Filsafat Ilmu Sosial dan Humaniora
MAKALAH diajukan untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Filsafat Ilmu Dosen pengampu: Dr. H. Ahmad Syamsu Rizal, M.Pd.
oleh: Novi Setiawatri
NIM 1706701
Syarifuddin
NIM 1707409
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN UMUM SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2017
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur bagi Allah SWT yang telah memberikan kemampuan, kekuatan, serta keberkahan baik waktu, tenaga, maupun pikiran kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ Filsafat Ilmu Sosial dan Humaniora” Humaniora” tepat pada waktunya. Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapat tantangan dan hambatan akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak tantangan itu bisa teratasi. Oleh karena itu, penulis mengucapkan mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak atas bimbingan, bimbingan, pengarahan, dan kemudahan yang telah diberikan kepada penulis dalam pengerjaan makalah ini. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada penulisan makalah ini. Maka dari itu, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan dari pembaca sekalian. Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.
Bandung, Desember 2017
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................................................i DAFTAR ISI ..............................................................................................................................ii BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1 1.1.
Latar Belakang ............................................................................................................ 1
1.2.
Rumusan Masalah ....................................................................................................... 1
1.3.
Tujuan Penulisan ......................................................................................................... 2
1.4.
Manfaat Penulisan ....................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................................... 3 2.1.
Pengertian Ilmu Sosial Humaniora ............................................................................. 3
2.1.1.
Ciri-ciri Khas Ilmu-ilmu Sosial Humaniora ........................................................ 5
2.2.
Cara Kerja Ilmu-ilmu Sosial Humaniora .................................................................... 8
2.3.
Perbedaan Ilmu Sosial Humaniora dengan Ilmu Alam ............................................. 10
2.4.
Dilthey dan Metodologis Pemisahan Ilmu ................................................................12
2.4.1.
Sejarah Hidup Dilthey........................................................................................12
2.4.2.
Metodologis Pemisahan Ilmu ............................................................................ 13
2.4.3.
Dilthey dan Hermeneutika Metodologis ............................................................ 14
2.5.
Hermeneutika (Hans-George Gadamer).................................................................... 16
2.6.
Pendekatan Hermeneutis dalam Ilmu-Ilmu Sosial Humaniora ................................. 19
2.6.1.
Relasi Hermeneutika dengan Ilmu Sosial Humaniora ....................................... 19
2.6.2.
Metodologi Hermeneutika dalam Ilmu Sosial Humaniora ................................ 20
2.6.3.
Konstribusi Hermeneutika dalam Ilmu Sosial Humaniora ................................ 22
BAB III KESIMPULAN......................................................................................................... 25 DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................................26
ii
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Kebutuhan akan ilmu pengetahuan dewasa ini menjadi s angat penting. Ilmu pengetahuan yang pada mulanya hanya berkepentingan terhadap pengetahuan yang sifatnya benar secara menyeluruh meliputi segala sesuatu yang telah ada, kini mulai berkembang dengan sangat pesat. Adanya usaha manusia untuk mencukupi kebutuhan hidupnya secara kompleks berdasarkan kodrat manusia yang memang selalu ingin tahu tentang segala sesuatu, pada akhirnya melahirkan ilmu-ilmu baru yang semakin lama semakin plural. Pemahaman tentang pluralitas dari ilmu pengetahuan itu sendiri baik dari segi jenis dan sifat, kemudian memunculkan cara-cara untuk menempuh ilmu pengetahuan tersebut. Karena hampir semua jenis ilmu dan sifatnya ditentukan oleh objek ilmu pengetahuan tersebut, maka cara-cara yang dapat ditempuh yaitu dengan melihat objek formal dan objek materi. Dalam makalah ini akan dipaparkan lebih jauh mengenai klasifikasi ilmu pengetahuan menurut objek materinya, yaitu ilmu sosial dan humaniora, pemisahan metodologis ilmu menurut Wilhelm Dilthey, dan hermeneutika. Manusia adalah makhluk sosial. Tentunya, sebagai mahluk sosial, manusia selalu dihadapkan pada berbagai masalah sosial. Masalah sosial pada hakikatnya merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia karena masalah sosial telah terwujud sebagai hasil kebudayaan manusia itu sendiri, sebagai akibat dari hubungan-hubungannya dengan sesama manusia lainnya. Problem sosial pada setiap masyarakat berbeda antara satu dengan yang lainnya. Perbedaan tersebut tergantung pada tingkat perkembangan kebudayaan dan kondisi lingkungan alamnya. Masalah-masalah tersebut dapat terwujud dalam masalah moral, masalah politik, masalah agama dan masalah lainnya. Dengan adanya permasalah-permasalahan tersebut timbullah teori-t eori sosial, yang pada akhirnya terbentuklah ilmu-ilmu sosial. Dibandingkan dengan ilmu-ilmu alam yang kemajuannya sangat pesat, ilmu-ilmu sosial agak tertinggal di belakang. Hal ini disebabkan oleh subyek ilmu-ilmu sosial adalah manusia sebagai makhluk multidimensional. 1.2. Rumusan Masalah
a. b. c. d. e.
Bagaimana pengertian dan ciri khas dari ilmu sosial humaniora ? Bagaimana cara kerja dari ilmu sosial humaniora ? Bagaimana perbedaan antara ilmu alam dengan ilmu sosial humaniora ? Bagaimana pandangan Wilhelm Dilthey tentang pemisahan metodologis ilmu ? Bagaimana pendekatan hermeneutis dalam ilmu sosial humaniora ?
1
1.3. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah a. Mengetahui pengertian dan ciri khas dari ilmu sosial humaniora. b. Mengetahui cara kerja dari ilmu sosial humaniora. c. Mengetahui perbedaan antara ilmu alam dengan ilmu sosial humaniora. d. Mengetahui pandangan Wilhelm Dilthey tentang pemisahan metodologis ilmu. e. Mengetahui pendekatan hermeneutis dalam ilmu sosial humaniora. 1.4. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah a. Untuk mengetahui pengertian dan ciri khas dari ilmu sosial humaniora. b. Untuk mengetahui cara kerja dari ilmu sosial humaniora. c. Untuk mengetahui perbedaan antara ilmu alam dengan ilmu sosial humaniora. d. Untuk mengetahui pandangan Wilhelm Dilthey tentang pemisahan metodologis ilmu . e. Untuk mengetahui pendekatan hermeneutis dalam ilmu sosial humaniora.
2
BAB II PEMBAHASAN 2.1. Pengertian Ilmu Sosial Humaniora
Ilmu pengetahuan dalam dinamikanya dapat diklasifikasi menjadi beberapa kategori. Menurut Taufik Abdullah (2006, hlm. 33-34), ilmu terbagi dalam dua kategori besar yaitu ilmu eksakta dan noneksakta. Khusus ilmu noneksakta dipilah menjadi dua, yaitu ilmu humaniora dan ilmu sosial. Ilmu yang berkaitan dengan filsafat, sastra, seni, dan bahasa dikategorikan dalam ilmu humaniora, sedangkan di luar itu adalah ilmu s osial. Pendapat serupa disampaikan Helius Syamsudin (2007, hlm. 272), bahwa pengetahuan manusia ( human knowledge) umumnya dapat diklasifikasikan atas tiga kelompok besar, yaitu ilmu-ilmu alamiah (natural sciences), ilmu-ilmu sosial ( social sciences), dan ilmu-ilmu kemanusiaan (humanities). Ilmu alamiah mengkaji lingkungan hidup manusia, ilmu sosial mengkaji manusia dalam hubungannya dengan manusia-manusia lainnya, dan ilmu-ilmu kemanusiaan mengkaji manivestasi-manivestasi (eksistensi) kejiwaan manusia. Sebagaimana disinggung di atas, bahwa ilmu-ilmu sosial adalah ilmu yang mempelajari manusia dalam hubungannya dengan manusia-manusia lainnya. Definisi serupa disampaikan Taufik Abdullah (2006, hlm. 31), ilmu sosial adalah ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalam kehidupan bersama. Sedangkan Dadang Supardan (2008, hlm. 34-35) menyampaikan ilmu sosial ( social science) adalah ilmu yang mempelajari perilaku dan aktivitas sosial dalam kehidupan bersama. Jadi yang dimaksud ilmu-ilmu sosial ( social sciences) adalah kelompok disiplin ilmu yang mempelajari aktivitas manusia dalam hubungannya dengan sesamanya. Obyek material dari studi ilmu-ilmu sosial adalah berupa tingkah laku dalam tindakan yang khas manusia, ia bersifat bebas dan tidak bersifat deterministik, ia mengandung : pilihan, tanggung jawab, makna, pernyataan privat dan internal, konvensi, motif dan sebagainya (Tim Dosen Filsafat Ilmu, 2007, hlm. 4). Aktivitas manusia tersebut termasuk berpikir, bersikap, dan berperilaku dalam menjalin hubungan sosial diantara sesamanya dan bersifat kondisionalitas. Dengan kata lain obyek tersebut sebagai gejala sosial. Gejala sosial memilik i karakteristik fisik namun diperlukan penjelasan yang lebih dalam untuk mampu menerangkan gejala tersebut, sebab tidak hanya mencakup fisik tetapi juga aspek sosiologis, psikologis, maupun kombinasi berbagai aspek. Menurut Wallerstein (dalam Dadang Supardan, 2008, hlm. 34) yang termasuk disiplin ilmu sosial adalah sosiologi, antropologi, ekonomi, sejarah, psikologi, ilmu politik, dan hukum. Sedangkan menurut Robert Brown dalam karyanya Explanation in Social, ilmu-ilmu sosial meliputi : sosiologi, ekonomi, sejarah, demografi, i lmu politik, dan psikologi (Taufik Abdullah, 2006, hlm. 33). Meskipun terdapat perbedaan pendapat tentang apa yang disebut ilmu sosial, namun semuanya mengarah kepada pemahaman yang sama, bahwa ilmu sosial adalah ilmu yang mempelajari perilaku dan aktivitas sosial dalam kehidupan bersama. Ilmu sosial dalam perkembangannya kemudian lahir berbagai spesialisasi disiplin ilmu-ilmu sosial, seperti ilmu komunikasi, studi gender, dan lain-lainnya.
3
Secara umum ilmu pengetahuan yang termasuk dalam kelompok disiplin ilmu-ilmu sosial adalah 1. Sosiologi adalah disiplin ilmu yang mempelajari tentang masyarakat dalam hubunganhubungan antara orang-orang dalam masyarakat tersebut (interaksi sosial, kelompok sosial, gejala-gejala sosial, organisasi sosial, struktur sosial, proses sosial maupun perubahan sosial) (Soerjono Soekanto, 2006, hlm. 17-21). 2. Antropologi adalah studi tentang manusia yang berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang umat manusia dan perilakunya, dan untuk memperoleh pengertian ataupun pemahaman yang lengkap tentang keanekaragaman manusia (Koentjaraningrat, 1986, hlm. 1-2) 3. Ilmu Geografi adalah the science of places, concerned with qualities an potentialities of countries (Vidal dela Blache dalam Dadang Supardan, 2008, hlm. 227). Dalam pandangan ilmuwan geografi, secara sederhana geografi merupakan disiplin akademik yang terutama berkaitan dengan penguraian dan pemahaman atas perbedaan-perbedaan kewilayahan dalam distribusi lokasi di permukaan bumi, fokusnya pada lingkungan, tata ruang, dan tempat. 4. Ilmu Sejarah adalah ilmu yang berusaha untuk mendapatkan pengertian tentang segala sesuatu yang telah dialami (termasuk yang diucapkan, dipikirkan dan dilaksanakan) oleh manusia di masa lampau yang bukti-buktinya masih dapat ditelusuri/diketemukan masa sekarang. (Widja, 1988, hlm. 8) 5. Ilmu Ekonomi adalah ilmu yang mempelajari usaha manusia untuk memenuhi kebutuhannya dalam mencapai kemakmuran yang diharapkan, dengan memilih penggunaan sumber daya produksi yang sifatnya terbatas (Samuelson dan Nordhaus, 1990, hlm. 5). 6. Psikologi adalah ilmu mengenai proses perilaku dan proses mental (Dadang Supardan, 2008, hlm. 425). 7. Ilmu Politik adalah ilmu yang mempelajari masalah-masalah kekuasaan dalam kehidupan bersama atau masyarakat. Masalah-masalah kekuasaan itu menyangkut proses penentuan tujuan-tujuan dari sistem yang ada dan melaksanakan apa yang menjadi tujuan (Miriam Budihardjom, 1986, hlm. 8). Ilmu-ilmu kemanusiaan (human sciences) adalah ilmu-ilmu pengetahuan empiris yang mempelajari manusia dalam segala aspek hidupnya: ciri-ciri khasnya, tingkah lakunya baik perorangan maupun bersama, dalam lingkup kecil maupun besar, dan banyak aspek lainnya (Verhaak dan Haryono, 1989, hlm. 66). Ilmu-ilmu kemanusiaan adalah ilmu yang mengkaji masalah kemanusiaan seperti masalah: budaya, sosial, politik, ekonomi, yang terdapat pada masyarakat. Ilmu-ilmu kemanusiaan memiliki objek kajian yang diamati secara empiris dan objek itu dianggap kongkret karena masalah kemanusiaan itu memiliki objek yang khusus yaitu manusia atau masyarakat tertentu. Contoh ilmu-ilmu kemanusiaan adalah antropologi, ilmu sastra, ilmu arkeologi, ilmu sejarah, ilmu sosial, ilmu ekonomi.
4
Sifat yang paling menonjol pada ilmu-ilmu kemanusiaan adalah objeknya berkaitan dengan manusia yang memiliki tindakan bermakna ( meaningfull action). Di dalam tindakan (perilaku) bermakna manusia atau seseorang manghasilkan karya-karya tertentu misalnya karya sastra seperti Romeo dan Juliet karya William Shakespeare dari Inggris, karya seni seperti tari Pendet, lukisan yang termashur yaitu Monalisa karya Michelangelo. Untuk itulah apabila ingin mengkaji ilmu-ilmu kemanusiaan dengan lebih mendalam haruslah digunakan metode yang tepat, agar objektivitas dan kebenaran ilmiahnya dapat terungkap dengan benar dan sahih. 2.1.1. Ciri-ciri Khas Ilmu-ilmu Sosial Humaniora
Kendati dewasa ini kekhasan ilmu-ilmu sosial humaniora sudah makin disadari, berdasarkan langkah-langkah pengamatan, penelitian serta percobaan empiris, ilmuilmu sosial humaniora berusaha mengembangkan hipotesa, hukum, dan teori ilmiah menurut irama yang mirip dengan irama ilmu alam. Lalu, ciri khas ilmu-ilmu sosial humaniora sebenarnya di mana, dan mana perbedaannya yang esensial dengan ilmuilmu alam? A. Manusia sebagai Objek dan Subjek Ilmu
Kiranya yang paling menyolok sebagai ciri khas ilmu-ilmu sosial humaniora ialah objek penyelidikannya, yaitu manusia, bukan sebagai benda jasmani saja, melainkan manusia sebagai keseluruhan. Sementara itu, dalam dua arti manusia merupakan subjek juga. Pertama, dalam arti bahwa secara hakiki manusia melampaui status objek benda-benda di sekitarnya. Kedua, dalam arti bahwa si penyelidik sebagai subjek berada pada taraf yang sama dengan objeknya. Arti yang pertama agak berbau filsafat. Arti yang kedua secara khas berasal dari suatu uraian empiris mengenai ilmu-ilmu sosial humaniora, jika dibandingkan dengan ilmu-ilmu lainnya. Ilmu-ilmu sosial humaniora memang dimaksudkan sebagai ilmu-ilmu empiris sehingga dalam hal ini dekat dengan ilmu-ilmu alam, namun karena kekhasan objek penyelidikannya yang sekaligus menjadi subjek, il mu-ilmu ini juga berkedudukan agak dekat dengan filsafat. Maka, tidak mengherankan bahwa cukup banyak ahli ilmu-ilmu sosial humaniora dewasa ini seringkali dibicarakan dalam rangka filsafat, terutama kalau sampai pada tahap teori. Kekhasan objek penyelidikan ini lebih nyata terlihat jika kita mempertimbangkan dua unsur ruang dan waktu, yang dalam sejarah filsafat Barat kita kenal lewat Immanuel Kant. Ruang dan waktu ( spatio-temporal ) merupakan dua ciri dasariah dari jagad semesta material yang dihuni manusia. Dalam ilmuilmu alam, dengan objeknya yang juga khas, ruang dan waktu itu bisa diukur dengan jelas; memakai sistem statistik, satuan, dan lain sebagainya.
5
Kedua unsur ini pun tampak nyata dalam diri manusia. Namun, dalam rangka hidup manusia, ruang dan waktu sebagai “ukuran” semata-mata tidaklah memadai dan tidaklah sesuai dengan pengalaman manusia itu sendiri; oleh manusia ruang dihayati secara nyata dalam lingkungan pergaulan atau masyarakat, sedangkan waktu dialami dan dipandang sebagai sejarah yang jauh melampaui rangkaian peristiwa semata-mata. Perbedaannya ialah bahwa dalam ruang yang “mati” semua tempat seakan-akan sama saja kecuali dari segi ukuran ataupun penomoran misalnya, sedangkan dalam lingkungan masyarakat yang sosial itu, semua data justru hampir tak dapat dihitung atau diperangkakan. Yang satu berbeda dengan yang lain. Demikian pula perbedaan dalam soal waktu. Dalam waktu yang “mati” seakan-akan semua waktu sama saja, kecuali dari segi angka atau penomoran misalnya. Sedangkan kita tahu dalam rangka sejarah setiap peristiwa dan setiap saat mengandung keunikannya masing-masing. Pengetahuan manusia pun ditandai oleh kedua unsur itu; segala pengamatan dan pengalaman berlangsung di suatu tempat dan pada suatu saat. Ruang dan waktu pada dasarnya bersifat univok, sedangkan sosialitas dan historitas bersifat analog sedalam hidup manusia itu sendiri. Perbedaan itu juga menimbulkan perbedaan pendekatan. Dalam rangka ilmu ilmu alam cara berpikirnya adalah univok, sedang dalam rangka ilmu-ilmu sosial humaniora cara berpikirnya adalah analog; setiap lingkungan masyarakat “sama” namun dalam “kesamaannya” itu juga berbeda, demikian juga setiap peristiwa historis “sama” atau “mirip” satu dengan lainnya, namun juga berbeda dan unik. B. Titik Pangkal dan Kriterium Kebenaran
Karena ciri khas di atas, ilmu-ilmu sosial humaniora harus menggunakan titik pangkal dan kriterium kebenaran yang berbeda dari ilmu-ilmu lainnya. Titik pangkalnya berbeda dari ilmu-ilmu alam karena manusia penyelidik tak lagi terdapat di luar objek yang diselidikinya, seperti halnya kedudukan manusia terhadap objek ilmu-ilmu empiris lainnya, yakni di luar objek itu (kendati pendapat ini pun dewasa ini sudah mulai diragukan). Kalau dalam ilmu-ilmu lainnya mungkin masih dapat dicita-citakan suatu titik pangkal “pengamatan murni” tanpa prasangka, hal ini dengan segera mustahil dalam ilmu-ilmu sosial humaniora, karena manusia pengamat tidak meninggalkan dirinya. Kriterium kebenarannya pun berbeda karena objek penyelidikan ilmu-ilmu ini ialah manusia, yang mau tidak mau tidak boleh, bahkan tidak dapat diobjekkan begitu saja demi hasrat untuk mendapatkan penjelasan tentang sebab-musabab tingkah lakunya menurut ikhtisar hipotesa, hukum, dan teori. Subjek sendiri terlibat dalam penyelidikan tentang sesamanya itu. Apalagi sesama itu ialah subjek seluruh tingkah lakunya sebagaimana subjek penyelidikan bersangkutan. Untuk mengungkapkan kekhususan ilmu-ilmu sosial humaniora ini, Max Weber (1864-1920) mengemukakan anggapannya bahwa tidak cukup kalau manusia hendak dijelaskan semata-mata berdasarkan sebab-akibat (causal explanation), namun diperlukan sesuatu yang mewarnai seluruh penjelasan itu. 6
Itulah mengerti atau memahami, (verstehen, atau to understand dalam bahasa Inggris, kendati dalam bahasa Inggris kerap digunakan verstehen) tingkah laku manusia yang diamati berdasarkan kemampuan yang ada dalam diri si pengamat sendiri. Dalam verstehen diandaikan dan diharapkan bahwa penyelidik mampu masuk sampai makna (Sinn, atau meaning ) dari apa yang diamati dalam diri sesamanya dan dalam masyarakat. Itulah yang kadang-kadang dimaksudkan juga dengan kata hermeneutika, yaitu kemampuan untuk dapat menafsirkan apa yang dilihat, disaksikan, didengar ataupun dibaca orang, baik yang datang dari luar entah dekat entah jauh, maupun dari dalam lingkungannya sendiri. C. Subjek dan Objek Saling Mempengaruhi
Sebagai akibat ciri-ciri yang telah kita bahas di atas, lebih lanjut perlu diperhatikan bahwa antara subjek dan objek ilmu-ilmu sosial humaniora terdapat pengaruh timbal balik tanpa henti yang amat intensif. Pada saat salah satu hasil penyelidikan dalam bidang sosial atau kejiwaan sudah diumumkan dan mulai diketahui, ketika itu juga hasil bersangkutan sudah tidak berlaku lagi karena pemberitahuan atau pengumuman itu sendiri. Umpamanya perkiraan tentang jumlah pendukung seorang calon presiden di Amerika Serikat, laporan tentang tingkah laku remaja, persentase penderita AIDS, mundurnya jumlah orang Katolik di beberapa negara Eropa Barat, laporan tentang aksi protes melawan apartheid di Afrika Selatan, laku tidaknya beberapa pusat pariwisata dan pertokoan, takutnya penumpang pesawat terbang akan kemungkinan dibajak, dan lain sebagainya. Maka dari itu, hasil (sementara) dari penyelidikan sosial-historis tidak hanya perlu terus disempurnakan, melainkan tidak bisa ditentukan justru karena ketika diumumkan sudah tidak berlaku lagi sebagai implikasi pemberitahuan itu. Dengan demikian kiranya masuk akal bahwa objektivitas gaya ilmu-ilmu alam sama sekali tidak berlaku dalam bidang ilmu-ilmu sosial humaniora. Auguste Comte pernah mencita-citakan objektivitas itu dengan pendapatnya bahwa asal data-data empiris dikumpulkan dengan tepat maka kebenaran mengenai obj ek yang ingin diketahui dapat pendekatan ini mau bebas nilai (dalam istilah Jerman yang cukup populer digunakan; wertfrei). Sementara dewasa ini makin banyak ahli ilmu sosial humaniora yakin bahwa ilmu ini tidak dapat bebas nilai, bahkan justru harus bersikap menilai. Akhirnya perlu disadari bahwa ada macam-macam ilmu sosial humaniora, dan ciri yang telah kita bahas di sini tidak terdapat dengan cara atau bentuk yang sama dalam semua cabang ilmu-ilmu sosial humaniora.
7
2.2. Cara Kerja Ilmu-ilmu Sosial Humaniora
Berbeda dengan ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu sosial humaniora berkembang lebih kemudian dan perkembangannya tidak sepesat ilmu-ilmu alam. Hal ini karena objek kajian ilmu-ilmu sosial humaniora tidak sekedar sebatas fisik dan material tetapi lebih dibalik yang fisik dan materi dan bersifat lebih kompleks. Selain itu, dibandingkan dengan ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu sosial humaniora nilai manfaatnya tidak bisa langsung dirasakan karena harus berproses dalam wacana yang panjang dan memerlukan negosiasi, kompromi, dan konsesus. Seperti halnya ilmu-ilmu alam, manusia juga sudah barang tentu membutuhkan ilmu-ilmu sosial humaniora untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang tidak fiscal-material, melainkan lebih bersifat abstrak dan psikologis, seperti penemuan prinsip keadilan membawa manusia untuk mengatur perilaku sosialnya atas dasar prinsip tersebut, dan prinsip kemanusiaan membawa kepada sikap tidak diskriminatif atas orang lain meski berbeda ras, warna kulit, agama, etnis, budaya, dan lain sebagainya. Dilihat dari sifat obyeknya, cara kerja ilmu-ilmu sosial humaniora bisa dirangkum dalam prinsip-prinsip seperti berikut : a. Gejala sosial humaniora bersifat non-fisik, hidup dan dinamis. Berbeda dengan ilmu-ilmu alam, dimana gejala-gejala yang ditelaah lebih bersifat “mati” baik yang ada dalam alam, pikiran (matematika), maupun dalam diri manusia, gejala-gejala yang diamati dalam ilmu-ilmu sosial humaniora bersifat hidup dan bergerak secara dinamis. Objek studi ilmu-ilmu sosial humaniora adalah manusia yang lebih spesifik lagi pada aspek sebelah dalam atau inner world -nya dan bukan outer world -nya yang menjadi ciri ilmu-ilmu alam. Berbeda dengan ilmu kedokteran, yang lebih membicarakan aspek luarnya manusia secara biologis atau fisik, ilmu-ilmu sosial humaniora lebih menekankan pada sisi bagian “dalam” manusia atau apa yang ada “di balik” manusia secara fisik, pada inner side, mental life, mind-effect world , dan geistige welt . b. Obyek penelitian tak bisa diulang. Gejala-gejala fisik dalam ilmu-ilmu alam, karena berupa benda- benda “mati” maka bersifat stagnan dan tidak berubah-ubah, dan karenanya bisa diamati secara berulang-ulang. Sementara gejala-gejala sosial humaniora memiliki keunikan-keunikan dan kemungkinan bergerak sangat besar, karena mereka tidak stagnan dan tidak statis. Masalah sosial kemanusiaan sering bersifat sangat spesifik dan konteks historis tertentu. Kejadian sosial mungkin yang dulu pernah terjadi barangkali secara mirip bisa terulang dalam masa sekarang atau nanti, tetapi tetap secara keseluruhan tak pernah bisa serupa. Misalnya perilaku kerusuhan sosial orang-orang di Surakarta dulu pernah diteliti, dan sekarang ilmuwan sosial mencoba meneliti kembali perilaku kerusuhan sosial mereka itu, maka tidak akan pernah mungkin sama karena sikap, emosi, dan pengetahuan informan berkembang dan bahkan dimungkinkan berubah sama sekali dan ditambah lagi perubahan-perubahan konteks sosio-budaya-politiknya. Dengan demikian gejala-gejala sosial humaniora cenderung tidak bisa ditelaah secara berulang-ulang, karena gejala-gejala tersebut bergerak seiring dengan dinamika konteks historisnya. Jika dalam ilmu-ilmu alam, gejala-gejala alam bisa ditelah secara berulangulang, sehingga mampu dihasilkan hukum-hukum obyektif dan nomotetik, sedangkan dalam ilmu sosial humaniora hanya dilukiskan keunikannya atau bersifat idiografik. Ilmu8
ilmu sosial humaniora hanya memahami, memaknai dan menafsirkan gejala-gejala sosial humaniora, bukan menemukan dan menerangkan secara pasti. Pemahaman, pemaknaan, dan penafsiran ini lebih besar kemungkinan menghasilkan kesimpulan yang berbeda, bahkan bertentangan, daripada menghasilkan kesimpulan yang sama. c. Pengamatan relatif lebih sulit dan kompleks. Mengingat sifat gejala-gejala sosial humaniora yang bergerak dan bahkan berubah, maka bisa dibayangkan ilmuwan sosial humaniora dalam mengamati mereka sudah barang tentu lebih sulit dan kompleks. Karena yang diamati adalah apa yang ada dibalik kenampakan fisik dari manusia dan bentuk-bentuk hubungan sosial mereka. Melihat seseorang tersenyum pada orang lain adalah hal yang sering bisa ditemukan dalam kehidupan seharihari, tetapi dalam ilmu sosial humaniora dapat bermakna banyak, orang yang tersenyum bisa karena ia senang dengan orang yang dilihatnya, karena orang yang dilihatnya adalah lucu dan aneh atau bahkan karena ia tidak senang pada orang yang dilihatnya tetapi agar tidak terlihat oleh mata orang-orang disekitarnya bahwa ia tidak senang pada orang yang dilihatnya. Van Dalen menambahkan bahwa ilmuwan alam berkaitan dengan gejala fisik yang bersifat umum, dan pengamatannya hanya meliputi variable dalam jumlah yang relatif kecil dan karenanya mudah diukur secara te pat dan pasti; sedangkan ilmu-ilmu sosial humaniora mempelajari manusia baik selaku perorangan maupun selaku anggota dari suatu kelompok sosial yang menyebabkan situasinya bertambah rumit, dan karenanya variable dalam penelaahan sosial humaniora relatif lebih banyak dan kompleks serta kadang-kadang membingungkan. Kuntowijoyo tentang hal ini menggarisbawahi bahwa manusia memiliki free will dan kesadaran, karena itulah, ia bukan benda yang ditentukan menurut hukum-hukum yang baku sebagaimana benda-benda mati lainnya yang tak memiliki kesadaran apalagi kebebasan kehendak. Benda mati bisa dikontrol dan dikendalikan secara pasti, tetapi manusia tidak bisa karena disamping dikendalikan, ia juga bisa mengendalikan orang lain. Determinisme dalam segala bentuk apakah itu ekonomi, lingkungan alam, lingkungan sosial, politik dan budaya hanya berharga sebagai dependent variable, tetapi tidak pernah menjadi independent variable. Oleh karena itu, jelas bahwa pengamatan dalam ilmu-ilmu sosial humaniora adalah jauh lebih kompleks, subyek dan obyek penelitian adalah makhluk yang sama-sama sadar yang jelas tidak mudah menangkap dan ditangkap semudah menangkap realitas benda, batu misalnya. d. Subyek pengamat juga sebagai bagian integral dari obyek yang diamati. Subyek pengamat atau peneliti dalam ilmu sosial humaniora jelas jauh berbeda dengan ilmu alam. Dalam ilmu alam, subyek pengamat bisa mengambil jarak dan fokus pada obyektivitas yang diamati, tetapi dalam ilmu sosial humaniora karena subyek dan obyek adalah manusia yang memiliki motif dan tujuan dalam setiap tingkah lakunya, maka subyek yang mengamati tidak mungkin bisa mengambil jarak dari obyek yang diamati dan menerapkan prinsip obyektivistik, dan tampaknya lebih condong ke prinsip subyektivistik. Karena subyek yang mengamati adalah manusia yang juga memiliki kecenderungan nilai tertentu tentang hidup maka ia menjadi bagian integral dari obyek yang diamati yang juga manusia itu. Dalam “membongkar” motif, tujuan dari perbuatan yang dilakukan manusia, maka peneliti tidak bisa melepaskan dari kecenderungan-kecenderungan nilai individu yang sedang 9
dipeganginya. Dengan cara ini, obyek sosial humaniora yang sama diamati oleh beberapa pengamat hampir bisa dipastikan tidak akan menghasilkan kesimpulan yang tunggal, tetapi cenderung beragam dalam interpretasinya karena subyek pengamat sosial humaniora bukanlah sekedar spektator saja tetapi juga terlibat baik secara emosional maupun rasional dalam dan merupakan bagian integral dari obyek yang diamatinya. e. Memiliki daya prediktif yang relatif lebih sulit dan tak terkontrol. Suatu teori sebagai hasil suatu pengamatan sosial humaniora tidak serta mer ta bisa dengan mudah untuk memprediksikan kejadian sosial humaniora berikutnya. Hal ini dikarenakan dalam ilmu sosial humaniora, pola-pola perilaku sosial humaniora yang sama belum tentu akan mengakibatkan kejadian yang sama. Meskipun demikian, bukan berarti hasil temuan dalam ilmu-ilmu sosial humaniora tidak bisa dipakai sama sekali untuk meramalkan kejadian-kejadian sosial lain sebagai akibatnya dalam waktu dan tempat yang berlainan, tetap bisa tetapi tidak mungkin sepasti dan semudah ilmu-ilmu alam. 2.3. Perbedaan Ilmu Sosial Humaniora dengan Ilmu Alam
Ilmu-ilmu sosial humaniora memang hadir belakangan daripada ilmu-ilmu alam. Ketika ilmu-ilmu alam mengalami kemajuannya sangat pesat, ilmu-ilmu sosial humaniora mengekor di belakangnya. Hal ini disebabkan oleh subyek ilmu-ilmu sosial humaniora yang adalah manusia sebagai makhluk multidimensional, yang tentu saja mengikuti perkembangan manusia itu sendiri. Berikut sedikit uraian perbedaan ilmu sosial humaniora dengan ilmu alam : a. Obyek penelaahan yang kompleks Dalam telaah kajiannya yang berupa gejala sosial, ilmu sosial humaniora mengalami komplektisitas dibandingkan dengan gejala alam. Ahli ilmu alam berhubungan dengan satu jenis gejala yang bersifat fisik. Penelaahan ilmu alam meliputi beberapa variabel dalam jumlah yang relatif kecil dan dapat diukur secara tepat. Gejala sosial juga memiliki karakteristik fisik, namun diperlukan penjelasan yang lebih dalam untuk mampu menerangkan gejala tersebut. Variabel ilmu sosial humaniora sangat banyak dan rumit. Untuk menjelaskan hal ini berdasarkan hukum-hukum seperti yang terdapat dalam ilmu alam dan ilmu hayat adalah tidak cukup. b. Ahli ilmu alam berhubungan dengan gejala fisik yang bersifat umum Penelaahannya meliputi beberapa variabel dalam jumlah yang relatif kecil yang dapat diukur secara tepat. Ilmu-ilmu sosial humaniora mempelajari manusia baik selaku perseorangan maupun selaku anggota dari suatu kelompok sosial yang menyebabkan situasinya bertambah rumit. Variabel dalam penelaahan sosial humaniora adalah relatif banyak yang kadang-kadang membingungkan si peneliti. Jika seorang ahli ilmu alam mempelajari suatu eksplosi kimiawi maka hanya beberapa faktor fisik yang berhubungan dengan kejadian tersebut. Jika seorang ahli ilmu sosial humaniora mempelajari suatu eksplosi sosial yang berupa huru-hara atau kejahatan maka terdapat faktor yang banyak sekali dimana diantaranya terdapat faktor-faktor yang tidak bersifat fisik : senjata yang digunakan, kekuatan dan arah tusukan, urat darah yang tersayat, si pembunuh yang meluapluap, dendam kesumat pertikaian, faktor biologis keturunan, kurangnya perlindungan
10
c.
d.
e.
f.
keaamanan, malam yang panas dan memberonsang, pertikaian dengan orang tua, kemiskinan, dan masalah ketegangan rasial. Kesukaran dalam pengamatan Pengamatan langsung gejala sosial sulit dibandingkan dengan gejala ilmu-il mu alam. Ahli ilmu sosial humaniora tidak mungkin melihat, mendengar, meraba, mencium, atau mengecap gejala yang sudah terjadi di masa lalu. Ahli ilmu sosial humaniora tidak mungkin menangkap gejala masa lalu secara indrawi kecuali melalui dokumentasi yang baik, sedangkan seorang ahli ilmu kimia atau fisika, misalnya, bisa mengulangi percobaan yang sama setiap waktu dan mengamatinya secara langsung. Seorang ahli pendidikan yang sedang mempelajari sistem persekolahan di zaman penjajahan dulu kala tidak dapat melihat dengan mata kepala sendiri kejadian-kejadian tersebut. Seorang ahli ilmu fisika atau kimia yang bisa mengulang kejadian yang sama setiap waktu dan bisa mengamati suatu kejadian tertentu seara langsung. Hal ini berlainan sekali dengan ahli ilmu jiwa yang tak mungkin mencampurkan ramuan-ramuan ke dalam tabung reaksi untuk bisa merekonstruksi masa kanak-kanak seorang manusia dewasa. Hakiki dari gejala ilmu-ilmu sosial humaniora tidak memungkinkan pengamatan secara langsung dan berulang. Boleh jadi seorang ilmuwan sosial humaniora mengamati gejala sosial secara langsung, tetapi ia akan menemui kesulitan untuk melakukannya secara keseluruhan karena gejala sosial lebih variatif dibandingkan gejala fisik. Perlakuan yang sama terhadap setiap individu penelitian dalam ilmu sosial bisa menghasilkan suatu tabulasi, tetapi peluang kebenaran pada perlakuan yang sama itu pun tidak sebesar peluang kesamaan dalam ilmu-ilmu alam. Gejala sosial lebih bervariasi dibandingkan dengan gejala fisik Pada umumnya pengamatan pada tiap cc dari sejumlah volume asam sulfat menghasilkan kesimpulan yang tidak berbeda mengenai mutu asam tersebut. Pengamatan terhadap 30 orang anak kelas 1 Sekolah Menengah Pertama di kota tertentu lain sekali kesimpulannya dengan pengamatan terhadap jumlah murid dan sekolah yang sama di kota l ain umpamanya ditinjau dari segi umur anak-anak tersebut. Di dalam situasi tertentu seorang ahli il mu sosial humaniora akan memperlakukan setiap individu secara sama rata umpamanya dalam tabulasi waktu lahir mereka. Akan tetapi karena variasi yang nyata dari hakiki manusia maka pengambilan kesimpulan secara umum dari pengambilan contoh ( sample) dalam ilmu-ilmu sosial humaniora kadang-kadang adalah berbahaya. Obyek penelaahan yang tidak terulang Gejala fisik pada umumnya bersifat seragam dan gejala tersebut dapat diamati sekarang. Gejala sosial banyak yang bersifat unik dan sukar untuk terulang kembali. Abstraksi secara tepat dapat dilakukan terhadap gejala fisik lewat perumusan kuantitatif dan hukum yang berlaku secara umum. Masalah sosial sering kali bersifat spesifik dalam konteks historis tertentu. Kejadian tersebut bersifat mandiri dimana mungkin saja terja di pengulangan yang sama dalam waktu yang berbeda namun tak pernah serupa sebelumnya. Hubungan antara ahli dengan obyek penelaahan Gejala fisik seperti unsur kimia bukanlah suatu individu melainkan barang mati. Ahli ilmu alam tidak usah memperhitungkan tujuan atau atau motif palnit dan lautan. Tetapi ahli ilmu sosial humaniora mempelajari manusia yang merupakan makhluk yang penuh tujuan dalam tingkah lakunya. Karena obyek penelaahan ilmu sosial humaniora sangat dipengaruhi oleh keinginan dan pilihan manusia maka gejala sosial berubah secara tetap sesuai dengan 11
tindakan manusia yang didasari keinginan dan pilihan tersebut. Ahli alam menyelidiki proses alami menyusun hukum yang bersifat umum mengenai proses tadi. Sedangkan ilmuilmu sosial humaniora tidak bisa terlepas dari jalinan unsur-unsur kejadian sosial. Kesimpulan umum mengenai suatu gejala sosial bisa mempengaruhi kegiatan sosial tersebut. Seorang ilmuwan sosial humaniora tidak bersikap sebagai pengamat yang menyaksikan suatu proses kejadian sosial karena ia juga merupakan bagian integral atau pelaku dari obyek kehidupan yang ditelaahnya. Karena itu lebih sukar bagi seorang peneliti ilmu sosial humaniora untuk bersikap obyektif dalam masalah ilmu sosial humaniora daripada seorang peneliti ilmu alam dalam masalah kealaman. Keterlibatan secara emosional terhadap nilai-nilai tertentu juga cenderung memberikan penilaian individualis. Ahli ilmu alam mempelajari fakta dimana dia memusatkan perhatiannya pada keadaan yang terdapat pada alam. Ahli ilmu sosial humaniora juga mempelajari fakta umpamanya mengenai kondisi-kondisi yang terdapat dalam suatu masyarakat. 2.4. Dilthey dan Metodologis Pemisahan Ilmu 2.4.1. Sejarah Hidup Dilthey
Wilhelm Dilthey lahir di Biebrich pada 19 Nopember 1833. Ayahnya seorang pendeta Gereja Reformasi. Setelah lulus sekolah grammer di Wiesbaden, Dilthey lalu kuliah theologi di Heidelberg selama setahun. Kemudian pindah ke Universitas Berlin. Ia juga kuliah filsafat. Ketika di Heidelberg ia dibimbing oleh Kuno Fischer, dan waktu di Berlin oleh Adolf Trendelenburg. Semula Dilthey belajar untuk menyiapkan dirinya menjadi pendeta. Tetapi beralih minatnya kepada filsafat dan sejarah, terpengaruh oleh para Sejarawan ulung, antara lain Jacob Grimm dan Leopold von Ranke. Gelar doktornya, ia peroleh tahun 1864. Kemudian menjabat Profesor Filsafat di Basel tahun 1867; di Kiel tahun 1868; dan di Breslau tahun 1981; kemudian kembali ke Berlin menggantikan Hermann Lotze dari tahun 1882 hingga 1905. Dilthey wafat pada tanggal 1 Oktober 1911 di Seis. Sebagai seorang filosuf, Dilthey sangat berminat pada logika dan metodologi sejarah serta masyarakat. Ia termasuk pelopor filsafat yang anti intelektual, mempertahankan imu-ilmu kebudayaan atau humaniora sebagai ilmu-ilmu pengetahuan yang tidak bergantung kepada ilmu-ilmu alam atau realita ataupun Naturwissenschaften. Kecuali sebagai filosuf dan sejarawan, ia pun juga terkenal sebagai penulis biografi dan kritisi sastra. Karya-karya besarnya yang dicetak pada masa hidupnya, semuanya berbahasa Jerman : 1. Dags Leben Schleiermachers (Kehidupan Schleiermacher), 1870; 2. Einleitung in die Geisteswissenschaften (Pengantar Studi Ilmu-Ilmu kebudayaan), 1883; 3. Ideen uber eine beschreibende und zergliedernde Psychologi (Ide-ide tentang Psikologi Deskriptif dan Analitik), 1894; 4. Das Wesen der Philosophie (Esensi Filsafat), 1907;
12
5. Der Aufbau der geschichtlichen Welt in den Geisteswissenschaften (Konstruksi Dunia Sejarah dalam Studi-studi Ilmu kebudayaan), 1910. Garis besar isi karya-karya tersebut mengenai perbedaan antara metodologi ilmuilmu pengetahuan alam dan studi-studi ilmu kebudayaan, serta masalah penegasan ciriciri ilmu sejarah. Setelah ia wafat, barulah semua tulisannya dibukukan orang, dan mengesankan bahwa ia seorang yang luas serta dalam ilmunya. Kumpulan karyanya diberi nama Gesammelte Schriften, terdiri dari 12 jilid. Cetakan pertama diusahakan pada tahun 1914-1936, dan dicetak ulang pada tahun 1957-1960. Isinya meliputi: perubahan konsepsi-konsepsi agama dan filsafat mengenai manusia, sejarah idealisme Jerman, masa pencerahan Jerman, sejarah ide-ide pedagogik, filsafat hidup, hakekat filsafat, sistem-sistem tipologi filosofik, dan teori studi ilmu-ilmu kebudayaan. 2.4.2. Metodologis Pemisahan Ilmu
Wilhelm Dilthey (1833-1911) membedakan ilmu pengetahuan ke dalam Naturwissenschaften atau ilmu pengetahuan tentang alam dan Geisteswissenschaften atau ilmu pengetahuan tentang batin manusia. Perbedaan ini sangat penting karena pada kenyataannya kedua jenis ilmu pengetahuan tersebut mempergunakan metodologi atau pendekatan yang berbeda. Naturwissenschaften atau ilmu pengetahuan tentang alam menggunakan metode ilmiah yang hasil penemuannya dapat dibuktikan dengan menggunakan metode yang sangat ketat, sedangkan Geisteswissenschaften atau ilmu pengetahuan tentang batin manusia atau tentang hidup tidak dapat diterapi dengan metode ilmiah seperti halnya pada Naturwissenschaften karena ilmu-ilmu Geisteswissenschaften berhubungan dengan hidup manusia. Menurut Wilhelm Dilthey, semua ilmu pengetahuan tentang alam fisik seperti biologi, kimia, fisika dan ilmu-ilmu lainnya yang termasuk bidang ini serta semua jenis sains yang mempergunakan metode ilmiah induksi dan eksperimen termasuk dalam Naturwissenschaften. Sedangkan semua ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan kehidupan batin manusia seperti sejarah, psikologi, filsafat, ilmu-ilmu sosial, seni, agama, kesusastraan dan ilmu-ilmu lain yang sejenis termasuk dalam Geisteswissenschaften. Dilthey berpendapat bahwa harus ada pembedaan yang tegas antara Naturwissenschaften dengan Geisteswissenschaften. Pembedaannya dapat ditemukan dalam tiga taraf: 1. bidang penelitian; 2. bentuk-bentuk pengalaman; dan 3. sikap si peneliti. Fakta alamiah ditangkap oleh alat-indera sebagai fenomena lahiriah, sedangkan fakta budaya ditangkap oleh batin sebagai konsep.
13
Menurutnya, bidang sains itu memerlukan cara penjelasan (erklaren/explanation), sedangkan bidang kemanusiaan memerlukan cara memahami (verstehen/understanding ), yakni dengan menyelami dan menghayati jiwa dan tingkah laku manusia itu sendiri. Secara epistemologis, Dilthey menganggap disiplin ilmu alam menggunakan penjelasan (erklaren), yakni menjelaskan hukum alam menurut penyebabnya dengan menggunakan teori. Sebab, pengalaman dengan teori terpisah. Sedang disiplin ilmu sosial humaniora mengunakan pemahaman ( verstehen), dengan tujuan untuk menemukan makna obyek, karena di dalam pemahaman, terjadi pencampuran antara pengalaman dan pemahaman teoritis. Dilthey menyatakan bahwa metode atau pendekatan hermeneutik merupakan dasar dari Geisteswissenschaften. Ia tertarik pada metode hermeneutik ketika ia mencoba memecahkan persoalan tentang bagaimana membuat segala pengetahuan tentang individu manusia menjadi ilmiah. Persoalan pokok Dilthey adalah bagaimana menemukan metode lain untuk Geisteswissenschaften jika metode ilmiah tidak dapat digunakan. Dari sinilah ia mulai melirik hermeneutik sebagai metode untuk pembahasan Geisteswissenschaften. Bagi seorang ilmuwan bidang sains, yang dapat menjadi objek penelitian objektif dan ilmiahnya adalah benda-benda yang berada dalam dunia fisik, sedangkan hal-hal atau peristiwa-peristiwa yang bertalian dengan individu hanya dapat dipahami dan diinterpretasikan. Menurut Dilthey, terhadap benda-benda di alam kita hanya mampu "mengetahui", sedangkan terhadap manusia kita mengunakan "pemahaman" dan "interpretasi" untuk "mengetahui" manusia. Metode pemahaman digunakan untuk memahami, meyakini tindakan-tindakan manusia ketika ia melakukan suatu karya seni ataupun terlibat dalam peristiwa sejarah, misalnya jatuhnya pemerintahan Orde Baru di Indonesia pada tahun 1998. Di dalam metode pemahaman digunakan metode wawancara mendalam (depth interview), yang bertujuan untuk memahami dengan lebih baik dan mendalam tentang para pelaku budaya yang terlibat, misalnya pada peristiwa sejarah ataupun saat membuat karya seni. 2.4.3. Dilthey dan Hermeneutika Metodologis
Hermeneutika, yang dalam bahasa inggrisnya adalah hermeneutics, berasal dari kata Yunani hermeneuine dan hermeneia yang masing-masing berarti “menafsirkan” dan “penafsiran”. Istilah tersebut dalam berbagai bentuknya dapat dibaca dalam sejumlah literatur peninggalan Yunani Kuno, seperti yang digunakan oleh Aristoteles dalam sebuah risalahnya yang berjudul Peri Hermenias (Tentang Penafsiran). Lebih dari itu, sebagai sebuah terminologi, hermeneutika juga bermuatan pandangan hidup (worldview) dari para penggagasnya. Dalam tradisi Yunani, istilah hermeneutika diasosiasikan dengan Hermes (Hermeios), seorang utusan (dewa) dalam mitologi Yunani Kuno yang bertugas menyampaikan dan menerjemahkan pesan dewa ke dalam bahasa manusia. Menurut mitos itu, Hermes bertugas menafsirkan kehendak dewata (Orakel) dengan bantuan kata-kata manusia.
14
Dengan demikian, fungsi Hermes sangat penting, sebab bila terjadi kesalahpahaman tentang pesan dewa, akan berakibat sangat fatal bagi seluruh kehidupan manusia. Untuk itu, Hermes harus mampu menginterpretasikan pesan Tuhan ke dalam bahasa pendengarnya. Sejak itu, Hermes merupakan simbol seorang duta yang dibebani dengan misi khusus. Berhasil tidaknya misi tersebut sangat tergantung pada cara bagaimana Hermes menyampaikannya dalam bahasa manusia. Pengertian dari mitologi ini kerap kali dapat menjelaskan pengertian hermeneutika teks-teks kitab suci, yaitu menafsirkan kehendak Tuhan sebagaimana terkandung di dalam ayat-ayat berbagai kitab suci. Seorang Protestan, F. D. E. Schleiermacher-lah yang bertanggung jawab membawa heremeneutika dari ruang biblical studies ke ruang lingkup filsafat, sehingga apa yang berbentuk teks bisa menjadi objek hermeneutika. Selanjutnya, hermeneutika dikembangkan oleh tokoh-tokoh seperti Wilhelm Dilthey yang menggagas hermeneutika sebagai landasan bagi ilmu-ilmu kemanusiaan (Geisteswissenschaften), lalu Hans-Georg Gadamer yang mengembangkannya menjadi metode filsafat yang diteruskan oleh para filosof kontemporer seperti Paul Ricoeur, Jurgen Habermas, Jacques Derrida, Michael Foucault, lyotard, Jean Baudrillard. Wilhelm Dilthey mengembangkan hermeneutika sebagai metodologi atau epistemologi pemahaman. Ia mengusulkan konsep yang dinamai criticque of historical reason. Konsep ini dimaksudkan untuk merumuskan syarat-syarat tentang kemungkinan seseorang mendapatkan pengetahuan yang empiris. Terilhami oleh gagasan Imanuel Kant tentang Critique Of Pure Reason, Dilthey mengerucutkan diskusi tentang metodologi kedalam persoalan penafsiran dokumen/teks. Teks dikaji melalui metode pemahaman (verstehen). Dalam hal ini, metode dimaknai sebagai cara mencerna yang menganggap hubungan subyek-obyek adalah satu; realitas-realitas, hidup-hidup atau masalah-masalah, jawaban-jawaban. Dalam suatu penelitian, pencarian suatu jawaban tidak mesti hanya berkonsentrasi pada obyek, subyek juga merupakan bagian dari tempat dimana jawaban mungkin didapatkan. Dengan menempatkan hubungan obyek dan subyek secara equal maka dimungkinkannya mendapatkan pengetahuan historis yang lebih baik. Dalam konteks ini, identifikasi problem hermeneutik menjadi penting yang dalam konsep Dilthey disebut “mengalami” dimana kebenaran yang didapat dari pengalaman sejarah dapat dimaknai dan diekspresikan. Dilthey meyakini bahwa kesadaran sejarah sese orang dan kesadaran manusia secara keseluruhan merupakan prasyarat dalam pemahaman yang luas dan kaya. Pengetahuan dan peradaban masa lalu dapat memperkaya pengalaman dan pengetahuan masa kini sehingga dapat mempermudah untuk memahami konteks sekarang. Proses hermeneutik sederhananya menempuh cara dengan mengaitkan masa lalu (masa pengarang) dengan sekarang (masa peneliti atau pembaca); pemahaman akan konteks sekarang hanya dapat dicapai dengan baik, dengan cara membandingkannya dengan masa lalu, sehingga kita dapat mengetahui dengan pasti kekhususan yang paling tepat bagi konteks sekarang. Sederhananya untuk memperdalam pengetahuan tentang teks masa lalu atau obyek penelitian hermeneutika, seorang peneliti menurut Dilthey harus mengalami ulang tentang apa yang telah secara sebenarnya dirasakan dan dipikirkan oleh 15
pengarang. Baginya ini adalah solusi dari problematika penafsiran, dengan harapan akan membantu untuk mengerti suatu proses pemahaman secara umum, yaitu bagaimana pembaca mampu mentransposisikan atau mengatur kembali suatu kompleksitas pemahaman pengarang kedalam pemahaman pembaca dengan dunianya sendiri, dengan kata lain tugas pembaca adalah menghadirkan ulang proses dan hasil yang telah dicapai oleh pengarang. Dengan cara seperti ini, dalam pembacaannya, seorang pembaca akan terhindar dari salah mengerti pemikiran orang lain. Menurut Dilthey, hermeneutika pada dasarnya bersifat menyejarah. Ini berarti bahwa makna itu sendiri tidak pernah “berhenti pada satu masa saja”, tetapi selalu berubah menurut modifikasi sejarah. Sejarah bangsa Indonesia, misalnya, tidak mungkin hanya ditulis sekali untuk selamanya, tetapi akan selalu ditulis kembali oleh setiap generasi. Bahasa juga tidak pernah lepas dari pasang surutnya sejarah. Kata-kat a atau pernyataan tunggal bisa mempunyai makna bermacam-macam, tergantung pada konteks sejarah di mana kata atau pernyataan itu diucapkan. Itu pula sebabnya mengapa makna kata atau bahkan ungkapan tidak pernah tunggal. Makna kata muncul, tenggelam, dan berkembang dalam rentetan sejarah masyarakat penggunanya (Raharjo, 2008, hlm. 42). 2.5. Hermeneutika (Hans-George Gadamer)
Kata hermeneutika berasal dari kata kerja Yunani hermeneuo yaitu mengartikan, menafsirkan, menterjemahkan. Pada abad ke 17 dan 18 istilah ini mulai dipakai untuk menunjukkan ajaran tentang aturan-aturan yang harus diikuti dala m mengerti dan menafsirkan dengan tepat suatu teks dari masa lampau, khususnya kitab suci dan teks klasik (Yunani dan Romawi). Dewasa ini ”hermeneutika” di pakai dalam arti yang sangat luas dan meliputi hampir semua tema filosofis tradisional, selama berkaitan dengan bahasa. Pada intinya filsafat ini bersentuhan dengan (verstehen). Pertanyaan yang digunakan dalam hermeneutika meliputi : apakah itu “mengerti”? apakah yang terjadi jika manus ia menjalankan “pengertian” dan apa yang harus diandaikan supaya pengertian itu mungkin? Dalam karyanya tentang “ada dan waktu” Gadamer meneruskan suatu pendirian Heideger bahwa “mengerti” bukan merupakan salah satu sikap yang di praktekkan manusia diantara sekian banyak sikap lain yang mungkin. Menurutnya “mengerti” harus dipandang sebagai sikap yang paling fundamental dalam eksistensi manusia. ”mengerti” menyangkut seluruh pengalaman manusia. Dalam filsafat hermeneutika ini, Gadamer tidak memusatkan pemikirannya pada salah satu filsafat saja, namun memandang semua tema dalam filsafat dari segi hermeneutik. Untuk mencapai “pengertian” satu-satunya cara ialah bertolak dari pengertian. Semisal, untuk mengerti suatu teks maka mesti sudah ada pengertian tertentu tentang apa yang dibicarakan dalam teks tersebut. Proses ini disebut Heideger dan Gadamer sebagai “lingkaran hermeneutis”. Namun tidak dapat ditarik kesimpulan bahwa lingkaran itu muncul ketika membaca teks. Lingkaran itu sudah ada pada taraf fundamental. Mengerti dunia hanya mungkin kalau ada pra pengertian tentang dunia dan tentang diri kita sendiri.
16
a. Hermeneutika Kesenian
Gadamer memperlihatkan bahwa perkembangan dalam ilmu pengetahuan alam mengakibatkan perubahan juga dalam penilaian manusia terhadap bentuk-bentuk pengenalan lain, seperti pengalaman aesthetic. Dia berpendapat bahwa dengan pengalaman aesthetic menjauhkan diri dari realitas dan ia ingin memperlihatkan bahwa karya seni benar-benar menyingkapkan kebenaran kepada kita (menggunakan pandangan Heideger tentang kesenian) dan membuat kita mengerti. Karenanya kesenian masuk dalam wilayah hermeneutika, sejauh hermeneutika membicarakan bagaimana manusia mencapai pengertian “yang ada”. b. Hermeneutika Ilmu Pengetahuan Budaya
Detail analisis Gadamer tentang “pengertian” dalam ilmu pengetahuan budaya ( geistesswisencahften). Sebagai contoh dalam ilmu sejarah, Gadamer memperlihatkan bagaimana ilmu sejarah senantiasa berusaha untuk membicarakan tentang sejarah dengan memilih tempatnya di luar sejarah. Hermeneutika yang diterapkan dalam ilmu sejarah itu, hendak merancang suatu metode ilmiah yang membahas fakta-fakta historis, sambil menyisipkan historitas sang sejarawan sendiri. Dalam hal ini Gadamer melanjutkan hermeneutika dari Friedrich Schleiermacher (1768-1834). Menurut Schleiermacher, untuk mengerti teks dari masa lampau, perlu untuk keluar dari zaman di mana kita berada sekarang, merekonstruksi zaman si pengarang dan menampilkan kembali keadaan dimana pengarang berada pada saat ia menulis teksnya. Dibutuhkan juga untuk membayangkan bagaimana pemikiran, perasaan, dan maksud si pengarang. Di kemudian hari Wilhelm Dilthey (1833-1911) telah meneruskan dan meneguhkan hermeneutika Schleiermacher. Bagi Dilthey pun tugas hermeneutika ialah mengatasi “keasingan” suatu teks. Saya tidak bisa menghayati (erleben) secara langsung peristiwa peristiwa dari masa lampau, tapi saya dapat membayangkan bagaimana orang dulu menghayati peristiwa peristiwa tersebut (nacherleben). c. Bahasa
Lebih dalam lagi dalam hal ini Gadamer menunjukkan bahwa “mengerti” tidak hanya bergaul dengan teks-teks masa lampau, tetapi merupakan sikap paling fundamental dalam eksistensi manusia, maka harus di simpulkan bahwa masalah bahasa mempunyai relevansi ontologis. Dalam konteks ini Gadamer merumuskan suatu perkataan yang sering dikutip dan dikomentari: sein das verstanden warden kann, ist sprache, dalam perkataan ini diungkapkannya cara bagaimana “ada” tampak pada manusia. Jika “ada” tampak pada manusia, dikatakan sesuatu. ”ada” menampakk an diri sebagai bahasa. Dengan perumusan lain dapat dikatakan bahwa dalam situasi hermeneutis “ada” ada tampak sebagai percakapan, sebagai dialog. ”mengerti” itu sama dengan mengadakan percakapan dengan “ada”; suatu percakapan dimana sungguh-sungguh terjadi sesuatu. Salah satu hal yang paling di tekankan oleh Gadamer ialah bahwa bahasa berbicara tentang benda-benda dalam dunia, tidak boleh dikatakan bahwa bahasa merupakan suatu realitas subyektif yang menghalangi hubungan kita dengan benda-benda. Tentu saja, tidak ada perkataan yang dapat mengungkapkan suatu obyek dengan tuntas. Tetapi hal itu tidak disebabkan oleh keterbatasan bahasa, melainkan oleh keberhinggaan subyek manusiawi. 17
Menurut Gadamer banyak problem tentang bahasa tidak dapat dipecahkan jika orang berpegang teguh pada pendirian bahwa bahasa merupakan “alat” saja. Tentu saja bahasa merupakan “alat” komunikasi dalam pergaulan antar manusia. Namun bahasa merupakan hal yang lebih daripada suatu sistem tanda-tanda saja. Pendirian yang beranggapan demikian, bertitik tolak dari adanya kata-kata dan memandang obyek sebagai suatu yang kita kenal lewat sumber lain. Obyek dan kata tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Kita tahu bahwa pengalaman kita tidak dimulai dari kata-kata. Dalam pengalaman kita, tidak dicari suatu kata untuk menunjukkan obyek yang sudah kita alami. Kalau kita mencari kata yang tepat itu tidak berarti bahwa kita mencari tanda untuk menunjukkan obyek yang sudah hadir serba lengkap, melainkan bahwa obyek belum nampak sepenuh-penuhnya. Antara kata dan benda terdapat kesatuan begitu erat, sehingga mencari sesuatu kata sebetulnya tidak lain dari pada mencari kata yang seakan akan melekat pada benda. Demikian pun bahasa dan pemikiran bagi Gadamer membentuk suatu kesatuan yang tak terpisahkan. d. Diskusi Dengan Habermas
Diskusi terjadi pada dasawarsa 1970-an yang diadakan dalam suatu kumpulan karangan berjudul hermeneutik dan kritik terhadap ideologi dimana, antara lain Habermas dan Gadamer memberikan sumbangan karangan. Diskusi ini berguna untuk menjelaskan dua pendirian filosofis yang cukup berbeda. Habermas keberatan atas penilaian Gadamer terhadap otoritas serta tradisi dan keraguan mengenai sifat universal hermeneutika. Yang pertama, menurut Habermas otoritas hampir selalu sama dengan menindas kebenaran. Hubungan antara otoritas dan rasio tidaklah lain daripada pertentangan saja. Otoritas tradisi merupakan suatu kuasa yang mengasingkan dan kuasa itu lebih kuat sejauh orang-orang tunduk pada tradisi mempunyai kesan bahwa pengertian mereka merupakan hasil suatu komunikasi tanpa kekerasan. Ditambah lagi rehabilitasi prasangka yang dilakukan oleh Gadamer tidak masuk akal, mereka hanya dapat dimengerti sebagai faktor penghambat pengertian yang sejati, menurut Habermas. Kemudian Habermas menolak sifat universal pengenalan hermeneutis. Gadamer menekankan bahwa eksistensi kita sendiri berakar pada pengenalan pra ilmiah yang dijalankan dalam percakapan biasa. Hermeneutika merupakan ajaran tentang pengertian yang di praktekkan dalam percakapan-percakapan. Pada taraf akal sehat harus dilengkapi dengan suatu “meta-hermeneutika” yaitu teori k ritis yang meneropongi distorsi-distorsi yang terjadi dalam percakapan-percakapan non ilmiah. Gadamer menanggapi kritik itu dengan mengukuhkan pendiriannya, dengan menolak pertentangan Habermas antara tradisi kultural dan faktor-faktor real yang menentukan kehidupan, yaitu pekerjaan dan penguasaan. Dimana arti pekerjaan dan penguasaan tampak juga dalam percakapan yang diadakan oleh golongan-golongan sosial. Tentang hal itu menurut Gadamer ilmu pengetahuan kritis hanya dapat berbicara berdasarkan pengandaian pengandaian tradisional tentang manusia dan masyarakat. Ditegaskan lagi olehnya bahwa membuka diri terhadap kebenaran yang tersimpul dalam tradisi, tidak mutlak di butuhkan sama dengan konservatif. Membuka diri terhadap tradisi membawa konsekuensi yang tidak dapat diramalkan sebelumnya; perlunya mengubah keadaan sekarang ataupun membela serta mempertahankannya.
18
2.6. Pendekatan Hermeneutis dalam Ilmu-Ilmu Sosial Humaniora
Hermeneutika merupakan metode tafsir teks yang namanya diambil dari salah satu dewa Yunani yakni Hermes. la adalah penghubung dan pembawa pesan kepada manusia, sehingga manusia menjadi mengerti makna pesan dari dewa-dewa di Olimpus yang sifatnya ketuhanan karena peran Hermes. Kurang lebih sama dengan Hermes, seperti itu pulalah karakter dari metode Hermeneutika. 2.6.1. Relasi Hermeneutika dengan Ilmu Sosial Humaniora
Istilah hermeneutika secara historis muncul pertama kali dalam karya Johann Conrad Dannhauer, seorang teolog Jerman yang dalam elaborasi kewacanaannya masih terbatas pada pembahasan metode penafsiran teks-teks Bibel. Baru setelah itu menurut Schleiermacher hermeneutika mengambil corak yang baru, yakni pada saat ia tampil sebagai disiplin ilmu yang membahas prinsip-prinsip penafsiran secara umum. Dan gagasan hermeneutis ini mencapai kematangan dalam pemikiran Dilthey yang menjadikannya sebagai fondasi metodologis bagi ilmu-ilmu humaniora (kemanusiaan/sosial). Friederich Sehleiermacher, Wilhelm Dilthey, Gadamer adalah segelintir tokoh pemikir yang banyak mengembangkan dan mengelaborasi hermeneutika dalam kerangka sosiologis. Di tangan mereka, hermeneutika mendapat perluasan objek, yaitu ‘teks’ kehidupan sosial. Hal ini mereka maksudkan untuk melakukan terobosan metodologi baru dalam ilmu-ilmu sosial atas hegemoni paradigma positivisme. Seiring dengan proses pematangan hermeneutika sebagai sebuah diskursus, ia kemudian banyak tampil mengambil bagian dalam sistem kewacanaan (khususnya penafsiran), sebagaimana kesaksian Josep Lileicher yang membagi orientasi hermeneutika kepada tiga bagian, yaitu sebagai sebuah metodologi, sebagai filsafat, dan sebagai kritik. Asumsi ini mengandaikan sebuah pengertian bahwa hermeneutika merupakan bagian dari disiplin ilmu yang membuka kemungkinan besar untuk dilibatkan sebagai bagian dari paradigma dalam pr oses pengkajian, termasuk dalam hal ini ialah kajian-kajian sosial. Lain halnya dengan Richard E. Palmer, ia justru mengembangkan orientasi hermeneutika menjadi enam pokok bagian, yaitu sebagai teori penafsiran kitab suci, sebagai metode filologi (ilmu sastra), sebagai pemahaman linguistik (bahasa), sebagai fondasi dari ilmu sosial-budaya ( geisteswissenschaft ), sebagai fenomenologi (dasein), dan sebagai sistem interpretasi. Pengakuan Richard khususnya di wilayah hermeneutika sebagai fondasi bagi ilmu sosi al budaya, semakin memperkuat asumsi awal bahwa diskursus ini merupakan bagian terpenting dalam pengembangan ilmu sosial, sekaligus mempertegas relasi antar keduanya. Di lain sisi, realitas sosial yang begitu kompleks dan sarat dengan perubahan, secara otomatis membutuhkan seperangkat cara pandang yang utuh untuk mengurai dan memahaminya. Kompleksitas tersebut dibuktikan oleh Habermas dengan asumsinya bahwa kehidupan sosial yang diwarnai dengan relasi timbal balik antara satu individu 19
dengan individu yang melibatkan unsur kognisi dan emosi dalam tindakan komunikatifnya, yaitu tindakan yang dikemas untuk mencapai pemahaman timbal balik. Oleh karena itu, kajian tentang ilmu sosial pada intinya mengarah pada penyingkapan tentang pengalaman, ungkapan (bahasa) dan pemahaman dimana ketiga hal tersebut sangat bergantung pada interpretasi. Paul Ricouer ialah salah satu tokoh pemikir yang juga menyadari keterkaitan antara hermeneutika dengan ilmu sosial, dari ungkapannya yang masyhur bahwa sejatinya penafsiran itu dialamatkan kepada tanda atau simbol yang dianggap sebagai teks (interpretasi atas ekspresi-ekspresi kehidupan yang ditentukan secara linguistik). Ungkapan ini merupakan turunan dari bentuk kesadaran bahwa manusia dalam hidupnya senantiasa berurusan dengan bahasa, bahkan semua bentuk aktivitasnya senantiasa melibatkan hal tersebut. Dan tugas para penafsir ialah mengurai makna keseluruhan rantai kehidupan dan sejarah yang bersifat laten di dalam simbol dan bahasa. 2.6.2. Metodologi Hermeneutika dalam Ilmu Sosial Humaniora
Hermeneutika merupakan satu di antara beberapa teori yang menawarkan pendekatan/metodologi baru dalam ilmu-ilmu sosial humaniora. Meskipun pada awalnya disiplin ilmu ini hanya mencakup kajian metodologis terkait dengan penafsiran teks, namun menurut Howard sebagaimana yang dikutip oleh Mudjia Rahadjo bahwa dalam perkembangan sejarahnya hermeneutika bergerak hingga mencakup masalah penafsiran secara menyeluruh, tidak lagi merujuk pada pengertian teks ajaran agama (kitab suci), tetapi juga mencakup teks-teks yang lain, termasuk dalam hal ini adalah isyarat-isyarat dan simbol-simbol yang tampil sebagai gejala kehidupan. Meski hermeneutika baru berkembang sebagai metode penafsiran (perangkap metodologis dan panggilan filosofis dari sifat yang tidak bisa dihindarkan dari kegiatan memahami) sejak abad ke-17, namun menurut Jean Grondin bahwa dalam sejarahnya hemeneutika sebagai metode penafsiran dilacak kemunculannya paling tidak sejak periode Patristik dan filsafat Stoik yang mengembangkan penafsiran alegoris terhadap mitos, atau bahkan pada tradisi sastra Yunani kuno. Hermeneutika yang semula berkutat pada refleksi epistemologis mengalami perubahan kecenderungan ke arah pembahasan yang lebih filosofis (ontologis) di tangan pemikir Heiddegger dan Gadamer. Tema ini terus bergulir dan berevolusi hingga akhirnya mendapat bahasan yang sedikit berbeda di Maulidin yang menggiring heremenutika ke pembahasan yang mencakup masalah agama, filsafat, sosiologis dan humaniora. Tahap ini juga diasumsikan sebagai praksis ilmiah, atau dalam bahasa Gadamer einethorie der wirklichen erfahrung , yaitu usaha filosofis untuk mempertanggung jawabkan pemahaman sebagai proses ontologis pada manusia. Adapun metode teknis yang ditawarkan olehnya ialah melalui consciousness of the effects of history (mediasi 20
kesadaran akan efek historis). Ide dasarnya adalah menentukan pemahaman awal ( preunderstandings) dari para interpreter sebelumnya, dengan demikian penafsir berada pada suatu jaringan interpretasi (interpretational lineage). Melalui kesadaran akan efek historis ini maka dua titik yang semula terpisah (subjek dan objek) kemudian menjadi tersatukan. Senada dengan apa yang diucapkan oleh Paul Ricoeur bahwa belakangan hermeneutika mengukuhkan salah satu obsesinya, yaitu memunculkan kecenderungan radikalisasi yang mengantarkan dirinya tidak hanya sekedar umum, tetapi juga mendasar. Persoalannya kemudian ialah bagaimana standar operasional (metodologi) kajian yang ditawarkan oleh hermenutika untuk mengkaji fakta-fakta kehidupan sosial yang begitu kompleks guna mendapatkan interpretasi yang betul-betul akurat dan bisa dipertanggung jawabkan? Schleiermacher dengan menggunakan teori empati untuk menjelaskan bahwa objek dapat diketahui secara refroduktif oleh ilmuan sosial. Menurutnya bahwa, pembaca/pengamat dalam memahami konteks sesuatu, dirinya harus mampu berempati secara psikologis ke dalam teks dan pengarangnya, ia harus mampu ‘mengalami kembali’ pengalaman-pengalaman yang dialami pengarang. Pada posisi inilah Schleiermacher mempertegas adanya masalah lingkaran hermeneutik, bahwa untuk memahami sebagian dari teks maka pembaca memerlukan pemahaman atas konteks keseluruhan teks, dan untuk memahami keseluruhan teks pembaca memerlukan interpretasi atas bagian-bagian dari teks tersebut. Dengan demikian, memahami suatu teks pembaca memerlukan pemahaman akan sumber-sumber lain untuk membantu pemahamannya, termasuk pemahaman akan kehidupan dan minat penulis. Hal ini juga memerlukan pemahaman akan konteks budaya di mana karya penulis tersebut muncul. Ini mempertegas kemestian melibatkan variabel lingkungan dalam penelitian, termasuk dalam hal ini penelitian sosial itu sendiri. Gagasan ini kemudian menjadi ambigu jika dikaitkan dengan penafsiran yang objektif, dan dari sinilah Dilthey sebagai salah satu tokoh romantis tampil untuk merekonstruksi pandangan sebelumnya dengan mengatakan bahwa yang direproduksi bukanlah keadaan-keadaan psikis tokoh/pelaku, melainkan bagaimana proses karya itu diciptakan, bukan empati terhadap sumber teks, melainkan melakukan rekonstruksi atas objektivasi mental (produk budaya). Skemanya ialah melakukan tiga langkah pengoperasian hermeneutika, yaitu : 1. Memahami sudut pandang atau gagasan pelaku sosial 2. Memahami makna kegiatan-kegiatan sosial pada hal-hal yang bertalian dengan persitiwa sejarah. 3. Menilai peristiwa sosial berdasarkan gagasan yang berlaku pada saat peneliti masih hidup. Proses memahami dan menginterpretasi ala Dilthey tersebut memerlukan persyaratan-persyaratan yang apabila persyaratan ini tidak terpenuhi maka menjadi sulit bagi proses pemahaman dan interpretasi itu terjadi. Persyaratan pertama, peneliti 21
harus membiasakan diri dengan proses-proses psikis yang memungkinkan suatu makna. Untuk mengerti tentang kecemasan, cinta, harapan dibutuhkan kemampuan pengalaman akan hal tersebut. Untuk itu bagi Dilthey, hermeneutika perlu juga dilengkapi dengan studi psikologi deskriptif. Syarat kedua, pengetahuan tentang konteks. Pengharapan akan pengetahuan suatu bagian senantiasa memerlukan pengetahuan tentang keseluruhan. Suatu kata hanya bisa dimengerti dalam konteks yang lebih luas, demikian juga tindakan manusia hanya bisa dipahami melalui konteks yang lebih luas. Syarat ketiga, pengetahuan tentang sistem sosial dan kultural yang menentukan gejala yang dipelajari. Untuk mengerti suatu kalimat harus mengetahui konteks aturan main dalam bahasa yang bersangkutan. Syarat ini berkaitan erat dengan syarat kedua. Studi tentang satu pemikiran menghendaki konteks karya-karya yang lain, dan studi tentang karya menghendaki konteks sosial-historis yang lebih luas. Kenyataan tersebut mempertegas bahwa hermeneutika kaitannya dengan realitas sosial senantiasa memberi peran kepada subjek yang menafsirkan dengan sangat jelas, yang karenanya kehidupan sosial dipahami bukan hanya sebagai wujud yang dihayati oleh individu-individu dalam masyarakat, melainkan juga merupakan objek penafsiran itu sendiri. 2.6.3. Konstribusi Hermeneutika dalam Ilmu Sosial Humaniora
Hermeneutika sebagai sebuah kerangka penafsiran atas fakta-fakta yang ada, dimaksudkan untuk meretas kesenjangan intelektual dari subjektifisme menuju objektifisme. Peran ini tentunya memberi ruang lebar bagi keterlibatan individu (subjek) dalam kegiatan interpretasi. Kaitannya dengan lapangan sosial yang meliputi segala sesuatu yang termasuk dalam kehidupan sosial, baik dalam bentuk objek-objek simbolis yang dihasilkan dalam percakapan dan tindakan, seperti pikiran, perasaan, dan keinginan, yang kemudian menjelma jadi teks-teks, tradisi-tradisi, sampai pada susunan dan pranata sosial yang dihasilkan. Para ilmuan sosial menyadari sepenuhnya kenyataan tersebut setelah melewati refleksi/perdebatan diantara mereka, sehingga berkesimpulan bahwa terdapat dimensi tertentu dalam peristiwa sosial, sejarah atau budaya yang tidak bisa disentuh dengan pendekatan eksak dan kuantitatif. Oleh karena itu, tujuan ilmuan sosial mendekati/mendeteksi gejala sosial ialah untuk menyingkap pengertian-pengertian yang ada dibalik setiap gejala sosial yang ada. Seirama dengan pandangan paradigma kritis bahwa manusia dalam memahami konteks harus menyelam ke dalam konteks tersebut agar ia mampu menyingkap makna yang terkandung dibaliknya. Sumbangsi nyata hermeneutika dalam ilmu sosial juga dapat ditemukan dari pemikiran Dilthey yang melihat sistem-sistem kemasyarakatan yang ada dalam kerangka ruang dan waktu, seperti organisasi politik, ekonomi, militer, dan bahkan organisasi keagamaan, sehingga berimplikasi pada satu bentuk keyakinan, bahwa semua organisasi dalam kehidupan sosial tersebut mengandung sistem nilai yang 22
didasarkan atas kebudayaan. Dengan demikian, sistem kemas yarakatan eksternal diakui Dilthey sebagai hal yang mampu meraih interpretasi tentang situasi s osial. Kenyataan ini pun mempertegas bahwa jika memahami segmen sosial, misalnya penghayatan individu atau kelompok tertentu terkait dengan nilai-nilai keagamaan, maka terlebih dahulu harus memahami kompleksitas hidup yang mengitari individu dan kelompok tersebut, diantaranya; kehidupan budaya, ekonomi, sosial dan politik. Kita ambil sampel misalnya fenomena kehidupan beragama di Indonesia khususnya pada tataran penghayatan nilai-nilai keragaman yang melahirkan beragam sikap, jika menggunakan pendekatan Dilthey maka kenyataan tersebut akan diurai dengan tiga tahap, yaitu pertama, memahami kerangka epistemologi teologis yang dianut oleh kelompok religius yang beragam tersebut. Kedua, melacak keterkaitan historis antara perilaku keberagamaan tersebut dengan peristiwa sejarah yang diakui sebagai suatu peristiwa objektif. Ketiga, menilai fenomena beragama tersebut berdasarkan gagasan teologis yang berlaku dalam setiap komunitas yang beragama. Dari sini kita bisa melihat bahwa fakta konflik beragama yang mewarnai realitas sosial adalah bukan merupakan sebuah peristiwa mandiri, melainkan ia memiliki keterkaitan antara kondisi intelektual pelaku keagamaan dan kenyataan masa lalu (sejarah). Dengan kerangka seperti ini, hermeneutika semakin mempertegas eksistensi serta konstribusinya sebagai sebuah pendekatan dalam memahami realitas sosial. Sekaligus memperkaya cara pandangan dan analisis keagamaan kita yang tidak hanya membatasi diri pada persoalan hitam-putih, melainkan lebih jauh melihat semua variabel yang terkait (sebab) pengusung suatu fakta sosial. Haryatomoko memberi penegasan bahwa hermeneutika dalam kajiannya senantiasa melibatkan berbagai disiplin yang relevan sehingga memungkinkan tafsir menjadi lebih luas dan dalam. Maka dari itu, penafsiran dalam perspektif hermeneutika juga mencakup ilmu yang dimungkinkan ikut membentuknya, entah itu psikologi, sosiologi, politik, antropologi, sejarah dan lain-lain. Pernyataan ini diperkuat oleh Arief Sidharta bahwa dalam filsafat hermeneutika, khususnya yang terkait dengan peristiwa memahami atau menginterpretasi sesuatu, subjek (interpretor) tidak dapat memulai upayanya dengan mendekati obyek pemahamannya sebagai sesuatu yang tidak bertolak dari titik nol. Melainkan meyakini bahwa setiap orang terlahir kedalam suatu dunia produk sejarah yang selalu menjalani proses menyejarah terus menerus, yakni tradisi yang bermuatan nilai-nilai, wawasanwawasan, pengertian-pengertian, asas-asas, arti-arti, kaidah-kadiah, pola-pola perilaku yang terbentuk dan berkembang oleh dan dalam sejarah. Po sisi ini menekankan bahwa setiap subyek/pelaku sosial adalah tidak tergantung dari kehendak mandirinya, melainkan sudah berada/telah ada dalam jejaring tradisi yang sudah ada. Sumbangsi lain hermeneutika kaitannya dengan ilmu sosial juga dapat kita lihat dari terobosan yang dilakukan oleh Gadamer yang menjadikan hermeneutika sebagai landasan kefilsafatan ilmu-ilmu kemanusiaan dengan menyisihkan paragraf diskursus khusus mengenai signifikansi hermeneutika dengan sistem sosial. Dengan 23
hermeneutika, seorang peneliti sosial dapat mengakses semua unsur yang ada dalam sistem kemasyarakatan sebagai syarat dalam memahami secara utuh fakta-fakta sosial yang ada. Asumsi ini memperkuat pandangan Paul Ricoeur yang bahwa pemahaman hermeneutis terkait dengan sebuah fakta sosial bukan hanya sekedar demonstrasi pengetahuan, melainkan bagian dari cara berada atau cara menjadi, sebab manusia seutuhnya ialah sebagai dasein yang melibatkan unsur sejarah, cara hidup, cita-cita, gaya/penampilan, serta segala sesuatu yang membuatnya menjadi khas. Penjelasan ini semakin menguatkan pemahaman kita bahwa hermeneutika betul-betul memberi konstribusi yang sangat luar biasa terhadap kehidupan sosial.
24
BAB III KESIMPULAN
Ilmu-ilmu sosial ( social sciences) adalah kelompok disiplin ilmu yang mempelajari aktivitas manusia dalam hubungannya dengan sesamanya. Disiplin ilmu sosial adalah sosiologi, antropologi, ekonomi, sejarah, psikologi, ilmu politik, ilmu hukum, dan demografi. Sedangkan ilmu-ilmu kemanusiaan (human sciences) adalah ilmu-ilmu pengetahuan empiris yang mempelajari manusia dalam segala aspek hidupnya: ciri-ciri khasnya, tingkah lakunya baik perorangan maupun bersama, dalam lingkup kecil maupun besar, dan banyak aspek lainnya. Contoh ilmu-ilmu kemanusiaan adalah sastra, seni, dan bahasa. Ciri-ciri khas ilmu-ilmu sosial humaniora adalah manusia sebagai objek dan subjek ilmu, titik pangkal dan kriterium kebenaran, serta subjek dan objek saling mempengaruhi. Selain memiliki ciri khas, cara kerja ilmu sosial humaniora pun berbeda dengan ilmu alam. Cara kerja ilmu-ilmu sosial humaniora yaitu gejala sosial humaniora bersifat non-fisik, hidup dan dinamis; obyek penelitian tak bisa diulang; pengamatan relatif lebih sulit dan kompleks; subyek pengamat juga sebagai bagian integral dari obyek yang diamati; memiliki daya prediktif yang relatif lebih sulit dan tak terkontrol. Perbedaan ilmu sosial humaniora dengan ilmu alam, yaitu obyek penelaahan ilmu sosial humaniora yang kompleks, ahli ilmu alam berhubungan dengan gejala fisik yang bersifat umum, kesukaran dalam pengamatan ilmu sosial humaniora, gejala sosial lebih bervariasi dibandingkan dengan gejala fisik, obyek penelaahan ilmu sosial humaniora yang tidak terulang, hubungan antara ahli dengan obyek penelaahan ilmu sosial humaniora. Wilhelm Dilthey (1833-1911) membedakan ilmu pengetahuan ke dalam Naturwissenschaften atau ilmu pengetahuan tentang alam dan Geisteswissenschaften atau ilmu pengetahuan tentang batin manusia. Menurutnya, bidang sains itu memerlukan cara penjelasan (erklaren/explanation), sedangkan bidang kemanusiaan memerlukan cara memahami (verstehen/understanding ), yakni dengan menyelami dan menghayati jiwa dan tingkah laku manusia itu sendiri. Salah satu cara memahami ada dengan hermeneutika. Hermeneutika, yang dalam bahasa inggrisnya adalah hermeneutics, berasal dari kata Yunani hermeneuine dan hermeneia yang masing-masing berarti “menafsirkan” dan “penafsiran”.
25
DAFTAR PUSTAKA
Bertens, K. (1975). Ringkasan Sejarah Filsafat . Yogyakarta: Kanisius. Bertens, K. (2006). Filsafat Barat Kontemporer Inggris – Jerman. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. Hamersma, Harry. (1992). Tokoh-tokoh Filsafat Modern. Jakarta: Gramedia. Raharjo, Mudjia. (2008). Dasar-dasar Hermeneutika Antara Intensionalisme & Gadamerian . Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. Risman, Abu. (2008). Metodologi Humaniora Dilthey. Yogyakarta: Perpustakaan Digital UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Soelaeman, M. Munandar. (2001). Ilmu Sosial Dasar . Bandung: Refika Aditama. Suriasumantri, Jujun S. (2005). Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer . Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Verhaak, C dan R. Haryono Imam. (1989). Filsafat ilmu Pengetahuan Telaah Atas Cara Kerja Ilmu-ilmu. Jakarta: PT Gramedia.
26