Ca Nasofaring DEFINISI Ca Nasofaring adalah tumor yang berasal dari sel epitel yang melapisi permukaan nasofaring.
EPIDEMIOLOGI -
Kejadian tertinggi : negara-negara Mediteranian dan Asia Timur, khususnya Tunisia.
-
Indonesia = 5 —7 orang per 100.000/tahun
-
Keganasan leher dan kepala tertinggi
-
Laki-laki > perempuan
-
Usia > 30 tahun (puncak ; 40-60 tahun), dapat pula pada anak < 15 tahun
ETIOLOGI Multifaktor : Epstein-Barr Virus (EBV), genetis, karsinogen lingkungan. -
-
Genetis kejadian tinggi pada etnis tertentu (Keturunan Cina) karena ada gen HLA-A2 tinggi Makanan ikan yang diasinkan (karena mengandung bahan karsinogenik nitrosamin volatile) meningkatkan insiden 3-5x Rokok : 10 batang/hari meningkatkan risiko 2,06x Alkohol
PATOFISIOLOGI EBV umumnya serang sel epitel kelenjar liur dan limfosit B. pada limfosit B, EBV berikatan dengan reseptor CR2. Diduga : dalam epitel nasofaring ada reseptor CR2 sehingga EBV menyerang epitel nasofaring. Infeksi EBV
virus laten di epitel dan tidak bereplikasi
faktor pemicu
terjadi transformasi sel
Ca
Nasofaring
MANIFESTASI KLINIS 1.
Gejala telinga : Gangguan pendengaran, Rasa penuh di telinga, Tinitus umumnya disebabkan blokade tuba Eustachian ataupun dapat karena penyebaran langsung ke telinga.
2.
Gejala hidung : Epistaksis (karena dinding tumor rapuh), kongesti, nasal discharge (karena obstruksi nasal).
3.
Gejala neurologi : tumor menyebar secara intrakranial maupun ekstrakranial sehingga terjasi paralisis saraf kranial multipel. •
Bila perluasan ke atas (kena N. II – –VI) diplopia, neuralgia trigerminal unilateral, oftalmoplegia unilateral, nyeri kepala hebat. (lebih sering ditemukan di Indonesia)
•
Bila perluasan ke bawah (kena N. VI-XII) a. Tumor mengenai otot kekakuan otot rahang trismus. b. n IX : Kesulitan menelan karena hemiparesis otot konstriktor superior sertagangguan pengecapan pada sepertiga belakang lidah.
c.
n X : Hiper / hipoanestesi mukosa palatum mole, faring dan laring disertaigangguan respirasi dan salivasi.
d. n XI : Kelumpuhan atau atrofi otot-otot trapezeus, stemokleidomastoideus,serta hemiparesis palatum mole. e. n XII : hemiparalisis dan atrofi sebelah lidah 4.
Benjolan pada leher bagian samping
5.
Limfadenopati servikal
DIAGNOSIS Anamnesa : Gejala dini o Penyakit terdahulu (radang THT) o o Riwayat keluarga (ada kanker/tidak) o Riwayat kontak dengan zat karsinogenik o Lingkungan dan gaya hidup PF :
Inspeksi - palpasi : massa di leher berisi pembesaran KGB yang firm dan tidak sakit. Umumnya bilateral.
Rinoskopi/Laringoskopi : massa di nasofaring
Otoskopi, tes pendengaran
Pemeriksaan saraf kranial
Radiologi (foto tengkorak potongan anteroposterior, lateral) massa jaringan lunak di daerah
PP :
nasofaring. Foto dasar tengkorak memperlihatkan destruksi atau erosi tulang di daerah fossa serebri media.
CT-scan leher dan kepala stadium dini : asimetris torus tubarius dan dinding posterior nasofaring. Melihat ada/tidaknya metastasis
Serologi IgA anti EA (racun virus) dan IgA anti VCA (kapsul virus) untuk infeksi virus EBV.
Biopsi diagnosa pasti!! •
Biopsi dari hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsi). Cunam biopsi dimasukan melalui rongga hidung menelusuri konkha media ke nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsi.
•
Biopsi melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang dimasukkan melalui hidung.
Pemeriksaan darah tepi, fungsi hati, ginjal untuk mendeteksi metastasis.
DD 1. Hiperplasia adenoid : biasa pada anak. Pada foto polos terlihat massa berbatas tegas dan simetris serta struktur tanpa inflamasi. 2. Angiofibroma juvenilis : usia muda. Tumor ini kaya pembuluh darah dan tidak infiltrative. 3. Neurofibroma 4. Chordoma
Stadium Klinis Untuk penentuan stadium dipakai sistem TNM menurut UICC (1997). T = tumor primer •
T1 = tumor terbatas pada nasofaring
•
T2 = tumor meluas ke jaringan orofaring dan/atau ke fossa nasalis. -T2a = tanpa perluasan ke parafaringeal -T2b = dengan perluasan ke parafaringeal
•
T3 = tumor invasi ke struktur tulang dan/atau sinus paranasal
•
T4 = tumor dengan perluasan ke intrakranial dan/atau melibatkan saraf kranial,fossa infratemporal, hipofaring.
N = pembesaran kelenjar getah bening regional. o
N1 = pembesaran unilateral, < 6 cm, di atas fossa supraclavicular.
o
N2 = pembesaran bilateral, < 6 cm di atas fossa supraclavicular.
o
N3 = metastase pada kelenjar getah bening -N3a = ≥ 6 cm -N3b = perluasan ke fosca supraclavicular
M = metastasis jauh •
M0 = tidak ada metastasis jauh
•
M1=Terdapat metastasis jauh
Pengelompokan stadium (UICC 1997) -
Stadium I : T1 No Mo
-
Stadium IIA : T2a No MoS
-
tadium IIB : T1 N1 Mo, T2 N1 Mo, T2a N1 Mo, T2b No, N1 Mo
-
Stadium III : T1 N2 Mo. T2b N2 Mo, T3 NO/N1/N2 Mo
-
Stadium IVA : T4 No/N1/N2 Mo
-
Stadium IVB : T1/T2/T3/T4 N3Mo
-
Stadium IV C : T1/T2/T3/T4 No/N1/N2/N3 M1
HISTOPATOLOGI Ca Nasofaring dibagi menjadi 3 kelas menurut WHO : -
Tipe 1 : squamous cell carcinoma, biasa ditemukan di populasi dewasa tua
-
Tipe 2 : non-keratinizing carcinoma
-
Tipe 3 : undifferentiated carcinoma
Umumnya pada anak dan remaja tipe 3. Tipe 2 dan 3 berhubungan dengan peningkatan titer EBV pada tumor dan lesi premalignant, dengan karakter sensitif terhadap radiasi dan sering bermetastasis. Tipe 3 sering diikuti dengan infiltrasi limfosit, sel plasma,
dan
eosinofil
yang
sangat
banyak
sehingga
disebut
sebagai
limfoepitelioma.
Ada 2 susunan histologis yang dapat terjadi : tipe Regaud, dimana sel epitel tersusun rapi dengan dikelilingi limfosit dan anyaman penyambung. Atau tipe Schmincke, dimana sel tumor terdistribusi merata dengan sel inflamatori diantaranya. Kedua susunan ini dapat terjadi pada satu tumor.
PENGOBATAN Faktor utama yangmempengaruhi pemilihan terapi antara lain : hidtopatologi, penyebaran, kondisi penderita. 1. Radioterapi : terapi utama karsinoma nasofaring. Radioterapi diberikan bertahap dan terbagi dalam beberapa seri sampai mencapai6000-6600 rad untuk tumor primer, sedangkan kelenjar leher yang membesar diberi 6000 rad. Radioterapi pada karsinoma nasofaring bisa dilakukan dengan cara radiasi eksterna (teleterapi) ataupun radiasi intema (brachyterapi). Radiasi interna(brachyterapi) pada karsinoma nasofaring bertujuan untuk memberikan dosistinggi pada regio nasofaring tapi tidak pada jaringan sekitarnya maupun kelenjar. 2. Kemoterapi : terapi tambahan pada karsinoma nasofaring. Kombinasi radioterapi dan kemoterapi dapat meningkatkan hasil terapi. Terutama diberikan pada stadium lanjut atau pada keadaan kambuh. Salah satu cara penggabungan dengan radiasi adalah dengan cara sandwich yaitu kemoterapi-radiasi-kemoterapi. Untuk karsinoma nasofaring stadium I dan II tampaknya radioterapi masih merupakan pilihan utama dengan hasil yang cukup baik, sedang untuk stadium III dan IV terapi kombinasi radioterapi dan kemoterapi mungkin lebih menjanjikan. 3. Terapi Bedah : dikerjakan apabila tumor primer sudah menghilang sedang kelenjar leher masih tersisa. Syarat lainnya adalah tidak ada metastasis jauh. 4. Imunoterapi : untuk EBV
Sesuai dengan staging tumor yang telah dibuat: –
Stadium I: Radioterapi
–
Stadium II& III: Kemoradiasi
–
Stadium IV a & b : Kemoradiasi
–
Stadium IV c: Kemoterapi
–
Diseksi leher pada residu KGB leher
–
Perawatan Paliatif