Menelisik Kejayaan Islam dalam Matematika sebagai Lesson Learn Pengembangan
Pendidikan Islam
Dr. Kusaeri, M.Pd
Jurusan Pendidikan Matematika dan IPA Fakultas Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Jl. A.Yani 117 Surabaya, email:
[email protected], HP. 081330576356
Abstrak
Tulisan ini fokus pada dua hal: (1) mengidentifikasi tokoh-tokoh muslim
yang berperan dalam perkembangan matematika, dan (2) mencari penyebab
mengapa negara-negara muslim lebih lemah dalam mengembangkan matematika
dibandingkan dengan negara-negara Eropa. Penelitian ini adalah penelitian
kepustakaan, yang bersumber pada jurnal dan buku. Pemilihan sumber
didasarkan pada empat aspek, yaitu: provenance (bukti), (2) objectivity
(objektifitas), (3) persuasiveness (derajat keyakinan), dan (4) value
(nilai kontributif). Data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan
anotasi bibliografi (annotated bibliography). Hasil penelusuran teks-teks
sejarah diperoleh bahwa cendekiawan muslim yang berperan dalam meletakkan
dasar-dasar matematika di antaranya: al-Khawarzmi, Omar Khayyam, dan al-
Tusi. Sementara penyebab redupnya matematika dalam khasanah peradaban
Islam, disebabkan oleh tiga hal: (1) Peristiwa terbakarnya perpustakaan
Kordova yang menjadi tempat diletakkannya hasil pemikiran cendekiawan-
cendekiawan muslim dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, termasuk
matematika, (2) Lemahnya sistem militer di negara-negara Islam. Akibatnya
negara-negara muslim mudah ditaklukkan oleh tentara Kristen. Kondisi
ini menyebabkan kebodohan dan kemiskinan; (3) Kekhawatiran umat Islam
akan terkontaminasi dengan aliran liberal jika terlalu sering mengadakan
kontak dengan bangsa Barat.
Kata kunci: aljabar, al-Khawarzmi, Omar Khayyam, dan al-Tusi.
A. Pendahuluan
Matematika merupakan bagian dari warisan budaya.[1] Sebagai warisan
budaya, matematika hadir sebagai solusi di tengah-tengah permasalahan
kehidupan sosial masyarakat. Matematika memiliki sejarah panjang hingga
tercipta serangkaian ilmu matematika yang begitu kompleks seperti saat ini.
Sejarah mencatat bahwa matematika telah banyak digunakan oleh masyarakat
sejak zaman dahulu, meskipun dalam bentuknya yang paling sederhana seperti
membilang atau mengukur.[2]
Perkembangan matematika hingga sekarang tidak terlepas dari hasil
penemuan para ahli matematika beberapa abad yang lalu. Karenanya, menurut
Bell sangat tidak adil apabila pembahasan tentang matematika hanya
menekankan pada ide matematika modern saja. Tanpa memberi perhatian yang
sewajarnya pada sejarah matematika beserta para perintisnya.[3]
Bila ditelusuri, matematika telah ada sejak 3.000 tahun sebelum masehi
dalam wilayah yang memiliki kebudayaan-kebudayaan besar di dunia seperti
Mesir, Babylonia, Yunani, Romawi, India, Persia, dan China.[4] Kebudayaan-
kebudayaan tersebut melahirkan ilmuwan-ilmuwan besar dunia yang meletakkan
pondasi ilmu matematika.[5] Pada periode ini, ilmuwan matematika
memfokuskan diri pada praktik dan teori, termasuk penentuan karakter dari
masing-masing bidang kajian matematika yang tengah ditekuninya. Misalnya
Euclid, seorang matematikawan asal Yunani yang mencetuskan aksioma Euclid
sebagai azas dalam ilmu geometri (ilmu tentang bangun dan ruang),
Pythagoras menemukan teorema Pythagoras yang berlaku pada segitiga siku-
siku, Archimedes yang mengkaji persamaan parabola, hiperbola, dan elips,[6]
serta masih banyak lagi tokoh lainnya.
Kajian matematika juga telah berkembang di tangan para cendekiawan
sebelum hadirnya Islam. Namun hal itu bukan berarti cendekiawan muslim
tidak memiliki kontribusi dalam bidang matematika. Cendekiawan muslim mulai
menunjukkan eksistensinya dalam mengembangkan matematika seiring dengan
meluasnya wilayah kekuasaan Islam seperti di India dan Yunani. Al-
Khawarizmi misalnya, merupakan peneliti aljabar pada tahun 780 hingga 850
Masehi.[7] Al-Khawarizmi berhasil meletakkan dasar-dasar ilmu algoritma
setelah menyatukan matematika hasil kebudayaan Yunani dan India.[8]
Berikutnya yakni Al-Biruni, Al-Fazari, dan cendekiawan-cendekiawan
matematika muslim lain yang hadir setelah Al-Khawarizmi.
Banyaknya cendekiawan yang memiliki andil besar dalam perkembangan
matematika sudah sepatutnya mendapatkan apresiasi dari para pemikir
matematika pada masa kini hingga mendatang. Namun sungguh sangat
disayangkan, sebab kebanyakan dari para pemikir matematika masa kini, belum
mengetahui siapa saja matematikawan yang telah mendedikasikan ide brilliant-
nya, khususnya cendekiawan muslim. Hal ini akan menjadi lebih ironis
apabila tidak ada upaya mengentas problematika tersebut.
Para generasi penerus tidak akan pernah mengerti bagaimana mereka
harus belajar dari pengalaman para matematikawan jika mereka tidak
mengetahui bagaimana sejarah jatuh bangunnya pakar matematika terdahulu
dalam menemukan konsep matematika. Dengan mempelajari sejarah matematika,
seseorang dapat menyadari bahwa matematika merupakan kegiatan intelektual
yang kontinyu dan bukan sekedar mengumpulkan pengetahuan dan teknik.[9]
Dengan pemahaman yang demikian, matematika akan menjadi mudah dimengerti
dan menjadikannya familiar[10] bagi anak, khususnya bagi para siswa di
sekolah dasar dan sekolah menengah yang masih banyak menganggap matematika
sebagai mata pelajaran yang sulit.
Dengan mempelajari sejarah matematika pula, seseorang akan dapat
meningkatkan pemahaman yang mendalam dan lebih baik tentang masa lampau dan
sekarang dalam relasinya dengan masa yang akan datang.[11] Pemberian
pengetahuan akan sejarah matematika dapat meningkatkan kesadaran akan suatu
dimensi yang paling mendasar dari keberadaan manusia, yakni
kontinuitas.[12]
Kontinuitas merupakan gerakan peralihan secara terus menerus dari masa
lampau menuju masa kini dan masa depan.[13] Pada akhirnya mereka akan
mendapatkan inspirasi dan hikmah dari kisah-kisah pendahulunya, sehingga
mampu mendorong pola pikir rasional dan menghargai apa yang telah ditemukan
oleh para ilmuwan yang mengembangkan berbagai bidang kajian matematika.
Dengan mempelajari dan menengok sejarah matematika, dapat pula digunakan
sebagai sarana untuk mengembangkan pendidikan matematika di lembaga
pendidikan Islam. Diharapkan, ke depan dapat menjadi virus bagi
pengembangan pendidikan Islam di Indonesia (khususnya) dan negara-negara
muslim pada umumnya.
B. Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitan kepustakaan (library research).
Penelitian kepustakaan merupakan serangkaian penelitian yang berkenaan
dengan metode pengumpulan data pustaka, atau penelitian yang obyek
penelitiannya digali melalui beragam informasi kepustakaan (buku,
ensiklopedi, jurnal ilmiah, koran, majalah, dan dokumen).[14] Dalam
penelitian ini banyak digali dari jurnal dan buku, seperti jurnal yang
ditulis oleh Vassiliki & Theodorus berjudul Employing Genetic 'Moments' in
The History of Mathematics in Classroom Activities, yang diterbitkan oleh
Springer tahun 2007, buku dari Universitas Oxford New York berjudul A
History of Mathematics ditulis oleh Luke Hodgkin, buku dari St. Louis
berjudul An Episodic History of Mathematics ditulis oleh Steven G. Krantz
tahun 2006, dan buku dari Burton, yang dipublikasikan tahun 2006 berjudul
the History of Mathematics. Selain itu, ditunjang pula dengan buku-buku
yang membahas tentang biografi ilmuwan spesialisasi aljabar seperti al-
Khawarizmi, Omar Khayyam, al-Tusi, Leonardo Pisano, Nicolo Tartaglia,
Girolamo Cardano, dan Rafael Bombelli.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data
sekunder yang dimaksud berupa buku dan laporan ilmiah yang terdapat di
dalam artikel atau jurnal berkenaan dengan sejarah matematika. Pemilihan
sumber didasarkan pada empat aspek yakni:[15] (1) provenance (bukti), yakni
aspek kredensial penulis dan dukungan bukti, misalnya sumber utama sejarah;
(2) objectivity (objektifitas), yakni apakah ide perspektif dari penulis
memiliki banyak kegunaan atau justru merugikan; (3) persuasiveness (derajat
keyakinan), yakni apakah penulis termasuk dalam golongan orang yang dapat
diyakini; dan (4) value (nilai kontributif), yakni apakah argumen penulis
meyakinkan, serta memiliki kontribusi terhadap penelitian lain yang
signifikan.[16]
Data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan anotasi bibliografi
(annotated bibliography). Anotasi bibliografi merupakan daftar sumber-
sumber yang digunakan dalam penelitian, dimana setiap sumbernya diberikan
simpulan terkait dengan apa yang tertulis di dalamnya. Terdapat tiga hal
yang diperhatikan dalam analisis anotasi bibliografi, yaitu:[17] (1)
identitas sumber yang dirujuk; (2) kualifikasi dan tujuan penulis; (3)
simpulan sederhana mengenai konten tulisan; dan (4) kegunaan/pentingnya
sumber yang dirujuk dalam menjawab permasalahan yang telah dirumuskan.
C. Pembahasan
1. Tokoh-tokoh Muslim dalam Bingkaian Sejarah Matematika
Perkembangan matematika, dalam konteks dunia Islam setidaknya
dipengaruhi oleh lima hal.[18] Pertama, dorongan normatif yang bersumber
dari Al-Qur'an tentang perlunya mengoptimalkan nalar untuk merenungkan ayat-
ayat Tuhan. Seperti halnya dalam surat Ali Imran, ayat 190-191 yang
artinya: "Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih
bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang
berakal. Yaitu, orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk
atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan
langit dan bumi (seraya berkata): 'Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau
menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami
dari siksa neraka." Kedua, adanya tantangan realitas yang mengharuskan
saintis muslim untuk mengembangkan matematika sebagai ilmu yang akan terus
dibutuhkan dan bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam
urusan agama. Ketiga, adanya ilmu matematika sebagai hasil peradaban pra-
Islam dirasa perlu untuk dikembangkan lebih lanjut seiring dengan semakin
meluasnya wilayah kekuasaan Islam. Keempat, adanya dorongan etos keilmuan
dari saintis muslim. Kelima, adanya dukungan politik dari penguasa, seperti
pada masa keemasan Abbasiyyah dan Umayyah.
Kajian matematika secara ilmiah dimulai sejak umat Islam bersentuhan
dengan beberapa karya bidang matematika yang dihasilkan oleh peradaban lain
setelah ditaklukannya wilayah peradaban tersebut, misalnya Alexandria dan
Baghdad. Alexandria yang saat itu dikenal sebagai wilayah pusat
perkembangan matematika, ditaklukkan oleh umat Islam pada tahun 641
Masehi.[19] Baghdad sebagai pusat pemerintahan Abbasiyyah di bawah pimpinan
al-Mansur, Harun al-Rashid, dan al-Ma'mun, selanjutnya dijadikan sebagai
pusat ilmu pengetahuan, sehingga di kota tersebut segala aktivitas ilmiah
seperti tukar menukar ilmu antar ilmuwan melalui karya dan terjemahan
dilakukan.[20]
Kondisi ini diilhami dan dipengaruhi oleh peradaban bangsa Babylonia
4000 tahun yang lalu.[21] Bukti keberadaan matematika pada masa peradaban
Babylonia adalah ditemukannya lembaran terbuat dari tanah liat yang memuat
daftar permasalahan kuadrat untuk menentukan panjang dan lebar suatu lahan
yang berbentuk persegi panjang.[22] Permasalahan kuadrat yang ada dalam
lembaran tanah liat tersebut seluruhnya berupa kalimat, tanpa ada simbol
aljabar seperti yang ada pada saat ini.
Dalam menyelesaikan masalah matematika, bangsa Babylonia menggunakan
teknik penyelesaian geometri cut and paste. Teknik penyelesaian cut and
paste merupakan sebuah teknik penyelesaian masalah yang menggunakan ide
geometri.[23] Ide geometri yang digunakan oleh bangsa Babylonia dikenal
dengan aljabar awal, yakni awal digunakannya proses penyelesaian masalah
dengan manipulasi data yang sesungguhnya berdasarkan aturan yang telah
ditetapkan.[24]
Dari apa yang dilakukan oleh masyarakat Babylonia tersebut,
selanjutnya dikembangkan oleh cendekiawan muslim seperti al-Khawarzmi,
Omar Khayyam, dan al-Tusi. Ketiga cendekiawan tersebut berperan dalam
meletakkan dasar-dasar aljabar dan penyelesaiannya.
a) Al-Khawarizmi
Al-Khawarizmi memiliki nama lengkap Abu Ja'far Muhammad ibn Musa al-
Khawarizmi, dilahirkan di kota Baghdad, Iraq. Al-Khawarizmi lahir pada 800
M dan meninggal dunia kurang lebih pada 847 M.[25] Nama al-Khawarizmi
diberikan kepadanya karena ia dilahirkan di daerah Khawarizm atau Khorezm.
Sebuah daerah yang terletak di antara delta sungai Amu Dar'ya dan Laut Aral
di Asia Tengah.Sebelum menyumbangkan pemikirannya di bidang aljabar, al-
Khawarizmi banyak membantu al-Ma'mun (putra dari Harun al-Rasyid) untuk
menerjemahkan buku-buku matematika yang berasal dari Yunani, India, dan
negara-negara pusat peradaban lain sebelum hadirnya Islam.
Istilah aljabar sendiri diambil dari judul buku yang ditulisnya di
Baghdad sekitar tahun 825 M, yakni Hisab al-Jabr wa'I-Muqabalah. Dalam buku
tersebut, al-Khawarizmi mendefinisikan jabr sebagai transposisi dari satu
sisi sebuah persamaan ke sisi yang lain[26] untuk menyeimbangkan persamaan
dengan menambahkan bilangan dengan kuantitas yang sama pada kedua sisi
persamaan.[27]
Pada bagian pertama bukunya, al-Khawarizmi menuliskan solusi persamaan
linear dan persamaan kuadrat. Al-Khawarizmi mengklasifikasikan persamaan
dalam enam tipe, dimana tiga di antaranya adalah macam-macam persamaan
kuadrat sekaligus langkah-langkah penyelesaiannya.[28] Ketiga tipe
persamaan kuadrat tersebut adalah:[29] (1) Kuadrat suatu bilangan ditambah
akar suatu bilangan sama dengan suatu bilangan (squares and roots equal to
numbers : ); (2) Kuadrat suatu bilangan ditambah suatu bilangan sama
dengan akar suatu bilangan (squares and numbers equal to roots : );
dan (3) Akar suatu bilangan ditambah suatu bilangan sama dengan kuadrat
suatu bilangan (roots and numbers equal to squares : ).
Dalam menyelesaikan ketiga persamaan kuadrat di atas, al-Khawarizmi
menggunakan teknik aljabar dan teknik geometri yang ditulisnya.[30] Namun,
al-Khawarizmi (umumnya bangsa Arab) belum mengenal bilangan negatif,[31]
sehingga seluruh penyelesaian yang ditemukan bernilai postif. Keseluruhan
tipe persamaan kuadrat beserta langkah-langkahnya oleh al-Khawarizmi masih
ditulis dalam bahasa verbal tanpa ada simbol yang digunakan, seperti yang
dilakukan oleh bangsa Babylonia.
Dalam menuliskan langkah-langkah penyelesaian persamaan kuadratnya, al-
Khawarizmi juga menggunakan teknik geometri cut and paste layaknya bangsa
Babylonia. Namun ada beberapa langkah dari teknik tersebut yang tidak
digunakannya. Al-Khawarizmi hanya menggunakan langkah yang memang dianggap
perlu untuk digunakan.
Hal lain yang membedakan al-Khawarizmi dengan Bangsa Babylonia adalah
permasalahan yang dihadirkan. Al-Khawarizmi telah mampu menggunakan
permasalahan abstrak, bukan hanya sekedar menentukan panjang dan lebar
suatu bangun segi empat. Misalnya:[32]"Saya membagi sepuluh menjadi dua
bagian dan mengalikan tiap bagian dengan dirinya sendiri. Selanjutnya saya
menambahkan keduanya dengan dua bagian yang berbeda sebelumnya dengan hasil
perkaliannya. Jumlah keseluruhannya adalah lima puluh empat." Permasalahan
tersebut jika dinotasikan dalam bahasa matematika adalah: . Al-
khawarizmi mereduksi persamaan kuadrat tersebut sehingga menjadi dan
kemudian menyelesaikannya menurut algoritma yang ditulisnya.
Seusai menemukan teori persamaan kuadrat beserta penyelesaiannya, al-
Khawarizmi berkeinginan besar untuk dapat menyelesaikan persamaan yang
memiliki dua solusi atau lebih. Namun, harapan tersebut belum tercapai.
Pada akhirnya diteruskan oleh Omar Khayyam dan Sharaf al-Din al-Tusi, yang
mampu menemukan persamaan dengan solusi tunggal atau ganda melalui
persamaan polinomial berderajat tiga.
b) Omar Khayyam
Khayyam dalam bahasa Arab berarti pembuat tenda. Nama tersebut
disematkan pada Omar Khayyam, sebab ia berasal dari keluarga yang
berprofesi sebagai pembuat tenda. Omar Khayyam merupakan seorang ahli
matematika, astronomer, dan filusuf.[33] Namun, kemampuannya dalam bersyair
membuat Omar Khayyam juga dikenal sebagai seorang penyair dengan salah satu
karyanya yang termasyhur berjudul Rubaiyat.
Omar Khayyam lahir pada 1048 M di kota Naishapur, Persia (sekarang
Iran).[34] Di kota ini pula ia menutup usianya tahun 1123 M. Ia memiliki
nama lengkap Ghiyat al-Din Abu'l-Fath Omar ibn Ibrahim al-Nisaburi al-
Khayyami.[35] Omar Khayyam dikenal sebagai pemuda yang luar biasa cerdas.
Sebab dalam usianya yang belum genap 25 tahun, ia telah mampu menulis
banyak buku tentang aritmatika, aljabar, dan musik.[36]
O'Connor dan Robertson menyatakan bahwa Omar Khayyam adalah orang
pertama yang menemukan teori umum dari persamaan berderajat tiga. Omar
Khayyam mengembangkan persamaan aljabar polinomial berderajat tiga.
O'Connor dan Robertson menyatakan bahwa suatu persamaan berderajat tiga
dapat memiliki lebih dari satu solusi/penyelesaian. Ia mampu menunjukkan
bagaimana sebuah persamaan berderajat tiga memiliki dua solusi, namun masih
gagal menunjukkan persamaan berderajat tiga memiliki tiga solusi sekaligus.
Dalam bukunya yang berjudul Risala fi'l-barahin 'ala masa'il al-Jabr
wa'l-Muqabala,[37] ia memperkenalkan lebih dari dua puluh jenis persamaan
kubik[38] dan memberikan dua cara alternatif dalam menyelesaikan suatu
persamaan berderajat tiga.[39] Pertama, menggunakan pendekatan geometri
melalui belahan kerucut. Ia menentukan penyelesaian persamaan kubik melalui
titik potong sebuah parabola yang dipotong oleh sebuah lingkaran.[40] Karya
Omar Khayyam ini selanjutnya pada abad XVII menginspirasi Rene Descartes
dalam merelasikan geometri dan aljabar. Kedua, memperkirakan kemungkinan
solusi melalui metode Horner.
Usaha Omar Khayyam dilanjutkan oleh Sharaf al-Din al-Tusi atau yang
lebih akrab dikenal dengan nama al-Tusi. Al-Tusi mencoba menemukan kondisi-
kondisi kapan suatu persamaan pangkat tiga memiliki penyelesaian atau
tidak.
c) Sharaf al-Din al-Tusi
Satu lagi ilmuwan matematika yang menemukan konsep persamaan aljabar
polinom, yakni Sharaf al-Din al-Tusi. Dari namanya, dapat diidentifikasi
bahwa al-Tusi terlahir di Kota Tus, Persia.[41] Sama halnya dengan Omar
Khayyam, al-Tusi juga memusatkan kajian aljabarnya pada persamaan
berderajat tiga berbentuk . Al-Tusi mengawali konsepnya dengan
meletakkan persamaan berderajat tiga di atas dalam bentuk .
Suatu penyelesaian persamaan menurutnya bergantung pada fungsi pada
ruas kirinya (apakah mencapai harga d atau tidak). Untuk mencarinya, harus
ditentukan terlebih dahulu nilai maksimum dari fungsi tersebut. Al-Tusi
menyatakan bahwa suatu fungsi akan mencapai nilai maksimumnya ketika nilai
(dalam bukunya, al-Tusi tidak menjelaskan bagaimana ia dapat
menemukan nilai tersebut). Suatu persamaan yang nilai -nya
kurang dari d, dapat dipastikan tidak memiliki penyelesaian positif. Jika
nilai x-nya sama dengan d, maka fungsi tersebut memiliki satu penyelesaian,
dan suatu fungsi yang didapati nilai x-nya lebih dari d, fungsi tersebut
memiliki dua penyelesaian, dimana satu penyelesaian berada dalam interval 0
dan dan satu yang lainnya di antara dan b.
Kekurangan dari pekerjaan al-Tusi adalah ia tidak menuliskan dalam
bukunya mengapa syarat-syarat tersebut dapat ditemukannya. Juga sangat
disayangkan lagi, seusai al-Tusi tidak ada cendekiawan muslim yang
berkeinginan untuk menemukan alasan tersebut hingga detik ini. Salah satu
kemungkinan sebab terjadinya hal tersebut adalah karena al-Tusi sama sekali
tidak menggunakan simbol dalam menuliskan teorinya. Padahal suatu persamaan
polinomial akan sangat sulit dipelajari apabila tidak ada simbol yang
digunakan dalam menyatakan persamaan yang dimaksudkan.
Demikianlah teori-teori aljabar yang ditemukan oleh al-Khawarizmi,
Omar Khayyam, dan al-Tusi sebagai bukti keikutsertaan cendekiawan muslim
dalam perkembangan matematika. Apa yang mereka temukan merupakan salah
satu pijakan bagi perkembangan aljabar modern (aljabar abstrak) yang kita
kenal saat ini. Namun sayangnya perkembangan matematika menuju aljabar
abstrak tidak lagi dipelopori oleh cendekiawan muslim, akan tetapi oleh
orang-orang Eropa yang banyak mengadopsi ilmu-ilmu aljabar dari cendekiawan
muslim di tanah Arab. Hal ini menandai awal dari berkembangnya matematika
di Eropa dan sebaliknya kemunduran (tidak berkembangnya) matematika di
negara-negara Islam, khususnya di Timur Tengah.
2. Redupnya Matematika dalam Peradaban Islam
Semenjak abad XI, umat Islam mendapatkan serangan dari berbagai sudut
oleh pihak-pihak yang ingin merebut kembali daerah-daerah kekuasaannya.[42]
Di sebelah Timur Laut Tengah, umat Islam mendapatkan serangan dari tentara
Salib dalam kurun waktu dua abad. Di Andalusia, umat Islam diusir oleh umat
Kristen di bawah pimpinan Ferdinan I. Kota Toledo merupakan kota di
Andalusia yang pertama kali direbut oleh umat Kristen pada tahun 1085
M.[43] Di wilayah Timur, kekuasaan khalifah Abbasiyah direbut oleh sultan-
sultan Buwaihi dan kemudian oleh Bani Saljuk. Kemunduran Islam pun semakin
lengkap seiring dengan datangnya Hulago[44] yang menyapu bersih Baghdad
dari daratan bumi.
Akibat direbutnya daerah-daerah kekuasaan Islam tersebut, ilmuwan-
ilmuwan matematika beserta pusat sekolah tinggi dan pusat ilmu pengetahuan
beserta segala isinya yang terdiri dari perpustakaan jatuh ke tangan
Kristen di bawah pimpinan Raja Alfonso dan Castillia. Namun, kedua raja
tersebut ternyata belum mengerti Bahasa Arab, sehingga mereka tidak dapat
mempergunakan berbagai peninggalan kaum muslim termasuk buku-buku
matematika yang ditulis dalam bahasa Arab.
Penduduk asli Andalusia yang menjadi intelektual, guru, dan ahli
matematika kemudian ditugaskan untuk tetap menjalankan tugasnya, dengan
catatan mereka harus berpindah keyakinan menjadi Kristiani. Mereka dibebani
untuk menerjemahkan buku-buku matematika dan buku-buku pengetahuan hasil
peninggalan peradaban Islam yang lainnya dalam bahasa yang dapat dipahami
oleh orang-orang Eropa. Guru-guru asli yang berdiam di Andalusia
diperintahkan untuk tetap menjalankan kewajibannya mengajar di sekolah-
sekolah dan perguruan tinggi. Melalui jalan inilah berbondong-bondong
masyarakat Eropa datang ke Baghdad untuk dapat belajar berbagai ilmu di
sana.[45]
Untuk lebih mempermudah penyerapan ilmu-ilmu pengetahuan (khususnya
matematika) dari umat Islam, di Toledo didirikan Sekolah Tinggi Terjemah.
Penerjemah-penerjemah yang berasal dari Baghdad akhirnya banyak yang
dipindahkan ke Toledo untuk membantu melancarkan apa yang telah
direncanakan. Penerjemahan buku matematika ke dalam bahasa Latin dipimpin
oleh Gerard Cremona.[46] Buku-buku matematika yang diterjemahkan tersebut
merupakan sisa dari peristiwa pembakaran perpustakaan Kordova yang
menyimpan banyak buku pengetahuan hasil temuan cendekiawan muslim oleh umat
Kristen. Demikianlah upaya-upaya yang dilakukan oleh bangsa Eropa, sehingga
Toledo dijadikan sebagai pusat perkembangan ilmu pengetahuan yang berasal
dari umat Islam ke Eropa.
Teori aljabar yang ditemukan oleh cendekiawan muslim mulai
ditransformasikan ke Eropa pada abad XI dan XII. Banyak jalan yang membuat
aljabar sampai ke Eropa. Salah satunya melalui usaha dari Leonardo Pisano
(Fibonacci) dan Abraham bar Hiyya yang memimpin penerjemahan buku yang
ditulis oleh al-Khawarizmi bersama dengan rekannya yang lain, yakni Robert
Chester dan Gerard Cremona.[47] Berawal dari masuknya matematika ke Eropa
tersebut, kemudian muncul aljabar abstrak seperti yang kita ketahui pada
saat ini.
Sementara itu, penyerangan yang dipimpin oleh Frederick II pada
akhirnya mendapatkan kemenangan pada tahun 1220 M.[48] Frederick kemudian
mendirikan sebuah Universitas pertama di Eropa pada tahun 1224 M, yang
dinamainya Universitas Napels. Beberapa buku matematika peninggalan
kebudayaan Islam yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin kemudian
dijadikan sebagai daftar pelajaran di Universitas tersebut.
Dengan masuknya ilmu pengetahuan hasil cendekiawan Muslim di
Universitas Napels, Eropa mengalami masa renaissance.[49] Renaissance Eropa
pertama kali terjadi di Italia. Renaissance Eropa berarti lahirnya kembali
ilmuwan-ilmuwan[50] dalam bidang ilmu pengetahuan, kesusasteraan dan seni,
beserta penghormatannya pada budaya klasik, atau disebut juga dengan masa
transisi dari kebudayaan feudalis dan gerejawi menuju budaya sekular dan
nasionalis.[51]
Penyebab terjadinya renaissance di Eropa adalah:[52] (1) jatuhnya
konstantinopel di tangan Turki pada tahun 1453; dan (2) ditemukannya mesin
cetak tipe metalik oleh Johann Gutenberg pada tahun 1450, sehingga
penggandaan buku teks yang berisi bahan belajar dapat semakin mudah
dilakukan. Situasi dan kondisi yang menguntungkan tersebut mendesak bangsa
Eropa untuk melahirkan kembali bibit-bibit ilmu pengetahuan yang sebelumnya
dikuasai oleh umat Islam di tanah Eropa.
Sejak renaissance Eropa terjadi, riset ilmu pengetahuan menjadi suatu
kewajiban yang harus dilakukan oleh warga negaranya agar dapat dijadikan
aset bagi generasi selanjutnya dalam menempuh kehidupan di masa
mendatang.[53] Setiap warga negara Eropa mendapatkan kesempatan yang sama
untuk melakukan suatu penelitian dalam upaya mengembangkan ilmu
pengetahuan[54] termasuk matematika.
Dalam rangka mewujudkan impian tersebut, Eropa menyediakan
perpustakaan yang berisikan banyak ilmu pengetahuan[55] guna menunjang
riset yang akan dilakukan oleh warga negaranya. Eropa juga menyediakan MRI
scanner (sejenis social network) yang dapat digunakan untuk melihat
berbagai pengetahuan baru yang muncul di berbagai belahan dunia.[56] Dalam
hal edukasi, Eropa memberikan pelatihan pendidikan yang berkualitas bagi
warga negaranya agar dapat berpartisipasi dalam berbagai bidang penelitian
dan pengembangan teknologi.[57] Melihat kesungguhan dari bangsa Eropa untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan, maka wajar jika Eropa pada saat ini menjadi
kiblat ilmu pengetahuan, termasuk matematika.
Ditambah lagi dengan hadirnya alumnus pertama asal Eropa yang belajar
di Perguruan Tinggi Toledo bernama Abelard Bath yang kemudian menjadi ahli
matematika Inggris. Ia membawa pengaruh Toledo ke Inggris dengan mendirikan
Universitas Oxford dan Universitas Cambridge di sana.[58] Universitas
Oxford dan Universitas Cambridge selanjutnya berkembang pesat menjadi
perguruan tinggi yang begitu maju seperti saat ini.
Sementara di Timur Tengah yang menjadi wilayah bermukimnya sebagian
besar umat Islam, matematika mengalami kemunduran di sana. Penyebabnya
sebagai berikut. Pertama, peristiwa terbakarnya perpustakaan Kordova yang
menjadi tempat diletakkannya hasil pemikiran cendekiawan-cendekiawan muslim
dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, termasuk matematika. Pembakaran
perpustakaan Kordova merupakan suatu peristiwa yang dahsyat. Sebab dari
peristiwa pembakaran perpustakaan, seluruh buku hasil peninggalan para
cendekiawan muslim yang belum sempat diperbanyak habis terbakar.
Perbanyakan buku belum dilakukan karena pada saat itu mesin cetak belum
ditemukan. Mesin cetak pertama kalinya ditemukan pada tahun 1450 oleh
Johann Gutenberg, sedangkan masa kejayaan cendekiawan muslim di bidang
matematika terjadi pada abad VIII hingga X. Waktu mereka akan terbuang sia-
sia apabila hanya digunakan untuk menyalin tulisan, dan lebih baik jika
waktu yang mereka miliki digunakan untuk menemukan konsep-konsep matematika
yang baru.
Apabila pada saat itu ilmu pengetahuan di luar matematika telah
berkembang dengan baik dan mesin cetak berhasil diciptakan, maka tidak
menjadi masalah apabila perpustakaan Kordova dibakar. Ketiadaan mesin cetak
pada saat itu menandakan bahwa pengetahuan teknik fisika belum dikuasai
dengan baik oleh masyarakat Timur Tengah. Apabila teknik fisika telah
dikuasai dengan baik oleh masyarakat Timur Tengah, maka buku-buku
matematika dapat diselamatkan.
Kedua, negara-negara Islam tidak sanggup memberikan fasilitas kepada
warga negaranya untuk melakukan riset-riset yang dapat membantu
perkembangan matematika. Ketidakmampuan ini merupakan akibat dari
kemiskinan yang melanda Timur Tengah setelah penyerangan yang dilakukan
oleh umat Kristiani terhadap umat Islam, serta mengakibatkan kekalahan
pasukan Islam yang berujung pada kemiskinan akibat kekuatan militer umat
Islam yang melemah. Kemiskinan menyebabkan Timur Tengah tidak dapat
memberikan fasilitas yang terbaik untuk mendukung riset pengembangan ilmu
pengetahuan layaknya di Eropa. Agar hal ini tidak terulang kembali, maka
seharusnya negara-negara Islam di Timur Tengah memiliki kemandirian ekonomi
seperti yang terjadi di Italia. Kemandirian ekonomi menjadikan suatu negara
akan tetap bertahan ketika salah satu negara sekutu mengalami keadaan
ekonomi yang buruk. Dengan begitu, negara timur tengah akan tetap dapat
memberikan fasilitas pada warga negaranya untuk melakukan riset ilmiah.
Ketiga, kekhawatiran umat Islam akan terkontaminasi dengan aliran
liberal jika terlalu sering mengadakan kontak dengan bangsa Barat. Padahal
dengan banyak melakukan kontak sosial dalam bidang akademik akan dapat
meningkatkan motivasi untuk bersaing mengembangkan matematika. Kekhawatiran
ini sangat wajar terjadi. Sebab Eropa merupakan negara yang menjunjung
tinggi kebebasan individual, dimana setiap orang berhak melakukan apapun
sesuai dengan keinginannya.[59] Islam dan umat Islam dibidik oleh
liberalisme Barat, sebab Islam memiliki potensi sumber daya manusia dan
sumber daya alamnya yang melimpah, serta memiliki potensi ideologis yang
jika semua potensi ini disatukan akan mampu menandingi sistem peradaban
Barat.[60] Apabila Timur Tengah benar-benar terkontaminasi dengan
liberalisme barat, maka akidah umat Islam dikawatirkan rusak, sebab akan
ada banyak tindakan amoral yang terjadi. Akan tetapi, kontak dengan negara
barat merupakan suatu hal yang seharusnya dapat terjalin dengan baik, sebab
negara Barat merupakan negara yang banyak memiliki kekayaan ilmu
pengetahuan. Hal yang harus dilakukan oleh umat Islam adalah memperkuat
akidah agar dapat berhubungan dengan siapapun, termasuk negara Barat guna
mencegah masuknya liberalisme dalam jiwa keislaman dengan cara melakukan
pencerdasan umat dengan Islam.
Selain faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, hal lain yang
menjadi penyebab kurang berkembangnya matematika di Timur Tengah adalah
karena kurangnya apresiasi khususnya dari kepala negara Timur Tengah.[61]
Mereka lebih merasa dihargai di Eropa. Akibatnya, mereka lebih cenderung
berbondong-bondong pindah ke universitas-universitas di Eropa dan
memperkuat basis keilmuan di Eropa.[62]
D. Kesimpulan
Berdasarkan runtutan historical view perkembangan matematika,
khususnya di negara-negara Islam, disebabkan karena: (1) Peristiwa
terbakarnya perpustakaan Kordova yang menjadi tempat diletakkannya hasil
pemikiran cendekiawan-cendekiawan muslim dalam berbagai bidang ilmu
pengetahuan, termasuk matematika. Sementara perpustakaan tersebut adalah
tempat penyimpanan buku-buku bersejarah tersebut, karena buku-buku yang ada
belum sempat dikopi atau diperbanyak. Sehingga, tentu saja generasi penerus
muslim tidak memiliki pedoman dalam mengembangkan matematika; (2) Lemahnya
sistem militer di negara-negara Islam, sehingga negara-negara tersebut
dapat dengan mudahnya diserang oleh tentara Kristen yang menyebabkan negara
Islam dilanda kebodohan dan kemiskinan. Sehingga negara tidak sanggup
memberikan fasilitas kepada warga negaranya untuk melakukan riset-riset
yang dapat membantu perkembangan matematika; (3) Kekhawatiran umat Islam
akan terkontaminasi dengan aliran liberal jika terlalu sering mengadakan
kontak dengan bangsa Barat. Padahal dengan banyak melakukan kontak sosial
dalam bidang akademik akan dapat meningkatkan motivasi untuk bersaing
mengembangkan matematika.
Kurang berkembangnya matematika di negara Islam khususnya di Timur
Tengah, dirasa perlu dilakukan suatu upaya untuk mengembalikan kembali masa
keemasan Islam seperti pada masa al-Khawarizmi. Upaya awal yakni dengan
mengambil pelajaran apa yang telah terjadi berdasarkan tinjauan sejarah dan
kemudian melakukan real action-nya. Sementara itu, bangkitnya matematika di
Eropa mulai abad XI karena umat Kristiani yang berasal dari Eropa mencoba
keluar dari kemelut kegelapannya dengan merebut kembali wilayah-wilayah
bagian Eropa yang telah dikuasi Islam. Setelah wilayah-wilayah tersebut
dapat ditaklukkan, bangsa Eropa mulai melakukan penerjemahan buku-buku
matematika berbahasa Arab yang ditulis oleh cendekiawan muslim dalam bahasa
Latin. Penerjemahan tersebut dilakukan di bawah pimpinan Gerard Cremona
dengan mempekerjakan guru, sarjana, dan penduduk asli Arab. Hal ini
dilakukan karena bangsa Eropa tidak dapat berbahasa Arab. Seiring dengan
perebutan kekuasaan tersebut, warga negara Eropa banyak berdatangan ke
sekolah-sekolah di Baghdad untuk mempelajari matematika yang telah
dikembangkan oleh ilmuwan muslim di sana.
-----------------------
[1]NCTM dalam Michael N. Fried. 2007. Didactics and History of Mathematics
: Knowledge and Self Knowledge. Educational Studies in Mathematics, 66.
h.206.
[2]Gatot Muhsetyo. 2012. Gagasan (HCN+K) untuk Pengembangan Model
Pembelajaran Matematika dalam Kompetisi Global. Karya Tulis disampaikan
dalam Sidang Terbuka Senat Universitas Negeri Malang. Malang, 12 September.
h.2.
[3]Muhammad Sabirin. 2006. Al-Khawarizmi dan Hasil Pemikirannya dalam
Bidang Matematika. Khazanah Vol. V, no.6. h.2.
[4]Loc.cit.
[5]Vassiliki & Theodorus. 2007. Employing Genetic 'Moments' in The History
of Mathematics in Classroom Activities. Educational Studies in Mathematics,
66. h.87.
[6]Sarton dalam Muqowim. 2012. Genealogi Intelektual Saintis
Muslim.Kementerian Agama RI : Jakarta. h.123.
[7]AM Saefuddin. 2010. Islamisasi Sains dan Kampus. PT PPA Consultans :
Jakarta. h.33.
[8]Ibid.
[9]Jahnke dalam Fulvia Furinghetti. 2007. Teacher Education Through the
History of Mathematics. Educational Studies in Mathematics, 66. h.133.
[10]Ibid.
[11]Erlina Wiyanarti. Tanpa tahun. Model Pembelajaran Kontekstual dalam
Pengembangan Pembelajaran Sejarah. h.2.
[12]Ibid. h.2-3.
[13]Ibid. h.3.
[14]Nana Syaodih. 2009. Metode Penelitian Pendidikan. PT. Remaja Rosdakarya
: Bandung. h.52.
[15]The UCSC University Library. Write a Literature Review
(http://guides.library.ucsc.edu/write-a-literature-review diakses tanggal
20 Juni 2013). Tanpa halaman.
[16]Mohammad Imam Farisi. 2012. Pengembangan Asesmen Diri Siswa (Student
Self-Assessment) sebagai Model Penilaian dan Pengembangan Karakter. Artkel
disampaikan dalam Konferensi Ilmiah Nasional "Asesmen dan Pembangunan
Karakter Bangsa" HEPI UNESA 2012.
[17] Ibid. h.3.
[18]Muqowim. 2012. Genealogi Intelektual Saintis Muslim.Kementerian Agama
RI : Jakarta. h.152.
[19] Ibid. h.133.
[20] Ibid.
[21]Ibid. h.186.
[22]Ibid. h.187.
[23]Ibid.
[24]Ibid. h.188.
[25]Elizabeth Rogers. 2008. Islamic Mathematics. Universitas Illonis :
Urbana. h.5.
[26]Muqowim. 2012. Genealogi Intelektual Saintis Muslim.Kementerian Agama
RI : Jakarta. h.138.
[27]Steven G. Krantz. 2006. An Episodic History of Mathematics. St. Louis.
h.94.
[28]Ibid.
[29]Steven G. Krantz. 2006. An Episodic History of Mathematics. St. Louis.
h.97-98.
[30]Ibid. h.98.
[31]Ibid. h.101.
[32]Victor J. Katz. 2006. Stages in the History of Algebra with
Implications for Teaching. Educational Studies in Mathematics, 66. h.191.
[33]R.C. Archibald .1953. Notes on Omar Khayyam (1050-1122) and Recent
Discoveries. PI MU Epsilon Journal, vol.1, no.9. h.351.
[34]David Godden. 2011. Edward Fitzgerald and Omar Khayyam. Humanism
Ireland, no.116. h.18.
[35]Robert Green. 2002. Omar Khayyam : Much More than a Poet. Montgomery
College Student Journal of Science and Mathematiccs, vol.1. tanpa halaman.
[36]Ibid.
[37]Jeffry A. Oaks. 2011. Al-Khayyam's Scientific Revision of Algebra.
Suhayl, no.10. h.48.
[38]Luke Hodgkin. 2005. A History of Mathematics. Oxford University Press :
New York. h.116.
[39]Victor J. Katz. 2006. Stages in the History of Algebra with
Implications for Teaching. Educational Studies in Mathematics, 66. h.192.
[40]Robert Green. 2002. Omar Khayyam : Much More than a Poet. Montgomery
College Student Journal of Science and Mathematiccs, vol.1. tanpa halaman.
[41]Ibid.
[42]Musyrifah Sunanto. 2011. Sejarah Islam Klasik : Perkembangan Ilmu
Pengetahuan Islam. Kencana : Jakarta. h.222.
[43]Ibid. h.223.
[44]Hulago merupakan bangsa Mongol yang menghancurkan Baghdad pada masa
pemerintahan khalifah Abbasiyah.
[45]Ibid. h.225.
[46]Ibid. h.226.
[47]Victor J. Katz. 2006. Stages in the History of Algebra with
Implications for Teaching. Educational Studies in Mathematics, 66. h.193.
[48]Loc.cit. h.231.
[49]Renaissance Eropa merupakan masa perubahan cara berpikir, bekerja, dan
kesungguhan dalam melakukan riset dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan di
Eropa.
[50]Mc Graw Hill. 2006. The History of Mathematics : an Introduction. A
division of the Mc Graw Hill companies : United States of America. h.304.
[51]Ibid. h.305.
[52]Ibid.
[53]European Commission. 2009. European Research Area : Preparing Europe
for a New Renaissance. European Community : Belgium. h.6.
[54]Ibid. h.7.
[55]Ibid. h.8.
[56]Ibid.
[57]Ibid. h.9.
[58]Ibid. h.232.
[59]Emma Lucya Fitrianty. 2012. Liberalisme Mengancam Keluarga Muslim.
(http://muslimdaily. net/opini/opini-17/liberalisme-mengancam-keluarga-
muslim.html#.UdwgGNgrkyo. Diakses pada 9 Juli 2013).
[60]Ibid.
[61]Kusaeri. 2012. Islam dan Perkembangan Matematika: Sejarah Aljabar.
(http://blog-kusaeri. blogspot.com/2012/10/islam-dan-perkembangan-
matematika_21.html. Diakses pada 9 Juli 2013).
[62]Ibid.