HUBUNGAN TINGKAT STRES TERHADAP INSOMNIA PADA MAHASISWA SEMESTER VIII YANG SEDANG MENYELESAIKAN TUGAS AKHIR SKRIPSI DI STIKES BULELENG PROPOSAL
Oleh : KADEK DIO AGUS BAGIARTANA NIM. 15060140037
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BULELENG 2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberi kekuatan dan kesempatan kepada kepada saya, sehingga proposal ini dapat terselesaikan dengan waktu yang di harapkan walaupun dalam bentuk yang sangat sederhana, dimana proposal ini membahas tentang “ HUBUNGAN TINGKAT STRES TERHADAP INSOMNIA PADA MAHASISWA SEMESTER VIII YANG SEDANG MENYELESAIKAN TUGAS AKHIR SKRIPSI DI STIKES BULELENG” dan dimana proposal ini dijadikan tugas pada mata kuliah Rise t
Keperawatan untuk Program Studi Ilmu Keperawatan Keperawat an Stikes Buleleng. Terimakasih saya ucapkan kepada dosen serta pembimbing mata kuliah Riset Keperawatan telah mengajar dan membimbing saya. Dengan adanya proposal ini, mudah-mudahan dapat membantu meningkatkan pengetahuan pada teman-teman khususnya mahasiswa Sikes Buleleng. Semoga proposal ini dapat berguna bagi para para pembaca dan berguna bagi masyarakat luas. Penulis sangat menyadari bahwa dalam pembuatan proposal ini masih sangat
minim, sehingga saran dari dosen pengajar serta kritik kritik dan saran dari
semua pihak masih saya harapkan demi kesempurnaan proposal ini. Singaraja, 24 September 2018
Penulis
i
DAFTAR ISI HALAMAN KATA PENGANTA PENGANTAR R ................ .................................. .................................. ................................. ................................. ...................i ...i
................................. .................................. ................................. ................................. ................................. ................. ii DAFTAR ISI ............... BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Bel Belakang akang ............... ............................... ................................. .................................. ................................. ......................1 ......1 1.2 Rum Rumusan usan Masalah ............... ............................... .................................. .................................. ................................. .................4 4 1.3 Tuj Tujuan uan Pen Penelitian elitian ................ ................................. .................................. ................................. ................................. .................5 5 1.4 Manf Manfaat aat Pen Penelitian.. elitian.................. ................................. ................................. ................................. ...............................5 ..............5 1.5 Keasli Keaslian an Peneli Penelitian.. tian.. ............... ............................... ................................. ................................... ...............................7 .............7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Setres ............... ............................... ................................. .................................. ................................. ................................. ....................9 ...9 2.2 Insomnia................ Insomnia................................. .................................. .................................. ................................. ..............................2 ..............24 4 2.3 Hubungan antara Stres dengan Insomnia ................................................30 BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Kerangka Konsep ..................................................................................31 3.2 Desain Penelitian ...................................................................................32 3.3 Hi Hipotesis potesis ................. .................................. ................................. .................................. .................................. ...........................35 ...........35 DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Mahasiswa merupakan individu yang menuntut ilmu di perguruan tinggi selama kurun waktu tertentu dan memiliki tugas untuk berusaha keras dalam studinya. Persepsi masyarakat terhadap mahasiswa dan periode yang dijalaninya menyebabkan mahasiswa memiliki berbagai tuntutan akademik (Bertens dalam Wulandari, 2012). Salah satu hal yang menjadi tuntutan besar ketika menjadi mahasiswa adalah tugas akhir berupa skripsi yang merupakan beban tanggung jawab bagi seorang mahasiswa untuk bisa lulus dan mendapatkan gelar Sarjananya. Beberapa mahasiswa beranggapan tugas skripsi merupakan tugas yang tidak mudah. Sering kali perjalanan studi mahasiswa mengalami hambatan dan tersendat ketika mengerjakan skripsi. Mahasiswa pada awalnya memiliki semangat, motivasi dan minat yang tinggi terhadap skripsi namun keadaan itu menurun seiring dengan kesulitan- kesulitan yang dialami. Kesulitan itu membuat mahasiswa sering putus asa dan menyebabkan mahasiswa tidak dapat menyelesaikan studinya tepat waktu. Hal ini membuat mahasiswa menjadi ansietas, stres bahkan depresi yang pada akhirnya dapat menyebabkan gangguan pada dirinya sendiri seperti gangguan gangguan tidur. Stres merupakan ketidakmampuan mengatasi ancaman yang dihadapi oleh mental, fisik, emosional, dan spiritual manusia, yang pada suatu saat dapat mempengaruhi kesehatan fisik manusia tersebut. Secara teori dikatakan bahwa 1
2
individu mengalami stress dari 3 sumber utama, yaitu: lingkungan, tubuh, dan pikiran. Stres lingkungan meliputi suara bising, keramaian, tekanan waktu, standar kerja, dan ancaman terhadap keamanan dan harga diri. Stres tubuh yaitu meliputi
penyakit, kecelakaan, gizi yang buruk, gangguan tidur dan penuaan
sedangkan stres mental meliputi pikiran dan imajinasi (Keliat, 1998). Di samping itu stres dapat juga merupakan faktor pencetus, penyebab sekaligus akibat dari suatu gangguan atau penyakit. Stres adalah suatu reaksi fisik dan psikis terhadap setiap tuntutan yang menyebabkan ketegangan dan mengganggu stabilitas kehidupan sehari-hari (Rahmat, 2009). Stresor bisa berasal dari dalam dan luar individu sendiri. Stresor yang berasal dari dalam diri sering mengakibatkan konflik dalam diri itu sendiri. Konflik yang berhubungan dengan peran dan tuntutan tanggung jawab yang dirasakan berat bisa membuat seseorang menjadi tegang. Tingkat stres yang tinggi dan berlangsung dalam waktu yang lama tanpa ada jalan keluar bisa mengakibatkan berbagai macam penyakit seperti gangguan pencernaan, serangan jantung, tekanan darah tinggi, asma, gangguan kulit hingga insomnia atau gangguan tidur (Andi, 2007). Penelitian yang dilakukan Ulumuddin (2011) menunjukkan ada hubungan antara tingkat stres dengan kejadian insomnia pada mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Diponegoro. Insomnia adalah ketidakmampuan memenuhi kebutuhan tidur, baik secara kualitas maupun kuantitas. Insomnia adalah gejala yang dialami oleh orang yang mengalami kesulitan kronis untuk tidur, sering terbangun dari tidur dan tidur singkat atau tidur nonrestoratif. Kesulitan tidur dapat dialami oleh semua lapisan
3
masyarakat baik kaya, miskin, berpendidikan tinggi dan rendah, gangguan tidur juga dialami oleh anak-anak, orang tua, orang dewasa maupun para lanjut usia. Penderita insomnia mengalami ngantuk yang berlebih pada siang hari dan kuantitas dan kualitas tidurnya t idak cukup (Qimy, 2009; Perry dan Potter, 2006). Gejala-gejala insomnia secara umum adalah seseorang mengalami kesulitan untuk memulai tidur, sering terbangun pada malam hari ataupun di tengah-tengah saat tidur. Orang yang menderita insomnia juga bisa terbangun lebih dini dan kemudian sulit untuk tidur kembali (Widya, 2010). Kebutuhan manusia untuk tidur pada bayi adalah 13-16 jam untuk pertumbuhan bayi, pada anak adalah 8-12 jam untuk perkembangan otak anakanak untuk ketahanan memori, pada dewasa adalah 6-9 jam untuk menjaga kesehatan dan pada usia lanjut adalah 5-8 jam untuk menjaga kondisi fisik karena usia yang semakin senja mengakibatkan sebagian anggota tubuh tidak dapat berfungsi optimal, maka untuk mencegah adanya penurunan kesehatan dibutuhkan energi yang cukup dengan pola tidur yang sesuai ( Lumbantobing, 2006). Insomnia merupakan gangguan tidur yang sering dikeluhkan. Gangguan tidur ini dapat mempengaruhi pekerjaan, aktivitas sosial dan status kesehatan bagi penderita. Seseorang dapat mengalami insomnia transien akibat stress situasional seperti masalah keluarga, kerja atau sekolah, penyakit atau kehilangan orang yang dicintai. Insomnia temporer akibat dari situasi stres dapat menyebabkan kesulitan kronik untuk tidur yang cukup, (Perry & Potter, 2006). Gangguan tidur berdampak terhadap proses belajar, seperti penurunan konsentrasi, motivasi belajar, kesehatan fisik, kemampuan berpikir kritis, kemampuan berinteraksi
4
dengan individu atau lingkungan di kampus, dan penurunan kemampuan menyelesaikan tugas (Gaultney, 2010). Berdasarkan hasil wawancara tanggal 15 Oktober 2018 pada 10 orang mahasiswa semester VII STIkes Buleleng, didapatkan pengakuan bahwa mereka mengalami stres menghadapi tugas skripsi dan kualitas tidurnya kurang, dari 10 orang tersebut semuanya mengatakan hal yang sama yaitu merasa stres menghadapi tugas akhir skripsi dan merasa bermasalah dengan tidurnya, seperti susah untuk memejamkan mata saat di tempat tidur, sering bangun di tengah malam dan sulit untuk tidur kembali. Berdasarkan latar belakang diatas, dapat disimpulkan bahwa tingkat stress mempunyai pengaruh terhadap kejadian insomnia pada mahasiswa. Untuk itu penulis menetapkan permasalahan penelitian dengan judul “Hubungan Tingkat Stres Dengan Kejadian Insomnia Pada Mahasiswa Semester VIII Dalam Menyelesaikan Tugas Akhir Skripsi Di STIKes Buleleng”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian yaitu “ Apakah ada Hubungan Antara Tingkat Stres Dengan Kejadian Insomnia Pada Mahasiswa Semester VIII Dalam Menyelesaikan Tugas Akhir Skripsi Di STIKes Buleleng?”
5
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui hubungan antara tingkat stres dengan kejadian insomnia pada mahasiswa semester VIII dalam menyelesaikan tugas akhir skripsi di STIKes Buleleng 1.3.2 Tujuan Khusus Tujuan khusus pada penelitian ini adalah: 1. Diketahuinya
tingkat
stress
pada
mahasiswa
semester
VIII
dalam
menyelesaikan tugas akhir skripsi di STIKes Buleleng 2. Diketahuinya tingkat kejadian insomnia pada mahasiswa semester VIII dalam menyelesaikan tugas akhir skripsi di STIKes Buleleng 3. Menganalisis hubungan tingkat stres dengan kejadian insomnia pada mahasiswa semester VIII dalam menyelesaikan tugas akhir skripsi di STIKes Buleleng
1.4 Manfaat Penelitian
1.3.1
Manfaat Teoritis
1.4.1.1 Bagi Peneliti Untuk mengimplementasikan mata pelajaran yang didapat selama kuliah, memperluas wawasan dalam bidang pendidikan 1.4.1.2 Bagi Institusi Dapat
digunakan
sebagai
masukan
dan
referensi
tambahan
di
perpustakaan serta sebagai referensi untuk peneliti lain di masa yang akan data ng khususnya penelitian yang ada hubungannya dengan tingkat stres dan insomnia.
6
1.4.1.3 Bagi Peneliti Selanjutnya Untuk memberikan masukan bagi kegiatan penelitian berikutnya terutama mengenai tingkat stress dan insomnia serta memberikan gambaran untuk penelitian selanjutnya yang terkait dengan tingkat stress dan insomnia dalam aspek tingkat pendidikan, pekerjaan, ekonomi dan sosial budaya. 1.3.2
Manfaat Praktis
1.3.2.1 Bagi Institusi Pendidikan Hasil yang didapat dalam penelitian ini diharapkan dapat digunakan dalam pengembangan ilmu keperawatan dan sebagai masukan bagi proses pembelajaran untuk mengoptimalisasi kemampuan dan pengetahuan peserta didik. Sebagai eksperimen dalam menerapkan hubungan tingkat stress dengan kejadian insomnia pada mahasiswa tingkat akhir. 1.3.2.2 Bagi Tempat Penelitian Sebagai masukan dan sumber informasi serta pertimbangan bagi mahasiswa agar dapat membuat suatu
perencanaan dalam mengatasi tingkat
stress saat menyelesaikan tugas akhir 1.3.2.3 Bagi Penelitian Selanjutnya Hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan, gambaran serta informasi mengenai penelitian lebih lanjut yang berkaitan dengan hubungan tingkat stress denga kejadian insomnia pada mahasiswa tingkat akhir.
7
1.4 Keaslian Penelitian
Penelitian tentang Hubungan Tingkat Stres Dengan Kejadian Insomnia Pada Mahasiswa Semester VIII Dalam Menyelesaikan Tugas Akhir Skripsi Di STIKes Buleleng sepengetahuan peneliti belum pernah diteliti sebelumnya. Penelitian yang hampir sama yang sudah pernah diteliti adalah: 1. Arnoldina Martha Ema, dkk (2017) meneliti Hubungan Tingkat Stres Dengan Kejadian Insomnia Pada Remaja Pengguna Media Sosial di MTS Muhamadyah 1 Malang. Metode penelitian mengunakan desain korelasional dengan menggunakan pendekatan cross sectional . Populasi dalam penelitian ini sebanyak 60 remaja berusia 13-15 tahun yang menggunakan media sosial ( facebook ) dengan penentuan sampel penelitian menggunakan total sampling . Instrumen yang digunakan adalah kuesioner. Metode analisis data dengan uji spearman rank. Hasil penelitian menunjukan
sebagian besar 51 (85,0%)
remaja pengguna media sosial ( facebook ) memiliki tingkat stress ringan dan 32 (53,3%) remaja pengguna media sosial ( Facebook ) mengalami insomnia ringan. Sedangkan hasil uji spearman rank didapatkan pvalue= (0,002) < (0,050), yang berarti ada hubungan tingkat stres dengan kejadian insomnia pada remaja pengguna media sosial ( facebook ). 2. Fitri Eka Wulandari, dkk (2016), meneliti Hubungan Tingkat Stres Dengan Tingkat
Insomnia
Mahasiswa/I
Angkatan
2012/2013
Program
Studi
Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Metode penelitian ini adalah penelitian analitik observasional dengan menggunakan desain belah lintang (cross sectional).Sampel diambil secara total sampling
8
dengan jumlah sampel 342 orang. Pengumpulan data menggunakan kuesioner DASS 42 dan kuesioner KSPBJ-IRS. Hasil pene litian menunjukkan bahwa 150 responden atau 43,9% normal, 36 responden atau 10,5% mengalami stres ringan, 67 responden atau 19,6% mengalami stres sedang, 51 responden atau 14,9% mengalami stres berat, 38 responden atau 11,1% mengalami stres sangat berat. 204 responden atau 59,6% normal, 129 responden atau 37,7% mengalami insomnia ringan, 9 responden atau 2,6% mengalami insomnia sedang, dan tidak ada responden yang mengalami insomnia berat. 3. Tesa Dwi Ramdhayani Putri (2014), meneliti Hubungan Stres Dengan Kejadian
Insomnia
Pada
Mahasiswa
Angkatan
2010
Yang
Sedang
Mengerjakan Skripsi Di Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura Pontianak. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif dengan rancangan cross sectional jumlah sampel yang digunakan sebanyak 128 orang. Hasil penelitian menunjukan 35 responden (36,1%) tidak mengalami stress, 23 responden mengalami stress ringan (23,7%), 34 responden (35,1%) mengalami stres sedang, 3 responden (3,1%) mengalami stress berat dan 2 (2,1%) responden mengalami stress sangat berat. Rata-rata skor insomnia yaitu 10,29, ini menunjukan bahwa insomnia yang terjadi tergolong insomnia ringan. Ada hubungan stres dengan kejadian insomnia pada mahasiswa angkatan 2010 yang sedang mengerjakan skripsi di Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura Pontianak
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Stres 2.1.1 Pengertian Stres
Stres merupakan sesuatu yang menyangkut interaksi antara individu dan lingkungan, yaitu interaksi antara stimulasi respon. Sehingga dapat dikatakan stres merupakan konsekuensi setiap tindakan dan situasi lingkungan yang menimbulkan tuntutan psikologis dan fisik pada seseorang. Stres adalah suatu respon adaptif individu pada berbagai tekanan atau tuntutan eksternal dan menghasilkan berbagai gangguan meliputi : gangguan fisik, emosional, dan perilaku. (Goliszek, 2005 :1) Stres merupakan suatu kondisi jiwa dan raga, fisik dan psikis seseorang yang tidak dapat berfungsi secara normal. Stress juga dapat terjadi setiap saat terhadap seseorang tanpa mengenal jenis kelamin. Usia seseorang dalam rentangan juga bukan menjadi sebuah klasifikasi stres. Kedudukan dan jabatan turut menyumbang keberadaan stres dalam kehidupan seseorang. Bahkan status sosial ekonomi juga dapat memicu seseorang mengalami stres dalam kehidupannya. (Abdullah, 2007) Sementara
menurut
Dadang
Hawari
(1995
:44-45)
stres
bisa
didefinisikan sebagai reaksi fisik dan psikis yang berupa perasaan tidak enak, tidak nyaman, atau tertekan terhadap tekanan atau tuntutan yang sedang dihadapi. Stres dapat pula diartikan sebagai reaksi fisik yang dirasakan oleh
9
10
individu tidak enak akibat dari persepsi yang kurang tepat terhadap sesuatu yang dianggapnya sebagai ancaman bagi keselamatan dirinya. Bukan hanya
mengancam
akan
tetapi
dapat
menggagalkan
keinginan
atau
kebutuhannya. Selye (dalam Santrock, 2003 : 557) berpendapat bahwa stres sebenarnya adalah kerusakan yang dialami oleh tubuh akibat berbagai tuntutan yang ditempatkan padanya.Dari sudut pandang ilmu kedokteran, menurut Hans Selye seorang fisiologi dan pakar stress yang dimaksud dengan stress adalah suatu respon tubuh yang tidak spesifik terhadap aksi atau tuntutan atasnya. Jadi merupakan repons otomatis tubuh yang bersifat adaptif pada setiap perlakuan yang menimbulkan perubahan pada fisik
atau emosi yang bertujuan untuk
mempertahankan kondisi fisik yang optimal suatu organisme. Stres juga bisa berarti ketegangan, tekanan batin, tegangan, dan konflik yang berarti: 1.
Reaksi atau respon tubuh terhadap stresor psikososial (tekanan mental atau beban kehidupan).
2.
Kekuatan yang mendesak atau mencekam, yang menimbulkan suatu ketegangan dalam diri seseorang.
3.
Reaksi tubuh terhadap situasi yang menimbulkan tekanan, perubahan, ketegangan emosi dan lain-lain.
4.
Reaksi tubuh dan pikiran yang disebabkan oleh perubahan dan tuntutan kehidupan yang dipengaruhi baik oleh lingkungan maupun penampilan individu di dalam lingkungan tersebut.
11
Jadi dari berbagi definisi stres diatas dapat disimpulkan bahwa stres adalah suatu kondisi yang dialami seseorang secara non-spesifik meliputi keadaan yang mengancam seseorang baik secara fisik maupun psikis. Dari sudut pandang psikologis stres dapat diartikan sebagai suatu keadaan internal yang disebabkan oleh kebutuhan psikologis tubuh atau disebabkan oleh situasi eksternal seperti keadaan lingkungan atau sosial yang berpotensi bahaya, memberikan tantangan, menimbukan perubahan- perubahan atau memerlukan mekanisme pertahanan. 2.1.2 Penyebab Stres
Adapun faktor - faktor stres menurut para ahli yang dikutip dalam sebuah buku (dalam Santrock, 2003) terdiri dari beberapa hal diantaranya adalah faktor fisik, faktor lingkungan, faktor kognitif, faktor kepribadian, faktor sosial budaya dan strategi koping . 1.
Faktor fisik Seorang pelopor penelitian stres yaitu Hans Selye mendefinisikan stres
sebenarnya adalah kerusakan yang dialami tubuh akibat berbagai tuntutan yang ditempatkan padanya. Berapapun kejadian ataupun stimulus yang didapatkan dilingkungan sekitar akan menghasilkan respon stres yang sama pada tubuh. Seyle telah melakukan pengamatan terhadap beberapa pasiennya yang memiliki masalah berbeda-beda seperti kematian, kehilangan pekerjaan dan penangkapan. Tidak peduli seperti apa bentuk masalah yang terjadi, gejala yang sering muncul pada mereka berupa hilangnya nafsu makan,otot menjadi lemah,dan menurunnya minat terhadap dunia.(Santrock, 2003 :557)
12
Sindrom adaptasi umum (General Adaptation Syndrome/ GAS ) adalah konsep yang dikemukakan Selye yang menggambarkan efek umum pada tubuh ketika ada tuntutan yang ditempatkan pada tubuh tersebut. GAS terdiri dari tiga tahap : tahap peringatan, perlawanan, dan kelelahan. Pertama, pada tahap peningkatan alarm, individu memasuki kondisi shock yang bersifat sementara, suatu masa dimana pertahanan terhadap stres ada di bawah normal. Individu mengenali keberadaan stres dan berusaha menghilangkannya. Otot menjadi lemah, suhu tubuh menurun, dan tekanan darah juga turun. Kemudian muncullah apa yang disebut dengan countershock, dimana pertahanan terhadap stres mulai muncul, korteks adrenal mulai membesar dan pengeluaran hormon meningkat. Tahap alarm atau peringatan ini berlangsung singkat. (Nevid, Rathus, & Grenee, 2003:135) Tidak lama kemudian individu akan memasuki tahap perlawanan atau resistance. Dimana pertahanan terhadap stres menjadi semakin intensif, dan semua upaya dilakukan untuk melawan stres. Pada tahap pertahanan tubuh individu dipenuhi oleh hormon stres. Tekanan darah, detak jantung, suhu tubuh, dan pernafasan semua meningkat. Bila semua upaya yang dilakukan untuk mengatasi atau melawan stres tersebut gagal dan stres tetap ada, maka individu akan memasuki tahap kelelahan atau exhausted. Yaitu dimana kerusakan pada tubuh semakin meningkat seperti mudah pingsan dan rentan terhadap penyakit. (Nevid et al., 2003 :139)
13
2.
Faktor Lingkungan Banyak faktor baik besar maupun kecil yang dapat menghasilkan stres
dalam kehidupan, salah satunya yang terjadi pada mahasiswa. Kadang kala terdapat situasi dimana mahasiswa merasa begitu berat sehingga individu merasa tidak mampu lagi untuk menanganinya. Selain itu kemampuan individu dalam beradaptasi akan menjadi kelebihan beban pada suatu titik. Hal ini juga dapat terjadi pada pekerjaan. W.A. Gerungan (2004 : 60) menyebutkan bahwa penyesuaian diri adalah mengubah diri sesuai dengan keadaan lingkungan, tetapi juga mengubah lingkungan sesuai dengan keadaan (keinginan diri). Adapun istilah yang sering digunakan untuk beban yang terlalu berat di masa kini adalah burnout yaitu perasaan tidak berdaya,tidak memiliki harapan,yang disebabkan oleh stres akibat pekerjaan yang sangat berat. (Santrock, 2003 :560) Interaksi manusia dengan lingkungannya berhubungan erat dengan kesehatannya. Kondisi lingkungan yang sehat akan mendukung kesehatan bagi manusia, dan sebaliknya lingkungan yang tidak sehat akan dapat mengganggu kesehatannya termasuk dalam konteks kesehatan mental. Sebab hubungan manusia dengan lingkungannya diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidupnya. Supaya manusia dapat memanfaatkan lingkungan untuk menjalankan berbagai aktivitasnya. Lingkungan yang menjadi sistem pendorong kehidupan adalah
untuk
meningkatkan
kesehatan
(Notosoedirdjo & Latipun, 2007 : 138-139)
dan
aktivitasnya
sehari-hari.
14
3.
Faktor Kepribadian Belakangan ini para peneliti memusatkan perhatian mereka pada apa
yang disebut dengan pola tingkah laku tipe A ( type behaviour pattern) yaitu sekelompok karakteristik yang memiliki rasa kompetitif yang berlebihan, kemauan keras, tidak sabar, mudah marah, dan sikap bermusuhan yang dianggap berhubungan dengan masalah jantung. Individu yang bermusuhan dan pemarah sering diberi label dengan “reaktor panas” yang berarti mereka memiliki reaksi fisiologis yang kuat terhadap stres, detak jantungnya meningkat, pernafasannya menjadi cepat, dan otot-ototnya menegang yang pada akhirnya dapat menyebabkan penyakit jantung. Para peneliti Murray
dkk telah melakukan
pengujian terhadap pola tingkah laku tipe A pada anak- anak dan remaja. Mereka menemukan bahwa anak-anak dan juga remaja dengan pola tingkah laku tipe A memiliki lebih banyak penyakit seperti gejala radiovaskular, ketegangan otot dan gangguan tidur. Pada sebuah penelitian yang dilakukan pada 990 remaja, komponen pola tingkah laku tipe A yang dihubungkan dengan tingkat fungsi kompetensi yang rendah (harga diri rendah, standar prestasi yang rendah, dan locus of control eksternal ) adalah sikap tidak sabar dan rasa kompetitif yang agresif (Keltikangas Jarvinen & Raikkonnen ,1990) (dalam Santrock, 2003:562). 4.
Faktor Kognitif Apa yang dilihat individu sebagai sesuatu yang menimbulkan stres
tergantung pada bagaimana mereka menilai dan menginterpretasikan suatu kejadian secara kognitif. Pandangan ini telah dikemukakan dengan sangat jelas oleh seorang peneliti bernama Richard Lazarus(1996,1990,1993). Penilaian
15
kognitif (Cognitive Appraisal ) adalah istilah yang digunakan Lazarus untuk menggambarkan interpretasi individu terhadap kejadian- kejadian dalam hidup mereka sebagai sesuatu yang berbahaya,mengancam,atau menantang dan keyakinan mereka apakah mereka memiliki kemampuan untuk menghadapi suatu kejadian dengan efektif. Menurut pandangan Lazarus, bebagai kejadian dinilai melalui dua langkah yakni penilaiaan primer dan penilaian sekunder. (Santrock, 2002: 563) Pada penilaian primer, remaja cenderung mengartikan apakah suatu kejadian mengandung bahaya atau menjadi penyebab kehilangan serta menimbulkan suatu ancaman akan bahaya di masa depan atau sebagai tantangan yang harus dihadapi. Bahaya ( harm) adalah penilaian remaja terhadap kerusakan yang sudah diakibatkan oleh suatu kejadian. Sedangkan tantangan ( challenge) adalah penialaian remaja terhadap potensi untuk mengatasi situasi yang tidak menyenangkan akibat suatu kejadian dan mengambi keuntungan secara maksimal dari kejadian tersebut. Setelah melakukan penilaian secara kognitif terhadap
suatu
ditimbulkannya,
kejadian Lazarus
dari
bahaya,ancaman,atau
mengatakan
bahwa
tantangan
selanjutnya
mereka
yang akan
melakukan penilaian sekunder .(Santrock, 2003 : 563) Pada penilaian sekunder ( secondary appraisal ), remaja mengevaluasi potensi atau kemampuan mereka dan menentukan seberapa efektif potensi atau kemampuan mereka dapat digunaka untuk menghadapi suatu kejadian. Penilaian ini disebut dengan sekunder karena dilakukan setelah penilaian primer. Tergantung pada tingkatan bagaimana suatau kejadan dinilai. Apakah sebagai
16
bahaya, anacaman, atau tantangan yang harus dihadapi. Penanganannya pun meliputi suatu rentang yang luas terdiri dari strategi yang potensial, ketrampilan, dan kemauan untuk mengelola kejadian scara efektif. Lazarus percaya bahwa pengalaman stres remaja adalah keseimbangan antara penilaian primer dan sekunder. (Santrock, 2003 : 562) 5.
Faktor Sosial Budaya Beberapa diantara stres sosial budaya adalah masalah stres akulturatif
dan stres status sosial ekonomi. Akulturasi sendiri mengacu pada perubahan kebudayaan yang merupakan akibat dari kontak langsung yang sifatnya terus menerus, antara dua kelompok kebudayaan yang berbeda. Stres akulturatif adalah konsekuensi negatif dari akulturasi. Sementara status sosial ekonomi seringkali menyebabkan stres yang amat berat bagi remaja dan keluarganya. Kemiskinan juga berhubungan dengan kejadian yang mengancam dan tidak dapat dikendalikan dalam kehidupan remaja (Belle,1990) (dalam Santrock, 2003 : 563). Sosial budaya memiliki makna yang sangat luas, akan tetapi dalam konteks ini adalah kebudayaan yang ada pada masyarakat selalu mengatur bagaimana seseorang seharusnya melakukan sesuatu. Hubungan kebudayaan dengan kesehatan mental telah dikemukakan oleh Wallace (1963) yang meliputi tiga hal yaitu : kebudayaan yang mendukung dan menghambat kesehatan mental, kebudayaan memberi peran tertentu terhadap penderita gangguan mental, dan berbagai bentuk gangguan mental karena faktor kultural. Salah satu contoh gangguan mental karena faktor budaya adalah amok atau ngamok . ini adalah
17
psikosis yang ditandai oleh tindakan yang secara tiba-tiba mengamuk, berteriak, merusak, bahkan sampai membunuh. (Notosoedirdjo & Latipun, 2007 :133-135) 6.
Strategi Koping Richard Lazarus (dalam Santrock, 2003 : 566) percaya bahwa
penanganan stres atau coping terdiri dari dua bentuk. Yaitu coping yang berfokus pada masalah dan coping yang berfokus pada emosi. Coping yang berfokus pada masalah ( problem focused coping) adalah istilah Lazarus untuk strategi kognitif yang digunakan dalam penanganan stres. Atau coping yang digunakan oleh individu untuk menghadapi masalahnya dan berusaha menyelesaikannya. Sedangkan coping yang berfokus pada emosi (emotion focused coping ) adalah istilah Lazarus untuk strategi penanganan stres dimana individu memberikan respon terhadap situasi stres secara emosional, utamanya dengan melakukan penilaian defensif. Seseorang yang melakukan coping dengan fokus emosi cenderung menghindar
dan
melakukan
mekanisme
pertahanan
diri
dengan
merasionalisasikan apa yang terjadi, menyangkal atau menertawainya. Selain itu hal lainnya juga dapat digunakan dengan menggunakan strategi mendekat dan menghindar termasuk berpikir positif dan self efficicacy. S uasana hati yang positif dapat memperbaiki kemampuan remaja untuk memproses informasi secara lebih efisien, membuat mereka menjadi lebih altruistik, dan memberi mereka harga diri yang lebih baik. Sebaliknya, suasana hati yang negatif meningkatkan kemungkinan seseorang menjadi marah, merasa bersalah, dan memperbesar kesalahan mereka. (Santrock, 2003 : 566)
18
Gambarannya
menjelaskan
bahwa,
berpikir
positif
dan
negatif
merupakan bagian dari penanganan stres. Penelitian yang telah dilakukan (Kholidah & Alsa, 2012 :72-73) menemukan bahwa stres pada mahasiswa adalah ketegangan atau beban yang dirasakan mahasiswa karena tuntutan akademik, lingkungan sosial-budaya, penyesuaian diri dan sosial sebagai mahasiswa. Penelitian yang dilakukan secara eksperimen adalah untuk melihat efektifitas berfikir positif. Rerata gained score (presentase penurunan) antara skala tingkat stres pada mahasiswa akhir dengan skala tingkat stres pada mahasiswa awal pada kelompok eksperimen (-20,16%) lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol(-3,87%). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa: “Pelatihan berpikir positif efektif menurunkan tingkat stres pada mahasiswa secara signifikan”. Telah
diketahui
bahwa
strategi
yang
dapat
digunakan
seperti
menghilangkan stres, menurunkan mekanisme pertahanan, meningkatkan strategi penanganan stres yang berfokus pada masalah, berpikir positif dan mengikuti strategi self efficacy dapat membantu manangani stres yang dialami. Namun selain strategi tersebut para psikolog pun menemukan bahwa ada hal yang sangat bernilai dalam membantu menangani stres. Hal tersebut adalah sistem dukungan. Dinyatakan bahwa sistem dukungan sangat diperlukan untuk bertahan terhadap stres. Adanya keterikatan yang dekat dan positif dengan keluarga serta teman secara konsisten, ditemukan sebagai pertahanan yang baik terhadap stres dalam kehidupan. (East ,1989
19
2.1.3 Tanda dan Gejala Stres
Stres dapat mempengaruhi tubuh dan jiwa seseorang. Saat seseorang mengalami stres tubuh, jiwa dan perilaku individu akan menampakkan tandatanda dan gejala stres. Robbins (2009) menggambarkan suatu model yang dapat menggambarkan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap stress dan dampak yang ditimbulkan dari adanya stress tersebut. Model ini mengidentifikasikan tiga perangkat faktor yaitu lingkungan, organisasional, dan individual yang menjadi sumber potensial dari stress. Penderita yang mengalami stress dengan berbagai penyebabnya akan menimbulkan dampak yang bersifat fisiologis, psikologis, dan perilakunya. Tanda dan gejala fisik yang muncul akibat stres adalah mudah lelah, meningkatnya denyut jantung, insomnia, nyeri kepala, berdebar-debar, nyeri dada, napas pendek, gangguan lambung, mual, tremor, ekstremitas dingin,wajah terasa panas, berkeringat, sering flu, menstruasi terganggu, otot kaku dan tegang terutama pada bagian leher, bahu dan punggung. Tanda dan gejala psikologis stres: kecemasan, ketegangan, kebingungan dan mudah tersinggung, menangis tiba-tiba, perasaan frustrasi, rasa marah, dan dendam (kebencian), sensitif dan hyperreactivity, phobia, menarik diri dari pergaulan, menghindari kegiatan yang sebelumnya disenangi, dan kehilangan konsentrasi, kehilangan spontanitas dan kreativitas serta menurunnya rasa percaya diri. Tanda dan gejala perilaku dari stres adalah: gelisah, selalu mondarmandir, menurunnya prestasi (performance) dan produktivitas, meningkatnya penggunaan minuman keras dan obat-obatan, per ubahan pola makan mengarah ke
20
obesitas, perilaku makan yang tidak normal (kekurangan) sebagai bentuk penarikan diri dan kehilangan berat badan secara tiba-tiba, berjudi, meningkatnya agresivitas, vandalisme, dan kriminalitas, menurunnya kualitas hubungan interpersonal dengan keluarga dan teman serta kecenderungan untuk melakukan bunuh diri. Pengalaman stres sangat individual. Stresor yang sama akan dinilai berbeda oleh setiap individual. Demikian pula, gejala dan tanda-tanda stres akan berbeda pada setiap individu.
2.1.4
Tahapan Stres
Gejala-gejala stres pada seseorang seringkali tidak disadari karena perjalanan awal tahapan stres berjalan secara lambat dan baru dirasakan saat tahapan gejala sudah lanjut dan mengganggu fungsi kehidupannya seharihari. Dr. Robert J. Van Amberg membagi tahapan-tahapan stres sebagai berikut: (Hawari, 1995 : 50-53) 1. Stres tahap pertama (paling ringan), yaitu stres yang disertai perasaan nafsu bekerja yang besar dan berlebihan, mampu menyelesaikan pekerjaan tanpa memperhitungkan tenaga yang dimiliki, dan penglihatan menjadi tajam. 2. Stres tahap kedua, yaitu stres yang disertai keluhan, seperti bangun pagi tidak segar atau letih, lekas capek pada saat menjelang sore, lekas lelah sesudah makan, tidak dapat rileks, lambung atau perut tidak nyaman, jantung berdebar, otot tengkuk, dan punggung tegang. Hal tersebut karena cadangan tenaga tidak memadai.
21
3. Stres tahap ketiga, yaitu tahapan stres dengan keluhan, seperti defekasi tidak teratur (kadang-kadang diare), otot semakin tegang, emosional, insomnia, mudah terjaga dan sulit tidur kembali, bangun terlalu pagi dan sulit tidur kembali, koordinasi tubuh terganggu, dan mudah jatuh pingsan. 4. Stres tahap keempat, yaitu tahapan stres dengan keluhan, seperti tidak mampu bekerja sepanjang hari (loyo), aktivitas pekerja terasa sulit dan menjenuhkan, respons tidak adekuat, kegiatan rutin terganggu, gangguan pola tidur, sering menolak ajakan, konsentrasi dan daya ingat menurun, serta timbul ketakutan dan kecemasan. 5. Stres tahap kelima, yaitu tahapan stres yang ditandai dengan kelelahan fisik dan mental, ketidakmampuan menyelesaikan pekerjaan yang sedang dan ringan, gangguan pencernaan berat, meningkatnya rasa takut dan cemas, bingung, dan panik. 6. Stres tahap keenam (paling berat), yaitu tahapan stres dengan tanda-tanda seperti jantung berdebar keras, sesak napas, badan gemetar, dingin, dan banyak keluar keringat, loyo, serta pingsan atau collaps. 2.1.4 Tingkat Stres
Klasifikasi stres dibagi menjadi tiga tingkatan yaitu stres ringan, sedang dan berat. ( Potter dan Perry, 2005 ) 1) Stres ringan Pada tingkat stres ringan adalah stres yang tidak merusak aspek fisiologis dari seseorang. Stres ringan umumnya dirasakan oleh setiap orang misalnya lupa, ketiduran, dikritik, dan kemacetan. Stres ringan sering terjadi pada kehidupan
22
sehari-hari dan kondisi dapat membantu individu menjadi waspada. Situasi ini tidak akan menimbulkan penyakit kecuali jika dihadap i terus menerus. 2) Stres sedang Stres sedang terjadi lebih lama, dari beberapa jam hingga beberapa hari. Respon dari tingkat stres ini didapat gangguan pada lambung dan usus misalnya maag, buang air besar tidak teratur, ketegangan pada otot, gangguan pola tidur, perubahan siklus menstruasi, daya konsentrasi dan daya ingat menurun. Contoh dari stresor yang menimbulkan stres sedang adalah kesepakatan yang belum selesai, beban kerja yang berlebihan, mengharapkan pekerjaan baru, dan anggota keluarga yang pergi dalam waktu yang lama. 3) Stres berat Stres berat adalah stres kronis yang terjadi beberapa minggu sampai beberapa tahun. Respon dari tingkat stres ini didapat gangguan pencernaan berat, debar jantung semakin meningkat, sesak napas, tremor, persaan cemas dan takut meningkat, mudah bingung dan panik. Contoh dari stresor yang dapat menimbulkan stres berat adalah hubungan suami istri yang tidak harmonis, kesulitan finansial, dan penyakit fisik yang lama. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tingkatan stress ada 3,yaitu : stres ringan, stres sedang, dan stres berat. Masing – masing tingkatan stress memiliki dampak tanda dan gejala fisiologis serta psikologis yang berbeda.
2.1.5 Pengukuran Tingkatan Stres
Tingkat stres adalah hasil penilaian terhadap berat ringannya stres yang dialami seseorang. Tingkatan stress ini diukur dengan menggunakan Depression
23
Anxiety Stress Scale 42 (DASS 42) dari Lovibond & Lovibond (1995). Psychometric Properties of the Depression Anxiety Stress Scale 42 (DASS 42) terdiri 42 item pernyataan. DASS adalah seperangkat skala subjektif yang dibentuk untuk mengukur status emosional negatif dari depresi, kecemasan dan stres. DASS 42 dibentuk tidak hanya untuk mengukur secara konvensional mengenai status emosional, tetapi untuk proses yang lebih lanjut untuk pemahaman, pengertian, dan pengukuran yang berlaku di manapun dari status emosional, secara signifikan biasanya digambarkan sebagai stres. DASS dapat digunakan baik itu oleh kelompok atau individu untuk tujuan penelitian. DASS mempunyai tingkatan discrimant validity dan mempunyai nilai reliabilitas sebesar 0,91 yang diolah berdasarkan penilaian Cro nbach’s Alpha. Tingkatan stres pada instrumen ini berupa normal, ringan, sedang, berat, sangat berat. Psychometric Properties of The Depression Anxiety Stres Scale 42 (DASS)
terdiri
dari
42
item,
mencakup
3
subvariabel,
yaitu
fisik,
emosi/psikologis, dan perilaku. Jumlah skor dari pernyataan item tersebut, memiliki makna 0-29 (normal); 30-59 (ringan); 60-89 (sedang); 90-119 (berat); >120 (Sangat berat). Adapun alternatif jawaban yang digunakan dan skala penilaiannya adalah sebagai berikut:
24
Tabel 1. Skala Alternatif Jawaban
No
Alternatif Jawaban
Skor
1
Tidak Pernah
0
2
Kadang – kadang
1
3
Sering
2
4
Selalu
3
2.2 Insomnia 2.2.1
Definisi
Insomnia adalah ketidakmampuan untuk mencukupi kebutuhan tidur baik kualitas maupun kuantitas. Jenis insomnia ada 3 macam yaitu insomnia inisial atau tidak dapat memulai tidur,
insomnia intermitten
atau
tidak
bisa
mempertahankan tidur atau sering terjaga dan insomnia terminal atau bangun secara dini dan tidak dapat tidur kembali (Potter, 2010). Insomnia adalah gangguan tidur yang dialami oleh penderita dengan gejala selalu merasa letih dan lelah sepanjang hari dan secara terus-menerus (lebih dari sepuluh hari) mengalami kesulitan untuk tidur atau selalu terbangun ditengah malam dan tidak dapat kembali tidur (Yates, 2006).
25
2.2.2
Tanda dan Gejala
Beberapa gejala bagi penderita insomnia menurut Yates (2006) adalah sebagai berikut : 1. Anda sering tidak dapat tidur, tidur tidak nyenyak ataupun bangun terlalu dini. 2. Anda takut menghadapi malam hari karena anda susah sulit. 3. Anda mudah tersinggung atas hal yang tidak penting. 4. Anda mengkonsumsi obat tidur dalam beberapa bulan t erakhir. 5. Anda sering menggunakan rokok, alkohol atau obat-obatan untuk menenangkan diri dan membantu anda untuk tidur. 6. Anda kecanduan obat, terutama yang mengandung zat penenang. Beberapa orang yang hidup dengan insomnia kronis terkadang melihat sesuatu seolah-olah dalam gerakan lambat, dan objek yang bergerak terlihat campur aduk, bahkan menyebabkan penglihatan ganda. Biasanya, insomnia kronis juga disertai keluhan nyeri kepala (Purwanto, 2008). Adapun tanda umumnya adalah: 1.
Adanya gangguan tidur yang bervariasi dari ringan sampai parah
2.
Sulit jatuh kedalam fase tidur
3.
Sering terbangun di malam hari
4.
Saat terbangun sulit untuk tidur kembali
5.
Terbangun terlalu pagi
6.
Terbangun terlalu cepat
7.
Tidur yang tidak memulihkan
26
8.
Pikiran seolah dipenuhi berbagai hal
9.
Selalu kelelahan di siang hari
10. Penat 11. Mengantuk 12. Sulit Berkonsentrasi 13. Lekas marah/emosi 14. Merasa tidak mendapat tidur yang cukup 15. Sering sakit / nyeri kepala 2.2.3 Faktor Penyebab
Menurut Khomsan (2009) mengatakan beberapa faktor penyebab insomnia adalah : 1.
Kondisi kejiwaan seperti stress atau gangguan fisik disekitarnya.
2.
Tidur siang yang berlebihan.
3.
Lingkungan fisik berupa suara bising didekat tempat tinggal seperti bunyi mesin pabrik atau kereta api yang melintas.
4.
Suhu lingkungan yang terlalu panas atau dingin, dan juga perubahan suasana lingkungan.
5.
Terlalu banyak minum kopi atau minuman berkafein, mengisap rokok, atau minum minuman beralkohol menjelang tidur. Kafein dapat meningkatkan denyut jantung, alkohol menguras vitamin B yang mendukung sistem saraf dan nikotin bersifat neurostimulan yang justru membangkitkan semangat.
6.
Kurang olahraga
27
Dalam tidur secara higienis, olahraga sanagt berpengaruh terhadap pola tidur yang berkualitas. Kurangnya olahraga merupakan salah satu faktor sulitnya tidur yang cukup signifikan. 2.2.4 Jenis-Jenis Insomnia
1. Menurut Khomsan (2009) : Ada insomnia jangka pendek, sulit tidur 2-4 minggu, insomnia transient yang berlangsung beberapa hari, dan terakhir adalah insomnia kritis atau kronis sebagai insomnia paling parah karena penderitanya selama sebulan atau lebih tidak bisa tidur pada sebagian besar malam. 2. Menurut Purwanto (2008) yaitu: a. Insomnia Sementara (transient ) Yakni insomnia yang berlangsung beberapa malam dan biasanya berhubungan dengan kejadian tertentu yang berlangsung sementara dan biasanya menimbulkan stress dan dapat dikenali dengan mudah oleh pasien sendiri. Gejala pada insomnia sementara adalah Sulit tidur di malam hari, bangun pada malam hari, bangun lebih awal dari yang diinginkan. b. Insomnia Jangka Pendek Yakni gangguan tidur yang terjadi dalam jangka waktu dua sampai tiga minggu. Kedua jenis insomnia ini biasanya menyerang orang yang sedang mengalami stress, berada di lingkungan yang ramai. Gejala dalam insomnia jangka pendek adalah masih merasa lelah setelah tidur semalam, mengantuk seharian, cepat marah, cemas,
28
tidur yang tidak nyenyak dan sering terganggu, pikiran seolah dipenuhi berbagai hal. c. Insomnia Kronis Kesulitan tidur yang dialami hampir setiap malam selama sebulan atau lebih. Salah satu penyebab insomnia kronik yang paling umum adalah depresi. Gejala pada insomnia ini ditandai dengan sulit untuk jatuh dalam tidur, sering marah dan emosi, sering terbangun dan tidak bisa tidur lagi, terasa letih dan mengantuk pada siang hari. 2.2.5 Faktor Resiko
Richard Lazarus (dalam Santrock, 2003 : 568) Mengungkapkan bahwa hampir setiap orang memiliki kesulitan untuk tidur pada malam hari tetapi resiko insomnia meningkat jika terjadi pada: 1.
Wanita. Perempuan lebih mungkin mengalami insomnia. Perubahan hormon selama siklus menstruasi dan menopause mungkin memainkan peran. Selama menopause, sering berkeringat pada malam hari dan hot flashes sering mengganggu t idur.
2.
Usia lebih dari 60 tahun. Karena terjadi perubahan dalam pola tidur, insomnia meningkat sejalan dengan usia.
3.
Memiliki gangguan kesehatan mental. Banyak gangguan, termasuk depresi, kecemasan, gangguan bipolar dan post-traumatic st ress disorder, mengganggu tidur.
29
4.
Stres. Stres dapat menyebabkan insomnia sementara, stress jangka panjang seperti kematian orang yang dikasihi atau perceraian, dapat menyebabkan insomnia kronis. Menjadi miskin atau pengangguran juga meningkatkan risiko terjadinya insomnia.
5.
Perjalanan jauh (Jet lag) dan Perubahan jadwal kerja. Bekerja di malam hari sering meningkatkan resiko insomnia.
2.2.6 Pengukuran Insomnia
Kuesioner KSPBJ-IRS (Kelompok Studi Psikiatri Biologik JakartaInsomnia Rating Scale) digunakan untuk mengukur masalah insomnia secara terperinci. Kuesioner KSPBJ-IRS berupa daftar pertanyaan mengenai kesulitan untuk memulai tidur, terbangun pada malam hari, terbangun lebih awal atau dini hari, merasa mengantuk pada siang hari, sakit kepala pada siang hari, merasa kurang puas terhadap tidur, merasa gelisah atau kurang nyaman saat tidur, mendapatkan mimpi buruk, badan terasa lemah, letih, kurang tenaga setelah tidur, jadwal jam tidur sampai bangun tidak beraturan, tidur 6 jam dalam semalam. Peneliti memilih Kuesioner KSPBJ-IRS sebagai instrumen penelitian karena instrumen KSPBJ-IRS memiliki 11 pertanyaan yang dirasakan telah memenuhi kriteria insomnia dan tidak memberatkan responden dalam menjawab kuesioner insomnia. Kuesioner lain yang ditemukan peneliti seperti Pittsburg Slepp Quality Index (PSQI) kuesioner ini memiliki lebih banyak pertanyaan sehingga dirasa dapat memberatkan responden penelitian.
30
2.3 Hubungan antara Stres dengan Insomnia
Stres pada mahasiswa kedokteran merupakan suatu fenomena yang dapat ditemui di berbagai dunia. Studi pada negara di Asia seperti di Thailand dan Malaysia telah melaporkan stres di kalangan mahasiswa. Di Malaysia tingkat stres pada mahasiswa mencapai 41,9%. Di Thailand tingkat stres pada mahasiswa kedokteran mencapai 61,4%.31-32 Tingkat stres berbanding lurus dengan tingkat insomnia. Menurut Rafknowledge (2004) semakin tinggi tinggakt stres pada seseorang maka kebutuhan tidur akan berkurang. Dr. Nino Murcia di Stanford AS mengatakan hal ini disebabkan oleh keregangan pikiran seseorang terhadap sesuatu yang kemudian mempengaruhi sistem syaraf pusat (SSP) sehingga kondisi fisik senantiasa terjaga. Stres akan mempengaruhi kerja daerah Raphe nucleus, yaitu daerah yang mengatur proses emosi yang ternyata memberi dampak terhadap daerah hypotalamus di otak tepatnya di SCN (Supra Chiasmatic Nucleus) yaitu daerah dimana proses tidur terjadi sehingga meningkatkan aktivitas di daerah SCN dan mengakibatkan proses tidur terganggu. Selain itu stres juga menghambat kerja kelenjar pinealis untuk mengeluarkan hormon melatonin yang di perlukan untuk tidur normal. Problem-problem
akademik,
psikososial,
perubahan
situasi
dan
lingkungan dan problem lain yang berkaitan dengan kesehatan dapat menjadi stresor pada mahasiswa. Stresor-stresor tersebut menuntut mahasiswa untuk menyesuaikan diri. Mahasiwa yang gagal menyesuaikan diri dengan stresor tersebut akan mengalami stres dan dapat menyebabkan mahasiswa menjadi insomnia.
BAB III KERANGKA KONSEP
3.1 Kerangka Konsep
Kerangka konsep merupakan justifikasi ilmiah terhadap penelitian yang dilakukan dan member landasan kuat terhadap topik yang dipilih sesuai dengan identifikasi masalahnya ( Hidayat, 2014). Variabel Independent
Variabel Dependent
Tingkat Stres
Kejadian Insomnia
Ringan
Sedang
Berat
Tidak Insomnia Insomnia
Penelitian ini akan meneliti tingkat stress yang dialami mahasiswa yang menyelesaikan skripsi. Tingkat stress dikategorikan menjadi tiga yaitu tingkat stress ringan, sedang, dan berat. Hasil dari penelitian tingkat stress dijadikan sebagai variable bebas (independent ) yang mempengaruhi kejadian insomnia pada mahasiswa yang menyelesaikan skripsi. Kejadian insomnia pada mahasiswa yang menyelesaikan skripsi dijadikan variable terkait (dependent). Variable terkait ini akan dibagi menjadi dua kategori, yaitu tidak mengalami insomnia dan mengalami insomnia. Data mengenai kedua variabel dianalisis untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara variabel bebas dengan variabel terkait.
31
32
3.2 Variabel Penelitian dan Definisi Oprasional
Gambaran mengenai variabel penelitian dapat diperoleh melalui kerangka konsep yang dikategorikan kedalam kelompok independent dan dependent. 3.2.1 Variabel Bebas ( independent )
Variabel independen merupakan variabel yang menjadi sebab perubahan atau timbulnya variabel dependen atau variabel terkait (Hidayat, 2014). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah tingkat stress. 3.2.2 Variabel Terkait ( Dependent )
Variabel terkait ( Dependent ) merupakan variabel yang dipengaruhi atau menjadi akibat karena variabel bebas (Hidayat, 2014). Variabel terkait dalam penelitian ini adalah kejadian insomnia. 3.2.3 Definisi Oprasional
Definisi oprasional adalah mendefinisikan variabel secara oprasional berdasarkan karakteristik yang diamati, sehingga memungkinkan peneliti untuk melakukan observasi atau pengukuran secara cermat terhadap suatu obyek atau fenomena. Definisi oprasional ditentukan berdasarkan parameter yang dijadikan ukuran dalam penelitian. Sedangkan cara pengukuran merupakan cara dimana variabel dapat diukur dan ditentukan karakteristiknya (Hidayat, 2014). Definisi oprasional penelitian ini adalah sebagai berikut: Tabel 3.2.3 Definisi Oprasional Hubungan Tingkat Stres Dengan Kejadian
Insomnia Pada Mahasiswa Semester VIII Dalam Menyelesaikan Tugas Akhir Skripsi Di STIKes Buleleng.
33
No Variabel
Definisi
Parameter
Penelitian Oprasional 1
Tingkat Stres
2
Kejadian Insomnia
Tingkat Stres adalah penilaian terhadap tinggi rendah stres yang dialami seseorang berdasarkan alat ukur yang dipakai. Tingkat stres ditentukan dengan mengisi Kuesioner Depression Anxiety Stres Scale 42 (DASS 42) dari Lovibond (1995).Kuesioner sebanyak 42 pertanyaan. Skoring menggunakan skala yang ditetapkan dalam alat ukur DASS yaitu: Normal: 029 , Ringan: 3059, Sedang: 6089, Berat: 90119, Sangat Berat: >120 Kejadian insomnia adalah skor yang diperoleh dari responden yang telah menjawab pertanyaan pertanyaan pada KSPBJ-IRS (Kelompok Studi
Alat Ukur
Responden
Lembar
mampu
kuisioner
Skala
Hasil Ukur
Ordinal Normal: 0-29
menjawab
Ringan:
pertanyaan
30-59
tentang
Sedang:
penilaian
60-89
tingkat
Berat:
stress
90-119 Sangat Berat: >120
Responden mampu menjawab pertanyaan Tentang kejadian
Lembar
1 Ordinal Skor :11-19: Kuisioner tidak ada keluhan insomnia, Skor 2: 20-27: insomnia ringan,
34
Psikiatri insomnia Biologik Jakarta Insomnia Rating Scale), yang terdiri dari 11 komponen yaitu : kesulitan untuk memulai tidur, terbangun pada malam hari, terbangun lebih awal atau dini hari, merasa mengantuk pada siang hari, sakit kepala pada siang hari, merasa kurang puas terhadap tidur, merasa gelisah atau kurang nyaman saat tidur, mendapatkan mimpi buruk, badan terasa lemah, letih, kurang tenaga setelah tidur, jadwal jam tidur sampai bangun tidak beraturan, tidur 6 jam dalam semalam. Skor 1 :11-19: tidak ada keluhan insomnia, Skor 2: 20-27: insomnia ringan, Skor 3: 28-36: insomnia berat, Skor 4: 37-44: insomnia sangat berat
Skor 3: 28-36: insomnia berat, Skor 4: 37-44: insomnia sangat berat
35
3.3 Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah jawaban sementara dari rumusan masalah atau pertanyaan penelitian, atau bisa dikatakan sebagai suatu
pernyataan asumsi
tentang hubungan antara dua atau lebih variabel yang diharapkan bisa menjawab suatu pertanyaan dalam penelitian (Nursalam, 2014).
3.3.1 Hipotesis Nol ( Ho)
Hipotesis nol (Ho) adalah hipotesis yang digunakan untuk pengukuran statistik dan interpretasi hasil statistik (Nursalam, 2014). Hipotesis Nol dari penelitian ini adalah tidak ada hubungan 3.2.2 Hipotesis Alternatif (Ha/H1)
Hipotesis Ha/H1 adalah hipotesis penelitian. Hipotesis ini menyatakan adanya suatu hubungan, pengaruh, dan perbedaan antara dua atau lebih variabel (Nursalam, 2014). Hipotesis alternatif dalam penelitian ini adalah ada hubungan.
36
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, A. B. (2007). Mengatasi Stres Anak : Melalui Kasih Sayang Orang Tua. Jakarta: Restu Agung. Ema, A. M., Kusuma, F. H. D., & Widiani, E. (2017). Hubungan Tingkat Stres Dengan Kejadian Insomnia Pada Remaja Pengguna Media Sosial Di Mts Muhammadiyah I Malang. Nursing News : Jurnal Ilmiah Mahasiswa Keperawatan, Gerungan, W. A. (2004). Psikologi Sosial. Bandung: PT Refika Aditama. Goliszek, A. (2005). 60 Second Manajemen Stres. Jakarta: PT Buana Ilmu Populer. Hawari, D.(1995). Manajemen stres, cemas dan depresi. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. Hidayat, A. A. (2014). Konsep stres dan adaptasi stres. Jakart a : Salemba. Keliat, B. A., 1998, Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : EGC Kholidah, E. N., & Alsa, A. (2012). Berpikir Positif untuk Menurunkan Stres Psikologis. Jurnal Psikologi Volume 39(1), 67 – 75. Khomsan, Ali. (2009). Terapi gizi Untuk Insomnia, Depkes Ri, Jakarta. Diakses Pada Tanggal 20 Oktober 2018. Lazarus, Richard S., & Folkman, Susan. 1966. Stress, Appraisal, and Coping. New York: Springer Publishing Company Lumbantobing, S.M.(2010).Gangguantidur. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Nevid, J. S., Rathus, S. A., & Grenee, B. (2003). Psikologi Abnormal. Jakarta: Erlangga. Notosoedirdjo, M., & Latipun. (2007). Kesehatan Mental. Malang: UMM Press. Nursalam.(2014).
Konsep
Dan
Penerapan
Metodologi
Penelitian
Ilmu
Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika Potter dan Perry. (2006). Buku ajar fundamental keperawatan volume 2.Edisi 4, Jakarta : EGC Potter, P. A., & Perry, A. G. (2010). Bukuajar fundamental keperawatan: konsep proses danpraktik. Jakarta: EGC. Purwanto, S. (2008). Mengatasi Insomnia dengan Terapi Relaksasi. Jurnal Kesehatan vol no 2 : Universitas Muhammadiyah Surakarta. Qimy. (2009). Gangguan Pola Tidur. http;//www.kaltimpost.co.id . (20-10-2018, 8:01 pm) Rafknowledge (2004). Insomnia dan Gangguan Tidur Lainnya. Jakarta : PT. Alex Media Komputindo. Rahmat, D.,Hidayat. 2009. Bimbingan Konseling Kesehatan Mental Di Sekolah. Jakarta : Rosda Robbins, Stephen P. dan Judge, Timothy A. Organizational Behavior. 13 th Edition. Pearson Education, Inc., Upper Saddle River, New Jerse y. 2009 Santrock, J.W. (2003). Adolescence Perkembangan Remaja. Jakarta: Erlangga. Tesa Dwi Ramdhayani Putri. (2014). Relationship Stress toward Insomnia Incidence in 2010 Colleger who doing their script in Medicine Faculty Tanjungpura University Pontianak.