KRITIK SASTRA INDONESIA DI YOGYAKARTA 1966—1980
Tirto Suwondo Siti Ajar Ismiyati Yohanes Adhi Satiyoko
BALAI BAHASA YOGYAKARTA PUSAT BAHASA DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL i
KRITIK SASTRA INDONESIA DI YOGYAKARTA 1966—1980 Penulis: Tirto Suwondo Siti Ajar Ismiyati Yohanes Adhi Satiyoko Penyunting: Imam Budi Utomo Dhanu Priyo Prabowo Cetakan Pertama: Juni 2009 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Diterbitkan pertama kali oleh: BALAI BAHASA YOGYAKARTA PUSAT BAHASA DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL Katalog Dalam Terbitan (KDT) KRITIK SASTRA INDONESIA DI YOGYAKARTA 1966—1980/Tirto Suwondo, Siti Ajar Ismiyati, Yohanes Adhi Satiyoko—cet. 1—Yogyakarta: Penerbit Balai Bahasa Yogyakarta, 116 + viii hlm; 14.5 x 21 cm, 2009 ISBN (10) 979-188-192-8 (13) 978-979-188-192-0 1. Literatur I. Judul II. Imam Budi Utomo 800
Sanksi Pelanggaran Pasal 72, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. 1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
ii
PENGANTAR PENERBIT
Sebagai sebuah disiplin ilmu sastra, kritik sastra merupakan bagian dari ilmu sastra yang memiliki kedudukan penting, sama seperti kedudukan teori dan sejarah sastra. Oleh karena ketiga disiplin ilmu sastra itu saling berkaitan, saling menopang, dan tidak ada yang lebih utama dibanding yang lain maka jelas kritik sastra tidak sekadar sebagai ilmu yang hanya membahas baik-buruk suatu karya sastra, tetapi juga menjadi bagian yang penting dalam proses perkembangan teori dan sejarah sastra. Kritik sastra modern di Indonesia pertama kali diperkenalkan oleh Angkatan Pujangga Baru. Pada saat itu, terjadi polemik antara Sutan Takdir Alisjahbana dan para guru bahasa Melayu. Dari polemik itu kemudian lahirlah konsep dan pandangan mengenai kritik sastra Indonesia. Perdebatan yang terjadi di antara para ahli tersebut, berimbas ke seluruh daerah. Sejak akhir tahun 1960-an, kritik sastra berkembang di perguruan tinggi lewat skripsi-skripsi mahasiswa sastra. Di samping itu, kritik sastra juga berkembang di media massa. Perkembangan dunia sastra Indonesia di wilayah Yogyakarta, didukung oleh keberadaan media massa cetak (majalah dan koran) yang terbit di Yogyakarta. Beberapa media massa cetak yang terbit di Yogyakarta, menjadi pendukung eksistensi sastra Indonesia di Yogyakarta sejak awal hingga sekarang. Namun demikian, peranannya terhadap pertumbuhan sastra Indonesia di Yogyakarta berbeda-beda; ada yang sejak pertama terbit telah memuat karya sastra (terutama puisi, cerpen, dan esai/kritik), ada pula yang baru beberapa tahun kemudian memuat karya sastra. iii
Buku yang merupakan hasil penelitian Balai Bahasa Yogyakarta ini diterbitkan dengan maksud untuk memberikan sumbangan yang berarti bagi upaya penelusuran perkembangan sejarah sastra Indonesia di Yogyakarta, terutama sejarah kritik sastranya. Pada akhirnya, diharapkan buku ini dapat dibaca oleh masyarakat umum dalam rangka menambah pengetahuan mengenai keberadaan dunia sastra Indonesia di Yogyakarta. Penerbit
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami (tim peneliti) panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Mahabesar karena tugas yang dibebankan oleh Balai Bahasa Yogyakarta kepada kami untuk melakukan penelitian berjudul “Kritik Sastra Indonesia di Yogyakarta Tahun 1966—1980” dapat kami selesaikan dengan baik. Dengan selesainya tugas ini, kami merasa bahwa semua itu tiada lain berkat limpahan kasih-Nya sehingga kami tidak bisa tidak harus mengucapkan syukur kepadaNya. Kami menyadari, tugas ini tidak mungkin dapat kami selesaikan jika tanpa ada peran, keberadaan, dan keikhlasan berbagai pihak. Untuk itu, dengan rendah hati kami mengucapkan terima kasih yang tulus kepada pihak-pihak berikut. Pertama, Kepala Balai Bahasa Yogyakarta atas hak dan kewenangannya memberikan tugas ini kepada kami. Kedua, konsultan yang telah meluangkan waktu bagi kami untuk berkonsultasi. Ketiga, kepada kawan-kawan peneliti di Bidang Penelitian dan Pembinaan Sastra Balai Bahasa Yogyakarta yang telah memberikan dorongan moral dan spirit kepada kami. Keempat, kepada semua pihak, yang tidak mungkin kami sebut satu per satu, termasuk para pengetik naskah ini, yang terlibat baik langsung maupun tak langsung sehingga penelitian ini dapat kami wujudkan. Kepada mereka semua, sungguh kami merasa berutang budi, dan semoga budi baik mereka membuahkan pahala yang melimpah dari-Nya. Kami juga menyadari, penelitian ini masih jauh dari ideal, lebih-lebih sempurna. Oleh sebab itu, demi kesempurnaannya, saran v
dan kritik dari pihak mana pun sangat kami harapkan. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi para pecinta sastra Indonesia di Yogyakarta khususnya dan para pecinta sastra Indonesia pada umumnya. Yogyakarta, Desember 2005 Ketua Tim, Tirto Suwondo
vi
DAFTAR ISI
PENGANTAR PENERBIT ........................................................... iii KATA PENGANTAR ..................................................................... v DAFTAR ISI .................................................................................. vii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................... 1 1.1 Latar Belakang dan Masalah .................................................. 1 1.1.1 Latar Belakang ............................................................... 1 1.1.2 Masalah .......................................................................... 6 1.2 Tujuan Penelitian ..................................................................... 7 1.3 Landasan Teori ......................................................................... 7 1.4 Metode dan Teknik ................................................................ 10 1.5 Data Penelitian ....................................................................... 11 1.6 Sistematika Penyajian ........................................................... 11 1.7 Ejaan ........................................................................................ 12
BAB II DINAMIKA KRITIK SASTRA INDONESIA DI YOGYAKARTA ............................................................... 13 2.1 2.2 2.3 2.4
Mobilitas Sosial ...................................................................... 13 Tradisi Kritik .......................................................................... 20 Kritikus ................................................................................... 23 Media Penerbitan dan Penyebarluasan .............................. 26
BAB III JENIS DAN ORIENTASI KRITIK SASTRA INDONESIA DI YOGYAKARTA ............................................................ 45 3.1 Jenis Kritik ............................................................................. 45 3.2 Orientasi Kritik ..................................................................... 51 vii
3.2.1 3.2.2 3.2.3 3.2.4 3.2.5
Kritik Terhadap Pengarang ...................................... 52 Kritik Terhadap Karya Sastra .................................... 67 Kritik Terhadap Penerbit/Pengayom ....................... 96 Kritik Terhadap Pembaca ........................................ 103 Kritik Terhadap Kritik .............................................. 106
BAB IV PENUTUP ............................................................................ 109 DAFTAR PUSTAKA .......................................................... 113 BIODATA PENULIS .......................................................... 115
viii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang dan Masalah 1.1.1 Latar Belakang Seperti diketahui bahwa perkembangan kritik sastra di Indonesia, khususnya kritik sastra Indonesia modern, relatif baru. Dalam kaitan ini Teeuw (1989:73—74) mencatat bahwa yang tampil pertama kali di bidang kritik sastra adalah Pujangga Baru. Saat itu, lewat Pujangga Baru, terjadi polemik/perdebatan antara Sutan Takdir Alisjahbana dan para guru bahasa Melayu. Polemik itulah yang kemudian melahirkan konsep dan pandangan Takdir mengenai kritik sastra Indonesia yang kemudian dibukukan dalam Kebangkitan Puisi Baru Indonesia. Itu pula sebabnya, pada masa berikutnya (1950-an dan 1960-an) tampil dua tokoh penting, yakni H.B. Jassin dan A. Teeuw, yang dengan sadar mulai membangkitkan tradisi kritik sastra di Indonesia. Karya-karya kritik mereka kemudian dibukukan dalam Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai (5 jilid) (Gunung Agung, 1954) dan Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru (Pembangunan, 1952). Pada masa berikutnya (akhir 1960-an), terjadi pula polemik antara aliran Rawamangun yang dimotori oleh kalangan akademisi seperti M. Saleh Saad, M.S. Hutagalung, S. Effendi, dan J.U. Nasution dan aliran Ganzheit yang dimotori oleh Arif Budiman dan Gunawan Mohamad. Aliran Rawamangun berusaha menempatkan kritik sastra sebagai ilmu dengan prinsip, teori, dan sistem 1
yang jelas; sedangkan aliran Ganzheit mencoba menempatkan prinsip bahwa memahami karya sastra haruslah secara totalitas, tidak menganalisisnya unsur demi unsur. Beberapa karya kritik yang berasal dari perdebatan tersebut kemudian dibukukan oleh M.S. Hutagalung dalam Kritik Atas Kritik Atas Kritik (Tulila, 1975). Seperti diketahui pula bahwa perdebatan yang terjadi sejak Pujangga Baru hingga tahun 1960-an di antara para ahli (H.B. Jassin, Sutan Takdir Alisjahbana, A. Teeuw, M. Saleh Saad, M.S. Hutagalung, S. Effendi, J.U. Nasution, Arif Budiman, dan Gunawan Mohamad) itu mempunyai imbas yang luas (secara nasional). Oleh karena itu, tidak mengherankan jika tradisi kritik sastra Indonesia di berbagai daerah turut berkembang, tidak terkecuali di daerah/ wilayah Yogyakarta. Sebab, sejak akhir tahun 1960-an, selain kritik sastra berkembang di perguruan tinggi lewat skripsi-skripsi mahasiswa sastra, kritik sastra juga berkembang di media-media massa cetak yang terbit di wilayah-wilayah yang bersangkutan. Bertolak dari pernyataan di atas, dapat dikatakan bahwa perkembangan dunia sastra Indonesia di wilayah Yogyakarta jelas didukung oleh keberadaan media massa cetak (majalah dan koran) yang terbit di Yogyakarta. Beberapa media massa cetak yang terbit dan menjadi pendukung eksistensi sastra Indonesia di Yogyakarta sejak awal hingga sekarang, antara lain, Pusara (terbit pertama tahun 1933, oleh Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa), Pesat (terbit pertama 21 Maret 1945), Api Merdika (terbit pertama 16 November 1945, oleh Gasemma IPI Cabang Yogyakarta), Arena (terbit pertama April 1946, oleh Himpunan Sastrawan Indonesia Yogyakarta), Suara Muhammadiyah (terbit pertama 1915, oleh organisasi sosial-keagamaan Muhammadiyah), Kedaulatan Rakyat (terbit pertama 27 September 1945), Minggu Pagi (terbit pertama April 1948, di bawah naungan PT BP Kedaulatan Rakyat), Medan Sastra (terbit pertama 1953, oleh Lembaga Seni Sastra Yogyakarta), Darmabakti (terbit pertama April 1950, oleh Dewan Mahasiswa IAIN Yogyakarta), Gadjah Mada (terbit April 1950, oleh Dewan Mahasiswa Universitas Gadjah Mada Yogyakarta), Pelopor (terbit pertama Januari 1950 di bawah kepengayoman Angkatan Bersenjata Republik Indonesia c.q Angkatan Darat), Basis (terbit pertama Agustus 1951 di bawah Yayasan 2
Kanisius), Semangat (majalah pemuda-pemudi dewasa, terbit pertama tahun 1954, mendapat surat izin terbit baru pada 28 Maret 1966, oleh Badan Penerbit Spirit, di bawah dukungan pemudapemudi Katolik), Budaya (terbit pertama Februari 1953, oleh Bagian Kesenian Jawatan Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi DIY), Mercu Suar (terbit pertama tahun 1966, kemudian pada tahun 1972 berubah nama menjadi Masa Kini, dan pada awal 1990-an berubah —dengan manajemen baru di bawah naungan harian nasional Media Indonesia— menjadi Yogya Post), Eksponen (tabloid mingguan, terbit tahun 1970-an hingga 1980-an), dan Berita Nasional (terbit sejak awal 1970-an dan pada tahun 1990an berubah —dengan manajemen baru di bawah naungan harian nasional Kompas— menjadi Bernas). Hal itu masih ditambah dengan majalah Citra Jogja terbitan Dewan Kesenian Yogyakarta dan beberapa majalah kampus seperti Arena (IAIN), Humanitas (Fakultas Sastra UGM), Citra (Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni IKIP Muhammadiyah), Gatra (Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma), dan atau majalah/bulletin terbitan sanggar atau kelompok-kelompok studi seniman/sastrawan. Dilihat dari peranannya terhadap pertumbuhan sastra Indonesia di Yogyakarta, beberapa media massa cetak yang disebutkan di atas memang berbeda-beda; ada yang sejak pertama terbit telah memuat karya sastra (terutama puisi, cerpen, dan esai/kritik), misalnya Arena dan Medan Sastra; ada pula yang baru beberapa tahun kemudian memuat karya sastra, misalnya Pesat, sebuah mingguan politik yang terbit tahun 1945 tetapi sejak tahun 1951 memuat karya sastra, dan Kedaulatan Rakyat yang terbit sejak 1945 tetapi baru membuka rubrik sastra (budaya) pada awal 1980-an. Akan tetapi, bagaimanapun juga, meskipun berbeda-beda peranannya, media-media massa cetak tersebut cukup memberikan andil positif bagi perkembangan sastra Indonesia di Yogyakarta, lebih-lebih karena pada beberapa dekade awal kemerdekaan hingga tahun 70-an (sebelum tahun 1980) dunia penerbitan buku karya sastra boleh dikata belum berkembang. Oleh karena itu, dunia sastra secara dominan tumbuh melalui koran dan majalah. Sebagaimana diketahui bahwa hampir semua media massa cetak yang disebutkan di atas (pernah) memuat karya sastra, 3
terutama puisi, cerpen, dan esai/kritik; sedangkan karya sastra yang berupa novel (cerita bersambung) dan drama tidak memperoleh perhatian semestinya, kecuali Minggu Pagi yang pada awal tahun 1960-an pernah memuat cerita bersambung (novel) karangan Motinggo Busye berjudul “Tidak Menyerah” dan “Ahim-Ha Manusia Sejati” dan karangan Nasjah Djamin berjudul “Hilanglah Si Anak Hilang”.1 Oleh sebab itu, untuk mengetahui sejauh mana keberadaan karya-karya sastra dalam media-media massa tersebut dan sejauh mana peranannya dalam perkembangan sastra Indonesia di Yogyakarta secara keseluruhan, seluruh karya sastra yang dimuat di dalam media-media tersebut harus diteliti. Akan tetapi, tidaklah mungkin meneliti seluruh karya sastra yang terbit dalam media-media tersebut karena hal tersebut hanya mungkin dilakukan jika tersedia waktu, kemampuan, dan tentu saja biaya yang cukup (banyak). Karena penelitian ini serba terbatas, di samping karena waktu dan biaya yang amat terbatas, pembatasan terhadap objek penelitian pun harus dilakukan. Berkenaan dengan hal di atas, penelitian ini hanya akan membahas salah satu di antara sekian banyak aspek di bidang sastra, yaitu kritik sastra Indonesia dalam Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Mercu Suar (Masa Kini), Basis, Semangat, Suara Muhammadiyah, dan Pelopor pada kurun waktu tahun 1966 hingga 1980. Pembatasan hanya pada kritik sastra tidak berarti bahwa karya-karya lain (puisi, cerpen, novel, drama dll.) tidak penting, tetapi semata karena karya-karya lain itu sudah diteliti oleh para peneliti lain, misalnya puisi oleh Widati dkk. (2003, 2004), cerita pendek oleh Triyono dkk. (2004), dan novel (cerita bersambung) oleh Mardianto dkk. (2004). Di samping itu, pembatasan media hanya pada Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Mercu Suar (Masa Kini), Basis, Semangat, Suara Muhammadiyah, dan Pelopor juga tidak berarti bahwa media-media
1
Setelah dimuat Minggu Pagi pada tahun 1960, cerita bersambung tersebut kemudian diterbitkan menjadi buku (novel) oleh Penerbit Nusantara, Bukittinggi, tahun 1963, kemudian oleh Dunia Pustaka Jaya, Jakarta, tahun 1977, bahkan juga diterjemahkan oleh Dr. Farida L’abrouse ke dalam bahasa Perancis dan diterbitkan oleh Puraimond, Paris, dalam “Collection Unesco Doeuvres Representative” Serie Indonesienne tahun 1976. Pada tahun 1993 novel ini diterbitkan oleh Balai Pustaka.
4
lainnya tidak penting, tetapi karena memang media-media itulah yang pada kurun waktu itu (1966—1980) masih hidup dan dimungkinkan menjadi media publikasi karya-karya kritik sastra Indonesia di Yogyakarta. Sementara itu, pembatasan waktu penelitian hanya pada tahun 1966 hingga 1980 juga tidak berarti tahun-tahun di luar itu diabaikan, tetapi karena esai/kritik sastra yang terbit pada tahun 1945 hingga 1965 telah diteliti oleh Suwondo dkk. (2004), sedangkan esai/kritik sastra yang terbit sesudah tahun 1980 akan diteliti kemudian (tahun 2006). Oleh karena itu, cukup beralasan jika penelitian ini hanya membatasi objek penelitian berupa karyakarya kritik sastra pada Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Mercu Suar (Masa Kini), Basis, Semangat, Suara Muhammadiyah, dan Pelopor. Perlu dikemukakan di sini bahwa alasan perlu ditelitinya kritik sastra ialah karena sebagai sebuah disiplin ilmu sastra, kritik sastra merupakan bagian dari ilmu sastra yang memiliki kedudukan yang penting, sama seperti kedudukan teori dan sejarah sastra (Wellek dan Warren, 1968). Oleh karena ketiga disiplin ilmu sastra itu (teori, sejarah, dan kritik) saling berkaitan, saling menopang, dan tidak ada yang lebih utama dibanding yang lain, jelaslah bahwa kritik sastra tidak sekadar sebagai ilmu yang hanya membahas baik-buruk suatu karya sastra, tetapi juga menjadi bagian yang penting dalam proses perkembangan teori dan sejarah sastra. Oleh sebab itu, perkembangan kritik sastra di suatu wilayah tertentu, misalnya, secara tidak terelakkan akan menjadi bagian dari parameter perkembangan atau perjalanan sejarah dan teori sastra di wilayah yang bersangkutan. Demikian pula kiranya perkembangan kritik sastra Indonesia di Yogyakarta. Sebagaimana kehidupan kritik sastra pada umumnya, kehidupan kritik sastra Indonesia di Yogyakarta juga tidak begitu saja turun dari langit karena kritik sastra berhubungan erat dengan karya sastra, pengarang, pembaca, dan dunia akademik yang menjadi faktor pengembang ilmu (dan dunia) sastra. Dengan demikian, di satu sisi kritik sastra berada dalam suatu sistem yang otonom (mandiri), tetapi di sisi lain juga senantiasa bergerak di tengah elemen-elemen yang menjadi lingkungan terdekatnya. Jadi, dapat diasumsikan bahwa ada beberapa faktor yang turut berperan dan 5
mendukung dalam upaya atau proses kehadiran kritik sastra Indonesia di Yogyakarta. Berdasarkan pengamatan sementara dapat dikatakan bahwa esai/kritik sastra Indonesia di Yogyakarta yang muncul dalam Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Mercu Suar (Masa Kini), Basis, Semangat, Suara Muhammadiyah, dan Pelopor tahun 1966 hingga 1980 cukup beragam, dalam arti kritik tersebut tidak hanya ditujukan kepada karya sastra (secara objektif, secara mikro sastra), tetapi juga ditujukan kepada elemen-elemen lain di luar karya sastra (secara makro, cenderung sosiologis), misalnya kepada para pengarang (sang pencipta, penulis, kreator), kepada penerbit (termasuk di dalamnya pengayom), kepada para pembaca (selaku penikmat, audiens, apresiator), dan bahkan kepada kritik itu sendiri (yang berupa diskusi terbuka atau polemik). Selain itu, kritik sastra dalam beberapa media cetak tersebut juga tidak hanya muncul di dalam rubrik yang secara eksplisit diberi nama “kritik”, “seni-budaya”, atau “sastrabudaya”, tetapi dapat muncul dalam rubrik lain, misalnya rubrik surat pembaca, ulasan, resensi atau bedah buku, dan lain-lain. Oleh sebab itu, penelitian ini akan membahas berbagai orientasi esai/ kritik sastra dengan mengesampingkan pembedaan rubrik yang ada di dalam masing-masing media massa cetak tersebut (Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Mercu Suar (Masa Kini), Basis, Semangat, Suara Muhammadiyah, dan Pelopor). 1.1.2 Masalah Sebagaimana dikemukakan di dalam latar belakang bahwa penelitian ini akan membahas karya-karya kritik sastra Indonesia di Yogyakarta tahun 1966 hingga 1980, khususnya yang telah dipublikasikan di media massa cetak yang terbit di Yogyakarta (Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Mercu Suar (Masa Kini), Basis, Semangat, Suara Muhammadiyah, dan Pelopor). Sehubungan dengan hal itu, pokok masalah yang diangkat dan dibahas adalah (1) bagaimana dinamika kritik sastra Indonesia di Yogyakarta tahun 1966 hingga 1980, (2) apa jenis kritiknya, dan (3) bagaimana orientasi karya-karya kritik tersebut. Dalam pokok masalah (1) akan dilihat bagaimana mobilitas sosial yang terjadi dan berpengaruh pada kehidupan kritik sastra Indonesia, bagaimana tradisi kritik yang terbangun, siapa saja para 6
kritikusnya, dan bagaimana peran media massa cetak itu dalam perkembangan kritik sastra Indonesia di Yogyakarta tahun 1966 hingga 1980. Dalam pokok masalah (2) akan dilihat apa saja jenis kritiknya berdasarkan metode penggarapan atau penyampaiannya. Sementara itu, dalam pokok masalah (3) akan dilihat bagaimana fokus perhatian kritik; terhadap apa saja kritik itu ditujukan, apakah terhadap pengarang, karya, penerbit/pengayom, pembaca, kritik, atau terhadap hal lain yang berada di dalam lingkaran sistem kritik sastra Indonesia di Yogyakarta tahun 1966 hingga 1980. 1.2 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan masalah yang telah dipaparkan di atas, penelitian ini dimaksudkan untuk mencapai beberapa tujuan yang mencakupi tujuan umum dan tujuan khusus. Dalam kaitannya dengan tujuan umum, penelitian ini bermaksud membantu memberikan sumbangan yang berarti bagi upaya penelusuran perkembangan sejarah sastra Indonesia di Yogyakarta, terutama sejarah kritik sastranya, di samping memberikan dan atau menyediakan data deskriptif yang dapat dibaca oleh masyarakat umum dalam rangka menambah pengetahuan mengenai keberadaan dunia sastra Indonesia di Yogyakarta. Di samping itu, dalam kaitannya dengan tujuan khusus, penelitian ini bermaksud mengetahui keberadaan kritik sastra Indonesia di Yogyakarta tahun 1966 hingga 1980 khususnya dalam media massa cetak Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Mercu Suar (Masa Kini), Basis, Semangat, Suara Muhammadiyah, dan Pelopor. Lebih khusus lagi, penelitian ini bermaksud mendeskripsi dan menginventarisasi berbagai hal yang berhubungan dengan jenis dan orientasi kritik sastra yang muncul dalam media-media tersebut beserta kecenderungan dominannya. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan melihat seberapa besar peranan media-media massa cetak itu dalam konteks perkembangan sastra Indonesia di Yogyakarta. 1.3 Landasan Teori Telah dikemukakan di depan bahwa pokok masalah yang dibahas di dalam penelitian ini adalah kritik sastra Indonesia di 7
Yogyakarta tahun 1966 hingga 1980 dan lingkup kajiannya dipusatkan pada karya-karya kritik sastra Indonesia yang telah dipublikasikan dalam media massa cetak yang terbit di Yogyakarta (Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Mercu Suar (Masa Kini), Basis, Semangat, Suara Muhammadiyah, dan Pelopor). Karena karya-karya kritik sastra tersebut —yang berupa esai, artikel, ulasan, resensi, dll.— pada hakikatnya merupakan suatu kristalisasi tanggapan atau sambutan pembaca, khususnya pembaca canggih (sophisticated reader) atau kritikus, teori yang paling tepat untuk digunakan sebagai landasan analisis ialah resepsi sastra seperti yang telah dirumuskan secara bersistem oleh Jauss (1974) dan Iser (1980, 1987) dengan prinsip dasarnya yang terkenal, yaitu “horizon harapan” (horizon of expectation) dan “tempat terbuka” (blank, apenness). Teori resepsi sastra antara lain berpandangan bahwa pembaca (reader) merupakan variabel penting sebagai pemberi makna karya sastra; dan oleh karenanya, dalam suatu penelitian sastra, tanggapan pembaca terhadap sastra yang antara lain terwujud dalam bentuk karya-karya kritik dapat dimanfaatkan sebagai titik tolak pembahasan. Namun, karena penelitian ini bermaksud mendeskripsikan tanggapan pembaca lewat karya-karya kritik sastra Indonesia di Yogyakarta yang berkembang pada kurun waktu tertentu (1966— 1980), konsep teori resepsi yang diajukan oleh Jauss dan Iser akan diterapkan ke dalam beberapa kategori kritik seperti yang dikemukakan oleh Tanaka (1976), Said (1983), dan Abrams (1981). Tanaka (1976:49—50) berpendapat bahwa dalam kaitannya dengan sistem mikro dan makro sastra, kritik sastra dibedakan menjadi dua kategori sistem, yaitu sistem kritik akademik (the academic critic system) dan sistem kritik umum (the general critic system). Kritik akademik adalah kritik yang berkembang di lingkungan akademik dan kategori kritik ini dikembangkan oleh para akademisi; dan kritik umum adalah kritik yang berkembang dalam masyarakat umum dan biasanya media yang digunakan adalah media massa umum. Sasaran yang dituju oleh kritik akademik adalah khalayak terbatas, kecuali jika kritik tersebut kemudian disusun sedemikian rupa sehingga dapat dikonsumsi oleh masyarakat umum; sedangkan kritik umum sejak awal memang ditujukan kepada khalayak umum (luas). 8
Di samping itu, Said (Damono, 1998/1999) membagi kritik sastra menjadi empat bentuk, yaitu (1) kritik sastra praktis/umum (practical criticism), (2) sejarah sastra/akademik (academic literary history), (3) apresiasi dan interpretasi sastra (literary appreciation and interpretation), dan (4) teori sastra (literary theory). Walaupun diklasifikasikan menjadi empat bentuk, pengertian atau batasan yang diajukan Said pada dasarnya tidak berbeda dengan pengertian yang diajukan oleh Tanaka. Pengertian bentuk kritik (1) model Said sama dengan pengertian kritik umum model Tanaka; bentuk kritik (2) dan (4) model Said sama dengan kritik akademik model Tanaka; dan bentuk kritik (3) model Said lebih luwes, dalam arti kritik tersebut dapat dikategorikan baik sebagai kritik akademik maupun kritik umum model Tanaka. Sehubungan dengan hal di atas, Abrams (1981:36—37) menyatakan bahwa di dalam praktik penilaiannya kritik sastra dipilah menjadi dua jenis, yaitu kritik judisial (judicial criticism) dan kritik impresionistik (impressionistic criticism); sedangkan berdasarkan pendekatan dan atau orientasinya kritik sastra dibedakan menjadi kritik mimetik (mimetic criticism), kritik pragmatik (pragmatic criticism), kritik ekspresif (expressive criticism), dan kritik objektif (objective criticism). Kritik judisial adalah kritik yang di dalam penilaiannya menggunakan standar (konsep, teori, aturan) tertentu, sedangkan kritik impresionistik sebaliknya, tidak menggunakan standar tertentu tetapi hanya berdasarkan kesan (impresi) kritikus terhadap karya sastra (bdk. Pradopo, 1988:28—30). Sementara itu, kritik mimetik berorientasi pada tiruan atau gambaran ide (alam, dunia, kehidupan), kritik pragmatik berorientasi pada pembaca atau penikmat, kritik ekspresif berorientasi pada pengarang atau pencipta, dan kritik objektif berorientasi pada karya sastra (bdk. Pradopo, 2002:40—46). Meskipun Abrams membagi kritik sastra menjadi beberapa kategori seperti di atas, pada dasarnya beberapa kategori itu juga tidak bertentangan dengan pembagian yang dilakukan oleh Tanaka dan Said. Misalnya, kritik judisial model Abrams sesuai dengan kritik akademik model Tanaka dan kritik teori sastra model Said; kritik impresionistik model Abrams tidak berbeda dengan 9
kritik umum baik model Tanaka maupun Said; dan empat kategori kritik berdasarkan pendekatan atau orientasi model Abrams sesuai pula dengan beberapa kategori sistem (mikro dan makro) sebagaimana dikemukakan oleh Tanaka. Karena beberapa kategori kritik yang dikemukakan oleh para ahli di atas tidak saling bertentangan, tetapi justru saling melengkapi, dalam penelitian “Kritik Sastra Indonesia di Yogyakarta Tahun 1966 hingga 1980” ini penerapan beberapa kategori kritik tersebut tidak akan dipisahkan secara tegas, tetapi justru akan dipadukan. Dalam arti bahwa penggolongan oleh beberapa tokoh tersebut akan dimodifikasi sedemikian rupa sehingga sesuai dengan data yang dianalisis. 1.4 Metode dan Teknik Sesuai dengan konsep teori seperti yang telah dikemukakan di atas, yakni teori resepsi Jauss (1974) dan Iser (1980, 1987) yang dimodifikasikan dengan konsep Tanaka (1976), Said (1983), dan Abrams (1981), sebenarnya ada tiga metode yang dapat diterapkan di dalam penelitian ini. Pertama, metode penelitian resepsi secara eksperimental. Kedua, metode penelitian resepsi lewat kritik sastra. Ketiga, metode penelitian resepsi intertekstual. Namun, karena penelitian ini hanya bermaksud meneliti berbagai sambutan pembaca yang telah dituangkan dalam bentuk karya-karya kritik (sastra), metode yang kemudian dipilih adalah metode kedua, yaitu metode penelitian resepsi sastra lewat kritik sastra. Walaupun di dalam pelaksanaan suatu penelitian metode ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu cara sinkronik dan cara diakronik, yang ditetapkan sebagai pedoman di dalam penelitian ini adalah cara sinkronik karena objek yang diteliti adalah karya-karya kritik sastra Indonesia di Yogyakarta yang muncul pada kurun waktu tertentu (1966— 1980). Sementara itu, dalam kaitannya dengan pengumpulan data, metode yang dipergunakan adalah studi pustaka yang ditopang oleh teknik baca dan catat. Melalui metode studi pustaka dibaca dan dicatat berbagai hal yang berhubungan dengan persoalan kritik sastra Indonesia di Yogyakarta pada kurun waktu tersebut. Ber10
bagai persoalan itu dikumpulkan, diinventarisasikan, dan kemudian diklasifikasikan sesuai dengan pokok-pokok masalah yang dibahas, baik yang menyangkut sistem makro maupun mikro sastra. Dengan kerangka berpikir deduktif-induktif-deduktif, hasil penelitian atas karya-karya kritik sastra Indonesia di Yogyakarta pada kurun waktu tersebut akhirnya disajikan secara deskriptif. 1.5 Data Penelitian Beberapa media massa cetak yang terbit di Yogyakarta pada kurun waktu 1966 hingga 1980, khususnya Minggu Pagi (surat kabar mingguan), Kedaulatan Rakyat (surat kabar harian), Masa Kini (surat kabar harian), Basis (majalah bulanan), Semangat (majalah bulanan), Suara Muhammadiyah (majalah dwimingguan), dan Pelopor (surat kabar mingguan) adalah media massa umum. Sebagai media massa cetak umum, tentu saja beberapa media tersebut memuat berbagai masalah umum yang menyangkut berbagai bidang kehidupan, termasuk kehidupan kebudayaan. Dalam kaitannya dengan kebudayaan, beberapa media massa itu juga tidak hanya memuat kebudayaan Indonesia, tetapi juga kebudayaan daerah dan asing. Bahkan, kebudayaan yang berkaitan dengan seni, ia (media-media tersebut) tidak hanya memuat seni-sastra, tetapi juga seni pada umumnya. Berkenaan dengan hal tersebut, data yang diangkat dan dijadikan objek penelitian ini tidak mencakupi keseluruhan karya (kritik) yang berkaitan dengan seluruh bidang seni dan kebudayaan sebagaimana disebutkan di atas, tetapi khusus karya-karya kritik sastra Indonesia yang dimuat dalam Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Masa Kini, Basis, Semangat, Suara Muhammadiyah, dan Pelopor pada kurun waktu tahun 1966 hingga 1980. Data-data karya kritik sastra Indonesia tersebut dapat berupa karya-karya esai, artikel, kritik, resensi, ulasan, surat pembaca, kronik, dan lain-lain. 1.6 Sistematika Penyajian Penelitian ini disajikan (dilaporkan) dengan sistematika sebagai berikut. Bab pertama (pendahuluan) memuat latar belakang 11
perlunya dilakukan penelitian, masalah yang perlu dibahas, tujuan penelitian, landasan teori yang digunakan sebagai “pisau bedah” penelitian, metode dan teknik, data yang diangkat sebagai objek penelitian, sistematika penyajian, dan ejaan yang digunakan sebagai pedoman penulisan laporan. Bab kedua (dinamika kritik sastra Indonesia di Yogyakarta) memuat uraian yang berkaitan dengan mobilitas sosial yang mempengaruhi kehidupan kritik sastra, tradisi kritik yang terbangun di Yogyakarta, para kritikus yang berperan di dalamnya, dan media yang menerbitkan dan menyebarluaskan karya-karya kritik sastra Indonesia di Yogyakarta tahun 1966 hingga 1980. Bab ketiga (jenis dan orientasi kritik sastra Indonesia di Yogyakarta) memuat uraian deskriptif mengenai apa saja jenis kritik dan kepada apa/siapa kritik tersebut ditujukan, apakah kepada pengarang, kepada karya (sastra), kepada penerbit atau pengayom, kepada pembaca, dan atau kepada kritik itu sendiri. Sementara itu, bab keempat (penutup) memuat simpulan atau generalisasi dari seluruh pembahasan yang telah disajikan dalam bab-bab sebelumnya. Setelah itu, di akhir penelitian disajikan daftar pustaka. 1.7 Ejaan Laporan penelitian ini ditulis dengan menggunakan ejaan bahasa Indonesia sesuai dengan buku Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (1991), edisi kedua, yang disusun oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta. Secara keseluruhan laporan penelitian ini ditulis sesuai dengan pedoman ejaan tersebut, kecuali penulisan nama diri.
12
BAB II DINAMIKA KRITIK SASTRA INDONESIA DI YOGYAKARTA
Perlu diketahui bahwa bagaimanapun juga kehidupan kritik sastra Indonesia di Yogyakarta pada kurun waktu 1966 hingga 1980 tidak dapat terlepas dari dan bahkan selalu terikat oleh kondisi dan realitas sosial-budaya masyarakatnya. Oleh karena itu, di dalam bab ini, sebelum disajikan pembahasan mengenai dinamika kritik sastra Indonesia di Yogyakarta pada kurun waktu tersebut, terlebih dulu disajikan bahasan mengenai mobilitas sosial yang sedikit banyak berpengaruh pada kehidupan kritik sastra. Maka, bab ini dibagi menjadi empat subbab, yaitu (1) mobilitas sosial, (2) tradisi kritik sastra Indonesia di Yogyakarta, (3) para kritikus yang berperan dalam kehidupan kritik sastra Indonesia di Yogyakarta, dan (4) berbagai media yang mempublikasikan karya-karya kritik sastra Indonesia di Yogyakarta pada kurun waktu 1966—1980. 2.1 Mobilitas Sosial Pembahasan tentang mobilitas sosial-budaya dalam konteks ini —termasuk perubahan situasi politik dan ekonomi— dibatasi pada kurun waktu tertentu, yakni tahun 1966 hingga 1980. Akan tetapi, pembahasan tentang mobilitas sosial-budaya tersebut tidak dibatasi hanya pada wilayah tertentu (Yogyakarta), tetapi mencakupi wilayah yang lebih luas (Indonesia). Hal demikian dilakukan karena dinamika perubahan sosial-budaya yang terjadi di Indonesia tidak bersifat kedaerahan, tetapi bersifat nasional. Ka13
rena itu, apabila di Yogyakarta terjadi suatu perubahan, hal itu bukan karena Yogyakarta memiliki dinamika tersendiri yang lepas dari konteks Indonesia, melainkan karena perubahan itu melanda sebagian besar atau bahkan seluruh wilayah di Indonesia. Seperti diketahui bahwa tahun 1966 merupakan penanda waktu terjadinya peralihan kekuasaan dari sebuah rezim yang disebut Orde Lama (di bawah kekuasaan Soekarno) ke rezim Orde Baru (di bawah kekuasaan Soeharto). Peristiwa tumbangnya kekuasaan Orde Lama dan berkuasanya kekuasaan Orde Baru melalui peristiwa “Supersemar” (Surat Perintah 11 Maret) tersebut tidak hanya bersifat politis, tetapi juga dilatarbelakangi oleh beragam masalah yang berkaitan dengan praktik sosial, ekonomi, budaya, dan sebagainya. Menurut pemerintahan Orde Baru, di dalam pemerintahan Orde Lama korupsi terjadi di mana-mana, laju pertumbuhan penduduk demikian cepat, jumlah pengangguran membengkak, tindak kejahatan merajalela, dan kebutuhan rakyat akan sandang dan pangan tidak tercukupi. Hal itu terjadi karena pada waktu itu pemerintah bertindak sangat otoriter dengan menjadikan “politik” sebagai “panglima” sehingga segalanya dikuasai pemerintah. Terjadinya situasi seperti di atas, antara lain, disebabkan oleh terlalu cepatnya pertumbuhan penduduk (sejak 1950-an hingga 1960-an), tidak cukupnya produksi pangan bagi rakyat, di samping banyaknya rakyat yang buta huruf dan miskin. Berkaitan dengan hal ini Ricklefs (de Vries, 1985:45) mendata bahwa pada 1950 jumlah penduduk Indonesia mencapai 77,2 juta jiwa; pada 1955 berjumlah 85,4 juta jiwa; dan menurut sensus penduduk 1961, jumlah penduduk Indonesia meningkat menjadi 97,02 juta jiwa. Kendati saat itu produksi pangan meningkat, ternyata kebutuhan penduduk yang juga terus meningkat tetap tidak tercukupi. Hal tersebut terbukti melalui kenyataan bahwa pada saat itu pemerintah terus melakukan impor beras meskipun pada 1956 produksi beras meningkat 26% jika dibandingkan produksi beras pada 1950. Karena itu, kekurangan pangan dan kemiskinan yang terjadi di beberapa daerah di pulau Jawa sejak 1930-an masih terus berlangsung. Kondisi itu lebih memprihatinkan lagi karena pemerintah membangun 14
wacana anti-Barat dengan meneriakkan konsep-konsep seperti liberalisme, kapitalisme, kolonialisme, imperialisme, neokolonialisme, dan neoimperialisme. Upaya pemerintah mengambil jarak terhadap negara-negara Barat itu terbukti berdampak pada tidak mengalirnya bantuan finansial dari mereka. Hal itu semakin hari semakin buruk karena politik luar negeri Indonesia memihak kepada negara-negara sosialis seperti Uni Soviet, RRC, dan Eropa Timur. Bertolak dari kenyataan itulah pemulihan ekonomi dimulai dengan mengubah struktur ekonomi yang semula berpola kolonial ke pola yang bersifat nasional. Langkah yang dilakukan pemerintah pada awalnya adalah menumbuhkembangkan pengusaha pribumi. Para pengusaha Indonesia yang umumnya kekurangan modal diberi hak dan kesempatan untuk ikut membangun ekonomi nasional melalui Program Benteng yang pada 1950 hingga 1953 memberikan bantuan kredit kepada sekitar 700 perusahaan. Program itu bertujuan melindungi perusahaan pribumi, membentuk kelompok pengusaha yang tangguh, yaitu dengan memberikan lisensi impor barang yang kemudian dijual di dalam negeri dengan keuntungan yang tinggi. Sebab, pada saat itu terjadi perbedaan kurs mata uang resmi dengan yang tidak resmi atau yang berada di pasar gelap (Budiman, 1991:31). Usaha di atas sebenarnya cukup memuaskan karena jumlah pengusaha pribumi meningkat. Pada Juni 1953 tercatat jumlah importir nasional melonjak dari 800 menjadi 3.500 (bahkan ada yang menyebut 6.000 hingga 9.000 importir). Akan tetapi, yang terjadi kemudian tidaklah seperti yang diharapkan. Sebab, Program Benteng ternyata justru semakin memperkuat pengusaha Cina dan India, bukan pengusaha Indonesia itu sendiri. Hal demikian terjadi karena ternyata para pengusaha Indonesia lebih suka menjual lisensinya kepada perusahaan asing (Cina dan lain-lain) dengan “kedok” melakukan kerja sama (Budiman, 1991:31). Setelah terjadi pergantian kekuasaan, Orde Baru dengan slogan politisnya (“pembangunan”) ingin melakukan perubahan di bidang ekonomi (termasuk sosial-budaya) sehingga terwujudlah program, antara lain, program pengentasan kemiskinan. Ketika 15
Orde Baru berkuasa, kebijakan ekonomi diarahkan pada strategi yang berorientasi ke luar. Strategi itu memberi peluang bagi swasta untuk berperan aktif dalam sistem pasar bebas. Langkah itu diharapkan segera dapat memberikan hasil tanpa memerlukan perombakan radikal struktur sosial-ekonomi (Mas’oed, 1990:116— 117). Hal itu setidaknya dapat dicermati dari diberlakukannya peraturan 3 Oktober 1966 yang memuat pokok-pokok usaha, yaitu (1) penyeimbangan anggaran belanja, (2) pengekangan ekspansi kredit untuk usaha-usaha produktif, khususnya di bidang pangan, ekspor, prasarana, dan industri, (3) penundaan pembayaran utang luar negeri dan upaya mendapatkan kredit baru, dan (4) penanaman modal asing guna memberi kesempatan kepada negara lain untuk turut membuka alam Indonesia, membuka kesempatan kerja, membantu usaha peningkatan kerja, dan membantu usaha peningkatan pendapatan nasional. Alasan dipilihnya strategi tersebut tampaknya ada dua hal. Pertama, memberikan kepuasaan material bagi masyarakat luas dalam bentuk penyediaan kebutuhan sandang dan pangan. Strategi itu diterapkan Orde Baru untuk menarik simpati rakyat dalam usaha melumpuhkan kekuatan Orde Lama. Kedua, menumbuhkan kepercayaan internasional terhadap Indonesia. Alasan ini diajukan karena sikap Orde Lama yang mencurigai penanaman modal asing dan bantuan-bantuan negara Barat serta ketidakmampuan pemerintah membayar utang luar negeri telah mempersulit pemerintah dalam upaya mencari bantuan dan penanaman modal asing. Hal itulah yang menyebabkan pemerintah Orde Baru bersedia menerima usulan IMF (International Monetary Fund) mengenai perlu diciptakan iklim usaha yang loyal bagi beroperasinya investasi asing dan perlu diintegrasikan kembali perekonomian Indonesia ke dalam sistem kapitalis internasional (Mas’oed, 1990:118). Hal itu mencerminkan komitmen untuk melaksanakan pembangunan ekonomi yang dianggap merupakan landasan untuk merancang kehidupan politik yang dilakukan pemerintah (Setiawan, 1998:108). Rehabilitasi ekonomi itu berkait erat dengan upaya Indonesia untuk memisahkan diri dari negara-negara komunis dan dijalinnya kembali hubungan dengan negera-negara nonkomunis. Perbaikan hubung16
an dengan AS dan Jepang, misalnya, terbukti merupakan langkah strategis bagi upaya rehabilitasi ekonomi. Ricklefs (1994:433) menjelaskan bahwa sejak semula memang pemerintah Orde Baru berupaya untuk menjalankan kebijakankebijakan stabilisasi dan pembangunan ekonomi, menyandarkan legitimasi pemerintah pada kemampuan meningkatkan kesejahteraan sosial dan ekonomi rakyat. Salah satu upaya penting yang dilakukan ialah, di samping upaya seperti yang telah dijelaskan di atas, berdasarkan Kepres No. 319/1969, pemerintah mencanangkan strategi pembangunan yang disebut Pelita yang dimulai sejak 1969 (Harnoko dkk., 2003:76—77). Strategi itulah yang kemudian melahirkan konsep pembangunan yang mengarah pada pembangunan pedesaan sehingga muncul tiga tipologi desa (swadaya, swakarya, dan swasembada). Konsep itu dinilai tepat karena pada saat itu sebagian besar (73,8%) masyarakat desa masih berada di bawah garis kemiskinan. Sesuai dengan tipologi desa itu pemerintah berusaha meningkatkan taraf hidup rakyat dengan menerapkan program seperti Bimas, Inmas, Padat Karya, Bantuan Kabupaten, Bantuan Desa, Kredit Candak Kulak, dan Kredit Investasi Kecil. Melalui program-program tersebut akhirnya terbukti kondisi masyarakat Indonesia pada 1970-an hingga 1980-an lebih baik jika dibandingkan dengan kondisi masyarakat pada masa Orde Lama. Khusus di bidang kesehatan, misalnya, pada masa pemerintahan kolonial (sekitar 1930) hanya terdapat sekitar 1.030 dokter, padahal jumlah penduduk pada waktu itu mencapai 60,7 juta sehingga setiap 59.000 jiwa hanya tersedia seorang dokter. Pada 1974 terdapat 6.221 dokter, sedangkan jumlah penduduk sekitar 130 juta sehingga setiap 20,9 ribu penduduk tersedia seorang dokter. Keadaan ini meningkat pada 1980-an karena tercatat satu orang dokter hanya melayani 11,4 ribu penduduk. Data-data itu jelas menunjukkan kemajuan drastis meskipun distribusi pelayanan medis tetap tidak merata dan masih jauh dari ideal. Sementara itu, produksi pangan juga mengalami peningkatan karena ketersediaan bibit unggul dan melimpahnya persediaan pupuk. Karena itu, sikap pesimis mengenai terjadinya kekurangan pangan di Indonesia (mestinya sangat) tidak beralasan. Keadaan itu juga terlihat 17
pada kegiatan impor beras berkurang karena pemerintah telah mencapai swasembada beras. Gambaran ini menunjukkan prestasi yang luar biasa yang antara lain sebagai akibat dari kemajuan teknologi, di samping kebijakan ekonomi dan peningkatan pangan oleh pemerintah dan adanya inisiatif serta kerja keras para petani. Kesejahteraan rakyat di bidang ekonomi dan pangan mendorong pula meningkatnya penyediaan sarana pendidikan. Penyediaan sarana pendidikan meningkat jauh melebihi penyediaan sarana pendidikan pada masa kolonial yang tercermin dari meningkatnya jumlah penduduk melek huruf (Ricklefs, 1994:434). Pada 1930 jumlah penduduk yang melek huruf hanya 7,4% (13,2% pria dan 2,3% wanita). Pada 1971 angka-angka itu naik menjadi 72% pria dan 50,3% wanita, dan pada 1980 masing-masing adalah 80,4% pria dan 63,6% wanita. Lebih jauh Ricklefs mencatat bahwa keuntungan-keuntungan dari pendidikan umum dalam bahasa Indonesia tidak hanya terlihat dari jumlah penduduk yang melek huruf, tetapi juga meliputi peningkatan jumlah penduduk yang dapat menggunakan bahasa Indonesia (bahasa nasional), yaitu dari 40,8% pada tahun 1971 menjadi 61,4% pada tahun 1980. Di wilayah pedesaan, dampak kemelekhurufan tersebut mampu mengubah hubungan sosial masyarakat dengan terbukanya komunikasi mereka dengan dunia luar sehingga budaya nasional lebih eksis dibanding budaya lokal. Contoh mengenai pergeseran ini dapat dilihat pada masuknya lembaga-lembaga nasional ke pedesaan (Kuntowijoyo, 1994:74—75). Kenyataan itu mengisyaratkan bahwa pada tataran tertentu budaya lokal pedesaan, ritual sosial desa, festival, kesenian, mitologi, dan bahasa “desa” semua digantikan oleh simbol-simbol nasional. Ritual sosial-politik nasional seperti perayaan 17-an, misalnya, menggantikan acara-acara desa seperti suran, nyadran, dan sejenisnya. Perayaan-perayaan desa dipenuhi oleh pesan-pesan nasional mulai dari persoalan kesehatan, penataan lingkungan, sampai pada persoalan KB. Kesenian desa diganti oleh televisi, nyanyian desa pun digeser lagu-lagu nasional dan Barat. Mitologi cikal bakal desa juga tidak lagi memenuhi pikiran anak-anak muda karena pahlawan-pahlawan nasional sudah memenuhi pikiran mereka. Pergeseran tersebut menimpa pula 18
pada bahasa khas desa. Dialek dan intonasi yang khas sudah hampir tidak dikenal lagi. Bahasa Indonesia menjadi makin populer di masyarakat karena kedekatan mereka dengan media massa, baik cetak maupun elektronik, yang menggunakan bahasa Indonesia dengan berbagai gaya dan ragam yang ditawarkan. Keadaan itu semakin signifikan dengan diberlakukannya Kurikulum 1975 yang semakin memperkokoh kedudukan bahasa Indonesia. Alasannya adalah bahwa bahasa Indonesia diasumsikan merupakan salah satu sarana yang dapat memperkuat terciptanya persatuan dan kesatuan bangsa. Paparan di atas menunjukkan bahwa Orde Baru telah mampu mendudukkan birokrasi sebagai agent of change, yaitu birokrasi sebagai kekuatan yang efektif bagi pelaksanaan program pembangunan dan modernisasi. Namun, kalau dicermati, yang terjadi sesungguhnya tidak demikian. Sebab, secara tidak disadari, konsep “persatuan dan kesatuan” dengan proyek “pembangunanisme” yang dicanangkan oleh pemerintah sejak awal Orde Baru –sejak ada perombakan struktur politik terutama setelah dilangsungkannya Pemilu 1971— telah menimbulkan ekses tertentu. Dikatakan demikian karena keutuhan dan kesatuan wilayah Indonesia —hal ini tampak sejak tahun 1975— dicapai dengan cara represi fisik dan dominasi ideologis (hegemoni) oleh sebuah rezim yang birokratik, militeristik, dan teknokratik yang mengombinasikan ideologi nasionalisme dan kapitalisme (Oetomo, 2000:3). Hal itulah yang pada tahap selanjutnya melahirkan kenyataan bahwa pemerintah yang dalam tataran wacana selalu ingin menegakkan demokrasi justru sangat tidak demokratis. Di bidang politik, misalnya, hal itu tampak jelas, yaitu dari sekitar 10 partai (Partai Katolik, PSII, NU, Parmusi, Golkar, Parkindo, Murba, PNI, Perti, dan IPKI) yang eksis menjadi kontestan pada Pemilu 1971 akhirnya hanya tinggal dua partai dan satu golongan (PDI, PPP, dan Golkar) pada Pemilu 1977 dan pemilu-pemilu berikutnya. Karena pada waktu itu seluruh sepak terjang dua partai (PDI dan PPP) dapat “dikuasai” oleh satu golongan (Golkar), akhirnya terjadilah dominasi kemenangan yang terus-menerus, yaitu kemenangan Golkar. Karena komponen Golkar terdiri atas birokrat-birokrat pemerintah mulai dari pucuk 19
pimpinan sampai ke pimpinan terendah di pedesaan, Golkar pun akhirnya identik dan atau layak disebut sebagai “Partai Pemerintah”. Kenyataan serupa terjadi dalam dunia pers dan penerbitan. Pers pada dekade 1970-an (bahkan 1980-an hingga sebelum masa reformasi) adalah pers Pancasila yang kehadirannya tidak bebas karena segalanya harus seiring dengan konsep stabilisasi, “persatuan dan kesatuan”, dan ideologi pembangunanisme. Karena itu, pers dan penerbitan (koran, majalah, dan buku) yang tidak sehaluan dengan ideologi dominan (negara) tidak diberi hak hidup. Oleh sebab itu, berbagai jenis media massa cetak yang banyak muncul pada awal tahun 1950-an harus mati pada masa Orde Baru. Hal itu terbukti pada masa berikutnya (akhir 1970-an) banyak koran, majalah, dan buku yang dibreidel atau dilarang peredarannya; bahkan ada beberapa personalnya yang ditangkap dan dipenjarakan. Khususnya di wilayah Yogyakarta, media massa cetak yang hidup pada kurun waktu itu (1966—1980) di antaranya ialah Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Pelopor, Basis, Suara Muhammadiyah, Semangat, Masa Kini, dan Berita Nasional. Kenyataan demikian itu tidak hanya menciptakan kondisi yang “tenang karena takut”, tetapi juga menyumbat kreativitas masyarakat—termasuk seniman, sastrawan, budayawan, dan kritikus—sehingga hal itu berpengaruh pada perkembangan bidang seni, sastra, budaya, dan kritik. 2.2 Tradisi Kritik Dibandingkan dengan tradisi kritik sastra yang berlangsung pada kurun waktu sebelumnya (1945—1965), tradisi kritik sastra Indonesia di Yogyakarta pada kurun waktu 1966--1980 relatif lebih maju. Dikatakan relatif lebih maju (baik) karena tradisi kritik yang berkembang pada masa pemerintahan Orde Baru tidak lagi sepenuhnya dipengaruhi oleh budaya oral (kelisanan) dan budaya ewuhpakewuh yang telah berurat berakar di dalam masyarakat Jawa sejak zaman penjajahan (Belanda), bahkan sejak masih berjayanya budaya istana-sentris (kerajaan Mataram). Selain itu, justru yang paling urgen ialah pada kurun waktu itu telah hadir sekian banyak kaum intelektual dari perguruan tinggi yang lebih mengutakan pikiran20
pikiran rasional daripada perasaan-perasaan emosional. Berkembangnya tradisi kritik sastra Indonesia di Yogyakarta pada kurun waktu 1966—1980 tampaknya tidak hanya dipengaruhi oleh hal-hal sebagaimana disebutkan di atas, tetapi juga oleh adanya situasi yang secara makro membangkitkan perkembangan kritik sastra di Indonesia yang telah dimulai sejak masa Pujangga Baru. Dalam kaitan ini Rahmanto (1990) menjelaskan bahwa lewat Pujangga Baru saat itu terjadi polemik antara Sutan Takdir Alisjahbana dan para guru bahasa Melayu. Melalui perdebatan itu lahirlah konsep-konsep STA tentang kritik sastra yang kemudian dibukukan dalam Kebangkitan Puisi Baru Indonesia. Berikutnya, pada dekade 1950-an dan 1960-an, muncul dua tokoh (H.B. Jassin dan A. Teeuw) yang dengan sadar mulai membangkitkan tradisi kritik sastra di Indonesia. Karya-karya kritik mereka kemudian dibukukan dalam Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai (5 jilid) (Gunung Agung, 1954) dan Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru (Pembangunan, 1952). Pada masa berikutnya, tepatnya pada dekade 1960-an akhir, terjadi polemik antara aliran Rawamangun dan aliran Ganzheit. Ketika itu aliran Rawamangun dimotori oleh kalangan akademisi seperti M. Saleh Saad, M.S. Hutagalung, S. Effendi, dan J.U. Nasution; sedangkan aliran Ganzheit dimotori oleh Arif Budiman dan Gunawan Mohamad. Aliran Rawamangun berusaha menempatkan kritik sastra sebagai ilmu dengan prinsip, teori, dan sistem yang jelas; sedangkan aliran Ganzheit mencoba menempatkan prinsip bahwa memahami karya sastra haruslah secara totalitas, tidak menganalisis unsur demi unsur. Beberapa karya kritik dalam perdebatan tersebut kemudian dikumpulkan oleh M.S. Hutagalung dan dibukukan ke dalam Kritik Atas Kritik Atas Kritik (Tulila, 1975). Berkat adanya upaya H.B. Jassin, Sutan Takdir Alisjahbana, A. Teeuw, M. Saleh Saad, M.S. Hutagalung, S. Effendi, dan J.U. Nasution, Arif Budiman, dan Gunawan Mohamad itulah, tradisi kritik sastra Indonesia di Yogyakarta juga ikut berkembang. Sebab, sejak tahun 1970-an, selain kritik sastra berkembang di perguruan tinggi lewat skripsi-skripsi mahasiswa sastra, kritik sastra juga 21
berkembang di media massa cetak yang terbit di Yogyakarta (Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Basis, Semangat, Pelopor, Suara Muhammadiyah, Masa Kini, Berita Nasional). Jika dilihat dari daerah asalnya, para penulis kritik di media massa itu, —hal ini akibat berlangsungnya mobilitas sosial yang terjadi di sekitar tahun 1950-an—, sebagian besar bukan asli orang Yogyakarta, melainkan berasal dari berbagai daerah di Indonesia yang datang ke Yogyakarta dengan tujuan mengembangkan pengetahuan dan wawasan baik melalui pendidikan maupun sekadar hijrah untuk sementara. Hanya saja, yang berkembang ialah bukan tradisi kritik sastra Indonesia khususnya, melainkan tradisi kritik pada umumnya. Sebab, yang menjadi perhatian media massa pada masa itu tidak hanya sastra Indonesia khususnya, tetapi seni-sastra-budaya pada umumnya; dan oleh karena itu sastra Indonesia, termasuk kritiknya, hanya menjadi bagian kecil dari wilayah yang luas dan kompleks tersebut. Kendati demikian, keterbukaan media massa cetak di Yogyakarta terhadap karya-karya kritik sastra Indonesia telah menjadi bukti bahwa tradisi kritik sastra Indonesia di Yogyakarta pada periode ini lebih maju jika dibandingkan dengan tradisi kritik pada masa sebelumnya. Satu hal yang menarik untuk dicatat ialah bahwa konsep-konsep kritik sastra yang telah dibangun oleh para tokoh pada tahun 1950-an hingga 1960-an, baik kritik formal-objektif-akademis yang dikembangkan oleh aliran Rawamangun maupun kritik nonformal-totalitas-subjektif yang dikembangkan aliran Ganzheit, ternyata di kemudian hari (sejak 1970-an hingga sekarang) berkembang secara berdampingan. Artinya, sampai kini kritik formalobjektif —yang kemudian disebut kritik judicial—terus dibangun dan dikembangkan di kalangan akademisi, sedangkan kritik totalitas-subjektif —yang kemudian disebut kritik impresionistik— terus dikembangkan dan ditulis di media massa. Bahkan, dalam kerangka mengembangkan kritik sastra tersebut, ada upaya para akademisi untuk mengubah bentuk kritik judisial ke kritik impresionistik dan mempublikasikannya melalui media massa. Hal demikian dilakukan dengan pertimbangan bahwa media massa cetak lebih efektif dalam menjangkau khalayak pembaca. 22
Berkenaan dengan hal tersebut, tidak mengherankan jika karya-karya kritik sastra yang ditulis oleh nama-nama para akademisi seperti A. Teeuw, Dick Hartoko, Kuntara Wiryamartana, Suripan Sadi Hutomo, Umar Kayam, Bakdi Sumanto, B. Rahmanto, Harry Aveling, Boen S. Oemaryati, Th. Koendjono, Andre Harjana, dan masih banyak lagi itu sering muncul di majalah Basis dan Semangat. Sementara itu, nama-nama di luar kelompok akademisi seperti Emha Ainun Najib, Linus Suryadi A.G., Ragil Suwarno Pragolapati, dan masih banyak lagi yang kadang-kadang muncul di majalah Basis dan Semangat juga (justru lebih sering) muncul di surat kabar seperti Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Pelopor, Masa Kini, dan Berita Nasional. Di samping beberapa hal di atas, yang tidak kalah penting ialah bahwa tradisi kritik sastra Indonesia di Yogyakarta pada kurun waktu 1966 hingga 1980 juga didukung oleh munculnya kelompok atau grup atau pusat pergaulan sastra seperti PSK (Persada Studi Klub) yang dimotori oleh Umbu Landu Paranggi, Ragil Suwarno Pragolapati, Teguh Ranusastra Asmara, Iman Budhi Santosa, Soeparno S. Adhi, dan lain-lain di bawah naungan Pelopor Jogja yang bermarkas di Jalan Malioboro. Lewat rubrik “Persada” dan “Sabana” Pelopor Jogja itulah, para pengarang, juga para kritikus, mengembangkan dan memuat karya-karyanya. Harian Masa Kini juga bertindak sama. Di bawah naungan rubrik “Insani” Emha Ainun Najib, Suparno S. Adhi, Mustofa W. Hasjim, dan lain-lain juga membentuk kelompok yang diberi nama “Insani Club”. Melalui “Insani Club” itulah, para penulis biasa berdiskusi dan mengembangkan kreasi sehingga karya-karyanya, termasuk karya kritik sastra, dimuat di rubrik “Insani”. Sementara itu, khusus hasil karya puisi, dimuat di kolom “Insani”, “Kulminasi”, dan “Titian”. Pada awal tahun 1980-an, hal serupa dilakukan pula oleh para penulis yang biasa mengirimkan karangannya ke rubrik “Renas” harian Berita Nasional asuhan Linus Suryadi A.G. 2.3 Kritikus Siapa sajakah kritikus yang berperan dan turut mengembangkan kehidupan kritik sastra Indonesia di Yogyakarta pada kurun 23
waktu 1966 hingga 1980? Kalau dicermati, walaupun tidak dapat didata secara keseluruhan, para kritikus (penulis) yang berperan dan mempublikasikan karya-karya kritik sastra Indonesia pada kurun waktu tersebut sebagian besar adalah nama-nama baru dan sebagian lagi nama-nama yang sudah muncul pada kurun waktu sebelumnya. Dalam Minggu Pagi tahun 1970-an, misalnya, muncul beberapa kritikus, antara lain, Aryasatyani (No. 3, 26 April 1970), Bang Aziz (No. 6, 7 Juni 1970), Ita Rahayu (No. 12, 21 Juni 1970), Zan Zappa Group (No. 3, 24 April 1977), MP/AM (No. 21, 28 April 1977), Arwan Tuti Artha (No. 21, 28 Agustus 1977, No. 13, 29 Juni 1980), Joko S. (No. 26, 2 Oktober 1977), N.N. Sukarno (No. 29, 23 Oktober 1977), Deded Er Moerad (No. 30, 30 Oktober 1977), Joko Santoso (No. 30, 30 Oktober 1977), Hendro Wiyanto (No. 53, 5 April 1980 dan No. 9, 1 Juni 1980), Pappi Eska (No. 3, 20 April 1980), Afauzi Safi Salam (No. 12, 22 Juni 1980), SB Tono, Noto Sunarto, Niesby Sabakingkin, Putu Arya Tirtawirya, Veven SP Wardana, Niesby (No. 16, 20 Juli 1980), Em Es (No. 17, 27 Juli 1980), Tarseisius, Faruk HT, Albert P. Kuhon (No. 18, 3 Agustus 1980), Heru Kesawa Murti (No. 22, 31 Agustus 1980), Gendut Riyanto (No. 23, 7 September 1980), Arie MP dan Hendro Wiyanto (No. 24, 14 September 1980), M. Sutrisno (No. 27, 5 Oktober 1980), Yudiono KS dan Tuti (No. 28, 12 Oktober 1980), Retno D dan Edi Romadon (No. 29, 19 Oktober 1980), Yuliani Sudarman (No. 34, 23 November 1980), Bambang Widiatmoko, Heru Kesawa Murti, Korrie Layun Rampan (No. 35, 30 November 1980), dan masih banyak lagi. Sementara itu, di harian Kedaulatan Rakyat, muncul pula namanama seperti yang menulis di Minggu Pagi. Selain nama-nama di atas, dapat disebutkan, misalnya Linus Suryadi A.G. dengan karyanya “Chairil Anwar: Pengembara Monumental” (16 Mei 1978), “Suluk Awang Uwung Kuntowijoyo: Pitutur Ala Puisi Jawa” (19 Februari 1976), “Interlude Goenawan Mohammad: Gejala Puisi Indonesia Modern?” (April 1976), dan “Perumahan Wing Kardjo: Puisi Napas Pendek” (1979). Tiga buah karya kritik Linus Suryadi itu kemudian dibukukan bersama sejumlah karya lain dengan judul Di Balik Sejumlah Nama (Gadjah Mada University Press, 1989) yang diberi pengantar oleh A. Teeuw. 24
Dalam Masa Kini (sebelumnya bernama Mercu Suar) juga banyak muncul penulis esai/kritik (esais/kritikus), di antaranya, Slamet Riyadi S. (18 September 1974); Ragil Suwarno Pragolapati (12 Februari 1979, 15 Januari 1979); Yunus Syamsu Budhi (10 Februari 1979); Ajie SM (13 Januari 1979); Emha Ainun Najib (9 April 1979); Marsudi, Asti (12 Februari 1979); Kecuk Ismadi (6 Januari 1979); Mustofa W. Hasyim (9 Mei 1979, 30 Juni 1979); Tarseisius (9 Juni 1979), dan masih banyak lagi seperti Rachmat Djoko Pradopo, Soekoso D.M., dan Linus Suryadi A.G. Sementara itu, dalam majalah Basis dekade 1970-an muncul nama-nama kritikus yang sebagian besar berasal dari kalangan akademisi, antara lain, Bakdi Sumanto (Oktober 1974, Maret 1975), Teeuw (Mei 1978, Juni 1978, November 1981), Dick Hartoko (Desember 1973, Mei 1978), Ariel Heryanto (Mei 1978), B. Rahmanto (Mei 1978, Desember 1979, Maret 1980, November 1981), Mochtar Lubis (Maret 1980), Andre Hardjana (1971), Umar Kayam (Juni 1979), St. Soelarto (Oktober 1976), Sapardi Djoko Damono (Maret 1980), Harry Aveling (1972—1973, Februari 1974), Hila Veranza (September 1979), Yunus Mukri Adi (Oktober 1976), Ahar (Oktober 1970), Th. Koendjana (Oktober 1972), Emha Ainun Najib, Ragil Suwarno Pragolapati, Sutadi (1979), Linus Suryadi A.G., dll. Dalam majalah Semangat —majalah yang masih memiliki hubungan dekat dengan majalah Basis, banyak juga kritikus yang tampil, di antaranya, Mayon Sutrisno (Februari 1976), Julius Poer (Desember 1971), Bakdi Sumanto (September 1971, Maret 1972, November 1972, Juni 1974, Oktober 1974, Maret 1975, April 1975, Mei 1975, Juni 1975, Juli 1975, September 1975, April 1976, Mei 1976, Juni 1976, Agustus 1976), Ragil Suwarno Pragolapati (Agustus 1972, Agustus 1980), Y. Supardjana (Desember 1975), Mimosa Sekarlati (Maret 1976), Jakob Sumardjo (April 1975), J. Pandji (Februari 1969), B. Gde Winnjana (Mei 1972), Agus Surjono (Februari 1973), Niken Kusuma (Januari 1971), Semangat (April 1973), M.L. Stein (Agustus 1976), dan T.H. Sugiyo (Mei 1976). Selain itu, kritik yang ditulis dalam wujud tulisan pendek dalam rubrik “Surat Pembaca”, misalnya, tampak dalam Semangat edisi Desember 1968, September 1970, Juni 1971, Oktober 1971, Januari 1972, Maret 1972, Mei 1972, September 1973, Mei 1980, Juni 1980, dan Agustus 1980. 25
Di samping muncul dalam Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Masa Kini, Basis, dan Semangat, para kritikus muncul juga di dalam majalah Suara Muhammadiyah dan Pelopor. Di dalam Suara Muhammadiyah muncul Mohammad Diponegoro (Juli 1980), A. Hanafi M.A. (Juni 1968), T. Loekman (No. 3 dan 4 Thn. ke-56), Darwis Khudori (April 1975), S. Tirto Atmodjo (Januari 1973), S. Kartamihardja (Juni 1972), Joko Susilo (Oktober 1975), dan Tan Lelana (Januari 1973). Sementara itu, para kritikus yang sering muncul dalam Pelopor sebagian besar adalah mereka yang tergabung dalam PSK (Persada Studi Klub) pimpinan Umbu Landu Paranggi. Di antara mereka adalah Umbu Landu Paranggi, Ragil Suwarno Pragolapati, Teguh Ranusastra Asmara, Iman Budi Santosa. Namun, kadang-kadang juga muncul nama dari luar komunitas PSK, misalnya Bambang Sadono SY dengan kritiknya “Kritik Sastra oleh Siapa Saja” (Pelopor, No. 23, 12 Oktober 1978). Demikian beberapa kritikus yang turut mengembangkan tradisi kritik sastra Indonesia di Yogyakarta pada kurun waktu 1966 hingga 1980. Nama-nama besar seperti Teeuw, Umar Kayam, Bakdi Sumanto, Sapardi Djoko Damono, Mochtar Lubis, Jakob Sumardjo, B. Rahmanto, Emha Ainun Najib, Linus Suryadi A.G., Korry Layun Rampan, Faruk, dan masih banyak lagi itu yang pada dekade selanjutnya (1980-an dan 1990-an) masih terus mengembangkan dunia kritik sastra Indonesia di Yogyakarta, di samping muncul namanama. Hanya saja, sebagian besar dari para kritikus tersebut adalah juga pengarang (penyair, cerpenis, novelis) sehingga tidaklah jelas batasan antara kritikus dan pengarang. Biasanya batasan itu akan menjadi jelas jika dilihat dari jumlah karyanya; kalau jumlah karya kritiknya lebih banyak dan menonjol, ia cenderung disebut sebagai kritikus, dan sebaliknya, jika jumlah karya kreatifnya lebih banyak, ia cenderung akan disebut sebagai pengarang. Kendati demikian, tidak tertutup kemungkinan seseorang akan mendapat julukan ganda, yaitu pengarang sekaligus kritikus. 2.4 Media Penerbitan dan Penyebarluasan Perkembangan kritik sastra Indonesia di Yogyakarta pada kurun waktu 1966 hingga 1980, antara lain, didukung oleh hadirnya 26
Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Masa Kini (Mercu Suar), Basis, Semangat, Suara Muhammadiyah, dan Pelopor. Sebab, beberapa media massa cetak itulah yang di samping mempublikasikan karya-karya sastra (puisi, cerpen), juga mempublikasikan karya esai/kritik sastra Indonesia. Untuk lebih jelasnya, berikut dipaparkan keberadaan media-media tersebut dalam upaya mengembangkan kritik sastra Indonesia di Yogyakarta. Mingguan Minggu Pagi diterbitkan pertama kali pada bulan April 1948 oleh PT BP Kedaulatan Rakyat yang menerbitkan harian Kedaulatan Rakyat. Mingguan populer dengan motto “Mingguan Enteng Berisi” itu berkantor di Jalan Tugu 42 (sekarang Jalan P. Mangkubumi), Yogyakarta. Pada awal-awal penerbitannya, susunan redaksinya ialah Samawi (ketua usaha), Wonohito (Pemimpin Redaksi), Bambang Sindhu (Wakil Pemimpin Redaksi), I. Hutahuruk, S. Sudharta, Purbatin Hadi, M. Nizar (Redaksi), Kentardjo, Sudijono, R. Soesilo (Pelukis). Adapun beberapa rubrik yang ditampilkan, antara lain, “Film”, “Apa dan Siapa”, “Lintas Sejarah”, “Features”, “Laporan Luar Negeri”, “Olah Raga”, “Cerita Pendek”, “Cerita Bersambung”, “Ilmu Pengetahuan”, “Sket Masyarakat”, “Surat Pembaca”, dan “Alam Binatang”. Pada tahun 1960-an Minggu Pagi yang bertiras lebih dari 20.000 eksemplar itu dijual dengan harga eceran Rp4,50, sedangkan bagi pelanggan membayar Rp18,00 per bulan. Dalam Minggu Pagi No. 1, 4 April 1954 dimuat tulisan anonim berjudul “Minggu Pagi di Tengah Masyarakat”. Tulisan yang ditampilkan dalam rubrik “Sket Masyarakat” tersebut berisi catatan refleksif Minggu Pagi ketika memasuki usia yang ketujuh tahun. Di dalam tulisan itu diceritakan kisah perjalanan Minggu Pagi yang semula diterbitkan dengan kertas merang. Tersirat dari tulisan itu bahwa Minggu Pagi merupakan satu-satunya media hiburan di tengah puluhan majalah politik yang beredar. Alasannya, di tengah kancah revolusi, kebutuhan terhadap bacaan enteng yang menghibur mutlak diperlukan. Meskipun Minggu Pagi masuk ke dalam kategori “media hiburan”, tidak semua pembaca hanya bermaksud mendapat hiburan semata karena di dalamnya terdapat rubrik yang bersangkut-paut dengan ilmu pengetahuan, biografi, pewayangan, spionase, berbagai pandangan mengenai suatu persoalan atau keadaan masyarakat, dan sebagainya. 27
Dari tahun pertama hingga tahun ketujuh (1954) Minggu Pagi mengalami perubahan bentuk, dari majalah ke tabloid dan beberapa tahun kemudian berubah lagi menjadi koran mingguan hingga sekarang. Pada tahun 1970-an, susunan redaksi Minggu Pagi mengalami pergantian, yaitu Samawi (pemimpin umum), M. Wonohito (pemimpin redaksi), Purbatin Hadi, Sudarmadi, Ahmad Munif, Endang Kusrin (redaktur pelaksana), Yana Mariyani (sekretaris redaksi), dan Rustam Saman (wartawan foto). Sementara itu, harga langganan per bulan Rp100,00, eceran Rp25,00, iklan per kolom Rp150,00, dan iklan keluarga Rp1.000,00. Pada awal tahun 1980an susunan redaksi mengalami pergantian lagi, yaitu H. Samawi (pemimpin umum), M. Wonohito (pemimpin redaksi), Purbatin Hadi (managing editor), Ahmad Munif (redaktur pelaksana), Purbatin Hadi, Ahmad Munif, Arie Sudibyo (dewan redaksi), M.M. Nobuko (sekretaris redaksi), dan Rustam Saman (wartawan foto). Adapun harga langganan per bulan Rp200,00 dan harga eceran Rp55,00. Di samping memuat artikel artikel umum, Minggu Pagi juga memuat cerita pendek dan cerita bersambung. Sejak awal tahun 1950 an Minggu Pagi melahirkan beberapa penulis cerita populer, di antaranya, Jussac MR. Pada sekitar tahun 1960, cerita bersambung yang mendapat sambutan luas dari pembaca, di antaranya, “Hilanglah Si Anak Hilang” karya Nasjah Djamin, “Tidak Menyerah” dan “Ahim-Ha Manusia Sejati” karya Motinggo Busye. Kemudian, pada tahun 1960-an, karya-karya tersebut diterbitkan dalam bentuk buku (novel) oleh penerbit Bukittinggi dan Jakarta. Yang lebih menarik lagi adalah, sejak akhir tahun 70-an, Minggu Pagi juga menampilkan ruang khusus untuk remaja dengan nama rubrik “Varia Remaja”. Dalam ruang tersebut, di samping dimuat puisi dan cerpen, juga ditampilkan beberapa tulisan (esai/kritik) yang berisi ulasan dan pembimbingan penulisan cerpen. Data menunjukkan bahwa esai/kritik dalam bentuk artikel/ ulasan banyak muncul dalam Minggu Pagi periode 1966 hingga 1980. Sampai dengan tahun 1960-an, karya-karya kritik yang muncul di Minggu Pagi kebanyakan anonim; hal tersebut dapat ditafsirkan bahwa penulisnya adalah redaktur yang ditugasi mengasuh 28
rubrik budaya (dan sastra). Beberapa karya kritik yang anonim tersebut, di antaranya, “Dunia Sastra Erat Hubungannya dengan Penerbit: BP Budayata Mempelopori Penerbitan Karya-Karya Sastrawan Indonesia” (Minggu Pagi, No. 41, 12 Januari 1969); “Minggu Pagi” di Tengah Masyarakat” (Minggu Pagi, No. 1, Thn. VII, 4 April 1954); dan “Tiada Krisis dalam Kesusastraan (Tapi Kantong Para Sastrawan yang Mengalami Krisis)” (Minggu Pagi, No. 41, Thn. VII, 9 Januari 1955). Sementara itu, esai/kritik dalam Minggu Pagi yang jelas penulisnya, antara lain, “Aku Mulai Dari Tidak Tahu” oleh Motinggo Busye (No. 46, 11 Februari 1962) dan “Manikebu” oleh Bakri Siregar (No. 25, 20 September 1964). Sementara nama Pramoedya Ananta Toer dengan tulisannya berjudul “Kemampuan Pengarang” muncul pada Minggu Pagi, No. 26, September 1953. Di samping itu dimuat pula profil A.A. Navis (No. 41, 7 Januari 1962), Goenawan Mohammad (No. 17, 28 Juli 1963), Hartojo Andangdjaja (No. 30, 27 Oktober 1963), Arifin C. Noer (No. 40, 5 Januari 1964). Hal lain yang menarik adalah dimuatnya naskah drama komedi Ida karya Sri Murtono mulai No. 12, 20 Juni 1965 sampai No. 14, 4 Juli 1965. Kritik sastra dalam Minggu Pagi muncul pula dalam rubrik Surat Pembaca, misalnya, tulisan/surat S. Ning (dari Sala), Soeparno (dari Ngawi), dan M. Sugijono (dari Yogya) dalam Minggu Pagi, No. 38, 20 Desember 1964; atau tulisan/surat A.T.Darnoto (dari Cimahi, Jawa Barat), S. Dajani (dari Pacitan, Jawa Timur), dan Tjeng Thay Hien (dari Djuwana, Jawa Tengah) dalam Minggu Pagi, No. 44, 1 Februari 1953. Pada tahun 1970-an, beberapa esai/kritik tetap muncul pada Minggu Pagi, dapat disebutkan, misalnya, “Thema Chairil Anwar” karya Aryasatyani (No. 3, 26 April 1970), “Sri Sultan, Chairil Anwar, Mayjen Widodo” karya anonim (No. 5, 31 Mei 1970), “Mengintip Bengkel Rendra” karya Bang Aziz (No. 6, 7 Juni 1970), “Persoalan Langit Makin Mendung” karya Ita Rahayu (No. 12, 21 Juni 1970), “Minggu Pagi Laris” karya anonim (No. 21, Januari 1971), “Hari Ini, Chairil” karya anonim (No. 4, 28 April 1974), “Menengok Perkembangan Majalah di Indonesia” karya Zan Zappa Group (No. 3, 24 April 1977), “Gadis-Gadis Cantik Mencoreng Wajahnya: Seniman 29
Muda Baca Puisi dan Saling Ejek” karya MP/AM (No. 21, 28 April 1977), “Pengalaman Saya Menulis Cerpen” karya Arwan Tuti Artha (No. 21, 28 Agustus 1977), “Novel Remaja Sok Nyentrik” karya Joko S. (No. 26, 2 Oktober 1977), “Aduh Putu Wijaya Dipentaskan Kita-Kita” karya N.N. Sukarno (No. 29, 23 Oktober 1977), “Teater Sekolah: Tak Suka Drama Realis” karya Deded Er Moerad (No. 30, 30 Oktober 1977), dan “Novel Remaja: Arjuna Mencari Cinta” karya Joko Santoso (No. 30, 30 Oktober 1977). Sejak akhir tahun 1970-an hingga awal 1980-an, esai/kritik dalam Minggu Pagi cukup banyak, bahkan dalam sekali terbit dapat dimuat dua hingga tiga buah. Hal tersebut terjadi karena esai/ kritik itu muncul pada tiga rubrik, yaitu “Sastra-Budaya”, “Varia Remaja”, dan “”Musik Film Teater”. Beberapa esai/kritik yang dapat didata pada Minggu Pagi dekade ini, antara lain, “Parimin Jadi Penyair” Hendro Wiyanto (No. 53, 5 April 1980); “Pentas Teater Republik Sukses” Pappi Eska (No. 3, 20 April 1980); “Kritik Sepanjang Jalan Bukan Tembakan Terarah” Hendro Wiyanto (No. 9, 1 Juni 1980); “Teman-Temannya itu Juga Tidak Pernah Membosankan (resensi novel)”, “Novel Laris di Buku atau di Layar Putih” Arwan Tuti, “Teater di Jogja: Siapa yang Akan Memulai Dulu” Afauzi Safi Salam (No. 12, 22 Juni 1980). Pada Minggu Pagi, No. 13, 29 Juni 1980 muncul tiga esai, yaitu “Membicarakan Nasib Kumpulan Cerpen” Arwan Tuti Artha, “Dunia Novel Pop Lesu” SB Tono, “Kerjasama Teater Disco Pentaskan Los-nya Putu” MP, dan “Sepucuk Surat Sastra” Arwan Tuti. Esai “Pengarang Indonesia sedang Belajar” Noto Sunarto, “Drama Bisa Menanggulangi Goncangan Jiwa” Niesby, “Pengarang (Suka Duka)” Putu Arya Tirtawirya dimuat pada No. 14, 6 Juli 1980. Pada No. 15, 13 Juli 1980 dimuat esai “Lahirnya Novelis Wanita: Dunia Penulisan Makin Kaya” Ata, “Teater Sekarang Kehabisan Konsep” Niesby, dan “Puisi Periode 70-an dalam Kritik Sastra” Putu Arya Tirtawirya. Esai “Arjuna Pop, Arjuna Drop Out” Veven SP Wardana dan “Perut Kosong, Drama dan Manfaatnya” Niesby dimuat pada No. 16, 20 Juli 1980. Esai/kritik karya Em Es “Kritikus Jogja Apa Kabar” dan “Iklim Teater Kita: Mencari dan Eksperimen” Niesby dimuat Minggu Pagi, 30
No. 17, 27 Juli 1980. Karya Tarseisius “Trend Novel yang Sukar Didekati”, Faruk “Novel Dua Novelis Jogja”, SB Tono “Mungkinkah Bernostalgia Sastra Populer”, dan Albert P. Kuhon “Malam Jahanam dalam Perdana Kelam” dimuat pada No. 18, 3 Agustus 1980. Karya Ata “Memperhitungkan Novelis Koran dan Majalah” dan Niesby “Pantomim dalam Latihan Dasar Teater” muncul pada No. 20, 17 Agustus 1980. Esai “Chairul Anwar Menulis Novel dari Keisengan” Veven SP Wardana, “Dardanella Konvensi Baru Lakon Kita” Niesby, dan “Teater Remaja Perlu Uluran Tangan” Heru Kesawa Murti muncul pada No. 22, 31 Agustus 1980. Pada Minggu Pagi, No. 23, 7 September 1980 muncul esai Ata “Pembinaan Cerpen Bisa Dikembangkan?”, Niesby “Lima Warna Teater Timur dalam Tradisi”, dan Gendut Riyanto “Bukan Puisi Kongkret, Bukan Puisi Raya”. Esai Arie MP “Kebudayaan Kritik Teater Jogja dalam Jenangsungsuman” dan Hendro Wiyanto “Pengakuan Pariyem di Karta Pustaka” dimuat pada No. 24, 14 September 1980. Pada No. 25, 21 September 1980 dimuat esai karya Ata “Tokoh Wayang dalam Karya Sastra Indonesia”, Niesby “Tokoh dan Aspek Struktur dalam Pembicaraan”, dan Heru Kesawa “Wajah Teater Remaja dan Penempatan Sikap Berteater”. Esai “Novel Remaja Merangsang Hasrat Inovasi” karya Asmoro, “Siapa Paling Banyak Menulis Surat” karya Ata, dan “Magangnya Cerpenis” karya E. Suhindro muncul pada No. 26, 28 September 1980. Sedangkan karya M. Sutrisno “Hidup Ternyata Penuh Ironi” dan Arie MP “Peran Kritik dalam Kegiatan Seni-Budaya” dimuat pada No. 27, 5 Oktober 1980. Pada Minggu Pagi, No. 28, 12 Oktober 1980 muncul lima esai sastra, yakni “Pesan Tertinggal Nh Dini” Yudiono KS, “Kebersamaan dalam Teater” Heru Kesawa Murti, “Teater sebagai Organisasi” Wadhie Maharif, “Perubahan pada Daerah Permainan” Niesby, dan “Membaca Z-nya Gunawan Mohammad” karya Tuti. Pada No. 29, 19 Oktober 1980 muncul esai “Diskotik Subur Teater Makin Layu” Niesby, “Bakdi dan Emha” Retno D., dan “Sastra Kontemporer di Pengajaran di SLTA” Edi Romadon. Pada No. 30, 26 Oktober 1980 muncul esai “Teater Indonesia, Mungkinkah Terdapat Periode Baru” karya Niesby. Esai “Mengenal Teater 31
Eksperimen Improvisasi dan Insidentil” Niesby dan “Bambang Widiatmoko” karya Ata dimuat pada No. 32, 9 November 1980. Pada No. 34, 23 November 1980 muncul “Sikap Etis dalam Teater” karya Heru Kesawa dan “Mahasiswa Juga Bisa Main Drama” karya Yuliani Sudarman. Pada No. 35, 30 November, No. 36, 7 Desember, dan No. 37, 14 Desember 1980 masing-masing dimuat satu esai, yaitu “Antara Mencipta dan Membaca Puisi” karya Bambang Widiatmoko, “Kewajaran dalam Teater” karya Heru Kesawa Murti, dan “Ahmadun Yossi Herfanda” karya Korrie Layun Rampan. Sedangkan esai “Menyambut Baik Hadirnya Pengarang Wanita” Ny. Hafsah Ahmad, “Kreatif Identik dengan Produktif” Niesby, dan “Dua Puluh Empat Penyair Bali” Korrie Layun Rampan dimuat pada No. 38, 21 Desember 1980. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa Minggu Pagi sejak tahun 1960-an hingga 1970-an banyak melahirkan nama-nama besar sastrawan Indonesia, misalnya W.S. Rendra, A. Bastari Asnin, Arifin C. Noer, Gerson Poyk, Hartoyo Andangjaya, Motinggo Busye, Nasjah Djamin, dan Korrie Layun Rampan. Nama-nama besar tersebut sejak 1980-an hingga 1990-an, bahkan sampai sekarang, cukup disegani baik di tingkat nasional maupun internasional. Dengan demikian, dapat dikatakan jika Minggu Pagi memiliki peranan yang cukup besar dalam perkembangan sastra Indonesia di Yogyakarta umumnya dan perkembangan kritik sastra pada khususnya. Seperti diketahui bahwa keberadaan Minggu Pagi tidak dapat dilepaskan dari harian Kedaulatan Rakyat; di samping karena pemiliknya sama, sebagian besar redaktur Minggu Pagi adalah juga redaktur Kedaulatan Rakyat. Bahkan, dapat dikatakan bahwa hingga akhir tahun 1970-an, Minggu Pagi merupakan media yang sengaja disajikan untuk “menu” hari Minggu oleh Kedaulatan Rakyat karena Kedaulatan Rakyat saat itu belum memiliki edisi Minggu. Barulah pada awal 1980-an Kedaulatan Rakyat memiliki edisi Minggu yang hingga sekarang disebut KRM (Kedaulatan Rakyat Minggu). Oleh karena itu, pada kurun waktu 1966 hingga 1980, dalam kaitannya dengan upaya pengembangan sastra Indonesia di Yogyakarta, peran Minggu Pagi jauh lebih besar dibandingkan peran Kedaulatan Rakyat. 32
Hal tersebut disebabkan oleh Kedaulatan Rakyat tidak memiliki rubrik sastra-budaya seperti halnya Minggu Pagi. Oleh karena itu, kalau ada artikel/esai sastra yang masuk ke meja redaksi, artikel/ esai sastra tersebut dimuat di rubrik “Opini” seperti halnya artikelartikel umum lainnya. Sekadar contoh, artikel/esai/kritik sastra karya Linus Suryadi A.G. berjudul “Chairil Anwar: Pengembara Monumental” dimuat pada edisi 16 Mei 1978, “Suluk Awang Uwung Kuntowijoyo: Pitutur Ala Puisi Jawa” dimuat pada edisi 19 Februari 1976, dan “Interlude Goenawan Mohammad: Gejala Puisi Indonesia Modern?” dimuat pada edisi April 1976. Kritik yang membahas puisi karangan Linus Suryadi tersebut kemudian dikumpulkan dalam buku Di Balik Sejumlah Nama (Gadjah Mada University Press, 1989) bersama sejumlah karyanya yang lain. Di samping terbit di Minggu Pagi dan Kedaulatan Rakyat, karyakarya kritik sastra Indonesia di Yogyakarta pada kurun waktu 1966— 1980 juga banyak terbit di Masa Kini. Harian Masa Kini merupakan kelanjutan dari harian Mercu Suar. Harian Mercu Suar pertama kali terbit tahun 1966 dengan STT No. 16/SK/PDHMI/SIT/66 dan SIT No. 016/Per/SK/Dirjen PPG/SIT 1967. Harian yang diterbitkan oleh Yayasan Mercu Suar itu mencantumkan slogan “Melaksanakan Pancasila dan Dakwah”. Dari slogan yang dicantumkan tersebut jelas bahwa Mercu Suar merupakan harian yang di samping sehaluan dengan pemerintah —yakni ingin menegakkan asas dan nilai-nilai Pancasila sebagaimana digariskan oleh pemerintah Orde Baru— juga ingin menegakkan nilai-nilai keagamaan tertentu (dakwah Islam). Mengapa Mercu Suar ingin menegakkan nilai-nilai Pancasila dan ingin pula menegakkan nilai-nilai dakwah Islam? Hal tersebut tidak lain karena pada masa itu muncul pemberontakan G 30 S PKI yang secara langsung atau tidak membawa masyarakat ke suatu paham (ateis) yang menyimpang dari nilai-nilai agama. Dari latar belakang itu kemudian muncullah ide dari sekelompok orang (pemuda) —yang sebagian besar dari kalangan Muhammadiyah— untuk mendirikan sebuah harian yang bertujuan dakwah. Maka, kemudian terbitlah harian Mercu Suar dengan susunan redaksi H. Kismo Affandi (Pemimpin Umum), H. Ahmad Basuni (Pemimpin 33
Redaksi/Penanggung Jawab), Drs. Muhadi Sofyan (Wakil Pemimpin Redaksi), Drs. Moh. Lutfi, Mukhlas Abror, Drs. Muidin, Wildan Hm., Sudarsono S.H. (Redaksi), dan Siti Mujilah (Sekretaris Redaksi). Setelah secara rutin hadir di tengah masyarakat, harian Mercu Suar yang beralamat redaksi di Jalan Brigjen Katamso 75, Yogyakarta, itu memang benar-benar melaksanakan tujuannya, yaitu dakwah (Islamiyah). Hal itu dapat dibuktikan melalui tulisan-tulisan (berita, artikel, dll.) yang disajikan di dalamnya yang sebagian besar bernafaskan agama Islam. Bahkan, karya-karya sastra yang dimuat dalam rubrik “sastra-budaya” asuhan Muchlas Abror dan Mustafa pun secara dominan adalah karya yang bertema religius (Islami). Dapat disebutkan, misalnya, puisi berjudul “Tuhan Hanya Satu” karya Sutapa Kc dan “Isu Dewan Jendral” karya Manan Bz (Mercu Suar, 12 April 1967), “Untukmu Jua” karya A. Mustafa (Mercu Suar, 19 April 1967), “Kesadaran Damai” karya Sri Hidayati dan “Kepada Muhammadiyah” karya Zubaidah (Mercu Suar, 2 Agustus 1967), dan sebagainya. Kendati demikian, kenyataan di atas bukan tidak mengandung resiko. Sebab, dengan kecenderungan yang mengarah pada isme tertentu (Islam), harian tersebut menjadi terlalu eksklusif dan resikonya adalah sulit merebut atau menguasai “pasar”. Padahal, “pasar” merupakan salah satu penentu hidup matinya suatu media. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika kemudian, pada hari Rabu, 5 Januari 1972, harian Mercu Suar berganti nama menjadi Masa Kini. Hal demikian sesuai dengan pernyataan salah seorang redaktur Masa Kini, Teguh Ranusastra Asmara, bahwa perubahan nama dari Mercu Suar menjadi Masa Kini, antara lain, dilatarbelakangi oleh keinginan untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman (“pasar”). Setelah berubah menjadi Masa Kini, slogan atau moto-nya juga berubah, yakni menjadi “Berprinsip—Independen—Membangun”. Adapun susunan redaksinya hanya sedikit mengalami perubahan, yaitu H. Djauhari Muchsin (Pemimpin Umum), H. Ahmad Basuni (Pemimpin Redaksi), Drs. Moehadi Sofyan (Wakil Pemimpin Redaksi), Drs. Muidin, M. Muchlas Abror, Wildan Hm. 34
(Redaksi), Siti Mujilah (Sekretaris Redaksi), dan Drs. M. Luthfie (Pembantu Khusus). Perlu diketahui bahwa H. Ahmad Basuni, pada waktu menjabat pemimpin redaksi Masa Kini, ia juga masih menjabat wakil pemimpin umum di Suara Muhammadiyah. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika harian Masa Kini berhubungan erat dengan majalah Suara Muhammadiyah. Walaupun sudah berganti nama dan berganti slogan, tampak bahwa ciri khas Masa Kini masih cenderung sama dengan Mercu Suar. Hal tersebut agaknya disebabkan oleh pengelolanya yang hampir tidak berubah sehingga tampilan Masa Kini pun masih cenderung eksklusif. Walaupun ia telah mencantumkan pernyataan “independen”, sajian isi (berita, artikel, features, tajuk rencana, kolom, dll.) masih juga didominasi oleh hal-hal yang berkaitan dengan dakwah agama Islam. Bahkan karya puisi dan cerpen yang tampil di bawah rubrik “Insani: Lembar Kreasi dan Aspirasi” pun masih didominasi oleh tema-tema religius (Islami). Hanya sekadar contoh, dapat disebutkan puisi berjudul “Puisi” karya Manshur, “Detak-detak” karya Isan Ryanto, dan “Di Atas Menara” karya B. As (Masa Kini, 18 Mei 1972), “Pembaringan Terakhir” karya Candra, “Gelisah” karya Fakhurrakhman (Masa Kini, 11 Mei 1972), “Masih Juga ada Tanya” karya Hida suryakusuma, “Rachmat” karya Surahman (Masa Kini, 7 Juni 1972), “Mohammad” karya M. Jatiman (Masa Kini, 21 Juni 1972), “Bersyukur” karya Rochmat” (Masa Kini, 5 Juli 1972), dan “Ikhlas” karya Amrullah (Masa Kini, 26 Juli 1972). Sedangkan cerpen yang bertema religius, antara lain, “Setan-Setan” karya Iskandar (Masa Kini, 16 September 1972); “Yah, Apa Yang Kucari” karya Inin Muntaco (Masa Kini, 11 Oktober 1972); “Kere” karya Hadjid Anto Hastoro (Masa Kini, 18 November 1972); “Hampir Terjadi di Malam Itu” karya Iskandar (Masa Kini, 28 Oktober 1972); “Ketokan Pintu” karya Masykur Wiratmo (Masa Kini, 30 Juni 1979); “Malam Terakhir” karya Bambang WD (Masa Kini, 13 Januari 1979); dan sebagainya. Hal menarik yang pantas dicatat ialah bahwa setelah berubah menjadi Masa Kini, pemuatan karya sastra semakin semarak. Ketika itu, sejak tahun 1970-an, halaman untuk seni budaya dibagi menjadi beberapa kolom. Di samping ada cerpen, artikel, dan ulasan, ada 35
juga kolom puisi yang dibagi menjadi dua, yakni “Insani” dan “Kulminasi”. Puisi yang dimuat di “Insani” adalah karya-karya para pemula atau yang sudah lumayan jurus sastranya, sedangkan yang dimuat di “Kulminasi” adalah karya-karya para pendekar yang sudah matang jurus sastranya (Hasyim, 1997). Akan tetapi, puisi karya penyair yang sudah matang kadang-kadang dimuat pada kolom “Titian”. Pada waktu itu halaman seni budaya berturutturut diasuh oleh Muchlas Abror, Soeparno S. Adhy, Emha Ainun Nadjib, dan Aji Sudarmadji Muchsin. Sedangkan yang bertindak sebagai pengaruh pada awal 1980-an, antara lain, Mustofa W. Hasyim, Adil Amrullah, dan Indra Tranggono. Di samping itu, yang lebih menarik lagi, di Masa Kini juga dibuka rubrik “Pos Konsultasi”. Rubrik tersebut dipergunakan sebagai ajang pembimbingan bagi penulisan cerpen dan puisi. Bagaimana cara dan teknik menulis puisi atau cerpen dikupas oleh redaktur di dalam rubrik itu. Bahkan, pada saat itu sempat terbentuk suatu kelompok penulis yang diberi nama “Insani Club”, yang anggotanya adalah mereka yang mengirim tulisan (cerpen, puisi, artikel, dll) ke harian Masa Kini. Melalui “Insani Club” ini tercipta hubungan erat antara redaktur dan para penulis karena “Insani Club” sering mengadakan pertemuan dan diskusi mengenai sastra dan budaya. Selain beberapa hal di atas, berikut beberapa karya esai/kritik sastra yang dapat didata di harian Masa Kini, antara lain, “Pengadilan Puisi: Ckk Ckk Ckk” Slamet Riyadi S. (Masa Kini, 18 September 1974); “Wabah Sayembara Mengarang” Ragil Suwarno Pragolapati (Masa Kini, 12 Februari 1979); “Bu Guru Menyarankan Agar Kami Membaca Horison” Yunus Syamsu Budhi (Masa Kini, 10 Februari 1979); “Teater Katsa tangani Rentenir” Ajie SM (Masa Kini, 13 Januari 1979); “Perlawanan Teater Jogja Terhadap Tantangannya” Emha Ainun Najib dan “Menjadi Kritikus Cerita Anak Tidak Mudah” T. Loekman (Masa Kini, 9 April 1979); “Seni Pada Dasarnya Menuju ke Kesempurnaan” Marsudi, Asti (Masa Kini, 12 Februari 1979); “Antologi Stensil: Masih Punya Iklim dan Musim (Masa Kini, 15 Januari 1979); “Kelompok Pencarian Metode Kerja Teater Jogja Apa Pula Itu?” Kecuk Ismadi (Masa Kini, 6 Januari 1979); “Tentang Harapan Bung Maman” Mustofa W. Hasyim (Masa 36
Kini, 9 Mei 1979); “Catatan untuk Cerpennya Masykur: Teknik Pengejut yang Sedikit Gila” Mustofa W. Hasjim (Masa Kini, 30 Juni 1979); dan “Merindu Bikin Malu” Tarseisius (Masa Kini, 9 Juni 1979). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa dari harian Masa Kini lahir nama-nama seniman (penyair) yang cukup terkenal di kemudian hari, beberapa di antaranya Emha Ainun Najib, Linus Suryadi, Ragil Suwarno Pragolapati, Rachmat Djoko Pradopo, Soekoso D.M., dan Mustofa W. Hasjim. Kebesaran nama mereka memang bukan semata karena Masa Kini, tetapi dengan berkiprahnya mereka di harian Masa Kini, setidaknya terlihat bahwa harian ini memiliki andil yang cukup bagi pertumbuhan sastra Indonesia di Yogyakarta. Tidak dapat dipungkiri bahwa majalah Basis (terbit sejak tahun 1950) juga menjadi media yang cukup aktif menerbitkan karyakarya yang berkaitan dengan sastra. Hanya saja, majalah bulanan yang pada tahun 1960-an diasuh oleh N. Drijarkara, Zoetmoelder, R.J. Kaptin Adisumarta, Dick Hartoko (Dewan Redaksi), A. Brotowiratmo, W.S. Rendra, E. Sumardjono, P. Swantoro (Pembantu Tetap) dan beralamat redaksi di Jalan Amat Jajuli 2, Yogyakarta, itu tidak secara khusus memuat tulisan tentang sastra, tetapi memuat masalah kebudayaan pada umumnya, dan kritik sastra, lebih-lebih kritik sastra Indonesia, hanya menjadi bagian kecil darinya. Namun, yang pantas diacungi jempol adalah bahwa sejak awal penerbitannya majalah bermisi Katolik terbitan Yayasan BP Basis itu telah memperhatikan kehidupan sastra, termasuk kritik sastra Indonesia. Pada tahun 1970-an, Basis semakin eksis ketika Dick Hartono tampil sebagai pemimpin redaksi dan Sapardi Djoko Damono, A. M. Slamet Soewandi, dan M. Sudiraatmadja tampil sebagai pembantu (redaktur). Eksistensi tersebut tidak berubah ketika sejak pertengahan 1970-an hingga 1980-an nama G. Moedjanto, Peter Surya, dan B. Rahmanto masuk menjadi redaktur menggantikan Sapardi Djoko Damono. Di tangan redaktur B. Rahmanto karyakarya sastra (terutama puisi) dan juga kritik sastra, termasuk kritik sastra Indonesia, lahir dengan mantap di majalah yang sejak awal 1980-an beralamat di Jalan Abubakar Ali 1, Yogyakarta, itu. Beberapa karya kritik sastra Indonesia yang dapat didata dari majalah Basis, antara lain, “Membaca Poesi Terjemahan: Menyam37
but Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar” (Oktober 1970) karya Ahar; “Agama dan Sastra” (Oktober 1972) karya Th. Koendjono; “Beberapa Anggapan dalam Puisi Romantik Indonesia” (1973) karya Harry Avelling; “Explication De Texte Suatu Metode Kritik Sastra” (Desember 1973) karya Dick Hartoko; “Pertemuan Sastrawan SeIndonesia Ke-2” karya Bakdi Sumanto (Maret 1975, dalam rubrik Kronik); “Sebuah Surat Terbuka” (Oktober 1976) karya Yunus Mukri Adhi; “Maut dan Cinta Mochtar Lubis” karya B. Rahmanto dan “Langit Biru Laut Biru Ajip Rosidi” karya Dick Hartoko (…?); “Sri Sumarah dan Bawuk” (Oktober 1976) karya St. Soelarto; “Sastra Belanda mengenai Indonesia sebagai Salah Satu Dimensi dalam Sastra Indonesia” (Mei 1978) karya Dick Hartoko; “Sorotan dari Hamburg atas Karya Rendra” (Mei 1978) karya A. Teuuw; “Upacara” karya Ariel Heryanto dasn “Sepi Terasing”, “Tunas-Tunas Luruh selagi Tumbuh”, “Hilanglah Si Anak Hilang”, dan “Kemarau” karya B. Rahmanto (Mei 1978, resensi buku); “Sastra dalam Ketegangan antara Tradisi dan Pembaruan” (Juni 1978) karya A. Teeuw; “Membangun Kehidupan Teater Kontemporer di Yogyakarta” (Juni 1979) karya Umar Kayam; “Sastrawan … Mana Karyamu?” karya B. Rahmanto, “Estetika dan Puisi dalam Masalah Kemanusiaan” (September 1979) karya Hilla Veranza; “Tentang Paham dan Salah Paham dalam Membaca Puisi” (November 1979) karya A. Teeuw; , “Pengarang dan Wilayahnya” karya Mochtar Lubis, “Catatan Kecil atas Bianglala Sastra” (Desember 1979) karya B. Rahmanto; “Catatan Ringkas tentang Puisi Indonesia Mutakhir” karya Sapardi Djoko Damono (Maret 1980); “Strategi Kebudayaan Rendra” karya Celly Akwan, resensi “Mitos dan Komunikasi” A. Teuuw dan “Burung-Burung Manyar” B. Rahmanto (November 1981). Sementara itu, majalah Semangat juga menjadi media penting bagi upaya pengembangan kritik sastra Indonesia di Yogyakarta. Majalah Semangat terbit sejak 1955 dengan format stensilan. Namanya semula adalah Sen-Sasi yang berarti “sak-sen-saben-sasi” (iuran para redaksi, agen, dan pembaca). Tahun 1956 berganti nama menjadi Spirit dan tahun 1961 berubah menjadi Semangat. Surat izin terbit baru diperoleh pada tahun 1966 (Ijin Nomor 219/SK Dphm/SIT—66—tanggal 28 Maret 1966). Majalah yang diterbitkan 38
dan dicetak oleh Badan Penerbit Spirit di bawah dukungan pemudapemudi Katolik dan memiliki hubungan erat dengan majalah kebudayaan umum Basis itu terbit setiap tanggal 18 (majalah bulanan). Pada tahun-tahun awal penerbitannya hingga 1970-an majalah Semangat tidak dapat hadir (terbit) secara rutin (ajeg), lebih-lebih di tahun-tahun sekitar meletusnya G-30-S PKI 1965. Sejak awal penerbitannya hingga tahun 1960-an majalah Semangat berukuran tiga per empat kuarto (16 x 24 cm) dengan ketebalan rata-rata 20 halaman (termasuk cover) dan beralamat redaksi di Jalan Margokridanggo 14 (sekarang Jalan Abubakar Ali) Yogyakarta. Akan tetapi, sejak tahun 1970-an, ukuran majalah tersebut berubah menjadi kuarto (21 x 29 cm) dengan ketebalan rata-rata 34 halaman. Alamat redaksinya pun berpindah dari Jalan Abubakar Ali 14 ke Bintaran Kidul 5, Yogyakarta, yang semula hanya sebagai kantor administrasi. Majalah itu sengaja ditujukan kepada kaum muda; hal itu ditandai dengan motto yang berbunyi “Spirit Pemuda Pemudi Dewasa” yang ditulis (dicantumkan) di cover majalah. Hingga tahun 1960-an majalah Semangat tidak secara lengkap mencantumkan tim redaksi yang mengasuhnya karena di dalam ruang redaksi hanya dicantumkan Direksi (Drs. P.I. Oey Liang Lee), Pemimpin Redaksi (P. Simatupang), dan Sensor (B. Liem Bian Bing S.J.). Namun, pada tahun 1970-an, majalah tersebut secara eksplisit mencantumkan para pengasuhnya, yaitu: Direksi (The Eng Gie, B. Wonosunaryo, dan P. Simatupang); Pemimpin Umum (P. Simatupang); Penanggung Jawab (F.J. Basuki); Pemimpin Redaksi (J. Mardjuki); Redaksi (P. Simatupang, J. Mardjuki, dan The Eng Gie); Pelaksana Teknis (P. Walgito); Ilustrator ( R. Susilo dan Ben Handaya Atmadjaja); Pembimbing (Al. Purwadi), dan Tata Usaha (P. Walgito). Sementara itu, hingga awal tahun 1960-an harga eceran majalah itu Rp2,50 dan harga langganan per kwartal Rp7,50, sedangkan pada tahun 1970-an harga eceran Rp175,00 dan harga langganan per triwulan Rp525,00. Untuk pelanggan luar Jawa ditambah ongkos kirim Rp10,00 per eksemplar. Sebagaimana diketahui bahwa majalah Semangat adalah majalah umum walaupun majalah tersebut memiliki spesifikasi untuk para pemuda dan pemudi (dewasa). Hal tersebut dapat dilihat 39
pada rubrik-rubrik yang dibuka di dalamnya, mulai dari “Surat Pembaca”, “TTS (Pelatih Otak)”, “Mode”, “Tokoh”, sampai “Psikologi”, “Seni”, “Puisi”, “Cerpen”, “Budaya”, “Lembaran Kehidupan”, “Religi”, “Berita Luar Negeri”, dan sebagainya. Pada tahun 1970—1980-an, sejak mengalami penambahan rubrik dan jumlah halaman, jumlah rubrik yang ditampilkan relatif ajeg (rutin), yakni sekitar 20. Pada Semangat edisi maxi, nomor 2, Oktober 1978, tahun ke24, misalnya, dimuat 20 rubrik (isi), yaitu (1) “Foto Kulit Depan: Orang-orang Jakarta”, (2) “Mari Kita Tanya Komputer: Novelnovel Pop dan Pengarangnya”, (3) “Dari Hati ke Hati: Harapan + Cinta = Hidup”, (4) “Di Wikrama Putra: Cinta tanpa Suara”, (5) “In Memoriam Paus Paulus VI”, (6) “Ketombe”, (7) “Kisah di Balik Suksesnya: Soichiro Honda”, (8) “Dari Mata Turun ke Hati: Punakawan dan Bima”, (9) “Pulang”, (10) “Dunia Puisi: Umbu Landu Paranggi”, (11) “Insinyur Seksi”, (12) “Mode Bulan Ini”, (13) “Pelatih Otak”, (14) “Mari Beternak Ayam”, (15) “Bung Semprul”, (16) “Manfaat Sebuah Pesawat Radio”, (17) “Bingkisan Kecil Kak Truly”, (18) “Sekitar Masalah: Dependensi Obat”, (19) “Surat Pembaca”, dan (20) “Udara Berlin Kurang Disukai”. Meskipun majalah Semangat adalah majalah umum, masalahmasalah yang berkaitan dengan sastra-seni-budaya (puisi, cerpen, drama, dan esai/kritik) mendapat perhatian yang serius; dan jenis sastra yang hampir secara rutin tampil adalah puisi, cerpen, dan esai/kritik. Dalam kaitannya dengan pertumbuhan (perkembangan) sastra Indonesia di Yogyakarta, boleh dikatakan majalah Semangat memiliki andil cukup besar; terbukti karya-karya (puisi, cerpen, esai) para penulis/pengarang Yogyakarta sering tampil di dalamnya, misalnya puisi-puisi Umbu Landu Paranggi (No. 2, Oktober 1978), Ragil Suwarno Pragolapati, dan sebagainya yang tergabung dalam Persada Studi Klub (PSK), cerpen Bakdi Sumanto, esai Mayon Sutrisno (No. 6, Februari 1976), Julius Poer (No. 4, Desember 1971), Bakdi Sumanto (No. 8, April 1975), dan lain-lain. Khususnya di bidang kritik sastra, yang ditulis dalam wujud artikel atau ulasan, majalah Semangat juga cukup aktif memperhatikannya. Beberapa esai/kritik yang dapat didata, antara lain, “La40
wan Pornografis” oleh redaksi (No. 3, November 1968), “Bagaimana Berdeklamasi Itu?” oleh Bakdi Dumanto (No. 1, September 1971), “Puisi dan Drama” oleh Ragil Suwarno Pragolapati (No. 12, Agustus 1972), “Seni Drama: Memerlukan Naskah Remaja” oleh Bakdi Sumanto (No. 3, November 1972), “Sajak-Sajak Remaja yang Matang” oleh Bakdi Dumanto (No. 14, Juni 1974), “Ada yang Menyendat, Ada yang Lancar” oleh Bakdi Sumanto (No. 2, Oktober 1974), “Dari Dalam Batin Wanita Remaja” oleh Bakdi Sumanto (No. 8, April 1975), “Perlambang yang Tampak dan Terdengar dalam Sajak” oleh Bakdi Sumanto (No. 9, Mei 1975), “Setahun Pertemuan antara Pikir dan Rasa” oleh Bakdi Sumanto (No. 10, Juni 1975), “Ilham Masuk Lewat Celah Hati” oleh Bakdi Sumanto (No. 11, Juli 1975), “Pesona Seorang Gadis Remaja pada Alam Sekitar” oleh Bakdi Sumanto (No. 1, September 1975), “Mengintip Celah-Celah Sepi” (anonim, No. 3, November 1975), “Berpuisi Spontan dan Polos” oleh Y. Supardjana (No. 4, Desember 1975), “Menjumpai Tuhan dalam Puisi Penyair” oleh Mayon Sutrisno (No. 6, Februari 1976), “Mirasat dan rahasia Hidupnya” oleh Bakdi Sumanto (No. 8, April 1976), “Sin + Tuhan = Sintuhan” oleh Mimosa Sekarlati (No. 7, Maret 1976), “Mengapa Sajak Kita Kurang Berhasil?” oleh Bakdi Sumanto (No. 9, Mei 1976), “Antara yang Mengental dan Mencair” oleh Bakdi Seumanto (No. 10, Juni 1976), “Hanya Kalau Saya Sedih, Saya Dapat Menyalak” oleh Bakdi Sumanto (No. 12, Agustus 1976), “Pledoi untuk Sajak-Sajak Remaja Mutakhir” oleh Bakdi Sumanto (No. 7, Maret 1975), “Cerita Pendek Majalah Semangat” oleh Yakob Sumardjo (No. 8, April 1975), “Penulis dan Masalahnya” oleh J. Pandji (No. 6, Februari 1969), “Pengarang dan Penulis Sekarang” oleh B. Gde Winnjana (No. 9, Mei 1972), “Saya Membiayai Sekolah Saya dengan Menulis” oleh Agus Surjono (No. 6, Februari 1973), “Arswendo Atmowiloto” oleh Semangat (No. 9, April 1973), “Mengarang Sebagai Mata Pencaharian: Mungkinkah itu di Indonesia” oleh Bakdi Sumanto (No. 7, Maret 1972), “Langkah Pertama Mangarang untuk Majalah” oleh M.L. Stein (No. 12, Agustus 1976), “Bergadang dengan Singa Tenang dari Padang” oleh T.H. Sugiyo (No. 9, Mei 1976), “Motivasi Karang-Mengarang” oleh PY/SP (No. 12, Agustus 1980), “Pelangi 41
Kreasi Puisi Seminari” dan “Puisi dan Kemerdekaan” oleh Ragil Suwarno Pragolapati (No. 11—12, Agustus 1980), “Jika Musimnya Habis, Novel Pop Quo Vadis” oleh Sindikat Pengarang Yogyakarta (No. 10, Juni 1980). Sementara itu, kritik yang ditulis dalam wujud tulisan pendek dalam rubrik “Surat Pembaca”, misalnya, tampak dalam Semangat edisi Desember 1968, September 1970, Juni 1971, Oktober 1971, Januari 1972, Maret 1972, Mei 1972, September 1973, Mei 1980, Juni 1980, Agustus 1980, dan masih banyak lagi. Demikianlah, antara lain, berbagai karya kritik sastra Indonesia di Yogyakarta yang dipublikasikan di majalah Semangat. Dengan publikasi itu jelas bahwa majalah Semangat merupakan salah satu media massa cetak yang cukup penting bagi perkembangan sastra Indonesia di Yogyakarta. Selain beberapa media di atas, pada tahun 1960-an dan 1970an majalah Suara Muhammadiyah juga menjadi sarana publikasi karya-karya kritik sastra di Yogyakarta. Hanya saja, majalah yang sejak awal (terbit pertama tahun 1915) hingga sekarang beralamat di Jalan K.H.A. Dahlan Yogyakarta dan bernaung di bawah organisasi-sosial keagamaan Muhammadiyah itu tidak begitu aktif menerbitkan karya (termasuk kritik) sastra Indonesia. Hal itu disebabkan oleh majalah yang semula dicetak dengan huruf Jawa dan berbahasa Jawa ngoko itu lebih mengutamakan citra persyarikatan dan tujuan dakwah (Islamiyah). Sejak awal penerbitan hingga tahun 1960-an (sebelum Orde Baru), meskipun sejak 1937 telah dicetak dengan huruf latin dan menggunakan bahasa Indonesia, Suara Muhammadiyah boleh dikatakan tidak pernah membuka ruang untuk sastra-budaya, lebihlebih sastra Indonesia modern. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika jarang ditemukan karya sastra. Dalam jangka waktu sekitar lima puluh tahun baru dijumpai sebuah puisi berjudul “Api Revolusi di Tanah Air” (Desember 1946) karya Maria Amin. Barulah ketika Orde Baru tiba, atau sejak 1965, karya sastra (puisi) kadangkadang muncul. Sekadar contoh, puisi berjudul “Kepada Siapa” karya Abdul Muim (Agustus 1965) dan “Kepada Chairil” (Oktober 1965). Sementara itu, karya-karya puisi, cerpen, dan esai/kritik 42
baru muncul sejak akhir 1960-an. Hal itu bisa terjadi karena salah seorang redakturnya (Mohammad Diponegoro) adalah pengarang (penyair, cerpenis, novelis, dan teaterawan). Beberapa karya kritik sastra yang dapat didata dari majalah Suara Muhammadiyah pada tahun 1960-an dan 1970-an, antara lain, “Segi-Segi Kesastraan pada Kisah-Kisah Alquran” (Juni 1968) karangan A. Hanafi, M.A.; “Teruskan Puitisasi Terjemahan Alquran” (No. 3 dan 4, 1971) karya T. Loekman; “Cerpen Mana, Cerpen Siapa?” (April 1975) karya Darwis Khudori; dan “Saran Isi SM” (Januari 1973) karya S. Tirtoatmodjo. Sementara itu, sejak tahun 1975, sejak menjadi redaktur majalah Suara Muhammadiyah, Mohammad Diponegoro, selain sering menulis cerpen dan menerjemahkan Alquran secara puitis (puitisasi Alquran), juga sering menulis dan memuat esai-esai pendek mengenai bagaimana menulis cerpen yang baik. Esai-esai pendek yang semula dipublikasikan secara bersambung di Suara Muhammadiyah —salah satunya berjudul “Seribu Satu Malam” (Juli 1980)— itu kemudian dibukukan dalam Yuk, Menulis Cerpen Yuk (Shalahuddin Press, 1985). Sedangkan beberapa cerpennya dibukukan dalam Odah dan Cerita Lainnya (Shalahuddin Press, 1986) dan puitisasi Alqurannya dibukukan dalam Pekabaran (Budaya Jawa, 1977), Kabar Wigati dari Kerajaan (Dua Dimensi, Yogyakarta, 1985), dan Kabar dari Langit (Pustaka, Bandung, 1988, kumpulan bersama karya Djamil Suherman). Seperti halnya beberapa majalah dan surat kabar di atas, mingguan Pelopor pun tidak kalah penting dalam kerangka pertumbuhan sastra Indonesia di Yogyakarta. Mingguan Pelopor merupakan mingguan politik populer yang lahir pada 22 Januari 1950 (mendapat akte notaris R.M Wiranto, Yogyakarta, tanggal 22 November 1950). Pada awal-awal penerbitannya, yang bertindak selaku pengasuh adalah Annast (Pimpinan Umum), M.O. Palapah, Sutedjo, dan Sutomo (Redaksi). Lebih dari itu, Pelopor merupakan embrio lahirnya apa yang kemudian dikenal oleh masyarakat sebagai Mingguan Pelopor Yogya. Sejak tahun 1969, oleh Umbu Landu Paranggi, Ragil Suwarno Pragolapati, Teguh Ranusastra, Ipan Sugiyanto Sugito, Soeparno S. Adhy, Iman Budhi Santoso, dan Mugiyono Gito Warsono, markas 43
mingguan tersebut (Jalan Malioboro 85 Yogyakarta) dijadikan tempat berdirinya Persada Studi Klub (PSK) yang memegang perananan penting bagi perkembangan dunia kesastraan di Yogyakarta. Lewat mingguan terbitan Yayasan Penerbit Pelopor tersebut, Umbu Landu membuka rubrik sastra dan budaya dalam dua klasifikasi, yaitu “Persada” dan “Sabana”. Para penulis pemula digodok dalam tataran “Persada” sampai akhirnya mereka mampu menembus tataran “Sabana”. Dan lewat rubrik itu pula muncul karyakarya esai dan atau kritik walaupun frekuensi kemunculannya amat jarang. Sekadar contoh, misalnya karya Noeng Runua berjudul “Sastra Itu Omong Kosong” (Pelopor, No. 263, 16 September 1978) dan karya Bambang Sadono SY berjudul “Kritik Sastra oleh Siapa Saja” (Pelopor, 12 Oktober 1978).
44
BAB III JENIS DAN ORIENTASI KRITIK SASTRA INDONESIA DI YOGYAKARTA
Pada bab terdahulu (Bab II) telah dipaparkan dinamika kritik sastra Indonesia di Yogyakarta pada kurun waktu 1966 hingga 1980. Selanjutnya, di dalam bab ini, dipaparkan jenis dan orientasinya, khususnya jenis dan orientasi karya-karya kritik sastra yang telah dipublikasikan di dalam beberapa media massa cetak berbahasa Indonesia (Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Masa Kini, Basis, Semangat, Suara Muhammadiyah, dan Pelopor) yang terbit di Yogyakarta pada kurun waktu tersebut. 3.1 Jenis Kritik Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam praktik penilaiannya ternyata para kritikus sastra Indonesia di Yogyakarta tahun 1966 hingga 1980 menggunakan cara yang berbeda-beda. Baik dalam menyoroti karya sastra maupun hal-hal di luar sastra, sebagian dari mereka ada yang menggunakan konsep atau teori tertentu, dan sebagian lain tidak menggunakan konsep atau teori tetapi hanya menuangkan impresi-impresi selintas atas objek yang disoroti. Mereka yang menggunakan konsep, pendekatan, atau teori tertentu menghasilkan karya kritik yang cenderung ilmiah (judisial) dan mereka yang tidak menggunakan konsep atau teori tertentu menghasilkan karya-karya kritik yang tidak ilmiah dan hanya berupa ulasan singkat (impresionistik).
45
Berdasarkan pengamatan terhadap seluruh data dapat dikatakan bahwa ternyata karya-karya kritik sastra Indonesia yang dipublikasikan di beberapa media massa cetak yang terbit di Yogyakarta didominasi oleh karya-karya kritik yang tidak ilmiah (impresionistik). Dikatakan demikian karena data menunjukkan hanya ada beberapa karya kritik yang menggunakan konsep atau teori sastra tertentu. Perlu ditegaskan pula bahwa konsep atau teori yang dipergunakannya pun tidak disajikan secara eksplisit, lebih-lebih secara panjang lebar, tetapi sering hanya disebutkan inti atau pokok-pokok pikirannya, atau bahkan hanya disebutkan tokoh pencetusnya. Esai berjudul “Beberapa Anggapan dalam Puisi Romantik Indonesia” karangan Harry Avelling yang dimuat Basis, No. 22, Thn. 1972—1973, misalnya, menunjukkan kecenderungan itu. Ketika membahas puisi Indonesia umumnya dan puisi tahun 1920— 1945 khususnya, dalam esai tersebut Harry Avelling secara sadar sebenarnya menggunakan teori mengenai sistem norma sebagaimana dikemukakan oleh Wellek dan Warren. Akan tetapi, pada kenyataannya, ia tidak memberikan penjelasan yang lengkap mengenai konsep teori itu tetapi hanya menyebutkan nama pencetusnya (Wellek dan Warren). Dengan menggunakan konsep Wellek dan Warren, Harry Avelling sampai pada kesimpulan bahwa puisipuisi Indonesia pada masa itu kuat dalam kecairan, campur baur, pengalaman-pengalaman permulaan yang halus, dan mengangkat dunia lain. Selain itu, menurutnya, puisi-puisi tersebut juga cenderung individualis, idealis, subjektif terhadap alam, dan mementingkan gambaran simbolis. Akan tetapi, katanya, karya-karya puisi itu tidak sesuai dengan norma-norma seperti yang diajukan oleh Wellek. Kecenderungan serupa tampak pada esai Bakdi Sumanto berjudul “Ada yang Menyendat, Ada yang Lancar” (Semangat, No. 2, Oktober 1974). Dalam tulisan tersebut Bakdi mengupas proses kreatif penulisan puisi “Malam Pengantin” karya Laddy Tadjudin dan “Menjelang Akhir Hidupku” karya Sinta Kuncoro. Ketika membahas proses kreatif penulisan puisi itu Bakdi mendasarkan analisisnya pada teori R.H. Tawney sebagaimana ditulis dalam 46
buku Write Poetry from Within. Menurutnya, ada tiga hambatan yang ditemui dalam menulis puisi, yaitu (1) dihantui rasa takut, malu, was-was kalau diejek, diketahui rasa hatinya, takut dinilai, (2) penulis tidak tahu persis apa yang akan dikemukakannya, dan (3) belum menguasai media, kurang kata-kata atau bahasa yang digunakan. Jadi, dalam esai ini, Bakdi hanya menyebutkan hambatan dalam proses kreatif penulisan puisi secara singkat, tidak menjelaskan secara lengkap konsepnya dan ia langsung menunjuk pada dua contoh puisi karya Laddy dan Sinta. Hal tersebut sedikit berbeda dengan esai karangan Hilla Veranza berjudul “Estetika dan Puisi dalam Masalah Kemanusiaan” (Basis, September 1979). Esai ini cenderung ilmiah karena ketika hendak menjelaskan hubungan antara estetika, puisi, dan masalah kehidupan manusia, penulis memaparkan terlebih dulu latar belakang sejarah (pasang surut estetika, posisi estetika dalam diri manusia), pengalaman estetis (kedudukan manusia dalam alam, keniscayaan pengalaman estetis), dan dasar-dasar antropologis puisi modern (puisi sebagai pribadi, dinamika dalam pendekatan puisi, dan letak keabadian puisi). Dengan mengutip sejumlah referensi penulis kemudian menyatakan bahwa unsur-unsur subjektif bekerja kuat dalam puisi. Puisi yang mencerminkan keutuhan merupakan bentuk pengambilan sikap penyair terhadap masalah kemanusiaan. Meski terjadi pengkhiatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, pada dasarnya keluhuran akan tetap berbisik selama orang masih berhubungan dengan karya seni. Akhirnya, dengan mengutip pendapat Gunawan Mohamad dan sajak-sajak Sapardi Djoko Damono, penulis merasa lega bahwa kita masih bisa memperoleh nilai-nilai keabadian dalam puisi. Tiga buah esai karya A. Teeuw, yakni “Sastra dalam Ketegangan antara Tradisi dengan Pembaharuan” (Basis, Juni 1978), “Tentang Paham dan Salah Paham dalam Membaca Puisi” (Basis, November 1979), dan “Estetik, Semiotik, dan Sejarah Sastra” (Basis, Oktober 1980), menunjukkan kecenderungan ilmiah seperti karangan Hilla Veranza di atas. Sebab, esai yang semula diajukan dalam beberapa konferensi di Jakarta itu bahkan tidak hanya merupakan kritik terhadap contoh-contoh karya sastra Indonesia, tetapi juga 47
ada kecenderungan untuk mengkritisi teori-teori sastra lain dan kemudian mengompilasikannya sehingga —seolah-olah— tercipta sebuah teori baru yang dapat dijadikan pegangan bagi para peneliti sastra di Indonesia. Oleh sebab itu, melalui esai-esai tersebut pembaca akan memperoleh pencerahan sehingga mampu membaca dan menganalisis karya sastra secara benar dan tepat. Itulah beberapa contoh karya-karya kritik sastra Indonesia yang cenderung ilmiah yang dimuat di dalam Basis dan Semangat. Sesungguhnya, Basis dan Semangat memungkinkan untuk sepenuhnya menjadi media publikasi bagi karya-karya kritik judisial atau kritik akademik. Sebab, kedua media publikasi tersebut berupa majalah (bulanan), bahkan berlabel sebagai “majalah kebudayaan” yang tentu menaruh perhatian besar pada masalah-masalah kebudayaan termasuk di dalamnya sastra. Kemungkinan itu diperkuat oleh konsumen atau pembaca majalah tersebut adalah kelompok intelektual (ilmuwan, budayawan, peneliti, dosen, guru, mahasiswa) sehingga tidak aneh jika di dalamnya dimuat karya-karya kritik sastra yang ilmiah yang secara eksplisit menggunakan landasan teori atau metode tertentu. Kendati demikian, kenyataan membuktikan, Basis dan Semangat pun tetap didominasi oleh karya-karya kritik sastra nonilmiah (impresionistik) yang tidak menggunakan konsep atau landasan berpikir tertentu. Hal demikian dapat dipahami karena majalahmajalah itu bukanlah majalah atau jurnal ilmiah, melainkan “majalah kebudayaan umum” yang mau tidak mau harus memenuhi kriteria “mudah dicerna” oleh pembaca mana pun. Karena itu, karyakarya kritik sastra yang dipublikasikan, meskipun pokok masalah yang dibahas mungkin tidak sederhana, tetapi tetap dituntut untuk tampil sederhana, ringkas, dapat dibaca cepat, dimengerti semua kalangan, di samping karena terbatasnya ruang atau halaman. Itulah sebabnya, sangat masuk akal jika kecenderungan impresionistik mendominasi karya-karya kritik sastra yang dimuat pada majalah tersebut. Sebagai contoh, dapatlah dicermati tulisan berjudul “Membaca Poesi Terjemahan: Menyambut The Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar” (Basis, Oktober 1972) karya Ahar, “Resensi Buku” 48
(Basis, Mei 1978) karya B. Rahmanto dan Ariel Heryanto, “Pertemuan Sastrawan se-Indonesia ke-2: Suatu Arah” (Basis, Oktober 1974), “Sri Sumarah dan Bawuk” (Basis, Oktober 1976) karya St. Soelarto, dan masih banyak lagi, yang semuanya merupakan tulisan-tulisan singkat yang berisi ulasan permukaan tanpa landasan konsep atau teori tertentu. Kalau demikian halnya, dapat dikatakan bahwa sebagian besar karya-karya kritik sastra Indonesia yang dimuat di majalah Basis dan Semangat tidak jauh berbeda, bahkan cenderung sama, dengan karya-karya kritik sastra yang dimuat di surat kabar seperti Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Masa Kini, dan Pelopor. Data yang diperoleh dari Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Masa Kini, dan Pelopor seluruhnya menunjukkan kecenderungan sebagai karya kritik impresionistik. Bahkan, dalam Suara Muhammadiyah, walaupun media ini berupa majalah, karya-karya kritik yang dimuat di dalamnya pun cenderung sama dengan yang dimuat di surat kabar. Namun, hal itu dapat dipahami karena Suara Muhammadiyah terbit setiap dua minggu sekali sehingga redaksi tidak mungkin menyajikan karya-karya (tulisan) yang berbobot ilmiah. Terlebih lagi, Suara Muhammadiyah bukanlah majalah ilmiah, melainkan majalah dakwah yang dituntut harus mudah dibaca dan dipahami oleh seluruh umat. Pada umumnya, di dalam karya-karya kritik impresionistik yang dimuat di berbagai surat kabar tersebut, para penulis (kritikus) hanya memberikan tafsiran-tafsiran sekilas berdasarkan pengamatan yang sekilas pula, dan seolah mereka tidak melakukan penilaian yang intens (baik atau buruk) berdasarkan aturan atau pedoman yang ada (berlaku), tetapi cenderung hanya memuji objek yang dikritik, atau sebaliknya. Sebagai contoh, artikel Aryasatyani berjudul “Thema Chairil Anwar” (Minggu Pagi, No. 26, April 1970). Artikel pendek ini hanya mengungkapkan secara sekilas sepak terjang penyair Chairil Anwar. Dikatakannya bahwa Chairil adalah penyair Indonesia yang mempunyai watak kurang ajar sesuai watak yang dibawakan dalam sajak-sajaknya; Chairil adalah anak didik HB Jassin yang mempunyai bakat terpendam di balik kenakalannya; konon Chairil pernah datang ke kantor Pramudya, 49
membacakan sajaknya secara keras sampai mereka berdua beradu mulut; Chairil tertawa sampai kawan-kawannya ikut tertawa; dan kehadiran Chairil memang membawa kesegaran walaupun ia berwatak kurang ajar; dan seterusnya. Jadi, pendapat penulis artikel ini hanya subjektif belaka walaupun mungkin sesuai dengan pengalamannya. Karena tanpa disertai bukti-bukti dan konsepkonsep yang mendasarinya, jelas bahwa kesan impresif tampak nyata dalam artikel ini. Hal serupa terlihat pula dalam tiga tulisan karya Linus Suryadi A.G. berjudul “Chairil Anwar: Pengembara Monumental” (Kedaulatan Rakyat, 16 Mei 1978), “Interlude Gunawan Mohammad: Gejala Puisi Indonesia Modern?” (Kedaulatan Rakyat, April 1976), dan “Suluk Awang Uwung Kuntowijoyo: Pitutur Ala Puisi Jawa” (Kedaulatan Rakyat, 19 Februari 1976). Ketiga artikel ini memang secara objektif menyoroti puisi karya Chairil Anwar, Gunawan Mohammad, dan Kuntowijoyo), tetapi cara yang dilakukan Linus melihat objek (puisi) itu sangatlah subjektif karena tidak dilandasi oleh konsep tertentu di bidang ilmu tertentu. Oleh sebab itu, kesan yang dapat ditangkap oleh pembaca ialah bahwa kebenaran atas puisi berdasarkan penglihatan Linus tidak selalu benar berdasarkan penglihatan orang lain. Tulisan Bakdi Sumanto berjudul “Antara yang Mengental dan yang Mencair” (Semangat, Juni 1976) juga menunjukkan hal yang sama. Ketika membahas puisi “Pohon Murbei” dan “Date Di Café” karya Ridj. Ahem (Kemiri, Purworejo), Bakdi hanya menuliskan kesan-kesannya bahwa puisi itu padat dan baik dalam pemilihan kata-katanya. Dikemukakan pula bahwa sajak memang memerlukan ramuan kata yang padat, fungsional, dan mampu memberikan pemahaman yang tepat bagi pembacanya. Selain itu, dicontohkan juga sajak berjudul “Hari Ini” yang “tidak berhasil” seperti kedua sajak terdahulunya. Menurutnya, ada kesan ragu-ragu untuk memadatkan tulisannya sehingga sajak itu terkesan menjelaskan. Sajak yang dikemukakan penyair ada yang bersifat kental atau cair, berdasarkan esensi puitikanya. Namun, jika terlalu cair, penyair membutuhkan banyak keterangan yang akan menjelaskan sajaknya, dan yang paling penting ialah ungkapan yang bersifat esen50
sial dalam hidup yang dikemas dalam dimensi dan perspektif penyair. Seperti halnya karya-karya kritik sastra Indonesia di Yogyakarta pada kurun waktu sebelumnya (1945—1965), dominasi karyakarya kritik sastra impresionistik pada kurun waktu ini (1966— 1980) juga diperkuat oleh adanya ulasan sederhana yang dimuat di dalam rubrik “surat pembaca”, “berita”, “kronik”, “varia remaja”, “sketsa”, dan banyaknya tulisan-tulisan anonim. Kritik yang muncul dalam “surat pembaca”, misalnya, terlihat pada majalah Semangat (Desember 1968, September 1970, Juni 1971, Oktober 1971, Januari 1972, Maret 1972, Mei 1972, September 1973, Mei 1980, Juni 1980, Juni 1980, Agustus 1980), Suara Muhammadiyah (No. 3 dan 4 Thn. Ke-56; No. 2, Januari 1973, No. 12, 1976; desember 1974), Basis (Oktober 1976), dan masih banyak lagi. Demikian paparan singkat mengenai jenis kritik di dalam khazanah kritik sastra Indonesia di Yogyakarta tahun 1966 hingga 1980. Dari paparan ringkas tersebut akhirnya dapat dinyatakan bahwa karya-karya kritik sastra pada kurun waktu ini didominasi oleh karya kritik yang berjenis impresionistik. Kenyataan itu bukanlah suatu kebetulan karena karya-karya kritik itu dipublikasikan di dalam majalah-majalah umum sehingga para kritikus pun menulis kritik yang memenuhi syarat sebagai kritik umum. Sebab, kalau tidak, kritik yang mereka tulis tidak akan mencapai sasaran yang dituju karena pembaca media massa umum itu beragam baik usia, jenis kelamin, status, pendidikan, pekerjaan, dan seterusnya. Meski demikian, tanda-tanda yang semakin menunjukkan optimisme ialah bahwa pada kurun waktu 1966—1980 jumlah karya kritik yang objektif meningkat tajam. Hal itu berarti bahwa kini telah muncul kesadaran bahwa sesungguhnya kritik sastra adalah kritik terhadap karya, bukan kritik terhadap yang lain. 3.2 Orientasi Kritik Sebagaimana disebutkan di depan bahwa analisis terhadap orientasi kritik didasarkan pada hasil modifikasi konsep Abrams (1981) dan Tanaka (1976). Pemodifikasian ini harus dilakukan karena berdasarkan pendekatannya Abrams hanya membagi kritik men51
jadi empat, yaitu kritik mimetik, kritik pragmatik, kritik ekspresif, dan kritik objektif (bdk. Teeuw, 1983). Di dalam pembagian tersebut tampak jelas bahwa Abrams mengabaikan masalah penerbit/pengayom dan kritik itu sendiri; padahal data menunjukkan adanya karya-karya kritik yang menyoroti masalah penerbit/ pengayom dan menyoroti masalah kritik itu sendiri (berupa polemik). Untuk itu, konsep Abrams kemudian dipadukan dengan konsep Tanaka yang dengan sistem modelnya melihat subsistem penerbit/pengayom dan subsistem kritik sebagai bagian tak terpisahkan dari sistem (mikro dan makro) sastra secara keseluruhan. Dari pemaduan itu akhirnya ditentukan bahwa di dalam analisis orientasi kritik difokuskan pada lima hal (kritik terhadap pengarang, karya sastra, penerbit/pengayom, pembaca, dan kritik) sebagai berikut. 3.2.1 Kritik Terhadap Pengarang Data karya-karya kritik sastra Indonesia yang berhasil dihimpun dari media-media massa berbahasa Indonesia yang terbit di Yogyakarta pada kurun waktu 1966—1980 pada umumnya tidak jauh berbeda dengan data tahun sebelumnya (1945—1965), yakni menunjukkan bahwa kritik yang berorientasi pada pengarang menggambarkan adanya berbagai macam pemikiran yang bersifat mendukung maupun menyanggah, baik terhadap diri pengarang itu sendiri maupun terhadap karya pengarang yang bersangkutan. Namun, dilihat secara kuantitatif, data karya-karya kritik yang berorientasi pada pengarang relatif lebih sedikit apabila dibandingkan dengan kritik terhadap karya pengarang yang bersangkutan. Hal itu tampak bertolakbelakang apabila dibandingkan dengan periode 1945—1965, kritik yang berorientasi pada pengarang menunjukkan jumlah yang lebih banyak. Kenyataan itu menunjukkan adanya kesadaran bagi para kritikus bahwa sesungguhnya yang terpenting di dalam kritik sastra adalah kritik terhadap karya sastra. Tampak bahwa kritik memang sudah menjadi bagian dari kehidupan sastra Indonesia. Kritik sastra Indonesia mulai muncul seiring dengan lahirnya kesusastraan Indonesia modern. Dengan bangkitnya kesusastraan Indonesia modern timbullah kritik sastra 52
tertulis, lebih-lebih sejak lahirnya Pujangga Baru. Sejak itu, dari periode ke periode ditulis kritik sastra untuk para peminat sastra, baik kritik terapan maupun kritik teoretis. Karena itu, muncullah penulis-penulis yang dapat disebut kritikus meskipun tulisan kritiknya bukan merupakan karya utamanya sebab mereka lebih dikenal sebagai sastrawan, seperti Sutan Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, Armijn Pane, Asrul Sani, Subagio Sastrowardoyo, Ajip Rosidi, Budi Darma, Goenawan Mohamad, dan sebagainya. Hanya satu dua saja penulis yang profesinya khusus menulis kritik sastra, seperti H.B. Jassin, Boen Sri Oemarjati, J.U. Nasution, M.S. Hutagalung, dan Umar Junus. Tulisan-tulisan para penulis tersebut pada umumnya tersebar di berbagai majalah dan surat kabar, juga pidato di radio, prasaran diskusi, simposium, dan seminar yang tidak semuanya telah dikumpulkan ke dalam bentuk buku (Pradopo, 2002:6). Beberapa kritikus sastra Indonesia yang hadir lewat media massa yang terbit di Yogyakarta (Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Masa Kini, Basis, Semangat, Suara Muhammadiyah, dan Pelopor) dalam kurun waktu 1966—1980, di antaranya Ajip Rosidi, Dick Hartoko, A. Teeuw, W.S. Rendra, Bakdi Soemanto, Umar Kayam, Ragil Suwarna Pragolapati, Taufik Ismail, Harry Avelling, Mayon Sutrisno, Emha Ainun Najib, Y. Supardjono, Noto Suwarto R.M., B. Rahmanto, A. Hanafi M.A., Bambang Sadono S.Y, Yunus Syamsu Budie, Mustofa W. Hasjim, Aryasatyani S.A., Azis, B. Gde Winnjana, Julius Pour, Mimosa Sekarlati, Umbu Landu Paranggi, H. Dg. Muntu, Jaroth Ms., Y. Supardjana, Hella Veranza, Th. Koendjono, Ahar, Marsudi Asti, Noeng Runua M., Em Es, Tan Lelana, dan S.E. Arhana. Pemikiran dan kritik mereka, baik yang bersifat mendukung maupun menyanggah, baik terhadap diri pengarang maupun terhadap karya pengarang yang bersangkutan, menggambarkan kehidupan kritik sastra Indonesia di Yogyakarta pada kurun waktu tersebut. Berdasarkan data yang ditemukan, kritik yang berorientasi pada pengarang cenderung mengungkapkan berbagai persoalan, misalnya tentang peranan pengarang yang dinilai masih kurang terhadap perkembangan sastra Indonesia. Dalam artikel “Ekspansi Sastra ke Majalah Hiburan” (Basis, No. 23, 1973—1974), misalnya, 53
Pragolapati menyatakan bahwa ketika pengarang (Nasjah Jamin) menulis teks untuk ceramah tentang “penulisan novel”, ia tidak mencantumkan dalam kopi-kopi teks itu kapan dan di mana ceramah itu diberikan. Selain itu, Pragolapati sempat juga melontarkan pertanyaan pahit, yaitu kenapa sastrawan-sastrawan kita banyak yang seolah-olah kelihatan mandul? Hal itu disebabkan oleh tidak banyaknya kesempatan yang diberikan untuk melahirkan. Bila seorang pengarang sudah siap dengan naskahnya, tetapi tidak ada yang mau menerbitkan naskah itu. Bila memilih-milih tempat untuk diterbitkan, pengarang hanya mau naskahnya diterbitkan oleh Balai Pustaka atau Gunung Agung yang dianggap sebagai penerbit yang pantas bagi hasil kesusastraan. Untuk itu, Pragolapati memberikan saran kepada penulis yang tulisannya sering ditolak penerbit agar sedikit berendah hati dan rela membiarkan naskah-naskahnya lahir di majalah-majalah populer atau dalam bentuk buku saku dengan cover yang komersial dan serem. Pendapat tersebut kemudian dipertegas Budiman Hartoyo dengan memberikan solusi bahwa untuk mengatasi keluhan sastrawan dengan naskah bulukannya diharapkan sastrawan mau membanjiri majalah-majalah populer dengan hasil-hasil karyanya, menerbitkan buku sejenis paper back untuk mengatasi banjirnya ceritacerita murahan dan buku-buku hiburan, mau mengusahakan penerbitan buku saku bulanan, atau setengah bulanan, seperti yang pernah dijalankan oleh orang-orang Medan pada tahun tiga puluhan yang lalu dengan penerbitan “Roman Picisan”, seperti Lukisan Pujangga, Lukisan Suasana, dan lain-lain. Penerbitan mini berkala jenis paper back ini dapat pula dijalankan dengan menerima langganan sebagai tanda terbitnya suatu majalah. Selanjutnya, Pragolapati menambahkan bahwa sejak tahun 1971 sudah mulai terasa adanya gejala-gejala yang kuat ekspansi karya sastra ke majalah-majalah hiburan. Beberapa sastrawan mempublikasi cerita-cerita yang cukup bermutu lewat media-media yang berbau populer, seperti karya-karya Arswendo Atmowiloto, Putu Wijaya, Jasso Winarto, Abdul Madi W.M. sering muncul dalam majalah musik pop Aktuil. Karya-karya Trisno Sumarjo, Nyoman Rasta Sindhu, Faisal Baraas, Oka Sunandhy, dan Putu Arya 54
Tirthawirya banyak muncul di majalah-majalah hiburan seperti Violeta, Flamboyan, Varia, atau Fadli Rasyid dan Hajid Hamzah di majalah Selecta. Namun, ironisnya, jika mencoba mengerling cover majalah-majalah itu dengan teknik cetak dan warna-warna yang menyala bertebaran di mana-mana cukup lux dan mahal, tidak urung seringkali menggigit jari jika melihat format, cover, kertas, dan teknik cetakan majalah sastra satu-satunya, Horison. Dibandingkan dengan majalah anak-anak remaja seperti Semangat dan Aktuil saja, Horison masih kalah dari segi oplag, harga eceran, dan popularitasnya di kalangan pembaca. Serba minoritas, sempit, terbatas, payah, dan mengharukan. Para konsumen majalah lebih tertarik pada cerita-cerita murah bikinan Hino Minggo, Abdullah Harahap, Maulana Syamsuri, Yati Maryati Wiharja, Mien Yotanya, atau Harjana Hp ketimbang cerita-cerita Kuntowijoyo, Putu Wijaya, Arswendo, Gerson Poyk, Muhammad Fudoli, Umar Kayam, Darmanto Yt., dll. Sementara itu, menyikapi dominasi pengarang-pengarang picisan dalam majalah-majalah populer dan wabah cerita-cerita brengsek yang pornografis, sebuah group sastra anak-anak muda di Yogyakarta yang tergabung dalam Persada (Studi Klub Penyair dan Sastrawan Muda) suatu kali pernah mendiskusikannya secara khusus, bertempat di Margoyasan pada tanggal 23 Januari 1972. Hasil diskusi menyimpulkan bahwa majalah-majalah hiburan harus dibanjiri cerita-cerita bermutu yang bernilai sastra dan pengarang tidak perlu merasa malu dan jatuh harga dirinya apabila hasil karyanya dimuat berulangkali di majalah hiburan. Dengan kata lain, ekspansi sastra ke majalah-majalah populer dan media-media hiburan lain terus dilakukan secara intensif dan besar-besaran walaupun hal itu mengundang pro-kontra di kalangan sastrawan karena kenyataan policy majalah-majalah populer tidak gampang diterobos, selera jurnalis-jurnalis yang mengasuh majalah itu masih sulit diubah, sementara apresiasi sastra pada mereka masih sangat buruk (Basis, No. 23, 1973—1974). Selanjutnya, Ajip Rosidi dalam tulisan “Perkembangan Puisi dan Prosa Dewasa Ini” (Suara Muhammadiyah, No. 20, Thn. ke-55, Oktober II, 1975, hal. 20—21) sempat memertanyakan seberapa 55
jauh peranan para penyair dan pengarang muslim dalam perkembangan kesusastraan Indonesia. Walaupun diakuinya banyak penyair dan pengarang muslim yang menulis dalam bahasa Indonesia, tetapi peranan mereka kurang sekali mendapat perhatian dari para penelaah sastra Indonesia. Tiga orang penyair Islam sebelum perang yang tidak kurang nilainya dari J.E. Tatengkeng, yaitu Anwar Rasyid, Rivai Ali, dan Or. Mandank, hampir-hampir tidak pernah disebut orang. Padahal kumpulan sajak yang pernah mereka umumkan, yaitu “Senandung Hidup” karya Anwar Rasyid (dengan nama samaran Samadi), “Kata Hati” karya Rifai Ali, dan “Sebabnya Aku Terdiam” oleh Or. Mandank, seharusnya mendapat perhatian yang lebih wajar dari para penelaah sastra Indonesia. Selain itu, Chairil Anwar meskipun ia banyak menulis sajak-sajak ketuhanan tetapi ia lebih dikenal karena proklamasinya “Aku ni binatang jalang”, demikian juga Asrul Sani lebih terkenal sebagai humanis daripada sebagai Muslim melalui sajak-sajaknya. Dalam dunia prosa, H. Dg. Muntu yang menulis “Pembalasan” dan “Anak Durhaka” hampir tidak pernah disebut orang. Padahal sebagai pengarang roman, ia merupakan salah seorang yang penting pada masa sebelum perang. Beruntunglah pada masa sekarang (1960-an) ada pengarang dan penyair muda seperti A.A. Navis, Mohammad Diponegoro, Taufik Ismail, dan lain-lain yang sadar bahwa ke-Islaman-nya itu dapat menjadi sumber yang secara positif dapat mendorong dan menyumbangkan bantuan kepada kesastraan Indonesia. Berkaitan dengan hal di atas, Pragolapati dalam artikelnya “Kaderisasi Pengarang Kurang” (Masa Kini, No. 43, Th XV, 16 Juni 1979) mengemukakan bahwa mulai periode 1964—1970 rata-rata pengarang muda di Yogyakarta mengelompok dalam Studiklub Sastra Kristen, Studigrup Minggu, Sabana, Mantika, Persada, dan Sanggar Bambu. Ketika itu honorarium karangan belum ada, jika ada di satu-dua media, besarnya pun tidak seberapa. Mereka (pengarang) berjejal-jejal di jalur seni sastra: puisi, esai, cerpen, kritik, novella, dan amat sedikit yang masuk jalur pers-jurnalistik. Pada tahun 1970—1979 honorarium karangan sudah lumayan tinggi sehingga para pengarang mulai mendapat angin. Namun, anehnya anakanak muda justru berjejal-jejal pada jalur pers-jurnalistik. Tahun 56
1976—1979 suasana dan iklim di Yogyakarta terasa lain. Kompetisi atau pertarungan antarpengarang muda mengendor, berkumpul untuk diskusi dan sarasehan terus berkurang sehingga kontak kreasi sulit. Mereka (pengarang) hanya memburu uang demi menghidupi keluarganya sehingga dapat dikatakan tahun 1979 tidak lagi membutuhkan Umbu Landu Parangggi, tidak perlu menghidupkan kembali Studiklub Persada. Kader-kader pengarang hanya membutuhkan rangsangan dan iklim suasana. Butuh sistem pembinaan yang ikhlas, penuh perhatian seksama, sehingga yang terlahir bukan pengarang-pengarang alumnus Studiklub melainkan pengarangpengarang otonom seperti Ircham Machfudz Arry Nugroho, S.B. Tono, Ani Inggiriani, dan lain-lain. Selanjutnya, pada tahun 1979, kaderisasi pengarang kelihatan sepi dan lengang, kompetisi berkurang, pergaulan pun merenggang, dan pengarang membutuhkan kemandirian serta kreativitas berkarya. Namun demikian, lebih jauh Pragolapati mengemukakan bahwa hasil pembibitan pengarang Yogyakarta pada periode 1969—1971 telah mampu menghasilkan dua “kakap”, yaitu Emha Ainun Nadjib dan Linus Suryadi. Pembibitan 1971—1974 menghasilkan dua “lumba-lumba”, yaitu Yudhistira Ardhi Nugraha dan Korrie Layun Rampan. Selanjutnya, pada tahun 1974—1979 jalur sastra miskin kader-kader yang baik. Memang muncul beberapa lusin nama tetapi karya-karya mereka sering tidak menarik. Pada periode ini Yogyakarta memiliki pengarang-pengarang muda usia 25 tahun ke atas dengan karya-karya mogol bercampur gaul dan bahkan konyol. Akibatnya banyak redaksi mendongkol melihat ulah tulisan para pengarang puber saat itu. Selanjutnya rubrik remaja dan sastra-budaya dihapuskan karena krisis naskah dan pengasuhnya full-timer jadi wartawan. Masih berkaitan dengan persoalan di atas, Emha Ainun Nadjib dalam “Hukum Pelunturan bagi ‘Pemasyarakatan’ Sastra” (Basis, XXXVIII, Th. 1979, hlm. 375) mengemukakan gagasan bahwa seorang sastrawan yang berusaha ‘memenuhi selera masyarakat’ demi penjualan karyanya, paling sedikit terlibat dalam suatu hukum pelunturan. Bahwa pada saat karya sastra berusaha dimaksudkan buat khalayak ramai, bahkan pada saat ia disebarkan, ia selalu 57
mengalami penurunan-penurunan kualitas. Yang pertama, pelunturan itu terjadi pada karya itu sendiri, dan yang kedua, bisa juga terjadi pada pencapaian dialog dengan masyarakat luas. Jadi, jelasnya karya-karya sastra yang bisa hidup subur dalam masyarakat umum selalu hanya pada tingkat tertentu atau yang pada kenyataannya telah mengalami kompromi atau pelunturan. Berdasarkan hal ini, pikiran yang mengatakan bahwa karya sastra bisa dibaca oleh seluruh lapisan masyrakat, harus dipertanyakan kembali. Setidaknya agar para sastrawan tidak memubadzirkan energi buat suatu mimpi yang seakan menggiurkan. Juga agar sastrawan tidak merasa ‘nestapa berkepanjangan’ bahwa sastra terpencil. Selanjutnya, Noto Suwarto dalam artikel “Pengarang Indonesia sedang ‘Belajar’” (Minggu Pagi, No. 14, 6 Juli 1980, Thn. ke-33, hlm. 3) mengemukakan bahwa pengarang Indonesia banyak dikecam pengarang asing John Steinbeck, East of Eden, dan Tortilla Flat sebagai “kurang” banyak melihat dunia, kurang berani meninggalkan tanah kelahiran, kurang bersinggungan dengan jagad. Kekurangan seperti itu membuat pengarang seperti “katak dalam terowongan”. Kecaman seperti itu pernah juga dilontarkan oleh Idrus dan H.B. Jassin dalam banyak tulisannya, meski tidak secara langsung menyebut ‘kekurangan’ pengarang Indonesia itu. Bahkan Budi Darma (waktu itu baru saja pulang dari Amerika setelah menyandang gelar terhormat) dan Putu Wijaya juga mengakui bahwa pengarang Indonesia ‘sedang belajar menulis atau mengarang’. Apa yang menyebabkan hal itu? Faktor ekonomilah yang menyebabkan para pengarang harus mencari uang secepatnya untuk bisa survive sehingga mereka kurang memperhatikan kualitas karya. Padahal karya ‘bermutu’ harus digarap secara serius dan memakan waktu lama. Itu pun belum tentu diterbitkan atau menghasilkan uang cukup banyak. Ia pun mengakui bahwa selama ini belum banyak pengarang Indonesia yang mencurahkan dirinya secara total kepada profesi kepengarangannya. Senada dengan hal itu, Mohammad Diponegoro dalam tulisannya “Seribu Satu Malam” (Suara Muhammadiyah No.13, Thn. ke60, Juli 1980) mengemukakan harapannya kepada para pengarang yang sering mengirim naskah cerpen ke majalah Suara Muhamma58
diyah; hendaknya mereka banyak belajar dari cerita-cerita yang baik, antara lain, cerita Seribu Satu Malam. Sebab, cerita itu mengandung ketegangan dan suspense yang bertubi-tubi sehingga pembaca selalu tertarik. Kemenarikan sebuah cerita sudah harus terbangun sejak paragraf pertama, sebab kalau tidak, pembaca akan malas membacanya. Sementara itu, Ragil Suwarno Pragolapati dalam tulisan “Wabah Sayembara Mengarang” (Masa Kini No. 235, Thn. XIII, 12 Februari 1979) mengemukakan bahwa pada tahun 1950-1960-an sayembara mengarang sudah menjamur, dengan pelopornya DKJ (BMKN), tetapi pada 1960—70-an mengendor. Di satu sisi, sayembara itu bisa menambah kesejahteraan pengarang karena hadiahnya lebih besar jika dibanding honor karangan yang dimuat di media. Akan tetapi, di sisi lain, sayembara juga menimbulkan kebosanan sebab karya yang dilombakan terkesan dipaksa-paksa, dibuat terburuburu sehingga kualitasnya menjadi kurang baik. Yang tidak menang pun menimbulkan kebosanan. Ternyata, sayembara seperti itu tidak serta-merta menggairahkan aktivitas dan kreativitas dalam mengarang karena mengarang sebenarnya “panggilan” di samping harus selalu aktif, kreatif, dan kontinyu berlatih. Di pihak lain, berita akan dihidupkannya lagi pemberian hadiah sastra bagi para pengarang dapat menambah gairah baru untuk menulis karya sastra yang lebih baik. Selain itu, Yunus Syamsu Budhie dalam “Bu Guru Menyarankan agar Kami Membaca “Horison” (Masa Kini, No. 234, Thn. XIII, 10 Februari 1979) mengajak kita (pembaca) untuk membaca majalah sastra Horison. Ia mengemukakan kekecewaannya juga karena majalah itu penerbitannya sangat terbatas sehingga tidak sampai ke masyarakat. Bagaimana bisa membaca Horison kalau majalah itu tidak sampai ke tangan? Karena itu, diharapkan para pengarang Indonesia tidak hanya menulis sastra di Horison, tetapi juga di media masa yang luas jangkauannya seperti koran, harian, atau mingguan. Selain itu, kritik yang berorientasi pada pengarang yang mengungkapkan persoalan tentang dunia kepengarangan saat itu yang ditengarai masih “meragukan”, di antaranya ditulis oleh Bakdi 59
Soemanto dalam “Pengarang sebagai Mata Pencaharian, Mungkinkah itu di Indonesia?” (Semangat, No. 7, Maret 1972, hlm. 8— 9). Bakdi dalam artikel itu mengupas secara panjang lebar tentang kondisi pengarang saat itu yang dianggapnya masih belum menjanjikan untuk menopang kelangsungan hidup pengarang. Ia mengakui bahwa tidak setiap pengarang dapat memperoleh honor yang besar dan tidak setiap kali orang dapat mengarang karena mengarang perlu ‘tenaga’ lebih dibanding pekerjaan lain. Oleh karena itu, pernyataan bahwa mengarang sebagai mata pencaharian mungkinkah itu di Indonesia? Tidak dapat dengan konkret dijawab ya dan tidaknya. Namun, ia pun dapat mengemukakan keoptimisannya yang didasari pengalaman-pengalaman sendiri dan diramu dengan pengalaman-pengalaman orang lain, bahwa di Indonesia pengarang sudah bisa hidup dari honorarium karangan-karangannya, mengarang sudah bisa dijadikan mata pencaharian, dan profesi ini masih terbuka luas buat cari nafkah. Ia mencontohkan penulis (pengarang) cerita silat S.H. Mintardja Api Di Bukit Menoreh memperoleh ‘gaji’ seratus ribu setiap minggu dari hasil karyanya. Ajip Rosidi juga hidup dari buku-bukunya, demikian pula H.B. Jassin dan Motinggo Busje hidup dari novel-novelnya, sedangkan penyair dan dramawan terkemuka, W.S. Rendra hidup dari bukunya Empat Kumpulan Sajak karena buku itu menghasilkan sebuah rumah di Sawojajar 28, Yogyakarta. Selanjutnya, B. Gde Winnjana dalam tulisannya “Pengarang dan Penulis Sekarang” (Semangat, No. 9, Mei 1972, hlm. 8—10) memberikan tanggapan atas tulisan Bakdi di atas. Dikatakannya bahwa kalau pertanyaan itu dikemukakan dua belas atau empat belas tahun yang lalu (1950—1960), memang akan ada keraguan dalam menjawabnya. Tidak ada penulis atau pengarang yang berani mengambil risiko untuk menjadi kere dan kelaparan. Kebanyakan pengarang pada waktu itu adalah pegawai, artinya, mereka mempunyai penghasilan tetap dari jabatannya. Menulis hanya merupakan pekerjaan sambilan, bukan menjadi sumber penghasilan pokok. Namun, keadaan mulai menunjukkan perubahan ketika pada tahun 1962 banyak pengarang yang berani terjun dalam dunianya, seperti W.S. Rendra. Ia tidak ingin melamar pekerjaan menjadi pegawai tetapi 60
terus giat menulis puisi dan mementaskan drama. Ia betul-betul hidup dari kesenimannya, begitu juga Motinggo Boesje, Ajip Rosidi, Gerson Poyk, dan Kirdjomuljo. Sedangkan pengarang lain, seperti Sapardi Djoko Damono, Budi Darma, Bambang Soelarto, Soekarno Hadian, Subagio Sastrowardojo, Taufik Ismail, Idrus Ismail, walaupun kadang-kadang masih menulis, mereka tetap setia sebagai white collar. Beberapa di antara mereka benar-benar sudah punya nama, tetapi rupanya tetap rasional, tidak berani menjadi kere. Kondisi seperti di atas oleh Ajip Rosidi dalam artikel Pragolapati yang berjudul “Ekspansi Sastra ke Majalah Hiburan” (Basis, No. 23, 1973—1974) dipertegas lagi dengan melontarkan keluhankeluhan pahit tentang kondisi kepengarangan saat itu. Ia melihat dari kalangan yang lebih luas, keadaan umum pengarang Indonesia, bahwa para pengarang di Indonesia belum bisa hidup layak dan baik dari karya-karyanya. Pendapat itu didasari dari hasil pengamatan dan pengalamannya selama duduk di kursi pimpinan penerbit Pustaka Jaya, Jakarta. Hal itu akan berbeda jauh jika dibandingkan dengan nasib baik Singgih Hadi Mintarja, yang bisa hidup kaya dan hidup mewah karena cerita-cerita “Silat Jawa”-nya dimuat bersambung di beberapa koran setiap bulan dengan jilid-jilid yang panjang dan beberapa di antaranya telah difilmkan, dan Yohny Hidayat Ar. yang berpenghasilan bersih Rp50.000,00 sebulan dari (hanya sekadar) gambar-gambar kartunnya. Selain itu, kritik terhadap pengarang juga mempersoalkan perkembangan sejarah kesusastraan Indonesia yang muncul pada kurun waktu tersebut (terutama perkembangan seni drama), di antaranya tulisan Rendra yang berjudul “Menyadari Kedudukan Drama Modern di Indonesia” (Basis, Thn. ke-17, 1967—1968). Dalam esai itu W.S. Rendra secara panjang lebar mengemukakan kondisi perkembangan seni drama saat itu yang dinilai masih goyah. Dikatakannya bahwa seorang dramawan di Indonesia selalu mengalami kesulitan dalam mengembangkan sebuah rombongan sandiwara yang kompak dan stabil karena anggota-anggota rombongannya yang amatir itu tidak bisa memberi dedikasi seorang profesional. Demikian pula dalam pemilihan pemain ia selalu mengadakan 61
kompromi dengan kenyataan bahwa ia hanya bisa memilih di antara para amatir karena pemain profesional yang sesungguhnya belum ada. Selain itu rombongan sandiwara modern yang profesional pun belum ada. Semuanya itu menggiring kepada nasib buruk keadaan drama modern saat itu. Lebih dari itu, ada satu kenyataan pahit lagi bahwa para dramawan yang bersungguh-sungguh itu sendiri kurang pengalamannya. Maklumlah, sebab lapangannya itu memang baru adanya. Drama yang dialognya ditulis dengan naskah itu tidak asli muncul dari kebudayaan Indonesia. Ia muncul sebagai pengaruh kebudayaan Barat dan tumbuh sebagai tradisi baru yang masih belum teguh akarnya dalam kebudayaan Indonesia. Ditegaskan lagi oleh Rendra bahwa keadaan seni drama modern di Indonesia saat itu melempem. Rata-rata dramawan-damawan Indonesia masih kurang berpengalaman dengan bentuk dan ide drama modern. Walau semangat mereka bergelora dan hati mereka mantap untuk mengabdi pada seni drama modern, tetapi hasil pekerjaan mereka kurang, kesegaran ilham kurang, mutunya setengahsetengah. Jadi, pertama-tama yang harus disadari ialah bahwa kedudukan drama modern di Indonesia saat itu masih goyah. Ia adalah hasil pengaruh kebudayaan asing, bukan kesenian rakyat. Rakyat tidak mengerti makna yang sesungguhnya dari seni drama modern dalam hidupnya. Rakyat menganggap seni drama modern sebagai sebuah kesenian yang asing. Sebagian besar rakyat Indonesia hidup dalam kebudyaaan lisan. Maka, dalam kebudayaan ini, bentuk seni drama yang hidup subur ialah seni drama yang dialognya diimprovisasikan. Dialog yang terlalu dalam tidak diperlukan, apalagi yang bersifat diskusi. Dialog hanya dijadikan sampiran untuk cerita. Selain itu, harus bersifat ringan atau menghibur. Di samping itu, Bakdi Soemanto dalam artikel “Hamlet” dalam rubrik “Varia Budaya” (Basis, Thn. ke-17, 1967-1968, hlm. 187— 188) memberikan kritikan kepada sutradara Jasso Winarto atas pementasan drama tragedi lima babak “Hamlet” karya William Shakespeare terjemahan Trisno Soemardjo yang dilakukan oleh Studi Arena Katolik (Straka) bersama dengan Persatuan Karyawan Pengarang Indonesia. Pementasan itu dinilai belum banyak membawa ke62
majuan dan tidak mengungkapkan misteri dari problem-problem hidup seperti yang tersirat dalam naskah itu. Bermain di atas pentas bukanlah sekedar berakting melulu. Artinya, bukan hanya menciptakan gerak-gerak yang indikatif semata, gerak-gerak yang prosais, naratif, dan diskriptif saja, tetapi harus disertai pengalaman rohani si pencipta, yaitu penghayatan kepada situasi sehingga melahirkan gerakan yang ekspresif, orisinal, puitis, dan penuh. Sebab, mau tidak mau, seni pentas, seperti halnya kesenian lainnya, selalu menuntut berkomunikasi secara rohani. Komunikasi rohani itu tidak mungkin dicapai kalau pencipta tidak mengerahkan totalitas dirinya dengan penuh untuk berdialog melalui media masing-masing. Jelasnya, sebagai sutradara Jasso belum berhasil. Kekuatan Jasso untuk menggiring seluruh pemain kepada interpretasinya tidak tampak sehingga pengertian drama menjadi kabur sama sekali dan pemain seakan bermain sendiri-sendiri. Mendukung pernyataan di atas, Emha Ainun Nadjib dalam artikelnya “Perlawanan Teater Jogja terhadap Tantangannya” (Masa Kini, No. 282, 9 April 1979) juga memberikan kritikan terhadap para pengarang atau pekerja teater Jogja. Menurutnya, para pekerja teater Jogja masih kurang kreatif. Mereka masih berpikir amatir, masih selalu meniru (tidak berusaha mencari atau menulis karya sendiri), masih kurang adanya metode pendidikan yang baik dalam latihan-latihan, lebih-lebih kreativitas sutradara sering terkalahkan oleh pemain. Jika ingin menjadi baik, tuntutlah pada diri (individu) sendiri, dalam arti mereka (kita) harus berkaca pada diri sendiri untuk mau melihat kekurangan dan berusaha memperbaikinya. Data lain menunjukkan bahwa kritik terhadap pengarang juga mempersoalkan masalah moral di tengah-tengah kehidupan para seniman. Hal itu tampak dalam tulisan Emha Ainun Nadjib yang berjudul “Proporsi Moral dalam Dunia Seni dan Seniman” (Basis, XXVII-6, Maret 1978, hlm. 185). Dalam esainya itu Emha mengemukakan pendapatnya bahwa tidak sedikit seniman muda kita yang menerjemahkan hak-hak demokrasi atau iklim kebebasan sebagai hak untuk merdeka tanpa batas. Di dalam hidup bermasyarakat atau disiplin bernegara mungkin hal ini tidak menonjol. 63
Namun, kalangan seniman yang merasa memiliki kebebasan lebih dari warga masyarakat lainnya secara “kodrati”, secara sadar atau tak sadar, menginterpretasikan paham itu menjadi keyakinan bahwa dunia kesenian adalah satu otonomi wujud yang mutlak. Setidaktidaknya ada pandangan bahwa kesenian tidak boleh disentuhsentuhkan dengan disiplin lain yang seolah-olah tidak ada relevansinya. Jelasnya, kesenian adalah sebuah dunia angker yang seolaholah tidak ada relevansinya dengan dimensi-dimensi lain, misalnya dimensi moralitas. Emha tidak yakin dengan keadaan yang menyedihkan di tengah-tengah para seniman kita karena banyak cerpen, novel, dan puisi yang mengandung pesan-pesan moral. Selain itu, kehidupan sehari-hari para seniman umumnya masih tetap bermoral. Namun, tandasnya, paling tidak ada gejala eksklusivisme kesenian yang membuat ia seolah-olah asing sama sekali dari dimensi moralitas. Emha menduga bahwa adanya sinisme dan sikap a-priori banyak seniman terhadap moralitas itu disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, fanatisme terhadap satu dimensi (saja) dari kehidupan. Kedua, moralitas diindikasikan dengan agama dan pola tradisionalisme, sedang kedua unsur itu paling mengandung disiplin dan keharusan untuk patuh. Otomatis ini ditolak oleh setiap oknum pseudo-modern, secara implisit maupun eksplisit. Apalagi yang merasa paling harus bebas, seperti seniman. Kemudian ada sebab yang lebih mendasar, yakni ketiga, bahwa acap kali identitas kesenimanan secara tidak sadar diletakkan di atas identitas sebagai manusia. Kesenimanan muncul sebagai satu prioritas di tengah “manusia-manusia biasa”. Akbatnya, apabila kesenian baru mampu mencapai nilai-nilai yang sifatnya eksklusif atau paling tidak jika ada nilai-nilai eksklusif tertentu yang dikandung oleh kesenian, boleh jadi ia diletakkan di atas nilai-nilai kompleks dari manusia, mungkin secara tidak sadar. Umpamanya kalau kesenian tidak boleh dibenturkan dengan kriteria-kriteria moral, senimannya pun seolah-olah memiliki hak yang sama. Lebih jauh Emha mengemukakan bahwa banyak “seniman” yang menunjukkan gejala kurang adanya kesadaran yang aktif terhadap dimensi moralitas sebagai manifestasi dari kesadaran, kebutuhan, dan integritasnya terhadap semua dimensi hidup. Apalagi jika berbicara tetang tema bahwa 64
kesenian notabene sangat dibutuhkan sebagai tawaran alternatif dan sekaligus motor dari proses pembudayaan suatu masyarakat, maka dimensi baik-buruk yang merupakan esensi moralitas seyogianya terkandung dan terpercik secara positif oleh hasil-hasil kesenian. Selain mempersoalkan masalah moral di tengah-tengah kehidupan para seniman, kritik terhadap kepengarangan juga mempersoalkan masalah peta wilayah pengarang. Mochtar Lubis dalam esainya yang berjudul “Pengarang dan Wilayahnya” (Basis, XXX-6, Maret 1980, hlm. 183—189) mengemukakan bahwa profesi pengarang tidak terbatas pada satu atau dua bidang saja dari suatu bidang kehidupan. Sebab, katanya, seluruh kehidupan adalah wilayah pengarang, apakah dia pengarang puisi ataupun prosa. Wilayah pengarang seakan-akan tidak ada batasnya. Ia luas seluas jagat dan mencakup dunia nyata, ruang dalam, dan ruang luar manusia. Alangkah luas wilayah yang terhampar untuk dijelajahi oleh pengarang. Semuanya terbuka bagi pengarang. Tidak ada sesuatu pun yang menghalangi pengarang untuk berkelana di berbagai wilayah atau melompat dari sebuah ruang waktu ke ruang waktu yang lain. Akan tetapi, wilayah luas yang amat menarik ini penuh pula dengan ranjau-ranjau yang perlu diperhatikan oleh pengarang dengan cermat. Untuk dapat berkelana di dalamnya dan kemudian keluar kembali lalu menghasilkan sebuah ciptaan kreatif yang mengandung makna tentang kehadiran manusia dalam kehidupan ini, pengarang harus mempelajari, mengenal, dan pandai membaca serta mempergunakan peta wilayah dan ruang waktu yang hendak dijelajahinya. Pada akhirnya, pengalaman hidup dan naluri yang dikembangkannya akan menentukan sehingga ke mana pun dia sebagai seorang pengarang kreatif akan berhasil menampilkan hasil jelajahannya sehingga ia dapat memberi arti bagi manusia lain yang membacanya. Selanjutnya, Mochtar Lubis mengemukakan gagasannya bahwa ada lima hal yang seharusnya dimiliki oleh seorang pengarang yang benar-benar kreatif. Pertama, pengarang harus dapat mencari makna dan perspektif dalam semua hal sehingga dengan keyakinannya yang besar dapat menyambut tantangan-tantangan masa depan dengan kesadaran bahwa ia akan dapat mengem65
bangkan kekuatan, keberanian, dan kesanggupan untuk merebut hari depan yang lebih baik bagi masyarakat. Kedua, pengarang dalam menjelajah warisan kebudayaan bangsanya, dalam usahanya mencari makna bagi hidup manusia dan bangsanya untuk hari ini dan untuk masa depan, harus tercerminkan dalam tulisantulisannya bukan saja sejarah bangsanya tetapi juga kehidupan jasmaniah dan batin manusia-manusia anggota masyarakatnya, sehingga hasil karya kreatifnya itu menjadi warisan kebudayaan bangsa untuk generasi-generasi mendatang. Ketiga, pengarang harus ikut berperan dan bertanggung jawab dalam perjuangan manusia membina kehidupan yang lebih manusiawi. Ia juga harus ikut bertanggung jawab dalam memberikan wajah manusiawi— pada kekuasaan, teknologi, hubungan antara berbagai masyarakat, dan hubungan antara manusia—antara manusia dengan masyarakat dan antara manusia dengan Negara. Keempat, pengarang harus ikut membawa pesan harapan dan bukan keputusasaan. Jangan sampai dalam proses perubahan yang terjadi di dunia, pengarang tidak ikut mengubahnya, baik sebagai bangsa maupun sebagai anak manusia perorangan. Pengarang memikul tanggung jawab yang besar agar dalam proses perubahan demikian manusia Indonesia ikut berperan, memberi sumbangan pikiran, pengertian, serta kesadaran arah gerak perubahan itu pada masyarakatnya. Kelima, karya kreatif yang berhasil, pada akhirnya, seperti semua karya seni yang berhasil di berbagai bidang seni yang lain (seni lukis, musik, tari, teater, film, dan sebagainya), merupakan landasan ingatan satu bangsa dari zaman ke zaman, yang merupakan kesinambungan nilai dan identitas serta pengalaman dan kehidupan satu bangsa. Tanpa ini, satu bangsa akan kehilangan akarnya, kebudayaannya akan goyah, akan kehilangan karyanya ke dalam sejarah dan masa lampaunya sendiri, dan sumber-sumber inspirasi dan inspirasinya sendiri. Karenanya, pengarang sangat perlu senantiasa mempertajam kepekaan pada nasib anak manusia terutama mereka yang terinjak dan diperkosa, mereka yang mengerang di bawah telapak kaki kezaliman, dan mereka yang kesepian dalam kegelapan serta keterbelakangan. Kritik terhadap pengarang ternyata ada yang berjenis kritik informatif tentang pengarang, yaitu yang cenderung menggarap 66
pengarang secara individual. Kritik jenis ini dikemukakan oleh Bakdi Soemanto dalam artikelnya yang berjudul “Mira Sato dan Rahasia-Rahasia Hidupnya” (Semangat, No. 8, April 1976). Dalam artikel ini Bakdi mengemukakan secara panjang lebar tentang riwayat hidupnya, kelahirannya, dan profesi kepengarangannya. Dikatakannya bahwa kumpulan sajaknya yang berjudul “Mati Mati Mati” berisi sembilan belas sajak, enam di antaranya berhasil mengungkap pertemuan-pertemuan Mira dengan rahasia hidupnya. Mira mengungkapkannya dengan sangat rendah hati dan tidak dibuatbuat seperti yang terdapat dalam sajak “Pagi Itu”. Secara umum, sajak Mira memberikan kesan ‘tepa’, yaitu bertoleransi dengan sesama dan keadaan yang ada di sekitar kita. Sajak-sajak Mira sama dengan sajak Tagore yang selalu membuat kita berpikir tentang kebijaksanaan. Demikianlah, antara lain, gambaran ringkas mengenai kritik terhadap pengarang yang muncul dalam khazanah kritik sastra Indonesia di Yogyakarta pada kurun waktu 1966—1980. Sebenarnya karya-karya kritik terhadap pengarang masih cukup banyak, tetapi jika dipaparkan orientasi kritiknya tidak jauh berbeda dengan yang dipaparkan di atas. 3.2.2 Kritik Terhadap Karya Sastra Hasil pengamatan menunjukkan bahwa karya-karya kritik sastra Indonesia yang dimuat di berbagai media massa cetak di Yogyakarta (Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Masa Kini, Basis, Semangat, Suara Muhammadiyah, dan Pelopor) pada kurun waktu 1966 hingga 1980 yang menyoroti karya sastra cukup variatif; dalam arti objek sorotannya mencakupi berbagai jenis (genre) seperti puisi, cerpen, novel, dan teater atau drama. Kritik yang mempersoalkan karya sastra tersebut juga tidak hanya memfokuskan pembacaraannya khusus pada karya sastra, tetapi juga menyinggung masalah-masalah yang melingkunginya (pengarang, penerbit, pembaca, dan masyarakat). Kritik terhadap puisi, misalnya, terlihat pada artikel “Vitalitas Puisi dan Suasana Religius” karangan Abdul Hadi W.M. (Suara Muhammadiyah, No. 9, Thn. 47, Mei I, 1967). Dalam artikel ini Abdul 67
Hadi melontarkan keluhan adanya kritik yang ditujukan kepada para penyair tentang persoalan perbedaan puisi-puisi autentik dan non-authentik. Bahkan kritik yang sifatnya dekaden telah dilancarkan justru oleh kalangan yang tidak banyak dedikasinya kepada puisi atau katakanlah tidak ada minat sama sekali kepada puisi dan bahkan akan mengisolasi para penyair kita pada sudutnya yang paling terpencil. Sasaran utamanya adalah kalimat-kalimat dalam puisi religius yang dianggapnya aneh sehingga timbul prasangka yang kadang-kadang mendahului logika penilaian terhadap puisi yang sebenarnya memiliki vitalitas dan intensitas, seperti puisi Chairil Anwar yang mengemukakan masalah “Sorga” dan puisi Subagio Sastrowardojo yang berbunyi “Tuhan adalah warganegara yang paling modern”. Selain menyampaikan kritik, Abdul Hadi menyampaikan harapan kepada pembaca (kritikus) agar mengadakan interpretasi terhadap ungkapan-ungkapan puisi yang bersifat konotatif (banyak tafsiran) dengan logika rasional atau menurut istilah Taufik Ismail, jaja praktikum (pandanglah puisi sebagai suatu kesatuan yang utuh). Selanjutnya, Budi Darma dalam esainya yang berjudul “Sajak” (Basis, No. 18, 1968—1969, hlm. 213—220) mencoba mempertanyakan tentang membanjirnya sajak-sajak yang masuk memenuhi setiap penerbitan budaya umumnya atau sastra khususnya. Sedangkan cerpen dan drama kering, apalagi esai, artikel, atau analisis kebudayaan. Menurut pendapat beberapa penyair asing (Dryden, Alexander Pope, John Milton, T.S. Eliot) setiap orang pada pokoknya dapat membuat syair atau bersanjak. Namun, tidak semua orang bisa menjadi penyair yang baik. Hal itu terletak pada bakat orang itu sendiri. Mengapa setiap orang bisa bersanjak? Mengapa tidak setiap orang bisa menciptakan yang lainnya (cerpen, novel, drama, dan esai)? Budi mengemukakannya bahwa dasar dari perbedaan itu terletak pada perbedaan pokok antara sajak dengan yang lainnya. Apalagi sekarang, orang sudah bebas dari segi ikatan bentuk, tidak lagi ambil pusing terhadap apa pun juga, pokoknya yang ada padanya dicurahkan sebebas-bebasnya. Bukan kebebasan bentuk saja yang diperoleh manusia zaman sekarang, melainkan kebebasan segalanya. Banyak aliran yang memberi kebebasan68
kebebasan lainnya ini. Di samping itu, ukuran sajak relatif lebih pendek. Karya lain tidak mungkin hanya mengambil tempat beberapa baris saja sehingga masuk akal jika masa penciptaan sajak, masa menulis sajak, lebih pendek daripada waktu yang dipergunakan untuk menulis karya lainnya. Dalam kaitannya dengan sajak tersebut, Bakdi Sumanto dalam rubrik “Bersemi Puisi Bersemi” mengulas secara panjang lebar tentang “Bagaimana Berdeklamasi Itu?” (Semangat, No. 1, September 1971, hlm. 17—19). Dikatakannya bahwa membaca puisi berbeda dengan membaca prosa atau cerita yang panjang. Pemahaman dalam membaca puisi perlu diperhatikan untuk dapat mengungkapkan pesan penyair. Hal yang perlu dilakukan pertama-tama adalah membaca, memahami kata-kata yang ada, merenungkan dan membayangkan suasana yang diwakili oleh kata-kata tersebut, dan yang terakhir adalah mengucapkannya. Dalam pengucapannya harus memperhatikan teknik phrasing, yaitu memotong-motong kalimat sesuai dengan makna yang dikandungnya dengan diikuti intonasi yang sesuai. Ibaratnya sebuah lukisan yang mempunyai logika, mempunyai jalan pikiran sendiri. Inilah yang harus dijembatani antara kita (pembaca) dan sajak tersebut sehingga terjadi pertemuan dua hati. Sementara itu, Taufik Ismail dalam artikel “Sajak ‘Seenaknya’ Karya Taufik Ismail” (Suara Muhammadiyah, No. 24, Thn. ke-52, Desember II, 1972) mengemukakan gagasannya (setelah mencoba menulis sajak-sajak humor atau sajak-sajak seenaknya yang diberi nama “Pepatah-Petitih”) bahwa menulis sajak-sajak humor tentunya tidak segampang orang berseloroh sebab untuk bisa menulis sajak-sajak humor diperlukan ketajaman berpikir dan kejauhan memandang. Selain itu, menurutnya, penulis sajak humor haruslah terlebih dahulu menjadi penyair, baru kemudian “membadut”, bukan sebaliknya. Empat buah artikel karya Linus Suryadi A.G. berjudul (1) “Chairil Anwar: Pengembara Monumental” (Kedaulatan Rakyat, 16 Mei 1978), (2) “Interlude Goenawan Mohamad: Gejala Puisi Indonesia Modern?” (Kedaulatan Rakyat, April 1976), (3) “Suluk AwangUwung Kuntowijoyo: Pitutur Ala Puisi Jawa” (Kedaulatan Rakyat, 69
19 Februari 1976), dan (4) “Perumahan Wing Kardjo: Puisi Napas Pendek (Kedaulatan Rakyat, 1979), semuanya mengupas puisi secara objektif. Dalam artikel (1), setelah mengupas sajak-sajak Chairil secara sosiologis, Linus menyimpulkan bahwa Chairil adalah potret dari banyak manusia Indonesia, manusia wanderer yang tak kerasan berumah tinggal di bumi kelahirannya; Chairil adalah si pengembara monumental. Sementara itu, dalam artikel (2), setelah mengupas kumpulan sajak Goenawan Interlude, Linus memberikan semacam penegasan bahwa Goenawan adalah tipe penyair yang berpendirian kuat dalam menegakkan ide keseniannya. Sedangkan dalam artikel (3), setelah membicarakan gaya puisi Kuntowijoyo dalam buku Suluk Awang-Uwung, Linus menyimpulkan bahwa Kuntowijoyo bersikap sangat lugu dalam memandang hidup dan dunianya. Keluguan itu tampak pada tatacara dia berekspresi, pada gaya berpuisinya, sehingga menimbulkan kesan dia mengutamakan apa yang hendak disampaikan dan bukan bagaimana menyampaikannya seperti hal tipikal puisi tradisional Jawa: suluk, kidung, macapat, tembang. Jadi, menurut Linus, Kuntowijoyo menyumbangkan pandangan suluk ke dalam dunia puisi Indonesia. Terakhir, dalam artikel (4), setelah mengupas puisi dalam Perumahan dan membandingkannya dengan puisi dalam Selembar Daun karya Wing Kardjo, Linus menyatakan bahwa puisi-puisi dalam antologi Perumahan tidak intensif dan otentik, tetapi terjerumus ke dalam suatu stamina yang justru merenggut konsentrasi penciptaan. Kritik terhadap puisi juga tampak di dalam Rubrik “Pertimbangan Buku”. Slamet Soewandi mencoba menyorot buku karangan Anton Y. Lake berjudul “W.S. Rendra Penyair dan Imajinasinya” (Basis, No. 22, Thn.1972—1973). Di dalam tulisan itu Slamet Soewandi menyampaikan kritiknya bahwa buku WS Rendra Penyair dan Imajinasinya kurang berbicara (secara ilmiah; nenurut keterangan penulis sendiri sebagai karangan tesis), bukti-bukti argumentatif-diskursif sangat tidak menjelaskan; begitu pula selukbeluk imaji dan imajinasi yang banyak disinggung di dalamnya masih harus banyak diolah, diperas sampai seringkas mungkin sehingga pati-sarinya saja yang harus dikatakan. Pati-sarinya itu 70
tidak lebih dari pengertian-pengertian ini: manusia sebagai totalitas (juga Rendra sebagai manusia yang total), keutuhan Rendra di dalam bersajak, kecakapannya bersajak, bekal imaji dan efek imajinasi Rendra lewat sajak-sajaknya kemudian ditutup (secara totalitas/Ganzheit, struktural?) Penilaian sajak-sajak Rendra tanpa memilih beberapa sajaknya saja. Selain itu, Slamet mengemukakan pula perlu adanya kontrol sistematisasi secara proporsional. Jangan sampai yang tidak perlu disinggung pada suatu bab dibicarakan pada bab tersebut. Di samping itu, Harry Avelling dalam esainya “Beberapa Anggapan dalam Puisi Romantik Indonesia” (Basis, No. 22, Thn. 1972—1973) yang semula merupakan bahan ceramah di Center for General and Comparatif Literature di Monash University dan kemudian diterjemahkan oleh A. Widyamartaya ini mengemukakan gagasannya bahwa puisi pada tahun 1920—1945 kuat dalam kecairan, campur baur, pengalaman-pengalaman permulaan yang halus dan mengangkat dunia lain. Selain itu, juga cenderung individualis, idealisme, penglihatan alam yang subjektif dan pentingnya rasa atau gambaran simbolis. Oleh karena itu, karya-karya ini tidak sesuai dengan norma-norma seperti yang diajukan Wellek. Sedangkan dalam rubrik “Bersemi Puisi Bersemi” dengan judul artikel “Sajak-sajak Remaja yang Matang” (Semangat, No.14, Juni 1974, hlm. 12—15) Bakdi Soemanto sebagai pengasuh rubrik tersebut mencoba mengulas dengan memberikan contoh puisi Rendra berjudul “Surat Cinta”. Isi puisi itu adalah ungkapan hati penyair yang jatuh cinta kepada kekasihnya Sunarti Suwandi. Baris-baris puisi tersebut menunjukkan sikap kedewasaan penyair terhadap masalah cinta secara lugu dan sederhana. Ditambah lagi ada hubungan asosiatif antara peristiwa alam dan peristiwa batin penyair. Jiwa kata-kata yang diungkapkan Rendra menunjukkan pengalaman batinnya dan dapat menyentuh batin pembacanya. Kesungguhan dalam puisi tersebut akhirnya mengungkapkan kedewasaan. Ditambahkan pula oleh Bakdi dalam artikel berjudul “Perlambang yang ‘Tampak’ dan ‘Terdengar’ dalam Sajak-sajak” (Semangat, No. 9, Mei 1975), hlm. 18—21) bahwa sajak Rendra berjudul “Surat Cinta” itu memberikan sebuah pemaparan visual 71
mengenai perasaan hati yang dialaminya, seperti kata gerimis, angin, dan dua ekor belibis memberikan lambang yang dapat ditangkap panca indera kita. Kata gerimis, lambang tersebut terlihat sekaligus terdengar. Lambang-lambang yang auditif dan visual tersebut menimbulkan kesan sederhana, indah sekaligus kena, bahkan meyakinkan. Puisi yang menggunakan perlambang visual lainnya adalah “Rel” karya B. Krhriskanta, “Ruang Tunggu R.S. Bethesda” karya Panji Patah. Ketika puisi mampu ‘terdengar’ dan ‘terlihat’, pembaca akan diajak melihat dan mendengar sesuatu yang lebih dalam seperti yang tercermin dalam puisi karya Haryanto “Berdua di Sana” dan “Frans Loontjes”. Lebih jauh ia menyayangkan para penyair muda yang jarang menggunakan perlambang visual seperti ini karena takut dituduh menjiplak. Menghadapi membanjirnya sajak-sajak yang masuk memenuhi setiap penerbitan budaya umumnya atau sastra khususnya, S.E. Ardhana dalam artikel “Mengapa Kita Menulis Puisi” (Masa Kini, No. 75, 10 Juli 1974, hlm. 3) mencoba memberikan alasan sebagai jawaban atas pertanyaan kenapa kita menulis puisi? Ada empat alasan seorang (penyair) ingin menulis puisi. Pertama, puisi dapat dipakai untuk menyampaikan pikiran, hal-hal tentang kebenaran, masalah-masalah yang perlu disampaikan pada orang lain, dan mengajak orang lain untuk turut memikirkan atau memecahkan suatu persoalan. Kedua, puisi sebagai suatu media pertanggungjawaban kepada rasa kemanusiaan dan hidup sesama manusia karena setiap manusia hidup mempunyai suatu kewajiban tanggung jawab untuk bermanusia sebagai mana baiknya. Sebagai manusia kita tidak terlepas dari kebutuhan jasmani dan rohani. Dengan menulis puisi kita dapat honor sehingga—walau hasilnya tidak seberapa—kita dapat mencukupi semua kebutuhan itu. Ketiga, puisi sebagai pelepasan rasa tertentu yang diderita seseorang secara bebas, artinya bebas dalam mengambil objek apa saja, tentang rindu, maut, Tuhan, cinta, dan lain sebagainya. Keempat, puisi bisa memperlancar masalah gaya-gaya dari bahasa, bisa menjadi sarana belajar bagaimana cara menghayati kehidupan ini dengan baik. Dengan kata lain, puisi adalah potret diri si penulis. Orang lain bisa mengetahui bagaimana diri pribadi kita lewat puisi yang kita cipta. 72
Jaroth Ms. dalam artikelnya “Sorotan Kumpulan Laut Belum Pasang” (Masa Kini, No.121, 4 September 1974, hlm. 3) menyampaikan kritiknya terhadap sajak Abdul Hadi yang berjudul “Laut Belum Pasang”. Dikatakannya bahwa (1) pemahaman tentang isi dan irama sajak tersebut terasa enak dan manis sehingga dapat dimasukkan dalam ruang puisi naturalis yang benar-benar manis, dan (2) Abdul Hadi menulis puisi naturalis dengan dipengaruhi oleh lingkungannya. Hal ini seharusnya sedikit dikurangi untuk menghindari lahirnya puisi natural centris yang mencerminkan ketidakmampuan seorang penyair mengendalikan objek. Di samping itu, ada pemaksaan terkecil dalam penuangan materi untuk mendapatkan apa yang sering disebut ‘eksperimen seni sastra’. Sebenarnya, hal-hal semacam inilah yang menjadi lubang sendiri. Kritik yang sama ditulis oleh Slamet Riyadi dalam artikelnya “Pengadilan Puisi: Ckk! Ckk! Ckk!” (Masa Kini, No.131, 18 September 1974). Slamet mencoba memyampaikan kritikan terhadap karya-karya puisi Sutardji Calzoum Bachri yang dinilainya sebagai puisi kontemporer karena dari sisi bentuk aneh sehingga kemudian banyak dipertanyakan orang. Slamet Riyadi mempertanyakan mana yang kontemporer, bentuk atau isi? Kalau hanya bentuk, berarti kosonglah isinya. Gaya penulisan Sutardji memang aneh, menarik, tetapi kalau tidak bisa dipahami pembaca, apa artinya? Untuk itu, janganlah kita (pembaca) langsung mengagumi dan setuju dengan model-model seperti itu. Demikian juga, dalam rubrik “Bersemi Puisi Bersemi” berikutnya dengan judul artikel “Ada yang Menyendat Ada yang Lancar” (Semangat, No. 2, Oktober 1974, hlm. 26—27) Bakdi Soemanto mengulas pendapat R.H. Tawney dalam bukunya Write Poetry from Within. Dikatakan bahwa ada tiga kemungkinan hambatan dalam menulis puisi, pertama, dihantui oleh rasa malu, takut, was-was kalau diejek, diketahui rasa hatinya, takut dinilai; kedua, penulis tidak tahu persis apa yang akan dikemukakanya; ketiga, belum menguasai media masa, kurang kata-kata atau bahasa yang digunakan. Contohnya, dalam “Malam Pengantin”, Laddy Tadjudin mengungkapkan pengalaman batinnya, tetapi agak tersendat dalam pencernaan pengalaman batin ke dalam ungkapannya sehingga menimbulkan 73
kericuhan kejernihan apa yang sebenarnya tengah dialaminya. Dia tidak mengungkapkan apa yang dialaminya tetapi digabungkan dengan imajinasinya sehingga tidak utuh. Sedangkan puisi “Menjelang Akhir Hidupku” karya Sinta Kuncoro berisi ratapan penyair yang dengan keluguannya memaparkan isi hati dengan kalimatkalimat yang panjang diselingi usaha-usaha mempersamakan bunyi (rhyme). Dapat dikatakan bahwa puisi Sinta itu merupakan bangunan yang utuh dan mempunyai tenaga yang mengalun dan menyayat, berbeda dengan karya Tadjudin. Dalam rubrik yang sama, dengan judul artikel “Dari Dalam Batin Wanita Remaja” (Semangat, No. 8, April 1975, hlm. 8—10) Bakdi Soemanto memberikan penjelasan mengenai sifat-sifat yang biasa dijumpai dalam beberapa karya puisi para penyair wanita, di antaranya ialah bahwa kesederhanaan itu merupakan kekuatan. Kelembutan itu tenaga goncang yang mentakjubkan. Keibuan itu keberanian. Kesediaan menerima itu adalah kemampuan tak bertara. Itu semua dimiliki wanita dalam nalurinya. Puisi-puisi tersebut adalah “Pena dan Kertas” karya Veronica Ulle Bhoga (Santa Ursula Ende Flores); “Harapan” karya Marcelina Johanis (Ujung Pandang); “Pantai Selatan” karya Narti Atmosuroyo (Yogyakarta); “Pahlawanku” karya Retno Dwi (Surabaya); “Panggillah Aku Sahabat” karya Daniella (Yogyakarta); dan “Waktu Itu” karya Rini (Sala). Ia memberikan kritikan bahwa secara umum puisi-puisi tersebut tidak lepas dari masalah percintaan, jarang yang memaparkan masalah di luar percintaan. Selanjutnya, dalam artikel “Setahun Pertemuan Antara Pikir dan Rasa” (Semangat, No. 10, Juni 1975, hlm. 14—17) Bakdi yang bertindak selaku pengasuh rubrik “Bersemi Puisi Bersemi” memberikan penjelasan bahwa naskah yang masuk ke meja redaksi selama ini beragam tema, sebagian besar penulisnya (penyair wanita tercatat 12 orang dengan 38 karya) adalah pelajar dan sajaknya bertemakan percintaan. Ada juga sajak eksperimental tetapi sulit untuk dipublikasikan karena teknik penulisannya terlalu tipografis sehingga sajak itu hanya mungkin dimuat dengan cara langsung memotret tanpa terlebih dahulu diketik. Di samping itu, rubrik yang terbatas sehingga hanya mampu menampilkan sajak-sajak 74
pilihan pengasuh. Ia memberikan kritikan kepada para penyair remaja yang kurang banyak membaca sehingga puisi-puisinya kurang terbuka mengungkapkan berbagai aspek kehidupan. Seyogianya para penyair banyak memperkaya diri dengan bacaan sehingga mampu menyemarakkan horizon persajakan yang dinamis dan tidak memaparkan sajak-sajak yang monoton dan membosankan. Berkaitan dengan hal di atas, Bakdi Soemanto dalam artikel “Ilham Masuk Lewat Celah Hati” (Semangat, No. 11, Juli 1975, hlm. 18—21) mengemukakan gagasannya bahwa sajak atau puisi itu tercipta karena adanya ilham yang muncul sehari-hari dalam aktivitas yang dilakukan. Ilham bersumber dari mana saja asalkan kita mau terbuka dengan kehidupan dan mengolahnya dalam bentuk puisi. Dalam “Pesona Seorang Gadis Remaja Pada Alam Sekitar” ia mengemukakan pula bahwa penyair menciptakan hasil sastra (puisi) karena suatu pesona, suatu kegandrungan. Orang yang terlalu berpikir serius dan berat kadang akan kembali membutuhkan sastra yang mampu membawa mereka kembali bermesraan dengan kehidupannya (Semangat, No.1, September 1975, hlm. 23—25). Selanjutnya, Mimosa Sekarlati dalam artikel “Sin + Tuhan = Sintuhan” (Semangat, No. 7, Maret 1976, hlm. 24—26) mencoba memberikan jawaban atas pertanyaan apakah yang mendorong penyair untuk membuat sajak? Jawabannya merunut pendapat Rabindranath Tagore yang disalin oleh Amir Hamzah bahwa Engkau yang lebih besar dari engkau itulah yang mendorong tangannya bersajak. Sedangkan Rendra menulis bahwa dia bersajak karena perasaan. Cindy Kunto Widyastuti yang sependapat dengan Plato berkata bahwa “Sintuhan cinta membuat setiap orang menjadi penyair”. Lalu, dalam “Mengapa Sajak Kita Kurang Berhasil?” (Semangat, No. 9, Mei 1976) Bakdi mengemukakan bahwa persoalan berhasil dan tidaknya seseorang membuat sajak sangat sukar untuk dipilah. Perasaan yang muncul yang mendasari penulisan sajak akan lebih baik kalau mempunyai tenaga puitika yang tersirat walaupun itu tidak mudah diungkapkan dalam kata-kata, seperti yang tercermin dalam puisi “Badai” karya Surachmat Suronggomo dan tidak tersurat seperti yang tercermin dalam puisi “Surabaya” karya F.L. Suherman dan “Surat” karya Linda H.S. 75
Ajip Rosidi dalam esai “Perkembangan Puisi dan Prosa Dewasa Ini” (Suara Muhammadiyah, No. 20, Thn. ke-55, Oktober II, 1975, hlm. 20—21) yang semula berupa makalah ceramah dalam Forum Apresiasi Seni MTQN ke VIII di Palembang itu mengemukakan pandangannya bahwa sastra Indonesia dalam bentuknya yang sekarang adalah pengaruh dari pertemuan bangsa kita dengan kebudayaan Barat. Bentuk sastra yang sekarang kita pakai dan perkembangkan seperti roman, cerpen, esai, drama, dan puisi adalah bentuk yang sebelumnya tidak dikenal di Indonesia dan baru dikenal setelah kita bertemu dengan kebudayaan Barat, mulai diperkenalkan dalam akhir abad yang lalu. Sementara itu, kritikus lain, Y. Supardjana dalam artikelnya “Ber’puisi’ Spontan dan Polos” (Semangat, No. 4, Desember 1975, hlm. 14—16) mencoba memberikan penjelasan dengan mencontohkan beberapa puisi yang singkat karya Sitor Situmorang berjudul “Lebaran”. Puisi sebaris itu mengesankan spontan dan jujur dari penyair. Begitu juga puisi “Teratai” dan “Doa” karya Yohanes Supomo yang mempunyai tiga baris, juga mengekspresikan puisi yang berbobot karena wujudnya sederhana, polos, dan spontan mengekspresikan perasaan hati penyair. Selain itu, ia menyampaikan kritik pula bahwa puisi yang pendek tidak selamanya berbobot karena tidak ada konsistensi dan daya tahan terhadap nurani penyair, seperti puisi “Bertemu” karya Sussiana Darmawi dan “Pantai” karya Mayon Sutrisno yang akhirnya terjebak dalam suatu pemaparan cerita, bukan menjadi puisi. Puisi memang memerlukan konsistensi tentang jarak dan puitika, seperti puisi “Malam” karya Fransiskus, “Kaliurang Menjelang Malam” karya Niskoro Poeponegoro, dan “Di Perkampungan Tua” karya Haryati, mampu menunjukkan daya tahan dan konsistensi penyair terhadap nuraninya. Sementara, Mayon Soetrisno dalam artikelnya “Menjumpai Tuhan dan Puisi Penyair” (Semangat, No. 6, Februari 1976) mencoba menggambarkan adanya Tuhan dalam puisi Sitor Situmorang “Hari Paskah”, Suripan Sadhi Hoetomo “Inilah Doaku”, Subagio Sastrowardojo “Monolith”, Eddy Soetrisno “Suatu Ketika Dalam Hari Natal”, dan Budhybkazeth “Aku Berdiri dalam Dua Bayang”. Dalam artikel lain berjudul “Antara yang Mengental dan Mencair” (Semangat, No.10, Juni 1976) Bakdi Soemanto mencontohkan 76
puisi yang “berhasil” dan “tidak berhasil” karya Ridj Ahem (Purworejo). Puisi yang dianggap berhasil adalah puisi yang mempunyai isi padat, baik dalam kata-katanya maupun dalam penafsirannya, misalnya “Pohon Murbei” dan “Date di Café”. Sedangkan puisinya yang tidak berhasil adalah “Hari Ini” karena tampak ada keragu-raguan dalam memadatkan tulisannya sehingga sajaknya terkesan bersifat menjelaskan. Sajak yang dikemukakan ada yang berifat kental dan cair berdasarkan esensi puitiknya. Jika terlalu cair penyair membutuhkan banyak keterangan yang akan menjelaskan sajak tersebut. Dan yang paling penting penyair dapat mengungkapkan kehidupan yang bersifat esensial, dikemas dalam dimensi dan perspektif. Selain itu, Bakdi dalam artikel “Hanya Kalau Saya Sedih, Saya Dapat Menyalak” (Semangat, No. 12, Agustus 1976) mengkritik sajak-sajak karya Wien S. berjudul “Telah Dtang dan Telah Pergi”, “Hukum Alam”, Di Pantai Selatan”, dan “Mama”. Dikatakannya bahwa sajak-sajak tersebut muncul karena dorongan hati yang terenyuh dan sedih. Perasaan itu mampu membangkitkan daya imajinasi, namun, daya cipta yang didasari perasaan trenyuh itu kurang mampu mengolah daya cipta puitis. Adanya bakat dan pelatihan yang baik akan lebih memberikan bobot daya penciptaan puisi. Selanjutnya, dalam artikel “Sorotan dari Hamburg atas Karya Rendra” (Basis, No. 8, Mei 1978, hlm. 232—236) A. Teeuw membahas karya-karya W.S. Rendra yang pernah dijadikan disertasi oleh Dr. Rainer Carle dari Universitas Hamburg yang berjudul Redras Gedichtsammlungen (1957—1972): Ein Beitrag zur Kenntnis der Zeitgenossischen Indonesischen Literature ‘Kumpulan Sajak-Sajak Rendra (1957—1972): Sumbangan pada Pengetahuan Sastra Indonesia Dewasa Ini’. Dalam disertasi itu Dr. Carle menjelaskan bahwa sajak yang diteliti pada pokoknya membayangkan tiga tahap kreatif utama: pertama, banyak dimuat dalam Ballada Orang-Orang Tercinta, Sajak-Sajak Dua Belas Perak, Nyanyian dari Jalanan, dan Ya, Bapa dari kumpulan Masmur Mawar (Oktober 1954—Oktober 1955); kedua, diwakili oleh Kakawin Kawin, Masmur Mawar, dan Sajak Sepatu Tua; Tahap ini melingkupi masa April 1959—1960; dan ketiga, diwakili oleh Blues untuk Bonnie (Agustus 1964—1968). Hasil 77
penelitian Dr. Carle itu dapat disimpulkan sebagai berikut. Dalam Ballada Orang-Orang Tercinta terdapat tiga tema penting, yaitu (1) adanya perhatian untuk manusia sial, manusia menderita, (2) masalah hubungan orang tua dan anak atau masalah anak menjadi dewasa, dan (3) perjuangan melawan dunia yang bermusuhan. Dalam sajak Ballada Penyaliban ketiga tema ini bertemu dan berpaduan. Tema utama puisi Rendra selama masa 16 tahun yang menjadi pokok penelitian buku ini dapat dikatakan sebagai pemberontakan individu (aku-liris ataupun pencerita) melawan berbagai aspek masyarakat yang norma-normanya masih jelas bersifat kolektivis, mula-mula pemberontakan aku-liris terhadap orang tua, rumah tangga, terhadap etik, terutama terhadap kewibawaan gereja yang tidak berhasil memenuhi tuntutannya sendiri di bidang moral; akhirnya pemberontakan berkembang menjadi perlawanan terhadap masyarakat yang tidak adil dan melawan hipokrisi pemimpinpemimpinnya di segala bidang. Selain itu, beberapa aspek pemakaian bahasa dalam sajaksajak Rendra juga disinggung oleh Carle, di antaranya (1) dominannya morfem dasar bersuku kata dua, (2) kemungkinan stigma padu yang hubungan prataktis dan hipotaktisnya tidak dieksplisitkan, (3) kemungkinan ulangan bunyi yang konstan berdasarkan afiksasi sejumlah afiks tertentu, (4) ulangan dan penggandaan tertentu yang mempunyai sifat fungsi tata bahasa dan semantis, (5) alternasi antara vokal dan konsonan yang cukup teratur, (6) dominannya vokal a secara mutlak, digabung dengan cukup frekuensi vokal i, u, dan e (pepet), (7) dominannya beberapa kombinasi vokal dalam morfem dasar bersuku kata dua, dan (8) tekanan kata yang umumnya terletak pada suku kata kedua dari belakang digabung dengan pergeseran tekanan kalau terdapat vokal pepet. Di lain pihak, A. Teeuw menganggap bahwa buku “Kumpulan Sajak-Sajak Rendra (1957—1972): Sumbangan pada Pengetahuan Sastra Indonesia Dewasa Ini” penting untuk diketahui. Hal itu disebabkan (1) memuat karya seorang pengarang Indonesia modern yang dapat dikatakan sesuai dengan norma dan mutu internasional, (2) Rendralah yang menjadi objek studi. Sebab, Rendra sejak dua puluh lima tahun terakhir ini merupakan tokoh sastra dan 78
drama Indonesia yang tidak ada bandingannya dari segi mutu karya dan pengaruh budayanya. Buku ini juga sebagai dasar kritik yang kuat terhadap karya Rendra. Dalam artikel berjudul “Dunia Puisi Umbu Landu Paranggi” (Semangat, No.2, Oktober 1978) Parwita mencoba memaparkan kisah perjalanan Umbu dari sekolah (SMA di Jogja) sampai dengan perjalanan menggeluti dunia sastra (puisi khususnya) di Persada Studi Klub yang didirikannya pada bulan Maret 1968 dan di beberapa kota (di Bali) yang dikunjungi untuk membacakan sajaksajaknya. Dinyatakan dalam artikel tersebut bahwa puisi-puisi dewasa ini sudah mendekati taraf tiram yang populer, di pertemuanpertemuan, di pesta-pesta pelajar atau mahasiswa-mahasiswa selalu ada acara baca sajak atau deklamasi. Anak-anak muda semuanya merasa bisa menulis puisi apalagi membacanya. Selain itu, dinyatakan juga bahwa puisi-puisi Indonesia yang baik, sejak Amir Hamzah, Chairil Anwar, sampai Rendra atau Sutardji merupakan oposisi yang loyal bagi kebudayaan kita. Penyair-penyair sudah lebih berani bereksperimen dan mencoba menukik untuk menggarap subjek-matter, salah satu contohnya sajak-sajak Darmanto Yt. Gunoto Saparie dalam tulisannya “Dua Sajak Sapardi Djoko Damono” (Pelopor, No. 223, 5 Oktober 1978, hlm. 4) mencoba membahas dua sajak pendek Sapardi yang terkumpul dalam DukaMu Abadi berjudul “Tiba-tiba Malam pun Risik” dan “Jarak”. Di antaranya dikatakan bahwa dua sajak tersebut ternyata sanggup berbicara tentang eksistensi manusia di dunia fana. Di tengah abad konsumerisme dan glamour seperti sekarang, sajak-sajak tersebut pantas untuk diketengahkan sebagai usaha pemahaman terhadap diri dan keberadaan manusia. Dalam tulisannya “Estetika dan Puisi dalam Masalah Kemanusiaan” (Basis, September 1979) Hilla Veranza mengemukakan latar belakang sejarah (pasang surut estetika, posisi estetika dalam dmanusia), pengalaman estetis (kedudukan manusia dalam alam, keniscayaan pengalaman estetis), dan dasar-dasar antropologis puisi modern (puisi sebagai pribadi, dinamika dalam pendekatan puisi dan letak keabadian puisi), unsur-unsur subjektif bekerja kuat dalam puisi. Puisi yang mencerminkan keutuhan merupakan ben79
tuk pengambilan sikap penyair terhadap masalah-masalah kemanusiaan. Meski terjadi penghianatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, keluhuran akan tetap berbisik selama orang masih berhubungan dengan karya seni yang mencerminkannya. Dengan mengutip pendapat Gunawan Mohamad dan sajak-sajak Sapardi Djoko Damono, ia merasa lega bahwa kita masih bisa memperoleh nilainilai keabadian dalam puisi. Selain membicarakan masalah puisi, karya-karya kritik yang muncul di dalam media-media massa cetak pada kurun waktu 1966—1980 juga membicarakan karya cerpen. Kritik terhadap cerpen, antara lain, terlihat dalam artikel “Cerita Pendek Majalah Semangat “ karangan Jakob Sumardjo (Semangat, No. 8, April 1975, hlm. 14—15). Dalam artikel tersebut Jakob melontarkan kritik dengan mengambil ciri-ciri umum yang terdapat dalam 20 cerpen yang dimuat dalam majalah Semangat (1972—1974), di antaranya ciri mencolok adalah pendeknya nafas cerita. Paling panjang dua halaman majalah Semangat yang mini itu tanpa ilustrasi. Dalam bentuk demikian dituntut kepadatan, kebulatan, kejelasan umum tetap plastis. Rata-rata cerpen tersebut telah berusaha membatasi segalanya untuk disesuaikan dengan halaman yang disediakan redaksi. Gejala bentuk cerpen pendek itu rupa-rupanya sudah menjadi semacam trade mark cerpen remaja. Jarang ada yang bernapas panjang. Dikatakannya pula bahwa tema yang digarap ternyata bukan melulu cinta remaja. Lebih dari 50 persen mengambil tema di luar itu. Seperti idealisme pemuda yang mencari identitas kepribadiannya (T. Simbolon “Pergi”), idealisme kepahlawanan (Sutrisno “Gelandangan”), kritik sosial (anonim “Skill Skill Bang Bang”, Rica Dakulilang “Toke”, “Rambu-Rambu Jalan”), kesenimanan (Suwarno Pragola “Ia seorang sahabatku”, Erwin “Setetes Fragmenta”). Dan selebihnya banyak berbicara soal cinta remaja. Cinta remaja yang mereka ungkapkan bersih, halus sederhana, jauh dari ungkapan birahi seperti banyak terdapat dalam majalah-majalah pop remaja umumnya. Ini berarti bahwa mereka (penulis-penulis cerpen) sudah cukup dewasa dalam menanggapi masalah. Selain itu, teknik bercerita menunjukkan kedewasaan sikap. Plot cerita di80
susun cermat dan biasanya diakhiri dengan surprise yang segar, seperti terlihat dalam “Cium Pertama” karangan Rahmanto. Rahmanto berhasil membawakan cerpennya dengan penuh humor yang cukup sophisticated. Kualitas cerpen yang demikian dicapai pula oleh Suwarno Pragola dalam “Ia Seorang Sahabatku” dan “Kawan Lama”. Selain itu, Jakob juga memberikan kritik bahwa cerpen dengan tema sosial rata-rata kurang berhasil dalam plot. Posisi cerpencerpen yang demikian jadi canggung. Mau ke bentuk serius terlalu amatir dan kurang dewasa, sedang mau ke cerpen remaja kurang menarik karena plotnya lemah dan tema yang terlalu serius ditambah pengungkapannya yang masih kasar. Kelemahan lain dari ratarata cerpen di majalah itu ialah penggambaran psikologis tokohtokohnya. Perubahan sikap, watak dan kelakuan tokoh-tokohnya terjadi terlalu tiba-tiba tanpa persiapan dan informasi yang cukup. Potensi yang menonjol ialah gaya humornya, plotnya yang terjaga, teknik surprise di akhir cerita dan tema cinta asmara remaja yang bersih dan sederhana. Cerpen-cerpen demikian menuntut intelegensi penulisnya yang tinggi dan sikap dewasa untuk mengatasi persoalan. Selanjutnya, Mustofa W. Hasjim dalam artikelnya “Cerpen yang Menyuarakan Kemanusiaan” ( Masa Kini, No. 275, Thn. XIII, 31 Maret 1979, hlm. 3—4) mengemukakan pujiannya terhadap cerpen “Buah Rambutan” karangan Ari Basuki (Insani, 24 Maret 1979). Cerpen tersebut dianggap berhasil di samping secara teknis memadai juga mengandung isi, nilai-nilai, sikap dan pandangan hidup. Isi tersebut bisa dengan jelas terpampang pada semua bagian cerpen. Bisa juga hadir hanya dalam sebuah momen yang berlangsung di antara momen lain yang membentuk cerita dan semuanya itu boleh-boleh saja. Yang penting bagaimana isi tersebut bisa sampai tanpa mengurangi kenikmatan pembacanya, artinya, isi wajar hadir dan diperlukan dalam keseluruhan konteks cerpen tersebut. Jadi, isi tersebut tidak begitu mengganjal, mengada-ada, dan dipaksakan. Pujian yang sama disampaikan pula oleh Mustofa dalam artikel “Mahasiswa dan Cintanya” (Masa Kini, No. 2, Thn. XIV, 14 81
April 1979, hlm. 3—4) terhadap cerpen “Kawan, Cintamu Tidak Logis” karangan Thoha Masrukh Abdillah (Insani,3 1 Maret 1979) dan artikel “Dengan Kejutan Kendor” (Masa Kini, No. 13, Thn. XIV, 28 April 1979, hlm. 3—4) terhadap cerpen “Kontrak Moril” karangan Choirul Muslim (Insani, 14 April 1979). Dalam artikel “Mahasiswa dan Cintanya” selain memuji keberhasilan cerpen “Buah Rambutan”, Mustofa mengemukakan juga kelemaham cerpen tersebut. Ada pun kelemahan cerpen itu terletak pada arus cerita yang terasa lamban dan melelahkan untuk diikuti. Hal ini terjadi karena pengarang cenderung untuk bercerita banyak, lebih dari yang dibutuhkan. Suatu hal yang biasa menimpa pada pengarang yang menggunakan style aku. Sementara itu, yang menarik dari cerpen “Kontrak Moril” adalah kemampuan pengarang menghangatkan cerita dan menyimpan kejutan-kejutan yang menggemaskan sehingga cerpen tersebut bisa dibaca dan dinikmati. Pengarang menghadirkan konflik antara Sam dan Rul. Konflik ini berawal dari ketidaktahuan Sam mengenal keadaan Rul yang sebenarnya. Sam yang dengan getol menyuruh Rul cepat-cepat cari jodoh, tak tahunya Rul sudah lama punya calon istri secara diam-diam. Kejutan lain yang dirasakan oleh pembaca adalah ketika Rul mengungkapkan kalau perjalanan pulang kampung naik colt travel bersama Sam itu adalah dalam rangka menjemput ayahnya untuk melamar Siti Zulaekah. Sayang kejutan ini tidak diketahui oleh Sam. Selanjutnya, dalam artikel yang “Tentang Harapan Bung Maman” (Masa Kini, No.38, Thn. XIV, 9 Mei 1979) Mustofa W. Hasjim memberikan ulasan terhadap cerpen “Jakarta, Jakarta” karya Prajitno Hidayat yang dimuat pada 26 Mei 1979. Katanya, gambaran setting budaya mengenai Jakarta terlalu dangkal sehingga tokohnya (Maman) terlalu optimis dan penuh harapan. Padahal, Jakarta tidaklah seperti itu, sehingga gambaran tentang putusnya harapan di akhir cerita tidak tampak mengada-ada (tak logis, kurang kuat, sublim). Sementara itu, menghadapi cerpen “Oleng”-nya Bambang WD (Insani, 12 Mei 1979), Mustofa dalam artikel “Sebuah Sketsa Perjalanan?” (Masa Kini, No.26, Thn. XIV, 26 Mei 1979, hlm.3) 82
mengemukakan kesulitan menentukan penilaian. Sebab, dasar penilaian yang berupa rumusan teknik penulisan atau yang berupa hubungan antara karya tersebut sebagai cerpen dengan kehidupan nyata rasa-rasanya menjadi macet jika diterapkan pada cerpen tersebut. Katanya, berhadapan dan bergaul dengan cerpen “Oleng” seperti berhadapan dengan pribadi yang manis puitis dan misterius. Kita merasa memahami kata-katanya, menikmati, tetapi tahu kita sadar kalau kita tidak bisa mengenalnya secara baik. Gambaran kita tentang pribadi cerpen itu dikarenakan cerpen itu berbicara tentang garis-garis besar tentang perjalanan hidup dengan dihiasi nuansa simbolis. Dalam artikel “Masih Agak Mentah, karena Tergesa-gesa” (Masa Kini, No. 43, Thn. XIV, 16 Juni 1979, hlm. 3) Mustofa memberikan kritikan terhadap cerpen “Kenyataan” karya Thoha Masrukh Abdillah yang dimuat pada edisi 16 Juni 1979. Cerpen yang mengetengahkan masalah masa depan cinta yang kemudian berakhir dengan kegagalan itu menurut Mustofa dari segi teknik penulisan mengandung titik-titik rawan. Struktur cerpen tidak seimbang, adegan beberapa tahun yang lalu yang menggambarkan masa gemilang hubungan tokoh aku dengan Tien mendominasi lebih dari setengah bagian cerpen. Dalam bagian ini arus cerpen begitu lancar sehingga enak dibaca. Sayang tokoh Susi tiba-tiba saja muncul lengkap dengan persoalannya dan merusak suasana. Barangkali munculnya tokoh Susi dimaksudkan sebagai kejutan, tetapi kejutan itu oleh Mustofa dianggap sebagai tidak wajar. Tokoh Susi tampak sengaja dipersiapkan pengarangnya untuk keperluan menyelesaikan konsep yang berupa kegagalan cinta antara tokoh aku dan Tien. Dalam hal ini pengarang tampak memudahkan persoalan demi konsep sehingga pembaca juga bisa menebak kalau cerpen tersebut masih agak mentah. Atau barangkali cerpen tersebut digarap secara tergesa-gesa sehingga karakter, sikap hidup pelaku, dan identitas pelakunya menjadi samar. Apalagi perkembangan jiwa para pelakunya dalam menghadapi masalah yang muncul diceritakan secara meloncat-loncat, tidak melewati proses yang wajar, tidak melewati jalur logika, logika dalam fiksi sekalipun. Kejutan-kejutan yang digambarkan dalam cerpen di atas akan menjadi berbeda jika dikaitkan dengan artikel “Catatan untuk 83
Cerpennya Masykur: Teknik Pengejut yang Sedikit Gila” (Masa Kini, No. 53, Thn. XIV, 30 Juni 1979) karangan Mustofa. Dalam artikel ini ia memberikan kritik atas cerpen “Ketokan Pintu” karya Masykur Wiratno yang dimuat pada edisi ini (30 Juni 1979). Katanya, tokohnya (Dirgo) adalah manusia luar biasa. Sebab, memang Dirgo dalam hidup ingin mengumpulkan pahala yang sebanyakbanyaknya sehingga ia rela menerima apa saja, termasuk harus mengawini Tatin, seorang wanita hamil. Padahal, kehamilan Tatin bukanlah perbuatannya. Tetapi ia mau hanya demi pahala. Kata Mustofa, cerpen ini strukturnya kuat, kejutan-kejutannya mengejutkan, seperti yang dilakukan oleh pengarang besar seperti Iwan Simatupang, Budi Darma, atau Danarto. Selain itu, perkembangan tentang penerbitan kumpulan cerpen dibicarakan Arwan Tuti Arta dalam artikelnya “Membicarakan Nasib Kumpulan Cerpen” (Minggu Pagi, No.13, Thn. ke-33, 29 Juni 1980, hlm. 3). Dalam artikel itu Arwan mengemukakan pandangannya bahwa penerbitan kumpulan cerpen di Indonesia saat ini masih seret. Hal itu—mungkin—disebabkan para penerbit takut mengambil resiko. Mereka banyak yang lebih suka menerbitkan novel. Barangkali menerbitkan kumpulan cerpen (terutama yang dilakukan majalah hiburan) adalah kebijaksanaan yang sangat bagus sebab pada umumnya naskah cerpen paling banyak masuk ke meja redaksi, di samping puisi. Katanya, yang belum kelihatan selama ini dari kumpulan cerpen adalah kumpulan cerpen-cerpen yang didasarkan atas tema yang sama. Misalnya tentang pertentangan antara anak dan orang tua dalam banyak manifestasi dan versi atau tema ketuhanan berikut segala rahmat, segala kutukan, ajaran, ujian dan misterinya, bahkan tema-tema yang lain. Barangkali ini patut dipikirkan atau dipertimbangkan. Dari situ kita dapat mendapatkan keragaman persepsi dari satu tema atau mungkin tema-tema humor perlu dicari cerpen yang kini banyak terserak di berbagai penerbitan dan segera dihimpun dan diterbitkan. Selanjutnya, dalam tulisan berjudul “Pembacaan Cerpen Bisa Dikembangkan?” (Minggu Pagi, No. 23, Thn. ke-33, 7 September 1980, hlm. 3) Arwan mengatakan bahwa di Jogja, bahkan di Indonesia, pembacaan cerpen masih belum populer. Karena langkanya 84
hingga gampang dihitung dengan jari. Memang pembacaan cerpen dalam arti sebuah tontonan masih merupakan barang baru apabila dibanding pembacaan puisi misalnya. Di Jakarta, Chairul (sutradara film) pernah dengan berhasil membacakan cerpen Umar Kayam “Kimono Biru Buat Istri”, juga Putu Wiaya (novelis dan tokoh teater kenamaan) pernah membacakan cerpen-cerpennya sendiri yang dihimpun dalam “Bom”, sebuah kumpulan cerpen yang tidak sempat terjual di Yogyakarta. Di Yogyakarta, pernah juga ada acara baca cerpen yang dilakukan oleh Deded Er Moerad. Rupanya pembacaan cerpen sebagai tontonan masih jauh tertinggal dibanding cerpen lewat radio. Tidak saja di RRI, ada beberapa radio non-RRI yang menyelenggarakan acara baca cerpen secara kontinyu seperti halnya Moh. Diponegoro melalui Radio Australia dan Radio Nusantara II Yogyakarta. Selanjutnya, Moh. Diponegoro dalam esainya “Karakterisasi dalam Cerpen” (Suara Muhammadiyah, No.2 3 Thn. ke-60, Desember 1980, hlm. 34—36) mencoba membahas tentang karakterisasi dalam cerita fiksi. Dikatakannya bahwa karakterisasi dalam cerita fiksi ialah upaya si pengarang untuk melukiskan watak atau sifat tokoh ceritanya. Tujuannya ialah agar tokoh cerita yang khayal itu bisa tampak dan kedengaran hidup dan betul–betul dapat dipercaya oleh pembaca, seperti yang diinginkan oleh si pengarang. Dan justru ini menjadi tongkat ukuran apakah pengarang sukses membuat karakterisasi. Jika pembaca tidak melihat tokoh–tokoh dalam cerita itu hidup dan masuk akal, pengarang perlu mengoreksi lagi naskahnya, atau melupakannya sama sekali dan menulis cerita yang baru. Memang, katanya, banyak cerpen yang plotnya dijalin dengan sangat pintar, penggarapannya dikerjakan secara orisinal, tetapi naskah itu tidak mampu menjual dirinya sendiri. Tidak ada redaktur koran atau majalah yang mau membelinya. Mereka tidak tersentuh sedikit pun oleh cerita itu karena tokoh– tokoh ceritanya mati atau pingsan. Dalam hal ini, para redakturlah yang paling mengerti selera pembacanya. Kalau mereka sendiri tidak tersentuh, mereka sudah yakin bagaimana nasib buruk akan menimpa cerita itu di tangan pembaca. Tanpa tokoh yang bagus, cerita tidak akan hidup. Menurut Eloise Javis Me Graw, seorang 85
pengarang wanita Amerika, kalimat itu sebuah axioma ‘kebenaran yang tidak perlu dinalar lagi kebenarannya’. Tokoh yang bagus adalah tokoh yang riil dan bisa dipercaya, ia membubuhi, ia membuat lukisan yang agak lucu. Lebih jauh Moh. Diponegoro mengemukakan bahwa untuk membuat cerita menarik dan hidup tidak perlu si tokoh cerita bertingkah laku yang menggejolak, merangsang, mendebarkan, atau semacamnya. Meskipun setiap halaman memuat sang pahlawan sedang bergantung di tepi tebing pada seutas akar kayu rapuh, dan di bawahnya menganga jurang yang sangat dalam dengan mulut maut yang lebar, cerita seperti itu tetap tidak akan hidup selama tokoh pahlawannya tidak bisa dipercaya akal. Apakah benar atau tidak, bahwa itu suatu axioma atau ucapan yang dilebih-lebihkan, tetapi memang karakterisasi yang lemah sangat mengganggu pembaca. Seperti halnya kalau kita menonton sebuah sandiwara yang jelek, aktornya bermain kaku atau menggunakan bahasa buku maka penontonnya akan protes. Protes-protes itu mungkin tidak tidak diucapkan tetapi pasti mengganjal seperti kerikil tajam dalam perasaan pembaca. Dalam hati pembaca tidak bisa menerima. Dengan kata lain, pembaca tidak terkena tarikan emosional. Tarikan emosional inilah yang justru penting dalam sebuah cerpen. Dan tarikan itu bersumber pada tokoh yang “bagus”, bukan pada plot. Selain kritik terhadap karya (sastra) puisi, cerpen, seperti tersebut di atas, kritik terhadap novelet juga muncul dalam perkembangan sastra di Yogyakarta pada kurun waktu 1966—1980, di antaranya adalah tulisan yang berjudul “Sri Sumarah dan Bawuk” karangan St. Soelarto (Basis, XXVI, 1 Oktober 1976, hlm. 31— 32). Dalam tulisan itu Soelarto membahas Sri Sumarah dan Bawuk. Dikatakannya bahwa persamaan dua cerita tersebut adalah berlatar belakang seputar peristiwa G-30-S PKI. Sri Sumarah ada di lingkungan dunia orang kebanyakan (guru sekolah rendah) dan Bawuk dalam lingkup priayi (sisa pangkat feodal). Sri Sumarah mengajak pembaca masuk ke dalam suasana khas Jawa (Sri Sumarah yang selalu nrimo) selalu sumarah atas nasib yang menimpanya dan nasib buruk anaknya (Tun). Kosa kata Jawa banyak digunakan dan bahkan ada kesan kelewat banyak. Ciri khas tersebut semakin 86
menguatkan style cerita ini akan budaya Jawa yang dimampatkan pada tokoh Sri Sumarah, janda setengah tua dan ahli pijat. Sementara, Bawuk menekankan perkembangan seorang anak yang terjadi di luar akal sehat. Bawuk yang dulunya juara Societeit Concordia akhirnya menjadi pelarian komunis. Juga disinggung tentang sikap suami yang hanya mengejar karier bisa melupakan seorang istri yang ideal sehingga sering menjadi pertanyaan yang menyangkut cintanya. Sementara itu, menghadapi pengaruh negatif serta positif dari macam-macam bacaan karya populer yang ada terhadap cara berpikir dan imajinasi seseorang, Redaksi (Ant) Masa Kini menyampaikan tulisannya berjudul “Emha: Novel Pop Tidak Otomatis Untungkan Pemasyarakatan Sastra” (Masa Kini, No. 259, Thn. XIII, 12 Maret 1979, hlm. 3). Dalam tulisan itu redaksi mengemukakan pokok bahasan pembicaraan Emha Ainun Najib pada waktu ceramah bersama Ashadi Siregar di Fakultas Ilmu Sosial Universitas Airlangga Surabaya, 10 Maret 1979. Dengan judul “Konsep Kultural di Belakang Sastra Pop” Emha menganjurkan mengkaji novel, cerpen, dan puisi yang memberi pengaruh. Katanya, kesadaran sikap dan konsepsi kultural tidak tumbuh merata pada penulispenulis pop. Meluapnya penerbitan novel pop tidak otomatis menguntungkan pemasyarakatan sastra. Merupakan kenyataan permanen dari sejarah bahwa sastra “bukan pop” selalu merupakan sesuatu yang asing sehingga naïf untuk membicarakan pengaruhnya terhadap proses kebudayaan suatu masyarakat. Ketergelinciran sastra pop pada “hukum pelunturan” merupakan suatu yang mungkin saja terjadi dan hanya waktu yang dapat membereskannya. Sementara, Ashadi Siregar dengan judul makalah “Novel untuk Orang Muda” berkata bahwa novel adalah rangkaian tentang manusia. Sebagai cerita ia merupakan imitasi dari realitas. Dari mengimitasi realita, kita dapat memotret hasilnya persis realitas atau lebih indah dari warna aslinya. Melalui novel-novelnya Ashadi berharap bisa memberi suatu sikap sosial kepada orang-orang muda (pembaca). Menghadapi semaraknya novel pop di kalangan remaja, Sindikat Pengarang Yogyakarta mencoba memaparkan perkembang87
an novel tersebut pada setiap periode. Dalam tulisan berjudul “Jika Musimnya Habis, Novel Pop Quo Vadis” (Semangat, No. 10, Juni 1980, hlm. 20—22) Sindikat Pengarang Yogyakarta mencoba menyampaikan prediksi sekaligus kritiknya bahwa tahun 1950—1955 adalah periode novel picisan yang orientasinya soal kemesuman yang vulgar dan murahan; asal seru, tegang, seram, merangsang, menarik, sedangkan mutu dan bobotnya kurang diperhatikan. Tahun 1959—1969 adalah periode novel hiburan yang banyak ditulis oleh sastrawan masyur Motinggo Busye. Tema, problematika, gaya bahasa, ide-ide, dan plot masih cukup rapi terjaga, tidak berbeda dengan novel-novel sastra. Pada periode ini juga laris komik dan novel silat sebagai hiburan non-sastra (1960—1976). Tahun 1971—1977 adalah periode novel hiburan atau populer. Di tangan Marga dan Ashadi, kentara lebih serius, rapijali dan penuh intensi. Novel-novel jenis itu berusaha tampil dengan konsepsi dan misi yang lebih segar, punya posisi dan fungsi cukup besar. Tahun 1972— 1973, muncul Remy Silado menjadi proklamator puisi mbeling di majalah Aktuil, dan prosa mbeling di majalah SFF atau Pop. Tahun 1977—1980, menurut Eddy D. Iskandar, novel-novel pop seratus persen main-main, bobotnya sangat ringan tetapi laris. Di sisi lain pembacanya cepat bosan. Tokoh lainnya adalah Teguh Esha yang memaparkan novel-novel yang berploblematika lebih dewasa atau matang di dunia kaum muda. Penggarapannya serius dengan konsepsi-konsepsi yang terjaga. Periode ini dikatakan terjadi superinflasi novel pop di pasaran. Orang-orang pernah berpaling ke Barbara Cartland dan Agatha Christie. Sebelumnya orang-orang pernah terpesona N.H. Dini dan Putu Wijaya. Tahun 1978 muncul alternatif hiburan selain novel sastra dan novel pop. Keduanya juga memungkinkan untuk digabungkan menjadi novel pop-sas. Alternatif lainnya adalah munculnya novel drama. Selanjutnya, Tarscisius mengemukakan pandangannya dalam tulisan yang berjudul “Trend Novel yang Sukar Didekati” (Minggu Pagi, No. 18, Thn. ke-33, 3 Agustus 1980, hlm. 3) bahwa secara sosiologis perkembangan novel di Indonesia memang belum mendesak memerlukan kritikus khusus dan novel-novel “realitas imajiner” itu pun tidak terpaut waktu. Agaknya diferensiasi dalam sastra 88
harus terjadi, yaitu bahwa pergeseran mewujudkan kedalaman kemampuan, menunjuk ketidakseragaman medium, norma, dan nilai-nilai kehidupannya. Selain itu, kritik terhadap karya (sastra) yang memfokuskan persoalan tentang drama atau teater dan sandiwara juga tampak mewarnai gambaran kritik di Yogyakarta pada kurun waktu 1966— 1980, baik dari segi naskah maupun berbagai aspek pementasannya. Hal itu tampak dalam tulisan yang berjudul “Hamlet” karangan Paul Amman S.J. yang masuk dalam rubrik “Dialog” (Basis, Thn. ke-17, 1967—1968, hlm. 251, 256). Dalam tulisannya Paul mencoba memberikan komentar terhadap penulis di Basis bulan Maret yang menilai pementasan Hamlet oleh Starka dengan sutradara Jasso Winarto. Paul menyadari penulis itu rupanya sangat ahli dan terpelajar dalam ilmu drama. Maka, apa yang dikatakannya tentang gerak-gerak prosais-indikatif yang harus disertai gerakgerak puitis-ekspresif dan lain-lain itu ilmiah serta benar dan merupakan suatu kriterium objektif. Juga nesihat-nasihat yang diberikan sesudah setiap alinea itu bersifat ilmiah dan cocok dengan textbook-textbook mengenai teori pementasan drama. Namun, Paul berpendapat bahwa penerapan kriteria itu kurang tepat. Kalau penulis mengatakan bahwa “acting yang diciptakan sangat prosaik dan indikatif, tak pernah sampai kepada rohani penonton”. Maka, ini berarti just simply-nya tidak benar. Memang, menurutnya, kami (penulis kritik) bukan ahli ilmu drama, melainkan hanya seorang penonton biasa yang datang ke PBBI dengan sikap yang agak kritis. Bahwa, misalnya, adegan monolog to be or not to be “sama sekali tidak menggerakkan rohani penonton” adalah suatu generalisasi yang tidak objektif. Mungkin kesan kontemplatif, romantik, dan bitter itu memang tidak begitu muncul. Tetapi, apakah to be or not to be itu hanya dapat diinterpretasi sebagai kontemplasi, romantik, bitterness? Apakah dalam ungkapan yang penuh filsafat itu tidak lebih merupakan suatu nada yang cool-thinking, yang menghitung-hitung, yang bukan romantis, tetapi yang betul-betul kering dan hambar, yang justru menakutkan orang serta mengenai penonton karena keringnya dan calmnya itu, misalnya dalam melontarkan kecaman-kecaman 89
terhadap ibunya, dalam mengejar suami yang kedua dari ibunya, dalam adegan rombongan sandiwara yang merekontruksi pembunuhan, hal mana sudah mendekati cynisme, jadi yang sama sekali tidak romantis atau kontemplatif? Dalam hal ini, menurut penulis, drama Hamlet lain daripada tragedi-tragedi Shakespeare lainnya seperti Othello, Romeo and Julia, dan lain-lain. Justru dalam adegan-adegan yang sangat berat ini Jasso Winarto membuktikan pengertian, penghayatan, dan jiwa Hamlet. Bagi kami (penulis) tidak pernah timbul kesan hapalan saja. Dari permulaan sampai adegan terakhir Jasso menghayati suatu interpretasi (pengalaman rohani) Hamlet yang ditegaskan dengan konsekuen sepanjang seluruh drama. Dengan interpretasinya yang tepat ini ia (Jasso) berhasil mempertahankan konsentrasi para penonton selama lima jam, bahkan lebih, karena sesudah pementasan itu impressi-impressi masih mendorong penonton untuk lebih berrefleksi tentang drma besar ini. Kritik yang sama muncul dalam artikel Dick Hartoko yang berjudul “Teater Murni” dalam rubrik “Varia Budaya” (Basis, Thn. ke-17, 1967—1968, hlm. 349—350). Dalam artikelnya Dick Hartoko mengemukakan penilaian terhadap pementasan “Teater Murni” hasil Bengkel Teater asuhan W.S. Rendra yang diselenggarakan pada tanggal 19 Juli. Dikatakannya bahwa pementasan yang memakan waktu selama tiga setengah jam itu pada umumnya sungguh bermutu tinggi, lain dari yang lain dan menuntut perhatian serta penilaian dari para penonton terus-menerus. Apalagi karena “Teater Murni” harus ditafsirkan sebagai “teater tanpa teks, tanpa bahasa”. Hanya beberapa suara atau kata saja yang diperdengarkan, lain tidak. Sehingga dari gerak-gerik para pemain harus disimpulkan apa yang dimaksudkan. Jelaslah bahwa interpretasi dan apresiasi serupa ini hanya dapat dilakukan oleh publik yang cukup terdidik dan tidak terikat oleh kategori-kategori dari textbook. Menurutnya, melalui hasil seninya, W.S. Rendra, berusaha menimbulkan efek “shock” sehingga orang-orang akan terbangun dari pola hidupnya yang serba otomatis. Tinggal sekarang yang menjadi pertanyaan, berapakah jumlah orang yang berkesempatan mengalami terapi “shock” ini dan terhadap berapakah terapi ini 90
akan berhasil? Di lain pihak, Arief Budiman sebagai seorang psikolog menceritakan bahwa hanya orang ‘kuat’ yang dapat diajak untuk menerobos dinding kuno, tetapi orang-orang yang kurang kuat kepribadiannya dikembalikan kepada lingkungan mereka semula agar hidup secara harmonis. Mau tidak mau, seorang seniman mempunyai sebuah pesan bagi masyarakat sekitarnya. Pesan itu mungkin terasa tidak enak atau untuk sebagian kita tolak. Namun, tak dapat disangkal, dalam dunia seni drama Indonesia telah tercapai suatu taraf yang baru yang mendorong kita untuk mengadakan retrospeksi dan penilaian kembali secara kritis terhadap macam-macam patokan dalam hidup kita. Kaitannya dengan itu, Budi Darma dalam artikelnya “OrangOrang Aneh dalam Sastra” (Basis, Thn ke-18, 1968—1969, hlm. 300— 303) mengemukakan pandangannya tentang keinginan penulis (pengarang) dalam penciptaan karya sastra. Dikatakannya bahwa setiap novelis, penyair atau penulis drama tentulah mempunyai keinginan-keinginan tertentu dalam mencoretkan penanya dalam bentuk karya sastra. Demikian juga dalam menggambarkan manusia-manusia sinting, manusia-manusia aneh, tentunya mereka (penulis) juga mempunyai tujuan tertentu. Mereka tentulah menggambarkan orang-orang sinting tidak sekadar hanya akan menggambarkan orang-orang sinting belaka tetapi tentu ada yang melatarbelakanginya. Katanya, setiap karya sastra bukanlah karya yang semata-mata hanya menonjolkan sensasi. Pekerjaan setiap karya sastra pasti tidak hanya menarik pembacanya untuk digejolak atau dirangsang perasaannya karena ketegangan-ketegangan sensasional dalam karya itu, dan juga tidak hanya mendebar-debarkan hati pembacanya karena bentrokan-bentrokan kekuatan fisik. Bukan itu kerja karya sastra. Bukan itu pula tujuan yang sebenarnya orang membaca karya sastra. Ada unsur-unsur lain yang lebih hakiki. Karya sastra menarik pembaca karena kedalamannya. Kedalaman karena filsafat hidupnya, kejiwaannya, dan persoalan yang diungkapkan sendiri. Orang-orang aneh dalam sastra tidak dimaksudkan sematamata untuk memancing sensasi murah. Banyak memang orangorang sinting yang dijadikan bahan oleh penulis-penulis-bukan 91
literer untuk memancing sensasi-sensasi yang dapat merangsang dan menegangkan syaraf pembaca. Misalnya, dalam cerita-cerita koboi yang diisi oleh orang-orang sinting yang kemudian berlanjut pada adu jotos dan baku tembak. Sensasi mau tak mau mesti terbentuk, meski sensasinya mempunyai nilai lain, seperti Don Quixote (novel), Hamlet (Drama), dan Prufrock (puisi). Selain itu, G.B. Shaw, penulis drama pemenang hadiah Nobel untuk sastra dalam pengantar pada kumpulan dramanya Plays Pleasant yang dicetak oleh penerbit Penguin di Edinburg (1955:8) mengemukakan prinsip yang harus dipegang oleh penulis (pengarang) naskah drama bahwa drama harus menyuguhkan konflik. Tanpa konflik, bukanlah drama. Budi Darma berpendapat bahwa prinsip G.B. Shaw itu juga berlaku bagi bentuk karya sastra lainnya. Konflik menimbulkan unsur sensasi meskipun sensasi yang tidak sama kelasnya dengan sensasi-sensasi dalam karya-bukan-literer. Kecuali kesintingan sendiri membentuk sensasi, kesintingan juga membentuk konflik. Dalam konflik juga membentuk sensasi. Bang Aziz dalam tulisannya “Mengintip Bengkel Rendra” (Minggu Pagi, 7 Juni 1970) mengemukakan keinginan Rendra mengetengahkan suatu pagelaran yang religius dengan judul yang sepintas boleh jadi asing bagi para pembaca, yaitu Kasidah Al-Barzandji. Dalam persiapannya itu Rendra melatih para crew dengan latihan koor bersahut-sahutan diselingi dengan solo. Adegan ini secara menyeluruh dapat dibandingkan dengan adegan Oidipusnya Rendra. Koor itu menyuarakan kalimat-kalimat berbahasa Arab, adzan, dan pengajian. Menurut Rendra, pergelaran ini tidak banyak memerlukan gerak, tetapi tata lampu memegang peranan penting dan menjadi bagian yang turut menentukan berhasil tidaknya eksperimen. Artikel ini sekaligus menjawab pertanyaan Hadjid Hamzah dalam tulisannya beberapa minggu lalu “Allahu Akbar”? Dalam Kasidah Al-Barzandji ini para pembaca mendapatkan jawaban secara jelas. Sementara itu, Soewarno Pragola dalam tulisan berjudul “Puisi dan Drama” (Semangat, No. 12, Agustus 1972, hlm. 20—22) mengemukakan kritiknya bahwa selama ini puisi dan drama dianggap sulit untuk dipahami. Keduanya adalah cabang seni yang memerlukan 92
pemikiran untuk memahaminya. Untuk itu, diperlukan sebuah apresiasi untuk memberikan penjelasan terhadap karya-karya yang dianggap sulit tersebut. Untuk mengapresiasi puisi dan drama tidaklah perlu menghapalkan teori-teori yang ada. Mulailah dengan membiasakan diri menjadi penikmat puisi dan drama yang akan mengasah kepekaan dan intuisi yang merupakan unsur apresiasi yang pokok. Lebih-lebih jika menikmati pertunjukan puisi dan drama secara langsung, mendekatinya dengan simpati. Dengan membiasakan diri itulah apresiasi akan berkembang. Menghadapi sepinya naskah-naskah drama remaja, Bakdi Soemanto dalam artikelnya “Seni Drama: Memerlukan Naskah Remaja” (Semangat, No. 3, November 1972, hlm. 28—30) mengemukakan kritik dan harapannya kepada para guru bahwa saat ini naskah drama remaja sangat sukar diperoleh. Untuk itu, seyogianya naskah remaja banyak dimunculkan dengan penulis yang mempunyai kemampuan. Mementaskan naskah-naskah remaja itu di panggung-panggung sederhana dengan para pemain remaja. Di Yogyakarta, banyak sekolah yang mengajarkan seni drama, begitu juga bengkel-bengkel teater banyak tersebar di kota ini. Kehidupan remaja sekarang jauh membutuhkan sikap keterbukaan dan toleransi serta sikap sependeritaan dalam suka dan duka dari gurunya. Hal yang terpenting, para guru harus meyakinkan bahwa mereka harus aktif mengekspresikan dunia yang ditampilkan lewat pementasan. Kegiatan seni drama antar SLTA akan memberikan banyak manfaat bagi remaja itu sendiri yang haus akan hiburan, dan para guru akan memperoleh gambaran seberapa jauh tumbuhnya bakatbakat bagi siswanya. Senada dengan hal itu, dalam “Timbangan Buku: Kumpulan Naskah Sandiwara” terbitan Teater Muslim Yogyakarta, 1979 (Suara Muhammadiyah, Thn. ke-60, Januari 1980), MD (redaktur) mengemukakan bahwa buku Kumpulan Naskah Sandiwara yang memuat lima naskah sandiwara televisi karya Pedro Sudjono bersama dengan Balada Nyawa Saringan (kumpulan puisi) karya Mohammad Diponegoro itu diterbitkan dalam rangka memperingati ulang tahun Teater Muslim Yogyakarta dalam usianya yang mencapai 18 tahun. Dalam artikel itu, MD mengemukakan alasan Teater Muslim untuk 93
menerbitkan naskah drama itu sebagai buku. Hal itu dikarenakan sudah banyak sandiwara dipentaskan tetapi buku naskah drama termasuk yang paling sulit didapat di toko buku. Selain itu, penerbit juga tidak banyak yang menaruh minat terhadap naskah sandiwara, panggung maupun televisi. Padahal kenyataannya, Teater Muslim selama ini sering kewalahan karena datangnya permintaan kelompok-kelompok drama di berbagai kota untuk mendapatkan naskah sandiwara. Sebenarnya naskah semacam itu sudah banyak tersimpan di bank naskah yang dikelola oleh Dewan Kesenian Jakarta, siap untuk dikirim pada siapa saja yang ingin membelinya. Terutama drama asing yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Umar Kayam dalam esainya yang berjudul “Tradisi Baru teater Kita” (Basis, XXIX-12, September 1980, hlm. 366—370) mengemukakan gagasannya bahwa ada tiga macam teater-kota yang kini hidup berdampingan dalam satu latar kota, tetapi alangkah berlainan jumlah dan macam khalayak, penonton, penggemar yang mereka hadapi. Wayang-orang, yang oleh Rendra diduga mempunyai khalayak lebih besar dari khalayak teaternya sendiri, ternyata juga sedang mengalami krisis khalayak, adalah tetaer-kota yang agaknya sedang kerepotan menentukan formatnya dalam latar kota seperti sekarang. Ia dilahirkan dan tumbuh dalam latar kota yang berlainan sama sekali. Srimulat, teater kota masa kini yang komersial yang sangat sukses menggalang khalayaknya, adalah teater yang mungkin sekarang ini paling pas menemukan formatnya dalam latar kota masa kini. Sedang teater kota kontemporer seperti Rendra dan “sebangsanya”, teater yang masih sedikit khalayaknya, adalah juga teater yang sedang membentuk formatnya yang pas. Ia dilahirkan dalam latar kota kontemporer yang sangat ambivalent orientasi kulturnya. Sementara ia memilih peranan yang baru dari satu teater dalam kebudayaan baru. Tradisi teater baru kita akan mungkin ditempuh lewat satu konsep solidaritas dan tradisi tidak usah harus hilang dari suatu masyarakat modern sekalipun. Berbagai etos, nilai, komitmen hadir juga dalam masyarakat maju. Dan itu tidak banyak berbeda dengan solidaritas, tradisi, dan sebangsanya. 94
Sikap memprihatinkan ditunjukkan oleh H. Kesawa Murti dalam melihat munculnya grup-grup teater remaja saat itu. Dalam artikelnya yang berjudul “Wajah Teater Remaja dan Penempaan Sikap Berteater” (Minggu Pagi, No. 25, Thn. ke-33, 21 September 1980, hlm. 4) Kesawa Murti memberikan komentar bahwa ia merasa ngenes ‘sedih’ menyaksikan grup-grup tetaer remaja yang baru tumbuh sudah mulai terserang rasa terpikat oleh keindahan-keindahan luar dan kemewahan angan-angan. Rasa keterpikatannya itu tumbuh sebagai ciri ambisi yang meledak-ledak. Ini patut disayangkan mengingat bahwa dari semangat dan dorongan itu memperlihatkan perspektif yang positif. Sesungguhnya dorongan itu dapat dipergunakan sebagai persiapan untuk menuju kepada sikap berteater. Bukan sebagai obral-obralan predikat. Kenyataan berteater sungguh berbeda dengan kenyataan yang dilihat dalam anganangan. Bisa saja seseorang dapat menjadi seorang aktor maupun aktris yang berhasil tetapi bisa juga seorang seniman teater yang gagal. Teater membutuhkan aktivitas, membutuhkan keterlibatan langsung, membutuhkan kreativitas dan juga banyak membutuhkan keberlangsungan individu secara kolektif. Data lain menunjukkan bahwa kritik terhadap karya (sastra) berupa komik juga tampak hadir dalam perkembangan sastra di Yogyakarta pada kurun waktu 1966—1980. Juliur Pour dalam tulisannya “Buku Komik yang Dibenci dan yang Disayang” (Semangat, No. 4, Desember 1971, hlm. 28—30) mengemukakan perkembangan komik dari awal hingga akhir. Dikatakannya bahwa kata komik mempunyai arti “yang lucu”, tetapi akhirnya orang menyebut semua cerita bergambar dengan istilah cerita komik. Di Indonesia cerita komik mulai dikenal tahun 1954 ketika seorang penerbit di Bandung, Melodie Komik, mulai membuat cerita-cerita bergambar berbentuk buku. Sejak itu, komik mulai menyebar ke kota lain walaupun ada suara yang menentang tetapi penerbitan komik tetap berjalan dengan menyisipkan soal-soal ujian dan bahan pelajaran di samping gambar-gambar yang dihidangkan. Banyak tokoh komik jagoan yang tidak pernah kalah dan akhirnya perlu dihilangkan semacam Siti Gahara dan Puteri Bintang. Selanjutnya tinggal cerita-cerita komik hasil saduran dari kisah-kisah wayang, sampai 95
akhirnya datang pelukis komik dari Suriname, Taguan Hardjo, yang memberi nafas baru melalui cerita-cerita yang diterbitkan dari kota Medan. Buku komik diminati karena terdapat gambar sehingga orang akan mudah memahami cerita. Buku ini ada yang menguntungkan dan ada yang merugikan serta berakibat negatif dalam perkembangan jiwanya. Keadaan itu sebenarnya tergantung dari penafsiran dan perlakuan pembaca terhadap komik tersebut. Demikian gambaran ringkas mengenai kritik terhadap karya (sastra) di dalam khazanah kritik sastra Indonesia di Yogyakarta pada kurun waktu 1966—1980. Dari gambaran tersebut dapat diketahui bahwa kritik terhadap karya sudah menunjukkan perkembangan yang sangat baik, beragam karya sudah dimunculkan walaupun lingkup yang dibahas belum menyeluruh, dalam arti sebagian kritik masih terbatas pada tema dan lingkungan sosialnya. 3.2.3 Kritik Terhadap Penerbit/Pengayom Tidak berbeda dengan yang terjadi pada masa-masa sebelumnya, kritik terhadap penerbit/pengayom pada kurun waktu 1966 hingga 1980 pada umumnya juga ditulis oleh pembaca, baik dalam bentuk berita, surat pembaca, maupun tulisan atau artikel lepas lainnya. Tulisan tersebut biasanya berisi kritik, harapan, dan keinginan pembaca atau pihak lain terhadap kelangsungan hidup suatu media. Kritik tersebut sangat bermanfaat bagi penerbit/pengayom untuk menjalin komunikasi, memperbaiki diri, memenuhi keinginan masyarakat (pembaca), dan meningkatkan kinerja serta memperbaiki kualitas produk (media) yang dihasilkan. Dalam tulisan “Lawan Pornografis” (Semangat, No. 3, November 1968), misalnya, Pendjaga Dapur Masakan Spirit secara tidak langsung merupakan otokritik, yakni memberikan kritik kepada Semangat sendiri. Menurutnya, sekarang ini Semangat sudah memasuki fase offser dengan banyak mengantongi berbagai kemungkinan yang amat luas. Karena itu, mampukah para muda-mudi (pengelolanya) mengisi kemungkinan yang ditawarkan Semangat? Sebab, di sisi lain banyak tabloid dan surat kabar yang memaparkan gambar dan tulisan yang bersifat pornografis sehingga meracuni pembaca. Kata pornografi tampak hanya untuk memperindah saja. Hal 96
yang terjadi adalah bahwa orang telah melupakan tanggung jawab moral dengan mengeksploitasi rendahnya nilai untuk mendapatkan keuntungan finansial yang tinggi. Maka, mampukah generasi muda menangkal adanya pemberitaan yang bersifat pornografis? Pertanyaan yang dilontarkan oleh “penjaga dapur spirit” itu sebenarnya adalah sebuah kritik terhadap para pengelola Semangat sekaligus mendukung tindakan Menteri Penerangan Budiardja melarang terbitnya mingguan pornografis. Di era sekitar tahun 1979, Ragil Suwarno Pragolapati dalam tulisan berjudul “Antologi Stensil: Masih Punya Iklim dan Musim” (Masa Kini, No. 222. Thn XIII, 15 Januari 1979) menyoroti kehidupan antologi dalam bentuk stensil (tidak dicetak). Dalam tulisan itu ia mengemukakan bahwa siapa yang mula-mula membuat antologi stensil tidaklah dapat dilacak. Tetapi, di sekitar tahun 1955, di beberapa SMA di Yogya lahir antologi stensil, dan ini mewabah pada tahun 1970-an, dan diyakini antologi stensil akan terus lahir, terus dibuat, karena relatif lebih mudah dan murah. Walau hanya dalam bentuk stensil, penyusun merasa puas karena hal itu berarti karyanya telah dibaca orang lain. Melalui tulisan ini tampak bahwa Ragil sebenarnya berharap kepada para pengayom agar senantiasa memperhatikan penerbitan buku antologi karya sastra. Sementara itu, di harian Masa Kini, No. 2 Thn. XVI, 16 April 1979, muncul berita tentang harapan digalakkannya penerbitan. Dalam tulisan berjudul “Buku Sastra dan Seni Modern Penerbitan agar Digalakkan” itu dinyatakan bahwa —ketika diadakan pelantikan Drs. Soetoyo Gondo menjadi Direktur Utama PN Balai Pustaka tahun 1979 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef— untuk mengejar ketinggalan dari negara-negara maju, sekurang-kurangnya kita harus berbuat dan melakukan perintisan menuju pelaksanaan kebijaksanaan perbukuan nasional sebagai penunjang strategi pendidikan nasional. Oleh sebab itu, Balai Pustaka diharapkan menjadi pendukung usaha penerbitan buku sastra dan seni modern. Agak berbeda dengan tulisan di atas, dalam tulisan berjudul “Menengok Perkembangan Majalah di Indonesia” (Minggu Pagi, No. 3, 24 April 1977) Zan Zappha Group memaparkan perkem97
bangan majalah di Indonesia. Dikatakan bahwa pers di Indonesia boleh bebas tetapi harus bertanggung jawab. Keadaan ini tidak dapat ditunjang oleh wartawan yang hanya menjadi tukang lapor seperti yang banyak dipunyai oleh media saat ini. Menurutnya, tahun 1976 merupakan tahun penurunan oplag majalah-majalah. Beberapa majalah lenyap dari peredaran alias mati. Faktor penyebabnya adalah urusan di luar penerbitan dan isi, misalnya daya beli masyarakat yang menurun, di samping faktor manajemen, marketing, kepemimpinan, dan orang di balik layar. Oleh sebab itu, menurutnya, mengelola majalah haruslah profesional, bertanggung jawab, dan tidak semata menuruti selera rendah pembaca. Managing editor majalah Semangat menulis dalam “Opini Tokoh-Tokoh Penting” (Semangat, No. 11, Agustus 1980), bahwa di Cipanas, November 1979, Yulius R. Siyaranamual menyerukan bahwa Indonesia butuh majalah-khusus untuk membina caloncalon pengarang/sastrawan/kader pengarang ilmiah/popular. Dikatakan pula bahwa majalah Semangat cukup serius dalam membina/mengasuh para kader pengarang. Sebab, setiap naskah yang masuk selalu diberi surat kritik, ulasan, penilaian, dan komentar oleh pengasuhnya. Namun, sebaliknya, The Eng Gie mengutarakan bahwa kader pengarang tidak diperlukan dan sebaiknya dihentikan dengan alasan memakan biaya karena para kader tidak mau membantu redaksi terutama dalam bidang finansial, misalnya memberikan perangko balasan. Bahkan pada tahun 1979, Departemen P & K memberi penilaian bahwa Semangat bukan lagi majalah pendidikan tetapi sudah bercorak majalah umum, padahal tahun 1973/ 1973 telah memberikan pujian dan penghargaan resmi. Sedangkan Lembaga Pers dan Pendapat Umum Kanwil Departemen Penerangan Yogyakarta masih melihat Semangat tetap setia melestarikan dedikasinya, tabah menghadapi tantangan dan kesulitan. Beberapa tokoh penting berpendapat Semangat sudah berhasil menjadi media komunikasi dan solidaritas kaum muda. Hanya saja dari segi finansial sungguh memilukan. Komentar dan opini orang-orang penting juga banyak yang tidak dimuat di sini karena sifatnya off the record, tidak boleh dipublikasi dan dinikmati pembaca, tetapi bagi redaksi menjadi sumber kritik dan input yang sangat perlu dipertimbangkan. 98
Memasuki tahun 1980, redaksi Basis, Thn. XXX-1, sesuai Hasil Angket Basis Tahun 1980, memaparkan bahwa Basis disarankan untuk memuat cerpen dan cerbung. Sebab, selama ini karya sastra tampaknya tidak atau kurang diperhatikan pemuatannya. Hasil angket ini menunjukkan siapa pembaca Basis dan rubrik apa saja yang disukai atau tidak disukai. Pembaca Basis umumnya adalah dosen, guru, mahasiswa, siswa, rohaniwan, pegawai negeri, pegawai swasta, ABRI, wartawan, wiraswasta, dll. Sementara, jumlah pembaca topik sastra, seni, dan bahasa menempati urutan ke-4 dari 12 topik yang ada. Hanya saja, di sini tidak dijelaskan seni apa saja yang dibaca (disukai) oleh pembaca sehingga tidak jelas pula sebenarnya pembaca sastra Indonesia. Kritik serupa tampak pula dalam “Surat-Surat Pembaca”. Dikatakan dalam Semangat, No. 7, Maret 1972 bahwa Semangat banyak memuat foto sehingga terkesan menjurus ke arah majalah foto. Selain itu, penulis surat itu juga bertanya mengapa Semangat edisi Januari 1972 tidak ada ruangan sahabat pena. Sementara itu, dalam terbitan No. 9, Mei 1972 muncul surat yang mempertanyakan mengapa Semangat edisi Februari 1972 tidak ada rubrik “Puisi Bersemi”. Padahal, rubrik itu sangat dinanti banyak pembaca. Apakah hal ini disebabkan oleh tulisan Emmanuel Subangun berjudul “Membunuh Puisi-Puisi Jelek” yang dimuat Kompas 5 Januari 1972? Sementara itu, Ragil Suwarno Pragolapati mendapatkan pujian dalam surat pembaca Semangat, No. 9, Mei 1980. Dikatakan dalam surat itu bahwa mereka merasa puas dan bangga karena ada bimbingan yang diberikan oleh Pragolapati dalam mengasuh cerpen-cerpen para pemula. Tercermin dari pujian itu bahwa langkah redaksi Semangat adalah tepat sehingga hal itu harus diteruskan. Tidak berbeda dengan tulisan di atas, kritik kepada penerbit juga disampaikan melalui surat. Dalam Semangat, No. 4, Desember 1968 Suster Franceline melalui surat pembaca menyatakan keberatan atas pemuatan cerpen berjudul “Di Teras Panti Rapih” pada terbitan November. Sebab, menurutnya, cerpen yang mencantumkan nama Suster Franceline pada akhir karangan itu dirasa dapat menyinggung perasaan dan dapat mengakibatkan salah tanggap 99
dari para pembaca karena tanpa diberi kata pengantar apa pun. Padahal, menurutnya, karangan itu tidak nyata sama sekali. Sementara itu, Yunus Mukri Ali melontarkan kritik melalui rubrik dialog (Basis, Thn. XXVI, Oktober 1976). Yunus menyatakan, karya Arifin C. Noor dan cerpen G. Tasimba berjudul “Perkawinan di Atas Kuda” yang dimuat Basis belum memenuhi standard estetika sastra, tetapi hanya sebagai gejala fantasi belaka. Maka, ia menyarankan agar redaksi hendaknya selektif dalam memuat karya sastra. Tentu hanya karya yang baik yang ditampilkan, bukan asal karya saja. Kritik yang hampir serupa datang dari Darwis Khudori dalam Suara Muhammadiyah, No. 7, Thn. ke-55, April 1975. Melalui surat pembaca berjudul “Cerpen Mana, Cerpen Siapa?” Darwis menyampaikan kritik bahwa selama ini Suara Muhamadiyah hanya memuat cerpen karya orang itu-itu saja (Mohamad Diponegoro, Adjib, dan Abdulhadie). Karena itu, ia kemudian bertanya, apakah memang tidak ada penulis lain? Sementara itu, masih di Suara Muhammadiyah (No. 2, Januari 1973), S. Tirtoatmodjo menulis kritik sekaligus mengusulkan agar Suara Muhammadiyah memperbanyak rubrik, misalnya filsafat, ilmu pengetahuan, seni-budaya, agama, dan ekonomi. Usulan yang sama juga datang dari Joko Susilo dalam Suara Muhammadiyah, No. 21, Oktober 1975. Ia mengusulkan bahwa hendaknya majalah ini menambah ruang untuk kreativitas remaja. Akan tetapi, anehnya, dari hasil angket SM tahun 1975 (Suara Muhammadiyah, No. 12, 1976) ada sebagian pembaca (10%) yang menghendaki agar rubrik cerpen dihilangkan. Namun, ada pembaca yang mengusulkan agar Suara Muhamadiyah selalu memuat puitisasi terjemahan alquran karena bisa menjadi ciri khas majalah. Sebab, katanya, tanpa terjemahan Alguran, SM tidak terasa ada artinya. Bahkan, kalau memungkinkan dimuat juga puitisasi terjemahan Hadits. Kritik dan usulan terhadap perbaikan kinerja penerbit/pengayom tampak pula dalam surat pembaca (Semangat, No. 10 Juni 1980). Usulan itu, antara lain, Semangat hendaknya (1) menambah jumlah halaman, tetapi harga jangan terlalu tinggi seperti sekarang “Rp300,00” melainkan cukup “Rp250,00”; (2) pemuatan profil100
profil tokoh hendaknya diselang-seling, misalnya Affandi, tukang parkir, Rendra, tukang ukir, Bagong Kussudiarjo, sopir colt-kampus, Wisnu Wardhana, kusir andong, Sukaji Ranuwiharja, bakul gudeg, Pater Dick Hartoko, calo stanplat, dan lain-lain; (3) menampilkan “Resensi Kegiatan Seni Budaya”; dan (4) membuka rubrik “Mahasiswa Bicara” dalam pembicaraan yang logis, kritis, dan kreatif, karena Yogyakarta adalah gudang mahasiswa. Dalam rubrik yang sama (Semangat No. 1, September 1970) pembaca memberikan kritik tentang sampul dan isi. Banyak pembaca menginginkan sampul luar sebaiknya berwarna terang, jangan yang gelap. Cerita-cerita yang kurang bersemangat dan kurang enak dibaca tidak usah dimuat, seperti “Surat Dari Osaka” dan “Seni Murni”. Sementara itu, dalam terbitan No. 10, Juni 1971, Semangat mendapat kritik karena menggunakan huruf terlalu kecil sehingga sulit dibaca oleh orang tua, di samping ada saran agar peredaran majalah ini jangan terlambat. Sedangkan dalam edisi No. 2, Oktober 1971, oleh pembaca, Semangat sekarang dinilai terlalu tipis, kurang enak dipegang. Bagaimana kalau ditambah halamannya dan harganya dinaikkan agar tambah baik? Pembaca bosan dengan lukisan gadis mini idjo yang selalu menghiasi ruang KS. Apakah tidak ada rencana untuk menggantinya? Itulah pertanyaan sekaligus kritikannya. Selain itu, dalam edisi 5 Januari 1972, ada kritik yang menyatakan bahwa pembaca Semangat kecewa karena pada edisi November 1971 tidak ada Plumoo si Indian Urakan, padahal 57% pembaca menginginkannya. Dalam rubrik “Yang Berceceran” (Semangat, No. 11, Agustus 1980) muncul permintaan bahwa agar pembaca setia kepadanya redaksi hendaknya memberi bonus, misalnya antologi prosa puisi, kalender, album tahunan, edisi ekstra. Selain itu, hendaknya Semangat juga menurunkan harga langganan dan menambah jumlah halaman. Namun, jawaban redaksi, hal ini sulit dipenuhi karena sejak 15 Nopember 1978 harga kertas sudah naik berlipat ganda dan biaya produksi melonjak. Penerbit juga mengalami defisit per bulan Rp18,00 untuk prangko balasan kepada pembaca. Semangat juga lemah dalam pemasaran sehingga sulit didapatkan di kotakota lain. Penyebaran Semangat hanyalah lewat langganan pusat, 101
sekolah-sekolah Katolik, Seminari, Paroki/Gereja, Asrama-asrama, kenalan, dan kolega. Tidak ada operasi penjualan secara terbuka karena makan banyak biaya, tenaga, dan waktu. Menurut observasi para ahli, dengan keadaan ini seharusnya Semangat sudah gulung tikar sejak 1977, tetapi berkat upaya keras dan kerja sama yang baik dari redaksi, pembaca, agen, pecinta, dan pelanggan, Semangat bisa mencapai usia seperempat abad. Sementara itu, majalah Suara Muhammadiyah mendapat masukan tentang sirkulasi majalah yang sering terlambat dan tidak lancar. Ada kalanya datang, ada kalanya tidak. Tiap tahunnya yang datang hanya kurang lebih 50%. Pembaca meminta agar sirkulasi majalah Suara Muhammadiyah lebih diperhatikan. Kritikan ini berasal dari S. Kartamiharja, Tjicateum Dajeuhluhur, Majenang, Jateng, yang dimuat dalam rubrik “Pembaca Menulis” (Suara Muhammadiyah, No. 11, Th. ke-52, Juni 1972). Sementara itu, dari pihak penerbit dalam upaya mempertahankan kelangsungan hidupnya, Suara Muhammadiyah memasuki tahun 1974 mengumumkan kenaikan harga (dari Rp100,00 menjadi Rp125,00) dengan pertimbangan agar terus dapat menjalankan roda kehidupannya. Pengumuman ini dimuat di Suara Muhamadiyah, No. 23, Desember 1974. Hal yang sama dilakukan pula oleh Basis pada tahun 1978, yakni harga eceran menjadi Rp25,00 dan harga langganan menjadi Rp1.800,00. Demikian selintas munculnya beberapa kritik terhadap beberapa media massa cetak di Yogyakarta yang menjadi media publikasi karya-karya sastra Indonesia. Kritik yang disampaikan cukup beragam, dalam arti tidak hanya berkaitan dengan keberadaan sastra, tetapi juga berkaitan dengan hal-hal lain yang pada intinya penerbit atau pengayom diharapkan dapat memenuhi keinginan pembaca, termasuk pembaca sastra Indonesia. Dalam konteks kehidupan media, yang berarti juga konteks perkembangan isi — termasuk sastra—, kritik ini dirasa sangat penting karena dengan demikian media tersebut dapat berperan lebih baik dalam melayani atau menjangkau masyarakat pembaca.
102
3.2.4 Kritik Terhadap Pembaca Tidak jauh berbeda dengan kritik terhadap penerbit/pengayom, kritik terhadap pembaca juga mencakupi berbagai hal, di antaranya ialah tidak adanya perhatian pembaca terhadap sastra dan atau pengarang, lemahnya daya beli masyarakat (pembaca), dan terabaikannya fungsi dan peran sastra dalam kehidupan bermasyarakat. Ahar dalam esainya “Membaca Poesi Terjemahan: Menyambut The Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar” (Basis, Thn. XX1, Oktober 1970, hlm. 185—191) mengemukakan kritiknya pada pembaca yang menganggap bahwa terjemahan-terjemahan Burton Raffel terhadap sajak-sajak Chairil Anwar terlalu bebas. Ia menyarankan jangan buru-buru mengklaim terjemahan itu buruk atau kurang baik. Sebab, menurut Burton, terjemahan yang baik adalah keagungan bahasa poesi yang diterjemahkan ke dalam bahasa barunya, bukan keagungan atau keampuhan bahasa aslinya. Bagaimanapun juga, Burton masih tetap sadar akan adanya perbedaan antara penterjemah dan penyair. Penyair, selama dia seorang penyair dalam arti yang sesungguhnya, bukanlah milik suatu masa tertentu, melainkan milik segala zaman. Sebaliknya, seorang penerjemah datang dari kalangan pembaca yang terbatas pada zamannya sendiri. Dengan begitu, karena setiap zaman mempunyai pandangan tersendiri tentang keagungan karya-karya Homerus, Horatius, Sappho, Chairil Anwar, dan seterusnya, setiap zaman haruslah menerjemahkan karya-karya tersebut untuk pemuasan zamannya sendiri. Kenyataan inilah yang oleh Burton di dalam artikel tersebut disebut sebagai “sekaligus hukuman dan anugerah bagi setiap terjemahan yang berhasil, sebab poesi terjemahan, kalau bukan poesi yang lahir kembali, hanyalah omong kosong belaka”. Kedekatan hubungan agama dengan sastra ditunjukkan oleh Th. Koendjono dalam tulisan “Agama dan Sastra” (Basis, XX-1, Oktober 1972, hlm. 354—356,382) yang disampaikan dalam ceramah di FSK UGM pada Pekan Ilmiah FSK, Januari 1971. Dalam tulisan itu Th. Koendjono mengemukakan pendapatnya bahwa bagi kesenian, agama adalah sumber inspirasi untuk segala bidang kesenian: seni bahasa, seni musik, seni patung, seni tari, dan seni 103
drama. Bahkan, bagi beberapa bangsa, untuk beberapa bidang kesenian itu, agama adalah tempat kelahirannya. Sebaliknya, kesenian adalah cara pengungkapan untuk religius experience dan jiwa beragama yang wajar, yang sederajat, dan yang tepat. Keduanya (agama dan sastra) mempunyai kaitan yang erat dalam kehidupan manusia, kerja samanya dalam sejarah, dan di masa depan. Tan Lelana dalam tulisannya “Suara Muhammadiyah Memasuki Tahun ke-53” (Suara Muhammadiyah, No. 1, Thn. ke-53, Januari 1973) mengemukakan kritiknya terhadap pembaca pada umumnya, bukan pembaca sastra pada khususnya. Namun, dengan kritik semacam itu, berpengaruh juga pada pembaca sastra, sebab pembaca sastra juga implisit menjadi pembaca umum majalah Suara Muhammadiyah. Kritik terhadap pembaca yang dapat dikatakan cukup pedas karena kekurangpengetahuan atau pengenalan mereka terhadap sastra disampaikan oleh Noeng Runua M. dalam tulisannya “Sastra Itu Omong Kosong” (Pelopor, No. 263, 16 September 1978, hlm. 4). Lewat tulisan tersebut ia menyatakan masih ada anggapan dari masyarakat pada umumnya bahwa “sastra” hanyalah lamunan, khayalan, impian, dan “omong kosong”. Terbukti sastra cukup tersisih —meski tidak sepenuhnya— dari kehidupan mereka. Novel-novel serius dan kumpulan-kumpulan puisi tinggal berdebu di toko-toko. Banyak orang tertawa ketika diajak omong tentang sastra. Bahkan sampai ada yang menertawakan seseorang yang tengah membawa majalah Horison. Anehnya, sebagian dari yang berkata demikian adalah orang-orang yang cukup bisa berpikir dan cukup berpengetahuan (berpendidikan). Hal itu, katanya, barangkali disebabkan oleh belum cukup pengetahuan atau pengenalannya terhadap sastra. Belum banyak buku-buku sastra yang dibacanya. Belum pernah mencoba membaca karya dengan penuh penghayatan dan terbebas dari prasangka buruk sehingga sangat tipis apresiasi sastranya. Anggapan demikian bisa juga muncul dari orang-orang yang baru membaca karya novel-novel pop atau hiburan, cerpen main-main, karya-karya ringan yang tidak berpikir tentang bobot. Karya yang menyinggung hidup hanya dapat kulit luarnya belaka. Karya-karya semacam itu kebanyakan dimuat di 104
majalah-majalah hiburan atau diterbitkan oleh penerbit-penerbit komersial. Kebanyakan yang menulis karya-karya semacam itu adalah para remaja yang baru mulai menulis atau pengarang-pengarang senior yang menulis dengan pamrih mencari uang semata. Jakob Soemarjo dalam Majalah Poestaka Nomor 4, tahun 1978 juga mengatakan bahwa “di Indonesia, karya-karya semacam itu justru banyak sekali diterbitkan dan banyak pula penggemarnya, terutama para remaja dan ibu-ibu yang masih terpukau oleh liuk-liuk romantisme asmara.” Sementara itu, esai berjudul “Seni, Pada Dasarnya Menuju ke Kesempurnaan” karya Marsudi Asti (Masa Kini, No.235, Thn. XIII, 12 Februari 1979) berbicara tentang seni pada umumnya, bukan khusus sastra. Dalam esai itu penulis menekankan bahwa seni pasti bertujuan, yaitu mencapai kesempurnaan (bagi pembaca). Meskipun sempurna itu tidak ada akhirnya, tetapi kesempurnaan tetap harus diraih dan diusahakan. Sebab, pada hakikatnya, seni menyesuaikan pada tujuan manusia (pembaca). Sedangkan A. Teeuw dalam esainya berjudul “Tentang Paham dan Salah Paham dalam Membaca Puisi” (Basis, Thn. XXIX-2, November 1979) mengemukakan penjelasannya tentang bagaimana seharusnya membaca puisi khususnya dan sasra pada umumnya. Katanya, dalam membaca sastra, kita (pembaca) tidak bisa lepas dari konvensi bahasa, sastra, dan budaya. Sebab, latar belakang pembaca berbeda-beda, tentulah karya yang sama akan sangat mungkin berbeda penafsirannya. Di samping itu, tercermin dari “Hasil Angket Suara Muhammadiyah Tahun 1975” (Suara Muhammadiyah, No. 2, Tahun 1976, hlm. 31), redaksi Suara Muhammadiyah berhasil mengumpulkan isian angket dari para pembaca. Namun sayang, jawaban angket yang diterima tidak cukup banyak sehingga hasilnya belum bisa dianggap memadai untuk dijadikan dasar mengetahui apa yang diinginkan oleh pembaca. Namun, dari sekian banyak angket yang masuk dapat ditangkap bayangan apa “selera” pembaca. Dari sekian banyak penjawab hanya 4% wanita. Seluruh penjawab berusia lebih dari 17 tahun dan 23% darinya berpendidikan lebih dari SMA atau yang sederajat. Rubrik yang paling digemari pembaca dan 105
menempati urutan ke-1 dari 12 topik yang ada adalah “Tafsir Wahyu Illahi”. Sedangkan pembaca topik sastra (Puitisasi Terjemahan Alquran) menempati urutan ke-9 dari 12 topik yang ada, dan cerpen mendapat penilaian “jelek” dari pembaca. Penilaian itu dapat diartikan sebagai penilaian mengenai mutu tulisan tetapi juga kecenderungan untuk menyukai atau tidak menyukai rubrik yang bersangkutan. Untuk rubrik “Seni dan Budaya” hal itu masih merupakan usulan dan saran dari pembaca untuk tulisan yang perlu ditambahkan pada penerbitan berikutnya. Selanjutnya, melalui tulisan “Hasil Angket Basis Tahun 1980” (Basis, Thn. XXX-1, 1980, hlm. 25—26), pengasuh Basis menunjukkan siapa pembaca Basis dan rubrik apa saja yang disukai atau tidak disukai. Pembaca Basis adalah dosen atau guru, mahasiswa atau siswa, rohaniawan, pegawai negeri, pegawai swasta, abri, wartawan, wiraswasta, dan lain-lain. Sementara, jumlah pembaca topik sastra, seni, dan bahasa menempati urutan ke-4 dari 12 topik yang ada. Hanya saja, di sini tidak dijelaskan seni apa saja yang dibaca (disukai) oleh pembaca sehingga tidak jelas pula sebenarnya pembaca sastra Indonesia. 3.2.5 Kritik Terhadap Kritik Tampak bahwa kritik atas kritik agaknya sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan kritik sastra Indonesia, termasuk kehidupan kritik sastra Indonesia sebagaimana tergambar dalam beberapa media massa cetak yang terbit di Yogyakarta. Kritik semacam itu pada umumnya berupa tanggapan atas tanggapan sehingga terjadi polemik. Hal ini tidaklah aneh karena hal serupa pernah terjadi pada masa-masa awal kehidupan sastra Indonesia, misalnya pada masa Pujangga Baru yang dipelopori oleh Sutan Takdir Alisjahbana. Di harian Masa Kini, No. 38, Thn XIV, 9 Juni 1979, misalnya, Tarseisius menulis artikel berjudul “Merindu Bikin Malu”. Artikel itu mengungkapkan kritiknya atas kritik yang disampaikan oleh Ragil Suwarno Pragolapati yang dimuat di Masa Kini edisi 2 Juni 1979. Menurutnya, kurang pada tempatnyalah Ragil mengkultuskan seorang tokoh, lebih-lebih jika kebesaran tokoh itu hanya 106
diukur dari aktivitas dan kreativitasnya saja. Sebab, masih banyak hal yang perlu dipertimbangkan jika menilai seseorang, misalnya bagaimana karya-karyanya selama ini, apalagi jika orang itu kelak akan dijadikan contoh atau panutan. Karena itu, menurut Tarseisius, mengkultuskan seseorang harus sangat hati-hati. Hal senada tampak pula dalam tulisan “Menjadi Kritikus Cerita Anak Tidak Mudah” (Masa Kini, 9 April 1979). Tulisan anonim ini sebenarnya merupakan kritik atas lemahnya tulisan-tulisan kritik terhadap cerita anak yang berkembang dewasa ini. Karena itu, dalam tulisan itu ditekankan bahwa dalam mengkritik cerita anak, kedudukan dan usia anak harus diperhatikan. Setelah itu, melalui tulisan itu penulis juga mengajak agar para pengarang mencoba mengarang dan juga menulis kritik atas cerita anak. Sebab, anakanak adalah generasi masa depan yang perlu diberi kesempatan yang luas sehingga mereka mampu menghadapi tantangan. Berbeda dengan tulisan di atas, tulisan Bambang Sadono “Kritik Sastra oleh Siapa Saja” (Pelopor, No. 23, 12 Oktober 1978) mencoba menyoroti kompetensi kritikus. Menurutnya, kompetensi kritikus perlu ditingkatkan sebelum ia melakukan kritik atau apresiasi terhadap suatu karya. Sebab, ia melihat, selama ini banyak orang menganggap bahwa kritikus hanya sebagai pengontrol dan pencaci maki daripada menempatkan fungsi dan tujuan dalam kritiknya. Karena itu, katanya, menulis kritik tidak cukup hanya bermodal “itikad baik “ saja, tetapi juga harus matang dalam memberikan pertimbangan. Akhirnya, Bambang Sadono menegaskan bahwa tujuan kritik adalah membangun karya yang telah ada dan bukan mengarahkannya ke hal-hal lain. Masih berkaitan dengan hal di atas, Em Es dalam tulisannya “ Kritikus Yogyakarta Apa Kabar?” (Minggu Pagi, No. 17, 27 Juli 1980) mengemukakan tanggapan Rendra tentang kompetensi kritikus. Dikatakan bahwa Rendra menyatakan di Indonesia belum ada kritikus murni, artinya orang yang betul-betul hidup dari tulisan kritiknya. Khususnya teater, Rendra sampai sekarang tidak melihat siapa yang bisa dikategorikan sebagai kritikus. Kritik di Indonesia selalu cemplang-cemplung, ampas. Untuk Yogya, sebagai kota budayawan dan seniman, dibutuhkan pengamat seni yang 107
baik untuk menstimulasi perkembangan kesenian di Yogya. Menurutnya, menulis kritik bukan sekedar menulis rasa ketidakenakan pribadi tetapi menyangkut beberapa aspek kriterium, seni, social, dan budaya. Banyak persoalan yang harus dihadapi kritikus. Dengan kata lain, profesionalisme kritikus erat hubungannya dengan kompetensi yang dimilikinya. Sementara itu, Bakdi Soemanto dalam tulisannya “Pledoi SajakSajak Remaja Mutakhir” (Semangat, No. 7, Maret 1975) melontarkan kritik atas kritik Muhammad Ali terhadap karya para penyair muda pada pertemuan sastrawan se-Indonesia ke-2 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Menurut Bakdi, Ali mengatakan, “… bahwa puisi-puisi kontemporer merupakan puncak tragedi bagi puisi umumnya dalam pelantunannya dari masa ke masa”, “… di pihak lain terdapat pula dugaan yang melibatkan eksistensi kepenyairan ke dalam kasus ini bahwa penyair-penyair kita dewasa ini tiada lagi memiliki kepekaan dan kesadaran puitika sebagaimana pernah dipunyai oleh penyair-penyair sebelumnya.” Selanjutnya, “… dibandingkan dengan novel roman, puisi terasa lebih parah lagi keadaannya. Pemilihan judul, penyusunan bentuk pemakaian gatra-gatra dan simbol-simbol dan pencerapan objek-objek lebih menjurus keserba-kinian.” Menurut Bakdi, sikap Ali sangat disayangkan karena dasar pijak Ali berbicara tidak jelas, apakah berbekal pelajaran mengenai perkembangan sajak-sajak itu ataukah hanya melihat gelaja yang dihadapinya saja. Demikian paparan singkat mengenai kritik atas kritik dalam khazanah kritik sastra Indonesia di Yogyakarta. Sebenarnya, kritik serupa jumlahnya masih cukup banyak, dapat disebutkan, misalnya “Persoalan Langit Makin Mendung” (Minggu Pagi, No. 12, 21 Juni 1970) karya Ita Rahayu, “Sastra dalam Ketegangan antara Tradisi dengan Pembaharuan” (Basis, Juni 1978) dan “Tentang Paham dan Salah Paham dalam Membaca Puisi” (Basis, November 1979) karangan A. Teeuw. Hanya saja, kritik dalam beberapa esai ini tidak secara eksplisit menanggapi kritik orang lain atas karya sastra, tetapi kritik atas kebiasaan atau tradisi membaca, memahami, mengapresiasi, dan meneliti —yang pada hakikatnya juga merupakan kritik—karya sastra. 108
BAB IV PENUTUP
Seperti halnya kritik sastra Indonesia pada umumnya, kritik sastra Indonesia di Yogyakarta tahun 1966 hingga 1980 pun hidup secara wajar. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan kehidupan kritik sastra Indonesia pada kurun waktu sebelumnya (1945— 1965), kehidupan kritik sastra Indonesia pada kurun waktu ini lebih menunjukkan adanya perkembangan yang berarti walaupun kehadiran karya-karya kritik sastra itu masih tetap didukung oleh media publikasi (media massa cetak) yang sama dengan media publikasi pada kurun waktu sebelumnya. Dari analisis terhadap dinamika kritik sastra Indonesia di Yogyakarta tahun 1966—1980 dapat dinyatakan bahwa kritik sastra Indonesia yang berkembang di Yogyakarta dipengaruhi oleh situasi secara nasional, yakni era Orde Baru yang disertai dengan semakin baik dan tertatanya sistem sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Pertumbuhan kritik sastra Indonesia itu juga ditopang oleh terjadinya mobilitas sosial yang dinamis sejak 1950-an yang ditandai oleh banyaknya calon-calon intelektual datang ke Yogyakarta yang kemudian membangun berbagai komunitas budaya, sastra, dan pers (penerbitan) baik di perguruan tinggi maupun lembaga-lembaga swasta. Tampak pula bahwa terbangunnya tradisi kritik sastra Indonesia di Yogyakarta dipengaruhi oleh identitas Yogyakarta sebagai kota pelajar, kota pendidikan, kota wisata budaya. Para kritikus 109
yang berperan pun tidak hanya berasal dari Yogyakarta, tetapi juga —yang justru lebih banyak—orang-orang dari berbagai kota di Indonesia yang tinggal di Yogyakarta. Seperti halnya pada masamasa sebelumnya, kehidupan kritik sastra Indonesia itu juga masih memiliki ketergantungan yang kuat pada media massa (majalah dan surat kabar). Dari analisis terhadap jenis kritik yang tumbuh dan berkembang di Yogyakarta dapat dinyatakan bahwa kritik sastra Indonesia di Yogyakarta pada kurun waktu tahun 1966—1980 tetap didominasi oleh jenis kritik sastra yang bersifat umum atau impresionistik; hal tersebut disebabkan oleh media publikasi yang memuat karyakarya kritik itu ialah media massa umum (populer, bukan media ilmiah) walaupun beberapa di antara media tersebut berlabel sebagai “media kebudayaan”. Sebagai media massa umum, tulisantulisan (karya kritik) yang dimuat dituntut untuk memenuhi persyaratan sesuai dengan kriteria yang ditentukan oleh media massa umum. Bahkan, kecenderungan dominannya kritik impresionistik juga diperkuat oleh adanya kritik yang tulis dan dipublikasikan dalam rubrik “surat pembaca”, “kronik”, “resensi buku”, “dari redaksi”, “varia budaya”, “skets masyarakat”, dan sejenisnya, yang sesungguhnya rubrik-rubrik tersebut tidak dimaksudkan sebagai ruang untuk kritik sastra. Berdasarkan pengamatan terhadap orientasi kritiknya, karyakarya kritik sastra Indonesia yang berkembang di Yogyakarta pada tahun 1966—1980 menunjukkan variasi orientasi (pendekatan); dalam arti karya-karya kritik tersebut tidak hanya menyoroti masalah yang berkaitan dengan sistem makro, yakni sistem di luar sastra yang berkaitan dengan pengarang, penerbit/pengayom, pembaca (masyarakat penikmat), dan kritik itu sendiri, tetapi juga telah mengarah pada sistem mikro yang berkaitan dengan karya sastra terutama puisi, cerpen, novel, dan drama (sandiwara). Secara kuantitas, karya-karya kritik yang mempersoalkan halhal di luar sastra, terutama kritik terhadap pengarang, tidak lagi mendominasi seperti yang terjadi pada kurun waktu sebelumnya. Sebab, pada kurun waktu ini, yang paling dominan adalah karyakarya kiritik terhadap karya sastra; hal demikian berarti bahwa 110
pada masa 1966—1980 pengertian tentang hakikat kritik sastra adalah “kritik terhadap karya sastra” sudah sepenuhnya disadari sepenuhnya oleh para kritikus. Namun, seperti terjadi pada masa sebelumnya, sebagian besar kritik terhadap hal-hal di luar sastra itu pun cenderung tidak terfokus orientasinya; hal itu terjadi karena di dalam kritik itu subsistem pengarang, penerbitan, masyarakat pembaca, bahkan hal-hal teknis dalam pementasan dibicarakan sekaligus. Jadi, kritik sastra yang terbit di media massa pada saat itu tidak memiliki fokus perhatian yang jelas. Kendati demikian, hal itu wajar karena kecenderungan kritik umum memang demikian. Secara kualitas, karya-karya kritik yang lahir dan berkembang pada masa 1966—1980 sebagian telah menunjukkan kualitas yang memadai, dalam arti bahwa kritik yang disampaikan telah mengarah pada hal-hal yang lebih substansial. Kritik dengan kualitas yang demikian yang memberikan kontribusi besar bagi perkembangan kritik sastra khususnya dan perkembangan sastra Indonesia umumnya. Hanya saja, kritik yang berkualitas itu hanya muncul di majalah, di antaranya Basis dan Semangat, sedangkan surat kabar seperti Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, dan Masa Kini didominasi oleh karya-karya kritik yang kualitasnya rendah. Akhirnya, secara keseluruhan, dapat disimpulkan bahwa kritik sastra Indonesia di Yogyakarta pada kurun waktu 1966—1980 tumbuh secara wajar bersamaan dengan pertumbuhan karya sastra Indonesia. Namun, jika dibandingkan dengan pertumbuhan karya sastra itu sendiri, khususnya puisi dan cerpen, kritik sastra tetap masih jauh ketinggalan. Pada masa itu teori-teori pengkajian sastra sebenarnya telah berkembang di berbagai perguruan tinggi. Akan tetapi, perkembangan teori itu tampaknya belum dibarengi oleh tradisi tulis kritik yang kuat. Oleh karena itu, tradisi kritik sastra di Yogyakarta kurang berkembang pesat.
111
112
DAFTAR PUSTAKA
Abrams, M.H. 1981. (Fourth Printing). A Glossary of Literary Terms. New York: Holt, Rinehart, and Winston. Damono, Sapardi Djoko. 1998/1999. “Kritik Sastra Jawa”. Bahan diskusi untuk Penyusunan Buku Pintar Sastra Jawa di Wisma Argamulya, Tugu, Bogor, 3—5 Maret 1999. de Vries, Egbert. 1985. Pertanian dan Kemiskinan di Jawa. Jakarta: Yayasan Obor dan Gramedia. Harnoko, Darto dkk. 2003. Demokrasi dalam Perjalanan Sejarah: Studi Kasus di DIY 1945—Awal Reformasi. Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional. Hasyim, Mustofa W. dan Iman Budhi Santoso (ed). 1997. Begini Begini dan Begitu. Antologi Sastra Yogyakarta. Yogyakarta: Panitia Festival Kesenian Yogyakarta IX-1997, Seksi Sastra Indonesia. Hutagalung, M.S. 1975. Kritik Atas Kritik Atas Kritik. Jakarta: Tulila. Iser, Wolfgang. 1980. “Interaction between Text and Reader”. In Susan R. Suleiman and Inge Crosman (ed.). The Reader in the Text. Princetown: Princetown University Press. —————. 1987 (Fourth Printing). The Act of Reading: A Theory of Aesthetic Response. Baltimore: Johns Hopkins University Press. Jassin, H.B. 1954. Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dasn Esai. Jakarta: Gunung Agung. Jauss, Hans Robert. 1974. “Literary History as a Challenge to Literary Theory.” In Cohen, Ralp (ed.). New Direction in Literary History. London: Routledge & Kegan Paul. Kuntowijoyo. 1994. Demokrasi dan Budaya Birokrasi. Yogyakarta: Bentang. Mardianto, Herry dkk. 2003. “Cerita Pendek Indonesia di Yogyakarta Periode 1945—1965”. Yogyakarta: Bagian Proyek Pem113
binaan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, Daerah Istimewa Yogyakarta. Mas’oed, Mohtar. 1990. “Negara, Masyarakat, dan Pembangunan Ekonomi di Indonesia”. Dalam Akhmad Zaini Abar (ed.). Orde Baru. Solo: Ramadhani. Pradopo, Rachmat Djoko. 1988. Beberapa Gagasan dalam Bidang Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Lukman. —————. 2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama Media. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1991. Edisi Kedua. Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Ricklefs, M.C. 1994. Sejarah Indonesia Modern. Cetakan IV. Diindonesiakan oleh Dharmono Hardjowidjono. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Setiawan, Ahmad. 1998. Perilaku Birokrasi dalam Pengaruh Paham Kekuasaan Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Suwondo, Tirto dkk. 2004. “Kritik Sastra Indonesia di Yogyakarta Periode 1945—1965”. Yogyakarta: Balai Bahasa Yogyakarta. Suryadi, Linus. 1989. Di Balik Sejumlah Nama. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Tanaka, Ronald. 1976. System Models for Literary Macro-Theory. Lisse: The Peter de Ridder Press. Teeuw, A. 1952. Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru II. Jakarta: Pembangunan. —————. 1989. Sastra Indonesia Modern II. Jakarta: Pustaka Jaya. Triyono, Adi dkk. 2004. “Cerpen Indonesia di Yogyakarta Periode 1966—1980.” Yogyakarta: Balai Bahasa Yogyakarta. Wellek, Rene and Austin Warren. 1968. Theory of Literature. Harmondsworth, Middlesex: Penguin Books. Widati, Sri dkk. 2003. “Puisi Indonesia di Yogyakarta Periode 1945— 1965”. Yogyakarta: Proyek Pembinaan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah DIY. —————. 2004. “Puisi Indonesia di Yogyakarta Periode 1966— 1980”. Yogyakarta: Balai Bahasa Yogyakarta.
114
BIODATA PENULIS
Tirto Suwondo lahir di Purwodadi, Grobogan, Jawa Tengah, pada 1962. Pendidikan terakhir Program Pascasarjana (S-2) UGM (2000). Masuk kerja sejak 1982, menjadi peneliti sejak 1988, dan sejak 2007 menjadi Kepala Balai Bahasa Yogyakarta. Sejak kuliah telah aktif menulis artikel, resensi, dan features tentang sastra, budaya, dan pendidikan. Esai-esainya dipublikasikan di media lokal, nasional, dan regional (Brunei Darussalam). Pernah menjadi wartawan Detik (1988), Media Indonesia (1989—1991), Kartini (1991— 1993), dan redaktur jurnal Widyaparwa, Poetika, dan Bahastra. Beberapa kali menjuarai lomba penulisan esai/kritik sastra tingkat nasional; terakhir masuk sepuluh besar penerima Anugerah Kritik Sastra dari Dewan Kesenian Jakarta (2007). Buku-buku hasil penelitiannya (kelompok) yang telah terbit Nilai-Nilai Budaya Susastra Jawa (1994); Sastra Jawa Modern Periode 1920 sampai Perang Kemerdekaan (1996); Karya Sastra Indonesia di Luar Penerbitan Balai Pustaka (1997); Ikhtisar Perkembangan Sastra Jawa Modern Periode Prakemerdekaan (2001); Ikhtisar Perkembangan Sastra Jawa Modern Periode Kemerdekaan (2001); Sastra Jawa Balai Pustaka 1917—1942 (2001); Antologi Biografi Pengarang Sastra Jawa Modern (2005); Pedoman Penyuluhan Sastra Indonesia (2008). Buku karya sendiri yang telah terbit Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis (2001), Studi Sastra: Beberapa Alternatif (2003), Muryalelana: Seorang “Pejuang” Sastra Jawa (2005); Karya Sastra Indonesia dalam Majalah Gadjah Mada dan Gama (2006); Sastra Jawa dan Sistem Komunikasi Modern (2007); dan Esai/Kritik Sastra 115
dalam Minggu Pagi, Masa Kini, dan Semangat (2007). Buku cerita anak-anak yang telah terbit Sang Pangeran dari Tuban (1996), Gagalnya Sebuah Sayembara (1998), Sepasang Naga di Telaga Sarangan (2004), Dan Langit pun Tak Lagi Kelabu (2005), dan Dewi Anggraeni: Si Putri Karandan (2008). Siti Ajar Ismiati adalah lulusan Akademi Sekretaris dan Manajemen Istikayana (ASMI) Yogyakarta dan meraih gelar S-1 pada jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra (FPBS) IKIP Muhammadiyah (sekarang Universitas Ahmad Dahlan) Yogyakarta. Kini ia bekerja di Balai Bahasa Yogyakarta dan tengah menyelesaikan studi S-2 di FIB UGM. Hasil penelitiannya yang telah diterbitkan antara lain Biografi Pengarang Soenarna Siswarahardja (2001), Karya Sastra dalam Majalah Basis: 1945-1965 (2005), Suryadi Ws.: Sosok dan Kreativitasnya (2006). Sedangkan hasil penelitian kelompoknya antara lain Wanita dalam Sastra Jawa Modern: 1945-1965 (2003), dan Antologi Biografi Pengarang Sastra Jawa Modern (2006). Yohanes Adhi Satiyoko, lahir di Yogyakarta 31 Oktober 1972. Lulus dari Fakultas sastra Universitas Gadjah Mada Yogyakarta jurusan Sastra Nusantara (2002) dan dari Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta jurusn Sastra Inggris (1999). Saat ini sedang menyelesaikan studi S-2 di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta program pendidikan sastra. Mengabdi pada Balai Bahasa Yogyakarta sejak tahun 2003. Selain menjadi peneliti pada Balai Bahasa Yogyakarta juga menjadi penerjemah bahasa Inggris dan Belanda bidang sastra, budaya, dan bahasa. Beberapa penelitian pernah diterbitkan di majalah Widyaparwa. Beberapa terjemahan antara lain “Linguistik Semantik” (tim Balai Bahasa Yogyakarta, 2005-2006), Teori Sastra Modern (Tim Balai Bahasa Yogyakarta, 2007-2008), Take The Stairs (Kanisius, 2006). Saat ini aktif di Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta dan penerbitan majalah bahasa Jawa Pagagan.
116