iv
54
1
9
30
35
43
64
2
2
2
HUBUNGAN PENGETAHUAN PRODUSEN LONTONG TERHADAP PENGGUNAAN BORAKS DI BANYU URIP,
KELURAHAN KUPANG KRAJAN, KECAMATAN SAWAHAN,
KOTA SURABAYA
KARYA TULIS ILMIAH
Oleh :
ALIFFAH NURRIA NASTITI
NIM. P27835112017
JURUSAN GIZI
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN SURABAYA
TAHUN 2015
HUBUNGAN PENGETAHUAN PRODUSEN LONTONG TERHADAP PENGGUNAAN BORAKS DI BANYU URIP,
KELURAHAN KUPANG KRAJAN, KECAMATAN SAWAHAN,
KOTA SURABAYA
Untuk memperoleh gelar Ahli Madya Gizi (Amd.Gz)
pada Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan Kemenkes Surabaya
HALAMAN JUDUL
Oleh :
ALIFFAH NURRIA NASTITI
NIM. P27835112017
JURUSAN GIZI
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN SURABAYA
TAHUN 2015
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TULIS ILMIAH
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa Karya Tulis Ilmiah dengan Judul :
HUBUNGAN PENGETAHUAN PRODUSEN LONTONG TERHADAP PENGGUNAAN BORAKS DI BANYU URIP,
KELURAHAN KUPANG KRAJAN, KECAMATAN SAWAHAN,
KOTA SURABAYA
Bukan merupakan tiruan atau duplikasi dari penelitian lain yang sudah dipublikasikan atau pernah dipakai untuk mendapatkan gelar di lingkungan Perguruan Tinggi atau Instansi manapun, kecuali bagian yang sumber informasinya dicantumkan sebagaimana mestinya.
Surabaya, Juli 2015
Aliffah Nurria Nastiti
NIM. P27835112017
LEMBAR PERSETUJUAN
Karya Tulis Ilmiah ini telah diperiksa dan disetujui untuk diujikan dihadapan Tim Penguji Karya Tulis Ilmiah Jurusan Gizi Politeknik Kementerian Kesehatan Surabaya.
Surabaya, Juli 2015
Pembimbing Utama
Taufiqurrahman, SKM, MPH
NIP. 19711105 199103 1 002
Pembimbing Pendamping
Melina Sari, S.TP, M.Si
NIP. 19861113 201402 2 003
Mengetahui,
Ketua Jurusan Gizi
Dian Shofiya, SKM., M.Kes.
NIP. 19680928 199203 2 001
HUBUNGAN PENGETAHUAN PRODUSEN LONTONG TERHADAP PENGGUNAAN BORAKS DI BANYU URIP,
KELURAHAN KUPANG KRAJAN, KECAMATAN SAWAHAN,
KOTA SURABAYA
HALAMAN PENGESAHAN
KARYA TULIS ILMIAH
Karya Tulis ini telah dipertahankan dan diterima sebagai salah satu syarat
untuk mendapatkan gelar AHLI MADYA GIZI
di Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan Kemenkes Surabaya
Pada tanggal, Agustus 2015
Disusun oleh :
ALIFFAH NURRIA NASTITI
NIM . P27835112017
Menyetujui,
Eny Sayuningsih, SKM, M.Kes (Ketua Penguji) : ................
Melina sari, STP, M.Si (Anggota Penguji I) : ...............
Taufiqurrahman, SKM, MPH (Anggota Penguji II) : ...............
Surabaya, Agustus 2015
Mengesahkan,
Ketua Jurusan Gizi
Dian Shofiya, SKM., M.Kes.
NIP. 19680928 199203 2 001
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kehadirat Allah SWT, karena atas ridha-Nya Karya Tulis Ilmiah ini selesai disusun. Karya Tulis Ilmiah ini disusun sebagai syarat kelulusan.
Saya menyadari bahwa dalam penulisan Karya Tulis Ilmiah ini banyak mendapat bantuan, motivasi, masukan-masukan di samping fasilitas lainnya dari berbagai pihak. Sehubungan dengan itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada:
drg. Bambang Hadi Sugito, M.Kes, selaku Direktur Politeknik Kesehatan Kemenkes Surabaya.
Ibu Dian Shofiya, SKM., M.Kes, selaku ketua Jurusan Gizi Poltekkes Kemenkes Surabaya.
Selaku pembimbing utama Bapak Taufiqurrahman, SKM, MPH yang telah membimbing penulis dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini, sehingga Karya Tulis Ilmiah ini dapat diselesaikan.
Selaku pembimbing pendamping Ibu Melina Sari, S.TP, M.Si yang telah membimbing penulis dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini, sehingga Karya Tulis Ilmiah ini dapat diselesaikan.
Ibu Eny Sayuningsih, SKM, M.Kes selaku ketua penguji yang telah memberikan masukan dan sarannya agar Karya Tulis Ilmiah ini menjadi lebih baik.
Ketua Paguyuban Kampung Lontong Banyu Urip Surabaya, yang telah membantu dan memberikan izin untuk melakukan penelitian.
Para dosen dan teman-teman Angkatan II beserta adik-adik angkatan III dan IV yang selalu mendukung, memberi semangat, dan juga mendoakan.
Ayah, ibu, kakak, adik, serta keluarga besar saya yang selalu mendukung dan mendoakan saya.
Teman–teman GAMMAZI serta teman-teman SKIP_BEM yang selalu memberi semangat dalam menyelesaikan proposal penelitian ini.
Dan semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan proposal penelitian ini.
Saya menyadari bahwa dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik sangat diharapkan demi kesempurnaan Karya Tulis Ilmiah ini.
Surabaya, Juli 2015
Penulis
HUBUNGAN PENGETAHUAN PRODUSEN LONTONG TERHADAP PENGGUNAAN BORAKS DI BANYU URIP,
KELURAHAN KUPANG KRAJAN, KECAMATAN SAWAHAN,
KOTA SURABAYA
( Studi Kualitatif di Banyu Urip, Kelurahan Kupang Krajan, Kecamatan Sawahan )
(Aliffah Nurria Nastiti)
ABSTRAK
Penyalahgunaan boraks pada makanan semakin banyak ditemukan, salah satunya penggunaan boraks pada lontong. Larangan penggunaan boraks telah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan N0.033/Permenkes/VII/2012. Analisis penggunaan boraks pada lontong di Banyu Urip, Kelurahan Kupang Krajan, Kecamatan Sawahan, Surabaya dilakukan terhadap 13 sampel produsen dan produknya.
Penelitian ini merupakan penelitian analitik menggunakan metode cross sectional. Populasi yang digunakan adalah seluruh rumah produksi lontong di Kelurahan Kupang Krajan dan diambil sampel disampling sebanyak 13 responden dengan menggunakan sistem random sampling. Pengujian kandungan kualitatif menggunakan uji kertas turmerik. Metode pengumpulan data tingkat pengetahuan produsen dengan wawancara, dan dokumentasi.
Hasil wawancara produsen menunjukkan sebanyak 92,30 % responden memiliki tingkat pengetahuan sedang, dan 7,7% responden memiliki tingkat pengetahuan baik tentang cara pembuataun lontong yang baik. Sedangkan pengetahuan produsen terhadap boraks didapatkan sebanyak 92,30 % responden memiliki tingkat pengetahuan sedang, dan 7,7% responden memiliki tingkat pengetahuan baik . Uji turmerik sampel lontong dari 13 sampel menunjukkan 100 % negatif mengandung boraks. Dari hasil uji statistik Korelasi Spearman diketahui bahwa terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan produsen tentang boraks dan penggunaan boraks pada produk lontong (p=0,00 < α=0,05). Namun tidak dapat diketahui besarnya nilai korelasi dikarenakan data hasil analisa boraks bersifat konstan.
Kata Kunci: lontong, boraks, pengawet, kurkumin
CORRELATION OF LONTONG PRODUCERS' KNOWLEDGE ON THE USE OF BORAX IN BANYU URIP, KUPANG KRAJAN, SAWAHAN, SURABAYA
(Qualitative Study in Banyu Urip, Kupang Krajan, Sawahan, Surabaya)
Aliffah Nurria Nastiti
Abstract
Abuse of borax in food is increasingly found, one of them is the use of borax on Lontong. Interdiction the use of borax has been stipulated in the Regulation of Health Ministry N0.033 / Permenkes / VII / 2012. Analysis of the use of borax on Lontong at Banyu Urip, Kupang Krajan, Sawahan, Surabaya is conducted on 13 samples of producers and products.
This study is an analytic research that uses cross sectional method. The population used is all of the Lontong houses' production in Kupang Krajan and the samples taken is as many as 13 respondents by using a random sampling system. The qualitative content is tested by turmerik paper test. Data collection Methods of producers' knowledge level are by having interview and documentation.
Interview results on producers shows as much as 92.30% of respondents having moderate knowledge level and 7.7% of respondents having a good level on how to make good Lontong. While producers' knowledge on borax is obtained as much as 92.30% of respondents having moderate knowledge level and 7.7% of respondents having good knowledge level
Turmerik test on 13 samples of Lontong showed 100% negative containing borax. From the results of Spearman correlation statistical test is known that there is a correlation between the level of producers' knowledge about borax and the use of borax to Lontong/ rice cake (p = 0.00 <α = 0.05). But the magnitude of the correlation value cannot be known because the data analysis result of borax is constant.
Keywords: Lontong (Rice Cake), Borax, Preservatives, Curcumin
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TULIS ILMIAH ii
LEMBAR PERSETUJUAN iii
HALAMAN PENGESAHAN iv
KATA PENGANTAR v
ABSTRAK vii
DAFTAR ISI ix
DAFTAR TABEL xii
DAFTAR GAMBAR xiii
DAFTAR LAMPIRAN xiv
BAB 1 PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Identifikasi Masalah 5
1.3 Rumusan Masalah 6
1.4 Tujuan Penelitian 7
1.4.1 Tujuan Umum 7
1.4.2 Tujuan Khusus 7
1.5 Manfaat Penelitian 7
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 9
2.1 Lontong 9
2.2 Pengetahuan 9
2.3 Sikap 12
2.4 Perilaku 14
2.5 Pangan dan Keamanan Pangan 16
2.5.1. Bahan Tambahan Pangan (BTP) 18
2.6 Boraks 22
2.6.1. Sifat Boraks 25
2.6.2. Kegunaan Boraks 25
2.6.3. Penyalahgunaan boraks 26
2.7 Dampak konsumsi boraks 26
BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN 30
3.1 Kerangka Konseptual 30
3.2 Kerangka Operasional 32
3.3 Hipotesis 34
BAB 4 METODE PENELITIAN 35
4.1 Jenis Penelitian 35
4.2 Waktu dan Tempat Penelitian 35
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian 36
4.3.1 Populasi 36
4.3.2 Sampel 36
4.3.3 Teknik Pengambilan Sampel 37
4.4 Variabel dan Definisi Operasional Variabel 37
4.4.1 Variabel Penelitian 37
4.4.2 Definisi Operasional 38
4.5 Teknik Pengumpulan Data 38
4.5.1 Metode Pengumpulan Data 38
4.5.2 Jenis Data dan Sumber Data 39
4.6 Instrumen Pengumpulan Data 39
4.6.1 Instrumen Kesediaan dan identitas responden 40
4.6.2 Pedoman Wawancara 40
4.6.3 Uji Turmerik 41
4.7 Teknik Analisis Data 41
BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 43
5.1 Hasil 43
5.1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian 43
5.1.2 Karakteristik Responden 44
5.1.3 Tingkat pengetahuan responden tentang proses pembuatan lontong di Kelurahan Kupang Krajan, Kecamatan Sawahan, Surabaya. 47
5.1.4 Tingkat pengetahuan produsen tentang boraks atau senyawanya pada produsen lontong Kelurahan Kupang Krajan, Kecamatan Sawahan. 48
5.1.5 Analisa Kandungan boraks secara kualitatif pada sampel lontong responden di Banyu urip, Kelurahan Kupang Karajan, Sawahan, Surabaya. 49
5.1.6 Hubungan tingkat pengetahuan produsen lontong terkait boraks terhadap pengunaan boraks atau senyawanya. 50
5.2 Pembahasan 51
5.2.1 Karakteristik Responden. 51
5.2.2 Tingkat pengetahuan responden tentang proses pembuatan lontong di Kelurahan Kupang Krajan, Kecamatan Sawahan, Surabaya. 54
5.2.3 Tingkat pengetahuan produsen tentang boraks atau senyawanya pada produsen lontong Kelurahan Kupang Krajan, Kecamatan Sawahan. 55
5.2.4 Analisa Kandungan boraks secara kualitatif pada sampel lontong responden di Banyu urip, Kelurahan Kupang Karajan, Sawahan, Surabaya. 57
5.2.5 Hubungan tingkat pengetahuan produsen lontong terkait boraks terhadap pengunaan boraks atau senyawanya. 58
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 61
6.1 Kesimpulan 61
6.2 Saran 62
DAFTAR PUSTAKA 63
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Bahan Tambahan Pangan yang Diizinkan ....................................20
Tabel 2.2 Bahan Tambahan Pangan yang Dilarang ...................................... 22
Tebel 4.1 Definisi Operasional ...................................................................... 38
Tabel 4.2 Sumber data Penelitian ................................................................... 39
Tabel 5.1 Distribusi responden produsen lontong berdasarkan usia di Banyu Urip, Kelurahan Kupang Krajan, Kec. Sawahan, Kota Surabaya tahun 2015 ................................................................... 45
Tabel 5.2 Distribusi responden produsen lontong berdasarkan pendidikan terakhir di Banyu Urip, Kelurahan Kupang Krajan, Kec. Sawahan, Kota Surabaya tahun 2015 .......................................... 45
Tabel 5.3 Distribusi responden produsen lontong berdasarkan lama usaha di Banyu Urip, Kelurahan Kupang Krajan, Kec. Sawahan, Kota Surabaya tahun 2015 ................................................................... 46
Tabel 5.4 Distribusi lokasi penjualan responden produsen lontong di Banyu Urip, Kelurahan Kupang Krajan, Kec. Sawahan, Kota Surabaya tahun 2015 ................................................................... 46
Tabel 5.5 Distribusi responden produsen lontong berdasarkan tingkat pengetahuan di Banyu Urip, Kelurahan Kupang Krajan, Kec. Sawahan, Kota Surabaya tahun 2015 ......................................... 47
Tabel 5.6 Distribusi responden produsen lontong berdasarkan tingkat pengetahuan terhadap boraks dan senyawanya di Banyu Urip, Kelurahan Kupang Krajan, Sawahan, Surabaya tahun 2015 ....... 49
Tabel 5.7 Kandungan boraks pada sampel lontong responden di Banyu Urip, Kelurahan Kupang Krajan, Kec. Sawahan, Kota Surabaya tahun 2015 ..................................................................................... 49
Tebel 5.8 Distribusi Skor Tingkat Pengetahuan dan Hail Uji Laboratorium Senyawa Boraks Pada Sampel Lontong ........................................50
Tabel 5.6 Tabulasi Silang Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Kandungan senyawa boraks pada sampel lontong ............................................50
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Rumus Bangun Boraks 24
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Form Permohonan Menjadi Responden 65
Lampiran 2. Lembar Persetujuan Menjadi Responden . .. 66
Lampiran 3. Identitas Responden 67
Lampiran 4. Contoh pengisian Lembar Persetujuan Menjadi Responden 68
Lampiran 5. Contoh pengisian Identitas Responden 69
Lampiran 6. Pedoman Wawancara 70
Lampiran 7. Metode Uji Turmerik 72
Lampiran 8. Data Identitas Responden 74
Lampiran 9. Rekapitulasi Skor Tingkat Pengetahuan Tentang Cara Produksi Lontong dan Pengetahuan tentang Boraks 75
Lampiran 10. Kategori Penilaian 76
Lampiran 11. Pengamatan Fisik Lontong 77
Lampiran 12. Uji Daya Simpan 79
Lampiran 13. Prosedur Pembuatan Lontong 80
Lampiran 14. Hasil Uji Statistik menggunakan SPSS 81
Lampiran 15. Dokumentasi Analisa Kualitatif metide Uji Turmerik 82
BAB 1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Menurut pasal 1 UU RI No. 7 tahun 1996 tentang Pangan, Keamanan pangan adalah kondisi yang diperlukan untuk mencegah pangan dari pemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda asing lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Keamanan pangan juga mencakup aspek yang lebih luas karena cemaran pada bahan dan produk pangan dapat dijumpai mulai dari ladang (panen) sampai penyajian pada konsumen. Keamanan pangan tidak dapat diwujudkan hanya dengan mengandalkan teknologi, namun sangat ditentukan oleh kualitas lingkungan serta kondisi sistem industri yang memproduksinya (Winarno, 1997).
Pangan yang aman serta bermutu dan bergizi tinggi sangat penting peranannya bagi pertumbuhan, pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan serta peningkatan kecerdasan masyarakat (Saparinto dan Hidayati, 2006). Makanan yang kita makan sehari-hari tentu saja juga mempunyai resiko menjadi tidak aman untuk dikonsumsi, karena kemungkinan dicemari bahan-bahan yang berbahaya, salah satunya adalah cemaran kimia.
Keamanan pangan dapat dipengaruhi oleh penggunaan Bahan Tambahan Pangan (BTP). Latar belakang penggunaan BTP bagi produsen antara lain: untuk memenangkan persaingan dengan rekan bisnisnya, untuk menekan biaya produksi, untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya serta untuk memperbaiki karekter pangan agar memiliki kualitas yang meningkat. Menurut Winarno (1993), faktor lain yang juga berperan penting dalam pemilihan makanan yang akan dikonsumsi adalah faktor kenikmatan disamping rasa, warna, serta tekstur.
Masalah keamanan pangan perlu ditangani secara bersama baik oleh pemerintah, produsen, maupun konsumen. Produsen pangan bertanggung jawab untuk mengendalikan keamanan pangan yang dihasilkan, konsumen bertanggung jawab untuk memantau keamanan pangan yang ada di sekitarnya, sedangkan pemerintah bertanggung jawab untuk mengatur dan mengawasi keamanan pangan yang beredar di masyarakat. Salah satu masalah keamanan pangan di Indonesia adalah masih rendahnya pengetahuan, keterampilan, dan tanggung jawab produsen pangan tentang mutu dan keamanan pangan, terutama pada industri kecil atau industri rumah tangga. Masalah keamanan pangan tersebut juga terjadi pada makanan tradisional (Sugiyatmi, 2006).
Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan berbagai aturan yang diperlukan untuk mengatur pemakaian BTP (Bahan Tambahan Pangan). Salah satu peraturan yang mengatur penggunaan BTP adalah Permenkes No. 033 Tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan (BTP). Menurut Permenkes No. 033 Tahun 2012 Bahan Tambahan Pangan dibagi menjadi 2 kategori yaitu BTP yang diizinkan dan BTP yang tidak diizinkan. Salah satu jenis BTP yakni Natrium tetraborat atau yang lebih dikenal sebagai "boraks", "garam bleng", atau "pijer" merupakan BTP yang dilarang penggunaanya. Boraks ditambahkan pada bahan makanan sebagai pengawet dan pengenyal, sehingga produk yang dihasilkan lebih memenuhi kepuasan konsumen.
Pada umumnya para pembuat makanan tradisional tidak menyadari bahaya penggunaan bahan tambahan yang dilarang. Hal ini terutama disebabkan ketidaktahuan para pembuat makanan tradisional baik mengenai sifat-sifat maupun bahaya penggunaan bahan tambahan pangan yang tidak sesuai dengan peraturan. Pembuat makanan tradisional biasanya adalah masyarakat yang memiliki pengetahuan rendah. Sebagai akibatnya dalam praktek mereka kurang memperhatikan masalah keamanan pangan yang dibuatnya. Pengetahuan, sikap, dan praktek seorang pembuat makanan memiliki pengaruh yang besar terhadap citra dan kualitas makanan yang dibuatnya.
Bureau of Food and Drug (BFAD), Food Standars Code dan Departement of Health (DOH) Australia menyatakan bahwa boraks merupakan senyawa kimia yang dapat merusak organ dalam tubuh termasuk otak. Sejak tahun 1984 boraks juga merupakan desinfektan yang dilarang sebagai bahan tambahan makanan. Boraks dalam dosis yang cukup tinggi dalam tubuh, akan menyebabkan timbulnya gejala pusing-pusing, muntah, mencret, kram perut, tekanan darah rendah, anemia, demam, dan kerusakan organ dalam lainnya dalam tubuh termasuk otak sehingga dapat menyebabkan kematian (Lewis, 2002).
Mengkonsumsi boraks dalam makanan tidak langsung memberikan efek buruk, namun sifatnya terakumulasi (tertimbun sedikit demi sedikit) didalam organ hati, otak dan testis. Boraks tidak hanya diserap melalui pencernaan namun juga dapat diserap melalui kulit. Boraks yang terserap oleh tubuh dalam jumlah kecil akan dikeluarkan melalui air kemih dan tinja, serta sangat sedikit melalui keringat. Boraks bukan hanya menganggu enzim-enzim metabolisme tetapi juga menganggu alat reproduksi pria (Anisyah,2009).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa masih banyak bahan makanan yang mengandung boraks. Pemeriksaan yang dilakukan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dalam Virdhani (2009), menunjukkan bahwa sejumlah sekolah di Depok Jawa Barat, ditemukan adanya zat pengawet yang diduga boraks di dalam jajanan berupa lontong yang berbahan dasar beras. Hasil penelitian Agus Purnomo (2009), menunjukkan dari 9 sampel lontong 11,1% positif mengandung boraks. Pemeriksaaan Dinas Kesehatan Kota Depok terhadap 60 SD di Kota Depok tahun 2011, menunjukkan, 30% dari beberapa makanan seperti bakso, otak – otak ikan, nugget, dan lontong positif mengandung borak (Estiyana, 2012). Anisyah (2009) dalam penelitiannya di Kelurahan Padang Bulan (Kota Medan) menunjukkan sebanyak 62,5% sampel lontong positif mengandung boraks. Hasil analisis dari uji kualitatif pada analisis boraks dalam sepuluh lontong yang beredar di daerah wonokromo surabaya menunjukkan hanya ada 1 dari 10 sampel (10%) yang menunjukkan hasil positif (Cristin, 2013).
Lontong merupakan makanan yang sering dikonsumsi masyarakat di kota Surabaya. Hal ini dikarenakan lontong juga merupakan makanan pengganti nasi pada beberapa makanan tradisional. Ditunjukkan dengan peningkatan minat masyarakat terhadap lontong. Lontong juga merupakan makanan yang disukai segala usia, mulai dari anak – anak hingga lansia.
Lembaga Keamanan Pangan seperti BPOM dan LSM yang bergerak di bidang pembinaan produsen telah memberikan pengenalan ataupun pendidikan terhadap produsen makanan tentang bahan makanan yang aman dan tidak aman, baik melalui media cetak maupun elektronik. Namun, teori atau ilmu yang telah didapatkan belum diaplikasikan secara optimal oleh produsen dalam proses produksi makanan. Produsen cenderung mengesampingkan prioritas dalam memproduksi makanan yang sehat dan aman.
Berdasar atas pertimbangan serta fenomena yang terjadi di masyarakat melalui beberapa penelitian di atas serta mengingat lontong merupakan salah satu makanan yang banyak disukai oleh masyarakat melatarbelakangi penulis untuk melakukan penelitian tentang "Hubungan Pengetahuan Produsen Lontong Terhadap Penggunaan Boraks Di Banyu Urip Kecamatan Sawahan Kota Surabaya" .
Identifikasi Masalah
Permenkes No.033 tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan (BTP) menyebutkan bahwa, boraks merupakan Bahan Tambahan Pangan (BTP) yang dilarang. Akan tetapi, boraks masih banyak ditambahkan pada berbagai produk makanan yang beredar di masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa peraturan yang dibuat oleh pemerintah melalui menteri kesehatan belum diterapkan dan dilaksanakan dengan baik.
Penambahan Boraks masih banyak dilakukan, karena boraks adalah bahan yang murah, mudah didapat, serta penggunaanya dalam bahan makanan bersifat memperbaiki tekstur dan memperpanjang daya simpan. Sejauh ini tidak ada kompalin dari pelanggan karena tidak ada Kejadian Luar Biasa (KLB) yang disebabkan keracunan Boraks. Hal ini dikarenakan metabolisme dari boraks itu sendiri, yakni bersifat akumulatif dan akan memberikan dampak negatif terhadap kesehatan jangka panjang yang bervariasi, tergantung dari dosis Boraks yang ditambahkan,serta daya tahan tubuh masing-masing individu. Selain itu tingkat pemahaman serta sikap produsen akan bahaya yang diakibatkan dari penambahan boraks pada makanan masih kurang.
Lontong merupakan makanan pengganti nasi yang sering dikonsumsi dan menjadi pendamping pada berbagai makanan tradisional di Kota Surabaya. Kota Surabaya memiliki sebuah tempat yang menjadi sentra para pembuat Lontong di Kelurahan Kapas Krajan, Kecamatan Sawahan, Surabaya . Lokasi ini terletak di Jalan Banyu Urip Lor RW 06 dan RW 07 bernama Paguyuban Kampung Lontong, Banyu Urip Surabaya. Sektor distribusi meliputi Pasar Keputran, Pasar Simo, Pasar Pucang dan pasar-pasar lainnya di Kota Surabaya. Kurangnya kesadaran tentang bahaya penggunaan boraks juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan masih maraknya penggunaan boraks pada berbagai bahan makanan.
Peneliti ingin mengetahui gambaran keamanan pangan dari segi Bahan tambahan Pangan yang ditambahkan yakni boraks atau senyawa boraks (seperti bleng atau pijer) pada produk lontong di Kelurahan Banyu Urip, Kota Surabaya. Serta mengidentifikasi tingkat pengetahuan produsen tentang boraks dan penambahannya pada makanan, untuk selanjutnya menganalisis hubungan antara tingkat pengetahuan terhadap penambahan boraks atau senyawanya pada lontong.
Rumusan Masalah
Apakah Produsen Lontong di Kelurahan Banyu Urip, Kota Surabaya menambahkan boraks atau senyawanya pada pembuatan lontong?
Apakah ada hubungan antara pengetahuan produsen lontong di Kelurahan Banyu Urip, Kota Surabaya terhadap penambahan boraks ?
Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini untuk menganalisa hubungan tingkat pengetahuan produsen lontong terhadap penggunaan boraks atau senyawanya di Kelurahan Banyu Urip, Kota Surabaya.
Tujuan Khusus
Adapun yang menjadi tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
Mengidentifikasi tingkat pengetahuan produsen lontong tentang boraks atau senyawanya.
Mengetahui kandungan boraks pada lontong.
Menganalisa hubungan tingkat pengetahuan produsen lontong terhadap penggunaan boraks atau senyawanya.
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :
Bagi Masyarakat
Sebagai bahan masukan bagi produsen maupun pengolah makanan dalam memproduksi lontong.
Bagi Peneliti
Meningkatkan pemahaman peneliti mengenai Uji Laboratorium kandungan boraks pada makanan.
Bagi Pemerintah
Menginformasikan kondisi lapangan terkait keamanan pangan, khususnya pada pengetahun produsen makanan terhadap penambahan BTP (Bahan Tambahan Pangan) yang dilarang yakni boraks.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Lontong
Lontong adalah makanan khas Indonesia yang terbuat dari beras dibungkus dalam daun pisang dan direbus dalam air selama beberapa jam dan jika air hampir habis dituangkan air lagi demikian berulang sampai beberapa kali. Karena dibungkus dengan daun pisang, lontong dapat berwarna hijau di luarnya, sedangkan berwarna putih didalamnya. Lontong banyak ditemui di pelbagai daerah di Indonesia sebagai makanan alternatif pengganti nasi putih. Walaupun dibuat dari beras, lontong memiliki aroma yang khas (Wikipedia, 2014).
Lontong merupakan salah satu cara penyajian nasi berbahan dasar beras. Lontong berbentuk nasi yang dipadatkan karena dimasak dengan air namun ditekan dengan pembungkus biasanya daun pisang atau plastik. Lontong mempunyai tekstur kenyal dan lembut serta dapat bertahan hingga dua hari jika disimpan dalam lemari pendingin (Tarwodjo,1998). Lontong adalah makanan yang digemari oleh banyak masyarakat Indonesia. Lontong terbuat dari beras dan dimasak dengan air hingga terbenam, mempunyai tekstur yang lembut dan kenyal.
Pengetahuan
Secara etimologi pengetahuan berasal dari kata dalam bahasa Inggris yaitu knowledge. Dalam Encylopedia of philosophy dijelaskan bahwa definisi pengetahuan adalah kepercayaan yang benar (knowledge is justified true belief). Dalam kamus filsafat dijelaskan bahwa pengetahuan adalah proses kehidupan yang diketahui manusia secara langsung dari kesadarannya sendiri. Dalam peristiwa ini yang mengetahui (subjek) memiliki yang diketahui (objek) di dalam dirinya sedemikian aktif sehingga subjek itu menyusun objek pada dirinya sendiri dalam kesatuan yang aktif (Mubarak,2012).
Pengetahuan adalah merupakan hasil "tahu" dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu yaitu melalui indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan yang dicakup didalam domain kognitif mepunyai 6 tingkatan :
1. Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Untuk mengukur bahwa seseorang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefenisikan. menyatakan dan sebagainya.
2. Memahami (Comprehention)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterprestasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.
3. Aplikasi (Application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya, aplikasi ini diartikan dapat sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.
4. Analisis (Analisys)
Adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponen-komponen tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisa ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja dapat menggambarkan, membedakan, mengelompokkan dan seperti sebagainya.
5. Sintesa (Synthesis)
Adalah suatu kemampuan untuk meletakkan atau menggabungkan bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru, dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formasi baru dari informasi-informasi yang ada misalnya dapat menyusun, dapat menggunakan, dapat meringkaskan, dapat menyesuaikan terhadap suatu teori atau rumusan yang telah ada.
6. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifkasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang telah ada (Mubarak,2012).
Kemudahan dalam memperoleh suatu informasi dapat membantu mempercepat seseorang untuk memperoleh pengetahuan yang baru. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian dari subjek penelitian atau responden.
Sikap
Sikap adalah reaksi atau respon seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap dalam kehidupan sehari-hari adalah merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan atau perilaku
(Mubarak, 2012). Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan yakni :
1. Menerima (receiving)
Menerima diartikan bahwa orang (subyek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (obyek).
2. Merespon (responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi sikap karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan. Terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah adalah berarti orang itu menerima ide tersebut.
3. Menghargai (valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga, misalnya seorang mengajak ibu yang lain (tetangga, saudaranya, dsb) untuk menimbang anaknya ke posyandu atau mendiskusikan tentang gizi adalah suatu bukti bahwa si ibu telah mempunyai sikap positif terhadap gizi anak.
4. Bertanggung jawab (responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko adalah mempunyai sikap yang paling tinggi. Misalnya seorang ibu mau menjadi akseptor KB, meskipun mendapatkan tantangan dari mertua atau orang tuanya sendiri.
Pengukuran sikap dapat dilakukan dengan menilai pernyataan sikap seseorang. Pernyataan sikap adalah rangkaian kalimat yang menyatakan sesuatu mengenai obyek sikap yang hendak diungkap. Pernyataan sikap mungkin berisi atau mengatakan hal-hal yang positif mengenai obyek sikap, yaitu kalimatnya bersifat mendukung atau memihak pada obyek sikap. Pernyataan ini disebut dengan pernyataan yang favourable. Sebaliknya pernyataan sikap mungkin pula berisi hal-hal negatif mengenai obyek sikap yang bersifat tidak mendukung maupun kontra terhadap obyek sikap. Pertanyaan seperti ini disebut dengan pernyataan yang tidak favourable. Suatu skala sikap sedapat mungkin diusahakan agar terdiri atas pernyataan favourable dan tidak favourable dalam jumlah yang seimbang. Dengan demikian pernyataan yang disajikan tidak semua positif dan tidak semua negatif yang seolah-olah isi skala memihak atau tidak mendukung sama sekali obyek sikap.
Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat dan pernyataan responden terhadap suatu obyek. Secara tidak langsung dapat dilakukan dengan pernyataan hipotesis kemudian ditanyakan pendapat responden melalui kuesioner (Sugiyatmi,2006).
Perilaku
Perilaku sama dengan kelakuan dan juga tingkah laku seseorang dalam melakukan suatu tindakan. Perilaku manusia merupakan hasil dari segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap, dan tindakan.
Perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme (makhluk hidup) yang bersangkutan. Oleh sebab itu, dari sudut pandang biologis semua makhluk hidup mulai dari tumbuh-tumbuhan, binatang, sampai dengan manusia itu berperilaku, karena mereka mempunyai aktivitas masing-masing. Sehingga yang dimaksud dengan perilaku manusia, pada hakikatnya adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan sebagainya. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku (manusia) adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung, maupun yang tidak bisa diamati oleh pihak luar.
Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung yakni dengan wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan. Pengukuran dapat juga dilakukan secara langsung, yakni dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden, pegukuran ini yang paling akurat dibandingkan dengan wawancara (Mubarak, 2012).
Perilaku merupakan bentuk respon dari stimulus (rangsangan dari luar). Hal ini berarti meskipun bentuk stimulusnya sama namun bentuk respon akan berbeda dari setiap orang.
Faktor – faktor yang membedakan respon terhadap stimulus disebut determinan perilaku. Determinan perilaku dapat dibedakan menjadi dua yaitu :
Faktor internal yaitu karakteristik orang yang bersangkutan yang bersifat bawaan, misalnya : tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya.
Faktor eksternal yaitu lingkungan, baik lingkungan fisik, ekonomi, politik, dan sebagainya. Faktor lingkungan ini sering menjadi faktor yang dominan yang mewarnai perilaku seseorang.
Penelitian Rogers (1974) dalam Mubarak (2012), mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), didalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni :
Awareness (kesadaran), yakni orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui stimulus.
Interest (merasa teratrik), yakni orang mulai tertarik kepada stimulus.
Evaluation (menimbang – nimbang baik dan tidaknya stimulus bagi dirinya). Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.
Trial (mencoba), orang telah mulai mencoba perilaku baru
Adoption (adopsi), subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikap terhadap stimulus. Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses seperti ini didasari oleh pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang positif maka perilaku tersebut akan menjadi kebiasaan atau bersifat langgeng (long lasting) (Mubarak,2012).
Pangan dan Keamanan Pangan
Menurut Peraturan Pemerintah RI nomor 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan, pangan merupakan segala sesuatu yang bersumber dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman.
Menurut Almatsier (2004), makanan adalah bahan selain obat yang mengandung zat gizi dan atau unsur-unsur/ikatan kimia yang dapat diubah menjadi zat gizi oleh tubuh, yang berguna bila dimasukkan dalam tubuh. Makanan adalah bahan yang biasanya berasal dari hewan atau tumbuhan, dimakan oleh makhluk hidup untuk memberikan tenaga dan nutrisi. Menurut Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.00.06.1.52.4011 tentang Penetapan Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Kimia dalam Makanan, pangan olahan adalah makanan atau minuman hasil proses dengan cara atau metode tertentu, dengan atau tanpa bahan tambahan.
Berdasarkan pasal 1, UU RI No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, keamanan pangan adalah kondisi yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda asing lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Sehingga, pangan yang baik adalah pangan yang aman dan layak untuk dikonsumsi.
Pangan yang aman untuk dikonsumsi adalah pangan tersebut tidak mengandung bahan-bahan yang dapat membahayakan kesehatan atau keselamatan manusia misalnya bahan yang dapat menimbulkan penyakit atau keracunan. Layak untuk dikonsumsi adalah pangan yang diproduksi dalam kondisi normal dan tidak mengalami kerusakan, berbau busuk, menjijikkan, kotor, tercemar atau terurai, sehingga dapat diterima oleh masyarakat pada umumnya
Pangan tercemar adalah pangan yang mengandung bahan beracun, berbahaya atau yang dapat merugikan atau membahayakan kesehatan atau jiwa manusia; pangan yang mengandung cemaran yang melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan; pangan yang mengandung bahan yang dilarang digunakan dalam kegiatan atau proses produksi pangan; pangan yang mengandung bahan yang kotor, busuk, tengik, terurai, atau mengandung bahan nabati atau hewani yang berpenyakit atau berasal dari bangkai sehingga menjadikan pangan tidak layak dikonsumsi manusia; pangan yang sudah kedaluwarsa (BPOM, 2009).
Cemaran adalah bahan yang tidak dikehendaki ada dalam makanan yang mungkin berasal dari lingkungan atau sebagai akibat proses produksi makanan, dapat berupa cemaran biologis, kimia dan benda asing yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Cemaran biologis adalah cemaran dalam makanan yang berasal dari bahan hayati, dapat berupa cemaran mikroba atau cemaran lainnya seperti cemaran protozoa dan nematoda.
Cemaran mikroba adalah cemaran dalam makanan yang berasal dari mikroba yang dapat merugikan dan membahayakan kesehatan manusia.
Cemaran kimia adalah cemaran dalam makanan yang berasal dari unsur atau senyawa kimia yang dapat merugikan dan membahayakan kesehatan manusia, dapat berupa cemaran logam berat, cemaran mikotoksin, cemaran antibiotik, cemaran sulfonamida atau cemaran kimia lainnya. Persyaratan keamanan makanan harus dipenuhi untuk mencegah makanan dari kemungkinan adanya bahaya, baik karena cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia (BPOM, 2009).
Bahan Tambahan Pangan (BTP)
Bahan tambahan pangan (BTP) adalah bahan atau campuran bahan yang secara alami bukan merupakan bagian dari bahan baku pangan, tetapi ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk bahan pangan dan untuk memperbaiki karakter pangan agar memiliki kualitas yang meningkat (Syah, 2005).
Menurut Bellitz dalam Purnomo (2003), mengatakan bahwa bahan tambahan makanan adalah bahan yang dengan sengaja ditambahkan kedalam bahan makanan dasar atau campuran bahan dengan tujuan mengubah sifat-sifat dari makanan tersebut. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan R.I.No.329/Menkes/PER/XII/76, yang dimaksudkan dengan aditif makanan adalah bahan yang ditambahkan dan dicampurkan sewaktu pengolahan makanan untuk meningkatkan mutu termasuk kedalamnya aroma, pemantap, antioksidan, pengawet, pengemulsi, antigumpal, pemucat, dan pengental (Winarno, 1992).
Pada umumnya dalam pengolahan makanan selalu diusahakan untuk menghasilkan produk makanan yang disukai dan berkualitas baik meliputi:
Sifat Indrawi atau organoleptik, yaitu sifat-sifat yang dapat dinilai dengan panca indra seperti sifat kenampakan; (bentuk, ukuran, warna); cita rasa (flavor); asam, asin, manis, pahit; tekstur, yaitu sifat yang dinilai dengan indra peraba (halus, lembut, kasar).
Kandungan dan nilai gizi, yaitu: karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral, dan lain-lain .
Keamanan makanan yang dikonsumsi, yaitu terbebas dari bahan-bahan kimia berbahaya/pencemar atau racun yang bersifat mikrobiologis.
Dalam pembuatan makanan, selain bahan baku untuk tujuan-tujuan tertentu sering digunakan bahan-bahan lain sebagai bahan tambahan, yaitu yang secara umum disebut bahan tambahan makanan (BTM). Bahan tambahan makanan adalah bahan atau campuran bahan yang secara alami bukan merupakan bagian dari bahan baku pangan, tetapi ditambahkan kepada pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk makanan (Sugiyatmi,2006.)
Menurut Permenkes No. 33 tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan, Bahan Tambahan Pangan (BTP) adalah bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan.
BTP yang digunakan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
BTP tidak dimaksudkan untuk dikonsumsi secara langsung dan/atau tidak diperlakukan sebagai bahan baku pangan.
BTP dapat mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang sengaja ditambahkan ke dalam pangan untuk tujuan teknologis pada pembuatan, pengolahan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, penyimpanan dan/atau pengangkutan pangan untuk menghasilkan atau diharapkan menghasilkan suatu komponen atau mempengaruhi sifat pangan tersebut, baik secara langsung atau tidak langsung.
BTP tidak termasuk cemaran atau bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempertahankan atau meningkatkan nilai gizi.
Bahan tambahan Pangan terbagi menjadi 2 jenis yakni Bahan Tambahan Pangan yag diizinkan dan tidak diizinkan. Jenis BTP yang diizinkan dalam penggolongan antara lain :
Tabel. 2.1 Bahan Tambahan Pangan yang Diizinkan
No
Golongan
Fungsi
1
Antibuih (Antifoaming Agent)
mencegah atau mengurangi pembentukan buih.
2
Antikempal (Anticaking Agent)
mencegah mengempalnya produk pangan.
3
Antioksidan (Antioxidant)
mencegah atau menghambat kerusakan pangan akibat oksidasi.
4
Bahan Pengkarbonasi (Carbonating Agent)
membentuk karbonasi di dalam pangan.
5
Garam Pengemulsi
(Emulsifying Salt)
mendispersikan protein dalam keju sehingga mencegah pemisahan lemak.
6
Gas Untuk Kemasan
(Packaging Gas)
gas, yang dimasukkan ke dalam kemasan untuk mempertahankan mutu pangan dan melindungi pangan dari kerusakan.
7
Humektan (Humectant)
mempertahankan kelembaban pangan.
8
Pelapis (Glazing Agent)
melapisi permukaan pangan , memberikan efek perlindungan dan/atau penampakan mengkilap.
9
Pemanis (Sweetener)
memberikan rasa manis pada produk pangan.
10
Pembawa (Carrier)
memfasilitasi penanganan, penggunaan bahan tambahan pangan lain tanpa mengubah fungsinya dan tidak mempunyai efek teknologi pada pangan.
11
Pembentuk Gel (Gelling Agent)
membentuk gel.
12
Pembuih (Foaming Agent)
membentuk atau memelihara homogenitas dispersi fase gas dalam pangan berbentuk cair atau padat.
Lanjutan Tabel 2.1
13
Pengawet (Preservative)
mencegah atau menghambat fermentasi, pengasaman, penguraian, dan perusakan yang disebabkan oleh mikroorganisme.
14
Pengembang (Raising Agent)
melepaskan gas sehingga meningkatkan volume adonan.
15
Pengemulsi (Emulsifier)
membantu terbentuknya campuran yang homogen dari dua atau lebih fase yang tidak tercampur seperti minyak dan air.
16
Pengental (Thickener)
meningkatkan viskositas pangan.
17
Pengeras (Firming Agent)
memperkeras, atau mempertahankan jaringan buah dan sayuran, atau memperkuat gel.
18
Penguat Rasa
(Flavour enhancer)
Memperkuat rasa yang ada di dalam bahan pangan tanpa memberikan ras baru.
19
Peningkat Volume (Bulking Agent)
meningkatkan volume pangan
20
Penstabil (Stabilizer)
menstabilkan sistem dispersi yang homogen pada pangan.
21
Peretensi Warna (Colour Retention Agent)
mempertahankan, menstabilkan, atau memperkuat intensitas warna pangan tanpa menimbulkan warna baru.
22
Perisa (Flavouring)
memberi flavour dengan pengecualian rasa asin, manis dan asam.
23
Perlakuan Tepung (Flour Treatment Agent)
memperbaiki warna, mutu adonan
24
Pewarna (Colour)
memberi atau memperbaiki warna pada makanan
25
Propelan (Propellant)
Gas untuk mendorong pangan keluar dari kemasan.
26
Sekuestran (Sequestrant)
mengikat ion logam polivalen meningkatkan stabilitas bahan pangan.
Sumber : Lampiran I Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 033 Tahun 2012 Tentang Bahan Tambahan Pangan.
Tabel. 2.2 Bahan Tambahan Pangan yang Dilarang
No.
Nama Bahan Tambahan Pangan
1
Asam Borat dan senyawanya (Boric Acid)
2
Asam Salisilat dan garamnya (Salicylic Acid and its salt)
3
Dietilpirokarbonat (Diethylpirocarbonate DEPC)
4
Dulsin (Dulcin)
5
Formalin (Formaldehyde)
6
Kalium Bromat (Potassium Bromate)
7
Kalium Klorat (Potassium Chlorate)
8
Kloramfenikol (Chloramphenicol)
9
Minyak Nabati yang dibrominasi (Brominated vegetable oils)
10
Nitrofurazon (Nitrofurazone)
11
Dulcamara (Dulcamara)
12
Kokain (Cocaine)
13
Nitrobenzen (Nitrobenzene)
14
Sinamil antranilat (Cynamil anthranilate)
15
Dihidrosafrol (Dihydrosafrole)
16
Biji Tonka (Tonka Bean)
17
Minyak Kalamus (Calamus oil)
18
Minyak Tansi (Tansy oil) Dulkamara (Dulcamara)
19
Minyak Sasafras (Sasafras oil)
Sumber : Lampiran II Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 033 Tahun 2012 Tentang Bahan Tambahan Pangan.
Boraks
Dalam perdagangan boraks dikenal dengan sebutan borofax three elephant, hydrogen orthoborate, NCL-C56417, calcium borate, atau sassolite. Dalam istilah domestik boraks memiliki nama berbeda-beda. Di Jawa Tengah boraks disebut dengan nama air bleng atau garam bleng, di daerah Sunda disebut bubuk gendar; di Jakarta disebut pijer. Boraks yang diperdagangkan dalam bentuk balok padat, kristal, atau tepung berwarna putih kekuningan, atau dalam bentuk cairan tidak berwarna. Boraks berasal dari tambang alam dari daerah batuan mineral yang mengandung boraks, misalnya batuan kernite, batuan colemanite, atau batuan ulexit (Sugiyatmi, 2006). Digunakan/ditambahkan ke dalam pangan tambahan pangan sebagai pengenyal ataupun sebagai pengawet. Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan diperoleh data bahwa senyawa asam borat ini didapati pada lontong agar teksturnya menjadi bagus dan kebanyakan pada bakso (Cahyadi, 2006)
Boraks adalah garam natrium dengan rumus molekul Na2B4O7.10H2O. Boraks merupakan senyawa yang berbentuk kristal, berwarna putih, tidak berbau dan stabil pada suhu dan tekanan normal. Jika boraks dilarutkan dalam air maka akan berubah menajdi natrium hidroksida dan asam borat. Boraks sering digunakan dalam industri non pangan , khususnya industri pengawet dan anti jamur kayu, gelas, kertas, obat kulit, antiseptik, pembasmi kecoa, industri kulit, kosmetik dan campuran bahan pembersih atau detergen. Bahan ini tidak boleh diminum atau dimasak sehingga melalui saluran pencernaan atau digunakan pada luka luas (melalui kulit) karena beracun bila terserap masuk tubuh
(BPOM, 2002)
Kemungkinan besar daya pengawet boraks disebabkan karena adanya senyawa aktif asam borat. Asam borat merupakan asam organik lemah yang sering digunakan sebagai antiseptik. Asam borat (H3BO3) dapat dibuat dengan menambahkan asam sulfat atau asam klorida pada boraks. Pada umumnya penambahan boraks atau asam borat bertujuan agar produk pangan mempunyai kenampakan yang sesat dan kering dengan tekstur yang kenyal seperti pada kerupuk gendar, mie, bakso, tahu, ketupat, lontong, bahkan juga untuk pembuatan kecap dan produk lainnya. Asam borat pada produk yang berpati mampu membentuk dan menstabilkan struktur gel (Winarno dan rahayu, 1994 dalam Purnomo, 2003)
Mc Ketta dan Othmer (1986) menyatakan boraks terdapat dalam bermacam–macam ikatan yaitu boraks pentahidrat (disodium tetraborat pentahidrat) ,boraks dekahidrat (disodium tetraborat dekahidrat) dan anyhydrous boraks (disodium tetra borat). WHO (1998) menyatakan bahwa yang dimaksud denga boraks adalah (disodium tetra borat dekahidrat). Boraks termasuk dalam kelas karbonat dan subkelas borat. Rumus Struktur Boraks adalah sebagai berikut
Gambar 2.1 Rumus Bangun Boraks
Sumber : Azas,2013.
Bureau of Food and Drug (BFAD), Food Standars Code dan Departement of Health (DOH) Australia menyatakan bahwa boraks merupakan senyawa kimia yang dapat merusak organ dalam tubuh termasuk otak. Boraks juga merupakan desinfektan yang dilarang sejak tahu 1984 sebagai bahan tambahan makanan. Boraks dalam dosis yang cukup tinggi dalam tubuh akan menyebabkan timbulnya gejala pusing-pusing, muntah, mencret, kram perut, takanan darah rendah, anemia, demma dan kerusakan organ dalam lainnya dalam tubuh termasuk otak sehingga dapat menyebabkan kematian (Stefany, 2006). Menurut Cahyadi (2006), kematian pada orang dewasa dapat terjadi dalam dosis 15 – 25 gram, sedangkan pada anak dosis 5 – 6 gram. Asam Borat juga bersifat teratogenik pada anak ayam.
Sifat Boraks
Menurut Timm dan Lewis dalam Stefany (2006), sifat kimia asam borat antara lain : tiitk lebur 170,9oC, tiitk didih 300oC, kelarutannya dalam air pada suhu ruang (±27oC), semakin tinggi suhu yang digunakan untuk melarutkan boraks (100oC) maka tingkat kelarutannya juga semakin tinggu, kelarutannya dalam air adalah 4-5g/100ml air. Larut dalam air mendidih, alkohol dan gliserol.
Sifat – sifat fisik dan kimiawi boraks antara lain :
Memiliki Berat Molekul (BM) Na2B4O7.10H2O adalah 381,4
Titik lebur 75oC
Titik didih 320oC
Tidak larut dalam alkohol dan asam, larut dalam gliserol, larut dalam air.
Berbentuk serbuk hablur kristal transparan atau granul putih tak berwarna
Tak berbau dan agak manis
Kegunaan Boraks
Mekanisme pengenyalan oleh boraks pada bahan pangan berpati adalah sebagai berikut jika suspensi pati dalam air dipanaskan, akan terjadi pembengkakan granula pati karena jumlah hidroksil dalam pati yang sangat banyak, maka kemampuannya dalam menyerap air juga besar, sehingga terjadi peningkatan viskositas. Pembentukan gel pati ini dipengaruhi oleh suhu dan pH. Suhu gelatinasi pada gandum adalah sekitar 54,5o – 64oC. Pada pH yang mendekati 10 pembentukan gel akan lebih cepat bila dibandingkan dengan pH rendah. Boraks merupakan campuran garam alkali (pH 9,5) yang didapatkan dari mata air yang mengandung mineral.
Boraks dapat berperan dalam berperan suhu gelatinasi dari pati yang terdapat pada tepung terigu .Daya awet boraks terhadap pangan disebabkan karena sifat asam borat sebagai desinfektan, serta fungisida. Menurut Stefany (2006), boraks dan asam boraks dapat berperan baik sebagai fungisida maupun insektisida yang dapat mencegah pertumbuhan jamur. Sedangkan asam borat sebagai desinfektan dapat berfungsi untuk melindungi makanan dari mikroorganisme yang terdapat pada lingkungan penyimpanan lontong.
Penyalahgunaan boraks
Meskipun bukan pengawet makanan, boraks sering pula digunakan sebagai pengawet makanan. Boraks sering disalahgunakan untuk mengawetkan berbagai makanan seperti bakso, mie basah, pisang molen, siomay, lontong, ketupat dan pangsit. Selain bertujuan untuk mengawetkan, boraks juga dapat membuat tekstur makanan menjadi lebih kenyal dan memperbaiki penampilan makanan.
Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan diperoleh data bahwa senyawa asam borat ini didapati pada lontong agar teksturnya menjadi bagus. Banyak juga disalahgunakan dalam pemuatan mie basah, bakso dan lontong yang menggunakan boraks apabila dipegang akan terasa sangat kenyal sedangkan kerupuk merasa sangat renyah (Cahyadi, 2006).
Dampak konsumsi boraks
Absorpsi boraks terjadi melalui saluran cerna, sedangkan ekskresinya yang utama melalui ginjal. Jumlah yang relatif besar ada di otak, hati dan ginjal
sehingga perubahan patologinya dapat dideteksi melalui otak dan ginjal. Dilihat dari efek farmakologi dan toksisitasnya, maka asam borat dilarang digunakan dalam pangan (Cahyadi, 2006).
Eksresi terutama melalui ginjal kira-kira 50% dari dosis yang diberikan dieksresi dalam waktu 24 jam. Pada pemakaian yang lama, eksresinya melalui urin dicapai setelah 2 minggu. Dalam jumlah relatif besar, boraks terlokalisasi di otak, hati dan ginjal (Katzung, 2004).
Boraks yang disebut juga asam borat, natrium tetra borax atau sodium borat sebenarnya merupakan pembersih, fungisida, herbisida, dan insektisida yang bersifat toksik atau meracun untuk manusia. Boraks juga berfungsi untuk menghaluskan gelas dan juga sebagai pengontrol kecoa. Dalam kondisi toksik yang kronis (karena mengalami kontak dalam jumlah sedikit demi sedikit namun dalam jangka waktu yang panjang) akan mengakibatkan tanda-tanda merah pada kulit, seizure, dan gagal ginjal. Boraks juga dapat mengakibatkan iritasi pada kulit, mata dan saluran respirasi, mengganggu kesuburan dan janin. Dosis letal (dosis yang dapaat mengakibatkan kematian) pada dewasa 20-25 gram, sedangkan pada anak-anak dan binatang kesayangan kurang dari 5 gram (Cahyadi, 2006).
Boraks bersifat iritan dan racun bagi sel-sel tubuh, berbahaya bagi susunan saraf pusat, ginjal dan hati. Jika terkena dengan kulit dapat menimbulkan iritasi. Dan jika tertelan akan menimbulkan kerusakan pada usus, otak atau ginjal. Menurut Almatsier (2004), sel – sel lambung selama mencerna akan mengeluarkan cairan yang terdiri atas campuran air, enzim-enzim dan asam klorida. Asam klorida akan mneguraikan boraks menjadi asam borat, reaksinya adalah sebagai berikut:
Na2B4O + 2 HCL7 + 5 HO 2 NaCl + 4 H3BO3
Toksisitas boraks yang terkandung di dalam makanan tidak langsung dirasakan oleh konsumen. Boraks apabila terdapat pada makanan, maka dalam waktu jangka lama walau hanya sedikit akan terjadi akumulasi (penumpukan) dalam otak, hati, ginjal dan jaringan lemak. Pemakaian dalam jumlah banyak dapat menyebabkan demam, depresi, kerusakan ginjal, nafsu makan berkurang, gangguan pencernaan, kebodohan, kebingungan, radang kulit, anemia, kejang, pingsan, koma bahkan kematian (Khamid, 1993).
Penting diketahui bahwa selain lewat mulut, boraks bisa masuk ke dalam tubuh lewat membran mukosa dan permukaan kulit yang luka. Skipworth pernah melaporkan bahwa keracunan asam borat bisa terjadi gara-gara bedak tabur mengandung boraks. Kerena itu disarankan agar bedak tabur untuk anak-anak tidak mengandung asam borat lebih dari 5% (Khamid, 1993).
Dalam dosis cukup tinggi dalam tubuh, akan menyebabkan timbulnya gejala pusing-pusing, muntah, mencret, kram perut, sianosis, kompulsi. Pada anak kecil dan bayi bila dosis dalam tubuhnya sebanyak 5 gram atau lebih dapat menyebabkan kematian, sedangkan untuk orang dewasa kematian terjadi pada dosis 10-20 gram atau lebih (Winarno dan Rahayu, 1994).
Bila konsumen mengkonsumsi makanan yang mengandung boraks, tidak serta merta berakigat buruk terhadap kesehatan. Tetapi boraks yang jumlahnya sedikit dalam bahan pangan dapat diserap dalam tubuh konsumen secara kumulatif. Disamping melauli saluran pencernaan, boraks dapat dapat diserap melaui kulit dan boraks yang sudah terlanjur terserap ke dalam tubuh dalam jumlah kecil akan dikeluarkan melalui air kemih dan tinja, serta sangat sedikit melalui keringat (Winarno, 1997).
Boraks yang terserap dalam tubuh akan disimpan secara akumulatif dalam hati, otak atau testis (buah zakar). Boraks yang masuk dalam tubuh melalui makanan akan dikelurakan melalui proses metabolisme. Jumlah energi yang digunakan oleh tubuh untuk melakukan metabolisme adalah 523kj/mol, yang digunakan untuk memecah ikatan boron dengan oksigen. Boraks dalam bentuk inorganik diubah menjadi asam borat pada kondisi pH tertentu dalam lapisan mukosa. Kerusakan testis tersebut terjadi pada dosis 1170 ppm selama 90 hari denga akibatnya testis mengecil pada dosis yang lebih tinggi yaitu 5250 ppm dalam waktu 30 hari dapat mengakibatkan degenerasi gonad
(Emsley 1989; WHO 1998 dalam Stefany, 2006).
BAB 3
KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN
Lontong yang tidak amanDampak negatif bagi kesehatan:KankerGangguan HatiGangguan GinjalGangguan OtakLontong yang amanLontong yang mengandung boraksHasil (Produk Lontong)Lontong yang tidak mengandung boraksProses Produksi LontongSikap Produsen LontongPengetahuan Produsen LontongKerangka Konseptual
Lontong yang tidak aman
Dampak negatif bagi kesehatan:
Kanker
Gangguan Hati
Gangguan Ginjal
Gangguan Otak
Lontong yang aman
Lontong yang mengandung boraks
Hasil
(Produk Lontong)
Lontong yang tidak mengandung boraks
Proses Produksi Lontong
Sikap Produsen Lontong
Pengetahuan Produsen Lontong
Keterangan :
Diteliti
Tidak diteliti
Penambahan boraks dalam makanan dipengaruhi oleh pengetahuan dari produsen makanan, dimana tingkat pengetahuan ini akan diperoleh sebuah pemahaman (sikap) dan diaplikasikan pada proses produksi (perilaku) produsen. Pengetahuan produsen meliputi pengetahuan tentang cara membuat lontong yang benar dan baik. Hal ini sangat mempengaruhi kualitas atau mutu dari produk yang akan dihasilkan.
Boraks yang terkandung dalam makanan, ketika kita konsumsi memberikan dampak negatif bagi kesehatan tubuh. Namun, dampak ini tidak langsung menunjukkan gejala. Dampak ini bersifat akumulatif (terakumulasi di dalam tubuh) dan berjangka panjang. Dampak yang ditimbulkan antara lain memicu kanker (boraks bersifat karsinogenik) serta dapat menurunkan fungsi ginjal, otak, dan hati. Hal ini disebabkan boraks bersifat toxic dalam tubuh manusia.sehingga lontong yang mengandung boraks akan memberikan dampak yang negatif terhadap tubuh kita.
Kerangka Operasional
Produsen Lontong di Banyu Urip Surabaya
Produsen Lontong di Banyu Urip Surabaya
Produsen Lontong
Produsen
Lontong
PengetahuanAnalisis Kandungan Boraks
Pengetahuan
Analisis Kandungan Boraks
Pedoman wawancara
Pedoman wawancara
Uji Laboratorium
Uji Laboratorium
Wawancara terhadap produsen lontong
Wawancara terhadap produsen lontong
Uji KualitatifUji Kuantitatif
Uji Kualitatif
Uji Kuantitatif
Uji Turmerik
Uji Turmerik
Keterangan :
Diteliti
Tidak diteliti
Lontong merupakan makanan tradisional yang berbahan dasar beras, di bungkus dengan daun pisang, dan direbus selama >2 jam tercelup dalam air. Lontong sering digunakan sebagai pengganti nasi pada beberapa makanan tradisional. Di Kota Surabaya terdapatt sentra pembuat lontong, yakni Kampung Lontogn Banyu Urip Surabaya. Dalam melakukan penelitian ini akan di ambil sampel dari total populasi produsen lontong di Kampung Lontong Banyu Urip Surabaya. Dari sampel produsen lontong yang telah terpilih, akan dilakukan pengamatan terhadap produk lontong dan tingkat pengetahuan produsen. Pengamatan pada produk ini berupa analisis laboratorium kandungan boraks yang ada pada lontong. Uji laboratorium dapat digolongkan menjadi 2 macam yakni, uji yang bersifat kualitatif dan uji yang bersifat kuantitatif. Uji yang dilakukan adalah uji kualitatif dengan tujuan untuk mengetahui apakah suatu produk makanan positif mengandung boraks. Analisis kualitatif yang digunakan adalah uji turmerik (menggunakan curcumin sebagai indikator).
Pengamatan juga dilakukan terhadap tingkat pengetahuan untuk pengamatan ini digunakan metode wawancara dengan instrumen pedoman wawancara terstruktur.
Hipotesis
Berdasarkan perumusan masalah, maka hasil hipotesis penelitian ini adalah :
Ho : Tidak ada hubungan antara pengetahuan produsen lontong dengan penambahan boraks di Kampung Banyu Urip, Kupang Krajan, Kecamatan Sawahan, Surabaya.
H1 : Ada hubungan antara pengetahuan produsen lontong dengan penambahan boraks yang diproduksi di Kampung Banyu Urip, Kupang Krajan, Kecamatan Sawahan, Surabaya.
BAB 4
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan studi observasional yang dilaksanakan dengan rancangan cross sectional dengan metoda deskriptif analitik. Penelitian dilakukan dengan pendekatan cross sectional yakni mengadakan observasi terhadap subyek sebanyak satu kali dan mengukur variabel dependen (perilaku penggunaan boraks) dan independen (tingkat pengetahuan responden) dari subyek tersebut pada saat observasi.
Pada penelitian ini peneliti ingin mengetahui gambaran tingkat pengetahuan (tingkat pengetahuan produsen terhadap penambahan boraks pada lontong) yang disajikan dalam bentuk deskriptif. Pada perilaku penambahan boraks diukur dengan uji laboratorium secara kualitatif untuk menentukan ada tidaknya kandungan boraks pada lontong yang di produksi di Kampung Lontong, Banyu Urip Lor, Surabaya dengan metode Uji Turmerik (menggunakan kurkumin sebagai indikator). Metode analitik dimaksudkan untuk melihat faktor yang mempengaruhi perilaku penggunaan boraks.
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan November 2014 – Februari 2015.
Lokasi penelitain terletak di Jalan Banyu Urip Lor RW 06 dan RW 07. Banyu Urip Lor ini berada pada Kelurahan Kupang Krajan, Kecamatan Sawahan, Surabaya. Kemudian akan dilakukan analisis kimia yakni uji kualitatif yang dilaksanakan di Laboratorium Terpadu Poltekkes Kemenkes Surabaya.
Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi
Populasi pada penelitain ini adalah Produsen Lontong di Banyu Urip Lor yang tergabung dalam asosiasi profesi bernama "Paguyuban Pedagang Lontong Mandiri, Kelurahan Kupang Krajan, Kecamatan Sawahan". Total populasi produsen lontong adalah 70 produsen yang terbagi menjadi 44 rumah produksi.
Sampel
Sampel pada penelitian ini adalah Produsen Lontong Di Kampung Lontong Banyu Urip, Surabaya dan masing-masing produk lontong yang diproduksi oleh responden (produsen lontong).
Menurut M. Suparmoko dalam Sunyoto (2013), penentuan banyak sampel dapat dilakukan dengan pendekatan kasus sebagai berikut :
n= Z(1-12α)2 P 1-PNd2N+ Z(1-12α)2 P 1-P
= (2,0168)2 x 0,05 x 0,95x 44(0,1)244+ (2,0168)2 x 0,05 x 0,95
=13,4 13
Keterangan :
n = Banyaknya produsen yang digunakan sebagai sampel.
N = Banyaknya produsen lontong yang digunakan sebagai populasi, yaitu sebanyak 44 rumah produksi.
Z = Nilai standar normal, yang besarnya untuk α= 0,05 adalah 2,0168.
P = Estimator proporsi populasi, yaitu 0,95.
d = besarnya penyimpangan yang dapat ditoleransi, di sini ditetapkan sebesar 10% (0,1).
Berdasar pada perhitungan dengan rumus tersebut dapat diperoleh sampel produsen lontong sebanyak 13,40 yang lemudian dibulatkan menjadi 13 sampel produsen lontong.
Teknik Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel lontong dengan menggunakan Simple Random Sampling. Sampel akan diambil secara acak sehingga setiap produsen memiliki peluang yang sama untuk menjadi sampel dari penelitian ini. Metode yang digunakan adalah mengundi dari total populasi (sebanyak 44 rumah produksi), sehingga terpilih 13 sampel produsen lontong berdasarkan perhitungan pada penentuan sampel.
Cara yang digunakan untuk pengambilan sampel adalah dengan mengundi 44 rumah produksi, sehingga setiap anggota populasi produsen lontong mendapat kesempatan yang sama untuk menjadi responden. Setelah dilakukan pengundian didapatkan 13 sampel yang akan digunakan sebagai responden.
Variabel dan Definisi Operasional Variabel
Variabel Penelitian
Variabel bebas : Pengetahuan produsen lontong tentang penambahan boraks pada lontong dan cara produksi lontong yang baik.
Variabel terikat : kandungan boraks pada lontong.
Definisi Operasional
Tabel 4.1 Definisi Operasional
No.
Variabel
Definisi Operasional
Cara pengukuran
Skala
Alat ukur
Hasil ukur
1.
Lontong
Lontong adalah makanan khas Indonesia yang terbuat dari beras dibungkus dalam daun pisang dan direbus.
2.
Kandungan boraks pada lontong
Ada tidaknya boraks pada lontong
Uji Turmerik (kurkumin)
(-) = negatif
(+) = positif
Nominal
3.
Pengetahuan Produsen
Pengetahuan dalam memproduksi lontong yang baik dan benar
Wawancara
(pedoman wawancara)
Dengan skala pengukuran:
(5) baik
(3) sedang
(1) kurang
(1) baik
(0) kurang
Kategori
Baik
(> + 1 SD)
Sedang
( ± 1 SD )
Kurang
( < – 1SD)
Ordinal
Teknik Pengumpulan Data
Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini digunakan beberapa cara pengumpulan data, yang disesuaikan dengan jenis data yang akan diambil. Cara pengumpulan data yang digunakan antara lain :
Wawancara.
wawancara ini digunakan untuk mengetahui tingkat pengetahuan produsen lontong mengenai sifat dan bahaya boraks serta mengenai penambahan borkas atau senyawanya pada makanan.
Analisis kimia.
Analisis kimia digunakan untuk menggali data mengenai kandungan boraks pada sampel lontong.
Jenis Data dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang bersumber langsung dari obyek yang diteliti, sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari pihak lain. Data sekunder berguna sebagai data dukung penelitian. Adapun data dan sumber data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut
Tabel 4.2 Sumber data penelitian
No.
Jenis data
Sifat data
Sumber
1.
Jumlah produsen lontong
Sekunder
Paguyuban kampung lontong Banyu Urip
2.
Identitas responden
Primer
Produsen lontong
3.
Tingkat pengetahuan produsen lontong tentang penambahan boraks pada lontong
Primer
Produsen lontong
4.
Kandungan boraks dalam lontong yang diproduksi oleh penjual lontong di banyu urip surabaya.
Primer
Hasil analisis kimia yang dilakukan di Lab. Pangan Terpadu Poltekkes Kemenkes Surabaya.
Instrumen Pengumpulan Data
Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan untuk mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih baik, dalam arti lebih cermat, lengkap dan sistematis sehingga lebih mudah diolah (Arikunto, 2010). Dalam penelitian ini instrumen yang digunakan antara lain :
Instrumen Kesediaan dan identitas responden
Instrumen pada tahap pengumpulan identitas berupa borang (form) yang diisi data responden, serta terdapat borang kesediaan untuk mengetahui kesediaan produsen lontong menjadi responden selama penelitian
Alat :
Alat tulis.
Borang kesediaan.
Prosedur :
Sebelum peneliti melakukan awawancara terhadap responden. Produsen wajib mengisikan ketersediaan untuk menjadi responden.
Setelah mengisi form persetujuan menjadi responden, maka peneliti bisa mengambil data dari responden.
Pedoman Wawancara
Pedoman wawancara terstruktur adalah pedoman wawancara yang disusun secara terperinci sehingga menyerupai check-list. Pewawancara akan mewawancara responden sesuai borang dan membubuhkan tanda v (check) pada nomor yang sesuai (Arikunto, 2010). Pedoman wawancara ini digunakan untuk mengetahui tingkat pengetahuan dari responden terhadap Bahan Tambahan Pangan Boraks, meliputi tingkat pengetahuan tentang bahaya boraks jika dikonsumsi (masuk ke dalam tubuh) serta penambahan boraks dan senyawanya (misal : bleng, pijer) dalam lontong.
Alat :
Alat tulis
Pedoman wawancara terstruktur
Kamera
Prosedur :
Peneliti mewawancara produsen yang telah bersedia untuk menjadi responden.
Pertanyaan yang diajukan berdasar pada pedoman wawancara yang telah dibuat.
Peneliti memberikan tanda check pada kolom yang sesuai.
Kemudian data akan di koding dan diolah.
Uji Turmerik
Uji turmerik ini adalah analisis kimia kualitatif yang menggunakan kurkumin (ekstrak kunyit) sebagai indikator untuk mengidentifikasi boraks dalam lontong. Metode, alat, dan bahan yang digunakan terlampir.
Teknik Analisis Data
Data yang terkumpul diolah secara statistik dengan menggunakan komputer program SPSS. Analisis dilakukan baik secara univariat dan bivariat. Analisis univariat dilakukan untuk mendapatkan gambaran atau deskripsi mengenai, tingkat pengetahuan para pembuat makanan jajanan tentang penggunaan boraks sebagai bahan tambahan pangan yang dilarang, dan praktek yang dilakukan pembuat makanan jajanan dalam pembuatan makanan jajanan dalam kaitannya dengan penggunaan boraks dan pewarna terlarang.
Untuk menganalisisnya digunakan teknik analisis deskriptif persentase. Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara variabel bebas satu dengan variabel bebas yang lain serta antara tiap-tiap variabel bebas dengan variabel terikat. Dalam analisisnya digunakan uji Korelasi spearman. Sehingga analisis bivariat ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara pengetahuan dan penambahan boraks pada makanan.
BAB 5
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Banyu Urip Kelurahan Kupang Krajan, Kecamatan Sawahan, Kota Surabaya. Paguyuban Pedagang Lontong Mandiri di Banyu Urip merupakan paguyuban pedagang lontong yang mendistribusikan produk lontong hampir ke seluruh pasar di Kota Surabaya. Jumlah pedagang berdasarkan data bulan oktober tahun 2014 berjumlah 44 rumah produksi.
Menurut Siswanto dalam wawancara (2015), paguyuban ini diresmikan pada tahun 2012, awal mula berdirinya paguyuban ini adalah untuk memudahkan para pedagang lontong dalam memperoleh bahan baku serta koordinasi dalam distribusi pemasaran produk. Paguyuban ini perkumpulan dari seluruh pedagang lontong yang ada di kelurahan Kupang Krajan, data lengkap pedagang lontong dapat dilihat pada Lampiran 6. Peran dari asosiasi profesi terhadap pedagang lontong lainnya antara lain :
Penyediaan bahan baku.
Dalam penyediaan bahan baku setiap rumah produksi sama, yakni daun pisang dan beras. Bahan baku beras dipesan melalui rekanan, mulai dengan beras kualitas I hingga beras kualitas III. Pengurus paguyuban akan merekap kebutuhan dari masing-masing rumah produksi, lalu mengkoordinasi untuk pembelian beras. Bahan utama lainnya adalah daun pisang, setiap rumah produksi akan memesan jumlah daun pisang yang mereka butuhkan. Daun pisang yang digunakan adalah daun pisang kluthuk yang langsung didatangkan dari Malang.
Penyediaan Bahan bakar.
Salah satu peran dari paguyuban adalah memfasilitasi para produsen lontong, untuk meningkatkan efisiensi dalam proses produksi. Salah datu fasilitas tersebut adalah penggunaan gas bumi sebagai bahan bakar perebusan lontong, yang merupakan peralihan dari gas LPG.
Distribusi dan Pemasaran.
Paguyuban juga berperan dalam koordinasi pembagian lokasi penjualan, sehingga tidak ada produsen yang dirugikan. Lokasi distribusi tersebar pada pasar-pasar yang ada di seluruh Kota Surabaya. Selain menjual di pasar produsen lontong juga menerima pesanan lontong dalam jumlah besar.
Karakteristik Responden
Responden dari penelitian ini adalah produsen lontong yang merupakan anggota dari P2LM (Paguyuban Pedagang Lontong Mandiri) Kelurahan Kupang Krajan, Kecamatan sawahan Kota Surabaya.Berikut adalah data karakteristik responden yang telah diwawancara tentang pengetahuan pembuatan lontong serta pengetahuan tentang boraks dan senyawanya. Data yang disajikan yaitu merupakan gambaran usia, pendidikan terakhir, lama usaha, serta lokasi penjualan.
Usia
Tabel. 5.1 Distribusi responden produsen Lontong berdasarkan usia di Banyu Urip, Kelurahan Kupang Krajan, Kec. Sawahan , Kota Surabaya tahun 2015.
No.
Usia
Jumlah
Persentase (%)
1.
30 – 49 tahun
8
62,00
2.
50 – 69 tahun
3
23,00
3.
> 70 tahun
2
15,00
Jumlah
13
100
Dari Tabel 5.1 diketahui bahwa responden paling banyak adalah berusia 30 – 49 tahun (62,00 %), disusul rentang usia 50 – 69 tahun (23,00%), dan paling sedikit yaitu berusia > 70 tahun (15,00%). Usia termuda responden adalah 34 tahun dan usia tertua responden adalah 76 tahun.
Pendidikan Terakhir
Tabel. 5.2 Distribusi Responden Produsen Lontong berdasarkan pendidikan terakhir di Banyu Urip, Kelurahan Kupang Krajan, Kec. Sawahan , Kota Surabaya.
No.
Pendidikan Terakhir
Jumlah
Persentase (%)
1.
SD
7
53,90
2.
SMP
2
15,40
3.
SMA
3
23,01
4.
Diploma
1
7,60
Jumlah
13
100
Dari Tabel 5.2 terlihat bahwa Sekolah Dasar (SD) adalah pendidikan terakhir terbanyak yang disandang oleh responden yakni sebesar (53,90%). Pendidikan paling sedikit yang disandang oleh responden yaitu tamatan diploma sebanyak 7,6 %.
Lama Usaha
Tabel. 5.3 Distribusi Responden Produsen Lontong berdasarkan Lama usaha di Banyu Urip, Kelurahan Kupang Krajan, Kec. Sawahan, Kota Surabaya tahun 2015.
No.
Lama Usaha
Jumlah
Persentase (%)
1.
< 5 tahun
1
7,60
2.
5 - 10 tahun
5
38,50
3.
> 10 tahun
7
53,90
Jumlah
13
100
Pada Tabel 5.3 didapatkan bahwa 53,90 % responden lontong telah menjadi produsen lebih dari 10 tahun, 38,5 % responden telah menjadi produsen sekitar lebih 5 tahun, dan 7,6 % responden telah menjadi produsen kurang dari 5 tahun.
Lokasi Penjualan
Tabel 5.4 Distribusi lokasi penjualan responden produsen lontong di Banyu Urip, Kelurahan Kupang Krajan, Kec. Sawahan, Kota Surabaya tahun 2015.
NO
Kode Responden
Lokasi Penjualan
A1
Pasar Tembok
A2
Pasar Pacar Keling
A3
Pasar Simo
A4
Pasar Tembok
A5
Pasar Krukah
A6
Pasar Kupang
A7
Pasar Mangga Dua
A8
Pasar Banyu Urip Kidul
A9
Pasar Keputran & Simo
A10
Pasar Dukuh Kupang & Wonokitri
A11
Pasar Simo
A12
Pasar Pacuan Kuda
A13
Pasar Manyar
Tingkat Pengetahuan Responden Tentang Proses Pembuatan Lontong Di Kelurahan Kupang Krajan, Kecamatan Sawahan, Surabaya.
Tingkat pengetahuan responden tentang proses pembuatan lontong diperoleh melalui wawancara terhadap 13 responden yang dipilih secara acak. Pedoman wawancara yang digunakan terdiri dari 13 pertanyaan dengan skor pada setiap butir pertanyaan maksimal 5 dan skor minimal 1. Pengkategorian tingkat pengetahuan berdasar skor dengan nilai
>47,3 (baik) , 40,85 - 44,07 (sedang) , dan <40,85 (kurang).
Hasil penilaian wawancara mencerminkan tingkat pengetahuan dari produsen lontong.Penilaian responden mengenai tingkat pengetahuan cara pembuatan lontong yang baik dapat dilihat pada Tabel. 5.5.
Tabel 5.5 Distribusi Responden Produsen Lontong Berdasarkan Tingkat Pengetahuan Pembuatan Lontong di Banyu Urip, Kelurahan Kupang Krajan , Kec. Sawahan, Kota Surabaya tahun 2015.
No.
Kategori
Jumlah
Persentase (%)
Baik
3
23,07
Sedang
10
63,93
Kurang
0
0
Jumlah
13
100
Berdasarkan Tabel 5.5 didapatkan bahwa 23,07 % responden termasuk dalam kategori baik, dan 63,93 % responden skor dengan kategori sedang.
Tingkat Pengetahuan Produsen Tentang Boraks atau Senyawanya pada Produsen Lontong Kelurahan Kupang Krajan, Kecamatan Sawahan.
Tingkat pengetahuan responden tentang boraks atau senyawanya diperoleh melalui wawancara terhadap 13 responden yang dipilih secara acak. Pedoman wawancara yang digunakan terdiri dari 15 pertanyaan dengan skor pada setiap butir pertanyaan maksimal 1 dan skor minimal 0. Pengkategorian tingkat pengetahuan berdasar skor dengan nilai
>10,53 (baik), 6,85 – 10,53 (sedang), dan <6,85 (kurang).
Hasil skor wawancara mencerminkan tingkat pengetahuan dari produsen lontong, penilaian responden mengenai tingkat pengetahuan boraks atau senyawanya dapat dilihat pada Tabel. 5.6
Tabel 5.6 Distribusi Responden Produsen Lontong Berdasarkan Tingkat Pengetahuan Terhadap Boraks Dan Senyawanya di Banyu Urip, Kelurahan Kupang Krajan, Sawahan, Surabaya tahun 2015.
No.
Kategori
Jumlah (n)
Persentase (%)
Baik
1
7,70
Sedang
12
92,30
Kurang
0
0
Jumlah
13
100
Analisa Kandungan Boraks Secara Kualitatif Pada Sampel Lontong Responden di Banyu urip, Kelurahan Kupang Karajan, Sawahan, Surabaya.
Sebanyak 13 sampel produk lontong dari responden yang mendapatkan wawancara dilakukan analisis kandungan boraks. Hasil analisa kandungan boraks atau senyawanya pada lontong dapat dilihat Tabel 5.7.
Tabel 5.7 Kandungan boraks pada sampel lontong responden di Banyu Urip, Kelurahan Kupang Krajan, Kec. Sawahan, Surabaya tahun 2015.
No.
Kandungan boraks pada lontong
Jumlah (n)
Persentase (%)
1.
Positif
0
0
2.
Negatif
13
100
Jumlah
13
100
Hasil analisi dari Uji Turmerik 13 sampel lontong menunjukkan bahwa 13 sampel lontong negatif mengandung boraks. Hasil tersebut membuktikan bahwa lontong yang diproduksi beberapa produsen di Kelurahan Kupang Krajan, Kecamatan Sawahan, Kota Surabaya bebas dari boraks.
Hubungan Tingkat Pengetahuan Produsen Lontong Terkait Boraks Terhadap Pengunaan Boraks Atau Senyawanya.
Tabel 5.8 Distribusi Skor Tingkat Pengetahuan dan Hasil Uji Laboratorium Senyawa Boraks Pada Sampel Lontong.
No.
Responden
Tingkat Pengetahuan
Hasil Uji Lab boraks
Kurang
Sedang
Baik
Negatif
Positif
A 1
-
9
-
-
A2
-
8
-
-
A3
-
8
-
-
A4
-
7
-
-
A5
-
8
-
-
A6
-
7
-
-
A7
-
9
-
-
A8
-
7
-
-
A9
-
-
14
--
A10
-
9
-
-
A11
-
9
-
-
A12
-
8
-
-
A13
-
10
-
-
Jumlah responden
0
12
1
13
0
Tabel 5.9 Tabulasi Silang Hubungan Tingkat Pengetahuan Dan Kandungan Senyawa Boraks Pada Sampel Lontong
No.
Tingkat Pengetahuan
Hasil Uji Lab senyawa boraks
p
Negatif
Positif
Jumlah
(%)
Jumlah
(%)
1.
Kurang
0
0
0
0
0.00
2.
Sedang
12
92,30
0
0
3.
Baik
1
7,70
0
0
Jumlah
13
100
0
0
Hasil tabulasi silang pada Tabel 5.9 dapat diperoleh bahwa 92,30% responden dengan kategori pengetahuan sedang dan 7,70 % responden dengan kategori tingkat pengetahuan baik memiliki produk lontong yang tidak mengandung boraks. Dari hasil analisa statistik (Korelasi Spearman) menggunakan program SPSS didapatkan hasil p= 0.00, yang menunjukkan bahwa ada hubungan antara tingkat pengetahuan produsen terhadap penggunaan boraks pada lontong.
Pembahasan
Karakteristik Responden.
Usia
Usia produktif adalah antara usia 30 sampai dengan usia 55. Hal ini sesuai dengan hasil distribusi responden, bahwa produsen lontong paling banyak antara 30 – 49 tahun. Pada usia lebih dari 70 tahun seseorang sedah memasuki tahap lansia dimana mulai terjadi penurunan kemampuan metabolisme tubuh. Sehingga, pada usia ini diharapkan tidak melakukan aktivitas yang berat (Saparinah, 1983).
Responden dengan usia > 70 tahun merupakan responden paling sedikit disebabkan pada usia ini responden telah mewariskan usaha produksi lontong kepada generasi penerusnya yang lebih muda. (Responden 9, wawancara, 2 Januari 2015).
Meskipun demikian usia responden tidak memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap jumlah penghasilan, serta kualitas lontong yang dihasilkan. Data lengkap terkait penghasilan responden dapat dilihat pada Lampiran 7.
Pendidikan Terakhir
Sekolah Dasar (SD) adalah pendidikan terakhir terbanyak yang disandang oleh responden yakni sebesar (53,90%). Pendidikan paling sedikit yang disandang oleh responden yaitu tamatan diploma sebanyak
7,6 %. Distribusi produsen dengan latar belakang pendidikan SD paling banyak dikarenakan, responden memiliki keterbatasan ekonomi, sehingga tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Menurut Suhardjo (2003) tingkat pendidikan dapat menentukan seseorang dalam menyerap dan memahami pengetahuan yang mereka peroleh sehingga pendidikan diperlukan agar seseorang lebih tanggap terhadap masalah yang ada.
Meskipun demikian, pendidikan terakhir tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap produksi lontong pada 13 responden, hal ini dikarenakan pada usaha produksi lontong yang memiliki peran penting adalah ketrampilan dalam membuat lontong serta ketrampilan dalam berjualan lontong. Meskipun Sekolah Dasar merupakan pendidikan terakhir terbanyak yang disandang responden akan tetapi ketrampilan yang baik dalam membuat lontong dapat menutupi kekurangan tersebut.
Lama Usaha
Pengalaman kerja adalah tingkat pengetahuan serta ketrampilan seseorang dalam pekerjaannya yang dapat diukur dari masa kerja dan dari tingkat pengetahuan dan ketrampilan yang dimilikinya. Pengalaman kerja seseorang sangat ditentukan oleh rentan waktu lamanya seseorang menjalani pekerjaan tertentu. Lamanya pekerja dapat dilihat dari banyaknya tahun, yaitu sejak pertamakali melakukan usaha tersebut (Ranupandojo, 1984).
Lama usaha tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penggunaan bahan tambahan pangan (boraks) pada lontong, hal ini dikarenakan tidak ada perbedaan antara responden yang telah menjadi produsen lebih dari 10 tahun dan responden yang telah menjadi produsen yang kurang dari 5 tahun, yakni sama-sama tidak menambahkan bahan tambahan pangan boraks pada lontong.
Lama usaha ini memberikan pengaruh terhadap kualitas dari masing-masing produk lontong serta banyaknya jumlah pelanggan
(Responden 9, wawancara, 2 Januari 2015).
Lokasi Penjualan
Setiap produsen memiliki lokasi pemasaran produk yang berbeda, dengan demikian paguyuban berperan untuk mengatur tempat pemasaran, sehingga distribusi produk bisa lebih merata dan tidak ada pihak yang dirugikan.
Pasar merupakan tempat yang diprioritaskan sebagai lokasi penjualan lontong, hal ini dikarenakan konsumen yang datang ke pasar sangat bervariasi mulai dari masyarakat dengan ekonomi rendah hingga ekonomi tinggi, selain itu lontong juga merupakan olahan makanan pokok sekaligus jajanan tradisional yang sangat diminati masyarakat di surabaya. Proses produksi lontong yang membutuhkan waktu perebusan lama, menyebabkan masyarakat lebih memilih untuk membeli lontong daripada membuat sendiri, hal ini menjadikan usaha produksi lontong sebagai usaha yang cukup menjanjikan.
Tingkat pengetahuan responden tentang proses pembuatan lontong di Kelurahan Kupang Krajan, Kecamatan Sawahan, Surabaya.
Tingkat pengetahuan tentang cara produksi lontong sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain :
Pengalaman dalam produksi lontong.
Selama mendirikan usaha produksi lontong para pedagang sudah sering mengalami kegagalan dalam proses produksi. Banyak uji coba yang telah dilakukan, seperti mengganti jenis beras, mengganti jenis daun pisang serta merubah waktu perebusan. Berbagai uji coba yang telah dilakukan menjadikan para produsen lontong memiliki standar resep (secara tidak tertulis) pada setiap rumah produksi. Dengan demikian dapat menjaga kualitas produk yang dihasilkan.
(Responden 1, wawancara, 2 Januari 2015)
Paguyuban pedagang.
Adanya paguyuban ini mempermudah para produsen untuk bertukar info terkait produksi lontong.
Berdasarkan penjelasan dari responden didapatkan bahwa proses produksi lontong meliputi 6 tahap utama, yakni pelayuan daun, pencucian beras, penirisan beras, pengisian lontong, perebusan lontong dan penyajian. Prosedur lengkap dapat dilihat pada Lampiran 12.
Tingkat Pengetahuan Produsen Tentang Boraks Atau Senyawanya Pada Produsen Lontong Kelurahan Kupang Krajan, Kecamatan Sawahan.
Berdasarkan distribusi tingkat pengetahuan produsen tentang boraks atau senyawanya didapatkan bahwa 7,70 % responden mendapat skor dengan kategori baik, dan 92,30% responden mendapat skor dengan kategori sedang.
Pengetahuan produsen tentang boraks sudah cukup. Terdapat 12 orang dengan kategori tingkat pengetahuan sedang dan 1 orang dengan tingkat pengetahuan baik. Beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan terhadap boraks dan senyawanya antara lain :
Informasi dari rekan sesama produsen lontong.
Sebanyak 38,50 % responden pernah mencoba untuk menambahkan bleng pada lontong yang diproduksi berdasarkan ajakan dari rekan sesama produsen lontong. Namun, proses produksi menjadi lebih banyak karena menambahkan 1 tahap, yakni merebus beras yang telah dicampur dengan bleng sebelum dimasukkan ke dalam bungkusan daun.
Meskipun penambahan bleng menambah daya simpan lontong, rasa lontong yang dihasilkan sedikit berbeda dan proses produksi menjadi kurang efektif. Berdasarkan alasan diatas dan prinsip dari produsen untuk tetap mempertahankan standar resep, maka beberapa produsen memutuskan untuk tidak menambahkan bahan tambahan baik boraks maupun bahan kimia yang lainnya.Hal ini dibuktikan dengan hasil analisa kualitatif tidak ada sampel lontong yang mengandung boraks.
Informasi melalui media masa.
Informasi baru yang diperoleh melalui media masa (baik media cetak maupun media elektronik) meliputi, informasi tentang bahaya bleng bagi kesehatan, adanya pemeriksaan dari BPOM terhdap keamanan produk pangan di pasar tradisional di Kota Surabaya.
Garam bleng adalah campuran garam mineral yang digunakan secara luas untuk membuat makanan tradisional seperti kerupuk. Garam bleng mampu mengembangkan dan memberikan kekenyalan pada bahan, serta memberi aroma dan rasa yang khas. Bleng adalah sebutan untuk salah satu zat berbahaya dengan nama ilmiah Natrium Biborat, Natrium Piroborat, Natrium Teraborat. Bleng adalah bentuk tidak murni dari boraks/asam borat murni yang biasa dibuat oleh industri farmasi
(Utami, 2011).
Namun berdasarkan hasil wawancara, masih banyak produsen lontong yang belum mengetahui bahwa bleng merupakan suatu bahan tambahan pangan yang mengandung boraks, sehingga responden beranggapan bahwa bleng masih boleh digunakan pada beberapa produk makanan seperti krupuk Gendar.Hasil penelitian Sugiyono di daerah Ambarawa, Semarang (2009), menyebutkan bahwa krupuk gendar positif mengandung boraks
Analisa Kandungan Boraks Secara Kualitatif Pada Sampel Lontong Responden di Banyu urip, Kelurahan Kupang Karajan, Sawahan, Surabaya.
Uji laboratorium produk lontong terhadap boraks atau senyawanya dilakukan di Labaoratorium Terpadu Poltekkes Kemenkes Surabaya. Analisis kimia dilakukan dengan metode turmerik, yakni menggunakan senyawa kurkumin pada kunyit yang dapat mengidentifikasi adanya boraks atau senyawanya pada makanan.
Kurkumin akan memberikan warna coklat-kemerahan pada suasana alkali, sedangkan pada suasana asam memberikan warna kuning terang. Berdasarkan hal tersebut penambahan HCl dalam analisis kualitatif selain bertujuan untuk melepaskan boraks dari ikatannya dan membentuk kompleks rosasianin atau senyawa Boron Cyano Kompleks yaitu suatu zat yang berwarna merah, sedangkan penambahan Ca(OH)2 bertujuan untuk memberntuk suasana alkali (Azas, 2013).
Beberapa ciri-ciri jajanan (seperti lontong) yang mengandung boraks antara lain teksturnya sangat kenyal, berasa tajam, sangat gurih dan membuat lidah bergetar dan memberikan rasa getir (Utami, 2011). Hasil dari pengamatan fisik lontong menunjukkan bahwa 13 sampel lontong negatif mengandung boraks. Hasil pengamatan fisik dan masa simpan dapat dilihat pada Lampiran 10 dan Lampiran 11.
Dari 13 sampel lontong tidak ada lontong yang masa simpannya lebih dari 2 hari pada suhu ruang. Masa simpan masing-masing lontong berbeda, hal ini dikarenakan bergantung pada masa perebusan lontong, kepadatan lontong dan jenis beras yang digunakan. Lontong mempunyai tekstur kenyal, dan lembut serta dapat bertahan hingga dua hari jika disimpan dalam lemari pendingin (Tarwodjo, 1998). Berkaitan dengan pengaruh kualitas beras terhadap kualitas lontong yang dihasilkan, seorang tokoh masyarakat menyatakan bahwa :
"Beras pulen akan lebih cepat mengalami kerusakan, daripada beras dengan kualitas lebih rendah. Sehingga, dalam pembautan lontong akan dicampur antara beras kualitas bagus dengan beras kualitas rendah. Semakin lama direbus akan memperpanjang daya simpan lontong" (Responden 9, wawancara, 2015).
Hal ini merupakan salah satu bukti keberhasilan berbagai sektor, baik pemerintah melalui BPOM, media informasi serta kesadaran dari masing-masing produsen, dalam rangka menjaga keamanan pangan. Sehingga, makanan yang diproduksi sehat dan aman. Sehat adalah mengandung nutrisi yang bermanfaat untuk tubuh dan aman untuk dikonsumsi yakni tidak berbahaya bagi kesehatan konsumen.
Hubungan Tingkat Pengetahuan Produsen Lontong Terkait Boraks Terhadap Pengunaan Boraks Atau Senyawanya.
Analisa hubungan antara tingkat pengetahuan produsen lontong terhadap adanya kandungan senyawa boraks pada lontong menggunakan
uji korelasi bivariat non-parametrik spearman.
Berdasarkan hasil uji normalitas data, didapatkan bahwa data tidak berdistribusi normal. Dari hasil analisis statistik data menggunakan SPSS dengan α=0,05, menunjukkan signifikansi = 0 (p = 0), sehingga ada hubungan antara tingkat pengetahuan dan kandungan senyawa pada boraks. Namun, dari hasil uji korelasi tidak dapat diketahui berapa besar hubungan (koefisien korelasi) antara tingkat pengetahuan produsen lontong tentang boraks dan kandungan senyawa boraks pada produk lontong dikarenakan salah satu data bersifat konstan. Data konstan tersebut adalah hasil uji laboratorium tentang kandungan senyawa boraks pada 13 sampel negatif. Seperti terlihat pada Lampiran 13.
Hasil analisis menunjukkan bahwa ada hubungan antara tingkat pengetahuan tentang boraks dan senyawanya terhadap penggunaan boraks pada lontong. Tingkat pengetahuan yang kurang memiliki resiko besar untuk terjadinya pencemaran pada makanan dibandingkan dengan produsen yang memiliki tingkat pengetahuan yag lebih baik (Sugiyatmi,2006).
Sikap seseorang terbentuk dari tingkat penegtahuan yang dimiliki. Selanjutnya, sikap akan mempengaruhi terjadinya praktek. Sebagai akibat adanya praktek akan terjadi suatu gejala. Dengan pengetahuan yang baik akan terbentuk sikap yang baik. Sikap yang baik ini akan membentuk praktek yang baik. Dengan demikian hasil yang diperolehnya akan baik. Sebaliknya bila tingkat pengetahuan dan sikapnya rendah. Akibatnya praktek yang dilakukan kurang baik. Hasil yang diperoleh juga tidak baik.
Demikian halnya dengan masalah penambahan boraks dan senyawanya. Seseorang yang memiliki tingkat pengetahuan kurang terhadap bahaya boraks, maka sikapnya dalam penggunaan boraks dan senyawanya tidak sesuai dengan yang dikehendaki dalam peraturan. Selanjutnya praktek yang dilakukan dalam pembuatan lontong juga tidka sesuai dengan yang dikehendaki dalam peraturan. Sebagai akibatnya terjadi pencemaran pada makanan jajanan yang dibuatnya. Berdasarkan pada hasil analisis dan uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa pengetahaun merupakan faktor penting agar tidak terjadi pencemaran bahan toksik boraks pada lontong.
Produsen Lontong pada Di Paguyuban Pedagang Lontong Mandiri Kelurahan Kupang Krajan, Kecamatan Sawahan telah menerapkan pengetahuan yang merekan dapatkan baik informasi dari media masa, rekan sesama produsen lontong, maupun dari pengalaman yang mereka dapatkan terhadap proses produksi lontong. Sehingga produk lontong yang dihasilkan aman untuk dikonsumsi serta memiliki kualitas yang terjaga.
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Tingkat Pengetahuan Produsen lontong secara keseluruhan cukup. Hal ini ditunjukkan dengan tidak ada produsen lontong dengan tingkat pengetahuan kurang. Sebanyak 23,07 % responden termasuk dalam kategori baik, dan 63,93 % responden skor dengan kategori sedang tentang pengetahuan dalam pembuatan lontong yang baik. Sedangkan pengetahuan terhadap boraks terdapat 92,30 % dari 13 responden dengan kategori tingkat pengetahuan sedang, dan sebanyak 7,7% responden dengan kategori tingkat pengetahuan baik.
Hasil Analisa Kimia secara kualitatif dengan uji turmerik menunjukkan hasil 100% dari sampel lontong dinyatakan negatif mengandung boraks dan senyawanya. Sehingga lontong aman untuk dikonsumsi.
Analisa statistik korelasi bivariat menunjukkan ada hubungan antara tingkat pengetahuan produsen lontong terhadap penambahan boraks dan senyawanya ke dalam produk lontong. Besarnya koefisien korelasi tidk dapat ditentukan karena data pada hasil uji turmerik bersifat konstan. Hasil analisa menunjukkan semakin baik tingkat pengetahuan akan tercermin pada perilaku produsen, sehingga dengan pengetahuan tersebut produsen tidak menambahkan bahan kimia dalam pembuatan lontong.
Saran
Para pedagang lontong di kelurahan Kupang Krajan, Kecamatan Sawahan diharapkan tetap tidak menggunakan boraks/bleng untuk mengawetkan lontong.
Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai kandungan boraks pada bahan makanan yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
[BPOM] Badan Pengawas Obat dan makanan Republik Indonesia. 2002. Informasi Pengamanan Bahan berbahaya : Boraks (Borax). Direktorat Pengawasan Produk dan Bahan berbahaya, Deputi Bidang Pengawasan keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya. Jakarta
[BPOM] Badan Pengawas Obat dan makanan Republik Indonesia. 2009. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.00.06.1.52.4011 tentang Penetapan Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Kimia dalam Makanan.
[Kemenkes RI] Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2012. Peraturan Menteri Kesehtan Republik Indonesia No.33 tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan. Jakarta.
[Kemenkes RI]. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 1976.
Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 329/Menkes/PER/XII/76 tentang Produksi dan Peredaran Makanan. Setjen Depkes, Jakarta.
Almatsier, Sunita. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Anonim. 2006. Rumus Struktur Boraks. http://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov /summary/summary.cgi?cid=6432057 [1 Desember 2014]
Arikunto, Suharismi. 2010. Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktik. Ed. Rev., cet.14. Rineka Cipta, Jakarta.
Azas, Qaffah S. 2013. Analisis Kadar Boraks Pada Kurma yang Beredar Di Pasar Tanah Abang dengan Menggunakan Spektrofotometri UV-Vis, Skripsi, Program Studi Farmasi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Cahyadi,Wisnu. 2006. Analisis dan Aspek Kesehtan Bahan Tambahan Pangan. Bumi Aksara, Jakarta.
Dirjen POM Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1995). Farmakope Indonesia. Edisi IV. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Katzung,B.G. 2004. Farmakologi dasar dan Klinik Buku 3 Edisi 8, diterjemahkan oleh Bagian Farmakologi FK Universitas Airlangga. Salemba Medika, Surabaya.
Khamid, I.R. 1993. Bahaya Boraks Bagi Kesehatan. Penerbit Kompas,Jakarta..
Mc Ketta,J.J and D.F.Othmer.1968. Encyclopedia of Chemical Technology. Second Edition. Mei Ya Publication, Taipei.
Mubarak, W.I.,Chayatin, N., Rozikin,C., dan Supradi. 2012. Promosi Kesehatan: Sebuah Pengantar Proses Belajar Mengajar dalam Ilmu Pendidikan. Graha Ilmu, Yogyakarta.
Panjaitan, labora. 2010. Pemeriksaan dan Penetapan Kadar Boraks dalam Bakso di Kota Madya Medan. Artikel Penelitian Fakultas Farmasi, Universitas Sumatera Utara, Medan.
Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan. Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia., Jakarta.
Purnomo, H. 2003. Mempelajari Penambahan Air Bleng dan Suhu Pemasakan Terhadap kualitas Bakso Sapi. Skripsi. Universitas Brawijaya, Malang.
Ranupandojo, H., dan Suad Husnan. 1984. Manajemen Personalia., Edisi III. Yogyakarta:BPFE.
Rustamaji, E. 1997. Penggunaan bahan terlarang pada makanan dan minuman. YLKI, Jakarta.
Saparinah, Sadli. 1983. Diatas 40 tahun: Problematik Pria dan Wanita. Sinar Harapan : Jakarta
Saparinto C, Hidayati D.2006. Bahan Tambahan pangan. Kanisius, Yogyakarta.
Stefany, A.W. 2006. Evaluasi Keamanan Pangan Bakso Cilok Ditinjau Dari Kandungan Boraksnya di Beberapa Sekolah Dasar (SD) di Wilayah Semarang, Skripsi. Jurusan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian.Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang.
Sugiyatmi,Sri. 2006. Analisis Faktor-faktor resiko pencemaran bahan toksik boraks dan pewarna pada makanan jajanan tradisional yang dijual di pasar-pasar kota semarang tahun 2006, Tesis, Pasca Sarjana Magister Kesehatan Lingkungan, Universitas Diponegoro, Semarang.
Suhardjo, 2003. Berbagai Cara Pendidikan Gizi. PT Bumi Aksara, jakarta
Sunyoto, Danang. 2013. Statistik Untuk Paramedik. Alfabeta, Bandung.
Syah, D., Utama, S., Mahrus, Z., Fauzan, F., Siahaan, R. 2005. Manfaat dan Bahaya Bahan Tambahan Pangan. Himpunan Alumni Fakultas Teknologi Pertanian Bogor, Jakarta
Tarwodjo, I, 1998. Dasar – dasar Gizi Kuliner. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7. 1996. Pangan. Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Jakarta
Utami, Sri. 2011. Apakah anda sering mengkonsumsi makanan yang mengandungbleng atau boraks ?. http://id.m.wikipedia.org/wiki/makanan yang _mengandung_boraks. [ 19 Agustus 2014]
Wikipedia. 2014. Lontong. http://id.m.wikipedia.org/wiki/lontong [5 mei 2014]
Winarno F.G. & T.S. Rahayu. 1994. Bahan Makanan Tambahan untuk Maknan dan Kontaminasi. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Winarno F.G. 1992. Keamanan Pangan. IPB, Bogor.
Winarno F.G. 1997. Kimia pangan dan gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Winarno F.G.1997. Keamanan Pangan. IPB,Bogor.