LAPORAN PENDAHULUAN
PADA PASIEN CEDERA KEPALA DENGAN TREPANASI
OLEH
NI KADEK NETIARI, S.Kep
NIM: 14.901.0799
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
STIKES WIRA MEDIKA PPNI BALI
2014/2015
LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN CEDERA KEPALA DENGAN TREPANASI
A. Konsep Dasar Penyakit Cedera Kepala
1. Definisi
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara
langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat pada gangguan
fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, yang dapat bersifat
temporer ataupun permanen.
Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif,
tetapi disebabkan oleh serangan / benturan fisik dari luar, yang dapat
mengurangi atau mengubah kesadaran, sehingga menimbulkan kerusakan
kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
2. Epidemiologi
Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan
mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum tiba di
rumah sakit. Yang sampai di rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera
kepala ringan (CKR), 10% termasuk cedera kepala sedang (CKS), dan 10%
sisanya adalah cedera kepala berat (CKB). Insiden cedera kepala terutama
terjadi pada kelompok usia produktif antara 15-4 tahun. Kecelakaan lalu
lintas merupakan penyebab 48%-53% dari insiden cedera kepala, 20%-28%
lainnya karena jatuh dan 3%-9% lainnya disebabkan tindak kekerasan,
kegiatan olahraga dan rekreasi. Data epidemiologi di Indonesia belum ada,
tetapi data dari salah satu rumah sakit di Jakarta, RS Cipto Mangunkusumo,
untuk penderita rawat inap, terdapat 60%-70% dengan CKR, 15%-20% CKS, dan
sekitar 10% dengan CKB. Angka kematian tertinggi sekitar 35%-50% akibat
CKB, 5%-10% CKS, sedangkan untuk CKR tidak ada yang meninggal
3. Etiologi
Beberapa penyebab cedera kepala (Smeltzer, 2001; Long,1996), antara lain
:
a. Trauma tajam
Kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana merobek otak, misalnya
tertembak peluru atau benda tajam
b. Trauma tumpul
Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat sifatnya
c. Cedera akselerasi
Peristiwa gonjatan yang hebat pada kepala baik disebabkan oleh pukulan
maupun bukan dari pukulan
d. Kontak benturan (Gonjatan langsung)
Terjadi benturan atau tertabrak sesuatu objek
e. Kecelakaan lalu lintas
f. Jatuh
g. Kecelakaan industri
h. Perkelahian
4. Patofisiologi
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu
cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada
kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh
benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses
akselerasi-deselerasi gerakan kepala. Pada trauma kapitis, dapat timbul
suatu lesi yang bisa berupa perdarahan pada permukaan otak yang berbentuk
titik-titik besar dan kecil, tanpa kerusakan pada duramater, dan dinamakan
lesi kontusio. Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan
berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas
antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semi solid)
menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intra kranialnya.
Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam
tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (countrecoup) (Hickey,
2003 dalam Israr dkk,2009). Cedera primer, yang terjadi pada waktu
benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak, laserasi substansi
alba, cedera robekan atau hemoragi. Sebagai akibat, cedera sekunder dapat
terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada
area cedera. Konsekuensinya meliputi hiperemi (peningkatan volume darah)
pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial,
semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan
tekanan intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera
otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi.
Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan dan
iskemia otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya merusak
otak. Cedera sekunder terjadi dari beberapa menit hingga beberapa jam
setelah cedera awal. Setiap kali jaringan saraf mengalami cedera, jaringan
ini berespon dalam pola tertentu yang dapat diperkirakan, menyebabkan
berubahnya kompartemen intrasel dan ekstrasel. Beberapa perubahan ini
adalah dilepaskannya glutamin secara berlebihan, kelainan aliran kalsium,
produksi laktat, dan perubahan pompa natrium pada dinding sel yang berperan
dalam terjadinya kerusakan tambahan dan pembengkakan jaringan otak. Neuron
atau sel-sel fungsional dalam otak, bergantung dari menit ke menit pada
suplai nutrien yang konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen, dan sangat
rentan terhadap cedera metabolik bila suplai terhenti. Cedera mengakibatkan
hilangnya kemampuan sirkulasi otak untuk mengatur volume darah sirkulasi
yang tersedia, menyebabkan iskemia pada beberapa daerah tertentu dalam otak
( Lombardo, 2003).
Cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat
ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu trauma kepala. Cedera
percepatan (aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur
kepala yang diam, seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau karena
kena lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan (deselerasi) adalah bila
kepala membentur objek yang secara relatif tidak bergerak, seperti badan
mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila
terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang
terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa
dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan
trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan batang otak.
(pathway terlampir)
5. Klasifikasi
Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis
dikenal 3 deskripsi kalsifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, beratnya
cedera kepala, dan morfologinya.
a. Berdasarkan Mekanisme
Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas cedera kepala
tumpul dan cedera kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan
dengan kecelakaan mobil atau motor, jatuh atau terkena pukulan benda
tumpul. Sedang cedera kepala tembuus disebabkan oleh peluru atau tusukan
(Bernath, 2009).
b. Berdasarkan Tingkat Keparahan
Biasanya Cedera Kepala berdasarkan tingkat keparahannya didasari atas
GCS. Dimana GCS ini terdiri dari tiga komponen yaitu :
Reaksi membuka mata (E)
"Reaksi membuka mata "Nilai "
"Membuka mata spontan "4 "
"Buka mata dengan rangsangan suara "3 "
"Buka mata dengan rangsangan nyeri "2 "
"Tidak membuka mata dengan rangsangan nyeri"1 "
Reaksi berbicara
"Reaksi Verbal "Nilai "
"Komunikasi verbal baik, jawaban tepat "5 "
"Bingung, disorientasi waktu, tempat dan "4 "
"ruang " "
"Dengan rangsangan nyeri keluar kata-kata "3 "
"Keluar suara tetapi tak berbentuk "2 "
"kata-kata " "
"Tidak keluar suara dengan rangsangan "1 "
"apapun " "
Reaksi Gerakan lengan / tungkai
"Reaksi Motorik "Nilai "
"Mengikuti perintah "6 "
"Melokalisir rangsangan nyeri "5 "
"Menarik tubuhnya bila ada rangsangan nyeri"4 "
"Reaksi fleksi abnormal dengan rangsangan "3 "
"nyeri " "
"Reaksi ekstensi abnormal dengan rangsangan"2 "
"nyeri " "
"Tidak ada gerakan dengan rangsangan nyeri "1 "
Dengan Glasgow Coma Scale (GCS), cedera kepala dapat diklasifikasikan
menjadi :
1) Cedera kepala ringan : Nilai GCS-nya 13-15, kehilangan kesadaran kurang
dari 30 menit. Ditandai dengan nyeri kepala, muntah, vertigo dan tidak
ada penyerta seperti pada fraktur tengkorak, kontusio/hematoma
2) Cedera kepala sedang : Nilai GCS-nya 9-12, kehilangan kesadaran antara
30 menit – 24 jam, dapat mengalami fraktur tengkorak dan disorientasi
ringan (bingung)
3) Cedera kepala berat : Nilai GCS-nya 3-8, hilang kesadaran lebih dari 24
jam, meliputi: kontusio serebral, laserasi, hematoma dan edema serebral
(Hudack dan Gallo, 1996)
c. Morfologi Cedera
Secara morfologis cedera kepala dapat dibagi atas fraktur kranium dan
lesi intrakranial.
1) Fraktur Kranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan dapat
berbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup. Fraktur
dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT Scan untuk memperjelas
garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak
menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih
rinci.tanda-tanda tersebut antara lain ekimosis periorbital (raccoon eye
sign), ekimosis retroauikular (battle sign), kebocoran CSS (Rhinorrhea,
otorrhea) dan paresis nervus fasialis (Bernath, 2009)
Fraktur cranium terbuka atau komplikata mengakibatkan adanya hubungan
antara laserasi kulit kepala dan permukaan otak karena robeknya selaput
duramater. Keadaanini membutuhkan tindakan dengan segera. Adanya fraktur
tengkorak merupakan petunjuk bahwa benturan yang terjadi cukup berat
sehingga mengakibatkan retaknya tulang tengkorak. Frekuensi fraktura
tengkorak bervariasi, lebih banyak fraktura ditemukan bila penelitian
dilakukan pada populasi yang lebih banyak mempunyai cedera berat. Fraktura
kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali
pada pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar. Fraktura
kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali
pada pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar. Untuk
alasan ini, adanya fraktura tengkorak mengharuskan pasien untuk dirawat
dirumah sakit untuk pengamatan (Davidh, 2009)
2) Lesi Intrakranial
Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difus, walau
kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk
hematoma epidural, hematoma subdural, dan kontusi (atau hematoma
intraserebral). Pasien pada kelompok cedera otak difusa, secara umum,
menunjukkan CT scan normal namun menunjukkan perubahan sensorium atau
bahkan koma dalam keadaan klinis
a) Hematoma Epidural
Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di ruang
potensial antara tabula interna dan duramater dengan ciri berbentuk
bikonvek atau menyerupai lensa cembung. Paling sering terletak diregio
temporal atau temporoparietal dan sering akibat robeknya pembuluh meningeal
media. Perdarahan biasanya dianggap berasal arterial, namun mungkin
sekunder dari perdarahan vena pada sepertiga kasus. Kadang-kadang, hematoma
epidural akibat robeknya sinus vena, terutama diregio parietal-oksipital
atau fossa posterior.
Walau hematoma epidural relatif tidak terlalu sering (0.5% dari
keseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera kepala), harus selalu diingat
saat menegakkan diagnosis dan ditindak segera. Bila ditindak segera,
prognosis biasanya baik karena penekan gumpalan darah yang terjadi tidak
berlangsung lama. Keberhasilan pada penderita pendarahan epidural berkaitan
langsung denggan status neurologis penderita sebelum pembedahan. Penderita
dengan pendarahan epidural dapat menunjukan adanya "lucid interval" yang
klasik dimana penderita yang semula mampu bicara lalu tiba-tiba meningggal
(talk and die), keputusan perlunya tindakan bedah memang tidak mudah dan
memerlukan pendapat dari seorang ahli bedah saraf (Harga Daniel, 2009).
Dengan pemeriksaan CT Scan akan tampak area hiperdens yang tidak selalu
homogen, bentuknya bikonveks sampai planokonvex, melekat pada tabula
interna dan mendesak ventrikel ke sisi kontralateral ( tanda space
occupying lesion ). Batas dengan corteks licin, densitas duramater biasanya
jelas, bila meragukan dapat diberikan injeksi media kontras secara
intravena sehingga tampak lebih jelas (Gazali, 2007).
b) Hematom Subdural
Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi di antara
duramater dan arakhnoid. SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH,
ditemukan sekitar 30% penderita dengan cedera kepala berat. Terjadi paling
sering akibat robeknya vena bridging antara korteks serebral dan sinus
draining. Namun ia juga dapat berkaitan dengan laserasi permukaan atau
substansi otak. Fraktura tengkorak mungkin ada atau tidak (American college
of surgeon, 1997)
Selain itu, kerusakan otak yang mendasari hematoma subdural akut.
Biasanya sangat lebih berat dan prognosisnya lebih buruk dari hematoma
epidural. Mortalitas umumnya 60%, namun mungkin diperkecil oleh tindakan
operasi yang sangat segera dan pengelolaan medis agresif. Subdural hematom
terbagi menjadi akut dan kronis.
1) SDH Akut
Pada CT Scan tampak gambaran hyperdens sickle ( seperti bulan sabit )
dekat tabula interna, terkadang sulit dibedakan dengan epidural hematom.
Batas medial hematom seperti bergerigi. Adanya hematom di daerah fissure
interhemisfer dan tentorium juga menunjukan adanya hematom subdural
(Bernath, 2009).
2) SDH Kronis
Pada CT Scan terlihat adanya komplek perlekatan, transudasi, kalsifikasi
yang disebabkan oleh bermacam- macam perubahan, oleh karenanya tidak ada
pola tertentu. Pada CT Scan akan tampak area hipodens, isodens, atau
sedikit hiperdens, berbentuk bikonveks, berbatas tegas melekat pada tabula.
Jadi pada prinsipnya, gambaran hematom subdural akut adalah hiperdens, yang
semakin lama densitas ini semakin menurun, sehingga terjadi isodens, bahkan
akhirnya menjadi hipodens (Ghazali, 2007)
3) Kontusi dan Hematoma Intraserebral
Kontusi serebral murni bisanya jarang terjadi. Selanjutnya, kontusi otak
hampir selalu berkaitan dengan hematoma subdural akut. Majoritas terbesar
kontusi terjadi dilobus frontal dan temporal, walau dapat terjadi pada
setiap tempat termasuk serebelum dan batang otak. Perbedaan antara kontusi
dan hematoma intraserebral traumatika tidak jelas batasannya. Bagaimanapun,
terdapat zona peralihan, dan kontusi dapat secara lambat laun menjadi
hematoma intraserebral dalam beberapa hari.
Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan
(parenkim) otak. Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio
jaringan otak yang menyebabkan pecahnya pula pembuluh darah yang ada di
dalam jaringan otak tersebut. Lokasi yang paling sering adalah lobus
frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan
(coup) atau pada sisi lainnya (countrecoup). Defisit neurologi yang
didapatkan sangat bervariasi dan tergantung pada lokasi dan luas perdarahan
(Hafidh, 2007).
Cedera difus
Cedara otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat cedera
akselerasi dan deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang sering terjadi
pada cedera kepala. Komosio cerebri ringan adalah keadaan cedera dimana
kesadaran tetap tidak terganggu namun terjadi disfungsi neurologis yang
bersifat sementara dalam berbagai derajat. Cedera ini sering terjadi, namun
karena ringan kerap kali tidak diperhatikan. Bentuk yang paling ringan dari
komosio ini adalah keadaan bingguung dan disorientasi tanpa amnesia.
Sindroma ini pulih kembali tanpa gejala sisa sama sekali.cedera komosio
yang lebih berat menyebabkan keadaan binggung disertai amnesia retrograde
dan amnesia antegrad (American college of surgeon, 1997).
Komosio cerebri klasik adalah cedera yang mengakibatkan menurunnya atau
hilanggnya kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia pasca
trauma dan lamanya amnesia ini merupakan ukuran beratnya cidera. Dalam
bebberapa penderita dapat timbul defisist neurologis untuk beberapa waktu.
Edfisit neurologis itu misalnya kesulitan mengingat, pusing, mual, anosmia,
dan depresi serta gejala lain. Gejala-gajala ini dikenal sebagai sindroma
pasca komosio yang dapat cukup berat.
Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah keadaan dimana
penderita mengalami koma pasca cedera yang berlangsung lama ddan tidak
diakibatkan oleh suatu lesi massa atau serangan iskemik. Biasanya penderita
dalam keadaan koma yang dalam dan tetap koma selama beberapa waktu.
Penderita sering menunjukan gejala dekortikasi atau deserebrasi dan bila
pulih sering tetap dalam keadaan cacat berat, itupun bila bertahan hidup.
Penderita seringg menunjukan gejala disfungsi otonom seperti hipotensi,
hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu diduga akibat cedeera aksonal
difus dan cedera otak kerena hiipoksiia secara klinis tidak mudah, dan
memang dua keadaan tersebut seringg terjadi bersamaan (American college of
surgeon,1997)
Dalam beberapa referensi, trauma maxillofacial juga termasuk dalam
bahasan cedera kepala. Karenanya akan dibahas juga mengenai trauma wajah
ini, yang meski bukan penyebab kematian namun kecacatan yang akan menetap
seumur hidup perlu menjadi pertimbangan.
6. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinik dari cedera kepala tergantung dari berat ringannya
cedera kepala.
a. Perubahan kesadaran adalah merupakan indicator yang paling sensitive
yang dapat dilihat dengan penggunaan GCS (Glasgow Coma Scale). Pada
cedera kepala berat nilai GCS nya 3-8
b. Peningkatan TIK yang mempunyai trias Klasik seperti : nyeri kepala
karena regangan dura dan pembuluh darah; papil edema yang disebabkan
oleh tekanan dan pembengkakan diskus optikus; muntah seringkali
proyektil.
c. Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi), perubahan frekuensi
jantung (bradikardi, takikardia, yang diselingi dengan bradikardia
disritmia).
d. Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi), nafas
berbunyi, stridor, terdesak, ronchi, mengi positif (kemungkinan karena
aspirasi), gurgling.
7. Pemeriksaan Penunjang
a. Foto polos kepala
Indikasi foto polos kepala Tidak semua penderita dengan cidera kepala
diindikasikan untuk pemeriksaan kepala karena masalah biaya dan kegunaan
yang sekarang makin dittinggalkan. Jadi indikasi meliputi jejas lebih dari
5 cm, Luka tembus (tembak/tajam), Adanya corpus alineum, Deformitas kepala
(dari inspeksi dan palpasi), Nyeri kepala yang menetap, Gejala fokal
neurologis, Gangguan kesadaran. Sebagai indikasi foto polos kepala meliputi
jangan mendiagnose foto kepala normal jika foto tersebut tidak memenuhi
syarat, Pada kecurigaan adanya fraktur depresi maka dillakukan foto polos
posisi AP/lateral dan oblique.
b. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras)
Indikasi CT Scan adalah :
1) Nyeri kepala menetap atau muntah – muntah yang tidak menghilang
setelah pemberian obat–obatan analgesia/anti muntah.
2) Adanya kejang – kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat
lesi intrakranial dicebandingkan dengan kejang general.
3) Penurunan GCS lebih 1 point dimana faktor – faktor ekstracranial
telah disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi karena misal
terjadi shock, febris, dll).
4) Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai, misal
fraktur depresi temporal kanan tapi terdapat hemiparese/plegi
kanan.
5) Luka tembus akibat benda tajam dan peluru
6) Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS.
7) Bradikardia (Denyut nadi kurang 60 X / menit).
Fungsi CT Scan ini adalah untuk mengidentifikasi luasnya lesi,
perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak.
Catatan : Untuk mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilekukan
pada 24 - 72 jam setelah injuri.
c. MRI
Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
d. Cerebral Angiography
Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan jaringan
otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
e. Serial EEG
Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
f. BAER
Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
g. PET
Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
h. CSF, Lumbal Punksi
Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.
i. Analisis Gas Darah
Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan
(oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intracranial
j. Kadar Elektrolit
Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intrkranial
8. Penatalaksanaan
a. Observasi 24 jam
b. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.
c. Berikan terapi intravena bila ada indikasi.
d. Anak diistirahatkan atau tirah baring.
e. Profilaksis diberikan bila ada indikasi.
f. Pemberian obat-obat untuk vaskulasisasi.
g. Pemberian obat-obat analgetik.
h. Pembedahan bila ada indikasi.
Pembedahan yang dilakukan untuk pasien cedera kepala adalah pelaksanaan
operasi trepanasi. Trepanasi/kraniotomi adalah suatu tindakan membuka
tulang kepala yang bertujuan untuk mencapai otak untuk tindakan pembedahan
definitive (seperti adanya SDH (subdural hematoma) atau EDH (epidural
hematoma) dan kondisi lain pada kepala yang memerlukan tindakan
kraniotomi). Epidural Hematoa (EDH) adalah suatu pendarahan yang terjadi
diantara tulang dang dan lapisan duramater; Subdural Hematoa (SDH) atau
pendarahan yang terjadi pada rongga diantara lapisan duramater dan dengan
araknoidea. Pelaksanaan operasi trepanasi ini diindikasikan pada pasien 1)
Penurunan kesadaran tiba-tiba terutama riwayat cedera kepala akibat
berbagai faktor,2) Adanya tanda herniasi/lateralisasi,3) Adanya cedera
sistemik yang memerlukan operasi emergensi, dimana CT Scan Kepala tidak
bisa dilakukan. Perawatan pasca bedah yang penting pada pasien post
trepanasi adalah memonitor kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan
seperti biasanya. Jahitan dibuka pada hari ke 5-7. Tindakan pemasangan
fragmen tulang atau kranioplasti dianjurkan dilakukan setelah 6-8 minggu
kemudian.
Terapi profilatik dapat digunakan pada pasien yang mengalami trauma,
kebocoran CSS atau setelah dilakukan pembedahan untuk menurunkan resiko
terjadinya infeksi nosokomial. Terapi konservatif meliputi bedrest total,
pemberian obat-obatan, observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat
kesadaran).
Prioritas perawatan adalah maksimalkan perfusi / fungsi otak, mencegah
komplikasi, pengaturan fungsi secara optimal / mengembalikan ke fungsi
normal, mendukung proses pemulihan koping klien / keluarga, pemberian
informasi tentang proses penyakit, prognosis, rencana pengobatan, dan
rehabilitasi.
9. Komplikasi
a. Koma.
Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut coma.
Pada situasi ini, secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau
minggu, setelah masa ini penderita akan terbangun, sedangkan beberapa
kasus lainya memasuki vegetative state atau mati penderita pada masa
vegetative statesering membuka matanya dan mengerakkannya, menjerit
atau menjukan respon reflek. Walaupun demikian penderita masih tidak
sadar dan tidak menyadari lingkungan sekitarnya. Penderita pada masa
vegetative state lebih dari satu tahun jarang sembuh
b. Seizure.
Pederita yang mengalami cedera kepala akan mengalami sekurang-
kurangnya sekali seizure pada masa minggu pertama setelah cedera.
Meskipun demikian, keadaan ini berkembang menjadi epilepsy
c. Infeksi.
Faktur tengkorak atau luka terbuka dapat merobekan membran
(meningen) sehingga kuman dapat masuk. Infeksi meningen ini biasanya
berbahaya karena keadaan ini memiliki potensial untuk menyebar ke
sistem saraf yang lain
d. Kerusakan saraf.
Cedera pada basis tengkorak dapat menyebabkan kerusakan pada nervus
facialis. Sehingga terjadi paralysis dari otot-otot facialis atau
kerusakan dari saraf untuk pergerakan bola mata yang menyebabkan
terjadinya penglihatan ganda
e. Hilangnya kemampuan kognitif.
Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan
memori merupakan kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan cedera
kepala berat mengalami masalah kesadaran.
B. Trepanasi
1. Definisi
Trepanasi atau craniotomy adalah operasi untuk membuka tengkorak
(tempurung kepala) dengan maksud untuk mengetahui dan memperbaiki
kerusakan otak. Trepanasi/ kraniotomi adalah suatu tindakan membuka
tulang kepala yangbertujuan mencapai otak untuk tindakan pembedahan
definitif.
2. Indikasi
a. Pengangkatan jaringan abnormal
b. Mengurangi tekanan intracranial
c. Mengevaluasi bekuan darah
d. Mengontrol bekuan darah
e. Pembenahan organ-organ intracranial
f. Tumor otak
g. Perdarahan
h. Peradangan dalam otak
i. Trauma pada tengkorak
3. Tehnik Operasi
a. Positioning
Letakkan kepala pada tepi meja untuk memudahkan operator. Head-up
kurang lebih 15o (pasang donat kecil dibawah kepala). Letakkan kepala
miring kontralateral lokasi lesi/ hematoma. Ganjal bahu satu sisi saja
(pada sisi lesi) misalnya kepala miring ke kanan maka ganjal bantal di
bahu kiri dan sebaliknya.
b. Washing
Cuci lapangan operasi dengan savlon. Tujuan savlon: desinfektan,
menghilangkan lemak yang ada di kulit kepala sehingga pori-pori
terbuka, penetrasi betadine lebih baik. Keringkan dengan doek steril.
Pasang doek steril di bawah kepala untuk membatasi kontak dengan meja
operasi
c. Markering
Setelah markering periksa kembali apakah lokasi hematomnya sudah
benar dengan melihat CT scan. Saat markering perhatikan: garis rambut
untuk kosmetik, sinus untuk menghindari perdarahan, sutura untuk
mengetahui lokasi, zygoma sebagai batas basis cranii, jalannya N VII
(kurang lebih 1/3 depan antara tragus sampai dengan canthus lateralis
orbita)
d. Desinfeksi
Desinfeksi lapangan operasi dengan betadine. Suntikkan Adrenalin
1:200.000 yang mengandung lidocain 0,5%. Tutup lapangan operasi dengan
doek steril.
e. Operasi
1) Incisi lapis demi lapis sedalam galea (setiap 5cm) mulai dari
ujung.
2) Pasang haak tajam 2 buah (oleh asisten), tarik ke atas sekitar 60
derajat.
3) Buka flap secara tajam pada loose connective tissue. Kompres dengan
kasa basah. Di bawahnya diganjal dengan kasa steril supaya pembuluh
darah tidak tertekuk (bahaya nekrosis pada kulit kepala). Klem pada
pangkal flap dan fiksasi pada doek.
4) Buka pericranium dengan diatermi. Kelupas secara hati-hati dengan
rasparatorium pada daerah yang akan di burrhole dan gergaji
kemudian dan rawat perdarahan.
5) Penentuan lokasi burrhole idealnya pada setiap tepi hematom sesuai
gambar CT scan.
6) Lakukan burrhole pertama dengan mata bor tajam (Hudson's Brace)
kemudian dengan mata bor yang melingkar (Conical boor) bila sudah
menembus tabula interna.
7) Boorhole minimal pada 4 tempat sesuai dengan merkering.
8) Perdarahan dari tulang dapat dihentikan dengan bone wax. Tutup
lubang boorhole dengan kapas basah/ wetjes.
9) Buka tulang dengan gigli. Bebaskan dura dari cranium dengan
menggunakan sonde. Masukan penuntun gigli pada lubang boorhole.
Pasang gigli kemudian masukkan penuntun gigli sampai menembus
lubang boorhole di sebelahnya. Lakukan pemotongan dengan gergaji
dan asisten memfixir kepala penderita.
10) Patahkan tulang kepala dengan flap ke atas menjauhi otak dengan
cara tulang dipegang dengan knabel tang dan bagian bawah
dilindungi dengan elevator kemudian miringkan posisi elevator pada
saat mematahkan tulang.
11) Setelah nampak hematom epidural, bersihkan tepi-tepi tulang dengan
spoeling dan suctioning sedikit demi sedikit. Pedarahan dari tulang
dapat dihentikan dengan bone wax.
12) Gantung dura (hitch stitch) dengan benang silk 3.0 sedikitnya 4
buah.
13) Evakuasi hematoma dengan spoeling dan suctioning secara gentle.
Evaluasi dura, perdarahan dari dura dihentikan dengan diatermi.
Bila ada perdarahan dari tepi bawah tulang yang merembes tambahkan
hitch stitch pada daerah tersebut kalau perlu tambahkan spongostan
di bawah tulang. Bila perdarahan profus dari bawah tulang (berasal
dari arteri) tulang boleh di-knabel untuk mencari sumber perdarahan
kecuali dicurigai berasal dari sinus.
14) Bila ada dura yang robek jahit dura dengan silk 3.0 atau vicryl 3.0
secara simpul dengan jarak kurang dari 5mm. Pastikan sudah tidak
ada lagi perdarahan dengan spoeling berulang-ulang.
15) Pada subdural hematoma setelah dilakukan kraniektomi langkah
salanjutnya adalah membuka duramater.
16) Sayatan pembukaan dura seyogianya berbentuk tapal kuda (bentuk U)
berlawanan dengan sayatan kulit. Duramater dikait dengan pengait
dura, kemudian bagian yang terangkat disayat dengan pisau sampai
terlihat lapisan mengkilat dari arakhnoid. (Bila sampai keluar
cairan otak, berarti arachnoid sudah turut tersayat). Masukkan
kapas berbuntut melalui lubang sayatan ke bawah duramater di dalam
ruang subdural, dan sefanjutnya dengan kapas ini sebagai pelindung
terhadap kemungkinan trauma pada lapisan tersebut.
17) Perdarahan dihentikan dengan koagulasi atau pemakaian klip khusus.
Koagulasi yang dipakai dengan kekuatan lebih rendah dibandingkan
untuk pembuluh darah kulit atau subkutan.
18) Reseksi jaringan otak didahului dengan koagulasi permukaan otak
dengan pembuluh-pembuluh darahnya baik arteri maupun vena.
19) Semua pembuluh darah baik arteri maupun vena berada di permukaan di
ruang subarahnoidal, sehingga bila ditutup maka pada jaringan otak
dibawahnya tak ada darah lagi.
20) Perlengketan jaringan otak dilepaskan dengan koagulasi. Tepi bagian
otak yang direseksi harus dikoagulasi untuk menjamin jaringan otak
bebas dari perlengketan. Untuk membakar permukaan otak, idealnya
dipergunakan kauter bipolar. Bila dipergunakan kauter monopolar,
untuk memegang jaringan otak gunakan pinset anatomis halus sebagai
alat bantu kauterisasi.
21) Pengembalian tulang. Perlu dipertimbangkan dikembalikan/tidaknya
tulang dengan evaluasi klinis pre operasi dan ketegangan dura. Bila
tidak dikembalikan lapangan operasi dapat ditutup lapis demi lapis
dengan cara sebagai berikut:
a) Teugel dura di tengah lapangan operasi dengan silk 3.0 menembus
keluar kulit.
b) Periost dan fascia otot dijahit dengan vicryl 2.0.
c) Pasang drain subgaleal.
d) Jahit galea dengan vicryl 2.0.
e) Jahit kulit dengan silk 3.0.
f) Hubungkan drain dengan vaum drain (Redon drain).
f. Operasi selesai.
Bila tulang dikembalikan, buat lubang untuk fiksasi tulang, pertama
pada tulang yang tidak diangkat (3-4 buah). Tegel dura ditengah tulang
yang akan dikembalikan untuk menghindari dead space. Buat lubang pada
tulang yang akan dikembalikan sesuai dengan lokasi yang akan di
fiksasi (3-4 buah ditepi dan 2 lubang ditengah berdekatan untuk
teugel dura). Lakukan fiksasi tulang dengan dengan silk 2.0,
selanjutnya tutup lapis demi lapis seperti diatas.
4. Komplikasi Post Operasi
a. Edema cerebral.
b. Perdarahan subdural, epidural, dan intracerebral.
c. Hypovolemik syok.
d. Hydrocephalus.
e. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit (SIADH atau Diabetes
Insipidus).
f. Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan tromboplebitis.
a. Tromboplebitis postoperasi biasanya timbul 7 – 14 hari setelah
operasi.
b. Bahaya besar tromboplebitis timbul bila darah tersebut lepas dari
dinding pembuluh darah vena dan ikut aliran darah sebagai emboli ke
paru-paru, hati,dan otak. Pencegahan tromboplebitis yaitu latihan kaki
post operasi, ambulatif dini
c. Infeksi
Infeksi luka sering muncul pada 36 – 46 jam setelah operasi.
Organisme yang paling sering menimbulkan infeksi adalah stapilokokus
aurens, organisme; gram positif. Stapilokokus mengakibatkan
pernanahan. Untuk menghindari infeksi luka yang paling penting adalah
perawatan luka dengan memperhatikan aseptik dan antiseptik
C. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1. Pengkajiaan
a. Data subjektif :
1) Identitas (pasien dan keluarga/penanggung jawab) meliputi: Nama,
umur,jenis kelamin, suku bangsa, agama, pendidikan, pekerjaan, status
perkawinan, alamat, dan hubungan pasien dengan keluarga/pengirim).
2) Keluhan utama: Bagaimana pasien bisa datang ke ruang gawat darurat,
apakah pasien sadar atau tidak, datang sendiri atau dikirim oleh orang
lain?
3) Riwayat cedera, meliputi waktu mengalami cedera (hari, tanggal, jam),
lokasi/tempat mengalami cedera.
4) Mekanisme cedera: Bagaimana proses terjadinya sampai pasien menjadi
cedera.
5) Allergi (alergi): Apakah pasien mempunyai riwayat alergi terhadap
makanan (jenisnya), obat, dan lainnya.
6) Medication (pengobatan): Apakah pasien sudah mendapatkan pengobatan
pertama setelah cedera, apakah pasien sedang menjalani proses
pengobatan terhadap penyakit tertentu?
7) Past Medical History (riwayat penyakit sebelumnya): Apakah pasien
menderita penyakit tertentu sebelum menngalami cedera, apakah penyakit
tersebut menjadi penyebab terjadinya cedera?
8) Last Oral Intake (makan terakhir): Kapan waktu makan terakhir sebelum
cedera? Hal ini untuk memonitor muntahan dan untuk mempermudah
mempersiapkan bila harus dilakukan tindakan lebih lanjut/operasi.
9) Event Leading Injury (peristiwa sebelum/awal cedera): Apakah pasien
mengalami sesuatu hal sebelum cedera, bagaimana hal itu bisa terjadi?
b. Pengkajian ABCD FGH
1) AIRWAY
- Cek jalan napas paten atau tidak
- Ada atau tidaknya obstruksi misalnya karena lidah jatuh kebelakang,
terdapat cairan, darah, benda asing, dan lain-lain.
- Dengarkan suara napas, apakah terdapat suara napas tambahan seperti
snoring, gurgling, crowing.
2) BREATHING
- Kaji pernapasan, napas spontan atau tidak
- Gerakan dinding dada simetris atau tidak
- Irama napas cepat, dangkal atau normal
- Pola napas teratur atau tidak
- Suara napas vesikuler, wheezing, ronchi
- Ada sesak napas atau tidak (RR)
- Adanya pernapasan cuping hidung, penggunaan otot bantu pernapasan
3) CIRCULATION
- Nadi teraba atau tidak (frekuensi nadi)
- Tekanan darah
- Sianosis, CRT
- Akral hangat atau dingin, Suhu
- Terdapa perdarahan, lokasi, jumlah (cc)
- Turgor kulit
- Diaphoresis
- Riwayat kehilangan cairan berlebihan
4) DISABILITY
- Kesadaran : composmentis, delirium, somnolen, koma
- GCS : EVM
- Pupil : isokor, unisokor, pinpoint, medriasis
- Ada tidaknya refleks cahaya
- Refleks fisiologis dan patologis
- Kekuatan otot
5) EXPOSURE
- Ada tidaknya deformitas, contusio, abrasi, penetrasi, laserasi,
edema
- Jika terdapat luka, kaji luas luka, warna dasar luka, kedalaman
6) FIVE INTERVENTION
- Monitoring jantung (sinus bradikardi, sinus takikardi)
- Saturasi oksigen
- Ada tidaknya indikasi pemasangan kateter urine, NGT
- Pemeriksaan laboratorium
7) GIVE COMFORT
- Ada tidaknya nyeri
- Kaji nyeri dengan
P : Problem
Q : Qualitas/Quantitas
R : Regio
S : Skala
T : Time
8) H 1 SAMPLE
- Keluhan utama
- Mekanisme cedera/trauma
- Tanda gejala
9) H 2 HEAD TO TOE
- Fokus pemeriksaan pada daerah trauma
- Kepala dan wajah
2. Diagnosa Keperawatan
Pre Operasi
1. Nyeri berhubungan dengan peningkatan TIK
2. Resiko tinggi cedera berhubungan dengan perubahan fungsi neurologis
3. Perubahan persepsi sensori visual berhubungan dengan gangguan
persepsi, transmisi
4. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan saraf
5. Cemas berhubungan dengan ancaman kematian
Intra Operasi
1. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan
2. Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan primer tidak adekuat
(trauma jaringan, kulit tidak utuh)
Post Operasi
1. Nyeri berhubungan dengan agen cedera fisik
2. Resiko cedera berhubungan dengan trauma intracranial
3. Resiko infeksi berhubungan dengan luka post operasi
3. Rencana Keperawatan
"No "Diagnosa "Tujuan "Kriteria Hasil "Intervensi Keperawatan"Rasional "
" "Keperawatan " " " " "
"Pre Operasi "
"1 "Nyeri "NOC : Perilaku "Kriteria hasil : "NIC : Menejemen Nyeri "Meminimalkan rasa "
" "berhubungan "Mengendalikan Nyeri "Tidak menunjukkan "Intervensi : "nyeri yang dirasakan "
" "dengan "Tujuan : Pasien tidak "adanya nyeri atau "Berikan pereda nyeri "pasien "
" "peningkatan "mengalami nyeri atau "minimalnya bukti-bukti "dengan manipulasi "Mengurangi rasa nyeri"
" "TIK "nyeri menurun sampai "ketidaknyamanan "lingkungan (misal "Mengurangi rasa nyeri"
" " "tingkat yang dapat "TIK dalam batas normal "lampu ruangan redup, "Pasien bisa mimilih "
" " "diterima pasien "Tidak menunjukkan "tidak ada kebisingan, "teknik yang tepat "
" " " "bukti-bukti peningkatan"tidak ada gerakan "untuk mengurangi "
" " " "TIK "tiba-tiba). "nyeri "
" " " "Belajar dan "Berikan analgesia "Dukungan keluarga "
" " " "mengimplementasikan "sesuai ketentuan, "dapat memotivasi "
" " " "strategi koping yang "observasi adanya efek "pasien "
" " " "efektif. "samping. "Mengantisipasi nyeri "
" " " " "Lakukan strategi "yang berulang "
" " " " "sesuai non farmakologi" "
" " " " "untuk membantu " "
" " " " "mengatasi nyeri. " "
" " " " "Gunakan strategi yang " "
" " " " "dikenal pasien atau " "
" " " " "gambarkan beberapa " "
" " " " "strategi dan biarkan " "
" " " " "pasien memilih. " "
" " " " "Libatkan keluarga " "
" " " " "dalam pemilihan " "
" " " " "strategi " "
" " " " "Ajarkan pasien untuk " "
" " " " "menggunakan strategi " "
" " " " "non farmakologi " "
" " " " "sebelum terjadi nyeri " "
" " " " "atau sebelum menjadi " "
" " " " "lebih berat. " "
"2 "Resiko cedera "NOC : Keamanan Sosial "Kriteria hasil : "NIC : Mencegah Jatuh "Pasien mengetahui "
" "berhubungan "Tujuan : Pasien tidak "Bebas dari cedera "Tekankan pentingnya "tujuan perawatan "
" "dengan "mengalami cedera "Pasien dan keluarga "mematuhi program "Memberikan dukungan "
" "perubahan " "menyetujui aktivitas "terapeutik "Mencegah terjadi "
" "fungsi " "atau modifikasi "Dampingi pasien selama"cedera "
" "neurologis " "aktivitas yang tepat "aktivitas yang "Mencegah terjadinya "
" " " " "diijinkan "dekubitus "
" " " " "Jaga agar penghalang " "
" " " " "tempat tidur tetap " "
" " " " "terpasang " "
" " " " "Bantu ambulasi dan " "
" " " " "aktivitas hidup " "
" " " " "sehari-hari dengan " "
" " " " "tepat " "
"3 "Perubahan "NOC : Pengendalian "Kriteria hasil : "NIC : Pengelolaan "Memberikan rasa "
" "persepsi "Ansietas "Pasien menyesuaikan "Lingkungan "nyaman pada pasien "
" "sensori visual"Tujuan : Pasien "diri pada defisit "Berikan lingkungan "Dukungan pasien "
" "berhubungan "menunjukkan "sensoris / persepsi "yang mendorong rasa "selama perawatan "
" "dengan "tanda-tanda "Pasien menunjukkan "akrab dan rasa aman "Dukungan keluarga "
" "gangguan "penyesuaian terhadap "sikap dan rasa aman "Dorong partipasi dalam"memberikan dampak "
" "persepsi, "defisit sensoris / "dalam lingkungan "bermain aktif "positif pada pasien "
" "transmisi "persepsi " "Diskusikan bersama " "
" " " " "keluarga pentingnya " "
" " " " "membatasi lingkungan " "
"4 "Gangguan "Neurogical Status "Kriteria hasil : "NIC : Pengelolaan "Informasi bisa dapat "
" "komunikais "Tujuan : Pasien "Fungsi neurologis "Lingkungan "dipahami "
" "verbal "menunjukkan komunikasi"TIK dbn "Membantu keluarga "Pasien paham maksud "
" "berhubungan "verbal yang efektif. "Komunikasi "dalam memahami "dan tujuan "
" "dengan tumor " "TTV dbn "pembicaraan "Memberikan pemahaman "
" "otak " " "Berbicara kepada "yang jelas "
" " " " "pasien dengan suara "Memudahkan komunikasi"
" " " " "yang jelas "Pasien dapat "
" " " " "Menggunakan kata dan "menyampaikan keluhan "
" " " " "kalimat yang singkat "Memberikan dukungan "
" " " " "Instruksikan pasien "selama perawatan "
" " " " "dan keluarga untuk " "
" " " " "menggunakan bantuan " "
" " " " "berbicara " "
" " " " "Anjurkan pasien untuk " "
" " " " "mengulangi " "
" " " " "pembicaraannya jika " "
" " " " "belum jelas " "
" " " " "Beri pujian positif " "
" " " " "ketika pasien bisa " "
" " " " "bicara " "
"5 "Konflik "NOC: Decision Making "Kriteria Hasil: "NIC: Family Support "Keluarga memahami "
" "pengambilan "Tujuan: Setelah "Identifikasi informasi "Informasikan kepada "tindakan selama "
" "keputusan "dilakukan tindakan "yang relevan "keluarga tentang "perawatan "
" "berhubungan "keperawatan selama "Identifikasi "alternatif pilihan "Keluarga dapat "
" "dengan kurang "proses keperawatan "alternative "atau solusi "mengetahui keuntungan"
" "informasi yang"diharapkan tidak "Memilih berbagai "Bantu keluarga "dan kelebihan "
" "relevan "terjadi konflik dalam "alternatif "mengidentifikasi "alternatif yang lain "
" " "keluarga. " "keuntungan dan "Memberikan informasi "
" " " " "kerugian alternatif "Memberikan dukungan "
" " " " "lain "dalam pemberian "
" " " " "Tawarkan informasi "keputusan yang tepat "
" " " " "Bantu keluarga dalam "yang diambil "
" " " " "menjelaskan "Memberikan dukungan "
" " " " "keputusannya pada "selaman perawatan "
" " " " "anggota keluarga yang " "
" " " " "lain, jika diperlukan " "
" " " " "Berikan dukungan " "
" " " " "secara penuh " "
"6 "Cemas "NOC : Kontrol Cemas "Kriteria hasil : "NIC : Enhancement "Memberikan informasi "
" "berhubungan "Tujuan : Setelah "Monitor intensitas "Coping "selama perawatan yang"
" "dengan ancaman"dilakukan tindakan "kecemasan "Sediakan informasi "didapatkan pasien "
" "kematian "keperawatan diharapkan"Rencanakan strategi "yang sesungguhnya "Memberikan rasa "
" " "kecemasan hilang atau "koping untuk mengurangi"meliputi diagnosis, "nyaman "
" " "berkurang. "stress "treatment dan "Memberikan rasa "
" " " "Gunakan teknik "prognosis "nyaman pada pasien "
" " " "relaksasi untuk "Tetap dampingi kien "Mengurangi ansietas "
" " " "mengurangi kecemasan "untuk menjaga " "
" " " "Kondisikan lingkungan "keselamatan pasien dan" "
" " " "nyaman "mengurangi " "
" " " " "Instruksikan pasien " "
" " " " "untuk melakukan ternik" "
" " " " "relaksasi " "
" " " " "Bantu pasien " "
" " " " "mengidentifikasi " "
" " " " "situasi yang " "
" " " " "menimbulkan ansietas. " "
"Intra Operasi "
"1 "Resiko "NOC : Fluid balance "Kriteria hasil : "NIC : Manajemen cairan"Mengetahui balance "
" "kekurangan "Tujuan : Pasien tidak "Kulit dan membran "Catat intake dan "cairan "
" "volume cairan "mengalami dehidrasi "mukosa lembab "output "Antisipasi tanda "
" "berhubungan "atau cairan tubuh "Tidak terjadi demam, "Monitor status hidrasi"dehidrasi "
" "dengan "pasien adekuat. "TTV normal "seperti membran "Mengatur balance "
" "kehilangan " " "mukosa, nadi, tekanan "cairan "
" "cairan " " "darah dengan cepat. " "
" " " " "Beri cairan yang " "
" " " " "sesuai dengan terapi " "
"2 "Resiko infeksi"NOC : Pengenalian "Kriteria hasil : "NIC : Pengendalian "Mencegah terjadinya "
" "berhubungan "Resiko "Tidak menunjukkan "Infeksi "infeksi "
" "pertahan tubuh"Tujuan : Pasien tidak "tanda-tanda infeksi "Pantau tanda / gejala "Mencegah invasi "
" "primer tidak "mengalami infeksi atau" "infeksi "mikroorganisme "
" "adekuat "tidak terdapat " "Rawat luka operasi "Mencegah inos "
" " "tanda-tanda infeksi " "dengan teknik steril "Mencegah inos "
" " "pada pasien. " "Memelihara teknik " "
" " " " "isolasi, batasi jumlah" "
" " " " "pengunjung " "
" " " " "Ganti peralatan " "
" " " " "perawatan pasien " "
" " " " "sesuai dengan protap " "
"Post Operasi "
"1 "Nyeri "NOC : Tingkat Nyeri "Kriteria hasil : "NIC : Menejemen Nyeri "Mengurangi stressor "
" "berhubungan "Tujuan : Pasien tidak "Tidak menunjukkan "Intervensi : "yang dapat "
" "dengan "mengalami nyeri, "tanda-tanda nyeri "Berikan pereda nyeri "memperparah nyeri "
" "prosedur bedah"antara lain penurunan "Nyeri menurun sampai "dengan manipulasi "Mengurangi nyeri "
" " "nyeri pada tingkat "tingkat yang dapat "lingkungan (misal "Meminimalkan nyeri "
" " "yang dapat diterima "diterima "ruangan tenang, batasi"Mengurangi rasa nyeri"
" " " " "pengunjung). "yang dirasakan pasien"
" " " " "Berikan analgesia " "
" " " " "sesuai ketentuan " "
" " " " "Cegah adanya gerakan " "
" " " " "yang mengejutkan " "
" " " " "seperti membentur " "
" " " " "tempat tidur " "
" " " " "Cegah peningkatan TIK " "
"2 "Resiko tinggi "NOC : Pengendalian "Kriteria hasil : "NIC : Positioning "Menerikan posisi yang"
" "cedera "Resiko "Stress minimal pada "Konsul dengan ahli "tepat sehingga "
" "berhubungan "Tujuan : Pasien "sisi operasi "bedah mengenai "mengurangi risiko "
" "dengan trauma "mengalami stress "Pasien tetap pada "pemberian posisi, "cedera "
" "intrakranial "minimal pada sisi "posisi yang diinginkan "termasuk derajat "Mengurangi "
" " "operasi " "fleksi leher. "peningkatan TIK "
" " " " "Posisikan pasien datar"Mencegah terjadinya "
" " " " "dan mirirng, bukan "cedera "
" " " " "terlentang atau "Mencegah peningkatan "
" " " " "tinggikan kepala "TIK "
" " " " "Balikkan pasien dengan" "
" " " " "hati-hati " "
" " " " "Hindari posisi " "
" " " " "trendelenburg " "
"3 "Resiko infeksi"NOC : Pengenalian "Kriteria hasil : "NIC : Pengendalian "Mencegah terjadinya "
" "berhubungan "Resiko "Tidak menunjukkan "Infeksi "infeksi "
" "dengan luka "Tujuan : Pasien tidak "tanda-tanda infeksi "Pantau tanda / gejala "Mencegah invasi "
" "post operasi "mengalami infeksi atau" "infeksi "mikroorganisme "
" " "tidak terdapat " "Rawat luka operasi "Mencegah inos "
" " "tanda-tanda infeksi " "dengan teknik steril "Mencegah inos "
" " "pada pasien. " "Memelihara teknik " "
" " " " "isolasi, batasi jumlah" "
" " " " "pengunjung " "
" " " " "Ganti peralatan " "
" " " " "perawatan pasien " "
" " " " "sesuai dengan protap " "
"5 "Cemas "NOC : Kontrol Cemas "Kriteria hasil : "NIC : Enhancement "Memberikan informasi "
" "berhubungan "Tujuan : Setelah "Monitor intensitas "Coping "selama perawatan yang"
" "dengan ancaman"dilakukan tindakan "kecemasan "Sediakan informasi "didapatkan pasien "
" "kematian "keperawatan diharapkan"Rencanakan strategi "yang sesungguhnya "Memberikan rasa "
" " "kecemasan hilang atau "koping untuk mengurangi"meliputi diagnosis, "nyaman "
" " "berkurang. "stress "treatment dan "Memberikan rasa "
" " " "Gunakan teknik "prognosis "nyaman pada pasien "
" " " "relaksasi untuk "Tetap dampingi kien "Mengurangi ansietas "
" " " "mengurangi kecemasan "untuk menjaga " "
" " " "Kondisikan lingkungan "keselamatan pasien dan" "
" " " "nyaman "mengurangi " "
" " " " "Instruksikan pasien " "
" " " " "untuk melakukan ternik" "
" " " " "relaksasi " "
" " " " "Bantu pasien " "
" " " " "mengidentifikasi " "
" " " " "situasi yang " "
" " " " "menimbulkan ansietas. " "
4. Implementasi Keperawatan
Sesuai dengan rencana keperawatan
5. Evaluasi
Sesuai dengan kreteria hasil
DAFTAR PUSTAKA
Barbara C. Long. 1996. Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses
Keperawatan). Alih bahasa : Yayasan Ikatan alumsi Pendidikan
Keperawatan Pajajaran Bandung. Cetakan I.
Carpenito, L.J. 2003. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC.
Doengoes E.Marilyn. 2002. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC
Dorland. 1998. Kamus Saku Kedokteran. Jakarta: EGC.
Herdman, T. Heather. 2012. Diagnosa Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi
2012-2014. Jakarta: EGC
Mansjoer, Arif dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid 1.
Jakarta: Media Aesculapius.
PriceS.A., Wilson L. M. 2006. Buku Ajar Ilmu. Penyakit Dalam Jilid I Edisi
IV. Jakarta : EGC.
Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah edisi 3
volume 8. Jakarta: EGC.
Sylvia A. Price. 2006. Patofosiologi Konsep Penyakit. Jakarta: EGC