Kejang Non Epilepsi : Penyebab, Diagnosa banding dan Penatalaksanaan KEJANG NON EPILEPSI
I. Pendahuluan Bangkitan adalah suatu tanda dan gejala dari epilepsi, tetapi tidak semua bangkitan merupakan suatu tanda adanya kelainan neurologik. Bangkitan dapat juga dihasilkan dari kadar gula darah yang rendah, infeksi, demam, cedera kepala berat, kekurangan oksigen, dan kesemuanya tersebut bukan merupakan epilepsi. Bangkitan dapat juga merupakan gangguan mental maupun fisik. Bangkitan tersebut dapat juga disebabkan karena gangguan motorik yang disebut konvulsi (Davis, 2004). Istilah kejang non epilepsi (non epileptic seizure) digunakan untuk menjelaskan suatu bangkitan yang menyerupai epilepsi tetapi mempunyai penyebab yang berbeda. Berbeda dengan bangkitan epilepsi, kejang non epilepsi tidak disebabkan oleh adanya perubahan pada aktivitas otak (Selkirk et al., 2008.).
Gambar patofisiologi patofisiologi kejang yang disebabkan oleh epilepsi dimana ada perbedaan dengan kejang yang disebabkan non epilepsi. Pada epilepsi disebabkan oleh adanya perubahan pada aktivitas otak sedangkan Non epilepsi kejangnya Tidak disebabkan perubahan pada aktivitas otak
Terminologi bangkitan atau seizure adalah suatu kejadian mendadak, tiba-tiba, dan dalam waktu yang pendek dimana terjadi perubahan pada seorang yang dalam keadaan sadar dimanapun, dan dalam keadaan apapun berupa perilaku maupun perasaannya. Bangkitan sering digunakan untuk menjelaskan kejadian epilepsi dan pada epilepsi didapatkan beberapa perbedaan tipe bangkitan (Henry, 2000).
II. Penyebab bangkitan Bangkitan dapat terjadi oleh beberapa keadaan, misalnya oleh karena penurunan kadar gula darah (hipoglikemia), pingsan atau perubahan kesadaran singkat pada seseorang yang mengalami infark miokard akut. Pada seseorang mungkin juga didapatkan lebih dari satu tipe bangkitan, berupa kejang epilepsi dan juga kejang non epilepsi (Henry, 2000). Bangkitan epilepsi dapat terjadi oleh karena kejadian tiba-tiba dan berhentinya secara singkat dari mekanisme kerja sel-sel otak. Peristiwa tersebut dapat disebabkan oleh adanya perubahan aktivitas listrik di dalam sel-sel neuron. Apa yang terjadi pada seseorang selama kejadian bangkitan epilepsi tergantung di mana perubahan tersebut berlangsung di dalam sel-sel neuron. Pengaruh dari kejadian tersebut mungkin dapat menyebabkan gangguan kesadaran maupun tingkah laku (Reuber et al., 2007). Epilepsi mempunyai kecenderungan satu atau lebih area di otak yang memproduksi secara tiba-tiba lonjakan energi listrik yang menyebabkan terjadinya kerusakan fungsional sel-sel neuron. Bangkitan nerologik merupakan suatu reaksi tubuh terhadap lonjakan listrik yang abnormal di dalam sel-sel neuron. Sehingga dikatakan epilepsi apabila terjadi dua atau lebih bangkitan tanpa provokasi (Engelborghs et al., 2000). III. Pembagian kejang non epilepsi Menurut Kammerman dan Wasserman (2001), berdasarkan etiologinya maka didapatkan dua kategori utama kejang non epilepsi, yaitu: Bangkitan fisiologik
Bangkitan fisiologik dapat disebabkan oleh berbagai kondisi, misalnya terjadinya perubahan secara mendadak suplai aliran darah, glukosa maupun oksigen ke otak. Termasuk juga bangkitan fisiologik adalah adanya perubahan irama jantung, mendadak terjadi penurunan tekanan darah atau terjadinya hipoglikemia.
Bangkitan psikogenik
Bangkitan psikogenik dapat disebabkan oleh karena adanya tekanan psikologis yang berat pada seseorang, misalnya trauma emosional oleh karena siksaan seksual maupun fisik, perceraian atau kematian orang yang dicintai. IV. Penyebab kejang non epilepsi
Beberapa kejadian kejang non epilepsi mempunyai penyebab fisik (yang berhubungan dengan tubuh), misalnya adalah pingsan yang sering disebut juga sinkop. Tetapi terdapat juga beberapa kejadian kejang non epilepsi yang disebabkan oleh penyebab psikologik (yang berhubungan dengan jiwa), misalnya pada serangan panik. Jika kejadian kejang non epilepsi penyebabnya adalah fisik maka akan lebih mudah untuk menegakkan diagnosisnya berdasarkan penyakit yang mendasarinya. Sebagai contoh adalah pingsan yang mungkin didiagnosis oleh karena adanya masalah pada jantungnya. Istilah kejang non epilepsi biasanya digunakan untuk menjelaskan kejadian bangkitan yang disebabkan oleh faktor psikologik. Kadang-kadang sangat sulit untuk mendapatkan alasan mengapa terjadi dan kapan mulainya kejadian kejang non epilepsi. Beberapa penderita kejang non epilepsi mengatakan bahwa kejadiannya sangat cepat dan waktunya pendek setelah terjadinya stres yang spesifik, tetapi penderita lain melaporkan
bahwa kejadian kejang non epilepsi bukan karena faktor stresor psikis maupun fisik. Sehingga sangat sulit untuk dicari penyebabnya secara pasti. Beberapa penderita kejang non epilepsi juga melaporkan terjadinya bangkitan setelah mengalami stres maupun kecemasan. Tabel I menjelaskan penyebab yang paling sering didapatkan dari kejang non epilepsi yaitu:
Tabel I. Penyebab kejang non epilepsi 1. 2. 3. 4.
Penghentian konsumsi alkohol Penghentian konsumsi Benzodiazepine Massive sleep deprivation Penggunaan kokain
5. 6. 7. 8.
Psikogenik (gangguan konversi, somatisasi, malingering) Cedera kepala akut (dalam satu minggu) Infeksi sisitem saraf pusat atau neoplasma Uremia
9.
Eklampsia
10. 11. 12. 13.
Demam tinggi Hipoksemia Hiperglikemia atau hipoglikemia Gangguan elektrolit
Apa yang terjadi pada seseorang selama kej adian kejang non epilepsi sangat bervariasi. Apa yang terjadi selama kejadian kejang epilepsi dapat juga terjadi pada kejadian kejang non epilepsi. Selama kejadian kejang non epilepsi, seperti halnya pada kejang epilepsi, penderita mungkin dapat terjatuh dan melukai dirinya sendiri, terjadi konvulsi (gerakan menyentak) atau penderita mengalami inkontinensia. Keduanya dapat terjadi secara tiba-tiba dan tanpa ada tanda-tanda peringatan sebelumnya (Daoud, 2004). Di bawah ini beberapa contoh penyebab kejang non epilepsi oleh karena faktor psikologik (Reuber, 2005). Serangan panik
Serangan panik dapat terjadi oleh karena situasi ketakutan atau teringat pengalaman menakutkan sebelumnya. Serangan panik dapat sangat membingungkan pada diri seseorang. Penderita merasa cemas atau ketakutan sebagai awal dari suatu serangan. Pengaruh fisik terhadap serangan tersebut misalnya adalah kesulitan bernafas, berkeringat, berdebar-debar dan merasa bergetar. Penderita dapat juga kehilangan kesadaran dan terjadi serangan konvulsi. Serangan dapat terjadi lagi walaupun penderita sudah tidak dalam situasi yang menakutkan.
Cut off atau serangan menghindar
Jenis serangan ini terjadi oleh karena penderita mendapatkan kesulitan mengatasi stres yang berat atau berada dalam situasi emosional yang sangat sulit. Serangan ini lebih sering dijumpai pada penderita yang tidak merasa dan tidak mengeluh adanya kesulitan yang membutuhkan penyelesaian. Seperti halnya pada serangan panik, serangan ini dapat juga berulang walaupun penderita tidak berada dalam situasi tertekan.
Respon terlambat terhadap stres berat
Serangan ini dapat terjadi sebagai reaksi terhadap stres yang berat atau dalam situasi peperangan atau bencana alam dimana penderita melihat banyak korban berjatuhan. Kejang non epilepsi mungkin merupakan sebagian dari post traumatic stress disorder, yaitu suatu keadaan yang timbul setelah trauma atau stres yang berat. Selama serangan tersebut penderita mungkin menangis, menjerit
atau teringat dengan kejadian tersebut (tiba-tiba dan teringat secara jelas pengalamannya). Penderita tidak dapat mengontrol tingkah lakunya dan menginginkan kejadian tersebut hilang dalam ingatannya. V. Diagnosis kejang non epilepsi Untuk dapat menegakkan diagnosis kejang non epilepsi, seorang dokter membutuhkan riwayat pribadi penderita. Termasuk didalamnya adalah riwayat penyakit neurologi yang mungkin dideritanya, perkembangan psikologik, dan juga situasi terbaru sehubungan dengan keluhan dari penderita. Sangat sulit untuk menjelaskan perbedaan antara kejang epilepsi dan kejang non epilepsi karena keduanya bisa sangat mirip. Mencari keterangan tentang seperti apa bentuk bangkitannya, dan sudah berapa lama penderita mengalami serangan bangkitan, maka hal tersebut akan membantu untuk mengidentifikasi jenis dan tipe kejang yang terjadi. Tabel 2. Diagnosis banding kelainan neurologik paroksismal pada orang dewasa
Diagnosis banding
No
1
Sinkop Refleks sinkop (sinkop ortostatik, sinkom miksturasi) Sinkop kardiogenik (takhikardia, bradikardi, sindroma pemanjangan gelombang QT, abnormalitas struktur jantung, stenosis aorta, kardiomiopati, arterio-venous shunt) Gangguan perfusi (hipovolemik, gangguan otonom)
2
Kejang non epilepsi psikogenik Kejang non epilepsi psikogenik Serangan panik Serangan hiperventilasi
3
Transient Ischemic Attack
4
Migrain
5
Narkolepsi / katapleksi
6
Parasomnia
7
Vertigo paroksismal
8
Hipoglikemia
Beberapa pemeriksaan yang dibutuhkan untuk dapat menegakkan bangkitan kejang non epeilepsi adalah: Observasi
Penderita yang mendapatkan serangan bangkitan mungkin tidak ingat beberapa hal yang terjadi. Informasi tersebut sangat berguna untuk dapat menjelaskan apa yang terjadi dan hal tersebut bisa minta penjelasan pada seseorang yang mungkin melihatnya pada waktu penderita mendapatkan serangan bangkitan.
Berikut ini beberapa informasi yang sangat dibutuhkan untuk diketahui pada penderita serangan bangkitan (Reuber, 2005):
Dimana dan sedang apa ketika serangan bangkitan terjadi?
Seperti apakah serangan itu terjadi?
Berapa lama serangan itu berhenti?
Berapa lama waktu yang dibutuhkan antara serangan hingga di bawa ke rumah
sakit?
Bagaimanakah tingkah lakunya sebelum, selama dan setelah serangan
bangkitan?
Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah untuk mengetahui kelainan-kelainan yang mungkin terjadi yang dapat dilihat dari hasilnya dan juga untuk mengetahui status kesehatannya. Pemeriksaan darah terutama dapat untuk mengetahui etiologi bangkitan oleh karena faktor fisik yang disebabkan diabetes melitus (hipoglikemia atau hiperglikemia).
Pemeriksaan Elektroensefalogram (EEG)
Pemeriksaan EEG digunakan untuk melihat aktivitas listrik di otak. Pada bangkitan epilepsi terjadi oleh karena adanya perubahan dari aktivitas listrik di otak yang dapat dilihat dari hasil pmeriksaan EEG dengan gambaran tergantung dari jenis bangkitannya. Sedangkan pada kejang non epilepsi biasanya hasil pemeriksaan EEG tidak memperlihatkan adanya perubahan patologis aktivias listrik di otak. Sehingga hasil pemeriksaan EEG ini sangat bermanfaat untuk mengetahui apakah bangkitan yang terjadi merupakan kejang epilepsi atau bukan.
Telemetri Video
Pemeriksaan kadang-kadang dilakukan setelah pemeriksaan EEG, dimana pasien dilakukan observasi di bangsal dengan pengamatan video dan juga terpasang EEG. Pemeriksaan ini untuk membandingkan apa yang dilakukan penderita selama terjadi bangkitan dengan apa yang terjadi pada otak selama terjadi bangkitan tersebut.
Pemeriksaan CT Scan kepala
Pemeriksaan CT Scan kepala pada penderita bangkitan sangat membantu untuk mengetahui kemungkinan terjadinya kelainan fisik di otak yang dapat menyebabkan terjadinya suatu bangkitan. Walaupun demikian CT Scan kepala bukan merupakan alat utama untuk mengetahui diagnosis epilepsi atau bukan. Pemeriksaan pencitraan lainnya yang fungsinya sama dengan CT Scan kepala adalah pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI). VI. Penatalaksanaan Kejang non Epilepsi Penanganan umum Penatalaksanaan terjadinya kejang non epilepsi sangat tergantung dari penyebabnya (Irwin et al., 2000). Seorang dokter umum, spesialis penyakit saraf, atau psikiatris dapat membantu penderita untuk memutuskan terapi apa yang dpat diberikan pada penderita ini. Jika penyebabnya adalah jelas faktor psikogenik maka penderita bisa ditangani oleh seorang psikiatris.
Seorang psikiatris akan melakukan anamnesis yang cermat dan teliti tentang riwayat psikiatris sebelumnya, termasuk didalamnya adalah menanyakan adanya stres yang pernah dialaminya. Penanganan oleh seorang psikiatris terhadap penderita kejang non epilepsi yang disebabkan oleh faktor psikogenik akan sangat membantu penderita dalam menghadapi jika terjadi stres di kemudian hari. Konsultasi dengan psikiatris mungkin membutuhkan beberapa kali pertemuan sampai penderita sudah merasa lebih baik atau sembuh. Keterlibatan anggota keluarga dalam penanganan penderita kejang non epilepsi akan sangat membantu penyembuhannya.
Suatu diagnosis kejang non epilepsi artinya pada penderita tersebut terjadinya kejang bukan oleh karena adanya bangkitan epilepsi, oleh karena itu tidak perlu diberikan obat anti epilepsi. Kecuali jika pada penderita didapatkan baik kejang epilepsi maupun kejang non epilepsi maka pemberian obat anti epilepsi harus diberikan. Pada penderita kejang non epilepsi jika didapatkan adanya kecemasan maupun gangguan afektif maka obat-obat yang sesuai dapat diberikan.
Setelah penderita mengetahui tentang diagnosisnya yang mungkin disebabkan oleh karena pengaruh perasaan maupun emosi, maka beberapa penderita membutuhkan penjelasan jika suatu saat terjadi serangan bangkitan kembali atau penderita diminta untuk selalu konsultasi secara rutin dengan dokternya jika sewaktu-waktu timbul perasaan akan terjadi serangan ulang. Hal tersebut mungkin akan sulit dijelaskan jika terjadinya serangan bangkitan disebabkan oleh karena memang terdapat keduanya, baik kejang epilepsi maupun non epilepsi.
Pada penderita kejang non epilepsi suatu pemahaman tentang penyebab dan bagaimana cara mengurangi penyebabnya akan sangat membantu dalam mengurangi kejadian kejang berulang. Sehingga suatu informasi dan suport kepada penderita kejang non epilepsi untuk bisa meningkatkan pemahaman terjadinya kejang akan cukup untuk mengurangi terjadinya serangan bangkitan yang berulang. Informasi tersebut bisa diberikan oleh seorang dokter umum, dokter spesialis penyakit saraf, maupun psikiatris. Penanganan pertama pada penderita kejang non epilepsi Konsensus secara umum menjelaskan bahwa penanganan pertama adalah sama antara kejang oleh karena epilepsi maupun non epilepsi. Prinsipnya adalah jika didapatkan adanya kejang pada seseorang maka yang paling penting adalah mencegah terjadinya cedera lebih lanjut akibat kejangnya. Letakkan penderita pada tempat yang tidak membahayakan, atau cegah terjadinya cedera kepala jika terjatuh. Apapun penyebabnya maka yang terbaik adalah berikan penanganan terhadap kejangnya hingga kejang berhenti.
ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN GANGGUAN EPILEPSI A. Definisi Epilepsi adalah gejala-gejala yang kompleks dari beberapa gangguan fungsi otak yang cirinya adalah serangan berulang. Bangkitan kejang merupakan satu menifestasi dari p ada muatan listrik yang berlebihan di sel neuron saraf pusat. Gangguan ini dapat di sebabkan faktor fisiologis, biokimia, anatomis atau gabungan ketiganya. B. Patofisiologi Gejala-gejala serangan epilepsi sebagian timbul sesudah otak mengalami gangguan, sedangkan beratnya serangan tergantung dari lokasi dan keadaan patologi. Bangkitan epilepsi yang terjadi karena adanya lepas muatan listrik yang berlebihan dari sekelompok neoron di susunan saraf pusat yang yang dapat tetap terlokalisir pada kelo mpok neuron tersebut atau meluas ke seluruh hemisfer dan batang otak. Lepas muatan listrik yang abnormal ini terjadi karena adanay gangguan keseimbangan antara proses eksistasi dan inhibisi pada interaksi neuron. Hal ini dapat di sebaban oleh ganggaun pada sel neuronnya sendiri maupun transmisi sinaptik. C. Etiologi Di tinjau dari penyebabnya epilepsi dapat di bagi menjadi 2: 1. Primer atau idiopatik ( hingga kini penyebnya belum di ketahui ) 2. Sekunder atau simtomatik berarti atau gejala yang timbul ialah sekunder atau akibat dari adanay kelainan pada jaringan otak yang di sebab kan olah penyakit lain, misalnya: infeksi otak trauma kelahiran cacat konginetal tumor otak trauma kepala Faktor pencetus: 1. kurang tidur. 2. sterss emotinal 3. infeksi 4. alkolisme 5. perubahan hormonal 6. sters fisik 7. fotosintesis 8. minum obat tidak teratr tau di hentikan secara mendadak Fase dari aktivitas kejang: 1. Fase abnormal : meliputi perubahan alami perasaan atau tingkah laku yang akan mengawali kejang ( beberapa jam, hari ) 2. fase aura : awal dari munculnya aktivitas kejang berupa ganguan penglihatan, pendengaran tau rasa raba. 3. fase ikal : merupakan fase dari kativitas kejang, biasanaya disertai gangguan muskulo skeletal. 4. Fase posiktal : periode waktu dari kekacauan mental, somnolen, peka rangsangan sesudah kejang. D. Klasifikasi serangan epilepsi 1. Serangan parsial ( lebih dari 60 % adalah serangan parsial.
1.1 serangan parsial sederhana/ epilepsi jacksonian di sebut juga fokal, gejalanya: - gejalanya tergantung pada daerah yang terkena, bisa motorik, sensorik autonom atau kombinasi ketiganya. - kesaran tetap baik bila unilteral - kesaran terganggu bila bilateral. 1.2 Seranagn parsial kompleks Di sebut juga psikomotor epilapsi atau epilepsi lobulus temporalis, gejalanya: di dahului oleh aura, yang terdiri dari gejala-gejala kognitif, afektif , psikosensori, psikomotro tau bentuk kombinasi. 2. Serangan umum 2.1 Lena ( absence ), sering di sebut petitmal. Serangan terjadi secara tiba-tiba, tanpa di dahului aura. Kesadaran hilangselama beberapa detik, di tandai dengan terhentinya percakapan untuk sesaat, pandangan kosong, atau mata berkedip dengan cepat. Hampir selalu pada anakanak, mungkin menghilang waktu remaja atau di ga nti dengan serangan tonik-klonik. 2.2 Mioklonik, serangan-serangan ini terdiri atas kontraksi oto t yang singkat dan tiba-tiba, bisa simetris dan asimetris, sinkronis taua asinkronis. Biasanay tidak ad a kehilangan kesadaran selama serangan. 2.3 tonik, seranagan ini terdiri atas tonus otot dengan tiba-tiba meningkat dari otot ekstremitas, sehingga terbentuk sejumlah sikap yang khas. Biasanay kesadaran hilang hanya beberapa menit terjadi pada anak 1-7 tahun. 2.4 Klonik, serangan di mulai dengan kehilangan kesadaran yang di sebebkan aoleh hipotonia yang tiba-tiba atau spasme tonik yng singkat. Keadaan ini di ikuti sentakan bilateralyang lamanya 1 menit samapai beberapa menit yang sering asimetris dan bisa predominasi pada satu anggota tubh. Seranagan ini bisa berfariasi l amanya, seringnya dan bagian dari sentakan ini satu saat ke satu saat lain. 2.5 Tonik. Klonik, biasa di sebut grandmal. Merupakan jenis seranag klasik epilepsi seranagn ini di tandai oleh suatu sensasi penglihatan taua pendengaran selama beberapa saat yang di ikuti oleh kehilangan kesadaran secara cepat. 2.6 Atonik, serangan atonik terdiri atas kehilangan tonus tubuh. Keadaan ini bisa di menifestasikan oleh kepala yang terangguk-angguk, lutut lemas, atau kehilangan total dari tonus otot dan Px bisa jatuh serta mendapatkan luka-luka. 3. Serangan unilateral 4. serangan epilepsi yang tidak dapat di gilongkan, kerana datanya tidak lengkap Status epileptikus jika serangan terjadi begitu sering sehingga Px belum keluar dari serangan telah mendapat seranagn lain maka Px berada da lam status epileptikus, penderita dalam kondisi tidak sadar. Status epileptikus: serangan kejang-kejang yang berulang diantara serangan kejang penderita tetap sadar. E. Gambaran Klinis
Kejang parsial dapat berkaitan dengan a. raut atau gerak wajah. b. Gerak menyentak yang di mulai d i slah satu bagaian tubuh yang kemudian dapat meluas.
c. Pengalmn sensorik berupa penglihtan, endengaran atau bau. d. Perasaan geli. e. Perubahan tingkat sedaran.
Kejang generalisata dapt berkaitan dengan f. ketidak sadaran yang di sertai jatuhnya tubuh. g. Gerakan menyantak pada lengan dan tungkai yang tidak terkontrol. h. Periode apnu yang singkat. i. Pengeluaran air liur dn mulut berbusa.
Pada semua jenis kejang, dapat timbul pr odorma. Prodorma adalah perasaan atau gejala tertentu yang mungkin mendahului kejang selama beberapa hari atau jam.
Pada semua jenis kjang dapat timbul aura. Aura adalah sensasi sensorik tertentu yang sering atau selalu timbul sesaat menjelang kejang. F. Macam-macam epilepsi pada anak. a. Granmal Adalah sejenis epilepsi ayang paling sering di jumpai pada anak. Menurut klasifikasi internasional grandmal primer di sebut sebagai generalized seizures, bilateral symmetriacal seizures witwouth local onset, type tonic clonic seizures. Pada jenis grandmal primer, Px tidak ingat atau tidak atahu adanaya seranagan sejak semula. Sejak permulaan dengan Px telah kehilangan kesadaran. Pada kea daan yang khas, seranagan mulai dari kejang tonik yang kemudian di susul oleh kejang klonik. Pada fase kejang tonik badan Px menjadi kaku dalam sikap opistonus. Bila ia sedang berdiri pada serangan ia akan terjatuh seperti benda mati. Lengan dalam k eadaan sikap fliksi atau ekstensi, biasanaya dalam sikap fleksi. Tungkai dalam sikap ekstensi. Bila kejang tonik ini kuat udara di keluarkan dengan kuat dari paru melalui pita sura sehingga terdengar bunyi ynag di sebut jerit e pilepsi. Fase tonik ini biasanya berlangsung 20-60 detik kemudian di susul fase klonik. Selama fase kloni k Px mengalami sianosis karena pernapasan terhenti dan terdapat juga kongesti vena. Pada vase klonik terjadi kejang umum yang melibatkan semua anggota gerak dan otot pernapasan serta otot rahang. Terjadilah gerak pernapasan stertorus dan k eluar busa dari mulu. Lidah dapat tergigit saat kejang ini. Epilepsi jenis grandmal dapat berup primer dan sekunder. Sekender berarti sebelumnya Px menderita jenis epilepsi lain. Bentuk grandmal merupakan serangan yang berat. b. Petit mal Petit mal disebut juga sebagai kejang murni. Bangkitan berlangsung singkat hanya beberapa detik. Pada serangan epilepsi jenis petit mal yang terlihat sebagai berikut: 1. Px tiba-tba berhenti melakukan apa yang sedang ia kerjakan 2. Ia memandang kosong, melongo. Pada saat ini tidak bereaksi bila dia ajak bicara. Setelah beberapa detik ia sadar dan meneruskan kembali apa yang ia lakukan sebelum terjadi serangan.
Home » Penyakit & Kondisi » Gejala & Penyebab Penyakit Epilepsi
Gejala & Penyebab Penyakit Epilepsi Posted By Ristin SetiyaniFiled Under Penyakit & Kondisi
Penyakit Epilepsi adalah Penyakit Saraf Menahun Penyakit epilepsi berasal dari bahasa Yunani disebut sebagai Epilepsia yang berarti „serangan‟ merupakan penyakit saraf menahun dan bisa mengakibatkan seseorang yang menderita penyakit epilepsi ini terserang secara mendadak dan ditandai dengan kejang-kejang dua kali atau lebih tanpa ada alasan yang menyertainya. Dalam bahasa Indonesia, penyakit epilepsi disebut juga sebagai penyakit ayan Soal penyebab penyakit epilepsi memang belum diketahui secara jelas .Penyakit epilepsi / ayan memang bisa terjadi karena faktor genetika namun bukanlah penyakit keturunan. Selain itu, kerusakan otak ketika proses kelahiran, stroke, luka kepala, tumor otak dan pengaruh alkohol merupakan penyebab penyakit epilepsi. Otak memiliki jutaan sel syaraf yang disebut sebagai neuron yang berfungsi sebagai koordinator di dalam tubuh agar kita bisa beraktivitas yang mencakup melihat, berpikir, bergerak dan bahkan perasaan kita. Namun, pada penderita penyakit epilepsi, karena beberapa penyebab epilepsi yang telah disebutkan tadi – syaraf-syaraf tersebut kadang tidak bekerja sebagaimana mestinya.
Penyebab Epilepsi Berikut rangkuman beberapa faktor penyebab epilepsi yang mendasari seseorang menderita penyakit ini:
Adanya perubahan zat kimia dalam otak kita.
Faktor genetika namun bukan faktor keturunan.
Pernah mengalami cedera atau luka di bagian kepala sehingga menyebabkan trauma otak.
Pernah mengalami gangguan fisik atau mental.
Pada proses kelahiran, terjadi luka pada kehamilan.
Bisa juga karena faktor lingkungan.
Tanda-tand a & Gejala Epilepsi Berikut beberapa akibat yang terjadi jika seseorang menderita epilepsi yang ditandai dengan gejala berikut ini: 1.
Risiko yang paling umum terjadi adalah terjatuh ketika berdiri karena kejang. Hal ini bisa menyebabkan risiko yang lebih parah lagi akibat luka di kepala dan patah tulang.
2.
Ketika mengendarai kendaraan, seseorang yang menderita epilepsi bisa tiba-tiba kejang dan mengakibatkan kecelakaan.
3.
Tenggelam pada saat berenang karena kejang ketika berenang atau menyelam.
4.
Terjadi komplikasi pada saat kehamilan dan melahirkan. Pada saat kehamilan atau kelahiran, bisa saja sang ibu mengalami kejang dan ini berbahaya bagi bayi. Sementara perlu diakui pemberian obat bagi penderita epilepsi bisa meningkatkan resiko cacat janin.
Diagnosis & Pengobatan Penyakit Epilepsi
Untuk melakukan diagonosis terhadap penderita penyakit epilepsi bisa menggunakan alat medis berikut: 1.
MRI atau Magnetic resonance imaging digunakan untuk mendapatkan gambaran dalam tubuh atau otak tanpa menggunakan sinar-X melainka kekuatan magnet yang sangat kuat.
2.
EEG atau electroencephalography yang digunakan untuk memeriksa gelombang otak dengan mendeteksi apakah ada perubahan muatan dari sel neuron secara tiba-tiba.
Sementara untuk pengobatan penyakit epilepsi terdapat 4 jenis pengobatan yakni: yang paling umum adalah pemberian obat anti-epilepsi, kemudian operasi (eksisi fokus epileptikus), terapi untuk menghilangkan faktor-faktor penyebab penyakit epilepsi dan regulasi aktivitas fisik dan mental dengan tidak stres dan terlalu lelah. Untuk obat-obatan anti-epilepsi sejauh ini memang bisa mengendalikan kadar terjadinya kejang pada penderita penyakit epilepsi. Namun penggunaan obat anti-epilepsi tersebut haruslah sesuai saran dokter. Maka dari itu, mereka yang terserang epilepsi harus berkonsultasi dengan dokter. Sebagai catatan, ketika memang sudah disarankan untuk mengonsumsi obat anti-epilepsi maka tidak boleh sembarangan menghentikannya karena malah dapat menyebabkan peningkatan penyakit epilepsi.
I. PENGERTIAN a). Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada saat suhu meningkat disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. b). Kejang adalah pembebasan listrik yang tidak terkontrol dari sel syaraf cortex serebral yang ditandai dengan serangan yang tiba – tiba (marillyn, doengoes. 1999 : 252) II. ETIOLOGI Penyebab dari kejag demam dibagi menjadi 6 kelompok, yaitu : 1. Obat – obatan racun, alkhohol, obat yang diminum berlebihan 2. Ketidak seimbangan kimiawi hiperkalemia. Hipoglikemia dan asidosis 3. Demam paling sering terjadi pada anak balita 4. Patologis otak akibat dari cidera kepala, trauma, infeksi, peningkatan tik 5. Eklampsia hipertensi prenatal, toksemia gravidarum 6. Idiopatik penyebab tidak diketahui III. PATOFISIOLOGI IV. MANIFESTASI KLINIK Ada 2 bentuk kejang demam, yaitu : 1. Kejang demam sementara · Umur antara 6 bulan – 4 tahun · Lama kejang <15 menit · Kejang bersifat umum · Kejang terjadi dalam waktu 16 jam setelah timbulnya demam · Tidak ada kelainan neurologis, baik klinis maupun laboratorium · Eeg normal 1 minggu setelah bangkitan kejang 2. Kejang demam komplikata · Diluar kriteria tersebut diatas V. KOMPLIKASI DARI KEJANG DEMAM 1. hipoksia 2. hiperpireksia 3. asidosis 4. ernjatan atau sembab otak VI. FASE – FASE KEJANG DEMAM 1. Fase prodromal Perubahan alam perasaan atau tingkah laku yang mungkin mengawali kejang beberapa jam/ h ari 2. Fase iktal Merupakan aktivitas kejang yag biasanya terjadi gangguan muskulosketal. 3. Fase postiktal Periode waktu dari kekacauan mental atau somnolen, peka rangsang yang terjadi setelah kejang tersebut. 4. Fase aura Merupakan awal dari munculnya aktivitas kejang, yang biasanya berupa gangguan penglihatan dan pendengaran. VII. PENATALAKSANAAN MEDIK 1. Pemberian diazepam · dosis awal : 0,3 – 0,5 mg/ kg bb/ dosis iv (perlahan )
· bila kejang belum berhenti dapat diulang dengan dosisi ulangan setelah 20 menit 2. Turunkan demam · anti piretik : para setamol atau salisilat 10 mg/ kg bb/ dosis · kompres air biasa 3. Penanganan suportif · bebaskan jalan nafas · beri zat asam · jaga keseimbangan cairan dan elektrolit · pertahankan tekanan darah VIII. PENCEGAHAN KEJANG DEMAM 1. Pencegahan berkala (intermitten) untuk kejang demam sederhana. Beri diazepam dan anti piretika pada penyakit yang disetai demam. 2. Pencegahan kontinu untuk kejang komplikata · fenobarbital : 5 – 7 mg/ kg BB/ 24 jam dibagi 3 dosis · fenotoin : 2- 8 mg/ kg BB/ 24 jam 2 – 3 dosis · klonazepam : indikasi khusus 3. Diberikan sampai 2 tahun bebas kejang atau sampai umur 6 tahun IX. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK 1. Elektrolit : tidak seimbang dapat berpengaruh pada aktivitas kejang 2. Glukosa : hipoglikemia dapat menjadi presipitasi (pencetus) kejang. 3. Ureum/ kreatinin : dapat maningkatkan resiko timbulnya aktivitas kejang 4. Kadar obat dalam serum : untuk membuktikan batas obat anti konvulsi yang terapeutik. 5. Elektroensepalogram (eeg) : dapat melokalisir daerah serebral yang tidak berfungsi dengan baik, mengukur aktivitas otak. X. ASUHAN KEPERAWATAN A. Pengkajian Data Dasar Pasien 1. Aktivitas/ istirahat Gejala : keletihan, kelemahan umum Keterbatasan dalam beraktivitas Tanda : perubahan tonus dan kekuatan 2. Sirkulasi Gejala : iktal : hiertensi, peningkatan nadi, sianosis Postiktal : depresi dengan penurunan nadi dan pernafasan 3. Elimnasi Gejala : inkontinensia episodik Tanda : iktal : peningkatan tekanan kandung kemih Posiktal : inkontenensia urine 4. Makanan dan cairan Gejala : sensitivitas terhadap makanan, mual, muntah Tanda : kerusakan jaringan lunak (cidera selama kejang) 5. Neurosensori/ kenyamanan Gejala : riwayat sakit kepala, aktivitas kejang berulang, pinsang, pusing Postiktal : kelemahan, nyeri otot, area paralitik 6. Pernafasan Gejala : iktal : gigi mengatup, sianosis, pernafasan menurun/ cepat, peningkatan sekresi mukus B. Diagnosa Yang Mungkin Muncul 1. Resiko terhadap penghentian pernafasan barhubungan dengan kelemahan dan kehilangan koordinasi otot besar dan kecil
2. Bersihkan jalan nafas inefektif berhubungan dengan obstruksi trakeobronkial dan peningkatan sekresi mukus C. Intervensi Keperawatan DX 1 : Resiko Terhadap Penghentian Pernafasan Berhubungan Dengan Kelemahan Dan Kehilangan Koordinasi Otot Besar Dan Kecil Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan penghentian pernafasan tidak terjadi Kriteria hasil : RR dalam batas normal (16 – 20 x/ menit ) Tak kejang Klien mengungkapkan perbaikan pernafasannya Intervensi : 1. Pertahankan bantalan lunak pada penghalang tempat tidur dengan tempat tidur rendah R/ : mengurangi trauma saat kejang 2. Masukan jalan nafas buatan yang terbuat dari plastik / biarkan pasien menggigit benda lunak atara gigi. R/ : menurunkan resiko terjadinya trauma mulut 3. Observasi TTV R/ : menentukan kegawatan kejang dan intervensi yang sesuai 4. catat tipe dari a ktivitas kejang R/ : membantu untuk melokalisir daerah otak 5. Lakukan penilaian neurologis, tingkat kesadaran, orientasi R/ : mencatat keadaan postiktal dan waktu penyembuhan
6. Biarkan tingkah laku “ automatik” tanpa menghalangi R/ : untuk menghindari cidera atau trauma yang lebih lanjut 7. Kolaborasi dalam pemberian obat anti convulsi R/ : untuk mencegah kejang ulangan DX 2 : Bersihan Jalan Nafas Inefektif Berhubungan Dengan Peningkatan Sekresi Mukus, Obstruksi Jalan Nafas Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan bersihan jalan nafas efektif Kriteria hasil : sekresi mukus berkurang tak kejang gigi tak menggigit Intervensi : 1. Anjurkan klien mengosongkan mulut dari benda R/ : menurunkan aspirasi atau masukanya benda asing ke faring 2. Letakan klien pada posisi miring dan permukaan datar R/ : mencegah lidah jatuh dan menyumbat jalan nafas 3. Tanggalkan pakaian pada daerah leher atau dada dan abdomen R/ : untuk memfasilitasi usaha bernafas 4. Masukan spatel lidah R/ : untuk membuka rahang dan mencegah tergigitnya lidah 5. Lakukan penghisapan lendir R/ : menurunkan resiko aspirasi
ASKEP EPILEPSI { November 5, 2008 @ 7:53 am } · { Uncategorized } Konsep Medis
A. Definisi Epilepsi merupakan gejala kompleks dari banyak gangguan fungsi otak yang dikarakteristikkan oleh kejang berulang. Kejang merupakan akibat dari pembebasan listrik yang tidak terkontrol dari sel saraf korteks serebral yang ditandai dengan serangan tiba-tiba, terjadi gangguan kesadaran ringan, aktivitas motorik, atau gangguan fenomena sensori.
B. Etiologi 1. Epilepsi Primer (Idiopatik) Epilepsi primer hingga kini tidak ditemukan penyebabnya, tidak ditemukan kelainan pada jaringan otak diduga bahwa terdapat kelainan atau gangguan keseimbangan zat kimiawi dan sel-sel saraf pada area jaringan otak yang abnormal. 2. Epilepsi Sekunder (Simtomatik) Epilepsi yang diketahui penyebabnya atau akibat adanya kelainan pada jaringan otak. Kelainan ini dapat disebabkan karena dibawah sejak lahir atau adanya jaringan parut sebagai akibat kerusakan otak pada waktu lahir atau pada masa perkembangan anak, cedera kepala (termasuk cedera selama atau sebelum kelahiran), gangguan metabolisme dan nutri si (misalnya hipoglikemi, fenilketonuria (PKU), defisiensi vitamin B6), faktor-faktor toksik (putus alkohol, uremia), ensefalitis, anoksia, gangguan sirkulasi, dan neoplasma.
C. Patofisiologi Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat apileptogenik, sedangkan lesi di serebrum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang. Di tingkat membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut :
Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan. Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun dan apabila terpicu akan melepaskan nuatan menurun secara berlebihan.
Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu dalam repolarisasi) yang
disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam gama-aminobutirat (GABA).
Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang sebagian disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin mmuncul di cairan serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin mengalami deplesi selama aktivitas kejang. Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti histopatologik menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi bukan struktural. Belum ada faktor patologik yang secara konsisten ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan asetilkolin dijumpai di antara kejang. Fokus kejang tampaknya sangat peka terhadap asetikolin, suatu neurotransmitter fasilitatorik, fokus-fokus tersebut lambat mengikat dan menyingkirkan asetilkolin.
D. Manifestasi Klinis 1. Sawan Parsial (lokal, fokal) a. Sawan Parsial Sederhana : sawan parsial dengan kesadaran tetap normal • Dengan gejala motorik - Fokal motorik tidak menjalar: sawan terbatas pada satu bagian tubuh saja - Fokal motorik menjalar : sawan dimulai dari satu bagian tubuh dan menjalar meluas ke daerah lain. Disebut juga epilepsi Jackson. - Versif : sawan disertai gerakan memutar kepala, mata, tuibuh. - Postural : sawan disertai dengan lengan atau tungkai kaku dalam sikap tertentu - Disertai gangguan fonasi : sawan disertai arus bicara yang terhenti atau pasien mengeluarkan bunyibunyi tertentu • Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial; sawan disertai halusinasi sederhana yang mengenai kelima panca indera dan bangkitan yang disertai vertigo. - Somatosensoris: timbul rasa kesemuatan atau seperti ditusuk-tusuk jarum. - Visual : terlihat cahaya - Auditoris : terdengar sesuatu - Olfaktoris : terhidu sesuatu - Gustatoris : terkecap sesuatu
- Disertai vertigo • Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi epigastrium, pucat, berkeringat, membera, piloereksi, dilatasi pupil). • Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur) - Disfagia : gangguan bicara, misalnya mengulang suatu suku kata, kata atau bagian kalimat. - Dimensia : gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti sudah mengalami, mendengar, melihat, atau sebaliknya. Mungkin mendadak mengingat suatu peristiwa di masa lalu, merasa seperti melihatnya lagi. - Kognitif : gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah. - Afektif : merasa sangat senang, susah, marah, takut. - Ilusi : perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih kecil atau lebih besar. - Halusinasi kompleks (berstruktur) : mendengar ada yang bicara, musik, melihat suatu fenomena tertentu, dll. b. Sawan Parsial Kompleks (disertai gangguan kesadaran) • Serangan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran : kesadaran mula-mula baik kemudian baru menurun. - Dengan gejala parsial sederhana A1-A4 : gejala-gejala seperti pada golongan A1-A4 diikuti dengan menurunnya kesadaran. - Dengan automatisme. Yaitu gerakan-gerakan, perilaku yang timbul dengan sendirinya, misalnya gerakan mengunyah, menelan, raut muka berubah seringkali seperti ketakutan, menata sesuatu, memegang kancing baju, berjalan, mengembara tak menentu, dll. • Dengan penurunan kesadaran sejak serangan; kesadaran menurun sejak permulaan kesadaran. - Hanya dengan penurunan kesadaran - Dengan automatisme c. Sawan Parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-klonik, tonik, klonik) • Sawan parsial sederhana yang berkembang menjadi bangkitan umum. • Sawan parsial kompleks yang berkembang menjadi bangkitan umum. • Sawan parsial sederhana yang menjadi bangkitan parsial kompleks lalu berkembang menjadi bangkitan umum.
2. Sawan Umum (Konvulsif atau NonKonvulsif) a. 1. Sawan lena (absence) Pada sawan ini, kegiatan yang sedang dikerjakan terhenti, muka tampak membengong, bola mata dapat memutar ke atas, tak ada reaksi bila diajak bicara. Biasanya sawan ini berlangsung selama ¼ – ½ menit dan biasanya dijumpai pada anak. • Hanya penurunan kesadaran
• Dengan komponen klonik ringan. Gerakan klonis ringan, biasanya dijumpai pada kelopak mata atas, sudut mulut, atau otot-otot lainnya bilateral. • Dengan komponen atonik. Pada sawan ini dijumpai otot-otot leher, lengan, tangan, tubuh mendadak melemas sehingga tampak mengulai. • Dengan komponen klonik. Pada sawan ini, dijumpai otot-otot ekstremitas, leher atau punggung mendadak mengejang, kepala, badan menjadi melengkung ke belakang, lengan dapat mengetul atau mengedang. • Dengan automatisme • Dengan komponen autonom. b hingga f dapat tersendiri atau kombinasi 2. Lena tak khas (atipical absence) Dapat disertai: • Gangguan tonus yang lebih jelas. • Permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak mendadak.
b. Sawan Mioklonik Pada sawan mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat kuat atau lemah sebagian otot atau semua otot, seringkali atau berulang-ulang. Bangkitan ini dapat dijumpai pada semua umur.
c. Sawan Klonik Pada sawan ini tidak terjadi gerakan menyentak, repetitif, tajam, lambat, dan tunggal multiple di lengan, tungkai atau torso. Dijumpai terutama sekali pada anak. d. Sawan Tonik Pada sawan ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi kaku pada wajah dan bagian tubuh bagian atas, flaksi lengan dan ekstensi tungkai. Sawan ini juga terjadi pada anak. e. Sawan Tonik-Klonik Sawan ini sering dijumpai pada umur di atas balita yang terkenal dengan nama grand mal. Serangan dapat diawali dengan aura, yaitu tanda-tanda yang mendahului suatu sawan. Pasien mendadak jatuh pingsan, otot-otot seluruh badan kaku. Kejang kaku berlangsung kira-kira ¼ – ½ menit diikutti kejang kejang kelojot seluruh tubuh. Bangkitan ini biasanya berhenti sendiri. Tarikan napas menjadi dalam beberapa saat lamanya. Bila pembentukan ludah ketika kejang meningkat, mulut menjadi berbusa karena hembusan napas. Mungkin pula pasien kencing ketika mendapat serangan. Setelah kejang berhenti pasien tidur beberapa lamanya, dapat pula bangun dengan kesadaran yang masih rendah, atau langsung menjadi sadar dengan keluhan badan pegal-pegal, lelah, nyeri kepala. f. Sawan atonik
Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak melemas sehingga pasien terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik atau menurun sebentar. Sawan ini terutama sekali dijumpai pada anak.
3. Sawan Tak Tergolongkan Termasuk golongan ini ialah bangkitan pada bayi berupa gerakan bola mata yang ritmik, mengunyah, gerakan seperti berenang, menggigil, atau pern apasan yang mendadak berhenti sederhana.
E. Pemeriksaan Diagnostik
Pungsi Lumbar Pungsi lumbar adalah pemeriksaan cairan serebrospinal (cairan yang ada di otak dan kanal tulang belakang) untuk meneliti kecurigaan meningitis. Pemeriksaan ini dilakukan setelah kejang demam pertama pada bayi. - Memiliki tanda peradangan selaput otak (contoh : kaku leher) - Mengalami complex partial seizure - Kunjungan ke dokter dalam 48 jam sebelumnya (sudah sakit dalam 48 jam sebelum nya) - Kejang saat tiba di IGD (instalasi gawat darurat) - Keadaan post-ictal (pasca kejang) yang berkelanjutan. Mengantuk hingga sekitar 1 jam setelah kejang demam adalah normal. - Kejang pertama setelah usia 3 tahun Pada anak dengan usia > 18 bulan, pungsi lumbar dilakukan jika tampak tanda peradangan selaput otak, atau ada riwayat yang menimbulkan kecurigaan infeksi sistem saraf pusat. Pada anak dengan kejang demam yang telah menerima terapi antibiotik sebelumnya, gejala meningitis dapat tertutupi, karena itu pada kasus seperti itu pungsi lumbar sangat dianjurkan untuk dilakukan.
EEG (electroencephalogram) EEG adalah pemeriksaan gelombang otak untuk meneliti ketidaknormalan gelombang. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan untuk dilakukan pada kejang demam yang baru terjadi sekali tanpa adanya defisit (kelainan) neurologis. Tidak ada penelitian yang menunjukkan bahwa EEG yang dilakukan saat kejang demam atau segera setelahnya atau sebulan setelahnya dapat memprediksi akan timbulnya kejang tanpa demam di masa yang akan datang. Walaupun dapat diperoleh gambaran gelombang yang abnormal setelah kejang demam, gambaran tersebut tidak bersifat prediktif terhadap risiko berulangnya kejang demam atau risiko epilepsi.
Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan seperti pemeriksaan darah rutin, kadar elektrolit, kalsium, fosfor, magnsium, atau gula darah tidak rutin dilakukan pada kejang demam pertama. Pemeriksaan laboratorium harus ditujukan untuk mencari sumber demam, bukan sekedar sebagai pemeriksaan rutin.
Neuroimaging Yang termasuk dalam pemeriksaan neuroimaging antara lain adalah CT-scan dan MRI kepala. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan pada kejang demam yang baru terjadi untuk pertama kalinya.
F. Pencegahan Upaya sosial luas yang menggabungkan tindakan luas harus ditingkatkan untuk pencegahan epilepsi. Resiko epilepsi muncul pada bayi dari ibu yang menggunakan obat antikonvulsi yang digunakan sepanjang kehamilan. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama yang dapat dicegah. Melalui program yang memberi keamanan yang tinggi dan tindakan pencegahan yang aman, yaitu tidak hanya dapat hidup aman, tetapi juga mengembangkan pencegahan epilepsi akibat cedera kepala. Ibu-ibu yang mempunyai resiko tinggi (tenaga kerja, wanita dengan latar belakang sukar melahirkan, pengguna obatobatan, diabetes, atau hipertensi) harus di identifikasi dan dipantau ketat selama hamil karena lesi pada otak atau cedera akhirnya menyebabkan kejang yang sering terjadi pada janin selama kehamilan dan persalinan. Program skrining untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang pada usia dini, dan program pencegahan kejang dilakukan dengan penggunaan obat-obat anti konvulsan secara bijaksana dan memodifikasi gaya hidup merupakan bagian dari rencana pencegahan ini. G. Pengobatan Pengobatan epilepsi adalah pengobatan jangka panjang. Penderita akan diberikan obat antikonvulsan untuk mengatasi kejang sesuai dengan jenis serangan. Penggunaan obat dalam waktu yang lama biasanya akan menyebabkan masalah dalam kepatuhan minum obat (compliance) seta beberapa efek samping yang mungkin timbul seperti pertumbuhan gusi, mengantuk, hiperaktif, sakit kepala, dll. Penyembuhan akan terjadi pada 30-40% anak dengan epilepsi. Lama pengobatan tergantung jenis epilepsi dan etiologinya. Pada serangan ringan selama 2-3th sudah cukup, sedang yang berat pengobatan bisa lebih dari 5th. Penghentian pengobatan selalu harus dilakukan secara bertahap. Tindakan pembedahan sering dipertimbangkan bila pengobatan tidak memberikan efek sama sekali. Penanganan terhadap anak kejang akan berpengaruh terhadap kecerdasannya. Jika terlambat mengatasi kejang pada anak, ada kemungkinan penyakit epilepsi, atau bahkan keterbalakangan mental. Keterbelakangan mental di kemudian hari. Kondisi yang menyedihkan ini bisa berlangsung seumur hidupnya. Konsep Keperawatan A. Pengkajian Perawat mengumpulkan informasi tentang riwayat kejang pasien. Pasien ditanyakan tentang faktor atau kejadian yang dapat menimbulkan kejang. Asupan alkohol dicatat. Efek epilepsi pada gaya hidup dikaji: Apakah ada keterbatasan yang ditimbulkan oleh gangguan kejang? Apakah pasien mempunyai program rekreasi? Kontak sosial? Apakah pengalaman kerja? Mekanisme koping apa yang digunakan?
Obsevasi dan pengkajian selama dan setelah kejang akan membantu dalam mengindentifikasi tipe kej ang dan penatalaksanaannya. 1. Selama serangan : - Apakah ada kehilangan kesadaran atau pingsan. - Apakah ada kehilangan kesadaran sesaat atau l ena. - Apakah pasien menangis, hilang kesadaran, jatuh ke lantai. - Apakah disertai komponen motorik seperti kejang tonik, kejang klonik, kejang tonik-klonik, kejang mioklonik, kejang atonik. - Apakah pasien menggigit lidah. - Apakah mulut berbuih. - Apakah ada inkontinen urin. - Apakah bibir atau muka berubah warna. - Apakah mata atau kepala menyimpang pada satu posisi. - Berapa lama gerakan tersebut, apakah lokasi atau sifatnya berubah pada satu sisi atau keduanya. 2. Sesudah serangan - Apakah pasien : letargi , bingung, sakit kepala, otot-otot sakit, gangguan bicara - Apakah ada perubahan dalam gerakan. - Sesudah serangan apakah pasien masih ingat apa yang terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan. - Apakah terjadi perubahan tin gkat kesadaran, pernapasan atau frekuensi denyut jantung. - Evaluasi kemungkinan terjadi cedera selama kejang. 3. Riwayat sebelum serangan - Apakah ada gangguan tingkah laku, emosi. - Apakah disertai aktivitas otonomik yaitu berkeringat, jantung berdebar. - Apakah ada aura yang mendahului serangan, baik sensori, auditorik, olfaktorik maupun visual. 4. Riwayat Penyakit - Sejak kapan serangan terjadi. - Pada usia berapa serangan pertama. - Frekuensi serangan. - Apakah ada keadaan yang mempresipitasi serangan, seperti demam, kurang tidur, keadaan emosional. - Apakah penderita pernah menderita sakit berat, khususnya yang disertai dengan gangguan kesadaran, kejang-kejang. - Apakah pernah menderita cedera otak, operasi otak - Apakah makan obat-obat tertentu - Apakah ada riwayat penyakit yang sama dalam keluarga
B. Diagnosa Keperawatan 1. Resiko terhadap cedera yang berhubungan dengan perubahan kesadaran, kerusakan kognitif selama kejang, atau kerusakan mekanisme perlindungan diri. 2. Resiko tinggi terhadap bersihan jalan napas/pola napas tidak efektif. 3. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan aturan pengobatan berhubungan dengan keterbatasan kognitif, kurang pemajanan, atau kesalahan in terpretasi informasi. 4. Gangguan harga diri berhubungan dengan stigma berkenaan dengan kondisi, persepsi tentang tidak terkontrol
Idiopatik (bahasa Yunani: ἴδιος, idios, sendiri)+(bahasa Yunani: πάθος, pathos, derita) adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan kondisi medis yang belum dapat terungkap jelas penyebabnya.