Laporan Responsi
Hari/Tanggal : Selasa / 1 Maret 2016
PPKN
Dosen
: Dyah Prabandari
MONUMEN DAN MUSEUM PETA
Kelompok 2/AP1 Ajeng Tri Octavia
J3E214112
Melisa Nur Fitriana
J3E114018
Pangesti Utami
J3E214096
Fakhri Rahman
J3E114081
SUPERVISOR JAMINAN MUTU PANGAN PROGRAM DIPLOMA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2016
PENDAHULUAN
PETA (Tentara Sukarela Pembela Tanah Air) dibentuk pada tahun 1943. Tujuan pembetukan tentara PETA bagi pemerintahan Jepang yaitu sebagai alat mempertahankan wilayahnya terutama di Indonesia dari serbuan tentara sekutu, sedangkan bagi pimpinan pergerakan kemerdekaan Indonesia pembentukkan tentara PETA karena melihat Indonesia ketika merdeka membutuhkan tentara yang pofesional terlatih untuk mempertahankan kemerdekaan dan keselamatan rakyat. Pemerintah pendudukan Jepang memilih kota Bogor sebagai pusat tempat pelatihan tentara PETA yang disebut Jawa Boei Giyugun Kanbu Kyo Iku Tai (Pusat Pendidikan Perwira Tentara Sukarela Pembela Tanah Air) dan berdiri diatas bekas tangsi dan markas tentara KNIL ( Koninklijik Nederlands Indische Leger ). Pembangunan Monumen dan Museum PETA dimulai pada 14 November 1993, dengan peletakan batu pertama oleh Wakil Presiden RI yaitu Umar Wirahadikusumah. Pembangunan museum PETA berlangsung selama kurang lebih dua tahun dan diresmikan oleh Presiden RI H.M. Soeharto pada tanggal 18 Desember 1995. Museum PETA terletak di Jalan Jenderal Sudirman No 35, Bogor. Pada komplek bangunan museum PETA di bagian belakang terdapat monumen dimana terdapat patung Jenderal Sudirman sebagai perwira PETA. Pada dinding yang berbentuk setengah lingkaran tercantum nama-nama perwira tentara PETA dari seluruh Jawa, Madura, dan Bali serta Sumatera. Pada bagian luar dinding monumen, telah dibuat relief sejarah PETA, sedangkan di dalam dua ruangan museum terdapat 14 diorama dengan adegan-adegan dari jalannya sejarah PETA dalam perjuangan menuju kemerdekaan tanah air.
RELIEF
Relief-relief yang terdapat di museum PETA terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu tokoh-tokoh yang terlibat dalam pembentukan PETA, pemberontakan yang dilakukan tentara PETA sebelum kemerdekaan, peran tentara PETA saat proklamasi kemerdekaan, pelagaan Ambarawa, tokoh-tokoh pimpinan nasional yang berasal dari mantan PETA, cikal bakal PETA menjadi TNI. Tokoh-tokoh bangsa Indonesia yang memprakarsai pembentukan tentara PETA antara lain Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Ki Hajar Dewantara, Gatot Mangku Praja, KH. Agus Salim, KH Ageng Suryo Mataram, dan KH. Mas Mansyur. Perekrutan calon tentara PETA berasal dari seluruh lapisan masyarakat baik dari kalangan pemuda maupun dari tokoh masyarakat dari Jawa, Madura, dan Bali yang direkrut dan dididik menjadi perwira berpangkat Syodancho, Chudancho, dan Daidancho di Bogor. Pimpinan Daidan Blitar adalah Chudancho Sujatmo, Syodancho Supriyadi, dan Daidancho Soerahmad, sedangkan Pimpinan Daidan Magelang adalah Syodancho Darmaji, Syodancho Ahmad Yani, Syodancho Sarwo Edhi Wibowo, dan Daidancho Soeryo Soemeno. Pemberontakan yang dilakukan tentara PETA sebelum kemerdekaan yaitu perlawanan PETA di Blitar dibawah pimpinan Syodancho Supriyadi pada tanggal 14 Februari 1945. Pemberontakan tersebut mengakibatkan hukuman di Mahkamah Militer Jepang terhadap Syodancho Muradi dan rekan seperjuangan, sehingga mengobarkan semangat bagi Daidan PETA lainnya untuk melawan Jepang. Selain itu, terdapat perlawanan dari tentara PETA lainnya antara lain perlawan PETA yang dipimpin oleh Bundancho Kusaeri pada tanggal 21 April 1945 di Desa Gumilar Cilacap dan perlawanan PETA yang dipimpin oleh Bundancho Amar Sutisna pada tanggal 4 Mei 1945 di daerah Cileunca Pengalengan Bandung Selatan. Peran tentara PETA saat Proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 di Jl. Pagangsaan Timur No. 56 Jakarta yaitu Daidancho Abdul Kadir sebagi pimpinan keamanan saat proklamasi kemerdekaan, Chudancho Latif Hendraningrat sebagai pengibar sang saka merah putih, dan Syodancho Arifin Abdurahman sebagai operator pesawat telepon dan menyampaikan informasi keamanan kepada Daidancho Abdul Kadir. Selain itu, tentara PETA juga berperan dalam pertempuran di Ambarawa yang melibatkan tentara Indonesia dengan sekutu yang diboncengi tentara NICA. Pertempuran tersebut mengakibatkan gugurnya Letkol Isdiman. Kolonel Soedirman menuntut balas dendam atas gugurnya orang kepercayaannya melalui pertempuran 4 hari 4 malam. Pada akhirnya sekutu dapat dipikul mundur keluar dari Ambarawa pada tanggal 15 Desember 1945.
Beberapa tokoh pimpinan nasional yang merupakan mantan tentara PETA adalah Syodancho Supriyadi sebagai Panglima TKR, Jenderal Besar Soedirman sebagai Panglima Besar TKR, Jenderal Besar HM. Soeharto sebagai Mantan Presiden RI ke-2, Jenderal Purn Umar Wira Hadi Kusumah sebagai Mantan Wakil Presiden RI ke-4. Tokoh pimpinan nasional lainnya yaitu Jenderal Purn. Poniman sebagai mantan Kasad/Menhan, Kolonel DR. Mustopo sebagai Pimpinan BKR/TKR Malang dalam merebut gedung HVA yang digunakan markas Angkatan Darat Jepang, Mayor Jenderal R. Muhammad Mangundiprojo sebagai anggota MPR periode 1988, Jenderal Anumerta Ahmad Yani sebagai Mantan Kasad/Menhan dan gugur sebagai Pahlawan Revolusi, dan Mayor Jenderal Sarwo Edhi Wibowo sebagai Mantan Danjen Kopassus. PETA merupakan cikal bakal lahirnya TNI. Pada tanggal 19 Agustus 1945, PETA dibubarkan oleh pemerintah Jepang dan bergabung dengan Badan Penolong Korban Perang (BPKP). Tanggal 22 Agustus 1945 PPKI merumuskan terbentuknya BKR dan pada 23 Agustus 1945 PETA bersama komponen bangsa lainnya seperti : KNIL, Heiho, Seinindan, Keibudan, Laskar Pemuda dan Pelaut bergabung menjadi satu membentuk BKR yang kemudian dirubah namanya melalui Maklumat pemerintah menjadi TKR pada tanggal 5 Oktober 1945.
DIORAMA Diorama 1
Kesepakatan tokoh – tokoh bangsa Indonesia untuk mengupayakan berdirinya tentara peta (1943). Kesepakatan tokoh – tokoh terdiri atas Bung Karno, Bung Hatta, KH Mas Mansyur, Ki Hajar Dewantoro, KA Soeryometaram, dan Gatot Mangkoeprojo sedang mendiskusikan unutuk memanfaatkan peluang dan kesempatan mendirikan tentara sendiri terdiri atas bangsa Indonesia sendiri. Dalam kesepakatan tersebut, tokoh-tokoh bangsa Indonesia mengadakan rapat yang bertujuan meminta izin kepada Jepang untuk membuat tentara PETA. Setelah meminta izin kepada Jepang, akhirnya pihak Jepang menyetujui dengan dikeluarkannya Undang-Undang dari Jepang dengan nama Osamu Sirei No. 44 tahun 1943. Sejak dahulu, para ulama Indonesia juga menginginkan Indonesia membentuk tentara untuk mempertahankan wilaya Indonesia dari serangan musuh. Para ulama tersebut diwakili oleh KH. Mas Mansyur dan KH. Agus Salim yang ikut menyetujui terbentuknya tentara PETA. Terdapat 2 tujuan terbentuknya tentara PETA antara lain bagi Indonesia yaitu mempersiapkan kemerdekaan Indonesia sedangkan bagi Jepang yaitu tentara PETA akan digunakan untuk melawan musuh Jepang yaitu sekutu (Amerika, Inggris, Perancis, Belanda, dan negara-negara Eropa lainnya. Jepang berpikiran bahwa Belanda pasti akan akan datang lagi ke Indonesia maka dari itu untuk menghalau serangan Belanda atau Sekutu, Jepang akan membudakkan tentara PETA. Walaupun tentara PETA di budakkan, namun Indonesia mendapat ilmu militer dari Jepang. Tentara PETA dengan pangkat tertinggi disebut dengan Dai Dancho-Komandan Batalyon yang setingkat dengan Letnan Kolonel atau Mayor, dibawah pangkat Dai Dancho disebut Chu Dancho-Komandan Kompi yang sekarang disebut dengan Kapten, setelah pangkat Chu Dancho adalah Sho Dancho-Komandan Pleton yang sekarang disebut dengan Letnan. Ciri perwira PETA sama dengan perwira Jepang yaitu memakai Pedang Katana (pedang keperwiraan pewira). Tugas dari Komandan Batalyon dan Komandan Kompi yaitu mengatur strategi, mendidik anak buah, serta mengatur massa.
Gambar 1. Kesepakatan tokoh – tokoh bangsa Indonesia untuk mengupayakan berdirinya tentara peta (1943). Diorama 2
Kegiatan latihan di Pusat Pendidikan Perwira Pembela Tanah Air Bogor (1943). Para calon perwira Pembela Tanah Air sedang menjalani pelatihan kemiliteran dalam lembaga pendidikan di Bogor yang merupakan Kawah Latihan – latihan meliputi tiga bidang yakni mental, pisik dan teknologi kemiliteran. Para pemuda menjalani latihan di Seinendojo Tangerang dan ditugaskan untuk membantu melatih para Calon Perwira tersebut. Latihan yang diberikan tidak hanya dalam bidang mental, pisik, dan teknologi kemiliteran, namun juga diajarkanteknik perang sangkur, olahraga sumo, dan juga diajarkan cinta tanah air. Indonesia diajarkan untuk cinta tanah air sementara pemerintah Jepang memberlakukan Romusha, maka dari itu tentara PETA banyak yang memberontak terhadap Jepang. Pendidikan dilaksanakan selama 3 sampai 4 bulan di Bogor. Materi yang diberikan padat dan sangat disiplin karena Jepang terkenal akan kedisiplinannya. Setelah pendidikan selesai yakni 3 sampai 4 bulan, tentara PETA dikembalikan ke daerah masing-masing yaitu Jawa, Madura, dan Bali untuk mendidik teman-temannya di wilayah masing-masing. Dibentuk tentara PETA dari Jawa, Madura, dan Bali karena tentara Jepang menguasai wilayah Indonesia dengan berbeda-beda pimpinan, yang menguasai pulau Jawa, Madura, dan Bali adalah tentara ke-16 Jepang nama Batalyonnya. Kebijakannya, mereka memerlukan tentara untuk mempertahankan wilayah Jawa, Madura, dan Bali. Wilayah Sumatera dikuasai oleh tentara ke-25 Jepang dengan nama pendidikannya yaitu Giyugun yang berartikan juga seperti PETA yaitu Pembela
Tanah Air. Sebelum mendidik tentara PETA, dilakukan seleksi tentara PETA terlebih dahulu. Banyak yang tidak lulus menjadi tentara PETA namun tetap dididik militer akan tetapi bukan militer (tentara PETA). Kelak tentara PETA bergabung dengan BKR mereka yang tidak lulus namun mempunyai kualifikasi bagus dapat ikut bergabung.
Gambar 2. Kegiatan latihan di Pusat Pendidikan Perwira Pembela Tanah Air Bogor (1943) Diorama 3
Pembentukan Batalyon-Batalyon Pembela Tanah Air (PETA) di Daerah – daerah Jawa, Madura, dan Bali (1944). Kegiatan memproses dan mentransformasikan para pemuda dari segala lapisan masyarakat menjadi prajurit. Pembela Tanah Air. Mereka berasal dari seluruh Jawa, Madura, dan Bali. Kegiatan dilakukan di tempat asrama Daldan (Batalyon) di daerah masingmasing. Dari mulai disusun dalam regu – regu, pleton – pleton kemudian diganti dengan pakaian seragam, digunduli, dan terus mengikuti latihan keprajuritan. Adegan menggambarkan kegiatan disalah satu Yon Peta di pulau Bali. Para pelatih sepenuhnya terdiri atas perwira – perwira lulusan Pusat Pendidikan Perwira Peta di Bogor seperti: ayodance-ayodanco Kemal Indris, Zulkilfi lubis, Satibl Darwis, dan Kusno Wibowo
Gambar 3. Pembentukan Batalyon-Batalyon Pembela Tanah Air
(PETA) di Daerah – daerah Jawa, Madura Dan Bali (1944)
Diorama 4
Pemberontakan PETA di Blitar (14 Pebruari 1945). Sebagian pasukan YON Peta yang berasrama dibekas gedung mosvia dibawah pimpinan Syodanco Supriyadi dan Muradi bergerak menyerang kota Blitar dalam rangka pemberontakan melawan tentara Jepang. Perlawanan tersebut merupakan permulaan upaya merebut Kemerdekaan Indonesia dan mengusir penjajah Jepang. Supriyadi dikenal sebagai pimpinan spiritual sedangkan Muradi sebagai pimpinan operasional. Adegan diorama menunjukkan pasukan yang sedang menuju sasaran dilindungi oleh tembakan senapan mesin berat dan mortir. Dilatar belakang nampak Syodanco Pujoharjono sedang menurunkan bendera Jepang dan menaikkan bendera merah putih.
Gambar 4. Pemberontakan PETA di Blitar (14 Februari 1945). Diorama 5
Tipu Muslihat Katagiri Butaicho (Jepang) terhadap Syodancho Muradi (15 Februari 1945). Bertempatan di suatu lapangan di luar kota Blitar pihak Jepang membujuk pimpinan pemberontakan Peta agar berunding untuk mencari penyelesaian damai. Sebab Muradi tidak mau menyerah walupun sudah dikepung. Bala tentara Jepang, mereka bertekad lebih baik mati dari pada menyerah. Percaya akan sifat kesatria perwira Jepang, Syodane Muradi selaku pimpinan pemberontakan datang untuk memenuhi undangan perundingan. Muradi tidak mengira bahwa perundingan itu tipu muslihat belaka. Penyerahan pedang Samurai disertai janji – janji yang muluk, bagi mereka yang mentaati perundingan dengan baik – baik tidak akan dianggap sebagai pemberontak dan tidak akan diajukan kepengandilan. Ternyata perundingan hanya tipu muslihat belaka untuk menggiring kembali pasukan Peta yang memberontak
ke asrama daidan. Adegan menggambarkan upacara khidmat penyerahan samurai disertai janji Jepang untuk memenuhi persyaratan dan tuntutan pihak Peta.
Gambar 5. Tipu Muslihat Katagiri Butaicho (Jepang) terhadap S yodancho Muradi (15 Februari 1945). Diorama 6 Peristiwa 16 Agustus 1945 di Kompi Pembela Tanah Air (PETA) Rengasdengklok. Pada hari kamis 16 Agustus 1945 jam 6.00 pagi Asrama Kompi Peta Rengasdengklok kedatngan rombongan tamu dari Jakarta yang ternyata adalah Bung Karno disertai Ibu Fatmawati dengan putra bayi pertamanya Guntur Sukarno Putra berikut Bung Hatta dan Sukarni. Rombongan tamu dikawal cudanco Dr. Soetjipto, syodanco singgih dan dua prajurit Peta.
Tidak berapa lama cudanco Soebeno dan Syodanco Umar Bahsan disusul Cudanci Setiadi, mereka datang dari Purwakarta kemudaian memberikan laporan kepada Bung Karno perihal kesiapan Batalyon Peta Purwakarta mendukung usaha proklamasi kemerdekaan oleh Bung Karno dan Bung Hatta. Sementara para pimpinan bangsa Indonesia tersebut melakukan perundingan untuk mencapai kesepakatan tentang saat tatacara proklamasi, diluar asrama camat Soejono Hadipranoto mengibarkan bendera merah putih menggantikan bendera Jepang dikawal prajurit Peta dan disaksikan oleh sebagian masyarakat Rengasdengklok. Ir. Soekarno mengatakan bahwa jika ingin merdeka harus rapat terlebih dahulu sehingga terbentuklah BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Dikarenakan dalam tubuh BPUPKI terdapat Jepang, para pemuda tidak menginginkan adanya campur tangan Jepang, para pemuda inginkan Indonesia merdeka hanya dengan hasil tangan bangsa Indonesia itu sendiri. Akhirnya tidak ada kesepakatan antara golongan tua dan golongan muda tentang masalah pelaksanaan proklamasi maka agar tidak terpengaruh Jepang dan segera proklamasi kemerdekaan, tentara PETA dan pemuda mengamankan Ir. Sokarno dan Moh. Hatta ke Rengasdengklok tepatnya
di rumah orang Tionghoa bernama Djiaw Kie Siong. Alasan para golongan muda membawa ke Rengasdengklok karena wilayah tersebut sudah dikuasai oleh tentara PETA yang sudah terdapat bendera merah putih berkibar dengan gagahnya.
Gambar 6. Peristiwa 16 Agustus 1945 di Kompi Pembela Tanah Air (PETA) Rengasdengklok. Diorama 7
Rombongan (golongan muda dan golongan tua) akhirnya pulang ke Jakarta pada pukul 12 malam untuk merumuskan teks proklamasi di rumah orang Jepang yang sudah pro terhadap Indonesia yang bernama Laksamana Muda Tadashi Maeda (Angkatan Laut Jepang) di Jakarta. Yang merumuskan teks proklamasi yaitu Ir. Soekarno, Moh. Hatta, dan Prof. Ahmad Soebardjo. Teks proklamasi tersebut ditulis tangan oleh Ir. Soekarno lalu diketik oleh Sayuti Melik. Proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Para pemimpin Indonesia setelah merumuskan Teks Proklamasi pada larut malam di Gedung jalan Imam Bonjol 1, Jakarta. Esoknya pada hari Jumat jam 10.00 pagi disaksikan para tokoh dan sejumlah rakyat dilaksanakan proklamasi pernyataan kemerdekaan Bangsa Indonesia. Acara pokok dalam peristiwa itu adalah pembacaan naskah proklamasi, mengibarkan bendera merah putih dan menyayikan lagu kebangsaan Indonesia Raya kemudia pembacaan pidat proklamasi oleh Bung Karno dan didampingi oleh Bung Hatta. Upacara prokalmasi kemerdekaan dilaksanakan dikediaman Bung Karno Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta, disudut ruangan Syodanco Arifin Abdoel Rahman dari Batalyon Peta Jakarta berdiri dihadapan telepon siap berhubungan dengan pasukan induknya.
Proklamasi sebenarnya ingin dilaksanakan di lapangan IKADA (Ikatan Atletik Jakarta) lapangan IKADA sangat luas, namun lapangan tersebut sudah dijaga ketat oleh Jepang. Pada peristiwa upacara Proklmasi Kemerdekaan tersebut yang menaikkan bendera merah putih adalah tentara PETA yang bernama Latief Hendraningrat dan pemuda bernama Suhud. Bendera merah putih dijahit tangan oleh Ibu Fatmawati.
Gambar 7. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Diorama 8
Badan Keamanan Rakyat (BKR) cikal bakal TNI (22 Agustus 1945). Di halaman suatu gedung di Jalan Merdeka Selatan yang pernah disipakan untuk Markas Besar Tentara Peta, para pemuda Peta dan Heiho yang telah resmi dibubarkan berkumpul mendengarkan seruan Bung Karno. Saat itu tanggal 23 Agustus 1945 diumumkannya tentang pembentukan Badan Keamanan Rakyat ( B K R ) yang telah diputuskan pemerintah tanggal 22 Agustus 1945. Pada diorama ini latar belakang tampak kobaran api seorang perwira Jepang dari markas besar Peta membakar semua dokumen, daftar dan catatan dengan maksud menghilangkan arsip yang dibutuhkan oleh Pemerinta Republik Indonesia. Adegan menunjukkan susana hening, tertib tetapi penuh semangat berkobar di dada para pemuda menyambut seruan pembentukan B K R. Sehubungan dengan dibubarkannya tentara PETA oleh Jepang pada tanggal 19 Agustus 1945, PPKI membentuk Badan Penolong Korban Perang, dalam Badan Penolong Korban Perang terdapat BKR (Badan Keamanan Rakyat) Ir. Soekarno menyerukan kepada tentara PETA masuk ke BKR, disinilah BKR bergabung dengan unsur-unsur lain seperti tentara Heiho, mantan tentara KNIL, pemuda, pelaut, laskar-laskar Seinendan dan Keibodan bergabung dalam tubuh BKR. Pada tanggal 5 Oktober 1945 BKR berubah nama menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat) lalu berubah nama menjadi Keselamatan Rakyat dan berubah lagi menjadi Tentara Republik Indonesia. Pada tahun 1947 Tentara Republik Indonesia berubah nama menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia). Sempat TNI
terpecah menjadi ABRI yang terdiri dari AL, AU,AD, dan Polisi, kemudian kembali seperti semula menjadi TNI kembali dan polisi pisah lagi dari TNI.
Gambar 8. Badan Keamanan Rakyat (BKR) cikal bakal TNI (22 Agustus 1945).
Diorama 9
Peristiwa rapat raksasa 19 September 1945 di lapangan IKADA, Jakarta. Presiden Republik Indonesia, Bung Karno, sedang mengucapkan pidato pada rapat raksasa dihadapam seluruh rakyat yang memadati lapangan Ikada Jakarta. Rapat tersebut merupakan sebuah manifestasi dukungan bulat rakyat atas Proklamasi 17 Agustis 1945 dihadapan mata dunia dan siap mempertahankannya meski apapun resikonya. Para pemimpin dikawal diantaraya oleh BKR Jakarta Raya pimpinan mantan Komandan Peleton Peta reini Moekmin. Pasukan tersebut juga turut menjaga rapat raksasa. Adegan diorama ini menunjukkan ketertibab masa dalam rapat tersebut, dengan disiplin yang tinggi rakyat mematuhi amanat Bung Karno untuk meninggalkan lapangan dengan tenang dan tertib. Sementara itu pasukan Jepang dengan tank, panser serta tentara- tentarayang siaga dengan bedil dan sngkur terpasang berjaga jaga dan mengawasi jalannya rapat. Disebut dengan Rapat Raksasa karena yang hadir banyak sekalidi lapangan IKADA (Ikatan Atletik Jakarta) yang sekarang menjadi Monas (Monumen Nasional). Tujuan rapat raksasa IKADA yaitu untuk mengumumkan proklamasi, karena proklmasi yang dilaksanakan pada 17 Agustus 1945 adalah proklamasi yang diumumkan secara sembunyi-sembunyi, maka dari itu tanggal 19 September 1945 Ir. Soekarno berpidato mengabarkan bahwa Indonesia sudah merdeka dan meminta masyarakat untuk mendukung kemerdekaan tersebut dengan caranya masing-masing.
Gambar 9. Peristiwa rapat raksasa 19 September 1945 di lapangan IKADA, Jakarta. Diorama 10
Peristiwa serbuan Osha Butai Kota Baru oleh Pasukan BKR Yogyakarta (Oktober 1945). Pasukan BKR Yogyakarta dipimpin mantan cudanco Peta Soeharto sedang melakukan penyerbuan terhadap maskas Osha Butai di Kota Baru. Penyerbuan dilakukan karena pihak Jepang tidak mau menyerahkan senjata- senjata mereka. Pasukan BKR dibantu ratusan pemuda secara bergelombang hingga akhirnya dalam penyerbuan itu pihak Jepang menyerah semua senjata dan persedian perlengkapan militer jatuh ketangan BKR. Turut dalam penyerbuan tersebut manta Syodanco Faridan yang gugur dalam peristiwa penyerbuan. Hasil penyerbuan tersebut adalah persenjataan dan perlengkapan militer untuk satu divisi serta perbekalan untuk dua tahun. Adegan diorama ini menunjukkan Pasuka BKR sedang terlihat tembak menembak gencar dengan pihak Jepang di markas Osha Butai.
Gambar 10. Peristiwa serbuan Osha Butai Kota Baru oleh Pasukan BKR Yogyakarta (Oktober 1945). Diorama 11
BKR Malang merintis matra kedirgantaraan dalam pembentukan kekuatan bersenjata Indonesia (Oktober 1945). Pimpinan B K R Malang, mantan Cudanco Peta Mutakat Hurip atas perintah dari Didanco Iman Sujai dan Kepala Staff Iskandar Sulaiman sedang mengatur dan mengkonsolidasikan fasilitas kedirgantaraan. Meliputi hanggar, sejumlah pesawat terbang serta fasilitas perlengkapan yang telah direbut lewat pertempuran dan perundingan dengan pihak Jepang di pangkalan udara Bugis Malang. Hadir dalam pertemuan itu mantan Daidanco Besoeki Soekoco yang diangkat Komandan Lapangan yang didampingi mantan Cudanco Soelam Syamsoen dan mantan Budanco Soeprantio. Oleh Menteri Pertahanan Republik Indonesia Drg. Moestopo, mantan daidanco Peta Gresik, mengangkat Soekarmen mantan Codanco Peta sebagai pimpinan B K R udara. Adegan menunjukkan pasukan-pasukan penjagaan dan pengamanan sedang diatur untuk menghindari gangguan dari masyarakat yang tidak berkepentingan. Soeprantio pernah diangkat menjadi Panglima Pasukan Gerak Cepat (Kopasgat) dengan panglima Masrsekal Muda.
Gambar 11. BKR Malang merintis matra kedirgantaraan dalam pembentukan kekuatan bersenjata Indonesia (Oktober 1945).
Diorama 12
Pengambil alihan markas angkatan darat Jepang di Jawa Timur ke tangan Bangsa Indonesia (Oktober 1945). Gedung HVA (Handles Vereninging Amsterdam) di Surabaya dalam masa pendudukan Jepang di Indonesia dijadikan markas angkatan darat Jepang di Jawa Timur (Rikugun Tobu Jawa Boetai). Lewat pertempuran dan perundingan yang alot dan banyak makan korban, akhirnya BKR Jawa Timur Drg. Moestopo mantan Daidanco Peta Gresik berhasil mengambil alih gedung tersebut. Kantor Kementrian Pertahanan Republik Indonesia dimana Drg. Moestopo bertidak selaku menterinya. Hasil pertempuran dan perundingan tersebut juga berupa pesediaan senjata dan perlengkapan militernya cukup untuk mempersenjatai tiga divisi Tentara Keamanan Rakyat yang dibentuk pada tanggal 5 Oktober 1945. Senjata – senjata tersebut juga dikirimkan ke Jawa Barat untuk memperkuat pasukan – pasukan disana. Adegan diorama menunjukkan betapa megah dang angkerna gedung tersebut yang akhirnya jatuh ketangan Badan Keamanan Rakyat (B K R).
Gambar 12. Pengambil alihan markas angkatan darat Jepang di Jawa Timur ke tangan Bangsa Indonesia (Oktober 1945). Diorama 13
Ambarawa dan lahirnya hari infantri TNI-AD (Angkatan Darat) (15 Desember 1945). Disuatu tempt anatara Magelang dan Ambarawa tokoh – tokoh pimpinan B K R / T K R Jawa Tengah : Soedirman, Jatikoesomo, Soeharto, Sarbini, Ahmad Yani, Isdiman, Soetarto, Holan Iskandar sedang berkumpul mengatur siasat untuk memukul mundur sekutu dan Belanda dari Ambarawa sesudah mereka meninggalkan Magelang. Pasukan T K R yang pada umumnya terdiri dari batalyon – batalyon Infantri berhasil memeuluk mundur pasuka Sekutu dalam satuan – satuan infantri.kavaleri dan Artileri yang juga diabntu tembakan dari udara. Maka pada tanggal 15 Desember 1945 dengan koordinasi Kolonel Soedirman yang waktu itu masih menjabat Panglima Divisi V Banyumas, pasukan
T K R berhasil menduduki Ambarawa dan berhasil mengusir sekutu dan Belanda. Peristiwa tersebut sampai sekarang diabadikan sebagai : Hari Infanteri TNI – AD 15 Desember 1945.
Gambar 13. Ambarawa dan lahirnya hari infantri TNIAD (Angkatan Darat) (15 Desember 1945). Diorama 14
Pemilihan panglima besar Tentara Keamanan Rakyat (12 November 1945). Sejak berdirinya T K R tanggal 5 Oktober 1945, menyusul maklumat Politik Pemerintah 1 November 1945 perihal anjuran dibentuknya partai – partai politik, T K R serta laskar – laskar bersenjata lainnya bermunculan dimana- mana. Guna menghndari kesalahah pahaman danperpecahan, demi kesatuan nasional untuk mempertahankan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia maka diperlukan seorang tokoh yang berwibawa, terpandang, dan dapat diterima oleh semua golonganserta mampu menggalang persatuan seluruh kesatuan – kesatuan kekuatan kekuatan bersenjata. Maka pada tanggal 12 November 1945, bertempatan di Markas Tinggi Tentara Keamanan Rakyat, Gondomanan, Yogyakarta, diadakan Konprensi besar T K R untuk memilih Panglima Tertinggi T K R. Konprensi dihadiri oleh seua komandan divisi dan resiman T K R seluruh Jawa. Kolonel Mohammad Noeh hadair mewakili 6 divisi dari Sumatra. Juga hadir para tokoh antara lain, Sri Sultan Hamengkubuono IX, Sunan Pakubuwono XII, dan Mangkunegoro X. Konfrensi dipimpin oleh Letjen Oerip Sumohardjo, berjalan tertib dan lancar. Proses pemilihan Panglima besar dilaksanakan dengan cara pemungutan suara dimana suara terbanyak dimenangkan oleh Kolonel Soedirman. Diorama menggambarkan pernyataan kesanggupan Pak Dirman didalam mengemban tugas barusebagai Panglima Besar Tentara Keamanan rakyat. Kelanjutan daripada peristiwa itu adalah pelantikan Pak Dirman manatan prajurit PETA menjadi Panglima Besar T K R oleh presiden Soekarno di Gedung Agung, Yogyakarta tanggal 18 Desember 1945.
Gambar 14. Pemilihan panglima besar Tentara Keamanan Rakyat (12 November 1945)
LAMPIRAN Nama : Ajeng Tri Octavia NIM
: J3E214112
Nilai yang saya dapatkan dan saya rasakan setelah berkunjung ke Monumen dan Museum PETA yaitu dapat mengetahui bagaimana adegan-adegan dari jalannya sejarah PETA dalam perjuangan menuju kemerdekaan tanah air melalui 14 Diorama yang terdapat di dalam museum, dapat melihat senjatasenjata yang digunakan oleh tentara PETA berdasarkan masanya, dapat melihat seragam yang digunakan oleh tentara PETA, dapat melihat miniatur yang ada mengenai bangunan atau tempat pendidikan militer yang didirikan oleh Belanda dan juga Jepang, dapat melihat bendera PETA, dan lain sebagainya. Tidak hanya itu, saya juga dapat mengetahui tokoh-tokoh yang terlibat dalam pembentukan PETA, pemberontakan yang dilakukan tentara PETA sebelum kemerdekaan, peran tentara PETA saat proklamasi kemerdekaan, pelagaan Ambarawa, serta tokoh-tokoh pimpinan nasional yang berasal dari mantan PETA melalui reliefrelief yang terdapat di luar dinding Monumen dan Museum PETA. Lalu saya juga dapat melihat patung Jenderal Sudirman sebagai perwira PETA yang terletak pada komplek bangunan museum PETA di bagian belakang. Saya juga dapat menetahui bahwa Bogor termasuk Kota Pembela Tanah Air karena dari Bogor lahir jiwa-jiwa Keprajuritan Nasional Indonesia diantaranya Soedirman, Soeharto, Ahmad Yani, dll. Nilai lainnya yang saya dapatkan dan rasakan yaitu dapat lebih menghargai perjuangan-perjuangan para pahlawan atau tentara PETA dalam mencapai dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Sebagai penerus bangsa, saya menyadari bahwa persatuan dan kesatuan sangatlah penting untuk menjaga dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia seperti yang tertera pada semboyan Bhinneka Tunggal Ika, semboyan ini digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan. Contoh lain yang dapat menggambarkan atau mencerminkan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yaitu isi dari Sumpah Pemuda. Sebagai pemuda dan penerus bangsa juga harus bisa mewujudkan cita-cita bangsa seperti yang tertera pada pembukaan UUD 1945 alinea keempat yaitu memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.