MAKALAH PSTH Tectona grandis
Disusun oleh : Fakhira Rifanti M. (19813055) M. Athar H. I. (19813094) Katiana Apriyani (19813001) Ghazi M. I. (19813017) Adi F.M.Y. (19813109) SITH- Rekayasa
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2013/2014
Daftar Isi
i.
2
Daftar Isi
ii. Bab I : Pendahuluan
1.1Latar Belakang
3
1.2 Tujuan
3
iii. Bab II : Tectona Grandis
2.1 Biology of commodity commodity 2.1.1.
Pengertian
4
2.1.2.
Penyebaran Jati
4
2.1.3.
Morfologi
5
2.1.4.
Kondisi Untuk Pertumbuhan
7
2.2. Industrial Potency
9
2.3. Technology
14
2.4. Existing Industry
27
2.5. Management
30
2.6. Market
40
2.7. Social Aspect
45
iv. Bab III : Kesimpulan
57
v. Daftar Pustaka
58
2
Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang
Penggunaan kayu pada industri mebel dan kegunaan lainnya pada kehidupan kita sangat banyak. Semakin banyaknya permintaan barang yang terbuat dari kayu menyebabkan pasokan kayu semakin sedikit sehingga menyebabkan harga kayu melonjak tinggi, akibatnya banyak perusahaan yang memilih untuk mengganti haluan atau mencari jalan pintas dengan penebangan liar. Salah satu kayu yang memiliki kualitas baik nan mahal adalah kayu jati. Di indonesia sendiri banyak petani jati yang memiliki puluhan hektar pohon jati, namun tak sebanyak pohon-pohon lainnya dikarenakan lamanya pertumbuhan pohon jati. Pohon jati yang memiliki kualitas baik dan siap untuk di tebang yaitu sekitar 10 tahun ke atas, itulah alasan kebanyakan petani berpindah haluan. Selain itu karena pohon jati hanya bisa di ambil kayunya saja (tidak adanya buah atau hasil lainnya).
1.2 Tujuan
1. Mencari cara untuk mempercepat pertumbuhan pertumbuhan dari pohon jati. jati . 2. Mencari cara untuk meyakinkan pengembang hasil olahan kayu untuk menggunakan kayu alternatif selain jati.
3
BAB 2 Tectona grandis 2.1. Biology of commodity 2.1.1. Pengertian
Jati (Tectona grandis L.f.) terkenal sebagai kayu komersil bermutu tinggi, yang termasuk dalam famili Verbenaceae. Kayu ini bertekstur berat, keras dan sangat hardwearing sehingga sangat cocok untuk digunakan dalam furniture atau pun ukiran. Kualitas kayu jati meliputi daya tarik dalam warna dan biji-bijian, daya tahan , ringan ringan dengan kekuatan , tidak mudah retak , ketahanan terhadap terhadap rayap , jamur , dan pelapukan.
2. 1.2. Penyebaran Jati
Jati merupakan tanaman asli (endemik ) disebagian besar daerah India, Myanmar, Thailand bagian barat, Indo Cina, sebagian Jawa, serta beberapa pulau kecil lainnya di Indonesia, seperti Muna (Sulawesi tenggara). Diluar daerah tersebut tanaman jati merupakan tanaman asing atau tanaman eksotik (pendatang). (pendatang). Saat ini, jati sebagai eksotis di banyak negara negara , misalnya Sri Lanka , Bangladesh dan Cina. Di Asia, jati tersebar di Ghana , Nigeria , Pantai Gading , Senegal , Togo dan Benin. Di Afrika Barat, Sudan dan Tanzania. Di Afrika timur, Trinidad , Puerto Rico dan Panama. Di Amerika Tengah, Brazil dan Ekuador. Area global perkebunan jati yang tercatat pada tahun 1990 adalah sekitar 1,6 juta ha.
Gambar 1.1 Distribusi Pohon Jati
4
Di Indonesia, jati terdapat di beberapa daerah seperti Jawa, Muna, Buton, Maluku dan Nusa Tenggara. Awalnya, jati mengalami proses naturalisasi naturalisa si di Pulau Jawa yang kemudian berkembang sampai ke Kangean, Muna (Sulawesi tenggara) tenggara) Sumba (Nusa Tenggara), dan Bali. Selanjutnya Selanjutnya Jati menyebar ke beberapa pulau lainnya. Namun, hutan jati Indonesia Indonesia yang paling luas dikembangkan di Pulau Jawa, luasnya sekitar 1,05 miliar ha, sedangkan di pulau lain hanya kurang dari 50.000 ha.
2.1.3 Morfologi a. Daun dan Tajuk
Daun jati umumnya berukuran 60-70x80-100 cm untuk pohon muda. Sedangkan pada pohon tua, ukurannya menyusut menjadi sekitar 15-20 cm. Letak daun jati bersilangan bersilangan (opposite) dengan bentuk elips atau bulat telur (tajuk rimbun). Permukaan daun jati berbulu halus dan memiliki kelenjar di
Gambar 1.2 Daun Jati
permukaan bawahnya. Ketika masih muda, daun ini berwarna kemerahan serta mengeluarkan warna merah ketika diremas. Sedangkan daun tua berwarna hijau tua keabu-abuan. b. Batang
Jati dapat mencapai tinggi kira-kira 30-45 meter dengan diameter selebar 2,2 m. Pada habitat yang baik, cabang jati yang tumbuh lebih sedikit. Pada habitat kering, kering, pertumbuhan menjadi terhambat, cabang lebih banyak, melebar dan membentuk semak. Batang jati memiliki bentuk yang tidak beraturan serta monopodial (hanya memiliki satu satu batang pokok) dan umumnya umumnya beralur. beralur. Ranting yang muda berpenampang sisi empat, serta berbonggol di buku-bukunya. c. Bunga dan Buah
Masa berbunga dan berbuahya pohon jati adalah Juni-Agustus setiap tahun. Ukuran bunga kecil, diameter 6-8 mm, keputih-putihan dan berkelamin ganda (terdiri dari benangsari dan putik yang terangkai dalam tandan besar). Buahnya keras, terbungkus kulit berdaging, lunak tidak merata (tipe Gambar 1.2 Bunga Jati
buah batu) . Ukuran buah bervariasi 5-20 mm, umumnya 11-17 mm. Struktur buah terdiri dari kulit luar tipis yang terbentuk dari kelopak,
lapisan tengah (mesokarp) tebal seperti gabus, bagian dalamnya (endokarp) keras dan terbagi menjadi 4 ruang biji. Benih jati berbentuk oval dengan ukuran kira-kira 6x4 mm. 5
d. Akar
Jati memilki 2 jenis akar yaitu tunggang dan serabut. Akar tunggang merupakan akar yang tumbuh ke bawah dan berukuran besar. Fungsi utamanya menegakan pohon agar tidak mudah roboh, sedangkan akar serabut merupakan akar yang tumbuh kesamping untuk mencari air dan unsur hara. e. Kayu
Pohon jati merupakan jenis pohon tropis dan sub tropis dikenal sejak abad ke-9 sebagai pohon dengan kualitas tinggi dan awet sampai 500 tahun. Kayunya berwarna kemerah-merahan. Pohon tua sering beralur dan berbanir. Kulit batang tebal, abu-abu atau coklat muda keabu-abuan. Kulit kayu jati berwarna kecoklatan atau abu-abu dan sif atnya mudat terkelupas. Pangkal batang berakar papan pendek dan dapat bercabang.
Warna kayu bagian tengah (teras) berwarna coklat muda, coklat merah tua, atau merah coklat, sedangkan warna kayu gubal (bagian luar teras hingga kulit) putih atau kelabu kekuningan.
Tekstur kayu agak kasar dan tidak merata. Arah serat kayu jati lurus dan agak terpadu. Permukaan kayu jati licin dan agak berminyak serta memiliki gambaran yang indah. Kambium kayu jati memilki sel-sel yang menghasilkan
perpanjangan vertikal dan horizontal, dimulai dengan berkembangnya inti sel berbentuk oval secara memanjang, kemudian akan membelah menjadi 2 sel dan demikian seterusnya. Pada sekitar bulan JuliSeptember (musim kemarau), tanaman akan mengalami gugur daun dan pada saat itu kambiun
akan tumbuh lebih sempit dari pertumbuhan musim penghujan. Pada bulan Januari-April (musim penghujan), daun akan tumbuh, sehingga pertumbuhan kambium normal kembali. Perbedaan pertumbuhan tersebut akan membuat suatu pola yang indah bila batang jati dipotong
melintang. Pola pertumbuhan kayu yang indah tersebut dikenal juga dengan istilah lingkaran tahun. Kayu jati memiliki berat jenis antara 0,62-0,75 dan memiliki kela s kuat II-III dengan nilai keteguhan patah antara 800-1200 kg/cm3.
6
f. Komponen Kimia Daya resistensi yang tinggi kayu jati te rhadap serangan jamur dan rayap disebabkan karena
adanya zat ekstraktif tectoquinon atau 2-metil antraqinon. Selain itu, kayu jati juga masih mengandung komponen lain, seperti tri poliprena, phenil naphthalene, antraquinon dan komponen lain yang belum terdeteksi. Kayu jati memiliki kadar selulosa 46,5%, lignin 29,9 %, pentosan 14,4%, abu 1,4%, dan silika 0,4%, serta nilai kalor 5,081 kal/g r. Keawetan kayu sesuai hasil uji te rhadap rayap dan jamur te rgolong kelas II. Dengan demikian,
kayu jati dapat terserang rayap dengan kapasitas rendah pada kondisi kayu yang dipengaruhi oleh umur pohon, semakin tua kayu jati semakin sulit terserang rayap.
2.1.5. Kondisi untuk Pertumbuhan
Walaupun jati dikenal sebagai penghasil kayu yang kuat, jati juga memerlukan kondisi yang kondusif untuk mendukung pertumbuhannya. Habitat tumbuh yang sesuai akan mendukung kualitas kayu yang dihasilkan. Tanah dengan topografi relatif datar (hutan dataran rendah) kemiringan lereng maksimal 20% dan kandungan unsur kimia pokok yang dapat mendukung pertumbuhan jati adalah Kalsium (Ca), Fosfor (P), Kalium (K) dan Nitrogen (N), sedangkan kapasitas bahan organik (humus) optimum antara 1,87-5,55 yang berada dipermukaan dan 0,17-0,19% sekitar 100 cm di bawah permukaan.
Ketinggian tempat maksimal adalah 800 m dpl karena ketinggian tempat lebih dari 800 m dpl tanaman jati tidak dapat tumbuh dengan baik akibat suhu tahunan yang lebih rendah. Curah hujan minimum untuk tanaman jati adalah 750 mm/tahun, optimum 1000-1500 mm/tahun dan maksimum 2500 mm/tahun. Walaupun demikian tanaman jati masih dapat tumbuh di daerah dengan curah hujan 3 750 mm/tahun. Curah hujan secara fisik dan fisiologis berpengaruh terhadap sifat gugurnya daun dan kualitas produk kayu. Di daerah dengan musim kemarau panjang tanaman jati akan menggugurkan daunnya dan biasanya lingkaran tahun yang terbentuk lebih artistik. Suhu udara yang dibutuhkan tanaman jati untuk tumbuh baik minimum 13-170C dan maksimum 39-430C. Pada suhu optimum 22420C, kualitas kayu jati yang dihasilkan lebih baik. Kelembaban lingkungan optimum untuk tanaman jati sekitar 80% untuk fase vegetatif dan 60-70% pada fase generatif.
7
Pada kapasitas tanah jati, pertahanan air sangat penting . Jika terlalu tinggi atau terlalu rendah pertumbuhan tanaman akan terhambat . Namun untuk keseluruhan, drainase tanah tampaknya sering menjadi faktor yang paling menentukan untuk produktivitas. Selain itu, penurunan kondisi fisik tanah pada jati, terjadi bila kehadiran garam kalsium dari mudah larut , yang tidak dinetralkan. Oleh karena itu, kesuburan tanah harus dipertahankan yaitu oleh semak padat dalam pohon cemara yang mencegah erosi tanah , memfasilitasi infiltrasi dan evaporasi air , dan memberikan kontribusi pada siklus hara.
Berikut adalah detail spesifikasi dan karakter Tectona grandis : a. Klasifikasi Kingdom
: Plantae
Ordo
: Lamiales
Famili
: Lamiaceae
Genus
: Tectona
Spesies
: Tectona grandis
b. Fisiologi Tinggi
: Mencapai 40 m (131 ft)
Batang
: Abu-abu atau Abu-Coklat
Daun
: Oval-Elips dengan panjang 60-70 cm dan lebar 80 –100 cm
Bunga
: Putih dengan panjang 25 –40 cm (10 –16 in) dan lebar 30 cm (12 in) Mulai berbunga pada usia 20 tahun, sepanjang Juli-Agustus
Buah
: Bulat dengan diameter 1.2 – 1.8 cm
Berbuah sepanjang September – Desember
Iklim
: Monsoon Climate
Tumbuh
: Ketinggian < 1000 m
Curah Hujan
: 1.250 – 3.750 mm per tahun
Temperatur
: 13/17º – 39/43º C
Komposisi Tanah
: Basalt, Granit, Schicst, Gneiss, Limestone, Sandstone
8
2.2. Industrial Potency a. Potensi Mebel dari Akar Jati
Akar kayu jati semula hanya merupakan limbah hasil hutan yang umumnya digunakan untuk kayu bakar. Namun bahan itu kini dimanfaatkan sebagai bahan baku mebel karena memiliki nilai ekonomi tinggi. Pasar mebel dari akar jati pun tidak hanya diminati pasal lokal, tetapi juga luar pulau maupun mancanegara. Jenis mebel yang diproduksi sebagian besar merupakan aksesoris, meja dan k ursi. Mebel dari bagian pohon jati ini memiliki keindahan khas dibanding model kursi dan meja yang lain. Di samping menimbulkan guratan indah pada permukaan bekas potongan pohon jati, bentuk perakaran tanaman ini juga menambah keunikan mebel yang dihasilkan. Jika bahan ingin dibuat menjadi bentuk meja, bekas potongan pohon merupakan bagian atas meja. sedang kaki-kakinya dibangun dari akar yang berdiri di empat sudut. Bentuk dasar dari akar kemudian dikembangkan lagi oleh tukang ukir dengan berbagai motif yang diinginkan. Ada yang bermotif pohon, bunga, burung, buaya dan binatang lainnya.
b. Potensi Serbuk Gergaji Kayu Jati
Umumnya sebagian limbah serbuk gergaji ini hanya digunakan sebagai bahan bakar tungku, atau dibakar begitu saja, sehingga dapat menimbulkan pencemaran lingkungan. Padahal serbuk gergaji kayu jati merupakan biomassa yang belum termanfaatkan secara optimal dan memiliki nilai kalor yang relatif besar. Dengan mengubah serbuk gergaji menjadi briket, maka akan meningkatkan nilai ekonomis bahan tersebut, serta mengurangi pencemaran lingkungan. Briket arang merupakan bahan bakar padat yang mengandung karbon, mempunyai nilai kalori yang tinggi, dan dapat menyala dalam waktu yang lama. Bioarang adalah arang yang diperoleh dengan membakar biomassa kering tanpa udara (pirolisis). Sedangkan biomassa adalah bahan organik yang berasal dari jasad hidup. Biomassa sebenarnya dapat digunakan secara langsung sebagai sumber energi panas untuk bahan bakar, tetapi kurang efisien. Pirolisis adalah proses dekomposisi kimia dengan meggunakan pemanasan tanpa adanya oksigen. Proses ini atau disebut juga proses karbonasi atau yaitu proses untuk memperoleh karbon atau arang, disebut juga ”High Temperature carbonization”.
Adapun kelebihan dari briket dibandingkan arang biasa (konvensional), antara lain: 9
Panas yang dihasilkan oleh briket bioarang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kayu biasa dan nilai kalor dapat mencapai 5.000 kalori.
Briket bioarang bila dibakar tidak menimbulkan asap maupun bau, sehingga bagi masyarakat ekonomi lemah yang tinggal di kota-kota dengan ventilasi perumahannya kurang mencukupi, sangat praktis menggunakan briket bioarang.
Setelah briket bioarang terbakar (menjadi bara) tidak perlu dilakukan pengipasan atau diberi udara.
Teknologi pembuatan briket bioarang sederhana dan tidak memerlukan bahan kimia lain kecuali yang terdapat dalam bahan briket itu sendiri.
Peralatan yang digunakan juga sederhana, cukup dengan alat yang ada dibentuk sesuai kebutuhan. Dengan pemanfaatan serbuk gergaji kayu jati menjadi briket bioarang, maka diharapkan
dapat mengurangi pencemaran lingkungan, memberikan alternatif sumber bahan bakar yang dapat diperbarui dan bermanfaat untuk masyarakat.
c.
Industri kapal
Sejak lama kayu jati telah digunakan sebagai bahan baku pembuatan kapal laut, termasuk kapal-kapal VOC yang melayari samudera di abad ke-17. Saat ini, pemanfaatan jati tersebut terus dikmebangkan dengan berbagai inovasi setiap zamannya. Banyak pula produk kapal yang menekan kan pembuatan deck kapal dengan jati, karena sifatnya yang tahan lama, ringan, daya apung yang baik serta anti jamur.
d. Industri mebel
Kekuatan dan keindahan serat yang dihasilkan kayu jati, menyebabkan kayu ini menjadi bahan baku utama untuk membuat perabotan rumah tangga (furniture), seperti meja, kursi, kasur, bingkai jendela bahkan patung. Karena kemampuannya dalam menahan kondisi cuaca yang keras , jati juga terbukti menjadi bahan yang ideal dalam pembuatan furnitur outdoor sehingga dapat digunakan
10
pula dalam struktur rumah-rumah tradisional Jawa, seperti rumah joglo Jawa Tengah, menggunakan kayu jati di hampir semua bagiannya: tiang-tiang, rangka atap, hingga ke dinding-dinding berukir. Pohon jati juga berguna untuk membuat berbagai konstruksi berat seperti jembata, bantalan rel kereta, bahkan bahan bakar lokomotif uap karena panas tinggi yang dihasilkan kayunya. Saat ini, kayu jati dapat diolah menjadi venir (veneer) untuk melapisi wajah kayu lapis mahal; serta dijadikan keping-keping parket (parquet) penutup lantai.
e. Industri Jati Putih
Kayu Gmelina Jati Putih Mempunyai Prospek Bisnis Cerah. Meningkatkan kebutuhan kayu industri membuat produsen kayu melirik potensi tanaman yang memiliki pertumbuhan cepat dengan kualitas kayu yang bagus. Hal ini salah satunya dipicu oleh rendahnya produksi kayu sengon karena di beberapa sentra produksi kayu sengon banyak diserang penyakit karat puru. Salah satu jenis tanaman kayu yang memiliki potensi pertumbuhan cepat adalah jati putih. Prospek budi daya jati putih kian cerah karena meningkatkan kebutuhan kayu industri. Sebagai bahan baku kayu industri, kayu jatih putih kerap digunakan sebagai pulp, plywood, bahan konstruksi ringan, asesoris interior, perabot rumah tangga, kerajinan, dan cinderamata. Selain kayunya, beberapa bagian tanaman juga bisa dimanfaatkan sebagai obat tradisional. Sementara daunnya bisa dimanfaatkan untuk pakan ternak. Sebagai komoditas yang potensial, kayu jati putih banyak dipasok ke berbagai daerah di Indonesia. Harga jual kayu pada tahun 2009 berkisar 50—100 juta per ha, bergantung pada diameter kayu dan jarak tanam. Tidak hanya untuk memasok pasar dalam negeri, pasar luar negeri juga masih menganga. Sebagai contoh adalah pasar Jepang. Di Jepang, kayu jati putih diolah menggunakan teknologi tinggi sehingga menghasilkan cenderamata, esesoris interior, dan perabot rumah tangga.
f.
Potensi Daun Jati Cina sebagai teh
Daun jati cina yang telah diracik sebagai teh memiliki beragam khasiat yang bermanfaat bagi tubuh. Khasiat ini telah dipergunakan oleh para ahli di abad ke 9 sebagai obat menghilangkan sembelit. Dalam perkembangannya, teh daun jati cina digunakan para dokter sebagai obat 11
pembersih colon (usus besar). Masih banyak lagi manfaat penggunaan teh jati cina dalam kehidupan sehari-hari kita. Contoh dari penggunaan teh jati cina :
1. Meningkatkan potensi herbal
Saat tubuh tidak bisa melakukan metabolism dengan lancar dikarenakan timbunan kolesterol jahat maupun lemak, teh jati cina dapat membantu mengembalikan kondisi tubuh agar dapat kembali berfungsi normal. 2. Menetralisir racun yang masuk ke dalam tubuh
Dengan berjalannya aktivitas sehari-hari, tubuh kita menyerap berbagai macam kotoran yang disebabkan polutan. Konsumsi the jati cina dapat membantu meluruhkan kotoran dalam tubuh, dan membersihkan tubuh. 3. Teh daun jati cina dapat melangsingkan
Manfaat ini sudah sangat terkenal dan diakui oleh banyak kalangan. Teh jati cina bahkan bisa digunakan sebagai pelangsing bagi hampir semua orang tanpa ada resiko yang berarti. Teh jati cina hanya dilarang digunakan bagi mereka yang menderita gangguan ginjal dan bagi wanita hamil yang memang sangat membutuhkan nutrisi bagi perkembangan janinnya. 4. Teh daun jati cina dapat menghilangkan perut buncit
Kurangnya olahraga dan tuntutan pekerjaan yang mengharuskan untuk selalu di belakang meja menyebabkan timbunan lemak di dalam perut terus menumpuk. Dengan mengkonsumi the daun ati cina, lemak pada perut akan menyusut sehingga mendapatkan hasil yang proporsional. 5. Penggunaan teh daun jati cina merupakan satu alternatif diet tinggi serat.
Selain sayur dan buah-buahan, menambahkan satu gelas teh daun jati cina setiap malam sebelum tidur akan mempercepat metabolisme tubuh.
12
g.
Potensi Bahan Kimia dalam Jati
Kini, jati dapat dijadikan sebagai penyembuh luka, akibat bahan kimia hidroklorik yang dikandungnya. Selain itu, biji jati telah lama digunakan secara tradisional sebagai hair tonic oleh warga India sebagai penumbuh rambut. Dalam proses pertumbuhannya, biji ini menumbuhkan lebih banyak folikel daripada minoaxil sehingga lebih banyak menumbuhkan rambut. Manfaat lain ekstrak daun jati dapat digunakan sebagai penyembuh anemia. Dalam tubuh, konsentrasi hemoglobin, jumlah sel darah merah, kadar hematokrit dan retikulosit meningkat. Selain itu, ekstrak jati menambah ketahanan osmotik pada sel darah merah, terutama pada sel darah merah muda.
i.
Potensi Tradisional
Daun jati dimanfaatkan secara tradisional di Jawa sebagai pembungkus, termasuk pembungkus makanan. Nasi yang dibungkus dengan daun jati terasa lebih nikmat. Contohnya adalah nasi jamblang yang terkenal dari daerah Jamblang, Cirebon. Daun jati juga banyak digunakan di Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur sebagai pembungkus tempe. Selan itu, masyarakat tradisional sering memanfaatkan kulit pohon jati sebagai bahan dinding rumah mereka. Daun jati, yang lebar berbulu dan gugur di musim kemarau itu, dipakai sebagai pembungkus makanan dan juga barang. Cabang dan ranting jati menjadi bahan bakar bagi banyak rumah tangga di desa hutan jati.
13
2.3. Technology
1. TEKNOLOGI PEMBIBITAN JATI
Secara umum, produksi bibit melalui metode kultur jaringan memerlukan beberapa tahap, yaitu (1) penyediaan bahan tanaman (eksplan) dari induk terpilih (2) sterilisasi eksplan yang akan ditanam pada media inisiasi, (3) penanaman pada media untuk penggandaan atau multiplikasi tunas, (4) penanaman pada media untuk perakaran atau pembentukan planlet, dan (5) aklimatisasi (Murashige, 1974; George dan Sherrington, 1984)
Metode perbanyakan untuk tanaman jati , umumnya tidak dilakukan tahap multiplikasi tunas dan perakaran tetapi diganti menjadi tahap induksi tunas dan elongasi, sedangkan tahap perakaran dilakukan pada saat aklimatisasi. Metode ini cukup sederhana dan mirip dengan cara perbanyakan dengan stek secara konvensional. Oleh karena itu, metode perbanyakan jati sering disebut secara stek mikro. Keuntungan penggunaan metode ini adalah tanaman yang dihasilkan stabil secara genetik.
a. Persiapan Bahan Tanaman
Salah satu kunci keberhasilan untuk mendapatkan bahan tanaman yang responsif dan dapat diperbanyak secara kultur in vitro adalah bahan tanaman yang masih muda. Untuk tanaman kehutanan atau tanaman tahunan lainnya daya tumbuh bahan yang akan ditanam sangat diperhatikan. Daya tumbuh tunas muda akan hilang secara fisik apabila jarak antara ujung tunas dan akar semakin jauh karena pertumbuhan. Pada tanaman tahunan dewasa, tunas muda y ang memiliki daya tumbuh tinggi (juvenil) sering muncul pada bagian tanaman yang dekat dengan tanah atau sering disebut tunas air . Tunas juvenil dari tanaman berkayu tahunan dewasa yang akan digunakan 14
sebagai bahan tanaman untuk kultur jaringan, juga dapat diperoleh dengan cara melakukan pemangkasan berat. Tunas yang muncul setelah pemangkasan dapat digunakan sebagai bahan tanaman . Selain itu, fase juvenil kadang-kadang dapat juga diinduksi dengan cara melakukan penyemprotan tanaman dewasa dengan GA atau campuran antara auksin dan GA (George dan Sherrington, 1984). Untuk memudahkan proses sterilisasi bahan tanaman, sangat dianjur kan bahwa tanaman induk berada atau ditanam di kamar kaca. Keberadaan tanaman induk di kamar kaca memudahkan perlakuan penyemprotan dengan fungisida dan bakterisida secara periodik sehingga dapat mengurangi tingkat kontaminasi bahan tanaman yang akan disterilisasi.
b. Sterilisasi Bahan Tanaman dan Inisiasi Kultur Aseptik
Sterilisasi bahan tanaman (eksplan) merupakan langkah awal yang cukup penting dan dapat menentukan keberhasilan penanaman secara in vitro. Eksplan yang akan ditanam pada media tumbuh harus bebas dari mikroorganisme kontaminan. Tahap sterilisasi sering menjadi kendala utama keberhasilan perbanyakan tanaman secara in vitro. Terlebih iklim tropis seperti Indonesia yang memungkinkan kontaminan seperti cendawan dan bakteri terus tumbuh sepanjang tahun. Untuk tanaman tertentu, sterilisasi sulit dilakukan karena kontaminan berada pada bagian internal dari jaringan tanaman. Sterilisasi eksplan biasanya dilakukan dengan cara merendam bahan tanaman dalam larutan kimia sistemik pada konsentrasi dan waktu perendaman tertentu, baik dengan menggunakan satu macam maupun dengan macam-macam sterilan. Bahan-bahan yang biasanya digunakan untuk sterilisasi antara lain alkohol, natrium hipoklorit (NaOCl), kalsium hipoklorit atau kaporit (CaOCl), sublimat (HgCl), dan hidrogen peroksida (H2O2). Eksplan yang telah disterilisasi harus segera ditanam secara in vitro. Pada tahap inisiasi, eksplan tanaman jati sering menunjukkan gejala pencoklatan (browning) pada media di sekitar potongan eksplan. Keadaan ini disebabkan karena oksidasi dari senyawa fenolik yang dihasilkan jaringan tanaman jati terutama dari eksplan in vivo. Oksidasi senyawa fenolik tersebut dapat menghambat bahkan bersifat toksik bagi pertumbuhan eksplan. Keadaan ini merupakan masalah yang selalu dihadapi pada tahap awal penanaman eksplan yang berasal dari lapang atau kamar kaca. Berbagai cara untuk menanggulangi masalah pencoklatan telah dilakukan, misalnya dengan penggunaan bahan anti oksidan (seperti polivinyl pirolidone atau PVP pada konsentrasi 0,01-2% dan asam askorbik sebanyak 50-200 mg/l 15
baik sebelum eksplan ditanam pada media maupun penambahan bahan tersebut pada media kultur atau kombinasi keduanya. Tiwariet al. (2002) dalam percobaannya menggunakan pendekatan lain untuk menanggulangi masalah pencoklatan pada kultur tanaman jati, yaitu dengan subkultur atau transfer eksplan secara periodik dengan perlakuan waktu yang berbeda. Sumber eksplan yang digunakan berasal dari tanaman jati terpilih berumur 45 tahun.
c.
Tahap Induksi dan Elongasi Tunas
Pada tahap ini, penggunaan media tumbuh yang cocok merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan perbanyakan tanaman jati melalui kultur jaringan. Berbagai komposisi media tumbuh telah dikembangkan. Dari sekian banyak komposisi media yang telah berkembang, media dasar Murashige dan Skoog (MS) merupakan media dasar yang paling banyak digunakan, baik untuk tanaman herba maupun berkayu. Pada tahap induksi tunas tanaman jati, media MS merupakan media dasar yang paling banyak digunakan, selain itu modifikasi media MS juga banyak digunakan. Penambahan zat pengatur tumbuh pada media kultur merupakan kunci keberhasilan baik pada tahap induksi maupun elongasi tunas. Umumnya media yang digunakan pada tahap induksi tunas jati adalah media MS yang ditambah zat pengatur tumbuh golongan sitokinin seperti benzylaminopurine(BAP) atau furfurylaminopurine (kinetin) atau kombinasi keduanya dengan konsentrasi antara 0,1-1 mg/l. Gupta et al. (1980) menggunakan media dasar MS ditambah kinetin 0,1 mg/l dan BAP 0,1 mg/l untuk menginduksi tunas adventif dari eksplan tanaman jati berupa tunas ujung dan batang satu buku. Media kultur dibuat padat dengan penambahan 8 g/l agar dan 20 g/l gula serta pH media 5,8. Eksplan yang digunakan pada tahap induksi dapat berupa tunas apikal atau tunas adventif yang berasal dari batang satu buku dengan ukuran 1-2 cm. Indikasi lain pada tahap induksi tunas yang dapat mempengaruhi kecepatan pertumbuhan pada tahap selanjutnya (tahap elongasi) adalah terbentuknya kalus kompak pada bagian dasar batang eksplan. Umur biakan pada tahap induksi tunas sekitar 3 minggu. Pada umur tersebut biakan sudah berada pada kondisi yang optimal untuk dipindahkan pada tahap elongasi. Pada tahap elongasi atau pemanjangan tunas, biakan ditanam pada media dasar MS tanpa penambahan zat pengatur tumbuh atau dapat ditambahkan sitokinin dengan konsentrasi yang sangat rendah (0,01-0,05 mg/l) bahkan jika perlu dapat ditambah asam giberelik (GA) dengan konsentrasi 0,1-1 mg/l untuk tujuan pemanjangan buku tanaman. Penambahan gula agar dan pH media sama seperti pada media untuk induksi tunas. Umur 16
yang diperlukan pada tahap elongasi tunas hingga siap untuk dipanen atau digunakan untuk ditransfer kembali pada media induksi berkisar antara 2-4 minggu. Pada umur 3 minggu tunas dapat mencapai tinggi 5-8 cm dengan jumlah buku antara 3-5 dan siap untuk diaklimatisasi. Biakan biasanya disimpan pada kondisi ruangan suhu 25±2 C dengan periode terang (1000-3000 lux) selama 16 jam per hari.
d. Aklimatisasi
Aklimatisasi dapat didefinisikan sebagai proses penyesuaian suatu organisme untuk beradaptasi pada lingkungan yang baru. Proses aklimatisasi sangat penting karena akan menentukan apakah tanaman yang berasal dari in vitro dapat beradaptasi atau tidak pada kondisi in vivo. Umumnya biakan hasil kultur jaringan yang akan diaklimatisasi harus berupa planlet artinya biakan harus mempunyai perakaran dan pertunasan yang proporsional. Akan tetapi pada perbanyakan tanaman jati melalui kultur jaringan, biakan yang akan diaklimatisasi berupa biakan tanpa akar (stek mikro). Induksi perakaran dilakukan pada saat aklimatisasi dengan terlebih dahulu merendam atau mencelupkan bagian dasar batang dalam larutan yang mengandung senyawa auksin seperti IBA dan NAA atau dengan Rooton F. Biakan yang berasal dari tahap elongasi yang akan diaklimatisasi dan diinduksi perakarannya harus terlebih dahulu dibuang bagian kalusnya dan dibersihkan pada air mengalir. Harus diperhatikan pula bahwa dalam proses aklimatisasi tunas jati memerlukan kelembaban yang cukup dan media tumbuh tidak terlalu basah. Media tumbuh yang digunakan dapat berupa campuran tanah + arang sekam (1 : 1) atau tanah + serbuk sabut kelapa (1 : 1) atau tanah + kompos halus (1 : 1). Media sebaiknya disterilisasi dahulu dengan pemanasan dan tekanan uap. Media yang telah disterilisasi dapat diletakkan dalam bak plastik atau bak semen yang ada di kamar kaca. Untuk menjaga kelembaban dilakukan penyungkupan dengan plastik, sedangkan untuk mempercepat pertumbuhan bibit, penyemprotan dengan pupuk daun seperti Hyponex, Bayfolan, dan Gandasil sangat dianjurkan pada umur 1 minggu satelah tanam. Aklimatisasi bibit jati di pesemaian disajikan pada . Umur bibit tanaman jati genjah hasil kultur jaringan yang cukup baik untuk dipindahkan kelapang (bibit siap salur) berumur sekitar 3 bulan. Pada umur tersebut bibit jati genjah dapat mencapai tinggi sekitar 30-50 cm .
17
2. TEKNOLOGI PENGOLAHAN LAHAN, PENANAMAN DAN PEMELIHARAAAN JATI
a. Pengolahan lahan Hal yang harus dilakukan dalam mempersiapkan lahan untuk penanaman meliputi: Land clearing (tebas, tebang, panduk). Lahan dibersihkan dari tegak-tegakan pohon dan semak-
semak sampai ke akarnya. Untuk lahan yang sebelumnya dipenuhi alang-alang, selain dilakukan pembersihan, perlu juga dilakukan pencangkulan. Pengolahan tanah ini juga perlu dilakukan jika akan melakukan penanaman tumpang sari dengan tanaman lain. Pengajiran atau pemancangan ajir untuk menentukan jarak tanam. Jarak tanam untuk sistem monokultur adalah 2 x 2,5 m (2000 pohon/ha), 2,5 x 2,5 m (1600 pohon/ha) atau 3 x 3 m (1200 pohon/ha) Pembuatan lubang tanam. Lubang tanam dibuat dengan ukuran 40 x 40 x 50 cm (panjang x lebar x kedalaman) tanah, pisahkan tanah galian atas (top soil ) dan tanah galian bawah/dalam. Ukuran lubang dapat bervariasi sesuai dengan kesuburan dan kegemburan tanah. Untuk tanah yang relatif lebih subur dan gembur, ukuran lubang dapat dibuat lebih kecil. Masukkan pupuk kandang ke setiap lubang tanam, kemudian lubang diberakan/dibiarkan selama 1 2 minggu dan bila memungkinkan taburkan pestisida tabur seperti Furadan 3G atau Curater untuk sterilisasi. b. Penanaman jati Dalam melakukan penanaman pohon Jati Kultur Jaringan, tahapan yang sebaiknya dilakukan yaitu: -
Siapkan bibit Jati Kultur Jaringan (dalam polybag) dan peralatan-peralatan yang dibutuhkan untuk penanaman (cangkul, arit pisau silet, atau cutter , dll).
-
Membuka plastik polybag bagian bawah dengan cara memotong atau menyayat plastik bagian bawah secara melingkar menggunakan silet/cutter (1 cm dari dasar polybag), secara hati-hati jangan sampai sistem perakarannya rusak. Jika akar tunggangnya menembus polybag dan bengkok, maka akar yang bengkok dipotong dan bila memungkinkan polesi ujung ujung akar yang dipotong tersebut dengan ZPT penumbuh akar (misalnya Rootone F 18
atau Rapid Root). Kemudian menyayat plastik bagian samping secara tegak lurus dari bawah ke atas dengan menyisakan 2 cm dari atas (jangan sampai terputus). Biarkan plastik menempel di media tumbuh atau tanah yang ada dalam polybag. -
Masukkan sebagian tanah top soil bekas galian ke dasar lubang dengan perkiraan bibit yang akan ditanam nantinya tidak terlalu dalam terpendam dan sedapat mungkin pangkal batang bibit dalam polybag yang akan ditanam sejajar atau lebih tinggi sedikit dengan permukaan tanah sekitarnya. Bila memungkinkan masukkan pula Furadan 3G atau curater secukupnya untuk sterilisasi dari hama dan penyakit di dalam tanah.
-
Setelah bibit tertutup tanah, tarik secara perlahan-lahan plastik polybag ke atas. Kemudian setelah plastik polybag terlepas, padatkan tanah dengan timbunan dengan cara dipijak-pijak dengan kaki. Harus diperhatikan, jangan sampai ada cekungan yang memungkinkan air bisa menggenang.
-
Untuk menjaga agar tanaman Jati yang baru ditanam tidak roboh tertiup angin maka sebaiknya diberi ajir/tiang pancang dan diikat dengan tali rafia. Setelah itu tanaman disiram air secukupnya.
c. Pemeliharaan jati
Tahapan pemeliharaan tanaman selama masa pertumbuhan yang secara garis besar meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
Pendangiran (membersihkan piringan seluas canopy tanaman) dan pembumbunan.
Tiga bulan setelah tanam, piringan seluas canopy didangir, dibersihkan dari gulma/tumbuhan pengganggu lainnya, serta dibumbun. Pendangiran adalah kegiatan penggemburan tanah di sekitar tanaman untuk memperbaiki sifat fisik tanah (drainase tanah), yang dapat memacu pertumbuhan tanaman jati. Pendangiran dilakukan pada umur tanaman jati 3 bulan hingga 4 tahun dan dilakukan 1 - 2 kali dalam setahun.
Penyulaman tanaman yang mati atau kerdil
Selama proses pemeliharaan berlangsung, penyulaman dilakukan untuk mengganti tanaman yang mati atau tidak sehat karena terserang penyakit atau tanaman yang jelek 19
pertumbuhannya (patah, bengkok, dan gundul). Penyulaman dilakukan selama masa awal pemeliharaan yaitu 1 - 2 tahun, frekwensi penyulaman 2 kali setahun.
Penyiangan atau pengendalian gulma
Rumput, alang-alang dan gulma harus dikendalikan karena menjadi pesaing tanaman jati dalam memperoleh cahaya matahari, kelembaban dan unsur hara tanah. Penyiangan gulma dilakukan, baik pada musim kemarau maupun musim hujan. Frekwensi penyiangan minimum 3 - 4 bulan sekali dalam setahun saat tanaman jati berumur 1 - 2 tahun. Selanjutnya penyiangan dilakukan setiap 6 - 12 bulan sekali sampai tanaman dipanen.
Pemupukan tanaman
Tiga bulan setelah ditanam, tanaman jati diberi pupuk NPK (15:15:15) 100gr. Cara pemupukan: tanah seluas canopy didangir dan digemburkan terlebih dahulu (hati-hati jangan terlalu dalam agar tidak mengenai akar), lalu dibuatkan siring melingkar (lebar siring 10 cm dan dalamnya 15 cm) dengan diameter siring tepat diujung canopy atau tepat diujung akar-akar rambut yang akan menyerap pupuk tersebut. Kemudian masukkan pupuk dan selanjutnya siring ditutup kembali dengan tanah dan dilakukan penyiraman.
Pemupukan selanjutnya dilakukan dengan cara yang sama seperti tersebut di atas, pada usia tanaman dan dengan dosis per pohon sebagai berikut: -
Usia tanaman 6 bulan dengan dosis 100gr NPK
-
Usia tanaman 9 bulan dengan dosis 100gr NPK
-
Usia tanaman 12 bulan dengan dosis 100gr NPK
-
Usia tanaman 24 bulan dengan dosis 100gr NPK dan 50gr Urea
-
Usia tanaman 48 bulan dengan dosis 100gr NPK dan 100gr Urea
Pemangkasan cabang dan Perwiwilan
Pemangkasan cabang adalah kegiatan pembuangan cabang yang tidak diinginkan untuk memperoleh batang bebas cabang sampai ketinggian 6 meter dari tanah. Memangkas atau memotong cabang harus tepat dipangkal batang atau ruas pertama dari tunas air. 20
Untuk menghindari kontak dengan bibit penyakit, luka bekas pemangkasan sebaiknya ditutupi dengan bahan penutup luka seperti ter atau parafin.
Pemangkasan tonggak penyangga
Jika ada tanaman yang tumbuhnya tidak tegak/agak condong atau pertumbuhannya tidak tegar (agak kurus maka perlu diberi penyangga).
Pemberantasan Hama dan Penyakit
Pengendalian hama dan penyakit dilakukan dengan menggunakan alat Hand Sprayer pada dosis/takaran, serta cara yang tepat (dosis/takaran dan caranya dapat dibaca pada kemasan produk obat pestisida yang digunakan). Hama dan penyakit, tanda serangan, akibat yang ditimbulkan serta pestisida pemberantasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
No.
1
2
3
Hama dan penyakit
tanda serangan
Akibat yang timbul
Serangan
Daun Jati
Pertumbuhan
ulat bulu
berlubang
terhambat
Serangan
Tampak
kutu
putih pada
putih/wool
daun
Serangan
Bercak
jamur
kuning
kuping
pada daun
Serangan 4
Tanda-
embun tepung
Pertumbuhan terhambat
Daun mengering/coklat
Pemberantasan
Basudin 50 EC
Pegasus
Benlate T20WP
Bercak kuning
Pertumbuhan
dalam
terhambat
Benlate T20WP
daun
21
Helai dan 5
Lalat daun
warna daun rusak Bercak/titik
6
Stem
lubang di
Borer
batang dan cabang
Tinggal tulang daun
Batang/cabang terlihat layu dan kropos
Supracide 25WP
Metamidophose 50% SL
3. TEKNOLOGI PANEN DAN PASCAPANEN JATI Panen
Pada saat panen usahakan agar penebangan tidak merusak batang utama tanaman Jati dan dilakukan dengan menggunakan Chain saw . Untuk menghindari adanya blue stin (sejenis jamur kayu) dapat pula kayu dipolesi dengan fungisida setelah tebang. Apabila budidaya dilakukan dengan jumlah pohon yang relatif banyak, baik dengan sistem monokultur maupun tumpang sari, maka perlu dilakukan penjarangan dengan pentahapan sebagai berikut: Pada usia tanaman jati antara 5 s/d 7 tahun 50% dari populasi tanaman jati awal ditebang (penjarangan I). Jadi jika jarak tanam awalnya 2 x 2,5 meter dijarangkan menjadi 4 x 2,5 meter. Kemudian pada saat usia tanaman jati antara 10 s/d 12 tahun dilakukan lagi penjarangan ke II yakni 50% dari jarak tanam hasil penjarangan I: 4 x 2,5 meter dijarangkan menjadi 4 x 5 meter. Sisa tanaman jati setelah penjarangan ke II seluruhnya ditebang atau dipanen pada usia 15 s/d 20 tahun. Pasca Panen
22
Setelah panen, terdapat beberapa langkah pasca panen yang dapat dilakukan sebagian ataupun seluruhnya. Perlakuan pasca panen tersebut adalah pengawetan kayu, pengolahan kayu, dan pemasaran kayu. Tidak semua perlakuan ini diperlukan, terutama tindakan pengawetan kayu. Kebanyakan pemilik kayu hanya mengolah, kemudian menjualnya. 1. Pengawetan Kayu Jati Secara umum, terdapat 3 metode pengawetan kayu yang dapat digunakan, yaitu perendaman, pengeringan, dan penggunaan senyawa kimia. a). Perendaman Perendaman merupakan cara tradisional yang hingga saat ini masih sering digunakan. Cara ini cukup efektif, namun membutuhkan waktu yang relatif lama. Perendaman biasanya berlangsung berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Dengan perendaman, pori-pori kayu menjadi rapat dan kayu menjadi lebih keras. Perendaman membuat kayu lebih awet dan lebih tahan terhadap gangguan rayap, kumbang, dan jamur. b). Pengeringan Keunggulan metode pengeringan adalah waktu yang dibutuhkan lebih cepat dibandingakn dengan perendaman. Namun, keawetan kayu yang dikeringkan tergolong di bawah kayu yang direndam. Pengeringan pada umumnya dilakukan dengan menjemur kayu atau potongan-potongan kayu di bawah sinar matahari selama beberapa hari. Setelah kering, kayu diolah lebih lanjut atau dijual. c). Penggunaan Senyawa Kimia Cara ini mulai banyak dilakukan karena praktis dan murah. Senyawa kimia cukup dioleskan pada kayu sebanyak 5-6 kali. Senyawa ini biasanya merupakan campuran dari tembaga sulfat, kalium bikromat, dan natrim bikromat, hidrogen boraks, tembaga silika heksa flour, serta amonium bikromat.
4. TEKNOLOGI PENGOLAHAN JATI Pengolahan jati menjadi furniture
Ada beberapa proses yang harus dilakukan untuk mengolah pohon jati menjadi peralatan rumah tangga, diantaranya : Logs
23
Kayu hasil penebangan biasa disebut kayu gelondongan (log) dan dari sini proses pembuatan furniture berawal. Log didistribusikan ke pabrik atau pusat penggergajian menggunakan angkutan khusus baik di darat maupun melalui sungai. Beberapa perusahaan mengupas kulit log agar bisa lebih cepat kering selama perjalanan. Biasanya pembeli ingin segera mengolah log tersebut beberapa hari setelah log tiba di dalam sawmill dan kiln dry. Untuk menghindari kerusakan dan retak, penampang log diberi 'paku cacing' sebagai pengaman.
Sawmilling
Kemudian log dibelah sesuai dengan ukuran yang dibutuhkan. Standar ketebalan papan pada saat pembelahan log adalah 3, 5, 7, 10, 12, dan 15 cm. Di area penggergajian kayu, papan-papan hasil pembelahan dipisahkan sesuai ketebalan dan jenis kayu sehingga memudahkan pengaturan di dalam kiln dry. Untuk pabrik yang memiliki kapasitas produksi besar, memiliki sawmill akan membantu efisiensi produksi baik dalam segi pemakaian bahan maupun kecepatan produksi. Sebelum masuk ke ruang pengeringan, papan dan balok disimpan dahulu di luar ruangan dengan tujuan agar kandungan air juga akan menguap karena suhu dan temperature udara di luar ruangan. Hal ini biasanya hanya dilakukan pada saat musim panas. Agar kualitas kayu terjaga, paling lama adalah 1 minggu setelah penggergajian, kayu harus segera dikeringkan. Semakin cepat kayu diproses akan lebih baik sehingga tidak ada waktu bagi jamur dan serangga untuk menyerang kayu.
Kiln Dry
Jenis kayu apapun harus melalui proses pengeringan. Adapun yang perlu diperhatikan adalah ukuran ketebalan papan, cara penumpukkan dan metode pengeringan. Kayu yang lunak cenderung mudah pecah apabila proses pengeringan terlalu cepat. Pengeringan kayu membutuhkan waktu antara 2 hingga 4 minggu, dipengaruhi oleh jenis kayu, ketebalan papan dan kapasitas pengering. Cara pengeringan yang baik adalah dengan menggunakan peralatan yang benar. Pada beberapa industri kayu kecil biasanya untuk mengeringkan kayu cukup dengan disandarkan pada dinding atau tiang dan mengandalkan sinar matahari.
Proses Komponen (potong, belah, serut, bor dll)
Ukuran kayu dipotong dan dibelah sesuai dengan ukuran produk yang dikerjakan. Apabila 24
misalnya ukuran jadi sebuah kaki meja adalah 700 x 40 x 40 mm, maka komponen yang harus disiapkan adalah 720 x 45 x 45mm sehingga terdapat toleransi untuk proses serut dan amplas. Untuk mendapatkan ukuran ini tukang kayu akan mengambil lembaran-lembaran papan kering dengan ketebalan 45mm untuk dibelah di mesin gergaji atau ripsaw menjadi ukuran lebar 45mm.
Dari proses tersebut akan diperoleh batangan/balok kayu ukuran 45x45mm. Setelah itu balok tersebut dibawa ke mesin cutting saw untuk dipotong dengan ukuran panjang 720mm. Balok-balok pendek tersebut kemudian dikirim ke mesin serut (planner, thicknesser atau lainnya yang sejenis) untuk mendapatkan ukuran jadi dengan permukaan yang halus tanpa garis gergaji. Selesai diserut (tergantung jenis produk juga), komponen tersebut dipindahkan ke mesin bor, atau mesin pen (tenoner & mortiser) untuk membuat konstruksi. Jika pada dasarnya proses konstruksi tersebut selesai, semua komponen akan berakhir di mesin amplas sebelum dilakukan perakitan. Grit kehalusan amplas di sini biasanya hanya sampai pada tingkat kehalusan nomor 240.
Assembling
Furniture dengan konstruksi knock down tidak sepenuhnya melalui proses ini. Ada kemungkinan beberapa komponen perlu dirakit sebelum finishing, ada pula hanya dirakit setelah proses finishing. Secara umum proses perakitan dilakukan sebelum finishing agar pada saat komponen sudah halus tidak akan lagi cacat karena goresan. Perakitan menjadi salah satu kunci kualitas produk terutama pada kekuatan dan daya tahan produk. Proses ini memerlukan kesabaran agar penggunaan lem sangat tepat dan tidak terlalu berlebihan. Selain itu pula kualitas sambungan (rapat/terbuka) hanya akan bisa diperbaiki di proses ini. Dari keseluruhan proses furniture, perakitan merupakan salah proses yang relatif panjang dan 25
rumit. Untuk produk yang 'fixed', pemasangan hardware juga menjadi bagian dari proses perakitan terutama untuk pemasangan engsel, kunci, dan alat pengikat lainnya. Finishing
Finishing merupakan proses pelapisan akhir permukaan kayu yang bertujuan untuk memperindah permukaan kayu sekaligus memberikan perlindungan furniture dari serangan serangga ataupun kelembaban udara. Dalam beberapa jenis dan tipe furniture, proses finishing harus dilakukan sebelum komponen dirakit. Hal ini dilakukan karena finishing lebih mudah dilakukan sebelum komponen dirakit. Packaging
Terlepas dari proses finishing, product dipindahkan ke bagian packing. Dalam proses ini beberapa aksesoris (kunci, handle, rel dll) dan perlengkapan lain dipasang kembali. Jenis-jenis packing yang digunakan juga tergantung pada tujuan akhir dan level kualitas furniture. Lebih mahal dan lebih jauh lokasi pengiriman membutuhkan packaging yang lebih kuat dan lebih cermat.
26
2.4 Existing Industry a. Pasar Industri Mebel Jepara
Pasar Industri Mebel Jepara mempunyai ciri atau karakteristik sebagai berikut : Menggunakan bahan baku kayu jati sebagai bahan baku utama, 80% desain mebel merupakan hasil pekerjaan tangan pengrajin (hand made), sekitar 20% pengerjaan komponen mempergunakan mesin yang meliputi : pekerjaan pemotongan dan pembelahan, pekerjaan penghalusan permukaan (sanders), dan pekerjaan finishing . Ciri lain dari produk mebel jepara yaitu umumnya bentuk mebel di hiasi motif ukiran bebentuk flora, hasil perpaduan dari motid tradisional (lokal) dengan motif asal persia yang berkembang sekitar abad ke 7 pada awal mas penyebaran agama islam dan selama pendudukan koloni di nusantara . selama masa perkembangannya hingga kini furniture jepara di produksi dalam berbagai model disain di antaranya mulai dari tipe klasik, tradisional, hingga modern . berikut beberapa contoh barang buatan pengrajin mebel jati jepara . Produksi mebel jepara pada masa sekarang yang di ambil dari tipe atau desain mebel yang pernah berkembang pada masa sebelumnya . sebagaimana mebel gaya victoria, gaya persia dan gaya edwardian sering di produksi kebali oleh para pengrajin furniture jepara . produksi berbagai gaya tersebut biasanya dilakukan atas dasar pesanan atau perjanjian kerja sama dengan pihak desainer dari negara tertentu, yang menugaskan pihak produsen atau pengrajin asal jepara untuk memproduksi desain hasil rancangannya . tipe mebel yang paling banyak di reproduksi yaitu bentuk kursi tanpa ukiran, seperti contoh : kursi teras, kursi makan, kursi santai, dan kursi tamu ala mebel jepara . b. Industri Rumahan Jati Kabupaten Ngawi
Di Kabupaten Ngawi Pohon Jati merupakan tanaman andalan. Selain sebagai sarana penghijauan, masyarakat Kabupaten Kota Ngawi memanfaatkan Kayu, Akar, dan Daun pohon Jati sebagai bahan industri rumahan mereka. Banyak kerajinan yang lahir dari tangan warga kota ngawi yang berasal dari kayu jati. Sebagai contoh meja dan kursi, guci-guci hiasan, jam dinding dan masih banyak lainnya. Mereka mendapatkan kayu jati dari milik mereka sendiri, ada pula yang membeli kayu jati dari dinas Perhutani dan tentunya memiliki surat kepemilikan yang resmi. Bermodalkan keberanian, peralatan dan ilmu pengetahuan seni yang cukup mereka menghasilkan karya yang bernilai cukup tinggi. Kerajinan dari Kayu jati pun sekarang menjadi trend 27
dalam sebagai perabotan rumah tangga. Selain kuat sampai berpuluh-puluh tahun, bahkan ratusan tahun kayu jati memiliki serat yang cukup halus. Kelebihan inilah yang menjadikan kayu jati memiliki nilai jual yang fantastis. Desa Pelang Lor dan Bangunrejo Kidul Kec Kedunggalar Kab Ngawi, adalah pusat industri kayu jati berada. Berbagai macam pilihan karya seni ditawarkan, lokasi yang sejuk di pinggir hutan yang mudah dijangkau serta pelayanan yang ramah merupakan ciri khas dari kebudayaan suku jawa, tentunya membuat kawasan ini ramai dikunjungi wisatawan asing maupun lokal. c. Kerajinan Kayu Jati Blora
Kerajinan kayu jati dari Blora Jawa Tengah saat ini sudah mulai terkenal keberadaanya, Seperti souvenir kayu jati, furniture, perabotan rumah , gazebo, meja, almari dan produk lainnya yang memiliki kualitas terbaik dan dapat diandalkan. Kabupaten Blora separuh wilayahnya merupakan kawasan hutan jati, dengan potensi kayu jati yang cukup besar, banyak terdapat kerajinan kayu jati dari Blora seperti souvenir kayu jati dan furniture kayu jati. Sentra Kerajinan Kayu Jati dari Blora
terletak di kecamatan Jepon, kurang lebih tujuh kilometer dari kota Blora menuju kearah Cepu. Sudah banyak kerajinan kayu jati yang sudah memenuhi permintaan sampai ke luar negeri, baik itu dilakukan oleh pengrajin sendiri maupun lewat bantuan pemerintah kabupaten. Usaha kerajinan kayu jati yang meliputi kerajinan bubut,souvenir kayu jati mebel atau furniture, dan kusen tersebut boleh dibilang berkembang cukup pesat. Mengingat bahwa setengah dari wilayah Kabupaten Blora terdiri dari hutan jati maka kerajinan kayu jati ini tidak akan kekurangan bahan baku. Produk andalan utama kerajinan kayu jati dari Blora adalah aneka hiasan rumah yang pembuatannya memerlukan keahlian khusus yakni keahlian
dalam membubut kayu. Selain produk perlengkapan rumahfurniture jati seperti kursi tamu, meja makan, kursi taman, bufet minimalis, terdapat juga aneka souvenir kayu jati. Beberapa jenis produk furniture dan souvenir yang dihasilkan kerajinan kayu jati dari Blora telah banyak menghiasi rumah penduduk kota besar di dalam negeri, bahkan sudah banyak permintaan dari luar negeri. Agar tidak kalah bersaing dengan produk kerajinan lainnya, kreatifitas dari pengrajin selalu dikembangkan agar di masa datang produk kerajinan yang dihasilkan tidak monoton melainkan menjadi lebih menarik khususnya bagi konsumen luar negeri.
28
Untuk itu kerajinan kayu jati dari Blora di butuhkan pemasaran yang lebih baik agar lebih dikenal dan di ketahui konsumen salah satunya dengan menggunakan pemasaran online seperti di website/blog yang melakukan pemasaran melalui dunia internet yang sekarang ini banyak sekali penggunaannya baik oleh konsumen dalam negeri maupun luar negeri yang lebih praktis dan cepat. Kerajinan kayu jati Blora memiliki ciri khas tersendiri yang terletak pada bentuk/model yang umumnya membulat dan halus, berbeda dengan kerajinan kayu ukir seperti Jepara atau Bali. d. Kerajinan Mebel Kayu Jati di Bojonegoro
Desa Sukorejo di kota Bojonegoro merupakan sentra industri kerajinan rumah tangga mebel berbahan kayu jati. Desa ini merangkap sebagai Showroom atau ruang pamer dari kerajinan yang merupakan salah satu produk unggulan kota Bojonegoro, seperti pameranBojonegoro Wood Fair, yang diadakan setiap setahun sekali. Produksi mebel jati di Bojonegoro sangat bervariasi, mulai dari lemari, buffet, meja, kursi atau tempat tidur dll. Kerajinan ini dibuat dari kayu-kayu jati asli dan memiliki umur yang bisa di bilang sudah cukup tua, dengan menggunakan kayu yang tua maka hasil mebelnya dan ukirannya menjadi indah sehingga memberikan corak yang khas. Harganya juga bervariasi mulai dari Rp 300 rb, 3 juta bahkan sampai puluhan juta. Pemasaran komoditas ini sudah menjangkau sampai diluar kota Bojonegoro, kota-kota di jawa timur dan kota-kota di propinsi lainnya, serta berkualitas ekspor.
29
2.5. Management 2.5.1 Optimalization of Teak production A. Perbaikan Manajemen Hutan Alam dan Hutan Tanaman
Rendahnya produktivitas hutan saat ini dalam penyediaan kayu bulat dan hasil hutan non kayu lainnya merupakan hasil dari penerapan manajemen hutan alam dan hutan tanaman yang kurang tepat di lapangan. Beberapa alternatif solusi ditawarkan untuk mengatasi permasalahan tersebut yaitu dengan berpegang pada prinsip-prinsip kelestarian dalam pengelolaan hutan yang menitikberatkan pada aspek ekologis, sosial, dan ekonomis. Di antara kebijakan yang ditawarkan adalah pemolaan sumber daya hutan sedemikian rupa sehingga dapat ditentukan kombinasi luas optimal antara hutan alam, hutan tanaman, perkebunan, pertanian, dan pemukiman serta industri. Optimasi luas hutan produksi tersebut diharapkan akan dapat menyeimbangkan kemampuan produksi bahan baku untuk memenuhi kebutuhan industri kayu. Beberapa langkah perbaikan pada aspek-aspek di bawah ini diharapkan dapat menjadi upaya untuk terus meningkatkan produktivitas hutan dalam kaitannya dengan penyediaan kayu. 1. Sistem Silvikutur
Sistem silvikutur adalah rangkaian kegiatan berencana mengenai pengelolaan hutan yang meliputi penebangan, peremajaan, dan pemeliharaan tegakan hutan guna menjamin kelestarian produksi kayu atau hasil hutan lainnya. Pemilihan, penetapan dan penerapan salah satu sistem silvikultur diarahkan untuk mencapai tujuan diperolehnya manfaat yang optimal secara berkesinambungan serta menimbulkan perubahan ekosistem alami seminimal mungkin sehingga dengan masukan (input) yang minimal tersebut dapat diperoleh hasil yang maksimal. Sistem silvikutur yang telah ditetapkan untuk pengusahaan hutan produksi alam di Indonesia adalah Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), Tebang Habis dengan Permudaan Buatan (THPB) dan Tebang Habis dengan Permudaan Alam (THPA). Pada sistem TPTI penebangan pohon hanya boleh dilakukan terhadap pohon-pohon dengan diameter minimal tertentu untuk selanjutnya harus tersedia sejumlah pohon inti dengan diameter minimal tertentu yang diharapkan akan membentuk tegakan utama pada siklus tebangan berikutnya. Yang perlu diperhatikan pada sistem ini adalah perlu adanya pembinaan dan pemeliharaan tegakan tinggal.
30
Dalam sistem THPA ditentukan persyaratan persentase dan penyebaran tertentu permudaan tingkat semai jenis pohon niagawi. Sedangkan dalam sistem THPB hanya digunakan dalam melaksanakan konversi hutan produksi alam menjadi hutan tanaman dengan jenis-jenis tertentu, serta pada pengelolaan hutan tanaman selanjutnya. Saat ini telah dijajagi kemungkinan untuk penerapan sistem Tebang Jalur dan Tanam Indonesia (TJTI) yang ditujukan untuk membina hutan bekas tebangan yang dinilai tidak produktif agar menjadi hutan yang produktif. Yang perlu diperhatikan dalam pemilihan sistem silvikultur tersebut adalah kesesuaian antara sistem silvikultur yang diterapkan dengan keadaan tegakan setempat. Ketidaksesuaian yang terjadi akan menyebabkan terhambatnya daya pulih diri atau regenerasi dari hutan tersebut, sehingga manfaat optimal yang berkesinambungan tidak bisa tercapai. Sebagai contoh penerapan sistem silvikutur tebang habis pada tegakan hutan di daerah yang berlereng curam (25-40 %) akan mengakibatkan terjadinya erosi tanah yang dapat menghilangkan lapisan permukaan tanah (top soil), sehingga akan menghambat pertumbuhan regenerasi hutan yang pada akhirnya akan mengganggu produktivitas hutan dalam menghasilkan kayu bulat maupun hasil hutan non kayu lainnya. Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan beberapa upaya agar penerapan sistem silvikultur yang tepat dapat meningkatkan produktivitas hutan. Pemilihan dan penetapan sistem silvikultur harus didasarkan pada hasil kegiatan risalah hutan yang lengkap dan akurat sehingga dapat menggambarkan kondisi tegakan hutan yang sebenarnya. Di samping itu perlu tersedianya sejumlah alternatif sistem silvikultur yang sesuai dengan keragaman tegakan yang ada dan sistem silvikultur tersebut harus bersifat luwes untuk memberikan peluang modifikasi atau penyempurnaan yang sesuai dengan kendala di lapangan. Kegiatan pengawasan yang dilakukan perlu menggunakan metode pengawasan yang cepat, akurat dan berskala luas yang dilakukan oleh tenaga pelaksana lapangan yang profesional. Dan yang terpenting adalah adanya konsistensi dari para pengelola hutan dalam penerapan sistem silvikultur dilapangan. Kecenderungan yang terjadi saat ini dari para pengelola hutan adalah adanya pandangan bahwa hutan yang dikelola adalah sebagai “barang galian” yang dikeruk secara habis-habisan tanpa
memperhatikan kelestariannya. Pandangan ini perlu dirubah dengan melakukan pendekatan ekosistem yaitu bahwa hutan yang dikelola harus dipandang sebagai suatu ekosistem yang perlu dijaga keberadaan dan kelestariannya. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, selain penerapan teknik silvikultur yang tepat kegiatan pembenahan hutan tua yaitu peningkatan produktivitas 31
area logged over forestmelalui kegiatan selain penanaman seperti kegiatan pemeliharaan, penjarangan dan sulaman secara intensif perlu dibenahi sehingga diharapkan dapat meningkatkan riap tahunan per hektar per tahunnya. 2. Sistem Pemanenan
Pemanenan hutan adalah kegiatan memungut atau mengambil kayu dan atau hasil hutan lainnya dari kawasan hutan yang berfungsi sebagai hutan produksi. Pemanenan hutan merupakan bagian dari rangkaian kegiatan dalam suatu sistem silvikultur yang dianut dalam rangka pengelolaan hutan produksi. Untuk pemanenan hasil hutan berupa kayu, kegiatan yang dilakukan secara garis besar terdiri dari penebangan pohon, pembagian batang, penyaradan, pengupasan kulit, muat bongkar dan pengangkutan. Dalam penebangan pohon perlu digunakan teknik penebangan yang sesuai dan alat penebangan yang cocok guna menekan pemborosan biaya dan sumber daya hutan. Dari beberapa hasil penelitian diketahui bahwa besarnya tingkat efisiensi pemanfaatan kayu per pohon di tempat penebangan baru mencapai sekitar 80 %, sedang limbahnya adalah sebesar 20 %. Limbah sebesar ini terdiri dari limbah tunggak 3 % dan limbah batang sebesar 17 %. Limbah tersebut belum termasuk limbah dari batang di atas bebas cabang dan cabang sampai diameter 10 cm yang diperkirakan mencapai di atas 15 % (Suhartana dan Dulsalam, 1996). Sedangkan menurut data PT. Inhutani III,di lapangan limbah hasil pemanenan mencapai 30 – 50 %. Berdasarkan data di atas, terlihat bahwa telah terjadi pemborosan sumber daya hutan dalam kaitannya dengan terbuangnya hasil kayu yang seyogyanya dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan industri maupun kebutuhan lainnya. Volume limbah penebangan yang tinggi menunjukkan bahwa kegiatan penebangan kurang efisien. Kegiatan penebangan merupakan penentu untuk mendapatkan tinggi rendahnya hasil, baik ditinjau dari kualitas maupun kuantitas. Salah satu upaya yang perlu dilakukan untuk meminimumkan hasil pembalakan tersebut adalah dengan penerapan teknik penebangan serendah mungkin sesuai dengan SK Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan Nomor 151/Kpts/IV-BPHH/1993 tanggal 19 Oktober 1993 tentang Petunjuk Teknis Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) pada hutan alam daratan. Langkah ini dianggap suatu kemajuan karena acuan mengenai teknik penebangan sebelumnya masih memperkenankan tinggi tunggak yang relatif tinggi (Suhartana dan Dulsalam, 1996). Dari hasil penelitian tentang tingkat pemanfaatan kayu yang terjadi dengan teknik penebangan serendah mungkin diperoleh hasil bahwa rata-rata volume limbah tunggak pada teknik penebangan serendah mungkin adalah 0,21 m³/pohon 32
(3,34%) dan pada teknik penebangan konvensional adalah 0,40 m³/pohon (4,54%) di samping itu terjadi peningkatan pemanfaatan kayu sebesar 1,20%. Dengan menerapkan teknik penebangan yang efisien diharapkan dapat dihasilkan limbah penebangan dalam jumlah yang lebih sedikit sehingga pemanfaatan kayu akan lebih optimal. Di samping itu pemanfaatan limbah penebangan menjadi bahan baku industri pulp dan kertas, industri palet dan industri lainnya perlu lebih dioptimalkan kembali sehingga keseluruhan manfaat yang diperoleh dari hasil hutan dapat didayagunakan secara maksimal. 3. Optimalisasi Pemanfaatan Kayu
Salah satu upaya untuk menyediakan pasokan kayu adalah dengan melakukan optimalisasi pemanfaatan kayu dari hutan alam melalui peningkatan pemanfaatan limbah pembalakan yang saat ini besarnya mencapai 30 –50 % dan peningkatan pemanfaatan kayu berdiameter kecil (30-49 cm). Kayu berdiameter kecil dan logging waste dapat dimanfaatkan untuk industri pengolahan kayu yaitu diolah menjadi pulp logs atau chip untuk industri pulp, kayu gergajian untuk industri pallet, particle board, dan blok board. Limbah pembalakan saat ini belum dapat dimanfaatkan karena perizinan pembalakan dibatasi angka eksploitasi dan perizinan pengambilan limbah sulit diterapkan di lapangan. Sedangkan untuk pemanfaatan kayu berdiameter kecil masih belum menarik karena aturan kebijakan yang tidak mendukung seperti pengenaan tarif DR/PSDH dan pajak ekspor serta check price yang disamakan dengan log berdiameter besar dan panjang. Kendala lain di sektor industri yang dihadapi saat ini adalah penetapan besarnya pajak ekspor kayu gergajian sebesar 15 % untuk semua jenis kayu dan kualita, sementara itu kayu gergajian kualitas rendah dan pendek berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku pallet dan bahan bangunan yang tidak perlu diolah. Sehingga kebijakan tersebut tidak mendorong pengusaha untuk meningkatkan ekspor kayu gergajian kualitas rendah karena nilai tambah yang diperolehnya lebih kecil. Untuk lebih mengoptimalkan penyediaan kayu dari hutan tersebut maka perlu dibuat aturan yang lebih cermat tentang pemanfaatan limbah pembalakan dan kayu berdiameter kecil, terutama Tata Usaha Kayu (TUK) dan sistem pungutannya agar limbah pembalakan dapat dimanfaatkan untuk bahan baku kayu olahan dan industri hilir lainnya sehingga memiliki nilai tambah. Sementara itu pengenaan tarif DR/PSDH dan pajak ekspor seharusnya dibedakan antara kayu berdiameter kecil (30-49 cm) dan yang berdiameter besar (50 cm up) sehingga dengan perbedaan tarif tersebut dapat mendorong pemanfaatan kayu berdiameter kecil baik untuk kepentingan ekspor maupun untuk 33
diolah lebih lanjut. Demikian pula untuk pajak ekspor kayu gergajian hendaknya dibedakan antara ukuran yang lebar, panjang dan pendek sehingga lebih kompetitif terlebih dengan besarnya peluang ekspor untuk kayu gergajian ukuran kecil sebagai bahan baku pallet atau industri hilir lainnya . Dengan diberlakukannya aturan yang mendukung pemanfaatan limbah pembalakan dan kayu berdiameter kecil ini maka diharapkan industri dalam negeri akan didorong untuk berkembang sehingga lebih efisien dan kompetitif serta pemanfaatan hasil hutan kayu dapat lebih optimal khususnya dalam kaitannya dengan penyediaan kayu, 4. Pengelolaan Hutan Partisipatif
Dalam mendukung terwujudnya pengelolaan hutan yang berlandaskan pada prinsip-prinsip kelestarian dibutuhkan suatu sinergi antara pengelola hutan dengan masyarakat sekitar hutan. Masyarakat sekitar hutan perlu lebih diarahkan sebagai penerima manfaat langsung dari hasil pemanfaatan hutan tidak hanya sebagai penonton dalam pengusahaan hutan itu sendiri. Pengelola hutan dalam hal ini dapat berasal dari pihak swasta atau BUMN harus berupaya untuk menyeimbangkan dengan pola keberpihakan pada masyarakat di dalam dan di sekitar hutan dalam pengelolaan hutan dan harus secara sungguh-sungguh berupaya melakukan pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui penggalian potensi perekonomian masyarakat desa yang pengembangannya sesuai dengan keadaan sosial budaya setempat (Fattah, 1998). Dengan terwujudnya hal tersebut diharapkan dukungan masyarakat dalam pengelolaan hutan akan tercipta yang tercermin dalam tingkat kesadaran masyarakat akan pentingnya manfaat dan kelestarian hutan sehingga intervensi negatif dari masyarakat dalam bentuk gangguan terhadap hutan akan berkurang. Dalam pengelolaan hutan partisipasif ini peranan masyarakat sekitar hutan secara bertahap ditingkatkan di semua jajaran yang terlibat dalam pengelolaan hutan. Masyarakat diharapkan dapat berperan aktif dalam pengelolaan hutan sebagai sumber daya alam yang harus memberikan manfaat sebesar-besarnya untuk rakyat. Bentuk keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan dapat berupa suatu bentuk kemitraan dengan pengelola hutan (HPH/BUMN) dengan posisi transaksi yang adil dan seimbang. Masyarakat sekitar hutan dapat menjadi subkontraktor berbagai kegiatan pengusahaan hutan di bawah bimbingan jajaran pengelola hutan seperti pembibitan, pembukaan lahan, penanaman, pemeliharaan, penebangan, pembuatan jalan, base camp, tata batas dll. Keterlibatan masyarakat dalam model-model pemberdayaan ekonomi masyarakat seperti model 34
Inmas Tumpangsari, PMDH, model pengelolaan hutan payau dengan pola empang parit yang telah berhasil perlu lebih diperluas sehingga masyarakat dapat menerima manfaat yang dapat membantu meningkatkan taraf hidup mereka. Yang terpenting dalam penerapan program-program partisipasif dalam pengelolaan hutan ini adalah adanya kesesuaian antara kebutuhan masyarakat sekitar hutan dengan program yang ditawarkan. Selama ini kebijakan yang bersifat top down approachternyata tidak selalu menguntungkan dan menjamin keberhasilan pembangunan, termasuk di sektor kehutanan. Sehingga pola
pendekatan
buttom-up approachharus
dilaksanakan dalam
mengidentifikasi kebutuhan masyarakat. Para pengelola hutan harus dapat bertindak sebagai akselerator berupa pembinaan guna meningkatkan kemampuan internal masyarakat. Berbagai bantuan yang telah diberikan dari program-program yang telah dijalankan jangan sampai hanya meningkatkan ketergantungan masyarakat pada sekitar hutan pada pengelola hutan, karena pada kenyataannya ekonomi masyarakat tidak diberdayakan dengan pola bantuan ini. Seluruh jajaran pengelola hutan perlu memiliki pola pikir yang memandang masyarakat sebagai potensi dalam pengelolaan hutan bukan sebagai ancaman, sehingga dapat diciptakan suatu bentuk kerja sama yang sinergis antara pengelola hutan dengan masyarakat sekitar. Pengelola hutan harus terus memperhatikan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan karena mustahil tanpa adanya dukungan dari masyarakat sekitar hutan maka pengelolaan hutan itu sendiri akan berjalan lancar. Dukungan dari masyarakat yang tercermin dalam tingkat kesadaran akan kelestarian hutan dapat membantu mengurangi tekanan terhadap hutan yaitu dalam bentuk perambahan hutan dan penebangan liar yang saat ini marak terjadi sebagai gambaran salah satu kegagalan dari pengelolaan hutan yang kurang melibatkan masyarakat. 5. Penindakan Illegal Logging
Telah menjadi rahasia umum bahwa pasokan kayu untuk memenuhi kebutuhan industri pengolahan kayu saat ini diduga tidak sedikit yang berasal dari kegiatan penebangan liar. Hal tersebut terlihat dari perkiraan potensi hutan di Indonesia dalam memenuhi kebutuhan industri dengan kapasitas industri saat ini yang mengalami defisit kayu. Untuk memenuhi kebutuhan kayu tersebut banyak industri pengolahan kayu yang membeli kayu dari hasil penebangan liar. Para pemilik modal lebih memilih untuk membeli kayu hasil penebangan liar karena harganya relatif lebih murah karena tidak terbebani dengan pungutan-pungutan hasil hutan. Kegiatan penebangan liar merupakan masalah yang bersifat multidimensi karena melibatkan banyak stakeholdersdi dalamnya. 35
Tekanan dunia internasional atas maraknya kegiatan penebangan liar di Indonesia semakin meningkat terlihat dari dimasukkannya poin pemberantasan penebangan liar sebagai salah satu syarat dalam perjanjian Indonesia dengan International Monetary Found (IMF) dalam persyaratan pencairan dana pinjaman. Hal tersebut menjadikan masalah penebangan liar sebagai suatu masalah krusial yang perlu mendapat penanganan lebih lanjut secara komperehensif. Penindakan tegas yang komperehensif baik secara administratif maupun secara hukum terhadap keterlibatan para stakeholders dalam kegiatan penebangan liar tersebut perlu dilakukan dimulai dari pemilik modal, pelaku, penadah kayu hasil penebangan liar dan peredaran hasil hutan ilegal, industri pengolah, oknum aparat pemerintah maupun aparat keamanan yang disinyalir menjadi bagian dari mata rantai kegiatan penebangan liar sampai aktor intelektual di belakang kegaiatan ini. Pemerintah dalam hal ini beberapa instansi terkait perlu melakukan koordinasi dalam melakukan tindakan preventif serta menindak tegas para pelaku dibelakang kegiatan penebangan liar ini. Diantaranya Departemen Kehutanan, Aparat Kepolisian RI, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Departemen Perhubungan dan Telekomunikasi, Jaksa Agung, dan Departemen Kehakiman dan Hak Azasi Manusia untuk memberikan sanksi administratif dan pidana terhadap para pelaku kegiatan penebangan liar. Kerjasama antara Departemen Terkait dengan Aparat Kepolisian dalam penegakan hukum dapat dilakukan dengan cara pengajuan seluruh oknum yang terlibat tanpa pandang b ulu baik dari pemilik modal, pelaku, penadah kayu hasil penebangan liar dan peredaran hasil hutan ilegal, industri pengolah, oknum aparat pemerintah maupun aparat keamanan untuk diselidiki dan selanjutnya diajukan ke pengadilan dengan tuntutan maksimal berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. Tindakan tegas di tempat terhadap para oknum yang terlibat perlu ditegakkan seperti pencabutan izin HPH dan IPK yang terbukti melanggar ketentuan, pencabutan izin IPKH terhadap IPKH yang telah terbukti menggunakan bahan baku yang tidak jelas dan menampung bahan baku ilegal, serta pemberian sanksi terhadap para administratur pelabuhan yang masih melayani angkutan kayu ilegal merupakan salah satu bentuk tindakan tegas yang perlu dilakukan dalam hal ini. Perangkat hukum yang berlaku harus mendukung sepenuhnya terhadap penindakan kegiatan penebangan liar. Penyusunan perangkat perundang-undangan yang mengatur ketentuan-ketentuan sanksi hukum yang tegas perlu dilakukan dari tingkat pusat sampai tingkat kabupaten di daerah. Demikian pula dengan sosialisasi peraturan perundangan yang mengatur ketentuan-ketentuan penanggulangan penebangan liar serta pedoman-pedoman pembangunan hutan lestari harus 36
dilakukan secara kontinyu untuk dapat diperoleh pemahaman dan kesadaran terhadap tegasnya sanksi hukum dan pentingnya menjaga kelestarian hutan dalam masyarakat.
2.5.2 Plantation Manajemen
Untuk menghasilkan kualitas jati yang baik, dilakukanlah sistem manajemen penanaman, yang dimulai dengan penentuan lokasi penanaman. a. Site effects
Lokasi penanaman pohon jati, harus sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan jati. Perkebunan jati telah didirikan di seluruh daerah tropis, di dalam dan di luar jangkauan distribusi alaminya. Hal mencakup berbagai kondisi iklim, yaitu dari jenis khatulistiwa dengan jenis sub-tropis dengan berbagai curah hujan dan suhu 500-3,500 mm dan 2 ° -48 ° C (kisaran minimum dan maksimum). Kondisi tanah yang bervariasi dari tanah asam sampai tanah aluvial yang subur juga mempengaruhi pertumbuhan dan karakter pohon lain seperti bentuk batang, modus bercabang, pembungaan dan kualitas kayu dll. Umumnya, tempat tanam yang lokasi basah, misalnya di sepanjang tepi sungai atau di hutan jati lembab rendah, biasanya berwarna lebih gelap daripada kayu dari kondisi lokasi kering. Sebuah studi pada variasi klonal dalam warna dan tekstur kayu di Thailand dalam tes klonal berusia 20 tahun jelas menunjukkan bahwa warna kayu jati dan tekstur sangat dipengaruhi oleh lokasi penanaman .Dalam tes ini, klon pohon dari lokasi yang berbeda menghasilkan warna kayu yang berbeda (coklat yaitu gelap, coklat keemasan, warna coklat muda, dan tekstur kayu, yaitu batu-kayu dan lilin-kayu tekstur). Penyebab variasi tersebut masih belum diketahui tetapi mungkin karena perbedaan dalam kimia tanah dan kadar air di dua lokasi penanaman. Dalam penanaman jati, faktor-faktor pertumbuhannya harus diperhatikan. Berikut adalah factor pertumbuhan pohon jati : a. Rainfall and moistures
Untuk produksi kayu berkualitas tinggi dengan pertumbuhan yang optimal, kondisi kelembaban antara 1.200 dan 2.500 mm dengan musim kemarau yang ditandai dari 3-5 bulan .
37
b. Soil & Light
Jati tumbuh baik di lokasi tanah aluvial yang berasal dari batu kapur , sekis , gneiss , serpih ( dan beberapa batuan vulkanik , seperti basalt) . Untuk pencahayaan, dibutuhkan intensitas cahaya yang tinggi untuk pertumbuhan dan perkembangannya. c.
Seed
Pasokan benih merupakan salah satu faktor yang paling penting membatasi program penanaman jati . Hal ini terutama terjadi di negara-negara di mana jati ditanam sebagai spesies eksotis dan benih yang digunakan dari domestifikasi. Manajemen umum untuk pohon jati meliputi jarak , penyiangan , perlindungan kebakaran , serangga dan penyakit perlindungan dan menipis . a. Planting Spacing
Jarak awal perkebunan jati bervariasi ( 1,8 × 1,8-4 × 4 m ) tergantung pada banyak faktor seperti kualitas situs , biaya pendirian, pemanfaatan kayu kecil , sistem tanam , misalnya agroforestry , tumpang sari dll. Namun , kualitas situs tampaknya menjadi faktor prioritas ukuran jarak dalam program penanaman jati . Hasil uji coba jarak 12 tahun ( 2 × 2 , 3 × 3 , 4 × 4 , 6 × 6 m ) di Thailand jelas menunjukkan efek dari jarak awal pada pertumbuhan , kualitas dan pengendalian gulma di perkebunan jati situs yang berbeda induk kondisi . Dalam kondisi situs kering , di mana tingkat pertumbuhan awal dari perkebunan miskin ( misalnya < 1,0 meter per tahun tinggi ) , jarak dekat dari 2 × 2 m yang paling cocok . Sebaliknya, jarak awal dapat lebih luas sampai dengan 4 × 4 m , yaitu untuk pengurangan biaya , di bawah kondisi situs yang baik ( Kaosa - ard , 1980 ) . Berdasarkan penelitian ini , 3 × 3 m spasi ( 1.111 pohon / ha ) telah direkomendasikan dan digunakan sebagai jarak rutin di Thailand . Namun, di daerah dimana jarak yang lebih lebar diperlukan untuk penerapan sistem wanatani atau mesin penyiangan , 4 × 2 m jarak ( 1.250 pohon / ha ). Hasil yang sama uji jarak dilaporkan dari India di mana jarak dekat dari 1,8 × 1,8 m dan jarak yang lebih lebar dari 3,6 × 3,6 m cocok untuk ( curah hujan < 1.500 mm ) kondisi lokasi kering dan baik masing-masing ( Tewari , 1992 ) . Berbagai jarak digunakan dalam pembangunan perkebunan jati di bawah kondisi situs yang berbeda seperti 2,5 × 2,5 m , 2,7 × 2,7 , 3,6 × 1,8 m dan 3,6 × 2,7 m di India, 2 × 2 m di Bangladesh, 2 × 3 dan 3 × 3 m di Cina, 2,5 × 2,0 m di Karibia dan Amerika Tengah, 2,6 × 2,6 m di Myanmar, 3 × 3 m di Sri Lanka dan 3 × 2 m sampai 5 × 2 m di Indonesia.
38
b. Planting Time
Waktu tanam berpengaruh pada kelangsungan hidup dan pertumbuhan di perkebunan jati . Waktu tanam yang paling cocok untuk jati ialah setelah hujan atau awal musim hujan . Studi pembangunan fenologi Thailand menunjukkan pentingnya waktu tanam , terutama pada pertumbuhan. Jati hanya memiliki satu periode pertumbuhan siram sepanjang tahun. Pertumbuhan tunas , sebagaimana dinyatakan dalam persentase pertumbuhan tahunan , dimulai segera setelah hujan pertama ( akhir April ) , mencapai puncaknya pada awal musim hujan ( Mei-Juni ) , kemudian menurun tajam di tengah-tengah musim hujan (Juli - Oktober) dan berakhir dalam musim kemarau (November - April). Berdasarkan hasil penelitian, jati ditanam tepat sebelum atau selama periode pertumbuhan flush, yaitu antara akhir April dan awal Juni , tergantung pada awal hujan monsoon pertama.
c.
Weeding
Pertumbuhan dan perkembangan jati akan berkurang tajam dalam kondisi cahaya yang gelap. Oleh karena itu , penyiangan intensif sangat diperlukan dari awal berdirinya perkebunan , yaitu 1-3 tahun. d. Thinning
Penjarangan pertama dilakukan pada 5-10 tahun setelah tanam , tergantung pada kualitas situs dan ukuran jarak awal. Umumnya , di bawah situs yang baik dan jarak dekat ( 1,8 × 1,8 m dan 2 × 2 m) ( penjarangan mekanik ) penjarangan pertama dan kedua dilakukan pada 5 dan 10 tahun. Di kawasan Karibia dan Amerika Tengah , penjarangan dilakukan ketika ketinggian perkebunan adalah 8 dan 16 m. e. Insect Damage
Serangga merupakan masalah serius di perkebunan jati . Hal ini tentu saja terjadi ditempat perkebunan pohon jati. Serangga yang paling umum yang menyebabkan perkebunan kerusakan parah adalah defoliators dan penggerek batang . Serangga Defoliator menyebabkan defoliasi parah dan , karenanya , mengurangi tingkat pertumbuhan , dominasi apikal dan kapasitas produksi benih perkebunan , daerah produksi benih dan kebun benih . Defoliator paling penting yang menyebabkan kerusakan parah di perkebunan jati di daerah tropis adalah Hyblaea puera Cramer ( Hyblaeidae ) dan Eutectona machaeralis . Wabah serangga ini dapat terjadi 2 atau 3 kali selama musim. Setelah wabah
, terutama dari Hyblaea puera , laju pertumbuhan perkebunan dapat dikurangi sebanyak 75 % .
39
Pengendalian wabah serangga ini membutuhkan penerapan kimia dan biologi , egBacillus thuringiensis atau agen BT .
Penggerek batang menyebabkan kerusakan parah di perkebunan muda ( 1-5 tahun ) yang menyebabkan kematian pohon karena penurunan laju pertumbuhan dan kualitas batang . Penggerek batang yang sering ditemui di perkebunan jati ialah kopi penggerek Zeuzera coffeae ( Cossidae ) . Di Thailand serangga ini menyebabkan kerusakan parah di perkebunan swasta di mana lokasi penanaman sebelumnya tebu dan bidang tapioka. Saat ini, tidak ada bahan kimia praktis dan metode biologis untuk mengendalikan wabah dari penggerek beehole . Perlakuan silvikultur seperti penyiangan , pembakaran kontrol, dan tumpang sari mungkin satu-satunya metode yang dapat mengurangi populasi serangga.
2.6 Market a. Global Market
Dalam beberapa tahun , pasokan dunia dari Jati akan tergantung pada output dari Dedicated Tropical Hardwood Plantations . Amerika Serikat dan Kanada bersama-sama membentuk pasar
terbesar ketiga untuk Jati mentah di dunia ( setelah Masyarakat Eropa dan Asia Tenggara ) . Selama tahun 1998 , mereka mengimpor sekitar US $ 50 juta senilai Jati . Nilai rata-rata semua bentuk Jati baku impor ke Amerika Utara selama tahun 1998 , termasuk kayu jati berkualitas tinggi dan berasal dari penjarangan , adalah US $ 830 per meter kubik . Pada hari ini , harga telah meningkat menjadi sekitar US $ 1100 per meter kubik . Nilai kayu jati berkualitas tinggi yang diimpor dari Singapura , Indonesia dan Myanmar mendekati US $ 1.035 per meter kubik pada tahun 1999 . Jumlah berkualitas Jati yang tersedia di Pasar Dunia telah menurun dalam dekade terakhir dan harga telah meningkat . Meskipun harga Jati mentah bervariasi sejak tahun 1988 , nilai Jati baku diimpor ke Amerika Utara telah meningkat pada tingkat tahunan rata-rata 3 sampai 4 % . Selama dua tahun terakhir , kenaikan harga rata-rata tahunan telah meningkat menjadi 13,4 % . Permintaan dunia Pasar Jati terus tumbuh . Keindahan , kekuatan, daya tahan , dan kekerasan hutan ini membuat mereka bahan pilihan untuk berbagai aplikasi . Pasar dunia menyerap semua pasokan yang tersedia baik sebelum permintaan untuk kayu keras ini terpenuhi . Akibatnya, 40
kenaikan harga alami selama sepuluh tahun terakhir diperkirakan akan berlanjut di masa depan. Pada harga saat ini sekitar US $ 1500 per meter kubik ( Juli 2006) untuk Grade A log FOB Burma , kayu jati mentah sudah salah satu kayu keras yang paling mahal di dunia. Ketika pasokan yang masih tersisa signifikan Burma Jati habis , harga per meter kubik mungkin melebihi kenaikan tahunan ratarata sepuluh tahun terakhir . Sebagai hasil dari proyeksi ini , mudah diverifikasi di situs web khusus dalam perdagangan kayu , ada minat baru dalam menanam pohon jati . b. Market in Indonesia
Beragamnya penggunaan kayu jati yang menyebabkan tingginya permintaan akan bahan baku kayu jati selama ini, tidak diimbangi denga laju produksi tanamannya. Hal ini dapat dibuktikan dari kebutuhan jati olahan untuk Indonesia sebesar 2.5 juta m 3 per tahun. Jumlah tersebut ternyata baru dapat terpenuhi sebesar 0,8 juta m3 per tahun. Dengan demikian terdapat kekurangan pasokan jati olahan di dalam negri sebesar 1,7 juta m3 per tahun, kemudian pada tahun 2008 angka pasokan tersebut merosot sangat tajam dari 0,8 juta m3 menjadi 0,66 juta m 3. Selama ini pasokan kayu jati utama di Indonesia didominasi oleh PT. Perhutani. Berdasarkan data, produksi kayu jati yang dikelola oleh PT. Perhutani rata rata 800.000 m3 per-tahun. Dari Total produksi tersebut sekitar 85 %-nya dijual dalam bentuk Log (batangan gelondongan) sisanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri milik PT.Perhutani dan Industri Mitra kerja sama pengolahan (KSP) Perhutani dengan swasta. PT.Perhutani hanya mengeluarkan kayu dalam bentuk logs untuk kebutuhan industri swasta sebanyak 762.654.m3. Padahal kebutuhan kayu jati sebagai bahan baku industri mebel untuk sekitar 1.500 perusahaan adalah sekitar 2 juta m 3. Hal ini berarti peluang dapat dimanfaatkan oleh pengebun kayu jati baik perorangan maupun perusahaan swasta, sebagaimana rencana penanaman pohon jati unggul/jatimas/jati genjah. Jika dilihat dari harganya, nilai rupiah yang diperoleh dari kayu jati tidak disangsikan lagi, karena harga jualnya selalu meningkat dari waktu kewaktu, Sebagai ilustrasi harga jual didalam negri (data Tahun 2009) untuk kayu jati gergajian adalah Rp.sekitar Rp.6 - 8 juta /M3 dan harga jual jati dipasaran luar negri (pasar eksport) rata rata sekitar Rp.17 juta /m3. Jika jati gergajian kayu jati diolah didalam negeri dan kemudian hasilnya dieksport dalam bentuk mebel, keuntungan yang akan diperoleh akan semakin besar yakni 2,6 kali lipat. Sebagai contoh : 1 41
m3 kayu jatii gergajian dengan harga.Rp.8 juta dapat menghasilkan 10 buah meja lipat oval,dengan harga satuan $ US.305, atau setara dengan Rp.2.895.000,-maka dalam 1 m3 setara denga 10 meja oval akan menghasilkan Rp.28.895.000,- sementara itu 1 container mampu memuat 142 bahan jadi (knock down) maka 1 container bernilai $ US 305. x 142 = 43.310, Added Value (nilai tambah) yang dihasilkan dari bahan baku menjadi produksi jatii sebesar 267 %, angka ini diperoleh dari perbedaan harga dasar kayu jatii dengan harga jual mebel jadi ( jati olahan). Untuk jenis meja mebel lain dari bahan jati yang memiliki pasaran cukup luas di luar negri adalah folding square table (meja lipat persegi) Sementara itu jenis kursi berbahan jati yang banyak disukai
adalah steamer chair (kursi lipat untuk berjemur yang biasa ditempatkan dipinggir kolam renang keluarga) adjustbale folding chair (kursi taman knock down) dan folding slat chair (kursi meja makan dirumah makan atau restoran).Negara peng-import utama jati asal indonesia adalah Amerika Serikat,Taiwan, Hongkong,Korea, India dan Uni Emirat Arab, serta Italia untuk handcraft . Selama tahun 2007-2009, eksport kayu jati indonesia untuk negara negara importir tersebut mengalami peningkatan yang sangat tajam. Peningkatan tersebut tidak hanya dari volume eksport tetapi juga nilai eksport dalam $ USD. Berikutnya, jika kita melihat ke zaman dulu, kayu jati jawa telah dimanfaatkan sejak zaman Kerajaan Majapahit. Jati terutama dipakai untuk membangun rumah dan alat pertanian. Sampai dengan masa Perang Dunia Kedua, orang Jawa pada umumnya hanya mengenal kayu jati sebagai bahan bangunan. Kayu-kayu bukan jati disebut ‘kayu tahun’. Artinya, kayu yang keawetannya untuk beberapa tahun saja. Selain itu, jati digunakan dalam membangun kapal-kapal niaga dan kapal-kapal perang. Beberapa daerah yang berdekatan dengan hutan jati di pantai utara Jawa pun pernah menjadi pusat galangan kapal, seperti Tegal, Juwana, Tuban, dan Pasuruan. Namun, galang kapal terbesar dan paling kenal berada di Jepara dan Rembang, sebagaimana dicatat oleh petualang Tomé Pires pada awal abad ke-16. VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie, Kompeni Hindia Timur Belanda) bahkan sedemikian tertarik pada “emas hijau” ini hingga berkeras mendirikan loji pertama mereka
di Pulau Jawa —tepatnya di Jepara— pada 1651. VOC juga memperjuangkan izin berdagang jati melalui Semarang, Jepara, dan Surabaya. Ini karena mereka menganggap perdagangan jati akan jauh lebih menguntungkan daripada perdagangan rempah-rempah dunia yang saat itu sedang mencapai puncak keemasannya. 42
Di pertengahan abad ke-18, VOC telah mampu menebang jati secara lebih modern. Dan, sebagai imbalan bantuan militer mereka kepada Kerajaan Mataram di awal abad ke -19, VOC juga diberikan izin untuk menebang lahan hutan jati yang luas. VOC lantas mewajibkan para pemuka bumiputera untuk menyerahkan kayu jati kepada VOC dalam jumlah tertentu yang besar. Melalui sistem blandong, para pemuka bumiputera ini membebankan penebangan kepada rakyat di sekitar hutan. Sebagai imbalannya, rakyat dibebaskan dari kewajiban pajak lain. Jadi, sistem blandong tersebut merupakan sebentuk kerja paksa. VOC kemudian memboyong pulang gelondongan jati jawa ke Amsterdam dan Rotterdam. Kedua kota pelabuhan terakhir ini pun berkembang menjadi pusat-pusat industri kapal kelas dunia. Di pantai utara Jawa sendiri, galangan-galangan kapal Jepara dan Rembang tetap sibuk hingga pertengahan abad ke-19. Mereka gulung tikar hanya setelah banyak pengusaha perkapalan keturunan Arab lebih memilih tinggal di Surabaya. Lagipula, saat itu kapal lebih banyak dibuat dari logam dan tidak banyak bergantung pada bahan kayu. Namun, pascakemerdekaan negeri ini, jati jawa masih sangat menguntungkan. Produksi jati selama periode emas 1984-1988 mencapai 800.000 m3/tahun. Ekspor kayu gelondongan jati pada 1989 mencapai 46.000 m3, dengan harga jual dasar 640 USD/m3. Saat ini penjualan atau market kayu jati di Indonesia tidak hanya di kalangan industri saja, namun saat ini sudah banyak penjualan untuk kalangan umum, yaitu kalangan kecil, bahkan menengah ke atas. Market di kalangan kecil contohnya petani. Petani umumnya menjual kayu jati dalam bentuk pohon yang masih berdiri di lahan mereka. Informasi tentang jati yang akan dijual diperoleh para pedagang kayu dari perantara yang disebut sebagai makelar kayu. Setelah terdapat kesepakatan harga dan pedagang kayu membayar kepada makelar kayu, penebangan dilakukan oleh pedagang kayu jati. Sistem seperti ini memunculkan risiko yang cukup besar bagi petani dan pedagang. Petani kehilangan kesempatan mendapatkan harga jual yang lebih tinggi karena pembeli tidak melihat langsung ukuran pohon yang akan dijual, sedangkan pedagang berspekulasi dengan marjin keuntungannya karena pembayaran harus dilunasi sebelum pohon ditebang. Sementara itu pedagang masih harus menanggung biaya pengurusan dokumen yang tidak selalu sama di tiap desa serta biaya transaksi tak terduga lainnya.
43
Dalam kajian alur pemasaran kayu jati ini, beberapa peran penting pedagang diidentifikasi sebagai berikut:
Sebagai fasilitator pencarian, bersama dengan makelar pedagang mencari pohon jati, untuk memenuhi kebutuhan dan persyaratan pasar. Pedagang akan melakukan survey ke lokasi pohon yang siap ditebang untuk menaksir harga pohon dan bernegosiasi dengan petani. Di samping itu, pedagang juga menghubungi para calon pembeli untuk mendapatkan informasi mengenai kebutuhan kayu mereka dan harga penawaran pembeliannya. Dalam hal ini pedagang benar-benar menjadi perantara produsen dan konsumen kayu jati dengan tujuan memperoleh keuntungan dari transaksi jual beli ini. Sebagai penyortir yaitu memilih kayu yang sesuai dengan keinginan konsumen. Pedagang mengumpulkan kayu sesuai dengan tingkat kualitas yang sama untuk dijual ke konsumennya Sebagai pendata contact person dalam saluran pemasaran. Petani tidak perlu menghubungi satu persatu pembeli kayu jati glondongan, tetapi cukup menghubungi makelar dan pedagang kayu, selanjutnya pedaganglah yang akan melakukan pencarian pembeli. Begitu juga sebaliknya, jika konsumen membutuhkan kayu maka pedagang akan dihubungi untuk mencarikan kayu yang sesuai dengan keinginannya.
Bilamana dilihat dari sisi nilai, ketiga peran tersebut merupakan kegiatan yang meningkatkan nilai produk (value-added activities) yang menyertai proses transformasi bentuk pohon ke kayu glondongan. Ketiga peran pedagang di atas melibatkan berbagai komponen biaya dengan bermacam-macam interaksi, yaitu komponen penguasaan fisik, kepemilikan, promosi, negosiasi, pembiayaan, penanggungan risiko, dan pembayaran yang semuanya memiliki beban biaya masingmasing. Di pihak pedagang, pada setiap alur pemasaran ada biaya yang dikeluarkan yang bersifat sunk cost atau tidak dapat dipulihkan lagi karena harga pohon ditawar, disepakati dan dilunasi sebelum pohon ditebang. Harga jual ke konsumen disesuaikan dengan penawaran pembeli karena konsumen pasti tidak akan mau menaikkan harga beli dan pedagang juga tidak bisa banyak menurunkan harga jual. Setelah pendistribusian di kalangan petani, Pendistribusian ke kalangan umum kini dapat dilakukan secara online, karena banyak perusahaan pengolah jati yang membuka bisnis online kayu jati. Saat ini juga banyak perusahaan investasi yang menawarkan dalam bentuk pohon jati, sasaran dari pemasaran ini adalah kalangan menengah keatas.
44
2.7. Policy
Hukum dunia melarang atau membatasi panen kayu jati di area tumbuh alaminya kecuali di Myanmar. Produksi kayu di Myanmar dilakukan menurut sistem seleksi Myanmar. Dimana Departemen Kehutanan Myanmar menyeleksi pohon yang sudah siap panen dan kemudian dipanen organisasi pemerintahan Myanmar yang bertanggung jawab untuk panen yaitu Myanmar Timber Enterprises. Myanmar telah lama menggunakan sistem ini. Maka hasilnya manajemen kayu jati di Myanmar berjalan dengan stabil dan aman. Panen untuk industri di Thailand telah dilarang sejak tahun 1989. Akan tetapi masih banyak proses panen kayu ilegal yang berlangsung. Policy In Indonesia
Di Indonesia, Pemerintah Departemen Kehutanan terus berupaya meningkatkan kebijakan untuk melestarikan hutan tropis di Indonesia sebaik-baiknya. Hutan tanaman jati di Jawa, misalnya, mencoba untuk dikelola secara berkelanjutan. Pengelolaan ini telah diperkenalkan lebih dari 100 tahun yang lalu. Saat ini, tidak hanya pengelolaan hutan jati yang lebih intensif tetapi juga wilayah hutan perkebunan jati lebih diperpanjang. Dengan cara ini, hal ini dimaksudkan untuk mencegah degradasi lingkungan dan untuk mempertahankan produksi kayu jati secara berkelanjutan. Manajemen kebijakan pengelolaan kayu jati di pulau Jawa, ditanggung oleh Perum Perhutani. Sampai saat ini, Perum Perhutani telah melakukan berbagai program seperti, penanaman hutan sampai proteksi, eksploitasi, proses produksi dan marketing. Untuk di pulau Jawa karena adanya tekanan populasi, filosofi Perum Perhutani dalam pengelolaan hutan Jawa , bertujuan untuk : 1. Mengejar pemanfaatan maksimum lahan hutan 2. Mempertahankan sumber daya hutan dan lingkungan 3. Meningkatkan kesejahteraan penduduk , terutama orang-orang yang tinggal di dan sekitar hutan . Berdasarkan hal ini, dibuatlah rencana umum , rencana jangka panjang dan pendek dan rencana teknis tahunan . Rencana umum ( Rencana Umum Perum Perhutani ) dibuat pada tingkat Direksi ( Direktur Utama , Direktur Produksi , Direktur Pemasaran dan Direktur Umum) untuk jangka waktu 20 tahun . Ini menggambarkan kebijakan yang luas , strategi dan tujuan untuk penggunaan lahan 45
hutan . Kebijakan yang luas ini dinyatakan dalam rencana jangka panjang ( Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan ) yang menguraikan peraturan berkelanjutan dan berhubungan dengan
pengelolaan konsesi hutan dan industri terkait lainnya . Kebijakan luas hutan tanaman , khususnya hutan tanaman jati dan peraturan terkait disiapkan oleh Biro Perencanaan di bawah kepala unit Perhutani . Tindak lanjut dari rencana jangka panjang ( Rencana Karya Lima Tahunan ) dijelaskan dalam rencana jangka pendek . Hal ini menjelaskan tujuan kerjasama hutan negara secara lebih rinci dan mendefinisikan kecamatan dan kabupaten polisi yang akan menjadi target program kehutanan yang berbeda selama periode 5 tahun . Rencana ini diproduksi oleh personil Rayon konsultasi dengan personil dari Biro Perencanaan . Akhirnya , rencana teknis tahunan ( Rencana Tehnik Tahunan ) dibuat setiap tahun oleh Bupati Kawasan Hutan . Ini berkaitan dengan kegiatan lapangan
yang direncanakan di wilayah kabupaten mereka, seperti penanaman, mengganti, penyiangan, pemangkasan, dan penjarangan. Setiap tahun evaluasi laporan manajemen dipraktekkan hutan dibuat. Semua planning ini bertujuan memastikan kelestarian pengelolaan hutan. Namun kendala selalu muncul, terutama yang berkaitan dengan gangguan hutan karena masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Untuk alasan ini, Perum Perhutani mencoba untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah sekitar hutan tanaman jati, melalui beberapa sistem tanam . Dua sistem penanaman utama diterapkan , yaitu : a. Tumpangsari ( sistem tumpang sari )
Sistem tumpangsari telah diperkenalkan selama lebih dari 100 tahun . Namun, penerapan sistem ini saat ini lebih sistematis dan intensif . Dalam sistem ini , masyarakat di sekitar hutan ( yang sebagian besar adalah petani ) yang dibiarkan tumbuh tanaman pangan di perkebunan jati selama periode dua sampai lima tahun. Perum Perhutani juga membantu petani hutan ini dengan biji tanaman pangan , pupuk dan insektisida dalam rangka meningkatkan produksi pangan dari para petani . b.
Sistem Upah Harian
Sistem ini diterapkan di daerah di mana sistem tumpangsari tidak dapat diterapkan karena kurangnya petani atau kondisi tanah yang buruk . Dalam sistem ini , orang-orang dari daerah sekitar hutan tanaman jati yang terlibat dalam pemeliharaan perkebunan , seperti penyiangan , pemangkasan , penjarangan , dll Mereka akan menerima upah harian sebagai buruh di perkebunan. 46
Kebijakan lain
Umumnya kebijakan lahir dari perbedaan daerah pertumbuhan kayu (baik jati maupun yang lainnya ). Hasil hutan kayu yang berasal dari hutan hak atau lahan masyarakat, yang selanjutnya disebut kayu rakyat. Adapula yang bernama Hutan hak, yaitu hutan yang berada pada tanah yang telah dibebani hak atas tanah yang berada di luar kawasan hutan dan dibuktikan dengan alas titel atau hak atas tanah. Dan terakhir ialah Lahan masyaraka, lahan perorangan atau masyarakat di luar kawasan hutan yang dimiliki/digunakan oleh masyarakat berupa pekarangan, lahan pertanian dan kebun. Hutan hak dan lahan masyarakat dibuktikan dengan :
Sertifikat Hak Milik, atau Leter C, atau Girik, atau surat keterangan lain yang diakui oleh Badan Pertanahan Nasional sebagai dasar kepemilikan lahan, atau Sertifikat Hak Pakai, atau Surat atau dokumen lainnya yang diakui sebagai bukti penguasaan tanah atau bukti kepemilikan lainnya.
Maka dari itu, setiap pemilik lahan kayu, wajib mempunyai : 1. SURAT KETERANGAN ASAL USUL KAYU (SKAU) Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) adalah surat keterangan yang menyatakan sahnya
pengangkutan, penguasaan atau kepemilikan hasil hutan kayu yang berasal dari hutan hak atau lahan masyarakat. SKAU merupakan surat keterangan sahnya hasil hutan yang berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia. Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) digunakan untuk pengangkutan kayu bulat rakyat dan kayu olahan rakyat yang diangkut langsung dari hutan hak atau lahan masyarakat; Pengangkutan lanjutan kayu bulat rakyat/kayu olahan rakyat menggunakan Nota yang diterbitkan oleh pemilik kayu dengan mencantumkan nomor SKAU asal. 2. NOTA
Beberapa jenis kayu yang berasal dari hutan hak atau lahan masyarakat pengangkutannya cukup hanya menggunakan NOTA yang DITERBITKAN oleh PENJUAL. Nota dapat berupa kwitansi Penjualan bermeterai cukup yang umum berlaku di masyarakat.
Permasalahan lain adalah perbedaan biaya transaksi, misalnya ijin tebang berbeda antar satu desa dengan desa lainnya, ada desa yang mengikuti aturan dari dinas ada pula yang menggunakan 47
aturan sendiri. Hal ini mengakibatkan pembebanan biaya tinggi pada pedagang. Biaya-biaya yang rentan ini masih ditambah biaya tak terduga lain yang meresahkan para pedagang, misalnya jika harus mengirim kayu ke luar provinsi. Peraturan Menteri Kehutanan No. P51/Menhut-II/2006 tentang Penggunaan Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) untuk mengangkut hasil hutan yang berasal dari hutan hak masih dipegang teguh oleh kebanyakan pedagang kayu. Sebenarnya peraturan tersebut telah diubah melalui Peraturan Menteri Kehutanan No. P.33/Menhut-II/2007 untuk pengangkutan hasil hutan kayu yang berasal dari hutan hak (lahan milik) masyarakat. Perubahan tersebut mulai berlaku 24 Agustus 2007 terutama Pasal 1g yang menyatakan bahwa Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) adalah surat keterangan yang menyatakan sahnya pengangkutan, penguasaan atau kepemilikan hasil hutan kayu yang berasal dari hutan hak atau lahan masyarakat. Perubahan PERMENHUT tersebut dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa kayu dari lahan rakyat cukup berkembang dan banyak diminati oleh industri kayu serta memiliki potensi pasar yang besar. Namun yang terjadi di lapangan, banyak kendaraan angkutan kayu diberhentikan oleh aparat berwenang yang menganggap pengangkutan tersebut menyalahi aturan pengangkutan. Mereka berpegang pada peraturan yang melindungi kelestarian kawasan hutan tehadap perilaku manusia yang berkaitan dengan pembalakan liar (illegal logging) yang diatur pada pasal 50 UU Nomor 41 Tahun 1999 jo UU Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi UU. Terutama, pasal 78 ayat 1-15 yang mengatur tentang ketentuan pidana terhadap segala pelanggaran dari ketentuan pasal 50 tersebut.
2.8 Social Aspects of Commodity
Aspek sosial yang paling dapat dirasakan di komoditas jati adalah terbukanya lapangan pekerjaan bagi warga atau masyarakat sekitar hutan. Pekerjaan penanaman jati akan melibatkan banyak sekali tenaga kerja. Tenaga kerja tersebut dibutuhkan dalam berbagai proses yang panjang seperti kontraktor untuk penanaman , penyiangan , pemangkasan dan penjarangan. Selain itu, pemilik tanah , khususnya petani kecil bisa belajar tentang kehutanan dan mendapatkan bibit pohon yang lebih unggul untuk menambahkan beberapa investasi jangka panjang dan keragaman untuk pertanian mereka . Perkembangbiakkan bibit jati dengan cara generatif (perbanyakan melalui biji yang disemaikan dan dibiarkan tumbuh tunas baru serta dipelihara sebagai bibit) juga, terbilang cukup mudah, 48
sehingga dapat dilakukan oleh usahawan skala kecil, termasuk petani ( private nursery ). Kemudahan ini, dapat membuat petani menjadi lebih produktif dan menambah pendapatan bagi transmigran serta penduduk lokal yang ikut berkecimpung di komoditas ini. Selain itu, stabilitas kayu jati yang sangat baik serta cocok untuk dijadikan produk outdoor di negara 4 musim bisa membuka peluang expor skala internasional yang akan menambah keuntungan pada devisa negara. Permintaan pasar kayu jati yang meledak tiap tahun tentu akan membuka lapangan kerja lebih luas, sehingga bisa mengatasi pengangguran. Kini, pemerintah telah melakukan banyak hal untuk mempromosikan reboisasi dinegara ini karena mereka melihat manfaat jangka panjang dalam pengembangan industri ini secara sosial dan ramah lingkungan. industri perkayuan khususnya kayu jati tetap menjadi salah satu komponen pilar industri dalam bangun industri Indonesia di masa mendatang. Hasil analisis pengukuran daya saing terhadap industri yang sudah berkembang di Indonesia yang dilakukan oleh Departemen Perindustrian (2005) menempatkan industri kayu dan mebel/furnitur termasuk kelompok industri padat sumber daya alam yang prospektif dan terus akan dikembangkan di masa mendatang serta berpotensi ekspor.Pasar furnitur internasional pada tahun 2006 diperkirakan bernilai sekitar 66 milyar dolar Amerika, di mana Indonesia menguasai hanya 2 persennya. Pada tahun 2007 permintaan diperkirakan akan tumbuh antara 5 sampai 7 persen. Cina dan Italia saat ini menjadi pemasok pasar global terbesar dengan nilai ekspor gabungan sekitar 9,3 milyar dolar Amerika.Sudah jelas bahwa bahkan di Asia Tenggara, Indonesia teringgal di belakang negara-negara tetangga Malaysia dan Vietnam. Banyak kalangan mengatakan situasi ini diakibatkan oleh meningkatnya hambatanhambatan operasional yang mengikis daya saing Indonesia dibandingkan dengan negara penghasil lainnya. Kenaikan harga bahan bakar terakhir, rata-rata sekitar 126 persen, mendorong biaya operasional naik 25 persen, dan dengan adanya usulan kenaikan tarif listrik untuk industri diperkirakan biaya akan naik sekitar 20 persen lagi. Naiknya biaya operasional telah mendorong kenaikan harga eceran dan ini berarti Indonesia beresiko kehilangan pangsa pasar global. Diperkirakan pasar hanya akan mentoleransi kenaikan pada biaya pemrosesan maksimal 6 persen. Di pasar domestik, para produsen furnitur semakin kalah bersaing dengan barang-barang Cina. Menurut data ASMINDO, total impor furnitur meningkat sekitar 78 persen tahun lalu. Produksi furnitur kayu di tahun 2004 mencapai 2.483.067 meter kubik, namun di tahun 2005 turun menjadi 2.330.389 meter kubik dan di tahun 2006 menjadi 2.258.882 meter kubik. Industri furnitur Indonesia sangat bergantung kepada kayu sebagai bahan baku dengan kebutuhan pertahun mencapai 4,5 juta 49
meter kubik. Meskipun Indonesia adalah produsen kayu terbesar kedua di dunia, industri ini menghadapi kekurangan bahan baku. Menaman pohon adalah bentuk etika lingkungan yang penuh dengan nilai-nilai ekosentrisme.. Manusia seharusnya bisa sumber daya dengan tetap menjaga kelangsungan sumber daya tersebut. Satu pohon yang kita tanam sangat berarti bagi kelangsungan generasi berikutnya. Bayangkan jika yang ditanam seratus bahkan seribu pohon. Kita harus bersyukur sebagai bangsa Indonesia. Karena sejak dahulu kala nenek moyang telah memberikan contoh kearifan menanam pohon. Dalam cerita Babat Alas Jawa, masyarakat khususnya di Jawa membuka hutan alam lalu menanami kembali dengan tanaman yang lebih produktif, yakni pohon jati. Dalam memahami kegiatan babat alas saat itu, paling tidak terdapat dua maksud utama, yaitu pertama perluasan tempat tinggal yang merupakan kebutuhan hakiki manusia yang tidak bisa diabaikan. Kedua, peningkatan nilai tambah lahan yang dalam perkembangan pemenuhan kebutuhan manusia merupakan keniscayaan. Oleh sebab itu, saat sekarang pemerintah memiliki kawasan hutan tanaman jati di Jawa, dan masyarakat memiliki budaya menanam pohon sebagai topangan kehidupan dalam meningkatkan harkat martabat secara nyata dan lebih baik. Jikalau pada umumnya masih banyak pedagang makanan atau masyarakat membungkus makanan dengan menggunakan stryfoam yang secara tidak langsung berbahaya bagi kesehatan karena zat kimia yang ada di stryfoam menempel pada makanan, membungkus makanan dengan menggunakan daun menjadi solusi alternatif yang mana hal ini sudah dilakukan dari zaman dahulu. Tidak Cuma menarik dan membuat sedap daun juga bisa dibuat sebagai penghias makanan dan pengawet makanan yang sehat. Hal ini bisa dibuktikan dengan cara sederhana. Makanan yang dibngkus dengan plastic atau bahan sintetis lainnya akan mudah basi/membusuk. Tempe misalnya, bila dibungkus dengan daun tidak cepat busuk dibanding dengan yang dibungkus plastic. Jati (tectona grandis) tidak hanya kayunya saja yang bermanfaat,namun daun nya juga bisa digunakan untuk membungkus makanan, daun jati digunakan untuk membungkus makanan khas tradisional indonesia seperti nasi Jamblang khas cirebon dan Gudeg khas Jogjakarta.
50
2.9 Prospective Industry a. Teak Research by TEAKNET & TEAK 2000
TEAK 2000 merupakan lembaga penelitian yang bergerak di bidang kehutanan . Lembaga ini didirikan pada Oktober 1996 dengan tujuan untuk “mendirikan perkebunan kayu berkualitas dengan konsep ramah lingkungan agar menghasilkan output kayu yang bermutu tinggi. Serta secara sustainable memenuhi pasar domestik dan internasional di masa mendatang " . Penelitian TEAK 2000 saat ini,
berfokus pada jati karena silvikultur jati yang baik. Namun, secara inisiatif, TEAK 2000 juga akan melakukan penelitian pada spesies diluar jati. TEAK 2000 didasarkan pada Support Model Consortium ( CSM ) , sebuah sistem untuk memfasilitasi penyediaan dukungan keuangan dan teknis untuk kelompok petani untuk memungkinkan mereka untuk menghasilkan kayu lebih dan lebih baik kualitas secara berkelanjutan . CSM menekankan hubungan antara donor , pemerintah , investor , sektor swasta dan masyarakat dan organisasi lingkungan non -pemerintah ( LSM ). Dalam misinya, TEAK 2000 menggunakan mekanisme keuangan yang ada dan baru untuk mengarahkan dan menyalurkan modal arus yang besar terhadap pembangunan perkebunan , industri dan pemasaran dengan cara yang mendukung masyarakat pedesaan dan meningkatkan lingkungan . Inisiatif ini diarahkan pendirian perkebunan besar dan skala kecil dengan baik di sektor swasta dan masyarakat dengan menggunakan praktek-praktek terbaik yang diakui . Perkebunan Didirikan dapat dimasukkan ke dalam skema jika mereka mematuhi kriteria sosial dan lingkungan yang ketat . Saat ini, di Amerika Latin , khususnya El Salvador , Panama dan Kosta Rika , banyak petani skala kecil dan besar dan asosiasi beberapa petani bekerjasama dengan TEAK 2000 dalam dukungan teknis dan keuangan . Badan-badan pemerintah juga telah menyatakan antusiasmenya pada TEAK 2000 . Di Asia , beberapa perusahaan jati tumbuh pribadi dan perusahaan konsultan di India telah menyatakan minat , sedangkan Pemerintah Sri Lanka telah menunjukkan kesediaan untuk menyewakan lahan untuk kegiatan inisiatif lembaga ini. Organisasi yang telah menyatakan minatnya potensial dalam skema termasuk Bank Dunia , Bank Pembangunan Afrika , International Tropical Timber Organization ( ITTO ) dan Badan Pembangunan Internasional Denmark ( DANIDA ) , International Cooperation Centre Agraria Penelitian untuk Pengembangan ( CIRAD ) dan FAO . 51
TEAK 2000 telah membangun database kerja internal pada jati dan kayu keras berkualitas lainnya yang terdiri dari lebih dari 200 referensi umum dan lebih dari 300 teks regional dan negara , meliputi berbagai materi teknis dan non - teknis . Referensi tersebut diindeks dengan kata kunci untuk memudahkan pencarian informasi. Dengan modal ini, TEAK 2000 akan terus melaukan penelitian pada jati, agar meningkatkan kualitasnya.
b. Teak Reaserch in University of Queensland Solomon
Kepulauan Solomon telah memberikan University of Queensland mahasiswa Lotus DesFours berkontribusi dalam penelitian jati sebagai pengalaman pertama dari kompleksitas pengembangan masyarakat . Sebagai bagian dari Master dalam Pembangunan, Lotus bergabung Dr Kristen Lyons dan Dr Peter Walters dari UQ School of Social Science pada kunjungan lapangan ke sejumlah desa di Provinsi Barat yang tumbuh di perkebunan jati . Dr Lyons mengatakan tujuan dari kunjungan adalah untuk mempelajari lebih lanjut tentang tantangan yang berkaitan dengan pengelolaan jati dan partisipasi lokal dalam pasar , serta peluang untuk mengintegrasikan prinsip-prinsip agro -forestry dalam pengelolaan hutan tanaman saat ini . Upaya reboisasi telah diidentifikasi oleh Pemerintah Kepulauan Solomon , badan-badan pembangunan ( termasuk ACIAR dan Pardi ) dan lain-lain , sebagai jalur untuk pembangunan ekonomi. Secara khusus , masyarakat agro- kehutanan telah diakui menjadi signifikan dalam upaya reboisasi tersebut . Proyek lama ini ( sebuah inisiatif bersama antara Griffith University , UQ dan berbagai mitra Australia dan Kepulauan Solomon lainnya ) telah dianugerahi empat tahun dana dari ACIAR dan Pardi . Ini termasuk dukungan untuk dua siswa per tahun selama dua tahun untuk melakukan perjalanan ke Kepulauan Solomon untuk membantu peneliti dengan pekerjaan agroforestry mereka . Di Mandall, warga desa menggambarkan degradasi ekosistem dan pencemaran sistem sungai dan laguna sebagai bagian dari dampak yang terkait dengan industri penebangan kayu di Kepulauan Solomon. Sejumlah penduduk setempat memprediksi bahwa industri penebangan liar akan segera runtuh , namun masih banyak tantangan yang menghambat transisi ke masyarakat agro kehutanan. 52
Kurangnya sumber daya ( termasuk akses ke pemangkasan dan penjarangan alat yang tepat ) sering dikutip sebagai kendala utama pada pengelolaan hutan tanaman yang efektif . Penduduk desa juga mengakui mereka terisolasi dari pengetahuan yang mungkin membantu mereka untuk berpartisipasi di pasar jati , termasuk informasi yang terkait dengan harga kayu. Penelitian yang sedang berlangsung bertujuan untuk menginformasikan praktek terbaik yang berhubungan dengan pendekatan agro -forestry dan pelatihan dengan memberikan wawasan ke dalam konteks sosio - ekonomi , politik dan ekologi yang kompleks di mana hutan kemasyarakatan dilakukan , serta mempertimbangkan harapan dan aspirasi masyarakat lokal yang beragam.
c.
Teak Plantation Improvement by FRIM Malaysia
Penelitian Jati di Malaysia sedang aktif dilakukan oleh Departemen Kehutanan, Institut Penelitian Hutan Malaysia ( FRIM ), Otoritas Pengembangan Lahan Federal, instansi pemerintah lainnya dan sektor swasta. Institut Penelitian Hutan Malaysia ( FRIM ) merupakan lembaga yang paling mengambil kendali untuk menjamin konservasi dan keberlanjutan spesies melalui program pemuliaan di stasiun penelitian di Mata Ayer , Perlis . FRIM mempromosikan pengelolaan berkelanjutan dan penggunaan optimal dari sumber daya hutan di Malaysia dengan menghasilkan pengetahuan dan teknologi melalui penelitian , pengembangan dan penerapan di bidang kehutanan tropis , didirikan stasiun Mata Ayer pada tahun 1974 untuk penelitian perkebunan jati. Stasiun ini sekarang mencakup 455ha dan host dengan 71 varietas jati yang berasal dari pohon pilihan terbaik dari Malaysia , Thailand , Indonesia , India , Papua Nugini dan Trinidad . Inisiasi pemuliaan dimulai pada tahun 1994 . Pusat lapangan Mata Ayer memiliki pembibitan mampu memproduksi 100.000 bibit per tahun . Selain jati , bibit dibesarkan di pembibitan juga mencakup orang-orang dari Hopea dan pohon Sentang . Pembibitan ini juga menimbulkan bibit untuk tujuan lansekap dan memiliki rumah kaca untuk melaksanakan penelitian tentang perbanyakan vegetatif . FRIM saat ini menyediakan dan menjual bibit jati serta bibit mengumpulkan dari potensi " pohon induk " dengan ciri-ciri yang baik untuk memastikan mereka memiliki koleksi bahan tanam yang baik. Tujuan utama dari program pemuliaan ini adalah untuk menghasilkan bahan tanam yang lebih baik . Klonning ini akan diuji di lapangan dan yang terbaik akan diperkenalkan kepada pekebun . Oleh karena itu , penting untuk menentukan klon terbaik untuk perkebunan skala besar . 53
Saat ini , diperkirakan bahwa ada sekitar 2.500 ha perkebunan jati di negeri ini , terutama di Sabah dan Sarawak . Frim terus upaya berkelanjutan dalam mempromosikan jati melalui konferensi , teknologi berbicara dengan pelaku industri , serta pertemuan dengan pekebun . Baru-baru ini , stasiun Mata Ayer menerima sertifikat untuk memiliki koleksi terbesar clone jati di Malaysia dari Malaysia’s Book of Records . Karena ini stasiun ini berpotensi menjadi pusat agro-wisata yang difokuskan terutama pada anak-anak sekolah dan pecinta alam. Pusat ini memiliki sejumlah fasilitas outdoor seperti situs berkemah yang dapat menampung hingga 100 orang , ruang makan , kamar mandi, 100m panjang kanopi jalan di 7m di atas permukaan tanah , galeri jati , Wisma lima kamar , sebuah pondok kayu dan dua hostel yang dapat menampung hingga 24 tamu . Dalam beberapa tahun terakhir , di samping perkebunan jati FRIM , sejumlah lembaga semipemerintah , perusahaan swasta dan pengusaha kecil yang menyatakan minat sangat tertarik untuk membudidayakan tanaman jati . Sebuah kabar baik dalam penanaman jati di Malaysia adalah keterlibatan sektor swasta dan petani kecil . Kemudia, FRIM mempromosikan " Skema Penanaman Adopsi Jati" , di mana FRIM akan menyediakan bahan tanam dengan biaya nominal dan saran teknis gratis kepada petani yang memiliki kurang dari 4 ha lahan . Konsep yang paling luar biasa dari penanaman jati di bawah skema ini adalah untuk mengurangi periode rotasi perkebunan jati hingga 15 tahun dengan penjarangan komersial pada tahun kedelapan . Diharapkan lain 5.000 ha perkebunan jati akan dibentuk dalam lima tahun ke depan.
d. Pengembangan Jati Hibrida
Jati Hibrida adalah salah satu Divisi Manajemen Perkebunan jati yang dibentuk seiring dengan meningkatnya kebutuhan kayu untuk pasaran global yang diperkirakan mengalami kekurangan sebesar 3,20 juta meter kubik per tahun. Hal ini disebabkan perkembangan penduduk dunia dan semakin sempitnya kawasan hutan. Untuk mengejar ketertinggalan ini diperlukan terobosan baru dalam penyediaan kayu untuk memasok kebutuhan global yang mendesak.
Kawasan hutan tropis mengalami kerusakan yang hebat, penebangan tanpa mengindahkan kelestarian hutan menjadi penyebab utama masalah ini. Kerusakan hutan di kawasan tropis mengakibatkan timpangnya antara kemampuan suplai dan kebutuhan kayu. Di samping itu 54
kerusakan hutan juga berdampak pada kualitas lingkungan dengan terjadinya peningkatan suhu bumi akibat dari menipisnya kandungan oksigen bumi serta bencana alam lainnya berupa banjir dan kekurangan suplai air. Kenyataan tersebut telah mendorong Organisasi Internasional Perkayuan Tropika (ITTO) yang menentukan masa depan perdagangan kayu tropika, telah mengumumkan beberapa langkah untuk melindungi hutan tropika. Memasuki Milennium III, Organisasi Internasional Perkayuan Tropika (ITTO) mengenakan syarat melarang membeli kayu yang berasal dari hutan tropika, kecuali kayu tersebut merupakan hasil pengelolaan hutan yang didasarkan kepada asas kelestarian hutan. Oleh karena itu program pembudidayaan kayu secara intensif untuk menghasilkan kayu dengan nilai yang tinggi adalah sangat diperlukan. Salah satu upaya untuk mengantisipasi kebutuhan kayu dunia yang dapat dilakukan adalah dengan cara meningkatkan produktivitas pohon dengan perlindungan tanaman dan teknik budidaya yang baik. Penerapan bioteknologi terpadu dapat mendeteksi sifat-sifat unggul tanaman berdasarkan pemetaan genetik (genetic mapping) atau kloning untuk mengidentifikasi DNA yang mengendalikan sifat-sifat unggul tanaman, seperti laju pertumbuhan kerapatan serat kayu dan kelurusan batang.
Dibandingkan dengan jenis kayu yang lain, kayu jati lebih baik untuk mencapai tujuan tersebut. Kayu jati terkenal karena mempunyai daya guna yang lebih, mudah di dalam pengerjaannya, kekuatan dan keawetan yang tinggi serta mempunyai nilai dekoratif. Jati Hibrida adalah salah satu jenis tanaman jati hasil persilangan jati cepu dan burma yaitu dengan pemuliaan kultur jaringan (bioteknologi) yang mampu menjawab tantangan di masa mendatang. Jati Hibrida memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan jati lokal, selain daya tumbuhnya cepat, tingkat kelurusannya yang tinggi, juga warnanya yang disuka konsumen luar negeri dengan serat yang lurus atau tanpa bercabang.
Namun demikian belum banyak masyarakat yang menyadari bahwa investasi dalam pembuatan tanaman jati sangatlah menguntungkan. Oleh karena itu muncul ide untuk memasyarakatkan program tanaman jati ini. Kondisi ekonomi Indonesia saat ini membutuhkan terobosan penciptaan bidang usaha yang dapat mengatasi berbagai kevakuman bidang usaha saat ini dan mempunyai keuntungan yang menjanjikan serta tingkat keamanan yang tinggi. Salah 55
satu bidang yang cukup prospektif untuk Indonesia saat ini adalah budidaya jati hibrida. Hal ini didukung oleh beberapa faktor antara lain :
Produk jati hibrida mempunyai nilai jual yang tinggi akibat maraknya permintaan ekspor kayu olahan yang berbahan baku kayu jati. Faktor-faktor produksi kayu di Indonesia sudah tercover, antara lain; manajemen, teknologi penguasaan tanaman jati, tersedianya lahan yang cukup luas yang tidak tergarap dan dibiarkan begitu saja, serta tersedianya tenaga kerja yang melimpah, yang merupakan aset yang dapat dimanfaatkan untuk pelaksanaan program usaha agroindustri berorientasi bisnis. Pengembangan potensi yang ada di masyarakat dalam hal teknologi manajemen dan permodalan sehingga mampu menghasilkan produk yang luar biasa hasilnya bagi peningkatan taraf hidup. Ketersediaan lahan mendukung pengembangan dalam rangka peningkatan kualitas dan kuantitas hasil hutan khususnya kayu jati sehingga mempunyai nilai jual tinggi dan mendukung tercapainya asas kelestarian produksi. Penyelengaraan yang relatif singkat (antara 7 sampai dengan 15 tahun) yang merupakan daya tarik tersendiri bagi para investor. Kebutuhan perbaikan kualitas lingkungan hidup, antara lain produksi oksigen dan ko nservasi hutan, tanah dan air. Otonomi daerah memicu setiap daerah untuk dapat memanfaatkan aset yang ada di masing-masing daerah guna memberikan atau menambah Pendapatan Asli Daerah guna membiayai pengembangan dan pembangunan daerahnya. Faktor pendukung tersebut di atas memunculkan ide dan gagasan untuk memanfaatkan aset-aset tersebut secara optimal, yang akan memberikan dampak-dampak positif untuk pengembangan daerah, yaitu: Pemberdayaan masyarakat, sehingga membuka lapangan pekerjaan bagi mereka untuk berkarya dan berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya. Peningkatan pendapatan masyarakat, sehingga meningkatkan kesejahteraan dalam usaha pengentasan kemiskinan. Pemenuhan bahan baku industri yang menggunakan kayu sebagai bahan baku produksinya. Rehabilitasi lahan kritis, sehingga nantinya diharapkan daerah tersebut akan menjadi daerah penyangga air.
56
Bab 3 Kesimpulan 1. Pertumbuhan jati dapat dipercepat dengan : a. TEKNOLOGI PEMBIBITAN JATI
Secara umum, produksi bibit melalui metode kultur jaringan memerlukan beberapa tahap, yaitu : (1) penyediaan bahan tanaman (eksplan) dari induk terpilih (2) sterilisasi eksplan yang akan ditanam pada media inisiasi, (3) penanaman pada media untuk penggandaan atau multiplikasi tunas, (4) penanaman pada media untuk perakaran atau pembentukan planlet, dan (5) aklimatisasi (Murashige, 1974; George dan Sherrington, 1984)
b. TEKNOLOGI PENGOLAHAN LAHAN, PENANAMAN DAN PEMELIHARAAN JATI c.
TEKNOLOGI PANEN DAN PASCAPANEN JATI
2. Pengolah kayu sebaiknya menggunakan kayu jenis lain karena beragamnya penggunaan kayu jati menyebabkan tingginya permintaan akan bahan baku kayu jati tetapi tidak diimbangi denga laju produksi tanamannya. Hal ini dapat dibuktikan dari kebutuhan jati olahan untuk Indonesia sebesar 2.5 juta m3 per tahun. Jumlah tersebut ternyata baru dapat terpenuhi sebesar 0,8 juta m3 per tahun. Dengan demikian terdapat kekurangan pasokan jati olahan di dalam negri sebesar 1,7 juta m3 per tahun, kemudian pada tahun 2008 angka pasokan tersebut merosot sangat tajam dari 0,8 juta m3 menjadi 0,66 juta m 3.
57