Depresi Pernapasan: Insiden, Diagnosis, dan Pengobatan
Dermot R. Fitzgibbon
Efekti Efektivit vitas as keselu keseluruh ruhan an dari dari suatu suatu teknik teknik analge analgesik sik tergant tergantung ung pada pada adekua adekuatny tnyaa pengurangan nyeri dan insiden dari efek samping atau komplikasinya. Opioid mewakili kelas analgesik utama untuk mengobati nyeri berat dan tidak berkurang dan digunakan secara luas pada pengobatan nyeri yang terkait dengan pembedahan atau kondisi yang kronis. Teknik analgesia post operasi paling modern menggabungkan pemberian opioid neuraxial (dengan atau atau tanpa tanpa anes aneste tesi si loka lokal) l) atau atau sist sistem emik ik (bia (biasa sany nyaa deng dengan an meto metode de patient-controlled Meskip ipun un pemb pember eria ian n opio opioid id adal adalah ah lazi lazimn mnya ya aman aman di bang bangsa sall analge analgesia sia [PCA] [PCA]). Mesk pembedahan1, dapat juga terjadi depresi pernapasan akibat opioid dan mempunyai potensi terhadap morbiditas dan mortalitas. Komplikasi serius atau kematian dari depresi pernapasan akibat akibat opioi opioid d adalah adalah jarang, jarang, tetapi tetapi risiko risikony nyaa bukanl bukanlah ah nol, nol, dan kemati kematian an atau cedera cedera neurologis bagi pasien dengan penyakit yang bisa diobati adalah tragis. Pada Juli 2000,
Commissio Commission n on Accredit Accreditati ation on of Health Health Care Organiza Organizatio tions ns (JCAHO) (JCAHO) mengembangkan standard standard barunya barunya membuat harapan harapan tinggi dalam penilaian penilaian dan penangan penangan nyeri di rumah saki sakitt dan dan pusa pusatt kese keseha hatan tan lain lainny nyaa di Ameri Amerika ka..3 Sebaga Sebagaii tangga tanggapan pan,, banyak banyak instit institusi usi mengimplementasi perawatan yang didasarkan pada laporan pasien terhadap intensitas nyeri yang diditunjukkan dengan skala numerik. Vila dkk 4 melaporkan bahwa insiden dari sedasi berlebihan opioid per 100,000 pasien raawat inap di rumah sakit meningkat dari 11.0 pre–
numeric pain treatment algorithm (NPTA) ke 24.5 post–NPTA (P <.001). Dari pasien ini, 94% dilapo dilaporka rkan n mengal mengalami ami penuru penurunan nan tingka tingkatt kesada kesadaran ran sebelu sebelum m kejadi kejadian. an. Meskip Meskipun un terdapat peningkatan pada kepuasan pasien, penulis melaporkan terdapat peningkatan 2 kali lipat sedasi berlebihan opioid memberikan reaksi obat yang merugikan setelah implementasi NPTA. Sebelum mengalami sedasi berlebihan pioid adverse drug reaction (ADR) , tercatat skala nyeri numerik secara luas bervariasi memberi kesan bahwa keberadaan nyeri tidak melindungi komplikasi komplikasi ini atau bahwa pemakaian opioid disebabkan disebabkan oleh faktor-faktor lain selain nyeri.5 Sehubungan dengan overdosis opioid dan kematian adalah tidak terbatas hanya pada pasien perioperatif rawat inap. Kematian overdosis obat yang diresepkan meningkat di
1
Amerika dan seluruh dunia sebagaimana keduanya penggunaan resep obat medis dan non medis, terhadap opioid meningkat. 6 Paulozzi dkk 7 melaporkan bahwa, antara 1999 dan 2002, keracunan keracunan analgesik opioid melampaui melampaui kokain kokain dan heroin sebagai tipe keracunan obat yang 8 palin paling g sering sering ditemu ditemukan kan di sertif sertifika ikatt kemati kematian. an. Frankl Franklin in dkk melaporkan melaporkan peningkata peningkatan n
kematian yang berkaitan dengan peresepan opioid, dari 1995 hingga 2002, pada pasien yang menerima opioid untuk nyeri kronis bukan kanker. White dan Irvine 9 membahas mekanisme overdo overdosis sis opioid opioid yang yang fatal fatal dan, dan, meskip meskipun un pemaha pemahaman man tentan tentang g dasar dasar farmak farmakolo ologi gi dari dari depresi pernapasan disebabkan opioid telah maju, penelitian yang lebih lanjut di bidang ini diwajibkan. Bab ini mengulas pemahaman kita tentang depresi pernapasan yang disebabkan oleh opioid. DEFINISI DAN INSIDEN DARI DEPRESI PERNAPASAN YANG DIPICU OLEH OPIOID PADA PERIODE PERIOPERATIF
Istila Istilah h depres depresii pernap pernapasa asan n tidak tidak memilik memilikii defini definisi si yang yang jelas jelas meskip meskipun un banyak banyak penelitian menggunakan istilah tersebut, tetapi tidak menjelaskannya.10 Dari penelitian yang mencoba untuk menjelaskan depresi pernapasan, insiden dari depresi pernapasan yang dipicu oleh opioid sulit sulit untuk dibandingkan dibandingkan karena variabilitas variabilitas dalam definisi definisi yang digunakan. digunakan. Depres Depresii pernap pernapasa asan n paling paling sering sering diartik diartikan an sebaga sebagaii penuru penurunan nan frekuen frekuensi si pernap pernapasa asan n (mis (misaln alnya ya,, <8 napa napass per per meni menit, t, <10 <10 napa napass per per meni menit) t) atau atau penu penuru runa nan n freku frekuen ensi si dan dan kedalaman kedalaman pernapasan pernapasan dari basalnya. basalnya. Ini biasanya biasanya tidak meperhitungkan meperhitungkan hipoventilasi hipoventilasi yang disebabkan oleh pernapasan dangkal atau respirasi yang tidak efektif diakibatkan dari sedasi, meskipun peningkatan level sedasi yang berlebihan telah digunakan. 11 Depresi pernapasan juga juga didefi didefinis nisika ikan n sebaga sebagaii penuru penurunan nan satura saturasi si oksige oksigen n (O2) yang yang diuk diukur ur deng dengan an pulse
oximetry atau dengan tekanan parsial karbon dioksida (CO 2) > 50 mmHg. Akhirnya, depresi pernafasan juga dapat didefinisikan sebagai insiden kritis dimana intervensi dengan opioid antagonis (Nalokson) dibutuhkan. Sedasi sering muncul pada periode post operasi dan dapat menyebabkan keprihatinan. Pada pasien post operatif, sedasi telah dilaporkan terjadi pada 83% pasien yang menerima morfin intramuskular.12 Sedasi berlebihan dapat dipertimbangkan sebagai tanda klinis awal depresi depresi pernapasan pernapasan13 meskip meskipun un bukti bukti untuk untuk hal ini sediki sedikitt dalam dalam literat literatur. ur. Sedasi Sedasi dapat dapat didefinisik didefinisikan an sebagai sebagai "somnolen "somnolens" s" atau "mengantuk "mengantuk," ," dan ketika ketika mendefinisi mendefinisikan kan sedasi, sedasi, derajat respon sedasi juga harus disertakan. Suatu skala sedasi untuk memantau pasien yang menerima opioid parenteral atau neuraxial dikembangkan oleh Ready dkk. 2 Kemampuan untuk memantau sedasi yang dipicu oleh opioid dianggap penting dan secara rutin digunakan 2
oleh Acute Pain Services (APS).14 Insiden dari sedasi yang dipicu opioid tergantung pada teknik analgesia yang digunakan. Dolin dan Cashman 15 telah meneliti insiden dari sedasi yang dipicu opioid untuk teknik analgesik umum yang digunakan untuk penanganan nyeri post operasi (Tabel 26.1). Sedasi ringan adalah umum (insiden 24%), tapi hal ini kurang signifikan secara klinis, meskipun mungkin tidak menyenangkan bagi pasien. Sedasi berat adalah jarang dengan insiden 2,6%. Analgesia opioid intramuscular (IM) dan PCA IV memiliki insiden sedasi yang sama, sedangkan analgesia epidural mempunyai insiden sedasi yang terendah. 15 Tabel 26.1: Insiden Dari Sedasi Ringan dan Berat Oleh Teknik Analgesik (IM,PCA IV,Epidural) a
SEDASI
__ _____________________ Parameter
Teknik Analgesik
Sedasi ringan
Semua IM
Sedasi berat
Jumlah Pasien 9451
Mean (%) 23.9
95% CI 23.0%–24.8%
352
53.7
48.3%–59.0%
PCA IV
1822
56.5
54.2%–58.8%
Epidural
7277
14.3
13.5%–15.1%
15 522
2.6
2.3%–2.8%
IM
1528
5.2
4.1%–6.4%
PCA IV
3763
5.3
4.6%–6.4%
Epidural
10 231
1.2
0.9%–1.4%
Semua
Bahan, dimodifikasi dengan izin, dari Dolin SJ, Cashman JN. Tolerabilitas penanganan nyeri akut post operasi : mual, muntah, sedasi, gatal-gatal, dan retensi urin. Bukti dari data yang diterbitkan. Br J. Anaes, 2005; 95:584591.15
Insiden dari depresi pernapasan merupakan indikasi keselamatan teknik analgesik yang menggabungkan penggunaan opioid. Data dari kebanyakan audit memberi kesan bahwa insiden depresi pernapasan dipicu opioid dari penggunaan PCA adalah dari 0,1% sampai 0,8% .16-22 Sejumlah besar pasien dewasa telah menunjukkan risiko depresi pernapasan yang meningkat (secara keseluruhan berkisar dari 1,1% menjadi 3,9%) bila infus digunakan dengan PCA.18-20,
23
Ketika epidural digunakan untuk menghilangkan nyeri post operatif,
insiden depresi pernapasan tergantung pada batas tertentu dimana opioid telah digunakan
3
sebagai tambahan pada anestesi lokal. Beberapa penelitian prospektif besar pada pemberian opioid hanya pada epidural menunjukkan bahwa kejadian depresi pernapasan bervariasi antara 0,2% dan 1,2% dari pasien. 2, 24,25 Ini mungkin lebih rendah dari kejadian dengan PCA, meskipun keduanya belum dibandingkan secara resmi. Cashman dan Dolin 26 memeriksa bukti-bukti dari data yang diterbitkan tentang keamanan ketiga teknik analgesik (IM, PCA, dan opioid epidural) setelah operasi besar (Tabel 26.2). Studi kohort, studi kontrol kasus, dan laporan audit serta uji klinis kontrol secara acak telah dimasukkan dalam analisis ini. Laporan kasus tidak termasuk. Kriteria yang digunakan untuk mendefinisikan depresi pernapasan termasuk frekuensi ventilasi, saturasi O 2 perkutaneus, analisis gas darah arteri, dan kebutuhan untuk memberikan rangsangan pernapasan. Dari semua itu, frekuensi ventilasi adalah paling sering digunakan sebagai kriteria. Frekuensi ventilasi kurang dari 10 napas per menit adalah angka ambang batas yang paling umum. Ketika pulse oximetry digunakan untuk mengidentifikasi depresi pernapasan, saturasi O 2 kurang dari 90% paling sering dilaporkan, meskipun batas seperti saturasi kurang dari 95%, 85%, atau bahkan 80% juga digunakan. Sebaliknya, analisa gas darah arteri, yang relatif invasif, lebih jarang digunakan. Apabila analisis gas darah digunakan, suatu tekanan parsial CO 2 yang > 50 mm Hg sering digunakan sebagai batas. Rata-rata (95% CI) insiden depresi pernapasan dari ketiga teknik analgesik adalah 0,3 (0,1% -1,3%) menggunakan kebutuhan nalokson sebagai indikator, 1.1 (0,7% -1,7%) menggunakan hipoventilasi sebagai indikator, 3.3 (1,4% - 7,6%) menggunakan hiperkarbia sebagai indikator, dan 17.0 (10,2% - 26,9%) menggunakan desaturasi O 2 sebagai indikator. Untuk analgesia IM opioid, rata-rata (95% CI) insiden depresi pernapasan bervariasi antara 0,8 (0,2% -2,5%) menggunakan hipoventilasi sebagai indikator dan 37.0 (22,6% - 45,9%) menggunakan hipoventilasi dan desaturasi O 2 sebagai indikator. Untuk PCA, rata-rata (95% CI) insiden depresi pernapasan bervariasi antara 1.2 (0,7% -1,9%) dan 11.5 (5,6% -22,0%), menggunakan hipoventilasi dan desaturation O2, sebagai indikator. Untuk analgesia epidural, rata-rata (95% CI) insiden depresi pernapasan bervariasi antara 1.1 (0,6% -1,9%) dan 15.1 (5,6% -34,8%), menggunakan hipoventilasi dan O 2 desaturasi sebagai indikator. Parameter yang digunakan untuk mendefinisikan depresi pernapasan memiliki pengaruh besar pada insiden depresi dan dengan jelas menunjukkan bahwa menggunakan desaturasi O2 sebagai parameter tunggal cenderung meningkatkan insiden. Merurut laporan, dosis morfin intratekal sebanyak 0,5-dan 1,0 mg yang diberikan pada pasien kanker post operasi dapat memberikan efek analgesia selama 15-22 jam tanpa depresi pernapasan atau somnolens. 27 Namun, ada juga laporan yang mendapatkan insiden
4
yang sangat tinggi dari depresi pernapasan yang tertunda, meskipun dosis morfin yang digunakan adalah sangat besar (2-15 mg). 28,29 Selanjutnya, morfin dosis kecil atau "minidose" (<1,0 mg) dilaporkan efektif untuk menangani nyeri akut post operasi setelah berbagai operasi tanpa depresi pernapasan.30 Pemberian morfin dengan metode intratekal telah dikaitkan dengan timbulnya depresi pernapasan yang tertunda.29,31,32 Morfin intratekal menghasilkan depresi pernapasan terkait dosis . 31 Puncak depresi terjadi antara 3.5 sampai 12 jam setelah injeksi.31
33,34
Insiden depresi pernapasan berkisar dari 0,03% sampai 7%.
14,35
Pemberian opioid parenteral bersamaan dengan opioid spinal dianggap sebagai faktor risiko yang signifikan untuk terjadinya depresi pernapasan.13 Namun, menurut laporan Gwirtz dkk 36, penggunaan rutin opioid IV yang diberikan bersamaan dengan PCA untuk sekitar 6000 pasien urologi, ortopedi, umum/vaskuler, thoracic, dan ginekologi
yang juga menerima
morfin intratekal tidak menimbulkan depresi pernapasan, dan memberi kesan bahwa suplementasi opioid parenteral adalah aman dan wajar untuk praktek. Table 26.2: Laporan Insiden Depresi Pernapasan yang Disebabkan oleh Teknik Analgesik (IM, PCA IV, Epidural) dengan Frekuensi Ventilasi, O 2 Saturasi, PaCO2, dan Penggunaan Nalokson sebagai Indikator.
Depresi pernapasan
____________________ Parameter Frekuensi ventilasi
Saturasi O2
PaCO2
Teknik Analgesik
Jumlah Pasien
Mean (%)
95% CI__
Semua
29,607
1.1
0.7%–1.7%
IM
1590
0.8
0.2%–2.5%
PCA IV
6922
1.2
0.7%–1.9%
Epidural
21,035
1.1
Semua
1516
17.0
10.2%–26.9%
IM
246
37.0
22.6%–45.9%
PCA IV
707
11.5
5.6%–22.0%
Epidural
563
15.1
5.6%–34.8%
3170
3.3
1.4%–7.6%
Semua
0.6%–1.9%
IM
1508
1.3
0.7%–2.3%
PCA IV
301
1.3
0.2%–7.7%
Epidural
1361
6.0
2.1%–15.6%
5
Penggunaan Nalokson
Semua IM
55,404
0.3
0.1%–1.3%
71
1.4
0.1%–12.7%
PCA IV
4691
1.9
1.9%–2.0%
Epidural
50,642
0.1
0.1%–0.2%
Bahan, dimodifikasi dengan izin, dari Cashman JN, Dolin SJ. Efek pernapasan dan hemodinamik pada penanganan nyeri akut post operasi: bukti dari data yang diterbitkan. Br J. Anaes , 2004; 93:212-223. 26
ANATOMI DAN FISIOLOGI RESPIRASI
Berbeda dengan kontraksi jantung yang dikendalikan secara internal di jantung, respirasi tergantung sepenuhnya pada input eksternal dari susunan saraf pusat (SSP). Meskipun ada pengaruh dari daerah kortikal dan daerah lainnya, kontrol pernapasan terutama terlokasi di batang otak. Neuron pernapasan terletak di dua regio medula yang berbeda:
dorsal respiratory group (DRG) di nukleus ventrolateral traktus soliter dan ventral respiratory group (VRG) di medula ventrolateral (Gambar 26.1). VRG ini dibagi lagi menjadi kaudal, intermediate, rostral, kompleks pre-Botzinger, dan Botzinger. Kelompok pernapasan yang ketiga kurang dijelaskan, terletak di nukleus medial parabrachial dan nukleus Kolliker-Fuse; kelompok ini sekarang disebut pontine respiratory group (PRG), sebelumnya disebut pneumotaxic center . Pada DRG dan VRG berisi output dari neuron bulbospinal dan kebanyakan memiliki cabang-cabang dari medula.37 Tampak bahwa generator ritme pusat pernapasan terletak di dalam sub-daerah dari VRG. 38, 39 Serat eferen berasal dari VRG yang mempersarafi otot-otot dari respirasi. Jadi, VRG ini mungkin terlibat dalam membentuk output motor dan bukannya menjadi sumber dari pola ritme. Neuron VRG juga dipengaruhi oleh persarafan dari pons. Meskipun daerah pons tidak penting untuk ritme pernapasan, tetapi daerah ini dapat mempengaruhi fase pernapasan pada waktu tertentu. Generasi ritme pernapasan membutuhkan fase aktivasi dan inhibisi. Neurotransmiter dan reseptor utama yang memediasi setiap proses telah diidentifikasi. Di dalam VRG, eksitasi dimediasi oleh eksitasi asam amino yang bertindak pada reseptor glutamat,
39
sedangkan
inhibisi glutamat dimediasi, oleh asam ƴ -aminobutyric (GABA) yang bertindak atas reseptor GABA.41,
42
Glutamat bertindak terutamanya di non-N-metil-D-aspartic acid (NMDA)
reseptor dalam jaringan untuk menghasilkan ritme pernapasan dalam persiapan neonatus invitro, tapi ia juga melibatkan reseptor NMDA dalam hewan dewasa yang sehat. Terdapat
6
bukti peran, baik reseptor NMDA dan non-NMDA pada kontrol pernapasan pada DRG, VRG, dan pons. 40 43 Reseptor GABA ditemukan dalam di DRG dan VRG dengan densitas yang relatif tinggi. Glycine juga dapat berperan dalam memproduksi inhibisi dalam pusat ini.41 Penyesuaian dalam laju dan pola pernapasan terjadi sebagai respon terhadap input dari sumber perifer. Reseptor peregangan, yang memberikan informasi tentang tingkat inflasi paru-paru, membentuk satu sumber. Reseptor peregangan bertindak pada inflasi dengan input ke DRG melalui saraf vagus. Kemoreseptor yang terletak dalam badan karotis dan aorta akan bertindak pada perubahan gas darah. Sel yang khusus dalam zona ini dirangsang oleh penurunan O2 dan, pada tingkat lebih rendah, dengan peningkatan CO 2 atau penurunan pH. Seperti reseptor peregangan, proyeksi dari kemoreseptor perifer pada akhirnya berhenti dalam DRG. Input dari kemoreseptor dapat dianggap sebagai " driver " utama dari respirasi.
Gambar 26.1: Pusat pernapasan di otak.
MEKANISME DEPRESI PERNAPASAN YANG DIPICU OPIOID
Depresi pernafasan dapat dianggap sebagai kegagalan untuk merespon secara adekuat pada keadaan hiperkapnia atau hipoxia.45 Biasanya kontrol ventilasi dimediasi melalui peningkatan PaCO2, yang merangsang pusat kemoreseptor dan menyebabkan peningkatan
7
ventilasi. Depresi pernapasan dipicu opioid berhubungan dengan dosis, depresi naloksonreversibel dari ventilasi saat istirahat dengan pengurangan proporsional dari tidal volume, penurunan PaO2 dan pH, peningkatan PaCO 2, dan penurunan ventilasi yang distimulasi oleh hiperkapnia dan hipoxia. 46, 47 Efek dari opioid pada respirasi diuraikan dalam Tabel 26.3. Opioid menurunkan respirasi baik dengan aksi pusat dan perifer. Efek depresan sentral terjadi karena berkurangnya aktivitas unit pernapasan spontan dan mungkin penekanan dari eksitasi berulang oleh input glutamatergic dalam jaringan respirasi primer. 42 Mekanisme pusat ini melibatkan aktivitas supresi dasar neuron inspirasi dan mengontrol peningkatan glutamat pada saat inspirasi. Apakah opioid hanya menurunkan aktivitas neuron sehingga menimbulkan peningkatan stimulus tersebut secara proporsional kecil atau apakah opioid memodulasi pelepasan atau pengolahan post sinaptik glutamat adalah tidak jelas. Tabel 26.3: Efek Opioid Pada Pernapasan _________________________________________ Pergeseran ambang apneik ke kanan
Ratanya slope dari kurva respon CO 2 Mengurangi ventilasi semenit pada hipoksia Penurunan ventilasi Peningkatan PaCO2 Menyebabkan pola pernapasan yang tidak teratur __________________________________________ Depresi pernapasan dipicu opioid disebabkan oleh aktivasi reseptor µ-, k-, dan αdalam batang otak.48-52 Mekanisme molekuler dimana morfin mempengaruhi respirasi dijelaskan dalam sebuah penelitian dengan menggunakan tikus yang kekurangan reseptor opioid µ. 53-55 Temuan ini menkonfirmasi bahwa reseptor opioid µ adalah target yang penting dari analgesik opioid dan respon pernapasan dan bahwa respon ini saling terkait. Medulla ventrolateral rostral di batang otak (dianggap menjadi daerah penting untuk generasi ritme pernapasan)
56-57
mungkin menjadi daerah sasaran untuk depresi pernapasan dipicu opioid.
Reseptor opioid juga ditemukan di pusat pernapasan sentral. Kedua reseptor µ- dan αterletak di daerah ini. Hal ini menunjukkan bahwa peptida opioid seperti β-endorfin dan metenkephalin mungkin memiliki peran fisiologis penting dalam respirasi.58 Meskipun adanya efek dari pemberian opioid secara eksogen dan adanya reseptor opioid pada
8
konsentrasi tinggi pada neuron pernapasan, namun belum jelas bahwa peptida opioid endogen berperan dalam pengaturan normal respirasi. 59,60
Gambar 26.2: SpO 2 nokturnal individual pada titik minimal pernapasan dengan supplementasi O 2 pada malam pertama post operatif dan udara ruangan pada malam kedua (n = 32) (a). Gambar diproduksi ulang dengan izin, dari Stone JG, Cozine KA,Wald A. Okigenasi nokturnal pada patient-controlled analgesia. Anesthesia and Analgesia, 1999;89:104–110 (Fig. 4, p. 107). 70
Reseptor Kappa agonis, biasanya tidak menghasilkan efek pada respirasi atau dapat menyebabkan stimulasi ringan.61 Dalam sistem pengendalian respirasi dijelaskan di atas ada beberapa tempat di mana obat-obatan opioid dapat menghasilkan efek. 62 Pada masing-masing tempat, kerja opioid adalah untuk menekan aktivitas neuronal. Pada kemoreseptor inhibisi aktivitas opioid tampaknya dimediasi terutama oleh reseptor opioid µ dan mengakibatkan berkurangnya terhadap perubahan O 2 dan CO2. Opioid khususnya mungkin mempengaruhi perubahan respon terhadap peningkatan CO2. Efek dari opioid eksogen pada respirasi termasuk perubahan baik pada volume tidal dan frekuensi pernapasan. Efek tergantung pada konsentrasi opioid. Konsentrasi rendah tampaknya memiliki efek terutama pada volume tidal, sedangkan pada konsentrasi yang lebih tinggi volume tidal dan frekuensi pernapasan dapat terganggu.60 Produksi ritme pernapasan bergantung pada rangsangan dan penghambatan sistem neurotransmitter , dimana mediasi respon sinaptik dengan cepat di SSP. Eksitasi dimediasi melalui rangsangan asam amino glutamat, sedangkan inhibisi dimediasi melalui reseptor GABA dimana benzodiazepin dan barbiturate beraksi dengan meningkatkan derajat penghambatan neuron. Peptida opioid menurunkan aktivitas karena pengurangan eksitasi
9
dipicu glutamat. Morfin mengurangi responsivitas terhadap CO 2 dan frekuensi pernapasan. Efek tergantung dosis dapat muncul pada periode post operasi dengan efek bradipneu dan desaturasi.63,64 Bradipnea juga dapat menyebabkan hiperkapnia dan, akhirnya, apnea. Efek seperti ini memicu hipoksia miokard dan aritmia jantung. 65 Hipoventilasi yang dipicu oleh opioid tidak selalu jelas pada pasien yang menerima suplementasi O 2 post operasi.66,67 Opioid menyebabkan hipoventilation dan penurunan respon ventilasi terhadap hiperkapnia dan hipoxemia.68,69 Stone dkk 70 mempelajari prevalensi dan keparahan hipoksemia nokturnal pada 32 pasien post operasi yang menerima PCA morfin. Pada malam pertama post operasi pasien bernapas dengan suplementasi O2, SpO2 rata-rata nokturnal adalah 99% ± 1%, dan 94% ± 4% (P <.001), dan hanya 4 pasien mengalami periode desaturasi haemoglobin <90% (Gambar 26.2). Sebaliknya, hanya bernapas dengan udara ruangan malam berikutnya rata-rata SpO2 adalah lebih rendah (94% ± 4%, P <.001) daripada malam sebelumnya, dan hipoksemia terjadi lebih sering dan le bih berat: 18 pasien mengalami episode SpO2 <90%, 7 pasien mengalami episode SpO2 <80%, dan 3 pasien mengalami episode SpO2 <70%. Satu pasien memerlukan resusitasi untuk bradipneu dan sianosis, tetapi tidak ada yang menderita gejala secara permanen. Pengukuran Depresi Pernapasan Dipicu Opioid
Depresi pernapasan dipicu opioid dihitung dengan membandingkan slope dan titik penyilangan (ambang apnea) pada kurva respon CO 2 (Gambar 26.3) ,72-74 pengukuran dari ventilasi semenit saat bernapas di udara ruangan, dipengaruhi dengan penambahan CO 2 pada udara yang terinspirasi,
75,76
atau pemberian dari campuran hipoksia dan pengukuran
konsentrasi PaCO2 sebelum, selama, dan setelah pemberian opioid. Bailey dkk 77 mempelajari pengaruh morfin intratekal dibandingkan intravena terhadap respon ventilasi agar tetap mengalami isocapnea hipoksia pada sukarelawan yang sehat. Depresi respon ventilasi terhadap hipoksia setelah pemberian morfin intratekal mirip, tetapi lebih tahan lama (> 12 jam) dibandingkan, setelah pemberian suatu dosis ekuianalgesik morfin intravena. Hal ini menunjukkan bahwa opioid mempengaruhi kontrol ventilasi melalui pusat dan bukan perifer. Studi ini juga menunjukkan modulasi sekunder ventilasi yang lambat berkurang selama paparan hipoksia oleh aktivasi reseptor opioid.
10
Parameter mengukur pernapasan selama bernapas spontan menunjukkan bahwa pemberian opioid disertai oleh penurunan total ventilasi semenit dengan peningkatan end
tidal PCO2 (PETCO2).78-80
Gambar 26.3: Kurva respon CO 2 yang disimulasikan dengan tiga model konsentrasi fentanil yang berbeda. Data diperoleh dengan menerapkan titk berbeda meningkatkan end tidal PCO 2 (PETCO2) dari nilai istirahat, dan mempertimbangkan nilai ventilasi dicapai pada kondisi stabil (yaitu, setelah respon transien untuk meningkatkan P ETCO2 berkurang) (a). Gambar direproduksi dengan izin dari Magosso E, Ursino M, JH van Oostrom. Depresi pernapasan dipicu opioid: model matematis untuk fentanil . IEEE Transact Biomed Eng, 51 (7): 1115-1128 (Gambar 4, hal 1120) . 7
Respons pada CO 2 digunakan secara luas untuk mengevaluasi depresi pernapasan dipicu oleh obat. Hal ini jelas menunjukkan bahwa respon ventilasi terhadap CO 2 dianggap lemah dengan adanya opioid: slope kurva respon CO 2 adalah rendah, dan titik penyilangan nol bergeser ke nilai CO2 yang lebih tinggi.74,
78,79,81,82
Sebagian besar metode untuk menilai depresi
pernapasan dipicu opioid terdiri dari pengukuran respons ventilasi terhadap CO 2
78,81
atau
hipoxia.69, 78,83 Pola pernapasan tidak teratur setelah pemberian opioid telah dijelaskan pada anakanak.84 Bouillon dkk 85 menunjukkan metode untuk mengukur peningkatan variabilitas pernapasan yang disebabkan oleh opioid. Mereka menunjukkan bahwa perjalanan waktu variabilitas pernapasan diukur sebagai Qeff 20 dari volume tidal parallel bahwa ventilasi semenit dan hal itu berkorelasi dengan keparahan depresi pernapasan. Selanjutnya, mereka mengamati bahwa pernapasan tidak teratur secara klinis jelas setelah pemberian opioid adalah tanda-tanda depresi pernapasan yang berat. Opioid tampaknya tidak hanya mengubah set point untuk PaCO 2, tetapi juga gangguan fungsi pusat pernapasan yang terlibat dalam generasi ritme.
11
Selain rute dari pemberian, infus kontinyu dari opioid baik diberikan dengan laju tetap atau berbeda dihubungkan dengan tingginya insiden abnormalitas pernapasan. 63,
86,87
Gangguan dalam pola pernapasan, dengan apnea dan lambatnya frekuensi pernapasan, dapat disebabkan oleh kelainan lain seperti berkurangnya ventilasi alveolar, 64 terutama pada orang tua.88 Sejumlah penulis
89-91
telah menemukan bahwa laju pernapasan yang normal dapat
berkaitan dengan depresi pernapasan yang jelas, membatasi sensitivitas laju pernapasan pada penilaian klinis. Pola pernapasan yang irregular berhubungan dengan analgesia opioid setelah operasi besar dan dapat meyebabkan hipoksia pada pasien, apnea, dan gangguan kardiovaskular.
63
Sleigh92 menunjukkan pada pasien yang menjalani operasi besar bahwa
apnea sentral pendek adalah umum di awal periode post operasi, tidak mudah untuk mendeteksi tanpa pemantauan pernapasan secara kontinyu, dan tidak mudah diprediksi dengan menggunakan faktor klinis (usia pasien, pusing, rute pemberian opioid, atau dosis opioid) dan bahwa satu-satunya cara untuk mengidentifikasi subkelompok pasien berisiko adalah observasi langsung pola napas mereka. Ada bukti neurofisiologis yang menunjukkan bahwa drive pernapasan dan generasi dari pola pernapasan terpisah secara fungsional.93 Karena perbedaan ini, upaya untuk menilai efek obat pada respirasi tidak boleh hanya mengandalkan pada respon ventilasi untuk hiperkarbia tapi harus mencakup pengukuran langsung pola pernapasan, dan cara lain untuk menilai drive pernapasan, seperti laju istirahat PETCO2 dan laju aliran inspirasi rata-rata. Pengaruh Gangguan Tidur Pada Depresi Pernapasan Dipicu Opioid
Baik anestesi dan pembedahan keduanya mempengaruhi pola tidur (Tabel 26.4). Efek samping potensial dari terapi opioid parenteral yang digunakan di perioperatif telah ditekankan terutama pada pasien dengan sleep apnea.94-97 Taylor dkk 97 melaporkan bahwa pada 24 jam pertama post operasi merupakan periode berisiko tinggi untuk gangguan pernapasan (didefinisikan sebagai <10 napas / menit) dan / atau penurunan saturasi O2 (<90%) yang direverse dengan nalokson) pada pasien yang menerima terapi opioid. Table 26.4: Efek Pembedahan Mayor dan Opioid IV Pada Tidur a
Pembedahan Mayor Opioid IV __________________________________________________________ Penurunan REM sleep Penurunan REM sleep Penurunan slow wave sleep
Penurunan slow wave sleep
Peningkatan tidur tahap 2 (non-REM)
Peningkatan tidur tahap 2(non-REM)
12
Penurunan waktu tidur total __________________________________________________________ Catatan: Perubahan yang paling jelas pada malam pertama dan kedua post operasi dengan pemulihan pada malam selanjutnya. Material, dimodifikasi dengan izin, dari Knill RL, Moote CA, Skinner MI, Rose EA. Anestesi pada operasi perut menyebabkan intense tidur REM selama satu minggu pertama post operasi. Anesthesiol, 1990; 73:52-61.106 a
Bahan, dimodifikasi dengan izin, dari Shaw I, Lavigne G, Mayer P, Choini `ereM . Pemberian akut morfin intravena mengganggu pola tidur pada orang dewasa yang sehat: sebuah studi awal. Sleep. 2005; 6:677-682. 109
Dari 62 pasien diidentifikasi, 77,4% (48 dari 62) mengalami gangguan pernapasan pada 24 jam atau kurang setelah akhir operasi, dan dari mereka 56,5% (35 dari 62) mengalami gangguan pada 12 jam atau rata-rata kurang dari 10 jam dengan waktu onset. Meskipun tidak ada kematian yang dilaporkan, 5 pasien memiliki kode penuh tersebut. Tidur mungkin terkait dengan peningkatan resistensi saluran napas atas, sindrom “ obstructive sleep
apnea” (OSA), hipoventilasi alveolar, dan sentral apnea, termasuk pola pernapasan CheyneStokes.98 Restorasi ventilasi dan pencegahan asfiksia tergantung pada interaksi kemoreseptor perifer (badan karotid) yang dimediasi melalui saraf sinus karotis, mekanoreseptor di dinding dada dan paru-paru yang dimediasi melalui saraf vagus, dan pengendali pusat pernapasan yang terletak di batang otak. Badan karotid berperan dalam kontrol dinamika pernapasan, sedangkan pusat pengendali batang otak mengatur ventilasi semenit basal dan berespon relatif lambat terhadap perubahan laju CO2. Koordinasi kontraksi pada lidah (terutama genioglossus) dan otot faring membantu untuk mempertahankan patensi jalan napas dan mencegah terjadinya snoring atau kolaps inspirasi dari jalan napas. 99, 100 Pengiriman mikrodialisis morfin ke inti hipoglossus di tikus Wistar menghasilkan
naloxone-reversible , peningkatan dalam pengeluaran asetilkolin yang tergantung pada dosis. Asetilkolin menurunkan tonus lidah. Tidur dan opioid secara terpisah, menekan otot genioglossus dan faring dan mengurangi refleks pelindung jalan napas. Dalam REM sleep,
neural drive pada otot pharyngeal adalah minimum, dan atonia dari otot anti-gravitasi menyebabkan ketidakstabilan pada saluran napas pasien, menyebabkan hipoksemia episodik.101 Efek kekurangan tidur pada fungsi otot saluran napas atas harus diperhatikan. Ambang batas yang lebih rendah untuk kolaps jalan napas bagian atas, mungkin disebabkan berkurangnya aktivitas otot genioglossus,
101
telah dilaporkan berdasarkan kurangnya tidur
lengkap untuk satu malam. 102 Gangguan siklus tidur oleh opioid diakui dalam literatur penyalahgunaan substansi, dan data klinis mengimplikasikan opioid sebagai kontributor potensial untuk gangguan tidur
13
post operasi.103,104 Beberapa mekanisme otak berkontribusi untuk gangguan tidur yang disebabkan oleh opioid. 105 Penyesuaian pola tidur terjadi selama 1-6 malam pertama setelah pembedahan abdomen mayor. 104Konsekuensi klinis dari penekanan REM sleep dan “ slow
wave sleep“(SWS) dengan rebound pada periode pasca operasi tidak diketahui. Namun, rebound post operasi dari REM sleep di tengah minggu pertama post operasi dapat berkontribusi untuk perkembangan gangguan pernapasan tidur dan hipoksemia nokturnal. 106, 107
.Episodik hipoksemia lebih sering terjadi selama periode REM rebound dibandingkan
selama waktu lainnya dalam periode post operasi. 107 Borgbjerg dkk 108 menunjukkan bahwa baik stimulasi nyeri dan pemberian morfin mengubah ambang pusat pernapasan terhadap stimulasi CO2. Dahan dkk 5 mencatat bahwa depresi pernapasan yang berat mungkin terjadi akibat rasa nyeri yang berat. Selanjutnya, ketika siklus pasien post operasi antara kondisi sadar dan tidur, mereka mungkin dalam keadaan kesakitan dan bernapas saat terjaga, tapi mengalami depresi pernapasan berat ketika tidur. Selama periode tidur/tersedasi, depresi pernapasan bahkan dapat meningkat pada nilai kurang dari 40% dari kontrol (40% dari kontrol adalah setara dengan peningkatan 10-15 mm Hg P ETCO2 bersamaan dengan penurunan ventilasi semenit 40% -50% pada pasien bernapas secara spontan yang tidak dirangsang oleh CO 2), atau bahkan pasien mungkin berhenti bernapas sepenuhnya. Shawet dkk 109 melaporkan bahwa dosis klinis morfin intravena (0,1 mg / kg) pada manusia mengubah pola tidur, seperti yang ditunjukkan oleh penurunan dalam slow wave
sleep (75%), REM sleep (5%), dan oleh kenaikan 15% pada “ non–rapid-eye movement ” (NREM) tidur tahap 2 . Rebound post operatif dari REM sleep dapat berkontribusi pada peningkatan gangguan pernapasan tidur dan hipoksemia episodik nokturnal.107 Tidur itu sendiri dipengaruhi oleh opioid pada periode post operasi; pergerakan mata yang cepat hampir dihilangkan, dan aktivitas gelombang lambat sangat ditekan. 106 Tidur juga menjadi kurang teratur dan terfragmentasi, dan pasien sering menampilkan pola pernapasan tidak teratur.63, 106.110.111 Episode nokturnal dari ventilasi abnormal ini mirip dengan karakter yang terlihat pada individu dengan sleep apnea dan disertai dengan hipoksemia yang mendalam. 63, 110.111
Catley dkk 63 mempelajari pasien selama 16 jam pertama setelah open cholecystectomy atau total hip replacement . Mereka menemukan, pada 8 jam pertama terutamanya setelah operasi, suatu frekuensi tinggi dari episodik desaturasi O 2 yang berhubungan dengan gangguan pada pola ventilasi, terutamanya apnea obstruktif, pernapasan paradoksal, dan periode laju ventilasi lambat. Dalam periode post operasi segera, di area pemulihan, efek 14
residual dari pemberian anestesi umum bersama dengan pemberian morfin menjadi penyebab utama gangguan ventilasi. Pada akhir periode post operasi di bangsal bedah, alasan utama gangguan ventilasi mungkin karena gangguan tidur dengan rebound dari REM sleep pada malam kedua dan ketiga post operasi. 104,
107.108
Catley dkk 63 menemukan secara signifikan
aritmia ventilasi dan episodik desaturasi pada pasien yang menerima morfin IV dibandingkan dengan rejimen anestesi lokal untuk menghilangkan rasa nyeri. Gangguan ventilasi sudah biasa di akhir periode post operasi di bangsal bedah umum, di mana pasien biasanya tanpa pemantauan intensif. Rosenberg dkk 112 telah menunjukkan bahwa proporsi yang tinggi dari apnea dan hipopnea yang dikaitkan dengan hipoksemia episodik dan bahwa gangguan ventilasi tidak jarang pada malam kedua dan ketiga post operasi pada pasien yang menjalani operasi abdomen yang mayor. Pada
semua
kasus
gangguan
pernapasan
tidur,
kontrol
pernapasan
dapat
dikompromikan dengan obat-obatan seperti obat penenang, hipnotik, dan opioid. Tabel 26.5 mendaftar efek pada respirasi dicatat oleh Farney dkk 113 pada pasien yang menerima opioid. Ambang kelainan pernapasan dipilih berdasarkan praktek umum di somnografi klinis dan laporan dari American Academy of Sleep Medicine Task Force .114 Tabel 26.5: Pola Pernapasan dengan Penggunaan Opioid ___________________________________________________________________________ Durasi Apnea dan keparahan hipoksia memburuk selama NREM vs REM sleep
Ataxic (Biot) pola pernapasan selama NREM •
Hentinya pernapasan tidak teratur
•
gasping tanpa periodisitas
Episode berulang dan berkepanjangan (> 5 menit) dari obstruktif hipoventilasi Nasal CPAP biasanya tidak efektif • ___________________________________________________________________________ Bahan, dimodifikasi dengan izin, dari Farney RJ, Walker JM, Cloward TV,Rhondeau S . Gangguan pernapasan tidur terkait terapi opioid jangka panjang. Chest . 2003; 123:632-639. 113
Apnea didefinisikan sebagai terhentinya aliran udara selama setidaknya 10 detik. Hipopnea didefinisikan sebagai penurunan aliran udara setidaknya 50% kurang dari amplitud rata-rata untuk setidaknya 10 detik dengan penurunan SpO 2 minimal 5%. R espiratory disturbance
index (RDI) didefinisikan sebagai jumlah dari apnea dan hipopnea dibagi dengan waktu perekaman (unit kegiatan per jam). PEMANTAUAN
15
Penyebab kegagalan pernapasan bisa obstruktif, pusat, atau kombinasi keduanya. Secara klinis, aktivitas pernapasan meliputi deskriptor sebagai laju pernapasan dan kedalaman pernapasan, sebagaimana sebaiknya dihitung informasi tentang laju pertukaran gas. Monitor pernapasan yang ideal akan memberikan informasi ter us menerus tentang semua variabel dalam mode non obstruktif. Dalam beberapa cara, pengamat yang ahli akan menjadi monitor yang ideal, yang responsif terhadap beberapa variabel yang terkait aktivitas pernapasan, cerdas, selektif, adaptif, contactless , berespon cepat, tanpa tergantung pada teknologi, dan kebal terhadap gangguan yang tidak relevan. Pengamatan laju pernapasan manusia memakan waktu, dan hasilnya tidak selalu akurat. Mengamati gerakan perut dan tulang rusuk memberikan estimasi klinis yang subjektif dari volume tidal, tetapi ada kecenderungan untuk estimasi yang berlebihan yang dapat membahayakan pada volume tidal yang rendah. Indirect berarti bagi pengamatan tanpa alat bantuan untuk memperkirakan pertukaran gas pernapasan, dengan mengamati variasi warna kulit dan sejenisnya, yang bahkan lebih tepat dan subjektif. Kebutuhan obyektif dan peralatan pemantauan dapat jelas diandalkan. Selain mengukur variabel yang relevan, sehingga memberikan informasi yang memadai, adalah penting bahwa tingkat alarm palsu atau, bahkan lebih buruk, non alarm palsu diminimalkan. Pemantauan aktivitas pernapasan dalam praktek klinis memperkenalkan sejumlah masalah yang tidak ada di laboratorium atau kamar operasi. Selain pemantauan, klinis depresi pernapasan yang dipicu opioid mungkin memerlukan beberapa variabel yang berbeda, termasuk laju pernapasan, volume tidal, peristiwa apnea, pola pernapasan, dan konsentrasi perkiraan gas darah. Folke dkk 115 membahas pemantauan non-invasif dalam perawatan medis dan Tabel 26.6 mendaftar prinsip kategori penginderaan untuk alat dan metode pemantauan pernapasan. Tabel 26.7 mendaftar ringkasan dari metode saat ini untuk mendeteksi depresi pernapasan yang dipicu opioid. Tabel 26.6: Prinsip Kategori Penginderaan untuk Alat dan Metode Pemantauan Pernapasan
Kategori Kuantitas Diukur Khas Jumlah Posisi Sensor ___________________________________________________________________________ Deteksi gerakan dan Elektromiografi, lingkar perut dan Perut dan dinding dada komposisi jaringan dada,impedansi atau volume darah Penginderaan aliran udara
Aliran gas pernapasan
Daerah hidung / mulut
16
Pengukuran gas darah
Konsentrasi gas arteri
Tabel 26.7: Metode Terbaru Pernapasan Dipicu Opioid
Untuk
Organ perifer atau daerah hidung /mulut
Mendeteksi
Depresi
Metode Waktu Frequesi Metode Primer Sensitivitas Spesifisitas Reliablity Respons Pengukuran Biaya Komentar __________________________________________________________________________________________ Observasi Oksigenasi Variabel Variabel Variabel Variabel intermiten variabel Tergantung pada Klinis dan ventilasi keterampilan pengamat dan frekuensi observasi Impedansi Ventilasi Modest Mungkin Dinding nonspesifik di Dada obstruksi jalan
Rendah
Rendah
Rendah
Moderate Kontinyu
Rendah
Moderate
Moderate Moderate Intermitten/
napas Laju Ventilasi Variabel Mungkin tidak Respirasi membantu
kontinyu
bagi pasien dengan Obstructive sleep Apnea (OSA)
Tidal Ventilasi Modest Teknologi yang volume tidak dapat
Moderate
Moderate
Rendah
Moderate
Kontinyu
diandalkan
17
SpO2 Oksigenasi Modest Desaturation (Tanpa mungkin lambat tambahan kemudian sangat FiO2) cepat
Rendah
Gas darah Oksigenasi Tinggi Tinggi Tergantung pada vena & ventilasi observasi klinis
Moderate
Modest
Tinggi
Lambat
Tinggi
Lambat
Kontinyu
Intermitten
sebelumnya atau kebetulan Gas darah Oksigenasi Sangat Tinggi Tergantung pada Arteri &ventilasi tinggi observasi klinis
Sangat
Sangat
tinggi
tinggi
Lambat
Intermitten
sebelumnya atau kebetulan Ventilasi Ventilasi Moderate Modest Teknologi yang semenit tidak dapat
Moderate
Rendah
Tinggi
Tinggi
Moderate Kontinyu
diandalkan SpO2 Oksigenasi Tinggi Modest Persamaan gas (tanpa & ventilasi alveolar tambahan memprediksi FiO2) penurunan SpO2
Cepat
Kontinyu
Bahkan dengan hipoventilasi sederhana PETCO2 Ventilasi Moderate PaCO2 tinggi (tak terintubasi) signifikan, tetapi
Tinggi
Moderate Cepat
Kontinyu
Modest
tergantung pada pengambilan sampel;
18
meremehkan PaCO2 . beberapa percaya hanya akurat sebagai ukuran tingkat pernapasan PETCO2 Ventilasi Sangat Pilihan yang tidak (terintubasi) tinggi layak untuk bangsal
Sangat
Tinggi
Cepat
Kontinyu
Modest
tinggi
__________________________________________________________________________________ Tabel, direproduksi dengan izin, dari Weinger MB. Bahaya opioid post operasi: APSF workshop and white paper address, pencegahan komplikasi pernapasan post operasi. Anesthesia Patient Safety Foundation Newsletter, 2006; 21 (4): 61, 63-7 (Tabel 1, hal 65) 116
Jika satu menganggap bahwa depresi pernapasan yang depresi mungkin dianggap terutama sebagai kegagalan untuk merespon secara adekuat, pada dasar saat-demi-saat, untuk hiperkapnia atau hipoksia, maka deteksi hiperkapnia secara klinis tampaknya menjadi metode terbaik untuk pemantauan depresi pernapasan. Pengukuran CO 2 dan konsentrasi O 2 di udara ekspirasi adalah satu-satunya cara untuk mengkonfirmasi langsung pertukaran gas secara memuaskan atas dasar napas-demi-napas. Kapnografi, pengukuran kontinyu tekanan parsial CO 2 dalam gas pernapasan, telah menjadi standar pemantauan untuk memantau pasien yang terintubasi di kamar operasi. Monitor CO 2 mengukur konsentrasi CO 2 atau tekanan parsial menggunakan salah satu dari dua konfigurasi:
mainstream atau sidestream . Alat mainstream mengukur gas pernapasan secara langsung, dengan sensor yang terletak pada adaptor saluran napas dalam sirkuit napas pasien. Alat
sidestream mengukur gas pernapasan dengan sampel kecil gas aspirasi dari sirkuit napas melalui pipa ke sensor yang terletak di dalam monitor. Masalah teknis yang signifikan dan menyusahkan telah membatasi penggunaan efektif kapnografi dan aplikasi klinis dibatasi masa lalu. Masalah-masalah ini termasuk gangguan dengan sensor oleh kondensasi air dan sekresi pasien baik di alat sidestream dan mainstream , sensitivitas silang dengan gas anestesi di sensor CO2 konvensional, kekurangannya pada transportasi intra dan interhospital, ketidakmampuan untuk digunakan dengan pasien yang tidak terintubasi ( mainstream ), dan pembacaan PETCO2 palsu yang rendah yang salah.
19
Kapnografi microstream menampilkan laju aliran yang rendah, berkurangnya death
space, kurangnya kelembapan yang menyebabkan masalah oklusi, dan rendahnya konsumpsi.117 Selain itu, ia dapat digunakan di kedua pasien terintubasi dan tidak terintubasi. Kapnografi didasarkan pada prinsip bahwa molekul CO 2 menyerap radiasi inframerah (IR) pada panjang gelombang tertentu. Teknologi microstream dibangun berdasarkan pendekatan yang unik untuk emisi IR. Teknologi berbasis laser (yaitu, spektroskopi korelasi molekul) digunakan untuk menghasilkan emisi IR yang justru cocok dengan spektrum absorpsi dari molekul CO2. Efisiensi emisi tinggi dan spesifisitas CO2 ekstrim dan sensitivitas dari kombinasi emitor-detektor memungkinkan untuk jalur cahaya sangat pendek yang memungkinkan penggunaan sel sampel yang sangat kecil (15 µL). Hal ini pada gilirannya memungkinkan penggunaan laju aliran yang sangat rendah (50 mL / menit) tanpa mengkompromi akurasi atau waktu respon. Kapnometer microstream menyediakan pengukuran tekanan parsial end tidal CO2 yang lebih akurat pada pasien yang tidak terintubasi,
yang
bernapas
secara
spontan
dibandingkan
kapnometer sidestream
konvensional, memungkinkan pemantauan fungsi pernafasan yang memadai pada pasien. 118 Teknologi microstream telah dimasukkan ke dalam penyusunan monitor untuk pasien dari unit yang berdiri sendiri ke monitor multiparameter. Untuk pasien tidak terintubasi, kanula nasal dan kombinasi kanula oral-nasal mengakomodasi mereka yang bernapas melalui mulut dan hidung (Gambar 26.4).
Gambar 26.4: Pemantauan PETCO2 terus-menerus, sistem kanula.
20
Peran Pulse Oximetry untuk Pemantauan
Hipoventilasi dalam dengan perkembangan narkosis CO 2 dapat menyebabkan koma, henti napas dan kegagalan sirkulasi. 119 Meskipun pulse oximetry digunakan secara meluas untuk memantau oksigenasi darah arteri, adalah mungkin bahwa pulse oximetry dapat digunakan untuk mendeteksi kelainan dalam ventilasi dengan mengukur perubahan dalam SpO2.120 Namun, ada keterbatasan dalam menggunakan pulse oximetry untuk pemantauan status ventilasi terutama ketika pemberian suplementasi O2.66,
67
Fu dkk 121 menganjurkan
aplikasi suplementasi O2 hanya pada pasien yang tidak mampu untuk mempertahankan SpO 2 apabila bernapas di udara ruangan. Pada pasien yang mampu mempertahankan SpO 2 90% pada FiO2 0,21, pemantauan pulse oximetry selama bernapas di udara ruangan merupakan alat yang berguna untuk menilai ventilasi, tanpa perlu kapnografi atau analisis gas darah arteri. Pulse oximetry selama bernapas di udara ruangan juga akan berguna dalam membimbing dan / atau membatasi pemberian opioid dan obat depresan pernapasan lainnya. Penilaian dari kelainan ventilasi pada pasien yang menerima opioid neuraxial dan parenteral yang diberikan dapat dicapai dengan pulse oximetry tetapi hanya selama pernapasan udara ruangan.121 Keputusan untuk memberikan suplementasi
O 2 tidak harus didasarkan pada
rutinitas praktek tetapi harus mempertimbangkan risiko yang mengakibatkan hipoventilasi yang tidak terdeteksi, atau ketidakcocokan ventilasi dan perfusi, sesuai dengan kebutuhan pasien untuk
meningkatkan SpO2.
Jika terus-menerus, penurunan
SpO 2 mungkin
menunjukkan perlunya analisis gas darah arteri untuk menentukan apakah hipoksemia arteri disebabkan oleh hipoventilasi atau ketidakcocokan ventilasi dan perfusi paru. Pulse oximetry terutama telah digunakan untuk menilai oksigenasi tetapi bukan ventilasi. Peran Laju Respirasi Pada Pemantauan
Keuntungan menggunakan laju pernapasan dalam mendefinisikan depresi pernapasan merupakan metode sederhana dan noninvasif dan pasien merasa nyaman. Banyak penulis menganggap laju pernapasan menjadi indeks yang tidak adekuat pada depresi pernapasan. 34, 45,61,122
Setelah pemberian morfin intratekal, laju pernapasan tidak selalu sesuai dengan dosis
opioid, hipoksemia, atau respons depresi ventilasi terhadap stimulasi CO 2.89, 123 Sebaliknya, pasien dengan laju respirasi rendah dapat berkompensasi secara adekuat untuk menjaga tingkat PaCO2 dalam batas normal.124 Selanjutnya, penggunaan laju respirasi dapat menjadi indikator buruk untuk
apnea yang akan datang. 45 Akibatnya, laju respirasi
tidak boleh
digunakan sendiri untuk mendefinisikan depresi pernapasan dipicu opioid.
21
Peran Skor Sedasi
Antara efek samping yang disebabkan morfin, sedasi terjadi pada 60% kasus selama titrasi
morfin dan
keselamatan.125
merupakan
penyebab umum penghentian
titrasi
untuk
alasan
Beberapa skala perilaku menilai kedalaman sedasi. Di antaranya, Skor
Ramsay (RS) adalah teknik yang tervalidasi dan digunakan secara luas. 126 Komponen skala ini agak subjektif dan cenderung bias untuk pengamat. Penggunaan skala ini mudah, untuk itu tidak memerlukan perangkat (alat), namun akurasi dalam mendeteksi sedasi yang dalam dipertanyakan selama periode awal post operasi.127 Kebanyakan alat penilaian sedasi menggabungkan penilaian pemantauan tingkat kesadaran dan tingkat kemampuan untuk merangsang. Tabel 26.8 daftar contoh dari alat penilaian. Table 26.8: Skala Sedasi
Skor Tingkat Kesadaran Derajat Stimulasi ____________________________________________________ 0
Tingkat normal
Mudah terangsang
1
Sebentar mengantuk
Mudah terangsang
2
Sering mengantuk
Mudah terangsang
3
Sering mengantuk
Tidak mudah terangsang
S
Tidur normal
Mudah terangsang
_____________________________________________________ MEMPREDIKSI GANGGUAN PERNAPASAN YANG DIPICU OPIOID POST OPERASI
Mencegah kejadian buruk yang terkait dengan terapi pasien adalah perhatian utama dalam lingkungan perawatan kesehatan. PCA intravena adalah metode yang dibuat untuk mengelola nyeri akut post operasi, didukung oleh keberhasilan yang menguntungkan dan data pasien yang tersedia. Pompa PCA dikembangkan untuk pemberian sendiri opioid yang aman. Pemberian opioid PCA dianggap lebih aman dengan masalah logistik yang lebih sedikit dalam pemantauan dan dari teknik lain seperti pemberian opioid IM atau neuraxial. 128 Dari hasil analisa Schug dan Torrie 20, dari 3016 pasien post operasi yang dirawat oleh Acute Pain
Services , dapat disimpulkan bahwa, meskipun terdapat komplikasi yang berpotensi serius tanpa gejala sisa ditemukan pada 0,53% dari jumlah pasien, kejadian itu mirip untuk teknik pemberian opioid sistemik dan analgesia regional. Flisberg dkk memantau 2696 pasien post operasi untuk menilai keberhasilan penghilang rasa sakit dan efek samping post operasi
22
epidural dan analgesia intravena. Pasien yang menerima opioid IV menunjukkan insiden efek samping serius yang lebih tinggi (sedasi dan depresi pernapasan). Meskipun jelas keuntungannya , penggunaan PCA IV untuk penanganan nyeri akut post operasi dikaitkan dengan sejumlah unik kekhawatiran keamanan yang timbul sebagai akibat dari teknis yang melekat kompleksitas teknik. Meskipun kesalahan obat melibatkan analgesik opioid dapat terjadi dalam pengaturan apapun, bila dikombinasikan dengan perangkat PCA, potensi membahayakan pasien sebagai hasil overdosis opioid adalah signifikan. Isu terkait dengan pengenalan pemberian opioid PCA secara aman telah dikenal sejak awal 1990s. 19 Masalah yang biasannya muncul adalah kurangnya frekuensi pernapasan, pemantauan, fungsi peralatan, dan lingkungan manajemen. Secara umum, faktor-faktor potensial yang meningkatkan potensi untuk risiko depresi pernapasan dapat dianggap terkait dengan pasien dan teknik. Pentingnya pemberian opioid yang aman pada periode perioperatif adalah identifikasi risiko yang lebih tinggi pada kelompok pasien. Meskipun banyak faktor yang dapat berkontribusi untuk gangguan pernapasan, perhatian khusus harus diberikan pada yang terkait dengan faktor pasien, termasuk penggunaan bersamaan infus, bolus yang diberikan dokter atau perawat, pemberian bersamaan obat penenang atau hipnotis, gagal/ insufisiensi ginjal, dan insufisiensi pernapasan yang sudah ada atau sleep apnea syndrome .63, 91.129
Sidebotham dkk 21 mencatat pada pasien post operasi yang mengalami hipoksemia dan
depresi pernapasan bahwa hampir semuanya memiliki 1 dari 3 faktor risiko: dosis bolus dengan PCA lebih besar dari 1 mg morfin, usia lebih dari 65 tahun, atau operasi intraabdominal. Faktor terkait dengan teknik meliputi kesalahan operator, edukasi pasien tidak sepenuhnya, PCA oleh proksi, kegagalan peralatan, dan penggunaan infus kontinyu terutama pada pasien yang tergantung pada opioid. Resiko faktor opioid tercantum dalam Tabel 26.9. Tabel 26.9: Faktor Risiko Gangguan Pernapasan Dipicu Opioid ________________________________________________________
Infus opioid kontinyu Umur Operasi abdomen atas
Sleep apnea Penggunaan depresan SSP Gangguan fungsi organ
23
Error pompa PCA Obesitas _________________________________________________________
Pada bulan November 2001, Commonwealth of Massachusetts Medical Society
Patient Care Assessement Committee melaporkan kematian tak terduga pada pasien yang mendapatkan PCA. Dalam beberapa kasus, analgesia digunakan untuk penanganan nyeri post operasi, dimana yang lainnya pasien dirawat untuk penanganan penyebab lain nyeri akut ataupun. Sebagian besar insiden terjadi dalam 10 jam pertama pemberian analgesia dan banyak terjadi selama sore hari atau malam hari. Sebagian besar insiden melibatkan perempuan. Hampir semua pasien memiliki kondisi medis atau ciri-ciri fisik, seperti obesitas, asma, gangguan tidur, atau pembengkakan nasofaring, yang berpotensi meningkatkan risiko mereka untuk komplikasi pernapasan. Penyebab kematian tidak pernah ditentukan dengan pasti dalam kasus apapun. Dalam dua kejadian, pertanyaan diajukan mengenai apakah efek obat-obat intraoperatif atau obat suplemen, seperti opioid, benzodiazepin, sedatif, hipnotik, atau antihistamin, berpotensi bekerja secara adekuat saat PCA diberikan. Di antara rekomendasi berikut adalah: ■Penilaian adekuat resep dokter manapun yang berpotensi risiko untuk depresi pernapasan atau gangguan napas dan pertimbangan risiko ketika menentukan dosis awal dan pemeliharaan untuk PCA ■ Pertimbangan obat intraoperatif dan obat lain yang pasien terima sebelum menghitung dosia awal dan untuk pemeliharaan PCA, termasuk opioid, benzodiazepin, sedatif, hipnotik, atau antihistamin ■ Pertimbangan kebutuhan pasien pada malam hari dan obat pada malam hari ketika memberikan analgesia, dengan cara infus kontinyu ■ Membentuk suatu persyaratan dimana formulir permintaan PCA tidak diisi oleh farmasi kecuali semua bagian selesai ■ Membentuk suatu sistem untuk memeriksa ulang obat yang digunakan untuk analgesia, pengetahuan pompa PCA dan dosisnya
24
■ Tingkat penilaian, pemantauan, dan dokumentasi tanda-tanda vital yang tepat, saturasi oksigen, tingkat sedasi, dan tingkat rasa sakit, terutama segera setelah inisiasi dari PCA dan selama malam hari, termasuk menggunakan alarm apnea pada pasien berisiko tinggi ■ Ketersediaan langsung oksigen untuk semua pasien yang menerima PCA ■ Ketersediaan langsung dari agen pembalik opioid yang digunakan dalam keadaan sedasi berlebihan ■ Jika peristiwa buruk terjadi, harus ada prosedur untuk menentukan apakah pompa itu berfungsi dengan baik dan apakah konsentrasi obat dan tingkat administrasi sesuai yang diperintahkan
Tabel 26.10: Rekomendasi APSF untuk Mencegah Depressi Pernapasan Dipicu Opioid ___________________________________________________________________________ Penyedia layanan kesehatan harus memiliki "toleransi nol" untuk morbiditas dan mortalitas
pernapasan terkait dengan penggunaan opioid post operasi, karena keadaan ini harus dicegah. Meskipun ada keterbatasan untuk teknologi pemantauan yang ada untuk mendeteksi depresi pernapasan dipicu opioid, penggunaan pemantauan kontinyu oksigenasi (umumnya pulse
oximetry ) dan ventilasi pada pasien menerima PCA, opioid neuraxial, atau dosis opioid parenteral serial, dianjurkan. Meskipun pulse oximetry akan memantau oksigenasi selama PCA, mungkin memiliki kepekaan yang kurang, sebagai monitor hipoventilasi, ketika suplemen oksigen diberikan. Bila ada indikasi penggunaan oksigen tambahan, pemantauan ventilasi mungkin memerlukan penggunaan teknologi yang dirancang untuk menilai pernapasan atau memperkirakan konsentrasi karbon dioksida arteri. Pemantauan berkelanjutan yang paling penting bagi pasien risiko tinggi, namun tergantung pada penilaian klinis, harus diterapkan kepada pasien lain. Secara khusus, pemantauan terus menerus harus dipertimbangkan pada setiap pasien dengan OSA signifikan yang menerima PCA atau opioid neuraxial. Bahkan sistem pemantauan terbaik akan terbatas jika respon terhadap peristiwa baru tidak efektif. Ketika alarm sistem pemantauan berbunyi, pesan tersebut harus dengan cepat sampai ke dokter yang mampu menanggapi dalam waktu dan cara yang tepat. Karena kendala kehadiran staf intermiten di samping tempat tidur pasien post operasi yang tidak terintubasi yang menerima opioid parenteral, maka metode siaga dapat diandalkan (misalnya,alarm
25
terdengar, central station , pager , dll) diperlukan. Selain itu, dokter harus dilatih untuk efektif mengenali depresi pernapasan dipicu opioid dan bertindak tepat. Suatu mekanisme harus berada pada tempatnya untuk memungkinkan seorang dokter di samping tempat tidur untuk cepat meminta bantuan tambahan jika diperlukan. Untuk secara efektif mengelola langka kasus depresi pernapasan dipicu opioid, fasilitas harus memiliki tim respon (atau kode) cepat terlatih. Sebuah program harus dimulai secara luas untuk mendidik penyedia layanan dan pasien tentang risiko depresi pernapasan yang mengancam nyawa yang terkait dengan penggunaan analgesik opioid parenteral post operasi.
__________________________________________________________________________________ Bahan, dimodifikasi dengan izin, fromWeinger MB. Bahaya opioid post operasi: APSF lokakarya dan alamat kertas putih, pencegahan komplikasi pernapasan post bedah. Anesthesia Patient Safety Foundation Newsletter , 2006; 21 (4): 61, 63-7, 116
Meskipun penggunaan PCA sudah hampir 2 dekade, masih muncul permasalahan tentang depresi pernapasan dipicu opioid. Bahkan dengan pemilihan pasien yang tepat dan sesuai prosedur PCA, beberapa pasien masih mengalami depresi pernapasan. Kunci untuk deteksi dini dan pengobatan yang tepat tetap bergantung pada penyediaan layanan yang memadai di pendidikan staf perawat dan kebijakan monitoring yang jelas pada unit perawatan pasien, bukan kemajuan modern dalam teknologi, seperti kapnografi mikrostream. Kemampuan untuk mengenali tanda-tanda dan gejala dari sedasi berlebihan dan merespon dengan cepat sangat penting untuk merawat pasien yang menerima analgesia opioid, seperti kemampuan untuk membedakan penyebab overdosis dari penyebab lain seperti paru, neurologis, atau komplikasi kardiovaskular. Medis dan staf perawat harus membedakan antara tidur normal dan sedasi berlebihan atau koma. Meskipun mungkin tidak diperlukan untuk membangunkan pasien tidur, perlu untuk menentukan bahwa mereka sudah tersedasi. Jika tidur pasien tidak merespon normal terhadap kebisingan dari perawat di ruangan atau sentuhan ringan, perlu untuk merangsang pasien lebih keras dan untuk memastikan bahwa pasien mudah terbangun. Parameter pemantauan depresi pernapasan dipicu opioid seperti frekuensi pernapasan mungkin tidak cukup sensitif atau spesifik untuk mendeteksi masalah yang akan datang. Catley dkk 63 mencatat bahwa pasien dengan PCA IV mungkin mengalami beberapa episode hipoksemia yang tidak terkait dengan penurunan tingkat pernapasan. Pendidikan berkelanjutan harus disediakan untuk medis dan staf perawat tentang PCA, termasuk risiko yang terkait, kebijakan dan prosedur pemberian, dan pengakuan dan pengobatan tanda-tanda dan gejala komplikasi. Rekomendasi pencegahan depresi pernapasan
26
dipicu opioid oleh Anesthesia Patient Safety Foundation (APSF) tercantum dalam Tabel 26.10. KESIMPULAN
Gangguan pernapasan post operasi adalah kompleks dan multifaktorial. Meskipun pemberian opioid sering terlibat, faktor bedah,dan gangguan pada pola tidur yang signifikan, juga berkontribusi. Komplikasi serius atau kematian akibat depresi pernapasan dipicu opioid jarang terjadi, tapi risikonya tidak nol dan dengan demikian, semua pasien yang menerima opioid untuk penanganan nyeri perioperatif harus dipantau untuk komplikasi ini. Opioid menyebabkan hipoventilasi dan menyebabkan penurunan ventilasi pada keadaan hiperkapnia dan hipoksemia. Opioid juga membuat pasien mengantuk, dan CO 2 retensi terjadi bahkan selama tanpa pengobatan tidur. Selain itu, opioid mengubah ritme dan pola pernapasan. Pemantauan pasien yang tepat menjadi kunci untuk deteksi dini dan pencegahan depresi pernapasan dipicu opioid.
27