Diantara Dua Tahafut
(Polemik al Ghazali dan Ibn Rusyd dalam
Tiga Permasalahan Metafisika)
Makalah Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Sejarah Pemikiran Islam
Pengampu : Dr Abdul Muhaya
Disusun Oleh:
Panji Suryo Nugroho, S.Kel
(NIM : 065112039)
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2006
Diantara Dua Tahafut
(Polemik al Ghazali dan Ibn Rusyd dalam Tiga Permasalahan Metafisika)
Pendahuluan
Penerjemahan buku-buku, terutama buku-buku filsafat dari Yunani
menjadi penanda tegas bagi terbukanya fase baru dalam dunia pikir Islam.
Gereja Masehi Nestorian dan Yakobites sebagai pewaris kebudayaan Yunani di
dunia timur dan penghubung antara kebudayaan Arab-Islam dengan kebudayaan
Yunani yang mulai menghilang.[1] Permulaan penerjemahan ini dipercaya
banyak ahli pada masa khalifah al Mansur[2] dan mencapai puncaknya pada
masa al Ma'mun.[3]
Masuknya pemikiran filsafat Yunani dalam pemikiran Islam pada mulanya
mendapat penerimaan yang meluas dari kalangan umat Islam[4] walaupun mereka
sendiri terbagi dalam dua posisi yaitu kaum yang menerima dengan total
filsafat Yunani (selanjutnya disebut para filsuf Islam) dan mereka yang
berhati-hati seperti kaum Mu'tazilah.[5]
Sesudah dua setengah abad masa penerimaan terhadap filsafat ini
lahirlah sebuah karya yang menolak filsafat dalam Islam. Karya ini ditulis
oleh al Ghazali dengan judul tahafut al falasifah (kerancuan para filosof),
karya ini menjadi titik awal terkuat bagi penolakan terhadap filsafat yang
kemudian dianggap sebagai penutup pintu bagi filsafat dalam Islam. Kurang
lebih satu abad sesudahnya Ibn Rusyd yang lebih dikenal sebagai Averroes di
kalangan barat mencoba membuka pintu tersebut dengan karyanya tahafut at
tahafut yang merupakan serangan terhadap karya al Ghazali di atas. Tulisan
ini mencoba membahas argumentasi diantara kedua ulama besar tersebut
terutama dalam tiga permasalahan utama metafisika yang menjadi serangan
utama al Ghazali yaitu tentang pengingkaran kebangkitan jasmani,
membataskan pengetahuan Tuhan dalam hal-hal yang besar saja dan kepercayaan
tentang qadimnya alam dan keazaliaannya. Al Ghazali bahkan sampai
mengkafirkan para filsuf dikarenakan ketiga pendapat di atas dalam
permasalahan ini.[6]
Riwayat hidup al Ghazali
Periode kehidupan Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali secara
ringkas dapat dibagi menjadi tiga periode utama[7]. Periode pertama adalah
masa belajar diawali dengan pendidikannya di kota kelahirannya di Tus,
Persia, kemudian ke Gurgan dan akhirnya di Nishapur. Setelah wafatnya sang
guru, Imam al-Haramayn Al-Juwayni, Ghazali pindah ke daerah kekuasaan Nizam
al-Mulk, seorang wazir dari Sultan Seljuq, yang kemudian menunjukkannya
sebagai kepala Lembaga Pendidikan Nizamiyyah di Baghdad pada 484 H/1091 M.
Periode kedua adalah masa keemasan akademisnya dalam di Baghdad (484-8
H/ 1091-5 M). Periode ini berlangsung singkat namun signifikan. Selama masa
ini, selain kesibukannya mengajar di kampusnya dia juga menyibukkan diri
dengan menolak kesesatan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan dari segala
kalangan umat. Bersamaan dengan kekacauan politik setelah pembunuhan Nizam
al-Mulk dan kekerasan yang mengakibatkan kematian Sultan Malikshah, al-
Ghazali mengalami krisis spiritual dan akhirnya meninggalkan Baghdad dengan
meninggalkan seluruh kehidupan dan karir akademisnya yang cemerlang.
Kejadian ini menandai awal periode kehidupannya yang ketiga yaitu masa
pengasingannya (488-505 H/1095-1111 M) dan masa pengajaran kembali di
Nizamiyyah yang singkat. Setelah meninggalkan Baghdad, dia menjalani
kehidupan sebagai seorang Sufi di Syria dan Palestina sebelumnya akhirnya
kembali ke Thus, dimana dia mengikatkan diri dengan menulis, menjalani
Sufisme dan mengajarkannya sampai wafat.
Riwayat hidup Ibn Rusyd
Abu'1 Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Rushd atau lebih
terkenal sebagai Averroes di dunia Barat, lahir pada 520 H/1126 M di
Cordoba. Dia berasal dari keluarga ternama yang menjadi pejabat publik
seperti dirinya kelak yang juga menjadi qadi meneruskan ayahnya selama masa
pergantian politik di Andalusia, dia tidak selalu disukai bahkan sempat
diusir ke Afrika Utara ketika berusia tujuh puluhan. Dia wafat pada 595 H/
1198 M setelah rehabilitasi namanya namun pandangan keagamaannya tetap
dicurigai oleh masyarakat.[8]
Permasalahan Qadimnya alam
Para filosof berpendapat bahwa alam ini qadim dengan argumentasi yang
pertama sebagai berikut.
"Sesuatu yang temporal (hadits) mustahil terjadi dari suatu yang
eternal, kekal (qadim). Karena, seandainya kita, misalnya, mengandaikan
Yang Eternal (al Qadim) itu sudah ada pada suatu masa, yaitu ketika alam
ini belum lagi muncul dari-Nya, maka alasan mengapa (alam) ini belum lagi
muncul itu harus disebabkan belum adanya faktor penentu (murajjih) bagi
eksistensinya, dan karena itu eksistensi alam ini tidak lain dari sekedar
kemungkinan semata. Maka, ketika alam ini terwujud, tentu kita harus
memilih satu diantara dua alternatif yaitu apakah faktor penentu tersebut
telah, atau belum, muncul. Seandainya faktor itu belum muncul maka alam ini
tentu masih dalam keadaan kemungkinan semata, sebagaimana ia (ada)
sebelumnya. Tetapi seandainya faktor penentu itu telah muncul, maka siapa
yang mula-mula memunculkan faktor penentu itu sendiri dan mengapa baru
muncul sekarang, bukan sebelumnya? Nah! Munculnya faktor penentu itu
sendiri sekarang sekarang menjadi masalah."[9]
Secara lebih jelas dikatakan dalam pertanyaan yang lebih sederhana
adalah apabila Tuhan bersifat qadim sedangkan alam adalah baru maka ketika
Tuhan menciptakan alam timbul pertanyaan mengapa Tuhan tiba-tiba
menciptakan alam itu. Mengapa Tuhan memilih waktu tersebut untuk mencipta?
Apakah yang menyebabkan timbulnya keinginan untuk mencipta tersebut? Tidak
mungkin bisa diterima adanya penyebab dari luar yang mengakibatkan Tuhan
tiba-tiba ingin menciptakan alam semesta itu. Karena itulah maka dapat
dikatakan bahwa alam ini haruslah qadim, bukan baru.
Al Ghazali menjawab pernyataan ini dengan perkataan bahwa termasuk
dalam keinginan Tuhan untuk menciptakan alam ini sesuai dengan waktu yang
diinginkan-Nya. Jadi mengapa Tuhan memilih satu waktu tertentu dari sekian
waktu yang mungkin, bukan waktu yang lainnya, adalah termasuk dalam
keinginan-Nya. Keinginan Tuhan adalah mutlak dan tidak perlu dipertanyakan
karena apabila dipertanyakan maka kehendak itu tidak lagi bersifat mutlak
melainkan memiliki keterbatasan.[10]
Argumen kedua yang diajukan oleh para filsuf adalah dengan pernyataan
sebagai berikut. Perkataan bahwa alam mengikuti Tuhan ada dua kemungkinan
yang pertama adalah alam mengikuti Tuhan bukan menurut waktu melainkan
zatnya, disini diumpamakan sebagai angka dua yang mengikuti angka satu jadi
keduanya mungkin ada dalam masa yang sama. Sebab lain yang mungkin adalah
seperti keterdahuluan sebab atas akibat seperti berubahnya gerakan bayangan
karena bergeraknya seseorang jadi mereka ada pada waktu yang sama namun
yang satu menjadi akibat. Meskipun keduanya berlangsung bersamaan, kedua-
duanya tersebut harus bersifat temporal atau eternal. Mustahil apabila yang
satu eternal sedangkan yang satu temporal.
Kemungkinan kedua adalah Tuhan mendahuli alam menurut waktu jadi ada
masa ketika alam belum ada tetapi Tuhan ada. Karena adanya Tuhan tidak
mempunyai permulaan maka masa itu adalah masa hampa tersebut tidak memiliki
permulaan tetapi memiliki akhiran yaitu ketika alam tercipta dan alasan itu
tidak bisa diterima.[11]
Al Ghazali menjawab bahwa waktu adalah mempunyai suatu permulaan dan
ia diciptakan. Sebelum waktu maka sama sekali tidak ada waktu. Jadi, ketika
dikatakan bahwa Tuhan mendahului alam dan waktu maka artinya Tuhan ada dan
alam tidak kemudian ketika Dia ada dan alam ada bersama-sama dengan-Nya
maka hal itu terbatas pada zat saja tanpa harus melibatkan komponen ketiga
yaitu waktu. Apabila dipaksakan khayalan tentang hal ketiga maka kesalahan-
kesalahan khayalan tidak akan dapat dihindarkan.[12]
Argumen ketiga yang diajukan oleh para filsuf adalah bahwa adanya
wujud memiliki tiga kemungkinan yaitu yang wajib wujud, tidak mungkin
(mustahil) wujud dan yang mungkin wujud. Alam ini sebelum ada termasuk yang
ketiga yaitu baru merupakan sebuah kemungkinan/potensi sebelum dia benar-
benar ada. Kemungkinan wujud itu adalah sifat yang membutuhkan perkara lain
sebagai tempat seperti contoh benda bisa panas atau dingin, bisa hitam atau
putih sehingga karena wujud alam sebagai potensi ini sudah ada sejak azali
maka tidak mungkin alam ini baru adanya.[13]
Al Ghzali menjawab dengan argumen sebagai berikut bahwa semua itu
adalah pekerjaan dari pikiran. Dia mempertanyaka apabila sesuatu yang
mungkin wuju membutuhkan perkara lain sebagai tempat maka mengapa tidak
diperlukan tempat bagi sesuatu yang tidak mungkin (mustahil) wujud dan yang
kedua adanya sifat hitam atau putih sudah kita ketahui sebelumnya tanpa
kita mengenal benda yang menjadi sandaran sifat tersebut. Jadi argumen
ketiga ini juga bersifat lemah.[14]
Ibn Rusyd berpendapat bahwa Tuhan adalah pembuat alam ini namun yang
jadi permasalah adalah mendahulinya zaman atas alam atau zaman dan alam itu
wujud bersama-sama. Bagi Ibn Rusyd alam ini qadim karena dia wujud dengan
kemauan Tuhan dan kemauan-Nya tidak bisa ditolak dengan tidak ada permulaan-
Nya.[15] Jadi secara garis besar Ibn Rusyd sependapat dengan para filsuf
tentang qadimnya alam namun dia memberi catatan bahwa azalinya Tuhan
berbeda dengan azalinya alam dalam perimbangan pikiran.[16]
Permasalahan ilmu Tuhan terhadap hal yang kecil
Para filsuf berpendapat bahwa Tuhan tidak mengetahu sesuatu pun
kecuali Diri-Nya sendiri. Tuhan hanya mengetahui sesuatu secara umum dan
bukan hal-hal yang kecil. Secara garis besar dikatakan bahwa karena keadaan
berubah-ubah maka apabila Tuhan dan adanya pengetahuan akan merubah yang
mengetahui dari tidak tahu menjadi maka keadaan yang berubah-ubah akan
merubah ilmu Tuhan dan menyebabkan berubahnya Tuhan yang mana hal itu
adalah mustahil. Karena itulah maka pengetahuan Tuhan harus mencakup hal-
hal yang bersifat azali saja, bukan suatu yang mengenai detil-detil
peristiwa.[17]
Al Ghazali menjawab hal tersebut dengan menyatakan bahwa ilmu adalah
suatu tambahan dan bukan suatu yang terkait dengan zat. Karena itulah
perubahan dalam ilmu Tuhan tidak serta merta harus berpengaruh pada
berubahnya zat-Nya. Selain itu al Ghazali juga mempertanyakan bukankah para
filsuf berpendapat bahwa alam ini azali namun dapat menerima perubahan jadi
mengapa kalau hal tersebut (perubahan) dapat diterima oleh alam mengapa
tidak boleh diterima oleh Tuhan ?[18]
Ibn Rusyd berpendapat dalam Faslul Maqal sebagai berikut[19]
"Bagi kami cara untuk menghilangkan keragu-raguan ialah mengetahui
bahwa keadaan ilmu qadim terhadap wujud berbeda dengan keadaan ilmu baru
terhadap wujud sebab adanya wujud tersebut menjadi sebab dan illat bagi
ilmu kita sedangkan ilmu qadim menjadi sebab dan illat bagi wujud."
Jadi dapat dilihat bahwa Ibn Rusyd tidak dapat menerima bila Tuhan
tidak mengetahui hal-hal yang kecil (dalam hal ini al Ghazali dan Ibn Rusyd
memiliki kesamaan tujuan dalam berpendapat) namun Ibn Rusyd mengambil
solusi dengan membedakan antara ilmu qadim dan ilmu baru. Kalau ilmu baru
diakibatkan adanya wujud maka ilmu qadim justru sebaliknya mengakibatkan
adanya wujud.[20]
Permasalahan kebangkitan jasmani
Para filsuf menolak adanya kebangkitan jasmani, adanya surga dan
neraka dan hal-hal serupa dengan menyebutkan bahwa hal ini adalah
simbolisme yang diberikan Tuhan agar permasalahan agama lebih mudah
dipahami bagi masyarakat awam. Dengan argumentasi tentang keagungan jiwa
atas tubuh maka mereka berpendapat bahwa pengembalian jiwa kepada badan
memiliki tiga kemungkinan yang pertama adalah Tuhan mengembalikan badan
yang sudah tidak ada (menjadi tanah) ketika manusia mati dan hal ini adalah
tidak mungkin menurut para filsuf. Yang kedua adalah karena badan itu sudah
dimakan ulat dan sudah berubah menjadi hal lain maka sulit untuk
dikumpulkan kembali. Pertanyaan juga muncul apabila orang memakan tubuh
orang lain (kanibal) maka badannya satu tapi manusianya dua dan para filsuf
menolak itu. Kemungkinan ketiga adalah dikembalikannya jiwa ke dalam badan
baik itu yang semula maupun badan yang lain yang berbeda dan kemungkinan
ini berarti menyetujui teori reinkarnasi yang bertentangan dengan ajaran
agama.[21]
Al Ghazali setuju bahwa jiwa manusia tetap ada sesudah matinya, dia
menjawab dengan mendasarkan pada QS 3: 169
Jangan engkau kira bahwa mereka yang terbunuh di jalan Allah itu mati,
bahkan mereka itu hidup disisi Allah mendapat rizki dan gembira
Yang penting bagi al Ghazali adalah kembalinya sesuatu alat kepada
manusia sehingga dia bisa merasakan kembali kelezatan atau kepedihan
jasmani. Bagaimanapun bentuknya alat tersebut maka yang paling penting
adalah kembalinya (kebangkitan) itu adalah sesuatu yang benar-benar
terjadi. Lagipula mengapa tidak Tuhan yang mampu menciptakan manusia dari
air mani untuk mengembalikan manusia dari tulang yang berserakan dan telah
dimakan ulat?[22]
Ibn Rusyd menyikapi hal diatas dengan memahami maksud agama. Dia
menekankan bahwa maksud penggambaran dengan hal-hal material akan lebih
mudah dipahami bagi awam dibandingkan penggambaran yang bersifat rohaniah.
Sebagai kesimpulan dia menyatakan bahwa sebenarnya alam akhirat adalah alam
lain yang lebih tinggi dari dunia ini dan hal ini harus bisa diterima
sebagai fase lain dari alam dunia ini.[23]
Penutup
Apabila dalam ketiga permasalahan metafisika diatas al Ghazali sampai
menganggap para filsuf yang berpendapat seperti itu adalah kafir (atheis)
maka Ibn Rusyd tidak demikian. Dia menganggap pengkafiran dalam kebangkitan
jasmani tidak beralasan karena hanya semata-mata perbedaan teori.
Pengkafiran dalam tidak mengetahuinya Tuhan terhadap masalah kecil ini
dikarenakan kesalah pahaman dalam memahami pendapat para filsuf dan
pengkafiran dalam qadimnya alam adalah karena pemahaman yang berbeda
saja.[24]
Daftar Pustaka
al Ghazali. 1986. "Tahafut al Falasifah: Kerancuan Para Filosouf (terj:
Ahmadie Thaha)". Panjimas. Jakarta
Hanafi, Ahmad. 1996. "Pengantar Filsafat Islam." Bulan Bintang. Jakarta
Himawijaya. 2004. "Mengenal al Ghazali for Teens: Keraguan adalah Awal
Keyakinan". DAR! Mizan. Bandung
Ibn Rushd. tt. "Tahafut al Tahafut: The Incoherence of Incoherence
(diterjemahkan kedalam bahasa Inggris oleh Simon van den Bergh)". The
Trustees of the E J W Gibb Memorial. diambil dari alamat
http://www.muslimphilosophy.com/ir/tt/
Kartanegara, Mulyadi. 2002. "Menembus Batas Waktu; Panorama Filsafat
Islam". Mizan. Bandung
Rahman, Fazlur. 2001. "Gelombang Perubahan dalam Islam; Studi tentang
Fundamentalisme Islam". Rajawali Press. Jakarta
Nakamura, Kojiro. 2004. " AL-GHAZALI, ABU HAMID (1058-1111)".
http://www.ghazali.org/articles/gz1.htm
http://www.muslimphilosophy.com/ir/art/ibn%20rushd-rep.htm
-----------------------
[1] Ahmad Hanafi. 1996. "Pengantar Filsafat Islam." Bulan Bintang.
Jakarta hlm 40
[2] Penerjemahan bukanlah satu-satunya cara penyebaran ilmu ini. Jalan
lain dapat melalui tradisi lisan melalui pergaulan dengan mereka terutama
golongan Nestorian dan Yakobites. Lihat Ahmad Hanafi. Op cit hlm 41
[3] Ahmad Hanafi. Op cit. hlm 40
[4] Apabila penolakan Asy'ari terhadap rasionalitas kaum Mu'tazilah
dianggap sebagai penolakan tidak langsung terhadap filsafat maka penolakan
itu baru terjadi sesudah satu abad penerimaan filsafat di kalangan umat
Islam. Menurut sebagian penulis penolakan yang secara langsung terhadap
filsafat baru terjadi sesudah ditulisnya Tahafut al Falasifah oleh al
Ghazali. (Ahmad Hanafi. Op cit. hlm 53)
[5] Perbedaan utama antara keduanya adalah kalau para filsuf Islam tekun
mengahadapi buku-buku filsafat yang sudah diterjemahkan maka kaum
Mu'tazilah tetap pada tugasnya semula yaitu mempertahankan agama. (Ahmad
Hanafi. Op cit. hlm 53)
[6] Ahmad Hanafi. Op cit. hlm 137
[7] Pembagian ini berdasarkan pada Kojiro Nakamura. 2004. " AL-GHAZALI,
ABU HAMID (1058-1111)". http://www.ghazali.org/articles/gz1.htm
[8] http://www.muslimphilosophy.com/ir/art/ibn%20rushd-rep.htm
[9] al Ghazali. 1986. "Tahafut al Falasifah: Kerancuan Para Filosouf
(terj: Ahmadie Thaha)". Panjimas. Jakarta. hlm 16, kata-kata dalam kurung
adalah dari penerjemah (Ahmadie Thaha) untuk mempermudah pemahaman pembaca.
[10] kesimpulan diambil penulis dari hasil pembacaan dari penjelasan yang
panjang lebar dalam bentuk tanya jawab fiktif antara penulis al Ghazali
dengan para filsuf dalam al Ghazali. 1986. "Tahafut al Falasifah: Kerancuan
Para Filosouf (terj: Ahmadie Thaha)". Panjimas. Jakarta. Hlm 17-35 dibantu
juga dengan ringkasan dalam Ahmad Hanafi. 1996. "Pengantar Filsafat Islam."
Bulan Bintang. Jakarta hlm 145-146
[11] al Ghazali. Op cit. hlm 36
[12] pemahaman yang diambil penulis dari pembacaan atas al Ghazali. Op
cit. hlm 37-45
[13] al Ghazali. Op cit. hlm 45-46
[14] Hasil pembacaan dari Ahmad Hanafi. op cit hlm 147-148
[15] Ahmad Hanafi. op cit hlm 179
[16] Ibn Rushd. tt. "Tahafut al Tahafut: The Incoherence of Incoherence
(diterjemahkan kedalam bahasa Inggris oleh Simon van den Bergh)". The
Trustees of the E J W Gibb Memorial. diambil dari alamat
http://www.muslimphilosophy.com/ir/tt/
[17] pemahaman yang diambil penulis dari pembacaan atas al Ghazali. Op
cit. hlm 163-168 dibantu dengan Ahmad Hanafi. op cit hlm 148-149
[18] kesimpulan penulis dapatkan dari al Ghazali. Op cit. hlm 168-173
dibantu dengan Ahmad Hanafi. op cit hlm 149-150
[19] Ahmad Hanafi. op cit hlm 182
[20] pembacaan dari Ibn Rushd. op cit. dan Ahmad Hanafi. op cit hlm 180-
183
[21] al Ghazali. Op cit. hlm 243-261 dan rangkuman dari Ahmad Hanafi. op
cit hlm 150-152
[22] ibid
[23] pembacaan dari Ibn Rushd. op cit. dan Ahmad Hanafi. op cit hlm 183-
186
[24] Ahmad Hanafi. op cit hlm 186-186