LAPORAN REFERAT
DIFTERI TONSIL
DOKTER PEMBIMBING : dr. Sondang BRS, Sp. THT, MARS
OLEH : Jessie Widyasari (2005730037)
BAGIAN THT RSUD CIANJUR FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA 2010 1
DAFT DAFTAR ISI
hlm BAB I : PENDAHULUAN I.1.
Latar Belakang
.................. ............................ .................. .................. .................... .................... ................ ......
1
I.2.
Tujuan
.................. ............................ .................. .................. .................... .................... ................ ......
2
BAB II : EMBRIOLOGI, ANATOMI DAN FISOLOGI TENGGOROKAN II.1.
Embriologi Embriologi
.................. ............................ .................. .................. .................... .................... ................. .......
3
II.2.
Anatomi
.................. ............................ .................. .................. .................... .................... ................. .......
6
II.3.
Fisiologi
................. ......................... .................. .................... .................... .................. .......... ......... .........
13
BAB III : TINJAUAN PUSTAKA III.1.
Definisi
.................. .......................... .................. .................. .................. .................... ................... .........
15
III.2.
Etiologi
.................. .......................... .................. .................. .................. .................... ................... .........
15
III.3.
Epidemiologi
...................... .............................. .................. .................... .................... .................. ............. .....
16
III.4.
Patofisiologi
.................. .......................... .................. .................. .................. .................... ................... .........
16
III.5.
Manifestasi Klinis
.................. .......................... .................. .................. .................. .............. .... ............... ...............
18
III.6.
Diagnosa
.................. .......................... .................. .................. .................. .................... ................... .........
20
III.7.
Diagnosis Banding
.................. .......................... .................. .................. .................. .................... ................... .........
21
III.8.
Penyulit
.................. ..................... ............ ................. .................. .................. .................. ................. .......
22
III.9.
Penatalaksanaan
.................. .......................... .................. .................. .................. .................... .................... ..........
22
III.10. Pencegahan
.................. .......................... .................. .................. .................. .................... .................... ..........
25
III.11. Imunitas
.................. .......................... .................. .................. .................. .................... .................... ..........
26
III.12. Komplikasi
.................. .......................... .................. .................. .................. .................... .................... ..........
26
III.13. Prognosa
.................... .............................. .................. .............. ...... .................... ............................ .......... ..
27
Daftar Pustaka
.................... ............................ .................. .................. .................. .................. .................. ................. ................. ................. .......
28
2
Daftar Isi Isi Gambar dan Tabel
hlm Gambar 1
.................... ............................ .................. .................. .................. .................... .................... ................. ................. .................... .................... ..........
5
Tabel 1
.................. ............................ .................. .................. .................. .................. .................. ................. ................. .................. .................. .............. ......
9
3
K ATA
PE PE GANT GANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-Nya lah penulis dapat menyelesaikan pembuatan laporan referat yang berjudul Difteri Tonsil. Ucapan terima kasih tak lupa penulis ucapkan kepada dr. Sondang BRS, Sp.THT, MARS, selaku konsultan dibagian THT di RSUD Cianjur dan rekan-rekan yang telah membantu penulis dalam dala m pembuatan laporan referat ini. Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan laporan referat ini masih banyak terdapat kesalahan. Untuk itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan guna perbaikan dalam da lam pembuatan makalah selanjutnya. Semoga laporan referat ini dapat berguna bagi kita semua, khususnya bagi para pembaca.
Cianjur, Juli 2010
Penulis,
BAB I PENDAHUL NDAHULUAN 4
I.
1.
Latar Belakang
Secara keseluruhan insidens difteri mulai menurun di Amerika, masih terdapat angka kematian 10%. Faring tetap merupakan daerah paling tersering untuk infeksi ini. Penyakit lebih sering pada individu yang tidak diimunisasi atau imunisasi yang tidak adekuat. Individu yang mendapat imunisasi yang adekuat mendapat tingkat perlindungan dari antitoksin untuk sepuluh tahun atau lebih. Keluhan awal yang paling sering adalah nyeri tenggorokan. Di samping itu, pasien mengeluh nausea, muntah dan disfagia. Keadaan imunisasi tidak mempunyai efek terhadap keluhan yang terjadi.1 Pemeriksaan yang khas menunjukkan membran yang khas terjadi di atas daerah tonsila dengan meluas ke struktur yang berdekatan. Membran tampak kotor dan berwarna hijau tua dan bahkan dapat menyumbat peradangan tonsila. Perdarahan terjadi pada pengangkatan membran yang berbeda dengan penyebab faringitis membranosa lain.
1
Diagnosa biasanya dibuat lebih awal dan penanganan dimulai segera ketika diketahui bahwa terjadi epidemi difteri. Seringkali terdapat keterlambatan dalam dianosis pada kasus-kasus sporadik dan epidemi difteri yang tidak luas. 1 Organisme penyebab adalah strain toksigenik dari Corynebacterium diphteriae. Sediaan apus nasofaring dan tonsila diperoleh dan diletakkan dalam medium transport yang kemudian dibiakan pada agar MacConkey atau media Loeffler. Strain yang diduga kemudian diuji untuk ttoksigenitas. oksigenitas.
1
Penanganan penyakit terdiri dari dua fase: (1) penggunaan antitoksin spesifik dan (2) eliminasi organisme dari orofaring. Sebelum antitoksin diberikan, pasien sebaiknya diuji untuk sensitivitas terhadap serum. Pasien sebaiknya menerima 40.000 sampai 80.000 unit antitoksin yang dilarutkan dalam cairan saline normal diberikan secara perlahan melalui intravena. Terapi antibiotik dalam bentuk penisilin dan eritromisin dimulai dari untuk menyingkirkan keadaan karier. Biakan ulang sebaiknya dilakukan untuk memastikan pasien tidak mengandung organisme dalam faring. Menetapnya organisme membutuhkan pengobatan pengobatan yang la ma dengan eritromisin.
1
Komplikasi Komplikas i dari difteri adalah adala h biasa biasa dan pasien pasie n yang mengalami obstruksi jalan nafas membutuhkan trakeostomi. Kegagalan jantung dan paralisis otot dapat terjadi dan proses 5
peradangan dapat menyebar ke telinga, menyebabkan otitis media atau ke paru-paru menyebabkan pneumonia.
1
I. 2. Tuju Tujuan an
Setelah mempelajari makalah ini diharapkan dapat mengetahui tinjauan pustaka dari penyakit Difteri tonsil sehingga nantinya jika menemui kasus di tempat praktek dapat melakukan tata laksana yang baik mengenai penyakit tersebut dan penyakit telinga, hidung, dan tenggo t enggorok rok (THT).
BAB II
6
E
BRIO RIOL LOGI, ANAT ANATOMI DAN FISOL FISOLOGI TE TENGGORO NGGOROK AN AN
II.1.Embr mbrii log logii
Rongga mulut, faring dan esofagus berasal dari f oregut embrionik. Foregut juga berkembang menjadi rongga hidung, gigi, kelenjar liur, hipofise anterior, tiroid dan laring, trakea, bronkus, dan alveoli paru. Mulut terbentuk dari stomodeum primitif yang merupakan gabungan ektodermal dan endodermal, yan membelah. Bibir bagian atas dibentuk oleh bagian prosesus nasalis medial dan lateral dan prosesus maksilaris. Celah bibir biasanya biasanya tidak terletak di garis tengah tetapi di lateral dari prosesus nasalis media, yang membentuk premaksila. Bibir bagian bawah berkembang dari bagian prosesus mandibula. Otot bibir berasal dari daerah brankial kedua dan dipersarafi oleh saraf fasialis. Batas vermilion bibir tampak seperti busur; takik pada busur ini merupakan cacat kosmetik yang sangat nyata.2 Gigi berasal dari lamina dentalis, yang berkembang menjadi sementum dan enamel dari gigi tetap. Perkembangan gigi manusia dari gigi susu sampai pertumbuhan gigi molar ketiga dewasa berhubungan dengan usia penderita, dan grafik dapat mengikuti pertumbuhan pertumbuh an gigi yang normal. Terdapat beberapa macam kista dan tumor jinak maupun ganas yang beasal dari sisa lamina dentalis. Gigi dipersarafi oleh cabang dari saraf trigeminus cabang maksilaris dan mandibularis. Pada rahang atas, ada beberapa variasi dan tumpang tindih pada daerah da erah yang dipersarafi oleh cabang caba ng saraf saraf maksilaris. 2 Palatum dibentuk oleh dua bagian: premaksila yang berisi gigi seri dan berasal dari prosesus nasalis media, dan palatum posterior baik palatum durum dan palatum mole, dibentuk oleh gabungan dari prosesus palatum. Oleh karena itu, celah palatum terdapat garis tengah belakang tetapi dapat terjadi kearah maksila depan. Pada tahap pertama, lempeng palatum terdapat dilateral lidah dan jika lidah tidak turun maka lempeng palatum tidak dapat menyatu. Hal ini merupakan dasar di mana celah palatum berhubungan dengan mikrognasia dari Sindrom Pierre Robin.
2
Lidah dibentuk dari beberapa tonjolan epitel didasar mulut. Lidah bagian depan terutama berasal dari daerah brankial pertama dan dipersarafi oleh saraf lingualis, dengan cabang korda timpani dari saraf fasialis yang mempersarafi cita rasa dan sekresi kelenjar submandibula. Saraf glosofaringeus mempersarafi rasa dari sepertiga lidah
7
bagian belakang. Otot lidah berasal dari miotom posbrankial yang bermigrasi ke depan, bersama saraf hipoglosus. Migrasi saraf hipoglosus diduga mempunyai hubungan denga fistula brankial. Tiroid berkembang dari foramen sekum yang terdapat di lidah bagian belakang dan bermigrasi sepanjang duktus tiroglosus ke leher. Jika migrasi ini tidak terjadi, mengakibatkan tiroid lingualis. Sisa dari duktus tiroglosus dapat menetap, dan letaknya di belakang korpus tulang hyoid.
2
Kelenjar liur tumbuh sebagai kantong dari epitel mulut dan terletak dekat sebelah depan saraf-saraf penting. Duktus submandibularis dilalui oleh saraf lingualis. Saraf fasialis melekat pada kelenjar parotis.
2
Leher pada masa embrio awal tidak ada leher yang jelas, memisahkan toraks dari kepala. Leher dibentuk seperti jantung, di mana berasal dari dibawah f oregut , yang bermigrasi ke rongga toraks dan aparatus brankial berkembang menjadi bentuk yang sekarang. Migrasi dari jantung merupakan sebab mengapa beberapa struktur dari leher bermigrasi terakhir. Pada masa embrio awal terdapat beberapa tonjolan sepanjang tepi dari foregut yang juga dapat dilihat dari luar. Tonjolan ini adalah aparatus brankialis. 2 Meskipun secara filogenetik terdapat enam arkus brankialis, arkus kelima tidak pernah berkembang pada manusia, dan hanya membentuk ligamentum arteriosum. Hanya empat arkus yang dapat dilihat dari luar. Setiap arkus brankialis mempunyai mempunyai sepotong kartilago, yang berhubungan dengan kartilago ini adalah arkus arteri, saraf, dan beberapa mesenkim yang akan membentuk otot. Dibelakang setiap arkus terdapat alir eksternal yang terdiri dari ektodermal. Daerah diantara ektodermal dan endodermal dikenal dengan lempeng akhir.
2
Bagian dari stuktur yang disebut diatas berkembang menjadi struktur dewasa yang tetap. Bagian yang seharusnya hilang dapat menetap dan membentuk struktur abnormal pada dewasa. Derivat normal dari aparatus brankialis (dicatat pada tabel 1). Sebaiknya dicatat bahwa celah ektodermal dan kantong endodermal terdapat dibelakang arkus kartilago, arteri, dan saraf. 2
Tabel 1. Derivat dari aparatus brankialis. brankialis. 2 8
Kartilago
I
II
III
IV
V
Maleus
Stapes
Kornu
Tiroidea
Krikoidea
Inkus
Stiloid
Ligamentum
Ligamentum
Arkus aorta
Arteri
sfenomandibularis
mayor
stilohyoidea
Korpus hioid bagian bawah
Mandibula (dalam
Korpus
membran
hioid
sekitar
kartilago) Arteri
Meningea media
Cabang
post-
Karotis
aurikularis
komunis
stilomastoidea
dan interna
Stapedia
Otot
Mandibularis
Fasialis
Pengunyah
Ekspresi wajah Stapedius
Tensor timpani Tensor
pulmonal
arteriosum Subklavia
persisten
Saraf
Ligamentum
kanan Glosofaring
Laringeus
Laringeus
eal
superior
rekurens
Stilofaringe
Krikotiroid
Otot
us
intrinsik laring
Aurikularis
veli
palatini Milohiodea Digastrikus
Stilohiodea Digastrikus posterior
anterior Ekto
Kanalis eksterna
9
dermal
Membran timpani eksterna
Endo
Tuba eustachius
dermal
Telinga tengah Sel-sel
Celah
diatas
tonsila
udara
mastoid
II.2. Anatomi Anatomi
Pada anatomi, tenggorokan bagian dari leher depan sampai kolumna vertebra. Terdiri dari faring dan laring. Bagian yang terpenting dari tenggorokan adalah epiglottis, ini menutup jika ada makanan dan minuman yang lewat dan akan menuju ke esophagus. Tenggorakan jika dipendarahi oleh bermacam-macam pembuluh darah, otot faring, trakea dan esophagus. Tulang hyoid dan klavikula merupakan salah satu tulang tenggorokan untuk mamalia.
2
II.2. 1 Rongga mu mulut
Rongga mulut dan faring dibagi menjadi beberapa bagian. Rongga mulut terletak di depan batas bebas palatum mole, arkus faringeus anterior dan dasar lidah. Bibir dan pipi terutama disusun oleh sebagian besar otot orbikularis oris yang dipersarafi oleh saraf fasilais. Vermilion berwarna merah karena di tutupi oleh lapisan tipis epitel skuamosa. Ruangan di antara mukosa pipi bagian dalam dan gigi adalah vestibulum oris. Muara duktus kelenjar parotis menghadap gigi molar kedua atas.
2
Gigi ditunjang oleh krista alveolar mandibula dibagian bawah dan krista alveolar maksila di bagian atas. Gigi pada bayi terdiri dari dua gigi seri, satu gigi taring dan dua gigi geraham. Gigi dewasa terdiri dari dua gigi seri dan satu gigi taring, dua gigi premolar dan tiga gigi molar. Permukaan oklusal dari gigi seri berbentuk menyerupai pahat dan gigi taring tajam, sedangkan gigi premolar dan
10
molar mempunyai permukaan oklusal yang datar. Daerah diantara gigi molar paling belakang atas dan bawah dikenal dengan trigonum retromolar. retromolar.
2
Palatum dibentuk oleh tulang dari palatum durum dibagian depan dan sebagian besar dari otot palatum mole dibagian belakang. Palatum mole dapat diangkat untuk faring bagian nasal dari rongga mulut dan orofaring. Ketidakmampuan palatum mole menutup akan mengakibatkan bicara yang abnormal (rinolalia aperta) dan kesulitan menelan. Dasar mulut diantara lidah dan gigi terdapat kelenjar sublingual dan bagian dari kelenjar submandibula. Muara duktus mandibularis terletak di depan ditepi frenulum lidah. Kegagalan kelenjar liur untuk mengeluarkan liur menyebabkan mulut menjadi kering, atau xerostomia. Hal ini merupakan keluhan yang menyulitkan pada beberapa pasien.
2
Lidah merupakan organ muskular yang aktif. Dua pertiga bagian depan dapat digerakkan, sedangkan pangkalnya terfiksasi. Otot dari lidah dipersarafi oleh saraf hipoglosus. Dua pertiga lidah bagian depan dipersarafi oleh saraf lingualis dan saraf glosofaringeus pada sepertiga lidah bagia n belakang.2
II.2.2 Fari Faring
Faring bagian dari leher dan tenggorokan bagian belakang dari mulut, cavum nasi, kranial atau superior sampai esofagus, laring dan trakea. Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke esofagus setinggi vertebra servikalis ke-6. ke atas, faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus orofaring, sedangkan dengan laring dibawah berhubungan melaui aditus laring dan ke bawah berhubungan dengan esofagus. Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang lebih 14 cm; bagian ini merupakan bagian dinding faring yang terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam keluar) selaput lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal. Faring terbagi atas nasofaring, orofaring dan laringofaring (hipofaring). 2
11
Pada mukosa dinding belakang faring terdapat dasar tulang oksiput inferior, kemudian bagian depan tulang atas dan sumbu badan, dan vertebra servikalis lain. Nasofaring membuka ke arah depan ke hidung melalui koana posterior. Superior, adenoid terletak pada mukosa atap nasofaring. Disamping, muara tuba eustakhius kartilaginosa terdapat didepan lekukan yang disebut fosa Rosenmuller. Kedua struktur ini berada diatas batas bebas otot konstriktor faringis superior. Otot tensor veli palatini, palatini, merupakan otot otot
yang menegangkan menegangkan palatum dan membuka tuba
eustakhius, masuk ke faring melalui ruangan ini. Otot ini membentuk tendon yang melekat sekitar hamulus tulang untuk memasuki palatum mole. Otot tensor veli palatini dipersarafi oleh saraf mandibu mandibularis laris melalui ganglion otic. 2 Orofaring ke arah depan berhubungan dengan rongga mulut. Tonsila faringeal dalam kapsulnya terletak pada mukosa pada dinding lateral rongga mulut. Didepan tonsila, arkus faring anterior disusun oleh otot palatoglosus, dan dibelakang dari arkus faring posterior disusun oleh otot palatofaringeus otot-otot ini membantu menutupnya orofaring bagian posterior. Semuanya dipersarafi oleh pleksus faringeus.
2
Unsur-unsur faring meliputi mukosa, palut lendir ( mucous blanket ) dan otot: a. Mukosa Bentuk mukosa faring bervariasi, tergantung pada letaknya. Pada nasofaring karena fungsinya untuk saluran respirasi, maka mukosanya bersilia, sedang epitelnya torak berlapis yang mengandung sel goblet. goblet. Di bagian bawahnya, ba wahnya, yaitu orofaring dan laringofaring, karena fungsinya untuk saluran cerna, epitelnya gepeng berlapis dan tidak bersilia.
2
Di sepanjang faring dapat ditemukan banyak sel jaringan limfoid yang terletak
dalam
rangkaian
jaringan
ikat
yang
termasuk
dalam
sistem
retikuloendotelial. Oleh karena itu faring dapat disebut juga daerah pertahanan tubuh terdepan. 2 b. Palut Lendir ( M ( M ucous ucous Blanket ) Blanket ) Daerah nasofaring dilalui oleh udara pernapasan yang diisap melalui hidung. Di bagian atas, nasofaring ditutupi oleh palut lendir yang terletak diatas silia dan bergerak sesuai dengan arah gerak silia ke belakang. Palut lendir ini berfungsi 12
untuk menangkap partikel kotoran yang terbawa oleh udara yang diisap. Palut lendir ini mengandung enzim Lyzozyme yang penting untuk proteksi.
2
c. Otot Faring merupakan daerah dimana udara melaluinya dari hidung ke laring juga dilalui oleh makanan dari rongga mulut ke esofagus. Oleh karena itu, kegagalan dari otot-otot faringeal, terutama yang menyusun ketiga otot konstriktor faringis, akan menyebabkan kesulitan dalam menelan dan biasanya juga terjadi aspirasi air liur dan makanan ke dala m cabang trakeobronkial. trakeobronkial.2
Gambar 3. Ukuran perbandingan posisi dan hubungan ketiga otot konstriktor faringis
d. Pendarahan Faring mendapat darah dari beberapa sumber dan kadang-kadang tidak beraturan. Yang utama berasal dari cabang a.karotis eksterna (cabang faring asendens dan cabang fausial) serta dari cabang a.maksila interna yakni cabang palatina superior. 2 e. Persarafan Persarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal dari pleksus faring yang ekstensif. Pleksus ini dibentuk oleh cabang far ing dari n.vagus, cabang dari n.glosofaring dan serabut simpatis. Cabang faring dari n.vagus berisi serabut motorik. Dari pleksus faring yang ekstensif ini keluar cabang-cabang untuk otot13
otot faring kecuali m.stilofaring yang dipersarafi lansung oleh cabang n.glosofaring (n.IX). f.
2
Kelenjar getah bening Aliran limfa dari dinding faring dapat melaui 3 saluran yakni superior, media dan inferior. Saluran limfa superior mengalir ke kelenjar getah bening retrofaring dan kelenjar getah bening servikal dalam atas. Saluran limfa media mengalir ke kelenjar getah bening jugulo-digastrik dan kelenjar servikal dalam atas, sedangkan saluran limfa inferior mengalir ke kelenjar getah bening servikal 2
dalam bawah.
Berdasarkan letak, faring dibagi atas: 1.
Nasofariing Nasofar
Berhubungan erat dengan beberapa struktur penting misalnya adenoid, jaringan limfoid pada dinding lareral faring dengan resessus faring yang disebut fosa rosenmuller, kantong rathke, yang merupakan invaginasi struktur embrional hipofisis serebri, torus tubarius, suatu refleksi mukosa faring diatas penonjolan kartilago tuba eustachius, konka foramen jugulare, yang dilalui oleh nervus glosofaring, nervus vagus dan nervus asesorius spinal saraf kranial dan vena jugularis interna bagian petrosus os.tempolaris dan foramen laserum dan muara tuba eustachius. 2 2. Orofar Orofariing
Disebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah palatum mole, batas bawahnya adalah tepi atas epiglotis kedepan adalah rongga mulut sedangkan kebelakang adalah vertebra servikal. Struktur yang terdapat dirongga orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil palatina fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual dan foramen sekum.
2
a. Dinding posterior faring Secara klinik dinding posterior faring penting karena ikut terlibat pada radang akut atau radang kronik faring, abses retrofaring, serta gangguan otot bagian tersebut. Gangguan otot posterior faring bersama-sama dengan otot palatum mole berhubun berhubungan gan dengan ga nggu ngguan an n.vagus. 2
14
b. Fosa tonsil Fosa tonsil dibatasi oleh arkus faring anterior dan posterior. Batas lateralnya adalah m.konstriktor faring superior. Pada batas atas yang disebut kutub atas (upper pole) terdapat suatu ruang kecil yang dinamakan fossa supratonsil. Fosa ini berisi jaringan ikat jarang dan biasanya merupakan tempat nanah memeca h ke luar bila terjadi abses. Fosa Fosa tonsil diliputi oleh fasia yang merupakan bagian dari fasia bukofaring dan disebu kapsul yang sebenar benarnya bukan merupakan kapsul yang sebena-benarnya. c.
2
Tonsil Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat dengan kriptus didalamnya.
2
Terdapat macam tonsil yaitu tonsil faringal (adenoid), (adenoid), tonsil palatina dan tonsil lingual yang ketiga-tiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin waldeyer. Tonsil palatina yang biasanya disebut tonsil saja terletak di dalam fosa tonsil. Pada kutub atas tonsil seringkali ditemukan celah intratonsil yang merupakan sisa kantong faring yang kedua. Kutub bawah tonsil biasanya 2
melekat pada dasar lidah.
Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan mempunyai celah yang disebut kriptus. Epitel yang melapisi tonsil ialah epitel skuamosa yang juga meliputi kriptus. Di dalam kriptus biasanya biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, bakteri dan sisa makanan.
2
Permukaan lateral tonsil t onsil melekat pada fasia fa sia faring yang yang sering juga disebut kapsul tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat pada otot faring, sehingga mudah dilakukan diseksi pada tonsilektomi.Tonsil mendapat darah dari a.palatina minor, a.palatina ascendens, cabang tonsil a.maksila eksterna, a.faring ascendens dan a.lingualis dorsal.2 Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papila sirkumvalata. Tempat ini kadang-kadang menunjukkan penjalaran duktus
15
tiroglosus dan secara klinik merupakan tempat penting bila ada massa tiroid lingual (lingual (lingual thyroid ) atau kista duktus tiroglosus. tiroglosus.
2
Infeksi dapat terjadi di antara kapsul tonsila dan ruangan sekitar jaringan 2
dan dapat meluas keatas pada dasar palatum mole sebagai abses peritonsilar. 3.
Lar ariingofar ngofariing (hi (hi ofar ofariing)
Batas laringofaring disebelah superior adalah tepi atas yaitu dibawah valekula epiglotis berfungsi untuk melindungi glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis (muara glotis bagian medial dan lateral terdapat ruangan) dan ke esofagus, nervus laring superior berjalan dibawah dasar sinus piriformis pada tiap sisi laringofaring. Sinus piriformis terletak di antara lipatan ariepiglotika dan kartilago tiroid. Batas anteriornya adalah laring, batas inferior adalah esofagus serta batas posterior adalah vertebra servikal. Lebih ke bawah lagi terdapat otot-otot dari lamina krikoid dan di bawahnya terdapat muara esofagus.
2
Bila laringofaring diperiksa dengan kaca tenggorok pada pemeriksaan laring tidak langsung atau dengan laringoskop pada pemeriksaan laring langsung, maka struktur pertama yang tampak di bawah dasar lidah ialah valekula. Bagian ini merupakan dua buah cekungan yang dibentuk oleh ligamentum glosoepiglotika medial dan ligamentum glosoepiglotika lateral pada tiap sisi. Valekula disebut juga ³ kantong pil´ ( pill ( pill pockets), pockets ), sebab pada beberapa orang, kadang-kadang bila menelan pil akan tersangkut disitu.
2
Dibawah valekula terdapta epiglotis. Pada bayi epiglotis ini berbentuk omega dan perkembangannya akan lebih melebar, meskipun kadang-kadang bentuk infantil (bentuk omega) ini tetap sampai dewasa. Dalam perkembangannya, epiglotis ini dapat menjadi demikian lebar dan tipisnya sehingga pada pemeriksaan laringoskopi tidak langsung tampak menutupi pita suara. Epiglotis berfungsi juga untuk melindungi (proteksi) glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan, pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke 2
esofagus.
16
Nervus laring superior berjalan dibawah dasar sinus piriformis pada tiap sisi laringofaring. Hal ini penting untuk diketahui pada pemberian anestesia lokal di faring dan laring pada tindakan laringoskopi langsung.
2
II.3. Fi Fisiolog ologii II.3.1 Fungs ngsii far fariing
Terutama untuk pernapasan, menelan, resonansi suara dan artikulasi. Tiga dari fungsi-fungsi fungsi-fung si ini adalah a dalah jelas. Fungsi penelanan akan dijelaskan t erperinci. a. Penelanan Proses penelanan dibagi menjadi tiga tahap. Pertama gerakan makanan dari mulut ke faring secara volunter. Tahap kedua, transport makanan melalui faring dan tahap ketiga, jalannya bolus melalui esofagus, keduanya secara involunter. Langkah yang sebenarnya adalah: pengunyahan makanan dilakukan pada sepertiga tengah lidah. Elevasi lidah dan palatum mole mendorong bolus ke orofaring. Otot supra hiod berkontraksi, elevasi tulang hioid dan laring intrinsik berkontraksi dalam gerakan seperti sfingter untuk mencegah aspirasi. Gerakan yang kuat dari lidah bagian belakang akan mendorong makanan kebawah melalui orofaring, gerakan dibantu oleh kontraksi otot konstriktor faringis media dan superior. Bolus dibawa melalui introitus esofagus ketika otot konstriktor faringis inferior berkontraksi dan otot krikofaringeus berelaksasi. Peristaltik dibantu oleh gaya berat, menggerakkan makanan melalui esofagus dan masuk ke lambung. 2 b. Proses berbicara Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot palatum dan faring. Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum mole kearah dinding belakang faring. Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat dan melibatkan mula-mula m.salpingofaring dan m.palatofaring, kemudian m.levator veli palatine bersama-sama m.konstriktor faring superior. Pada gerakan penutupan nasofaring m.levator veli palatini menarik palatum mole ke atas belakang hampir ha mpir mengenai dinding posterior faring. Jarak yang tersisa ini diisi oleh tonjolan ( f ( f old o f o f ) Passavant pada dinding belakang faring yang 17
terjadi akibat 2 macam mekanisme, yaitu pengangkatan faring sebagai hasil gerakan m.palatofaring (bersama m,salpingofaring) oleh kontraksi aktif m.konstriktor faring superior. Mungkin kedua gerakan ini bekerja tidak pada waktu bersamaan.2 Ada yang berpendapat bahwa tonjolan Passavant ini menetap pada periode fonasi, tetapi ada pula pendapat yang mengatakan tonjolan ini timbul dan hilang secara cepat bersamaan dengan gerakan palatum.2
18
BAB III TINJAUAN PUST PUS TAK A
III. 1. Def inisi
Difteri adalah infeksi akut ynag disebabkan oleh Corynebacterium Diphteriae. Infeksi biasanya terdapat pada faring, laring, hidung dan kadang pada kulit, konjungtiva, genitalia dan telinga. Infeksi ini menyebabkan gejala-gejala lokal dan sistemik, efek sistemik terutama karena eksotoksin yang dikeluarkan oleh mikroorganisme pada tempat infeksi.3 Difteri didapat melalui kontak dengan karier atau seseorang yang sedang menderita difteri. Bakteri dapat disebarkan melalui tetesan air liur akibat batuk, bersin atau berbicara. Beberapa laporan menduga bahwa infeksi difteri pada kulit merupakan predisposisi kolonisasi pada saluran nafas. 3
III.2. Etiologi ologi
Penyebab difteri adalah Corynebacterium diphteriae (basil Klebs-Loe ff ler ) merupakan basil gram positif tidak teratur, tidak bergerak, tidak membentuk spora dan berbentuk batang pleomorfis. Organisme tersebut paling mudah ditemukan pada media yang mengandung penghambat tertentu yang memperlambat pertumbuhan mikroorganisme lain (Tellurite). (Tellurite). Koloni-koloni Koloni-koloni Corynebacterium Corynebacterium diphteriae berwarna putih kelabu pada medium Loeffler. Pada media Tellurite dapat dibedakan 3 tipe koloni : a. koloni mitis yang halus, berwarna hitam dan cembung b. koloni gravis yang berwarna kelabu dan setengah kasar c. koloni intermedius berukuran kecil, halus serta memiliki pusat berwarna hitam. 3 Penyebab tonsilitis difteri ialah kuman Corynebacterium diphteriae, kuman yang termasuk Gram positif dan hidung di saluran nafas bagian atas yaitu hidung, faring dan laring. Tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman ini akan menjadi sakit. Keadaan ini tergantung pada titer anti toksin dalam darah seseorang. Titer anti toksin sebesar 0,03 satuan per cc darah dapat dianggap cukup memberikan dasar imunitas. Hal inilah yang dipakai pada tes Schick.
4
19
III. 3. E idemi demiologi ologi
Difteri tersebar di seluruh dunia, tetapi insiden penyakit ini menurun secara mencolok setelah penggunaan toksoid difteri secara meluar. Umumnya masih tetap terjadi pada individu-individu yang berusia kurang dari 15 tahun (yang tidak mendapatkan imunisasi primer). Bagaimanapun, pada setiap epidemi insidens menurut usia tergantung pada kekebalan individu. Serangan difteri yang sering terjadi, mendukung konsep bahwa penyakit ini terjadi di kalangan penduduk miskin ynag tinggal di tempat berdesakan dan memperoleh fasilitas pelayanan kesehatan terbatas. Kematian umumnya terjadi pada individu yang belum mendapatkan imunisasi.3 Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak berusia kurang dari 10 tahun dan frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun walaupun pada orang dewasa masih mungkin menderita menderita penyakit ini. 4
III.4. Patof isiologi ologi
Kuman masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berbiak pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling serta selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan darah. Toksin ini merupakan suatu protein dengan berat molekul 62.000 dalton, tidak tahan panas/cahaya, mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A (aminoterminal) dan fragmen B (carboxyterminal) yang disatukan dengan ikatan disulfida. Fragmen B diperlukan untuk melekatkan molekul toksin yang teraktifasi pada reseptor sel pejamu yang sensitif. Perlekatan ini mutlak agar fragmen A dapat melakukan penetrasi ke dalam sel. Kedua fragmen ini penting dalam menimbulkan efek toksik pada sel. 3 Reseptor-reseptor toksin diphtheria pada membran sel terkumpul dalam suatu coated pit dan toksin mengadakan penetrasi dengan cara endositosis. Proses ini memungkinkan toksin mencapai bagian dalam sel. Selanjutnya endosom yang mengalami asidifikasi secara alamiah ini dan mengandung toksin memudahkan toksin untuk melalui membran endosom ke cytosol. Efek toksik pada jaringan tubuh manusia adalah ham ha mbatan pembentukan protein dalam sel.
3
Pembentukan protein dalam sel dimulai dari penggabungan 2 asam amino yang telah diikat 2 transfer RNA yang menempati kedudukan P dan A dari pada ribosome. Bila 20
rangkaian asam amino ini akan ditambah dengan asam amino lain untuk membentuk polipeptida sesuai dengan cetakan biru RNA, diperlukan proses translokasi. Translokasi ini merupakan pindahnya gabungan transfer RNA + dipeptida dari kedudukan A ke kedudukan P. Proses translokasi ini memerlukan enzim translokase (Elongation faktor-2) 3
yang aktif.
Toksin diphtheria mula mula menempel pada membran sel dengan bant uan fragmen B dan selanjutnya fragmen A akan masuk dan mengakibatkan inaktivasi enzim translokase melalui proses : NAD+ + EF2 (aktif) ---toksin---> ADP-ribosil-EF 2 (inaktif) + H2 + Nicotinamide ADPribosil-EF2 yang inaktif . Hal ini menyebabkan proses translokasi tidak berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan, dengan akibat sel aka n mati. Nekrosis tampak jelas di daerah kolonisasi kuman. Sebagai respons terjadi inflamasi lokal yang bersama-sama dengan jaringan nekrotik membentuk bercak eksudat yang mula-mula mudah dilepas. Produksi toksin semakin banyak, daerah infeksi semakin lebar dan terbentuklah eksudat fibrin. Terbentuklah suatu membran yang melekat erat berwarna kelabu kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang terkandung. selain fibrin, membran juga terdiri dar i selselsel radang, eritrosit dan sel-sel epitel. Bila dipaksa melepas membran akan terjadi perdarahan. Selanjutnya membran a kan terlepas sendiri da lam periode penyembuhan. penyembuhan. 3 Kadang-kadang terjadi infeksi sekunder dengan bakteri (misalnya Streptococcus pyogenes) pyogenes). Membran dan jaringan edematous dapat menyumbat jalan nafas. gangguan pernafasan/suffokasi bisa terjadi dengan perluasan penyakit ke dalam laring atau cabangcabang tracheobronchial. Toksin yang diedarkan dalam tubuh bisa mengakibatkan 3
kerusakan pada setiap organ, terutama jantung, saraf dan ginjal.
Antitoksin diphtheria hanya berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang terabsorbsi pada sel, tetapi tidak bila telah terjadi penetrasi ke dalam sel. Setelah toksin terfiksasi dalam sel, terdapat periode laten yang bervariasi sebelum timbulnya manifestasi klinik. Miokardiopati toksik biasanya terjadi dalam 10-14 hari, manifestasi saraf pada umumnya terjadi setelah 3-7 minggu. Kelainan patologi yang menonjol adalah nekrosis toksis dan degenerasi hialin pada bermacam-macam organ da n jaringan. Pada jantung 21
tampak edema, kongesti, infiltrasi sel mononuklear pada serat otot dan sistem konduksi. Bila penderita tetap hidup terjadi regenerasi otot dan fibrosis interstisial. Pada saraf tampak neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada selaput mielin. Nekrosis hati bisa disertai gejala hipoglikemia, kadang-kadang tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubuler akut pada ginjal.
3
III.5. Mani Manifestasi festasi K linis
Tanda-tanda dan gejala difteri tergantung pada fokus infeksi, status kekebalan dan apakah toksin yang dikeluarkan itu telah memasuki peredaran darah atau belum. Masa inkubasi difteri biasanya 2-5 hari, walaupun dapat singkat hanya satu hari dan lama 8 hari bahkan sampai 4 minggu. Biasanya serangan penyakit agak terselubung, misalnya hanya sakit tenggorokan yang ringan, panas yang tidak tinggi, berkisar antara 37,8oC ± 38,9oC. Pada mulanya tenggorok hanya hiperemis saja tetapi kebanyakan sudah terjadi membran putih/keabu-abuan. 3 Dalam 24 jam membran dapat menjalar dan menutupi tonsil, palatum molle, uvula. Mula-mula membran tipis, putih dan berselaput yang segera menjadi tebal., abu-abu/hitam tergantung jumlah kapiler yang berdilatasi dan masuknya darah ke dalam eksudat. Membran mempunyai batas-batas jelas dan melekat dengan jaringan dibawahnya. Sehingga sukar untuk diangkat, sehingga bila diangkat secara paksa menimbulkan perdarahan.
Jaringan
yang
tidak
ada
membran
biasanya
tidak
membengkak.
Pada difteri sedang biasanya proses yang terjadi akan menurun pada hari-hari 5-6, walaupun antitoksin tidak diberikan.
3
Gejala lokal dan sistemik secara bertahap menghilang dan membran akan menghilang.
Dan
perubahan
ini
akn
lebih
cepat
bila
diberikan
antitoksin.
Difteri berat akan lebih berat pada anak yang lebih muda. Bentuk difteri antara lain bentuk Bullneck atau maglinant difteri. Bentuk ini timbul dengan gejala-gejala yang lebih berat dan membran menyebar secrara cepat menutupi faring dan dapat menjalar ke hidung. Udema tonsil dan uvula dapat pula timbul. Kadang-kadang udema disertai nekrose. Pembengkakan kelenjer leher, infiltrat ke dalam jaringan sel-sel leher, dari telinga satu ke telinga yang lain. Dan mengisi dibawah mandibula sehingga memberi gambaran bullneck. 3
22
Gambaran klinik dibagi dalam 3 golongan yaitu : a. gejala umum, seperti juga gejala infeksi lainnya yaitu kenaikan suhu tubuh biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat, serta keluhan nyeri menelan b. gejala lokal, yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor yang makin lama makin meluas dan bersatu membentuk semu. Membran ini dapat meluas ke palatum molle, uvula, nasofaring, laring, trakea dan bronkus dan dapat menyumbat saluran nafas. Membran semu ini melekat erat pada dasarnya, sehingga bila diangkat akan mudah berdarah. Pada perkembangan penyakit ini bila infeksinya berjalan terus, kelenjar limfa leher akan membengkak sedemikian besarnya sehingga leher menyerupai menyerupai sapi (bullneck) atau disebut juga Burgermeester¶s juga Burgermeester¶s hals. c. gejala akibat eksotoksin, yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini akan menimbulkan kerusakan jaringan tubuh yaitu pada jantung dapat terjadi miokarditis sampai decompensatio cordis, mengenai saraf kranial menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernafasan dan pada ginjal menimbulkan albuminoria.4
Difteri Tonsil Gejala biasanya tidak khas berupa malaise, anoreksia, sakit tenggorok dan demam. Difteri tonsil dan faring khas ditandai dengan adanya adenitis / periadenitis cervical, kasus yang berat ditandai dengan bullneck (limfadenitis disertai edema jaringan lunak leher). Suhu dapat normal atau sedikit meningkat tetapi nadi biasanya cepat. 3 Pada kasus ringan membran biasanya akan menghilang antara 7-10 hari dan penderita tampak sehat. Pada kasus sangat berat ditandai dengan gejala-gejala toksemia berupa lemah, pucat, nadi cepat dan kecil, stupor, koma dan meninggal dalam 6-10 hari. Pada kasus sedang penyembuhan lambat disertai komplikasi seperti miokarditis dan neuritis.
(2)
Difteri Hidung Pada permulaan mirip common cold , yaitu pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung berangsur menjadi serosanguinous dan kemudian mukopurulen mengadakan lecet pada nares dan bibir atas. Pada pemeriksaan tampak membran putih pada daerah septum nasi. Absorpsi toksin sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul tidak nyata sehi ngga diagnosis lambat dibuat.3
23
Difteri Laring Biasanya merupakan perluasan diphtheria faring, pada diphtheria laring primer gejala toksik kurang nyata, tetapi lebih berupa gejala obstruksi saluran nafas atas. Gejala sukar dibedakan dari tipe in f in f ectious croup yang lain seperti nafas berbunyi, stridor progresif, suara parau, batuk kering dan pada obstruksi laring yang berat terdapat retraksi suprasternal, subcostal dan supraclavicular. Bila terjadi pelepasan membra n yang menutup jalan nafas bisa terjadi kematian mendadak. pada kasus berat, membran meluas ke percabangan tracheobronchial. Dalam hal diphtheria laring sebagai perluasan daripada diphtheria faring, gejala merupakan campuran gejala obstruksi dan toksemia.
3
Difteria Kulit, Vulvovaginal, Vulvovaginal, Konjungtiva, Telinga Difteri kulit berupa tukak di kulit, tepi jelas dan terdapat membran pada dasarnya. Kelainan cenderung menahun. Diphtheria pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan sekret purulen dan berbau.
3
III.6. Di Diagnosi agnosis
Harus dibuat atas dasar pemeriksaan klinis oleh karena penundaan pengobatan akan membahayakan jiwa penderita. Penentuan kuman diphtheria dengan sediaan langsung kurang dapat dipercaya. Cara yang lebih akurat adalah dengan identifikasi secara f luorescent antibody technique, namun untuk ini diperlukan seorang ahli. Diagnosis pasti dengan isolasi C, diphtheriae dengan pembiakan pada media Loeffler dilanjutkan dengan tes toksinogenesitas secara vivo (marmut) dan vitro (tes Elek). Cara Polymerase Chain Reaction (PCR) dapat membantu menegakkan diagnosis difteri dengan cepat, namun pemeriksaan ini mahal dan masih memerlukan penjajagan lebih lanjut untuk penggunaan 3
secara luas.
Diagnosis tonsilitis difteri ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan pemeriksaan preparat langsung kuman yang diambil dari permukaan bawah membran semu dan didapatkan kuman Corynebacterum diphteriae.
4
24
III.7. Di Diagnosi agnosis Bandi anding III.7. 1. Di Difter fterii Hidung
1. Rhinorrhea (common cold, sinusitis, s inusitis, adenoiditis) 2. Benda asing dalam hidung 3. Snu ff les (lues congenita).
3
III.7.2. Di Difter fterii Fari Faring :
1. Tonsilitis membranosa akuta oleh karena streptokokus (tonsillitis akuta/ septic septic sore throat) 2. M ononucleosis ononucleosis in f in f ectiosa 3. Tonsilitis membranosa non bakterial 4. Tonsillitis herpetika primer 5. Moniliasis 6. 6. Blood dyscrasia 3
7. Pasca tonsilektomi. t onsilektomi.
III.7. 3. Di Difter fterii Lari aring :
1. I 1. I n f ectious croup yang lain 2. Spasmodic croup 3. Angioneu 3. Angioneurotic rotic edema pada laring 4. Benda asing dalam laring.
3
III.7.4. Di Di hther htheriia K ulit :
1. I 1. I mpetigo mpetigo
25
3
2. Infeksi o.k. streptokokus/sta o.k. streptokokus/sta f f ilokokus.
III.8. Penyu Penyulit
1. Obstruksi jalan nafas Disebabkan oleh karena tertutup jalan nafas oleh membran diphtheria atau oleh karena edema pada tonsil, tonsil, faring, daerah sub mandibular mandibular dan cervical. 2. Efek toksin Penyulit pada jantung berupa miokardioopati toksik bisa terjadi pada minggu ke dua, tetapi bisa lebih dini (minggu pertama) atau lebih lambat (minggu ke enam). Manifestasinya bisa berupa takhikardi, suara jantung redup, bising jantung, atau aritmia. Bisa pula terjadi gagal jantung. Penyulit pada saraf (neuropati) biasanya terjadi lambat, bersifat bersifat bilateral, terutama terutama mengenai saraf motorik dan sembuh sempurna. Kelumpuhan pada palatum molle pada minggu ke-3, suara menjadi sengau, terjadi regurgitasi nasal, kesukaran menelan. Paralisis otot mata biasanya pada minggu ke-5, meskipun dapat terjadi antara minggu ke-5 dan ke-7. Paralisa ekstremitas bersifat bilateral dan simetris disertai hilangnya deep tendon re f lexes, lexes, peningkatan kadar protein dalam liquor cerebrospinalis. cerebrospinalis. Bila terjadi kelumpuhan pada pusat vasomotor dapat terjadi hipotensi dan gagal jantung. 3. Infeksi sekunder dengan bakteri lain 4. Setelah penggunaan antibiotika secara lua s, penyulit ini sudah sangat jarang. 3
III.9. Penatalaksanaan 1.
Isolasi Isolas i dan K aranti arantina
Penderita diisolasi sampai biakan negatif 3 kali berturut-turut setelah masa akut terlampaui. Kontak penderita diisolasi sampai tindakan-tindakan berikut terlaksana : a. biakan hidung dan tenggorok b. seyogyanya dilakukan tes Schick (tes kerentanan terhadap diphtheria) 3
c. diikuti gejala klinis setiap hari sa mpai masa tunas terlewati.
26
Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster dengan toksoid diphtheria. Bila kultur (-)/Schick (-)/ Schick test (-) test (-) : bebas isolasi Bila kultur (+)/Schick (+)/ Schick test (-) test (-) :pengobatan carrier Bila kultur (+)/Schick (+)/ Schick test (+)/gejala test (+)/gejala (-) : anti toksin diphtheria + p enisilin Bila kultur (-)/Shick (-)/ Shick test (+) test (+) : toksoid (imunisasi aktif).
3
2. Pengobatan
Tujuan mengobati penderita diphtheria adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi C. diphtheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit diphtheria.
3
2.1. Umu Umum
Istirahat mutlak selama kurang lebih 2 minggu, pemberian cairan serta diit yang adekwat. Khusus pada diphtheria laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan nebulizer. Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif hal-hal tersebut merupakan indikasi tindakan tra keostomi. keostomi.
3
2.2. K husus : 2.2. 1. Anti Antitoksi toksin : serum anti diphtheria (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis diphtheria. Sebelumnya harus dilakukan tes kulit atau tes konjungtiva dahulu. Oleh karena pada pemberian ADS terdapat kemungkinan terjadinya reaksi anafilaktik, maka harus tersedia larutan Adrenalin Adrenalin 1 : 1000 dalam semprit. 3 Tes kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan garam fisiologis 1 : 1000 secara intrakutan. Tes positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm. 3 27
Tes konjungtiva dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1 : 10 dalam garam faali. Pada mata yang lain diteteskan garam faali. Tes positif bila dalam 20 menit ta mpak gejala konjungtivitis konjungtivitis dan lakrimasi. Bila tes kulit/konjungtiva positif, ADS diberikan dengan cara desensitisasi (Besredka). Bila tes hipersensitivitas tersebut di atas negatif, ADS harus diberikan sekaligus secara tetesan intravena. Dosis serum anti diphtheria ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit, tidak tergantung pada berat badan penderita, dan berkisar antara 20.000-120.000 KI. Dosis ADS di ruang Menular Anak RSUD Dr. Soetomo disesuaikan menurut derajat berat penyakit sebagai berikut :
¿
20.000 KI i.m. untuk diphtheria ringan (hidung, kulit, konjungtiva).
¿
40.000 KI i.v. untuk diphtheria sedang (pseudomembran terbatas pada
tonsil, diphtheria laring).
¿
100.000 KI i.v. untuk diphtheria berat (pseudomembran meluas ke luar
tonsil, keadaan anak yang toksik; disertai "bullneck "bullneck ", ", disertai penyulit akibat efek toksin). Pemberian ADS secara intravena dilakukan secara tetesan dalam larutan 200 ml dalam waktu kira-kira 4-8 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping obat/reaksi sakal dilakukan selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya. Demikian pula perlu dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat ( serum sickness). sickness ).
3
2.2.2. Anti Antimikrobi krobial
Bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk menghentikan produksi toksin. Penisilin prokain 50.000-100.000 KI/BB/hari selama 7-10 hari, bila alergi bisa diberikan eritromisin er itromisin 40 mg/kg/hari.
3
2.2. 3. K orti ortikosteroi kosteroid 28
Belum terdapat persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini pada diphtheria. Di Ruang Menular Anak RSUD Dr. Soetomo kortikosteroid diberikan kepada penderita dengan gejala obstruksi saluran nafas bagian atas dan bila terdapat penyulit penyulit miokardiopati toksik. 3 2.2.4. Pengobatan penyu peny ulit
Pengobatan terutama ditujukan terhadap menjaga agar hemodinamika penderita tetap baik oleh karena penyulit yang disebabkan oleh toksin pada umumnya umumnya reversibel.
3
2.2.5. Pengobatan Carrier
Carrier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai reaksi Schick negatif Schick negatif tetapi mengandung basil diphtheria dala m nasofaringnya. Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin oral atau suntikan, atau eritromisin
selama
satu
minggu.
Mungkin
diperlukan
tindakan
3
tonsilektomi/adenoidektomi.
III. 10. Pencegahan III.10.1 Umu Umum
Kebersiha n dan pengetahuan tentang tenta ng bahaya penyakit ini bagi anak ana kanak. Pada umumnya setelah menderita penyakit difteri kekebalan penderita terhadap penyakit ini sangat rendah r endah sehingga perlu imunisasi.
3
III.10.2. K husus
Terdiri dari imunisasi DPT dan pengobatan pengobatan carrier .
3
29
III. 11. Imu Imunitas III.11.1 Test kekebalan : est : Schi ck ck t es
menentukan kerentanan (suseptibilitas) terhadap diphtheria. Test
dilakukan dengan menyuntikan toksin diphtheria (dilemahkan) secara intrakutan. Bila tidak terdapat kekebalan antitoksik akan terjadi nekrosis jaringan sehingga test positif. est Molon ey t es
3
: menentukan sensitivitas terhadap produk kuman diphtheria.
Tes dilakukan dengan memberikan 0,1 ml larutan fluid difteri toxoid secara suntikan intradermal. Reaksi positif bila dalam 24 jam timbul eritema >10 mm. Ini berarti bahwa : -
pernah terpapar pada basil difteri sebelumnya sehingga terjadi reaksi hipersensitivitas.
-
pemberian toksoid difteri bisa mengakibatkan timbulnya reaksi yang berbahaya.
ekebalan K ekebalan
pasi pasif : diperoleh secara transplasental dari ibu yang kebal
terhadap difteri (sampai 6 bulan) dan suntikan antitoksin (sampai 2-3 minggu). ekebalan K ekebalan
akti aktif : diperoleh dengan cara menderita sakit atau inapparent
in f ection dan imunisasi dengan t oksoid difteri. difteri. 3
III. 12. K ompli omplikasi kasi
Laringitis difteri dapat berlangsung cepat, membran semu menjalar ke laring dan menyebabkan gejala sumbatan. Makin muda pasien makin cepat timbul komplikasi ini. Miokarditis dapat mengakibatkan payah jantung atau dekompensasio kordis.
30
Kelumpuhan otot palatum molle, otot mata untuk akomodasi, otot faring serta otot laring sehingga menimbulkan kesulitan menelan, suara parau dan kelumpuhan otototot pernafasan. Albuminuria sebagai akibat dari komplikasi ke ginjal.
4
III. 13. Prognosa
Sebelum adanya antitoksin dan antibiotika, angka kematian mencapai 30-50 %. Dengan adanya antibiotik dan antitoksin maka kematian menurun menjadi 5-10% dan sering terjadi akibat miokarditis. miokarditis. Prognosa tergantung pada : 1. Usia penderita Makin rendah makin maki n jelek prognosa. Kematian Kemat ian paling sering ditemuka n pada anakanak kurang dari 4 tahun dan terjadi sebagai a kibat tercekik oleh membran difterik. 2. Waktu pengobatan antitoksin Sangat dipengaruhi oleh cepatnya pemberian antitoksin. 3. Tipe klinis difteri Mortalitas tertinggi pada difteri faring-laring (56,8%) menyusul tipe nasofaring (48,4%) dan faring (10,5%) 4. Keadaan umum penderita Prognosa baik pada penderita dengan gizi baik. Difteri yang disebabkan oleh strain gravis biasanya memberikan prognosis buruk. Semakin luas daerah yang diliputi membran difteri, semakin berat penyakit yang diderita. Difteri laring lebih mudah menimbulkan akibat fatal pada bayi atau pada penderita tanpa pemantauan pernafasan ketat. Terjadinya trombositopenia amegakariositik atau miokarditis yang disertai disosiasi atrioventrikuler menggambarkan prognosis yang lebih buruk. buruk.
5
31
DAFT DAFTAR PUST PUSTAK A
1
Adams, GL. Penyakit-penyakit Nas f f aring dan Oro f Oro f aring . Dalam: BO BO IE IE S Buku Ajar Penyakit THT (Fundamentals o f Otolaryngology), Otolaryngology), edisi enam enam.. EGC : Jakarta. 1997. 2
Snell. Buku Ajar I I lmu lmu Anatomi Klinik. Jilid I Jilid I . Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta:
2001. 3
4
www.pediatric.com Soepardi E., Iskandar N. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher . Edisi ke lima. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2004. 5
www.medicastore.com
32