FILSAFAT SOSIAL
(Tugas bedah buku)
Buku ini berjudul Filsafat Sosial, yang berisi kumpulan tulisan hasil kreativitas orang-orang yang bukan hanya pemerhati ilmu sosial, tetapi juga orang yang memang memiliki perhatian khusus pada filsuf dan aliran filsafatinya. Buku ini dibatasi hanya menerbitkan tulisan-tulisan yang membahas filsuf modern dan postmodern, dan tidak memuat pemikiran filsuf tradisional, sebab pemikiran filsafat tradisional yang menjelaskan dunia sosial dengan cara mengaitkan dengan hal-hal yang adikodrati tidak mendasarkan diri pada rasio yang merupakan ciri dari ilmu pengetahuan modern. Penulis buku ini sendiri menempatkan dirinya sebagai seorang editor, dimana nama beliau adalah Bagong Suyanto. Buku yang terdiri dari 287 halaman ini terdiri dari beberapa bagian; diawali dengan Kata Pengantar dari Editor kemudian diberikan sebuah pendahuluan yang menjelaskan tentang apa itu Filsafat Sosial dan bagaimana pemahaman tentang perkembangan Filsafat Sosial, dilanjutkan dengan isi buku yang terdiri dari 15 bab dan diakhiri dengan biodata sang Editor itu sendiri. Buku ini diterbitkan oleh Aditya Media Publishing, Malang dengan cetakan pertama, Agustus 2013.
Bagong Suyanto mengawali buku ini dengan menjabarkan pengertian Filsafat secara umum dan berkembang sampai kepada pengertian Filsafat sosial itu sendiri. Filsafat sesungguhnya adalah bentuk refleksi atau pemikiran yang rasional tentang prinsip-prinsip umum dengan tujuan mencari pemahaman lebih mendalam tentang berbagai hal yang berkembang di masyarakat. Filsafat bukanlah sesuatu yang teralienasi dan mengalienasikan masyarakat, tetapi filsafat lahir dengan bertumpu pada munculnya berbagai problema dan keinginan manusia untuk meraih kehidupan sosial yang lebih baik atau ideal-yang didambakan sebagai sesuatu yang ingin diraih. Pemikiran filsafati sejatinya bukan sekedar menjelaskan hal-hal yang konseptual, tetapi acapkali justru dimulai dengan mempertanyakan hal-hal yang fundamental, yang mendasar dari pengalaman dan keberadaan manusia. Seperti dikatakan Aristoteles, bahwa manusia memang dikodratkan untuk selalu ingin tahu, sehingga ketika manusia berpikir dan para filsuf merenungkan hakikat dunia, maka yang mendasari pertama kali tak pelak adalah rasa ingin tahu, rasa penasaran, dan juga terkadang semangat perlawanan. Kebenaran dalam ilmu pengetahuan, dalam pandangan Bacon adalah kebenaran yang diperoleh dari hasil amatan yang objektif dan eksperimen yang tertata.
Dalam pandangan para filsuf, sejak awal telah disadari bahwa kebenaran bukanlah sesuatu yang imun atau kebal dari kritik, karena filsafat itu sendiri sesungguhnya adalah kritik, dan karena kritik itu sendiri adalah salah satu fungsi terpenting filsafat dalam kehidupan manusia. Tanpa kritik, manusia niscaya akan mati dalam keputusasaan dan kesendiriannya, karena tidak memiliki second opinion, bandingan yang membuat manusia lebih bijaksana dalam memandang kehidupan yang acapkali rumit dan penuh dengan perbedaan.
Argumen filosofis menuntut persetujuan rasional manusia, bukan iman maupun ketaatan. Filsafat bukanlah keyakinan dan dogma, tetapi filsafat adalah sebuah proses berpikir, metode berpikir dan pemikiran yang benar-benar ditopang oleh rasio manusia.
Filsafat sosial itu sendiri sesungguhnya adalah sebuah bentuk pemikiran yang membahas fondasi yang mendasari kelahiran dan perkembangan masyarakat, terutama perkembangan peradaban Barat modern dan kapitalisme. Secara garis besar, ada tiga elemen pokok modernitas, yaitu: subjektivitas (rasionalitas), ide kemajuan (the idea of progress) dan kritik. Ketiga elemen inilah yang membedakan masyarakat di era tradisional dengan masyarakat di era modern.
Belajar filsafat adalah belajar tentang ketidakpastian: bukan dalam arti sesuatu yang tidak benar, melainkan sesuatu yang kebenarannya terus dapat dipertanyakan kembali, didekonstruksi, untuk kemudian direkonstruksi hingga satu titik kebenaran baru itu mengalami proses dialektika yang sama: didekonstruksi dan direkonstruksi kembali.
Thomas Samuel Kuhn: tentang Pergeseran Paradigma.
Thomas S. Kuhn seoramh ahli fisika yang menjadi profesor filsafat dan sejarah ilmu pada tahun 1961, mengemukakan bahwa tidak ada paradigma yang salah. Ketika ilmuwan gagal memecahkan teka-teki science, maka kegagalan tersebut merupakan kegagalan ilmu itu sendiri bukan kegagalan paradigma. Paradigma tidak pernah gagal, tidak pernah mengalami falsifikasi tapi mengalami pergeseran atau yang sering dikenal shifting paradigm. Dalam konteks ini Kuhn menyampaikan bahwa ilmu mengalami perkembangan, dapat berkembang secara open-ended (sifatnya selalu terbuka untuk direduksi dan dikembangkan). Kuhn berusaha menjadikan teori tentang ilmu lebih cocok dengan situasi sejarah, dengan demikian diharapkan filsafat ilmu lebih mendekati kenyataan ilmu dan aktivitas ilmiah yang sesungguhnya.
Paradigma adalah suatu asumsi-asumsi dasar dan asumsi-asumsi teoritis yang umum dan merupakan sumber nilai. Kuhn menggunakan paradigma dalam dua pengertian sebagai berikut:
Paradima berarti keseluruhan kontelasi kepercayaan, nilai, teknik yang dimiliki bersama oleh anggota masyarakat ilmiah tertentu.
Paradigma menunjukkan sejenis unsur dalam konstelasi itu dan pemecahan teka-teki yang konkret, dan dapat digunakan sebagai model, pola atau contoh dapat menggantikan kaidah-kaidah yang eksplisit sebagai dasar bagi pemecahan permasalahan dan teka-teki normal sains yang masih tersisa.
Filsafat ilmu harus berguru pada sejarah ilmu sehingga seorang ilmuwan dapat memahami hakekat ilmu dan aktivitas ilmiah yang sesungguhnya. Dengan mendasarkan pada sejarah ilmu, Kuhn berpendapat bahwa terjadinya perubahan-perubahan yang berarti tidak pernah terjadi berdasarkan upaya empiris untuk membuktikan salah (falsifikasi) suatu teori atau sistem, melainkan berlangsung melalui revolusi ilmiah. Sains lebih dicirikan oleh paradigma dan revolusi yang menyertainya.
Dari rekaman sejarah ilmu, bisa diketahui bahwa terjadinya perubahan dalam perkembangan sejarah ilmu bukan didasarkan pada upaya empiris untuk falsikasi (proses eksperimental untuk membuktikan salah dari suatu ilmu) dan refutasi (penyangkalan teori) melainkan berdasarkan revolusi-revolusi ilmiah sehingga kemajuan ilmu pengetahuan bersifat revolusioner bukan kumulatif.
Shifting paradigms merupakan istilah untuk menggambarkan dimensi kreatif pikiran manusia dalam bingkai filsafat. Dengan demikian, paradigma ilmu tidak lebih dari suatu konstruksi segenap komunitas ilmiah.
Kritik terhadap Thomas S. Kuhn.
Kuhn menyatakan bahwa paradigma yang tidak bisa menjawab atau memecahkan anomali akan digantikan oleh paradigma baru. Kuhn lupa bahwa setiap penelitian dalam sains selalu diikuti oleh contoh-contoh pengamatan yang bertentangan. Ilmu pengetahuan seharusnya tidak identik dengan paradigma. Bahwa ada paradigma-paradigma yang menjadi acuan penjelasan dalam ilmu pengetahuan dan bukan identifikasi ilmu sebagai paradigma. Karena kalau tidak maka menggantikan paradigma sama saja menggantikan ilmu pengetahuan.
Gottfried Wilhelm von Leibniz: Tuhan dalam Konsep Kaum Rasionalis.
Tugas filsafat adalah berusaha untuk mengetahui dan memahami makna dari yang ada (being). Jika Tuhan merupakan sesuatu yang ada, maka Dia pun tidak kebal untuk direnungkan oleh para filsuf dan memperbincangkan-Nya. Gagasan Leibniz tentang hal ini sangat bermakna karena eksistensi Tuhan lantas dapat ditemukan dalam pengalaman hidup manusia, paling tidak dalam pengalaman berpikirnya, bukan Tuhan yang terasing dalam singgasana-Nya. Dengan Descartes dan Spinoza sebagai counterpart-nya, Tuhan diperbincangkan secara rasional. Seperti keduanya, Leibniz mendasarkan filsafatnya pada konsep tentang substansi, tetapi dia berbeda dari keduanya dalam hal hubungan antara jiwa dan materi serta jumlah substansi. Leibniz memercayai Tuhan (supermonad), substansi sederhana (monad), dan gabungan substansi (composites). Dengan logika deduktif, Leibniz membangun tiga karakteristik pokok filsafatnya tentang Tuhan, yaitu: Tuhan mencipta sebaik mungkin, Tuhan mencipta secara bebas, dan Tuhan mencipta sebanyak mungkin.
Ketiga filsuf metafisikawan terbesar di abad 17, yaitu Descartes, Spinoza dan Leibniz ini memulai kajian filsafatnya dari basis yang sama (substansi), metode yang sama (deduksi), tapi sampai pada kesimpulan yang tidak sama. Terlepas dari perbedaan tersebut, tidak bisa diragukan bahwa ketiganya sama-sama mengakui adanya Tuhan. Yang menarik dari Leibniz adalah keteguhan keyakinannya pada monotheisme, meskipun ia cukup akrab dengan Spinoza, yang pantheisme itu; juga keteguhan pandangannya mengenai pluralisme substansi, meskipun ia berhubungan dengan Descartes, yang dualisme itu.
Rene Descartes: Refleksi Metodik "Cogito Ergo Sum".
Sebagai seorang filsuf yang juga matematikawan, Rene Descartes bereksperimen dalam ranah filsafat dengan metode keraguan untuk menemukan sebuah kepastian layaknya sebuah kepastian dalam matematika. Dalam konteks inilah ikhtiar untuk menemukan pengetahuan yang terang dan jelas menjadi tujuan dari asumsi-asumsi filosofis yang ia tawarkan dengan slogan "Cogito Ergo Sum (Aku berpikir maka aku ada)". Dengan pola analisis, Descartes menawarkan metode penguraian masalah dalam aspek-aspek yang terinci (faculty) dalam pernyataan yang sederhana. Gagasan yang sederhana inilah yang dimaksudkan dalam konsep Idees claires et distinctes. Dari gagasan yang sederhana inilah kemudian dirangkai untuk menemukan kemungkinan perluasan konsepnya dalam pola kerja sintesis, yang menghasilkan kepastian sebuah pengetahuan setelah dilakukan proses verifikasi. Pendekatan realisme epistemologisnya yang memosisikan subjek (manusia yang berpikir) dan objek (yang dipikirkan) secara terpisah (res cogitans dan res extensa), bermuara pada keyakinan Descartes tentang ide bawaan (idea innatae) yang merupakan karunia dari Tuhan sehingga memunculkan anggapan bahwa manusia adalah gambaran Tuhan di mata dunia (segambar dengan Tuhan), yang dikenal dengan konsep imago dei.
Ditilik dari sejarah filsafat, asumsi-asumsi pemikiran tentang manusia yang memiliki dimensi dualitas sudah berkembang sebelum Rene Descartes mengenalkan metode keraguan yang diawali dengan ungkapnya yang sangat terkenal "cogito ergo sum". Paling tidak ide tersebut sudah terlihat dalam pemikiran Plato, Aristoteles, dan Thomas Aquinas yang berpendapat bahwa hanya manusia yang memiliki jiwa. Namun demikian, Rene Descartes bisa memberikan warna baru dengan ide perbedaan eksistensi pikiran dan eksistensi raga/materi. Kedua dimensi substansi tersebut direpresentasikan dalam konsep rex cogitan atau realitas ide/pikiran dan rex extensa atau realitas materi. Di mana rex cogitan terkait dengan esensi substansi ketiga, yakni Tuhan yang merupakan representasi dari esensi kesempurnaan tertinggi.
Immanuel Kant: Filsafat Kritis Sintesis antara Rasionalisme dan Empirisme.
Immanuel Kant (1724-1804) merupakan seorang filsuf yang memberikan arah baru karena ide dan gagasannya untuk menyintesiskan antara rasionalisme dan empirisme yang pada zamannya menjadi dua aliran utama dan berdiri sendiri-sendiri dengan pokok pikirannya masing-masing. Melalui kritisisme Kant menentang dogmatisme dan tidak menerima begitu saja kemampuan rasio tanpa menguji batas-batasnya. Melalui karyanya Kant ingin menemukan kemampuan sebenarnya dari pikiran dan menunjukkan bahwa manusia dapat memahami realitas alam dan moral dengan menggunakan akal budinya. Kant telah mengubah gaya pikir manusia pada saat ia hidup. Immanuel Kant merupakan seorang filsuf besar yang ide-idenya menjadi acuan banyak ilmuwan besar sesudahnya. Filsafat Kant yang kemudian diacu oleh Hegel menjadi dasar terbentuknya teori-teori kritis dalam ilmu-ilmu sosial.
Asas akal budi menurut Kant adalah logika, yakni logika transendental yang meskipun apriori namun tetap menjaga kaitannya dengan objek empiris. Logika transendental memusatkan diri pada asas-asas apriori pikiran manusia atas objek sejauh menentukan pemahaman, bukan yang lepas dari objek. Logika transendental ini menurut Kant merupakan forma apriori dalam akal budi.
Georg W. F. Hegel: Filsafat Idealisme (Mutlak).
Filsafat idealisme yang digagas Georg Wilhelm Friedrich Hegel adalah aliran pemikiran yang dibangun di atas logika dialektika dan filsafat sejarah yang memahami kenyataan sebagai sebuah proses menjadi. Hegel memahami yang absolut sebagai subjek atau roh yang telah menyadari dirinya sendiri, yakni seluruh realitas yang memikirkan dirinya sendiri. Hegel menyatakan yang rasional itu nyata, dan semua yang nyata adalah rasional. Dalam proses dialektika, menurut Hegel yang terjadi bukan hanya peniadaan, pembatalan dari kedua oposisi (tesis-antitesis), karena munculnya sintesis membuat keduanya tidak berlaku, ditarik ke taraf yang lebih tinggi dan kebenaran keduanya dipertahankan dalam sintesis yang dihasilkan. Dunia, dalam pandangan Hegel adalah sesuatu yang dinamis seperti halnya pikiran (reason). Dunia dan pikiran, keduanya aktif, berproses secara evolusioner dan kontradiksi merupakan akar dari kehidupan dan gerak. Segala sesuatu cenderung berubah menjadi kebalikannya (oposisi). Tanpa kontradiksi, tidak ada gerak, tidak ada kehidupan.
Thomas Hobbes: Rasionalitas dan Konsepnya tentang Manusia dan Kekuasaan Negara.
Apabila dalam empirisme pengalaman indrawi adalah pengetahuan yang paling jelas, maka dalam rasionalisme, pengalaman indrawi bukanlah pengetahuan yang paling sempurna, justru dapat menyesatkan bagi manusia. Untuk itu, rasionalisme menegaskan peran akal budi (rasio) manusia sebagai letak pengetahuan yang hakiki. Bahwa pengalaman indrawi apabila dipadukan dengan kemampuan manusia untuk mencari kebenaran yang hakiki melalui rasionya adalah pengetahuan yang paling sempurna. Descartes memandang manusia sebagai mahluk dualitas yang terdiri dari dua substansi, yakni jiwa sebagai substansi pikir (rex cogitans) dan tubuh sebagai substansi eksistensi (rex extensa). Dalam memperoleh pengetahuan berdasarkan observasi inderawinya manusia memerlukan rasio agar pengetahuan yang diperoleh memiliki dasar kepastian yang kuat. Menurut teori kontrak sosial, Rousseau (1712-1778) menyatakan bahwa negara timbul karena perjanjian yang dibuat antara orang-orang yang tadinya hidup bebas merdeka, terlepas satu sama lain tanpa ikatan kenegaraan. Sejatinya fungsi sebuah negara adalah memastikan agar rakyatnya memiliki sebuah kehidupan yang teratur sebagaimana norma yang berlaku. Oleh karena itu negara sepatutnya memiliki kekuasaan yang besar terhadap individu-individu di dalamnya yang disebut dengan rakyat. Karena individu-individu tersebut adalah manusia-manusia yang memiliki rasio dan selalu memperjuangkan kebaikan bagi dirinya sendiri.
Kritik terhadap Rasionalisme.
Meskipun banyak memberikan pencerahan, namun Rasionalisme juga menuai kritik yang sangat tajam. Beberapa kritik tersebut adalah sebagai berikut:
Banyak manusia yang memiliki pola pikir visioner merasa bahwa mereka mendapati kesulitan yang besar dalam menerapkan konsep rasional dalam kehidupan sehari-harinya. Kecenderungan dapat melakukan abstraksi pengalaman indrawi mendapat banyak kritik. Diantaranya menganggap bahwa kaum Rasionalis memperlakukan ide/konsep seakan-akan mereka adalah benda yang objektif, tetapi di sini lain justru menghilangkan nilai dan pengalaman keindraan, menghilangkan pentingnya benda-benda fisik sebagai tumpuan lalu menggantinya dengan serangkaian abstraksi yang samar-samar, hal ini mereka nilai sebagai suatu metode yang sangat meragukan dalam memperoleh pengetahuan yang dapat diandalkan.
Rasionalisme gagal menjelaskan perubahan dan pertambahan pengetahuan manusia selama beberapa waktu terakhir. Banyak teori-teori rasionalis yang pada saat tertentu sudah dipastikan, akan tetapi ternyata dapat diubah pada masa yang lain. Misalnya teori bahwa bumi adalah pusat dari sistem tata surya dan mataharilah yang mengelilingi bumi hampir dapat diterima secara umum sebagai suatu pernyataan yang pasti. Akan tetapi, pada masa kini teori tersebut dapat terbantahkan.
Pengetahuan Rasional dibentuk oleh ide yang tidak dapat dilihat maupun diraba. Eksistensi tentang ide yang sudah pasti maupun yang bersifat bawaan itu sendiri belum dapat dikuatkan oleh semua manusia dengan kekuatan dan keyakinan yang sama. Lebih jauh, masing-masing kaum Rasionalis memiliki dasar yang berbeda dalam hal menelaah suatu permasalahan. Plato, St. Augustine, dan Descartes bahkan Hobbes masing-masing mengembangkan teori-teori Rasional sendiri yang masing-masing berbeda.
John Locke: Filsuf dengan Ide Manusia Tanpa Dasar.
Konsep tabula rasa merupakan buah pemikiran Locke yang membuatnya disebut-sebut sebagai Bapak Empirisme. Locke bersikeras menyatakan bahwa ketika lahir manusia seperti kertas putih bersih. Bagi Locke, manusia terlahir tanpa ide dasar. Adapun yang mengisi manusia adalah pengetahuan dan pengalamannya. Konsep ini dikembangkan Locke menjadi sebuah dasar pemikiran falsafati yang mempengaruhi banyak filsuf lain, tidak hanya pada masa itu melainkan juga memberikan pengaruh hingga masa kini. Pemikiran Rasionalitas Rene Descates ditentang Locke habis-habisan. Selain itu, Locke masih memiliki dua pemikiran lain yang banyak memengaruhi pemikiran lain hingga di abad modern, yakni terkait dengan konteks politik dan toleransi antar umat beragama.
Kritik terhadap Locke.
Sebagaimana pemikiran manusia pada umumnya, pemikiran Locke dalam essay pun memiliki kelebihan dan juga kelemahan. Kelemahan Locke yang paling tajam dilihat dari sudut pandang teoretis. Locke dikenal sebagai pemikir yang mampu menahan diri dari upaya menjelaskan konsekuensi akibat paradoks yang ditimbulkan dari pemikirannya. Dengan kata lain, Locke bisa mengungkap beberapa pemikiran umum yang kemudian bisa melahirkan konsekuensi yang bersifat paradoksal dalam masyarakat. Selanjutnya, Locke urung memberikan penjelasan secara teoretis perihal apa yang diungkapkannya tersebut. Bagi Locke, sebuah prinsip memang bisa menjadi masuk akal dan tidak akan menimbulkan kesalahan, namun juga bisa menimbulkan konsekuensi praktis yang terasa absurb. Itu sebabnya, Locke memilih selalu memberikan penjelasan.
Kelemahan yang lain dari pemikiran Locke juga disoroti dari pemikiran politiknya. Russel (2002:844) menyatakan dari sudut pandang modern, kelemahan politik Locke terletak pada pemujaan hal milik, meskipun disisi lain filsafat politik Locke juga dianggap cukup memadai dan bermanfaat hingga masa revolusi industri. Selain itu, Russel (2002:818) juga beranggapan bahwa gagasan Locke perihal teori pemerintahan (atau filsafat politik) tidak banyak yang bersifat alami. Tak dapat disangkal, gagasan Locke perihal negara alami dan hukum alam merupakan pengulangan dari jaman pertengahan, seperti yang diusung oleh Thomas Aquinas.
Jean Jacques Rousseau: Dualisme Konsep Manusia sebagai Pelaku Kontrak Sosial.
Seperti dikemukakan Rousseau bahwa manusia mempunyai kebebasan penuh dan bergerak menurut emosinya. Keadaan tersebut sangat rentan akan konflik dan pertikaian. Sebagaimana digambarkan Rousseau sebagai jatuhnya rahmat keganasan, yang dimulai dari kepemilikan pribadi manusia pertama kali berbagi sepetak tanah, mengambilnya atas nama diri dengan mengatakan 'ini milikku' dan kemudian yang lain menerima sebagai satu kepemilikan pribadi, yang memungkinkan berpikir bahwa sesuatu milikku bukan milikmu.
Yang menjadi masalah bagi Rousseau adalah bagaimana melindungi manusia pribadi dan kepemilikannya, yang kemudian berpikir untuk menemukan sebuah bentuk pemerintahan melalui kontrak sosial. Hal ini yang dimaknai sebagai sebuah jalan keluar, sebuah konsepsi baru tentang kewajiban politis dan legitimasi.
Dalam hal ini Rousseau ingin menjaga kebebasan manusia dan menjaga antar hukum. Mensyaratkan dualisme pada diri manusia. Ia memikirkan individu sebagai warga negara dan sebagai subjek.
Kontrak sosial merupakan formula tatanan sosial yang benar-benar mendukung hak-hak kodrati yang sampai sekarang terus tak henti-hentinya diperjuangkan. Perubahan jaman dan perkembangan teknologi tak terelakkan untuk ikut berperan dalam perubahan tatanan sosial. Semakin tinggi tuntutan kebebasan yang dilandasi dunia tanpa batas sungguh sangat berdampak bagaimana perubahan sosial bergulir. Kehendak umum yang semakin kabur berakibat tidak menentunya kepastian kepastian keamanan dan kenyamanan, yang merupakan hak manusia kodrati.
Auguste Comte: Positivisme Puncak Pemikiran Manusia.
Auguste Comte adalah filsuf penggagas istilah positivisme di bidang ilmu sosial, yang bertekad mengacaukan persoalan sosial. Di saat terjadinya Revolusi Perancis, kerusuhan ada dimana-mana. Pembunuhan dan penculikan menghantui masyarakat. Dalam kondisi yang mencekam itu, Comte menyimpulkan kejadian yang satu senantiasa menyebabkan kejadian yang lain. Sama persis dengan hukum alam yang sudah pasti. Intinya, filsafat positivisme menyatakan terhadap semua fenomena sosial berlaku hukum alam. Comte memandang pemikiran positivisme sebagai hubungan sebab-akibat diantara fenomena yang terjadi di masyarakat. Sebagai seorang pemikir ilmu sosial, Comte menginginkan tatanan sosial kemasyarakatan yang mempunyai kepedulian sosial tinggi. Comte mendambakan negara kuat yang dapat melindungi rakyatnya. Negara yang dipimpin oleh para ilmuwan atau teknokrat. Bukan negara yang dipimpin oleh kaum bangsawan atau kaum pekerja dari rakyat jelata. Dalam gagasan Comte, pemimpin negara yang berasal dari kaum pekerja, dari rakyat jelata, bisa menjadikan perebutan kekuasaan, yang bisa berujung pada kerusuhan sosial juga. Jadi ujung dari filsafat positivisme adalah terwujudnya tatanan sosial yang teratur, tanpa pergolakan dan pertumpahan darah.
Auguste Comte sebagai pencetus istilah positivisme, meyakini bahwa sosiologi dengan pendekatan filsafat positivistik, akan mampu menjadi obat mujarab untuk menyembuhkan penyakit sosial yang berupa 'kekacauan sosial'. Kekacauan sosial sering kali disebabkan oleh karakter individualistik yang saling mengedepankan kepentingan dirinya masing-masing, yakni individualistik pemburu rente oleh karena itu, positivistik harus bisa mengarahkan bagaimana negara menjadi kuat, untuk membangkitkan semangat rakyat, dan meningkatkan kepedulian sosial. Dengan munculnya kepedulian sosial di masyarakat maka intrik-intrik bisa terkurangi, yang akhirnya dapat tercipta masyarakat yang damai dan makmur.
Positivistik bisa melahirkan ilmu pengetahuan yang berguna bagi manusia. Positivistik mendasarkan pengetahuannya kepada adanya peraturan di alam semesta ini. Positivistik mencari pengetahuan melalui panca indra dan logika. Positivistik menolak segala bentuk pemikiran metafisika. Terlepas dari kritik bahwa positivisme yang ditawarkan Comte dinilai mereduksi realitas ke dalam hal-hal yang empiris dan terukur, serta terlalu bercorak ke ilmu alam, bagaimanapun pemikiran Comte ini telah menjadi ilham dalam melahirkan dan mengembangkan sosiologi ilmu yang diakui eksistensinya.
Filsafat Strukturalisme Claude Levis-Strauss antara Kekerabatan, Mitos, dan Simbol (Seni).
Claude Levi-Strauss adalah pencetus pertama aliran strukturalis di Prancis. Strukturalis Levi-Strauss mempunyai pengaruh yang sangat penting dalam menganalisis tentang struktur kekerabatan, perkawinan/mitos dan simbolisme/seni. Kekerabatan dapat dianggap sebagai semacam bahasa karena aturan-aturan yang dimiliki klen-klen primitif di bidang kekerabatan dan perkawinan memang merupakan suatu sistem yang terdiri atas relasi-relasi dan posisi-posisi, seperti suami-istri, anak-bapak, kakak-adik, dan lain-lain. Bahasa adalah sistem komunikasi, pertukaran, begitu pula kekerabatan juga sistem komunikasi karena klen-klen atau famili-famili atau kelompok-kelompok sosial lain tukar-menukar wanita mereka. Dengan kata lain, sistem kekerabatan dan sistem bahasa pun dikuasai oleh aturan-aturan yang ada. Strukturalisme Claude Levi-Strauss mempunyai tujuan utama untuk mengungkap struktur gejala sosial budaya walaupun pada kenyataannya ia mengabaikan karena isi dari unit analisisnya Levi-Strauss pada tingkat masyarakat yang unit analisisnya berbeda dari tokoh strukturalisme seangkatannya seperti Ferdinan de Saussure, Roland Barthes, dan Marshal Sahlin. Strukturalisme juga begitu berpengaruh pada pemikiran di kalangan ilmuwan sosial, terutama di Prancis. Era strukturalisme ini muncul setelah era eksistensialisme yang marak setelah Perang Dunia II. Strukturalisme melakukan beberapa kritik terhadap eksistensialisme dan juga pemikiran fenomologi. Strukturalisme dianggap menghancurkan posisi manusia sebagai peran utama dalam memandang dan membentuk dunia.
Kritik terhadap Strukturalisme Claude Levis-Strauss.
Secara umum, strukturalisme menuai banyak kritik dari sisi epistemologi. Validitas penjelasan struktural telah ditentang dengan alasan bahwa metode strukturalis yang tidak tepat dan tergantung pada pengamat. Artinya, unsur subjektivisme sangat erat dalam penelitian strukturalisme. Satu peneliti dan menghasilkan hasil yang sama sekali lain dengan peneliti lainnya.
Karl Marx dan Imajinasi Sosialisme.
Karl marx adalah pemikir 'bersegi banyak' dan cendekia yang kaya akan gelar: sebagai filsuf, ideolog, ekonom, sosiolog, politisi, dan juga aktivis. Marx menyebut pemikirannya sebagai kritik politik ekonomi dari perspektif kaum proletar yang dikenal pula sebagai filsafat kritis. Marx telah menjadi magnet yang menarik tidak lain karena kerangka pikirnya masih sangat relevan sebagai pisau analisis yang tajam dalam konteks kapitalisme yang makin menggurita. Terlepas dari imajinasinya tentang masyarakat komunis yang merupakan sintesis dari kapitalisme belum terwujud hingga saat ini, namun imajinasi sosialisme sebagai masyarakat tanpa kelas, tanpa penindasan, dan tanpa aliensi masih menjadi esensi pemikiran Marx yang belum terhenti untuk diperdebatkan. Menurut Marx, sosialisme adalah produk materialisme dialektis dan materialisme historis. Pemikiran ini masih sangat luas memberikan ruang pikir bagi filsuf sesudah zamannya.
Karl Marx berkeyakinan bahwa tugas seorang filsuf tidak hanya berhenti dalam menafsir dunia, tetapi harus mampu mengubahnya. Ajaran-ajaran filosofi Marx bukan sekedar pemaparan suatu ajaran filosofis, tetapi juga merupakan acuan tindakan praktik revolusi proletariat menuju masyarakat sosialis. Hal ini tergambar jelas dari sejarah hidupnya yang dipenuhi dengan pemaknaan filsafati melalui referensi-referensi yang menginspirasinya sekaligus berupaya berjuang melawan kekuatan kapitalisme yang dikritiknya dengan menuliskan artikel-artikel yang menentang borjuasi serta bergerak dalam gerekan buruh, kekuatan yang dibelanya.
Marx membangun suatu filsafat praksis yang diharapkan menghasilkan suatu kesadaran untuk mengubah realitas masyarakat kapitalis yang bercirikan pengisapan dan eksploitasi. Menurut Marx, dalam sistem ekonomi kapitalis, kelas pemilik modal berjuang mati-matian untuk mengeruk keuntungan sebanyak mungkin. Jalan yang paling cepat untuk memungkinkan hal tersebut adalah dengan pengisapan kerja kelas buruh. Untuk itulah, muara dari pemikiran Marx adalah bagaimana supaya buruh yang teralienasi dapat terbebas dari belenggu kesadaran palsu dan akan bergerak melawan sistem kapitalis melalui revolusi proletariat. Dengan demikian, filsafat Marx dapat dikatakan sebagai filsafat jalan keluar bagi masyarakat yang teralienasi dengan mengembangkan sistem baru yang tidak mungkin terberi begitu saja tetapi harus diperjuangkan melalui dialektika perjuangan kelas.
Kritik terhadap pemikiran Marx.
Esensi pemikiran filsafati Marx adalah materialisme historis dan sosialisme adalah muara imajinasinya. Terlepas bahwa imajinasi Marx tentang masyarakat tanpa kelas hingga kini belum terwujud tetapi pemikiran dan filsafat Marx masih merasuk pada perkembangan pemikiran modern hingga postmodern, sehingga adalah benar yang dikatakan oleh Engels bahwa diakui atau tidak, sebagian besar dari manusia adalah Marxist, dan selebihnya lagi bisa jadi adalah Marxian dan pengkritik Marx.
Beberapa pengkritik Marx telah menganggap bahwa Marxisme telah terkubur dalam kapitalisme yang semakin menderu. Namun demikian, bersamaan dengan capaian-capaian dramatis kapitalisme terutama dalam teknologi, kapitalisme memang menuai kejayaan tetapi bukan kejayaan tanpa korban manusia dan alam. Globalisasi sebagai ikon perkembangan kapitalisme justru telah menjadi pemicu kehancuran-kehancuran dunia dan melahirkan keadilan yang timpang. Dalam kondisi demikian, eksotisme pemikiran Marx tidak pernah meninggalkan imajinasi para pemikir, filsuf, dan pemuja sesudah jamannya dan imajinasi Marx tentang masyarakat sosialis yang emansipatif dan humanistik menjadi tetap relevan dan aktual.
Jean-Francois Lyotard: Filsafat Postmodern dan Kritik Terhadap Modernisme.
Jean-Francois Lyotard merupakan pioner perkembangan filsafat postmodern-yang menyatakan bahwa pengetahuan yang dilahirkan filsafat postmodern ditandai oleh runtuhnya kebenaran yang dilahirkan sains, runtuhnya rasionalitas, dan objektivitas yang kemudian digantikan oleh prinsip delegitimasi, disensus, serta paralogi.
Postmodern sesungguhnya adalah aliran filsafat baru di era masyarakat post-industrial yang menawarkan pikiran alternatif di tengah dominasi dan mainstream sosial, politik, dan kebudayaan yang represif, dominatif, dan hegemonik. Munculnya filsafat dan pemikiran filsafat postrmodern ini sedikit-banyak dilatarbelakangi oleh proses perubahan yang terjadi di masyarakat, yaitu perubahan dari masyarakat industri ke masyarakat post-industrial dan perubahan dari kebudayaan modern ke kebudayaan postmodern.
Sebagai sebuah aliran filsafat maupun gerakan intelektual, postmodern pada intinya prihatin terhadap eksistensi wacana nonlinier, ekspresif, dan suprarasional yang terpinggirkan dan menjadi kering karena pengaruh Pencerahan. Berbeda dari filsafat modern yang mengedepankan rasionalitas, filsafat postmodern justru muncul dengan segala bentuk kritik terhadap impian-impian yang ditawarkan proyek modernitas. Filsafat modern yang dipelopori Rene Descartes (1596-1650), umumnya menempatkan analisis logis dan metode ilmiah sebagai kunci untuk mencari kebenaran ilmu pengetahuan. Namun, filsafat postmodern justru mengkritik metode ilmiah sains yang dinilai positivistik dan menyatakan bahwa di era masyarakat post-industrial yang terpenting adalah pastiche, yakni sebuah pandangan yang menyatakan bahwa berbagai pandangan dilihat sebagai sumber kekayaan dari kenyataan menyeluruh.
Kritik terhadap filsafat Postmodern Lyotard.
Secara garis besar, sebagai sebuah pemikiran filsafat dan cara pandang untuk memahami perubahan sosial di era postindustrial, paling tidak ada tiga kritik yang dilontarkan pada postmodern. Pertama, postmodern mengabaikan realitas institusional kehidupan abad ke-21. Kedua, postmodern keliru memandang individu manusia tidak berdaya (tidak memiliki kekuasaan) ketika berhadapan dengan pengaruh-pengaruh wacana, karena manusia sesungguhnya bukanlah subyek yang mati (strukturasi). Ketiga, postmodern tidak bisa memberikan kontribusi yang berguna bagi membangun dunia kita yang lebih aman dan lebih baik, karena aliran filsafat yang digagas Lyotard ini menolak bahwa kita (manusia) memiliki kapasitas untuk mengetahui bagaimana segala sesuatu itu sesungguhnya ada.
Filsafat postmodern yang digagas Lyotard tidak menawarkan jalan keluar yang jelas tentang apa yang harus dilakukan setelah pengetahuan dan kebenaran dipertanyakan atas dasar filosofisnya.
Jürgen Habermas: Neo-Rasionalisme Pascamodern.
Jürgen Habermas dengan filsafat kritisnya memberikan pencerahan bagi konsep rasionalitas. Rasionalisasi praksis komunikasi menjadi dasar pemikiran Habermas dalam menjelaskan tentang struktur-struktur komunikasi sosial dalam perubahan di masyarakat. Neo-rasionalisme hadir untuk melengkapi dan menyempurnakan rasionalisme dalam rangka mewujudkan kesejahteraan hidup masyarakat. Habermas berpandangan, bahwa hanya kekuasaan yang ditentukan oleh diskusi kritis publik merupakan kekuasaan yang terasionalisasikan. Menurut Habermas masyarakat komunikatif pada hakikatnya merupakan masyarakat yang mampu berperan dalam perubahan sosial.
Habermas memahami konsep kritik sebagai "salah satu" bentuk argumentasi yang tidak bertujuan untuk menghasilkan konsensus. Di sini Habermas tidak lagi memusatkan pada kritik, melainkan pada bentuk lain yang dikenal dengan "diskursus" yang dipahami sebagai bentuk komunikasi reflektif yang melibatkan argumentasi rasional untuk mencapai suatu konsensus tanpa paksaan.
Menurut Habermas, pascamodernisme sulit dipahami, karena melibatkan suatu perpecahan radikal, dan budaya dominan maupun estetika, dengan momen yang agak berbeda dari organisasi sosioekonomi. Bagi Habermas, pascamodernisme melibatkan penyangkalan eksplisit dari tradisi modern.
Pierre Bourdieu: Bahasa dan Kuasa Simbolis.
Bourdieu adalah filsuf kontemporer yang memperkenalkan satu perspektif baru dalam filsafat dan teori sosial. Bourdieu berhasil mengompromikan kontradiksi-kontradiksi yang selama ini ada dalam kajian sosiologi. Dia menjadi filsuf yang memberi jalan kompromi antara subjektivisme-objektivisme, mikro-makro, kebebasan-determinisme, material-simbolis, nature-hystory, doxa-episteme, dan kesadaran-ketidaksadaran. Kajian bahasa dan kuasa simbolis adalah salah satu dari karya keilmuwan Bourdieu. Menurutnya, praktik berbahasa adalah hasil dari habitus (struktur kognitif yang memperantarai individu dengan realitas sosialnya) bahasa agen dalam sebuah pasar linguistik yang distrukturkan oleh aturan-aturan yang membentuk harga. Di pasar linguistik inilah pertarungan memperebutkan keuntungan material dan simbolis terjadi. Bahasa mempunyai kemampuan membentuk dan menstrukturkan realitas, memiliki kemampuan menstrukturkan realitas, sehingga bahasa merupakan sarana utama bagi kuasa simbolis.
Kritik pada Bourdieu.
Ide pokok Bourdieu yang mencoba menolak kajian teori murni serta mengkritik empirisme murni, sehingga memunculkan tentang teori sosial yang dianggap tidak memiliki validitas universal. Para pengkritik Bourdieu beranggapan bahwa ide dan teori Bourdieu tidak lebih sebagai serpihan-serpihan ide yang tercecer dalam konsep-konsep utamanya. Bourdieu dianggap terlalu menyederhanakan faktor historis dalam setiap kajiannya. Konsep arena Bourdieu dianggap menghilangkan hubungan-hubungan sosial selain relasi pertarungan untuk memperoleh posisi semata. Bourdieu dianggap menafikan hubungan sosial lainnya, seperti solidaritas, cinta kasih, dan kerjasama.
Jacques Derrida: Dekonstruksi, Difference, serta Kritiknya Terhadap Logosentrisme dan Metafisika Kehadiran.
Jacques Derrida (1930-2004) adalah seorang filsuf yang mengguncang ilmu pengetahuan dan filsafat. Melalui pendekatan dekonstruksinya Derrida menggoyang, menjungkirbalikkan, mencemaskan, dan mengobrak-abrik untuk memberi peluang membangun hal-hal baru dan menemukan makna baru. Dekonstruksi menurut Derrida membuka pikiran yang tertutup. Dekonstruksi menunda makna kriteria, penilaian, dan keputusan. Derrida mengkritik konsep Plato mengenai metafisika kehadiran yang menjadi dasar logosentrisme yang lebih mengutamakan penuturan atau ucapan dibanding tulisan atau teks. Derrida berpendapat bahwa kesadaran, subjektivitas dan bahasa menjadi setara dengan sejenis keberadaan yang identik dengan dirinya. Pemikiran Derrida bersifat sangat poststrukturalis karena membangun di atas penanda yang mengambang bebas. Ia melampaui batas-batas sempit bertentangan binari dan mengukir istilah "ketidakmampuan mengambil keputusan".
Derrida ingin mengubah tradisi kebanyakan filsafat klasik yang selalu memperlakukan tulisan tidak lebih baik dari percakapan sebagaimana yang dikemukakan Socrates bahwa "percakapan lebih baik daripada tulisan, karena ia internal bagi rasio atau ingatan, menyangkut hidup manusia dan terlibat dalam esensi kearifan daripada penampilan lahirnya yang tertulis". Filsafat Barat memandang tulisan sebagai suplemen untuk percakapan, artinya tambahan, sesuatu yang muncul sesudahnya, sesuatu yang sekunder. Derrida mencampakkan kembali peran dan nilai suplemen. Derrida ingin kembali pada ketidakmampuan untuk memutuskan. Dalam slogannya Derrida berkata bahwa ketidakmampuan mengambil keputusan adalah kebenaran yang harus kita tolak untuk mempercayainya.
Penutup
Filsafat Sosial merupakan sebuah bagian penting dalam studi Ilmu-ilmu Sosial yang membangun pemikiran dan kemampuan untuk memahami state of the art teori-teori sosial secara lebih mendalam. Pemilihan metode penelitian yang tepat dan perkembangan perspektif serta teori-teori sosial tidak akan dapat dipahami secara utuh jika tidak dilacak hingga asumsi dasar dan akar pemikiran filsafatinya. Lebih dari sekedar pemikiran yang mendasar tentang kebenaran ilmu pengetahuan dan jawaban terhadap permasalahan sosial yang timbul di masyarakat, filsafat sosial sesungguhnya adalah akar dari perkembangan teori-teori sosial yang fundamental dan substansial.
Perspektif dan teori sosial apa pun baik itu Marxian, Weberian, Durkhemian, teori sosial modern, postmodern, maupun teori sosial yang lain niscaya tidak akan dapat dipahami dengan utuh bila kita tidak melacak ke belakang pada akar pemikiran filsafatnya. Sementara itu, filsafat sosial aliran apa pun, cenderung akan terasa abstrak dan kurang membumi jika tidak dikembangkan lebih lanjut dalam bentuk teori-teori sosial yang dapat dijadikan acuan untuk menjelaskan dan memahami perubahan sosial di masyarakat. Filsafat dan teori sosial ibaratnya adalah dua sisi mata uang yang saling berkaitan, dan tiadanya atau menghilangkan salah satu sisi niscaya akan menyebabkan pemahaman kita terhadap dunia sosial menjadi timpang.
15