LAPORAN KASUS BESAR SEORANG PRIA 62 TAHUN DENGAN PERDARAHAN SALURAN CERNA BAGIAN ATAS, ASCITES GRADE II, DIABETES MELLITUS TIPE II, SIROSIS HEPATIS DECOMPESATA ET CAUSA HEPATITIS B KRONIS DAN ANEMIA BERAT NORMOSITIK NORMOKROMIK
Diajukan guna melengkapi tugas Kepaniteraan Senior Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Disusun oleh : Tasya Aulia Praditasari 22010117220177 Pembimbing : dr. Agung Prasetyo, Sp.PD,K-GEH
Residen Pembimbing : dr. Putri Dwi Astuti
BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2018
HALAMAN PENGESAHAN
Nama Mahasiswa Mahasiswa
: Tasya Aulia Praditasari
NIM
: 22010117220177 22010117220177
Bagian
: Ilmu Penyakit Dalam RSUP Dr. Kariadi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang
Judul Kasus
:
Seorang Pria 62 Tahun dengan Perdarahan saluran cerna bagian atas, Ascites grade II, Diabetes mellitus tipe II, II, Sirosis hepatis decompesata et et causa Hepatitis B kronis dan Anemia berat normositik normokromik
Penguji
: dr. Agung Prasetyo, Sp.PD,.K-GEH
Residen Pembimbing
: dr. Putri Dwi Astuti
Residen Pembimbing
dr. Putri Dwi Astuti
Dosen Pembimbing
dr. Agung Prasetyo, Sp.PD,.K-GEH
HALAMAN PENGESAHAN
Nama Mahasiswa Mahasiswa
: Tasya Aulia Praditasari
NIM
: 22010117220177 22010117220177
Bagian
: Ilmu Penyakit Dalam RSUP Dr. Kariadi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang
Judul Kasus
:
Seorang Pria 62 Tahun dengan Perdarahan saluran cerna bagian atas, Ascites grade II, Diabetes mellitus tipe II, II, Sirosis hepatis decompesata et et causa Hepatitis B kronis dan Anemia berat normositik normokromik
Penguji
: dr. Agung Prasetyo, Sp.PD,.K-GEH
Residen Pembimbing
: dr. Putri Dwi Astuti
Residen Pembimbing
dr. Putri Dwi Astuti
Dosen Pembimbing
dr. Agung Prasetyo, Sp.PD,.K-GEH
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul “Seorang “Seorang Pria 62 Tahun dengan Perdarahan saluran cerna bagian atas, Ascites grade II, Diabetes mellitus tipe II, Sirosis hepatis decompesata et causa Hepatitis B kronis dan Anemia berat normositik normokromik “. Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi tugas dan syarat dalam menempuh kepaniteraan senior di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih kepada: 1. dr. Agung Prasetyo, Sp.PD,.K-GEH selaku dosen pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu dan memberikan masukan yang berharga. 2. dr. Putri Dwi Astuti, selaku residen pembimbing yang telah memberikan masukan, petunjuk, serta bantuan dalam penyusunan tugas ini. 3. Pasien Tn.S
dan keluarga, atas keramahan dan keterbukaannya dalam
kegiatan penyusunan laporan 4. Keluarga dan teman-teman Coass dan semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan laporan kasus ini.
Akhir kata, penulis berharap agar laporan ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan penulis pada khususnya.
Semarang, 30 Juli 2018 Penulis
BAB I LAPORAN KASUS
1.1 Identitas pasien
Nama Pasien
: Tn.S
Jenis Kelamin
: Laki-Laki
Usia
: 62 tahun
Alamat
: Gedawang, Semarang, Jawa Tengah
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Belum bekerja
Status pernikahan
: Menikah
Ruang
: Rajawali 3B
Tanggal masuk
: 13/07/2018
No. CM
: C702539
Pembiayaan
: JKN Non PBI
1.2 DATA DASAR A. SUBJEKTIF
Autoanamnesis dilakukan dengan pasien pada 17 Mei 2018 pukul 15.00 WIB di Ruang Rajawali 3B RSDK Keluhan Utama : Muntah darah, BAB hitam Riwayat Penyakit Sekarang Lokasi
: Perut
Onset
: ± 1 bulan SMRS
Kualitas
: Pasien muntah darah merah segar, BAB hitam lunak seperti petis
Kuantitas
: Muntah darah seperempat gelas belimbing, sejak 5 hari SMRS hingga saat pemeriksaan sudah 4 kali muntah. BAB hitam dengan jumlah sedikit setiap kali BAB, sejak
5 hari SMRS. Faktor memperingan
: tidak ada
Faktor memperberat
: Posisi duduk, makan dengan porsi banyak
Gejala Penyerta
: Perut mual sejak 1 bulan SMRS, mual dirasakan terus menerus hingga pasien hanya mampu berbaring di tempat tidur. Posisi badan paling nyaman saat telentang. BAB berwarna hitam (+),Muntah darah (+), perut membesar, Badan terasa lemas (+), mudah lelah (+), Kembung (+), penurunan berat badan (+) tidak tahu berapa kg. BAK berwarna teh (-). Nyeri dada (-), riwayat terbangun di malam hari karena sesak (-), tidur menggunakan 2 bantal disangkal, bengkak pada wajah (-).terakhir pada hari Minggu 15 Juli 2018, batuk lama (-), badan kuning (-), BAK darah (-),BAB bewarna dempul (-), gangguan tidur (-), kejang (-), nyeri kepala (-)
Pasien sebelumnya dirawat inap di RSND selama 5 hari dan sudah menjalani pemeriksaan USG dan Esofagogastroduodenoskopi. Karena keluhan tidak kunjung membaik, kemudian pasien dirujuk ke RSDK. Saat ini pasien telah dirawat selama 5 hari.
Riwayat Penyakit Dahulu
-
Riwayat minum jamu-jamuan sejak > 10 tahun yang lalu
-
Riw. Hepatitis B disangkal
-
Riwayat hepatitis yang lain disangkal
-
Riwayat transfusi darah disangkal
-
Riwayat bergonta-ganti pasangan disangkal
-
Riwayat konsumsi alkohol disangkal
-
Riwayat tekanan darah tinggi dan penyakit jantung disangkal
-
Riwayat penyakit gula sejak 2 tahun yang lalu, rutin
-
Riwayat keganasan disangkal
Riwayat Penyakit keluarga
-
Riwayat Hepatitis B disangkal
-
Riwayat tekanan darah tinggi, penyakit gula, dan penyakit jantung disangkal
-
Riwayat keganasan disangkal
Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien saat ini tidak bekerja. Pasien menikah sebanyak 1 kali dan memiliki 3 anak dengan 2 anak sudah mandiri. Istri pasien tidak bekerja. Biaya pengobatan JKN non PBI. Kesan sosial ekonomi : cukup.
B. OBJEKTIF PEMERIKSAAN FISIK
KU
: tampak sakit
Kesadaran
: composmentis (GCS E4M6V5 = 15)
TD
: 130/80mmHg
N
: 80x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
RR
: 20x/menit, irama dan kedalaman nafas normal
t
: 36.60 C (axiller)
Status gizi BB
: 60 kg
TB
: 165 cm
IMT
: 22 kg/m2 (normoweight)
Kulit
: turgor kulit cukup, ikterik (-)
Kepala
: simetris, rambut mudah rontok (-), alopesia (-),madarosis (-)
Mata
: konjungtiva palpebra pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)
Telinga
: discharge (-/-), bengkak (-/-), fistula (-/-), nyeri tekan tragus (-/-)
Hidung
: discharge (-/-), epistaksis (-/-)
Mulut
: pursed lip breathing (-), bibir pucat (-), mukosa kering(-), gigi karies
(-)
Leher
: JVP R+0 cm, trakea ditengah, Pembesaran KGB (-), kel Thyroid
tidak teraba Thorax: spider naevi (-), gynecomastia (-), atrofi m. pectoralis (-)
Pemeriksaan paru Paru Anterior
I : simetris statis dinamis, Pa : SF paru kanan = kiri Pe : sonor seluruh paru Au: SD vesikuler +/+, ST -/-
Paru Posterior
I : simetris statis dinamis Pa : SF paru kanan = kiri Pe : sonor seluruh paru Au: SD vesikuler +/+, ST -/-
Jantung
I
: IC tak tampak
Pa : IC teraba di SIC V 2 cm medial LMCS, puls.epigastrium (-), puls.parasternal (-), sternal lift (-) Pe : batas kiri SIC V 2 cm medial LMCS, Pinggang jantung cekung Au : BJ I-II N, murmur(-),gallop (-)
Abdomen
I
: cembung (+), venektasi (-), caput medusa (-)
Au : Bising usus sulit dinilai Pe : Timpani, Pekak sisi (+) meningkat, Pekak alih (+), undulasi (+), liver span 11 cm, Area Traube pekak
Pa : Nyeri tekan (+) regio hipokondrium kanan , murphy’s sign (-), hepar tak teraba, lien teraba membesar
Ekstremitas Ekstremitas
Superior
Inferior
Edema
-/-
+/+
Sianosis
-/-
-/-
Akral dingin
-/-
-/-
Motorik
555/555
555/555
Sensorik
+/+
+/+
Palmar eritema
-/-
Hematome
-/-
-/-
Ptekie
-/-
-/-
<2”
<2”
Cappilary refill
GAMBAR KLINIS PASIEN
1.3 PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan Laboratorium
Hasil
Pemeriksaan
Satuan
Nilai rujukan
Keterangan
L
9/07/18 Hematologi
Hemoglobin
5.4
gr/dL
13.2-17.3
Leukosit
9.3
103/uL
3.8-10.6
Trombosit
112
103/uL
150-440
L
Hematokrit
15.5
%
39.0-49.0
L
Eritrosit
1.78
106/uL
4.4-5.9
L
MCV
86.9
Fl
80-100
MCH
30.3
Pg
26-34
MCHC
34.8
g/dL
32-36
L
RDW-CV
13.8
%
11.5-14.5
H
Ureum
28
mg/dL
10-50
Kreatinin
0.7
mg/dL
0.6-1.3
darah 386
mg/dL
70-115
Gula
H
sewaktu
Kimia klinik (12/07/2018)
SGOT
21
U/L
15-34
SGPT
33
U/L
15-60
Alkali Phospatase
39
U/L
50-136
Gamma GT
21
U/L
5-85
Bilirubin total
0.5
mg/dL
0.3-1.2
Bilirubin direk
0.1
mg/dL
0.0-0.2
Bilirubin Indirek
0.4
mg/dL
0.2-0.8
Total protein
5.5
g/dL
6.4-8.2
L
Albumin
3.2
g/dL
3.4-5.0
L
Glukosa puasa
281
mg/dL
80-109: baik
H
110-125: Sedang >= 126: buruk Glukosa
PP
+ 265
mg/dL
Reduksi I
80-140: baik
H
145-179: sedang >= 180: buruk
Reduksi II Hba1c
7.5
%
6-8
Cholesterol total
101
mg/dL
<200
Trigliserida
59
mg/dL
<150
HDL Cholesterol
22
mg/dL
40-60
L
Asam urat
2.0
mg/dL
3.5-7.2
L
Elektrolit Pemeriksaan
Hasil
Satuan
Nilai Rujukan
Keterangan
L
10/07/18
Natrium
135.65
mmol/L
136-145
Kalium
5.13
mmol/L
3.5-5.1
Chlorida
99.79
mmol/L
98-107
Pemeriksaan
Hasil
Satuan
Nilai rujukan
Keterangan
13/07/18 Imunoserologi
HbsAg
>1000
Negatif
: H
<=0.99 Equivocal Anti HCV
0.21
Negatif : <0.8 Positif >=1.0
Negatif
Pemeriksaan USG Abdomen (07/07/2018 di RSND)
Interpretasi:
Hepar: ukuran tak membesar, sudut tajam, echogenisitas omogen, tak tampak nodul, vena porta dan vena hepatica tak melebar Duktus biliaris intra-ekstra hepatal tak melebar Vesica felea: ukuran tak membesar, dinding tampak menebal tak tampak jelas double layer, tak tampak batu, tak tampak sludge Lien: ukuran tampak membesar (ukurang sekitar 14 ,6 cm), echogenisitas homogeny, vena lienalis tak melebar Pancreas: ukuran tak membesar, echogenisitas baik, tak tampak kalsifikasi Paraaorta: tak tampak nodul Ginjal kanan: ukuran normal, tak tampak penipisan korteks, batas kortikomedullare baik, tak tampak batu, tak tampak pelebaran PCS Ginjal kiri: ukuran normal, tak tampak penipisan k orteks, batas kortikomedullare baik, tak tampak batu, tak tampak pelebaran PCS Vesica urinaria: dinding tak menebal, tak tampak batu, tak tampak massa Tak tampak cairan bebas intraabdomen Kesan:
Gambaran splenomegaly Curiga gambaran cholesistitis Ukuran dan ekogenisitas kedua ginjal dalam batas normal Tak tampak kelainan lainnya pada sonografi organ-organ intraabdomen diatas
Pemeriksaan Esofagogastroduodenoskopi (06/07/2018 di RSND)
Hasil:
Scope masuk ke DII mukosa duodenum baik Pylorus hiperemis Mukosa gaster baik Tampak varises esophagus mulai dari distal hingga medial Kesimpulan:
Varises esophagus
SKOR APRI
AST level
= 21 IU/L
AST (upper limit of Normal) = 34 IU/L Platelet Count
= 54. 103/uL
Skor APRI
= 1.1 poin
1.4 DAFTAR ABNORMALITAS
1. Perut membesar 2. Penurunan berat badan (+) tetapi tidak tahu berapa kg 3. Muntah darah 4. BAB hitam 5. Pekak sisi (+), undulasi (+) 6. Hemoglobin menurun (5.4 gr/dL) 7. Trombosit menurun (112 x 103/uL) 8. Hematokrit menurun (15.5%) 9. Eritrosit menurun (1.78 x 106/uL) 10. Badan terasa lemas (+), mudah lelah (+) 11. Natrium menurun (133 mmol/L) 12. Glukosa sewaktu meningkat (182 mg/dL) 13. Glukosa PP + Reduksi I meningkat (265 mg/dL) 14. Glukosa puasa meningkat (281 mg/dL) 15. HDL Cholesterol menurun (22 mg/dL) 16. Nyeri tekan regio hipokondrium kanan 17. Albumin menurun (3.1 g/dL) 18. HbsAg > 1000 19. Area Traube pekak
severe fibrosis
1.5 Analisis Sintesis
3, 4 Perdarahan saluran cerna bagian atas 1, 5, 11 Ascites grade II 12, 13, 14 DM Tipe II 2, 15, 16, 17, 18, 19 Sirosis hepatis decompesata et causa Hepatitis B kronis 6, 7, 8, 9, 10 Anemia normositik normokromik
1.6 Daftar Masalah MASALAH AKTIF
TANGGAL
Perdarahan saluran cerna bagian atas
17/07/2018
Ascites grade II
17/07/2018
DM Tipe II
17/07/2018
Sirosis hepatis decompesata et causa Hepatitis B kronis
17/07/2018
Anemia berat normositik normokromik
17/07/2018
1.7 Rencana Pemecahan Masalah Problem 1. Perdarahan saluran cerna bagian atas variceal
Assesment
: Tanda kegawatan
Initial Plan
:
Dx
: Endoskopi
Rx
: Diet cair I Usul terapi: Propanolol 20 mg / 24 jam
Mx
: Kondisi umum, tanda-tanda vital, hematemesis, melena
Ex
: −
Menjelaskan kepada pasien dan keluarga bahwa akan dilakukan tindakan endoskopi untuk mengetahui penyebab dari perdarahan saluran cerna
−
Menjelaskan pada pasien untuk memakan makanan dari rumah sakit
Problem 2. Ascites grade II
Assesment
: Transudat Eksudat
Initial Plan
:
Dx
: Paracentesis, cek leukosite, protein dan glukosa cairan ascites, kultur cairan ascites
Rx
: Spironolactone 300mg/24 jam
Mx
: Kondisi umum, tanda-tanda vital, lingkar perut, urin output, elektrolit
darah dan elektrolit urine. Ex
: -
Menjelaskan kepada pasien dan keluarga bahwa keluhan perut membesar disebabkan oleh penyakit hati kronik yang diderita pasien.
-
Menjelaskan pada pasien dan keluarga untuk segera melapor jika didapatkan pasien demam atau perutnya terasa sangat nyeri.
-
Menjelaskan pada pasien dan keluarga akan dilakukan pengambilan cairan di perut untuk menilai apakah dapat dilakukan pungsi terapeutik atau tidak pada pasien.
-
Menjelaskan kepada pasien untuk mengkonsumsi makanan dari rumah sakit
Problem 3: DM Tipe II
Assesment
: Status glikemi Komplikasi target organ Faktor risiko penyakit jantung iskemik
Initial Plan
:
Dx
: GD 1-2, HbA1c
Rx
: Insulin sliding scale sesuai GDS / 4 jam
Gula darah
Insulin syringe pump
Infus
< 100
-
D5%
100-150
0,5 unit/ jam
NaCl/ Rc
151-200
1 unit/ jam
NaCl/ Rc
201-250
2 unit/ jam
NaCl/ Rc
251-300
3 unit/ jam
NaCl/ Rc
301-350
4 unit/ jam
NaCl/ Rc
> 350
5 unit/ jam
NaCl/ Rc
Mx
: GDS / 4 jam
Ex
: Menjelaskan pada pasien untuk rutin minum obat dan memakan
makanan dari rumah sakit
Problem 4. Sirosis hepatis decompesata et causa Hepatitis B kronis
Assessment
: Tanda hipertensi portal
Initial plan
:
IpDx
: HBV DNA, HbeAg, Anti Hbe
IpRx
: Inf. NaCl 0,9% 20 tpm Inj. Omeprazole 40 mg/ 24 jam IV Inj. Cefotaxime 1 gr/ 24 jam IV Usul terapi: Tenofovir 300 mg / 24 jam PO Propanolol 20 mg / 24 jam
IpMx
: Keadaan umum, tanda-tanda vital, hematemesis, melena
IpEx
:
-
Menjelaskan kepada pasien bahwa pasien terkena penyakit hati akibat infeksi virus hepatitis B
-
Menjelaskan kepada pasien dan keluarga bahwa akan dilakukan pengambilan darah untuk pemeriksaan HBV DNA untuk mengetahui replikasi virus
-
Mengedukasi pasien untuk minum obat secara teratur
-
Pasien tidak boleh untuk bertukar sikat gigi, gunting kuku, jarum suntik dan alat-alat lainnya, serta perlu menutup luka apabila terdapat luka agar darah tidak kontak dengan orang lain.
Problem 5. Anemia Berat Normositik normokromik
Assesment
: Perdarahan Penyakit kronis
Initial Plan
:
Dx
: Gambaran darah tepi, Retikulosit
Rx
: Transfusi PRC 2 kolf per hari (target Hb 8) Premedikasi transfusi: Furosemide 20 mg IV
Mx
: Kondisi umum, tanda-tanda vital, reaksi transfusi
Ex
: −
Menjelaskan kepada pasien mengenai prosedur transfusi yang akan dilakukan
−
Menjelaskan kepada pasien bila ada efek samping setelah transfusi harap segera melapor
BAB II CATATAN KEMAJUAN
Problem 1: Perdarahan saluran cerna bagian atas
Tanggal 18/07/2018 S: O: Hb: 8,2 gr/ dL Leukosit 2.7 x 103/uL Trombosit: 81 x 103/uL ANC: 1520 A: Perdarahan saluran cerna bagian atas perbaikan P: Inf. NaCl 0,9% 20 tpm Inj. Omeprazole 40 mg/ 24 jam IV Inj. Cefotaxime 1 gr/ 24 jam IV
Problem 3: DM Tipe II
Tanggal 18/07/2018
S: O: GDS 08.00 247 GDS 23.00 174 A: DM Tipe II P: Syringe pump sesuai GDS/ 4 jam sampai program endoskopi Humulin R 50 unit dalam 50 cc NaCl 0,9% (1cc ~ 1 unit) Evaluasi GD setiap 4 jam Jalankan syringe pump sesuai hasil GD
Gula darah
Insulin syringe pump
Infus
< 100
-
D5%
100-150
0,5 unit/ jam
NaCl/ Rc
151-200
1 unit/ jam
NaCl/ Rc
201-250
2 unit/ jam
NaCl/ Rc
251-300
3 unit/ jam
NaCl/ Rc
301-350
4 unit/ jam
NaCl/ Rc
> 350
5 unit/ jam
NaCl/ Rc
Tanggal 19/07/2018 S: pasien mulai makan, hematemesis -, melena O: 18/07/2018 GDS 08.00 247 GDS 23.00 174 A: DM Tipe II P: Stop syringe pump Lantus 18 u SC Jam 21.00 Novorapid 12-12-12 U SC a.c Evaluasi GD pagi a.c
Tanggal 20/07/2018 S: O: 19/07/2018 GDS 06.00: 170 GDS 10.00: 244 GDS 14.00: 221 GDS 18.00: 241 A: DM Tipe II
19/07/2018 GDS 06.00: 196
P: Lantus 0-0-18 unit SC jam 21.00 Novorapid 12-12-12 U SC a.c Cek GDS pagi a.c Problem 5. Anemia Berat Normositik normokromik
Tanggal 18/07/2018 S: O: Pemeriksaan Hematologi Hemoglobin Leukosit Trombosit Hematokrit Eritrosit MCV MCH MCHC RDW-CV
Hasil 18/07/18
Satuan
Nilai rujukan
Keterangan
8.2 2.7 81 24.9 3.1 80.3 26.5 32.9 15.3
gr/dL 103/uL 103/uL % 106/uL fL Pg g/dL %
13.2-17.3 3.8-10.6 150-440 39.0-49.0 4.4-5.9 80-100 26-34 32-36 11.5-14.5
L L L L L
H
A: Anemia normositik normokromik perbaikan P: Problem 4. Sirosis hepatis decompesata et causa Hepatitis B kronis
Tanggal 20/07/2018 S: Nyeri perut kanan atas O: Anti Hbe 0,02 (+) A: Infeksi Hepatitis B Kronik P: Cek HbeAg
BAB III PEMBAHASAN
SIROSIS HEPATIS DECOMPENSATA ET CAUSA HEPATITIS B KRONIK
Sirosis hepatis merupakan dampak tersering dari perjalanan penyakit hepar kronik. Pada sirosis hepatis ditemukan kerusakan parenkim hepar atau fibrotisasi hepar. Secara klinis sirosis hepatis dibagi atas sirosis hepatis kompensata dan sirosis hepatis dekompensata. Sirosis hepatis dekompensata disertai dengan tanda-tanda hipertensi porta dan kegagalan fungsi hati.5 Manifestasi
klinis
yang
muncul
akibat
hipertensi
porta
diantaranya
spleenomegali, ascites, varises esophagus, caput medusa dan bising pada daerah epigastrium. Temuan klinis pada pasien ini berupa spleenomegali dan ascites. Pada anamnesis didapatkan keluhan perut membesar progresif, terasa sebah dan sesak bila kekenyangan dan terdapat riwayat perut membesar sebelumnya. Pada pemeriksaan abdomen, inspeksi abdomen cembung dan tegang, namun tidak didapatkan adanya caput medusa. Pada perkusi didapatkan pekak sisi (+), pekak alih (+), undulasi (+), dan pada palpasi nyeri tekan regio hipokondrium kanan. Liver span dan lien sulit dinilai karena ascites moderate pada pasien. Pada pasien ditemukan adanya pitting edema di kedua ekstremitas inferior. Hasil USG berupa sirosis hepatis, ascites, dan spleenomegali. Splenomegali dapat menimbulkan terjadinya trombositopenia, leukopenia dan penurunan eritrosit. Pada pasien ini ditemukan trombositopenia (112x103/dL) dan penurunan eritrosit (1.78x106/uL). Kegagalan fungsi hati pada pasien ini berupa hiperbilirubin, hipoalbumin, penurunan berat badan, pemanjangan studi koagulasi, dan palmar eritema. Pada pasien tidak didapatkan adanya peningkatan estradiol yang biasanya bermanifestasi ginekomastia, spider naevi, dan spiderangioma. Pada pemeriksaan fisik ditemukan sclera ikterik yang disebabkan oleh hiperbilirubinemia. Namun tubuh pasien tidak ikterik, karena kadar bilirubin masih kurang dari 3 mg/dL. Hipoalbumin dapat menyebabkan terjadinya muscle wasting, sehingga pada pasien dengan sirosis hepatis
dapat ditemukan adanya penurunan berat badan. Pemanjangan studi koagulasi disebabkan karena deficit kofaktor dari faktor pembekuan yaitu vitamin K. APRI (AST to Platelet Ratio Index) score digunakan untuk memprediksi apakah terdapat fibrosis atau sirosis hepatis. Skor APRI > 0.7 diinterpretasikan sebagai fibrosis hepar. Skor APRI > 1 mengindikasikan sirosis hepatis. Pada pasien didapatkan skor APRI sebesar 1.1 sehingga mendukung tegaknya diagnosis sirosis hepatis.6 Sesuai dengan konsensus Baveno IV, sirosis hepatis dapat diklasifikasikan menjadi empat stadium klinis berdasarkan ada tidaknya varises, ascites dan perdarahan varises: stadium 1 (tidak ada varises, tidak ada ascites), stadium 2 (ada varises tanpa ascites), stadium3 (ascites dengan atau tanpa varises), dan stadium 4 (perdarahan dengan atau tanpa ascites). Stadium 1 dan 2 dimasukkan dalam kelompok sirosis kompensata, sementara stadium 3 dan 4 dalam kelompok sirosis dekompensata. Pada pasien ini, sudah terdapat ascites dan belum ada tanda-tanda perdarahan, sehingga dapat dikategorikan dalam stadium 3.7 Komplikasi yang dapat timbul pada pasien yaitu varises esophagus, ensefalopati hepatikum, ascites, sindrom hepatorenal dan hepato cell carcinoma. Pada pasien direncakanan investigasi varises esophagus dengan pemeriksaan EGD. Jika ditemukan varises esophagus untuk mencegah pecahnya varises esophagus dapat diberikan golongan beta blocker, seperti propanolol 40-80mg/12 jam per oral.8 Komplikasi berupa ensefalopati hepatikum dapat timbul akibat hiperamonia, terjadi penurunan uptake sebagai akibat dari intrahepatic-portal systemic shunts dan/atau penurunan sintesis urea dan glutamik. Faktor-faktor yang dapat menjadi presipitasi timbulnya ensefalopati hepatikum diantaranya infeksi, perdarahan, gangguan elektrolit, penggunaan obat-obat sedative, intake tinggi protein dan konstipasi. Faktor-faktor yang dapat memicu timbulnya ensefalopati hepatikum perlu dihindarkan dari pasien ini.5
Pada pasien sirosis dapat diberikan terapi UDCA (ursodeoxycholic acid). UDCA berfungsi sebagai hepatoprotector dan anti inflamasi sehingga dapat menurunkan progresifitas fibrotisasi hepar. UDCA meningkatkan ekskresi asam empedu yang berfungsi sebagai sitoprotektif, anti apoptosis, dan imunomodulator. UDCA dapat mencegah perkembangan dari varises esophagus dan progresifitas sirosis sehingga memperpanjang usia harapan hidup pada pasien-pasien dengan penyakit hepar kronik.5,6,9 Penegakan diagnosis infeksi hepatitis B kronis pada pasien berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis didapatkan pasien mengeluh nyeri perut kanan atas jika ditekan, mudah lelah, dan BAK berwarna teh. Pasien sebelumnya tidak pernah mengkonsumsi alkohol maupun obat-obatan yang bersifat hepatotoksik. Riwayat bergonta-ganti pasangan maupun penggunaan jarum suntik bergantian disangkal. Pasien juga tidak pernah mengalami infeksi hepar sebelumnya. Riwayat keluarga menderita hepatitis disangkal. Pada Pemeriksaan fisik didapatkan adanya tanda-tanda sirosis hepatis sebagai komplikasi dari proses inflamasi kronik di hepar. Pada pasien ini penyakit yang mendasari terjadinya sirosis hepatis adalah infeksi hepatitis B kronik. Hasil pemeriksaan imunoserologis pasien saat ini HBsAg > 1000 dan Anti Hbe 0.02. Hepatitis B adalah suatu penyakit hati yang disebabkan oleh virus Hepatitis B, suatu anggota famili hepadnavirus yang dapat menyebabkan peradangan hati akut atau kronis yang dapat berlanjut menjadi sirosis hati atau kanker hati. Hepatitis B akut jika perjalanan penyakit kurang dari 6 bulan sedangkan Hepatitis B kronis bila penyakit menetap, tidak sembuh secara klinis atau laboratorium atau pada gambaran patologi anatomi selama 6 bulan.1 Infeksi HBV kronis merupakan suatu proses dinamis yang melibatkan interaksi antara replikasi HBV dan respon imun penderita. Dan tidak semua pasien dengan infeksi HBV kronis mempunyai hepatitis kronis (CHB). Infeksi kronis HBV dibagi menjadi lima fase, yang dilihat dari adanya HbeAg, banyaknya HBV DNA, nilai alanine aminotransferase (ALT), dan ada atau tidakn ya inflamasi hati.2
Fase 1: Infeksi HBV kronis HbeAg-positif, sebelumnya dinamakan fase immunotoleran. Dicirikan dengan adanya serum HbeAg, nilai HBV DNA yang sangat tinggi, dan nilai ALT yang tetap normal. Pada hati tidak terjadi atau minimal terjadi inflamasi maupun fibrosis. Pada fase ini penderita san gat infeksius karena nilai HBV DNA yang tinggi.2 Fase 2: Hepatitis B Kronis HBeAg-positif, ditandai dengan adanya serum HBeAg, nilai HBV DNA yang tinggi dan kenaikan ALT. Di hati terjadi nekroinflamasi yang sedang sampai parah dan progesi cepat fibrosis. Fase ini dapat terjadi beberapa tahun setelah fase pertama dan lebih sering terjadi pada penderita yang terinfkesi saat dewasa. Kelanjutan dari fase ini bervariasi. Kebanyakan pasien dapat mencapai HBeAg serokonversi dan supresi HBV DNA dan memasuki fase infeksi HBeAg-negatif. Beberapa pasien gagal mengontrol HBV dan berlanjut menjadi HBeAg-negatif CHB.2
Gambar 1. Penggolongan Fase Infeksi HBV
Fase 3: infeksi HBV kronis HBeAg-negatif, sebelumnya dinamakan fase inaktif, ditandai dengan adanya serum antibodi terhadap HBeAg (anti-Hbe), level HBV DNA yang rendah tidak terdeteksi (<2.000 IU/ml) dan ALT yang normal (ULN ~40 IU/L). Namun, Beberapa penderita pada fase ini mempunyai level HBV DNA >2.000 IU/ml (biasanya <20.000 IU/ml) dengan ALT normal dan nekroinflamasi hati yang minimal dan fibrosis minimal. Penderita-penderita
fase ini beresiko rendah
berlanjut ke Hepato Celullar Carcinoma (HCC) bila tetap berada di fase ini. Tapi, progresi ke CHB, biasanya pada penderita HBeAg-negatif, dapat terjadi.2 Fase 4: Hepatitis B Kronis (CHB) HBeAg-negatif ditandai dengan sedikitnya serum HBeAg dan biasanya dengan terdeteksinya anti-Hbe, dan tetap atau fluktuasi sedang sampai tinggi level serum HBV DNA (biasanya lebih rendah dari penderita HBeAg-positif), sama halnya dengan nilai ALT yang meningkat. Pada fase ini remisi penyakit yang spontan jarang terjadi.2 Fase 5: fase HbsAg-negatif ditandai dengan serum HbsAg yang negatif dan antibodi terhadap HbcAg (anti-HBc) yang positif, dengan atau tanpa antibodi terhadap HbsAg (anti-HBs). Fase ini dikenal juga dengan “occult HBV infection”. Pasien pada fase ini mempunyai nilai ALT normal dan biasanya serum HBV DNA yang tidak terdeteksi.2
Gambar 2. Perjalanan Penyakit Hepatitis B
Gambaran klinis hepatitis B kronis sangat bervariasi. Pada banyak kasus tidak dapat ditemukan keluhan maupun gejala dan pemeriksaan tes faal hati normal. Pada sebagian lagi didapatkan hepatomegali atau bahkan splenomegali atau tanda tanda penyakit hati kronis lainnya, misalnya eritema palmaris dan spider naevi, serta
pemeriksaan laboratorium sering didapatkan kenaikan konsentrasi ALT walaupun hal itu tidak sering didapatkan. Pada umumnya ditemukan konsentrasi bilirubin yang normal. Konsentrasi albumin juga normal kecuali pada kasus kasus yang lebih parah.1
Secara sederhana manifestasi klinis Hepatitis B kronis dibagi menjadi 2 yaitu:1 a. Hepatitis B yang masih aktif ( hepatitis B kronis Aktif) HbsAg positif dengan DNA HBV lebih dari 105kopi/ml dan didapatkan kenaikan ALT yang menetap atu intermitten. Menurut status HbeAg pasien dikelompokan menjadi hepatitis B kronis HbeAG positif dan Hepatitis B kronis HbeAg negative. b. Carier HBV inaktif Pada kelompok ini HbsAg positif dengan titer DNA yang rendah yaitu < 105 kopi/mL. Pada pasien menunjukan konsentrasi ALT yang normal dan tidak didapatkan keluhan. Pasien dengan penyakit hepatitis B kronis bisa terjadi toleransi sistem imun atau pasien memiliki infeksi kronis yang inaktif tanpa adanya tanda penyakit tersebut aktif, biasan ya asimptomatik. Pasien dengan hepatitis kronis aktif , selama fase replikasi dapat menunjukan gejala gejala sebagai berikut:3 -
Gejala mirip pada hepatitis akut
-
Mudah lelah
-
Penurunan nafsu makan
-
Mual
- Nyeri perut kanan atas Jika muncul penyakit yang progresif dapat muncul gejala sebagai berikut : -
Dekompensasi hepar
-
Ensepalopati hepatikum
-
Penurunan kesadaran
-
Gangguan tidur
-
Koma
Kriteria diagnosis infeksi hepatitis B kronis adalah HBsAg seropositif >6 bulan, DNA HBV serum >20.000 IU/mL (nilai yang lebih rendah 200-20.000 IU/mL ditemukan pada HBeAg negatif), peningkatan ALT (peninggian SGOT dan SGPT yang tidak terlalu hebat, biasanya SGPT dan SGOT meningkat 2-3 kali normal) dan biopsi hati menunjukkan hepatitis kronis dengan derajat nekroinflamasi sedang sampai berat.1 Tujuan utama dari terapi penderita dengan infeksi HBV kronis adalah untuk meningkatkan survival dan quality of life dengan mencegah progresi penyakit dan terutama perkembangan menjadi HCC. Tujuan tambahan dari terapi antivirus yaitu untuk mencegah mother to children transmission, reaktivasi hepatitis B, dan mencegah dan mengatasi manifestasi ekstrahepatal yang berhubungan dengan HBV.2 Tujuan dan target terapi hepatitis B kronik :1 TARGET
DESKRIPSI
Target ideal
Hilangnya HBsAg dengan atau tanpa serokonversi anti-
(Ideal endpoint)
HBs
Target memuaskan
Tidak
(Satisfactory endpoint)
dihentikan
ditemukannya pada
relaps
pasien
klinis
HBeAg
setelah positif
terapi
(disertai
serokonversi anti HBe yang bertahan) dan pasien HBeAg negative Target diharapkan
Penekanan HBV DNA yang bertahan selama terappi
(Desirable endpoint)
jangka panjang untuk pasien HBeAg positif yang tidak mencapai serokonversi anti HBe dan pada pasien HBeAg negative
Rekomendasi EASL untuk Indikasi Terapi Hepatitis B adalah sebagai berikut:2
Semua penderita dengan HBeAg-positif atau -negatif hepatitis B kronis, yang ditandai dengan HBV DNA >2.000 IU/ml, ALT >ULN dan/atau sedikit nekroinflamasi atau fibrosis hati.
Penderita dengan cirrosis kompensata atau dekompensata, dengan berapapun level HBV DNA maupun ALT
Penderita dengan HBV DNA >20.000 IU/ml dan ALT >2x ULN, berapapun derajat fibrosisnya. Penderita dengan infeksi HBeAg-positif HBV kronis, yang ditandai dengan ALT yang normal dan tingginya level HBV DNA
diterapi jika umurnya lebih dari 30 tahun. Gambar 3. Algoritma Manajemen Infeksi HBV
Untuk pengobatan hepatitis B digunakan obat golongan interferon dan golongan analog nukleosida. Golongan analog nukleosida yang beredar di Indonesia diantaranya lamivudine 100mg, adefovir 10 mg, entecavir 0,5mg, telbivudin 600mg dan tenofovir 300mg. Rekomendasi lini pertama untuk terapi hepatitis B kronik saat ini yaitu pegylated interferon, entecavir dan tenofo vir. Pada pasien ini diusulkan terapi tenovofir 300mg/24 jam. Pada pasien dengan HBeAg negative, efektifitas tenofovir terlihat sangat meningkat. Tenofovir memiliki efektifitas hasil terapi yang lebih baik dari pada adefovir. Pemberian tenofovir selama 48 minggu pada pasien dengan HBeAg negative akan menekan HBV DNA sampai dibawah 400kopi/mL. Tenofovir juga memberikan efek lebih besar untuk perbaikan histopatologi hepar dibandingkan adefovir. Pemberian tenofovir dalam 3 tahun juga aman, efektif dan tingkat resistensi yang relative rendah. Pilihan terapi pada pasien ini tidak dijatuhkan pada entecavir meskipun entecavir dapat memberikan hasil HBV DNA tidak terdeteksi setelah terapi 52 minggu pada 90% pasien, karena setelah target terapi tercapai seringkali jika pengobatan di hentikan maka terjadi relaps.1,4
ASCITES
Asites adalah timbunan cairan secara patologis dalam rongga peritoneum yang dapat disebabkan oleh berbagai penyakit terutama pada penyakit hati kronik atau sirosis hepatis. Jumlah patologiknya adalah jika lebih dari 25 ml. Ascites dapat terjadi akibat beberapa mekanisme diantaranya terjadinya hiperaldosteronisme sekunder dan penurunan fungsi albumin akibat kegagalan faal hati.10 Hiperaldosteronisme
terjadi
karena
penurunan
fungsi
hepar
dalam
memetabolisme aldosteron dalam darah sehingga terjadi peningkatan kadar aldosteron dalam darah. Teori lain menyebutkan bahwa terjadinya vasodilatasi perifer. Menurut teori ini faktor yang berperan penting adalah hipertensi porta. Akibat vasokonstriksi dan fibrotisasi sinusoid terjadi peningkatan resistensi sistem porta dan terjadi hipertensi porta. Peningkatan resistensi vena porta diimbangi dengan vasodilatasi splanchnic bed oleh vasodilator endogen. Hipertensi porta akan meningkatkan transudasi di sinusoid dan kapiler usus. Transudat akan berkumpul di rongga peritoneum. Vasodilator endogen seperti glukagon, nitrit oxide, endotel, prostaglandin akan memepengaruhi sirkulasi arterial sistemik, dan peningkatan vasodilatasi perifer. Tubuh akan meningkatkan sistem saraf simpatik, sistem renin angiotensin aldosteron dan arginin vasopresin. Akibat selanjutnya terjadi peningkatan resorpsi air dan garam oleh ginjal dan terbentuklah ascites.11 Berdasarkan pada konsensus EASL Asites dikelompokkan menjadi 3 tingkat antara lain grade 1 hanya dapat di deteksi melalui ultrasonografi, grade 2 merupakan asites sedang berupa pembesaran abdomen simetris, dan grade 3 merupakan gross asites ditandai dengan distensi dari abdomen.10 Menurut European Association for the Study of the Liver, terapi pasien ascites grade 2 adalah diet rendah garam dan diuretik. Pada pasien ini, terapi yang diberikan adalah diuretik spironolakton 300 mg/24 jam per oral. Spironolakton bekerja sebagai anti aldosteron, mencegah reabsorpsi natrium pada tubulus distal dan duktus kolektivus. Obat ini merupakan obat pilihan pertama pada ascites akibat sirosis.
Spironolakton tergolong natriuretik yang lemah namun hemat kalium, kadang penggunaannya harus dihentikan jika terjadi hiperkalemia, sehingga pengawasan elektrolit dalam darah perlu dilakukan. Pada pasien ini juga diberikan furosemide dengan dosis 40mg/24 jam per oral. Hipokalemia merupakan efek samping furosemide yang sering terjadi. Pada pasien dengan sirosis hepatis, hipokalemia dapat menyebabkan
ensefalopati
hepatikum.
Pemberian
diuretik
kombinasi
lebih
direkomendasikan dibanding penggunaan diuretik tunggal untuk ascites moderate. Diuretik kombinasi yang biasa digunakan pada pasien dengan ascites permagna adalah spironolactone dan furosemide.10,12 Pada pasien ini dilakukan pungsi asites yang bertujuan untuk memastikan apakah cairan ini eksudat atau transudat. Sehingga perlu dilakukannya analisis cairan asites, pemeriksaan PMN, MN, glukosa asites, SAAG, kultur cairan asites, LDH asites. Setelah dilakukan pemeriksaan, cairan yang telah dipungsi tersebut adalah cairan transudat yang berasal dari hipertensi portal, terbukti dengan nilai SAAG nya >1,1 (high gradient).11 ANEMIA BERAT NORMOSITIK NORMOKROMIK
Anemia adalah berkurangnya hemboglobin dalam darah. Nilai rujukan kadar hemoglobin untuk mendiagnosis anemia pada orang dewasa menurut WHO dapat dilihat pada tabel.13 Kadar hemoglobin untuk mendiagnosis anemia menurut WHO : 13 Populasi
Non Anemia
Bayi usia 6-59
Anemia Mild
Moderate
Severe
≥ 11.0
10.0-10.9
7.0-9.9
< 7.0
≥ 11.5
11.0-11.4
8.0-10.9
< 8.0
≥ 12.0
11.0-11.9
8.0-10.9
< 8.0
≥ 12.0
11.0-11.9
8.0-10.9
< 8.0
bulan Anak usia 5 – 11 tahun Anak usia 12 – 14 tahun Wanita
tidak
hamil (usia di atas 15 tahun) Wanita hamil
≥ 11.0
10.0-10.9
7.0-9.9
< 7.0
Pria (usia di
≥ 13.0
11.0-12.9
8.0-10.9
< 8.0
atas 15 tahun)
Sedangkan klasifikasi anemia berdasarkan gambaran morfologis dengan melihat indeks eritrosit atau hapusan darah tepi dibagi menj adi tiga golongan yaitu: Klasifikasi Anemia Berdasarkan Morfologi dan Etiologi14 Anemia
Anemia
Hipokromik
Normokromik
Mikrositer
Normositik
MCV < 80 fl
MCV 80 – 95 fl
MCH < 27 pg
MCH 27 – 34 pg
1. Anemia
defisiensi
besi
pasca
perdarahan
2. Thalasemia major 3. Anemia
1. Anemia
akibat
penyakit kronik 4. Anemia sideroblastik
2. Anemia
Makrositer
MCV > 95 fl 1. Anemia megaloblastik
aplastik
–
hipoplastik
- Anemia
defisiensi
asam folat
3. Anemia hemolitik 4. Anemia
Anemia
- Anemia
akibat
penyakit kronik
defisiensi
B12 2. Anemia
5. Anemia mieloptisik
megaloblastik
6. Anemia pada sindrom
- Anemia
mielodisplastik 7. Anemia leukemia akut
penyakit pada
non
pada kronik
hepar - Anemia sindroma mielodisplastik
pada
Pendekatan diagnostik untuk mencari penyebab anemia dimulai dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, dilanjutkan pemeriksaan laboratorium untuk memperkuat diagnosis. Salah satu pemeriksaan laboratorium yang penting adalah gambaran darah tepi dan retikulosit, karena dapat ditemukan gambaran sel darah yang spesifik untuk penyakit tertentu. Retikulosit adalah eritrosit muda yang masih mengandung sisa RNA. Jumlah retikulosit di darah tepi mencerminkan aktivitas pembentukan eritrosit (eritropoiesis) di sumsum tulang. Jumlah retikulosit yang meningkat pada anemia menandakan respons pembentukan eritrosit yang masih baik di sumsum tulang. Pada kondisi ini, kemungkinan penyebab anemia adalah kelainan yang tidak melibatkan sumsum tulang, misalnya anemia hemolitik atau anemia karena perdarahan. Sebaliknya, jumlah retikulosit yang rendah pada anemia menandakan adanya masalah di sumsum tulang sehingga pembentukan eritrosit tidak berjalan baik.5 Pada pasien ini didapatkan Hb sebesar 5 gr/dl, MCH dan MCHC di bawah nilai normal serta MCV normal, sehingga diinterpretasikan sebagai anemia normokromik mikrositer. Diduga penyebab anemia normokromik mikrositer tersebut karena penyakit hepar kronis. Tetapi anemia normokromik mikrositer juga dapat disebabkan oleh kekurangan asam folat. PERDARAHAN SALURAN CERNA BAGIAN ATAS
Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas (SCBA) adalah kehilangan darah dalam lumen saluran cerna yang terjadi di sebelah proksimal ligamentum treitz, mulai dari esofagus, gaster, duodenum sampai pada bagian atas dari jejunum. Mekanisme kehilangan darah dapat berupa perdarahan tersamar intermiten sampai dengan perdarahan masif yang disertai renjatan. Perdarahan yang tersamar (occult bleeding) hanya dapat dideteksi adanya darah samar pada feses atau adanya anemia defisiensi besi, sehingga sering tidak tampak secara jelas. Berat ringannya perdarahan dapat dinilai dari manifestasi klinik yang ada, derajat turunnya kadar haemoglobin, serta yang paling penting adalah ada tidaknya manifestasi gangguan hemodinamik. Perdarahan akut dalam jumlah besar melebihi 20% volume
intravascular akan mengakibatkan kondisi hemodinamik tidak stabil, dengan tandatanda sebagai berikut: 1. Hipotensi (<90/60 mmHg atau Mean Arterial Presure (MAP)<70 mmHg) dengan frekuensi nadi > 100/menit. 2. Tekanan diastolik ortostatik turun > 10 mmHg atau sistolik turun > 20 mmHg. 3. Frekuensi nadi ortostatik meningkat > 15/menit. 4. Akral dingin. 5. Kesadaran menurun. 6. Anuria atau oliguria (produksi urine < 30ml/ jam). Terdapat perbedaan distribusi penyebab perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) di Indonesia dengan laporan pustaka Barat. Penyebab terbanyak di Indonesia adalah perdarahan varises karena sirosis hati (65%), sedangkan di negara Eropa dan Amerika adalah perdarahan non variceal karena ulkus peptikum (60%). Penyebab lain yang jarang meliputi, Malory Weiss tears, duodenitis erosive, ulkus dielafoy (salah satu tipe malformasi vaskuler), neoplasma, aortoenteric fistula, GAVE (gastric antral vascular ectasia) dan gastropathy prolapse.
Lumen gaster memiliki pH yang asam. Kondisi ini berkontribusi dalam proses
pencernaan tetapi juga berpotensi merusak mukosa gaster. Beberapa mekanisme telah terlibat untuk melindungi mukosa gaster. Musin yang disekresi sel-sel foveola gastrica membentuk suatu lapisan tipis yang mencegah partikel makanan besar menempel secara langsung pada lapisan epitel. Lapisan mukosa juga mendasari pembentukan lapisan musin stabil pada permukaan epitel yang melindungi mukosa dari paparan langsung asam lambung, selain itu memiliki pH netral sebagai hasil sekresi ion bikarbonat sel-sel epitel permukaan. Suplai vaskular ke mukosa gaster selain mengantarkan oksigen, bikarbonat, dan nutrisi juga berfungsi untuk melunturkan asam yang berdifusi ke lamina propia. Gastritis akut atau kronik dapat terjadi dengan adanya dekstruksi mekanisme-mekanisme protektif tersebut.
Pada orang yang sudah lanjut usia pembentukan musin berkurang sehingga rentan terkena gastritis dan perdarahan saluran cerna. OAINS dan obat antiplatelet dapat mempengaruhi proteksi sel (sitoproteksi) yang umumnya dibentuk oleh prostaglandin atau mengurangi sekresi bikarbonat yang menyebabkan meningkatnya perlukaan mukosa gaster. Infeksi Helicobacter pylori yang predominan di antrum akan meningkatkan sekresi asam lambung dengan konsekuensi terjadinya tukak duodenum. Inflamasi pada antrum akan menstimulasi sekresi gastrin yang merangsang sel parietal untuk meningkatkan sekresi lambung. Perlukaan sel secara
langsung juga dapat disebabkan konsumsi alkohol yang berlebih. Alkohol merangsang sekresi asam dan isi minuman berakohol selain alkohol juga merangsang sekresi asam sehingga menyebabkan perlukaan mukosa saluran cerna.27 Penggunaan zat-zat penghambat mitosis pada terapi radiasi dan kemoterapi menyebabkan kerusakan mukosa menyeluruh karena hilangnya kemampuan regenerasi sel.33 Beberapa penelitian menunjukkan bahwa diabetes mellitus merupakan salah satu penyakit komorbid pada perdarahan SCBA dan menjadi faktor risiko perdarahan SCBA. Pada pasien DM terjadi perubahan mikrovaskuler salah satunya adalah penurunan prostasiklin yang berfungsi mempertahankan mukosa lambung sehingga mudah terjadi perdarahan. DIABETES MELLITUS TIPE II
Berdasarkan American Diabetes Association (ADA) 2010, diabetes mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin atau keduanya.
Pada tahun 2017,
American Diabetes Association mengeluarkan klasifikasi diabetes yaitu sebagai berikut: Tipe 1
Destruksi sel beta pankreas oleh autoimun, umumnya terjadi insulin deficiency yang absolut. Mutlak membutuhkan terapi insulin.
Tipe 2
Berkurangnya sekresi insulin sel beta pankreas secara progresif. Umumnya merupakan latar belakang munculnya resistensi insulin.
Diabetes mellitus gestational
Diabetes
mellitus
yang
terdiaignosis
dalam
minggu ke dua dan ketiga trimester kehamilan tanpa adanya riwayat diabetes mellitus yang jelas sebelum masa kehamilan. DM tipe lain
Monogenic diabetes syndrome (neonatal diabetes, maturity-onset diabetes of the young (MODY)) Penyakit eksokrin pankreas (cystic fibrosis)
Drug
or
chemical
induced
diabetes
( glucocorticoid , terapi ARV, pasca transplantasi organ) Tabel 2. Klasifikasi Diabetes Mellitus menurut American Diabetes Association
DM tipe 2 merupakan kondisi multifaktorial. Salah satu faktor risiko dari diabetes mellitus adalah kondisi obesitas atau dengan kondisi lemak visceral yang menonjol. Keadaan ini berhubungan dengan resistensi insulin yang terjadi beberapa dekade sebelum kejadian DM tipe 2. Secara fisiologis, tubuh dapat mengatasi resistensi insulin yang terjadi dengan meningkatkan jumlah sekresi insulin sehingga hiperglikemia tidak terjadi. Resistensi insulin yang terjadi secara bertahap dan perlahan menyebabkan hiperglikemia yang awalnya tidak menimbulkan gejala klasik diabetes. Pada suatu saat, gabungan antara defek sekresi insulin dan resistensi insulin menyebabkan terjadinya hiperglikemia. Periode dimana tubuh masih dapat mempertahankan kadar glukosa darah dalam batas normal (bukan DM, tidak termasuk dalam kriteria diagnosis DM maupun prediabetes) disebut stadium normoglikemia, sedangkan periode dimana telah terjadi peningkatan kadar glukosa darah disebut stadium hiperglikemia. Stadium hiperglikemia dibedakan menjadi prediabetes dan diabetes mellitus. Stadium prediabetes meliputi toleransi glukosa terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (DGPT). Saat DM terdiagnosis, diperkirakan pasien tersebut sudah mengalami kehilangan 50% massa sel beta pankreas, sehingga terjadi ketidakseimbangan antara sekresi insulin dan resistensi insulin. DM dan hiperglikemia merupakan bagian dari sindrom metabolik atau sindrom resistensi insulin, sindrom metabolik merupakan sekumpulan kelainan metabolik yang mengarah pada risiko penyakit kardiovaskular dan diabetes. Sindrom metabolik menurut National Cholesterol Ediction Program Adult Treatment Panel III (NCEP ATP III) ditegakkan dengan adanya minimal tiga dari kriteria berikut:
Lingkar pinggang ≥90 cm untuk laki laki atau ≥80 cm untuk perempuan (ras Asia selain Jepang)
Trigliserida plasma ≥150 mg/dL atau sedang mengkonsumsi obat penurun kolesterol (kriteria Asia Pasifik)
HDL plasma < 40 mg/dL pada laki-laki atau < 50 mg/dL pada perempuan
Tekanan darah ≥130/85 mmHg atau sedang mengkonsumsi obat antihipertensi
Glukosa darah puasa ≥100 mg/dL
American Heart Association menambahkan adanya pengobatan untuk hipertensi (walaupun tekanan darah sudah terkontrol) atau pengobaran terhadap hiperglilkemia (walaupun glukosa darah sudah terkontrol) ke dalam kriteria untuk hipertensi dan hiperglikemi diatas. American Diabetes Association 2017 menentukan kriteria diagnosis untuk diabetes adalah sebagai berikut:
Gambar 5. Kriteria diagnosis diabetes mellitus menurut American Diabetes
Association 2017 Diagnosis diabetes mellitus adalah berdasarkan profil glukosa, menurut American Diabetes Association pemeriksaan untuk mendiagnosis diabetes tipe 2 dapat dilakukan pada pasien dengan gejala klasik diabetes mellitus atau pada pasien
yang bahkan tidak memiliki gejala klinis sama sekali namun memenuhi kriteria sebagai berikut:
Gambar 6. Kriteria pasien dewasa asimtomatik yang memerlukan pemeriksaan
diabetes mellitus menurut American Diabetes Association 2017
Terdapat 4 pilar terapi terhadap diabetes mellitus yaitu: 1. Edukasi: edukasi dapat meliputi pengertian DM itu sendiri, promosi perilaku hidup sehat, pemantauan glukosa darah mandiri, serta tanda dan gejala hipoglikemia beserta cara mengatasinya perlu dipahami oleh pasien 2. Terapi nutrisi medis: prinsip pengaturan diet DM adalah menu seimbang sesuai kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing pasien, serta perlu ditekankan pentingnya keteraturan jadwal, jenis dan jumlah makanan. Keterbutuhan kalori didapatkan dengan menghitung kalori basal. Kebutuhan kalori ini besarnya 25 (wanita)-30 kalori (pria)/kgBB ideal ditambah atau dikurangi tergantung dari beberapa faktor seperti jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dll. Perhitungan berat badan ideal (BBI ) dilakukan dengan rumus Broca yang dimodfikasi yaitu:
BBI= 90%x(tinggi badan dalam cm-100)x1 kg
Bagi pria dengan tinggi badan <160 cm dan perempuan <150 cm, rumus dimodifikasi menjasi BBI= (tinggi badan dalam cm-100)x 1 kg
BB normal=BBI±10%, kurus BBI+10%
Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari:
Karbohidrat: 45-65% total asupan energi (karbohidrat non-olahan berserat tinggi, dibagi dalam 3x makan/hari)
Lemak: 20-25% kebutuhan kalori (batasi lemak jenuh dan lemak trans, seperti daging berlemak, whole milk, konsumsi kolesterol <200mg/hari)
Protein: 10-20% total asupan enegi (seafood, daging tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu dan tempe)
Natrium: <3 atau 1 sdt garam dapur (pada hipertensi, natrium dibatasi 2,3 g)
Serat: ± 25 g.hari (kacang-kacangan, buah, dan sayuran serta karbohidrat tinggi serat)
Pemanis alternatif: tetap perlu diperhitungkan kandungan kalorinya sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.
3. Aktifitas fisik: kegiatan jasmani yang dianjurkan adalah intensitas sedang (5070% denyut nadi maksimal) minimal 150 menit/ minggu. aktivitas dibagi dalam tiga hari per minggu dan tidak ada dua hari berturut-turut tanpa aktifitas fisik. Jika tidak ada kontraindikasi, pasien DM tipe 2 diedukasi untuk melakukan
latihan
resistensi
sekurang-kurangnya
2x/minggu.
untuk
penyandang DM dengan penyakit kardiovaskular, latihan jasmani dimulai dengan intensitas rendah dan durasi singkat lalu secara perlahan ditingkatkan. Aktifitas fisik sehari-hari juga dapat dilakukan misalnya berjalan kaki ke tempat kerja, menggunakan tangga (tidak menggunakan elevator). 4. Terapi farmakologis Terapi farmakologis pada diabetes mellitus dapat mengikuti panduan terapi dari American Diabetes Association tahun 2017 yaitu sebagai berikut:
Gambar 7. Alur tatalaksana diabetes mellitus
DAFTAR PUSTAKA
1. Perhimppunan Peneliti Hati Indonesia. Konsensus Nasional Penatalaksanaan
hepatitis B di Indonesia. PPHI. 2017 :p2-51 2. EASL. 2017 Clinical Practice Guidelines on the management of Hepatitis B
Virus Infection. J Gastroenterol Hepatol. 2017;67 p370-398. 3. Sood R. Ascites : Diagnosis and Management. J Indian Acad Clin Med. 2011;5(1):81 – 9. 4. Cheung K, Lee SS, Raman M. Prevalence and mechanisms of malnutrition in patients with advanced liver disease, and nutrition management strategies. Clin Gastroenterol Hepatol 2012;10:117‐125. 5. Sudoyo AW, Setiyo Hadi,Alwi I, Simadibrata M, Setiai S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II edisi VI. Jakarta : Interna Publishing:2014 6. Pinzani, M,Roselli, Zukermann,M. Liver Cirrhosis. Best Practice & research Clinical Gastroenterohepatology. 2011;25 :281-299. 7. Thabut D,et al. Diagnostic Performance of Baveno IV criteria in cirrhosis paatients with upper gastrointestinal bleeding: analysis of the f7 liver-1288 study Population. J hepatol. 2010 8. Cheung K, Lee SS, Raman M. Prevalence and mechanisms of malnutrition in patients with advanced liver disease, and nutrition management strategies. Clin Gastroenterol Hepatol 2012;10:117‐125. 9. Alberino F, Gatta A, Amodio P, Merkel C, DiPascoli L, Boffo G, et al. Nutrition and survival in patients with liver cirrhosis. Nutrition 2001;17:445‐450. 10. European Association for the Study of Liver. EASL : clinical practice guidelines on the management of ascites, spontaneous bacterial peritonitis, and hepatorenal syndrome in cirrhosis. J hepatol .2010;53 ;397-417 11. Tuty Mulyani, Fita Rahmawati, Neneng Ratnasari. Evaluasi Penggunaan Kombinasi Spironolakton dan Furosemid pada Pasien Sirosis Hepatis dengan Ascites Permagna. 2017:7(2) :97-104.