BAB 1. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Daging adalah suatu sumber protein hewani yang merupakan bahan makanan yang bernilai gizi tinggi. Salah satu jenis daging yang sering dikonsumsi oleh masyarakat adalah daging kambing. Daging kambing adalah bagian otot skeletal dari karkas kambing yang aman, layak dan lazim, dikonsumsi oleh manusia, dapat berupa daging segar, daging segar dingin, atau daging beku (BSN, 2008). Daging kambing lebih empuk dari pada daging sapi dan daging kerbau, serat dagingnya yang halus dan mempunyai rasa dan aroma khusus. Daging kambing memiliki warna merah namun pucat cenderung berwarna pink, memiliki lemak yang berwarna putih, dan teksturnya lunak. Daging kambing mempunyai aroma yang khas terutama pada kambing jantan. Kualitas
daging
dipengaruhi
oleh
faktor
sebelum
dan
setelah
pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas daging adalah genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur, pakan dan stress. Sedangkan faktor setelah pemotongan yang mempengaruhi kualitas daging adalah metode pelayuan, metode pemasakan, pH karkas dan daging, hormon dan antibiotik, serta metode penyimpanan (Suardana dan Swacita, 2009). Sehubungan dengan hal tersebut, maka perlu dilakukan uji-uji terhadap karkas daging kambing yang beredar di masyarakat untuk menjaga keamanan pangan asal hewan yang aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH).
1.2
Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari pengujian yaitu apakah daging kambing yang diuji memiliki mutu dan kualitas yang baik melalui pengujian laboratorium sehingga daging kambing dinyatakan aman, sehat, utuh, dan halal untuk konsumsi masyarakat sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) 3925:2008 tentang mutu karkas dan daging kambing/domba?
56
1.3
Tujuan
Tujuan dari pengujian yaitu untuk mengetahui daging kambing yang diuji memiliki mutu dan kualitas yang baik melalui pengujian laboratorium sehingga daging kambing dinyatakan aman, sehat, utuh, dan halal untuk konsumsi masyarakat sesuai dengan SNI 3925:2008 tentang mutu karkas dan daging kambing/domba.
1.4
Manfaat
Manfaat pengujian yaitu untuk mengetahui dan memahami cara pengujian kualitas daging kambing, serta mengetahui kualitas daging kambing dalam rangka memberikan jaminan keamanan pangan asal hewan.
57
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Daging
Daging adalah jaringan otot dari hewan yang telah disembelih dan telah mengalami perubahan postmortem (Heinz and Hautzinger, 2007). Daging merupakan sekumpulan otot dari karkas hewan . Karkas merupakan bagian tubuh ternak yang telah disembelih,dikuliti, dan dihilangkan bagian isi perut serta kepala dan bagian kaki bawahnya (Feiner, 2006).
2.2 Daging Kambing
Daging kambing adalah bagian otot skeletal dari karkas kambing yang aman, layak dan lazim, dikonsumsi oleh manusia, dapat berupa daging segar, daging segar dingin, atau daging beku (BSN, 2008). Daging kambing tergolong ke dalam daging merah, memiliki kadar lemak total dan kalori yang rendah (USDA 2001), sehingga daging kambing dianggap sebagai daging sehat (Anaeto, et al ., 2010).
2.3 Kandungan Gizi Daging Kambing
Daging kambing memiliki kandungan protein yang relatif sama dibandingkan daging sapi, dan kandungan energinya sedikit lebih tinggi. Daging kambing ternyata menjadi sumber vitamin A, vitamin B6, dan beberapa kondisi vitamin B12 yang lebih baik dibandingkan dengan daging sapi, demikian pula halnya dengan kandungan riboflavin, niacin dan kalsium, serta iron, sodium dan phosphor, yang terdapat lebih banyak terkandung dalam daging kambing atau domba dibandingkan dengan daging sapi. Angka kolesterol pada daging kambing dan domba lebih rendah (41 – 53 mg/100 g) dibandingkan daging sapi (55 – 66 mg/100 g). Data tersebut memberikan pandangan bahwa daging kambing dapat dijadikan sebagai sumber pangan daging yang kandungan gizi dan manfaatnya sama atau lebih baik dari daging sapi (Soedjana, 2011). Perbandingan komposisi kandungan daging sapi dan daging kambing dapat dilihat pada Tabel 2.1
58
Tabel 2.1 Komposisi Kandungan Gizi Daging Sapi dan Daging Kambing
Sumber: Soedjana, 2011.
2.4 Kualitas Daging Kambing
Daging
segar
yang
bermutu
baik
sangatlah
diperlukan
untuk
menghasilkan suatu produk daging olahan yang bermutu baik pula, sehingga disamping peralatan dan penanganan yang memadai. Kualitas daging segar ditentukan oleh beberapa faktor sebelum dan sesudah pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang berpengaruh terhadap kualitas daging meliputi: genetik, spesies, tipe, jenis kelamin, umur, pakan termasuk bahan aditif (hormon, antibiotik dan mineral) dan stress. Faktor setelah pemotongan antara lain: metode pelayuan, metode pemasakan, pH karkas, daging, bahan tambahan termasuk enzim pengempuk daging, metode penyimpanan serta jenis dan lokasi otot (Soeparno, 2005). Sumber-sumber stress pada ternak bisa terjadi lama sebelum ternak dipotong dan bersifat kronis, menjelang hewan dipotong atau sesaat sebelum pemotongan. Nutrisi, iklim, cuaca, kelembaban,
ketakutan,
transportasi,
pemuasaan, pemaksaaan perlakuan (digelonggong/minum air) dan lain-lain
59
merupakan sumber-sumber stress pada ternak potong. Respon jaringan terhadap stress
bergantung
kemapuan
ternak
mengatasi
stress
dan
mekanisme
mempertahankan homeostasis. Perbedaan respon ini dapat diketahui dari kondisi daging. Daging PSE ( Pale, Soft, Exudative atau pucat, lembek dan berair) adalah kondisi akibat sistem peredaran tidak mampu mentrasportasikan timbunan asam laktat otot, sehingga ternak tidak mampu mempertahankan kondisi fisiologisnya. Akibat lainnya adalah pH daging menurun. Daging PSE berhubungan dengan peningkatan susut masak dan penurunan jus daging (Soeparno, 2005). Menurut Dewi (2004) ternak yang resisten terhadap stress mampu mempertahankan temperatur normal tubuh dan kondisi homeostatik dalam ototototnya dengan mengorbankan cadangan glikogen yang dimiliki. Defisiensi glikogen terjadi apabila ternak yang mengalami stress seperti berkaitan dengan kelelahan, latihan, puasa, suasana gelisah dan langsung dipotong sebelum mendapat istirahat yang cukup untuk memulihkan cadangan glikogen ototnya. Defisiensi glikogen otot pada ternak dapat menyebabkan proses glikolisis pascamati (rigormortis) yang terbatas dan berlangsung lambat sehingga daging yang dihasilkan mempunyai pH yang tinggi dengan warna merah gelap, bertekstur keras dan berair atau lebih dikenal dengan istilah daging DFD (Dark , Firm and Dry). Menurut Hafriyanti dkk. (2008), hewan yang sudah dipotong pH dagingnya berkisar 6,7-8. Dalam waktu 25 jam pH daging menjadi turun berkisar 5,6-5,8 di dalam otot. Warna daging sapi segar yang baik adalah warna merah cerah. Bau daging segar tidak berbau busuk tetapi berbau segar. Bau daging dapat dipengaruhi oleh jenis hewan, umur, jenis kelamin, pakan, lama waktu, kondisi penyimpanan daging. Jika daging busuk akan ditandai dengan terbentuknya amonia, H2S, Indol, amin yaitu hasil pemecahan protein mikroorganisme.
60
BAB 3. MATERI DAN METODE
3.1
Waktu dan Tempat
Kegiatan PPDH rotasi Kesmavet ini dilakukan mulai tanggal 16 Januari - 27 Januari 2016 yang bertempat di Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Brawijaya, Malang.
3.2
Peserta dan Pembimbing
Peserta kegiatan koasistensi Kesehatan Masyarakat Veteriner adalah mahasiswa Pendidikan Profesi Dokter Hewan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Brawijaya. Nama
: Azizah Noya Aurizza, S.KH
NIM
: 105130100011013
yang berada dibawah bimbingan drh. Ajeng Erika PH, M.Si
3.3
Metode kegiatan
Metode yang digunakan dalam koasistensi di Laboratorium Kesmavet adalah: 1. Melaksanakan pengujian terhadap sampel daging kambing 2. Melaksanakan diskusi kelompok dan dengan dokter hewan pembimbing koasistensi.
3.4
Metode dan Prosedur Pengujian
3.4.1 Uji Organoleptik (Padaga, dkk., 2013)
Prinsip pemeriksaan kualitas daging segar secara organoleptik yang meliputi rasa, bau, warna dan konsistensi yang dapat dilakukan dengan menggunakan panca indra.
Alat dan bahan: sampel daging kambing dan cawan petri.
Prosedur Kerja:
61
a. Produk olahan daging diletakkan di atas cawan petri lalu diamat rasa, bau, warna dan konsistensi. b. Hasil pengamatan dicatat. Interpretasi :
Daging kambing dianggap baik bila tidak dijumpai perubahan atau penyimpangan dalam bau, warna, kosistensi maupun teksturnya. Bau khas daging kambing, warna merah, konsistensi kenyal, tekstur lembut.
3.4.2 Uji pH (Padaga, dkk., 2013)
Prinsip pada pengujian pH daging kambing adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui konsentrasi ion H+ yang berpengaruh terhadap mutu dan kualitas daging.
Alat dan bahan: sampel daging kambing, aquades, pH meter, cawan petri, gunting, pinset dan timbangan.
Prosedur Kerja: a. Pengujian pH daging kambing segar diawali dengan pemeriksaan pH meter dengan memastikan bahwa pH meter telah terkalibrasi dengan menunjukkan pH 7,0. b. Sampel daging kambing segar ditimbang sebanyak 5 gram, dihaluskan dan dimasukkan dalam cawan petri yang berisi aquades 5 ml. c. Selanjutnya, pH meter ditempelkan pada sampel daging kambing segar serta diamati skala pembacaan yang ditunjukkan oleh pH meter. d. Pengujian pengukuran pH dilakukan sebanyak dua kali pada tempat yang berbeda. e. Setelah pH meter digunakan dibersihkan bagian ujungnya dengan menggunakan aquades. Nilai pH diperoleh dari rata-rata kedua hasil pengukuran.
Interpretasi Hasil: pH normal pada daging kambing yaitu 5,6-6,7 (Hafriyanti, dkk., 2008)
62
3.4.3 Uji Cooking L oss (Padaga, dkk., 2013)
Prinsip uji ini adalah selama pemanasan, protein daging akan terdenaturasi sehingga susunan seluler akan rusak. Hal tersebut mempengaruhi daya ikat air dalam daging. Air daging akan keluar selama pemanasan.
Alat dan Bahan: Kantong plastik, termometer, kertas tisu, air, timbangan, penangas air, dan sampel daging.
Prosedur Kerja : a. Daging dipotong, ditimbang dan dicatat (a gram), dimasukkan dalam kantung plastik, dengan termometer yang ditusukkan kedalam daging. Udara dalam plastik dihilangkan kemudian diikat dengan tali. b. Air dipanaskan (75oC) kemudian kantung plastik tersebut dimasukkan ke dalam air panas dan didiamkan 50 menit. Selanjutnya air dialirkan dari kran pada kantung selama 40 menit. c. Daging
dikeluarkan,
permukaan
daging
dikeringkan,
kemudian
ditimbang (b gram) d. Nilai cooking loss dihitung Cooking loss =
−
100%
Interpretasi Hasil: Nilai normal cooking loss pada daging kambing yaitu 1,5-54,5% (Soeparno,1998)
3.4.4 Uji Driploss (Padaga, dkk., 2013)
Prinsip dari uji ini adalah air bebas akan dilepaskan dari protein otot sejalan dengan penurunan pH otot.
Alat dan bahan : cawan petri, benang, toples dengan kawat untuk menggantung, kertas tisu, timbangan, lemari es, dan sampel daging kambing.
Prosedur Kerja : a. Sepotong daging ditimbang (a gram), daging digantung pada kawat yang terdapat di dalam toples dengan menggunakan benang lalu ditutup rapat.
63
b. Toples dimasukkan kedalam lemari es (7 OC) selama 48 jam. Setelah 48 jam, daging dikeluarkan dari plastik dan permukaan daging dikeringkan secara perlahan dengan kertas tisu. Kemudian ditimbang (b gram) c. Nilai driploss (%) dihitung dengan rumus berikut : Driploss =
−
100%
Interpretasi Hasil: Nilai normal driploss pada daging kambing yaitu 5,6-7,8% (SNI 01-39481995)
3.4.5 Uji Eber (Padaga, dkk., 2013)
Prinsip uji ini adalah awal proses pembusukan yang menghasilkan NH3 akan bereaksi dengan reagen eber dan membentuk senyawa NH4Cl.
Alat dan bahan: sampel daging, reagen eber (1 bagian HCl + 3 bagian alkohol 96% + 1 bagian eter), tabung reaksi, sumbat karet yang dilengkapi lidi, gunting, dan pinset.
Prosedur kerja: a. Sepotong kecil daging sebesar kacang tanah ditusukkan pada lidi dari sumbat tabung sehingga daging tergantung di atas permukaan reagen. b. Reagen eber sebanyak 5 ml dituangkan ke dalam tebung reaksi (tidak sampai membasahi daging di lidi jika sampel dimasukkan ke tabung). c. Sampel daging dimasukkan ke dalam tabung reaksi secara perlahan dan sesegera mungkin.
Interpretasi: a. Hasil positif didapatkan apabila terbentuk awan putih disekitar daging. b. Hasil negatif apabila tidak terbentuk awan putih.
3.4.6 Uji Postma (Padaga, dkk., 2013)
Prinsip: Gas NH3 yang dihasilkan pada awal proses pembusukan daging biasanya masih terikat pada beberapa bahan kimia dari daging, dengan
64
proses pemanasan dan penambahan MgO maka akan membebaskan NH3 dari ikatan tersebut. Gas yang bersifat basa ini kemudian akan ditangkap oleh kertas lakmus dan mengubahnya menjadi warna biru.
Alat dan bahan: MgO, aquades, kertas saring, kertas lakmus merah, pinset, gunting, erlenmeyer, corong, cawan petri, pipet, timbangan, penangas air, dan sampel daging.
Prosedur Kerja: a. Ekstrak daging dibuat dengan mencampurkan 1 bagian daging dengan 10 bagian akuades kemudian dihomogenkan, disaring, dan diambil filtratnya. b. 100 mg MgO dimasukkan ke dalam cawan petri. Kemudian ditambahkan 10 ml filtrat ke dalamnya. Pada permukaan tutup bagian dalam cawan petri direkatkan kertas lakmus merah yang dibasahi dengan akuades. Cawan petri ditutup dan isinya dihomogenkan. c. Cawan petri tersebut diletakkan di water bath pada suhu 500C selama 5 menit lalu diangkat. d. Perubahan warna kertas lakmus diamati
Interpretasi hasil : a. Reaksi positif
: kertas lakmus berwarna biru
b. Reaksi negatif
: kertas lakmus berwarna merah
c. Dubius
: kertas lakmus berwarna merah-biru
3.4.7 Pemeriksaan Kesempurnaan Pengeluaran Darah (Padaga, dkk., 2013)
Prinsip uji ini hewan yang dipotong tidak sempurna akan banyak ditemukan Hb dalam dagingnya. Adanya O2 dalam reaksi akan mengikat Hb, sehingga warna malachite green tidak akan dioksidasi dan warna tetap hijau. Jika tidak ada Hb maka O2 akan mengoksidasi malachite green dan berubah menjadi warna biru.
65
Alat dan Bahan: sampel daging kambing, akuades, malachite green, H2O2 3%, kertas saring, pipet, tabung reaksi, erlenmeyer 50 ml, corong, pinset, gunting.
Prosedur Kerja : a. Dibuat ekstrak daging (6 gram daging dipotong kecil-kecil dan dicampur 14 ml akuades) dan dimasukkan dalam Erlenmeyer, kemudian dihomogenkan dan didiamkan 15 menit. b. Ekstrak disaring kemudian diambil 0,7 ml filtratnya dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi c. Diteteskan malachite green 1 tetes dan H2O2 3% 1 tetes. Kemudian didiamkan selama 20 menit dalam suhu ruang.
Intepretasi hasil : a. Warna biru: pengeluaran darah sempurna b. Warna hijau: pengeluaran darah tidak sempurna
3.4.8 Uji Formalin dengan Uji Hehner (Buku Saku PPDH Kesmavet, 2015)
Alat dan Bahan: gelas ukur 10 ml, pipet tetes, tabung reaksi, asam sulfat pekat, larutan FeCl3 10% dan sampel daging kambing.
Prosedur kerja: a. 5 ml H2SO4 pekat dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambah 2 tetes larutan FeCl3 b. 5 ml larutan ekstrak sampel ditambahkan melalui dinding tabung
Interpretasi: Hasil positif menunjukkan adanya warna ungu-merah lembayung pada batas antara kedua larutan.
3.4.9 Uji Deteksi Boraks (Buku Saku PPDH Kesmavet, 2015)
Prinsip: Kertas kunyit (turmeric paper ) mengandung minyak astiri kurkumin yang merupakan indikator bagi natrium tetraborak yang memberikan warna merah orange pada kondisi asam 66
Alat dan bahan: akuades, kertas kunyit, kertas saring, asam klorida perkat, gunting, pinset, tabung reaksi, pipet, dan sampel daging
Prosedur kerja: Sampel daging ditimbang 25 gram dan dipotong-potong dan ditambahkan akuades 50 ml kemudian dihomogenkan dan disaring dengan kertas saring, selanjutnya ditambahkan 0,7 ml asam klorida dan divortex. Kertas kunyit dicelupkan pada larutan dan diamati perubahan warna
Interpretasi Hasil: a. Hasil positif berwarna merah oranye b. Hasil negatif berwarna kuning
3.4.10 Uji Mikrobiologi a. Uji Perhitungan Total Cemaran Mikroba Menggunakan Total Plate
Count (TPC) (SNI 2897: 2008)
Prinsip: apabila sel mikroba yang masih hidup ditumbuhkan pada media agar, maka mikroba tersebut berkembang biak dan membentuk koloni yang dapat dilihat langsung dengan mata telanjang. Mikroba yang tumbuh sebagai gambaran populasi mikroba pada sampel.
Alat dan bahan: sampel daging kambing, cawan petri, pipet ukur 1 ml steril, tabung reaksi, gunting, pinset, mortar, alu, pembakar bunsen, inkubator, autoclave, colony counter , BPW 0,1%, media PCA
Prosedur kerja : a. Sampel diambil sebanyak 10 gram secara aseptik dan ditambahkan larutan BPW 0,1 % sebanyak 90 ml, kemudian digerus pada mortar. Ini merupakan larutan dengan pengenceran 10-1. b. Dipindahkan
1 ml suspensi pengenceran 10-1 tersebut dengan pipet
steril ke dalam larutan 9 ml BPW 0,1% lainnya untuk mendapatkan pengenceran 10-2. c. Kemudian dibuat pengenceran 10-3 sampai 10-6 dengan cara yang sama seperti pada prosedur sebelumnya sesuai kebutuhan. 67
d. Pengenceran 10-4, 10-5, dan 10-6 ditanam dengan cara memasukkan larutan 1 ml sampel ke dalam cawan petri steril dengan menggunakan pipet secara duplo. e. Dilanjutkan pada masing-masing cawan yang sudah berisi suspensi pengenceran 10-4-10-6 ditambahkan media PCA sebanyak 15 ml - 20 ml. f. Supaya larutan sampel dan media PCA tercampur seluruhnya, dilakukan pemutaran cawan ke depan dan ke belakang atau membentuk angka depalan dan diamkan sampai memadat. g. Diinkubasi pada suhu 37˚C
selama 24 jam sampai 48 jam dengan
meletakkan cawan pada posisi terbalik.
Interpretasi Hasil: Batas cemaran mikroba daging kambing untuk uji pengukuran total bakteri (TPC) yaitu maksimum 1x106 Cfu/g (SNI 3925:2008)
b. Uji Cemaran Coliform Metode Hitung Cawan (SNI 3925: 2008)
Prinsip: apabila bakteri coliform yang masih hidup ditumbuhkan pada media agar, maka bakteri tersebut akan berkembang biak dan membentuk koloni yang dapat dilihat langsung dengan mata telanjang. Mikroba yang tumbuh sebagai gambaran populasi mikroba pada sampel.
Alat dan bahan: sampel daging, cawan petri, pipet ukur 1 ml steril, tabung reaksi, gunting, pinset, pembakar bunsen, inkubator, autoclave, colony counter , BPW 0,1%, agar VRB.
Prosedur Kerja: a. Sampel diambil sebanyak 10 gram secara aseptik dan ditambahkan larutan BPW 0,1 % sebanyak 90 ml, kemudian digerus pada mortar. Ini merupakan larutan dengan pengenceran 10-1. b. Dilakukan untuk pengenceran selanjutnya hingga pengenceran 10-3 dengan cara sama.
68
c. Tiga pengenceran pertama 10-1, 10-2, dan 10-3 ditanam dengan cara memasukkan larutan 1 ml sampel ke dalam cawan petri steril dengan menggunakan pipet secara duplo. d. Media VRB cair yang telah didinginkan sampai suhu 45o-50oC dituang pada cawan petri sebanyak 15-20 ml. e. Selanjutnya cawan digerak-gerakkan secara melingkar agar media merata, kemudian media agar dibiarkan memadat. f. Diinkubasi di dalam inkubator dengan posisi tutup dibalik selama 24-48 jam pada suhu 37oC, dihitung jumlah koloni dengan menggunakan colony counter .
Interpretasi Hasil: Koloni umumnya berdiameter 0,5 mm atau lebih, cawan petri yang digunakan dalam perhitungan adalah yang memiliki koloni 30-100 (jika jumlah koloni lebih besar dari 100, maka biasanya diameter koliform lebih kecil dari 0,5 mm). koloni berbentuk bulat, berwarna putih pada pinggirnya dan berwarna merah pada tengahnya. Batasan cemaran coliform pada daging kambing yaitu maksimum 1x102 Cfu/g (SNI 3925:2008)
c. Uji E . coli (SNI 3925: 2008)
Prinsip: apabila bakteri E. coli yang masih hidup ditumbuhkan pada media agar, maka bakteri tersebut akan berkembang biak dan membentuk koloni yang dapat dilihat langsung dengan mata telanjang. Mikroba yang tumbuh sebagai gambaran populasi mikroba pada sampel.
Alat dan bahan: sampel daging, cawan petri, pipet ukur 1 ml steril, tabung reaksi, gunting, pinset, pembakar bunsen, inkubator, autoclave, BPW 0,1%, agar EMBA
Prosedur Kerja: a. Sampel diambil sebanyak 10 gram secara aseptik dan ditambahkan larutan BPW 0,1 % sebanyak 90 ml, kemudian digerus pada mortar. Ini merupakan larutan dengan pengenceran 10-1.
69
b. Media EMBA cair steril dituang sebanyak 15-20 ml pada cawan petri, dibiarkan media agar memadat. c. Sampel ditanam dengan cara memasukkan larutan 0,1 ml sampel ke dalam media EMBA dengan menggunakan pipet dan diratakan dengan hockey stick (Spreader). d. Diinkubasi di dalam inkubator dengan posisi tutup dibalik selama 24-48 jam pada suhu 37oC.
Interpretasi hasil: a. Hasil positif: adanya koloni bakteri E.coli sp. pada media biakan berwarna hijau metalik pada morfologinya. b. Hasil Negatif: Tidak tumbuh koloni.
d. Uji Salmonella (SNI 3925: 2008)
Prinsip: apabila bakteri Salmonella yang masih hidup ditumbuhkan pada media agar, maka bakteri tersebut akan berkembang biak dan membentuk koloni yang dapat dilihat langsung dengan mata telanjang. Mikroba yang tumbuh sebagai gambaran populasi mikroba pada sampel.
Alat dan bahan: sampel daging, cawan petri, pipet ukur 1 ml steril, tabung reaksi, gunting, pinset, pembakar bunsen, inkubator, autoclave, BPW 0,1%, agar SSA
Prosedur Kerja: a. Sampel diambil sebanyak 10 gram secara aseptik dan ditambahkan larutan BPW 0,1 % sebanyak 90 ml, kemudian digerus pada mortar. Ini merupakan larutan dengan pengenceran 10-1. b. Tuang media SSA cair sebanyak 15-20 ml pada cawan petri, dibiarkan media agar memadat. c. Sampel
pada
pengenceran
menggunakan ose secara duplo.
70
10-1 ditanam
dengan
cara
distreak
d. Diinkubasi di dalam inkubator dengan posisi tutup dibalik selama 24-48 jam pada suhu 37oC.
Interpretasi hasil: a. Positif: Koloni berwarna coklat, abu – abu hingga hitam dan terkadang kilap logam. Apabila masa inkubasi bertambah maka warna media sekitar koloni mula-mula coklat kemudian menjadi hitam b. Negatif: Tidak tumbuh koloni.
e. Uji Residu Antibiotik (SNI 3925: 2008)
Prinsip: residu antibiotik akan menghambat pertumbuan mikroorganisme pada media agar. Penghambatan dapat dilihat dengan terbentuknya daerah hambatan disekitar kertas cakram atau silinder cup atau agar well . Besarnya diameter daerah hambatan menujukkan konsentrasi residu antibiotik. Pengujian dilakukan dengan kondisi aseptis.
Alat dan bahan: media MHA, paper disk , cawan petri, lemari es, timbangan analitik, sentrifus, pinset, inkubator, ose, sampel daging
Prosedur uji : a. 3 buah paper disk disiapkan meliputi paper disk kosong sebagai kontrol negatif, paper disk yang dicelupkan pada sampel, dan paper disk antibiotik. b. Media Muellen-Hinton Agar (MHA) yang ditambah kuman standar disiapkan dan didiamkan sampai beku. c. Paper disk tersebut ditempelkan pada media dan kontrol. d. Kemudian diinkubasikan selama 18-24 jam pada suhu 37° C. Penghitungan hasil berdasarkan diameter zona hambatan yang terbentuk disekeliling paper disk .
Intepretsi hasil: a. Hasil positif: apabila zona hambatan > 12 mm sampel dianggap positif mengandung residu antibiotik. b. Hasil negatif: tidak ada zona hambatan. 71
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Untuk mengetahui keamanan dari produk pangan asal hewan yaitu daging kambing dapat dilakukan dengan berbagai cara melalui beberapa tahapan uji. Hasil pengujian sampel daging kambing dapat dilihat pada Tabel 4.1. Adapun identitas sampel yaitu sebagai berikut: Sampel
: Daging Kambing
Asal
: Pasar Samaan Malang
Kemasan
: Tidak ada
Bert bersih
: 200 gram
Tabel 4.1 Hasil Pengujian Daging Kambing
Pengujian Organoleptik - Bau - Warna - Konsistensi - Kebersihan - Tekstur - Penampakan pH pH meter pH indikator Driploss Cooking loss
Hasil Khas Merah Kenyal Bersih Lembut Lembab 5,84 5 7,6 % 32,65 %
Sempurna Pengeluaran darah Negatif Eber Negatif Postma Penghitungan Jumlah Mikroba (SNI 3925:2008) Total Plate Count 1 x 106 Cfu/g Bakteri Coliform 3,2 x 102 Cfu/g E. coli Positif Salmonella Negatif Residu antibiotik Negatif
72
Standar (SNI 01-2346-2006) Khas Merah Kenyal Bersih Lembut Lembab 5,6-6,7 (Hafriyanti, dkk., 2008) 5,6-7,8% (SNI 01-3948-1995) 1,5-54,5% (Soeparno,1998) Sempurna Negatif Negatif maksimum 1x106 Cfu/g maksimum 1x102 Cfu/g maksimum 1x101 Cfu/g Negatif Negatif
Gambar 4.1 Sampel Daging Kambing
4.2 Pembahasan
Pengujian
yang
dilakukan
pada
daging
kambing
meliputi
uji
organoleptik, uji kesegaran daging, uji kesempurnaan pengeluaran darah, uji awal pembusukan daging, pemeriksaan bahan tambahan, dan uji mikrobiologi. Berdasarkan Tabel 4.1, uji organoleptik daging kambing memiliki warna merah khas daging kambing, berbau khas, tekstur lembut dan penampakannya lembab. Pada pengujian ini, tidak ditemukan kelainan organoleptik seperti perubahan warna akibat kontaminan mikroorganisme, fisik, dan kimiawi. Dari hasil uji organoleptik tersebut daging yang diuji memiliki mutu yang baik berdasarkan SNI 3925-2008 tentang mutu karkas dan daging kambing/domba. Beberapa faktor yang berperan dalam menentukan palatabilitas dan daya tarik antara lain warna, tekstur, keempukan, bau, citaras, aroma dan pH. Pembentuk pigmen warna dari daging adalah myoglobulin. Myoglobulin terdiri dari sebuah molekul protein yang disebut gugus heme (Etza et al., 2014). Pigmen warna adalah salah satu sifat fisik yang dapat digunakan untuk membedakan antar daging ternak sehingga meminimalisir terjadinya pemalsuan. Pemeriksaan pH, menunjukkan daging kambing memiliki pH 5,84. pH daging merupakan salah satu penentu kualitas daging, yaitu jika pH daging semakin rendah atau asam berarti daging tersebut akan lebih cepat mengalami pembusukan. Hampir semua bakteri tumbuh secara optimal pada pH sekitar 7, tetapi pH untuk
73
pertumbuhan optimal ditentukan oleh kerja stimulan dari berbagai variabel lain, diluar faktor pH itu sendiri (Amertaningtyas, 2012). Pada pemeriksaan cooking loss didapatkan nilai sebesar 32,65 %. Hasil pemeriksaan driploss 7,6 %. Menurut Hidayat dkk. (2016), driploss adalah penyusutan bobot daging selama proses penyimpanan karena adanya cairan dalam daging yang keluar pada proses tersebut. Selain dipengaruhi oleh lamanya waktu penyimpanan daging, driploss juga dipengaruhi oleh tingkat stres ternak sebelum dipotong. Sedangkan cooking loss merupakan jumlah cairan dalam daging masak, yang apabila mempunyai nilai yang rendah, maka akan mempunyai kualitas fisik yang lebih baik dari pada daging yang mempunyai nilai cooking loss yang besar. Perubahan cooking loss disebabkan terjadinya penurunan pH daging postmortem yang mengakibatkan banyak protein miofibriller yang rusak, sehinggga diikuti dengan kehilangan kemampuan protein untuk mengikat air yang pada akhirnya nilai cooking loss semakin besar . Pemeriksaan kesempurnaan pengeluaran darah pada sampel daging kambing menunjukkan hasil negatif. Hal tersebut ditandai dengan terbentuknya warna biru yang menunjukkan Hb dalam daging tidak ditemukan. Pemeriksaan awal pembusukan pada uji kualitas pemeriksaan daging kambing dilakukan menggunakan
menggunakan uji Eber dan Postma. Hasil pengujian tersebut
menunjukkan hasil negatif yang artinya sampel daging kambing tidak mengandung gas NH3 sebagai indikator terjadinya awal pembusukan daging. Dari hasil tersebut, dapat diketahui bahwa daging kambing masih dalam kondisi segar, tidak ada pembusukan. Pada dasarnya daging adalah produk makanan yang sangat cepat rusak (highly perishable) karena komposisi biologisnya. Secara fisik kebusukan pada daging ditandai dengan bau busuk, pembentukan lendir, perubahan tekstur, terbentuknya pigmen (perubahan warna), dan perubahan rasa (Adams dan Moss, 2008). Pengujian terhadap tambahan bahan pengawet dilakukan dengan uji boraks dan formalin. Hasil pemeriksaan uji boraks negatif yang ditandai kertas kunyit (turmeric paper ) tetap berwarna kuning. Hasil pemeriksaan uji formalin
74
juga menunjukkan hasil negatif karena tidak terbentuk warna ungu-merah lembayung. Dengan demikian, daging kambing yang diuji tidak mengandung bahan yang membahyakan untuk dikonsumsi masyarakat. Hasil uji mikrobiologi daging kambing menunjukkan total mikroba (Total Plate Count / TPC) sebesar 1 x 106 cfu/g. Hasil perhitungan tersebut masih dalam batas cemaran mikroba menurut SNI 3925: 2008 tentang mutu karkas dan daging kambing/domba.
Cemaran
bakteri
Collifom
menggunakan
media
VRB
menunjukkan jumlah koloni sebanyak 3,2 x 102 cfu/g. Jumlah koliform tersebut melebihi batas standart SNI yaitu 1x102 cfu/g. Jumlah koliform yang tinggi pada sampel daging kambing dapat bersumber dari hewan itu sendiri (misalnya rambut, bulu (unggas), kulit, isi saluran pencernaan dll), air yang digunakan selama proses pemotongan, udara, lantai atau tanah RPH, peralatan pemotongan, tempat penjualan daging, peralatan penjualan, lingkungan sekitar pasar, dan pedagang daging maupun calon pembeli daging.Uji E. coli dengan menggunakan EMBA menunjukkan hasil positif menurut SNI 3925: 2008 standar maksimum cemaran E. coli yaitu 1x101 cfu/g. Hasil pengujian Salmonella pada media SSA menunjukkan hasil negatif. Pencemaran daging oleh mikroba dapat terjadi sebelum dan setelah hewan dipotong. Sesaat setelah dipotong, darah masih bersirkulasi ke seluruh anggota tubuh hewan sehingga penggunaan pisau yang tidak bersih dapat menyebabkan mikroorganisme masuk ke dalam darah. Pencemaran daging dapat dicegah jika proses pemotongan dilakukan secara higienis. Pencemaran mikroba terjadi sejak di peternakan sampai ke meja makan. Sumber pencemaran tersebut antara lain adalah: 1) hewan (kulit, kuku, isi jeroan), 2) pekerja/manusia yang mencemari produk ternak melalui pakaian, rambut, hidung, mulut, tangan, jari, kuku, alas kaki, 3) peralatan (pisau, alat potong/talenan, pisau, boks), 4) bangunan (lantai), 5) lingkungan (udara, air, tanah), dan 6) kemasan (Gustiani, E., 2009). Uji residu antibiotik menggunkan amoxicillin. Amoxicillin adalah antibiotik semi-sintetik amino-penicillin B-lactam yang efektif untuk melawan
75
bakteri gram positif dan gram negatif. Amcixicillin umum digunakan sebagai obat hewan karena merupakan antimikrobial dengan spektrum luas. Spektrum antibakterial dari amoxicillin penting untuk bakteri gram positif (seperti spesies Clostridium, Streptococcus, Staphylococcus dan Corynebacterium) dan bakteri gram negatif (seperti Bordetella bronchiseptica, Escheria coli, Proteus mirabilis, spesies Pasteurella, Salmonella dan Haemophilus). Berdasarkan hasil pengujian residu antibiotik yang dilakukan menunjukkan bahwa sampel yang diuji tidak mengandung antibiotik.
76
BAB 5 PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan dari hasil pengujian yang telah dilakukan, sampel daging kambing memilki kualitas yang baik sesuai standar, namun masih ditemukan adanya cemaran coliform yang melebihi standar jumlah cemaran mikroba pangan. Daging kambing tersebut layak untuk dikonsumsi tetapi harus dicuci terlebih dahulu dan diolah atau dimasak dengan matang.
5.2 Saran
Perlu adanya penanganan yang baik dari mulai proses penyembelihan, penjualan, proses transportasi maupun penyimpanan, sehingga cemaran mikroba dalam daging dapat diminimalisir.
77
DAFTAR PUSTAKA
[BSN] Badan Standadisasi Nasional. 2008. Mutu karkas dan daging kambing/domba. SNI 3925:2008. [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2008. SNI 2897: 2008. Metode Pengujian Cemaran Mikroba Dalam Daging, Telur dan Susu Serta Produk Olahannya. BadanStandar Nasional, Jakarta. [USDA] United State Department of Agriculture. 2001. Nutrient data base for standard reference, release 14. Agricultural Research Service United States Department of Agriculture. Maryland. Adam and Moss. 2008. Food Microbiology. Royal Society Of Chemistry. Amertaningtyas, D. 2012. Kualitas Daging Sapi Segar Di Pasar Tradisional Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang. Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak Vol 7(1): 42-72 Anaeto MJ, Adeyeye A, Chioma GO, Olarinmoye AO, Tayo GO. 2010. Goat products: meeting the challenges of human health and nutrition. Agric Biol J N Am. 6:1231-1236. Dewi S.H.C., 2004. Pengaruh pemberian gula, insulin dan lama istirahat sebelum pemotongan pada domba setelah pengangkutan terhadap kulitas daging . [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Etza, B., Bintoro, P., Dwiloka, B., Hintono, A. 2014. Determinasi Warna Daging Curing pada Daging dan Produk Olahan Daging. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang Feiner, G. 2006. Meat Products Handbook: Practical Science and Technology. Woodhead Publishing Limited. Cambridge Gustiani, E. 2009. Pengendalian Cemaran Mikroba Pada Bahan Pangan Asal Ternak (Daging Dan Susu) Mulai Dari Peternakan Sampal Dihidangkan. Jurnal Litbang Pertanian, 28(3): 96-100. Hafriyanti, Hidayati, dan Elfawati, 2008. Kualitas Daging Sapi Dengan Kemasan Plastik PE (Polyethylen) Dan Plastik PP (Polypropylen) Di Pasar Arengka Kota Pekanbaru. Jurnal Peternakan Vol 5 No 1 Februari 2008 (22 - 27) Heinz, G. And P. Hautzinger. 2007. Meat Processing Technology for Small to Medium Scale Producers. FAO. Bangkok
78
Hidayat, M.A., Kuswati, dan T. Susilawati. 2016. Pengaruh Lama Istirahat Terhadap Karakteristik Karkas dan Kualitas Fisik Daging Sapi Brahman Cross Steer . Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan 25(2): 71-79 Kesehatan Masyarakat Veteriner. 2015. Buku Saku PPDH Koasistensi Kesmavet . Program Kedokteran Hewan. Universitas Brawijaya. Malang. Padaga, M., Herawati, Citra S., dan Ani, S. 2013. Penuntun Praktikum Higine Makanan. Program Kedokteran Hewan. Universitas Brawijaya. Malang. Soedjana, T.P. 2011. Peningkatan Konsumsi Daging Ruminansia Kecil dalam Rangka Diversifikasi Pangan Daging Mendukung PSDSK 2014. Workshop Nasional Diversifikasi Pangan Daging Ruminansia Kecil 2011. Bogor. 17-27 Soeparno. 2005. Ilmu Press.Yogyakarta.
dan
Teknologi
Daging. Gadjah
Mada
University
Suardana, I. W. dan I. B. N. Swacita. 2009. Higiene Makanan. Kajian Teori dan Prinsip Dasar. Udayana University Press, Denpasar.
79
Lampiran 1. Dokumentasi Pengujian Daging Kambing
Pengukuran pH Daging
Uji Kesempurnaan Pengeluaran Darah
Uji Postma
Uji Eber
Uji Total Cemaran Mikroba
Uji Residu Antibiotik
Uji Cemaran Coliform
Uji Salmonela
80
Lampiran 2. Perhitungan Driploss dan Cooking Loss
Driploss
= =
− ℎ 5,5 −5,8
100%
100%
5,5
= 7,6 % Cooking Loss
= =
− ℎ 4,38 −2,95 4,38
100%
100%
= 32,65 % Lampiran 3. Perhitungan Mikrobiologi
Perhitungan Total Plate Count (media PCA)
Pengujian I II Rata-Rata
Jumlah Koloni 105 24 15 19,5
4
10 112 101 106,5
106 0 0 0
Keterangan: Hanya satu pengenceran yang berada pada batas 25-250 koloni sehingga mengacu pada SNI 2897: 2008 Tabel 1 no. 1 Jumlah koloni
= rata-rata koloni yang berada pada batas yang sesuai (25-250) = 106,5 x 104 = 1 x 106 cfu/g
Perhitungan Jumlah Koliform (media VRB)
Pengujian I II Rata-Rata
Jumlah Koloni 102 19 8 13,5
1
10 30 34 32
103 0 0 0
Keterangan: Hanya satu pengenceran yang berada pada batas 25-250 koloni sehingga mengacu pada SNI 2897: 2008 Tabel 1 no. 1 Jumlah koloni
= rata-rata koloni yang berada pada batas yang sesuai (25-250) = 32 x 101 = 3,2 x 102 cfu/g
81