Sri Margana; Abdul Wahid; Farabi Fakih; Uji Nugroho Winardi; Ravando; Wildan Sena Utama
KEINDONESIAAN DALAM UANG Sejarah Uang Kertas Indonesia, 1945—1953
KEINDONESIAAN DALAM UANG
Uang memiliki makna yang sangat penting bagi masyarakat dan negara, melebihi fungsi ekonomisnya sebagai alat pertukaran semata. Sebagai produk dari sebuah lembaga formal milik negara, uang merepresentasikan kepentingan bersama masyarakat dan kebijakan publik sebuah negara. Mulai dari bahan, bentuk, nilai, hingga semua jenis simbol yang disematkan di dalamnya, dipilih berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Setiap spesimen mata uang karenanya memiliki makna tertentu yang merefleksikan kekayaan sosial kultural maupun kepentingan masyarakat dan negara, serta jiwa zaman ketika uang tersebut diterbitkan. Sebagai sebuah objek kajian dan sebagai sumber sejarah, setiap spesimen mata uang bisa menjadi 'jendela' untuk melihat perkembangan sosial, politik, ekonomi, dan bahkan kebudayaan sebuah negara di mana uang tersebut dikeluarkan. Buku ini adalah hasil dari upaya untuk melahirkan pemahaman sejarah uang kertas yang lebih komperhensif.
Museum Bank Indonesia
KEINDONESIAAN DALAM UANG Sejarah Uang Kertas Indonesia, 1945—1953
Museum Bank Indonesia bekerja sama dengan Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UGM 2018
Tim Penulis Dr. Sri Margana Dr. Abdul Wahid Dr. Farabi Fakih Uji Nugroho, M.A Ravando, M.A. Wildan Sena Utama, M.A.
DAFTAR ISI
BAB I Latar Belakang | 1 BAB II Proklamasi Kemerdekaan dan Lahirnya Oeang Repoeblik Indonesia (ORI) | 7 BAB III Kondisi Perbankan dan Kebijakan Fiskal Negara Masa Revolusi sampai Pendirian BI (1945—1953) | 33 BAB IV Aspek Numismatik Uang: Uang RIS, ORI, dan Seri Pemandangan Alam | 75 BAB V Deskripsi Visual | 97 BAB VI Makna di Balik Rupa: Uang RIS, ORI, dan Seri Pemandangan Alam | 169 BAB VII Kesimpulan | 205 DAFTAR PUSTAKA | 209
BAB I PENDAHULUAN
Pada 19 Desember 2016, bertempat di Bank Indonesia, Presiden Joko Widodo bersama Gubernur Bank Indonesia, Agus Martowardoyo dan Menteri Keuangan Indonesia, Sri Mulyani, meresmikan peluncuran uang rupiah kertas dan logam baru emisi 2016. Dalam pidatonya, Presiden Jokowi mengungkapkan bahwa “setiap lembar rupiah adalah wujud kedaulatan kita sebagai negara, bahwa kita tidak bertransaksi dengan mata uang negara lain”1 Salah satu ciri rupiah emisi baru 2016 yang berbeda dengan emisi sebelumnya adalah adanya frasa Negara Kesatuan Republik Indonesia. Frasa tersebut diterjemahkan ke dalam pemilihan gambar yang merepresentasikan keindonesiaan dalam uang emisi baru tersebut. Di samping menginstruksikan agar pengamanan rupiah harus terus diperkuat, supaya teknologi pengamanan rupiah jangan sampai kalah dengan pemalsu, Jokowi juga berkomentar mengenai pemilihan desain mata uang. Jokowi menyatakan bahwa “gambar pahlawan nasional, tari nusantara dan pemandangan alam adalah sebagai wujud kecintaan 1) Lihat “Jokowi: Dalam Setiap Lembar Rupiah Ada Gambar Pahlawan Nasional dari Nusantara”, https://finance.detik.com/moneter/d-3374772/jokowi-dalam-setiap-lembarrupiah-ada-gambar-pahlawan-nasional-dari-nusantara, 19 Desember 2016.
budaya dan karakteristik bangsa Indonesia”. Pemilihan gambar pahlawan pada uang rupiah baru ini tentu menjadi sebuah fakta menarik, karena menampilkan pahlawan, suku, dan agama dari daerah yang selama ini kurang direpresentasikan (minoritas). Pemilihan pahlawan pada mata uang baru ini jelas didasari oleh keinginan pemerintah untuk menampilkan fakta historis kebhinekaan atau keragaman Indonesia. Berangkat dari pernyataan itu dapat disimpulkan bahwa uang dikeluarkan tidak hanya untuk mendukung fungsi ekonomis sebagai alat pembayaran yang sah dalam perdagangan atau transaksi ekonomis lainnya namun juga memiliki fungsi lain sebagai produk dari sebuah lembaga formal yang merepresentasikan kepentingan bersama masyarakat dan kebijakan publik suatu negara. Mulai dari bahan, bentuk, nilai hingga semua jenis simbol yang disematkan didalamnya, desain suatu mata uang dipilih berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Setiap spesimen mata uang karenanya memiliki makna tertentu yang merefleksikan kekayaan sosial kultural maupun kepentingan masyarakat dan negara, serta jiwa zaman ketika uang tersebut diterbitkan. Sebagai sebuah obyek kajian dan sebagai sumber sejarah, setiap spesimen mata uang bisa menjadi ‘jendela’ untuk melihat perkembangan sosial, politik, ekonomi dan bahkan kebudayaan sebuah negara di mana uang tersebut dikeluarkan. Oleh sebab itu, menelusuri objek dalam mata uang akan membawa kita memahami nilai kebudayaan, kekayaan sosial-budaya yang terkandung (dimunculkan) dalam uang dan juga akan mendorong kita menganalisis sejarah sosial, ekonomi, politik dan budaya yang mempengaruhi kemunculan objek dalam uang tersebut. Secara kronologis, periode sejarah uang di Indonesia dapat dibagi sebagai berikut: 1. Periode 1945-1953. Diawali pada 1945, dimana pemerintah Indonesia pertama kalinya mengeluarkan ORI setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, guna menggantikan uang kertas terbitan De Javasche Bank. Diakhiri pada 1953 ketika De Javasche Bank dinasionalisasi menjadi Bank Indonesia. 2. Periode 1953-1965. Diakhiri pada 1965, seiring dengan pergantian rezim kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto yang jelas mempengaruhi proses pengeluaran mata uang. 3. Periode 1965-1998. Diakhiri pada 1998, seiring dengan berakhirnya kekuasaan Orde Baru Soeharto yang telah berlangsung selama 32 tahun. 4. Periode pasca 1998. Ditandai dengan dikeluarkannya berbagai mata uang baru berseri pahlawan. Hal serupa masih dilakukan oleh pemerintah Indonesia saat ini.
2
Keindonesiaan dalam Uang
Karena masih minimnya referensi tentang sejarah uang maka masih perlu dikembangkan kajian akademik guna menelusuri uang sebagai objek penelitian. Sejarawan akademis lebih memfokuskan penelitiannya untuk melihat uang secara moneter sebagai bagian penting dalam sejarah ekonomi Indonesia. Sebaliknya, mereka yang berminat untuk meneliti sejarah uang Indonesia adalah bukan sejarawan tapi para kolektor atau numismator yang mempelajari, menekuni atau mengoleksi uang sebagai benda seni dan antik untuk memenuhi ketertarikannya (hobi) terhadap perkembangan uang. Oleh sebab itu, penelitian ini menjadi sebuah awalan untuk mendalami sejarah perkembangan uang Indonesia.
Ruang Lingkup Penelitian ini merupakan penelitian jangka panjang yang merupakan bagian dari upaya mengaji seluruh uang kertas yang dikeluarkan pemerintah Indonesia sejak 1945 hingga 2016 yang dibagi dalam tahapan-tahapan penelitian sesuai dengan periodisasi di atas. Pada tahap pertama ini, dibahas sejarah uang kertas Indonesia sejak masa kemunculan ‘Oeang Repoeblik Indonesia’ (ORI) hingga nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia melalui UU No.11 Tahun 1953. Uang yang dikaji merupakan uang yang diterbitkan pemerintah Indonesia, bukan yang dicetak oleh BI. Uang yang dimaksud yakni ORI (terdiri dari 4 seri ORI dan ORI Baru), Uang RIS, dan Seri Pemandangan Alam. Adapun sejumlah ORIDA turut ditampilkan untuk memberi ilustrasi kepada pembaca tentang jenis lain dari uang Indonesia yang saat itu beredar secara terbatas di daerah-daerah. Penelitian ini dirancang untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini: •
Apakah yang melatarbelakangi penerbitan suatu seri mata uang?
•
Apakah tujuan dari penerbitan suatu seri mata uang?
•
Apakah terdapat kaitan antara penerbitan suatu seri mata uang dengan situasi politik, ekonomi, sosial, budaya, dan keamanan Indonesia pada saat itu?
•
Bagaimana desain dari mata uang?
•
Mengapa suatu seri mata uang menampilkan desain/gambar tertentu?
•
Bagaimana fitur pengaman (security features) yang terdapat pada suatu seri mata uang untuk membedakannya dengan uang palsu?
•
Apakah terdapat cerita unik lain di balik penerbitan suatu seri mata uang?
Pendahuluan
3
Berdasarkan ruang lingkup dan pertanyaan penelitian tersebut di atas, penelitian diarahkan untuk menghasilkan sebuah dokumen akademik berupa kajian historis tentang seluruh mata uang kertas yang dikeluarkan secara resmi oleh pemerintah, sejak 1945 yaitu periode 1945-1953 saat Oeang Republik Indonesia (ORI) dikeluarkan hingga pendirian Bank Indonesia sebagai Bank Sentral. Naskah akademik ini mengungkapkan aspek-aspek berikut ini: •
Latar belakang penerbitan seri uang
•
Konteks sosial politik dan ekonomi dari masing-masing uang Aspekaspek numismatik uang
•
Makna filosofis dan alasan pemilihan gambar yang ditampilkan
•
Masa berlaku uang dan kisah-kisah lainnya (terutama pemalsuan)
Metode dan Sumber Penelitian Penelitian ini akan menggunakan dua jenis sumber, yaitu sumber primer dan sekunder. Sumber-sumber primer (dokumen, surat kabar, majalah dan arsip) dan sumber-sumber sekunder (buku dan jurnal) di Arsip dan Perpustakaan Bank Indonesia, Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dan Peruri. Disamping itu, penelitian ini juga akan melakukan sejarah lisan dengan mewawancarai orang-orang yang terlibat di dalam proses penerbitan mata uang. Sumber lisan ini penting untuk mendapatkan data yang tidak didapatkan di dalam sumber-sumber tertulis. Selain penelitian di Jakarta, tim juga akan melakukan penelitian di Yogyakarta. Penelitian di Yogyakarta akan difokuskan di berbagai perpustakaan dan kantor arsip lokal, seperti di Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD DIY), Perpustakaan Ignatius, Perpustakaan Universitas Gadjah Mada dan perpustakaan lain yang memiliki bahan-bahan sekunder yang relevan.
Sistematika Penulisan Naskah ini disajikan dalam VI bab. Pada Bab I menyajikan permasalahan pokok, metode dan sumber-sumber penelitian dilanjutkan dengan Bab II yang memberikan latar belakang politik terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdaulat dan genesis atau munculnya ide pembuatan Oeang Repoeblik Indonesia. Pada Bab III dijelaskan tentang kondisi politik, ekonomi dan moneter Indonesia selama kurun waktu
4
Keindonesiaan dalam Uang
sejak kemerdekaan tahun 1945 hingga Nasionalisme De Javaasche Bank menjadi Bank Indonesia. Gambaran situasi politik, ekonomi dan moneter ini penting untuk memahami pengeluaran beberapa speciemen uang kertas Indonesia selama periode itu. Pada Bab IV dijelaskan tentang aspekaspek numismatic dari uang dari semua seri yang pernah dikeluarkan oleh pemerintah Republik dan juga RIS, dari karakter fisik, nilai, teknologi cetak, teknologi pengamanan dan sebagainya, disertasi dengan diskripsi visual dari setiap speciemen uang. Pada Bab V dijelaskan mengenai makna filosofis dari setiap gambar atau ilustrasi yang ada pada uang diletakkan pada konteks kebangsaan, kebudayaan dan nilai-nilai filsafat. Uraian bab ini lebih cenderung subyektif didasarkan pada pendekatan ikonografis. Analisis ikonografis ini akan didasarkan pada kajian-kajian antropologis, filosofis dan sosiologis atas beragam bentuk gambar, ilustrasi atau ornamen yang terdapat pada uang. Sebagai penutup disajikan kesimpulan umum yang dapat ditarik dari keseluruhan bab yang telah dipaparkan dalam naskah ini. Sumber-sumber referensi baik sumber primer maupun primer disajikan pada akhir naskah, yang dapat berfungsi untuk rujukan bagi pengembangan riset selanjutnya.
Pendahuluan
5
Tepat pada tanggal 26 Oktober 1946, uang Jepang memang sudah merosot nilainya, telah digantikan oleh ORI (Oeang Repoeblik Indonesia) dengan kurs menurut Undang-undang 1:50 di Jawa dan 1:100 di Sumatra. Rakyat di wilayah RI beramai-ramai menukarkan mata uang Jepang dengan ORI. Pada gambar tampak warga kota Jakarta yang wilayahnya telah dikuasai oleh NICA/Belanda berduyun-duyun menukarkan uang Jepang dengan ORI. Kedua foto ini adalah pemandangan Kantor Pos Pasar Baru dan di ruang Tunggu BNI di Jalan Menteng Raya. Sumber: Album Perjuangan Kemerdekaan 1945-1950: Dari Negara Kesatuan ke Negara Kesatuan, (Jakarta: Badan Pimpinan Harian Pusat Korps Cacad Veteran RI dan Badan Penerbit ALDA, 1975), hlm. 91.
BAB II PROKLAMASI KEMERDEKAAN DAN LAHIRNYA OEANG REPOEBLIK INDONESIA (ORI)
Bab ini menjelaskan tentang proses lahirnya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 dan munculnya ide untuk menerbitkan Oeang Repoeblik Indonesia (ORI) yang dipandang sebagai langkah strategis baik secara politik maupun ekonomis dalam mempertahankan proklamasi kemerdekaan tersebut. Secara politik, menurut banyak pelaku sejarah dan peneliti kontemporer, ORI merupakan bagian dari alat perjuangan dan menjadi simbol dari kedaulatan bangsa Indonesia yang merdeka. Sementara secara ekonomis, penerbitan ORI merupakan bagian dari upaya Pemerintah Republik Indonesia untuk ‘membiayai’ perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Bab ini diawali dengan pembahasan tentang berbagai peristiwa penting dan proses politik yang mendahului Proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945. Selanjutnya diuraikan proses munculnya gagasan dan pemikiran di kalangan para tokoh pemimpin bangsa maupun di tengah masyarakat luas tentang pentingnya Pemerintah Republik Indonesia untuk menerbitkan mata uang sendiri. Selain itu dibahas pula upaya-upaya yang dilakukan Pemerintah Republik Indonesia untuk mewujudkan gagasan tersebut dan berbagai kendalanya.
Proklamasi Kemerdekaan Proklamasi 17 Agustus 1945 merupakan tonggak sejarah utama yang menandai lahirnya Indonesia sebagai sebuah negara-bangsa yang merdeka dan berdaulat dari penjajahan Belanda dan kemudian Jepang. Peristiwa tersebut lahir dari sebuah proses panjang pergerakan dan dinamika politik domestik yang digerakan oleh para pemimpin nasional dengan dukungan besar dari para pemuda; dan perubahan-perubahan politik internasional yang berjalan sangat cepat menjelang berakhirnya Perang Dunia II. Pemicu utama dari berbagai perubahan politik internasional tersebut adalah kemenangan Tentara Sekutu pimpinan Amerika Serikat atas Tentara Pendudukan Jepang di berbagai front peperangan di wilayah Asia Pasifik. Selain itu pada bulan Juni 1944, Tentara Sekutu juga berhasil mengalahkan sekutu Jepang di Eropa, yaitu Jerman di berbagai wilayah di Eropa. Kekalahan-kekalahan tersebut mengakibatkan terjadinya krisis politik di Jepang yang memaksa Perdana Menteri Tojo mengundurkan diri untuk kemudian digantikan oleh Jenderal Koiso Kuniaki.1 Di Indonesia, Tentara Pendudukan Jepang juga mulai menyadari posisinya yang mulai kehilangan kontrol dan kekuasaannya. Serentetan perlawanan dan pemberontakan mulai menggoyahkan kekuasaan Jepang yang ditancapkan melalui teror dan kekerasan sejak awal tahun 1942. Pada bulan Februari 1944, perlawanan rakyat pertama dalam skala besar terjadi di Jawa, di sebuah desa priangan di mana masyarakat setempat memprotes kebijakan mobilisasi beras yang diberlakukan secara keras oleh Tentara Jepang. Perlawanan rakyat berikutnya terjadi di Tasikmalaya pada bulan Mei dan Juni 1944, dipimpin oleh para kyai dan haji setempat. Beberapa bulan kemudian, tepatnya Februari 1945, detasemen tentara pelajar PETA (Pembela Tanah air), yang dibentuk Jepang sebagai tentara cadangan, mengangkat senjata di Blitar menyerang dan membunuh sejumlah tentara Jepang. Peristiwa-peristiwa tersebut menimbulkan kekhawatiran bagi Penguasa Militer Jepang dan karenanya mereka segera mengambil langkah politik kongkrit bagi Indonesia. Pada 7 September 1944 Perdana Menteri Koiso mengeluarkan janjinya untuk memberikan kemerdekaan bagi Indonesia, meskipun tidak menyebutkan tanggal pastinya. Janji tersebut jelas dimaksudkan untuk menarik hati para pemimpin dan rakyat Indonesia untuk memberikan dukungan kepada Jepang yang semakin terancam kalah perang. Untuk itu, Penguasa Militer Jepang mengizinkan pendirian sejumlah laskar dan milisi pemuda, seperti Hizbullah, Barisan Pelopor, dan sebagainya.2 1) M.C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia since c. 1200, 3rd edition (Basingstoke: Palgrave MacMillan, 2001), hlm. 256. 2) Ibid, hlm. 257.
8
Keindonesiaan dalam Uang
Selanjutnya pada bulan Maret 1945, Penguasa Militer Jepang membentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), yang anggotanya terdiri dari para pemimpin terkemuka dari semua aliran politik yang ada pada waktu itu. Melalui langkah ini, Penguasa Militer Jepang ingin memastikan bahwa pemberian kemerdekaan akan diberikan kepada generasi tua pemimpin Indonesia, yang mereka anggap akan lebih mudah untuk diajak kerjasama dibandingkan dengan kelompok muda. BPUPKI diberikan mandat untuk menyiapkan berbagai perangkat dan unsur kelengkapan kenegaraan bagi negara Indonesia merdeka. Setelah melalui serangkaian pertemuan dan perdebatan, Badan ini akhirnya berhasil merumuskan rancangan undang-undang dasar yang nantinya dikenal sebagai Undang-Undang Dasar 1945, yang diantaranya berisi ketentuan bahwa Indonesia merdeka akan mengambil bentuk negara kesatuan (unitary state) yang wilayahnya mencakup bekas Hindia Belanda dan sistem politik presidensil yang kuat. Selain itu, pada tanggal 1 Juni 1945, gagasan Sukarno tentang lima dasar negara, Pancasila, diterima secara aklamasi oleh semua anggota BPUPKI sebagai filsafat dasar/ideologi bagi negara Indonesia merdeka.3 Pada bulan Juni 1945, kekalahan Jepang di semua front peperangan Asia Pasifik hanya tinggal masalah waktu saja; sedangkan Jerman – sekutunya di Eropa – sudah menyerah sepenuhnya kepada Tentara Sekutu satu bulan sebelumnya. Kondisi ini menyadarkan Jepang bahwa mereka tidak bisa memenangkan perang, dan upaya mereka untuk mempertahankan kawasan yang didudukinya akan sia-sia semata. Oleh karena itu, Penguasa Militer Jepang untuk wilayah Asia Tenggara bersepakat untuk segera memberikan kemerdekaan bagi Indonesia. Pada akhir Juli 1945, Pimpinan Angkatan Darat dan Angkatan Laut Jepang bertemu di Singapura untuk merancang pemberian kemerdekaan dan pembentukan pemerintahan baru di Indonesia, supaya tidak jatuh kembali ke tangan Belanda, yang bersekutu dengan Amerika Serikat dan Tentara Sekutu lainnya. Mereka bersepakat bahwa kemerdekaan akan diberikan kepada Jawa pada awal September, dan menyusul kemudian untuk daerah lainnya. Namun demikian, rencana tersebut tidak pernah terlaksana. Pada 6 Agustus 1945, Tentara Sekutu menjatuhkan bom atom di Hiroshima, dan tiga hari kemudian menjatuhkan bom atom kedua di Nagasaki, yang menewaskan ratusan ribu jiwa. Dua peristiwa tersebut, akhirnya memaksa Tentara Jepang untuk menyerah tanpa syarat kepada Tentara Sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945.4 Untuk mempersiapkan pemberian kemerdekaan kepada Indonesia, 3) M.C. Ricklefs, op.cit, hlm. 258. 4) Ibid, hlm. 259.
Proklamasi kemerdekaan dan Lahirnya ORI
9
Penguasa Militer Jepang mengundang Sukarno, Mohammad Hatta, dan Radjiman Wediodingrat untuk bertemu Jenderal Terauchi Hisaichi, pimpinan militer tertinggi untuk wilayah Asia Tenggara di Saigon, Vietnam. Dalam pertemuan itu, Terauchi berjanji akan segera memberikan kemerdekaan kepada seluruh wilayah bekas Hindia Belanda dan menunjuk Sukarno sebagai ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sukarno dan rombongan kembali ke Jakarta pada tanggal 14 Agustus 1945. Sehari kemudian, Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, sehingga rencana pemberian kemerdekaan Indonesia oleh Jepang tersebut harus dipercepat pelaksanaannya. Dalam bukunya Sekitar Proklamasi, Bung Hatta menyebutkan bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia sedianya akan dilakukan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dalam rapatnya pada tanggal 16 Agustus 1945 jam 10.00 atas seizin Penguasa Militer Jepang.5 Namun, sejarah mencatat bahwa rencana tersebut gagal karena pada dini hari tanggal 16 Agustus 1945 Sukarno dan Hatta diculik oleh sekelompok pemuda dibawah pimpinan Sukarni, Chaerus Saleh, dan Wikana ke Rengasdengklok. Selain itu, Tentara Sekutu memerintah Tentara Pendudukan Jepang pada hari yang sama sekitar pukul 13.00 untuk menjaga status quo sampai dengan kedatangan Tentara Sekutu, termasuk melarang para pemimpin Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.6 Peristiwa penculikan Sukarno-Hatta oleh para pemuda tersebut diingat sebagai momentum penting yang mengubah secara drastis arah jarum jam sejarah Indonesia. Dalam otobiografinya yang ditulis oleh Cindy Adams, Sukarno menyebut bahwa para pemuda yang melakukan aksi penculikan terhadap dirinya itu terpengaruh oleh Sjahrir. Dengan didorong oleh rasa patriotik yang membara, mereka meyakini bahwa kondisi vacuum of power tersebut merupakan kesempatan yang baik bagi Sukarno dan Hatta untuk mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia.7 Seperti halnya Sjahrir, para pemuda tersebut menginginkan proklamasi kemerdekaan Indonesia dilakukan secara dramatis dan independen di luar kerangka apapun yang direncanakan oleh Jepang, termasuk melalui PPKI. Karena hal itu akan 5) Mohammad Hatta, Sekitar Proklamasi (Jakarta: PT Tintamas, 1970), hlm. 31-32. Jikalau rencana ini berjalan, demikian menurut Hatta, maka pernyataan kemerdekaan Indonesia akan dilakukan berdasarkan teks yang telah disiapkan pada tanggal 22 Juni 1945, yang penyusunananya berada di bawah pengawasan Tentara Jepang. 6) P. Swantoro, “Sebuah Catatan terhadap Memoar Bung Hatta: Benarkah Patterson Mendarat Tanggal 16 Agustus 1945?”, dalam Hendri F. Isnaeni (ed.), Seputar Proklamasi Kemerdekaan: Kesaksian, Penyiaran dan Keterlibatan Jepang (Jakarta: Penerbit Kompas, 2015), hlm. 12. 7) Cindy Adams, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, edisi revisi (Yogyakarta: Yayasan Bung Karno – Penerbit Media Pressindo, 2014), hlm. 256.
10
Keindonesiaan dalam Uang
berarti bahwa kemerdekaan Indonesia adalah pemberian Jepang dan bukan hasil dari perjuangan bangsa Indonesia sendiri.8 Demikianlah sejarah mencatat, bahwa sekelompok pemuda yang dimotori antara lain oleh Sukarni, Wikana, dan Chaerul Saleh ‘menculik’ Sukarno dan Hatta pada dini hari tanggal 16 Agustus 1945. Mereka membawa Sukarno dan Hatta ke Rengasdengklok di Karawang dengan alasan kemanan, yaitu untuk menghindarkan mereka berdua dari kemungkinan pertempuran yang akan terjadi sehubungan rencana PETA dan Heiho menyerang dan melucuti tentara Jepang. Namun pertempuran tersebut tidak terjadi, dan Sukarno-Hatta menyadari bahwa penculikan itu merupakan upaya para pemuda untuk memaksa mereka untuk mendeklarasikan kemerdekaan di luar kerangka rencana Jepang. ‘Menghilangnya’ Sukarno-Hatta dari Jakarta sudah tentu menimbulkan kekacauan, utamanya menyebabkan batalnya sidang PPKI yang mengagendakan pembacaan deklarasi kemerdekaan Indonesia. Dalam situasi genting itulah Laksamana Muda Tadashi Maeda,9 pimpinan Angkatan Laut Jepang (Kaigun) di Jawa mengambil langkah strategis, memerintahkan perwira-perwiranya untuk mencari keberadaan Sukarno dan Hatta. Setelah melalui berbagai upaya, keberadaan mereka berdua pun akhirnya diketahui. Laksamana Maeda segera mengambil langkah cepat dengan mengirim Ahmad Subardjo dan Soediro (keduanya anggota BPUPKI) untuk menyampaikan pesan kepada para pemuda bahwa dia akan memberikan jaminan keamanan bagi upaya deklarasi kemerdekaan Indonesia asalkan mereka bisa mengembalikan Sukarno-Hatta dengan selamat ke Jakarta. Setelah melalui negosiasi yang alot, para pemuda menerima pesan tersebut dan mereka bersedia membawa Sukarno-Hatta kembali ke Jakarta pada sore hari tanggal 16 Agustus 1945.10 Sesampainya di Jakarta, Sukarno yang menyadari bahwa mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia pada waktu itu merupakan sebuah langkah subservif terhadap status quo yang diperintahkan Tentara 8) P. Swantoro, op.cit, hlm. 13. 9) Mengenai Laksamana Maeda dan perannya dalam proses Proklamasi, Sukarno mengenangnya sebagai berikut: “Laksamana Maeda adalah orang yang memiliki wawasan luas, seorang idealis yang sangat taat beragama. Sebagai orang yang pernah merantau ke mana-mana, dan pernah mengunjungi Indonesia sebelum perang, dia menaruh simpati pada perjuangan kami. Terutama di saat-saat yang menentukan ini. Dia turun dari lantai atas untuk secara pribadi memperkuat jaminan atas perlindungannya, tetapi dia juga menjelaskan, di luar dinding rumahnya dia tidak bisa membantu. Itu merupakan daerah militer”. Cindy Adams, op.cit, hlm. 263. 10) Ahmad Subardjo Djoyoadisuryo, “In Memoriam Laksamana Tadashi Maeda”, dalam Hendri F. Isnaeni (ed.), Seputar Proklamasi Kemerdekaan: Kesaksian, Penyiaran dan Keterlibatan Jepang (Jakarta: Penerbit Kompas, 2015), hlm. 194-195.
Proklamasi kemerdekaan dan Lahirnya ORI
11
Sekutu kepada Tentara Jepang, tetap berupaya menemui pemegang otoritas tertinggi Tentara Jepang di Indonesia, Gunseikan untuk meminta jaminan sikap netral Tentara Jepang. Namun demikian, Gunseikan melalui ajudannya Kolonel Nishimura menolak untuk memenuhi permintaan Sukarno tersebut, dan menegaskan posisi dan sikap Jepang sebagai ‘polisi yang diperbantukan kepada Tentara Sekutu’. Dia menegaskan perintah atasannya untuk melarang orang-orang Indonesia membuat perubahan apapun dalam pemerintahan, dan bahkan mengancam akan melakukan tindakan tegas – menembak mati – siapapun yang melakukan upaya-upaya subversif dan kekacauan, terutama para pemuda.11 Ancaman Gunseikan tersebut tidak menyurutkan niat Sukarno-Hatta dan pemimpin-pemimpin lainnya untuk melanjutkan rencana mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia. Malam harinya, Sukarno-Hatta dan beberapa tokoh lainnya berkumpul di rumah Laksmana Maeda, kini di Jalan Imam Bonjol 1, tempat yang dianggap paling aman untuk membicarakan persiapan proklamasi kemerdekaan. Sukarno membuka pertemuan itu dengan menyampaikan penjelasan tentang keadaan mendesak yang memaksa percepatan proklamasi kemerdekaan. Selanjutnya, atas persetujuan semua yang hadir, naskah proklamasi kemerdekaan pun mulai dirumuskan. Sukarno sendiri yang menuliskan konsep proklamasi tersebut di secarik kertas. Untuk kalimat pertama, sebuah sumber mengungkapkan, Sukarno sengaja mengutip bagian terakhir dari Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang waktu itu belum disahkan sebagai kalimat pertama dari naskah Proklamasi. Sementara itu, Hatta memberikan kontribusi gagasannya merumuskan kalimat kedua yang berkaitan dengan isu ‘pemindahan kekuasaan dari Jepang ke tangan bangsa Indonesia’. Kalimat kedua ini mengalami perbaikan sehingga terdapat coretan-coretan dalam naskah tersebut (Foto 1). Sukarno kemudian membacakan naskah proklamasi yang sudah dirumuskan tersebut.12 Namun demikian, naskah tersebut tidak serta merta diterima oleh semua yang hadir. Sukarni, yang mewakili suara pemuda, menolak naskah itu karena dinilainya tidak mencerminkan jiwa revolusioner dan bahasanya terlalu ‘lembek’. Dia juga tidak setuju dengan kalimat kedua yang menyiratkan kepercayaan akan niat baik Jepang memindahkan kekuasaan kepada Indonesia secara sukarela. Dia menegaskan bahwa kemerdekaan itu harus direbut dari tangan Jepang. Pendapat Sukarni didukung oleh 11) Cindy Adams, op.cit, hlm. 264. 12) P. Swantoro, “Saat-saat Penentuan Rumusan Proklamasi: Kisah Satu Malam yang Menentukan Masa Depan”, dalam Hendri F. Isnaeni (ed.), Seputar Proklamasi Kemerdekaan: Kesaksian, Penyiaran dan Keterlibatan Jepang (Jakarta: Penerbit Kompas, 2015), hlm. 58-59.
12
Keindonesiaan dalam Uang
Foto 2.1. Naskah asli Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 Sumber: http://gowest.id/wp-content/uploads/2016/10/proklamasi-teks-ok.jpg
para pemuda yang hadir di ruangan tersebut, namun semua anggota PPKI menolak gagasan Sukarni dan sepakat mempertahankan dua kalimat tersebut. Perdebatan kembali muncul ketika Sukarno menanyakan siapa yang harus menandatangani naskah proklamasi itu. Sukarni dan para pemuda menginginkan sejumlah nama yang mereka anggap berjasa untuk dituliskan dalam naskah itu, sedangkan Sukarno sendiri mengusulkan frasa ‘Wakil-wakil Bangsa Indonesia’ untuk mengakomodasi semua kelompok yang hadir saat itu. Namun Sukarni menolak usulan tersebut, karena menurutnya konsep tersebut mencakup para anggota PPKI yang di matanya adalah ‘para kolaborator Jepang’. Perdebatan mengalami kebuntuan, sampai akhirnya Sayuti Melik mengusulkan Sukarno-Hatta dengan mengatasnamakan Bangsa Indonesia sebagai penanda tangan proklamasi. Usulan tersebut akhirnya diterima semua hadirin, dan Sayuti sendiri kemudian diminta untuk menyalin naskah tersebut dengan menggunakan mesin ketik (Foto 2).13 13) P. Swantoro, “Saat-saat Penentuan Rumusan Proklamasi…, hlm. 60-61. Pertemuan di rumah Laksamana Maeda itu sendiri diakhiri pada pukul 03.00 dini hari tanggal 17 Agustus 1945. Sebelum rapat ditutup Sukarno mengingatkan bahwa naskah Proklamasi akan dibacakan hari itu juga.
Proklamasi kemerdekaan dan Lahirnya ORI
13
Foto 2.2. Naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 versi ketik Sumber: https://satujam.com/wp-content/uploads/2017/08/ProklamasiKetikan-Sayuti-Melik.jpg
Pada pagi harinya, bertepatan dengan tanggal 17 Agustus 1945 dalam kondisi sakit Sukarno bersama-sama dengan Mohammad Hatta membacakan naskah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Menurut sebuah sumber, upacara pembacaan proklamasi tersebut semula akan dilangsungkan di lapangan Ikada (Ikatan Atletik Djakarta, sekarang Lapangan Merdeka). Namun rencana tersebut terdengar oleh Tentara Jepang, sehingga sejak pagi hari Tentara Jepang dalam jumlah besar sudah didatangkan ke lokasi tersebut untuk mencegah dilangsungkannya acara tersebut. Oleh karena itu, upacara pun dipindahkan ke kediaman Sukarno di Pegangsaan Timur No. 56. Upacara dimulai sekitar pukul 10 pagi, dengan diawali pidato pembukaan oleh Suwirjo (wakil shi-cho Jakarta). Kemudian dilanjutkan dengan pembacaan naskah Proklamasi oleh Sukarno dan Hatta. Selesai membacakan naskah Proklamasi dengan tenang dan jelas, Bung Karno memberikan pidato singkat berisi ajakan kepada semua komponen bangsa Indonesia untuk merasa bangga karena kemerdekaan sudah diraih, dan untuk bekerja keras mempertahankan dan mengisi kemerdekaan tersebut. Upacara dilanjutkan dengan pengibaran bendera Merah Putih yang sudah disiapkan oleh Ibu Fatmawati Sukarno dan dilakukan oleh Chudanco latief Hendraningrat. Setelah mengheningkan cipta, upacara
14
Keindonesiaan dalam Uang
Foto 2.3. Detik-detik Pembacaan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia Sumber: http://cdn2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/bungkarno-saat-membacakan-teks-proklamasi_20150818_162602.jpg
diakhiri dengan dinyanyikannya lagu kebangsaan Indonesia Raya dengan penuh semangat oleh semua yang hadir di lokasi tersebut. Berita tentang Proklamasi Kemerdekaan itupun segera disebarluaskan ke seluruh penjuru negeri melalui siaran radio.14
Pembentukan Pemerintahan RI dan Tantangannya Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 menandai lahirnya negara Republik Indonesia, yang merdeka dan berdaulat dari penjajahan bangsabangsa asing yang sudah dialaminya sejak sekitar tiga setengah abad sebelumnya. Momen tersebut sekaligus menandai fase baru perjuangan 14) Sudiro, “Saat-saat Proklamasi Sangat Mendebarkan”, dalam Hendri F. Isnaeni (ed.), Seputar Proklamasi Kemerdekaan: Kesaksian, Penyiaran dan Keterlibatan Jepang (Jakarta: Penerbit Kompas, 2015), hlm. 76-77. Cindy Adams menyebutkan bahwa setelah berakhirnya upacara Proklamasi Kemerdekaan itu, lima orang opsir Kempeitai Jepang mendatangi Sukarno. Mereka dengan nada marah menyampaikan keberatan Gunseikan atas apa yang telah dilakukan Sukarno, dan menganggapnya sebagai pelanggaran terhadap status quo. Namun keberadaan sejumlah besar pemuda bersenjata di sekeliling Sukarno memaksa para polisi rahasia Jepang itu untuk pergi meninggalkan rumah Sukarno.
Proklamasi kemerdekaan dan Lahirnya ORI
15
bangsa Indonesia, karena kemerdekaan yang baru dideklarasikan tersebut harus segera dipertahankan dari kekuatan imperialisme Belanda yang datang kembali membonceng Tentara Sekutu sejak September 1945 dan berupaya keras untuk menghidupkan kembali kekuasaannya di Indonesia. Selama hampir empat tahun berikutnya bangsa Indonesia harus berjuang mengangkat senjata dan melalui langkah-langkah politik-diplomasi menghadapi Belanda. Pada saat yang sama juga berjuang untuk memperoleh pengakuan dunia internasional sebagai negara-bangsa yang merdeka. Selain itu, secara internal para pemimpin bangsa juga harus bekerja keras mengkonsolidasikan diri, menyamakan persepsi semua komponen bangsa untuk menerima proklamasi kemerdekaan dan kemudian untuk mempertahankan kemerdekaan yang baru diraih tersebut. Salah satu langkah pertama yang segera dilakukan para pemimpin bangsa adalah membentuk sebuah pemerintahan untuk menghidupkan dan menjalankan administrasi kenegaraan. Untuk itu, PPKI dipimpin oleh ketuanya, Sukarno, mengadakan sidang pertama pada tanggal 18 Agustus 1945 untuk menetapkan Pembukaan dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi resmi negara Indonesia. Selain itu, sidang juga menetapkan struktur negara berdasarkan UUD 45, mengangkat secara resmi Sukarno dan Mohammad Hatta sebagai Dwi tunggal Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Sebuah Komite Nasional yang terdiri dari berbagai perwakilan kelompok masyarakat akan dibentuk untuk membantu tugas keduanya. Dalam otobiografinya, Bung Hatta mencatat bahwa PPKI pada hari yang sama juga membahas konsep administrasi kewilayahan, dengan membagi wilayah RI menjadi 8 (delapan) provinsi, yang masingmasing dikepalai oleh seorang gubernur. Provinsi-provinsi tersebut adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Sunda Kecil, dan Maluku. Setiap provinsi selanjutnya dibagi dalam karesidenan, yang dikepalai oleh residen dan dibantu oleh komite nasional daerah. Sementara itu, kedudukan kota dan kepalanya diputuskan untuk dipertahankan sebagaimana adanya hingga ada keputusan baru. Adapun pemilihan gubernur untuk setiap provinsi dan pembentukan berbagai organisasi negara dilakukan bersama-sama dengan penyusunan kabinet pertama pada rapat di hari kedua. 15 Adapun kabinet pertama yang akan bekerja membantu Presiden dan Wakil Presiden memiliki susunan sebagai berikut:16 15) Mohammad Hatta, Untuk Negeriku, Menuju Gerbang Kemerdekaan: Sebuah Otobiografi, Jilid 3 (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2011), hlm. 98-99. 16) Ibid, hlm. 105-107. Sejarah mencatat bahwa selama periode perang kemerdekaan, Pemerintah melakukan beberapa kali perombakan kabinet sebagai respons terhadap
16
Keindonesiaan dalam Uang
Menter Dalam Negeri
: R.A.A. Wiranatakusumah
Menteri Luar Negeri
: Mr. A. Subardjo
Menteri Kehakiman
: Prof. Mr. Dr. Soepomo
Menteri Kemakmuran
: Ir. R.P. Soerachman
Menteri Keuangan
: Dr. Samsi Sastrowidagdo
Menteri Kesehatan
: Dr. R. Boentaran Martoatmodjo
Menteri Pengajaran
: Ki Hadjar Dewantara
Menteri Sosial
: Mr. Iwa Koesoema Soemantri
Menteri Pertahanan
: belum diangkat
Menteri Penerangan
: Mr. Amir Sjarifuddin
Menteri Perhubungan
: R. Abikusno Tjokrosujoso
Menteri-menteri Negara : Dr. Amir Wahid Hasyim Mr. Sartono Mr. A.A. Maramis Otto Iskandardinata Ketua Mahkamah Agung : Mr. Dr. Kusuma Atmadja Jaksa Agung
: Mr. Gatot
Sekretaris Negara
: Mr. Gafar Pringgodigdo
Juru Bucara Negara
: R. Soekardjo Wirjopranoto
Gubernur Jawa Barat
: Mas Soetardjo Kartohadikusumo
Gubernur Jawa Tengah
: R.P. Soeroso
Gubernur Jawa Timur
: R.M.T.A. Soeryo
Gubernur Sumatera
: Mr. Teuku Muhammad Hasan
Gubernur Kalimantan
: Ir. Pangeran Muhammad Nur
Gubernur Sulawesi
: dr. G.S.S.J. Ratu Langie
Gubernur Sunda Kecil
: Mr. I Gusti Ketut Pudja
Gubernur Maluku
: Mr. J. Latuharhary
Selain itu, menurut Hatta, rapat PPKI juga memutuskan bahwa semua anggota PPKI harus segera kembali ke daerah masing-masing dan melaksanakan tugas yang diberikan kepada mereka. Dalam rangka pelaksanaan revolusi dari dalam, Sanyo atau kepala setiap departemen perkembangan politik dan kebutuhan perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI.
Proklamasi kemerdekaan dan Lahirnya ORI
17
ditetapkan menjadi menteri dan seluruh pegawai Indonesia diperintahkan hanya menerima perintah dari atasannya orang Indonesia. Rapat PPKI pun berakhir pada sore harinya, dan semua anggota sepakat untuk membubarkan organisasi ini karena dianggap telah menyelesaikan semua tugasnya. Sebagai tambahan, pada malam hari tanggal 19 Agustus 1945 Presiden, Wakil Presiden, bersama dengan beberapa tokoh mengadakan pertemuan guna membahas pembentukan Komite Nasiona Indonesia Pusat (KNIP) dan anggota-anggotanya. Pertemuan itu menyepakati bahwa jumlah anggota KNIP tidak akan lebih dari 60 orang, diambil dari berbagai golongan yang ada dalam masyarakat, ditambah dengan wakil-wakil aliran dan golongan baru. Selain itu, disepakati pula bahwa pertemuan pertama KNIP akan dilangsungkan pada tanggal 29 Agustus 1945. Menurut Hatta, dengan disahkannya KNIP, maka Negara Republik Indonesia merdeka mulai berjalan berdasarkan UUD 1945.17 Harus diakui bahwa Negara Republik Indonesia yang baru dibentuk tersebut, menghadapi tantangan yang sangat berat baik di medan politik maupun perekonomian. Para pemimpin bangsa dan segenap komponen masyarakat pendukung Republik Indonesia harus bekerja keras untuk menjawab dan mengatasi tantangan dan persoalan tersebut. Dari sisi politik, jelas Negara Republik Indonesia memperoleh ancaman nyata dari kekuatan eksternal berupa upaya Belanda untuk mendiskreditkan keabsahan Proklamasi dan menghidupkan kembali negara Hindia Belanda yang pernah dihancurkan Tentara Jepang pada tahun 1942. Di dalam negeri, tantangan terberat adalah untuk mengkonsolidasikan dukungan dan loyalitas politik pemimpin-pemimpin lokal terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara di medan ekonomi, Pemerintah Republik Indonesia mewarisi kondisi perekonomian di seluruh wilayah Indonesia yang hampir bisa dikatakan hancur lebur, akibat pendudukan Jepang. Basis produksi sektorsektor komoditi ekspor dan komoditi primer penunjang perekonomian ‘nasional’ beserta jalur distribusinya mengalami kerusakan hebat, dan perlu perbaikan segera. Penduduk pedesaan amupun perkotaan bahkan banyak yang mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pokok mereka.18 Tentang tantangan permasalahan ekonomi ini akan dibahas lebih mendalam. Salah satu persoalan mendesak yang dihadapi Pemerintah Republik pasca Proklamasi adalah menemukan cara dan strategi untuk membiayai jalannya roda pemerintahan, membiayai perjuangan senjata melawan Belanda dan aktivitas diplomatik untuk memperoleh pengakuan 17) Mohammad Hatta, op.cit, hlm. 103. 18) Oey Beng To, Sejarah Kebijakan Moneter Indonesia Jilid I (1945-1958) (Jakarta: Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia, 1991), hlm. 18-19.
18
Keindonesiaan dalam Uang
dunia internasional. Sementara pada saat itu, selain perekonomian yang hancur, di sektor moneter sebagian besar penduduk masih menggunakan mata uang gulden peninggalan pemerintah Kolonial Belanda dan mata uang baru yang diberinama ‘Roepiah’, yang dikeluarkan Penguasa Militer Jepang. Mata uang Yen Jepang sendiri tidak pernah diedarkan di Indonesia. Sebuah sumber menyebutkan bahwa pada masa-masa awal pendudukan Jepang, peredaran uang di Hindia Belanda mencapai 610 juta gulden, yang terdiri dari 365 juta gulden dalam bentuk uang kertas, 75 juta gulden dalam bentuk surat berharga pemerintah, 93 juta gulden dalam bentuk koin perak, dan sisanya dalam bentuk pecahan uang kecil.19
Foto 2.4. Mata uang Gulden Hindia Belanda Sumber: Dipindai dari koleksi pribadi Bpk. Uno. Gambar uang ini juga dimuat dalam Uno, Oeang Noesantara (Bandung: Genera Publishing, 2015)
19) Nico van Hoorn, “5.2. Monetary Issues”, dalam Peter Post, et.al (eds), The Encyclopedia of Indonesia in the Pacific Wars (Leiden: Brill, 2012), hlm. 230.
Proklamasi kemerdekaan dan Lahirnya ORI
19
Foto 2.5. Uang Gulden (invasion money) seri pertama terbitan Pemerintah Militer Jepang Sumber: Dipindai dari koleksi pribadi Bpk. Uno. Gambar uang ini juga dimuat dalam Uno, Oeang Noesantara (Bandung: Genera Publishing, 2015) Selama masa pendudukan Jepang, Penguasa militer Jepang mengeluarkan mata uang kertas baru, dicetak di Jepang untuk digunakan oleh tentara Angkatan Darat dan Angkatan Laut, yang disebut gunpyo (wajib militer). Uang ini disebut juga sebagai ‘invasion money’, dengan seri pertama dicetak di Jepang dan hanya memiliki teks Bahasa Belanda dalam angkanya saja. Uang tersebut dibawa tentara Jepang dalam pecahan 1, 5, 10, 50 sen dan 1, 5, dan 10 gulden (lihat Foto 5). Penduduk Jawa menyebut uang kertas tersebut sebagai ‘uang pisang’ karena mengacu pada gambar pisang dalam pecahan terbesar 10 gulden. Seri uang kertas Jepang kedua, dicetak sebagian di Jepang dan sebagian lainnya di Jakarta. Kali ini teksnya bertuliskan Bahasa Indonesia dan Jepang, dan tulisan ‘gulden’ diganti oleh ‘roepiah’. Uang tersebut diterbitkan dalam bentuk pecahan ½, 1, 5, 10, 100 dan 1000 (lihat Foto 6). Resminya, uang tersebut nilanya disamakan dengan nilai gulden yang diterbitkan De Javasche Bank. Namun demikian, dalam kenyataannya uang Jepang tersebut bernilai lebih rendah dan popularitasnya rendah dibandingkan uang terdahulu. Buktinya, peredaran uang tersebut menurun dari sekitar 400 juta gulden pada tahun 1942 menjadi hanya 8 juta gulden di waktu menjelang kekalahan Jepang di bulan Agustus tahun 1945. Uang ini masih terus beredar di dua wilayah yang dikuasai Belanda (NICA) maupun Republik Indonesia, yang terlibat konflik setelah Tentara Jepang telah resmi ditarik dari Indonesia.20 20) Ibid, hlm. 232
20
Keindonesiaan dalam Uang
Foto 2.6. Uang Gulden (invasion money) seri kedua terbitan Pemerintah Militer Jepang Sumber: Dipindai dari koleksi pribadi Bpk. Uno. Gambar uang ini juga dimuat dalam Uno, Oeang Noesantara (Bandung: Genera Publishing, 2015) Sementara itu, Pemerintah Hindia Belanda yang tengah mengungsi di Australia pasca invasi militer Jepang, ternyata mempersiapkan mata uang mereka sebagai persiapan untuk kembali ke Indonesia setelah kekalahan Jepang dari Tentara Sekutu. Uang tersebut dipersiapkan sebagai bagian dari kebijakan moneter dari Netehrlands Indies Civil Administration (NICA), yang ditugaskan untuk menghidupkan kembali kekuasaan Belanda di Indonesia. Uang NICA tersebut dicetak di Amerika Serikat dalam bentuk pecahan 50 sen, 1, 2½, 5, 10, 25, 50, 100 dan 500 gulden atau roepiah. Pemerintah NICA rupanya melanjutkan kebijakan Jepang untuk menggunakan nama ‘roepiah’ untuk uang resmi mereka, yang di kalangan penduduk bumiputra dikenal sebagai ‘uang merah’. Dikarenakan dicetak di Amerika Serikat, sekilas secara fisik dan tampilan uang NICA tersebut agak menyerupai uang dollar Amerika. Uang tersebut diedarkan segera sesudah tentara Belanda berhasil menguasai sebuah wilayah atau kawasan.21 Dengan demikian, pada dasarnya pada bulan-bulan awal setelah proklamasi kemerdekaan, di wilayah Indonesia beredar uang kertas lama dari Jepang dan uang kertas baru dari NICA/Belanda.
21) Oey Beng To, op.cit, hlm. 22; Nico van Hoorn, op.cit, hlm. 231.
Proklamasi kemerdekaan dan Lahirnya ORI
21
Foto 2.7. Uang Rupiah atau ‘uang merah’ yang diterbitkan oleh NICA Sumber: Dipindai dari koleksi pribadi Bpk. Uno. Gambar uang ini juga dimuat dalam Uno, Oeang Noesantara (Bandung: Genera Publishing, 2015)
Munculnya Gagasan Penerbitan Oeang Repoeblik Indonesia (ORI) Menyadari kondisi moneter tersebut, Pemerintah Republik Indonesia berusaha untuk menerbitkan mata uang sendiri, yang diberinama Oeang Repoeblik Indonesia (ORI) untuk mengimbangi pengaruh dan peredaran uang-uang milik ‘penjajah’ tersebut. Sebelum menunggu terwujudnya gagasan tersebut, Pemerintah Republik memutuskan untuk mengakui uang Hindia Belanda (muntbiljet), uang De Javasche Bank (DJB) dan uang Jepang sebagai alat pembayaran yang sah hingga diterbitkannya ORI. Ide penerbitan ORI sendiri tersebut memiliki sejarahnya sendiri. Beberapa literatur menyebutkan bahwa gagasan untuk menerbitkan ORI dicetuskan pertama kali oleh Sjafrudin Prawiranegara. Oey Beng To dan dan Mohammad Saubari misalnya menyebut Sjafrudin sebagai tokoh utama yang mencetuskan gagasan untuk menerbitkan ORI.22 Meski demikian, Sjafrudin Prawiranegara sendiri dalam memoarnya menyatakan bahwa ide tersebut tidak sepenuhnya dari dia tetapi juga merupakan hasil diskusi dengan beberapa orang rekannya di Bandung, termasuk dengan Mr. A.A. Maramis, Menteri Keuangan pada waktu itu. 23 22) Oey Beng To, op.cit, hlm. 71; Mohammad Saubari, “Reflection on Economic Policy Making, 1945-51”, Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 23, No. 2, August 1987, hlm. 118. 23) Sjafroedin Prawiranegara, “Recollections of My Career”, dalam Bulletin of Indonesian
22
Keindonesiaan dalam Uang
Dalam karya biografisnya tentang Sjafrudin, Ajip Rosidi menuliskan bahwa yang dimaksud Sjafrudin sebagai ‘rekan-rekan di Bandung’ tersebut adalah sahabat-sahabat sejawatnya di Kementerian Keuangan seperti Mr. Sutikno Slamet, Mr. Soegiarto, Mr. Abdurahim Kartadjoemena dan utamanya teman-temannya yang menjadi anggota KNI (Komite Nasional Indonesia) Karesidenan Priangan. Ide tentang penerbitan ORI, demikian menurut Rosidi, merupakan hasil kesepakatan dari sebuah pertemuan KNI Priangan yang dihadiri Sjafrudin yang akan diusulkan kepada Pemerintah Republik Indonesia guna menggantikan uang Jepang sebagai alat pembayaran yang sah. Rosidi juga menyebut bahwa pertemuan itu juga menyepakati akan segera menyampaikan usulan tersebut kepada pemerintah pusat di Jakarta. Usulan tersebut akan disampaikan secara khusus oleh Sjafrudin Prawiranegara kepada Wakil Presiden Mohammad Hatta, karena keduanya dianggap sebagai tokoh-tokoh paling kompeten dalam soal uang.24 Untuk tujuan itulah kemudian Sjafrudin menyampaikan langsung usul penerbitan ORI tersebut kepada Hatta. Dalam buku peringatan Bung Hatta 70 tahun, sebagaimana dikutip oleh Oey Beng To, Sjafrudin mengenang kembali momen pertemuan tersebut: “Pertemuan itu terjadi pada bulan September atau Oktober 1945 di gedung yang sekarang ditempati oleh Mahkamah Agung, di samping bagian utara dari Departemen Keuangan. Gedung itu merupakan kantor presiden dan wakil presiden, Bung Karno dan Bung Hatta. Pertemuan itu diadakan untuk membicarakan suatu usul yang mula-mula disampaikan kepada saya oleh beberapa kawan dari Bandung – siapa persis saya tidak ingat lagi – tetapi yang gagasannya sesungguhnya sudah timbul juga dalam pikiran saya. Yakni usul untuk menyarankan kepada Pemerintah Republik Indonesia yang baru lahir itu, supaya mengeluarkan uang Republik Indonesia sendiri sebagai pengganti uang Jepang yang masih berlaku pada waktu itu. Karena usul mereka itu memang cocok dengan pikiran saya, maka terus diusahakan supaya kami dapat diterima oleh Bung Hatta, yang dipandang paling kompeten dalam masalah uang, untuk menyampaikan isi hati kami. Wakil Presiden mula-mula sangsi tentang perlunya mengeluarkan uang baru. Tetapi sesudah diadakan sekedar tukar pikiran lebih lanjut, pada akhirnya beliau dapat pula diyakinkan tentang perlunya pemerintah mengeluarkan uang sendiri, dengan alasan bahwa Republik Indonesia Economic Studies, Vol. 23, No. 3 (1987), hlm. 102-103. 24) Ajip Rosidi, Sjafrudin Prawiranegara: Lebih Takut Kepada Allah SWT (Jakarta: Pustaka Jaya, 1986), hlm. 102-103.
Proklamasi kemerdekaan dan Lahirnya ORI
23
merupakan negara baru, dan karena itu perlu diadakan uang baru sebagai salah satu atribut negara merdeka dan berdaulat”.25 Kisah sedikit berbeda mengenai dialog Sjafrudin Prawiranegara dan Mohammad Hatta berkenaan dengan ORI dikemukakan oleh Ajip Rosidi dalam biografinya tentang Sjafrudin Prawiranegara. Menurut Rosidi awalnya Bung Hatta meragukan ide Sjafrudin tersebut dan dia bertanya tentang apa perlunya mengeluarkan uang baru, apa maknanya bagi perjuangan Indonesia, dan bukankah akan lebih murah dan praktis jika melanjutkan saja pemakaian uang Jepang sebagaimana halnya yang dilakukan Pemerintah Bolsyewik di Rusia. Atas pertanyaan-pertanyaan tersebut Sjafrudin menjawab: “Kalau Pemerintah Republik Indonesia, termasuk Bung Hatta, memang mengalami nasib sial dan ditangkap Belanda, anggota-anggotanya bukan akan dihukum sebagai valse munter, melainkan karena telah melakukan suatu ‘kejahatan’ yang oleh Belanda dipandang lebih berat. Yakni telah memproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia, yang merupakan suatu pemberontakan terhadap kekuasaan Belanda yang sah (menurut mereka)!” …. “Contoh dari Rusia itu tidak berlaku buat kasus kita di Indonesia. Pemerintah Bolsyewik tidak mendirikan negara baru. Hanya pemerintahannya ditukar. Di Indonesia ini bukan saja pemerintah Belanda ditukar dengan pemerintah Indonesia, tetapi status jajahan ditukar dengan status negara yang merdeka dan berdaulat. Justru karena itu perlu diadakan uang baru sebagai salah satu atribut dari kemerdekaan negara kita!”.26 Meskipun menampilkan sedikit perbedaan dalam narasi dialog antara kedua tokoh tersebut, kedua karya tersebut sama-sama menunjukan akhir kisah yang sama. Bung Hatta akhirnya menerima gagasan pengeluaran uang baru sebagaimana diusulkan Sjafrudin Prawiranegara yang mewakili aspirasi rekan-rekannya dari Bandung. Bersamaan dengan proses sosialisasi gagasan pengeluaran ORI tersebut, aspirasi yang kurang lebih sama juga berkembang di akar rumput di berbagai wilayah Republik Indonesia. Pada tanggal 12 Februari 25) Oey Beng To, op.cit, hlm. 71-72. 26) Ajip Rosidi, op.cit., hlm. 103-104.
24
Keindonesiaan dalam Uang
1946, misalnya, Kantor Berita Antara menyiarkan keputusan rapat partai politik sosialis Padang Panjang (terdiri dari PKI, PMI, MIT, PSII, dan MTKAAM – Madjelis Tinggi Kaoem Adat dan Alam Minangkabau) tanggal 5 Februari 1946 yang mendesak pemerintah pusat di Jakarta untuk segera mengeluarkan ‘Oeang Negara Repoeblik’ sebagai solusi bagi perbaikan ekonomi rakyat.27 Desakan serupa juga disuarakan oleh Badan Perwakilan Rakjat di seluruh Karesidenan Madiun pada tanggal 10 April 1946, yang menuntut pemerintah pusat untuk segera mengeluarkan ‘uang Repoeblik’. Mereka menyampaikan tuntutan tersebut karena mempertimbangkan naiknya harga-harga kebutuhan pokok yang menyengsarakan rakyat, masih kuatnya pengaruh uang Jepang di masyarakat, dan pentingnya uang Repoeblik untuk mengurangi aliran uang Jepang tersebut di masyarakat.28 Rupanya gagasan tentang pentingnya Negara Republik Indonesia untuk memiliki uang sendiri yang sudah digaungkan oleh para pemimpin sejak akhir 1945, mulai tersebar luas di tengah masyarakat sejak awal tahun 1946. Mereka menyadari bahwa memiliki uang sendiri merupakan bagian penting dari upaya penegakan kedaulatan dan kemerdekaan bangsa. 29
Pencetakan dan Penerbitan ORI Setelah memutuskan untuk menerima gagasan menerbitkan uang sendiri, maka Pemerintah Republik Indonesia segera mengambil langkah-langkah kongkret untuk mewujudkan rencana penerbitan uang ORI, diantaranya adalah menunjuk Kementrian Keuangan sebagai pelaksana teknis. Sehubungan tugas tersebut, pada tanggal 24 Oktober 1945 Menteri Keuangan A.A. Maramis membentuk sebuah tim yang terdiri dari anggota Serikat Buruh Percetakan G. Kolff & Co Jakarta, sebuah perusahaan peninggalan Belanda, untuk melakukan survei lapangan ke berbagai daerah, diantaranya Surabaya, Malang, Solo, dan Yogyakarta untuk memilih lokasi dan percetakan terbaik untuk melaksanakan pencetakan uang baru tersebut. Dari hasil survey tersebut, tim menyimpulkan bahwa ada dua perusahaan cetak yang memenuhi syarat, yaitu Percetakan G. Kolff di Jakarta (lihat Foto 2.8), yang pada masa Jepang digunakan untuk mencetak uang Jepang, dan Perusahaan Netherlands Indische Metaalwaren en Emballage Fabrieken (NIMEF) di Kendalpayak, sebelah selatan Kota Malang (lihat Foto 2.9).30 27) “Mendesak Keloearnja Oeang Repoeblik Indonesia”, Antara, 12 Februari 1946 28) “Mendesak Keloearnja Oeang Repoeblik. Mosi badan perwakilan Rakjat daerah Madioen”, Antara, 16 April 2016. 29) Koesnadi, Oeang Repoeblik sebagai Koentji kemakmoeran, Pembasmi Oeang Nica, dan harga tjatoet (Tegal: Oesaha Penerbit Indonesia, 1946). 30) Oey Beng To, op.cit, hlm. 72; Ajip Rosidi, Op.cit, hlm. 127
Proklamasi kemerdekaan dan Lahirnya ORI
25
Foto 2.8. Gedung Percetakan dan Toko Buku ‘G & Kolff’ Jakarta Sumber: http://syx-gf.blogspot.co.id/2016/02/jejak-toko-buku-pertama-di-batavia.html.
Foto 2.9. Gedung NIMEF (Netherlands Indische Metaalwaren en Emballage Fabrieken) Sumber: https://commons.wikimedia.org/wiki/File:COLLECTIE_TROPENMUSEUM_ Vooraanzicht_kantoorgebouw_NIMEF-fabriek_TMnr_60012087.jpg 26
Keindonesiaan dalam Uang
Setelah memperoleh lokasi dan perusahaan percetakan yang diinginkan, Menteri A.A. Maramis selanjutnya membentuk Panitia Penyelenggara Pertjetakan Oeang Repoeblik Indonesia (PPPO-RI) melalui Suart Keputusan Menteri Keuangan No. 3/RO tanggal 2 November 1945. Tim ini dipimpin oleh T.B.R. Sabarudin yang merupakan direktur Bank Rakyat Indonesia dan beranggotakan pejabat-pejabat dari departemen Keuangan, Bank Rakyat Indonesia, dan beberapa anggota Serikat Buruh Percetakan G. Kolff. Selain itu, Menteri Keuangan juga membentuk sebuah panitia lain yang bertugas untuk mempertimbangkan cara-cara menerima, menyimpan, dan mengedarkan uang baru yang akan dicetak itu. Panitia ini dipimpin oleh Enang Koesnadi, pejabat Kepala Kas Negeri Jakarta. Selain itu, Kementrian Keuangan juga mengeluarkan ketentuan tentang nilai perbandingan uang baru itu terhadap uang yang berlaku, bagaimana uang lama tersebut harus diperlakukan dan bagaimana ia digunakan dalam transaksi penyelesaian utang-piutang.31 Sementara itu, dalam menjalankan kerjanya PPPO-RI harus menghadapi banyak kesulitan dan hambatan, baik yang bersifat teknis maupun nonteknis. Kesulitan teknis terbesar adalah sulitnya untuk memperoleh bahanbahan dasar yang dibutuhkan untuk mencetak uang baru, diantaranya kertas, tinta, bahan kimia untuk fotografi dan zinkografi, pelat seng untuk klise dan alat-alat aduk pembuat tinta. Berkat bantuan dari karyawan beberapa perusahaan aasing asing di Jakarta, bahan dan alat-alat itu bisa diperoleh. Pada awalnya, ORI akan dicetak di Surabaya, namun dikarenakan situasi yang kurang memungkinkan terutama meletusnya pertempuran 10 November 1945, maka proses persiapan percetakan ORI akhirnya dilakukan di Jakarta. Proses offset dan pencetakan klise dilakukan di Percetakan De Unie (Foto 2.10) dan Balai Pustaka, sedangkan untuk pencetakan pertama dilakukan di Percetakan Negara di Salemba, Jakarta dengan mula-mula mencetak uang kertas 100 rupiah (lihat Foto 2.11).32 Namun demikian, proses pencetakan uang baru itu harus berhenti karena memburuknya kondisi keamanan sebagai akibat dari jatuhnya Jakarta ke tangan Tentara Sekutu dan Tentara NICA Belanda pada akhir 1945. Upaya pencetakan uang barupun akhirnya harus diberhentikan, dan harus dipindahkan ke Yogyakarta seiring berpindahnya ibukota Republik Indonesia ke kota ini. Perpindahan itu diikuti oleh para karyawan yang menangani pencetakan uang itu beserta keluarganya, dan dengan membawa serta beberapa ratus rim lembaran uang seratus rupiah yang belum diberikan nomor seri, dan semua bahan dan alat yang dianggap perlu. 31) Oey Beng To, op.cit, hlm. 73; Ajip Rosidi, Op.cit, hlm. 127. 32) Oey Beng To, op.cit, hlm. 73.
Proklamasi kemerdekaan dan Lahirnya ORI
27
Foto 2.10. Gedung Percetakan De Unie, Jakarta Sumber: https://commons.wikimedia.org/wiki/ File:COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Drukkerij_ de_Unie_Batavia_TMnr_60050521.jpg
Foto 2.11. Gedung Landsdrukkerij (Percetakan Negara) Sumber: https://commons.wikimedia.org/ wiki/File:COLLECTIE_TROPENMUSEUM_ Landsdrukkerij_Batavia_TMnr_10013767.jpg
Foto 2.12. Percetakan Kanisius di Yogyakarta Sumber: https://www.pressreader.com/indonesia/ kompas/20170123/282449938733432 28
Keindonesiaan dalam Uang
Proses pencetakan uang kemudian dilanjutkan di beberapa tempat, yaitu di percetakan NIMEF di Malang, dan di Percetakan Negara ‘Gondo Rumekso’ yang terletak di gedung Kidul Loji, Gondomanan, dan sebagian lainnya dilakukan di Perusahaan Percetakan Kanisius. Karena kondisi darurat, bahan baku pencetakan uangpun menggunakan kertas hasil produksi pabrik kertas Leces Probolinggo dan Pabrik Kertas Padalarang, bandung yang kualitasnya relatif lebih rendah dibandingkan kertas impor bahan baku khusus untuk mencetak uang. Bahan baku berkualitas rendah itupun untuk memperolehnya tidak mudah, dibutuhkan upaya ekstra yang penuh keberanian karena harus mendatangkannya dari daerah-daerah yang ada di bawah pendudukan Belanda.33 Proses pencetakan uang baru itupun akhirnya bisa dimulai. Untuk memastikan proses kerja tersebut bisa berjalan lancar dan terhindar dari sabotase musuh, maka Pemerintah Republik yang kini berpusat di Yogyakarta mengerahkan kekuatan keamanan negara, TKR yang sudah terbentuk sejak awal Oktober 1945. Mereka ditugaskan untuk mengawal secara ketat tempat-tempat pencetakan uang di Malang, Solo dan Yogyakarta, sedangkan Pusat Perbendaharaan Negara ditugaskan untuk mengawasi keseluruhan pekerjaan tersebut. Unag yang sudah berhasil dicetak selanjutnya dikirimkan ke seluruh wilayah kekuasaan Republik di Jawa dan Madura dengan menggunakan kereta api. Proses pengiriman inipun dilakukan dengan pengawalan yang ketat untuk mencegah terjadinya perampokan di tengaha jalan. Menurut beberapa sumber, uang-uang baru tersebut hanya dibungkus secara darurat dan dimasukan ke dalam beberapa keranjang bekas, yang mencerminkan kondisi kedaruratan dari Pemerintah Republik waktu itu.34 Demikianlah proses panjang pencetakan seri pertama uang sendiri, yang kemudian dikenal sebagai Oeang Repoeblik Indonesia (ORI) akhirnya bisa diselesaikan dan siap untuk diluncurkan. Pemerintah Republik menginginkan ORI bisa diluncurkan secara serentak pada hari dan waktu yang sama, untuk itu surat edaran rahasia segera dikirimkan ke seluruh pejabat dan Kantor Kas Negara di berbagai pelosok Jawa dan Madura. Surat itu akan dibuka pada saat bersamaan yang sekaligus menandai dimulainya peredaran ORI secara resmi. Pemerintah Republik menetapkan tanggal 30 Oktober 1946 sebagai hari peluncuran ORI. Untuk menyambut peristiwa bersejarah tersebut, pada malam hari tanggal 29 Oktober 1946 Wakil Presiden Mohammad Hatta menyampaikan pidato berikut yang disiarkan secara luas melalui radio RRI: 33) Koesnadi, op.cit, hlm 11-12; Oey Beng To, op.cit, hlm. 73; Ajip Rosidi, op.cit, hlm. 127. 34) Oey Beng To, op.cit, hlm. 78; Ajip Rosidi, op.cit, hlm. 130.
Proklamasi kemerdekaan dan Lahirnya ORI
29
“Besok tanggal 30 Oktober 1946 suatu hari yang mengandung sejarah bagi tanah air kita. Rakyat kita menghadapi penghidupan baru. Besok mulai beredar Oeang Repoeblik Indonesia sebagai satu-satunya alat pembayaran yang sah. Mulai pukul 12 tengah malam nanti, uaang Jepang yang selama ini beredar sebagai yang sah, tidak laku lagi. Beserta dengan uang Jepang itu ikut pula tidak laku uang Javasche bank. Dengan ini tutuplah suatu masa dalam sejarah keuangan Republik Indonesia. Masa yang penuh dengan penderitaan dan kesukaran bagi rakyat kita! Sejak mulai besok kita akan berbelanja dengan uang kita sendiri, uang yang dikeluarkan oleh Republik kita. Uang Republik keluar dengan membawa perubahan nasib bagi rakyat, istimewa pegwai negeri, yan gsekian lama menderita karena inflasi uang Jepang. Rupiah Republik yang harganya di Jawa lima puluh kali harga rupiah Jepang, di Sumatera seratus kali, menimbulkan sekaligus tenaga pembeli kepada golongan rakyat yang bergaji tetap, yang selama ini hidup daripada menjual pakaian dan perabot rumah, dan juga kepada rakyat yang menghasilkan, yang penghargaan tukar barang penghasilannya jadi bertambah besar.”35 Untuk memberikan dasar hukum bagi penerbitan ORI tersebut, Pemerintah Republik Indonesia menerbitkan Undang-Undang No. 17 tentang Penerbitan Oeang Repoeblik Indonesia pada tanggal 1 Oktober 1946. Dengan demikian ORI secara sah mulai diedarkan pada tanggal 30 Oktober 1946, dan sejak pukul 00.00 dinyatakan berlaku di seluruh wilayah Republik Indonesia. Secara bersamaan pula, dinyatakan bahwa Uang Jepang dan Uang NICA dinyatakan tidak berlaku di wilayah RI. Seri pertama ORI yang dikeluarkan terdiri dari 8 nominal, yaitu 1 sen, 5 sen, 10 sen, ½ rupiah, 1 rupiah, 5 rupiah, 10 rupiah, dan 100 rupiah. Terhitung sejak bulan Desember 1945 hingga Desember 1949, pemerintah RI menerbitkan 5 seri ORI dengan jumlah emisi sebanyak 26 satuan.36 Untuk memperkuat peredaran ORI, Pemerintah Republik mengeluarkan Undang-undang tentang Pengeloearan Oeang Repoeblik Indonesia No. 19 tanggal 24 Oktober 1946, yang isinya antara lain tentang ketentuan dan nilai ORI. Pada Pasal 1 disebutkan bahwa ‘sebagai dasar nilai ditentoekan sepoeloeh roepiah Oeang Repoeblik Indonesia sama dengan emas moerni seberat lima gram’. Selanjutnya Pasal 2 Undang-Undang ini menetapkan bahwa satu roepiah ORI sama dengan 50 roepiah Uang Jepang, sementara untuk wilayah luar Jawa dan Madura maka nilai satu rupiah ORI sama 35) Dikutip dan dialihtuliskan ke dalam Ejaan Yang Disempurnakan dari Oey Beng To, op.cit, hlm. 78. 36) Kementrian Penerangan, Oeang Repoeblik Kita Soedah Keloear, Siaran Kilat Kementrian Penerangan Djakarta (Djakarta: Kemenpen, 1946).
30
Keindonesiaan dalam Uang
dengan 100 rupiah Uang Jepang. Beberapa ketentuan lain menyangkut penentuan harga uang ORI jika dipakai sebagai alat pembayaran hutang yang transaksinya dilakukan sebelum penerbitan ORI ini. Uang ORI seri pertama tersebut ditandatangani oleh A.A. Maramis, tapi peredarannya dilakukan dibawah wewenang Sjafrudin Prawiranegara, yang menjabat Menteri Keuangan sejak awal tahun 1946.37 Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa gagasan untuk menerbitkan ORI lahir dari keinginan bangsa Indonesia untuk memperoleh pengakuan dunia sebagai sebuah bangsa yang merdeka dan berdaulat. Proses panjang mulai dari persiapan, percetakan hingga distribusi ORI sudah selayaknya dikenang sebagai bagian dari perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Sang Proklamator Bung Hatta menyebut dengan tegas bahwa ORI merupakan simbol kemerdekaan Indonesia sekaligus berfungsi sebagai fondasi bagi pembangunan ekonomi Indonesia. Sementara itu, Sjafrudin Prawiranegara – yang dianggap oleh beberapa penulis sebagai pencetus pertama gagasan penerbitan uang ini – menganggap ORI sebagai alat bagi perjuangan untuk mencapai tujuan mendirikan negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat sebagaimana tercermin dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya di bidang ekonomi yanitu untuk memajukan kesejahteraan umum.38 Senada dengan pendapat Bung Hatta dan Sjafrudin Prawiranegara di atas, Oey Beng To, mantan Direktur Bank Indonesia, berpendapat bahwa ORI merupakan ‘instrument of revolution’ karena: “telah mendukung dan memungkinkan pemerintah Republik Indonesia mengatur administrasinya, mengorganisir dan memperkuat tentaranya, memelihara keamanan dan ketertiban, serta mengurus kesejahteraan rakyat dalam berperang melawan Belanda”. Dalam mengemban fungsinya tersebut, Oey Beng To lebih lanjut mengatakan bahwa ORI itu telah memainkan peran sejarah yang mirip dengan greenback (atau continental money atau dollar AS) yang diterbitkan oleh Amerika Serikat semasa perang kemerdekaan melawan kerajaan Inggeris. Kemiripan lain dari ORI dengan dollar AS waktu itu adalah bahwa ia digunakan utamanya untuk membiayai revolusi, sementara pinjamanpinjaman luar negeri tidak begitu berarti dan hanya bersifat simbolis.39 Lebih jauh mengenai aspek-aspek politik, moneter dan ekonomis yang lebih luas dari penerbitan ORI ini selanjutnya akan dibahas secara lebih mendalam pada bab III. 37) Sjafroedin Prawiranegara, op.cit. hlm. 103. 38) Ajip Rosidi, op.cit, hlm. 136 39) Oey Beng To, hlm. 70.
Proklamasi kemerdekaan dan Lahirnya ORI
31
Tepat pada tanggal 17 Agustus 1946, Wakil Presiden Mohammad Hatta telah meresmikan berdirinya Bank Negara Republik Indonesia (BNI) guna menyesuaikan dengan tuntutan keadaan dan kemajuan RI di berbagai bidang. Modal BNI ditetapkan Rp. 10.000.000,-. Tampak gedung BNI yang berada di tengah-tengah kota Yogyakarta (Sekarang di Titik Nol) dihias sebaikbaiknya untuk menyambut undangan. Sumber: Album Perjuangan Kemerdekaan 1945-1950: Dari Negara Kesatuan ke Negara Kesatuan, (Jakarta: Badan Pimpinan Harian Pusat Korps Cacad Veteran RI dan Badan Penerbit ALDA, 1975), hlm. 81.
BAB III KONDISI PERBANKAN DAN KEBIJAKAN FISKAL NEGARA MASA REVOLUSI SAMPAI PENDIRIAN BI (1945—1953)
Bab ini akan membahas mengenai kondisi perekonomian pada masa revolusi sampai dengan nasionalisasi De Javasche Bank pada tahun 1951 dan pendirian Bank Indonesia pada tahun 1953. Masa Revolusi ini dapat dibagi menjadi dua periode. Periode pertama adalah periode dualisme kebijakan moneter Bank Negara Indonesia (BNI) dan De Javasche Bank (DJB) antara tahun 1945-1949. Periode kedua adalah masa setelah penandatangan Konferensi Meja Bundar dan pembentukkan otoritas moneter tunggal dalam RIS/NKRI yaitu antara 1950-1953. Kedua periode ini merupakan sebuah masa transisi dimana cikal bakal sebuah sistem perbankan dan keuangan nasional terbentuk dalam kondisi ekonomi, politik dan keamanan yang tidak menentu. Kemunculan dualisme pemerintahan terwujud pula dalam bentuk dualisme sistem perbankan Republiken dan Federal serta kompetisi antara dua mata uang Republiken dan Federal, yaitu Oeang Republik Indonesia (ORI) atau yang sering disebut sebagai ‘uang putih’ dengan Uang Rupiah NICA atau disebut sebagai ‘uang merah.’ Di sini juga akan dilihat bagaimana kedua negara, yaitu Republik dan Federal ini, meluncurkan kebijakan moneter mereka masing-masing serta konsekuensinya terhadap kondisi inflasi. Perkenalan dan sirkulasi ORI pada masa-masa ini perlu dilihat dalam konteks peran mata uang itu dalam
usaha pemulihan perekonomian Indonesia serta kesulitan yang diakibatkan oleh karena melonjaknya inflasi dalam sebuah perekonomian yang tidak memiliki fungsi perbankan yang efektif karena dualisme pemerintahan dan karena perang. Kegagalan ORI untuk mencapai fungsi tersebut diakibatkan oleh karena kondisi-kondisi yang tidak memungkinkan. Dualisme aparatur moneter ini yang dibarengi dengan desentralisasi produksi mata uang, telah mengakibatkan sebuah lingkungan moneter yang penuh spekulasi, pemalsuan sekaligus penyelundupan. Pada saat yang sama, periode ini mengalami peledakan jumlah emisi dan tipe mata uang dengan meluncurkan lebih dari 27 tipe ORIDA. Mungkin salah satu pengalaman Revolusi yang paling negatif pada masa Revolusi adalah kecenderungan untuk melaksanakan deficit financing oleh kedua belah pihak, Deficit financing ini akan dilanjutkan setelah kemerdekaan dan Indonesia sampai sekarang memiliki kecendrungan untuk memiliki inflasi yang relatif sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan tetangga-tetangganya. Setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) merancang struktur negara RIS yang merdeka, maka posisi ORI maupun BNI sebagai instrumen utama kebijakan moneter Indonesia pada masa Revolusi dihapus. ORI hidup dari sejak penandatanganan keberadaanya oleh Menteri Keuangan A.A. Maramis pada tanggal 17 Oktober 1945 dan peredarannya pada 30 Oktober 1946 sampai penarikannya dari sirkulasi pada Maret 1950. Penarikan ORI dan ORIDA (ORI Daerah) menandakan berakhirnya eksperimen pertama negara Republik Indonesia dengan mata uang sendiri. Mata uang NICA dan De Javasche Bank tetap dipertahankan sebagai instrumen utama pascaRevolusi, walaupun mereka segera akan mengalami proses Indonesianisasi. Tak dapat dipungkiri bahwa masa Revolusi, khususnya periode perang dan dualisme pemerintahan ini telah memberi pelajaran kepada pengambil kebijakan, termasuk moneter, untuk administrasi pasca-merdeka. Pelajaran ini kadang positif tetapi juga kadang negatif.
Sistem Perbankan Kolonial Sistem perbankan Indonesia dimulai ketika De Javasche Bank (DJB) mendapatkan pengakuan hukum sebagai bank sirkulasi pertama Hindia Belanda pada tahun 1828. Dorongan utama pembentukkan DJB berasal dari kalangan swasta Belanda tetapi utamanya dari negara Hindia Belanda yang membutuhkan kredit untuk membiayai Perang Jawa. Raja Willem I memerintahkan pendirian DJB mengikuti dengan model bank sirkulasi Belanda, De Nederlandsche Bank, dan meminta penyertaan modal dari Nederlandsche Handel Maatschappij perusahaan kerajaan yang memiliki
34
Keindonesiaan dalam Uang
Foto 3.1. Kantor pusat De Javasche Bank, Batavia Kota. Sumber: Tropenmuseum Fotocollectie. monopoli perdagangan Jawa. Modal dasar DJB sebesar f. 4 juta dalam bentuk 8000 saham yang diperdagangkan di Bursa Saham Amsterdam. Pada Desember 1827, Komisaris Jenderal Du Bus du Gisiegnies menandatangani oktroi pertama DJB sebagai bank sirkulasi. Pada mulanya, DJB tidak berfungsi sebagai bank sirkulasi melainkan lebih sebagai bank dagang biasa. Pada Februari 1846, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan uang kertas dalam usaha mengontrol kekacauan uang tembaga. Hak sebagai bank sirkulasi diberi per-10 tahun oleh negara dan dapat diperpanjang. Jumlah uang kertas yang diperbolehkan untuk dicetak oleh negara itu meningkat tiap dekade, contoh pada 1864 dicetak f. 15 juta, sementara pada 1866 dicetak f. 18 juta. Walau begitu, DJB itu berfungsi sebagai bank swasta dan tidak diakui secara hukum sebagai bank sentral. Sebagian besar saham DJB dimiliki oleh negara tetapi sahamnya juga diperdagangkan sehingga merupakan perusahaan umum. Karena DJB sudah diatur sejak awal dengan otoritas sebagai bank sirkulasi, DJB telah mengembangkan sebuah jaringan kantor cabang yang luas di Hindia Belanda sebagai mitra pemerintah dalam membantu likuiditas perekonomian kolonial di beragam lokalitas di Jawa dan luar Jawa. Sebelum keputusan pemerintah Hindia Belanda untuk menerbitkan uang sendiri pada bulan April 1941, maka kewajiban moneter Indonesia untuk uang primer sepenuhnya berada ditangan DJB.1 Ketika Jepang menduduki Hindia Belanda pada awal Maret 1942, semua bank dilikuidasi oleh tentara kependudukan Jepang. Pada April 1942, semua 1) Dawam Rahardjo, hlm. 25-45.
Kondisi Perbankan & Kebijakan Fiskal Negara, 1945-1953
35
kegiatan perbankan dilakukan oleh tiga bank Jepang, yaitu Mitsui Bank, Yokohama Specie Bank dan Taiwan Bank. Sebagai bank sirkulasi untuk menggantikan DJB, Nanpo Kaihatsu Ginko (Bank Pembangunan Selatan) atau NKG dibuka pada Maret 1942. DJB pada waktu itu telah memiliki 16 kantor cabang diseluruh Hindia Belanda termasuk di Bandung, Cirebon, Semarang, Yogyakarta, Surakarta, Surabaya, Malang, Kediri, Kutaraja, Medan, Padang, Palembang, Banjarmasin, Pontianak, Makassar dan Manado, tetapi NKG tidak sepenuhnya berhasil untuk mereplikasi penetrasi DJB tersebut. Walaupun NKG diserahkan oleh tentara pendudukan Jepang sebagai bank sirkulasi, pada kenyataanya fungsinya lebih mirip sebagai koordinator saja. Yang melakukan tugas sirkulasi lebih dilakukan oleh Yokohama Specie Bank di Jawa dan Taiwan Bank di luar Jawa karena mereka sudah berada di Indonesia pada waktu yang lebih lama dan sehingga memiliki jaringan yang sudah lebih luas daripada NKG yang baru diciptakan tersebut. Bank ini juga beroperasi diseluruh Asia Tenggara sebagai bank sirkulasi. Pada Maret 1943, NKG menerbitkan Oeang Djepang (atau oeang pisang atau uang invasi) dan mengeluarkan peraturan yang bertujuan untuk menarik semua mata uang kolonial. Pada zaman Jepang inilah terjadi tren inflasi mata uang di Indonesia yang diakibatkan karena keterbatasan barang akibat dari kondisi perang. Akibat dari itu adalah adanya penimbunan uang Hindia Belanda.2 No. Ketentuan
Masa Berlaku
Oktroi I
Jan. 1828 – Des. 1837
Oktroi II
April 1938 – Mar. 1948
Oktroi III
April 1848 – Mar. 1858
Oktroi IV
April 1860 – Mar. 1870
Oktroi V
April 1870 – Mar. 1880
Oktroi VI
April 1870 – Mar. 1880
Oktroi VII
April 1891 – Mar. 1906
Oktroi VIII
April 1906 – Mar. 1921
DJB Wet
April 1922 – Mar. 1953
UU Yayasan Pusat Bank Indonesia no.11/1953
Juli 1953
UU BS, No. 13/1968
UU Bank Sentral – Des. 1968
Tabel 3.1. Evolusi ketentuan bank sirkulasi Hindia Belanda/Indonesia 2) Dawam Rahardjo, hlm. 48-49.
36
Keindonesiaan dalam Uang
Pasca-Proklamasi Kemerdekaan Mandat pendirian Bank Indonesia dikeluarkan oleh pemerintah Republik lewat surat kuasa yang ditujukan kepada R.M. Margono Djojohadikusumo, yang pada waktu itu merupakan ketua Dewan Pertimbangan Agung, pada September 1945. Keputusan dicapai pada sidang Dewan Menteri Republik Indonesia pertama pada 19 September.3 Tidak semua pihak yang setuju bahwa pendirian BNI merupakan jalan terbaik untuk mendirikan kebijakan moneter yang kuat. Ir. Soerachman Tjorkoadisoerjo, misalnya, menginginkan agar pemerintah menasionalisasi DJB saja.4 Pada tanggal 19 Oktober 1945, Yayasan Pusat Bank Indonesia mendapat pengakuan badan hukum. Yayasan ini ditugaskan untuk mempersiapkan pendirian bank sirkulasi milik negara pertama Indonesia and bahkan Hindia Belanda, mengingat bank sirkulasi Hindia Belanda, De Javasche Bank, merupakan bank swasta. Ia juga diberi wewenang untuk memberikan penyuluhan kepada masyarakat luas soal ekonomi, serta memberikan kredit dengan bunga yang rendah dan menerima simpanan uang rakyat. Modal kerja BNI disetor dari Fonds Kemerdekaan Indonesia sebesar Rp. 340 ribu uang Jepang. Yayasan PBI memiliki fungsi seperti bank termasuk dalam hal pemberian kredit. Kredit swasta pertama diberikan kepada tambang emas Cikotok di Banten sebesar Rp. 150 ribu uang Jepang.5 Pinjaman tersebut dilunaskan dengan emas batang bernilai puluhan ribu dolar AS di Yogyakarta setelah hijrahnya pemerintah yang diselundupkan dan dijual di Macau untuk membeli senjata, pesawat terbang dan membiayai usaha diplomasi Indonesia diluar negeri. BNI juga membiayai perjalanan delegasi RI yang dipimpin oleh Perdana Menteri Sjahrir dan Haji Agoes Salim ke PBB.6 Pada tanggal 17 Agustus 1946, Yayasan Pusat Bank Indonesia mendirikan Bank Negara Indonesia atau yang sekarang dikenal sebagai BNI 46. Pendirian BNI dilakukan di ibukota Republik, Yogyakarta, dan berkantor di gedung lama De Javasche bank. Modal awal yang diberikan pemerintah adalah sebesar f. 10.000.000 dengan Margono Djojohadikusumo sebagai Presiden Direktur dan TRB Sabaruddin sebagai Wakil Direktur. Cabangcabang Yayasan Pusat Bank Indonesia menjadi bagian dari BNI, termasuk di Jakarta, Solo, Malang dan Kediri. Smeentara itu cabang-cabang baru juga dipersiapkan di Garut, Cirebon, Pontianak dan Jember. Pendirian BNI melalui Perpu no. 2/1946 menyatakan dengan tegas tugas utama bank tersebut: 3) Sejarah Bank Indonesia Periode I: 1945-1949, hlm. 19-20. 4) Widigdo Sukarman, hlm. 48. 5) Oey Beng To, hlm. 92-94. 6) Widigdo Sukarman, hlm. 49.
Kondisi Perbankan & Kebijakan Fiskal Negara, 1945-1953
37
“Dengan nama Bank Negara Indonesia didirikan sebuah bank kepunyaan Republik Indonesia untuk mengatur pengeluaran dan peredaran uang kertas bank dengan harga yang tetap menurut keperluan masyarakat terhadap alat penukaran, untuk memperbaiki peredaran alat pembayaran lain, untuk memenuhi kebutuhan kredit masyarakat dan umumnya, supaya dapat bekerja untuk kepentingan umum, segala sesuatu menurut peraturan dalam atau berdasarkan atas undang-undang ini.”7 Simpanan uang rakyat segera mengisi pundi Yayasan PBI sebanyak Rp. 31 juta uang Jepang dan ini digunakan sebagai modal kerja BNI. Pada akhir Desember 1946, jumlah ORI yang terkumpul dalam bentuk giro/ deposito berjumlah Rp. 15 juta dan pada akhir Desember 1947 jumlah ini telah meningkat menjadi sedikit kurang dari Rp. 41 juta dalam bentuk simpanan masyarakat. Tetapi BNI mengalami kesulitan dalam melancarkan mandatnya sebagai bank sirkulasi. Diluar cabang Kutaraja, Aceh, BNI tidak dapat melaksanakan fungsinya dengan wajar. Ini diakibarkan oleh karena adanya kompetisi uang Nica, sabotase dan blokade ekonomi Belanda terhadap wilayah Republik, serta belum pulihnya sektor produksi Indonesia. BNI dirancang untuk menjadi lenders of last resort atau peminjam uang kepada bank-bank dan badan perekonomian rakyat, serta berfungsi untuk mengurangi jumlah peredaran uang lewat penawaran obligasi, serta mengumpulkan simpanan rakyat dalam usaha menarik uang Jepang dari peredaran dan menyebarkan ORI. Keputusan KMB untuk meneruskan De Javasche Bank sebagai bank sentral merupakan bukti dari kegagalan ini. Nasionalisasi DJB dimulai dengan langkah-langkah awal yang dilakukan oleh Menteri Keuangan Kabinet Soekiman, Mr. Jusuf Wibisono, dengan keraguan yang dinyatakan oleh Sjafruddin dalam risalahnya Indonesia dalam persimpangan djalan.8 Hal itu karena memang BNI dalam banyak hal belum siap untuk menjadi bank sentral, keterbatasan tenaga terdidik yang mampu menjalankannya sebagai bank profesional sangat membatasi kemampuannya, kenyataan bahwa kebijakan pemerintah yang sangat desentralis terhadap masalah keuangan dengan membolehkan percetakan ORIDA menunjukkan bahwa BNI tidak pernah memiliki kontrol utuh atas arah moneter Indonesia. Dibandingkan dengan DJB yang memiliki kemampuan yang lebih profesional, maka beralasan pula bahwa akhirnya DJB pula yang akan ditunjuk sebagai bank sentral RIS. 7) Oey Beng To, hlm. 95. 8) Ajip Rosidi, hlm. 270.
38
Keindonesiaan dalam Uang
Foto 3.2. Pembakaran uang Jepang di Bali, pasca kapitulasi. Sumber: media-kitlv.nl.
DJB walaupun mendapat mandat sebagai bank sirkulasi tidak pernah sepenuhnya berhasil untuk berperan sebagai bank sentral. Ini karena beberapa alasan. Pertama, DJB merupakan bank swasta dan hanya sebagian dimiliki oleh negara, sementara BNI dimiliki 100% oleh negara. Kedua, tentunya adalah kaitan DJB dengan negeri Belanda. UU DJB tahun 1922 menstipulasi salah satu tugas utamanya adalah penyatuan sistem moneter Hindia Belanda dengan Belanda dengan memastikan paritas antara gulden Belanda dan Hindia Belanda.9 Selain itu, pasar uang DJB itu letaknya di Belanda dan bukan di Hindia Belanda. Sebagian besar dari hasil pembagian untung sampai kelebihan likuiditas tabungan ditransfer ke Belanda. Modal perusahaan Hindia Belanda juga lebih sering ditarik dari Belanda, bukan Hindia Belanda. Hal diatas mengakibatkan DJB tidak bisa mewujudkan dirinya sebagai lenders of last resort, apalagi banker’s bank, dua posisi yang direncanakan diperankan oleh BNI dan merupakan kondisi penting yang dimainkan bank sentral.10 Faktor yang paling signifikan yang menghambat kesempatan DJB untuk berperan sebagai bank sentral yang mampu untuk menjalankan kebijakan moneter yang independen adalah kenyataan bahwa hampir 9) Dawam Rahardjo, hlm. 39. 10) Dawam Rahardjo, hlm. 42-46.
Kondisi Perbankan & Kebijakan Fiskal Negara, 1945-1953
39
semua lalu lintas pembayaran antara Hindia Belanda dengan negaranegara lain itu dilakukan dalam gulden Belanda dengan transaksi yang dilaksanakan di Belanda, bukan di Hindia Belanda. Posisi perifer Hindia Belanda dan kenyataan bahwa hampir semua perusahaan di Hindia Belanda itu punya kantor pusat atau melakukan kegiatan keuangan di Belanda membuat DJB membatasinya untuk bisa sepenuhnya berfungsi bagai sebuah bank sentral.11 Tetapi apa yang berhasil dijalankan oleh DJB adalah sebagai lembaga yang memfasilitasi lalu lintas uang antara Hindia Belanda dengan luar negeri. Cabang BNI luar negeri pertama didirkan di Singapura pada Desember 1946 guna melayani urusan ekspor dan impor. Merujuk pada Undang-Undang Dewan Pertahanan Daerah, maka barang-barang ekspor Indonesia harus diserahkan kepada BNI. 25% dari jumlah total harga barang disetor kepada BNI sebagai jaminan dan sesampainya barang ke tempat tujuna, maka 75% dariuang sisa itu harus disetor.12 Dukungan perbankan untuk perdagangan luar negeri juga diwujudkan dengan pembentukkan bank-bank baru, seperti Bank Perniagaan Indonesia dengan modal Rp. 5 juta dimana 60% disetor oleh BNI dan 40% penjualan saham ke khalayak umum, Pusat Tenaga Ekonomi (PTE) juga mendorong pendirian NV. Import & Export yang berkedudukan di Yogyakarta serta bermodalkan juga Rp. 5 juta. Akibat dari ekspansi pelembagaan pembiayaan ekspor dan impor ini, maka lebih dari 20 wakil-wakil dagang (handelsconsulenten) baru dirkirim ke luar negeri.13 Selain BNI, pemerintah juga mendirikan Bank Rakyat Indonesia (BRI) pada tanggal 22 Februari 1946 sebagai bank kredit rakyat dan menempati kantor-kantor bank perkreditan Jepang, Syomin Ginko, yang merupakan pengganti dari bank perkreditan rakyat Hindia Belanda, Algemeen Volkskrediet Bank (AVB). BRI mendapatkan modal 100 juta rupiah ORI dan 350 juta rupiah uang Jepang dari pemerintah dan fokus pada pemberian kredit menengah (middenstandskrediet) kepada PMR, Jawatan Perkebunan, Jawatan Listrik, BPPGN, Perusahaan Perkapalan, Jawatan Karesidenan-Karesidenan untuk melancarkan distribusi pangan. Semenjak hijrah pemerintah ke Yogyakarta, pusat BRI-pun pindah pula ke ibukota revolusioner Indonesia dengan 68 cabang diseantero Jawa dan 18 cabang di Sumatera. Guna mendukung peningkatan produktivitas pengusaha Indonesia, BRI mendirikan Fonds Oesaha Keradjinan. Perbedaan dengan praktek AVB pada masa kolonial adalah pemberhentian kredit 11) Dawam Rahardjo, hlm. 47. 12) Antara, 13-12-1946 13) Antara, 24-12-1946
40
Keindonesiaan dalam Uang
mikro kepada petani yang diserahkan sepenuhnya kepada koperasi dan jawatan pegadaian. Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh BRI, tetapi sebenarnya juga menghinggapi banyak bank-bank Republik lainnya, adalah kekurangan tenaga terdidik.14 Sementara itu di Surabaya terdapat Bank Nasional Indonesia yang telah didirikan ditahun 1928 serta Banking and Trading Corporation yang merupakan bank pemerintah yang didirikan pada 1 Januari 1947 sebagai kreditor ekpor-impor. Selain bank-bank yang berlokasi di Jawa ini, terdapat beberapa bank di Sumatera yaitu Bank Indonesia yang didirikan di Palembang pada 8 Mei 1946, Bank Dagang Nasional Indonesia yang berlokasi di Medan dan didirikan pada 26 Januari 1946 serta memiliki cabang di Aceh dan Bank Nasional di Bukittinggi yang telah didirikan sejak tahun 1930.
Penghidupan Kembali De Javasche Bank (DJB) oleh Pemerintah Federal Kedatangan NICA di Jawa dibarengi dengan pemulihan sektor keuangan negara kolonial lewat pengambilalihan peran bank sentral masa pendudukan Jepang, Nanpo Kaihatsu Ginko pada tanggal 10 Oktober 1945 dan penghidupan kembali De Javasche Bank. Selain penutupan Ninpo Kaihatsu Ginko, NICA juga menutup semua bank lainnya termasuk Syomin Ginko, Mitsui Bank, Yokohama-Specie Bank dan Taiwan Bank. Nanpo Kaihatsu Ginko digantikan kembali dengan DJB, sementara Syamin Ginko digantikan dengan AVB yang dihidupkan kembali. Selain itu, sektor perbankan swasta juga perlahan hidup kembali, termasuk perusahan perbankan dari luar negeri yang dulu beroperasi di Hindia Belanda. Uang Jepang ini digunakan untuk membiayai operasi NICA di Jawa dan Madura. Ini adalah awal mula dari dualisme sistem keuangan Indonesia semasa revolusi. Uang yang berlaku di wilayah Hindia Belanda adalah uang yang diterbitkan oleh De Javasche Bank, Pemerintah Hindia Belanda (muntbiljet), uang Jepang, dan uang NICA. Nilai mata uang gulden Hindia Belanda di Indonesia mengikuti gulden Belanda dengan perbandingan 1 banding 1. Berbeda dengan ORI yang di float, gulden Hindia Belanda ini di-peg terhadap dolar Amerika dan sepanjang periode ini mengalami dua kali devaluasi. Pertama adalah pada tanggal 6 Maret 1946 ketika nilai tukar gulden diturunkan dari f. 1,88 menjadi f. 2,65 untuk 1 dolar AS. Sementara devaluasi kedua terjadi pada tanggal 20 September 1949 ketika nilai gulden turun dari f. 2,65 menjadi f. 3,80 untuk 1 dolar AS.15 14) Antara, 10-2-1946 15) Sejarah Bank Indonesia Periode I: 1945-1949, hlm. 76-77.
Kondisi Perbankan & Kebijakan Fiskal Negara, 1945-1953
41
Guna merangsang ekspor, pemerintah Hindia Belanda memberlakukan sistem sertifikat indusemen (perangsangan) kepada eksportir karet di Kalimantan Barat pada Februari 1947. Dengan sertifikat ini seorang eksportir mendapatkan bon dari pemerintah Hindia Belanda yang dapat ditukarkan untuk membeli hal lain, sebagai contoh eksportir kopra menukarkan bon untuk tekstil, dengan harga murah. Dengan bon inducement ini, maka transaksi dapat memotong penggunaan valuta dimana disparitas nilai tukar resmi dengan pasar gelap telah mengakibatkan terjadinya kerugian dan penyelundupan keluar negeri. Contoh penggunaan bon untuk menukar tiap satu ton karet rakyat dengan 50 kg beras atau 70 yard tekstil yang berarti subsidi negara sebesar f. 100.16 Di wilayah Hindia Belanda, terdapat pemulihan ekspor khususnya sejak 1949 dimana volume ekspor mencapai 70% total volume ekspor tahun 1938, sementara untuk rata-rata ekspor 1946-1949 volume hanya mencapai 25% dari volume ekspor tahun 1938. Walau begitu terms of trade Indonesia pada periode ini dibawah base year 1938, menunjukkan lebih besarnya uang yang keluar. Semenjak tahun 1940, kebijakan devisa Hindia Belanda adalah menempatkan monopoli devisa di-tangan negara melalui pembentukan daripada Nederlandsch Indisch Deviezen Instituut (NIDI) yang berubah nama menjadi Deviezen Instituut voor Indonesie (DIVI) pada masa-masa revolusi (Deviezen Ordonnantie 1940, LN no. 205 & Deviezen Verordening 194, LN no. 291). Rezim devisa ini mengharuskan kepemilikan negara atas emas dan devisa sehingga semua valuta asing yang dihasilkan ekspor harus diserahkan kepada DIVI atau Dewan Devisa. Alasan mengapa rejim devisa baru ini diciptakan pada masa perang adalah terputusnya Hindia Belanda dari negeri induk Belanda yang diduduki Jerman pada tahun 1940. Sebelum tahun 1940, semua kebijakan devisa Hindia Belanda diputuskan di Belanda, tapi dengan pembentukan NIDI, maka kebijakan tersebut dapat dibuat oleh Gubernur Jenderal. Ketika Jepang mulai melakukan ofensif terhadap Hindia Belanda, NIDI dan DJB berhasil mengungsikan cadangan devisa dan persediaan emas Hindia Belanda ke Australia dan Afrika Selatan. Salah seorang direktur NIDI, Dr. R.E. Smith, mendirikan perwakilan guna mewakili kepentingan Hindia Belanda secara internasional.17 Pada tahun 1949, dengan penghilangan dualisme sistem moneter Indonesia, maka VIDI diubah menjadi Lembaga Alat-alat Pembayaran Luar Negeri (LAAPLN) yang dipimpin oleh Direksi DJB. Penerapan beragam kurs berbeda ini akan dilanjutkan pada tahun 1950an oleh LAAPLN dan menyebabkan terjadinya spekulasi akibat perbedaan 16) Sejarah Bank Indonesia Periode I: 1945-1949, hlm. 78. 17) Dawam Rahardjo, hlm. 47.
42
Keindonesiaan dalam Uang
harga barang ekspor dan impor serta asal/usul dan eksportir (apakah orang pribumi atau non-pri) dan seterusnya.18
Masa-masa Sebelum Penerbitan ORI Pengumuman Presiden Sukarno tanggal 3 Oktober 1945 mengakui uang Hindia Belanda (muntbiljet), uang DJB maupun uang Jepang sebagai alat pembayaran yang sah. Hal ini dikarenakan Republik belum memiliki mata uang sendiri. Tetapi rencana untuk menerbitkan ORI sudah didiskusikan oleh beragam pemimpin dan digodog oleh Menteri Keuangan Kabinet Sjahrir I, A.A. Maramis. Mengingat tren inflasi yang cukup tinggi pada masa pendudukan Jepang, permasalahan utama yang dihadapi adalah banyaknya uang Jepang yang beredar di masyarakat. Diperkirakan oleh DJB bahwa total jumlah uang Jepang yang beredar adalah sekitar 4 milyar, dengan 2,4 milyar di Jawa dan 1,6 milyar di Sumatera pada masa pendudukan Jepang. Setelah penyerahan Jepang atas Sekutu tanggal 15 Agustus 1945, tentara Jepang mengedarkan uang tersebut di Surabaya hingga 2 milyar. Total uang Jepang menjelang penyerahan Jepang adalah sekitar 6 milyar. Ditambah dengan uang Jepang yang berhasil dijaring oleh NICA ketika ia mulai memasuki kepulauan Indonesia dari timur sebesar 2 milyar, ini berarti bahwa total uang Jepang yang ada adalah sekitar 8 milyar.19 Selain uang Jepang, terdapat pula uang DJB dan uang Hindia Belanda dengan jumlah sekitar f. 462 juta. Kalau dihitung pula jumlah uang yang tersimpan di bank serta dipergunakan oleh pemerintah Hindia Belanda, maka total jumlah uang DJB dan Hindia Belanda adalah sekitar f. 750 juta. Ditambah dengan uang Hindia Belanda baru atau uang NICA yang telah dicetak di Amerika Serikat sebesar f. 800 juta, maka jelas sekali bahwa tekanan inflasi itu menghantui proses pengenalan uang ORI. Salah satu pihak yang mencoba mendorong agar uang ORI itu tidak diluncurkan berasal dari pihak Inggeris. Pada bulan Januari 1946, D.E. Denning, penasehat politik Kementerian Luar Negeri Inggeris mengatakan kepada perwakilan Republiken bahwa ekonomi Indonesia akan hancur jika ORI diterbitkan. Peluncuran ORI juga akan membuat Republiken musuh dari organisasi internasional moneter dunia. Alasan sebenarnya adalah rasa kekhawatiran bahwa introduksi ORI akan mempersulit proses pencapaian kesepakatan antara RI dan Belanda.20 Menurut Sjafruddin Prawiranegara dalam biografi yang ditulis Ajip Rosidi, Mohammad Hatta mengatakan 18) Oey Beng To, hlm. 29-30. 19) Oey Beng To, hlm. 22. 20) Cribb, hlm. 121.
Kondisi Perbankan & Kebijakan Fiskal Negara, 1945-1953
43
kepada Sjafruddin kekhawatirannya bahwa dunai internasional dapat menuduh RI sebagai pemalsu uang.21 Sementara itu soal pengeluaran uang NICA, pihak Inggeris jauh lebih ambivalen. Kondisi di wilayah yang diduduki Belanda itu mendorong peluncuran uang NICA. Pada Februari 1946, jumlah stok uang Jepang yang dimiliki Belanda itu sudah menipis. Mencetak uang Jepang tidak dimungkinkan karena pelat cetaknya sudah hancur. Sementara itu ada pula kekhawatiran dikalangan Belanda jika pihak Republiken berhasil meluncurkan uang mereka lebih dahulu, maka prestis Belanda akan menurun dimata orang Indonesia. Peluncuran uang NICA pada 6 Maret 1946 dilakukan dengan nilai tukar f.3 banding f.100 uang Jepang. Guna mengurangi sirkulasi uang, maka uang DJB dan Hindia Belanda yang masih berlaku hanya yang berharga f. 5 atau lebih kecil.22 Dari sudut pandang Belanda, usaha untuk melanjutkan sistem keuangan Hindia Belanda bukan hanya didorong oleh karena kebutuhan praktis untuk memperlancar proses pengambil-alihan dan pemulihan pemerintahan kolonial, melainkan punya aspek simbolis. Ini karena salah satu argumen utama yang diajukan oleh pemerintah Belanda untuk melegitimasi keberadaan mereka di Indonesia pasca-Perang Dunia Kedua adalah kemampuan mereka menjalankan administrasi yang efisien dan efektif. Sejak Agustus 1942, pemerintah eksil Belanda di Inggeris sudah membahas dan merancang perencanaan jangka panjang pemulihan sektor keuangan Hindia Belanda. Keputusannya adalah pembentukkan sebuah mata uang Hindia Belanda baru yang memiliki independensi dari guilders Belanda. Pada bulan Maret 1943, pemerintah Belanda mengeluarkan keputusan untuk mencetak uang oleh percetakan American Bank Note Company.23 Setelah penyerahan Jepang pada tanggal 15 Agustus 1945, rencana Belanda untuk mengintroduksi mata uang barunya menjadi buyar. Sudah dicetak sekitar f. 800 juta yang berada di gudang-gudang di Australia. Di kawasan timur Indonesia dan Kalimantan dimana pasukan sekutu sudah bebaskan semenjak tahun 1944an, maka perkenalan dan implementasi mata uang Hindia Belanda baru itu dapat dilaksanakan. Dikawasan ini, perkenalan kembali pemerintahan administratif Belanda lewat NICA memungkinkan bukan hanya perkenalan uang Hindia Belanda, tetapi juga penarikan uang Jepang pada 1 Februari 1946. Tetapi kondisi tersebut 21) Ajip Rosidi, hlm. 103-104. 22) Cribb, hlm. 123. 23) Cribb, hlm. 116.
44
Keindonesiaan dalam Uang
sangat berbeda di Jawa dan Sumatera, karena keberadaan dari Republik Indonesia dan keaktifan laskar serta kekuatan militer republiken yang dapat melakukan kegiatan perang gerilya. NICA hanya berhasil memegang kontrol atas beberapa kota di Jawa dan Sumatra, khususnya Batavia, Semarang, Surabaya, Palembang dan lain-lain. Karena kelemahan administratif serta ketidak-mampuan untuk membangun jaringan distribusi yang bagus untuk mata uang baru Hindia Belanda, van Mook, kepala dari NICA dan secara tidak resmi dapat dianggap sebagai ‘gubernur jenderal’ terakhir, memutuskan untuk mengakui uang Jepang dan tidak menariknya di Jawa dan Sumatera. Oleh karenanya, perkenalan uang NICA di Jawa dan Sumatera dilakukan hanya dalam kota-kota yang sudah dikuasai oleh NICA. Guna menghindari depresiasi uang NICA, pemerintah Hindia Belanda membentuk NIGIEO, Organisasi Impor-Ekspor pemerintah Hindia Belanda sejak tahun 1943 untuk melancarkan impor barang yang didapatkan dari kredit Kanada. Barang-barang tersebut dapat ditukarkan dengan uang NICA. Hindia Belanda merasa khawatir akan keberhasilan meluncurkan uang NICA dalam kota-kota yang dikuasai mereka di Jawa dan Sumatera. Mengingat bahwa jumlah uang Hindia Belanda sebelum perang sejumlah lebih dari f. 700 juta dan terjadinya inflasi uang Jepang, maka penambahan uang NICA hanya akan mendorong inflasi sekaligus menurunkan nilai mata uang NICA. Karena desain uang NICA itu mengadopsi desain kolonial Hindia Belanda, ada pula kekhawatiran dari mereka, termasuk wakil kerajaan Charles van der Plas, bahwa introduksi uang NICA akan menghasilkan kekerasan dan pemberontakan populer.24 Sulitnya penerimaan uang NICA itu disebabkan karena beberapa faktor; pelarangan pemerintah RI terhadap uang NICA mengurangi impor bahan kebutuhan pangan dari wilayah pedalaman yang dikuasai oleh RI kepada kota-kota. Walaupun Belanda menguasai kota-kota utama Jawa, sumber produksi barang pulih akibat dari pendudukan Jepang, sehingga satu-satunya cara memasukkan bahan2 kebutuhan pokok dari pedesaan ke kota-kota tersebut adalah lewat pembelian uang NICA, bukan lewat pertukaran barang. Belanda memang mendorong harga uang NICA lewat impor NIGIEO tetapi hal tersebut kurang cukup karena sebagian besar kebutuhan kota-kota besar seperti Jakarta, Semarang dan Surabaya berasal dari pedesaan di pedalaman. Belanda mendekati pihak Republiken dengan proposal pengakuan bersama uang NICA dan ORI di Jawa dan Sumatera. Pihak Republiken menyetujuinya pada November 1946 tetapi hanya kepada wilayah sekeliling perkotaan yang dikuasai Belanda (randgebied).25 24) Cribb, hlm. 117. 25) Cribb, hlm. 118.
Kondisi Perbankan & Kebijakan Fiskal Negara, 1945-1953
45
Peluncuran uang NICA itu membuat marah Perdana Menteri Sjahrir dan media massa Republiken memberitakan adanya ‘serangan ekonomi’ oleh Belanda. Desakan agar segera dikeluarkannya ORI terdengar dari beragam tempat di Indonesia, termasuk dari Badan Perwakilan Rakyat Madiun26 dan Rapat Partai Politik Sosialis di Padang Panjang.27 TRI mengeluarkan pernyataan bahwa siapapun yang menggunakan uang NICA akan dihukum. Di Jakarta, beragam fasilitas yang masih dikontrol oleh Republik, serta banyak warga kota menolak menggunakan uang NICA. Pelarangan penggunaan uang NICA oleh RI juga menyebabkan terjadinya penurunan signifikan impor beras dan barang kebutuhan lain dari wilayah luar kota Jakarta yang, pada saat itu, masih ditangan Republiken. Akibat dari ini semua adalah penurunan nilai tukar rupiah NICA dari 33 menjadi 10 uang Jepang pada bulan Juni 1946. Di Bandung, kurs NICA mengalami penurunan sampai 1 banding 5 uang Jepang. KR mengkritik introduksi uang NICA “Nica pernah mengatakan bahwa maksoed pengeloearan oeang baroe ialah oentoek melangsoengkan perdagangan import dan export dan djoega goena membela penghidoepan rakjat, akan tetapi dengan keadan seperti sekarang ini bagaimanakah maksoed tadoe dapat tercapai?”28 Tak dapat dipungkiri bahwa pihak Republiken memanfaatkan inflasi uang NICA untuk menunjukkan kegagalan administratif Belanda. Beragam cara dilakukan Belanda untuk mendorong penggunaan uang NICA. Di luar Jawa dan Sumatera penerapan sistem indusemen mendorong penggunaannya oleh petani eksportir. Di Jakarta, terjadi pembagian uang dan bahan pangan kepada pegawai negeri dan swasta tiap sabtu.29 Peluncuran uang NICA juga mendorong pemerintah Republik Indonesia untuk segera juga meluncurkan ORI.
Pengeluaran Emisi Pertama ORI Menurut Robert Cribb, pengeluaran uang ORI itu lebih disebabkan karena permasalahan kebutuhan administratif daripada karena keinginan untuk melemahkan posisi Belanda. Salah satu dorongan utama penerbitan ORI disebabkan karena kondisi keuangan Republik yang mengkhawatirkan. Fonds Kemerdekaan Indonesia itu memiliki dana yang sangat kecil. Mr. Sumanang dalam karangan menyambut kelahiran ORI mengatakan “demikian kecilnya isi kas negara sehingga bisa jadi banyak ahli negara, 26) Antara, 16-4-1946 27) Antara, 14-2-1946 28) Kedaulatan Rakyat, 18-6-1946 29) Kedaulatan Rakyat, 13-11-1945
46
Keindonesiaan dalam Uang
ahli ekonoim dan ahli keuangan akan coplok kepada memikirkan bagaiana pemerintah Republik Indonesia bisa tahan begitu lama zonder mempunyai keuangan sendiri yang cukup. Sebab menurut perhitungan teoretis atau menurut keadaan biasa Republik Indonesia mestinya sudah lama harsu jatuh bangkrut serta mandek sama sekali pemerintahannya karena kehabisan uang.”30 Menurut laporan mata-mata Inggeris, tampaknya awalnya direncanakan penerbitan uang tersebut pada 1 Februari 1946, tetapi kemudian ditunda akibat dari penyitaan uang ORI sebesar tiga ton pada pertengahan Januari dari pabrik percetakan Kolff di Jakarta. Sembilan bulan kemudian, ORI dicetak dan diluncurkan pada bulan Oktober 1946 dengan desain yang sama dari desain awal. Ketika ORI diluncurkan Hatta menyebutkan sebagai simbol kemerdekaan dan dasar untuk pembangunan ekonomi Indonesia. Oey Beng To mengatakan bahwa uang ORI itu dapat dianggap sebagai ‘instrument of revolution’ mirip dengan greenback (atau continental money atau dolar AS) yang diterbitkan oleh Amerika semasa perang kemerdekaan melawan Inggeris. Ini karena, mirip dengan Amerika, ORI itu digunakan utamanya untuk membiayai revolusi, sementara pinjaman-pinjaman luar negeri tidak begitu berarti dan hanya bersifat simbolis.31 Dalam pidato radio, Mohammad Hatta menyampaikan pada Oktober 1946 menjelang peluncuran ORI: “Sejak mulai besok kita akan berbelanja dengan uang kita sendiri, uang yang dikeluarkan oleh Republik kita. Uang Republik keluar dengan membawa perobahan nasib bagi rakyat, istimewa pegawai negeri, yang sekian lama menderita karena inflasi uang Jepang. Rupiah Republik yang harganya di Jawa lima puluh kali rupah Jepang, di Sumatera seratus kali, menimbulkan sekaligus tenaga pembeli kepada golongan rakyat yang bergaji tetap, yang selama ini hidup daripada menjual pakaian dan perabot rumah, dan juga kepada rakyat yang menghasilkan, yang penghargaan tukar barang penghasilannya jadi bertambah besar.”32 Semangat yang digambarkan oleh Hatta dalam pidato radionya ini mencerminkan tingginya harapan rakyat akan ORI untuk menyelesaikan permasalahan utama yang dirasakan masyarakat selama masa pendudukan Jepang, yaitu tingginya inflasi. Tetapi tingginya harapan itu dikhawatirkan oleh pejabat seperti Sjafruddin Prawiranegara karena kepercayaan 30) Ajip Rosidi, hlm. 137. 31) Oey Beng To, hlm. 70. 32) Oey Beng To, hlm. 78.
Kondisi Perbankan & Kebijakan Fiskal Negara, 1945-1953
47
masyarakat atas ORI bisa runtuh jika harapan yang dibebankan kepada terlalu tinggi. “Banyak orang mengira bahwa dengan keluarnya Oeang Republik Indonesia dengan sendirinya segala kekurangan, kesukaran dan penderitaan akan lenyap sekaligus. Dengan keluarnya Uang Republik seolah-olah rakyat kita akan makmur kembali. Kekeliruan paham ini harus diberantas sekeras-kerasnya. Uang akan tetap jadi uang sekalipun uang itu Oeang Republik Indonesia … Yang sekali-kali tak boleh kita lupa ialah bahwa pengeluaran uang Republik itu tak mungkin menghilangkan kekacauan ekonomi serta melenyapkan penderitaa kaum buruh kalau pengeluaran uang Republik itu tidak disertai dengan usaha memperlebar produksi. Kalau suaha memperbanyak barang-barang yang penting bagi hidup kita itu dilalaikan, niscaya inflasi akant erus merajalela hingga akhirnya pun Uang Republik tak akan luput dari nasib uang Jepang.”33 Ketakutan dari kalangan pengambil kebijakan bahwa rakyat salah mengira akan tujuan dan fungsi ORI ini terlihat sangat nyata. Kementerian Keuangan mengadakan konferensi pers untuk menjawab pertanyaanpertanyaan seputar ORI. Menteri Penerangan M. Natsir mengemukakan bahwa ada kesalah-pahaman banyak kalangan bahwa ORI ini akan menghilangkan segala kesukaran yang ditimbulkan oleh inflasi. “Keluarnya uang Republik itu terutama berdasar atas kepercayaan kepada keuletan dan kesanggupan nasional dari bangsa kita, untuk melampaui kesukarankesukaran yang sekarang kita alami itu.”34 Setelah kesepakatan penerbitan ORI dicapai pada Oktober 1945, di akhir bulan yang sama, Menteri Keuangan A.A. Maramis menginstruksikan Serikat Buruh Percetakan G. Kolff di Jakarta untuk meninjau Surabaya, Malang, Solo dan Yogyakarta guna mencari tempat paling tepat untuk percetakan uang. Diputuskan bahwa ORI akan dicetak di Percetakan G. Kolff di Jakarta dan NIMEF (Nederlands Indische Metaalwaren en Emballage Fabrieken) di Kendalpayak, Malang. Kondisi di Jakarta tidak begitu mendukung proses pebuatan uang ORI, terdapat kesluitan dalam memperoleh bahan-bahan baku seperti kertas, tinta, bahan kimia untuk fotografi dan zinkografi, pelat seng untuk klise dan lain-lain. Selain menggunakan percetakan G. Kolff, juga digunakan percetakan perusahaan De Unie, pabrik cat Pieter 33) Ajip Rosidi, hlm. 135-136. 34) Antara, 12-10-1946.
48
Keindonesiaan dalam Uang
Schoen serta Balai Pustaka untuk pembuata klise. Gambar lithografi dibuat di percetakan de Unie dan percetakan perdana dilakukan di percetakan Balai Pustaka dengan denominasi 100 rupiah. Pada November 1945, dibentuk Panitia Penyelenggara Pencetakan Uang Kertas Republik Indonesia diketuai oleh T.R.B. Sabaruddin, Direktur Bank Rakyat Indonesia, dengan anggota H.A. Pandelaki dari Kementerian Keuangan, M. Tabrani dari Kementerian Penerangan, S. Sugiono dari BRI, E. Kusnadi dari Kas Negara, R. Aboebakar Winangoen dari Kementerian Keuangan serta Oesman dan Agoes yang merupakan wakil dari Serikat Buruh Percetakan.35 Kondisi tidak kondusif lalu terjadi akibat dari masuknya tentara Sekutu dan NICA ke wilayah Republiken. Pada Desember karyawan ORI terpaksa diungsikan ke Yogyakarta dengan membawa serta plat dan ratusan rim lembaran 100 rupiah. Pabrik percetakan G. Kolff digantikan dengan kertas dari Padalarang dan Leces dan dicetak di Solo, Yogyakarta dan Malang yang harus dijaga oleh alat keamanan negara dan diawasi oleh Pusat Pembendaharaan Negara yang berkantor di Yogyakarta. Uang lalu dikirim lewat gerbong kereta api dalam keranjang bekas yang mencerminkan kondisi serba keterbatasan Republik. Dengan transportasi ini ORI berhasil disebarkan ke beragam wilayah Jawa dan Madura dengan pengawalan yang ketat untuk menghindari perampokan, sesuatu yang kadang terjadi. Pada Juli 1947, pasukan Belanda menduduki Malang dalam Agresi Militer Pertama dan sehingga pabrik percetakan Kendalpayak terpaksa ditinggalkan. Mesin dan bahan yang bisa dibawa, diangkut ke daerah Madiun dan ditempatkan di desa Kanten dimana percetakan dilanjutkan sampai dengan Agresi Militer Kedua pada Desember 1948.
Pencegahan Inflasi Pemerintah Republiken mengambil strategi pembiayaan yang non-inflatoir sebelum peluncuran ORI; yaitu pemanfaatan dana Fonds Kemerdekaan Indonesia dan penerbitan obligasi Pinjaman Nasional 1946. Fonds Kemerdekaan Indonesia (FKI) dibentuk pada tahun 1944 dibawah Djawa Hokokai dan mengumpulkan sumbangan berupa uang dan barang perhiasan untuk mendukung usaha perang Jepang. Selain untuk membiayai keamanan Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta dan sekeluarga, usaha perampasan senjata Jepang, sekitar f. 340 ribu uang Jepang dari FKI disetor sebagai modal kerja Yayasan Pusat Bank Indonesia yang kemudian menjelma menjadi Bank Sentral pertama RI, Bank Negara Indonesia 1946. Ketika pemerintah hijrah ke Yogyakarta pada awal Januari, sisa FKI berupa 35) Mohammad Iskandar, hlm. 49
Kondisi Perbankan & Kebijakan Fiskal Negara, 1945-1953
49
batangan emas dan candu dikirim keluar negeri untuk mendapatkan devisa guna membiayai kegiatan diplomasi RI di luar negeri.36 Obligasi Pinjaman Nasional 1946 seharga f. 1 milyar uang Jepang diterbitkan setengah di Jawa dan setengah di Sumatera dengan bunga 4% per tahun dan hanya dapat dibeli oleh warganegara Indonesia, termasuk orang Indo, Arab, Tionghoa dan lain-lain. Pada tanggal 17 Mei 1946, Obligasi dijual serentak di 70 kantor bank diseluruh Jawa.37 Obligasi tersebut bisa didapatkan di BNI, BRI dan Bank Surakarta.38 Guna mendukung pengumpulan dana masyarakat, beragam kota di Jawa membentuk panitya pinjaman nasional dari inisiatif pemerintah daerah ataupun masyarakat. Sebagai contoh, di Pekalongan panitya pinjaman nasional dibentuk atas inisiatif Poesat Tenaga Ekonomi, sebuah lembaga masyarakat yang fokus pada masalah ekonomi, dengan dukungan kalangan orang Tionghoa dan Arab dan berhasil mengumpulkan lebih dari f. 1 juta sampai akhir Mei 1946. Panitya pinjaman nasional dibentuk di Madiun, Bogor, Malang, Kudus, Pekalongan, Garut, Bondowosi dan Purworejo. 39 Kantor Residen Priangan mengadakan bazar pinjaman nasional yang berhasil mengumpulkan dana sebesar f. 36 juta.40 Di Kabupaten Karawang, rapat raksasa diselenggarakan di kota Purwakarta dimana dikumpulkan dana dari kalangan kaum buruh dan rakyat kebanyakan sebanyak f. 100 ribu.41 Dorongan ini menjelma menjadi kampanye pentingnya menabung di kalangan masyarakat Indonesia. Menteri Keuangan Ir. Soerachman dalam pidato radio mengatakan bahwa “… bagi siapa yang telah berjanji akan mengorbankan jiwa, raga dan harta benda untuk kedaulatan Negara, maka pinjaman yang termaksud itu adalah jalan yang sebaik-baiknya untuk melaksanakan janjinya.”42 Usaha mengurangi tingkat kenaikan likuiditas juga dilakukan lewat pembatasan pengambilan uang simpanan dalam peraturan yang terbit pada akhir Oktober 1946. Dalam peraturan itu, pengambilan uang simpanan bank semenjak tanggal 31 Oktober hanya bisa dilakukan maksimal Rp. 100 per bulan per orang atau Rp. 300 untuk perkawinan, kelahiran, atau tanggungan sakit/meninggal. Untuk perusahaan, pengambilan simpanan dibatasi Rp. 2000 per bulan serta biaya-biaya lain maksimal Rp. 250 per minggu dan untuk badan bukan perusahaan maka pengambilan untuk gaji 36) Oey Beng To, hlm. 28. 37) Antara, 17-5-1946 38) ANRI, BNI no.inv. 435. 39) Antara, 28-5-1946 40) Antara, 30-5-1946 41) Antara, 30-5-1946 42) Antara, 13-5-1946
50
Keindonesiaan dalam Uang
dan biaya maksimal sebesar Rp. 500 per bulan. Berdasarkan UU no. 17/1946 tentang penerbitan ORI, ditetapkan bahwa dasar nilai ORI 10 rupiah sama dengan emas murni sebesar lima gram. Kurs penukaran adalah 1 rupiah ORI sama dengan 50 rupiah uang Jepang untuk kawasan Jawa dan Madura. Diluar Jawa dan Madura, Rp. 1 ORI sama dengan Rp. 100 uang Jepang. Guna menghindar inflasi, pemerintah melakukan beberapa tindakan pencegahan. Pertama adalah usaha menarik uang pemerintah Hindia Belanda dan uang Jepang dari sirkulasi. Pada bulan Juli 1946, uang Jepang dan Hindia Belanda yang dimiliki oleh masyarakat harus disimpan dalam enam lembaga keuangan yang resmi diakui oleh pemerintah, yaitu BNI, BRI, Bank Surakarta, Bank Nasional, Bank Tabungan Pos dan Pegadaian. Rakyat diberi waktu hingga 16 Oktober untuk menyetor uang Jepang dan Hindia Belanda mereka dalam lembaga perbankan yang diakui tersebut. Kondisi ini menyebabkan terjadinya kenaikan harga barang-barang dipasar karena banyak orang khawatir jika mereka mendepositokan uangnya ke bank, maka mereka tidak akan pernah mendapatkannya kembali. Orangorang mencoba menghabiskan uang Jepang simpanan mereka di pasar dan nilai tukar uang Jepang melonjak menjadi 120 untuk f. 1 uang NICA di pasar gelap. Kenaikan harga makanan dilaporkan mencapai 40 kali lipat dan harga pakaian sampai 20 kali lipat dua hari sebelum ORI diluncurkan. Pada awal peredaran ORI, tiap penduduk diberi satu rupiah ORI untuk tiap satu rupiah uang Jepang yang dimilikinya secara tunai sampai ketika kepemilikannya hanya Rp. 50 uang Jepang. Kepemilikan uang tunai juga dibatasi; yaitu sebanyak f. 3.000 untuk satu keluarga atau f. 1.000 untuk pribadi tanpa keluarga. Untuk perusahaan, uang tunai dibatasi berdasarkan jumlah laba perusahaan; yaitu perusahaan dengan laba f. 5.000 dapat menggunakan uang tunai maksimum f. 1.000, sementara untuk yang labanya diatas f. 45.000 mendapatkan hak menggunakan sampai f. 10.000.43 Pemerintah juga melarang rakyat untuk membawa uang Jepang senilai lebih dari f. 1000 dari daerah yang diduduki Belanda kepada daerah Republiken di Jawa dan f. 5.000 dari daerah luar Jawa ke daerah Republiken Jawa kecuali dengan izin Menteri Perdagangan dan Perindustrian. Pada bulan Juni 1947, Pemerintah menyesuaikan dengan keadaan dengan melarang rakyat membawa uang tunai Rp. 500 per individu atau Rp. 1.000 per keluarga ke kota Jakarta dan Bogor sebagai upaya untuk menjaga kekuatan kurs tukar ORI dengan uang Belanda di kota-kota tersebut.44 Beragam 43) Sejarah Bank Indonesia Periode I: 1945-1949, hlm. 70-71. 44) Sejarah Bank Indonesia Periode I: 1945-1949, hlm. 71.
Kondisi Perbankan & Kebijakan Fiskal Negara, 1945-1953
51
daerah juga mengeluarkan peraturan masing-masing mengenai lalu lintas uang, sebagai contoh Surakarta menerbitkan aturan yang memperbolehkan seseorang untuk membawa uang sebanyak mungkin dari kota tersebut asal dengan pemberitahuan kepada kantor kepolisian tetapi membatasi uang yang bisa dibawa masuk ke kota.45 Di Madiun, Badan Perwakilan Daerah Karesidenan memutuskan untuk menghukum 3 bulan penjara siapapun yang mencoba memasukkan uang lebih dari f. 1000 dalam satu bulan.46 Bagaimanapun, penerbitan ORI itu tidak gagal dalam mencegah inflasi, dan dalam banyak kasus malah memperparahnya. Tabel dibawah menunjukkan kenaikan harga-harga pangan di pasar Jakarta sebagai akibat dari perkenalan ORI. Kenaikan harga barang bahkan mencapai 10 kali lipat untuk harga beras, 8 kali lipat untuk jagung, dan 3,5 kali lipat untuk telur ayam.47 Jenis barang
Satuan
Permulaan ORI (Oktober 1946)
Januari 1947
Persentase kenaikan (%)
Beras
Kg
Rp. 0,15
Rp. 170
1.033
Jagung
Kg
Rp. 0,07
Rp. 0,65
829
Telur ayam
Butir
Rp. 0,05
Rp. 0,23
360
Minyak kelapa
Btl
Rp. 0,52
Rp. 1,10
112
Minyak tanah
1 liter
Rp. 0,50
Rp. 1,10
120
Gula pasir
Kg
Rp. 1,-
Rp. 1,65
65
Garam
Kg
Rp. 0,25
Rp. 0,80
220
Tabel 3.2. Tingkat inflasi ORI selama periode 3 bulan pertama Sumber: Oey Beng To, p. 47.
Perang Uang Di Jakarta, dimana NICA telah mengeluarkan uang merah NICA lebih awal, Rp. 1 ORI awalnya ditukarkan sebesar f. 5 NICA. Tetapi karena kuatnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintahan Republiken dan lemahnya kepercayaan terhadap otoritas NICA, maka uang NICA tersebut dengan segera merosot nilai tukarnya, dari Rp. 1 ORI = f. 7 NICA. Rakyat menyambut peluncuran ORI dengan penuh kegembiraan. Slametan dan pesta-pesta 45) Antara, 6-2-1946 46) Antara, 11-4-1946 47) Oey Beng To, hlm. 46-47.
52
Keindonesiaan dalam Uang
dansa diadakan di berbagai tempat di ibukota guna menyambutnya. Tingginya permintaan ORI di Jakarta menyebabkan RAPWI (Organisasi Reparasi Tahanan Perang dan Tawanan Sekutu) untuk menyelundupkan 1.5 juta rupiah dari wilayah Republiken. Sambutan terhadap ORI itu juga terjadi dikalangan pedagang-pedagang besar. Djajengkarso, seorang pedagang batik mendukung penerbitan ORI dan meminta pemerintah untuk segera membentuk kepolisian keuangan untuk mencegah pemalsuan dan tindakan krimil keuangan lainnya. CHTH di Yogyakarta mengeluarkan pernyataan kegembiraan atas penerbitan uang ORI dan menyatakan rasa kepercayaan terhadap pemerintah serta keinginan pedagang-pedagang Tionghoa untuk membantu usaha pemerintah.48 “Perang uang” melanda beragam daerah kependudukan Belanda seperti di Jakarta, Bogor, Bandung dan kota-kota besar lainnya. Headline salah satu surat kabar Rakyat yang terbit di Jakarta menyatakan “Uang Kita Menang, Kata Rakyat Jakarta.” Kaum buruh di Tanjung Priok mogok49 dan beragam jawatan termasuk Jawatan LIstrik,50 pegawai Pekejaan Umum51 dan lain-lain menolak pengupahan menggunakan uang NICA. Cerita mengenai tukang becak yang memilih 20 sen ORI daripada dibayar f.1 uang NICA menyebar di masyarakat. Di Semarang, buruh pelabuhan juga menolak uang Nica dan penggunaan uang NICA dikalangan pedagang Tionghoa dilaporkan menimbulkan gesekan dengan kaum nasionalis.52 Pemerintah juga secara aktif berusaha mencegah penggunaan uang NICA bahkan sebelum dikeluarkannya ORI. Di Jakarta, penjual uang Nica di Kroya bernama H. Ichsan ditangkap oleh polisi Republik.53 Sementara dari kalangan Belanda, ada usaha untuk memaksa penggunaan uang NICA, seperti pemaksaan oleh militer Belanda agar uang NICA itu dipakai di stasiun kereta api Citayam, Pondok Cina, Depok, Bojonggede, dan Clebut.54 Dilaporkan pula bahwa serdadu NICA yang merampas uang ORI di Serong sebesar Rp. 100.55 Kepercayaan tinggi rakyat terhadap ORI itu menyebabkan kuatnya nilai tukar rupiah dibandingkan dengan uang NICA. Perusahaan kereta dan trem di Jakarta yang masih dikuasai oleh pihak-pihak Republiken, 48) Antara, 28-10-1946 49) Antara, 11-3-1946 50) Antara, 15-3-1946 51) Antara, 22-3-1946 52) Kedaulatan Rakyat, 11-5-1946. 53) Antara, 12-3-1946 54) Antara, 4-12-1946 55) Antara, 6-12-1946
Kondisi Perbankan & Kebijakan Fiskal Negara, 1945-1953
53
Foto 3.3. Toko Tay Ho Tong di Glodok, Jakarta, 1947. Sumber: PT. BKK.
serta penjual pasar dan nelayan hanya menerima ORI. Beragam laskar/ kelompok bersenjata mendatangi pasar untuk memaksa penggunaan uang-uang afiliasi politik mereka. Di Yogyakarta, pelajar sekolah menengah mengumpulkan uang-uang NICA dari kampung-kampung untuk dimusnahkan dan Barisan Kaum Buruh menyatakan kesetiaannya kepada ORI.56 Pemalsuan dan penyelundupan ORI dan NICA terjadi kedua wilayah kekuasaan masing-masing. Antara memberitakan akan uang NICA yang disita ketika dalam proses penyelundupan d kereta dari Jakarta. Uang tersebut disembunyikan didalam keranjang dan ditutupi ubi dan bahan makanan lainnya.57 Pemalsuan uang terjadi dalam beragam bentuk dan jumlahnya tidak diketahui dengan pasti. Bukan hanya uang ORI, melainkan uang Jepang dan uang NICA sama-sama dipalsukan. Uang Jepang dicuri dari gudang Nanyo di Jakarta.58 Antara melaporkan bahwa serdadu Australia menolak pembayaran dengan mengunakan uang NICA karena khawatir akan uang palsu dan Commonwealth Bank of Australia menolak menukarkan
56) Mohammad Iskandar, hlm. 46. 57) Kedaulatan Rakyat, 12-3-1946 58) Kedaulatan Rakyat, 28-3-1946.
54
Keindonesiaan dalam Uang
uang Nica.59 Sementara diluar Jakarta, laskar-laskar menggunakan ORI sebagai tanda bukti kesetiaan seseorang.
Pelemahan Nilai ORI Tetapi akibat dari kondisi yang tidak kondusif di Jakarta, nilai tukar ORI mulai melemah. Penurunan nilai tukar ORI itu cukup cepat, bahkan semingu setelah peluncurannya, terjadi penurunan dari 5 uang NICA menjadi 2 uang NICA untuk satu Rp. 1 ORI di pasar Glodok. Pada bulan Juli, penurunan bahkan mencapai f. 0.5. pada awal tahun 1947, Pemerintah Republiken melakukan serangkaian usaha untuk merestorasi kurs ORI, khususnya di Jakarta sehingga sempat mencapai paritas dengan uang NICA, dengan cara membanjiri kota Jakarta dengan bahan makanan dari pedalaman. Margono Djojohadikusumo mengemukakan dalam jumpa pers terdapat tiga alasan penurunan ORI yaitu musim paceklik, sedikitnya basis ORI dari sektor produksi, kurang lancarnya peredaran barang dan terakhir kurangnya barang-barang impor yang kesemuanya mengurangi kesempatan penyerapan likuditas.60 Penurunan inipun menyebabkan semakin enggannya bagian masyarakat untuk menggunakan ORI, contoh di Rumah Sakit CBZ Jakarta, dimana akibat penurunan kurs gaji dokter yang sekitar 300-500 ORI itu berharga hanya sekitar 30-50 uang NICA. Padahal semua peralatan rumah sakit harus dibeli dengan uang NICA. Beragam spanduk yang berbunyi “Awas oeang palsu NICA” tampaknya tidak lagi memiliki daya tarik sebelumnya. Aneta menyampaikan pada 29 September 1947 bahwa ORI di pasarpasar Jakarta sudah hampir tidak digunakan lagi, kecuali di Pasar Manggarai dan Jatinegara dimana uang tersebut masih bisa digunakan untuk membeli sayur-mayur dari kawasan pedalaman.61 Di Madura ditangkap seseorang yang membawa beberapa helai uang palsu seratursan rupiah.62 Di Yogyakarta, tertangkap seorang Tionghoa dan seorang pribumi yang telah mencetak uang palsu sebesar Rp. 5 dan hal ini diketahui karena tipo kata “pembajaran” menjadi “pemrajaran.”63 Sementara di Jakarta, terdapat peredaran uang palsu Rp. 10 dan Rp. 1.64 Bahaya uang palsu itu mendorong Kementerian Keuangan untuk memberi kabar ke pers mengenai bagaimana 59) Antara, 24-1-1946 60) Antara, 21-2-1947 61) De Locomotief, 1-10-1947. 62) Antara, 10-2-1946 63) Antara, 10-2-1947 64) Antara, 12-2-1927
Kondisi Perbankan & Kebijakan Fiskal Negara, 1945-1953
55
mengetahui uang-uang yang palsu. Sebagai contoh dalam KR yang terbit bulan November, disebutkan bahwa uang kertas 5 sen palsu kata-kata “Oendang2” diganti dengan “Woro2”, pada uang kertas 10 sen, gambar muka tidak memiliki gambar keris dan garis-garis, uang kertas 10 rupiah tidak berseri nomor, dan seterusnya.65 Dorongan utama penurunan nilai tukar ORI itu berasal dari tingginya percetakan uang yang dilakukan oleh Pemerintah Republiken dan masih belum pulihnya sektor-sektor produksi di Indonesia pada waktu itu. Jumlah peredaran ORI pada tahun 1946 diperkirakan sebesar Rp. 323 juta, dan pada bulan Januari 1947, diperkirakan bahwa nilai total ORI yang beredar itu sama dengan 15 milyar uang Jepang berdasarkan nilai tukar yang ditetapkan pada Oktober 1946. Selain itu, pemalsuan ORI juga sangat banyak dan tidak bisa dikontrol oleh pemerintah. Salah satu pemalsuan pertama yang dilaporkan di Jakarta terjadi tiga minggu sebelum ORI diluncurkan. Kasus-kasus pemalsuan bahkan menyebabkan Republik untuk membatasi perjalanan orang-orang Tionghoa dari wilayah Republiken dengan Jakarta. Selain pemalsuan, juga ada masalah penimbunan ORI. Pada tahun 1947, pemerintah Republiken berusaha untuk memperbaiki kondisi ORI di Jakarta dengan melakukan pembatasan impor rupiah oleh partikelir ke kota. Badan Pusat Jual Beli didirikan untuk memonopoli semua perdagangan antara Jakarta dengan pedalaman Republiken. Perusahaan yang ingin melakukan usaha harus menjual barangnya ke BPD dan ditanda-tangani oleh ketua BPD, Dr. Ong Eng Die. Ini adalah usaha-usaha pemerintah terakhir sebelum terjadinya Agresi Militer Pertama yang diluncurkan oleh Belanda pada Juli 1947. Menurut Robert Cribb, salah satu alasan utama mengapa Belanda melakukan serangan Agresi Militer Pertama adalah untuk meyakinkan supremasi mata uang NICA sebagai bagian dari usahanya menempatkan Hindia Belanda sebagai pengendali utama dan satu-satunya daripada kebijakan moneter perekonomian nasional. Setelah Agresi, nilai tukar ORI mengalami penurunan yang sangat tajam atas rupiah NICA, yaitu f. 1 NICA sama dengan Rp. 50 ORI. Usaha mencegah inflasi ini menjadi lebih penting lagi setelah Agresi Militer Pertama. Inflasi ORI membumbung dan hal ini mengakibatkan penurunan daya beli rakyat yang signifikan. Dalam periode Maret-September 1948, inflasi mengakibatkan peningkatan harga rata-rata sebesar 2.5-2.6 kali. Sebagai contoh, harga beras putih di Yogyakarta meningkat dari Rp. 6.8/kg menjadi Rp. 10/kg pada bulan September; kain Blacu dari Rp. 110/m menjadi Rp. 200/m pada masa yang sama. Mengingat bahwa kelemahan kebijakan moneter Republik dalam 65) Kedaulatan Rakyat, 5-11-1946
56
Keindonesiaan dalam Uang
menyerap likuiditas, maka usaha yang diberlakukan pemerintah adalah lewat kebijakan penetapan harga barang lewat Peraturan Pemerintah no. 54/1948 yang dikeluarkan bulan oktober. Penetapan harga maksimum 38 barang sandang dan pangan berlaku di 11 kota di Jawa, sebagai contoh harga beras bulu nomor satu ditetapkan sebesar Rp. 26 di Semarang, Rp. 20 di Banyumas, Rp. 24 di Yogyakarta dan Rp. 26 di Surabaya. Tahun
Impor
Ekspor
Defisit/ Surplus
1938
478
678
+209
1939
472
774
+302
1940
433
939
+506
1941
472
1986
+614
-
-
-
-
1946
281
155
-126
1947
892
347
-471
1948
1134
1040
-94
1949
1574
1478
-96
Tabel 3.3.
Neraca Perdagangan Indonesia tahun 1936-1949. Sumber: De Javasche Bank, laporan pembukuan 19491950.
Pembentukkan ORIDA Agresi Militer Pertama Belanda juga mendorong kebijakan untuk mendesentralisir lebih lanjut sistem keuangan Republik. Ini disebabkan karena sistem sirkulasi BNI ini tidak cukup untuk menjawab tantangan distribusi ORI yang terbatas, serta kebutuhan untuk memberi otoritas diskresi pemerintah lokal untuk mencetak uang untuk membiayai kegiatan pemerintahan lokal, khususnya bagi kawasan-kawasan Republiken dimana BNI tidak mampu untuk menjangkau seperti di Sumatera dan Banten. Kebijakan uang daerah dikeluarkan dengan memberikan otoritas kepada pimpinan-pimpinan daerah untuk mengeluarkan uang daerahnya masingmasing. Mata uang lokal ini disebut secara umum sebagai ORIDA atau ORI Daerah. Mata uang lokal seperti ORIPS (Sumatera), ORITA (Tapanuli), ORIDJA (Jambi), ORIDA (Aceh), Uang Mandat yang diekluarkan oleh Dewan Pertahanan daerah Sumatera Selatan serta ORIDAB (Banten). ORIDAB merupakan ORIDA pertama yang diterbitkan di pulau Jawa dengan emisi Serang yang terbit pada Desember 1947. Di Yogyakarta, terbit Surat Tanda Penerimaan Uang untuk Daerah Istimewa Yogyakarta yang ditandatangani Kondisi Perbankan & Kebijakan Fiskal Negara, 1945-1953
57
oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Hal yang sama diterbitkan di Surakarta dan ditandatangani oleh Kepala Pemerintah Militer Daerah Surakarta. Di daerah Sumatera, ORIDA pertama adalah ORIPS dari Provinsi Sumatera yang diterbitkan pada April 1947 dan ditandatangani oleh Gubernur Sumatera Teuku Mohammad Hassan. ORIPS dijamin pemerintah pusat dengan nilai paritas dengan ORI 1=1. Sampai akhir tahun 1949, terdapat 27 jenis ORIDA, termasuk didalamnya beragam kupon yang merupakan alat pertukaran yang diperjual-belikan. Penerbitan uang daerah ini juga dilakukan agar membiayai kegiatan pemerintahan daerah pula, tetapi seperti yang terjadi pada ORI, maka kebanyakan dari ORIDA ini mengalami inflasi yang cukup serius dan penurunan nilainya cukup signifikan. Selain uang yang dikeluarkan oleh otoritas, beragam kelompok masyarakat juga menerbitkan alat pembayarannya masing-masing, contoh di komunitas pedagang Tionghoa di Kabupaten Asahan.66
Agresi Militer Kedua dan PDRI Setelah serangan Belanda terhadap Yogyakarta dan penangkapan terhadap Presiden Sukarno, Wakil Presiden/Perdana Menteri Mohammad Hatta, kantor besar BNI ditutup pada bulan Desember dan sehingga satu-satunya cabang BNI yang masih berfungsi terdapat di Kutaraja, Aceh. Disitu, ORI edisi terbaru yang secara resmi dikeluarkan pada tanggal 17 Agustus 1948, dicetak dan diterbitkan dengan dibubuhi tanda-tangan Menteri Keuangan daripada Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang berpusat di Bukittinggi, Sumatera dibawah ‘Presiden’ Sjafruddin Prawiranegara. Kebetulan Sjafruddin Prawiranegara dan Mr. Loekman Hakim sedang mengadakan kunjungan ke Bukittinggi awalnya dengan Wakil Presiden Mohammad Hatta untuk melerai persengketaan di Tapanuli. Dalam pendirian PDRI ini, Sjafruddin mengangkat diri sebagai Ketua PDRI sekaligus Menteri Pertahanan/Penerangan/Luar Negeri, seta Loekman Hakim sebagai Menteri Keuangan merangkap Menteri Kehakiman. Setelah hubungan dengan A.A. Maramis yang waktu Agresi Militer Kedua sedang berada di New Delhi, maka beliau diangkat sebagai Menteri Luar Negeri. Semasa ini, hubungan pemerintah PDRI dengan Jawa sama sekali terputus. Sjafruddin Prawiranegara tidak mengetahui, misalnya, bahwa Kabinet Hatta pada pagi hari sebelum serangan Belanga telah mengadakan rapat yang mengangkat beliau sebagai Presiden Pemerintahan Darurat Indonesia, serta A.A. Maramis sebagai Menteri Luar Negeri. Uang ORI Baru (ORIBA) tersebut hanya mendapatkan sirkulasi yang terbatas di Aceh dan kawasan66) Mohammad Iskandar, hlm. 56-59.
58
Keindonesiaan dalam Uang
kawasan tertentu Sumatera. Tetapi ORI tetap beredar dalam jumlah yang besar diseantero Indonesia, khususnya di wilayah Republiken yang setelah Agresi Militer Kedua telah berada di tangan Belanda. Mirip dengan reaksi terhadap Agresi MIliter Belanda Pertama, Agresi Belanda Kedua ini mengakibatkan penurunan lebih lanjut kepercayaan masyarakat terhadap ORI. Nilai tukar ORI turun drastis sampai f. 1 NICA = Rp. 500 ORI. Walaupun percetakan ORI di Jawa telah berhenti semenjak bulan Desember 1948, orang-orang yang masih setia dengan Republik tetap menggunakan mata uang tersebut. Adanya kepercayaan rakyat yang terus terhadap ORI membuat uang tersebut tetap berguna untuk pembelian beras dan kebutuhan lainnya di pedesaan. Akibat dari kepercayaan tersebut terjadi peningkatan nilai tukar terus menerus sehingga mencapai Rp 90 untuk tiap f. 1 NICA.67 Koran Belanda De Tijd menyalahkan spekulasi yang dilakukan oleh pengusaha Tionghoa sebagai penyebab gerakan ORI tersebut.68 Tidak adanya usaha percetakan ORI diluar ORIDA dan ORI Baru yang hanya terbit di Aceh, ketika Pemerintah RI balik ke Yogyakarta pada Juli 1949, persediaan ORI hanya cukup untuk beberapa bulan. Pada awal Juli 1949, Menteri Negara Koordinator Keamanan, Sultan Hamengkubuwono IX mengumumkan bahwa ORI merupakan alat pembayaran yang sah tetapi juga pengesahan daripada mata uang NICA yang telah beredar di Yogyakarta dengan kurs tukar pasar. Keputusan KMB dan penciptaan RIS berarti pengakuan posisi uang NICA sebagai uang resmi dari RIS dan sehingga merupakan akar daripada uang Rupiah yang dimiliki Indonesia pasca-Merdeka. Hilangnya posisi ORI dan sistem perbankan Republik menyebabkan usaha-usaha lain dalam hal penggalangan dana untuk keberlangsungan pemerintah. Pada April 1949, pemerintah mengeluarkan Obligasi Pinjaman Nasional sebesar Rp. 500 juta di Sumatera dan Rp. 500 juta di Jawa dengan bunga 4% dan jangka waktu maksimum 40 tahun.
Ekspansi Uang dan Inflasi Survei bulan Januari 1947 oleh pemerintah Republiken menunjukkan diskrepansi harga pasar dengan harga tetap pemerintah terjadi pada beragam bahan makanan berkisar antara 65% lebih tinggi untuk garam sampai 1.033% untuk beras yang merupakan harga diskrepan paling tinggi. Pada survey bulan Oktober 1948, terlihat peningkatan harga sebesar 445% 67) Oey Beng To, hlm. 85. 68) De Tijd, 8-2-1949.
Kondisi Perbankan & Kebijakan Fiskal Negara, 1945-1953
59
untuk gula pasir dan 2.700% untuk daging sapi dibandingkan dengan harga basis Januari 1947. Di kawasan Federal, terjadi pula kenaikan harga barang tetapi tidak setinggi yang terjadi di daerah Republiken. Hal ini disebabkan karena saluran perdagangan dari luar terbuka dengan baik, berbeda dengan wilayah Republiken yang diblokade oleh Belanda. Walau demikian, harga barang tetap meningkat relatif pesat. Di Jakarta, peningkatan harga-harga barang kebutuhan pokok pada Oktober 1947 menunjukkan kenaikan antara 300-500%. Salah satu alasan mengapa inflasi tetap tinggi adalah karena pembiayaan kegiatan pemerintah Federal tetap didominasi oleh deficit financing, seperti pula pemerintah Republiken. Ini artinya untuk uang yang dibutuhkan untuk administrasi dicetak. Karena belum pulihnya kondisi ekonomi di bagian Federal dan adanya perang melawan Republik Indonesia, pemerintah Federal melakukan pembiayaan defisit lewat pencetakan uang kertas, mengambil hutang dari De Javasche Bank, menerbitkan kertas perbendaharaan negara (treasury notes) serta surat hutang jangka pendek. Basis pajak negara masih terlalu lemah. Ekspansi uang Hindia Belanda pada tahun 1948 adalah f. 508, 8 juta dan 1949 f. 588,6 juta. Ini disebabkan karena meningkatnya pemberian kredit oleh DJB dan bank-bank swasta lainnya sebesar f. 489 dan f. 362 juta untuk masing-masing tahun, serta penerbitan uang oleh NICA sebesar f. 55,3 juta dan f. 101,2 juta. Karena kondisi masih tidak memungkinkan untuk investasi sektor produktif, maka sebagian besar uang tersebut untuk konsumsi dan sehingga menjadi faktor inflatoir. Inflasi juga diperparah karena neraca perdagangan defisit yang terjadi sepanjang periode revolusi ini. Ini juga diakibatkan karena ambruknya sektor produksi perekonomian, khususnya sektor-sektor tradisional seperti perkebunan dan tambang. Walaupun defisit turun dari puncaknya tahun 1947 sebesar 471 juta gulden menjadi 96 juta gulden pada tahun 1949, kenyataan akan defisit tersebut tetap mendorong keadaan inflasi tinggi pada periode tersebut. Rendahnya cadangan devisa berarti bahwa defisit tersebut harus dibiayai lewat pembiayaan impor dana bantuan pemerintah AS.69 Pemerintah Federal juga menarik hutang luar negeri dari bank-bank di Belanda, serta luar negeri termasuk kredit ekspor-import Amerika Serikat, Kredit Kanada dan Kredit Australia. Diluar hutang luar negeri, Pemerintah Federal juga mendapatkan bantuan dari Amerika Serikat lewat program Marshall Aid kepada negeri Belanda. Indonesia dianggap bagian dari protektorat negeri Belanda (dependent territory) yang menerima dana dalam 69) Sejarah Bank Indonesia Periode I: 1945-1959, hlm. 73-74.
60
Keindonesiaan dalam Uang
Foto 3.4. Sukarno bersama pedagang di Malioboro, Yogyakarta.
bentuk hibah langsung dan tidak langsung. Pada tahun 1948, Pemerintah Federal menerima dana sebesar 45 juta dolar hibah langsung. Pada tahun 1949, Pemerintah Federal mendapatkan hibah langsung sebesar 94,8 juta dolar dan tidak langsung sebesar 54,7 juta dolar. Keseluruhan hutang luar negeri Hindia Belanda pada akhir 1949 berjumlah f. 3.5 milyar tetapi sekitar kurang dari f. 2 milyar dihapus sebagai bagian dari kesepakatan KMB. Sementara itu terdapat hutang lancar yang berasal dari kredit DJB, surat hutang jangka pendek dan kertas perbendaharaan sebesar f. 2.5 milyar, sehingga total obligasi yang diturunkan kepada Republik Indonesia sejumlah f. 4.4 milyar atau $ 1.160 milyar atau dua kali rata-rata ekspor per tahun Indonesia sesudah perang, sebuah jumlah yang sangat besar untuk sebuah negara yang baru saja merdeka dan mengalami hampir satu dekade perang dan penurunan aktivitas ekonomi.70
85-86.
70) Oey Beng To, hlm. 25-26 & 39; Sejarah Bank Indonesia Periode I: 1945-1959, hlm.
Kondisi Perbankan & Kebijakan Fiskal Negara, 1945-1953
61
Jumlah
Uang kertas pemerintah (muntbiljet)
Hutang ke DJB
Surat Perbendaharaan (treasury notes)
Hutang Jangka Pendek lainnya
1938
27
-
3
21
3
1946
906
493
225
169
19
1947
1.673
807
657
187
22
1948
2.155
851
951
349
4
1949
2.861
978
1.352
529
2
Tahun (Akhir)
Tabel 3.4. Hutang Jangka Pendek Dalam Negeri Pemerintah Federal (dalam juta rupiah) Sumber: Laporan BI 1949-1950
Penghapusan Dualisme Moneter dan Pembentukan BI Sesuai keputusan KMB bulan Agustus-November 1949 di Belanda, De Javasche Bank mempertahankan posisinya sebagai Bank Sentral di Republik Indonesia Serikat. Alasan utama mengapa Belanda menginginkan agar posisi bank sentral dipertahankan oleh DJB dan bukan oleh BNI adalah karena kesepakatan bahwa hutang Hindia Belanda itu diturunkan kepada RI merdeka lewat RIS. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, hutang total Hindia Belanda setelah kesepakatan kredit DJB dipotong sebesar Rp. 2 milyar itu adalah sekitar $ 1,3 milyar. Mengikuti DJB Wet 1922, maka diasumsikan bahwa pengangkatan direktur DJB dan beragam keputusan DJB akan membutuhkan konsultasi dengan Belanda, mirip dengan zaman kolonial ketika keputusan Gubernur Jenderal juga harus mendapatkan persetujuan Den Haag. Tapi hal tersebut tidak akan terwujud karena ketika RIS dibubarkan dan Republik Indonesia dinyatakan sebagai negara kesatuan pada 17 Agustus 1950, kebijakan moneter Indonesia akan dijalankan independen dengan pendapat Belanda. Menurut Sumitro Djojohadikusumo, walaupun memang ada ketentuan untuk berkonsultasi dengan Belanda, pihak Republik menganggap bahwa konsultasi tersebut tidak bersifat mengikat dan sehingga keputusan Republik ini bersifat independen. Hubungan baru antara bank sentral dengan negara ini diwujudkan lewat pembentukkan Dewan Moneter
62
Keindonesiaan dalam Uang
yang terdiri atas pejabat keuangan pemerintah dan pejabat BI. Dewan ini merancang kebijakan keuangan Indonesia sebagai usaha untuk membentuk hubungan Pemerintah dan BI yang independen tetapi juga terintegrasi.71 Pertanyaan mengenai independensi BI itu merupakan sesuatu yang penting untuk ditentukan dan dirancang. Kecendrungan negara-negara baru merdeka adalah penggunaan kebijakan moneter yang sembrono guna mendukung program pemerintah lewat pencetakan uang. Hal ini sebenarnya yang mewarnai apa yang terjadi di Indonesia lewat kebijakan deficit spendingnya. Asumsinya adalah independensi BI dengan pemerintah itu akan membatasi kesempatan pemerintah untuk melakukan kebijakan moneter yang tidak bertanggung jawab. Walaupun sepanjang tahun 1950an, kebijakan BI itu tidak sepenuhnya berhasil untuk sepenuhnya menghadapi permasalahan inflasi, dihapusnya independensi BI pada tahun 1957 sebagai bagian dari perubahan-perubahan ketatanegaraan RI dibawah rejim Demokrasi Terpimpin Sukarno itu menyebabkan hilangnya fungsi BI sebagai pencegah kebijakan moneter sembrono dan tingkat inflasi semasa Demokrasi Terpimpin mengalami peningkatan yang sangat berbahaya untuk perekonomian Indonesia. Menurut Sjafruddin Prawiranegara, pemerintah hendaknya jangan diberi otoritas yang terlalu berlebihan atas BI dan sehingga tergoda untuk melakukan pencetakan uang yang tidak sehat dan bersifat inflatoir. Tetapi, kebijakan BI juga harus mampu untuk mencerminkan kebijaksanaan ekonomi dan moneter pemerintah. Singkatnya, BI bukan sebagai alat pemerintah, tetapi sebagai alat negara.72 Direktur Utama DJB adalah Dr. A. Houwink sementara kedua wakil direkturnya adalah F. Teunissen dan P. Spies. Teunissen dan Spies telah menjabat sebagai wakil direktur sejak tahun 1941 sebelum pendudukan Jepang. Menurut John O. Sutter “setelah pengakuan kedaulatan, De Javasche Bank, yang selama ini telah bertindak sebagai bank sirkulasi dan juga lembaga perbankan komersial yang utama dalam masa Belanda, tetap meneruskan fungsinya dalam negara federal yang baru. meskipun terdapat orang-orang Indonesia dalam dewan direkturnya, serta sejumlah besar orang-orang Indonesia dalam jajaran pimpinan cabang-cabang utamanya di Indonesia Bagian Timur, De Javasche Bank pada dasarnya masih dimiliki oleh Belanda dan didukung oleh staf perusahaan yang terdiri dari orangorang Belanda. Tidak hanya pada lapisan eksekutif puncak, posisi-posisi pimipnan di kantor pusat di Jakarta, praktis ditempati oleh personil Belanda, tetapi juga staf cabangnya juga terdiri dari orang-orang Belanda.”73 71) Dawam Rahardjo, hlm. 70-71. 72) Dawam Rahardjo, hlm. 88-90. 73) Dikutip oleh Dawam Rahardjo, hlm. 89.
Kondisi Perbankan & Kebijakan Fiskal Negara, 1945-1953
63
Kesadaran ini mendorong Kabinet Natsir untuk melakukan tindakan-tindakan mengkoreksi kondisi ini. Pada tanggal 30 April 1951, Menteri Keuangan Jusuf Wibisono mengumumkan kepada pers rencana pemerintah untuk menasionalisasi DJB. Dr. A. Houwink mengajukan pengunduran dirinya tidak lama setelah pengumuman tersebut karena merasa tidak mendapatkan kepercayaan lagi dari pemerintah RIS. Dr. A. Houwink turun pada 12 Juli dan diganti oleh Sjafruddin Foto 3.5. Prawiranegara sebagai Presdir Mr. Sjafruddin Prawiranegara. Sumber: DJB yang baru. Spies, salah satu Nationaal Archief/Rijksvoorlichtingsdienst (RVD) wakil direktur DJB, mendatangi Sjafruddin yang dianggap dari kalangan Belanda sebagai orang yang rasional, moderat dan memahami kondisi keuangan, untuk menggantikan Houwink. Posisi ini didukung oleh Direksi DJB dan Perdana Menteri Dr. Soekiman. Sjafruddin telah mengemukakan kekhawatirannya, yang juga dimiliki oleh beragam pihak lainnya, akan kesiapan pemerintah untuk melakukan nasionalisasi.74 “Tetapi bagaimana kalau Javasche Bank itu sudah dinasionalisasikan. Masih sanggupkah bank sirkulasi nasional yang baru itu bekerja sama baiknya seperti sekarang ini? Apakah tidak ada bahaya, bahwa kepada alat-alat pemerintahyagn tidak memenuhi syarat-syarat efisiensi ditambahkan lagi suatu alat yang juga tidak efisien? Padahal bank sirkulasi itu dalam kehidupan ekonomi negara yang modern, merupakan jantung negara. Kalau jantung itu lemah, negara pun akan menjadi lemah pula. Dengan bank sirkulasi yang lemah, maka kredietwaardigheid dari negara di mata luar negeri akan jatuh pula… Apakah tidak lebih tepat mengusahakan lebih dulu Indonesianisasi daripada pegawai-pegawainya, seperti sekarang sedang giat dilakukan, dan kemudian baru empersoalkan nasionalisasi?”75 Sjafruddin dalam tulisan yang sama sebenarnya mengkhawatirkan ambisi 74) Dawam Rahardjo, hlm. 103-108. 75) Ajip Rosidi, hlm. 272.
64
Keindonesiaan dalam Uang
Menteri Keuangan Jusuf Wibisono untuk memperkuat pemerintah terhadap kontrol instrumen moneter mengingat kecendrungannya dimasa Revolusi dulu untuk menjalankan ‘politik inflasi’. Pada tanggal 2 Juli 1951, Panitia Nasionalisasi De Javasche Bank dibentuk terdiri atas Ketua Moh. Sediono, Sekretaris Jenderal Kementerian Perekonomian, dan anggota Mr. Soetikno Slamet, Thesaurir Jenderal Kementerian Keuangan, Dr. R.M. Sumitro Djojohadikusumo, Komisaris Pemerintah dalam De Javasche Bank, T.R.B. Sabaruddin, Direktur Lembaga Alat-alat Pembayaran Luar Negeri, Drs. Oudt, Penasehat Umum Kementerian Keuangan dan Drs. Khouw Bian Tie, Penasehat Umum Kementerian Perekonomian. Sebelum nasionalisasi DJB, sudah mulai terdapat beberapa posisi tinggi yang mulai ditempati oleh orang-orang Indonesia. Mr. R.B. Gandasoebrata ditunjuk sebagai Pejabat Kepala Urusan Devisa pada April 1950. Mr. Loekman Hakim ditunjuk sebagai Komisaris Pemeirntah pada Juli 1950 dan Ir. RMT Sarsito Mangoenkoesoemo sebagai anggota Direksi.76 BNI yang pada masa revolusi merupakan bank sirkulasi dan bank sentral dari Republik Indonesia dijadikan bank umum atau bank devisa. Pemulihan kedudukan BNI ini ditandai dengan pindahnya ke gedung awalnya di Menteng Raya 23, Jakarta, ketika masih menjadi Yayasan Pusat Bank Indonesia. Proses pemakzulan BNI dari posisinya sebagai bank sentral ini diprotes keras oleh Sumitro Djojohadikusumo yang menyayangkan keputusan tersebut. Dalam tulisannya berjudulkan “Persoalan ekonomi di Indonesia” beliau mengatakan bahwa “Jauh daripada diberikan kekuatan dan modal tersendiri, badan yagn bersangkutan yang merupakan anak buah Pemerintahan nasional sendiri seolah-olah dalam riwayat semenjak penyerahan kedaulatan tidak saja tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah yang sepadan dengan tugasnya, malahan seakan-akan selalu menderita rintangan, gangguan dan kesukaran dari fihak resmi pemerintah nasional sendiri.”77 BNI tidak mendapatkan setoran modal dari pemerintah tapi mendapatkan kelongaran kredit dari DJB dengan bunga sebesar 3%. Sementara itu dualisme bank perkreditan rakyat antara AVB dan BRI itu juga harus diselesaikan. AVB yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1934 berfungsi memberikan kredit rakykat serta melakukan pengawasan lembaga perkreditan desa, terutama Bank Desa dan Lumbung Desa. Pada mulanya, pemerintah RIS menginginkan agar BRI menjadi satu-satunya bank perkreditan rakyat Indonesia. Tetapi yang terjadi adalah penggabungan AVB dan BRI pertama-tama dengan pengangkatan Direktur Utama BRI sebagai Direktur Utama AVB (BARRIS), 76) Oey Beng To, hlm. 245. 77) Oey Beng To, hlm. 100.
Kondisi Perbankan & Kebijakan Fiskal Negara, 1945-1953
65
serta penggantian nama AVB menjadi BRI pada Maret 1950.78 Pada bulan Juni 1950, BNI membuka unit luar negeri yang bertujuan melayani kebutuhan ekspor dan impor serta lalu lintas pembayaran luar negeri. Selain beragam kantor cabang didalam negeri, BNI juga membuka beberapa kantor cabang luar negeri di Singapura, Hong Kong dan Tokyo. Pada awal September 1950, pemerintah menetapkan BNI sebagai sebuah bank devisa. Pada pertengahan 1952, pemerintah menetapkan modal BNI sebesar Rp. 340 juta, terdiri atas Rp. 100 juta modal tetap dan Rp. 240 juta modal lancar. Tugas BNI sebagai bank devisa bertujuan membantu usaha importir dan eksportir perusahaan-perusahaan nasional baru yang tergabung dalam Sumitro Plan atau yang lebih terkenal disebut sebagai Program Banteng. Pada tanggal 3 Agustus 1951, pemerintah mengumumkan RUU nasionalisasi yang telah digodok oleh Panitia. Nasionalisasi dilakukan lewat pembelian saham oleh pemerintah. Saham yang dimiliki oleh orang asing dibayar dengan nilai 120% mata uang Gulden Belanda, sementara mereka yang berkewarganegaraan Indonesia menerima pembayaran dalam bentuk rupiah dengan kurs penukaran sebesar 360%. Apabila pemilik saham tidak setuju dengan harga dan kurs penukaran, maka bisa diajukan keberatan di pengadilan Indonesia untuk menentukan ganti rugi yang paling adil. Tetapi tampaknya sedikit dari kalangan pemilik saham yang menggunakan jalur ini. Aset DJB berupa gedung, barang inventaris dan persediaan emas ditaksir sebesar Rp. 1 milyar. Pada akhir tahun 1949, pimpinan De Javasche Bank dikepalai oleh Presiden Direktur Dr. A. Houwink dan didampingi dua direktur. Pada awalnya DJB menginginkan agar pimpinan Belanda dapat dipertahankan dalam periode transisi selama lima tahun. Pada tanggal 15 Desember 1951, dengan disahkan dan diundangkannya UU nasionalisasi tersebut, bank ini menjadi bank sirkulasi milik pemerintah. Gubernur Bank Sentral Indonesia pasca-nasionalisasi adalah Sjafruddin Prawiranegara, yang beberapa kali menjabat sebagai Menteri Keuangan pada masa-masa revolusi serta merupakan salah satu pendorong utama pengeluaran Oeang Republik Indonesia (ORI). Pada saat itu, Mr. Sjafruddin sudah menjabat sebagai Presdir. De Javasche Bank, sehingga proses transisi itu dalam hal tertentu bersifat simbolis. Selain Sjafruddin Prawiranegara sebagai gubernur, terdapat empat direktur utama, yaitu Mr. Loekman Hakim, Mr. Indra Kasoeman, Ir. Darmawan Mangoenkoesoemo dan T.R.B. Sabarudin. Gubernur and direksi BI pertama ini yang diangkat pada tahun 1953 akan mempertahankan pekerjaan mereka sampai April 1958, ketika 78) Sejarah Bank Indonesia Periode I: 1945-1949, hlm. 161.
66
Keindonesiaan dalam Uang
Sjafruddin Prawiranegara ikut dalam pemberontakan PRRI dan jabatan Gubernur diganti oleh Mr. Loekman Hakim. Di jajaran Dewan Komisaris terdapat Presiden Komisaris, Mr. Soetikno Slamet, dua anggota Komisaris Belanda, H.J.L. Franken dan D. Iken, serta Niti Soemantri dan R. Ng. S. Sosrohadikoesoemo sebagai anggota dari Indonesia. semua direktur muda pada waktu itu dijabat oleh orang-orang Belanda yaitu Mr. F.L. Parmentier, L. Swaan dan P.E. Wieman.79 Nasionalisasi DJB dilaksanakan lewat pembelian saham pemilik secara sukarela yang diperdagangkan di Bursa Efek Amsterdam. Cara ini yang diinginkan oleh Pemerintah Belanda dengan harapan bahwa semua saham nasional dan internasional dapat dimiliki oleh pemerintah dengan penuh kepastian hukum. Pada Juli 1951, Pemerintah mengirim dua pejabat, M. Saubari dan Khowu Bian Tie, ke Belanda dalam rangka pembelian saham tersebut. Kedua perwakilan itu berhasil meyakinkan Menteri Keuangan Belanda, A. Lieftinck, serta Perkumpulan Pedagang Efek Bursa Saham Amsterdam bahwa pemerintah akan membayar dengan harga yang wajar. Untuk menghindari spekulasi, perdagangan saham DJB ditangguhkan. Jangka waktu penawaran penjualan saham ditetapkan sampai pertengahan Oktober 1951, walaupun tetap ada yang menjual saham mereka setelah tanggal itu karena keadaan yang tidak memungkinkan. Dalam waktu dua bulan Pemerintah RI membeli sebagian besar saham-saham dengan niai nominal f. 8,95 juta. UU Pokok Bank Indonesia 1953 (UUPBI) dikeluarkan Parlemen pada awal Juni 1953 di Lembaran Negara dan berlaku tanggal 1 Juli 1951.80 Walaupun ada pandangan negatif karena Bank Sentral Indonesia itu akarnya dari DJB, Sjafruddin Prawiranegara mendukungnya dan mengatakan bahwa “jika kita dapat menilai dan menghargai bank yang lama itu sebagaimana mestinya, bukan dengan perasaan benci atau sangsi, melainkan dengan pikiran dan perasaan tenang dan bersih, sebagaimana kita menghadapi orang yang meninggalkan dunia yang fana ini dan dengan demikian bersedia menerima segala apa yang baik yang ada pada bank yang lama itu, maka mungkin Bank Indonesia akan menempuh sejarah yang lebih lama dan lebih jaya lagi daripada De Javasche Bank.”81 Perubahan dari DJB ke BI juga mengakibatkan perubahan-perubahan penting dalam hal fungsi karena sebagai bank sentral negara Indonesia baru, BI harus meninggalkan kegiatan komersil yang selama ini disediakan 79) Dawam Rahardjo, hlm. 90-91. 80) Oey Beng To, hlm. 248-249. 81) Oey Beng To, hlm. 251.
Kondisi Perbankan & Kebijakan Fiskal Negara, 1945-1953
67
oleh DJB sebagai sebuah bank swasta. Selain itu, Sjafruddin juga mendorong agar posisi BI itu adalah independen dan otonom dari pemerintah guna menghindari konflik kepentingan yang dikhawatirkan dapat membahayakan kesehatan ekonomi secara keseluruhan. Namun hasil UU no. 11/1953 dikhawatirkan tidak memberikan otonomi yang cukup karena keharusan Gubernur untuk berunding dengan Dewan Moneter untuk penerbitan Laporan Tahunan Bank. Ia juga mendukung agar BI dapat pula menyediakan kredit kepada masyarakat dan tidak semata berfungsi sebagai bank sirkulasi. Alasan yang dikemukakan oleh Sjafruddin adalah bahwa ketiadaan pasar uang dan pasar modal serta keterbatasan kemampuan sistem perbankan, yang didominasi oleh bank-bank pemerintah macam BNI, BIN dan BRI, untuk memenuhi pasar kredit yang sedang tumbuh, khususnya pada tahun 1951 ketika terjadi dorongan permintaan ekspor besar akibat daripada Perang Korea. Selain urusan tersebut, BI juga mendapatkan tugas untuk pengawasan kredit kuantitatif dan kualitatif. 82 Bank Indonesia didirikan lewat Undang-undang no. 11/1953 dengan tiga fungsi utama; yaitu fungsi tradisional dengan kebijakan moneter, kebijakan perbankan dan bertugas menjaga kelancaran lalu lintas pembayaran. Bank Indonesia adalah kelanjutan daripada DJB (De Javasche Bank). Hukum perdata dan hukum dagang Eropa masih berlaku untuk Bank Indonesia. Selain kantor pusat di Jakarta, BI memiliki 15 kantor cabang; 8 terdapat di Jawa, 3 di Sumara, 2 di Sulawesi dan 2 di Kalimantan. Diluar negeri BI memiliki satu kantor perwakilan di New York dan cabang tambahan (bijbank) di Amsterdam. Semua kantor-kantor pusat dan cabang ini merupakan kantor lama de Javasche Bank kecuali dengan kantor-kantor di wilayah Republiken seperti Yogyakarta, dimana untuk sementara waktu pada masa sebelum Agresi Militer Belanda II, kantor tersebut berfungsi sebagai kantor pusat BNI 1946.83
Pembentukkan Sistem Keuangan Tunggal (1950—1953) Periode ini melihat proses penghapusan dualisme sistem keuangan dan moneter Indonesia sebagai akibat daripada penciptaan Republik Indonesia Serikat (RIS) dan perubahannya menjadi Republik Indonesia pada 17 Januari 1950. Kondisi yang dihadapi oleh negara baru itu pada akhir 1949 itu tidak begitu menggembirakan. Seperti yang terlihat diatas, neraca keuangan negara Indonesia mengalami defisit sebesar 94 juta dan terjadi defisit 82) Oey Beng To, hlm. 255-256. 83) Oey Beng To, hlm. 260.
68
Keindonesiaan dalam Uang
sepanjang masa-masa Revolusi. Cadangan devisa mengalami penurunan sampai hanya sepertiga dibandingkan pada tahun 1945. Defisit anggaran belanja pemerintah Federal mencapai f. 1.3 milyar gulden sementara jumlah uang yang beredar didaerah pendudukan adalah sebesar 3.5 milyar gulden, yaitu kenaikan sebesar 3 kali lipat dibandingkan tahun 1946. Kenaikan sirkulasi ORI lebih dramatis lagi, yaitu sebesar Rp. 6 milyar atau peningkatan sebesar hampir 19 kali lipat sejak penerbitannya pada akhir tahun 1946.84 Keadaan masalah moneter pada awal RIS dibawah pemerintahan Perdana Menteri Mohammad Hatta memang mengkhawatirkan akibat dari rendahnya produktivitas, kelangkaan devisa, tidak tercukupnya ketersediaan barang-barang konsumssi dan inflasi yang terus tinggi. Pada Maret 1950, diputuskan tiga kebijakan yang bertujuan untuk membantu menyelesaikan masalah tersebut, yaitu sistem sertifikasi devisa, gunting sjafruddin dan penyeragaman mata uang yang ada. Sistem sertifikasi devisa merupakan pemberlakuan dari kurs berganda (multiple exchange rates) yang bertujan untuk merangsang ekspor guna meredakan inflasi, memperbaiki kondisi neraca perdagangan serta menutupi defisit anggaran pemerintah.85 Dalam sistem devisa ini, terdapat lima golongan barang impor dengan lima kurs yang berbeda. Sistem ini akan tetap berlaku sampai 1968 ketika Orde Baru menerapkan sistem kurs tunggal. Obligasi Darurat 1950 juga dikeluarkan dalam usaha menutup defisit anggaran sejumlah Rp. 1,5 milyar dengan bunga 3% dan jangka waktu 40 tahun. Walau begitu, defisit financing lewat kredit DJB tetap melaju kencang pada tahun-tahun, meningkat dari Rp. 1,3 milyar rupiah di tahun 1949 menjadi Rp. 5,2 milyar pada tahun 1953. Pada periode ini, bantuan luar negeri juga dilanjutkan dalam konteks Marshall Plan yang telah berubah nama menjadi skema ECA Counterpart Funds. Bantuan ECA kepada Indonesia termasuk kredit ekspor-impor sebesar $ 100 juta. Sementara itu Indonesia juga mendapatkan kredit dari Jepang sebesar Rp. 684 juta pada akhir 1953. Menggunakan tahun 1938 sebagai basis keuangan ideal, maka pemerintah menargetkan mengurangi peredaran uang sehingga sebesar Rp. 2.5 milyar. Pada tahun 1950, jumlah total uang rupiah adalah sebesar Rp. 3,9 milyar. Melalui surat keputusan Menteri Keuangan, Mr. Sjafruddin Prawiranegara, maka pemerintah mengurangi sampai setengah dari uang yang beredar lewat penghapusan legal tender dari beberapa uang terbitan DJB dan Pemerintah Federal. Uang-uang yang tidak berlaku itu harus dipotong jadi dua. Bagian kanan ditukarkan dalam bentuk Obligasi Republik Indonesia yang terbit pada tahun 1950 dengan bunga 3%, sementara bagian 84) Sejarah Bank Indonesia Periode I: 1949-1959, hlm. 93-94. 85) Oey Beng To, hlm. 197-199.
Kondisi Perbankan & Kebijakan Fiskal Negara, 1945-1953
69
kiri masih berlaku tetapi dengan nilai nominal hanya setengah dari harga tertera. Ini dikenal dengan sebutan ‘gunting Sjafruddin’ dan hasilnya adalah pengurangan peredaran uang sebesar 1.6 milyar rupiah, sehingga ekspansi peredaran dikurangi dengan peningkatan uang dibawah 20% pada tahun 1950.86 Selain itu, langkah pengurangan uang juga dilakukan lewat penyederhanaan jenis mata uang yang beredar. Pada 1 Januari 1950, Menteri Keuangan mengumumkan bahwa hanya ada satu jenis uang RIS yang berlaku sebagai alat pembayaran yang sah. Pada 19 Maret, pemerintah melakukan penarikan uang ORI dan ORIDA dan menggantinya dengan mata uang RIS dan DJB. Antara 27 Maret sampai 1 Juni 1950 ORI dan ORIDA diperbolehkan untuk ditukarkan dengan uang terbitan DJB. Penukaran tersebut maksimal Rp. 50 per individu, sementara sisa ORI dan ORIDA harus disetorkan ke BNI. Kurs penukaran RIS dengan ORI adalah f. 1 RIS = Rp. 125 ORI, sementara kurs ORIDA disesuaikan dengan kondisi tiap mata uang. Selain itu, untuk membiayai kegiatan pemerintah RIS, cadangan rasio emas diturunkan dari 40% menjadi 20% pada Januari 1950.87 Terjadinya surplus neraca pembayaran akibat dari meningkatnya ekspor mengikuti boom Perang Korea pada tahun 1950-1951 itu disertai dengan peningkatan pemberian kredit perbankan kepada perkebunan, perindustrian dan usaha ekspor. Walaupun Gunting Sjafruddin mengurangi peredaran uang secara signifikan sebesar 1.6 milyar rupiah, hal tersebut tampaknya hanya bersifat sementara. Ekspansi uang pada tahun 1950 sebesar 712 juta rupiah (19.8%), tetapi posisi uang beredar mencapai 3.982 milyar dan melewati posisi akhir Februari sebesar 3.954 milyar, sebelum Gunting Sjafruddin. Kenaikan peredaran uang antara 1949 sampai akhir 1950 itu adalah 160% dan merupakan salah satu yang paling tinggi di Asia. Pada tahun 1952, kredit perbankan meloncat pertumbuhannya dengan pemberian kredit sebesar 1.47 milyar rupiah dan hanya dapat diredam akibat tindakan pengencangan pengeluaran pemerintah sebessar 1.3 milyar. Pada tahun 1951, ekspansi uang adalah sebesar 16.8% dan sehingga tingkat inflasi membaik sedikit dibandingkan tahun 1950.88 Dengan berakhirnya boom Korea pada tahun 1952, terjadi defisit neraca pembayaran sebesar 154 juta rupiah. Melonjaknya ekspor pada masa boom Korea ini menciptakan sebuah kondisi yang sekarang disebut sebagai ‘Dutch disease’, dimana terjadi lonjakan impor disertai kenaikan upah buruh 86) Sejarah Bank Indonesia Periode I: 1949-1959, hlm. 96-97. 87) Oey Beng To, hlm. 145. 88) Oey Beng To, hlm. 146-147.
70
Keindonesiaan dalam Uang
dan harga domestik yang malah menurunkan daya beli ekspor.89 Kenaikan upah buruh juga diakibatkan karena kuatnya organisasi buruh Indonesia pasca merdeka, tetapi dibarengi dengan pendurunan produktivitas. Permasalahan utama adalah ketiadaan ekspansi sektor produksi sehingga semua impor terjadi pada barang konsumsi bukan barang modal. Akibat dari ini adalah kolapsnya pendapatan serta inflasi yang mengerikan pada masa boom Korea, bahkan mencapai 73% pada tahun 1951. Pada tahun 1953 terjadi surplus neraca perdagangan sebesar 759 juta rupiah, tetapi karena adanya defisit neraca jasa yang signifikan tetap terjadi defisit dalam total neraca pembayaran. Defisit dua tahunan ini menurunkan cadangan devisa. Ekspansi peredaran uang di tahun 1952 adalah 31.2% dan 1953 adalah 13.4%, sehingga ketika Bank Indonesia didirikan, kondisi inflasi Indonesia ada pada situasi paling baik selama 5 tahun terakhir ini.
Akhir tahun
Indeks harga 19 jenis bahan makanan (Juni 1938=100)
Laju inflasi per tahun
1949
1300
-
1950
1693
+33%
1951
2936
+73%
1952
2644
-10%
1953
2934
+11%
Tabel 3.5. Tabel Indeks harga 19 jenis bahan makanan dan laju inflasi tahun 1949-1953 Penerimaan ekspor pada tahun 1950 terjadi peningkatan hampir dua kali lipat menjadi 3 milyar rupiah. Surplus juga dibantu akibat dari lemahnya impor disebabkan lambannya pemulihan sektor-sektor produksi Indonesia. Pada tahun 1949, Indonesia mengalami defisit perdagangan sebesar minus 96 juta rupiah, tetapi melonjak menjadi surplus sebesar 1.3 milyar rupiah di tahun 1950. Surplus ini lanjut pada tahun 1951 sebesar 4.7 milyar rupiah jika dihitung berdasarkan nilai tukar rupiah yang didevaluasi. Pada tahun 1952, terjadi defisit sebesar 154 juta rupiah sebagai akibat dari berhentinya boom Korea tetapi pada tahun 1953, perdagangan mengalami surplus lagi sebesar 754 juta rupiah. Bahkan pada tahun 1954, terjadi kenaikan surplus menjadi 2.5 milyar rupiah. Walaupun terjadi surplus perdagangan, di banyak ukuran terdapat kemuncuran yang mengecewakan untuk tahun 89) Widigdo Sukarman, hlm. 52.
Kondisi Perbankan & Kebijakan Fiskal Negara, 1945-1953
71
1953. Cadangan emas dan devisa, sebagai contoh, mengalami kontraksi dibandingkan dengan tawal tahun 1950. Anggaran belanja negara tetap defisit dan volume uang tetap meningkat sehingga inflasi tetap melaju. 90 Defisit anggaran pemerintah untuk tahun 1950 merupakan defisit yang paling besar dalam sejarah Hindia Belanda/Indonesia sejumlah lebih dari Rp. 2 milyar. Defisit tersebut ditutupi dengan beragam sumber, yang paling utama adalah pinjaman kredit DJB/BI sebesar kurang lebih Rp. 8 milyar sepanjang tahun 1950-1953. Surat perbendaharaan pemerintah (treasury notes) mendatangkan sekitar Rp. 2,5 milyar pada tahun 1952-1953 dan Obligasi RI 1950 menambahkan Rp. 1,5 milyar. Terdapat pemasukan yang juga lumayan besar dari pemberlakuan sertifikat devisa. Akibat dari Boom Korea, terjadi peningkatan ekspor yang pada periode 1950 sampai dengan pertengahan 1951 dan hal ini tampak dalam posisi cadangan devisa Indonesia. Selama periode boom Korea, terdapat penambahan devisa sebesar $ 230 juta (Rp. 2.6 milyar kurs setelah devaluasi 1952), tetapi cadangan tersebut menurun sebanyak $ 303 juta (Rp. 3,4 milyar). Guna mengerem penurunan devisa, pemerintah mengeluarkan aturan Tambahan Pembayaran Impor (TPI) pada Agustus 1952 tetapi hal ini tidak begitu mempengaruhi volume impor karena TPI tidak berlaku untuk golongan A, golongan impor yang paling banyak. Krisis devisa akibat dari kegagalan pemerintah mengontrol impor ataupun memajak ekspor ketika periode boom Korea ini melemahkan posisi moneter Indonesia pasca-merdeka. Ini memiliki akibat yang panjang karena kondisi keuangan yang stabil sulit sekali dicapai pada tahun 1950an dan 1960an. Bahkan peningkatan inflasi pada tahun 1952 adalah sebesar 71% dan ini diakibatkan karena masuknya likuiditas ke ekonomi Indonesia akibat ekspor atau disebut inflasi ekspor. Jika pemerintah berhasil untuk memajak atau menyalurkannya ke investasi produktif akan membantu untuk mengurangi inflasi, tetapi kegagalan ini ditambah pula dengan ekspansi kredit swasta yang tumbuh pesat dari Rp. 266 juta pada tahun 1950 mencapai Rp. 2,4 milyar pada tahun 1953.91 Usaha menyeragamkan sistem moneter Indonesia dibarengi dengan penghapusan ORI dan beragam uang daerah sesuai dengan maklumat Menteri Keuangan tertanda 1 Januari 1950 yang menyatkan bahwa alat pembayaran yang sah merupakan uang Federal (NICA). Pada Maret 1950, ORI dan mata uang sejensinya ditarik dari peredaran dan rakyat diberi waktu sampai Juni 1950 untuk ditukar lewat DJB. Kurs penukaran itu beragam dari Rp. 125 ORI untuk f.1, Rp. 1,75 URIBA, Rp. 125 ORIPS, Rp. 350 URITA 90) Oey Beng To, hlm. 164-165. 91) Oey Beng To, hlm. 150-151 & 171-175; Sejarah Bank Indonesia Periode I: 1949-1959, hlm. 99-100.
72
Keindonesiaan dalam Uang
dan Rp. 450 URISU. Untuk URIDAB dan uang mandate Dewan Pertahanan Daerah Sumatera Selatan tidak ditukarkan melainkan dihapus begitu saja. ORI di Sumatera berlaku sampai 31 Mei 1950. Uang ORI diperkirakan dapat ditukarkan sejumlah f. 60 juta. Ini karena penetapan harga tukar yang sangat rendah dibarengi dengan ketentuan Menteri Keuangan yang hanya membatasi penukaran maksimal f. 50 dan selebihnya diwajibkan disetor di BNI. Dengan penghapusan ORI dan beragam uang daerah, maka Republik telah menyelesaikan unifikasi mata uang Indonesia. Pada pertengahan tahun 1950, seri uang kertas baru DJB menjadi uang tunggal untuk seluruh negeri.92 Dalam kondisi revolusi dan perang, keberadaan dualisme pemerintahan di Indonesia menyebabkan penciptaan beragam mata uang dan dua bank sentral. Ketika Indonesia mendapatkan pengakuan kedaulatan, baik ORI maupun BNI itu kehilangan posisi sentralnya dan Republik Indonesia melanjutkan alat dan lembaga moneter ‘kolonial.’ Alasan utama dari ini ada pada kegagalan baik ORI maupun BNI untuk menjadi alat kebijakan moneter yang efektif. ORI tidak mampu mempertahankan nilai kursnya dan tersapu dari inflasi dan serangan Belanda. BNI tidak pernah berfungsi sebagai Bank Sentral dan wilayah Republik malah mengalami desentralisasi kebijakan moneter dengan pemberlakuan ORIDA. Desentralisasi tersebut menyebabkan terjadinya fragmentasi manajemen fiskal Republik Indonesia dimana beragam wilayah, kota maupun kabupaten menerapkan kebijakan fiskal dan keuangan masing-masing serta menerbitkan pula uang lokalnya. Dalam hal ini, kebijakan deficit financing lewat mencetak uang telah merambah ke pemerintahan lokal sekalipun dan sehingga menyebabkan kecendrungan pelembagaan kebijakan inflasi, bahkan sampai pada masa kini sekalipun. Sifat pragmatis dari pengambil kebijakan seperti Sjafruddin Prawiranegara merupakan warisan daripada periode Revolusi yang menjadi ciri khas ahli kebijakan moneter dan ekonomi Indonesia di abad ke-20.
92) Oey Beng To, hlm. 145.
Kondisi Perbankan & Kebijakan Fiskal Negara, 1945-1953
73
Margono Joyohadikusumo, Pendiri BNI dan pemimpin BNI pertama. Sumber: Album Perjuangan Kemerdekaan 1945-1950: Dari Negara Kesatuan ke Negara Kesatuan, (Jakarta: Badan Pimpinan Harian Pusat Korps Cacad Veteran RI dan Badan Penerbit ALDA, 1975), hlm. 81.
BAB IV ASPEK NUMISMATIK UANG: ORI, UANG RIS, DAN SERI PEMANDANGAN ALAM
Oeang Perdjoeangan: Sumbangan ORI bagi Indonesia Sebagai bagian dari karya rancang grafis, uang kertas terdiri atas beragam perwujudan rupa, seperti teks dan gambar yang dipadukan dengan bahasa gambar, dimana seseorang dapat menafsirkannya berdasarkan tanda dan makna yang bersifat universal. Di dalam sebuah pecahan uang terkandung berbagai elemen rupa, baik itu berupa garis, warna, bentuk, huruf, dan komposisi, yang berfungsi sebagai perantara untuk menyampaikan sebuah gagasan maupun ideologi. Selain fungsi ekonomi, uang dapat pula digunakan sebagai media untuk mengekspresikan kepentingan politik dan sosial yang tertuang dalam sebuah karya artistik.1 Tidak bisa dipungkiri, di samping berfungsi sebagai alat pembayaran yang sah, uang juga menjadi alat perjuangan bangsa Indonesia, terutama dalam bidang ekonomi dan politik. Dalam hal ini, ORI merupakan representasi dari kemerdekaan dan kedaulatannya bangsa Indonesia, sebagai negara bangsa yang baru membebaskan diri dari penjajahan, terlebih lagi pada saat itu beredar pula berbagai jenis mata uang termasuk uang merah—NICA. 1) Janet Wolff, The Social Production of Art. (New York: New York University Press, 1993), hlm. 63
Kemunculan ORI, yang untuk kali pertama dicetak dan dipergunakan pada masa revolusi, tidak dapat dipisahkan dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Mata uang—dan dalam hal ini adalah ORI—menjadi media propaganda yang penting dalam melawan uang asing, sekaligus media paling efektif untuk mempromosikan kekayaan Indonesia. Melalui ORI, masyarakat dapat dengan mudah mengekspresikan kebanggaan mereka terhadap Indonesia yang saat itu baru saja berdiri. ORI juga menjadi simbol perwujudan nyata bahwa Indonesia merupakan negara berdaulat. Dalam pidatonya pada 29 Oktober 1946, wakil presiden Mohammad Hatta mengungkapkan bahwa uang sendiri merupakan tanda kemerdekaan suatu negara. Dengan beredarnya ORI, maka pemerintah Republik Indonesia bermaksud untuk meletakkan dasar kemakmuran hidup bagi seluruh rakyatnya. Salah satu langkah yang diinisiasi pemerintah Republik adalah dengan politik perbaikan upah dan perbaikan harga barang-barang penghasilan dari sektor pertanian. “Dengan beredarnja oeang Repoeblik, lenjaplah masa penderitaan, bermoelalah masa baroe jang akan memberikan tjahaja banjak sedikitnja kepada penghidoepan. Soenggoehpoen barang-barang penghidoepan masih soekar didapat, istimewa barang pakaian, gadji dan pendapatan jang diterima dengan roepiah Repoeblik, adalah tjoekoep oentoek menghadapi harga bahan makanan. Asal sadja rakjat kita tjoekoep mempoenjai disiplin dan rasa solidariteit, tidak teroetama mentjari keoentoengan diri sendiri, pengeloearan oeang Repoeblik ini mendjamin penghidoepan jang bebas dari penderitaan.”2 Sebelum pidato Hatta tersebut, C.C.O. AMACAB (Allied Military Administration-Civil Affairs Branch) untuk wilayah Jawa dan Sumatera dan dan Pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan instruksi pada 28 Oktober 1946, yang menetapkan batas akhir penukaran uang kertas Jepang hanya bisa dilakukan maksimal hingga 31 Oktober 1946. Penukaran tidak akan dilayani bila melewati batas waktu yang ditentukan.3 Penerbitan ORI membuat seluruh jenis uang yang beredar sebelum dikeluarkan sebelumnya, dinyatakan tidak berlaku lagi sebagai alat pembayaran yang sah, khususnya di Jawa dan Madura. ORI baru ini mula-mula akan disalurkan kepada para pegawai dalam bentuk gaji. Pemerintah juga akan membeli barang-barang dari rakyatnya, seperti 2) “Keloearnja Oeang Repoeblik Hari Bersedjarah: Pidato Wakil Presiden pada Tanggal 29 Oktober,” Merdeka, 31 Oktober 1946. 3) “Oewang Djepang Tida Lakoe Lagi Moelai dari 31 October,” Sin Po, 25 Oktober 1946.
76
Keindonesiaan dalam Uang
padi misalnya, dengan uang baru tersebut. Beberapa hari sebelum ORI dikeluarkan, Kementerian Kemakmuran telah menetapkan patokan harga barang kebutuhan sehari-hari sebagai pedoman bagi masyarakat. Cara lain yang dilakukan guna mensosialisasikan ORI kepada masyarakat adalah menyebarkan pamflet-pamflet melalui udara. Pamflet tersebut ditulis dalam Bahasa Indonesia dan bahasa daerah, dan berisi informasi seputar ORI.4 Namun bagi beberapa kalangan, terutama para pedagang, batas penukaran uang tersebut terasa terlalu pendek. Di samping itu, penyebaran informasi pun dirasa kurang merata. Akibatnya, di beberapa tempat terjadi kekalutan karena hal tersebut. Banyak orang Indonesia datang ke pasar dan membawa uang Jepang untuk berbelanja, namun ujung-ujungnya tidak dapat menggunakan uang tersebut karena jarang pedagang yang mau menerima. Sekalinya ada yang berkenan menerima, uang Jepang tersebut dihargai dengan kurs yang sangat rendah. Lantaran kejadian tersebut, uang NICA pun menjadi sangat dicari. Dalam beberapa kejadian ada orang yang rela menukarkan 150 Rupiah uang Jepangnya dengan 1 Rupiah uang NICA. Harga-harga pangan pun meningkat drastis. Harga beras dibandrol 150 rupiah uang Jepang per liternya. Begitu juga dengan harga roti yang harganya melonjak tinggi di pasar gelap. Namun bila masyarakat berkenan membayar dengan uang NICA, maka harga yang ditawarkan pedagang tidak terlalu tinggi.5 Segera setelah dicetak, cetakan ORI ini kemudian dikirim ke seluruh Jawa dan Madura dengan kereta api. Pengawalan ketat pun dilakukan agar ORI ini tidak dirampok di tengah jalan, mengingat ORI hanya dibungkus di dalam keranjang-keranjang bekas secara darurat.6 Namun dikarenakan sarana dan prasarana yang kurang memadai, ditambah dengan keterbatasan tenaga profesional di bidang moneter-perbankan, membuat proses distribusi ORI menjadi terhambat. Di samping itu, muncul juga tekanan dari pihak Belanda yang berusaha mengacaukan sistem perekonomian Indonesia dengan memalsukan ORI pecahan besar dan mengedarkan uang NICA (uang merah) ke wilayah Indonesia. Sejatinya pencetakan Uang NICA ini merupakan pelanggaran terhadap regulasi Undang-Undang De Javasche Bank (De Javasche Bankwet) 1922 yang menjelaskan bahwa De Javasche Bank merupakan pemilik hak tunggal sebagai bank sirkulasi di Hindia Belanda yang berhak mengeluarkan dan mengedarkan uang di wilayah Hindia Belanda. Terkait dengan Uang NICA, 4) “Oeang Repoeblik Melaloei Para Pegawai,” Berita Indonesia, 25 Oktober 1946. 5) “Kekaloetan Oewang,” Sin Po, 28 Oktober 1946. 6) Oey Beng To, Sejarah Kebijakan Moneter Indonesia, Jilid I (1945-1948). (Jakarta: Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia, 1991), hlm. 78.
Aspek Numismatik Uang
77
uang tersebut dicetak oleh American Banknote Company atas pesanan dari pemerintah Kerajaan Belanda). Uang NICA ini mulai diedarkan setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu.7 Uang NICA ini terdiri dari sembilan pecahan. Untuk pecahan 50 sen, 1 gulden dan 2,5 gulden memiliki ukuran 126x73 mm, sedangkan untuk pecahan 5 gulden, 10 gulden, 25 gulden, 50 gulden, 100 gulden, dan 500 gulden berukuran lebih besar, yakni 153x73 mm. Seluruh pecahan ini bergambar Ratu Wilhelmina dan memiliki pengaman berupa titik-titik berwarna yang tersebar pada seluruh bagian kertasnya. Titik-titik ini memiliki berbagai macam warna, mulai dari merah muda, coklat, hingga biru dan akan hilang bila dicuci atau terkena cairan kimia. Dari segi nomor pengaman, uang NICA pada umumnya diawali dengan dua huruf dan diikuti dengan enam angka dan satu huruf. Namun khusus untuk pecahan 25 gulden, 50 gulden, dan 100 gulden, umumnya juga diawali dengan dua huruf dan diikuti dengan lima angka dan satu huruf. Khusus untuk pecahan 500 gulden, pecahan ini hanya memiliki dua huruf dan empat angka saja. Menariknya, sekalipun kerap dijuluki sebagai “uang merah”, dari kesembilan pecahan tersebut hanya pecahan 10 gulden sajalah yang berwarna merah. Fakta di lapangan bahwa beredar begitu banyak uang pecahan 10 gulden di daerah Sekutu dan Republik membuat penduduk Indonesia familiar dengan uang pecahan tersebut. Sementara untuk ORI, masyarakat Indonesia kerap menyebutnya dengan sebutan “uang putih.” Hal ini tidak lain karena warna dari beberapa ORI yang kerap didominasi dengan warna putih kekuning-kuningan. Terkait dengan nilai tukar ORI, pemerintah Republik Indonesia telah menetapkan sedari awal seperti yang tercantum dalam Pasal 1, OendangOendang Tentang Pengeloearan Oeang Repoeblik Indonesia bahwa 10 ORI sama dengan emas murni seberat 5 gram. Sementara bila dibandingkan dengan uang Jepang, maka 1 ORI setara dengan 50 rupiah uang Jepang. Sementara di daerah-daerah di luar wilayah Jawa dan Madura, 1 ORI setara dengan 100 rupiah uang Jepang. Namun Menteri Keuangan berhak mengubah dasar penukaran tersebut bila dianggap perlu. Di beberapa tempat di Jawa dan Sumatera, perbandingan nilai tukar ORI dengan uang NICA mencapai 1: 100.8 Segera setelah pengumuman tersebut, ORI dibagi-bagikan kepada para penduduk. Tiap-tiap kepala menerima Rp. 1.03 dengan cuma-cuma. Di desa-desa, pembagian uang dilakukan oleh para kepala desa, sedangkan 7) Mohammad Iskandar, “Oeang Repoeblik” dalam Kancah Revolusi.” Jurnal Sejarah Vol. 6. No. 1, (Agustus 2004), hlm. 44. 8) “Oendang-Oendang Tentang Pengeloearan Oeang Repoeblik Indonesia,” Kedaulatan Rakjat, 26 Oktober 1946.
78
Keindonesiaan dalam Uang
Gambar 4.1. Uang NICA pecahan 10 Gulden yang kerap dijuluki sebagai “uang merah.” Uang ini dicetak oleh American Bank Company dan memiliki fitur pengaman yang rumit. Salah satunya adalah titik-titik acak yang menbuat uang ini sulit dipalsukan.
untuk anggota tentara dilakukan oleh kepala divisinya masing-masing.9 Dikeluarkannya ORI menimbulkan kegembiraan dan kebanggaan di kalangan penduduk Indonesia. Berita Indonesia melaporkan euforia yang menyelimuti mereka. “Semoeanja ingin melihat dan mempoenjai oeang kita, orang Repoeblik.” Disebutkan bagaimana kusir delman dengan senyum merekah menerima 50 sen ORI untuk jarak Gambir-Manggarai. Pedagang es yang biasa menjual es sirupnya seharga 25 sen NICA atau 10 rupiah Jepang, kini dengan wajah berseri sudi menerima 2 sen ORI. Begitu juga dengan Amat si penjual rokok yang dengan gembira berseru: “Boeng, rokok Zipper 20 sen Republik! Kalau oeangnja sekarang beloem ada, bajar besok boeng!” Singkat kata, ORI dianggap menghidupkan kondisi perekonomian dan perpolitikan saat itu.10 Dengan 1 sen ORI penduduk bisa mendapatkan dua buah mangga di Jakarta. Padahal sebelumnya masyarakat harus mengeluarkan hampir 10 rupiah hanya untuk sebuah mangga. Sementara dengan 15 sen ORI orang bisa mendapatkan satu buah duren atau sebungkus rokok “Moris” di kota yang sama.11 Dalam satu peristiwa ada seorang NICA yang membayar 50 9) “Oeang Repoeblik di Desa-Desa,” Merdeka, 1 November 1946. 10) “Sekitar Peredaran Oeang Repoeblik”, Berita Indonesia, 31 Oktober 1946. 11) “Sekitar Oeang Repoeblik,” Merdeka, 30 Oktober 1946.
Aspek Numismatik Uang
79
sen uang NICA untuk segelas es limun, sedangkan seorang Indonesia di sampingnya hanya perlu membayar 2 sen ORI saja. Ketika dikonfirmasi kepada pedagang, sang pedagang hanya berujar: “Dengan oeang doea sen itoe akan lebih banjak mendapat nangka djika ditoekarkan pada nangka, sedangkan dengan oeang ‘toean’ tidak!”12 Diberlakukannya ORI membuat harga barang-barang turun dengan begitu cepat. Banyak pedagang yang menawarkan barang dagangannya dengan harga murah asalkan dibayar dengan ORI. Harga beras yang sebelumnya harus dibayar dengan 130 uang Jepang, kini hanya menjadi 20 sen ORI. Berdasarkan laporan Merdeka, banyak pedagang yang berupaya mempertahankan nilai ORI tersebut terhadap barang dagangannya. Seperti yang terjadi di Pasar Rumput Menteng Pulo misalnya. Seorang pembeli ingin membeli durian dengan harga 50 sen uang NICA (disamakan dengan ORI), tetapi tidak ada pedagang yang berkenan menerimanya. Kejadian serupa juga terjadi di Pasar Asamreges dan Pasar Gang Hauber, dimana seorang NICA berupaya membeli beras dengan harga 20 sen uang NICA yang sontak langsung ditolak oleh pedagang yang menerimanya. Di Pasar Heuber, kejadian tersebut bahkan sampai harus diselesaikan oleh Polisi Militer NICA.13 Dikeluarkannya ORI jelas menimbulkan reaksi beragam dari para penduduk di Indonesia. Harian Merdeka membagi mereka ke dalam tiga golongan, di antaranya: (1) Yang mengakui ORI; (2) Yang tidak mengakui ORI; (3) Yang menerima ORI sebagai alat pembayaran, tetapi tidak dapat menyesuaikan dirinya dengan keadaan. Mereka yang dikategorikan ke dalam golongan terakhir ini tergolong besar, dan hal tersebut dapat dibuktikan dengan melihat perkembangan harga-harga di pasar. Sebungkus rokok Zipper misalkan yang pada 29 Oktober 1946 masih seharga 15-20 sen. Menjelang 30 Oktober 1946 pagi, harganya masih tetap sama. Namun ketika memasuki pukul 14.00 harganya sudah mulai naik menjadi 30-45 sen. Petang harinya malah sudah mencapai 60-75 sen. Fenomena tersebut diulas Merdeka sebagai tindakan dari para anasir yang terbiasa mengeruk keuntungan besar di zaman Jepang dan zaman peralihan. Besar kemungkinan juga menurut Merdeka bahwa ada di antara mereka yang memang berniat menjatuhkan ORI.14 Namun demikian, ontestasi antara Uang NICA dan ORI ini kerap menjadi buah simalakama bagi pihak tertentu, terutama para pedagang. Beberapa 12) “Kesan-Kesan Sekitar Beredarnja Oeang Repoeblik,” Merdeka, 1 November 1946. 13) “Mempertahankan Harga Oeang Repoeblik,” Merdeka, 1 November 1946. 14) “Djagalah Harga Oeang Repoeblik,” Merdeka, 2 November 1946.
80
Keindonesiaan dalam Uang
dari mereka yang ketahuan menerima Uang NICA, tokonya dibumihanguskan oleh pejuang Republik. Sementara mereka yang menolak Uang NICA, maka dianggap menentang Sekutu dan Belanda. Bagi yang menolak ORI di daerah Republik, maka akan dicap sebagai anti-kemerdekaan.15 Upaya untuk mempertahankan nilai tukar ORI pun coba dilakukan oleh segenap lapisan masyarakat. Salah satunya adalah gerakan yang diinisiasi oleh Kowani (Kongres Wanita Indonesia) yang berusaha menggandeng 4000 kaum wanita di Jakarta untuk hadir dalam penyuluhan mengenai ORI. Dalam penyuluhan tersebut dipaparkan bahwa bukan hanya kaum pedagang saja yang dapat berperan dalam mempertahankan nilai tukar ORI. Kaum ibu pun memiliki peranan yang tak kalah pentingnya dalam urusan tersebut.16 Selama beberapa minggu setelah diedarkannya ORI, tercatat hanya ada tiga pasar di Jakarta yang berupaya mempertahankan nilai ORI, yaitu Pasar Tanah Abang, Manggarai, dan Jatinegara. Selain dari ketiga pasar tersebut, umumnya hampir seluruh pasar-pasar lainnya menggunakan peredaran dan nilai uang NICA.17 Namun karena distribusi yang masih belum merata, masih banyak juga penduduk yang belum menerima ORI. Akibatnya, banyak oknum yang memanfaatkan momen tersebut dengan menjual ORI di pasar gelap.18 Menurut beberapa kalangan, memang benar selama beberapa hari para penduduk bisa membeli barang dengan harga murah dengan ORI. Akan tetapi, harga yang murah tersebut ternyata tidak mampu bertahan lama. Banyaknya kasus pemalsuan menyebabkan peredaran ORI menjadi goyah di pasaran. Tidak hanya itu, harga barang juga semakin melambung tinggi tiap-tiap harinya.19 Hanya dalam tempo dua minggu, ORI terus tersebar hingga ke pelosokpelosok Jakarta. Para penduduk asing pun banyak yang tidak memiliki pilihan selain menggunakan ORI. Di Pasar Manggarai, Jatinegara, transaksi hanya dapat dilakukan dengan menggunakan ORI, terutama di kalangan pedagang Indonesia.20 Setelah diedarkan di Jawa dan Madura, maka secara bertahap pemerintah Republik berusaha mengaplikasikan penggunaan ORI di Sumatera. Langkah awal yang mereka lakukan adalah dengan 15) Twang Peck Yang, Elit Bisnis Cina di Indonesia dan Masa Transisi Kemerdekaan. (Yogyakarta: Niagara, 2004), hlm. 168. 16) “Mempertahankan Nilai Oeang Repoeblik,” Merdeka, 19 November 1946. 17) “Oeang Repoeblik di Djakarta,” Merdeka, 18 Desember 1946. 18) “Kesan-Kesan Sekitar Beredarnja Oeang Repoeblik,” Merdeka, 1 November 1946. 19) “Sekitar Oewang Repoeblik,” Sin Po, 2 November 1946. 20) “Sekitar Oeang Repoeblik,” Merdeka, 15 November 1946.
Aspek Numismatik Uang
81
mengadakan pencacahan jiwa di seluruh Sumatera, mulai 15 November 10 Desember 1946. Proses pencacahan dilakukan oleh para Pamong Pradja dengan dibantu oleh segenap badan perjuangan dan partai.21 Bersamaan dengan dikeluarkannya ORI, tiap-tiap perusahaan berarti harus melakukan penyesuaian terhadap nominal gaji yang harus dikeluarkan. Dalam sebuah rapat yang diselenggarakan oleh Badan Pekerdja KNI Kabupaten Kudus bersama dengan Jawatan Sosial, Jawatan Buruh Rokok Kretek, dan Perwakilan dari Pabrik Kretek, ditetapkan batas upah buruh dan pekerja pabrik kretek dengan rincian sebagai berikut: (1) Upah Bulanan. Rp. 100 (pimpinan), Rp. 70 (pemegang buku), Rp. 30 (pegawai), Rp. 60 (kasir), dan Rp. 40 (kepala gudang); (2) Upah Harian, Mencampur Tembakau. Rp. 1 (kepala), Rp. 0.75 (mandor), Rp. 0.5 (pekerja); (3) Upah Harian, Bagian Melinting. Rp. 0.75 (mandor), Rp. 0.56 (pelinting); (4) Upah Harian, Bagian Sortir. Rp. 0.75 (mandor), Rp. 0.4 (pekerja). Khusus untuk pekerja anak-anak di bawah 16 tahun menerima upah 80 persennya.22 Satu contoh kasus juga bisa diambil dari perubahan tarif yang terjadi pada perusahaan pos, telegram, dan telepon. Dikeluarkannya ORI membuat perusahaan ini harus menurunkan beberapa tarif. Untuk pengiriman kartu pos misalkan kini menjadi 10 sen ORI (dalam negeri) dan 20 sen ORI (luar negeri). Pengiriman surat kabar dengan berat hingga 50 gram dibandrol sebesar 2 sen (dalam negeri) dan 6 sen (luar negeri). Sementara untuk telegram dibandrol harga 40 sen/kata untuk wilayah pengiriman di Jawa dan Madura dan 70 sen/kata untuk pengirman dari Jawa & Madura ke Sumatera. Bea tetap untuk tiap-tiap telegram dibandrol sebesar 75 sen ORI.23 Penerbitan ORI juga turut menyimpan berbagai cerita unik. Salah satunya terekam dalam kisah uang 2 ½ rupiah seri ORI III. Nilai pecahan ini (2 ½) dituliskan pada mata uang kata-kata ‘dua setengah rupiah’. Namun menariknya, penulisan uang 2 ½ rupiah pada mata uang lain, seperti uang federal ataupun ORIDA memiliki perbedaan penulisan. Dalam uang federal, penulisan uang 2 ½ rupiah menggunakan kata-kata ‘Doea Roepiah Setengah’. Sementara itu, pada ORIDA (Aceh) tertuliskan kata-kata ‘Dua Rupiah Lima Puluh Sen’, dan ORIPS (Sumatera Utara) tertuliskan ‘Dua Rupiah Setengah’ mirip dengan uang federal. Perbedaan penulisan ini diakibatkan oleh perbedaan ejaan dan dasar tata bahasa yang digunakan. ORI 2 ½ rupiah menggunakan ejaan Suwandi (mengubah oe menjadi u), sedangkan emisi federal menggunakan ejaan Van Ophuijsen yang masih menggunakan 1946.
21) “Persiapan Pengeloearan Oeang Repoeblik di Soematera,” Merdeka, 19 November 22) “Penetapan Oepah Pekerdja,” Merdeka, 12 Desember 1946. 23) “Perobahan Tarif Pos, Telegram, dan Telefon,” Merdeka, 30 Oktober 1946.
82
Keindonesiaan dalam Uang
ejaan oe pada kata u. Mengapa penulisan pada emisi federal adalah ‘Doea Roepiah Setengah’ karena itu disebabkan oleh penerjemahan langsung yang dilakukan dari bahasa Belanda, twee en een halve gulden. Konteks lokal juga mempengaruhi penggunaan tata bahasa yang berbeda-beda dalam penulisan uang pada uang-uang daerah (ORIDA).
Seri Ori, Uang RIS, dan Pemandangan Alam Semenjak awal kemerdekaan hingga tahun awal 1950-an ketika pemerintah Republik Indonesia Serikat bubar dan berganti menjadi Republik Indonesia, telah dicetak dan diedarkan sejumlah seri mata uang. Oeang Republik Indonesia yang dicetak dan diedarkan dalam situasi penuh keterbatasan pada masa revolusi kemerdekaan memiliki lima seri yakni Ori Seri I; Seri II; Seri III; seri IV; dan seri V. ORI seri terakhir ini juga dikenal dengan istilah uang ORI Baru (ORIBA). Setelah KMB yang menyepakati dibentuknya negara federasi Indonesia, dicetak dan diedarkan mata uang RIS yang berusia pendek sebagaimana halnya usia negara serikat. Pemerintah Republik Indonesia kemudian mengeluarkan uang seri Pemandangan Alam tahun 1951 dan dicetak kembali pada 1953.
Oeang Repoeblik Indonesia Seri I Sekalipun seri ORI pertama bertuliskan 17 Oktober 1945, namun ORI baru secara masif beredar pada 30 Oktober 1946. Seri pertama ORI terdiri dari delapan nominal, yaitu 1 sen, 5 sen, 10 sen, ½ rupiah (50 sen), 1 rupiah, 5 rupiah, 10 rupiah, dan 100 rupiah. Desain dan bahan-bahan dasar pembuatan ORI ini dibuat khusus di Percetakan Balai Pustaka Jakarta. Nama Bunyamin Soerjohardjo dipercaya untuk menjalankan tugas tersebut. Sementara untuk litografi ORI ini dibuat di Percetakan De Unie. Proses offsetnya dilakukan pertama kali di Percetakan RI Salemba yang kala itu berada di bawah kontrol Kementerian Penerangan. Ketika ibukota Indonesia dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta, proses pencetakan uang terpaksa dilakukan di gedung percetakan negara Gondo Rumeksa yang terletak di Kidul Loji (Gondomanan) dan Percetakan Kanisius. Dikarenakan tidak memiliki sistem pengamanan yang rumit, ORI seri pertama sangat rentan dipalsukan. Hanya beberapa minggu setelah ORI pertama dikeluarkan, turut beredar juga ORI palsu di masyarakat. Antara melaporkan beberapa temuan ORI palsu di masyarakat dengan ciri-ciri sebagai berikut: (1) ORI 5 sen. Tulisan yang seharusnya berbunyi “undangundang” di sisi belakang malah tertulis “woro-woro”; (2) ORI 10 sen. Pada sisi depan tidak ada gambar keris dan garis-garis stilasi; (3) ORI 10 rupiah.
Aspek Numismatik Uang
83
Ditemukan beberapa pecahan yang tidak memiliki nomor seri. Padahal uang kertas yang tidak memiliki nomor seri hanya pecahan 1 sen, 5 sen, dan 10 sen saja; (4) Ditemukan juga banyak pecahan yang tidak memiliki ukuran semestinya.24 Di samping itu, karena ORI ini dicetak dengan segala keterbatasan, maka ada cukup banyak juga uang yang beredar dengan kondisi cetak yang tidak sempurna, terutama ORI dengan nominal 10 sen. Guna mengantisipasi maraknya peredaran ORI palsu, maka pemerintah Republik pun mengeluarkan himbauan kepada para penduduk untuk segera menukarkan ORI pecahan tersebut kepada Kas Negeri, Bank Negara, dan bank-bank lainnya. ORI tersebut kemudian akan dicabut dari peredaran.25 Sin Po juga melaporkan bagaimana di Pasar Tanah Abang ditemukan ORI tidak sempurna pecahan 10 sen. Uang rusak tersebut sangat mudah untuk dikenali karena ukurannya lebih pendek hingga 1 cm. Sebelum ORI dikeluarkan pun sudah beredar kabar mengenai kasus pemalsuan uang tersebut. Dicurigai yang melakukannya adalah “orang dalam” mengingat masyarakat baru melihat wujud ORI tersebut di kemudian hari.26
Oeang Repoeblik Indonesia Seri II ORI Emisi II hanya memiliki empat pecahan, yaitu 5 rupiah, 10 rupiah, 25 rupiah, dan 100 rupiah. Di antara keempat pecahan tersebut hanya pecahan 25 rupiah saja yang memiliki ciri khas berbeda dibandingkan pecahan dari ORI Emisi I. Pecahan ini sudah menggunakan fitur pengaman cetak halus dan kertas berserat. Selebihnya, tiga pecahan lain memiliki ciri khas dan bentuk yang mirip dengan ORI Emisi I. Keempat pecahan ini ditandatangani oleh Mr. Sjafrudin Prawiranegara yang saat itu menjabat sebagai Menteri Keuangan. Seluruhnya bertanggal 1 Januari 1947 dengan lokasi pengeluaran di Yogyakarta, sekalipun pada faktanya pecahan ini juga dicetak di Kendalpayak (Malang) dan Kanten (Ponorogo). Seperti layaknya ORI Emisi I, ORI Emisi II ini juga tidak memiliki fitur pengaman yang baik. Teknik cetak yang digunakan pada emisi ini juga sama dengan teknik cetak yang digunakan pada emisi pertama. Ditinjau dari segi engraving, emisi ini juga dinilai lebih baik dari emisi sebelumnya. Hal yang paling membedakan adalah kualitas kertas dan fitur rahasia pada kode kontrol nomor seri saja. Gambar pada ORI Emisi II ini didesain oleh Abdulsalam dan Oesman Effendi yang juga berperan sebagai pembuat plat master. 24) “Awas Oewang Palsoe!” Antara, 6 November 1946. 25) “Oeang Kertas Sepoeloeh Sen,” Merdeka, 16 November 1946. 26) “Sekitar Oewang Repoeblik,” Sin Po, 2 November 1946.
84
Keindonesiaan dalam Uang
Menariknya, dari empat pecahan yang dikeluarkan, hanya pecahan 25 rupiah saja yang berbeda. Selebihnya, ketiga pecahan yang lain masih mengikuti ORI I, baik dari segi desain maupun nominalnya. Faktor utama yang membedakan hanyalah nomor seri dan warna yang digunakan, dan tentu saja penandatangan uang tersebut. Seluruh pecahan ORI II ditandatangani oleh Sjafrudin Prawiranegara dan dicetak di Percetakan Uang Republik Indonesia di Kanten.
Oeang Repoeblik Indonesia Seri III ORI Seri III juga kerap disebut juga seri Jogjakarta 26 Juli 1947 karena seri ini mulai diedarkan pada tanggal 26 Juli 1947. Pecahan yang terdapat pada ORI III adalah Rp ½, Rp 2 ½, Rp 25, Rp 100, Rp 100, Rp 250. Meskipun ditulis dalam seri ini dikeluarkan di Yogyakarta namun percetakan yang mencetak uang adalah percetakan Kanten, Ponorogo. Kanten dipilih oleh pemerintah Indonesia akibat percetakan uang di Malang rusak parah setelah Agresi Militer Belanda. Untuk mengatasi situasi darurat tersebut maka dipilihlah percetakan Kanten untuk memproduksi ORI Seri III. Teknik engraving pada seri ORI III telah mengalami perkembangan daripada dua seri sebelumnya. Hal ini bisa dilihat pada hasil cetakan dan kerapihan gambarnya. Dalam segi desain, terdapat variasi yang lebih beragam pada pecahan seri ini ketimbang dua seri sebelumnya. ORI Seri III dicetak dengan menggunakan teknik offset sehingga memiliki cetakan halus dan rata di permukaan pada hasil cetakan.27 ORI Seri III menggunakan fitur pengamanan yang masih sederhana seperti ORI Seri II, yaitu cetak halus dan kertas berserat. Menteri Keuangan Indonesia waktu itu, A.A. Maramis, merupakan orang yang menandatangani pecahan-pecahan pada seri ini. Dalam membedakan uang asli dan palsu, acuan yang digunakan adalah kualitas kertas dan kode kontrol nomor seri. Karena fitur pengaman dalam uang ORI Seri III masih minim, maka beberapa pecahan dalam seri ini seringkali dipalsukan. Beberapa pecahan dalam seri ini memiliki keunikan dalam penggunaan nomor seri. Misalnya pada pecahan Rp ½ dan Rp 2 ½, keduanya menggunakan nomor seri dua huruf yang terletak di kanan atas dan kiri bawah, seperti kombinasi KE, DA, AN, AT, dll. Selain itu, pecahan Rp 25 dan Rp 100 (merah) memiliki penomoran seri yang tidak kalah unik. Uang Rp 25 menggunakan penomoran seri SDX 1 pada setiap mata uang, sehingga uang ini dikenal dengan uang SDX 1. Sementara itu, pecahan Rp 100 (merah) memiliki penomoran SDA 1 di setiap mata uangnya. Kedua pecahan 27) Herman, “Engraving Mata Uang Kertas Republik Indonesia Masa Pasca Kemerdekaan Tahun 1945-1965”, Skripsi, Program Studi Pendidikan Seni Kriya Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta, 2016, hlm. 114.
Aspek Numismatik Uang
85
ini ditemukan banyak versi palsunya. Di daerah dekat garis demarkasi, misalnya, terdapat banyak sekali uang palsu Rp 100 berwarna merah yang ditemukan sesudah Agresi Militer Belanda.28 Pecahan ini dikeluarkan di masa darurat perang sehingga kualitas cetakannya tidak sempurna. Mungkin karena alasan ini maka seringkali terjadi pemalsuan terhadap pecahan tersebut. ORI seri III ditarik dari peredaran pada 1 Mei 1950
Oeang Repoeblik Indonesia Seri IV ORI Seri IV disebut juga seri Jogjakarta 23 Agustus 1948 sesuai tanggal edar yang tertera pada mata uang. Adapun tanggal pasti penarikan seri ini masih belum diketahui. Seri ini memiliki lima pecahan yakni Rp 40, Rp 75, Rp 100, Rp 400, Rp 600. ORI Seri IV dicetak di Percetakan uang Republik Indonesia, Kanten. Fitur pengamanan pada seri ini menggunakan pengaman cetak halus dan kode kontrol.29 Gambar dan visual, sekaligus acuan cetakan dengan menggunakan teknik engraving, dari ORI Seri IV dibuat oleh Abdulsalam dan Oesman Effendi. Untuk membedakan uang asli atau palsu, biasanya diandalkan untuk memeriksa kualitas kertas dan rahasia pada kode kontrol nomor seri.30 Mata uang ini ditandantangani atas wewenang Menteri Keuangan, meskipun yang menandatangani adalah Moh. Hatta, Perdana Menteri Indonesia waktu itu. Pecahan Rp 40 dalam seri ini memiliki nomor seri yang unik. Rp 40 menggunakan empat huruf kapital (2x2) di kanan atas dan kiri bawah, yang terdiri atas kombinasi AA PZ, AC PB, AG PF, AI UH, AL UK, AN UM, dll. Huruf kedua dan keempat memiliki hubungan, huruf kedua adalah alfabet di bawah huruf keempat. ORI Seri IV memiliki pecahan 600 yang belum diedarkan secara luas di tengah masyarakat. Uang ini dalam sumber-sumber yang telah ditemukan hanya mempunyai visualisasi yang lengkap di bagian depan saja, sedangkan di bagian belakang kosong. Sehingga pecahan ini memiliki nilai kelangkaan di mata para numismatis. Ketika Belanda merebut Yogyakarta dalam Agresi Militer kedua, kantor pusat Bank Negara Indonesia berubah kembali menjadi De Javansche Bank. Pengeluaran ORI oleh pemerintah Indonesia sesudah Yogyakarta diduduki menjadi terhenti.31 Meskipun demikian ORI masih beredar bersama-sama dengan uang NICA. Menghadapi keragu-raguan sementara di kalangan masyarakat terhadap berlakunya ORI, Sultan Hamengkubuwono IX, Menteri 28) Nono Hartanto, “Perjalanan Sejarah Indonesia Melalui Uang ORI”, Buletin Core (Club Oeang Revoloesi), No. 2, VI, 2016, hlm. 45. 29) Herman, “Engraving Mata Uang”, hlm. 128. 30) Herman, “Engraving Mata Uang”, hlm. 128. 31) Oey Beng To, Sejarah Kebijakan Moneter, hlm. 84.
86
Keindonesiaan dalam Uang
Negara Koordinator Keamanan, menetapkan berdasarkan pengumuman No. 1/11, 1 Juli 1949, bahwa ORI merupakan alat pembayaran sah, di samping uang NICA yang diedarkan setelah pendudukan Belanda di Yogyakarta.32
Oeang Repoeblik Indonesia Seri V Atau ORI Baru Penerbitan Oeang Republik Indonesia Baru emisi Yogyakarta 17 Agustus 1949 berkaitan dengan kembalinya pemerintahan republik ke ibu kota Yogyakarta. Semenjak dilancarkannya agresi militer Belanda II pada Desember 1948, Yogyakarta berada di bawah kekuasaan Belanda. Semenjak pendudukan Belanda atas Yogyakarta, sebagaimana yang terjadi di wilayah pendudukan lainnya, uang yang banyak dipergunakan adalah uang merah atau uang NICA. Memasuki bulan Juli 1949, para pemimpin republik yang semula ditangkap dan diasingkan oleh Belanda dapat kembali ke Ibukota Yogyakarta. Hanya saja, transisi penggunaan uang merah ke ORI pasca agresi menimbulkan keragu-raguan pada masyarakat. Untuk mengatasi hal tersebut, Sri Sultan Hamengubuwono IX kemudian mengeluarkan pengumuman No.1/11 pada 1 Juli 1949 yang menyatakan bahwa Ori tetap merupakan alat pembayaran yang sah, disampng uang yang beredar akibat pendudukan. Persoalannya, semenjak pendudukan NICA atas ibu kota Yogyakarta telah terjadi kelangkaan ORI. Selain jumlahnya yang sedikit, kebanyakan uang RI yang beredar juga telah rusak. Adapun persediaan yang dikuasai pemerintah juga hanya cukup untuk beberapa bulan saja.33 Hingga penyerahan kedaulatan pada akhir Desember 1949, f. 134 juta uang merah atau uang NICA yang diperoleh dari pemerintah federal sementara terpaksa digunakan pemerintah RI.34 Terkait dengan hal ini, harian Kedaulatan Rakyat menuliskan “Djika untuk daerah Djokja sadja pemerintah Republik sudah susah untuk memperoleh perbelandjaan, apakah dengan tambahnja daerah ini persoalan akan lebih gampang? Dan djuga mendjadi pertanjaan apakah ongkos2 jang diperlukan untuk daerah tersebut akan diperoleh dari Belanda dan seandainja demikian apakah didalam hal ini akan diperoleh kelantjaran? Sedangkan buat daerah jang ketjil sadja Belanda sudah mendjalanakan politik menghambat dan memberikan perbelandjaan djauh daripada apa jg diperlukan.”35 32) Oey Beng To, Sejarah Kebijakan Moneter, hlm. 85. 33) Oey Beng To, Sejarah kebijakan moneter Indonesia, (Jakarta: Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia, 1991), hlm. 85. 34) Ibid, hlm. 86 35) Kedaulatan Rakjat, 31 Oktober 1949
Aspek Numismatik Uang
87
Pemerintah RI kemudian menerbitkan ORI baru (Oriba), atau juga dikenal dengan uang revolusi emisi Yogyakarta 17 Agustus 1949 karena dalam uang terdapat cap yang mencantumkan tanggal tersebut. Meskipun demikian, berdasarkan keterangan Sjafruddin Prawiranegara yang dikutip harian berbahasa Belanda Het Nieuwsblad Voor Sumatra, Oriba mulai beredar pada 1 November 1949.36 Semua mata uang pada emisi ini dicetak di Koeta Radja Aceh, dan ditandatangani oleh menteri keuangan RI waktu itu Mr. Loekman Hakim. Berkaitan dengan penerbitan Oriba, harian Kedaulatan Rakyat memberitakan bahwa masyarakat menyambut gembira sirkulasi uang ini. Masyarakat di berbagai tempat di Jawa Tengah yang semula merupakan daerah pendudukan NICA yang telah dikembalikan pada republik Wonosobo, Purbolinggo, Wonogiri, dan Pacitan, sangat antusias untuk menukarkan uang merah dengan Oriba.37 Nominal yang terdapat pada emisi ini yaitu 10 sen, ½ rupiah, 1 rupiah, 10 rupiah dan 100 rupiah. Pada emisi ini, terdapat dua variasi warna yang digunakan untuk pecahan 10 sen yakni warna biru dan merah; ½ rupiah yaitu warna hijau dan merah; 10 rupiah yakni warna kuning dan coklat.38 Untuk pecahan 10 sen; dan ½ rupiah tidak memiliki nomor seri, adapun pecahan 100 rupiah terdapat uang yang memiliki nomor seri dan adapula yang tidak memiliki nomor seri yang juga terpakai dan beredar di masyarakat.39 Visual dan ukuran uang untuk masing-masing pecahan pada emisi ini juga berbeda-beda. Gambar dan engraving untuk acuan cetakan ORI baru dikerjakan oleh Abdulsalam dan Oesman Effendi.40 Seperti halnya mata uang ORI yang telah beredar sebelumnya—emisi pertama, kedua, ketiga dan keempat—teknik cetak yang digunakan pada emisi ini adalah cetak offset sehingga didapati cetakan yang halus dan rata pada uang. Sebagai pengaman untuk membedakan uang asli dengan yang palsu, ORI baru menggunakan kode kontrol dan cap yang membedakan uang asli atau palsu. Pada pecahan 100 rupiah, di depan nomor seri terdapat embos huruf ‘No’ yang terasa timbul saat diraba. Sejauh ini, yang dapat ditemukan, nomor seri yang digunakan selalu berawalan angka 0.41
36) Het Nieuwsblad Voor Sumatra, No. 403 Vrijdag 4 November 1949 hlm. 2 37) Kedaulatan Rakjat, 19 November 1949. 38) Uno, Oeang Nusantara, hlm. 297-8. 39) Uno, Oeang Nusantara, hlm. 299 40) Herman, “Engraving Mata Uang”, hlm. 138. Informasi ini didasarkan dari hasil interview kepada Mujirun. 41) Uno, Oeang Nusantara, hlm. 299
88
Keindonesiaan dalam Uang
Uang RIS, 1 Djanuari 1950 Penerbitan uang Republik Indonesia Serikat (RIS) pada awal tahun 1950 memiliki konteks yang sangat menarik berkaitan dengan pembentukan negara federasi yakni RIS yang merupakan gabungan dari RI dan BFO, serta posisi baru DJB pasca KMB yang ditetapkan sebagai bank sirkulasi.42 Adapun Uang RIS yang juga disebut Federal atau uang DJB menjadi mata uang yang berlaku dan digunakan pada skala yang luas meliputi wilayah yang sebelumnya menjadi bagian dari RI, wilayah BFO, maupun pendudukan NICA. Pada kurun sebelum dibentuknya RIS, masing-masing daerah beredar pula berbagai jenis mata uang yang dikeluarkan oleh Pemerintah RI, NICA, maupun otoritas lokal, selain itu juga terjadi sirkulasi uang palsu. Penerbitan RIS ini merupakan salah satu cara untuk mengendalikan peredaran uang dengan melakukan penyerderhanaan mata uang yang beredar. Selain itu, sebagaimana berbagai penyesuaian dan perubahan lain yang harus dijalankan sebagai rangkaian dari persetujuan di KMB, penerbitan uang RIS juga merupakan usaha untuk melaksanakan hasil perundingan tersebut yang menghendaki adanya kesatuan sistem keuangan pada masingmasing pemerintah baik RIS maupun Kerajaan Belanda, terutama dalam hal penggunaan mata uang. Dalam hubungan ekonomi dan keuangan, penyesuaian semacam ini menjadi faktor penting, salah satunya, guna menghitung pembayaran hutang.43 Oleh karenanya pemerintah negara federal Indonesia yang akan dibentuk memiliki tanggungjawab untuk mencetak dan mengedarkan satu jenis uang resmi yang berlaku nasional untuk menggantikan berbagai uang yang telah beredar. Dapat dikatakan, penerbitan uang RIS merupakan akhir dari beragam uang lokal yang banyak beredar pada masa revolusi. Peredaran mata uang RIS sebenarnya juga ditanggapi secara beragam. Sebagian pihak dengan mudah menerima, namun ada pula yang mempertanyakan berbagai konsekuensi atas peredaran uang baru tersebut. Uang RIS yang beredar waktu itu terdiri dari dua pecahan yakni 5 rupiah dan 10 rupiah, keduanya diterbitkan di Jakarta dan bertanggal ‘1 Djanuari 1950’. Meskipun secara jelas tertera dalam uang diterbitkan pada 1 Januari, namun pada kenyataannya uang RIS secara praktis beredar dan digunakan pada bulan-bulan sesudahnya. Pada awal Januari tahun 1950, pemerintah masih dalam proses untuk menciptakan sistem keuangan yang tunggal dengan 42) Oey Beng To, Sejarah kebijakan moneter Indonesia, (Jakarta: Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia, 1991), hlm. 243-4. J Soedradjad Djiwandono, Sejarah Bank Indonesia Periode I: 1945-1959, (Jakarta: Bank Indonesia, 2005), hlm. 27. 43) Tanah Air, 9 Nopember 1949, hlm. 2
Aspek Numismatik Uang
89
mempersatukan beraneka ragam uang yang beredar di masyarakat.44 Pada 26 Maret 1950, Menteri Keuangan RIS, Sjafruddin Prawiranegara mengeluarkan pengumuman mengenai penetapan sementara kurs yang dapat digunakan untuk penukaran uang lokal atau daerah ke uang republik, untuk kemudian dapat ditukarkan dengan uang RIS. Sebelumnya, pada bulan Januari 1950, Menteri Keuangan menetapkan kurs yang dipergunakan berada pada angka 1 f, namun peraturan ini belum menetapkan kurs untuk ORI dan mata uang daerah.45 Barulah, pada bulan Maret ditetapkan kurs yang berlaku untuk mata uang lain baik ORI maupun uang daerah. Adapun kurs yang ditetapkan melalui peratuan tersebut adalah, Jawa ORI 125=1f; Sumatra URIP46 1,5=1 f; URITA 350=1 f; USIPSU 450=1; URIBA 1.75=1.47 Teknis penukaran uang RIS dapat dilakukan mulai 30 Maret 1950 di rumah-rumah gadai untuk wilayah Renvile dan kemudian diperluas untuk wilayah di luar itu melalui jawatan pemerintah dan Bank Rakjat Indonesia. Selama proses konversi menjadi uang RIS, uang-uang lain masih dapat digunakan hingga 1 Mei 1950. 48 Sebagaimana usia RIS yang hanya berjalan pendek oleh karena masing-masing negara bagian membubarkan diri, Uang RIS juga hanya bertahan hingga 17 Agustus 1950.
Seri Pemandangan Alam Seri pemandangan alam adalah mata uang emisi pertama yang dikeluarkan pemerintah Republik Indonesia setelah KMB. Emisi Pemandangan Alam memiliki dua seri penerbitan, yaitu seri I yang diterbitkan pada tahun 1951, dan seri II dirilis pada 1953. Desain maupun warna yang digunakan untuk mata uang yang diterbitkan pada kedua tahun tersebut adalah sama. Pecahan berangka tahun 1951 diterbitkan pada masa kabinet Natsir (7 September 1950—21 Maret 1951), dan ditandangani oleh Menteri Keuangan Sjafruddin Prawiranegara. Emisi yang terbit tahun 1951 ini merupakan uang kertas Republik Indonesia yang pertama. Adapun pecahan berangka tahun 44) Hal ini dapat diketahui dari keterangan Lukman Hakim, menteri keuangan RI—saat itu merupakan salah satu negara bagian dalam RIS—pada 2 Januari yang menyatakan bahwa pemerintah RIS dalam waktu dekat akan ‘mengadakan pengumuman bagaimana menyatukan soal keuangan dalam RIS, mengingat banjak macam mata uang yang beredar’. Dikutip dari harian Tanah Air, 3 Djanuary 1950, hlm.1. 45) Sekretariat Negara Yogyakarta, No. 158. 46) Hanya berlaku untuk URIP cetakan Pematang Siantar, Bukit Tinggi, atau uang daerah yang dicetak dengan klise. 47) Tanah Air, 27 Maret 1950, Trouw, Zaterdag 15 April 1950, hlm. 2. Beng To Oey, Sejarah kebijakan moneter Indonesia, hlm. 144-5; Kusumo, Erwin. Kronik Penerbitan Oeang Republik Indonesia, (Jakarta: Kekal Press, 2008), hlm. 45. 48) Tanah Air, 27 Maret 1950.
90
Keindonesiaan dalam Uang
1953 diterbitkan pada era Kabinet Wilopo (April 1952—Juni 1953) dengan tandatangan Soemitro Djojohadikoesoemo selaku menteri keuangan. Penerbitan kembali mata uang seri ini tidak lepas dari dikeluarkannya undang-undang nomor 11 tahun 1953 tentang penetapan Undang-Undang Pokok Bank Indonesia (UUPBI).49 Uang Republik Indonesia seri pemandangan alam memiliki dua pecahan yakni nominal 1 rupiah dan 2½ rupiah, keduanya memiliki ukuran 127 mm x 166 mm. Semuanya dicetak oleh Security Banknote Company (SBNC) Amerika Serikat. Seperti halnya dengan uang RIS, pengerjaan uang RI emisi pemandangan alam dilakukan oleh seniman asing, termasuk juga dalam membuat plat master dan engraving.50 Kualitas bahan, cetakan dan pengaman pada mata uang seri ini terbilang bagus. Teknik cetak offset digunakan untuk membuat latar sehingga menghasilkan gambar yang halus, teknik cetak intaglio yang digunakan untuk membuat gambar utama menghasilkan gambar bertekstur, dan teknik cetak tinggi memberi tekstur cekung kedalam pada bagian nomor seri. Pengaman yang dipakai pada mata uang seri ini merupakan kombinasi teknik cetak intaglio yang menciptakan tekstur kasar pada bagian gambar mata uang saat diraba; kode kontrol nomor seri; dan serat fiber. Nomor seri tertera pada bagian depan uang yakni sisi kanan-atas, dan kiri bawah, dicetak dengan warna merah untuk mata uang satu rupiah, dan warna hitam untuk mata uang dua setengah rupiah. Sebagaimana emisi RIS, nomor seri emisi pemandangan alam merupakan kombinasi dua huruf tersusun vertikal (atas-bawah) dan enam angka. Adapun dua huruf yang digunakan sebagai nomor seri emisi pemandangan alam tahun 1953 (seri II) meneruskan nomor seri pada mata uang yang terbit pada 1951 (seri I).
ORIDA Pemerintah Republik Indonesia sadar betul bahwa kelangkaan ORI di daerah bisa saja dimanfaatkan oleh NICA untuk mengedarkan uang merah lebih masif lagi. Untuk mengatasi persoalan tersebut, pemerintah RI pun mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 19 Tahun 1947 pada 26 Agustus 1947, yang memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menerbitkan mata uang atau alat pembayaran sementara yang sah. Penerbitan tersebut kelak berlaku secara terbatas di daerahnya masingmasing. Pemerintah pusat menjamin seluruh penerbitan tersebut dan mata uang daerah yang diterbitkan dapat ditukarkan dengan ORI. Dengan 49) Lembaran Negara tahun 1953 No. 40 50) Herman, “Engraving Mata Uang”.
Aspek Numismatik Uang
91
berpegang pada PP tersebut, maka pemerintah daerah tingkat provinsi, karesidenan dan kabupaten, menerbitkan uangnya sendiri yang dinamakan Oeang Republik Indonesia Daerah (ORIDA). Untuk ORIDA pertama yang dikeluarkan di Pulau Jawa adalah “Oeang Kertas Darurat untuk Daerah Banten” (OERIDAB). Emisi pertama dari uang kertas ini adalah emisi Serang yang bertanggal 15 Desember 1947. Uang kertas ini terdiri dari pecahan Rp. 1, Rp. 5, Rp. 10, dan Rp. 25. Sebagai penandatangan adalah Residen Banten dan Panitia Keuangan dengan dasar hukum Instruksi Pemerintah Pusat RI kepada K.H. Achmad Chatib untuk mencetak dan menerbitkan uang daerah yang berlaku sementara. Proses pencetakan dilakukan di Percetakan Serang di Banten.51 Tidak sampai setahun berselang, dikeluarkan emisi kedua bertanggal 11 Agustus 1948 yang juga terdiri dari pecahan Rp. 50. Emisi tersebut ditandatangani oleh Dewan Pertahanan Daerah dan Kepala Pejabatan Keuangan Dewan Pertahanan Daerah.
Gambar 4.2. Uang Kertas Darurat untuk Daerah Banten (OERIDAB/URIDAB) Emisi Serang, 11 Agustus 1948, Pecahan 50 Rupiah. Menariknya, pecahan ini beredar dalam beberapa warna, yakni merah, biru, dan coklat. 51) “Rakjat Banten Djiwa Republik,” Waspada, 4 Maret 1948.
92
Keindonesiaan dalam Uang
Di Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono IX menandatangani Surat Tanda Penerimaan Uang pada 10 November 1948, yang terdiri dari pecahan Rp. 2.50, Rp. 5, dan Rp. 10. Sementara itu di Karesidenan Surakarta dikeluarkan juga Surat Tanda Penerimaan Uang yang ditandatangani oleh Kepala Pemerintah Militer Daerah Surakarta dan Kepala Staf Pemerintah Militer Daerah Surakarta Urusan Civil Residen. Surat tersebut hanya memiliki masa berlaku singkat yaitu mulai diedarkan 1 November 1949 dan berlaku hingga 1 Mei 1950. Di samping wilayah-wilayah tersebut, di wilayah Republik beredar juga Kupon ORI yang berfungsi sebagai pengganti uang resmi ORI. Kupon tersebut ditandatangani oleh Kepala Departemen Keuangan/Perekonomian, K.G. Honggodjojo, dan dapat ditukarkan dengan Rp. 10 ORI. Sementara itu di Pulau Sumatera, ORIDA yang beredar pertama kali adalah Oeang Republik Indonesia Propinsi Sumatera (ORIPS). Emisi pertama uang ini bertanggal 11 April 1947 dan dikeluarkan berdasarkan Maklumat Gubernur Sumatera (Tengku Mohammad Hassan) No. 92/K.O pada 8 April 1947. Pengeluaran ORIPS ini dijamin sepenuhnya oleh Pemerintah Pusat RI dan dapat ditukar dengan ORI dengan nilai tukar 1:1. Agresi Belanda I yang melanda Pematang Siantar membuat seluruh kegiatan pencetakan ORIPS dipindahkan ke Bukittinggi. Namun ternyata dari Bukittinggi inilah kemudian pemerintah RI menerbitkan ORIPS untuk berbagai wilayah lainnya di Sumatera. Khusus untuk emisi Bukittinggi, tercatat hingga 1948, ada 13 ORIPS yang diedarkan di Sumatera. Selain mata uang, di beberapa daerah di Sumatera beredar juga kupon yang juga berfungsi sebagai alat pembayaran yang sah. Kupon tersebut beredar di Aceh, Riau, Palembang, dan daerah-daerah lainnya.
Gambar 4.3. Oeang Republik Indonesia Propinsi Sumatera (ORIPS) Pecahan 25 Rupiah. Tanda pembayaran ini merupakan salah satu yang beredar awal-awal di wilayah Sumatera.
Aspek Numismatik Uang
93
Gambar 4.4. ORIDA Pecahan 50 Sen yang dikeluarkan oleh Karesidenan Aceh. Di tengah pecahan ini tertera informasi bahwa tanda pembayaran ini dapat ditukarkan dengan ORIPS.
Tercatat hingga akhir 1949, terdapat 27 jenis ORIDA yang beredar di berbagai wilayah di Indonesia, khususnya di wilayah Jawa dan Sumatera. Beberapa jenis ORIDA tersebut di antaranya: (1) ORIPS; (2) ORIDAB; (3) Surat Tanda Penerimaan Uang untuk Daerah Istimewa Yogyakarta; (4) Kupon ORI untuk Daerah Gerilya RI; (5) Surat Tanda Penerimaan untuk Daerah Karesidenan Surakarta; (6) Bon Pemerintah Negara RI Kabupaten Asahan; (7) Tanda Pembayaran Sah Buat Sumatera di Karesidenan Aceh; (8) Mandat PMR untuk Karesidenan Bengkulu; (9) Tanda Pembayaran Sah Sementara untuk Bengkulu; (10) Tanda Pembayaran yang Sah untuk Daerah Militer Istimewa Sumatera Selatan; (11) Kupon Penukaran untuk Jambi; (12) Uang Tukaran untuk Kabupaten Karo; (13) Uang untuk Kabupaten Labuan Batu; (14) Mandat Pertahanan untuk Daerah Karesidenan Lampung; (15) Tanda Pembayaran yang Sah untuk Karesidenan Lampung; (16) Alat Pembayaran dalam Kabupaten Nias; (17) Mandat Dewan Pertahanan Daerah Palembang untuk Daerah Palembang; (18) Tanda Pembayaran yang Sah untuk Daerah Pematang Siantar; (19) Tanda Pembayaran yang Sah untuk Daerah Sumatera Utara; (20) Alat Pembayaran untuk Daerah Tapanuli (ORITA); (21) Tanda Pembayaran yang Sah Berlaku untuk Sumatera Selatan. Selain mata uang tersebut, terdapat juga mata uang alternatif lainnya yang dikeluarkan oleh pihak tertentu. Seperti yang dilakukan oleh komunitas pedagang 94
Keindonesiaan dalam Uang
Gambar 4.5. Tanda pembayaran yang dikeluarkan oleh Karesidenan Lampung. Di tengah pecahan tertera informasi bahwa pemegang tanda pembayaran ini berhak menerima f. 25 rupiah Jepang. Tanda pembayaran ini dianggap sah sampai ORI telah resmi beredar di Sumatera.
Tionghoa di Kecamatan Limapuluh, Asahan, misalkan yang menerbitkan alat pembayaran mereka sendiri atas izin dari pemerintah daerah setempat. Sementara terkait dengan masa berlaku ORIDA, pemerintah pusat mengeluarkan PP No. 76 Tahun 1948 pada 13 Desember 1948 yang menginformasikan bahwa masa berlaku ORIDA akan diatur langsung oleh Menteri Keuangan.52
52) Mohammad Iskandar, “Oeang Repoeblik” dalam Kancah Revolusi.” Jurnal Sejarah Vol. 6. No. 1, (Agustus 2004), hlm. 58-59.
Aspek Numismatik Uang
95
BAB V DESKRIPSI VISUAL
Objek visual merupakan elemen penting yang terdapat pada tiap lembar uang kertas. Detail-detail yang ditampilkan membuat ciri khas dari suatu pecahan, yang memebedakan dengan pecahan mata uang yang lain. Penggunaan berbagai objek visual selain bernilai artistik dan memiliki makna filosofis, juga memiliki fungsi praktis. Dalam hal ini, fungsi praktis dari objek visual dapat menjadi alat identifikasi yang menunjukkan nominal setiap pecahan mata uang, sekaligus menjadi kode kontrol untuk menghindari pemalsuan. Bagian ini memberi deskripsi atas objek-objek visual yang dipergunakan pada tiga seri mata uang yang terbit pada awal masa kemerdekaan Indonesia, yakni ORI dan ORIBA, Uang RIS, dan Seri Pemandangan Alam. Adapun sejumlah lembar ORIDA, turut disertakan untuk memberi ilustrasi mengenai jenis mata uang yang beredar secara lokal pada kurun periode yang sama. Deskripsi visual menunjukkan karakter khas dari mata uang yang terbit pada awal kemerdekaan Indonesia yang juga dapat merefleksikan situasi dan jiwa zaman pada masanya.
ORI SERI I
•
Merupakan pecahan terkecil dari ORI.
•
Dicetak dengan menggunakan teknik offset, sehingga menghasilkan cetakan yang halus dan rata di kedua sisi pecahan ini.
•
Warna dominan hijau.
•
Gambar depan nominal, dekorasi, dan keris.
•
Gambar belakang bingkai dekorasi dan undang-undang.
•
Ukuran 45 mm x 98 mm
•
Tidak memiliki nomor seri.
•
Ditandatangani oleh A.A. Maramis.
•
Pengaman cetak halus dan serat fiber.
•
98
Gambar menyerupai huruf T yang di tengahnya terdapat angka satu yang melambangkan nominal uang.
Dicetak di Percetakan Kanisius, Yogyakarta.
SATU SEN
Dua tanduk banteng yang di tengahnya bertuliskan "Republik Indonesia" sebagai lambang kedaulatan Indonesia sebagai negara baru.
Stilasi daun dan rangkaian garis yang dibuat secara vertikal dan horizontal yang berfungsi sebagai salah satu fitur pengaman.
DEPAN BELAKANG
Dihiasi dengan ornamen berupa perpaduan garis vertikal dan horizontal yang dibuat menyilang satu sama lain.
Warna dominan dari gambar pada pecahan sisi ini hijau tua kekuning-kuningan.
Warna dasar hijau muda dengan warna gambar hijau tua.
Keris ber-luk 5 yang memendarkan cahaya. Pada bagian kanan uang terdapat gambar setengah lingkaran yang di dalamnya tertulis "Tanda Pembajaran Jang Sah." Di sisi kiri dan kanannya terdapat angka “1” yang menunjukkan nominal pecahan.
Ditandatangani oleh Menteri Keuangan saat itu, Alexander Andries Maramis.
Tampak juga secara samar ornamen bunga di tengahnya.
Nominal pecahan, yaitu “Satu Sen.”
Tampak juga tulisan "1 Sen" yang dibuat secara artistik di sisi kiri dan sisi kanannya.
Yang mencolok dari pecahan ini adalah Undang-Undang Hukum Keuangan Republik Indonesia di bagian tengahnya.
Sumber Gambar: Dipindai dari koleksi pribadi Bpk. Uno
99
ORI SERI I
Di pojok kanan dan kiri atas terdapat angka “5” yang menunjukkan nominal pecahan.
•
Dicetak dengan menggunakan teknik offset. Menghasilkan cetakan yang halus.
•
Warna dominan depan adalah biru, sedangkan belakang adalah cokelat.
•
Gambar depan nominal, dekorasi, banteng.
•
Gambar belakang lambang gurdo dan undang-undang.
•
Ukuran 50 mm x 100 mm.
•
Tidak memiliki nomor seri.
DEPAN
•
Ditandatangani oleh A.A. Maramis.
BELAKANG
•
Pengaman cetak halus dan serat fiber.
•
Dicetak di Percetakan Kanisius, Yogyakarta.
Tulisan angka “5” yang menunjukkan nominal pecahan.
Di masing-masing sisi terdapat juga stilasi daun yang membentuk Gurdo/Garuda.
Bingkai ornamen berbentuk daun, terdapat angka “5” yang menunjukkan nominal pecahan. Terdapat rangkaian garis vertikal dan horizontal yang dipadukan yang berfungsi sebagai salah satu fitur pengaman.
100
LIMA SEN
Warna gambar pada sisi belakang pecahan ini didominasi oleh warna ungu.
Tulisan "Republik Indonesia" sebagai lambang kedaulatan Indonesia sebagai negara baru dan tulisan "Tanda Pembajaran Jang Sah".
Warna dasar dari pecahan sisi ini adalah ungu muda dengan warna gambar ungu tua. Dihiasi dengan ornamen berupa stilasi daun dan bunga yang dibuat mengelilingi bagian tengah pecahan ini, sehingga menghasilkan bingkai ornamen.
Perpaduan garis-garis horizontal yang berfungsi sebagai fitur pengaman.
Di bagian tengah pecahan terdapat nominal "Lima Sen."
Ditandatangani oleh Menteri Keuangan saat itu, Alexander Andries Maramis.
Stilasi sayap dan daun yang dipadukan dengan garis-garis sebagai latar belakangnya.
Garis bergelombang di tepi yang mengelilingi gambar utama.
Undang-Undang Hukum Keuangan Republik Indonesia.
Sumber Gambar: Dipindai dari koleksi pribadi Bpk. Uno
101
ORI SERI I
Di pojok kiri dan kanan atas pecahan terdapat angka “10” yang dicetak miring, yang melambangkan nominal dari pecahan ini.
•
Dicetak dengan menggunakan teknik offset. Menghasilkan cetakan yang halus.
•
Warna dominan depan cokelat, belakang hitam.
•
Gambar depan nominal, dekorasi, dan keris menyilang.
•
Gambar belakang bingkai dekorasi dan undang-undang.
•
Ukuran 51 mm x 105 mm.
•
Tidak memiliki nomor seri.
•
Ditandatangani oleh A.A. Maramis.
•
Pengaman cetak halus dan serat fiber.
•
Dicetak di Percetakan Kanisius, Yogyakarta.
Tulisan angka "10" yang dipadukan dengan latar belakang garis dan lingkaran bergelombang yang teratur.
Sebagai latar belakang, terdapat garis-garis horizontal yang berfungsi sebagai fitur pengaman.
DEPAN BELAKANG
Dihiasi dengan stilasi daun yang dipadukan dengan garis-garis horizontal sebagai latar belakangnya.
Garis bergelombang yang mengelilingi gambar utama.
102
SEPULUH SEN
Warna dasar dari sisi belakang pada pecahan ini didominasi dengan warna coklat.
Tulisan "Tanda Pembajaran Jang Sah" dan nominal "Sepuluh Sen".
Tulisan "Republik Indonesia" yang melambangkan Indonesia sebagai negara berdaulat.
Warna dasar dari pecahan pada sisi ini adalah kuning dengan warna gambar coklat.
Ditandatangani oleh Menteri Keuangan saat itu, Alexander Andries Maramis. Secara samar, tampak juga sebagai latar belakang gambar keris dan parang yang disilangkan.
Stilasi daun yang mengelilingi bagian tengah, sehingga menyerupai bingkai ornamen.
Bagian tengah pecahan ini berbentuk oval dimana bertuliskan nominal "Sepuluh Sen" yang dipadukan dengan garis horizontal sebagai latar belakangnya.
Stilasi pucuk pakis berbentuk cekung, dimana tertulis angka "10" dengan variasi garis horizontal yang turut menghiasi angka tersebut.
Undang-Undang Hukum Keuangan Republik Indonesia.
Sumber Gambar: Dipindai dari koleksi pribadi Bpk. Uno
103
ORI SERI I
•
Di setiap sudut pecahan terdapat angka "1/2" yang berada di dalam kotak, yang dipadukan dengan garis diagonal di belakangnya.
Dicetak dengan menggunakan teknik offset. Menghasilkan cetakan yang halus.
•
Warna dominan hijau.
•
Gambar depan bingkai hias.
•
Gambar belakang bingkai hias dan undang-undang.
•
Ukuran 60 mm x 120 mm.
•
Nomor seri kombinasi enam angka (dari 0 sampai 9) dan dua huruf kapital (dari A sampai Z).
•
Ditandatangani oleh A.A. Maramis.
•
Pengaman cetak halus dan serat fiber.
•
Dicetak di Percetakan Kanisius, Yogyakarta.
Tampak juga perpaduan garis bergelombang dalam bentuk ornamen yang menyerupai kepala banteng, dengan kedua tanduk yang menjulang.
Dihiasi dengan stilasi daun yang mengelilingi bagian tengah sehingga menyerupai bingkai ornamen, yang dipadukan dengan berbagai rangkaian garis sebagai latar belakangnya. Posisi nomor seri uang berada di tengah bawah.
DEPAN BELAKANG
Terdapat empat sulur di bagian tengah dan juga rangkaian garis yang berfungsi sebagai fitur pengaman.
Sebagai latar belakang, tampak perpaduan garis dengan tulisan "1/2" pada sisi kiri dan kanannya.
104
SETENGAH RUPIAH
Warna gambarnya cenderung didominasi warna hijau tua.
Tulisan "Republik Indonesia", yang melambangkan Indonesia sebagai negara berdaulat.
Secara samar-samar tampak juga ornamen bunga berwarna kuning yang terdiri dari rangkaian garis, yang menghiasi sisi kiri dan kanan dari pecahan ini.
Adapun warna dasar dari sisi muka pecahan ini adalah merah muda dengan warna gambar hijau tua.
Tulisan "Tanda Pembajaran Jang Sah" dan pada bagian tengah bertuliskan nominal "Setengah Rupiah" yang berada di dalam kotak. Ditandatangani oleh Menteri Keuangan saat itu, Alexander Andries Maramis.
Sementara garis bergelombang mengelilingi gambar utama pada sisi ini.
Undang-Undang Keuangan Republik Indonesia, yang di bagian atas dan bawahnya dihiasi oleh ornamen stilasi daun dengan perpaduan garis lengkung. Sumber Gambar: Dipindai dari koleksi pribadi Bpk. Uno
Dihiasi dengan stilasi daun berjumlah delapan dengan menyerupai kipas.
105
ORI SERI I
Potret Ir. Soekarno di dalam sebuah bingkai oval yang dipadukan dengan garis horizontal sebagai latar belakang gambar.
•
Dicetak dengan menggunakan teknik offset. Menghasilkan cetakan yang halus.
•
Warna dominan biru.
•
Gambar depan Sukarno dan gunung berapi.
•
Gambar belakang kawah gunung dan undang-undang.
•
Ukuran 65 mm x 138 mm.
•
Nomor seri kombinasi enam angka (dari 0 sampai 9) dan dua huruf kapital (dari A sampai Z).
•
Ditandatangani oleh A.A. Maramis.
•
Pengaman cetak halus dan serat fiber.
•
Dicetak di Percetakan Kanisius, Yogyakarta.
Pada keempat sisinya tertulis angka "1" yang terletak di dalam lingkaran dengan latar belakang berwarna putih.
Dihiasi stilasi daun yang mengelilingi bagian tengah sehingga tampak menyerupai bingkai ornamen.
DEPAN BELAKANG Dihiasi dengan angka "1" pada pojok kiri dan pojok kanannya. Angka tersebut berada di dalam lingkaran dan didesain menyerupai gulungan surat.
Di beberapa sudut terdapat stilasi daun menyerupai sulur.
106
SATU RUPIAH
Warna gambar dari sisi belakang pecahan ini didominasi dengan warna abu-abu kehijau-hijauan.
Gambar erupsi gunung berapi dan persawahan yang dipadukan dengan garis-garis horizontal.
Warna dasar dari sisi muka pecahan ini adalah hijau muda dengan warna gambar biru tua keabu-abuan.
Tulisan "Republik Indonesia" sebagai lambang dari negara berdaulat. Nomor seri uang berada di sisi kiri bawah dan sisi kanan atas.
Tulisan "Tanda Pembajaran Jang Sah" dan nominal "Satu Rupiah".
Ditandatangani oleh Menteri Keuangan saat itu, Alexander Andries Maramis.
Di kedua sisi kiri dan kanan, tampak Undang-Undang Hukum Keuangan Republik Indonesia.
Pada bagian tengah terdapat gambar pemandangan alam yang menjadi ciri khas Indonesia, yakni erupsi gunung berapi yang dipadukan dengan garis horizontal sebagai latar belakangnya. Sumber Gambar: Dipindai dari koleksi pribadi Bpk. Uno
Di pojok kanan bawah terdapat sebuah pohon dengan dedaunan yang rimbun.
107
ORI SERI I
Stilasi padi yang melambangkan Indonesia sebagai negara agraris dan makmur. Gambar Ir. Soekarno dengan latar belakang rangkaian garis yang berfungsi sebagai salah satu fitur pengaman.
•
Dicetak dengan menggunakan teknik offset. Menghasilkan cetakan yang halus.
•
Warna dominan hijau.
•
Gambar depan Sukarno dan padi.
•
Gambar belakang padi, dekorasi, dan undang-undang.
•
Ukuran 60 mm x 120 mm.
•
Nomor seri kombinasi enam angka (dari 0 sampai 9) dan dua huruf kapital (dari A sampai Z).
•
Ditandatangani oleh A.A. Maramis.
•
Pengaman cetak halus dan serat fiber.
•
Dicetak di Percetakan Kanisius, Yogyakarta. Pecahan ini dicetak kembali di ORI Seri II tahun 1947. Yang membedakan adalah nomor seri, penandatangan uang, dan lokasi percetakan. Uang 5 rupiah ORI Seri II ditandatangani oleh Sjafruddin Prawiranegara dan dicetak di Percetakan Kanten, Ponorogo.
Pada setiap sudut pecahan, terdapat angka "5" dalam posisi miring dan pada setiap sudut bawah terdapat seikat padi yang berada di balik angka “5”.
Dihiasi dengan stilasi daun dan padi.
DEPAN BELAKANG
Garis-garis horizontal yang membentuk beberapa lengkungan dan juga lingkaran. Sebagai latar belakang, terdapat kombinasi rangkaian garis vertikal dan horizontal. Pada sisi gambar terdapat garis bergelombang yang mengelilingi gambar utama.
108
LIMA RUPIAH
Warna gambar dari sisi belakang pecahan ini didominasi oleh warna hijau tua.
Tulisan "Republik Indonesia" sebagai lambang dari negara berdaulat.
Tulisan "Tanda Pembajaran Jang Sah" dan nominal "Lima Rupiah."
Warna dasar dari sisi muka pecahan ini adalah hijau muda dengan warna gambar hijau tua kekuning-kuningan.
Nomor seri uang berada di sisi kiri bawah dan sisi kiri atas.
Ditandatangani oleh Menteri Keuangan saat itu, Alexander Andries Maramis.
Didominasi oleh ornamen stilasi daun dan padi di sisi kiri dan kanannya.
Undang-Undang Hukum Keuangan Republik Indonesia, sementara di bagian tengah bawah terdapat tulisan nominal "Lima Rupiah."
Sumber Gambar: Dipindai dari koleksi pribadi Bpk. Uno
Pada kedua sisi pecahan ini terdapat angka "5" yang terletak di dalam belah ketupat dengan rangkaian garis horizontal yang berfungsi sebagai fitur pengaman.
109
ORI SERI I
Pada setiap sudutnya tertulis angka "10" dengan latar belakang garis vertikal dan horizontal yang berfungsi sebagai fitur pengaman.
•
Dicetak dengan menggunakan teknik offset. Menghasilkan cetakan yang halus.
•
Warna dominan biru.
•
Gambar depan Sukarno, sawah, dan gunung.
•
Gambar belakang dekorasi dan undang-undang.
•
Ukuran 75 mm x 160 mm.
•
Nomor seri kombinasi enam angka (dari 0 sampai 9) dan dua huruf kapital (dari A sampai Z).
•
Ditandatangani oleh A.A. Maramis.
•
Pengaman cetak halus dan serat fiber.
•
Dicetak di Percetakan Negara RI Gang Tengah Salemba, Jakarta. Pecahan ini dicetak kembali di ORI Seri II tahun 1947. Yang membedakan adalah nomor seri, warna uang, penandatangan uang, dan lokasi percetakan. Warna uang 10 rupiah ORI Seri II berwarna hijau. Uang 10 rupiah ORI Seri II ditandatangani oleh Sjafruddin Prawiranegara dan dicetak di Percetakan Kanten, Ponorogo.
Potret Soekarno di dalam bingkai oval dengan rangkaian garis horizontal sebagai latar belakangnya.
Dihiasi oleh stilasi daun yang mengelilingi bagian tengah, sehingga menyerupai bingkai ornamen.
Nomor seri uang berada di sisi kiri bawah dan sisi kiri atas.
DEPAN BELAKANG
Bila diperhatikan dengan seksama, tampak juga beberapa garis yang membentuk bintang di beberapa sudut dari pecahan ini.
Di kedua sisi pecahan tercantum tulisan angka "10" yang dipadu dengan garis lengkung di bagian belakangnya.
Di beberapa bagian terdapat garis-garis horizontal yang membentuk beberapa lengkungan dan juga lingkaran.
110
SEPULUH RUPIAH
Warna dominan pada sisi belakang pecahan ini adalah coklat.
Ditandatangani oleh Menteri Keuangan saat itu, Alexander Andries Maramis.
Warna dasarnya adalah hijau muda dengan warna gambar didominasi warna biru tua. Tulisan “Republik Indonesia” yang melambangkan Indonesia sebagai negara yang berdaulat.
Tulisan "Tanda Pembajaran Jang Sah" dan tulisan nominal "Sepuluh Rupiah."
Gambar pemandangan alam dengan tampilan gunung berapi yang tengah erupsi dan juga persawahan yang menjadi ciri khas dari Indonesia.
Garis bergelombang yang mengelilingi gambar utama.
Dihiasi dengan berbagai stilasi daun. Yang paling mencolok adalah kedua daun pada bagian tengah bawah yang terletak simetris serta dipadu dengan rangkaian garis di latar belakangnya.
Undang-Undang Hukum Keuangan Republik Indonesia yang di sisi kiri dan kanannya terdapat ornamen garis yang membentuk garis vertikal.
Sumber Gambar: Dipindai dari koleksi pribadi Bpk. Uno
Di beberapa bagian terdapat juga kombinasi garis vertikal dan horizontal yang berfungsi sebagai salah satu fitur pengaman.
111
ORI SERI I
Gambar Soekarno yang di belakangnya dipadukan dengan rangkaian garis yang berfungsi sebagai fitur pengaman.
Nomor seri dari pecahan ini tercantum di sisi pojok sebelah bawah dan pojok sebelah atas.
•
Dicetak dengan menggunakan teknik offset. Menghasilkan cetakan yang halus.
•
Warna dominan biru.
•
Gambar depan Sukarno, keris, dan tanduk banteng.
•
Gambar belakang nominal dan undang-undang.
•
Ukuran 86 mm x 175 mm.
•
Nomor seri kombinasi enam angka (dari 0 sampai 9) dan dua huruf kapital (dari A sampai Z).
•
Ditandatangani oleh A.A. Maramis.
•
Pengaman cetak halus dan serat fiber.
•
112
Dicetak di Percetakan Negara RI Gang Tengah Salemba, Jakarta. Pecahan ini dicetak kembali di ORI Seri II tahun 1947. Yang membedakan nomor seri, penandatangan uang, dan lokasi percetakan. Uang 100 rupiah ORI Seri II ditandatangani oleh Sjafruddin Prawiranegara dan dicetak di Percetakan Kanten, Ponorogo.
SERATUS RUPIAH
Tulisan "Republik Indonesia" yang melambangkan Indonesia sebagai negara berdaulat. Terdapat juga tulisan "Tanda Pembajaran Jang Sah" dan nominal "Seratus Rupiah" di bawahnya.
DEPAN BELAKANG
Pecahan ini dkelilingi oleh pegunungan yang jelas merepresentasikan wilayah Indonesia yang memiliki begitu banyak gunung.
Angka 100 menghiasi keempat sudut pecahan ini, yang masing-masing juga dihiasi oleh sepasang tanduk.
Di beberapa bagian terdapat garis-garis horizontal yang membentuk beberapa lengkungan dan juga lingkaran.
Di belakang keris secara samar terlihat stilasi menyerupai sayap.
Sebagai latar belakang tampak jelas gambar keris dalam posisi tersarung yang terletak bagian tengah pecahan ini. Ditandatangani oleh Menteri Keuangan saat itu, Alexander Andries Maramis.
Warna dasar dari sisi muka pecahan ini adalah hijau muda kekuning-kuningan dengan warna gambar yang didominasi warna biru tua dan coklat. Untuk sisi kanan pecahan ini didominasi dengan berbagai simbol, di antaranya ornamen yang dipadukan dengan rangkaian garis.
Angka "100" juga dihiasi dengan sepasang tanduk banteng. Sebuah keris yang diapit oleh sepasang parang. Dihiasi oleh stilasi ular/naga yang mengelilingi bagian tengah, sehingga menyerupai bingkai ornamen.
Undang-Undang Hukum Keuangan Republik Indonesia juga tampak masing-masing di sisi sebelah kanan dan kiri.
Sebagai latar belakang tampak ornamen yang dipadukan dengan rangkaian garis horizontal yang berfungsi sebagai fitur pengaman.
Nominal "Seratus Rupiah" dan juga angka "100" yang cukup besar.
Sumber Gambar: Dipindai dari koleksi pribadi Bpk. Uno
113
ORI SERI II
•
Dicetak dengan menggunakan teknik offset. Menghasilkan cetakan yang halus.
•
Warna dominan cokelat dan hitam.
•
Gambar depan Sukarno, danau, gunung dan perahu.
•
Gambar belakang banteng dan undang-undang.
•
Ukuran 80 mm x 170 mm.
•
Nomor seri kombinasi enam angka (dari 0 sampai 9) dan dua huruf atau tiga huruf kapital (dari A sampai Z).
•
Ditandatangani oleh Sjafruddin Prawiranegara.
•
Pengaman cetak halus dan kertas berserat.
•
Dicetak di Percetakan Kanten, Ponorogo.
Pada kedua sisi bagian atas tertulis angka "25" dengan latar belakang kombinasi garis yang berfungsi sebagai fitur pengaman. Di beberapa bagian terdapat hiasan bunga yang dipadukan lingkaran-lingkaran kecil dan stilasi daun serta garis horizontal sebagai latar belakangnya. Tampak juga beberapa stilasi yang membentuk bintang.
Tulisan ornamental "Dua Puluh Lima Rupiah" yang dipadukan dengan arsiran horizontal dan garis diagonal.
Tulisan “25” yang menunjukkan nominal pecahan. Sebagai latar belakang, tampak arsiran horizontal yang dipadukan dengan garis diagonal yang berfungsi sebagai fitur pengaman dari pecahan ini.
DEPAN BELAKANG
Dihiasi dengan berbagai ornamen yang memadukan beragam garis yang mengelilingi bagian tengah sehingga menyerupai bingkai.
Di beberapa bagian terdapat juga kombinasi garis vertikal dan horizontal yang berfungsi sebagai salah satu fitur pengaman.
Garis bergelombang yang mengelilingi gambar utama.
114
DUA PULUH LIMA RUPIAH
Undang-Undang Hukum Keuangan Republik Indonesia yang berhiaskan stilasi daun dan bunga pada tiap-tiap sisinya. Secara samar terlihat stilasi padi dan dedaunan pada latar belakang isi undang-undang.
Tulisan "Tanda Pembajaran Jang Sah" dan "Republik Indonesia" yang melambangkan Indonesia sebagai negara baru yang berdaulat.
Pemandangan alam yang terdiri dari pegunungan dan danau, dengan kapal rakit di tengahya. Pemandangan alam ini merupakan salah satu ciri khas dari landscape Indonesia.
Pecahan ini dihiasi oleh perpaduan garis yang mengelilingi bagian tengah hingga menyerupai bingkai.
Gambar Ir. Soekarno yang terletak di dalam bangun dua dimensi berbentuk oval.
Nomor seri dari pecahan ini tercantum di sisi pojok sebelah bawah dan pojok sebelah atas. Ditandatangani oleh Menteri Keuangan saat itu, Sjafrudin Prawiranegara.
Ilustrasi seekor banteng yang berada di tengah hutan dalam posisi siaga hendak menyeruduk. Nominal angka "25" yang dipadukan dengan garis-garis diagonal di belakangnya.
Pada pecahan ini terdapat tiga bunga yang memiliki lima kelopak.
Tulisan “Dua Puluh Lima Rupiah” dengan latar belakang rangkaian garis yang membentuk stilasi bunga.
Sumber Gambar: Dipindai dari koleksi pribadi Bpk. Uno
Ukiran memet yang membentuk angka "25", dengan tiga lingkaran yang terbentuk dari perpaduan garis sebagai latar belakangnya.
115
ORI SERI III
Di keempat sisi mata uang ini terdapat tulisan angka ½ yang dihiasi oleh ornamen perpaduan garis berbeda antara sisi atas dan bawah.
•
Dicetak dengan menggunakan teknik offset. Menghasilkan cetakan yang halus.
•
Warna dominan merah, terdapat versi warna belakang cokelat.
•
Gambar depan dekorasi,
•
Gambar belakang, dekorasi dan undang-undang.
•
Ukuran 55mm x 105 mm.
•
Nomor seri kombinasi dua huruf kapital, diantaranya KE, AD, AL, AN, AT.
•
Ditandatagani oleh A.A. Maramis.
•
Pengaman cetak halus dan kertas berserat.
•
Dicetak oleh Percetakan Kanten, Ponorogo.
Tempat dan tanggal pengeluaran Seri ORI III, 20 Juli 1947
DEPAN BELAKANG Pohon kelapa yang membingkai undang-undang keuangan Indonesia.
Ornamen berbentuk seperti gunung.
116
SETENGAH RUPIAH
Nomor seri berupa dua huruf tanpa angka dan kedua hurufnya menggunakan huruf kapital, dari A sampai Z. Angka 1/2 dan di bawahnya tulisan Setengah Rupiah cukup besar. Dekorasi perpaduan garis ditempatkan sebagai latar belakang
Tanda tangan Menteri Keuangan Indonesia, A.A. Maramis
Tulisan angka “1/2” dengan ukuran besar.
Tulisan Setengah Rupiah cukup besar dengan latar belakang ornamen menyerupai globe. Undang-undang keuangan Indonesia.
Sumber Gambar: Dipindai dari koleksi pribadi Bpk. Uno
117
ORI SERI III
•
Dicetak dengan menggunakan teknik offset. Menghasilkan cetakan yang halus.
•
Warna dominan ungu tua.
•
Gambar depan dekorasi dan nominal,
•
Gambar belakang dekorasi dan undang-undang.
•
Ukuran 65 mm x 124 mm.
•
Nomor seri kombinas dua huruf kapital, diantaranya KE, AN, AT, BL, DA, DI.
•
Ditandatagani oleh A.A. Maramis.
•
Pengaman cetak halus dan kertas berserat.
•
Dicetak oleh Percetakan Kanten, Ponorogo.
Tulisan angka 2 ½ di keempat sisi mata uang. Di sisi atas tulisan angka 2 ½ lebih kecil dengan dibingkai ornamen berbentuk seperti bunga.
Tempat dan tanggal pengeluaran uang.
DEPAN BELAKANG
Tulisan angka 2 ½ pada keempat sisi mata uang.
Tulisan angka 2 ½ yang dibingkai pada ornamen yang berbentuk seperti bunga.
118
DUA SETENGAH RUPIAH
Ornamen berbentuk menyerupai piramida.
Nomor seri berupa dua huruf tanpa angka dan kedua hurufnya menggunakan huruf kapital, dari A sampai Z.
Tulisan angka 2 ½ sangat besar dan di tengahnya terdapat tulisan Dua Setengah Rupiah.
Tanda tangan Menteri Keuangan Indonesia, A.A. Maramis.
Tulisan angka 2 ½ sangat besar dengan perpaduan garis berbentuk lingkaran sebagai latar belakang.
Tulisan Dua Setengah Rupiah Undang-undang yang memuat pasal tentang keuangan Indonesia. Sumber Gambar: Dipindai dari koleksi pribadi Bpk. Uno
119
ORI SERI III
•
Gambar pemandangan alam gunung dan danau.
Dicetak dengan menggunakan teknik offset. Menghasilkan cetakan yang halus.
Tulisan angka 25 di dalam ornamen perpaduan garis dengan empat sisi.
•
Warna dominan hijau.
•
Gambar depan Sukarno, pemandangan alam pegunungan dan danau, serta perahu.
•
Gambar belakang Banteng dan undang-undang.
•
Ukuran 78 mm x 168 mm.
•
Nomor seri SDX 1.
DEPAN
•
Ditandatangani oleh A.A. Maramis.
BELAKANG
•
Pengaman cetak halus dan kertas berserat.
•
Dicetak oleh Percetakan Kanten, Ponorogo.
Tulisan Dua Puluh Lima Rupiah dengan latar belakang ornamen perpaduan garis.
Gambar banteng mengamuk.
Tulisan angka 25 di kedua sisi kanan dan kiri.
120
DUA PULUH LIMA RUPIAH
Tempat dan tanggal pengeluaran uang dan tanda tangan Menteri Keuangan Indonesia, A.A. Maramis.
Nomor seri bertuliskan SDX 1.
Gambar Sukarno berpakaian jas dan peci di dalam bingkai berbentuk oval.
Tulisan angka 25 pada sisi kanan dan kiri atas mata uang.
Tulisan angka 25 dihiasi perpaduan garis.
Tulisan Dua Puluh Lima Rupiah cukup besar. Undang-undang mengenai keuangan Indonesia.
Sumber Gambar: Dipindai dari koleksi pribadi Bpk. Uno
121
ORI SERI III Gambar Sukarno berpakaian kebesaran militer dalam bingkai berbentuk oval.
•
Dicetak dengan menggunakan teknik offset. Menghasilkan cetakan yang halus.
•
Warna dominan oranye
•
Gambar depan Sukarno dan penyadap karet
•
Gambar belakang dekorasi dan undang-undang
•
Ukuran 85 mm x 143 mm
•
Nomor seri terdiri dari enam angka (dari 0 sampai 9) dan dua huruf kapital (dari A sampai Z)
•
Ditandantangani oleh A.A. Maramis.
•
Pengaman cetak halus dan kertas berserat.
•
Dicetak oleh percetakan Kanten, Ponorogo.
Tempat dan tanggal pengeluaran mata uang dan di sampingnya tandan tangan Menteri Keuangan Indonesia, A.A. Maramis.
DEPAN BELAKANG
Tulisan Lima Puluh Rupiah dengan latar belakang angka 50.
122
LIMA PULUH RUPIAH
Tulisan angka 50 di dalam hiasan berbentuk bulat.
Nomor seri mata uang yang terdiri atas enam angka dan dua huruf. Enam angka diawali dari angka 0 sampai 9, sementara itu kedua huruf dari huruf A sampai Z. Tulisan Lima Puluh Rupiah di dalam ornamen perpaduan garis-garis.
Gambar aktivitas penyadap karet.
Tulisan angka 50 di keempat sisi mata uang.
Undang-undang berisi hukum keuangan Indonesia.
Lambang berbentuk garuda.
Sumber Gambar: Dipindai dari koleksi pribadi Bpk. Uno
123
ORI SERI III
Gambar Sukarno berpakaian jas di dalam bingkai berbentuk oval.
•
Dicetak dengan menggunakan teknik offset. Menghasilkan cetakan yang halus.
•
Memiliki dua variasi warna merah dan cokelat.
•
Gambar depan Sukarno, Gurdo, tanduk, dan keris.
•
Gambar belakang Nominal dan undang-undang
•
Ukuran 85 mm x 174 mm.
•
Nomor seri SDA 1.
•
Ditandatangani oleh A.A. Maramis.
•
Pengaman cetak halus dan kertas berserat.
•
Dicetak oleh percetakan Kanten, Ponorogo.
Tulisan Seratus Rupiah dengan latar belakang simbol gurdo.
Nomor seri mata uang SDA 1.
DEPAN BELAKANG
Undang-undang yang memuat hukum keuangan Indonesia.
124
SERATUS RUPIAH
Tanda tangan Menteri Keuangan Indonesia, A.A. Maramis. Tempat dan tanggal mata uang dikeluarkan.
Simbol keris dengan tujuh luk.
Tulisan angka 100 dengan dihiasi simbol tanduk banteng.
Gambar naga dengan lidah menjulur.
Gambar bunga Rafflesia Arnoldi.
Tulisan Seratus Rupiah dengan tulisan angka 100 sebagai latar belakang yang dihiasi oleh ornamen perpaduan garis.
Sumber Gambar: Dipindai dari koleksi pribadi Bpk. Uno
125
ORI SERI III
Gambar Sukarno dengan pakaian kebesaran militer.
•
Dicetak dengan menggunakan teknik offset. Menghasilkan cetakan yang halus.
•
Memiliki dua variasi warna, warna dasar putih dan hitam.
•
Gambar depan Sukarno dan perkebunan tembakau.
•
Gambar belakang dekorasi dan undang-undang.
•
Ukuran 85 mm x 150 mm.
•
Nomor seri terdiri dari enam angka (dari 0 sampai 9) dan dua huruf kapital (dari A sampai Z).
•
Ditandatangani oleh A.A. Maramis.
•
Pengaman cetak halus dan kertas berserat.
•
Dicetak oleh percetakan Kanten, Ponorogo.
Tulisan Seratus Rupiah.
Tempat dan tanggal uang dikeluarkan beserta tanda tangan Menteri Keuangan Indonesia, A.A. Maramis.
DEPAN BELAKANG
Gambar kepala banteng.
126
SERATUS RUPIAH
Nomor seri mata uang terdiri dari enam angka dan dua huruf kapital. Angka di awali dari 0 sampai 9, sedangkan huruf kapital bermula dari A hingga Z. Tulisan angka 100 dihiasi dengan ornamen di kedua sisinya.
Tulisan angka 100 di keempat sisi mata uang dengan ornamen yang berbeda antara sisi atas dan bawah. Ilustrasi perkebunan tembakau dilatari pegunungan.
Tulisan angka 100 di dalam bingkai berbentuk oval.
Tulisan 100 Rupiah. Undang-undang yang memuat hukum keuangan Indonesia.
Sumber Gambar: Dipindai dari koleksi pribadi Bpk. Uno
127
ORI SERI III
Gambar Sukarno berpakaian kebesaran militer di dalam bingkai oval.
Tulisan Dua Ratus Lima Puluh Rupiah.
•
Dicetak dengan menggunakan teknik offset. Menghasilkan cetakan yang halus.
•
Warna dominan cokelat.
•
Gambar depan Sukarno dan petani panen padi.
•
Gambar belakang dekorasi dan undang-undang.
•
Ukuran 94 mm x 154 mm.
•
Nomor seri terdiri atas enam angka (dari 0 sampai 9) dan dua huruf kapital (dari A sampai Z).
•
Ditandatangani oleh A.A. Maramis.
•
Pengaman cetak halus dan kertas berserat.
•
Dicetak oleh percetakan Kanten, Ponorogo.
Logo RI, Repubik Indonesia.
DEPAN BELAKANG
Stilisasi daun.
128
DUA RATUS LIMA PULUH RUPIAH
Tempat dan tanggal uang dikeluarkan, beserta tanda tangan Menteri Keuangan Indonesia, A.A. Maramis.
Nomor seri mata uang yang terdiri atas enam angka dan dua huruf kapital. Angka di awali dari 0 sampai 9, sedangkan huruf kapital bermula dari A hingga Z.
Tulisan angka 250 dengan dihiasai ornamen seperti kepala banteng.
Ilustrasi masyarakat yang sedang memanen padi dengan latar belakang pegunungan.
Undang-undang yang memuat hukum keuangan Indonesia.
Tulisan Dua Ratus Lima Puluh Rupiah.
Tulisan angka 250. Sumber Gambar: Dipindai dari koleksi pribadi Bpk. Uno
129
ORI SERI IV
Gambar Sukarno berpakaian jas di dalam bangun datar oval perpaduan titik dan garis sebagai latar belakang.
•
Dicetak dengan menggunakan teknik offset. Menghasilkan cetakan yang halus.
•
Warna dominan cokelat bagian depan dan hijau di bagian belakang.
•
Gambar depan Sukarno dan penenun.
•
Gambar belakang dekorasi dan undang-undang.
•
Ukuran 81 mm x 141 mm.
•
Nomor seri terdiri empat huruf kapital kombinasi 2x2 huruf kapital yang berbeda, seperti di antaranya AA PZ, AC PB, AG PF, AI UH.
•
Ditandatangani oleh Moh. Hatta.
•
Pengaman cetak halus dan kode kontrol.
•
Dicetak oleh percetakan Kanten, Ponorogo.
Tempat dan tanggal mata uang dikeluarkan, beserta tanda tangan Menteri Keuangan Indonesia, Moh. Hatta.
DEPAN BELAKANG
Ornamen perpaduan garis bergelombang mengelilingi berbentuk bingkai.
130
EMPAT PULUH RUPIAH
Tulisan Empat Puluh Rupiah.
Nomor seri mata uang terdiri dari empat huruf kapital (RE dan MF), dimulai dari A sampai Z, kecuali huruf J tidak dipergunakan.
Tertulis angka 40 di dalam ornamen stilisasi daun.
Ilustrasi seorang penenun.
Tulisan angka 40 Rupiah yang berada di dalam lingkaran dengan dihiasi perpaduan garis di sisinya dan perpaduan garis vertikal sebagai latar belakang.
Undang-undang yang memuat hukum keuangan Indonesia denga dihiasi perpaduan garis di bagian sisinya.
Sumber Gambar: Dipindai dari koleksi pribadi Bpk. Uno
131
ORI SERI IV
•
Dicetak dengan menggunakan teknik offset. Menghasilkan cetakan yang halus.
•
Warna dominan adalah cokelat dan oranye.
•
Gambar depan Sukarno dan pande besi.
•
Gambar belakang dekorasi dan undang-undang.
•
Ukuran 86 mm x 150 mm.
•
Nomor seri terdiri dari enam atau lima angka (dari 0 sampai 9) dan dua huruf kapital (dari A sampai Z. Penulisan angka dan huruf terpisah, di mana angka terletak di kiri bawah, sedangkan huruf kapital di kanan atas.
•
Ditandatangani oleh Moh. Hatta.
•
Pengaman cetak halus dan kode kontrol.
•
Dicetak oleh percetakan Kanten, Ponorogo.
Nomor seri berupa enam atau lima angka dan dua huruf kapital. Penulisan huruf terpisah dengan angka di mana penulisan huruf terletak di atas bagian kanan sedangkan huruf di bagian kiri bawah.
Gambar kepala banteng.
Gambar Sukarno berpakaian jas di dalam bingkai oval.
DEPAN BELAKANG
Simbol kepala banteng.
Undang-undang yang memuat hukum keuangan Indonesia.
132
TUJUH PULUH LIMA RUPIAH
Tulisan Tudjuh Puluh Lima Rupiah di sebelah kanan tertulis 75.
Tempat dan tanggal pengeluaran mata uang berserta tanda tangan Menteri Keuangan Indonesia, Moh. Hatta.
Ilustrasi pande besi.
Tulisan angka 75.
Ornamen stilisasi yang menyerupai kupu-kupu.
Sumber Gambar: Dipindai dari koleksi pribadi Bpk. Uno
133
ORI SERI IV
•
Dicetak dengan menggunakan teknik offset. Menghasilkan cetakan yang halus.
•
Warna dominan cokelat bagian depan dan merah bagian belakang.
•
Gambar depan Sukarno dan perkebunan tembakau.
•
Gambar belakang dekorasi dan undang-undang.
•
Ukuran 82 mm x 148 mm.
•
Nomor seri terdiri dari enam angka (dari 0 sampai 9) dan empat huruf kapital (dari A sampai Z, kecuali Q). Empat huruf kapital dipisah: dua di bagian kiri atas beserta nomor seri enam angka dan dua di bagian kanan atas.
•
134
Gambar Sukarno dengan pakaian kebesaran militer.
Ditandatangani oleh Moh. Hatta.
•
Pengaman cetak halus dan kode kontrol.
•
Dicetak oleh percetakan Kanten, Ponorogo.
SERATUS RUPIAH
Nomor seri berupa enam angka, diawali 0 sampai 9, dan empat huruf berkisar dari A sampai Z, kecuali huruf Q tidak digunakan. Empat huruf seri dipisah di kanan dan kiri.
Tempat dan tanggal pengeluaran mata uang beserta tanda tangan Menteri Keuangan Indonesia, A.A. Maramis.
DEPAN BELAKANG
Tulisan 100 Rupiah
Gambar kepala banteng.
Tulisan Seratus Rupiah.
Ilustrasi perkebunan tembakau dengan latar pegunungan. Tulisan angka 100 dihiasi dengan ornamen pada kedua sisinya.
Tulisan angka 100 pada keempat sisi mata uang.
Tulisan angka 100 di dalam bingkai berbentuk oval.
Undang-undang yang memuat hukum keuangan Indonesia.
Sumber Gambar: Dipindai dari koleksi pribadi Bpk. Uno
135
ORI SERI IV
136
Gambar Sukarno berpakaian militer dalam bingkai oval yang sebagai latar belakangnya perpaduan garis silang.
•
Dicetak dengan menggunakan teknik offset. Menghasilkan cetakan yang halus.
•
Warna dominan cokelat dan hijau.
•
Gambar depan Sukarno dan pohon tebu.
•
Gambar belakang nominal dan undang-undang.
•
Ukuran 98 mm x 159 mm.
•
Nomor seri terdiri dari enam angka (dari 0 sampai 9) dan empat huruf kapital (dari A sampai Z). Penempatan kombinasi dua huruf kapital terpisah di bagian kanan atas dan bagian kiri tengah.
•
Ditandatangani oleh Moh. Hatta.
•
Pengaman cetak halus dan kode kontrol.
•
Dicetak oleh percetakan Kanten, Ponorogo.
EMPAT RATUS RUPIAH
Tempat dan tanggal pengeluaran uang beserta tanda tangan Menteri Keuangan Indonesia, Moh. Hatta.
DEPAN BELAKANG
Tulisan 400 Rupiah cukup besar yang terletak dalam perpaduan garis berbentuk semi-oval sebagai latar belakangnya.
Nomor seri uang, terdiri dari enam angka dan empat huruf kapital. Penempatan dua huruf kapital terpisah di bagian kanan atas dan bagian kiri tengah.
Ilustrasi tanaman tebu.
Tulisan angka 400 Rupiah dihiasi ornamen.
Tulisan angka 400 di dua sisi kanan dan kiri bawah uang.
Undang-undang yang memuat hukum keuangan Indonesia dalam lingkaran yang dihiasi oleh ornamen pada sisinya.
Sumber Gambar: Dipindai dari koleksi pribadi Bpk. Uno
137
ORI SERI IV
138
•
Dicetak dengan menggunakan teknik offset. Menghasilkan cetakan yang halus.
•
Warna dominan hijau.
•
Pecahan yang langka pada ORI IV karena belum diedarkan oleh secara luas di tengah masyarakat.
•
Gambar depan Sukarno, nominal, dan logo ENR.
•
Tidak memiliki ilustrasi di bagian belakang.
•
Ukuran 105 mm x 166 (tanpa margin ENR)
•
Tidak memiliki nomor seri.
•
Ditandatangani oleh Moh. Hatta.
•
Pengaman cetak halus dan kode kontrol.
•
Dicetak oleh percetakan Kanten, Ponorogo.
ENAM RATUS RUPIAH
Tulisan angka 600 di kedua sisi kanan dan kiri bagian atas dihiasi oleh ornamen.
DEPAN Ilustrasi Sukarno berpakaian kebesaran militer dalam bangun oval dihiasi oleh titik dan garis sebagai latar belakang gambar.
BELAKANG
Tulisan angka 600 dengan latar ornamen perpaduan garis bergelombang.
Logo RI.
Tulisan enam ratus rupiah.
Tempat dan tanggal pengeluaran uang beserta tanda tangan Menteri Keuangan Indonesia, Moh. Hatta.
Sumber Gambar: Dipindai dari koleksi pribadi Bpk. Uno
139
ORIDA BANTEN
Ilustrasi buah rambutan.
Ilustrasi Masjid Banten.
•
Bahan klise dibuat dari kayu sawo kecik.
•
Warna dominan hijau.
•
Gambar depan Masjid Banten.
•
Gambar belakang nominal dan undang-undang.
•
Ukuran 81 mm x 152 mm.
•
Nomor seri kombinasi lima dan empat angka (dari 0 sampai 9) dan dua huruf kapital (dari A sampai Z).
•
Ditandatangani oleh R. Abubakar Winangun dan Tubagus K.H. Achmad Chatib.
•
Dicetak di Percetakan Serang milik Abdurrodjak.
Nomor seri mata uang kombinasi lima angka dan dua huruf kapital.
Tanda tangan panitia keuangan R. Abubakar Winangun.
DEPAN BELAKANG Ornamen menyerupai sayap di kedua sisi atas undang-undang.
Ornamen ragam hias di kedua sisi atas mata uang.
140
SEPULUH RUPIAH
Gambar salah satu senjata yang biasa dipakai saat atraksi tradisional debus Banten.
Tulisan Uang Kertas Darurat untuk Daerah Banten sebagai tanda bahwa uang ini diedarkan di masa darurat di wilayah Banten dan tulisan Tanda Pembajaran Jang Sah di bawahnya. Gambar senjata tradisional kujang.
Tulisan angka 10 di sisi kanan dan kiri atas uang, dan juga di bawah kiri uang. Ilustrasi buah nanas.
Tanda tangan Residen Banten, Tubagus K.H. Achmad Chatib, menggunakan bahasa Arab.
Tulisan angka 10 cukup besar di bagian kanan dan kiri mata uang.
Undang-undang yang memuat hukum keuangan Indonesia. Ornamen ragam hias berbentuk segitiga siku-siku di bagian bawah mata uang. Sumber Gambar: Dipindai dari koleksi pribadi Bpk. Uno
141
ORIDA PALEMBANG
•
Warna dominan hitam.
•
Gambar depan nominal, tembok, dan rumah tradisional.
•
Gambar belakang pemadangan dan pohon kelapa.
•
Ukuran 72 mm x 148 mm.
•
Nomor seri kombinasi lima angka (dari 0 sampai 9) dan dua huruf kapital (dari A sampai Z).
•
Ditandatangani oleh Residen Palembang, Abdul Rozak.
•
Pengaman kode kontrol, cap Dewan Pertahanan Palembang.
Tulisan angka 1000 rupiah di dalam bingkai berbentuk kubus.
Nomor seri kombinasi dari lima angka dan dua huruf kapital.
Gambar tembok di bawah kubus.
Tanda tangan Residen Daerah Palembang, Abdul Rozak.
DEPAN BELAKANG
Ornamen ragam hias di bagian kanan dan kiri mata uang.
Gambar pemandangan dengan awan.
142
SERIBU RUPIAH
Cap dari Dewan Pertahana Daerah Palembang sebagai pengaman.
Ornamen hias berbentuk seperti tanaman. Tulisan Mandat DPDP (Dewan Pertahanan Daerah Palembang).
Ilustrasi rumah tradisional.
Tulisan Seribu Rupiah.
Tulisan angka 1000 di dalam bingkai berbentuk lingkaran dengan perpaduan garis vertikal. Terletak di keempat sisi mata uang.
Tulisan angka 1000 di dalam bingkai berbentuk persegi panjang dengan hiasan di keempat sisinya. Gambar pohon kelapa yang menjadi bagian dari pemandangan. Sumber Gambar: Dipindai dari koleksi pribadi Bpk. Uno
143
ORIDA BOEKIT TINGGI
•
Warna dominan biru.
•
Gambar depan Sukarno dan Candi Borobudur.
•
Gambar belakang rumah adat Minang, ornamen dekorasi, dan undang-undang.
•
Ukuran 73 mm x 132 mm.
•
Nomor seri kombinasi lima angka (dari 0 sampai 9) dan dua huruf kapital dan satu huruf kecil di tengah, seperti contohnya K g S
•
Ditandatangani oleh Gubernur Sumatera, Mr. T.M. Hasan.
•
Pengaman kode kontrol.
•
Dicetak di Percetakan Negara Pematang Siantar (Perneps).
Gambar Sukarno dalam bingkai oval dengan latar perpaduan garis.
Tanda tangan Gubernur Sumatera Mr. T.M. Hasan. Tulisan angka 5 di keempat sisi mata uang dalam bingkai segi empat dan lingkaran.
Tulisan Propinsi Sumatera menandakan bahwa uang ini bagian dari Oeang Republik Indonesia Propinsi Sumatera (ORIPS).
DEPAN BELAKANG
Tulisan angka 5 di tengah mata uang.
Ilustrasi Rumah adat Minang.
144
LIMA RUPIAH
Tulisan Lima Rupiah, Lima di bagian kiri dan Rupiah di bagian kanan.
Tulisan Lima Rupiah di bagian tengah uang.
Nomor seri yang terdiri dari kombinasi lima angka dan tiga huruf: satu huruf kecil di tengah diapit oleh dua huruf kapital.
Ilustrasi Candi Borobudur.
Tulisan Tanda Pembajaran Jang Sah.
Tulisan angka 5 di kedua sisi atas mata uang.
Ornamen berbentuk daun sebagai hiasan mata uang. Undang-undang yang memuat hukum keuangan Indonesia. Sumber Gambar: Dipindai dari koleksi pribadi Bpk. Uno
145
ORIDA PEMATANG SIANTAR
Gambar Sukarno dalam bingkai berbentuk oval
Tulisan Propinsi Soematra menandakan bahwa uang ini bagian dari Oeang Republik Indonesia Propinsi Sumatera (ORIPS).
146
•
Warna cokelat-merah.
•
Gambar depan Sukarno dan gunung berapi.
•
Gambar belakang nominal, undang-undang, dan ornamen dekorasi.
•
Ukuran 71 mm x 126 mm.
•
Nomor seri kombinasi lima angka (dari 0 sampai 9) dan dua huruf kapital dan satu huruf kecil di tengah, seperti contohnya R o L.
•
Ditandatangani oleh Direktur Bank Negara Indonesia Pematang Siantar, R.A. Herman, dan Kepala Jabatan Keuangan Provinsi Sumatera, R.M. Amin.
•
Pengaman kode kontrol.
•
Dicetak di Percetakan Bukit Tinggi setelah Pematang Siantar diserbu dan diduduki oleh militer Belanda.
SATU RUPIAH
Nomor seri kombinasi lima angka dan tiga huruf, di mana huruf di tengah berhuruf kecil diapit dua huruf kapital.
DEPAN BELAKANG
Ornamen perpaduan garis yang membentuk bingkai.
Tulisan angka 1 cukup besar di bagian kanan dan kiri mata uang yang dibingkai oleh lingkaran dengan perpaduan garis di dalamnya.
Tanda tangan Direktur Bank Negara Indonesia Pematang Siantar, R.A. Herman.
Tulisan Tanda Pembajaran Jang Sah.
Tanda tangan Kepala Djabatan Keoeangan Propinsi Soematra, R.M. Amin.
Tulisan angka 1 cukup besar di bagian sisi kanan atas mata uang. Tulisan Satoe Roepiah cukup besar di bagian tengah mata uang.
Ilustrasi gunung berapi.
Undang-undang yang memuat hukum keuangan Indonesia.
Perpaduan garis horizontal membentuk sebuah pola di bagian kanan dan kiri undangundang.
Sumber Gambar: Dipindai dari koleksi pribadi Bpk. Uno
Ilustrasi berbentuk seperti pegunungan.
147
ORIDA BUKIT BARISAN
•
Memiliki dua variasi warna, merah dan hijau.
•
Gambar depan penunggang kuda bertombak dan banteng.
•
Gambar belakang gunung berapi dan undang-undang.
•
Ukuran 57 mm x 114 mm.
•
Nomor seri kombinasi dari tiga huruf kapital (dari A sampai Z) dan enam angka (dari 0 sampai 9).
•
Gambar burung elang sedang terbang.
Tanda tangan Gubernur Militer Daerah Militer Istimewa Sumatera Selatan, Adnan Kapau Gani dan dibawahnya terdapat tulisan Bukit Barisan 1 Mei 1949 menandakan bahwa uang ini adalah emisi Bukit Barisan dan dikeluarkan pada tanggal 1 Mei 1949.
Gambar penunggang kuda membawa tombak.
Tulisan angka 20 hanya di bagian kiri bawah mata uang.
Ditandatangani oleh Gubernur Militer Daerah Militer Istimewa Sumatera Selatan, Adnan Kapau Gani.
•
Pengaman kode kontrol.
•
Dicetak di Percetakan Mandar.
DEPAN BELAKANG
Ornamen ragam hias yang terletak di kedua sisi gambar utama dan undang-undang.
148
DUA PULUH RUPIAH
Tulisan angka 20 yang terletak di kedua sisi kanan kiri bawah mata uang.
Gambar banteng menyeruduk. Stilisasi padi melambangkan Indonesia negara agraris.
Tulisan Republik Indonesia Daerah Militer Istimewa Sumatera Selatan menandakan wilayah uang dan di bawahnya terdapat tulisan Dua Puluh Rupiah
Nomor seri uang kombinasi dari tiga huruf kapital dan enam angka. Gambar ragam tanaman dan hasil perkebunan.
Undang-undang yang memuat hukum keuangan Indonesia.
Ilustrasi sawah berteras dengan gunung berapi sebagai latarnya. Sumber Gambar: Dipindai dari koleksi pribadi Bpk. Uno
149
ORIDA DJAMBI Ornamen hias seperti bunga teratai.
•
Warna dominan merah.
•
Gambar depan nominal dan ornamen dekorasi.
•
Gambar belakang ornamen dekorasi dan pengumuman.
•
Ukuran 74 mm x 137 mm.
•
Nomor seri terdiri dari lima angka (dari 0 sampai 9).
•
Ditandatangani oleh Residen Jambi, R. Inu Kertapati.
•
Pengaman kode kontrol dan tanda tangan.
DEPAN
•
Dicetak di Percetakan Negara Jambi.
BELAKANG
Tulisan angka 2 ½ cukup besar dengan latar belakang bingkai segitiga terbalik.
Tanda tangan Residen Djambi, R. Inu Kertapati.
Tulisan angka 2 ½ cukup besar di dalam bingkai berbentuk segiti terbalik.
Ornamen hias seperti bunga teratai.
150
DUA SETENGAH RUPIAH
Tulisan Coupon Penukaran setara dengan Dua Setengah Rupiah. Ornamen hias seperti berbentuk dahan atau tangkai bunga.
Ornamen hias seperti setengah bunga teratai.
Nomor seri berupa lima angka.
Tulisan angka 2 ½ di bagian sisi kanan bawah mata uang.
Ornamen hias seperti bunga teratai yang tertutup pengumuman ketetapan pemerintah daerah.
Penguman dari pemerintah daerah mengenai wilayah berlakunya kupon penukaran uang 2 ½ rupiah.
Ornamen hias berbentuk dahan atau tangkai bunga.
Sumber Gambar: Dipindai dari koleksi pribadi Bpk. Uno
151
ORI BARU
Angka 10 tertera secara diagonal pada keempat sudutnya dengan latar berupa perpaduan garis bergelombang.
•
Dicetak dengan menggunakan teknik offset. Menghasilkan cetakan yang halus.
•
Mempunyai dua variasi warna, yakni observe biru reverse cokelat dan observe merah dan reverse hijau.
•
Gambar depan nominal, ornamen dekorasi.
•
Gambar belakang ornamen dekorasi dan undang-undang.
•
Ukuran 60 mm x 100 mm (birucokelat) dan 62 mm x 101 mm (merah-hijau)
•
Tidak memiliki nomor seri.
•
Ditandatangani oleh Loekman Hakim.
•
Pengaman kode kontrol dan cap.
•
Dicetak di Percetakan NRI, Kutaraja, Aceh.
Ornamen terdiri dari tilasi daun berupa daun patran, daun relung, dengan ikal (ulir/ukel), yang berada pada sisi kiri dari pecahan.
Stempel yang menunjukan tempat dan tanggal; tanda tangan Menteri Keuangan.
DEPAN BELAKANG
Bangun datar belah ketupat dengan tulisan ‘sen baru’ dan angka 10 menjadi gambar latar, pada kedua sisi kanan-kiri. a. ornamen stilasi daun b. perpaduan garis yang menyerupai lidah api.
152
SEPULUH SEN
Angka 10 menunjukan nominal dibingkai oleh ornament geometris berupa perpaduan lingkaran yang disusun berulang-ulang dan garis-garis bergelombang.
Perpaduan garis dengan titik menjadi latar belakang gambar.
Teks ‘sepuluh sen baru’ yang dibingkai oleh suluran daun relung. Teks ‘Republik Indonesia’ menunjukan negara yang menerbitkan mata uang.
Nilai mata uang: angka ‘10’ berupa outline dan bagian tengah kosong, dengan latar ornament geometris.
Teks ‘tanda pembajaran jang sah’, tertulis menggunakan huruf tebal. Motif meander atau garis berliku-liku yang berpadu dengan ornament geometris dari garis-garis lengkung sebagai hiasan pinggir membentuk bingkai.
Bingkai berupa garis bergelombang (meander) pada sisi luar, dan garis lurus pada bagian dalam.
Teks undang-undang hukum keuangan yang ditulis pada sebuah persegi.
Sumber Gambar: Dipindai dari koleksi pribadi Bpk. Uno
153
ORI BARU
Perpaduan titik dan garis menjadi dekorasi bagian tengah mata uang membentuk pola visual tertentu yang juga dapat mempersulit tindakan pemalsuan.
•
Dicetak dengan menggunakan teknik offset. Menghasilkan cetakan yang halus.
•
Mempunyai dua variasi warna, yakni observe hijau reverse ungu dan observe merah reverse hijau.
•
Gambar depan teratai, nominal, dan ornamen dekorasi.
•
Gambar belakang pohon beringin dan undang-undang.
•
Ukuran 62 mm x 102 mm (hijauungu) dan 58 mm x 99 mm (merah-hijau).
•
Tidak memiliki nomor seri.
•
Ditandatangani oleh Loekman Hakim.
•
Pengaman kode kontrol dan cap.
•
Dicetak di Percetakan NRI, Kutaraja, Aceh.
Gubahan bunga Teratai yang sedang mekar.
Motif geometri membentuk bingkai pada sisi kanan, kiri dan bawah.
DEPAN BELAKANG
Ornamen geometri yang membentuk bingkai terdiri dari perpaduan garis lengkung dan lancip menyerupai motif tumpal.
Angka ½ menunjukan nilai mata uang.
154
SETENGAH RUPIAH
Stilasi daun seolah tumbuh dari bawah.
Gubahan kuncup Teratai atau padma dengan posisi diagonal.
Teks “Republik Indonesia” negara yang menerbitkan mata uang. Angka ‘½’ dibingai dalam bangun datar oval dengan hiasan sulur pada bagian atas, dantertera teks ‘baru’, pada bagian bawah.
Teks ‘tanda pambajaran jang sah’ tercetak agak samar.
Teks ‘setengah’ ‘rupiah’.
Stempel dan tandatangan menteri keuangan. Stempel dan tanda tangan ini tercetak dalam dua warna yakni merah untuk mata uang berwarna hijau, dan hitam untuk mata uang berwarna merah.
Teks undang-undang dituliskan dalam bingkai berupa kombinasi motif geometrid an ubahan daun.
Angka ½ yang tercetak tebal namun agak membayang seolah menyatu dengan ormnamen garis-garis pada gambar latar.
Gambar utama berupa pohon beringin.
Sumber Gambar: Dipindai dari koleksi pribadi Bpk. Uno
155
ORI BARU
156
Angka ‘1’ tercetak besar menggunakan jenis font yang tinggi dan agak sempit menunjukan nilai mata uang. Motif geometri berbentuk lingkaran dengan kombinasi garis lengkung menjadi gambar latar pada bagian ini.
•
Dicetak dengan menggunakan teknik offset. Menghasilkan cetakan yang halus.
•
Warna dominan depan adalah ungu dan belakang adalah merah.
•
Gambar depan teratai, nominal, dan ornamen dekorasi.
•
Gambar belakang ornamen dekorasi dan undang-undang.
•
Ukuran 68 mm x 109 mm.
•
Nomor seri kombinasi enam angka (dari 0 sampai 9) dan dua huruf atau tiga huruf kapital (dari A sampai Z).
•
Ditandatangani oleh Loekman Hakim.
•
Pengaman kode kontrol dan cap.
•
Dicetak di Percetakan NRI, Kutaraja, Aceh.
SATU RUPIAH
Motif perpaduan garis-garis lengkung dalam bidang persegi sebagai dasar bingkai.
Angka yang dikelilingi garis oval menunujukan besarnya pecahan terdapat pada kedua sudut bagian atas. Nomor Seri terdiri dari enam angka.
DEPAN BELAKANG
Angka 1 pada tengah bidang lengkung terdapat pada keempat sudut bagian belakang mata uang.
Angka 1 tercetak besar pada bangun datar belah ketupat. Angka ini memiliki outline yang terbentuk dari bidang kosong dan terdapat bentuk bunga matahari pada bagian atas angka.
Kombinasi garis putus-putus dan titik membentuk motif atau pola arsir tertentu sebagai gambar latar.
Teks ‘Tanda Pembajaran Jang Sah’.
Teks ‘Republik Indonesia’ menunjukan negara yang mengeluarkan mata uang.
Perpaduan garis bergelombang, garis arsir membentuk ornament yang menyerupai bingkai.
Teks ‘Satu Rupiah’ ‘Baru”, menunjukan pecahan ini adalah ORI Baru.
Stempel tanda tangan Menteri Keuangan berada pada bagian kanan bawah.
Gambar latar: motif geometris lingkaran yang tersusun dari garis-garis lengkung berkait, dan berpadu dengan motif roset.
Bangun datar belah ketupat. Teks undang-undang tercetak pada bagian tengah bawah. Sumber Gambar: Dipindai dari koleksi pribadi Bpk. Uno
Bagian belakang (reserve) mata uang ini berbentuk berbentuk bangun datar belah ketupat dan pada keempat sisinya dihiasi dengan motif garis membentuk bidang lengkung.
157
ORI BARU
Gambar Sukarno, presiden RI, menoleh ke arah kiri dengan gambar latar berupa arsiran garis. Teks ‘tanda pembajaran jang sah’disusun melengkung (curve/arch-up).
•
Dicetak dengan menggunakan teknik offset. Menghasilkan cetakan yang halus.
•
Mempunyai dua variasi warna, yakni observe kuning reverse cokelat dan observe cokelat reverse merah.
•
Gambar depan Sukarno, pohon pisang, dan ikatan padi.
•
Gambar belakang lambang gurdo dan undang-undang.
•
Ukuran 80 mm x 129 mm.
•
Nomor seri kombinasi lima atau enam angka (dari 0 sampai 9) dan dua huruf kapital (dari A sampai Z).
•
Ditandatangani oleh Loekman Hakim.
•
Pengaman kode kontrol dan cap.
•
Dicetak di Percetakan NRI, Kutaraja, Aceh.
Perpaduan garis membentuk bingkai, terdapat pada sisi kanan, kiri dan bawah.
Gambar ikatanikatan padi.
DEPAN BELAKANG Gambar latar berupa ikal, atau spiral yang disusun jalin menjalin.
Pola pada bidang kosong yang tidak digambar/diarsir (warna kertas sebagai dasar) berupa stilasi lidah api atau agni.
158
SEPULUH RUPIAH
Ornamen segitiga berulang atau motif tumpal.
Nomor seri tercetak dengan warna hitam tersusun dari enam angka dan dua huruf. Pada bagian depan tertulis ‘No’.
Teks ‘Republik Indonesia’ negara yang menerbitkan uang.
Angka ‘10’menunjukan besarnya nilai uang.
Stempel dan tandatangan menteri keuangan.
Gambar pohon dan daun pisang sebagai gambar latar.
Teks ‘Sepuluh Rupiah’ ‘baru’ disusun bergelombang. Teks undang-undang.
Angka 10, dalam bidang berupa seperempat lingkaran dengan arsiran garis sebagai latar.
Stilasi lidah api atau agni.
Perpaduan garis lengkung setengah lingkaran membentuk bidang yang meyerupai bingkai.
Ornament Gurdha juga disebut Garuda atau motif lar (sayap) dengan bentuk sempurna yakni menunjukan kedua sayap yang mengembang/terbuka, bagian badan dan ekor. Dekorasi semacam ini telah banyak dikenal sebagai motif batik.
Sumber Gambar: Dipindai dari koleksi pribadi Bpk. Uno
159
ORI BARU
•
Ornamen perpaduan garis yang membentuk bingkai; kedua sudut bagian atas berentuk lengkung, sedangkan bagian bawah lancip.
Dicetak dengan teknik offset. Menghasilkan cetakan yang halus.
•
Warna dominan depan adalah ungu dan bagian belakang adalah hijau.
•
Gambar depan Sukarno dan ornamen dekorasi.
•
Gambar belakang ornamen dekorasi dan undang-undang.
•
Ukuran 90 mm x 153 mm.
•
Nomor seri kombinasi lima angka (dari 0 sampai 9) dan dua huruf kapital (dari A sampai Z). Pada bagian depan nomor seri terdapat emboss huruf ‘No’ yang terasa timbul ketika diraba.
•
Pada uang yang ditenggarai palsu, tertera nomor seri dengan huruf narrow atau memiliki ukuran yang panjang dan bentuk ramping, dan warna tinta yang lebih terag atau jelas ketimbang nomor seri uang asli.1
•
Ditandatangani oleh Loekman Hakim.
•
Pengaman kode kontrol dan cap.
•
Dicetak di Percetakan NRI, Kutaraja, Aceh.
Stlisasi daun relung, atau motif pilin. Gambar Sukarno dalam bingkai dengan dekorasi garis-garis lengkung dan lingkaran. Gambar Sukarno yang digunakan pada pecahan ini sama dengan yang ada pada pecahan ORI Baru 10 rupiah. Nomor seri tercetak dengan warna merah terdiri dari kombinasi angka dan huruf tanpa kait (sans-serif). Nomor seri juga terdapat pada sisi kiri bawah.
DEPAN BELAKANG
Ornamen geometris dari perpaduan garis lengkung yang menyerupai kubah, dan garisgaris lurus sebagai gambar latar.
Sebagai gambar latar, tiga lingkaran yang dibentuk oleh garis-garis sepiral tersusun berulang-ulang.
———
1 Lihat dalam Uno, hlm. 299
160
SERATUS RUPIAH
Ornamen yang menjadi ciri pada bagian belakang (reserve) pecahan 100 rupiah mata uang ORI Baru adalah motif geometris berbentuk lingkaran yang sangat dominan, yang dihasilkan dari kombinasi garis-garis dan titik yang membentuk motif maupun pola tertentu.
Teks ‘Tanda Pembayaran Jang Sah’, tertata melengkung dengan menggunakan rupa huruf tegak tanpa kait (sans-serif).
Lingkaran besar sebagai latar gambar pada bagian tengah dengan lima bangun geometris yang terjalin dengan garis bergelombang yang memanjang.
Teks ‘Republik Indonesia’, menunjukan negara yang menerbitkan mata uang. Stempel dan tanda tangan menteri keuangan.
Motif rosen kecil-kecil, terjalin dari empat garis lengkung dengan sebuah lingkaran di tengah. Teks ‘Seratus’, ‘Rupiah’, ‘Baru’ berupa outline menggunakan huruf berkait atau siripan (serif). Angka 100 yang menunjukan besarnya nominal tercetak pada dua sudut bagian bawah dalam bingkai yang menyerupai pancaran matahari di sisi kiri; dan bentuk setengah lingkaran seperti bulan separo, pada sisi kanan .
Teks undang-undang dicetak pada sisi kanan-kiri bagian dalam bingkai polos atau tanpa ornament latar yang memiliki dekorasi berupa ornament pilin (menyerupai huruf S) pada sisi atas dan bawahnya.
Angka 100 berupa outline yang dicetak besar latar tampak sangat menonjol, dengan gambar latar berupa garis dan lingkaran.
Dekorasi berupa gubahan menyerupai kuncup bunga.
Sumber Gambar: Dipindai dari koleksi pribadi Bpk. Uno
Teks ‘Seratus Rupiah’ tersusun bertumpuk dengan ukuran huruf yang semakin mengecil ke bawah.
161
UANG RIS LIMA & SEPULUH RUPIAH
162
•
Dicetak dengan menggunakan teknik offset sehingga menghasilkan cetakan yang halus.
•
Teknik intaglio digunakan untuk mencetak gambar utama pada uang dan menghasilkan cetakan bertekstur kasar pada cetakannya.
•
Teknik cetak tinggi digunakan untuk mencetak nomor seri dan menghasilkan cetakan ke dalam atau cekung pada permukaanya.
•
Warna dominan merah-oranye (5 Rupiah); ungu (10 Rupiah).
•
Gambar depan Sukarno.
•
Gambar belakang pemandangan alam, sawah, dan undang-undang.
•
Ukuran 64 mm x 135 mm.
•
Nomor seri kombinasi enam angka (dari 0 sampai 9), satu huruf dan satu angka di bawah hurufnya, dipisahkan dengan garis horizontal.
•
Ditandatangani oleh Sjafruddin Prawiranegara.
•
Pengaman kode kontrol dan tinta intaglio.
•
Dicetak di Percetakan Thomas De La Tue & Co. Ltd., London.
Stilasi daun relung, pada pangkal pertemuan sulur membentuk bulatan yang di bagian tengahnya tertera nominal masing masing pecahan.
Stilasi kuncup bunga melati yang ditengahnya terdapat angka sebagai penanda nominal. Angka sesuai dengan nilai uang yang dicetak cukup besar dengan gambar latar berupa perpaduan garis-garis bergelombang.
Djakarta, 1 Djanuari 1950 penanda tempat dan tanggal dikeluarkannya uang.
DEPAN BELAKANG Frame persegi dengan ornament geometris membingkai angka yang menunjukan nominal uang, terdapat pada sisi kanan dan kiri. Dua frame persegi pada sudut atas memiliki ukuran yang lebih besar dibanding dengan yang terdapat pada kedua sudut bagian bawah, dan memiliki hiasan motif gubahan daun.
Perpaduan garis membentuk bidang menyerupai gapura yang memiliki hiasan stilasi daun pokok relung dengan ikal/ ukel pada pangkalnya.
Angka yang menunjukan nilai pecahan sebagai gambar utama, dan kombinasi garis kecil dan tulisan “RIS” tersusun menyilang: verticalhorisontal sebagai gambar latar.
Nomer seri tertera kanan atas dan kiri bawah, berupa kombinasi huruf-angka yang tersusun atas-bawah dengan garis pada bagian tengahnya, dan enam angka yang dicetak dengan warna hitam. Huruf dan angka yang tersusun vertikal pada nomer seri ini membedakan seri uang RIS dengan pecahan lainnya yang lazimnya disusun horisontal.
“Republik Indonesia Serikat” tertera di tengah bingkai, menunjukan otoritas yang menerbitkan mata uang.
Tulisan “Tanda Pembajaran Jang Sah”; nominal uang dalam huruf; dan tandatangan menteri keuangan, dengan gambar latar berupa motif geometris dari perpaduan garis
Gambar Sukarno dalam bingkai oval. ornament berbentuk motif gubahan daun.
Dekorasi geometris berupa perpaduan garis lengkung menjadi gambar latar. Teks undang-undang dalam bigkai persegi panjang (rectangle) dengan dekorasi daun minimalis pada bagian tengah-atas.
“Republik Indonesia Serikat” tertera di tengah bingkai, menunjukan otoritas yang menerbitkan mata uang.
Lanskap alam berupa pemandangan persawah, pohon kelapa dengan perbukitan sebagai latar belakang.
Sumber Gambar: Dipindai dari koleksi pribadi Bpk. Uno
Thomas de la Rue & Co. Ltd. London, nama perusahaan yang mencetak uang RIS.
163
UANG RI SERI PEMANDANGAN ALAM
164
•
Dicetak dengan menggunakan teknik offset sehingga menghasilkan cetakan yang halus.
•
Teknik intaglio digunakan untuk mencetak gambar utama pada uang dan menghasilkan cetakan bertekstur kasar pada cetakannya.
•
Teknik cetak tinggi digunakan untuk mencetak nomor seri dan menghasilkan cetakan ke dalam atau cekung pada permukaanya.
•
Warna dominan biru.
•
Gambar depan pantai dan sawah berteras.
•
Gambar belakang gunung dan undang-undang.
•
Ukuran 66 mm x 127 mm.
•
Nomor seri kombinasi enam angka (dari 0 sampai 9) dan dua huruf kapital yang ditulis atas bawah.
•
Ditandatangani oleh Sjafruddin Prawiranegara.
•
Pengaman kode kontrol dan serat fiber.
•
Dicetak di Percetakan Security Banknote Company.
SATU RUPIAH
‘Republik Indonesia’ menunjukan otoritas yang menerbitkan.
Pemandangan pantai dengan gulungan ombak kecil, batu karang dan kumpulan pohon kelapa.
Stilasi daun yang memiliki pangkal berbentuk bulatan, di dalamnya tertera besarnya nominal.
Ornamen stilasi bunga.
DEPAN BELAKANG Angka yang menunjukan nominal, terletak di sisi kanan dan kiri bagian atas.
Stilasi kombinasi daun ikal; patran (segitiga/lancip); daun relung, terdapat di kedua sisi sehingga menyerupai tiang bawah gapura. Motif ini sering digunakan sebagai ragam ukiran di beberapa daerah di Jawa.
Republik Indonesia, negara yang menerbitkan mata uang.
Pemandangan alam: sawah berteras dengan kumpulan pepohonan dan perbukitan pada background.
Angka 1 menunjukan nilai nominal tercetak cukup besar, teks berbunyi ‘tanda pembajaran jang sah’; ‘satu rupiah’ diapit ornament sulur atasbawah, dan tanda tangan menteri keuangan.
Nomor seri perpaduan dua huruf tersusun vertikal dengan enam buah angka. Juga terdapat pada bagian kiri bawah.
Penanda tahun terbit, tanpa disertai tempat.
Gubahan daun relung pada bagian kanan dan kiri.
Perpaduan garis membentuk motif geometris. Security Banknote Company, nama perusahaan percetakan mata uang Ornemen geometris perpaduan garisgaris lengkung.
Gambar utama: pemandangan gunung, dan suasana persawahan dengan sejumlah pohon yang tampak menjulang.
Teks undang-undang berada dalam frame, dengan dekorasi stilasi daun pada bagian atas.
Sumber Gambar: Dipindai dari koleksi pribadi Bpk. Uno
165
UANG RI SERI PEMANDANGAN ALAM
‘Republik Indonesia’ di bagian tengah atas bingkai yang terdiri dari perpaduan garis-garis.
Gambar pemandangan pantai dan tebing.
•
166
Dicetak dengan menggunakan teknik offset sehingga menghasilkan cetakan yang halus.
•
Teknik intaglio digunakan untuk mencetak gambar utama pada uang dan menghasilkan cetakan bertekstur kasar pada cetakannya.
•
Teknik cetak tinggi digunakan untuk mencetak nomor seri dan menghasilkan cetakan ke dalam atau cekung pada permukaanya.
•
Warna dominan merah.
•
Gambar depan pantai dan sawah berteras.
•
Gambar belakang gunung dan undang-undang.
•
Ukuran 66 mm x 127 mm.
•
Nomor seri kombinasi enam angka (dari 0 sampai 9) dan dua huruf kapital yang ditulis atas bawah.
•
Ditandatangani oleh Sjafruddin Prawiranegara.
•
Pengaman kode kontrol dan serat fiber.
•
Dicetak di Percetakan Security Banknote Company.
DUA SETENGAH RUPIAH
Angka nominal, dalam frame berbentuk kotak dengan dekorasi motif daun.
Stilasi bunga menghadap ke atas.
DEPAN BELAKANG ‘Republik Indonesia’ negara yang mengeluarkan uang.
Teks ‘dua setengah rupiah’ dalam bingkai persegi panjang.
Nilai mata uang, terdapat di kedua sisi, dengan latar dekorasi motif geometris
Perpaduan ornamen garis dan stilasi daun menghiasi sisi kanan dan kiri mata uang.
Tanda tangan menteri keuangan. Angka 2 ½, tercetak membayang sebagai latar di belakang teks.
Gambar pepohonan dan perairan. Bayangan pepohonan muncul membayang pada permukaan air.
Nomor seri kombinasi dua huruf tercetak vertikal dan enam angka.
Tahun dikeluarkannya uang, tanpa tempat
Teks undang-undang.
Security Banknote Company, perusahaan yang mencetak uang.
Perpaduan garis dan stilasi daun.
Gambar utama berupa lambang negara burung Garuda. Pada mata uang inilah lambang negara Garuda untuk kali pertama dipergunakan.
Sumber Gambar: Dipindai dari koleksi pribadi Bpk. Uno
167
168
Keindonesiaan dalam Uang
BAB VI MAKNA DI BALIK RUPA, UANG INDONESIA: ORI, UANG RIS, DAN SERI PEMANDANGAN ALAM
Uang merupakan produk budaya yang selain memiliki makna ekonomisfungsional juga bermakna simbolis. Kajian Banindro menunjukan bahwa bahasa rupa dalam lembaran uang yang ditunjukan melalui penggunaan gambar-gambar, huruf, motif atau ornamen, maupun warna tertentu, yang mencerminkan ide, konsep atau makna simbolik terkait hegemoni, legitimasi, ideologi, eksistensi, kedaulatan baik negara maupun penguasa.1 Demikian halnya dengan uang kertas yang diterbitkan pada masa awal kemerdekaan Indonesia—ORI, Uang RIS dan Seri Pemandangan Alam— selain memiliki nilai estetika, bahasa rupa yang digunakan merupakan bentuk komunikasi gagasan sarat makna yang menunjukan keindonesiaan melalui uang. Uraian pada bagian ini berusaha menunjukan gagasan yang ingin dikomunikasikan oleh pembuat uang—dalam hal ini adalah delinavit, maupun institusi penerbit uang—melalui penggunaan visual tertentu pada lembar uang. Penjelasan tentang makna dan gagasan dari visual uang harus dibedakan dengan alasan subyektif delinavit dalam memilih ilustrasi uang. Perlu dikemukakan terlebih dahulu, metode dan pendekatan yang 1) Baskoro Suryo Banindro, “Kajian Ikonografis Bahasa Rupa Uang Kertas Indonesia Masa Revolusi”, Dekave, Vol. 01, no.3, Januari-Juni 2012, hlm. 9
digunakan untuk mata uang awal kemerdekaan Indonesia berbeda dengan kajian serupa yang dilakukan terhadap mata uang terbitan BI, terutama dikarenakan oleh persoalan sumber. Berbeda dengan mata uang yang diterbitkan BI yang aspek pemilihan gambarnya terekam dalam lembar negara maupun berita negara, aspek pemilihan gambar pada uang yang terbit di awal kemerdekaan Indonesia tidak dapat dilacak pada sumber semacam itu. Untuk itu, dalam membahas makna dibalik rupa dipergunakan sumber lain seperti hasil interview, koran, dan literatur. Oleh karenanya, tidak semua alasan pemilihan gambar dapat diketahui secara pasti. Makna visual yang ditampilkan dalam mata uang dapat dipahami dengan menilik konteks historis yang berkaitan dengan prilaku budaya dari pemakaian visual serupa pada masa lalu. Oleh karenanya, bagian ini juga memberikan penjelasan menyejarah dari visual yang digunakan dalam lembar-lembar mata uang Indonesia pada awal kemerdekaan. Mata uang awal yang diterbitkan oleh pemerintah Republik Indonesia maupun RIS memiliki sejumlah objek visual yang khas. Dalam mata uang tersebut, untuk kali pertama, tercetak gambar tokoh nasional Indonesia yaitu Sukarno. Oleh karenanya, gambar inzet Sukarno menjadi sangat ikonik yang selalu muncul dalam sejumlah lembar mata uang, mulai dari ORI Seri I, ORI Baru, hingga Uang RIS. Menariknya, gambar Sukarno selalu muncul dalam pecahan-pecahan besar yang menunjukkan pentingnya sosok sang proklamator. Selain gambar Presiden Sukarno, objek visual lainnya yang muncul dalam seri-seri awal mata uang Indonesia adalah gambar kekayaan flora dan fauna Indonesia, pemandangan alam, tradisi dan budaya, aktivitas keseharian ataupun pekerjaan. Gambar fauna diwakili oleh Banteng, ditampilkan secara utuh maupun melalui ornamen berupa tanduk dan kepala, yang juga memiliki makna politik simbolis yang sangat kuat. Keragaman flora Indonesia dihadirkan dalam lembaran uang kertas melalui gambar Rafflesia Arnoldi, teratai (padma), pohon pisang, padi, pohon tebu, pohon kelapa, selain juga melalui beraneka rupa stilasi atau gubahan alamiah. Landskap alam Indonesia yang indah menghiasi sejumlah mata uang, digambarkan oleh gunung (pegunungan), danau, perkebunan tembakau, persawahan (sawah berteras), pantai. Keseharian dan pekerjaan masyarakat Indonesia turut terekam dalam mata uang melalui visualisasi berupa penyadap karet, petani memanen padi, penenun, dan pande besi. Adapun gambar-gambar yang mewakili khasanah budaya dan tradisi digambarkan melalui senjata tradisional berupa keris dan parang, motif ukir, reief candi atau batik seperti naga Jawa dan Gurdo (lar).
170
Keindonesiaan dalam Uang
Sukarno Figur Sukarno merupakan tokoh Indonesia paling sering ditampilkan dalam mata uang. Gambar Sukarno terdapat pada seluruh seri ORI dan uang RIS, yakni pada pecahan: ORI I
: 1 Rupiah, 5 Rupiah, 10 Rupiah, 100 Rupiah;
ORI II
: 25 Rupiah
ORI III
: 25 Rupiah, 50 Rupiah, 100 Rupiah, dan 250 Rupiah,
ORI IV
: 40 Rupiah, 75 Rupiah, 100 Rupiah, 400 Rupiah, 600 Rupiah
Uang RIS : 5 Rupiah dan 10 Rupiah
ORI I. 1 Rupiah
ORI I. 5 Rupiah
ORI I. 10 Rupiah
ORI I. 100 Rupiah
ORI II. 5 Rupiah
ORI II. 10 Rupiah
ORI II. 25 Rupiah
ORI II. 100 Rupiah
ORI III 100 Rupiah
ORI V 10 Rupiah
Uang Ris 5 Rupiah
Makna di Balik Rupa
171
Pemilihan gambar Sukarno untuk ditampilkan pada mata uang tentu memiliki dasar alasan, sekaligus berusaha mengkomunikasikan gagasan tertentu. Selain karena Sukarno adalah presiden pertama Republik Indonesia, figur ini juga dianggap dapat menjadi simbol dari Republik Indonesia itu sendiri. Dari rekam jejak sejarah, tidak dapat dipungkiri bahwa Sukarno adalah representasi paling pas bagi Republik Indonesia pada tahun-tahun perjuangan. Semenjak muda, ia telah menjadi tokoh nasional penting dari pergerakan Indonesia. Sukarno memimpin Partai Nasional Indonesia (PNI) melawan pemerintah kolonial Belanda dengan politik nonkooperasi. Akibatnya, ia dipenjara karena dianggap melakukan tindakan subversif terhadap pemerintah kolonial. Sukarno adalah pencetus dari Pancasila, yang pertama kali diungkapkan dalam sidang Badan Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) 1 Juni 1945. Ia ditunjuk sebagai Presiden Indonesia pertama setelah memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di tanggal 17 Agustus 1945. Lebih dari itu, untuk konteks periode revolusi, Sukarno adalah figur sentral dalam mempertahankan Indonesia di masa Revolusi 1945-1949, periode di mana ORI dikeluarkan. Ia menggalang solidaritas massa untuk bersatu menghadapi Belanda yang ingin kembali berkuasa di Indonesia. Sosok Sukarno mewakili seorang figur pendiri bangsa yang berkontribusi terhadap pembentukan Indonesia lewat perjuangan politik dan pemikirannya. Pemilihan gambar Sukarno pada berbagai uang ORI juga berfungsi untuk memperkenalkan kepada masyarakat luas sosok presiden Republik Indonesia.
Sukarno: Pakaian Sipil dan Militer Figur Sukarno sang proklamator juga dikenal sebagai orator yang ulung, dan demagog yang handal. Sikap politiknya yang anti-penjajah jelas berperan penting dalam melawan tekanan Belanda yang berupaya menancapkan kekuasaannya kembali di Indonesia. Untuk itu, Sukarno kerap ditampilkan berpakaian rapi dengan mengenakan jas dan peci untuk menunjukkan dirinya sebagai sosok nasionalis.2 “Look here, I am a mass psychologist. I have other suits. I prefer uniforms for every public appearance because I know downtrodden people delight to see their President crisply tailored...An Indonesian leader must be a commanding figure. He must exude power. For a once-subjugated race, this is imperative...When I became Commander In Chief, I knew they wanted a hero figure. I gave that to them. In the 2) Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya: Batas-Batas Pembaratan. (Gramedia: Jakarta, 2002), hlm. 158.
172
Keindonesiaan dalam Uang
beginning I even buckled a gold dagger at my side. The people adored it.”3 Dalam wawancaranya dengan Cindy Adams, Sukarno juga menerangkan alasannya kerap menggunakan peci dalam berbagai kesempatan. Ia melihat peci sebagai sebuah simbol dari gerakan nasionalisme. “Peci merupakan ciri khasku dan menjadi simbol bangsa Indonesia yang merdeka.”4
ORI III 50 Rupiah
ORI III 100 Rupiah
ORI III 250 Rupiah
ORI IV 400 Rupiah
ORI IV 600 Rupiah
ORI IV 100 Rupiah
Selain digambar menggunakan pakaian sipil resmi yang rapi, Sukarno juga kerap ditampilkan menggunakan pakaian militer yang sering dipakainya dalam acara penting kenegaraan. Diantaranya, dapat dilihat pada pecahan 50, 100, 250 rupiah emisi ORI III dan 100, 400, 600 rupiah emisi ORI IV. Sukarno menggunakan pakaian dengan atribut militer karena kepala negara adalah panglima tertinggi militer. Selain itu, yang lebih penting ia ingin menunjukkan keagungan dan kegagahan pemimpin dengan 3) Cindy Adams, Sukarno: An Autobiography as Told to Cindy Adams. (Indiana: The BobbsMerrill, 1965), hlm. 81. 4) Cindy Adams, Soekarno: Penyambung Lidah Rakyat. (Jakarta: Gunung Agung, 1966), hlm. 51.
Makna di Balik Rupa
173
menggunakan pakaian seperti itu. Dalam biografinya yang ditulis oleh Cindy Adams, Sukarno mengatakan bahwa ia seorang ideolog, ahli psikologi massa yang harus tampil menggunakan pakaian gagah di hadapan publik untuk mengangkat simpati dan semangat rakyatnya yang telah lama diinjak-injak oleh penjajah. Seorang presiden menurutnya haruslah sosok berwibawa yang memancarkan kekuatan. Salah satu untuk menunjukkan aura itu adalah dengan menggunakan pakaian yang gagah.5
Sukarno dalam Uang RIS Uang RIS yang diterbitkan pada 1950 juga dikenal dengan sebutan emisi Bung Karno, karena tokoh ini menjadi gambar utama pada bagian observe seri uang RIS 1950.6 Pemilihan gambar Sukarno sebagai ilustrasi mata utang tentu saja dapat dengan mudah dimengerti karena posisi Sukarno saat itu sebagai presiden RIS, dan sebelumnya adalah presiden RI sejak 1945. Meskipun demikian, mengingat struktur negara RIS yang merupakan gabungan RI dengan 7 negara federal dan 9 wilayah otonom yang tidak termasuk dalam negara federal, pemilihan gambar Sukarno ini memiliki konteks tertentu yang erat kaitannya dengan dinamika politik pada awal pembentukan RIS. Pemilihan gambar Sukarno pada desain mata uang RIS 1950 memiliki alasan yang sedikit berlainan dengan penggunaan gambar Sukarno pada ORI. Dalam hal ini, Sukarno merupakan sosok utama yang dapat diterima sekaligus dianggap mampu menjadi pemersatu dari beragam perbedaan yang ada. Sukarno adalah representasi dari unitaris—RI, yang dalam kurun 1945-1949—atau bahkan lebih—dianggap musuh oleh NICA,7 dan secara politik juga merupakan lawan dari BFO. Meskipun demikian, tampaknya Sukarno merupakan pemimpin bangsa Indonesia satu-satunya yang dianggap paling pantas menjadi presiden RIS. Bahkan sebelum komite yang ditugaskan untuk menyusun pemerintahan RIS di bentuk,8 hanya ada satu nama Sukarno yang muncul sebagai kandidat presiden yang muncul 5) Cindy Adams. Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (Jakarta: Yayasan Bung Karno dan Media Pressindo, 2014), hlm. 97. 6) Uno, Oeang Nusantara, (Bandung: Genera Publishing, 2015), hlm. 302-4. Gambar Sukarno sebenarnya juga telah digunakan dalam versi proof yang tidak beredar pada uang RIS tahun 1949, dan muncul dalam berbagai seri ORI ada tahun-tahun sebelumnya. 7) Bahkan Gubernur Jenderal NICA, Van Mook mengkategorikan para pemimpin republik sebagai extrimisten bagi mereka yang tidak dapat diajak berunding, dan moderat bagi pemimpin republik yang dapat diajak berunding. Dalam hal ini Van Mook memasukan Sukarno sebagai pemimpin Indonesia yang tidak dapat diajak berunding. 8) Setelah terbentuk, komite ini diketuai oleh Mr. Muh Rum dan wakilnya adalah Anak Agung Gde Agung.
174
Keindonesiaan dalam Uang
“Presiden Sukarno, calon Presiden Pertama RIS” dimuat dalam Harian Tanah Air (6 Desember 1949), sebelum pemerintahan RIS terbentuk. Gambar Sukarno ini menyerupai dengan yang digunakan pada uang RIS namun ditampilkan dengan tatapan mata yang lebih tajam mengandung optimisme besar.
dan ramai dibicarakan khalayak. Berbagai media pemberitaan RI bahkan jauh-jauh hari sudah berspekulasi mengenai pengganti Sukarno bilamana ia dipilih sebagai presiden RIS.9 Sukarno berkali-kali menunjukan kapasitasnya sebagai bapak bangsa yang dapat diterima berbagai golongan di Indonesia. Selama proses perundingan RI-BFO dan Belanda melalui Konferensi Meja Bundar dari 23 Agustus hingga 2 November 1949 berlangsung, sebenarnya terjadi kegamangan menyangkut konsekwensi-konsekwensi dari penyatuan RI-BFO dalam negara RIS terutama yang muncul dari kelompok minoritas seperti peranakan dan indo, serta para pegawai yang bekerja pada institusi Belanda. Melalui pidato-pidatonya, Sukarno menekankan bahwa negara Indonesia dapat mewadahi segala perbedaan. Demikian pula amanatnya yang ditujukan kepada orang-orang Indonesia yang mengabdi untuk dinas tentara KNIL, Sukarno menjamin bahwa mereka akan dapat diterima dengan baik.10 9) Kandidat terkuat yang ramai dibicarakan saat itu adalah Sri Sultan Hamengkubuwana IX dari Yogyakarta. Lihat misalkan dalam artikel berjudul ‘Sri Sultan Jogja Pres. Rep. Indonesia’ (Tanah Air, 7 Nopember 1949, hlm. 1), dan editorial panjang bertajuk “Siapa Presiden Republik?” (Tanah Air, 1 Desember 1949, hlm. 3). 10) Tanah Air, 6 Desember 1949.
Makna di Balik Rupa
175
Pelantikan presiden RIS dilangsungkan pada 17 Desember 1949 di Sitinggil Kraton Yogyakarta. Berbagai komentar mengenainya yang kemudian muncul dalam berbagai media pemberitaan menunjukan posisi penting Sukarno sebagai pemersatu bangsa. Harian Nasional di Yogyakarta menuliskan bahwa hanya ada satu figure pada saat itu, yakni Sukarno, yang patut menjadi bapak seluruh rakyat dan bangsa Indonesia, yang mampu mengendalikan perjuangan dan mengikat seluruh batin rakyat dan bangsa Indonesia ke arah satu cita-cita dan tujuan. Batavia Nieuwsblad yang terbit di Jakarta menamakan Sukarno sebagai simbol perjuangan bagi rakyat Indonesia. Ia adalah seorang pelopor yang membuka Jalan. Surat Kabar ini menambahkan, walaupun terdapat banyak ahli yang lebih cakap, namun tidak ada yang lebih mampu dalam mendekati hati, dalam mendekati jiwa Indonesia, melebihi Sukarno. Pedoman menulis bahwa terpilihnya Sukarno sebagai presiden RIS menandakan bahwa ia dianggap oleh wakil-wakil negara yang tergabung dalam federasi sebagai satu-satunya orang yang dapat diterima oleh rakya dari seluruh negara bagian. Nieuwsgier dan korankoran berbahasa Belanda lainnya memuat catatan perjuangan dan reputasi baik Sukarno sebagai pemimpin bangsa Indonesia. Keng Po melukiskan karakter pejuang Sukarno merupakan representasi dari tabiat bangsa Indonesia pada umumnya. Adapun Sin Po mengulik kembali keberanian Sukarno dalam menentang penjajahan sebagai suatu nilai yang pantas dibanggakan.11
Fauna Bumi Pertiwi Kerbau dan Banteng Fauna nusantara yang kerap menghiasi ORI adalah banteng (Bos javanicus) atau kerbau (Bubalus bubalis). Kedua binatang tersebut memiliki populasi yang besar sehingga mudah dijumpai di Indonesia dan memiki arti khusus dalam berbagai tradisi. Kerbau merupakan binatang ternak yang juga dikeramatkan oleh sejumlah kelompok masyarakat. Penggunaan kerbau ataupun banteng sebagai ornemen hias juga telah dikenal lama dalam berbagai kelompok suku bangsa di Indonesia seperti terdapat pada masyarakat Sumatra, Jawa, Sulawesi, dan Bali.12 Bukan hanya sebagai gubahan, tanduk dan kepala kerbau asli juga kerap dipergunakan sebagai bagian dari ragam hias seperti yang lumrah didapati di Toraja. Berbagai 11) Komentar-komentar mengenai pelantikan Sukarno sebagai presiden pertama RIS terangkum dalam “Apa kata ratu dunia? ttg. Pres. RIS pertama”, Tanah Air, 20 Desember 1949, hlm.1. 12) Th van der Hoop, Indonesische Sierenmotieven, (KGBKW 1949). Hlm 130-7
176
Keindonesiaan dalam Uang
perlengkapan tradisi yang menggunakan gambar atau ornamen kerbau adalah ukiran kayu, hiasan rumah dan hiasan logam dari Batak,13 motif tenun dari Lampung dan Bali Utara, piranti pemakaman di Toraja dan Mamasa Sulawesi, pakaian kayu (fuya’) Toraja, tiang rumah di Mamasa, Ikat kepala dari Tolampu-Sulawesi, penutup kepala rotan dari Makale-Toraja.14 Selain itu kerbau dan banteng juga memiliki makna simbolis secara politis. Kerbau maupun banteng telah sejak lama diasosiasikan dengan rakyat Indonesia. Pada masa kolonial, penjajah menganggapnya sebagai binatang malas, namun rakyat Indonesia mengerti bahwa kerbau atau banteng merupakan hewan yang dikenal sabar namun berani dan kuat. Di Jawa, para raja Jawa kerap menyuguhkan pertunjukan rampokan, adu banteng melawan harimau, untuk menyambut tamu-tamu Belanda yang datang ke Istana. Kerbau, demikian pula dengan Banteng, merupakan simbol utama yang digunakan untuk mempersonifikasikan rakyat, melawan harimau yang melambangkan penjajah Belanda. Pada pertarungan rampogan, kerap kali, kerbau yang keluar sebagai pemenang. Sebagai lambang bagi perjuangan, Sukarno merasa lambang kepala kerbau terlalu lunak untuk bangsa Indonesia yang kala itu tengah berjuang menghadapi imperialisme dan kapitalisme Belanda. Ia kemudian memutuskan mengganti lambang tersebut dengan kepala banteng. Banteng dianggap lebih berani dan sigap dalam menghadapi dan menghalau musuh-musuhnya.15 Pada lembaran-lembaran ORI, kerbau dan banteng kerap digunakan untuk mengkomunikasikan pesan ideologis secara visual melalui aneka rupa penggambaran baik berupa binatang utuh dengan posisi siap atau mengamuk, ataupun stilasi bentuk kepala dan tanduk. Berdasarkan interview kepada Soerawi Dibyo Pramudjo, pelukis ORI emisi Yogyakarta, dirinya memperoleh perintah dari Panitiya II untuk menampilkan identitas bangsa yang diartikulasikan melalui gambar fauna.16 Banteng Jawa dipilihnya karena memiliki bentuk yang khas dan terlihat kuat, dan rancangannya ini disetujui oleh Panitiya II. Selain itu, banteng Jawa, kerap dipakai sebagai identitas para pejuang terhadap Belanda di periode revolusi. Dalam pertempuran 10 November 1945, Bung Tomo berupaya membakar semangat para pejuang dengan menyebut mereka sebagai banteng. “Selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah yang dapat 13) Ibid, 130-1 14) Ibid 134-7 15) Hendri F. Isnaeni, “Merah-Putih, Kerbau, dan Banteng”, Historia, 18 Desember 2014. (http://historia.id/modern/merahputih-kerbau-dan-banteng) 16) Dikutip dari interview dengan Soerawi Dibyo Pramudjo, dalam Dwi Ratna Nurhajarini, Oeang Republik Indonesia (ORI): Peranannya dalam Perjuangan, hlm 74
Makna di Balik Rupa
177
Tanduk Banteng, ORI I, 1 Sen.
Tanduk Banteng, ORI III, 100 Rupiah
Banteng Liar, ORI II, 25 Rupiah
Tanduk Banteng, ORI I, ½ Rupiah Tanduk Banteng, ORI I, 100 Rupiah
ORI IV 75 Rupiah
ORI III 100 Rupiah 178
ORI IV 100 Rupiah
ORI III 100 Rupiah
ORI III 250 Rupiah Keindonesiaan dalam Uang
membikin secarik kain putih menjadi merah dan putih, maka selama itu tidak akan kita mau menyerah kepada siapapun juga.” Sukarno melambangkan perjuangan nasionalisme Indonesia dengan banteng. Dalam sebuah tulisannya “Mencapai Indonesia Merdeka” di tahun 1933, Sukarno mengatakan “jika Banteng Indonesia dapat bekerjasama dengan Sphinx Mesir, dengan Lembu Nandi dari India, dengan Liong Barongsai dari Tiongkok, dengan kampiun-kampiun kemerdekaan dari negeri lain tentunya hari-hari imperialisme itu segera terbilang”.17 Penggunaan gambar kerbau atau banteng sebagai lambang dari pergerakan nasionalisme Indonesia telah ada sejak zaman kolonial Belanda. Beberapa organisasi pergerakan memutuskan untuk menggunakan gambar kerbau atau banteng sebagai simbol dari organisasi mereka. Sebut saja Perhimpunan Indonesia (PI) yang didirikan pertama kali di Belanda pada 1908, yang menggunakan lambang bendera merah-putih dengan kepala kerbau di tengah-tengahnya. Salah seorang pengurus PI, Arnold Mononutu, mengemukakan bahwa lambang PI itu ditetapkan pada masa kepemimpinan Herman Kartowisastro (1921-1922). Alasan pemilihan kerbau pun sempat dipertanyakan dalam rapat anggota PI. Semaun seorang bekas pemimpin Partai Komunis Indonesia yang saat itu tengah diasingkan di Belanda, menerangkan bahwa kerbau merupakan simbol kerakyatan. Kerbau sejatinya merupakan binatang yang tenang. Namun bila diganggu, kerbau dapat menyerang musuhnya dengan garang dan ganas. Semaun menganalogikan kerbau tersebut dengan rakyat. Arnold juga menerangkan dalam biografinya yang berjudul Potret Seorang Patriot bahwa kerbau merupakan kawan baik dari kaum tani. “Kehidupan rakyat tani hampir 17) Sukarno, “Mencapai Indonesia Merdeka”, dalam Sukarno, Di Bawah Bendera Revolusi (vol.1) (Jakarta: Panitia Penerbit Dibawah Bendera Revolusi, 1965), hlm. 296297.
Makna di Balik Rupa
Cover buku peringatan (gedenkboek) dari Perhimpunan Indonesia. Sumber: Gedenkboek 1908-1923. (s’Gravenhage: Indonesische Vereeniging, 1924) 179
tak bisa dipisahkan dengan kerbau. Itulah sebabnya maka simbol yang digunakan oleh Pangeran Diponegoro juga adalah kerbau.” Di dalam bukunya berjudul Di Negeri Penjajah, Harry Poeze mengemukakan bahwa rumah Achmad Soebardjo yang terletak di Noordeinde 32, Leiden, kerap dijadikan sebagai tempat berkumpul para aktivis pergerakan. Di dalam rumah tersebut tergantung sebuah bendera dengan kepala kerbau di tengahnya, yang mana kerap digunakan mahasiswa yang ingin menempuh ujian untuk sekedar berkontemplasi di depan bendera tersebut.18 Lambang PI tersebut kemudian digunakan oleh Jong Indonesia yang didirikan di Bandung pada 20 Februari 1927. Lambang yang sama kemudian diadopsi oleh Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan oleh Sukarno dan beberapa tokoh pergerakan lainnya pada 4 Juli 1927.
Naga Naga adalah hewan mitologi yang menghiasi mata uang ORI seri I pecahan 100 rupiah dan seri III nominal 100 rupiah—yang memiliki desain yang sama namun beda warna. Mitologi mengenai naga setidaknya telah ada bahkan sebelum zaman Hindu-Budha.19 Visualisasi naga kerap ditampilkan dengan bentuk ular raksasa, terkadang digambarkan dengan kaki tapi umumnya kerap dideskripsikan tanpa kaki. Naga merupakan wujud dari akulturasi kepercayaan Hindu-Buddha yang sedikit banyak dipengaruhi oleh perwujudan naga di Tiongkok. Menurut Th Van Der Hoop ornamen naga sejak lama telah dikenal dan dipergunakan oleh berbagai kelompok masyarakat di Indonesia seperti di Sulawesi utara dan tengah, Cirebon, Jawa bagian tengah dan timur, dan Madura.20 Naga kerap digambarkan sebagai pelindung dan pengayom, penggunaannya lazim ditemukan di pintu masuk; pahatan gerbang; atau pegangan tangga suatu bangunan, peti batu, ukiran pada alat musik, keris, ornament pancuran air dan fragmen pada yoni.21 Naga kerap direpresentasikan sebagai perwujudan dari dunia bawah. Sebelum kemunculan Zaman Hindu, beradar anggapan bahwa dunia terbagi ke dalam dua bagian, yakni dunia atas dan dunia bawah. Masing-masing dunia tersebut memiliki sifat yang bertolakbelakang. Dunia bawah kerap dilambangkan dengan bumi, bulan, gelap, air, ular, kura-kura, dan buaya. Sementara dunia atas kerap direpresentasikan dalam wujud matahari, 18) Harry Poeze, Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda (1600-1950). (Jakarta: KPG, 2014). 19) Th van der Hoop, Indonesische Sierenmotieven, (KGBKW 1949). Hlm 206. 20) Ibid, hlm206-16 21) Hubert de Vries, “Indonesian Heraldy: Majapahit Arms”, 2010. See http://www. hubert-herald.nl/IndoMajapahit.htm
180
Keindonesiaan dalam Uang
terang, kuda, dan rajawali. Wujud Naga ini bisa ditemukan dalam relief beberapa candi yang dinamakan sebagai Taksaka atau Naga Jawa yang dipercaya menjaga candi tersebut. Biasanya Naga tersebut digambarkan dengan mulut terbuka lebar dan lidahnya menjulur keluar dalam wujud makara. Dekorasi tersebut lazim ditemukan pada candi-candi di Jawa Tengah dan Yogyakarta.
Simbol Naga Jawa yang dijadikan ornamen pada ORI I, Pecahan 100 Rupiah.
Ilustrasi Naga pada ORI III 100 Rupiah
Flora Nusantara Alam Indonesia yang begitu kaya akan keragaman flora dan fauna telah menjadi sumber inspirasi bagi para delinavit. Selain binatang seperti kerbau atau banteng, berbagai terbitan mata uang menggunakan dekorasi berupa tumbuh-tumbuhan baik berupa bunga maupun pohon sebagai obyek visualnya. Pada ORI I, para pelukis uang kerap menggunakan stilasi daun dan uang sebagai ornamen uang. Selain berfungsi sebagai fitur pengaman, ornamen tersebut tentu memiliki makna estetika yang begitu dalam. Kekayaan flora Nusantara lainnya yang muncul dalam uang ORI antara lain adalah Padi, Rafflesia Arnoldi, Teratai, Beringin, Pohon Kelapa, Tebu, dan Kelapa. Sebagai obyek visual, tanaman-tanaman tersebut mengandung nilai estetis, namun juga mereprsentasikan konsep sakral yang terkait dengan sistem kepercayaan maupun gagasan kebudayaan tertentu, maupun sifat yang fungsional semisal terkait dengan nilai ekonomi. Selain itu, tanaman-tanaman yang digubah merupakan tumbuhan khas yang dapat dijumpai dengan mudah di alam pertiwi misalnya pohon pisang dan padi. Dengan demikian penggunaan dekorasi beberapa jenis tanaman tersebut mewakili sifat lazim, sehingga dapat memberikan ilustrasi akan ciri umum Indonesia.
Makna di Balik Rupa
181
Rafllesia Arnoldi di ORI III 100 Rupiah
Pohon Kelapa pada pecahan ½ Rupiah ORI III
Tebu di ORI IV 400 Rupiah
Gambar Teratai, 2 ½ rupiah Ori Baru
Gambar Beringin, ½ rupiah Ori Baru
Seikat padi, ORI I, 5 Rupiah
Sulur padi, ORI I, 5 Rupiah
Ilustrasi pohon dan daun pisang sebagai gambar latar pada mata uang ORI Baru 10 Rupiah.
182
Keindonesiaan dalam Uang
Pada bagian belakang ORI Seri III pecahan 100 Rupiah, terdapat ilustrasi bunga Rafflesia Arnoldi pada sisi kiri atas dan sisi kanan bawah. Rafflesia Arnoldi merupakan bunga terbesar yang langka di dunia. Tumbuh tersebar di hutan pegunungan Jawa Barat dan Jawa Tengah, serta hutan tropis di Sumatera. Rafflesia Arnoldi pertama kali ditemukan pada tahun 1818 di hutan tropis Sumatera oleh seorang pemandu yang bekerja pada Dr. Joseph Arnold yang sedang mengikuti ekspedisi Gubernur Jenderal Inggris, Thomas Standford Raffles. Tanaman ini kemudian dinamakan sesuai gabungan nama penemunya, Arnold dan Raffles. Bunga ini adalah lambang identitas provinsi Bengkulu. Berdasarkan Kepres No. 4 Tahun 1993, Rafflesia Arnoldi diputuskan sebagai salah satu dari tiga bunga nasional Indonesia, selain melati putih dan anggrek bulan. Bunga lain yang menjadi object visual uang ORI adalah bunga Teratai yang muncul pada pecahan satu rupiah ORI Baru. Teratai merupakan perwujudan visual dari tanaman suci dalam konsepsi agama Hindu dan Budha, yang juga kerap menjadi object seni, dan telah menjadi bagian dari arsitektur nusantara sejak lama. Teratai atau juga disebut padma terpahat sebagai bagian dari candi-candi di Jawa, tata ruang mandala pura, bangunan-bangunan suci, dan arsitektur tradisional di Bali.22 Dalam salah satu fase kontemplatif yang berpengaruh pada pemikiran arsitekturalnya, pada 1945—1950, Sukarno yang kemudian banyak menggunakan kekayaan khasanah seni nusantara mengadopsi bentuk teratai dalam sejumlah karya interior maupun arsitekturalnya. Oleh karenanya, Sukarno kemudian juga dikenal sebagai “Sang Padma” baik karena kisah hidupnya maupun juga gaya arsitetur padu-paduanya yang dikemas sebagai the empire style bersimbolkan padma. Salah satu yang diyakini paling awal sebagai adaptasi bentuk teratai dalam karya Sukarno adalah tiang bendera di Istana Negara Bogor. Pohon beringin atau waringin merupakan tumbuhan lain yang muncul dalam mata uang ORI baru. Seperti halnya dengan teratai, pohon beringin merupakan jenis tumbuhan memiliki makna sakral dan dikenal dalam banyak tradisi masyarakat nusantara. Dennys Lombard, merujuk pada peristiwa pendirian kerajaan Mataram, menunjukan bahwa beringin telah menampakan perannya semenjak pembangunan keraton ini. Beringin yang daunnya rimbun, dengan batang kokoh dan akar menggelantung merupakan hiasan khas keraton Mataram. Di alun-alun juga terdapat dua beringin yang 22) Roy E Jordaan (eds)., Memuji Prambanan: Bunga rampai para cendekiawan Belanda tentang kompleks percandian Loro Jonggrang (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia; KITLV, 2009), I Nyoman Widya Paramadhyaksa, “Filosofi dan Penerapan Konsepsi Bunga Padma Dalam Perwujudan Arsitektur Tradisional Bali”, Langkau Betang, Vol. 3, No. 1, 2016, hlm. 28-42
Makna di Balik Rupa
183
menjadi simbolisasi penyatuan antara raja dengan kawulanya.23 Ilustrasi seperti pohon kelapa muncul dalam mata uang ORI III pecahan ½ Rupiah yang membingkai undang-undang mengenai hukum keuangan Indonesia. Terkenal sebagai negara tropis pohon kelapa biasa ditemui di daerah pesisir pantai di Indonesia. Sulit untuk menentukan kapan pertama kalinya pohon kelapa ditanam di Indonesia. Namun, kelapa ditenggarai pertama kali dibudidayakan di Amerika Tengah dan Selatan, Asia Tenggara atau Selatan. Dalam mitologi Hindu, kelapa dianggap sebagai “pohon surgawi”. Dewa Wisnu membawa pohon kelapa sebagai sumber kesehatan, ketenangan, panjang usia, dan kedamaian. Indonesia termasuk negara penghasil kopra terbesar dunia, bersama negara-negara seperti Filipina, India, Sri Langka, Vietnam, Thailand, Malaysia, Papua New Guinea, Vanuatu, Fiji, dan Kepulauan Solomon Barat. Sebelum tahun 1939, Indonesia pernah menjadi negara penghasil kopra terbesar dunia. Tebu adalah ilustrasi yang terdapat pada pecahan 400 Rupiah ORI seri IV. Penanaman tebu mulai dilakukan dalam skala luas ketika Belanda mewajibkan tanam paksa di tahun 1830. Namun, perkembangan perkebunan tebu naik pesat ketika pemerintah Belanda menerapkan kebijakan liberalisasi ekonomi di akhir abad ke-19. Sejak kebijakan ini diterapkan penanaman tebu meluas didorong oleh tumbuhnya industri gula untuk ekspor. Liberalisasi mengangkat produksi gula Indonesia menjadi salah satu produsen utama gula dunia. Sejak tahun 1870an hingga dimulainya Perang Dunia I di tahun 1914 gula selalu menjadi salah satu komoditi teratas, selain kopi, tembakau, teh, karet, rempah-rempah, dll. Penanaman tebu terus meluas hingga menurun drastis ketika depresi ekonomi menyebabkan kebangkrutan industri gula di Indonesia. Di masa okupasi Jepang, sektor gula mengalami situasi tidak memuaskan karena banyak pabrik gula yang rusak akibat perang. Di masa awal kemerdekaan, pemerintah Indonesia ingin memperbaiki lagi sektor industri gula. Dibentuklah Badan Perusahaan Penyelenggara Gula Negara pada tahun 1946. Peraturan yang memberatkan petani di masa kolonial pun dirubah oleh pemerintahan Republik. Tebu melambangkan salah satu sektor perkebunan yang pernah menjadi besar di masa kolonial Indonesia.
Pemandangan Alam Landskap alam menjadi dekorasi pada sejumlah pecahan dalam ORI seri I, II, III, juga menghiasi uang RIS, bahkan menjadi emisi uang tersendiri 23) Denys Lombard, Nusa Jawa silang budaya: Warisan kerajaan-kerajaan konsentris, Bagian 3, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama; École française d’Extrême-Orient, 1996), hlm. 117
184
Keindonesiaan dalam Uang
Gunung dan areal persawahan yang muncul pada ORI I, 10 Rupiah.
Erupsi gunung berapi, ORI I, 1 Rupiah
Gunung, danau dan rakit. Salah satu pemandangan alam ikonik Indonesia, ORI II, 25 Rupiah
Makna di Balik Rupa
185
Pegunungan sebagai salah satu ciri khas dari Indonesia yang memiliki banyak gunung, ORI I, 100 Rupiah
1 Rupiah seri Pemandangan Alam
2 ½ Rupiah seri Pemandangan Alam
186
2 ½ Rupiah seri Pemandangan Alam
Keindonesiaan dalam Uang
10 Rupiah Uang RIS
Satu Rupiah seri Pemandangan Alam
pada tahun 1951 yang dikenal sebagai seri Pemandangan alam. Gambar pemandangan yang ditampilkan melalui mata uang diantaranya: danau, pantai, sawah berteras, gunung (pegunungan), dan suasana perkebunan. Sebenarnya, gambar pemandangan alam Indonesia juga pernah muncul dalam sejumlah seri uang seperti emisi pemerintah Dai Nippon pecahan satu rupiah (1943), serta seratus dan seribu rupiah (1944), emisi federal 1946 pecahan 25 Gulden, dan 100 gulden. Penggunaan ilustrasi dari alam nusantara selain dapat memenuhi fungsi estetis suatu desain, visualisasi panorama indah nusantara juga merupakan sarana identitifikasi secara visual yang paling mudah untuk mengenali Indonesia. Gunung dan danau merupakan dua bentang alam yang sangat lazim ditemui hampir di semua tempat di Indonesia. Fitur alam berupa danau dan pegunungan yang kerap muncul dalam sejumlah mata uang membentuk kombinasi yang memberikan ciri khas bumi Indonesia yang diungkap melalui panorama indah. Pemilihan gunung berapi sebagai obyek visual beberapa pecahan ORI juga memiliki makna yang ideologis, seperti yang diwartakan dalam Berita Indonesia, disebutkan bahwa, “di balik lembaran oeang kertas satoe roepiah terloekis semangat bangsa dalam symbool goenoeng berapi.”24 24) Berita Indonesia, 29 Oktober 1946.
Makna di Balik Rupa
187
Bagian belakang uang RIS pecahan 5 dan 10 rupiah menggunakan gambar lanskap persawahan, pohon-pohon kelapa yang tumbuh tinggi melambai, dan latar perbukitan sebagai gambar utama, suatu pemandangan yang khas namun lumrah ditemui di banyak tempat di Indonesia. Gambar pemandangan alam kemudian juga muncul pada uang Republik Indonesia emsi 1951 yakni pantai dengan pohon kelapa; sawah berteras dan gunung untuk pecahan 1 rupiah, serta pada pecahan 2 ½ rupiah yakni tebing pantai dan pepohonan dengan perairan. Gambar panorama alam nusantara yang dipergunakan sebagai obyek visual lembaran uang kertas memancarkan nuansa Hindia yang molek atau populer dikenal dengan istilah mooi Indie—suatu citra terkuat mengenai Indonesia yang telah muncul sejak periode kolonial. Rudolf Mrazek menyebutkan penggambaran Indonesia melalui visualisasi semacam ini sudah kadung terkenal terutama di luar negeri.25 Menurut Susie Protschky terdapat kaidah-kaidah menjadi ciri dari gambaran mooi indie yang mewujud secara visual melalui trimurti (trinity) yang meliputi pegunungan, persawahan dan pohon kelapa. Lebih lanjut, Protschky mengungkapkan citra yang dibangun melalui penggambaran semacam ini bermakna untuk menyajikan citra mengenai “everything is very beautiful and romantic, like heaven, everything is very nice and calm and tranquil” (segala sesuatunya cantik dan romantic, seperti surga, segala sesuatu yang indah, dan tenang, serta damai).26 Sejumlah seniman lukis Indonesia seperti Sudjojono mengkritik keras gaya mooi indie, yang disebutnya meninabobokan rakyat Indonesia dari realita terjajah. Meskipun demikian, pada masa akhir hayatnya, Sudjojono juga mengadopsi mooi Indie dalam karyanya. Hal ini tidak lepas dari pengaruh Sukarno yang menjadi patronnya setelah Indonesia merdeka.27 Selain itu, gaya mooi indie sudah kadung kuat mengurat dalam masyarakat yang akarnya telah tumbuh sejak zaman penjajahan. Dapat dibayangkan, betapa terpesonanya orang-orang Belanda dimana di negaranya tidak tumbuh pohon kelapa, padi di sawah berteras nan indah, lagi pula tidak ada gunung tinggi menjulang, ketika menyaksikan landskap nusantara. Gambaran-gambaran semacam itulah yang dengan mudah akan muncul ketika membayangkan Indonesia. 25) Mrazek, Enginers of Happy Land: Perkembangan teknologi dan nasionalisme di sebuah koloni (Jakarta: Yayasan Obor, 2006), hlm. 158. 26) Susie Protschky, Images of the Tropics: Environment and Visual Culture in Colonial Indonesia,( Leiden: KITLV Press, 2011), hlm. 83. 27) Historia, Mooi Indie Diserang Lalu Disayang. Diakses secara daring pada 1 Januari 2018, 21.01 wib melalui laman http://historia.id/budaya/mooi-indie-diserang-lalu-disayang
188
Keindonesiaan dalam Uang
Pemandangan alam adalah pesona Indonesia, wajah alami negeri tropis yang berkalung katulistiwa. Penggunaan pemandangan alam sebagai visual dalam uang RIS maupun seri pemandangan alam merupakan usaha untuk membangun identitas bersama menggunakan image Indonesia yang paling kentara dan mendunia: pemandangan alam. Selain itu, gambar yang dipergunakan pada kedua emisi itu tidaklah merepresentasikan pemandangan yang khas dari tempat tertentu, melainkan gambaran yang telah umum dan lazim ditemui di banyak tempat. Pemilihan visual semacam ini agak berbeda dengan emisi sesudahnya yang cenderung menampilkan kekayaan dan keragaman khasanah budaya dengan mengambil visualisasi khas dari suatu tempat atau kelompok masyarakat. Boleh jadi, unsur kelaziman dari gagasan yang bersifat umum yang terdapat pada desain kedua emisi mata uang RIS dan Seri Pemandangan Alam merupakan bagian dari suatu usaha membangun kesesuaian yang seragam (conformity), yang dapat diterima oleh segenap elemen, dari sebuah entitas beragam yang belum lama disatukan sebagai suatu negara bangsa.
Mata Pencaharian Uang Indonesia merekam pula keseharian dan beragam mata pencaharian berbagai kelompok masyarakat di Indonesia. Gambar-gambar yang menunjukan pekerjaan tersebut berupa petani memanen padi, penyadap karet, penenun, dan pande besi. Berbagai aktifitas produktif dan berbagai komoditas ekonomis yang digambarkan dalam mata uang Indonesia itu mengkomunikasikan pesan secara visual yang memberikan gagasan akan keberlangsungan ekonomi yang baik, sekaligus harapan akan kehidupan yang makmur dan sejahtera. Menimbang situasi serba terbatas pada saat itu, pesan semacam ini menjadi penting untuk ditransmisikan oleh negara kepada rakyatnya untuk memperkuat kepercayaan dan mempertebal optimisme terhadap pemerintah Indonesia.
Padi dan Panen Ilustrasi masyarakat yang sedang memanen padi menggambarkan bahwa Indonesia merupakan negara agraris yang mengandalkan sektor pertanian dan masyarakatnya mayoritas berprofesi sebagai petani. Sebagai negara agraris pertanian Indonesia menghasilkan berbagai macam komoditas, yang terutama adalah padi karena ia merupakan tumbuhan yang menghasilkan beras sebagai bahan utama makanan pokok orang Indonesia. Sekitar 90% orang Indonesia mengonsumsi nasi sebagai makanan pokoknya. Padi sendiri masuk ke Nusantara diduga sejak tahun 1500 SM dibawa oleh orang-orang
Makna di Balik Rupa
189
yang bermigrasi dari daratan Asia. Daerah utama penanaman padi di Indonesia berada di wilayah Jawa, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat. Selain menggambarkan ciri Indonesia yang agraris, visualisasi semcam ini juga dapat mengilustrasikan pemikiran politik Sukarno, marhaenisme, yang terinspirasi dari pertemuannya dengan seorang petani miskin yang bernama Marhaen yang kemudian menginspirasinya Ilustrasi Petani memanen padi pada untuk mengembangkan gagasan pecahan 250 Rupiah ORI III marhaenisme sebagai anti-thesis dari penindasan melalui PNI sejak tahun 1920an akhir.28 Ketika Sukarno menjadi presiden ia masih memegang marhaenisme sebagai ideologi politik dari Indonesia di tahun 1950an1960an. Selain itu, padi merupakan lambang kesejahteraan, dan kemakmuran. Bahasa rupa uang Indonesia yang menggunakan padi sebagai object visualnya baik dalam bentuk stilasi padi (ORI I 5 Rupiah), maupun gambar petani memanen padi (ORI III 250 Rupiah), menyampaikan gagasan yang membangun semangat dan pengaharapan kepada khalayak luas mengenai negara yang berkelimpahan pangan.
Penyadap Karet Ilustrasi kegiatan penyadap karet yang terdapat pada ORI III pecahan 50 Rupiah menggambarkan perekonomian rakyat Indonesia yang telah menjadi tulang punggung ekonomi sejak masa kolonial yang booming di awal abad ke-20 karena meningkatnya permintaan global yang dipicu oleh tumbuhnya industri otomotif. Pasca-1945, setelah Perang Dunia II berakhir, Indonesia mengambil alih perkebunan karet yang sebelumnya dikuasai oleh Jepang. Setelah perang telah mereda, permintaan dunia terhadap karet meningkat kembali. Pemerintah menggiatkan kembali perkebunan 28) Cindy Adams. Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (Jakarta: Yayasan Bung Karno dan Media Pressindo, 2014), hlm. 74.
190
Keindonesiaan dalam Uang
Ilustrasi penyadap karet pada pecahan 50 Rupiah ORI III
karet negara, karet rakyat, dan karet swasta, meskipun akibat revolusi hasil dari perkebunan karet tidak bisa mencapai hasil yang didapatkan di masa kolonial sebelum depresi ekonomi. Baik di zaman kolonial maupun sesudahnya, penyadap karet merupakan pekerjaan yang mencerminkan aktivitas yang lazim dilakukan masyarakat Indonesia, yang juga mengilustrasikan semangat ekonomi kerakyatan. Dengan menampilkan ilustrasi penyadap karet, pecahan ini ingin memperlihatkan bahwa karet merupakan industri rakyat sekaligus merupakan sektor yang berperan penting dalam perekonomian Indonesia.
Penenun Salah satu produk kebudayaan Indonesia yang memiliki akar historis yang panjang, dan lekat dengan praktek kebudayaan adalah tenun. Setiap daerah di Indonesia memiliki corak atau motif tenun yang merepresentasikan karakteristik dari tiap-tiap ranah budaya. Masa lalu dari aktifitas ini dapat terlacak melalui sejumlah prasasti seperti Karang Tengah bertahun 847, prasasti Singosari Makna di Balik Rupa
Ilustrasi penenun pada pecahan 40 Rupiah ORI IV
191
bertahun 929, dan prasasti Baru bertarikh 1034, yang didukung pula dengan penenunan artefak dari abad ke-14 di daerah Trowulan, berupa batu yang berpahat gambar aktivitas wanita yang sedang menenun. Penggunaan visual perempuan penenun pada pecahan 40 rupiah ORI IV menggambarkan tradisi sandang nusantara yang diadopsi dan dikenal luas oleh berbagai kelompok masyarakat sejak lama yang mengilustrasikan suatu kesamaan budaya bagi kelompok masyarakat yang beragam. Visualisasi tersebut sekaligus mentransmisikan gagasan mengenai peran ekonomi tenun yang mampu meangsungkan aktivitasnya pada saat-saat kritis. Dalam hal ini, tenun menjadi salah satu sumber ekonomi produktif yang tetap mampu bertahan pada era revolusi kemerdekaan.
Pande Besi Seperti penenun, pande besi adalah profesi yang mempunyai akar historis panjang di Indonesia. Hipotesis Brandes mengatakan bahwa sebelum mendapatkan pengaruh kebudayaan India, masyarakat di Nusantara telah memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam bidang metalurgi. Menurut Timbul Haryono, pengetahuan metalurgi merupakan salah satu dari sepuluh unsur kebudayaan yang telah dimiliki Indonesia selain gamelan, membatik, wayang, ilmu irama puisi, sistem mata uang, pelayaran, birokrasi pemerintahan, penanaman padi, dan astronomi. Dalam kajian arkeolog Titi Surti Nastiti, Pasar di Jawa Masa Mataram Kuna Abad VIII-XI Masehi, disebutkan bahwa ada beberapa prasasti yang menyebutkan keberadaan pandai besi di masa Jawa kuno yang disebut pandai wsi (besi).29 Pada abad ke-8 setidaknya telah dikenal beberapa desa di Jawa Tengah, seperti Tanggung dan Kedok, yang merupakan desa asal pandai besi. Mereka membuat produk dari mengolah bijih besi dalam industri berskala rumah tangga. Produk tersebut antara lain pisau, parut, loyang, cetakan kue, yang dijual oleh mereka di pasar. Logam dalam konteks kebudayaan seringkali dipercayai sebagai simbol kekuatan dan keteguhan. Seorang pande besi bukanlah sebuah profesi yang bisa dipandang sebelah mata karena ia haruslah orang yang memiliki keterampilan tinggi di samping emosi batin yang sempurna. Di masa kerajaan, misalnya Kerajaan Majapahit, para pandai besi dikumpulkan untuk memperkuat persenjataan militer. Hal yang sama juga diwarisi oleh kerajaan setelahnya, seperti Demak dan Mataram, yang memanfaatkan pandai besi untuk mempekuat kekuatan tempur armada perangnya. 29) Titi Surti Nastiti. Pasar di Jawa Masa Mataram Kuna Abad VIII-XI Masehi (Jakarta: Pustaka Jaya, 2003).
192
Keindonesiaan dalam Uang
Ilustrasi pande besi pada pecahan 75 Rupiah ORI IV
Perkebunan Tembakau Perkebunan tembakau merupakan salah satu jenis perkebunan dengan nilai ekonomi terbesar di Indonesia. Awalnya tembakau merupakan tanaman yang tumbuh di wilayah Amerika. Portugis kemudian memperkenalkan tembakau di Hindia Belanda sejak abad ke-16.30 Dalam waktu singkat tembakau telah menjadi tanaman tradisional yang ditanam di kepulauan Nusantara. Di beberapa wilayah tembakau mengalami kemajuan besar sehingga menjadi barang dagang yang populer. Meskipun tembakau sudah digunakan oleh para pejabat kolonial dan tradisional untuk aktivitas merokok sejak abad ke-17, penanaman tembakau dalam skala luas dilakukan pada masa tanam paksa tahun 1830, tetapi hasilnya adalah gagal. Perkebunan tembakau berkembang di wilayah vorstelanden, kemudian juga di wilayah Jawa Timur dan Sumatera Utara. Namun, di masa kolonial perkebunan tembakau baru menunjukkan sebagai komoditi ekspor penting menjelang akhir abad ke-19. Di tahun 1880an ekspor tembakau mencapai 120.000 ton. Kemudian mencapai puncaknya di tahun 1920an sebelum menurun akibat depresi ekonomi di tahun 1930an. Pengolahan tembakau menjadi industri rokok skala besar dimulai sejak masa Nitisemito yang disebut-sebut sebagai 30) Pieter Creutzberg dan J.T.M. van Laanen (eds.). Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia (Jakarta: Yayasan Obor, 1987), hlm. 160.
Makna di Balik Rupa
193
raja kretek pertama di Indonesia. Ia mendirikan merek Bal Tiga di Kudus di tahun 1914. Setelah itu, perusahan-perusahan rokok mulai muncul tidak hanya di Kudus tapi juga ke wilayah Jawa Timur. Saat ini perkebunan tembakau tersebar sampai di 19 provinsi di Indonesia. Di tahun 2011 perkebunan tembakau pernah menghasilkan produksi sampai 214.524 ton dan di tahun 2012 jumlahnya meningkat mencapai 260.818. Namun, di tahun 2015 jumlah produksi turun mencapai 50.000an ton. Penurunan produksi secara jelas disebabkan oleh penurunan luas areal perkebunan tembakau, dari luas 270.290 menjadi 218.738 hektar.31
Ilustrasi perkebunan tembakau pada pecahan 100 Rupiah ORI III
Khasanah Budaya dan Tradsi Senjata tradisional: Keris dan Parang Keris dan parang merupakan kekayaan budaya dan tradisi bangsa Indonesia berupa senjata tradisional yang muncul sebagai ilustrasi dalam uang ORI seri awal. Parang maupun keris ini dapat dikatakan telah lekat sebagai bagian dari keseharian masyarakat di Indonesia untuk berbagai keperluan mulai dari alat bekerja, senjata beladiri, pusaka yang juga bernilai filosofis, hingga simbol status. Selain digunakan sebagai ilustrasi dalam ORI, gambar senjata tradisional juga terdapat beberapa pecahan ORIDA diantaranya adalah rencong, kujang, keris Lampung, dan keris melayu yang muncul dalam mata uang daerah Atjeh emisi Koetaradja pecahan 250 rupiah, dan Oeang Repoeblik Indonesia Daerah Banten (ORIDAB) 10 Rupiah, Orida Lampung emisi Tanjung Karang 1947 pecahan 50 rupiah, dan emisi 1948 pecahan 10 rupiah. Gagasan yang dikomunikasiskan melalui penggunaan ilustrasi berupa senjata tradisional dalam sejumlah seri uang ORI tampak memiliki penekanan kepada fungsi keduanya 31) Direktorat Jenderal Perkunan. Statistik Perkebunan Indonesia. Tembakau 2014-2016 (Jakarta: Direktorat Jenderal Perkebunan, 2015), hlm. 3.
194
Keindonesiaan dalam Uang
sebagai identitas bangsa sekaligus senjata yang banyak dipakai rakyat Indonesia dalam perjuangan. Menurut Surono, salah satu delinavit ORI yang menggambar pecahan 1 dan 100 rupiah, pemilihan gambar keris dimaksudkan menunjukan identitas bangsa.32 Parang merupakan senjata yang telah dikenal luas oleh beragam suku bangsa yang ada di Indonesia. Parang, kerap didefinisikan sebagai pisau melayu yang besar, merupakan senjata yang khas di wilayah tropis dengan tingkat pesebaran yang tinggi sehingga dapat dijumpai hampir di seluruh wilayah kepulaun nusantara dengan berbagai penyebutan. Sebagaimana parang, keris memiliki akar sangat lama dalam sejarah.33 Di Jawa, keris menjadi simbol dari kejantanan dan kerap digunakan sebagai lambang pusaka yang sarat dengan makna sosial, historis, etis, hingga religius-mistis. Selain di Jawa, keris dapat pula dijumpai dalam khasanah trasdisi melayu, Bali, Sulawesi Kalimantan dan daerah lainnya dengan nama atau penyebutan yang beragam. Dalam lembar-lembar uang yang ada pada seri ORI, keris digambarkan terhunus maupun tersarung. Keris dalam posisi terhunus dapat ditemui pada ORI I, 1 Sen yakni keris dengan luk (lekuk) lima dan ORI III, 100 rupiah dengan jumlah luk tujuh. Jumlah luk dalam keris selalu ganjil yang menyimbolkan gerak dinamis, sekaligus harapan akan keberlanjutan. Dalam beberapa mata uang ORI ditampilkan juga gambar keris dalam kondisi tersarung. Dalam tradisi Jawa, hubungan keris dengan sarungnya ini secara filosofis dapat diartikan sebagai hubungan yang intim antara seorang insan dengan sang penciptanya. Keris yang tersarung itu juga menjadi simbol persatuan untuk mencapai keharmonisan hidup di dunia. Dari situlah kemudian lahir filosofi “manunggaling kawula-Gusti”, dimana seorang abdi bersatu dengan rajanya, bersatunya insan kamil dengan Penciptanya, bersatunya rakyat dengan pemimpinnya, sehingga 32) Kutipan dari wawancara dengan Surono, Yogyakarta, 27 Oktober 1996 dalam Dwi Ratna Nurhajarini, Oeang Republik Indonesia (ORI): Peranannya dalam Perjuangan, hlm 74 33) Sekalipun belum ada sumber tertulis yang mampu menjelaskan tentang keris sebelum abad ke-15, istilah penyebutan keris ditengarai sudah ada sejak abad ke-9. Argumen tersebut didasarkan pada temuan dari prasasti Dakawu yang menunjukkan ikonografi India yang menampilkan “wesi aji”, seperti trisula, kudhi, arit, dan keris simbro. Prasasti Karangtengah yang berangka 824 Masehi juga menyebutkan istilah “keris” dalam sebuah daftar peralatan. Sebutan “keris” juga muncul dalam Prasasti Poh yang berangka 904 Masehi, dimana diterangkan bahwa keris merupakan bagian dari sesaji yang perlu dipersembahkan. Salah satu panel relief Candi Borobudur juga menampilkan seseorang yang tengah memegang benda menyerupai keris, sekalipun senjata tersebut masih belum memiliki derajat kecondongan dan hulu/dedernya masih menyatu dengan bilah.
Makna di Balik Rupa
195
Keris Ber-luk Lima, ORI I, 1 Sen
Keris Ber-luk Tujuh, ORI I, 100 Rupiah
Keris dalam Posisi Tersarung, ORI I, 100 Rupiah
Siluet keris dan parang dalam posisi disilangkan yang tampak pada ORI I, 10 Sen.
kehidupan selalu aman damai, tentram, bahagia, sehat sejahtera. Di samping kewajiban untuk saling menghormati satu dengan yang lain, masing-masing insan juga harus mawas diri untuk berkarya sesuai dengan porsi dan fungsinya masing-masing. Gurdho (Motif Lar) dan Agni (Lidah Api) Obyek visual yang muncul dalam uang kertas Indonesia dengan mengambil inspirasi dari kekayaan khasanah tradisi dan budaya nusantara lainnya adalah gubahan garuda yang dikenal dengan istilah gurdho, dan lidah api atau agni. Di balik tulisan Seratus Rupiah ORI Seri III tampak samar-samar lambang gurdho. Adapun gubahan gurdho dan agni dekorasi yang mucul pada bagian belakang pecahan 10 rupiah. Gurdho merupakan salah satu ornamen
196
Keindonesiaan dalam Uang
Ilustrasi samar-samar lambang Gurdo pada pecahan 100 Rupiah ORI III
Motif Gurda pada batik parang
Dekorasi bagian belakang ORI Baru 10 Rupiah
Ornamen yang dibuat menyerupai Gurdho yang ditampilkan pertama kali pada ORI I, Pecahan 5 Sen
yang telah lama dikenal terutama oleh berbagai kelompok masyarakat di Indonesia. Di Jawa, ragam hias semacam ini biasa diistilahkan dengan motif lar. Penggunaan dekorasi gurdho juga dapat ditemui pada relief candi, motif ukir dan kain (batik), komponen arsitektur seperti elemen pada atap rumah, hingga piranti sehari-hari semisal lampu-pelita, dan alat masak.34 Karakter visual gurdho diadaptasi dari mitologi burung garuda dalam tradisi Hindu yang banyak dikenal melalui kisah Mahabarata. Garuda merupakan wahana dewa Wisnu. Garuda kemudian juga dijadikan sebagai lambang negara Indonesia. 35 34) Agus Sachari, Budaya visual Indonesia: Membaca makna perkembangan gaya visual karya desain di Indonesia abad ke-20, (Jakarta: Erlangga, 2007) hlm 124. 35) Ibid
Makna di Balik Rupa
197
Ragam hias berupa lidah api atau agni pada ORI Baru pecahan 10 Rupiah
Lidah api atau dikenal dengan agni merupakan motif hias yang telah ada sejak lama, yang mengadopsi pengaruh Hindu-Budha. Motif semacam ini dapat dijumpai di Bali, Banjar, Jawa, Madura, juga digunakan dalam sebagai ragam hias budaya Tionghoa di Indonesia.36Agni merupakan representasi dari semangat atau itikad yang kuat, juga lambang dari kesaktian. Penggunaan ragam hias semacam ini dapat temui pada berbagai piranti seperti kain, senjata, bokor, dan pakinangan/pakecoh (tempat sesirih).37
Ornamen Nusantara Identitas keindonesiaan yang muncul dalam lembar uang kertas yang terbit pada awal era kemerdekaan juga terwakili oleh penggunaan berbagai rupa ornemen baik berupa gubahan geometris maupun alamiah. Ragam hias berupa gubahan dapat dikatakan sebagai ornamen paling kuno yang telah ada sejak zaman neolithikum.38 Penggunaannya lekat dengan khasanah tradisi dan budaya di nusantara yang muncul dalam berbagai relief candi, arsitektur tradisional, para-text pada manuscript tradisional, ukiran, senjata, kain, hingga berbagai barang yang digunakan sehari-hari. 36) Th van der Hoop, Indonesische Sierenmotieven, (KGBKW 1949). Hlm 298-302 37) Ibid 38) Th van der Hoop, Indonesische Sierenmotieven, (KGBKW 1949). Hlm 15
198
Keindonesiaan dalam Uang
Stilasi alamiah berupa daun dan bunga berpadu dengan motif geometris berupa garis. ORI II 10 Rupiah
Sulur daun relung pada ORIBA 10 Sen
Motif Geometris ORI II, 25 Rupiah
Motif Geometri menyerupai kubah. ORIBA 100 Rupiah
Stilasi daun dan bunga pada ORI I, 5 sen
Ragam hias pilin berganda ORIBA 10 Rupiah
Makna di Balik Rupa
199
Desain ORI banyak mempergunakan bentuk suluran atau stilasi motif daun relung, yaitu daun induk yang tumbuh melingkar merelung ke kanan dan ke kiri, seperti ketela rambat. Relung ini bentuknya seperti spiral, sambung menyambung berurutan. Relung merupakan salah satu motif gubahan daun yang paling klasik, yang juga di kenal di Eropa.39 Meskipun demikian, penggunaan relung dalam mata uang ORI baru tetap mampu menampilkan nuansa yang khas mengingat model-model stilasi daun terebut telah lazim dikenal dan dipergunakan oleh beragam suku bangsa di Indonesia. Selain bernilai seni, ornamen-ornamen yang digunakan dalam ORI ternyata juga bersifat fungsional, diantaranya, sebagai pengaman agar uang tidak mudah dipalsukan. Mengingat penerbitan ORI baru dicetak oleh pemerintah Republik Indonesia dalam situasi yang sedang tidak stabil, masalah desain dan bahan yang digunakan tidak terlalu istimewa bila dibanding dengan mata uang lainnya yang terbit setelah KMB. Demikian pula pengaman yang terbilang sederhana dengan menggunakan cap, dan nomor seri yang terdapat pada beberapa pecahan. Secara keseluruhan, desain yang dipergunakan pada ORI baru menjadikan ornament garis dengan perpaduan titik menjadi komponen visual yang sangat dominan. Desain yang ditampilkan melalui ornament geometris yang memenuhi bidang gambar atau mata uang menghasilkan rancangan yang terkesan kompleks. Sifat kompleks dalam desain boleh jadi merupakan salah satu upaya agar uang tidak mudah ditiru, sehingga mempersulit dilakukannya pemalsuan.
Garuda: Lambang Negara Untuk kali pertama, lambang negara yakni burung Garuda digunakan pada pecahan 2 ½ rupiah mata uang Seri Pemandangan Alam. Sebelumnya, pada ORI III pecahan 100 rupiah, dan 10 rupiah ORI baru, telah terdapat dekorasi motif Gurdho atau motif Lar yang memiliki sejumlah kesamaan pada sejumlah komponen visual dengan yang ada pada lambang negara. Meskipun demikian, motif Gruda tidak dapat disamakan dengan lambang negara, karena burung garuda sebagai simbol negara merujuk pada suatu desain spesifik yang diatur oleh undang-undang. Selain Indonesia, burung Garuda juga dipakai sebagai lambang negara di beberapa negara Asia. Di Thailand Garuda dikenal dengan sebutan Krut atau Pha Krut. Di Jepang Garuda disebut dengan Karura. Tidak hanya sebagai lambang negara, Garuda juga menjadi simbol lambang ibukota Mongolia. 39) James Ward, Historic Ornament: Treatise on decorative art and architectural ornament, (London: Chapman and Hall, Limited 1897)
200
Keindonesiaan dalam Uang
Dekorasi dari gubahan burung garuda telah memiliki akar sejarah panjang dan banyak dikenal dalam berbagai khasanah budaya di nusantara baik digunakan sebagai relief dalam candi, patung, bendera, peraga wayang, motif kain dan ukir, juga termuat dalam berbagai kitab. Adapun, burung garuda sebagai lambang negara yang divisualisasi dalam uang ORI baru pecahan 2 ½ rupiah telah mengalami pergeseran—dari simbol mitologi menjadi lambang negara—, sekaligus pengayaan konsep dimana setiap unsur rupa yang ditampilkannya memiliki kaitan makna dengan sejarah, cita-cita, semboyan dan landasan ideal dalam bernegara.40 Proses pemilihan lambang garuda sebagai lambang negara melalui proses yang panjang. Dimulai sejak 16 November 1945 dengan dibentuknya Panitia Indonesia Raya, yang diketuai oleh Ki Hadjar Dewantara dan Muhammad Yamin yang menjadi sekretaris umum, untuk menyelidiki arti lambang-lambang dalam peradaban bangsa Indonesia. 41 Setelah pengakuan kedaulatan Belanda atas kemerdekaan Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar di tahun 1949, dirasakan oleh pemerintah waktu itu untuk memiliki lambang negara. Akhirnya lambang garuda rancangan Sultan Hamid II terpilih yang kemudian disempurnakan oleh Sukarno. Secara resmi lambang ini pertama kali diresmikan pemakaiannya pada sidang kabinet Republik Indonesia Serikat 11 Februari 1950. 40) Agus Sachari, Budaya visual Indonesia: Membaca makna perkembangan gaya visual karya desain di Indonesia abad ke-20, (Jakarta: Erlangga, 2007) hlm 124. 41) Panitia teknis ini disebut sebagai Panitia Lambang Negara di bawah koordinator Menteri Negara Zonder Porto Folio Sultan Hamid II dengan susunan Panitia teknis: Muhammad Yamin (Ketua), Ki Hajar Dewantara (anggota), M.A. Pellaupessy (anggota), Mohammad Natsir (anggota), R.M. Ng. Purbatjaraka (anggota). Adapun dua desain terbaik adalah karya M. Yamin, dan Sultan Hamid II yang karyanya kemudian disempurakan menjadi lambang negara.
Makna di Balik Rupa
201
Menggambar Keindonesiaan: Refleksi dari Makna di Balik Rupa Uang Indonesia Penerbitan ORI, Uang RIS dan seri pemandangan alam pada awal kemerdekaan Indonesia merekam dinamika tentang bagaimana Indonesia dibayangkan dan digambarkan pada tahun-tahun awal kemerdekaan. Terlepas dari fungsi ekonomis uang, peran penting turut dimainkan elemen visual pada lembar-lembar mata uang tersebut dalam membangun gagasan mengenai Indonesia, sebuah negara yang baru saja memerdekaan diri dari penjajah. Visual pada uang di awal kemerdekaan juga turut mentransmisikan image tentang identitas nasional. Oleh karenanya, dapat dibayangkan pula, betapa besar kesulitan para delinavit dalam mempresentasikan kendonesiaan— suatu wadah yang merangkum keragaman sangat besar—melalui karya visual mereka. Tidak dapat dipungkiri, terdapat pengaruh cukup kuat dari khasanah budaya Jawa dalam visualisasi uang kertas yang terbit pada awal kemerdekaan Indonesia. Berbagai ilustrasi yang muncul dalam uang baik berupa ragam gubahan, fauna semisal banteng dan naga Jawa, keris, gurdho, lebih dekat dengan yang ada dalam budaya Jawa ketimbang khasanah kebudayaan di tempat lain. Oleh karenanya, lumrah jika kemudian muncul pertanyaan apakah gambar-gambar tersebut cukup mewakili identitas Indonesia? Namun, tentu saja dengan memahami konteks zaman pada waktu itu, pertanyaan ini dapat memperoleh penjelasan. Karya-karya visual dalam uang tersebut dikerjakan dalam penuh keterbatasan, pada masa itu identitas nasional belum mewujud, dan beberapa tahun lebih awal dari Konferensi Kebudayaan—sebuah forum dimana para tokoh bangsa berembug mendefinisikan identitas nasional.42 Meskipun demikian, para delinavit dan orang-orang yang tergabung dalam panitia penerbitan uang—dengan segala keterbatasannya—telah memulai mewujudkan gagasan mengenai identitas nasional melalui visualiasi dalam mata uang. Adapun pengaruh budaya Jawa yang kuat tentu tidak mudah dihindari bagi para pelukis uang periode awal yang kebanyakan dari mereka terlahir dan besar dalam lingkup budaya Jawa, semisal Abdulsalam yang lahir di Banyumas, Surono yang asli Yogyakarta, dan Soerawi Dibyo Pramudjo yang berasal dari Cilacap. Selain itu, ditengah kondisi yang 42) Mengenai pembentukan identitas nasional dalam Konferensi Budaya tahun 1950 dapat dilihat dalam Els Bogaerts, ‘Whither Indonesian culture?’ Rethinking ‘culture’ in Indonesia in a time of decolonization, dalam Jennifer Lindsay; M H T Sutedja-LIem, Heirs to World Culture : Being Indonesian, 1950-1965, (Leiden: BRILL, 2012), hlm. 243-7
202
Keindonesiaan dalam Uang
begejolak, para pelukis—umumnya berusia awal 30-an tahun pada saat itu, dan barangkali tidak pernah memperoleh kesempatan melalang buana menjelajah nusantara—juga hanya mempunyai referensi yang terbatas untuk dijadikan acuan dalam berkarya. Oleh karenanya, kebanyakan motif yang digunakan mengambil inspirasi dari ornamen-ornamen di Jawa. Referensi seniman pada saat itu barangkali bergantung pada perkembangan visual art dari periode sebelumnya yang turut memberi pengaruh kuat bagi para delinavit dalam berkarya. Dalam hal ini, proses kreatif para pelukis ORI turut dibentuk melalui pengalaman mereka bekerja dan berinteraksi dengan berbagai institusi, seniman, maupun gagasan kesenian—semisal mooi indie—yang mekar pada era sebelumnya. Abdulsalam, sebagai contoh, pernah bekerja sebagai pelukis yang produktif untuk kantor propaganda Jepang. Ia juga merupa buku pelajaran berbahasa Jawa, berjudul Kardi lan Kantjane yang diterbitkan oleh Kantor Pengadjaran Djakarta pada 1943. Ditilik dari segi desain, beberapa pecahan uang ORI memiliki keterkaitan maupun keinambungan konsep yang berakar dari rupa uang Belanda, dan Jepang. Hal ini dapat ditafsirkan bahwa uang-uang yang telah lebih dahulu beredar bisa jadi merupakan sumber referensi para delinavit Indonesia dalam berkarya. Sejumlah pecahan uang Belanda yang terutama yang terbit pada dekade 1930-an menampilkan budaya Jawa dalam bentuk penari; batik; wayang, dan candi. Demikian pula pada desain mata uang Jepang yang juga kerap menampilkan kekayaan budaya Indonesia, tampaknya turuh memberi pengaruh bagi desain uang Indonesia awal kemerdekaan diataranya adalah uang pisang 10 Gulden (1942) dan kerbau 100 gulden (1944)—hanya saja kerbau ditampilkan sebagai binatang jinak yang sedang bekerja. Sejumlah uang Dai Nippon menggunakan elemenelemen visual yang bersumber pada khasanah budaya Jawa semisal Naga Jawa (1/2 rupiah, 1943), gurdha atau lar (1 rupiah, 1943), Gatotkaca dan Borobudur (10 rupiah, 1943), wayang; batik parang; dan Garuda-Wisnu (100 rupiah, 1943). Kuatnya elemen budaya Jawa dalam merupa uang Indonesia masa awal kemerdekaan tampak memiliki kaitan dengan desain pada berbagai mata uang yang terbit sebelumnya. Pengaruh budaya Jawa sebenarnya juga terdapat pada ORIDA yang terbit di luar Jawa. Lazimnya, ORIDA menampilkan identitas khas suatu daerah tempat uang itu terbit dan beredar, misalnya 50 sen Emisi Kutaraja menggunakan ilustrasi ikonik masjid Banda Aceh, rumah gadang adat, pakaian tradisional, dan figur pahlawan seperti Imam Bonjol—yang terdapat pecahan 10 sen Emisi Sumatra Barat 1948. Hanya saja, dalam sejumlah ORIDA pengaruh Jawa masih muncul dalam bentuk
Makna di Balik Rupa
203
ilustrasi candi Borobudur pada 5 rupiah ORIPS Emisi Bukit Tinggi, figur wayang perempuan pada pecahan 5 rupiah Emisi Riau 1947. Terlepas dari sejumlah pengaruh Jawa yang ada dalam beberapa lembar mata uang ORI, gagasan visual yang dikomunikasikan melalui penerbitan mata uang ini sebenarnya menekankan pada sifat universal. Kebanyakan ornamen yang menjadi objek visual ORI merupakan motifmotif yang bersifat umum, dan lazim dijumpai pada berbagai khasanah budaya. Beberapa contoh adalah ilustrasi parang, kerbau, beragam jenis pekerjaan, bahkan keris—yang kerap diidentifikasi sebagai Jawa—ternyata memiliki akar dan juga dikenal dalam berbagai khasanah budaya masyarakat Indonesia. Gambar pemandangan alam muncul dalam berbagai mata uang untuk merepresentasikan wajah yang paling universal dari Indonesia, yang lazim dijumpai di banyak tempat. Demikian pula jenis gubahan yang dipergunakan, yang cenderung menampilkan sifat umum dari ragam hias yang lazim berkembang di Indonesia, tanpa secara spesifik merujuk pada motif khusus yang berasal dari daerah maupun khasanah kriya tertentu. Hal ini berbeda dengan mata uang yang diedarkan belakangan, seperti pecahan 5 rupiah emisi tahun 1952 diedarkan tahun 1953 yang mengambil inspirasi dari motif ukir Jepara.43 Uang terbitan BI setelah 1952 menampilkan keindonesiaan menggunakan objek visual yang menekankan kepada keragaman budaya yang menjadi kekayaan bangsa. ORI, Uang RIS, dan Seri Pemandangan alam, yang terbit lebih awal, mentransmisikan gagasan keindonesiaan melalui kesamaan, dengan menggunakan elemen visual yang bersifat universal atau lazim. Kesamaan menjadi identitas terpenting untuk membangun persatuan yang sangat diperlukan oleh bangsa Indonesia saat itu. Melalui tangan-tangan para perupa uang, gagasan keindonesiaan divisualkan sebagai rintisan yang kemudian disempurnakan oleh para pemikir bangsa.
43) Sri Margana, dkk., Keindonesiaan Dalam Uang: pantulan perjalanan sejarah Indonesia dalam uang kertas Bank Indonesia (Museum Bank Indonesia: 2016) hlm. 16.
204
Keindonesiaan dalam Uang
BAB VII KESIMPULAN
Indonesia memiliki khasanah sejarah uang yang sangat panjang. Uang sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat Nusantara sejak abad-abad pertama Masehi. Hingga saat ini, berbagai jenis uang yang pernah dibuat dan beredar di Indonesia masih terpelihara dan terjaga keberadaanya. Museum Bank Indonesia (MBI) yang berada di bawah pengelolaan Bank Indonesia, misalnya, memiliki sekitar ratusan ribu koleksi uang (numismatik) dalam berbagai bentuk, mulai dari koin hingga kertas, yang diproduksi dan dipergunakan di Nusantara sebagai alat tukar sejak Zaman Majapahit di abad ke-13 hingga abad ke-21. Jelas kiranya, koleksi tersebut merupakan sebuah kekayaan historis yang tak ternilai harganya, sekaligus merupakan sebuah kesempatan besar bagi para sejarawan khususnya dan masyarakat pada umumnya untuk mempelajari sejarah uang di Indonesia. Uang memiliki makna yang sangat penting bagi masyarakat dan negara, melebihi fungsi ekonomisnya sebagai alat pertukaran semata. Sebagai produk dari sebuah lembaga formal milik negara, uang merepresentasikan kepentingan bersama masyarakat dan kebijakan publik sebuah negara. Mulai dari bahan, bentuk, nilai hingga semua jenis simbol yang disematkan didalamnya, dipilih berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu.
Setiap spesimen mata uang karenanya memiliki makna tertentu yang merefleksikan kekayaan sosial kultural maupun kepentingan masyarakat dan negara, serta jiwa zaman ketika uang tersebut diterbitkan. Sebagai sebuah objek kajian dan sebagai sumber sejarah, setiap spesimen mata uang bisa menjadi ‘jendela’ untuk melihat perkembangan sosial, politik, ekonomi, dan bahkan kebudayaan sebuah negara di mana uang tersebut dikeluarkan. Oleh karena itu, penelitian numismatik dan sejarah uang memiliki makna strategis yang perlu dikembangkan di Indonesia. Uang pada dasarnya diciptakan sebagai sebagai alat pembayaran yang sah dalam sebuah sistem ekonomi, untuk memperlancar aktivitas pertukaran barang dan jasa, dan meningkatkan efisiensi waktu dan usaha untuk melakukan pertukaran ekonomi. Secara intrinsik, uang memiliki setidaknya empat fungsi dasar, yaitu sebagai satuan nilai, sebagai alat pertukaran, sebagai alat pembayaran tertunda (hutang), dan alat untuk pembentukan dan pemindahan modal serta penimbun kekayaan. Meski demikian, uang – terutama uang kertas – juga memiliki nilai dan fungsi lain di luar fungsi ekonomis tersebut. Fungsi-fungsi yang dimaksud antara lain mencakup fungsi politik, sosial, dan budaya. Fungsi-fungsi non-ekonomis tersebut berkaitan erat dengan tujuan dan konteks historis saat uang tersebut dikeluarkan secara resmi. Ini berarti bahwa sebuah mata uang tidak pernah terbit secara out of the blue, atau lahir dalam ruang hampa yang bebas dari campur tangan kepentingan atau pengaruh tertentu. Bagaimanapun uang adalah produk kebudayaan yang merekam kisah yang kaya dan atau menyimbolkan nilai-nilai tertentu yang secara sengaja maupun tidak sengaja melekat padanya. Oleh karena itu, pemahaman atas konteks ekonomis, politis, dan sosio kultural yang melatari pembuatan sebuah uang sangat penting untuk bisa memahami nilai dan makna historis sebuah spesimen uang. Dalam lembaran sejarah Indonesia, gambaran tentang multifungsi uang seperti di atas bisa disaksikan ketika Pemerintah Indonesia yang baru terbentuk setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 menerbitkan ‘Oeang Republik Indonesia’ (ORI). Uang kertas perdana tersebut diberi tanggal 17 Oktober 1945, mulai diedarkan tanggal 30 Oktober 1946, dan kemudian ditarik kembali pada bulan Maret 1950. Meskipun hanya memiliki masa berlaku yang sangat singkat, sekitar 3 tahun 5 bulan, uang tersebut dianggap sebagai uang bersejarah. Uang perdana tersebut dicetak menggunakan bahan kertas dan teknologi cetak yang sederhana, namun sudah mencantumkan ciri-ciri uang yang lengkap. Uang itu dikeluarkan selain sebagai alat pembayaran baru yang sah di wilayah Republik Indonesia menggantikan Jepang, juga dimaksudkan sebagai
206
Keindonesiaan dalam Uang
simbol atau lambang kedaulatan negara Indonesia yang telah terbebas dari penjajahan. Demikianlah semangat tersebut diungkapkan secara eksplisit oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta dalam pidatonya melalui Radio Republik Indonesia pada tanggal 29 Oktober 1945, sehari sebelum dikeluarkannya ORI. Meski demikian, situasi dan perkembangan politik pada tahuntahun tersebut sangat membatasi sirkulasi dan fungsi ORI. Penerbitan dan pencetakan uang ORI tersebut juga harus melalui proses yang berliku, karena keterbatasan bahan baku dan infrastruktur yang dibutuhkan. Sejak akhir tahun 1945, Pemerintah RI semakin tersudut oleh kampanye Belanda yang berupaya menguasai kembali wilayah bekas jajahannya melalui agresi militer dan diplomasi politik. Akibatnya, ORI berlaku hanya di wilayah RI saja yang pada saat itu mencakup sebagian kecil Jawa dan Madura. Di wilayah yang sama, ORI harus ‘bersaing’ dengan uang yang dikeluarkan oleh Netherlands Indies Civil Administration (NICA), negara kolonial baru bentukan Belanda, selain juga dengan uang lama yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pendudukan Jepang. Sementara itu, di wilayah-wilayah di luar Jawa, otoritas setempat yang merupakan bagian dari NICA yang disebut Bijeenkomst voor Federal Overleg (BFO) juga mengeluarkan uang lokal sebagai alat pembayaran yang sah di wilayahnya. Sebagai contoh di beberapa bagian Sumatra, pada akhir tahun 1947 muncul sejumlah ‘uang lokal’, diantaranya adalah Oeang Repoeblik Sumatera (ORIPS), Uang Republik Sumatera Utara (URISU), Uang Republik Daerah Djambi (URIDJA), Uang Republik Indonesia Daerah Aceh (URIDA), Oeang Repoeblik Indonesia Daerah Tapanoeli (ORITA). Selain itu, Pemerintah Daerah Banten juga mengeluarkan Oeang Repoeblik Daerah Banten (ORIDAB). Uang-uang lokal tersebut disebut Oeang Repoeblik Indonesia Daerah (ORIDA) dalam konteks politik merupakan bagian dari merebaknya semangat kedaerahan (regionalisme) yang di beberapa wilayah menjadi sebab terjadinya pemberontakan daerah, misalnya pemberontakan PRRI/Permesta. Uang-uang lokal tersebut masih terus berlaku ketika Belanda menyerahkan kedaulatan Indonesia, yang sekaligus menyatukan BFO dan RI menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS). Uang-uang tersebut baru dinyatakan tidak berlaku dan ditarik dari peredaran pada bulan Maret 1950, bersamaan dengan penggantian ORI dengan uang rupiah baru yang dikeluarkan oleh Pemerintah Federal RIS. Demikianlah, penerbitan ORI aslinya ditujukan untuk menjalankan fungsi utamanya sebagai alat pembayaran masyarakat untuk menggantikan uang rupiah terbitan Javasche Bank Hindia Belanda dan Jepang. Selain itu, pada saat yang sama ORI juga menjadi alat politik sebagai alat perjuangan
Kesimpulan
207
revolusi untuk menegaskan kemerdekaan dan kedaulatan Republik Indonesia; serta menjadi alat pemersatu bangsa yang waktu itu terancam oleh semangat kedaerahan dan gejolak separatisme. Dan akhirnya, ORI juga memiliki makna sosial kultural sebagaimana tercermin dari tampilan fisiknya yang menampilkan sosok Presiden Sukarno di satu sisi dan Gambar UUD 1945 pada sisi yang lain. Tampilan fisik ORI tersebut mempertegas semangat zaman pada waktu itu, yaitu semangat revolusioner, dan sekaligus merefleksikan posisinya sebagai pengikat loyalitas bangsa kepada satu dasar negara yang sama. Semua fungsi tersebut sudah tentu berlaku juga pada uang-uang kertas lain yang diterbitkan oleh Bank Indonesia pada masa kemerdekaan, sebagaimana akan dibahas pada bagian berikutnya. Setelah melalui proses politik yang berliku, Pemerintah Belanda atas desakan dunia internasional akhirnya bersedia mengakui kemerdekaan Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949, melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag. Meski demikian, Pemerintah Belanda menuntut Pemerintah Indonesia untuk mengambilalih hutang Negara Hindia Belanda dan menjamin keberlangsungan bisnis utama milik pengusaha Belanda. Salah satu perusahaan tersebut adalah De Javasche Bank (DJB), yang sudah menjalankan peran sebagai bank sentral sejak awal abad ke-20. Pada saat yang sama, Pemerintah Indonesia mewarisi kondisi perekonomian yang hancur akibat peperangan, sementara situasi politik juga masih jauh dari stabil. Menghadapi situasi demikian, Pemerintah mengambil berbagai kebijakan untuk mengembalikan stabilitas politik dan memulihkan perekonomian. Salah satu kebijakan yang diambil adalah menasionalisasi DJB untuk difungsikan sebagai bank sentral. Keputusan untuk menasionalisasi DJB akhirnya ditetapkan pada tanggal 28 Mei 1951, sesudah Indonesia kembali menjadi negara kesatuan. Setelah melalui proses negosiasi panjang nasionalisasi DJB akhirnya berhasil dituntaskan yang ditandai dengan terbitnya UU No. 24 tahun 1951, pada tanggal 15 Desember 1951. Setelah resmi menjadi miliknya, Pemerintah Indonesia kemudian mengubah nama De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia melalui UU no. 11 tahun 1953. Undang-undang yang sama juga sekaligus menetapkan BI sebagai bank sentral Indonesia.
208
Keindonesiaan dalam Uang
DAFTAR PUSTAKA
Arsip ANRI Arsip BNI No. Inv. 435 Sekretariat Negara Yogyakarta, No. 158. Lembaran Negara tahun 1953 No. 40
Surat Kabar dan Majalah Antara, 1945-1953 Berita Indonesia De Locomotief 1947 De Tijd, 1949 Het Nieuwsblad Voor Sumatra, 1949 Historia, 18 Desember 2014, 1 Januari 2018 Kedaulatan Rakyat 1946-1953 Merdeka, 1946-1953 Sin Po, 1946 Tanah Air, 1940-1950 Trouw, Zaterdag 15 April 1950 Waspada
Buku dan Artikel Adams, Cindy, Sukarno: An Autobiography as Told to Cindy Adams. Indiana: The Bobbs-Merrill, 1965. Adams, Cindy, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, edisi revisi, Yogyakarta: Yayasan Bung Karno – Penerbit Media Pressindo, 2014. Agus Sachari, Budaya visual Indonesia: Membaca makna perkembangan gaya visual karya desain di Indonesia abad ke-20, Jakarta: Erlangga, 2007. Ahmad Subardjo Djoyoadisuryo, “In Memoriam Laksamana Tadashi Maeda”, dalam Hendri F. Isnaeni (ed.), Seputar Proklamasi Kemerdekaan: Kesaksian, Penyiaran dan Keterlibatan Jepang, Jakarta: Penerbit Kompas, 2015. Ajip Rosidi, Sjafrudin Prawiranegara: Lebih Takut Kepada Allah SWT, Jakarta: Pustaka Jaya, 1986. Beng To Oey, Sejarah kebijakan moneter Indonesia, Jakarta: Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia, 1991. Bogaerts, Els., ‘Whither Indonesian culture?’ Rethinking ‘culture’ in Indonesia in a time of decolonization, dalam Jennifer Lindsay; M H T Sutedja-Liem; Heirs to World Culture : Being Indonesian, 1950-1965, Leiden: Brill, 2012. Cribb, Robert, “Political Dimensions of the Currency Question 1945-1947”. Indonesia, No. 31 (Apr. 1981), hlm. 113-136. Dawam Rahardjo, et.al., Bank Indonesia dalam Kilasan Sejarah Bangsa, Jakarta: LP3ES, 1995. Herman, “Engraving Mata Uang Kertas Republik Indonesia Masa Pasca Kemerdekaan Tahun 1945-1965”, Skripsi, Program Studi Pendidikan Seni Kriya Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta, 2016. Hoop, Th van der., Indonesische siermotieven, Ragam-ragam perhiasan Indonesia, Indonesian ornamental design, Bandoeng: Koninklijk Bataviaasch genootschap van kunsten en wetenschappen, 1949. I Nyoman Widya Paramadhyaksa, “Filosofi dan Penerapan Konsepsi Bunga Padma Dalam Perwujudan Arsitektur Tradisional Bali”, Langkau Betang, Vol. 3, No. 1, 2016, hlm. 28-42. J. Soedradjad Djiwandono, dkk., Sejarah Bank Indonesia Periode I: 1945-1959, Jakarta: Bank Indonesia, 2005. Jakob Sumardjo, Estetika Paradoks. Bandung: Sunan Ambu Press, STSI Bandung, 2006. Jordaan, Roy E. (eds)., Memuji Prambanan: Bunga rampai para cendekiawan Belanda tentang kompleks percandian Loro Jonggrang (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia; KITLV, 2009), Kementrian Penerangan, Oeang Repoeblik Kita Soedah Keloear, Siaran Kilat Kementrian Penerangan Djakarta, Djakarta: Kemenpen, 1946. Koesnadi, Oeang Repoeblik sebagai Koentji kemakmoeran, Pembasmi Oeang Nica, dan Harga Tjatoet, Tegal: Oesaha Penerbit Indonesia, 1946. Erwin Kusumo. Kronik Penerbitan Oeang Republik Indonesia, Jakarta: Kekal Press, 2008. 210
Keindonesiaan dalam Uang
Lombard, Denys, Nusa Jawa Silang Budaya: Batas-Batas Pembaratan. Gramedia: Jakarta, 2002. Lombard, Denys., Nusa Jawa silang budaya: Warisan kerajaan-kerajaan konsentris, Bagian 3, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama; École française d’ExtrêmeOrient, 1996. Mohammad Hatta, Sekitar Proklamasi, Jakarta: PT Tintamas, 1970. Mohammad Hatta, Untuk Negeriku, Menuju Gerbang Kemerdekaan: Sebuah Otobiografi, Jilid 3, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2011. Mohammad Iskandar. “’Oeang Republik’ dalam Kancah Revolusi”. Jurnal Sejarah, vol. 6, no. 4 (Agustus, 2004), hlm. 43-62. Mohammad Saubari, “Reflection on Economic Policy Making, 1945-51”, Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 23, No. 2, August 1987. Mrazek, Rudolf., Enginers of Happy Land: Perkembangan teknologi dan nasionalisme di sebuah koloni, Jakarta: Yayasan Obor, 2006. Nono Hartanto, “Perjalanan Sejarah Indonesia Melalui Uang ORI”, Buletin Core (Club Oeang Revoloesi), No. 2, VI, 2016. P. Swantoro, “Saat-saat Penentuan Rumusan Proklamasi: Kisah Satu Malam yang Menentukan Masa Depan”, dalam Hendri F. Isnaeni (ed.), Seputar Proklamasi Kemerdekaan: Kesaksian, Penyiaran dan Keterlibatan Jepang, Jakarta: Penerbit Kompas, 2015. P. Swantoro, “Sebuah Catatan terhadap Memoar Bung Hatta: Benarkah Patterson Mendarat Tanggal 16 Agustus 1945?”, dalam Hendri F. Isnaeni (ed.), Seputar Proklamasi Kemerdekaan: Kesaksian, Penyiaran dan Keterlibatan Jepang, Jakarta: Penerbit Kompas, 2015. Poeze, Harry, Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda (1600-1950). Jakarta: KPG, 2014. Ricklefs, M.C., A History of Modern Indonesia since c. 1200, 3rd edition, Basingstoke: Palgrave MacMillan, 2001. Sjafroedin Prawiranegara, “Recollections of My Career”, dalam Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 23, No. 3 (1987). Sri Margana, dkk., Keindonesiaan Dalam Uang: pantulan perjalanan sejarah Indonesia dalam uang kertas Bank Indonesia, Museum Bank Indonesia: 2016. Sudiro, “Saat-saat Proklamasi Sangat Mendebarkan”, dalam Hendri F. Isnaeni (ed.), Seputar Proklamasi Kemerdekaan: Kesaksian, Penyiaran dan Keterlibatan Jepang, Jakarta: Penerbit Kompas, 2015. The Javasche Bank. Laporan Tahun Buku 1949-1950. Jakarta: G. Kolff & co., n.a. Uno, Oeang Nusantara, Bandung: Genera Publishing, 2015 van Hoorn, Nico, “5.2. Monetary Issues”, dalam Peter Post, et.al (eds), The Encyclopedia of Indonesia in the Pacific Wars, Leiden: Brill, 2012. Widigdo Sukarman, “Upaya Membentuk Perbankan Nasional. Peran BNI pada Tahun 1950an”. Lembaran Sejarah, vol. 8, no. 2, hlm. 47-67. Ward, James., Historic Ornament: Treatise on decorative art and architectural ornament, London: Chapman and Hall, Limited 1897.
Daftar Pustaka
211
Wolff, Janet, The Social Production of Art. New York: New York University Press, 1993.
Skripsi Herman, “Engraving Mata Uang Kertas Republik Indonesia Masa Pasca Kemerdekaan Tahun 1945-1965”, Skripsi, Program Studi Pendidikan Seni Kriya Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta, 2016.
Situs Internet http://historia.id/modern/merahputih-kerbau-dan-banteng http://historia.id/budaya/mooi-indie-diserang-lalu-disayang http://www.hubert-herald.nl/IndoMajapahit.htm https://lifestyle.okezone.com/read/2017/09/08/194/1772287/okezoneweek-end-sejarah-kain-tenun-indonesia-ada-sejak-zaman-neolitikumdikisahkan-dari-relief-situs-sejarah-hingga-prasasti https://luk.staff.ugm.ac.id/Borobudur/relief/01.html)
https://finance.detik.com/moneter/d-3374772/jokowi-dalamsetiap-lembar-rupiah-ada-gambar-pahlawan-nasional-darinusantara,
Historia, “Mooi Indie Diserang Lalu Disayang” http://historia.id/budaya/mooiindie-diserang-lalu-disayang
212
Keindonesiaan dalam Uang