda-tanda kebahasaan. Meski begitu, dalam prakteknya, tanda tidak dapat dilakukan secara eksklusif sebab dalam konteks tertentu, ikon dapat menjadi simbol, atau simbol berupa ikon. Bahkan disamping menjadi indeks, sebuah tanda sekaligus juga bisa berfungsi sebagai simbol. Dari perbagai kemungkinan persilangan antara seluruh tipe tanda ini dapat dihasilkan puluhan kombinasi yang kompleks. 3.1 METODE PENGUMPULAN DATA
Metode pengumpulan data dilakukan secara kualitatif dengan mengamati secara langsung tanda-tanda yang terdapat dalam poster film, serta menonton filmnya untuk mendapat gambaran mengenai karakter tokoh. Selain itu referensi didapatkan dari studi pustaka dan studi internet untuk mempelajari teori semiotika Charles Sanders Peirce dan cara menganalisa tandanya.
13
BAB 4 PEMBAHASAN
4.1 SEKILAS TENTANG FILM PUL P FI CTION
Pulp Fiction (1994) merupakan film kriminal yang disutradari oleh sutradara Amerika
terkenal, Quentin Tarantino. Film ini terutama terkenal karena dialognya yang cerdas, humor satir mengenai kekerasan, dan alur cerita non-linear yang tidak biasa. Pulp Fiction dinominasikan untuk tujuh penghargaan Oscar, penghargaan paling bergengsi dalam dunia perfilman, yaitu: Best Picture, Best Original Screenplay (menang), Best Director, Best Actor (John Travolta), Best Supporting Actress (Uma Thurman), Best Supporting Actor (Samuel L. Jackson), Best Film Editing . Pulp Fiction bercerita seputar dunia mafia Los Angeles dan terdiri atas tujuh bagian
yang walaupun bercerita secara terpisah, mempunyai benang merah yang dapat ditarik. 1. Prologue – The Diner
Bercerita tentang sepasang kekasih, “Pumpkin” (Tim Roth) dan “Honey Bunny” (Amanda Plummer) yang mencoba merampok sebuah kedai makan di pagi hari. 2. Prelude to “Vincent Vega and Marsellus Wallace‟s Wife”
Nama Mia Wallace (Uma Thurman), istri bos mafia narkoba Marsellus Wallace (Ving Rhames), pertama kali disebut dalam bagian ini saat Vincent Vega (John Travolta) dan partnernya Jules Winnfield (Samuel L. Jackson) terlibat dalam diskusi sebelum melaksanakan tugas dari Marsellus (mengambil koper berisi uang). Disini disebut Vincent Vega telah diminta secara khusus oleh Marsellus untuk menemani istrinya saat dia pergi. 3. “Vincent Vega and Marsellus Wallace‟s Wife”
Acara makan malam Vincent Vega dengan Mia Wallace yang diwarnai dansa dansi, namun tidak berakhir dengan adegan ranjang. Jauh dari itu, bagian ini berakhir dengan
adegan
overdosis
Mia
yang
kemudian
memaksa
Vincent
untuk 14
menyelamatkannya. Walaupun sama-sama menunjukkan ketertarikan satu sama lain, bagian ini sama sekali tidak mengandung unsur seksualitas. 4. Prelude to “The Gold Watch” (a– flashback, b – present)
Bercerita seputar Butch (Bruce Willis), seorang petinju yang mengadakan bisnis dengan Marsellus Wallace. Marsellus membayarnya untuk mengalah dalam suatu pertandingan, namun ternyata Butch mengkhianati perjanjian mereka. 5. “The Gold Watch”
Lanjutan dari kisah Butch. Butch yang kini diburu anak buah Marsellus sudah berencana untuk kabur dari Los Angeles, namun terpaksa harus kembali saat jam tangan emas peninggalan ayahnya ketinggalan di apartemen. Suatu hal yang memicu banyak kejadian lanjutan. 6. “The Bonnie Situation”
Pasca Vincent Vega dan Jules Winnfield mengambil koper berisi uang, Vincent secara tidak sengaja menembak kepala informan mereka sehingga mengotori seluruh mobil. Jules berinisiatif membawa mereka berdua ke rumah temannya, Jimmie (Quentin Tarantino), yang malah membawa masalah baru karena istri Jimmie diprediksi akan segera pulang dari kerja dan dia tidak ingin istrinya mengetahui ada mobil berlumur darah di garasi mereka. Masalah ini kemudian terpecahkan dengan bantuan Winston Wolf (Harvey Keitel), pemecah masalah untuk para mafia. 7. Epilogue – The Diner
Penceritaan babak pertama dari sudut pandang berbeda. Dalam kedai makan yang akan dirampok “Pumpkin” dan “Honey Bunny” ternyata juga ada Vincent Vega dan
Jules Winnfield yang mampir makan setelah pergi dari rumah Jimmie. Epilog ini diceritakan dari sudut pandang Vincent dan Jules yang berhasil menghentikan perampokan amatir tersebut. Film ini sering dikategorikan sebagai film neo-noir (noir: film kriminal klasik Hollywood) dan dipuji kritikus atas satir gelapnya (black comedy). Suatu hal yang membuatnya tidak lekang dimakan waktu dan menjadi inspirasi bagi banyak film sejenis di kemudian hari. 15
4.2 IDENTIFIKASI DAN KLASIFIKASI TANDA
Identifikasi dan klasifikasi tanda yang dilakukan dalam penelitian ini bertujuan untuk mengadaptasi jenis-jenis tanda berdasarkan hubungan objek dengan tanda seperti yang dikemukakan oleh Pierce. Jenis Tanda
Penjelasan
Unit Analisa
Ikon
Tanda berhubungan dengan objek karena
-
Gambar perempuan
adanya keserupaan
-
Gambar lampu tidur
-
Gambar tempat tidur
-
Gambar bantal
-
Gambar pistol
-
Gambar buku 16
Indeks
-
Gambar rokok
Adanya hubungan eksistensi atau sebab
-
Warna header judul
akibat yang ditimbulkan objek
-
Pandangan perempuan
-
Posisi tubuh perempuan
-
Kaki perempuan yang terlipat ke atas
-
Sepatu perempuan
-
Gestur tangan perempuan
-
Warna lipstik perempuan
-
Warna kuteks perempuan
-
Baju perempuan
-
Warna kalung perempuan
-
Gaya rambut perempuan
-
Belahan dada perempuan
Simbol
Tanda yang diakui keberadaannya
Cahaya lampu
Teks judul, teks sub-judul
berdasar konvensi
Makna Tanda-Tanda Tipe Icon
No. Tanda
Objek
Interpretant
1.
Gambar perempuan
Sama dengan tanda
Objek seks
2.
Gambar lampu tidur
Sama dengan tanda
Pelengkap suasana kamar tidur
3.
Gambar tempat tidur
Sama dengan tanda
Ruang privat untuk 17
berhubungan intim 4.
Gambar bantal
Sama dengan tanda
Eksistensi suasana yang berkaitan dengan kamar tidur
5.
Gambar pistol
Sama dengan tanda
Penggambaran nuansa berbahaya dan ilusi dominasi
6.
Gambar buku
Sama dengan tanda
Penggambaran bahwa film ini mempunyai arti filosofis dan mempunyai alur yang kompleks selayaknya buku
7.
Gambar rokok
Sama dengan tanda
Manifestasi karakter perempuan penggoda
Pada tanda ikon nomor 1 terdapat tanda berupa visual gambar perempuan. Berdasar hubungan antara tanda dan objek pada tanda tipe ikon, maka tanda dan objek sama-sama merujuk pada perempuan sebagai objek seks, sebab gambar perempuan diletakkan pada posisi sedemikian rupa dalam sebuah kamar tidur yang menurut anggapan masyarakat, merupakan tempat privat untuk berhubungan intim. Adapun penggambaran tersebut diperkuat dengan adanya lampu tidur pada ikon nomor 2, tempat tidur dengan sprei yang terlipat seolah baru ditiduri ada nomor 3, lalu bantal yang dipegang oleh sosok perempuan pada ikon nomor 4. Gambar pistol pada umumnya menunjukkan maskulinitas laki-laki, namun dalam hal ini pistol dimaksudkan untuk memberi ilusi dominasi pada karakter perempuan dalam gambar dan nuansa „perempuan penggoda berbahaya‟. Pistol yang digunakan bertipe semiautomatic pistol , tipe yang umum digunakan oleh rakyat sipil dan hanya dapat menembakkan
peluru sebanyak 5 sampai 6 kali sebelum diisi ulang. Jika dibandingkan dengan machine gun yang berukuran besar dan kerap digunakan untuk merepresentasikan kejantanan dan dominasi yang sesungguhnya atas lawan, pistol dalam poster ini tentu terasa kecil. Machine gun dalam film Rambo, misalnya, dimaksudkan untuk menimbulkan efek teror dan takut pada lawan sebelum berperang. Berbeda dengan itu, semi-automatic pistol dalam poster ini tidak dimaksudkan untuk memberi efek teror, namun ilusi dominasi perempuan atas laki-laki. Ibarat pukulan pada badan, pistol ini hanya merupakan cubitan ringan sarat godaan, dan bukan pukulan keras untuk menunjukkan dominasi dan maskulinitas sesungguhnya. Apabila 18
pistol besar yang dipegang oleh laki-laki dapat merepresentasikan hal tersebut, pistol dalam gambar ini justru makin menegaskan posisi perempuan sebagai sub-ordinat. Secara kasar, keberadaannya menunjukkan bahwa „perempuan boleh memegang pistol, na mun hanya yang paling kecil saja‟, walaupun juga sekaligus menunjukkan bahwa film ini mempunyai unsur
kekerasan. Peranan buku dalam poster ini adalah untuk menunjukkan kompleksitas alur film, kecerdasan dialog, bahwa film dibangun atas ideologi dan filosofi tertentu selayaknya sebuah buku. Pulp Fiction memang bukanlah sebuah film konvensional yang mempunyai satu alur yang maju atau mundur. Terdiri atas tujuh alur yang non-linear, film Pulp Fiction memang dimaksudkan untuk memiliki kompleksitas alur sebuah buku. Walaupun rokok sudah jelas dapat mengakibatkan berbagai macam bahaya dari segi kesehatan, rokok masih terbukti menjadi barang yang digemari oleh masyarakat. Marcel Danesi mengatakan, pada dasarnya orang merokok karena alasan sosialisasi. Dalam dunia semiotika, merokok dan gestur orang saat merokok dapat mengandung berbagai macam arti. Misalnya, Allan Pease dalam bukunya Body Language mengatakan bahwa seseorang yang memegang rokoknya ke atas dan meniup asapnya ke arah atas, pada hakekatnya ingin menunjukkan superioritas dan kepercayaan diri. Sebaliknya, orang yang menghembuskan asap rokoknya ke bawah, menunjukkan ketidakpercayaan diri, sekaligus rasa grogi dan perasaan negatif. Dalam kaitannya dengan seksualitas dan gender, rokok seringkali digunakan sebagai ekspresi menggoda. Saat seorang perempuan memelintir rokok diantara jari telunjuk dan jari tengahnya, sembari menunjukkan kulit pergelangan tangannya, hal tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah bentuk ketertarikan seksual terhadap lawan bicaranya sekaligus mempertegas sisi erotisme gerakan tersebut.
Makna Tanda-tanda Tipe Indeks
No.
Tanda
Objek
Interpretant
1.
Warna header judul
Warna teks kuning di atas
Mengacu pada judul film.
latar merah. Kuning
Teks kuning di atas latar
memberikan kesan murah,
menunjukkan kemiripan
sementara merah yang
dengan pulp magazine atau
lebih kontras sering
majalah murah yang populer 19
diasosiasikan dengan
di Amerika pada tahun 1896
bahaya, nafsu, gairah,
sampai 1950-an.
agresi. 2.
3.
4.
Pandangan perempuan
Posisi tubuh perempuan
Kaki perempuan
Arah pandangan
Menunjukkan ekspresi
mengerling
menggoda yang sensual.
Berbaring rendah,
Manifestasi posisi perempuan
menunjukkan posisi sub-
yang lebih rendah dari laki-
ordinat
laki
Terlipat ke atas
Memberi ilusi perempuan yang penurut, selayaknya anak kecil yang suka melipat kaki di atas tempat tidur.
5.
Sepatu perempuan
Berhak tinggi
Hak tinggi diinterpretasikan sebagai simbol seksualitas
6.
Gestur tangan
Telapak tangan membuka,
Bagian pergelangan tangan
perempuan
mengekspos bagian
merupakan salah satu area
pergelangan tangan
tubuh yang paling erotis. Mengeksposnya berarti menunjukkan tanda seksualitas.
7.
Warna lipstick
Merah, konotasi seksual
Mempertegas erotisme dan sensualitas
Merah, konotasi seksual
Mempertegas erotisme dan
perempuan 8.
Warna kuteks perempuan
9.
Baju perempuan
sensualitas Hitam dan berpotongan leher rendah
Warna hitam diartikan sebagai kekuatan, ketidakbahagiaan, kesedihan, kejahatan, seksualitas. Potongan leher rendah dimaksudkan untuk memperlihatkan area tertutup dari bagian tubuh perempuan.
10.
Kalung perempuan
Berwarna merah dan berbentuk bundar, dengan
Kalung tidak dimaksudkan untuk menjadi perhiasan 20
tali yang melingkari leher.
tubuh karena berbentuk sangat
Konotasi seksual
sederhana, namun untuk sekali lagi menegaskan seksualitas lewat warna merah bandulnya.
11.
Gaya rambut
Gaya rambut pageboy
Merepresentasikan
perempuan
yang dipopulerkan oleh
pemberontak, lepas dari
Bettie Page, model erotis
stereotip perempuan yang 'harus' berambut panjang.
12.
13.
Belahan dada
Terekspos, mempertegas
perempuan
kewanitaan
Cahaya lampu
Temaram
Menunjukkan seksualitas.
Memberi nuansa gelap pada keseluruhan suasana, memberi citra bahwa film ini bukanlah sebuah film yang cerah ceria.
Pada tanda indeks 1, terdapat header judul film ini. Teks berwarna kuning, dan diletakkan di atas latar belakang merah. Warna yang kontras dan mencolok ini dimaksudkan untuk merepresentasikan majalah murah (pulp magazine), yang umumnya banyak memanfaatkan kontrasnya warna kuning dan merah di kaver depannya. Majalah jenis ini terutama populer pada sekitar tahun 1896 sampai 1950-an dan memuat cerita-cerita fiksi bombastis, serta seringkali menyertakan unsur erotisme. Warna kuning juga umum digunakan untuk menyebut jurnalisme yang mengedepankan cerita yang bombastis (biasanya dengan unsur kekerasan dan seksualitas), yellow journalism. Disebut yellow journalism karena pada masa itu, koran tersebut dicetak di kertas warna kuning. Sehingga dengan kata lain, warna ini sering dipakai untuk menggambark an citra „murahan‟. Citra tersebut dipadu dengan warna merah yang menunjukkan kesan agresi, berani, serta nafsu dan gairah, sehingga semakin memiripkan header ini dengan ciri khas pulp magazine tersebut.
21
Pola kemiripan header antara pulp magazine (gambar 1 dan 2) dengan poster film
Menurut Allan Pease, mata sering digunakan untuk menandakan ekspresi menggoda atau menunjukkan ketertarikan secara seksual. Hal inilah yang kemudian menyebabkan perempuan seringkali menggunakan make up di daerah mata, guna mempertegas ketertarikan tersebut. Pandangan mata yang mengerling, serta dibarengi dengan naiknya alis dan bibir yang terkatup menunjukkan ekspresi menggoda yang mempunyai konotasi seksual. Berbeda jika pandangan tersebut dilakukan bersamaan dengan senyuman, hal tersebut bisa saja merupakan perwujudan rasa ketertarikan dan belum tentu harus diinterpretasikan secara seksual. Dalam hubungan sosial, pada hubungan perempuan dan laki-laki, posisi perempuan selalu ditempatkan pada posisi “wengking”, “orang belakang”, “subordinasi”, perempuan selalu yang kalah, sebagai “pemuas” pria, pelengkap dunia laki -laki (Bungin, 2006: 351). Hal
inilah yang ditampilkan lewat posisi tubuh perempuan dalam gambar yang berbaring rebah, dalam posisi rendah di ranjang, alih-alih berdiri atau melakukan gestur dominan seperti yang banyak ditampilkan laki-laki dalam berbagai tayangan media. Posisi tersebut dapat diartikan sebagai manifestasi citra perempuan yang adalah sub-ordinat laki-laki. Kaki perempuan yang terlipat di atas tempat tidur pada tanda indeks 3 merupakan representasi dari gestur anak kecil yang suka mengangkat kakinya dan melipat ke atas pada saat dia berada di tempat tidur, dan bukan gestur kaki terlipat orang dewasa yang 22
menyilangkan kaki di atas satu kaki lain saat duduk. Anak kecil pada dasarnya hampir selalu diidentikkan dengan objek penurut yang harus selalu 'manut' dengan orangtuanya, sebuah bentuk kepasifan terselubung. Kaki yang tersilang tersebut juga memberi makna bahwa perempuan di gambar ini harus menjadi seorang subjek pasif, dan memberi kesan bahwa dia tidak dalam posisi untuk bertindak aktif.
Pola kemiripan antara gambar kiri (anak kecil) dengan kaki perempuan pada gambar kanan
Secara kontras, gestur kaki terlipat tersebut dipadukan dengan sepatu hitam berhak tinggi yang berada dalam tanda indeks 4. Marcel Danesi dalam bukunya Of Cigarettes, High Heels, and other Interesting Things, mengatakan bahwa penggunakaan sepatu berhak tinggi
oleh perempuan memiliki konotasi seksual. Pada jaman batu, manusia menggunakan sepatu untuk melindungi kakinya dari bebatuan tajam atau dinginnya lingkungan mereka. Sepatu tersebut umumnya terbuat dari kulit binatang dan diikat secara sederhana pada kaki mereka. Maka tidak diragukan lagi jika sebenarnya kegunaan sepatu adalah untuk melindungi kulit dan memungkinkan penggunanya untuk berjalan dengan nyaman dan tanpa rasa sakit. Pada mulanya, sepatu berhak tinggi digunakan oleh Raja Louis XIV dari Perancis untuk mengatasi tubuhnya yang cenderung pendek, namun dewasa ini sepatu berhak tinggi telah beralih fungsi dari kepraktisan dan kenyamanan menjadi suatu properti fashion yang seringkali malah menimbulkan rasa sakit ketika digunakan untuk berjalan, atau menyebabkan berbagai permasalahan pada kaki. Sepatu berhak tinggi menyebabkan penggunanya untuk cenderung berdiri lebih tegak dan membusungkan dada serta pantat sehingga mempertegas seksualitas seorang perempuan. Keberadaan sepatu ini juga menegaskan peran sensual kaki. Seperti yang juga ditulis oleh sejarawan William Rossi dan dilansir Danesi, perempuan tampak lebih seksi dalam balutan stocking atau sepatu berhak tinggi daripada tanpa kedua hal tersebut. Gestur tangan perempuan yang membuka, memperlihatkan telapak tangan, serta 23
mengekspos bagian pergelangan tangan pada tanda indeks 5 merupakan bagian dari aktivitas menggoda yang mempunyai konotasi seksual. Pendapat ini diutarakan oleh Allan Pease dalam Body Language, yang mengatakan bahwa seorang perempuan yang ingin menunjukkan ketertarikannya, terutama dalam hal seksual, terhadap lawan bicara secara perlahan akan mengekspos kulit pergelangan tangannya. Pergelangan tangan merupakan salah satu area tubuh yang dianggap paling erotis dan mempunyai konotasi seksual. Gerakan ini terutama lebih mudah dilakukan sambil merokok, sehingga ada lebih banyak kesempatan untuk membuka telapak tangan dan mengekspos kulit pergelangan tangan sambil berhicara. Repetisi warna merah yang terdapat pada lipstick (tanda indeks nomor 6), kuteks (tanda indeks nomor 7), dan kalung (tanda indeks nomor 9) semakin mempertegas seksualitas perempuan yang terdapat pada gambar. Warna merah pada dasarnya antara lain melambangkan kesan energi, kekuatan, hasrat, erotisme, keberanian, agresi, nafsu, kehangatan, darah, resiko, cinta, perjuangan, perhatian, perang, bahaya, kecepatan, panas, kekerasan. Dalam hal ini, jika mengingat kaitannya dengan tanda-tanda yang lain, representasi yang paling cocok adalah hasrat, erotisme, dan nafsu. Terutama warna merah yang terdapat pada lipstick. Menurut Allan Pease, pada hakekatnya lipstick dibuat untuk meniru kondisi alat kelamin perempuan yang memerah, sehingga penggunaan warna merah menyala pada lipstick dapat dikonotasikan sebagai lambang hasrat, erotisme, dan nafsu. Pada kalung, melihat bentuknya yang terlalu sederhana untuk menjadi perhiasan tubuh, maka dapat disimpulkan bahwa kalung dalam poster ini hanya berfungsi sebagai pengulangan warna merah untuk semakin menegaskan elemen seksualitas dalam gambar tersebut. Baju perempuan yang terdapat dalam tanda indeks nomor 8 berwarna hitam dan berpotongan leher rendah, sehingga menimbulkan munculnya tanda indeks nomor 11 yaitu belahan dada perempuan. Warna hitam antara lain mempunyai makna kekuatan, ketidakbahagiaan, kesedihan, kejahatan, seksualitas. Dalam kaitannya dengan perempuan, warna ini sering digunakan sebagai warna baju untuk membuat ilusi agar tubuh terlihat lebih ramping dan menonjolkan bagian-bagian tubuh tertentu dari perempuan. Baju berpotongan leher rendah terutama digunakan oleh perempuan untuk menonjolkan salah satu organ seksualnya, yaitu payudara. Adanya tanda ini semakin menegaskan seksualitasnya dan mengesankan bahwa perempuan ini bermaksud untuk menggoda lawan bicara imajinernya. Kebanyakan orang dalam budaya Barat menganggap payudara sebagai aspek kewanitaan yang penting, dan belahan dada sering dianggap sebagai godaan mengingat dampak erotis yang ditimbulkannya. 24
Gaya rambut perempuan pada gambar merupakan gaya rambut bob, dan lebih spesifik lagi dengan tipe pageboy (poni melengkung di atas alis). Secara tradisional, perempuan seringkali digambarkan dengan rambut panjang yang anggun. Dalam beberapa tradisi, bahkan rambut seringkali dianggap sebagai simbol kehormatan dan status sosial perempuan. Misalnya dalam tradisi Yunani dan Romawi kuno, rambut panjang adalah simbol kekayaan dan aristokrasi. Gaya rambut bob terutama dipopulerkan aktris Colleen Moore dan Louise Brooks pada tahun 1920-an dan dipandang sebagai sikap independen yang mengejutkan, mengingat pada masa itu orang-orang yang lebih tua telah terbiasa dengan pemandangan gadis berambut panjang. Model rambut tersebut secara umum dipandang sebagai sikap pemberontak, independensi, serta jauh dari tradisi konvensional. Pada tahun 1950-an, Bettie Page, seorang model erotis dan salah satu Playmates of the Month majalah Playboy, mempopulerkan poni pageboy, yaitu poni melengkung di atas alis. Untuk menghilangkan asosiasi pageboy dengan erotisme, editor majalah wanita pada masa itu mempopulerkan model ini dengan merujuk pada sisi historisnya, yaitu suatu gaya rambut yang pada masa lalu banyak dipakai oleh pesuruh pria di Inggris (page boy). Adapun gaya rambut perempuan di poster ini bernada erotisme dan sekaligus memberi citra pemberontak pada karakter penggunanya. Cahaya lampu yang temaram yang terdapat pada tanda indeks nomor 12 terutama ingin memberi gambaran pada pemirsa bahwa film ini bernuansa gelap, serta bukan sebuah film yang cerah ceria. Temaramnya lampu ingin menunjukkan bahwa film ini juga mengandung unsur dewasa, mengingat lampu temaram biasanya digunakan saat seseorang sudah ingin tidur (lewat jam malam).
Makna Tanda-tanda Tipe Simbol
No.
Tanda
Objek
Interpretant
1.
Teks judul
Arti tiap kata dalam kamus, Mengimitasi pulp magazine
“Pulp Fiction”
dalam acuan nyata
yang berisi cerita fiksi sensasional.
2.
Teks sub judul “ A
film
by
Merujuk pada nama sutradara Menunjukkan kualitas film Quentin
Tarantino / Produced by
dan produser
karena mencantumkan nama sutradara dan 25
Lawrence Bender”
produser yang terkenal sering membuat film bagus.
Pada tanda simbol nomor 1, terdapat judul film yaitu Pulp Fiction. Dalam film ini sendiri, kedua arti kata tersebut dimunculkan pada babak pertama, sebelum adegan film yang sebenarnya dimulai. Adapun pulp diartikan sebagai berikut: Pulp /’ pəlp / n. 1. A soft, moist, shapeless mass of matter. 2. A magazine or book
containing lurid subject matter and being characteristically printed on rough, unfinished paper. (American Heritage Dictionary, New College Edition) Judul tersebut mengacu pada majalah fiksi murah yang populer di tahun 1896 hingga 1950an, pulp magazine. Dinamakan pulp (bubur kertas), sebab majalah tersebut dicetak menggunakan kertas yang dibuat dari bubur kertas murah. Dijual seharga sekitar sepuluh sen pada dekade pertama, pulp magazine paling dikenal dalam menerbitkan cerita bombastis dengan kaver sensasional. Jenis-jenis cerita yang diterbitkan umumnya seputar thriller, misteri, horor, action, dan romansa dengan bumbu erotisme disana sini. Merujuk pada hal tersebut, judul ini ingin memberi kesan pada penonton bahwa film ini juga sama sensasionalnya, dan memuat materi dewasa. Akan tetapi, pada tanda simbol 2, sub judul film ini memuat tulisan “A film by Quentin Tarantino / Produced by Lawrence Bender” . Baik Quentin Tarantino maupun
Lawrence Bender dikenal sebagai sutradara dan produser yang sama-sama sering menghasilkan film dengan kualitas bermutu, sehingga merupakan suatu hal yang kontras terhadap kesan „murahan‟ yang diciptakan judul. Nama Tarantino sebelumnya melejit saat
menyutradarai film kriminal peraih berbagai penghargaan (diputar saat Cannes Film Festival tahun 1992, dinominasikan dalam berbagai kategori award American Film Institute), Reservoir Dogs (1992), film yang juga diproduseri Lawrence Bender. Pada kenyataannya,
film Pulp Fiction juga menuai kritik positif dan sukses secara finansial (biaya produksi: $ 8.5 juta, box office: $ 213.928.762). Lebih dari itu, film ini juga meraih penghargaan antara lain mulai dari BAFTA Awards, Palme d‟Or di Cannes, hingga Academy Awars). Pencantuman nama Tarantino dan Bender mempunyai maksud menarik pemirsa yang telah mengetahui hasil karya mereka untuk kembali menonton karya lain ini, sekaligus untuk menunjukkan kualitas film ini secara tidak langsung. 26
4.3 PEMBAHASAN HASIL ANALISA
Dari hasil analisa tanda pada poster film, ditemukan 7 tanda tipe ikon, 12 tanda tipe indeks, dan 2 tanda tipe simbol. Hampir kesemua tanda tersebut sinkron mencerminkan citra kekerasan perempuan dalam hal eksploitasi tubuh perempuan sebagai objek seks. Eksploitasi tersebut terutama terlihat pada tanda ikon perempuan yang memunculkan tanda indeks yang saling berkesinambungan. Media promosi umumnya menempatkan perempuan sebagai pemuas seks laki-laki. Sebagaimana diketahui, seks dalam masyarakat selalu digambarkan sebagai kekuasaan laki-laki terhadap perempuan. Dalam masyarakat patriarki, seks merupakan bagian yang dominan dalam hubungan laki-laki dan perempuan, serta menempatkan perempuan sebagai subordinasi (Bungin, 2006: 353). Hal ini konsisten dengan citra perempuan sebagai objek seks sebagaimana ditunjukkan dalam poster film ini. Tanda indeks seperti repetisi warna merah pada berbagai barang yang dikenakan perempuan, belahan dada perempuan, dan lain sebagainya, semakin menegaskan bahwa perempuan dalam gambar ini hanyalah objek seks untuk dinikmati dan bukan tokoh utama. Jika pembuat poster ingin menampilkan tokoh Mia Wallace ini sebagai tokoh utama, barangkali dia akan melakukan hal yang sebaliknya. Alih-alih berbaring di atas ranjang dengan belahan dada terlihat dan di sebelah pistol handgun, tokoh ini mungkin akan diberikan ekspresi yang lebih keras dan senjata yang lebih baik. Namun penekanan terutama terlihat pada berbagai gestur dan aksesoris yang dikenakan tokoh ini untuk menunjukkan posisinya sebagai objek seks, sub-ordinat laki-laki imajiner, sehingga salah jika melihat tokoh ini sebagai tokoh pemberontak yang dominan atas laki-laki atau bahkan femme fatale (perempuan yang merayu laki-laki untuk menggiringnya ke dalam bahaya). Posisi ini terutama terlihat dari tanda indeks nomor 3 yang menunjukkan posisi perempuan tersebut yang berada dalam posisi rendah. Kesemua tanda-tanda tersebut semakin menegaskan bahwa poster film ini ingin menciptakan realitas sosial yang mengedepankan citra seksisme dan kekerasan perempuan lewat eksploitasi tubuh dan gestur perempuan. Adapun poster ini dikatakan mengeksploitasi sebab tokoh Mia Wallace bukanlah merupakan tokoh utama dari film, namun memang satu-satunya perempuan yang dapat dikatakan atraktif secara seksual. Hal ini cocok dengan kecenderungan pulp magazine yang sering memasang perempuan dalam konotasi seksual dalam kaver majalahnya. Repetisi 27
eksploitasi itulah yang kemudian diterapkan dalam poster film ini, dengan memasangnya sebagai objek seks semata, untuk menarik perhatian penonton pria agar mau menonton film ini. Padahal dalam film ini tidak ada satupun adegan erotis yang dilakukan tokoh Mia Wallace, tidak sekalipun dalam bentuk standar seperti ciuman bibir dengan lawan jenis. Sepanjang film, tokoh ini bersih dari adegan seksual, hanya saja penempatannya dalam kaver film merendahkan posisinya sebagai objek seks semata. Seperti moto pulp magazine yang kerap menjual seks sebagai komoditas utamanya, begitu juga dengan poster ini yang menawarkan iming-iming seks pada penonton dan menciptakan realitas palsu, mengingat film ini lebih banyak mengandung unsur kekerasan dan satir ketimbang erotisme belaka.
28
BAB 5 KESIMPULAN
Menurut hasil analisa tanda pada bab 4, maka dapat disimpulkan bahwa representasi citra kekerasan perempuan dalam poster film Pulp Fiction ini terdapat dalam sebuah segitiga makna dalam rangkaian rantai semiosis. Rantai ini menjelaskan bahwa representasi citra kekerasan perempuan terdapat dalam gambar visual tokoh perempuan dalam poster. Tokoh ini menunjukkan eksploitasi sebagai bentuk citra kekerasan perempuan dalam dukungan tanda-tanda lain dan keberadaannya sendiri sebagai figur perempuan. Tanda-tanda yang melengkapi visual perempuan ini mengarah pada interpretan mengenai representasi perempuan sebagai objeks seks dalam masyarakat patriarki. Penggunaan warna merah yang merupakan representasi nafsu, seksualitas, dan hal lain yang sejenis juga banyak diulang untuk makin menegaskan citra kekerasan perempuan dalam poster ini. Hal tersebut terutama terlihat digunakan sebagai aksesoris diri perempuan dalam bentuk lipstick, kuteks, juga kalung. Eksploitasi tubuh perempuan sebagai objek seks secara tidak langsung diungkapkan melalui rujukan judul Pulp Fiction kepada pulp magazine, jenis majalah murah yang sering menjual seks dan erotisme pada awal abad 20-an. Secara keseluruhan, poster film ini dapat dikategorikan sebagai poster yang menjual citra kekerasan perempuan terhadap masyarakat yang pada umumnya masih bersifat patriarki.
29
PENUTUP
Demikianlah makalah berjudul “Citra Kekerasan Perempuan dalam Poster Film Pulp Fiction: Sebuah Kajian Semiotika” ini telah penulis buat dengan sebaik -baiknya. Besar
harapan penulis agar karya tulis dan penelitian ini bisa menjadi acuan atau sumber informasi, maupun sumber inspirasi bagi pembaca yang ingin memahami bagaimana citra perempuan ditampilkan dalam media massa, khususnya dalam poster film. Apabila ada kata-kata yang tidak mengenakkan atau salah, penulis meminta maaf yang sebesar-besarnya kepada pembaca. Penulis juga mengharapkan adanya saran dan kritik yang membangun, agar penulis dapat mengembangkan karya di lain kesempatan. Akhir kata, penulis berharap agar penelitian ini bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh berbagai kalangan.
30
DAFTAR REFERENSI
Bungin, Burhan. 2001. Imaji Media Massa. Yogjakarta: Jendela. Bungin, Burhan. 2006. Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat.
Danesi, Marcel. 2010. Pesan, Tanda, dan Makna: Buku Teks Dasar Mengenai Semiotika dan Teori Komunikasi. Yogyakarta: Jalasutra.
Danesi, Marcel. 1999. Of Cigarettes, High Heels and Other Interesting Things. USA: Palgrave Macmillan. Pease, Alex. 1981. Body Language – How to Read Other‟s Thoughts by their Gestures. London: Sheldon Press. Sobur, Alex. 2001. Analisis Teks Media. Bandung: Rosda. Wibowo, Indiwan Seto Wahyu. 2011. Semiotika Komunikasi: Solusi Praktis bagi Penelitian dan Skripsi Komunikasi. Jakarta: Mitra Wacana Media.
White, Roderick. 2000. Advertising. Singapore: McGraw-Hill. http://en.wikipedia.org/wiki/Advertising#History http://www.giga-usa.com/quotes/authors/a_m_cassandre_a001.htm http://uripsantoso.wordpress.com/2011/10/21/arti-warna-dalam-kehidupan-sehari-hari/ http://en.wikipedia.org/wiki/Charles_Sanders_Peirce http://en.wikipedia.org/wiki/Pulp_Fiction http://en.wikipedia.org/wiki/Pulp_magazine http://en.wikipedia.org/wiki/Bob_haircut http://en.wikipedia.org/wiki/Pageboy http://en.wikipedia.org/wiki/Quentin_tarantino 31