Aspek Perilaku Dalam Akuntansi Sosial Sosial BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Pergeseran filosofis pengelolaan organisasi entitas bisnis yang mengalami perubahan dari pandangan manajemen klasik ke manajemen modern khususnya di beberapa negara industri seperti Amerika dan Eropa telah melahirkan sebuah orientasi baru tentang tanggung jawab perusahaan. Pandangan Manajemen klasik tentang tanggung jawab perusahaan yang hanya beorientasi kepada pemilik modal dan kreditur dengan mencapai tingkat laba maksimum telah bergeser dengan adanya konsep Manajemen modern, dimana orientasi perusahaan dalam mencapai laba maksimum perlu dihubungkan dengan tanggung jawab sosial perusahaan kearah keseimbangan antara tuntutan para pemilik perusahaan, kebutuhan para pegawai, pelanggan, pemasok, lingkungan dan juga masyarakat umum,
karena
menurut
pandangan
Manajemen
modern
perusahaan
dalam
menjalankan
operasionalnya harus berinteraksi dengan lingkungan sosialnya dan sumber-sumber ekonomi yang digunakan oleh perusahaan semuanya berasal dari lingkungan sosial dimana perusahaan itu berada. Oleh karena itu perusahaan sebagai organisasi bisnis harus mampu merespon apa yang dituntut oleh lingkungan sosialnya, sehingga entitas bisnis dan entitas sosial dapat saling berinteraksi dan berkomunikasi untuk kepentingan bersama. Seiring dengan perkembangan konsep manajemen tersebut, para akuntan juga membicarakan bagaimana permasalahan tanggung jawab sosial ini dapat diadaptasikan dalam ruang lingkup akuntansi (Hines, 1988) dalam Azhar Maksum, (1991), sehingga tujuan utama pelaporan keuangan guna memberikan infromasi kepada para pemegang saham dan kreditur menjadi ikut bergeser pula kearah kecenderungan bahwa perlunya pelaporan yang bersifat dari luar organisasi perusahaan (externality) dalam rangka memberikan informasi kepada beberapa kelompok orang luar yang berkepentingan terhadap perusahaan. Berdasarkan uraian diatas dapat dipahami bahwa ide dasar yang melandasi perlunya dikembangkan akuntansi sosial (sosial Accounting), secara umum sebenarnya adalah tuntutan terhadap perluasan tanggung jawab perusahaan. Beberapa penulis seperti Estes (1973); Bowman dan Mason (1976); K.Most (1977); Carrol AB (1984); Henderson (1984) dan Chua (1990) dalam Sawardjono (1991), menggambarkan beberapa contoh konkrit yang dapat dianggap sebagai externality, antara lain seperti melaporkan jumlah karyawan, jaminan kesehatan, informasi tentang upaya pencegahan pencemaran lingkungan, standar kualitas, pengepakan produk ramah lingkungan, penyaluran beasiswa pendidikan, kesempatan magang, pelatihan kerja bagi mahasiswa, dan kepedulian sosial kepada masyarakat sekitar industri. Permasalahan
penting
lainnya
yang
menjadi
isu
dikalangan
para
akuntan
sehubungan externalily adalah mengenai seberapa jauh perusahaan harus bertanggung jawab ja wab terhadap sosial ekonomi seluruhnya, dan bagaimana perlakuan akuntansi yang tepat untuk menggambarkan transaksi yang terjadi antara perusahaan dengan lingkungan sosialnya tersebut. Harahap (1988;1993; 2001) mengemukakan bahwa persoalan apakah perusahaan perlu mempunyai tanggungjawab sosial atau tidak, sampai saat ini masih terus merupakan perdebatan ilmiah dalam sistem ekonomi kapitalis. Lebih jauh Harahap (2002) menyebutkan bahwa fenomena ini merupakan bentuk dari penyadaran kapitalis terhadap tanggung jawab sosial perusahaan melalui
penyajian informasi akuntansi. Pro dan kontra tersebut tentunya dapat dipahami karena kelompok yang mendukung maupun yang tidak mendukung punya kepentingan dan argumentasinya masing-masing. Di Indonesia sendiri, permasalahan akuntansi sosial memang bukanlah hal yang baru, para pakar akuntansi di Indonesia juga telah melakukan analisis dan studi tentang kemungkinan penerapan akuntansi sosial di Indonesia (Harahap, 1988); lihat juga Bambang Sudibyo (1988); Hadibroto (1988) dalam Arief Suadi (1988), hanya saja akuntansi sosial menjadi kurang popular. Terdapat dua hal yang menjadi kendala sulitnya penerapan akuntansi sosial di Indonesia, yaitu (1) lemahnya tekanan sosial yang menghendaki pertanggungjawaban sosial perusahaan, dan (2) rendahnya kesadaran perusahaan di Indonesia tentang pentingnya pertanggung jawaban sosial. Menurut Penulis, perkembangan lingkungan bisnis yang demikian pesat saat ini telah mendorong perusahaan-perusahaan di Indonesia menuju kearah kesadaran akan pentingn ya pertanggungjawaban sosial, sehingga perlu dianalisis kembali penerapan akuntansi sosial dalam situasi dan kondisi perekonomian Indonesia sekarang ini. Sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan, akuntansi berfungsi untuk memberikan informasi untuk pengambilan keputusan dan pertangungjawaban. Selama ini, laporan keuangan hanya difokuskan kepada kepentingan investor dan kreditor sebagai pemakai utama laporan keuangan. Hal ini tertuang mulai dari Standar Financial Accounting Concepts (SFAC) No.1. Selama ini perusahaan hanya menyampaikan informasi mengenai hasil operasi keuangan perusahaan kepada pemakai, tetapi mengabaikan eksternalitas dari operasi yang dilakukannya, misalnya polusi udara, pencemaran air, pemutusan hubungan kerja, dan lainnya. Akhir-akhir ini banyak sekali ditemukan berita di surat kabar, televisi mengenai dampak operasi perusahaan yang tidak memperhatikan lingkungan di mana mereka beroperasi.
Contoh-contoh Permasalahan Sosial pada Dunia Bisnis di Indonesia No. Contoh Kasus Lokasi Permasalahan Sosial 1. PT. Inti Indorayon Porsea, Prov. Sumatera Dihentikan operasinya karena Utama Utara masalah lingkungan dan masalah kemasyaratan di sekitar industri tersebut. 2. PT. Exxon Mobil Lhokseumawe, Aceh Utara, Menghentikan kegiatan Prov. DI Aceh. produksi karena faktor stabilitas ekonomi. 3. PT. Ajinamoto Prov. DKI Jakarta Penarikan distribusi dan Indonesia penghentian aktivitas produksi karena masalah sertifikasi halal oleh MUI. 4. Beberapa Prov. Riau Mendapatkan protes dari perusahaan kertas di masyarakat setempat Riau. sehubungan dengan masalah limbah industri dan pencemaran lingkungan. 5. PT. Maspion Sidoarjo, Surabaya, Prov. Permasalahan demonstrasi Indonesia Jawa Timur buruh dan masalah kesejahteraan karyawan.
6.
PT. Telkom Indonesia
Divre IV, Prov. Jawa Tengah dan DIY
Serikat karyawan PT. Telkom menolak penjualan Divre IV kepada PT. Indosat. 7. PT. BCA Prov. DKI Jakarta Serikat pekerja menolak divestasi saham BCA. 8. PT. Kereta Api Prov. DKI Jakarta Serikat pekerja menolak Indonesia kembalinya dewan direksi lama karena dianggap bertanggung jawab atas beberapa kasus kecelakaan kereta api yang terjadi di Indonesia. 9. Bank Internasional Prov. DKI Jakarta Tuntunan karyawan atas Indonesia. peningkatan gaji, upah, dan kesejahteraan pekerja. 10. PT. Gudang Garam Kediri, Prov. Jawa Timur Mogok kerja massal karena karyawan menuntut perbaikan gaji dan kesejahteraan pekerja. Sumber : Lubis I.A, 2010 Dalam Kholis, 2002, “Masalah Sosial dalam Akuntansi Bisnis di Indonesia”, Media Riset Akuntansi, Auditing, dan Informasi, Vol.2, No.3, Desember.
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah “Bagaimanakah Aspek perilaku dalam akuntansi sosial terhadap perusahaan baik karyawan, masyarakat dan lingkungan?’’
1.3
Tujuan Penulisan Makalah Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini bertujuan untuk : Memahami aspek perilaku dalam akuntansi sosial terhadap perusahaan baik karyawan, masyarakat dan lingkungan.
1.4
Manfaat Penulisan Makalah Hasil penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : Sebagai informasi, masukan dan bahan pertimbangan kepada semua yang berkepentingan baik para mahasiswa, pemilik perusahaaan dan seorang akuntan bahwa aspek prilaku dalam akuntansi sosial terhadap perusahaan baik karyawan, masyarakat dan lingkungan.
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Konsep Aspek Keperilakuan dari Psikologi dan Psikologi Sosial A. Sikap Sikap adalah suatu hal yang mempelajari mengenai seluruh tendensi tindakan, baik yang menguntungkan maupun yang kurang menguntungkan, tujuan manusia, objek, gagasan, atau situasi. Istilah objek dalam sikap digunakan untuk memasukkan semua objek yang mengarah pada reaksi seseorang. Ketiga komponen sikap: pengertian (cognition), pengaruh (affect ), danperilaku (behavi or ). Susunan sikap yang dipandang berdasarkan ketiga komponen tersebut membantu untuk memahami kerumitan sikap dan hubungan potensial antara sikap dan perilaku. Sikap disusun oleh komponen teori, emosional, dan perilaku. Komponen teori terdiri atas gagasan, persepsi, dan kepercayaan seseorang mengenai penolakan sikap. Komponen emosional atau afektif mengacu pada perasaan seseorang yang mengarah pada objek sikap. Komponen perilaku mengacu pada bagaimana satu kekuatan bereaksi terhadap objek/sikap.
B.
Persepsi Persepsi adalah Bagaimana orang-orang melihat atau menginterprestasikan peristiwa, objek, serta manusia. Menurur kamus Bahasa Indonesia Persepsi adalah sebagai tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu atau proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca indra. Sedang dalam lingkup yang lebih luas Persepsi merupakan suatu proses yang melibatkan pengetahuan sebelumnya dalam memperoleh dan menginterprestasikan stimulus yang ditunjukkan oleh panca indra. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi adalah sebagai berikut: a. Faktor Dalam Situasi yang terdiri dari waktu, keadan (tempat kerja), keadan sosial. b. Faktor Pada Pemersepsian yang terdiri dari sikap, motif, kepentingan, pengalaman dan pengharapan. c. Faktor Pada Target yang terdiri dari hal baru, gerakan, bunyi, ukuran, latar belakang, kedekatan. Perilaku para akuntan dapat menerapkan pengetahuan persepsi terhadap banyak aktifitas organisasi. Misalnya dalam evaluasi kinerja, cara penilaian atas seseorang mungkin dipengaruhi oleh ketelitian persepsi penyedia. Kesalahan atau bias penilaian mungkin diakibatkan oleh sandiwara yang mencoba untuk menakut-nakuti sehingga karyawan mrasa tidak puas dan meninggalkan perusahaan. Oleh karena itu para penyelia perlu mengenali perasaan mereka terhadap bawahannya. Bawahan tertentu dapat mempengaruh evaluasi mereka, dan harus waspada terhadap sumber penyimpangan persepsi ini. Kesalahan persepsi dapat juga mendorong kearah ketegangan hubungan antar pribadi karyawan. Ketika sesuatu dilihat sebagai sesuatu yang menegangkan seorang penyelia perlu menentukan penyebab terjadinya peristiwa bisnis yang dipandang berbeda oleh orang-orang yang berbeda.
C. Nilai Nilai secara mendasar dinyatakan sebagai suatu modus perilaku atau keadaan akhir dari
eksistensi yang khas dan lebih disukai secara pribadi atau sosial dibandingkan dengan suatu modus perilaku atau keadaan akhir yang berlawanaan. Dalam mempelajari perilaku dalam organisasi, nilai dinyatakan penting karena nilai meletakkan dasar untuk memahami sikap serta motivasi dan karena nilai memengaruhi sikap manusia.seseorang memasuki organisasi dengan gagasan yang dikonsepkan sebelumnya mengenai apa yang seharusnya dan apa yang tidak seharusnya. Permasalahan profesi akuntansi sekarang ini banyak dipengaruhi masalah kemerosotan standar etika dan krisis kepercayaan. Krisis kepercayaan ini seharusnya menjadi pelajaran bagi para akuntan untuk lebih berbenah diri, memperkuat kedisiplinan mengatur dirinya dengan benar, serta menjalin hubungan yang lebih baik dengan para klien atau masyarakat luas. Misal: skandal Enron yang melibatkan Arthur Anderson, serta skndal Worldcom, Merck, dan Xerox, profesi akuntan menjadi gempar. D. Pembelajaran Pembelajaran adalah proses dimana perilaku baru diperlukan. pembelajaran terjadi sebagai hasil dari motivasi, pengalaman, dan pengulangaan dalam merespon situasi. Kombinasi dari motivasi, pengalaman dan pengulangan dalam merespons situasi ini terjadi dalam tiga bentuk: pengaruh keadaan klasik, pengaruh keadaan operant, dan pembelajaran sosial. Walaupun teori pembelajaran sosial merupakan suatu perpanjangan dari pengondisian operant, di mana teori tersebut mengandalkan perilaku sebagai suatu fungsi dari konsekuensikonsekuensi, teori itu juga mengakui eksistensi pembelajaran observasional(lewat pengamatan) dan pentingya persepsi dalam belajar. E. Kepribadian Aplikasi utama dari teori kepribadian dalam organisasi adalah memprediksikan perilaku. Pengujian terhadap perilaku ditentukan oleh banyaknya efektivitas dalam tekanan pekerjaan, siapa yang akan menanggapi kritikan dengan baik, siapa yng pertama harus dipuji dahulu sebelum berbicara mengenai perilaku tidak diinginkan, siapa yang menjadi seorang pemimpin potensial. Semuanya itu merupakan bentuk-bentuk pemahamaan atau kepribadian. Suatu argumen dini dalam riset kepribadian adalah apakah kepribadian seseorang merupakan hasil keturunan atau lingkungan. Kepribadian tampaknya merupakan hasil dari kedua pengaruh tersebut. Selain itu, dewasa ini dikenal faktor ketiga, yaitu faktor si tuasi a. Keturunan, Pendekatan keturunan beragumentasi bahwa penjelasan paling akhir dari kepribadian seseorang individu adalah struktur molekul dari gen yang terletak dalam kromosom. b. Lingkungan, Di antara faktor-faktor yang menekankan pada pembentukan kepribadian adalah budaya dimana seseorang dibesarkan, pengondisian dini, norma-norma di antara keluarga, temam-teman, dan kelompok-kelompok social, serta pengaruh lain yang dialmi. c. Situasi, Faktor ini mempengaruhi dampak keturunan dan lingkungan terhadap kepribadian. Kepribadian seseorang walaupun kelihatannya mantap dan konsisten, dapat berubah pada kondisi yang berbeda.
2.2 Definisi Akuntansi sosial Istilah Akuntansi Sosial (Social Accounting) sebenarnya bukan merupakan istilah baku dalam akuntansi. Para pakar akuntansi membuat istilah masing-masing untuk menggambarkan transaksi antara perusahaan dengan lingkungannnya. Ramanathan (1976) dalam Arief Suadi (1988) mempergunakan istilah Social Accounting dan mendefinisikannya sebagai proses pemilihan variabel-variabel yang menentukan tingkat prestasi sosial perusahaan baik secara internal maupun eksternal. Lee D Parker (1986) dalam Arief Suadi (1988) menggunakan istilah Sosial Responsibility Accounting, yang merupakan cabang dari ilmu akuntansi. 2.4
Tujuan Akuntansi Sosial Adapun tujuan akuntansi sosial menurut Hendriksen (1994) adalah untuk memberikan informasi yang memungkinkan pengaruh kegiatan perusahaan terhadap masyarakat dapat di evaluasi. Ramanathan (1976) dalam Arief Suadi (1988) juga menguraikan tiga tujuan dari akuntansi sosial yaitu : (1) mengidentifikasikan dan mengukur kontribusi sosial neto periodik suatu perusahaan, yang meliputi bukan hanya manfaat dan biaya sosial yang di internalisasikan keperusahaan, namun juga timbul dari eksternalitas yang mempengaruhi segmen-segmen sosial yang berbeda, (2) membantu menentukan apakah strategi dan praktik perusahaan yang secara langsung mempengaruhi relatifitas sumberdaya dan status individu, masyarakat dan segmen-segmen sosial adalah konsisten dengan prioritas s osial yang diberikan secara luas pada satu pihak dan aspirasi individu pada pihak lain, (3) memberikan dengan cara yang optimal, kepada semua kelompok sosial, informasi yang relevan tentang tujuan, kebijakan, program, strategi dan kontribusi suatu perusahaan terhadap tujuan-tujuan sosial perusahaan. Berdasarkan tujuan akuntansi sosial yang diuraikan diatas dapat dipahami bahwa akuntansi sosial berperan dan menjalankan fungsinya sebagai bahasa bisnis yang mengakomodasi masalah – masalah sosial yang dihadapi oleh perusahaan, sehingga pos – pos biaya sosial yang dikeluarkan kepada masyarakat dapat menunjang operasional dan pencapaian tujuan jangka panjang perusahaan.
2.5
Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan Tanggung jawab sosial ini erat kaitannya dengan munculnya konsep coorporate social responsibility (CSR). Secara singkat CSR merupakan suatu upaya untuk meningkatkan kualitas hidup dari stakeholder . Stakeholder yang dimaksudkan disini diantaranya adalah karyawan, pembeli, pemilik, pemasok, dan komunitas lokal, organisasi nirlaba, aktivis, pemerintah, dan media, yang pada dasarnya mempunyai tujuan yang sama yakni kemakmuran. Dengan demikian, perusahaan sebagai entitas bisnis hendaknya peduli terhadap akibat sosial dan berusaha mengatasi kerugian lingkungan sebagai akibat dari aktivitas usaha perusahaan.