Case Repor Repor t Ses Session
OTITIS MEDIA AKUT STADIUM PERFORASI
Oleh :
Cintya Andriani Lieka Nugrahi Jaslindo
1010311017 1010312032
Preseptor : dr. Bestari Jaka Budiman, Sp.THT-KL(K)
BAGIAN ILMU ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA DAN LEHER RSUP Dr. M. DJAMIL PADANG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS PADANG 2014
BAB I PENDAHULUAN
Otitis Media Akut (OMA) merupakan inflamasi pada sebagian atau seluruh bagian dari mukosa telinga tengah, tuba Eusthacius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid yang timbul mendadak, dan menimbulkan gejala sesuai dengan stadium penyakit. Prevalensi kejadian OMA banyak diderita oleh anak-anak maupun bayi dibandingkan pada orang dewasa muda maupun dewasa tua. Pada bayi terjadinya OMA dipermudah oleh karena bentuk anatomi dari tuba Eustachius yang lebih pendek, lebar dan letaknya agak horizontal. Pada anak-anak makin sering menderita infeksi saluran napas atas (ISPA) baik yang disebabkan oleh virus maupun bakteri, maka makin besar pula kemungkinan terjadinya OMA disamping oleh karena sistem imunitas anak yang belum berkembang secara sempurna. Pada orang dewasa OMA meskipun jarang, OMA dapat ditemukan pada pasien yang mengalami infeksi saluran napas sebelumnya, dan pada kasus OMA unilateral dapat dicurigai adanya keterlibatan karsinoma nasofaring 1,2,3. Otitis media pada anak-anak sering kali disertai dengan infeksi pada saluran pernapasan atas. Epidemiologi seluruh dunia terjadinya terj adinya otitis otit is media berusia 1 thn sekitar 62%, sedangkan anak-anak berusia 3 thn sekitar 83%. Di Amerika Serikat, diperkirakan 75% anak mengalami minimal satu episode otitis media sebelum usia 3 tahun dan hampir setengah dari mereka mengalaminya tiga kali atau lebih. 1,4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Telinga
Gambar 2.1 Anatomi telinga
2.1.1 Telinga Luar
Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membran timpani. Telinga luar atau pinna merupakan gabungan dari tulang rawan yang diliputi kulit. Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit. Liang telinga (meatus akustikus eksternus) berbentuk huruf S, dengan rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar, di sepertiga bagian luar kulit liang telinga terdapat banyak kelenjar serumen (modifikasikelenjar keringat = Kelenjar serumen) dan rambut. Kelenjar keringat terdapat pada seluruh kulit liang telinga. Pada dua pertiga bagian dalam hanya sedikit dijumpai kelenjar serumen, dua pertiga bagian dalam rangkanya terdiri dari tulang. Panjangnya kira-kira 2,5 - 3 cm. Meatus dibatasi oleh kulit dengan sejumlah rambut, kelenjar sebasea, dan sejenis kelenjar keringat yang telah mengalami modifikasi menjadi kelenjar seruminosa, yaitu kelenjar apokrin tubuler yang berkelok-kelok yang menghasilkan zat lemak setengah padat berwarna kecoklat-coklatan
yang dinamakan serumen (minyak telinga). Serumen berfungsi menangkap debu dan mencegah infeksi1. 2.1.2 Telinga Tengah
Telinga tengah berbentuk kubus dengan : - Batas luar
: Membran timpani
- Batas depan
: Tuba eustachius
- Batas bawah
: Vena jugularis (bulbus jugularis)
- Batas belakang
: Aditus ad antrum, kanalis fasialis pars vertikalis
- Batas atas
: Tegmen timpani (meningen / otak )
- Batas dalam
: Berturut-turut dari atas ke bawah kanalis semi sirkularis horizontal,
kanalis fasialis,tingkap lonjong (oval window),tingkap bundar (round window) dan promontorium. Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang telinga dan terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Bagian atas disebut Pars flaksida (Membran Shrapnell), sedangkan bagian bawah Pars Tensa (membrane propia). Pars flaksida hanya berlapis dua, yaitu bagian luar ialah lanjutan epitel kulit liang telinga dan bagian dalam dilapisi oleh sel kubus bersilia, seperti epitel mukosa saluran napas. Pars tensa mempunyai satu lapis lagi ditengah, yaitu lapisan yang terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat elastin yang berjalan secara radier dibagian luar dan sirkuler pada bagian dalam. Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada membran timpani disebut umbo. Dimembran timpani terdapat 2 macam serabut, sirkuler dan radier. Serabut inilah yang menyebabkan timbulnya reflek cahaya yang berupa kerucut. Membran timpani dibagi dalam 4 kuadran dengan menarik garis searah dengan prosesus longus maleus dan garis yang tegak lurus pada garis itu di umbo, sehingga didapatkan bagian atas-depan, atas-belakang, bawahdepan serta bawah belakang, untuk menyatakan letak perforasi membran timpani. Didalam telinga tengah terdapat tulang-tulang pendengaran yang tersusun dari luar kedalam, yaitu maleus, inkus, dan stapes. Tulang pendengaran didalam telinga tengah saling berhubungan. Prosesus longus maleus melekat pada membrane timpani, maleus melekat pada inkus dan inkus melekat pada stapes. Stapes terletak pada tingkap lonjong yang berhubungan dengan koklea. Hubungan antar tulang-tulang pendengaran merupakan persendian. Telinga tengah dibatasi oleh epitel selapis gepeng yang terletak pada lamina propria yang tipis yang melekat erat pada periosteum yang berdekatan. Dalam telinga tengah terdapat dua otot kecil yang melekat pada maleus dan stapes yang mempunyai fungsi konduksi suara.
maleus, inkus, dan stapes diliputi oleh epitel selapis gepeng. Pada pars flaksida terdapat daerah yang disebut atik. Ditempat ini terdapat aditus ad antrum, yaitu lubang yang menghubungkan telinga tengah dengan antrum mastoid. Tuba eustachius termasuk dalam telinga tengah yang menghubungkan daerah nasofaring dengan telinga t engah 1. Telinga tengah berhubungan dengan rongga faring melalui saluran eustachius (tuba auditiva), yang berfungsi untuk menjaga keseimbangan tekanan antara kedua sisi membrane tympani. Tuba auditiva akan membuka ketika mulut menganga atau ketika menelan makanan. Ketika terjadi suara yang sangat keras, membuka mulut merupakan usaha yang baik untuk mencegah pecahnya membran timpani. Karena ketika mulut terbuka, tuba auditiva membuka dan udara akan masuk melalui tuba auditiva ke telinga tengah, sehingga menghasilkan tekanan yang sama antara permukaan dalam dan permukaan luar membran timpani1.
2.1.3 Telinga Dalam
Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua setengah lingkaran dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung atau puncak koklea disebut holikotrema, menghubungkan perilimfa skala timpani dengan skala vestibuli. Kanalis semi sirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan membentuk lingkaran yang tidak lengkap.Pada irisan melintang koklea tampak skala vestibuli sebelah atas, skala timpani sebelah bawah dan skala media (duktus koklearis) diantaranya. Skala vestibuli dan skala timpani berisi perilimfa, sedangkan skala media berisi endolimfa. Dasar skala vestibuli disebut sebagai membrane vestibuli ( Reissner’s membrane) sedangkan dasar skala media adalah membrane basalis. Pada membran ini terletak organ corti. Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang disebut membran tektoria, dan pada membran basal melekat sel rambut yang terdiri dari sel rambut dalam, sel rambut luar dan kanalis corti, yang membentuk organ corti 1.
2.2 Fisiologi Pendengaran
Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke koklea. Getaran tersebut menggetarkan membran timpani diteruskan ketelinga tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengimplikasi getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang menggerakkan tingkap lonjong sehingga
perilimfa pada skala vestibule bergerak. Getaran diteruskan melalui membran Reissner yang mendorong endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi penglepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan neurotransmiter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran di lobus temporalis 1,4. Gangguan telinga luar dan telinga tengah dapat menyebabkan tuli konduktif, sedangkan ganggan telinga dalam menyebabkan tuli sensorineural, yang terbagi atas tuli koklea dan tuli retrokoklea. Sumbatan Tuba eustachius menyebabkan gangguan telinga tengah dan akan terdapat tuli konduktif. Gangguan pada vena jugularis berupa aneurisma akan menyebabkan telinga berbunyi sesuai dengan denyut jantung 1.
2.3 Definisi
Otitis media adalah suatu peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah. Otitis media akut didefinisikan bila proses peradangan pada telinga tengah yang terjadi secara cepat dan singkat (dalam waktu kurang dari 3 minggu) yang disertai dengan gejala lokal dan sistemik 2. Telinga tengah biasanya steril, meskipun terdapat mikroba di nasofaring dan faring. Secara fisiologis terdapat mikroorganisme pencegahan masukunya mikroba ke dalam telinga tengah oleh silia mukosa tuba eustachius, enzim dan antibodi 1,3.
2.4 Etiologi
Bakteri piogenik merupakan penyebab OMA yang tersering. Menurut penelitian, 6575% kasus OMA dapat ditentukan jenis bakteri piogeniknya melalui isolasi bakteri terhadap kultur cairan atau efusi telinga tengah. Kasus lain tergolong sebagai non- patogenik karena tidak ditemukan mikroorganisme penyebabnya. Tiga jenis bakteri penyebab otitis media tersering adalah Streptococcus pneumonia (50%), diikuti oleh Haemophilus influenza (20%) dan Moraxella catarhalis (10%). 3 Staphylococcus aureus dan organisme gram negatif banyak ditemukan pada anak dan neonatus yangmenjalani rawat inap di rumah sakit. Haemophilus influenza sering dijumpai pada anak balita. Jenis mikroorganisme yang dijumpai pada orang dewasa juga sama dengan yang dijumpai pada anak-anak 3,6.
Virus juga merupakan penyebab OMA. Virus dapat dijumpai tersendiri atau bersamaan dengan bakteri patogenik yang lain. Virus yang paling sering dijumpai pada anakanak, yaitu respiratory syncytial virus (RSV), influenza virus, atau adenovirus (sebanyak 3040%). Kira-kira 10-15% dijumpai parainfluenza virus, rhinovirus atau enterovirus. Virus akan membawa dampak buruk terhadap fungsi tuba Eustachius, menganggu fungsi imun lokal, meningkatkan adhesi bakteri, menurunkan efisiensi obat antimikroba dengan menganggu mekanisme farmakokinetiknya 4.
2.5 Patofisiologi
Otitis media akut terjadi karena terganggunya faktor pertahanan tubuh. Sumbatan pada tuba Eustachius merupakan faktor utama penyebab terjadinya penyakit ini. Dengan terganggunya fungsi tuba Eustachius, terganggu pula pencegahan invasi kuman ke dalam telinga tengah sehingga kuman masuk dan terjadi peradangan. Gangguan fungsi tuba Eustachius ini menyebabkan terjadinya tekanan negatif di telingah tengah, yang menyebabkan transudasi cairan hingga supurasi. Pencetus terjadinya OMA adalah infeksi saluran pernafasan atas (ISPA). Makin sering anak-anak terserang ISPA, makin besar kemungkinan terjadinya OMA. Pada bayi dan anak terjadinya OMA dipermudah karena: 1. morfologi tuba eustachius yang pendek, lebar, dan letaknya agak horizontal; 2. sistem kekebalan tubuh masih dalam perkembangan; 3. adenoid pada anak relatif lebih besar dibanding orang dewasa dan sering terinfeksi sehingga infeksi dapat menyebar ke telinga tengah. Beberapa faktor lain mungkin juga berhubungan dengan terjadinya penyakit telinga tengah, seperti alergi, disfungsi siliar, penyakit hidung dan/atau sinus, dan kelainan sistem imun 2,3. Pada dewasa terjadinya otitis media akut lebih disebabkan oleh adanya faktor resiko berupa adanya infeksi saluran nafas sebelum gejala pada telinga. Selain itu juga dapat disebabkan paparan lingkungan seperti asap rokok, alergen dan iritan yang menyebabkan gangguan pada tuba eustachius. Gejala yang menonjol pada dewasa adalah adanya nyeri pada telinga yang dapat disertai demam atau tidak 5,6.
2.6 Epidimiologi
Otitis Media pada dewasa jarang terjadi1. Hanya sedikit informasi dan publikasi tentang manajemen infeksi telinga tengah pada dewasa. Selain dikaitkan dengan infeksi pada hidung sebelumnya, dapat dikaitkan pula dengan infeksi yang lama pada telinga tengah. Pada infeksi telinga tengah yang menetap, perlu dicurigai adanya underlying disease seperti
Carsinoma Nasofaring. Infeksi akut dapat disebabkan adanya infeksi virus sebelumnya yang masuk akibat disfungsi dari tuba. Pasien-pasien ini harus dievaluasi lebih kurang enam minggu untuk melihat apakah terjadi resolusi atau tidak. Timpanometri dan audiometri diperlukan juga selain perujukan kebagian THT untuk evaluasi lebih lanjut jika tidak terjadi perbaikan dalam enam minggu5,6.
2.7 Stadium
OMA dalam perjalanan penyakitnya dibagi menjadi lima stadium, bergantung pada perubahan pada mukosa telinga tengah, yaitu stadium oklusi tuba Eustachius, stadium hiperemis atau stadium pre-supurasi, stadium supurasi, stadium perforasi dan stadium resolusi1,4.
Gambar 2.2. Membran Timpani Normal
1. Stadium Oklusi Tuba Eustachius Pada stadium ini, terdapat sumbatan tuba Eustachius yang ditandai oleh retraksi membran timpani akibat terjadinya tekanan intratimpani negatif di dalam telinga tengah, dengan adanya absorpsi udara. Retraksi membran timpani terjadi dan posisi malleus menjadi lebih horizontal, refleks cahaya juga berkurang. Edema yang terjadi pada tuba Eustachius juga menyebabkannya tersumbat.Selain retraksi, membran timpani kadang-kadang tetap normal dan tidak ada kelainan, atau hanya berwarna keruh pucat. Efusi mungkin telah terjadi tetapi tidak dapat dideteksi. Stadium ini sulit dibedakan dengan tanda dari otitis media serosa yang disebabkan oleh virus dan alergi. Tidak terjadi demam pada stadium ini.
2. Stadium Hiperemis atau Stadium Pre-supurasi Pada stadium ini, terjadi pelebaran pembuluh darah di membran timpani, yang ditandai oleh membran timpani mengalami hiperemis, edema mukosa dan adanya sekret
eksudat serosa yang sulit terlihat. Hiperemis disebabkan oleh oklusi tuba yang berpanjangan sehingga terjadinya invasi oleh mikroorganisme piogenik. Proses inflamasi terjadi di telinga tengah dan membran timpani menjadi kongesti. Stadium ini merupakan tanda infeksi bakteri yang menyebabkan pasien mengeluhkan otalgia, telinga rasa penuh dan demam. Pendengaran mungkin masih normal atau terjadi gangguan ringan, tergantung dari cepatnya proses hiperemis. Hal ini terjadi karena terdapat tekanan udara yang meningkat di kavum timpani. Gejala-gejala berkisar antara dua belas jam sampai dengan satu hari.
Gambar 2.3 Membran Timpani Hiperemis
3. Stadium Supurasi Stadium supurasi ditandai oleh terbentuknya sekret eksudat purulen atau bernanah di telinga tengah dan juga di sel-sel mastoid. Selainitu edema pada mukosa telinga tengah menjadi makin hebat dan sel epitel superfisial hancur. Terbentuknya eksudat yang purulen di kavum timpani menyebabkan membran timpani menonjol atau bulging ke arah liang telinga luar. Pada keadaan ini, pasien akan tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat serta rasa nyeri di telinga bertambah hebat. Pasien selalu gelisah dan tidak dapat tidur nyenyak.Dapat disertai dengan gangguan pendengaran konduktif. Pada bayi demam tinggi dapat disertai muntah dan kejang. Stadium supurasi yang berlanjut dan tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan iskemia membran timpani, akibat timbulnya nekrosis mukosa dan submukosa membran timpani. Terjadi penumpukan nanah yang terus berlangsung di kavum timpani dan akibat tromboflebitis vena-vena kecil, sehingga tekanan kapiler membran timpani meningkat, lalu menimbulkan nekrosis. Daerah nekrosis terasa lebih lembek dan berwarna kekuningan atau yellow spot. Keadaan stadium supurasi dapat ditangani dengan melakukan miringotomi. Bedah kecil ini kita lakukan dengan menjalankan insisi pada membran timpani sehingga nanah akan keluar dari telinga tengah menuju liang telinga luar. Luka insisi pada membran timpani akan
menutup kembali, sedangkan apabila terjadi ruptur, lubang tempat perforasi lebih sulit menutup kembali. Membran timpani mungkin tidak menutup kembali.
Gambar 2.4 Membran Timpani Supurasi
4. Stadium Perforasi Stadium perforasi ditandai oleh ruptur membran timpani sehingga sekret berupa nanah yang jumlahnya banyak akan mengalir dari telinga tengah ke liang telinga luar. Kadang-kadang pengeluaran sekret bersifat pulsasi (berdenyut). Stadium ini sering disebabkan oleh terlambatnya pemberian antibiotik dan tingginya virulensi kuman.Setelah nanah keluar, anak berubah menjadi lebih tenang, suhu tubuh menurun dan dapat tertidur nyenyak. Jika membran timpani tetap perforasi dan pengeluaran sekret atau nanah tetap berlangsung melebihi tiga minggu, maka keadaan ini disebut otitis media supuratif subakut. Jika kedua keadaan tersebut tetap berlangsung selama lebih satu setengah sampai dengan dua bulan, maka keadaan itu disebut otitis media supuratif kronik.
Gambar 2.5 Membran Timpani Perforasi
5. Stadium Resolusi Keadaan ini merupakan stadium akhir OMA yang diawali dengan berkurangnya dan berhentinya otore. Stadium resolusi ditandai oleh membran timpani berangsur normal hingga
perforasi membran timpani menutup kembali dan sekret purulen akan berkurang dan akhirnya
kering.
Pendengaran
kembali
normal.Stadium
ini
berlangsung
walaupun
tanpa pengobatan, jika membran timpani masih utuh, daya tahan tubuh baik, dan virulensi kuman rendah. Apabila stadium resolusi gagal terjadi, maka akan berlanjut menjadi otitis media supuratif kronik. Kegagalan stadium ini berupa perforasi membran timpani menetap, dengan sekret yang keluar secara terus-menerus atau hilang timbul. Otitis media supuratif akut dapat menimbulkan gejala sisa berupa otitis media serosa. Otitis media serosa terjadi jika sekret menetap di kavum timpani tanpa mengalami perforasi membran timpani1,2.
2.8 Manifestasi Klinis
Gejala klinik otitis media supuratif akut (OMA) tergantung dari stadium penyakit dan umur penderita. Gejala stadium supurasi berupa demam tinggi dan suhu tubuh menurun pada stadium perforasi. Gejala klinik otitis media supuratif akut (OMA) berdasarkan umur penderita, yaitu1,2: a) Bayi dan anak kecil Gejala: demam tinggi bisa sampai 39 ⁰C merupakan tanda khas, sulit tidur, tiba-tiba menjerit saat tidur, mencret, kejang-kejang, dan kadang-kadang anak memegang telinga yang sakit b) Anak yang sudah bisa bicara Gejala: biasanya rasa nyeri dalam telinga, suhu tubuh tinggi, dan riwayat batuk pilek sebelumya c) Anak lebih besar dan orang dewasa Gejala: rasa nyeri dan gangguan pendengaran (rasa penuh dan pendengaran berkurang)
2.9 Diagnosis
1. Anamnesis gejala yang didapati pada pasien 2. Pemeriksaan telinga dengan menggunakan lampu kepala 3. Otoskop untuk melihat gambaran membran timpani yang lebih jelas 4. Kultur
sekret
dari
membran
timpani
yang
perforasi
mikroorganisme penyebab Diagnosis otitis media akut juga harus memenuhi 3 hal berikut 1,2,3: 1. Penyakitnya muncul mendadak (akut)
untuk
mengetahui
2. Ditemukan tanda efusi (efusi: pengumpulan cairan disuatu rongga tubuh) di telinga tengah. Efusi dibuktikan dengan adanya salah satu tanda berikut:
Mengembungnya membran timpani
Gerakan membran timpani yang terbatas
Adanya bayangan cairan di belakang membran timpani
Cairan yang keluar dari membran timpani
3. Adanya tanda/gejala peradangan telinga tengah yang dibuktikan dengan adanya salah satu diantara tanda berikut:
Kemerahan pada membran timpani Nyeri telinga yang mengganggu tidur dan aktivitas normal
2.10 Penatalaksanaan
1,2,4
Terapi tergantung pada stadium penyakitnya. Pengobatan pada stadium awal ditujukan untuk mengobati infeksi saluran nafas atas, dengan pemberian antibiotik, dekongestan lokal atau sistemik dan antipiretik. 1. Stadium oklusi Terapi ditujukan untuk membuka kembali tuba eustachiussehingga tekanan negative di telinga tengah hilang. -
Diberikan obat tetes hidung HCL efedrin 0.5% (anak<12tahun) atau HCL efedrin 1 % dalam larutan fisiologis untuk anak di atas 12 tahun atau dewasa.
2.
Mengobati sumber infeksi lokal dengan antibiotika bila penyebabnya bakteri. Stadium hiperemis (presupurasi)
-
Diberikan antibiotika, obat tetes hidung dan analgesik.
-
Bila membrane timpani sudah terlihat hiperemis difus, sebaiknya dilakukan miringotomi.
-
Terapi
awal
diberikan
antibiotika
golongan
penisilin
intramuskular
agar
konsentrasinya adekuat di dalam darah, sehingga tidak terjadi mastoiditis selubung, gangguan pendengaran sebagai gejala sisa, dan kekambuhan. Antibiotika diberikan minimal 7 hari. 3.
Bila pasien alergi penisilin, maka diberikan eritromisin. Stadium supurasi
-
Diberikan dekongestan, antibiotika, analgetik/antipiretik.
-
Pasien harus dirujuk untuk dilakukan miringotomi bila membran timpani masih utuh sehingga gejala-gejala klinis cepat hilang dan ruptur (perforasi) dapat dihindari.
4.
Stadim perforasi -
Diberikan obat cuci telinga perhidrol atau H2O2 3% selama 3-5hari serta antibiotika yang adekuat sampai 3 minggu. Biasanya sekretakan hilang dan perforasi akan menutup sendiri dalam 7-10 hari.
5.
Stadium resolusi -
Antibiotika dapat dilanjutkan sampai 3 minggu bila tidak ada perbaikan membran timpani, sekret dan perforasi.
-
Pengobatan pada anak-anak dengan kecenderungan mengalami otitis media akut dapat bersifat medis atau pembedahan. Penatalaksanaan medis berupa pemberian antibiotik dosis rendah dalam jangka waktu hingga 3 bulan. Alternatif lain adalah pemasangan tuba ventilasi untuk mengeluarkan secret terutama pada kasus-kasus yang membandel. Keputusan untuk melakukan miringotomi umumnya berdasarkan kegagalan profilaksis secara medis atau timbul reaksi alergi terhadap antimikroba yang lazim dipakai, baik golongan sulfa atau penisilin. Penatalaksanaan OMA harus memasukkan penilaian adanya nyeri. Jika terdapat nyeri,
harus memberikan terapi untuk mengurangi nyeri tersebut. Penanganan nyeri harus dilakukan terutama dalam 24 jam pertama onset OMA tanpa memperhatikan penggunaan antibiotik. Penanganan nyeri telinga pada OMA dapat menggunakan analgetik seperti: asetaminofen, ibuprofen, preparat topikal seperti benzokain, naturopathic agent , homeopathic agent , analgetik narkotik dengan kodein atau analog, dan timpanostomi / miringotomi. Di bagian THT-KL RSUP Dr. M. Djamil Padang pada penderita OMA khususnya stadium presupurasi dan supurasi diberikan analgetik karena pada stadium ini umumnya penderita merasakan nyeri pada telinga. Pada stadium supurasi bila membran timpani menonjol dan masih utuh dianjurkan untuk melakukan miringotomi. Antihistamin dapat membantu mengurangi gejala pada pasien dengan alergi hidung. Dekongestan oral berguna untuk mengurangi sumbatan hidung. Tetapi baik antihistamin maupun dekongestan tidak memperbaiki penyembuhan atau meminimalisir komplikasi dari OMA, sehingga tidak rutin direkomendasikan. Manfaat pemberian kortikosteroid pada OMA juga masih kontroversi. Dasar pemikiran untuk menggunakan kortikosteroid dan antihistamin adalah obat tersebut dapat
menghambat sintesis atau melawan aksi mediator inflamasi, sehingga membantu meringankan gejala pada OMA. Kortikosteroid dapat menghambat perekrutan leukosit dan monosit ke daerah yang terkena, mengurangi permeabilitas pembuluh darah, dan menghambat sintesis atau pelepasan mediator inflamasi dan sitokin. Di bagian THT-KL RSUP Dr. M. Djamil Padang penggunaan antihistamin dan kortikosteroid juga tidak rutin dilakukan, tetapi masih menganjurkan penggunaan dekongestan topikal (Efedrin HCL 0,5%) terutama untuk mengatasi sumbatan hidung2. Mengingat etiologi OMA salah satunya adalah bakteri, permberian antibiotik tentu saja dianjurkan. Di bagian THT-KL RSUP Dr.M.Djamil Padang, antibiotik merupakan terapi rutin yang diberikan pada penderita OMA pada semua stadium tanpa memandang umur atau berat-ringan penyakit2. Walaupun observasi yang hati-hati dan pemberian obat merupakan pendekatan pertama dalam terapi OMA, terapi pembedahan perlu dipertimbangkan pada anak dengan OMA rekuren, otitis media efusi (OME), atau komplikasi supuratif seperti mastoiditis dengan osteitis. Beberapa terapi bedah yang digunakan untuk penatalaksanaan OMA termasuk timpanosintesis, miringotomi, dan adenoidektomi. Timpanosintesis adalah pengambilan cairan dari telinga tengah dengan menggunakan jarum untuk pemeriksaan mikrobiologi. Risiko dari prosedur ini adalah perforasi kronik membran timpani, dislokasi tulang-tulang pendengaran, dan tuli sensorineural traumatik, laserasi nervus fasialis atau korda timpani. Oleh karena itu, timpanosintesis harus dibatasi pada: anak yang menderita toksik atau demam tinggi, neonatus risiko tinggi dengan kemungkinan OMA, anak di unit perawatan intensif, membran timpani yang menggembung (bulging ) dengan antisipasi ruptur spontan (indikasi relatif), kemungkinan OMA dengan komplikasi supuratif akut, OMA refrakter yang tidak respon terhadap paket kedua antibiotik. Timpanosintesis dapat mengidentifikasi patogen pada 70-80% kasus. Walaupun timpanosintesis dapat memperbaiki kepastian diagnostik untuk OMA, tapi tidak memberikan keuntungan terapi dibanding antibiotik sendiri.Timpanosintesis merupakan prosedur yang invasif,
dapat
menimbulkan
nyeri,
dan
berpotensi
menimbulkan
bahaya
sebagai
penatalaksanaan rutin. Miringotomi adalah tindakan insisi pada membran timpani untuk drainase cairan dari telinga tengah. Pada miringotomi dilakukan pembedahan kecil di kuadran posterior-inferior membran timpani.Untuk tindakan ini diperlukan lampu kepala yang terang, corong telinga yang sesuai, dan pisau khusus (miringotom) dengan ukuran kecil dan steril. Miringotomi hanya dilakukan pada kasus-kasus terpilih dan dilakukan oleh ahlinya. Disebabkan insisi
biasanya sembuh dengan cepat (dalam 24-48 jam), prosedur ini sering diikuti dengan pemasangan tabung timpanostomi untuk ventilasi ruang telinga tengah.Indikasi untuk miringotomi adalah terdapatnya komplikasi supuratif, otalgia berat, gagal dengan terapi antibiotik, pasien imunokompromise, neonatus, dan pasien yang dirawat di unit perawatan intensif. Di bagian THT-KL RSUP Dr. M. Djamil Padang, miringotomi dapat dilakukan pada OMA stadium supurasi dengan membran timpani yang menonjol dan masih utuh untuk mencegah perforasi2.
2.11 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah komplikasi infra temporal dan intra kranial. Secara epidemiologi terjadi pada 1 dari 300.000 kasus pertahun.Komplikasi infratemporal meliputi mastoiditis, kelumpuhan saraf fasialis, dan otitis media kronik. Sementara komplikasi intrakranial yang dapat terjadi adalah meningitis, ensefalitis, abses otak, abses subaraknoid dan abses subdura 6.
BAB III ILUSTRASI KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama
: Tn. WH
Umur
: 36 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki Alamat
: Lubuk Begalung, Padang
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Supir
ANAMNESIS
Seorang pasien laki-laki berusia 36 tahun datang ke Poli THT RSUP Dr. M. Djamil Padang pada tanggal 1 Desember 2014 dengan: Keluhan Utama : Keluar cairan dari telinga sebelah kiri sejak 2 hari yang lalu
Keluhan tambahan : Tidak ada Riwayat penyakit sekarang : ♦
Keluar cairan dari telinga sebelah kiri sejak 2 hari yang lalu, cairan berwarna kekuningan, 2 hari yang lalu cairan bercampur darah, sekarang sudah tidak bercampur darah lagi
♦
Awalnya pasien mengeluhkan hidung berair sejak 2 minggu yang lalu, cairan berwarna bening dan agak kental, darah (-), sekarang keluhan hidung berair sudah tidak ada lagi
♦
Demam (+) 4 hari yang lalu, demam tidak tinggi, tidak naik turun, dan tidak disertai berkeringat di malam hari, sekarang sudah tidak demam lagi
♦
Telinga terasa penuh dan nyeri 4 yang lalu, dan pasien sering meniup dengan keras dari hidung sambil hidung dipencet dan mulut ditutup untuk mengurangi keluhan telinga terasa penuh. Sekarang keluhan telinga terasa penuh dan nyeri sudah berkurang
♦
Pasien mengeluh terjadi penurunan pendengaran sejak keluar cairan dari telinga sebelah kiri
♦
Riwayat telinga berdenging (+)
♦
Riwayat telinga berair sebelumnya (-)
♦
Riwayat trauma pada telinga (-)
♦
Nyeri pada dahi dan wajah (-)
♦
Nyeri tenggorok (-)
Riwayat penyakit dahulu : ♦
Pasien tidak pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya
♦
Riwayat bersin-bersin pagi hari (-), karena debu, bulu binatang atau makanan (-), riwayat asma bronkial (-)
Riwayat penyakit keluarga : ♦
Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan yang sama
Riwayat pekerjaan, sosial ekonomi dan kebiasaan : ♦
Pasien seorang supir, sehari-hari tinggal bersama istri, riwayat merokok (+) 1 bungkus perhari
PEMERIKSAAN FISIK Status Generalis
Keadaan Umum
: Tampak sakit sedang
Kesadaran
: Composmentis cooperative
Tekanan darah
: 110/70 mmHg
Frekuensi nadi
: 72 x/menit
Frekuensi nafas
: 20 x/menit
Suhu
: 37,3 0C
Pemeriksaan Sistemik
Kepala
: tidak ada kelainan
Mata: Konjungtiva
: anemis (-)
Sklera
: ikterik (-)
Toraks: Jantung Paru
: diharapkan dalam batas normal : diharapkan dalam batas normal
Abdomen
: diharapkan dalam batas normal
Ekstremitas
: deformitas (-), edema (-)
Status Lokalis THT Telinga Pemeriksaan
Kelainan
Dekstra
Sinistra
Daun Telinga
Kelainan Kongenital
Tidak ada
Tidak ada
Trauma
Tidak ada
Tidak ada
Radang
Tidak ada
Tidak ada
Kelainan Metabolik
Tidak ada
Tidak ada
Nyeri Tarik
Tidak ada
Tidak ada
Nyeri Tekan Tragus
Tidak ada
Tidak ada
Liang dan Dinding
Cukup Lapang
Cukup lapang
Telinga
Sempit
Sekret/Serumen
Sempit
Hiperemis
Tidak ada
Hiperemis
Edema
Tidak ada
Tidak ada
Massa
Tidak ada
Tidak ada
Bau
Tidak ada
Ada
Warna
Kekuningan
Coklat kekuningan
Jumlah
Sedikit
Banyak
Jenis
Kering
Basah
Warna
Putih mutiara
Suram
Refleks Cahaya
Positif
Tidak ada
Bulging
Tidak ada
Tidak ada
Retraksi
Tidak ada
Tidak ada
Atrofi
Tidak ada
Tidak ada
Jumlah Perforasi
Tidak ada
Ada
Membran Timpani
Utuh
Perforasi
Jenis
Sentral
Kuadran Pinggir Gambar
Tidak rata
Membran
Timpani Mastoid
Tanda Radang
Tidak ada
Tidak ada
Fistel
Tidak ada
Tidak ada
Sikatrik
Tidak ada
Tidak ada
Nyeri tekan
Tidak ada
Tidak ada
Nyeri Ketok
Tidak ada
Tidak ada
Tes Garpu Tala
Rinne
Positif
Negatif
Schwabach
Sama dengan
Memanjang
pemeriksa Weber
Lateralisasi kearah yang sakit
Kesimpulan
Tuli konduktif telinga kiri
Audiometri
Tidak dilakukan
Timpanometri
Tidak dilakukan
Hidung Pemeriksaan
Kelainan
Hidung Luar
Deformitas
Tidak ada
Kelainan Kongenital
Tidak ada
Trauma
Tidak ada
Radang
Tidak ada
Massa
Tidak ada
Pemeriksaan
Dekstra
Sinistra
Nyeri tekan
Tidak ada
Tidak ada
Sinus Paranasal
Rinoskopi Anterior Vestibulum
Cavum nasi
Vibrise
Ada
Ada
Radang
Tidak ada
Tidak ada
Cukup lapang
Cukup lapang
Cukup lapang
Tidak ada
Tidak ada
Ukuran
Eutrofi
Eutrofi
Warna
Merah muda
Merah muda
Permukaan
Licin
Licin
Sempit Lapang Secret
Lokasi Jenis Jumlah Bau
Konka inferior
Konka media
Septum
Edema
Tidak ada
Tidak ada
Ukuran
Eutrofi
Eutrofi
Warna
Merah muda
Merah muda
Permukaan
Licin
Licin
Edema
Tidak ada
Tidak ada
Cukup lurus/ deviasi
Cukup lurus
Cukup lurus
Warna
Merah muda
Merah muda
Spina
Tidak ada
Tidak ada
Krista
Tidak ada
Tidak ada
Abses
Tidak ada
Tidak ada
Perforasi
Tidak ada
Tidak ada
Lokasi
Tidak ada
Tidak ada
Bentuk
Tidak ada
Tidak ada
Ukuran
Tidak ada
Tidak ada
Permukaan
Tidak ada
Tidak ada
Warna
Tidak ada
Tidak ada
Konsistensi
Tidak ada
Tidak ada
Mudah Digoyang
Tidak ada
Tidak ada
Pengaruh
Tidak ada
Tidak ada
Permukaan
Massa
Vasokonstriktor Gambar
Rinoskopi
Anterior
Rinoskopi Posterior (Nasofaring) Pemeriksaan
Koana
Kelainan
Dekstra
Sinistra
Cukup lapang (N)
Cukup lapang
Cukup lapang
Warna
Merah muda
Merah muda
Edema
Tidak ada
Tidak ada
Jaringan granulasi
Tidak ada
Tidak ada
Ukuran
Eutrofi
Eutrofi
Warna
Merah muda
Merah muda
Permukaan
Licin
Licin
Sempit Lapang
Mukosa
Konka inferior
Adenoid Muara tuba eustachius
Edema
Tidak ada
Tidak ada
Ada/tidak
Tidak dapat dinilai
Tidak dapat dinilai
Tertutup secret
Tidak ada
Tidak ada
Edema mukosa
Tidak ada
Tidak ada
Lokasi
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Ukuran Massa
Bentuk Permukaan Ada/tidak
Post Nasal Drip
Jenis
Gambar
Orofaring dan Mulut Pemeriksaan
Kelainan
Dekstra
Sinistra
Tidak ada
Tidak ada
Edema
Tidak ada
Tidak ada
Bifida
Tidak ada
Tidak ada
Palatum mole
Simetri/tidak
Simetris
Simetris
+Arkus Faring
Warna
Merah muda
Merah muda
Bercak/eksudat
Tidak ada
Tidak ada
Warna
Merah auda
Merah muda
Permukaan
Tidak bergranul
Tidak bergranul
Ukuran
T1
T1
Warna
Merah muda
Merah muda
Permukaan
Licin
Licin
Muara kripti
Tidak ada
Tidak ada
Detritus
Tidak ada
Tidak ada
Eksudat
Tidak ada
Tidak ada
Warna
Merah muda
Merah muda
Edema
Tidak ada
Tidak ada
Abses
Tidak ada
Tidak ada
Trismus Uvula
Dinding faring
Tonsil
Peritonsil
Tumor
Gigi
Lidah
Lokasi
Tidak ada
Tidak ada
Bentuk
Tidak ada
Tidak ada
Ukuran
Tidak ada
Tidak ada
Permukaan
Tidak ada
Tidak ada
Konsistensi
Tidak ada
Tidak ada
Karier/Radiks
Tidak ada
Tidak ada
Kesan
Higiene mulut baik
Higiene mulut baik
Warna
Merah muda
Merah muda
Bentuk
Tidak ada kelainan
Tidak ada kelainan
Deviasi
Tidak ada
Tidak ada
Massa
Tidak ada
Tidak ada
Dekstra
Sinistra
Bentuk
Kubah
Kubah
Warna
Merah muda
Merah muda
Edema
Tidak ada
Tidak ada
Pinggir rata/tidak
Rata
Rata
Massa
Tidak ada
Tidak ada
Warna
Merah muda
Merah muda
Edema
Tidak ada
Tidak ada
Massa
Tidak ada
Tidak ada
Gerakan
Simetris
Simetris
Warna
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Edema
Tidak ada
Tidak ada
Massa
Tidak ada
Tidak ada
Warna
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Massa
Tidak ada
Tidak ada
Sekret ada/tidak
Tidak ada
Tidak ada
Massa
Tidak ada
Tidak ada
Gambar orofaring
Laringoskopi Indirek Pemeriksaan Kelainan
Epiglottis
Aritenoid
Ventrikular Band
Plika Vokalis
Gerakan Pinggir medial Massa
Subglotis/trakhea Sinus piriformis
Valekule
Sekret
Tidak ada
Tidak ada
Massa
Tidak ada
Tidak ada
Sekret (jenisnya)
Tidak ada
Tidak ada
Gambar
Pemeriksaan Kelenjar getah bening leher
-
Inspeksi : tidak ditemukan pembesaran kelenjar getah bening
-
Palpasi : tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening
Pemeriksaan laboratorium: -
RESUME
1. Anamnesis
-
Keluar cairan dari telinga sebelah kiri sejak 2 hari yang lalu, cairan berwarna kekuningan, 2 hari yang lalu cairan bercampur darah
-
Hidung berair sejak 2 minggu yang lalu, berwarna bening dan agak kental, darah (-)
-
Demam (+) 4 hari yang lalu
-
Telinga terasa penuh dan nyeri 4 yang lalu, pasien sering meniup dengan keras dari hidung sambil hidung dipencet dan mulut ditutup untuk mengurangi keluhan telinga terasa penuh
- penurunan pendengaran (+) -
riwayat trauma pada telinga tidak ada
-
riwayat telinga berair sebelumnya tidak ada
2. Pemeriksaan fisik
-
Telinga kiri: membran timpani perforasi sentral pinggir tidak rata, reflek cahaya (-), sekret kuning kecoklatan jumlah banyak
3. Diagnosis Utama
: Otitis media akut AS stadium perforasi
4. Diagnosis Tambahan
:-
5. Diagnosis Banding
:-
6. Pemeriksaan Anjuran
: Pemeriksaan darah rutin
7. Terapi
-
H2O2 3% 3 tetes, 2 kali sehari, diberikan selama 5 hari pada telinga kiri
-
Tarivid (Ofloksasin) 3 tetes, 2 kali sehari, diberikan selama 7 hari pada telinga kiri
-
Amoksisilin tab 500mg, 3 kali sehari 1 tablet, diberikan selama 7 hari
8. Terapi Anjuran
:-
9. Prognosis
- quo ad vitam
: Bonam
- quo ad sanam
: Dubia ad bonam
10. Nasehat
- jaga higiene telinga - jangan mengorek telinga - jaga jangan sampai masuk air ke telinga - jika pilek, batuk, cepat berobat
BAB IV DISKUSI
Pada kasus di atas, diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Dari anamnesis didapatkan pasien datang dengan keluhan keluar cairan dari telinga sebelah kiri sejak 2 hari yang lalu. Cairan tersebut berwarna kekuningan, dan 2 hari yang lalu bercampur darah. Hidung berair sejak 2 minggu yang lalu, cairan berwarna bening dan agak kental, tidak ada keluar darah dari hidung. Pasien mengalami demam 4 hari yang lalu, serta juga mengeluhkan telinga terasa penuh dan nyeri, dan pasien sering meniup dengan keras dari hidung sambil hidung dipencet dan mulut ditutup untuk mengurangi keluhan telinga terasa penuh. Pasien juga mengeluhkan adanya penurunan pendengaran. Riwayat trauma pada telinga tidak ada. Riwayat telinga berair sebelumnya tidak ada. Hasil pemeriksaan fisik didapatkan pada pemeriksaan otoskop pada telinga kiri terdapat perforasi sentral pada membran timpani dengan pinggir yang tidak rata, reflek cahaya negatif, dan disertai keluarnya sekret kuning kecoklatan dalam jumlah banyak. Pasien didiagnosis otitis media akut AS stadium perforasi. Terapi medikamentosa yang diberikan pada pasien ini adalah H2O2 3% 3 tetes, 2 kali sehari, diberikan selama 5 hari pada telinga kiri, Tarivid (Ofloksasin) 3 tetes, 2 kali sehari, diberikan selama 7 hari pada telinga kiri, dan Amoksisilin tablet 500mg, 3 kali sehari 1 tablet, diberikan selama 7 hari. Pada pasien diberikan nasehat agar menjaga higiene telinga, jangan mengorek liang telinga sendiri di rumah, jaga agar jangan sampai masuk air ke telinga, dan jika pilek atau batuk segera berobat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Soetirto Indro,Bashiruddin Jenny,Bramantyo Brastho,Gangguan pendengaran Akibat Obat ototoksik,Buku ajar Ilmu Kesehatan Telinga ,Hidung ,Tenggorok Kepala & Leher.Edisi IV.Penerbit FK-UI,jakarta 2012. 2. Munilson,Jacky. Yan Edward, Yolazenia. Penatalaksanaan Otitis Media Akut. Diunduh dari respository.unand.ac.id pada 1 Desember 2014. 3. Donaldson,
Jhon.
2014.
Acute
otitid
media
diakses
http://emedicine.medscape.com/article/859316-overview#aw2aab6b2b4aa
1
pada Desember
2014 4. Kerschner, J.E., 2007. Otitis Media. In: Kliegman, R.M., ed. Nelson Textbook of Pediatrics. 18th ed. USA: Saunders Elsevier 5. Heather L, Burrows. 2013. Otitis Media. Guidelines for Clinical Care. University of Michigan
Health
System
diunduh
dari
www.med.umich.edu/1info/fhp/practiceguides/om/OM.pdf pada 1 Desember 2014 6. Donaldson,
Jhon.
2014.
Acute
otitid
media
diakses
http://emedicine.medscape.com/article/859316-overview#aw2aab6b2b4aa 2014
1
pada Desember