LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI EFEK PEMBERIAN PEMBERIAN OBAT OBAT DIAZEPAM DIAZEPAM MELALUI BERBAGAI RUTE PEMBERIAN
Kelompok 5 Farmasi 4 A
Auva Marwah Murod
1110102000075
Finti Muliati
1110102000047
Maliyhatun Ni’mah
1110102000033
Raden Atras Sjahbana
1110102000073
Suchinda Fer Harti
1110102000023
Yusna Fadliah A
1110102000067
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta April 2012
EFEK PEMBERIAN OBAT DIAZEPAM DENGAN MELALUI BERBAGAI RUTE PEMBERIAN
I.
Tujuan Eksperimen
1. Mengenal tehnik-tehnik pemberian obat melalui berbagai rute pemberian obat 2. Menyadari berbagai pengaruh rute pemberian obat terhadap efeknya 3. Dapat menyatakan beberapa konsekuensi praktis dari pengaruh rute pemberian obat terhadap efeknya 4. Mengenal manifestasi berbagai obat yang diberikan
II.
Teori Dasar
Sebagai mahasiswa farmasi, sudah seharusnya kita mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan obat, baik dari segi farmasetik, farmakodinamik,farmakokinetik, dan juga dari segi farmakologi. Kali ini kami akan membahas dalam bab farmakologi obat dengan sub-bab rute pemberian obat. Adapun yang melatar belakangi pengangkatan materi adalah agar kita dapat mengetahui kaitan antara rute pemberian obat dengan waktu cepatnya reaksi obat yang ditampakkan pertama kali Ketepatan cara pemberian obat bisa menjadi faktor penentu keberhasilan suatu pengobatan, karena cepat lambatnya obat sampai ditempat kerjanya (site of action) sangat tergantung pada cara pemberian obat. Salah satu penggunaan hewan percobaan adalah untuk mengetahui perbedaaan
berbagai
rute
pemberian
obat.
rute
pemberian
obat
akan
mempengaruhi laju serapan obat sehingga dengan kata lain rute pemberian obat akan mempengaruhi onset, lama dan kerja maksimum obat. Memilih rute pemberian obat tergantung dari tujuan terapi, sifat obat, serta kondisi pasien. Oleh sebab itu perlu mempertimbangkan masalah-masalah masalah-masalah seperti berikut:
a. Tujuan terapi menghendaki efek lokal atau efek sistemik. b. Apakah kerja awal obat yang dikehendaki itu cepat atau masa kerjanya lama. c. Stabilitas obat di dalam lambung dan atau usus. d. Keamanan relatif dalam penggunaan melalui bermacam-macam rute. e. Rute yang tepat dan menyenangkan bagi pasien dan dokter. Kemampuan pasien menelan obat melalui rektal Rute Pemberian
Obat yang biasanya beredar di pasaran dan kita kenal secara umum adalah obat dengan pemakaian melalui oral. Selain melalui oral, rute pemberian juga dapat dilakukan secara intravena, intramuskular, intra peritoneal, intra dermal, dan subkutan. Tentunya rute pemberian ini akan berpengaruh pada kinerja obat yang dapat diamati dari onset dan durasi obat. Onset adalah waktu yang dibutuhkan oleh obat untuk menimbulkan efek. Onset dihitung mulai saat pemberian obat hingga munculnya efek pada pasien atau hewan percobaan. Durasi adalah lamanya obat bekerja didalam tubuh. Durasi dapat diamati mulai saat munculnya efek hingga hilangnya efek pada pasian atau hewan percobaan. Onset terkait dengan kecepatan absorbs dimana semakin cepat waktu onset,maka semakin cepat pula proses absorbs obat. Hal ini karena transfer obat dari tempat pemberian telah mengikuti aliran darah dan mencapai sel target hingga timbul efek. Sedangkan durasi berhubungan dengan metabolism obat. Semakin cepat durasi obat,maka semakin cepat obat tersebut di metabolism yang ditandai dengan hilangnya efek obat karena sebagian obat telah tereliminasi.
Rute Pemberian Obat pada Hewan Percobaan terbagi menjadi dua yaitu : 1.
Enteral
Pada cara pemberian obat ini, obat akan melewati saluran pencernaan (gastro-intestinal) kecuali secara per-rektal. Cara ini meliputi : a. Sublingual Merupakan cara pemberian obat melalui perempatan dibawah lidah. Dengan cara ini, obat mengalami baypass (transport langsung) tidak melalui usus serta hati,tidak menglami inaktivasi oleh metabolisme.
b. Rektal Merupakan cara pemberian obat melalui anus. Cara pemberian ini kurang menyenangkan namun mempunyai keuntungan dapat mencegah penghacuran obat oleh enzim,usus, atu PH rendah dilambung. Selain itu, cara pemberian ini berguna jika obat menginduksi muntah pada pemberian oral atau ketika pasien sedang muntah-muntah.
c. Oral Rute pemberian oral memberikan efek sistemik dan dilakukan melalui mulut kemudian masuk saluran intestinal (lambung) dan penyerapan obat melalui membran mukosa pada lambung dan usus. Cara oral merupakan cara pemberian obat yang paling umum dilakukan karena mudah, murah, dan aman. Sebaiknya sebelum memasukan sonde oral, posisi kepala mencit adalah menengadah dan mulutnya terbuka sedikit, sehingga sonde oral akan masuk secara lurus ke dalam tubuh mencit. Cara pemberian yang keliru, masuk ke dalam saluran pernafasan atau paru-paru dapat menyebabkan gangguan pernafasan dan kematian. Pemberian per oral akan memberikan onset paling lambat karena melalui saluran cerna dan perlu melalui proses metabolisme sehingga lambat diabsorbsi oleh tubuh. Selain itu, pemberian secara oral membutuhkan dosis yang paling besar diantara rute pemberiannya. Karena obat perlu melalui metavolisme di hati dan eliminasi.
Cara Memberikan Obat Secara Oral Cara oral dapat menguntungkan karena mencegah perusakan obat oleh asam lambung. Disamping itu,obat dari lambung akan dibawa ke hati melalui vena porta sehingga dapat dimetabolisme oleh hati. Hal ini harus diperhitungkan agar jangan sampai salah hitung pada pemberian dosis. Jika absorbsi terjadi di usus, obat dapat mengalami metabolisme oleh hati pada saat pertama kali melintasi hati (first pass metabolism).
Pemberian obat melalui saluran cerna yang dapat menghindari obat dari fi rst pass metabolism adalah secara sublingual dan perektal (rectum). Setelah di absorbs melewati mukosa rectum maka obat dibawa oleh aliran darah vena hemorhoidalis inferior langsung masuk kedalam vena cava inferior tanpa melalui vena porta.
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses absorbsi obat pada saluran cerna antara lain: 1. Bentuk Sediaan
Terutama berpengaruh terhadap kecepatan absorbsi obat, yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi intensitas respon biologis obat. Dalam bentuk sediaan yang berbeda, maka proses absorpsi obat memerlukan waktu yang berbeda-beda dan jumlah ketersediaan hayati kemungkinan juga berlainan. 2. Sifat Kimia dan Fisika Obat
Bentuk asam, ester, garam, kompleks atau hidrat dari bahan obat dapat mempengaruhi kekuatan dan proses absorpsi obat. Selain itu bentuk kristal atau polimorfi, kelarutan dalam lemak atau air, dan derajat ionisasi juga mempengaruhi
proses absorpsi [2]. Absorpsi lebih mudah terjadi bila obat dalam bentuk non-ion dan mudah larut dalam lemak. 3. Faktor Biologis
Antara lain adalah pH saluran cerna, sekresi cairan lambung, gerakan saluran cerna, waktu pengosongan lambung dan waktu transit dalam usus, serta banyaknya pembuluh darah pada tempat absorpsi.
4.
Faktor Lain-lain
Antara lain umur, makanan, adanya interaksi obat dengan senyawa lain dan adanya penyakit tertentu. Pemberian obat di bawah lidah hanya untuk obat yang sangat larut dalam lemak, karena luas permukaan absorpsinya kecil, sehingga obat harus melarut dan diabsorpsi dengan sangat cepat, misalnya nitrogliserin. Karena darah dari mulut langsung ke vena kava superior dan tidak melalui vena porta, maka obat yang diberikan melalui sublingual ini tidak mengalami metabolisme lintas pertama oleh hati. Kerugian pemberian per oral adalah banyak faktor dapat mempengaruhi bioavaibilitas obat. Karena ada obat-obat yang tidak semua yang diabsorpsi dari tempat
pemberian
akan
mencapai
sirkulasi
sistemik.
Sebagian
akan
dimetabolisme oleh enzim di dinding usus dan atau di hati pada lintasan pertamanya melalui organ-organ tersebut (metabolisme atau eliminasi lintas pertama). Eliminasi lintas pertama obat dapat dihindari atau dikurangi dengan cara pemberian parenteral, sublingual, rektal, atau memberikannya bersama makanan. Selain itu, kerugian pemberian melalui oral yang lain adalah ada obat yang dapat mengiritasi saluran cerna, dan perlu kerja sama dengan penderita, dan tidak bisa dilakukan saat pasien koma. Pada pemberian obat melalui rektal, misalnya untuk pasien yang tidak sadar atau muntah, hanya 50% darah dari rektum yang melalui vena porta, sehingga eliminasi lintas pertama oleh hati juga hanya 50%. Akan tetapi, absorpsi obat melalui mukosa rektum seringkali tidak teratur dan tidak lengkap, dan banyak obat menyebabkan iritasi mukosa rektum.
2. Parental
DIgunakan untuk obat daya absorbsinya rendah jika diberikan melalui saluran pencernaan dan untuk obat yang tak stabil dalam saluran pencernaan .Misalnya insulin. Cara ini juga memberikan kontrol paling baik terhadap dosis obat sesungguhnya yang dimasukkan kedalam tubuh. Cara pemberian parental diantaranya :
a.
Intravena (IV) Intravena (IV) dilakukan dengan penyuntikan melalui pembuluh darah
balik (vena), memberikan efek sistematik. Melalui cara intravena ini, obat tidak mengalami absorpsi. Tetapi langsung masuk pada sirkulasi sistemik. Karena itulah kadar obat yang dibutuhkan lebih sedikit.
b.
Intraperitonial (IP) Penyuntikan dilakukan pada rongga perut sebelah kanan bawah, yaitu
di antara kandung kemih dan hati. Cara ini hanya dilakukan untuk pemberian obat untuk hewan uji, karena memiliki resiko infeksi yang sangat besar. Intraperitonial akan memberikan efek yang cepat karena pada daerah tersebut banyak terdapat pembuluh darah. Hewan uji dipegang pada punggung supaya kulit abdomen menjadi tegang. Pada saat penyuntikan posisi kepala lebih rendah dari abdomen. Suntikan jarum membentuk sudut o
10 menembus kulit dan otot masuk ke rongga peritoneal.
Cara Memberikan Obat Secara Intraperitoneal
c.
Intramuskular (IM) Suntikkan melalui otot, kecepatan dan kelengkapan absorpsinya
dipengaruhi oleh kelarutan obat dalam air. Preparat yang larut dalam minyak diabsorbsi dengan lambat, sedangkan yang larut dalam air diabsorbsi dengan cepat. Penyuntikan dilakukan pada otot gluteus maximus atau bisep femoris. Pemberian obat seperti ini memungkinkan obat akan dilepaskan secara berkala dalam bentuk depot obat. Intramuskular memiliki onset lambat karena membutuhkan waktu untuk diabsorpsi dalam tubuh. Dosis yang dibutuhkan untuk rute pemberian secara intramuskuler cenderung sangat sedikit.
d.
Subkutan (SK) Pemberian obat melalui bawah kulit, hanya boleh digunakan untuk
obat yang tidak menyebabkan iritasi jaringan. Determinan dari kecepatan absorpsi ialah total luas permukaan dimana terjadi penyerapan, menyebabkan konstriksi pembuluh darah lokal sehingga difusi obat tertahan/diperlama. Penyuntikkan dilakukan di bawah kulit pada daerah kulit tengkuk dicubit di antara jempol dan telunjuk. Bersihkan area kulit yang mau disuntik dengan alkohol 70 %. Masukkan jarum suntik secara paralel dari arah depan menembus kulit. Diusahakan dilakukan dengan cepat untuk menghindari pendarahan yang terjadi karena pergerakan kepala dari mencit. Absorbsi dapat diatur dengan formulasi obat.
Cara Memberikan Obat Secara Subkutan
Keuntungan pemberian obat secara parenteral : Efek timbulnya lebih cepat dan teratur dibandingkan dengan pemberian peroral. Dapat diberikan pada penderita yang tidak kooperatif, tidak sadar atau muntah-muntah. Sangat berguna dalam keadaan darurat. Kerugian pemberian obat secara parenteral : Dibutuhkan cara asepsis. Menyebabkan rasa nyeri. Bahaya penularan hepatitis serum. Sukar dilakukan sendiri oleh penderita. Tidak ekonomis. Pemberian dengan cara intravena paling cepat responnya karena tidak mengalami tahap absorbsi, maka kadar obat dalam darah diperoleh secara cepat, tepat, dan dapat disesuaikan langsung dengan respon penderita. Kerugiannya efek toksik mudah terjadi karena kadar obat yang tinggi segera mencapai darah dan jaringan, disamping itu obat yang disuntikkan secara intravena tidak dapat ditarik kembali. Obat dalam larutan minyak yang mengendapkan konstituen darah dan menyebabkan hemolisis tidak boleh diberikan dengan cara intravena. Suntikan secara subcutan hanya boleh digunakan untuk obat yang tidak menyebabkan iritasi jaringan. Absorbsi biasanya terjadi lambat dan konstan sehingga efeknya bertahan lama. Pencampuran obat dengan vasokontriktorjuga akan memperlambat absorbsi obat tersebut. Pada suntikan intramuscular, kelarutan obat dalam air menentukan kecepatan dan kelengkapan absorbsinya. Obat yang sukar larut pada pH fisiologis misalnya digoksin, fenitoin dan diazepam akan mengendap ditempat suntikan sehingga absorbsinya berjalan lambat, tidak lengkap dan tidak teratur.
Suntikan intratecal yaitu suntikan langsung kedalam ruang subaraknoid spinal, dilakukan bila diinginkan efek obat yang cepat dan setempat pada selaput otak atau sumbu serebrospinal, seperti pada anastesia spinal atau pengobatan infeksi yang akut. Suntikan intraperitoneal tidak dapat dilakukan pada manusia karena bahaya infeksi dan adesi terlalu besar. Absorpsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian ke dalam darah. Bergantung pada cara pemberiannya, tempat pemberian obat adalah saluran cerna (mulut sampai dengan rektum), kulit, paru, otot, dan lain-lain. Cara pemberian obat yang berbeda-beda melibatkan proses absorbsi obat yang berbedabeda pula. Kegagalan atau kehilangan obat selama proses absorbsi akan mempengaruhi efek obat dan menyebabkan kegagalan pengobatan.
III.
Bahan dan Alat
1. 5 ekor mencit 2. Obat
6. Sonde
Diazepam
dosis
25
7. Alat suntik
mg/kgbb, konsentrasi 5mg/ml
IV.
3. Alkohol
8. Sarung tangan
4. Kapas
9. Tissue
5. Alas
10. Masker
Prosedur Kerja
1. Siapkan mencit yang akan digunakan dalam praktikum (5 mencit) 2. Berilah
tanda
pada
masing-masing
mencit
(1
garis,2
garis
dst.),kemudian ditimbang berat badan mencit. 3. Hitunglah dosis yang digunakan sesuai berat badan mencit (VAO) 4. Ambil dan berilah obat pada masing-masing mencit berdasarkan tanda untuk pemberian obat secara oral,intra muskular,intra peritoneal,intra vena, dan subkutan. 5. Setelah pemberian obat,masing-masing mencit di tempatkan dalam keadaan terpisah dan amatilah efek dari obat tersebut sampai efek obat tersebut hilang (mencit kembali normal).
V.
Data Perhitungan
VAO =
() () ()
Diketahui :
Ditanya
Dosis Diazepam
= 25 mg/kgBB
Konsentrasi Diazepam
= 5 mg/ml
Berat mencit 1
= 0,0316 kg
Berat mencit 2
= 0,0216 kg
Berat mencit 3
= 0,0286 kg
Berat mencit 4
= 0,0306 kg
Berat mencit 5
= 0,0356 kg
: VAO mencit ? VAO mencit 1 = VAO mencit 2 = VAO mencit 3 = VAO mencit 4 = VAO mencit 5 =
() () () () () () () () () () () () () () ()
ml ml ml ml ml
VI.
Data Eksperimen Table VI.1. Tabel Pengamatan Efek Diazepam pada Mencit Jantan (Kel. V A)
Mencit Jantan
1
2
3
4
5
BB(Kg)
0,0316
0,0216
0,0286
0,0306
0,0356
Rute
Dosis
pemberian
(VAO)
Oral
0.158
Intra muskular
Subkutan
Intra peritonial
Intra vena
0.108
0.143
0.153
0.178
Pengamatan T (Waktu)
Efek
Menit ke 50
Sangat Resisten
Menit ke 66
Resisten
Menit ke 5
Resisten
Menit ke 14
Sesuai efek yang diduga
Menit ke 25
Peka
Menit ke 34
Sesuai efek yg diduga
Menit ke43
Resisten
Menit ke 76
Normal
Menit ke 6
Resisten
Menit ke 20
Sesuai efek yang diduga
Menit ke 22
Peka
Menit ke 32
Sesuai efek yang diduga
Menit ke 42
Normal
Menit ke 3
Resisten
Menit ke 18
Sesuai efek yang diduga
Menit ke 22
Peka
Menit ke 33
Normal
Menit ke 2
Resisten
Menit ke 6
Sesuai efek yang diduga
Menit ke 24
Resisten
Menit ke 33
Sesuai efek yang diduga
Menit ke 36
Peka
Menit ke 44
Normal
Keterangan :
Sangat resisten
: tidak ada efek
Resisten
: tidak tidur tetapi mengalami ataxia
Sesuai dengan efek yang diduga
: tidur tetapi tegak, jika diberi rangsangan nyeri
Peka
: tidur, tidak tegak walaupun diberi rangsangan nyeri
Sangat peka
: mati
Table VI.2. Tabel Pengamatan Efek Diazepam pada Mencit Betina
Mencit
1
2
3
4
BB
Rute
VAO
(g)
Pemberian
(mL)
28,7
Subkutan
0,143
29,2
28,2
20,2
Oral
IP
Respon
4m
Resisten
28 m
Sesuai efek yang diduga
37 m
Sesuai efek yang diduga
45 m 30 s
Peka
Waktu
Respon
5 m 36 s
Sangat resisten
6 m 21 s
Resisten
10 m 5 s
Resisten
20 m 14 s
Peka
29 m 22 s
Normal
0,141
Waktu
Respon
(Intra
1 m 30 s
Resisten
peritoneal)
5 m 50 s
Resisten
16 m 30 s
Peka
43 m
Sesuai efek yang diduga
48 m
Normal
IM
0,101
Muskular)
27,3
Waktu
0,146
(Intra
5
Pengamatan
IV (Intra vena)
0,135
Waktu
Respon
3m
Resisten
11 m
Peka
54 m
Normal
Waktu
Respon
6m
Resisten
17 m 3 s
Sesuai efek yang diduga
33 m 44 s
Peka
47 m 1 s
Normal
(Kel. VI A) Tabel VI.3. Table Perbandingan Efek Diazepam pada Mencit Jantan dan Betina
Rute
In
l
a
r
O
Mencit Jantan
Mencit Betina
T (Waktu)
Efek
Menit ke 50
Sangat Resisten
5 m 36 s
Sangat resisten
Menit ke 66
Resisten
6 m 21 s
Resisten
Menit ke ---
Normal
10 m 5 s
Resisten
20 m 14 s
Peka
29 m 22 s
Normal
3m
Resisten
Menit ke 5
Resisten
Menit ke 14
Sesuai efek yang
tr
T (Waktu)
Efek
11 m
Peka
54 m
Normal
diduga a
Menit ke 25
Peka
la
u
Menit ke 34
Sesuai efek yg diduga
Menit ke43
Resisten
Menit ke 76
Normal
Menit ke 6
Resisten
4m
Resisten
Menit ke 20
Sesuai efek yang
28 m
Sesuai efek yang
r
sk
u
m
diduga b
u
S
Menit ke 22 u
k
Peka
diduga 37 m
n
ta
Sesuai efek yang diduga
Menit ke 32
Sesuai efek yang diduga
Menit ke 42
Normal
45 m 30 s
Peka
In
Menit ke 3
Resisten
1 m 30 s
Resisten
Menit ke 18
Sesuai efek yang
5 m 50 s
Resisten
16 m 30 s
Peka
tr
diduga a
Menit ke 22
Peka
n
o
Menit ke 33
Normal
ia
it
r
e
p
43 m
l
Sesuai efek yang diduga
Menit ke 2
Resisten
Menit ke 6
Sesuai efek yang
48 m
Normal
6m
Resisten
17 m 3 s
diduga In
Sesuai efek yang diduga
Menit ke 24
Resisten
33 m 44 s
Peka
e
Menit ke 33
Sesuai efek yang
47 m 1 s
Normal
a
n
v
a
tr
diduga Menit ke 36
Peka
Menit ke 44
Normal
VII.
Pembahasan
Pada praktikum ini, praktikan melakukan percobaan menguji kepekaan hewan coba (mencit) terhadap obat Diazepam dengan rute pemberian yang berbeda-beda. Jalur pemberian yang dilakukan praktikan adalah peroral, intravena, intramuscular, intraperitonial, dan subcutan. Tujuan dari praktikum kali ini yaitu untuk melihat dan membandingkan respon sentifitas obat pada hewan coba berdasarkan jenis kelamin dan rute pemberian. Hal yang perlu diperhatikan praktikan adalah perhitungan dosis. Dimana dosis yang diberikan harus sesuai dengan berat badan hewan, yang berarti bahwa setiap hewan coba memiliki dosis yang berbeda-beda. Dari hasil percobaan yang dilakukan terhadap mencit, baik itu jantan maupun betina, didapatkan hasil bahwa rute pemberian yang memberikan onset dan durasi lebih cepat dibanding oral adalah pemberian secara intravena, sedangkan yang memberikan onset dan durasi paling lambat adalah pada pemberian secara oral. Jika diurutkan berdasarkan onset dan durasi paling cepat hingga paling rendah maka didapatkan : iv > ip > im > sc > oral Variasi biologis juga mempengaruhi efek dari obat contohnya jenis kelamin . Pada percobaan didapatkan hasil onset pada jenis kelamin betina lebih cepat dibandingkan yang jantan. Tapi percobaan ini tidak menunjukkan efek yang terlihat jelas. Selisih waktu terjadinya onset dan durasi tidak terlalu besar. Namun ini tetap menunjukkan bahwa teori yang menyatakan jenis kelamin betina lebih sensitif terhadap obat adalah benar.
Percobaan pertama, diberikan pada jalur oral. Pemberian obat secara oral tidak memperlihatkan efek obat yang diinginkan karena rata-rata memerlukan waktu yang lama untuk mencapai efek yang diinginkan. Hal ini disebabkan karena banyak nya faktor yang mempengaruhi bioavaibilitas obat yaitu jumlah obat terhadap dosis yang mencapai sirkulasi sistemik dalam tubuh. Salah satu faktor yang mempengaruhi adalah sifat fisiko kimia obat. Sifat fisiko kimia yang mempengaruhi antara lain :
1. Stabilitas terhadap enzim-enzim pencernaan. 2. Stabilitas pada ph lambung. 3. Ukuran molekul obat. 4. Kelarutan dalam air atau cairan saluran cerna. Poin 1-2 menentukan jumlah obat yang tersedia untuk di absorbsi pada hewan percobaan. Poin 3 dan 4 menentukan kecepatan absorbsi obat. Pada pemberian secara oral,akan memberikan efek yang paling lambat karena melalui saluran cerna dan lambat di absorbsi oleh tubuh. Hasil dari percobaan oral diperoleh perbandingan :
Onset mencit betina > mencit jantan
Durasi mencit betina > mencit jantan
Selanjutnya percobaan ke 2 dengan rute pemberian secara Intra Muscular
Pada mencit Jantan efek terlihat pada menit ke 34 dan mulai normal kembali pada menit ke 76. Sedangkan mencit betina efek terlihat pada menit ke 26 dan mulai normal kembali pada menit ke 54 Hasil dari percobaan intra muskular diperoleh perbandingan :
Onset mencit betina > mencit jantan
Durasi mencit betina > mencit jantan
Selanjutnya percobaan ke 3 adalah pemberian rute secara Intra Vena
Mencit jantan mengalami efek pada menit ke 33 dan mulai merepon atau normal pada menit ke 44. Mencit betina mengalami efek pada menit ke 33 dan mulai normal kembali pada menit ke 47 Hasil dari percobaan intra vena diperoleh perbandingan :
Onset mencit betina = mencit jantan
Durasi mencit jantan > mencit betina
Selanjutnya percobaan ke 4 adalah rute Intra peritonial
Penyuntikan secara intra peritoneal dilakukan pada perut sebelah kanan garis tengah, tidak terlalu tinggi agar tidak mengenai hati dan kandung kemih. Hewan dipegang pada punggung supaya kulit abdomen menjadi tegang. Pada saat penyuntikan posisi kepala lebih rendah dari abdomen. Jarum disuntikkan 0
membentuk sudut 10 menembus kulit dan masuk ke rongga peritoneal. Pada Mencit jantan, efek mulai terlihat timbul pada menit ke 3, dan efek onset
pada menit ke 18. Respon onset yang timbul yaitu tidur, bila diberi
rangsangan tidak bergerak. Hasil dari percobaan intra peritoneal diperoleh perbandingan :
Onset mencit jantan > mencit betina
Durasi
mencit jantan > mencit betina
Selanjutnya percobaan ke 5 adalah rute subkutan
Percobaan selanjutnya adalah rute secara sub kutan. Terakhir pada pemberian obat secara subkutan, Pada tikus dan mencit injeksi dilakukan di bawah kulit pada daerah tengkuk. Angkat sebagian kulit dan tusukkan jarum menembus kulit, sejajar dengan otot dibawahnya. Pada Mencit Jantan mengalami efek obat pada menit ke 20 dan mulai normal kembali pada menit ke 42. Respon menunjukkan mencit jantan tergolong peka karena efek yang ditimbulkan tidur, bila diberi rangsangan nyeri tidak bergerak Sedangkan mencit betina mengalami efek pada menit ke 45 dan karena keterbatasan waktu, saat mencit normal tidak diketahui kapan waktu mencit kembali normal. Hasil dari percobaan subkutan diperoleh perbandingan :
Onset mencit jantan > mencit betina
Durasi mencit jantan > mencit betina
Data yang diperoleh dari pemberian obat secara IV, IP dan SC tidak sesuai dengan teori yang telah dijelaskan di mana seharusnya untuk onset maupun durasi paling cepat dimiliki oleh mencit betina kemudian mencit jantan, diikuti tikus betina, lalu tikus jantan. Kesalahan hasil percobaan ini dikarenakan antara lain : 1.
Mekanisme injeksi yang kurang benar. Hal ini dikarenakan setiap hewan uji diperlakukan oleh praktikan yang berbeda-beda dengan skill
dan pengalaman yang berbeda-beda pula . Injeksi yang salah dapat mengakibatkan obat terakumulasi dalam jaringan yang salah sehingga absorbsi dan distribusi obat menjadi berbeda dari yang seharusnya. Injeksi yang salah juga bisa mengakibatkan dosis obat yang masuk tidak sesuai dengan yang diharapkan atau bahkan obat tidak masuk ke sirkualsi sistemik. 2.
Tingkat resistensi dari hewan percobaan yang berbeda-beda. Hewan percobaan yang lebih resisten tentu mengakibatkan onset dan durasi obat menjadi lebih cepat dari pada seharusnya atau tidak timbul efek pada hewan percobaan walaupun diberikan injeksi sesuai dosis yang telah ditentukan.
3.
Kondisi hewan coba Distribusi dan efek kerja uretan dipengaruhi juga oleh kondisi psikis dan raga. Hewan percobaan yang banyak mendapatkan perlakukan yang tidak sesuai bisa mengakibatkan stress sehingga kinerja uretan terganggu (efek menjadi berkurang). Begitu pula juga dengan kondisi kesehatan, kualitas genetik, serta nutrisi hewan uji.
4. Penentuan dosis yang tidak tepat. Hal ini bisa disebabkan kesalahan pada proses penimbangan hewan uji atau pembuatan larutan uretan. Hewan uji yang terlalu aktif sangat sukar untuk ditimbang sehingga mengakibatkan kesalahan pengukuran bobot. Akibatnya dosis yang diberikan bisa saja berlebih atau kurang dari yang seharusnya. Begitu juga apabila terjadi kesalahan penimbangan uretan dan pencukupan volumnya bisa menjadikan penyimpangan kesalahan menjadi lebih besar. VIII.
Kesimpulan
1. Pemberian Obat dengan Berbagai rute memiliki dosis yang berbeda-beda sesuai dengan bobot hewan coba masing-masing.
2. Berdasarkan percobaan,urutan efek onset dari yang tercerpat hingga yang terlambat yaitu : Iv > ip > im > sc > oral,seharusnya sesuai teori Iv > ip > sc > im > oral 3. Berdasarkan percobaan,kepekaan antara hewan coba betina dan jantan yang lebih peka adalah hewan betina daripada hewan jantan.
IX.
Saran
1. Praktikan harus lebih menguasai mekanisme injeksi. 2. Praktikan harus menjaga kondisi hewan coba secara psikis dan fisik
X.
daftar pustaka
Syarif,Amir,et al.2007.Farmakologi dan Terapi Edisi 5.Jakarta : Gaya Baru. Mycek,Mery J. Farmakologi Ulasan Bergambar Edisi 2.Jakarta : Widya Medika