Referat
KOLESISTITIS
Disusun Oleh :
Hannan Khairu Anami 0608113718
Pembimbing: Dr. Dasril Effendi, SpPD KGEH
Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Riau Rumah Sakit Umum Arifin Achmad Pekanbaru 2011
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Kegawatdaruratan pada traktus biliaris yang utama diantaranya adalah
kolesistitis akut, kolangitis ascenden, dan pankreatitis akut. Kolesistitis adalah inflamasi kandung empedu yang terjadi paling sering karena obstruksi duktus sistikus oleh batu empedu. Kurang lebih 90% kasus kolesistitis melibatkan batu pada duktus sitikus (kolesistitis kalkulus) dan sebanyak 10% termasuk kolesistitis akalkulus.1 Kira-kira 10-20% penduduk Amerika memiliki batu empedu, dan sepertiganya berkembang menjadi kolesistitis akut. Kolesistektomi untuk kolik bilier rekuren atau kolesistitis akut adalah prosedur penatalaksanaan bedah utama yang dilakukan oleh ahli bedah umum, dan kurang lebih 500.000 operasi dilakukan per tahunnya.2 Insidensi terjadinya kolesistitis meningkat seiring pertambahan usia. Penjelasan secara fisiologis untuk peningkatan insidensi tersebut belum ada. Peningkatan insidensi pada laki-laki usia lanjut dikaitkan dengan perubahan rasio androgen-estrogen.2,3 Perempuan penderita kolelitiasis 2-3 kali lebih banyak daripada laki-laki, sehingga lebih banyak perempuan yang menderita kolesistitis. Peningkatan kadar progesteron selama kehamilan dapat menyebabkan stasis cairan empedu, sehingga penyakit kandung empedu meningkat kejadiannya pada wanita hamil. Sedangkan, kolesistitis akalkulus lebih sering terjadi pada laki-laki usia lanjut.2,3 Faktor resiko utama kolesistitis yakni kolelitiasis meningkat prevalensinya pada orang Skandinavia, Indian Pima, dan Hispanik, namun menurun dan jarang pada individu yang berasal dari sub-sahara Afrika dan Asia. Di Amerika Serikat, penduduk kulit putih lebih sering terkena kolesistitis daripada penduduk kulit hitam.2,3
2
Meskipun telah ditemukan berbagai modalitas terapeutik untuk kolesistitis namun penyakit ini masih memiliki tingkat morbiditas dan tingkat mortalitas yang cukup tinggi terutama pada orang lanjut usia. Referat ini membahas mengenai kolesistitis dengan batasan-batasan tertentu.
1.2
Batasan Masalah Referat ini membahas tentang definisi, patogenesis, diagnosis dan
penatalaksanaan kolesistitis.
1.3
Tujuan Penulisan Adapun tujuan penulisan referat ini adalah : 1. Memahami patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaan kolesistitis. 2. Meningkatkan kemampuan penulisan ilmiah di bidang kedokteran khususnya di Bagian Ilmu Penyakit Dalam. 3. Memenuhi salah satu syarat kelulusan Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Riau dan Rumah Sakit Umum Daerah Arifin Achmad.
1.4
Metode Penulisan Penulisan referat ini menggunakan metode tinjauan pustaka dengan
mengacu kepada beberapa literatur.
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Definisi Kolesistitis adalah radang dinding kandung empedu yang disertai keluhan
nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam. Berdasarkan etiologinya, kolesistitis dapat dibagi menjadi: 1. Kolesistitis kalkulus, yaitu kolesistitis yang disebabkan batu kandung empedu yang berada di duktus sistikus. 2. Kolesistitis akalkulus, yaitu kolesistits tanpa adanya batu empedu.1 Berdasarkan onsetnya, kolesistitis dibagi menjadi kolesistitis akut dan kolesistitis kronik. Pembagian ini juga berhubungan dengan gejala yang timbul pada kolesistitis akut dan kronik. Pada kolesistitis akut, terjadi inflamasi akut pada kandung empedu dengan gejala yang lebih nyata seperti nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam. Sedangkan, kolesistitis kronik merupakan inflamasi pada kandung empedu yang timbul secara perlahan-lahan dan sangat erat hubugannya dengan litiasis dan gejala yang ditimbulkan sangat minimal dan tidak menonjol.1
2.2
Patogenesis Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalah
stasis cairan empedu, infeksi kuman, dan iskemia dinding kandung empedu. Penyebab utama kolesistitis akut adalah batu kandung empedu (90%) yang terletak di duktus sistikus yang menyebabkan stasis cairan empedu, sedangkan sebagian kecil kasus kolesititis (10%) timbul tanpa adanya batu empedu. Kolesistitis kalkulus akut disebabkan oleh obstruksi duktus sistikus oleh batu empedu yang menyebabkan distensi kandung empedu. Akibatnya aliran darah dan drainase limfatik menurun dan menyebabkan iskemia mukosa dan nekrosis. Diperkirakan banyak faktor yang berpengaruh seperti kepekatan cairan empedu, kolesterol, lisolesitin, dan prostaglandin yang merusak lapisan mukosa dinding kandung empedu diikuti oleh reaksi inflamasi dan supurasi.1,2
4
Faktor predisposisi terbentuknya batu empedu adalah perubahan susunan empedu, stasis empedu, dan infeksi kandung empedu. Perubahan susunan empedu mungkin merupakan faktor terpenting pada pembentukan batu empedu. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa hati penderita batu kolesterol mensekresi empedu yang sangat jenuh dengan kolesterol. Kolesterol yang berlebihan ini mengendap dalam kandung empedu dengan cara yang belum dimengerti sepenuhnya. Stasis empedu dapat mengakibatkan supersaturasi progresif, perubahan susunan kimia dan pengendapan unsur tersebut. Gangguan kontraksi kandung empedu atau spasme sfingter Oddi atau keduanya dapat menyebabkan stasis. Faktor hormonal terutama pada kehamilan dapat dikaitkan dengan pengosongan kandung empedu yang lebih lambat. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan sebagian dalam pembentukan batu, melalui peningkatan deskuamasi sel dan pembentukan mukus. Akan tetapi, infeksi mungkin lebih sering sebagai akibat adanya batu empedu daripada menjadi penyebab terbentuknya batu empedu.4 Meskipun mekanisme terjadinya kolesistitis akalkulus belum jelas, beberapa teori telah diajukan untuk menjelaskan mekanisme terjadinya penyakit ini. Penyebab utama penyakit ini dipikirkan akibat stasis empedu dan peningkatan litogenisitas empedu. Pasien-pasien dalam kondisi kritis lebih mungkin terkena kolesistitis karena meningkatnya viskositas empedu akibat demam dan dehidrasi dan akibat tidak adanya pemberian makan per oral dalam jangka waktu lama sehingga menghasilkan penurunan atau tidak adanya rangsangan kolesistokinin untuk kontraksi kandung empedu. Selain itu, kerusakan pada kandung empedu mungkin merupakan hasil dari tertahannya empedu pekat, suatu senyawa yang sangat berbahaya. Pada pasien dengan puasa yang berkepanjangan, kandung empedu tidak pernah mendapatkan stimulus dari kolesistokinin yang berfungsi merangsang pengosongan kandung empedu, sehingga empedu pekat tersebut tertahan di lumen. Iskemia dinding kandung empedu yang terjadi akibat lambatnya aliran empedu pada demam, dehidrasi, atau gagal jantung juga berperan dalam patogenesis kolesistitis akalkulus.5 Penelitian yang dilakukan oleh Cullen et al memperlihatkan kemampuan endotoksin dalam menyebabkan nekrosis, perdarahan, penimbunan fibrin yang
5
luas, dan hilangnya mukosa secara ekstensif, sesuai dengan iskemia akut yang menyertai. Endotoksin juga menghilangkan respons kontraktilitas terhadap kolesistokinin (CCK) sehingga menyebabkan stasis kandung empedu.5
2.3
Diagnosis Pasien kolesistitis akut memiliki riwayat nyeri hebat pada abdomen bagian
atas yang bertahan dalam beberapa jam hingga akhirnya mereka mencari pertolongan ke unit gawat darurat lokal. Secara umum, pasien kolesistitis akut juga sering merasa mual dan muntah serta pasien melaporkan adanya demam. Tanda-tanda iritasi peritoneal juga dapat muncul, dan pada beberapa pasien menjalar hingga ke bahu kanan atau skapula. Kadang-kadang nyeri bermula dari regio epigastrium dan kemudian terlokalisisr di kuadran kanan atas (RUQ). Meskipun nyeri awal dideskripsikan sebagai nyeri kolik, nyeri ini kemudian akan menetap pada semua kasus kolesistitis. Pada kolesistitis akalkulus, riwayat penyakit yang didapatkan sangat terbatas. Seringkali, banyak pasien sangat kesakitan (kemungkinan akibat ventilasi mekanik) dan tidak bisa menceritakan riwayat atau gejala yang muncul.6,7
Gambar 2.1 Algoritma diagnosis kolesistitis8
6
Pada pemeriksaan fisik, biasanya ditemukan nyeri tekan di kuadran kanan atas abdomen, dan seringkali teraba massa atau teraba penuh. Palpasi kuadran kanan atas saat inspirasi seringkali menyebabkan rasa tidak nyaman yang berat yang menyebabkan pasien berhenti menghirup napas, hal ini disebut sebagai tanda Murphy positif. Terdapat tanda-tanda peritonitis lokal dan demam.6,7 Dari pemeriksaan laboratorium pada pasien akut kolesistitis, dapat ditemukan leukositosis dan peningkatan kadar C-reactive protein (CRP). Pada 15% pasien, ditemukan peningkatan ringan dari kadar aspartate aminotransferase (AST), alanine aminotransferase (ALT), alkali fosfatase (AP) dan bilirubin jika batu tidak berada di duktus biliaris.2,6,7 Pemeriksaan pencitraan untuk kolesistitis diantaranya adalah ultrasonografi (USG), computed tomography scanning (CT-scan) dan skintigrafi saluran empedu. Pada USG, dapat ditemukan adanya batu, penebalan dinding kandung empedu, adanya cairan di perikolesistik, dan tanda Murphy positif saat kontak antara probe USG dengan abdomen kuadran kanan atas. Nilai kepekaan dan ketepatan USG mencapai 90-95%.1,7
Gambar 2.2 Pemeriksaan USG pada kolesistitis9
Pemeriksaan CT scan abdomen kurang sensitif dan mahal, tapi mampu memperlihatkan adanya abses perikolesisitik yang masih kecil yang mungkin tidak
terlihat
dengan
pemeriksaan
USG.
7
Skintigrafi
saluran
empedu
mempergunakan zat radioaktif HIDA atau 99m Tc6 Iminodiacetic acid mempunyai kepekaan dan ketepatan yang lebih rendah daripada USG dan juga lebih rumit untuk dikerjakan. Terlihatnya gambaran duktus koledokus tanpa adanya gambaran kandung empedu pada pemeriksaan kolesistografi oral atau skintigrafi sangat menyokong kolesistitis akut.1,3
Gambar 2.3 Koleskintigram normal9
8
Gambar 2.4 Gambaran 99mTc-HIDA scan yang memperlihatkan tidak adanya pengisian kandung empedu akibat obstruksi duktus sitikus9
Berdasarkan Tokyo Guidelines (2007), kriteria diagnosis untuk kolesistitis adalah:10
Gejala dan tanda lokal o Tanda Murphy o Nyeri atau nyeri tekan pada kuadran kanan atas abdomen o Massa di kuadran kanan atas abdomen
Gejala dan tanda sistemik o Demam o Leukositosis o Peningkatan kadar CRP
Pemeriksaan pencitraan o Temuan yang sesuai pada pemeriksaan USG atau skintigrafi
9
Diagnosis kolesistitis jika 1 tanda lokal, disertai 1 tanda sistemik dan hasil USG atau skintigrafi yang mendukung.10
2.4
Diagnosis Banding Diagnosis banding untuk kolesistitis diantaranya adalah:
Aneurisma aorta abdominal
Iskemia messenterium akut
Apendisitis
Kolik bilier
Kolangiokarsinoma
Kolangitis
Koledokolitiasis
Kolelitiasis
Mukokel kandung empedu
Ulkus gaster
Gastritis akut
Pielonefritis akut3
2.5
Komplikasi Komplikasi yag dapat terjadi pada pasien kolesistitis:
Empiema, terjadi akibat proliferasi bakteri pada kandung empedu yang tersumbat. Pasien dengan empiema mungkin menunjukkan reaksi toksin dan ditandai dengan lebih tingginya demam dan leukositosis. Adanya empiema kadang harus mengubah metode pembedahan dari secara laparoskopik menjadi kolesistektomi terbuka.
Ileus batu kandung empedu, jarang terjadi, namun dapat terjadi pada batu berukuran besar yang keluar dari kandung empedu dan menyumbat di ileum terminal atau di duodenum dan atau di pilorus.
Kolesistitis emfisematous, terjadi ± pada 1% kasus dan ditandai dengan adanya udara di dinding kandung empedu akibat invasi organisme penghasil gas seperti Escherichia coli, Clostridia perfringens, dan 10
Klebsiella sp. Komplikasi ini lebih sering terjadi pada pasien dengan diabetes, lebih sering pada laki-laki, dan pada kolesistitis akalkulus (28%). Karena tingginya insidensi terbentuknya gangren dan perforasi, diperlukan kolesitektomi darurat. Perforasi dapat terjadi pada lebih dari 15% pasien.
2.6
Komplikasi lain diantaranya sepsis dan pankreatitis. 3
Penatalaksanaan Penatalaksanaan kolesistitis bergantung pada keparahan penyakitnya dan
ada tidaknya komplikasi. Kolesistitis tanpa komplikasi seringkali dapat diterapi rawat jalan, sedangkan pada pasien dengan komplikasi membutuhkan tatalaksana pembedahan. Antibiotik dapat diberikan untuk mengendalikan infeksi. Untuk kolesistitis akut, terapi awal yang diberikan meliputi mengistirahatkan usus, diet rendah lemak, pemberian hidrasi secara intravena, koreksi abnormalitas elektrolit, pemberian analgesik, dan antibiotik intravena. Untuk kolesistitis akut yang ringan, cukup diberikan terapi antibiotik tunggal spektrum luas. Pilihan terapi yang dapat diberikan:3
Rekomendasi dari Sanford guide: piperasilin, ampisilin, meropenem. Pada
kasus
berat
yang
mengancam
nyawa
direkomendasikan
imipenem/cilastatin.
Regimen alternatif termasuk sefalosporin generasi ketiga ditambah dengan metronidazol.
Pasien yang muntah dapat diberikan antiemetik dan nasogastric suction.
Stimulasi kontraksi kandung empedu dengan pemberian kolesistokinin intravena.3 Pasien kolesistitis tanpa komplikasi dapat diberikan terapi dengan rawat
jalan dengan syarat: 1. Tidak demam dan tanda vital stabil 2. Tidak ada tanda adanya obstruksi dari hasil pemeriksaan laboratorium. 3. Tidak ada tanda obstruksi duktus biliaris dari USG.
11
4. Tidak ada kelainan medis penyerta, usia tua, kehamilan atau kondisi imunokompromis. 5. Analgesik yang diberikan harus adekuat. 6. Pasien memiliki akses transpotasi dan mudah mendapatkan fasilitas medik. 7. Pasien harus kembali lagi untuk follow up.3
Gambar 2.5 Algoritma penatalaksanaan kolesistitis akut8
Terapi yang diberikan untuk pasien rawat jalan:
Antibiotik profilaksis, seperti levofloxacin dan metronidazol.
Antiemetik, seperti prometazin
atau proklorperazin, untuk
mengkontrol mual dan mencegah gangguan cairan dan elektrolit.
Analgesik seperti asetaminofen/oxycodone.3
Terapi pembedahan yang diberikan jika dibutuhkan adalah kolesistektomi. Kolesistektomi laparoskopik adalah standar untuk terapi pembedahan kolesistitis. Penelitian menunjukkan semakin cepat dilakukan kolesistektomi laparoskopik, waktu perawatan di rumah sakit semakin berkurang.
12
Kontraindikasi untuk tindakan kolesistektomi laparoskopik meliputi:
Resiko tinggi untuk anestesi umum
Obesitas
Adanya tanda-tanda perforasi kandung empedu seperti abses, peritonitis, atau fistula
Batu empedu yang besar atau kemungkinan adanya keganasan.
Penyakit hati stadium akhir dengan hipertensi portal dan koagulopati yang berat.3
Pada pasien dengan resiko tinggi untuk dilakukan pembedahan, drainase perkutaneus dengan menempatkan selang (tube) drainase kolesistostomi transhepatik dengan bantuan ultrasonografi dan memasukkan antibiotik ke kandung empedu melalui selang tersebut dapat menjadi suatu terapi yang definitif. Hasil penelitian menunjukkan pasien kolesistitis akalkulus cukup diterapi dengan drainase perkutaneus ini.3 Selain itu, dapat juga dilakukan terapi dengan metode endoskopi. Metode endoskopi dapat berfungsi untuk diagnosis dan terapi. Pemeriksaan endoscopic retrograde cholangiopancreatography dapat memperlihatkan anatomi kandung empedu secara jelas dan sekaligus terapi dengan mengeluarkan batu dari duktus biliaris. Endoscopic ultrasound-guided transmural cholecystostomy adalah metode yang aman dan cukup baik dalam terapi pasien kolesistitis akut yang memiliki resiko tinggi pembedahan. Pada penelitian tentang endoscopic gallbladder drainage yang dilakukan oleh Mutignani et al, pada 35 pasien kolesistitis akut, menunjukkan keberhasilan terapi ini secara teknis pada 29 pasien dan secara klinis setelah 3 hari pada 24 pasien.3
2.7
Prognosis Penyembuhan spontan didapatkan pada 85% kasus, sekalipun kandung
empedu menjadi tebal, fibrotik, penuh dengan batu dan tidak berfungsi lagi. Tidak jarang menjadi kolesistitis rekuren. Kadang-kadang kolesistitis akut berkembang
13
menjadi gangren, empiema dan perforasi kandung empedu, fistel, abses hati atau peritonitis umum secara cepat. Hal ini dapat dicegah dengan pemberian antibiotik yang adekuat pada awal serangan. Tindakan bedah akut pada pasien usia tua (>75 tahun) mempunyai prognosis yang jelek di samping kemungkinan banyak timbul komplikasi pasca bedah.1
14
BAB III SIMPULAN DAN SARAN 3.1
Simpulan 1.
Kolesistitis adalah radang dinding kandung empedu yang disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam.
2.
Berdasarkan penyebabnya, kolesistitis terbagi menjadi kolesititis kalkulus dan akalkulus. Berdasarkan onsetnya, terbagi menjadi kolesistitis akut dan kronik.
3.
Diagnosis kriteria untuk kolesititis dapat digunakan berdasarkan Tokyo guidelines.
4.
Terapi kolesistitis meliputi istirahat saluran cerna, diet rendah lemak, pemberian analgesik, pemberian antibiotik profilaksis, dan terapi pembedahan berupa kolesistektomi.
5.
Pemberian terapi lebih awal dan adekuat berperan dalam mencegah terjadinya
komplikasi
kolesistitis
seperti
gangren,
empiema,
emfisema, perforasi kandung empedu, abses hati, peritonitis, dan sepsis.
3.2
Saran 1. Perlunya pengenalan dan pemahaman tanda dan gejala kolesistitis yang lebih baik sehingga diagnosis kolesistitis dapat ditegakkan lebih cepat dan tepat. 2. Perlunya pemberian terapi yang adekuat dan tepat sesuai dengan kondisi pasien sehingga dapat meningkatkan keberhasilan terapi dan mencegah terjadinya komplikasi kolesistitis.
15
DAFTAR PUSTAKA 1. Pridady. Kolesistitis. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I. Edisi keempat. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. Hal 477-478. 2. Steel PAD, Sharma R, Brenner BE, Meim SM. Cholecystitis and Biliary Colic in Emergency Medicine. [Diakses pada: 1 Juni 2011]. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/1950020-overview. 3. Bloom AA, Amin Z, Anand BS. Cholecystitis. [Diakses pada: 1 Juni 2011].
Diunduh
dari:
http://emedicine.medscape.com/article/171886-
overview. 4. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit vol 1. Edisi keempat. Jakarta: EGC, 1994. 5. Shojamanesh H, Roy PK, Patti MG. Acalculous Cholecystitis. [Diakses pada:
1
Juni
2011].
http://emedicine.medscape.com/article/187645-
overview. 6. Takada T, Kawarada Y, Nimura Y, Yoshida M, Mayumi T, Sekimoto M et al. Background: Tokyo guidelines for the management of acute cholangitis and cholecystitis. J Hepatobiliary Pancreat Surgery 14; 2007. p. 1-10. 7. Vogt DP. Gallbladder disease:An update on diagnosis and treatment. Cleveland Clinic Journal of Medicine vol. 69 (12); 2002. 8. Miura F, Takada T, Kawarada Y, Nimura Y, Wada K, Hirota M, et al. Flowchart for the diagnosis and treatment of acute cholangitis and cholecystitis: Tokyo Guidelinex. J Hepatobiliary Pancreat Surgery 14; 2007. p. 27-34. 9. Khan AN, Karani J, Patankar TA. Acute Cholecystitis Imaging. [Diakses pada:
1
Juni
2011].
Diunduh
dari:
http://emedicine.medscape.com/article/365698-overview. 10. Strasberg SM. Acute Calculous Cholecystitis. N Engl J Med 358 (26); 2008.
16