PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini Kebudayaan Daerah yang kita miliki sebagai kekayaan budaya bangsa Indonesia hampir punah dan tergerus dengan adanya modernisasi. Hampir semua masyarakat dalam seluruh lapisan semakin lupa akan keberadaan kebudayaan Daerah. Hal itu disebabkan oleh pengaruh budaya asing yang notabene datang dari western countries yang jauh dari budaya-budaya Negara timur seperti kita, Indonesia. Indonesia. Daerah istimewa yogyakarta atau yang lebih dikenal dengan nama Jogja,merupakan kota yang terkenal dengan sejarah dan warisan budayanya. Yogyakarta merupakan pusat kerajaan mataram,dan sampai saat ini masih ada keraton yang masih eksisten dalam menjaga budaya-budaya leluhur dengan keaslian bangunannya yang kental dengan nuansa jawa. Dengan adanya Keraton Yogyakarta budaya bangsa yang bersemboyan Bhineka Tunggal Ika ini dapat lestari dan akhinya tetap dapat dinikmati oleh anak cucu kita. Kraton Yogyakarta memiliki berbagai macam benda hasil kebudayaan yang dapat kita lihat dengan cara mengelilingi dan melihat-lihat kraton Yogyakarta beserta bangunan-bangunan peninggalan zaman dahulu, yang sampai saat ini tetap berdiri kokoh. Kraton Yogyakarta, seakan identik dengan unsur kebudayaan Jawa, bahkan bisa di bilang merupakan pusat dari kebudayaan di Jawa. Kraton Yogyakarta dengan segala kekhasan budaya Jawa nya, memiliki arti simbolik di setiap bangunannya. Kraton Yogyakarta yang telah berganti pemimpinnya mulai dari Sri Sultan Hambengkubuwana I sampai X, memiliki sejarah yang cukup panjang yang perlu kita ketahui dan pelajari. Hal ini dikarenakan tidak sedikit dari kita yang tidak atau kurang memahami dan mengetahui apa sajakah bentuk kebudayaan yang ada di kraton Yogyakarta, bahkan sebagian orang beranggapan bahwa kraton tidak lebih dari sekedar tempat tinggal Sri Sultan Hamengkubuwono. Makan dengan pelaksanaan kegiatan kunjungan langsung ke keraton ini diharapkan mahasiswa nantinya dapat mengetahui mengenai seluk-beluk sejarah maupun budaya yang ada di keraton Yogyakarta. Sehingga mahasiswa
sebgai generasi muda dapat lebih menghargai nantinya dapat melestarikan kebudayaan yang ada di Indonesia.
A. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas maka dapat diketahui bahwa rumusan masalah dari kegiatan kunjungan langsung adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana sejarah keraton Yogyakarta? 2. Apa filosofi yang terdapat di keraton Yogyakarta? 3. Apa saja kebudayaan yang ada di keraton Yogkarta? 4. Bagaimana antropologi kesultanan Jogja?
B. Tujuan
Tujuan dilaksanakannya kegiatan kunjungan langsung ke keratonadalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui sejarah keraton Yogyakarta. 2. Untuk mengetahui filosofi yang terdapat di keraton Yogyakarta. 3. Untuk mengetahui kebudayaan yang ada di keraton Yogkarta. 4. Untuk mengetahui antropologi kesultanan Jogja.
LAPORAN HASIL KUNJUNGAN
Mata kuliah
: Kebudayaan Daerah
Waktu Pelaksanaan : Rabu, 4 Mei 2016 Tempat
:Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Yogyakarta
Narasumber
: Abdi Dalem Pak Sugeng
Sumber
: Buku
A. Sejarah Keraton Yogyakarta
Keraton Yogyakarta mulai didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I beberapa bulan pasca Perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Lokasi keraton ini konon adalah bekas sebuah pesanggarahan yang bernama Garjitawati. Pesanggrahan ini digunakan untuk istirahat iring-iringan jenazah raja-raja Mataram (Kartasura dan Surakarta) yang akan dimakamkan di Imogiri. Versi lain menyebutkan lokasi keraton merupakan sebuah mata air, Umbul Pacethokan, yang ada di tengah hutan Beringan. Sebelum menempati Keraton Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono I berdiam di Pesanggrahan Ambar Ketawang yang
sekarang
termasuk
wilayah
Kecamatan
Gamping
Kabupaten Sleman Secara fisik istana para Sultan Yogyakarta memiliki tujuh kompleks inti yaitu Siti Hinggil Ler (Balairung Utara), Kamandhungan Ler (Kamandhungan
Utara), Sri Manganti, Kedhaton, Kamagangan, Kamandhungan Kidul (Kamandhungan Selatan), dan Siti Hinggil Kidul (Balairung Selatan). Selain itu Keraton Yogyakarta memiliki berbagai warisan budaya baik yang berbentuk upacara maupun benda-benda kuno dan bersejarah. Di sisi lain, Keraton Yogyakarta juga merupakan suatu lembaga adat lengkap dengan pemangku adatnya. Oleh karenanya tidaklah mengherankan jika nilai-nilai filosofi begitu pula mitologi menyelubungi Keraton Yogyakarta. Dan untuk itulah pada tahun 1995 Komplek Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dicalonkan untuk menjadi salah satu Situs Warisan Dunia UNESCO.
Tempat/singgasana raja untuk menemui rakyatnya (pisowanan) disebut bangsal manguntur merupakan tempat duduk raja dinobatkan juga .
Tulisan jawa di pintu gerbang “Sampeyan dalem ingkang sinuwun Kanjeng Sultan Hamengkubuwana ingkang jumeneng kaping 8”. Karena yang merenovasi keraton ini adalah Sultan ke-8.
B. Filosofi Geografis Keraton
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Pantai Parang Kusumo di Laut Selatan, dan juga Gunung Merapi berada dalam satu garis lurus yang dihubungkan oleh Tugu Jogja di tengahnya. Pengamatan citra satelit memang memperlihatkan lokasi-lokasi tersebut, berikut jalan yang menghubungkannya, hampir terletak segaris dan hanya meleset beberapa derajat. Keberadaan garis imajiner tersebut dibenarkan oleh mantan Guru Besar Filsafat Universitas Gadjah Mada Profesor Damarjati Supadjar. Gunung Merapi terletak di perbatasan DIY dan Jawa Tengah, yang juga sebagai batas utara Yogyakarta. Disinilah garis lurus itu dimulai. Membujur ke arah selatan, terdapat Tugu Yogya. Tugu menjadi simbol 'manunggaling kawulo gusti' yang juga berarti bersatunya antara raja (golong) dan rakyat (gilig). Simbol ini juga dapat dilihat dari segi mistis yaitu persatuan antara khalik (Sang Pencipta) dan makhluk (ciptaan). Garis selanjutnya mengarah ke Keraton dan kemudian lurus ke selatan terdapat Panggung Krapyak. Gedhong Panggung, demikian bangunan itu kini disebut, merupakan podium batu bata setinggi 4 meter, lebar 5 meter, dan panjang 6 meter. Tebal dindingnya mencapai 1 meter. Bangunan di sebelah selatan Keraton ini menjadi batas selatan kota tua Yogyakarta. Titik terakhir dari garis imajiner itu adalah Pantai Parang Kusumo, di Laut Selatan dengan mitos Nyi Roro Kidul-nya. Seperti Merapi, pada titik ini juga ada juru kuncinya, yaitu RP Suraksotarwono. Bagi Damarjati, daerah-daerah yang dilintasi garis lurus imajiner itu hanya 'kebetulan' saja terlintasi garis. Tetapi yang sesungguhnya memiliki arti adalah titik di masing-masing ujung imajiner, Merapi dan Laut Selatan. Dua lokasi itu memiliki arti yang sangat penting bagi Keraton yang dibangun berdasarkan pertimbangan keseimbangan dan keharmonisan. Keraton merupakan titik imbang dari api dan air. Api dilambangkan oleh Gunung Merapi, sedangkan air dilambangkan pada titik paling selatan, Pantai Parang Kusumo. Dan keraton berada di titik tengahnya. "Keraton dan dua daerah itu merupakan titik keseimbangan antara vertikal dan horizontal," jelas Damarjati. Keseimbangan horizontal dilambangkan oleh Laut Selatan yang mencerminkan hubungan manusia dengan manusia. Sedangkan Gunung
Merapi melambangkan sisi horizontal yang mencerminkan hubungan antara manusia dengan Yang Maha Kuasa. Filosofi garis lurus imajiner dari Merapi hingga Laut
Selatan ini sarat kearifan lokal. Damarjati menyarankan
pemimpin di negeri ini harus peka terhadap peristiwa letusan Merapi yang menewaskan sang juru kunci. Menurut dia, magma dalam gunung Merapi itu tidak boleh tersumbat untuk memuntahkan laharnya. Karena kalau tersumbat, dan terlambat, maka akan mengakibatkan letusan yang luar biasa. "Seperti kalau suara rakyat tersumbat, maka akan terjadi revolusi sosial.”
Filososfi geografis keraton
Denah keraton
C. Pakaian adat
Yogyakarta merupakan salah satu tempat di Indonesia dengan kekayaan budaya yang melimpah-ruah, termasuk dalam hal pakaian adat. Butuh berlembar-lembar halaman untuk mengurai, baik dari sisi jenis, waktu pemakaian, cara pembuatan, material, atau bahkan simbol dan filosofi di baliknya. Di dalam Keraton Yogyakarta, berbagai kekayaan khasanah sandang masyarakat Jawa, khususnya di Yogyakarta, masih hidup secara alami dalam keseharian manusianya. Berikut ini secara singkat diuraikan berbagai jenis pakaian adat Yogyakarta, terutama yang dikenakan di dalam keraton, yang disarikan dari buku “Pakaian Adat Tradisional Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta” , yang disusun oleh Wibowo, H. J., dkk (1990) , terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya:
1. Pakaian Abdi Dalem
Abdi dalem adalah seluruh pegawai atau karyawan keraton, yang umumnya tinggal di sekitar keraton. Pakaian mereka terdiri dari dua macam, yakni Sikep Alit dan Langenarjan. Perangkat pakaian Sikep
Alit terdiri dari kain batik sawitan, baju hitam dari bahan laken (dengan kancing dari tembaga atau kuningan yang disepuh emas, berjumlah 7 hingga 9 buah), penutup kepala destar , keris model gayaman (diletakan di peinggang sebelah kanan belakang), selop hitam, topi pet hitam dengan pasmen emas. Pakaian model ini dikenakan untuk keperluan sehari-hari. Sementara
pakaian
model Langeran merupakan
seperangkat
pakaian dengan perlengkapan kain batik, baju bukakan yang yang dibuat dari bahan laken warna hitam, kemeja putih dengan kerah model berdiri, destar
sama
dengan
model
pakaian
Sikepan
Alit ,
keris
model ladrangan atau gayman, dipakai di pinggang sebelah belakang kanan, dasi berwarna putih model kupu-kupu, serta selop berwarna hitam. Jenis pakaian ini pada umumnya dikenakan pada waktu malam untuk menghadiri suatu pertemuan dan jamuan makan malam dalam satu pesta khusus.
Pakaian abdi dalem 2. Pakaian Dinas
Pakaian
Dianas
terdiri
dari
tiga
jenis,
yakni Pakaian
Ageng , Pakaian Pethok , dan Pakaian Tindakan. Berikut hanya akan
dijelaskan jenis-jenis Pakaian Ageng, yang merupakan pakaian dinas harian para pejabat di lingkungan keraton. Pakaian Ageng merupakan seperangkat pakaian adat yang berupa model jas laken berwarna biru tua dengan kerah model berdiri, serta dengan rangkapan sutera berwarna biru tua, yang panjangnya mencapai bokong, lengkap dengan ornamen kancing-kancing bersepuh emas. Celananya sendiri berwarna hitam. Topi yang dikenakan terbuat dari bahan laken berwarna biru tua, dengan model bulat-panjang, dengan tinggi 8 cm. Pakaian Ageng yang dikenakan oleh masing-masing pejabat, memiliki sedikit perbedaan sebagai penanda strata dan fungsi mereka. Berikut adalah para pejabat di lingkungan keraton dan perbedaan atribut yang mereka sandang: a.
Pakaian bupati bertitel pangeran diberi plisir renda emas lugas lebar 1 cm, dipasang secara teratur di tepi kerah. Pada semua bagian tepi jas diberi hiasan renda dengan bordiran motif bunga padi.
b.
Pakaian bupati bertitel adipati “song - song jene” (payung kuning) mirip pakaian bupati bertitel pangeran, hanya terdapat sedikit hiasan bordiran pada bagian bawah kerah tidak melingkar secara penuh, tetapi ada jarak sekitar 8 cm.
c.
Pakaian bupati bertitel adipati mirip pakaian adipati “ song-song jene”. Perbedaannya terletak pada hiasan bordiran pada bagian bawah kerah.
d.
Pakaian bupati bertitel temanggung seperti pakaian adipati, dengan perbedaan pada bordiran sebelah bawah, yang panjangnya hanya 2/3 dari ukuran lingkaran jas.
e.
Pakaian patih seperti pakaian tumanggung, tetapi bordiran di bagian depan panjangnya sampai 3 ½ cm sampai bagian bawah kancing.
f.
Pakaian kepala distrik (wedana) mirip pakaian patih, tetapi dengan bordiran bagian depan dan bagian belakang dan ujung lengan hanya 2 cm lebarnya dari plisir.
g.
Pakaian kepala onder distrik (asisten wedana), mirip pakaian patih, tetapi bordiran bagian depan dan bagian belakang dan ujung lengan hanya 2 cm lebarnya dari plisir.
h.
Pakaian mantri polisi seperti pakaian kepala onder distrik, tetapi tana plisir di bagian depan dan tanpa bordiran bunga padi pada bagian kerahnya.
3. Pakaian Prajurit Jagakarya
Prajurit Jagakarya mengenakan seperangkat pakaian celana lurik ogal -agil (di bawah lutut), baju dalam warna oranye, sepatu model pantofel dari kulit warna biru tua, baju sikepan bahan dari kain lurik, mengenakan sarung tangan warna biru tua, mengenakan ikat kepala hitam dan topi model “celeng mogok ”, ditumpangi topi model songkok hitam bersyap, dan dengan keris model mataraman.
4. Pakaian Manggala Yudha
Prajurit Manggala Yudha mengenakan seperangkat pakaian yang terdiri atas celana ogal -agil berwarna hitam yang disebut celana panji panji, kain model sapit urang motif parang, sepatu pantofel hitam dari kulit, kaos kaki berwarna putih, boro motif cindhe yang ujungnya dihias dengan rumbai-rumbai benang emas, baju beskap hitam yang pada tepinya dihias dengan garis motif daun dari bahan benang emas, mengenakan tutup
kepala iket balangkon gaya mataraman,
yang
ditutup
dengan
songkok hitam yang memakai tutup di belakang, mengenakan keris model beranggah gaya mataraman. 5. Pakaian Mantijero
Prajurit Mantrijero mengenakan sperangkat pakaian yang terdiri atas baju lurik, celana tanggung bahan lurik, sepatu pantofel hitam dari kulit, kaos kaki putih pajang, boro motif cindhe, yang pada bagian bawahnya dihiasi dengan rumbai-rumbai warna emas. Mengenakan topi songkok hitam model minak jinggo, sarung tangan putih, dan membawa pedang panjang. 6. Pakaian Prajurit Bugis
Prajurit Bugis mengenakan seperangkat pakaian yang terdiri dari baju kurung warna hitam, celana berwarna hitam, sepatu kulit pantofel berwarna hitam, sepatu pantofel kulit berwarna hitam, mengenakan sarung
rangan putih, memakai lonthong cindhe, dengan kamus timang berwarna hitam bahan dari beludru berhias benang emas, mengenakan keris model gaya mataraman yang disematkan di depan. 7. Pakaian Prajurit Patangpuluh
Pakaian Ptangpuluh mengenakan seperangkat pakaian yang terdiri dari clana panjang berwarna putih dan celana pendek warna merah ditutupi sayak beludru hijau, dikencangkan dengan lonthong cindhe dan kamus beludru hitam yang bagian tepinya diberi hiasan benang emas. Baju dalamnya berwarna merah panjang dan bagian luar baju sikepan lurik patangpuluh. Mengenakan sepatu model bongkop kulit berwarna hitam dan kaos kaki panjang. Mengenakan selempang sedong beludru dihias kretep emas melintang di baju sikepan, topi songkok hitam, dan memegang pedang panjang. Berbagai jenis pakaian di atas hanya mewakili sedikti saja dari kekayaan khasanah sandang Yogyakarta, khususnya di dalam keraton. Profil pakaian di atas, belum mencakup yang dikenakan Sultan dan keluarganya, juga belum mencakup ritual-ritual khsusus, yang pada umumnya memiliki tata-aturan berbusana yang tersendiri, seperti pernikahan, kematian, sunatan, dan lain sebagainya.
Pakaian prajurit keraton
D. Antropologi Kesultanan Jogja 1. Sultan Hamengku Buwono I
Sultan Hamengku Buwono I (6 Agustus 1717 – 24 Maret 1792) terlahir dengan nama Raden Mas Sujana yang merupakan adik Susuhunan Mataram II Surakarta. Sultan Hamengkubuwana I dalam sejarah terkenal sebagai Pangeran Mangkubumi pada waktu sebelum naik tahta kerajaan Ngayogyakarta, beliau adalah putra Sunan Prabu dan saudara muda Susuhunan Pakubuwana II. Karena berselisih dengan Pakubuwana II, masalah suksesi, ia mulai menentang Pakubuwana II (1747) yang mendapat dukungan Vereenigde Oost Indische Compagnie atau lebih terkenal sebagai Kompeni Belanda (perang Perebutan Mahkota III di Mataram). Dalam pertempurannya melawan kakaknya, Pangeran Mangkubumi dengan bantuan panglimanya Raden Mas Said, terbukti sebagai ahli siasat perang yang ulung, seperti ternyata dalam pertempuran-pertempuran di Grobogan, Demak dan pada puncak kemenangannya dalam pertempuran di tepi Sungai Bagawanta. Disana Panglima Belanda De Clerck bersama pasukannya dihancurkan (1751). peristiwa lain yang penting menyebabkan Pangeran Mangkubumi tidak suka berkompromi dengan Kompeni Belanda. Pada tahun 1749 Susuhunan Pakubuwana II sebelum mangkat menyerahkan kerajaan Mataram kepada Kompeni Belanda; Putra Mahkota dinobatkan oleh Kompeni Belanda menjadi Susuhunan Pakubuwana III. Kemudian hari Raden Mas Said bercekcok dengan Pangeran Mangkubumi dan akhirnya diberi kekuasaan tanah dan mendapat gelar pangeran Mangkunegara. Pangeran Mangkubumi tidak mengakui penyerahan Mataram kepada Kompeni Belanda. Setelah pihak Belanda beberapa kali gagal mengajak Pangeran Mangkubumi berunding menghentikan perang dikirimkan s eorang Arab dari Batavia yang mengaku ulama yang datang dari Tanah Suci. Berkat pembujuk ini akhirnya diadakan perjanjian di Giyanti (sebelah timur kota Surakarta) antara Pangeran Mangkubumi dan Kompeni Belanda serta Susuhunan Pakubuwana III (1755).
Menurut Perjanjian Giyanti itu kerajaan Mataram dipecah menjadi dua, ialah kerajaan Surakarta yang tetap dipimpin oleh Susuhunan Pakubuwana
III
dan
kerajaan
Ngayogyakarta
dibawah
Pangeran
Mangkubumi diakui sebagai Sultan Hamengkubuwana I yang bergelar Senopati Ing Ngalaga Sayidin Panatagama Khalifatullah dengan karatonnya di
Yogyakarta.
Atas
kehendak
Sultan
Hamengkubuwana
I
kota
Ngayogyakarta (Jogja menurut ucapan sekarang) dijadikan ibukota kerajaan. Kecuali mendirikan istana baru, Hamengkubuwana I yang berdarah seni mendirikan bangunan tempat bercengrama Taman Sari yang terletak di sebelah barat istananya. Kisah pembagian kerajaan Mataram II ini dan peperangan antara pangeran-pangerannya merebut
kekuasaan
digubah
oleh Yasadipura
menjadi karya sastra yang disebut Babad Giyanti. Sultan Hamengkubuwana I dikenal oleh rakyatnya sebagai panglima, negarawan dan pemimpin rakyat yang cakap. Beliau meninggal pada tahun 1792 Masehi dalam usia tinggi dan
dimakamkan
menggantikannya
Astana
Kasuwargan
dengan
gelar
di
Sultan
Imogiri.
Putra
Mahkota
Hamengkubuwono
II.
Hamengkubuwana I dianugerahi gelar pahlawan nasional Indonesia pada peringatan Hari Pahlawan pada 10 November 2006.
2. Sultan Hamengku Buwono II
Sultan Hamengkubuwono II (7 Maret 1750 – 2 Januari 1828) atau terkenal pula dengan nama lainnya Sultan Sepuh. Dikenal sebagai penentang kekuasaan Belanda, antara lain menentang gubernur jendral Daendels dan Raffles, sultan menentang aturan protokoler baru ciptaan Daendels mengenai alat kebesaran Residen Belanda, pada saat menghadap sultan misalnya hanya menggunakan payung dan tak perlu membuka topi, perselisihan antara Hamengkubuwana II dengan susuhunan surakarta tentang batas daerah kekuasaan juga mengakibatkan Daendels memaksa Hamengkubuwono II turun takhta pada tahun 1810 dan untuk selanjutnya bertahta secara terputus-putus hingga tahun 1828 yaitu akhir 1811 ketika Inggris menginjakkan kaki di jawa (Indonesia) sampai pertengahan 1812 ketika tentara Inggris menyerbu keraton Yogyakarta dan 1826 untuk
meredam perlawanan Diponegoro sampai 1828. Hamengkubuwono III, Hamengkubuwono IV dan Hamengkubuwono V sempat bertahta saat masa hidupnyaSri Sultan Hamengku Buwono II. Saat menjadi putra mahkota beliau mengusulkan untuk dibangun benteng kraton untuk menahan seragan tentara inggris. Tahun 1812 Raffles menyerbu Yogyakarta dan menangkap Sultan Sepuh yang kemudian diasingkan di Pulau Pinang kemudian dipindah ke Ambon.
3. Sultan Hamengku Buwono III
Sultan Hamengkubuwana III (1769 – 3 November 1814) adalah putra dari Hamengkubuwana II (Sultan Sepuh). Hamengkubuwana III memegang kekuasaan pada tahun 1810. Setahun kemudian ketika Pemerintah Belanda digantikan Pemerintah Inggris di bawah pimpinan Letnan Gubernur Raffles, Sultan Hamengkubuwana III turun tahta dan kerajaan dipimpin oleh Sultan Sepuh (Hamengkubuwana II) kembali selama satu tahun (1812). Pada masa kepemimpinan Sultan Hamengkubuwana III keraton Yogyakarta mengalami kemunduran yang besar-besaran. Kemunduran-kemunduran tersebut antara lain : a. Kerajaan Ngayogyakarta diharuskan melepaskan daerah Kedu, separuh Pacitan, Japan, Jipang dan Grobogan kepada Inggris dan diganti kerugian sebesar 100.000 real setahunnya. b. Angkatan perang kerajaan diperkecil dan hanya beberapa tentara keamanan keraton. c. Sebagian daerah kekuasaan keraton diserahkan kepada Pangeran Notokusumo yang berjasa kepada Raffles dan diangkat menjadi Pangeran Adipati Ario Paku Alam I. Pada tahun 1814 Hamengkubuwana III mangkat dalam usia 43 tahun. 4. Sultan Hamengku Buwono IV
Sultan Hamengkubuwono IV (3 April 1804 – 6 Desember 1822) sewaktu kecil bernama BRM Ibnu Jarot, diangkat sebagai raja pada usia 10 tahun, karenanya dalam memerintah didampingi wali yaitu Paku Alam I hingga tahun 1820. Pada masa pemerintahannya diberlakukan sistem sewa
tanah untuk swasta tetapi justru merugikan rakyat. Pada tahun 1822 beliau wafat pada saat bertamasya sehingga diberi gelar Sultan Seda Ing Pesiyar (Sultan yang meninggal pada saat berpesiar).
5. Sultan Hamengku Buwono V
Sultan Hamengkubuwono V (25 Januari 1820 – 1826 dan 1828 – 4 Juni 1855) bernama kecil Raden Mas Menol dan dinobatkan sebagai raja di kesultanan Yogyakarta dalam usia 3 tahun. Dalam memerintah beliau dibantu dewan perwalian yang antara lain beranggotakan Pangeran Diponegoro sampai tahun 1836. Dalam masa pemerintahannya sempat terjadi peristiwa penting yaitu Perang Jawa atau Perang Diponegoro yang berlangsung 1825 – 1830. Setelah perang selesai angkatan bersenjata Kesultanan Yogyakarta semakin diperkecil lagi sehingga jumlahnya menjadi sama dengan sekarang ini. Selain itu angkatan bersenjata juga mengalami demiliterisasi dimana jumlah serta macam senjata dan personil serta perlengkapan lain diatur oleh Gubernur Jenderal Belanda untuk mencegah terulangnya perlawanan kepada Belanda seperti waktu yang lalu. Beliau mangkat pada tahun 1855 tanpa meninggalkan putra yang dapat menggantikannya dan tahta diserahkan pada adiknya.
6. Sultan Hamengku Buwono VI
Sultan Hamengku Buwono VI (19 Agustus 1821 – 20 Juli 1877) adalah adik dari Hamengkubuwono V. Hamengkubuwono VI semula bernama Pangeran Adipati Mangkubumi. Kedekatannya dengan Belanda membuatnya mendapat pangkat Letnan Kolonel pada tahun 1839 dan Kolonel pada tahun 1847 dari Belanda.
E. Kesenian
Kesenian-kesenian yang ada di keraton Yogyakarta meliputi sebagai berikut : 1. Tari Salah satu tari yang terdapat di keraton adalah Tari Golek Menak yang merupakan salah satu jenis tari klasik gaya Yogyakarta yang diciptakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Penciptaan tari Golek Menak berawal
dari ide sultan setelah menyaksikan pertunjukkan Wayang Golek Menak yang dipentaskan oleh seorang dalang dari daerah Kedu pada tahun 1941. Disebut juga Beksa Golek Menak, atau Beksan Menak. Mengandung arti menarikan wayang Golek Menak. Karena sangat mencintai budaya Wayang Orang maka Sri Sultan merencanakan ingin membuat suatu pagelaran yaitu menampilkan tarian wayang orang. Untuk melaksanakan ide itu Sultan pada tahun 1941 memanggil para pakar tari yang dipimpin oleh K.R.T. Purbaningrat, Suryobrongto,
dibantu K.R.T.
oleh
K.R.T.
Brongtodiningrat,
Madukusumo,
K.R.T.
Pangeran Wiradipraja,
K.R.T.Mertodipuro, RW Hendramardawa, RB Kuswaraga dan RW Larassumbaga. Proses penciptaan dan latihan untuk melaksanakan ide itu memakan waktu cukup lama. Pagelaran perdana dilaksanakan di Kraton pada tahun 1943 untuk memperingati hari ulang tahun sultan.
Tari Golek Menak
2. Wayang
Wayang kulit
Pertunjukkan wayang golek
3. Gamelan
Gamelan digunakan untuk mengirigi pertunjukkan wayang dan tari. F. Adat Istiadat
1. Sekaten Menurut sejarahnya, perayaan Sekaten bermula sejak kerajaan Islam Demak. Meski sebelumnya, ketika jaman pemerintahan raja Hayam Wuruk
di
Majapahit,
perayaan
semacam
Sekaten
yang
disebut
SRADAAGUNG itu sudah ada. Perayaan yang menjadi tradisi kerjaaan Majapahit tersebut, berupa persembahan sesaji kepada para dewa, disertai dengan mantra-mantra, sekaligus untuk menghormati arwah para leluhur. Namun ketika Majapahit runtuh, dan kemudian berdiri kerajaan islam Demak, oleh Raden Patah (Raja Demak I) dengan disertai dukungan para wali, perayaan tersebut selanjutnya dialihkan menjadi kegiatan yang
bersifat islami. Serta menjadi sarana pengembangan islam yang dilakukan oleh para wali, dengan membunyikan gamelan yang bernama KYAI SEKATI, pada setiap bulan Maulud, dalam rangka perayaan hari kelahiran Nabi Muhamad SAW. Perayaan itu kemudian disebut SEKATEN (dari kata Sekati). Pendapat lainnya menyatakan bahwa, kata SEKATEN berasal dari bahasa arab, yaitu SYAHADATAIN, yang berarti Dua Syahadat atau kesaksian. Dua syahadat itu ialah: a. SYAHADAT TAUHID, kesaksian bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah. b. SYAHADAT RASUL, kesaksian atau pengakuan bahwa Nabi Muhamad itu Rasul atau utusan Allah. Perayaan sekaten yang diselenggarakan di kraton Yogyakarta berlangsung hingga tanggal 5 hingga 11 Maulud atau Rabiul Awal. Acara ini diawali dengan dibunyikan dua perangkat gamelan yang bernama KYAI GUNTUR MADU (dari Demak) dan KYAI NAGAWILAGA (ciptaan Sri Sultan HB I) di bangsal konconiti, diseratai pemberian sedekah Sri Sultan berupa udhik-udhik, pleh utusan sultan. Setelah selesai, kemudian dengan dikawal oleh prajurit kraton , dua perangkat gamelan tersebut dikeluarkan menuju halaman masjid agung. Selanjutnya gamelan Kyai Guntur Madu ditempatkan di pagongan selatan dan Kyai Nagawilaga ditempatkan di pagongan utara. Dengan gending-gending tertentu ciptaan para wal i, dibunyikannya gamelan tersebut dibunyikan secara bergantian selama 7 hari, kecuali kamis malam sampai jumat siang sehabis sholat jumat, pada jam 08.0012.00 WIB, 14.00-17.00 WIB, dan 20.00-24.00 WIB. Semula gamelan sekaten itu memiliki daya panggil yang sangat besar terhadap warga, dan mereka berdatangan menyaksikannya. Kepada mereka kemudian diberikan penyuluhan tentang dan penerangan tentang agama islam dan bagi masyarakat
yang
sukarela
masuk
islam,
diberikan
bimbingan
mengikrarkan imannya dengan mengucapkan syahadatain. Karena terjadi perubahan ucapan maka kata syahadatain berubah menjadi sekaten.
Inti dari perayaan ini berupa peringatan Maulid Nabi Muhamad SAW tanggal 11 Maulud malam diserambi masjid agung, dengan pembacaan riwayat Nabi Muhamad SAW, oleh abdi dalem penghulu kraton dihadapan sultan.
2. Upacara Garebeg Garebeg adalah upacara adat di kraton Yogyakarta yang dislenggarakan tiga kali dalam satu tahun untuk memperingati hari besar islam. Mengenai istilah Garebeg ini berasal dari bahasa jawa “Grebeg”, yang berarti “diiringi para pengikut”. Karena perjalanan sultan keluar dari istana itu memang selalu diikuti banyak orang, sehingga disebut GAREBEG. Pengertian lain mengatakan bahwa karena gunungan itu diperebutkan warga yang berarti digrebeg, maka disebut GAREBEG. Pelaksanaan upacara tersebut bertepatan dengan hari-hari besar islam seperti: a. GAREBEG SYAWAL, dilaksanakan pada hari pertama bulan Syawal untuk memperingati hari raya lebaran atau idul fitri. b. GAREBEG BESAR, dilaksanakan pada hari kesepuluh bulan besar (Dzulhijjah) untuk memperingati hari raya kurban atau idul adha. c. GAREBEG MAULUD, dilaksanakan pada hari keduabelas bulan Maulud (Rabiul Awal) untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Pada setiap upacara Garebeg, Sultan berkenan member sedekah berupa gunungan kepada rakyatnya. Gunungan tersebut berisi makanan yang dibuat dari ketan, telur ayam, buah-buahan, serta sayuran yang semuanya dibentuk seperti gunung (tumpeng besar) sehingga disebut gunungan. Gunungan ini sebagai symbol kemakmuran dan kesejahteraan kerajaan Mataram. Upacara adat ini diawali dari halaman kemandungan Lor (Keben). Dengan dikawal oleh prajurit Kraton, gunungan yang berada di bangsal Ponconiti dibawa oleh abdi dalem menuju Alun-alun Lor melalui halaman Sitihinggil Lor dan Bangsal Pagelaran. Setibanya do Alun-alun Lor
gunungan tersebut disambut dengan tembakan salvo oleh prajurit kraton sebagai penghormatan. Selanjutnya gunungan tersebut dibawa menuju halaman Masjid Agung untuk dibacakan doa terlebih dahulu oleh Abdidalem Penghulu Kraton, demi kemuliaan Sultan dan kesejahteraan rakyat. Setelah itu gunungan itu diperebutkan oleh masyarakat yang ingin mendapatkan berkah dari gunungan itu.
3. Upacara Labuhan Yang disebut dengan upacara labuhan (laut) yaitu upacara melempar sesaji dan benda-benda kraton kelaut, untuk dipersembahkan kepada penguasa laut selatan atau Kanjeng Ratu Kidul, dengan maksud sebgai wujud rasa syukur kepada Sang Pencipta, atas segala kemurahan yang telah diberikan kepada seluruh pimpinan dan rakyat Yogyakarta serta berharap semoga Kraton Mataram Yogyakarta teatp lestari dan rakyat selau hidup dengan damai sejahtera. Upacara tradisional labuhan ini bermula sejak jaman Panembahan Senopati di Mataram Kota Gede. Panembahan Senopati yang terlibat percintaan dengan penguasa laut selatan itu, kemudian mempunyai gagasan untuk menyelenggarakn upacara persembahan sesaji kepada Kanjeng Ratu Kidul di pesisir selatan. Upacar tersebut sebagai ungkapan rasa syukur atas keberhasilannya dalam memimpin kerjaan mataran kotagede. Upacara adat yang merupakan warisan budaya bangsa tersebut, hingga sekarang masih diselenggarakan dan tetap dilestarikan oleh rajaraja kesultanan Yogyakarta. Upacara
Labuhan
yang
digelar
oleh
kraton
ini,
selain
diselenggarakan di pesisir selatan, juga diadakan di gunung merapi, gunung lawu dan dlepih kahyangan, wonogiri (yang disebut terakhir hanya tiap 8 tahun sekali).
Adapun upacara labuhan ini ada 3 jenis yaitu: a. LABUHAN AGENG, diselenggarakan pada peringatan Jumenengan Dalem (HUT Penobatan Raja), yang diadakan tiap 8 tahun sekali pada bulan Bakdamulud (rabiul akhir). b. LABUHAN TENGAHAN, diselenggaran pada bulan bakdamulud, setiap 4 tahun sekali. c. LABUHAN ALIT, diselenggarakan setiap tahun sekali setelah acara peringatan jumenengan dalem, juga pada bulan bakdamulud. Benda-benda yang dilabuh yaitu berupa potongan kuku, rambut, dan pakaian bekas milik Sultan, minyak konyoh, ratus (dupa), uang tindih Rp 500 (sebelumnya hanya Rp 100), serta benda-benda lainnya. macam benda yang dilabuh ini tidak sama pada setiap tempat upacara, karena dipersembahkan pada leluhur yang berbeda pula. Sejak jaman Sri Sultan Hamengkubuwono X ada perubahan sedikit mengenai penyelenggeraan upacara ini. Sebelumnya kraton Yogyakarta mengadakan upacara ini 2kali setiap tahun, yaitu bertepatan dengan Peringatan Tingalan Dalem (HUT Kelahiran Sultan) dan peringatan Jumenengan
Dalem
(HUT
Penobatan
Raja).
Namun
Sultan
Hamengkubuwono X memerintahkan agar upacara ini diadakan setiap tahun sekali, yaitu bertepatan dengan Peringatan Tingalan Jumenengan Dalem Nata. Khusus upacara Labuhan di pesisir Selatan di tempatkan di Patilasan Parangkusumo yang terdapat gundukan batu bekas tempat pertemuan antara Panembahan Senopati dengan Kanjeng Ratu Kidul. Setelah Hajad Dalem Labuhan dibawa ketepi laut, dan setelah di bacakan do’a oleh abdidalem Juru Kunci Parangkusumo, selanjutnya benda -benda itu di lemparkan kelaut. Benda-benda yang telah dilabuh dan kembali ke pantai, kemudian di perebutkan oleh masyarakat, yang mana benda-benda tersebut dipercaya bisa mendatangkan keberuntungan.
LAPORAN HASIL KUNJUNGAN DI KERATON YOGYAKARTA
Laporan ini disusun guna memenuhi salah satu tugas mata kuliah Kebudayaan Daerah Dosen Pengampu :
Dian Indah Purnamasari, M. Pd
Disusun Oleh : Kel. 4 (6M)
1. Erlin Dwi Riyanti
2013015409
2. Ersi Putri Palupi
2013015411
3. Andryani Nur Wulandari
2013015414
4. Lilik Candra Priyadi
2013015417
5. Ahmad Nur Sodiq
2013015421
6. Dian Ruliyani
2013015423
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SARJANAWIYATA TAMANSISWA YOGYAKARTA 2016