C ase R epor t Sessi Sessio on (CR (C R S) *Kepaniteraan *Kepaniteraan Klinik Senior/ G1A217102/ November 2018 **Pembimbing/ dr. H. Jupri Makmur, Sp.PD, FINASIM
DENGUE FEVER Shanna Alysia Aziz* dr. H. Jupri Makmur, Sp.PD, FINASIM** FINASIM**
KEPANITERAAN KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN PENYAKIT DALAM RSUD RADEN MATTAHER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS JAMBI TAHUN 2018
1
LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN KASUS CASE REPORT SESSIONS (CRS)
DENGUE FEVER
Disusun Oleh : Shanna Alysia Aziz (G1A217102)
Sebagai Salah Satu Syarat Dalam Mengikuti Kepaniteraan Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Penyakit Dalam RSUD Raden Mattaher Fakultas Kedokteran Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi Tahun 2018
Jambi, Oktober 2018 Pembimbing
Dr. H. Jufri Makmur, Sp.PD, FINASIM 2
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa sebab Karena rahmatnya, laporam kasus yang berjudul “Dengue “ Dengue Fever ” ini dapat terselesaikan. Laporan kasus ini dibuat agar penulis dan teman – teman teman sesama koass periode ini dapat memahami tentang gejala klinis yang sering muncul. Selain itu juga sebagai tugas dalam menjalankan Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Raden Mattaher Provinsi Jambi. Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. H. Jufri Makmur, Sp.PD, FINASIM selaku pembimbing dalam kepaniteraan klinik senior ini. Penulis menyadari bahwa laporan ini jauh dari sempurna, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran agar lebih baik kedepannya. Akhir kata, semoga laporan kasus ini bermanfaat bagi kita semua dan dapat menambah informasi serta pengetahuan kita.
Jambi, November 2018
Penulis
3
BAB I PENDAHULUAN
Demam berdarah dengue adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diatesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai dengan hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue ( dengue shock syndrome) adalah syndrome) adalah demam berdarah dengue yang ditandai renjatan/shock. 1 Demam berdarah dengue merupakan penyakit yang banyak ditemukan di sebagian besar wilayah tropis dan subtropis, terutama Asia Tenggara, Amerika tengah, Amerika dan Karibia. Host alami DBD adalah manusia, agent-nya agent-nya adalah virus dengue yang termasuk ke dalam famili Flaviridae dan Flaviridae dan genus. Flavivirus, Flavivirus, terdiri dari 4 serotipe yaitu Den-1, Den-2, Den3 dan Den-4 , ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi, khususnya nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus albopictus yang terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia. 1,2 Dalam 50 tahun terakhir, kejadian penyakit ini meningkat 30 kali lipat seiring dengan meningkatnya ekspansi geografis ke negara-negara baru, bahkan dalam dasawarsa ini, dari daerah perkotaan mulai merambah ke pedesaan. Diperkirakan 50 juta infeksi dengue terjadi dengue terjadi setiap tahun, dan sekitar 2,5 miliar orang tinggal di negara-negara endemik dengue. dengue.3 Sampai saat ini, infeksi virus Dengue tetap menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Indonesia dimasukkan dalam kategori “A” dalam stratifikasi DBD oleh World Health Organization (WHO) 2001 yang mengindikasikan tingginya angka perawatan rumah sakit dan kematian akibat DBD. Berbagai faktor kependudukan berpengaruh pada peningkatan dan penyebaran kasus DBD, seperti pertumbuhan penduduk yang tinggi, urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali, tidak efektifnya kontrol vektor nyamuk di daerah endemis, dan peningkatan sarana transportasi.4,5 Upaya pengendalian terhadap faktor kependudukan tersebut (terutama kontrol vektor nyamuk) harus terus diupayakan, di samping pemberian terapi yang optimal pada penderita DBD, dengan tujuan menurunkan jumlah kasus dan kematian akibat penyakit ini.5 Prinsip utama dalam terapi DBD adalah terapi suportif. Pada dasarnya terapi DBD adalah bersifat suportif dan simtomatis. Penatalaksanaan ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran plasma dan memberikan terapi substitusi komponen 4
darah bilamana diperlukan. Dalam pemberian terapi cairan, hal terpenting yang perlu dilakukan adalah pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris. Proses kebocoran plasma dan terjadinya trombositopenia pada umumnya terjadi antara hari ke 4 hingga 6 sejak demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses kebocoran plasma akan berkurang dan cairan akan kembali dari ruang interstitial ke intravascular, lalu terapi cairan pada kondisi tersebut secara bertahap dikurangi. Dengan memahami patogenesis, perjalanan penyakit, gambaran klinis dan pemeriksaan laboratorium, diharapkan penatalaksanaan dapat dilakukan secara efektif dan efisien.5
5
BAB II 2.1 Identitas Pasien
Nama
: Tn. M. Syukron Mukmin
Umur
: 21 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki Alamat
: RT 003 Jl. KH A Somad
Pekerjaan
: Karyawan Swasta
MRS
: 2 November 2018 ruangan B1 Bangsal Interne
2.2 Anamnesis Keluhan Utama :
Demam sejak ± 3 hari SMRS Riwayat Penyakit Sekarang
:
Pasien datang dengan keluhan demam tinggi yang dirasakan ± 3 hari SMRS. Demam timbul mendadak, terus-menerus sepanjang hari lebih tinggi pada malam hari. Demam disertai menggigil (+), nyeri ulu hati (+), nyeri tenggorokan (+). Pasien tidak masuk bekerja dan beristirahat di rumah, sudah mengkonsumsi obat penurun panas namun pasien lupa nama obatnya. Setelah minum obat, demam dirasakan berkurang namun tinggi kembali. Badan pegal-pegal (+), nyeri kepala (+) nyeri seperti ditusuktusuk yang hilang timbul, dan nafsu makan menurun (+), badan lemas (+). ± 1 hari SMRS keluhan dirasakan semakin memberat, demam dirasakan tidak turun. Muntah (+) 1x dalam sehari, sebanyak ¼ gelas belimbing berisi cairan. Pasien mengeluh terdapat bintik-bintik kemerahan pada tangan dan badannya. Gusi berdarah (-), mimisan (-), BAB hitam (-), BAK tidak ada keluhan. Riwayat Penyakit Dahulu
:
Pasien belum pernah mengeluhkan hal yang serupa sebelumnya.
Demam Tifoid (-)
Malaria (-)
Chikungunya (-)
Riwayat Penyakit Keluarga :
R iwayat keluhan yang sama di keluarga (-)
Riwayat Hipertensi (+) ayah pasien.
6
Riwayat Sosial Ekonomi
:
Os belum menikah.
Os seorang karyawan yang bekerja disalah satu mall di J ambi.
Merokok (+), minum alkohol (-).
Pergi ke daerah endemis (-).
Dilingkungan os juga tidak ada tetangga maupun teman yang mengeluhkan hal yang sama.
2.3
Os tinggal didaerah yang dekat dengan tempat pembuangan sampah umum. Pemeriksaan Fisik
a. Status Generalisata
-
Keadaan Umum
: Tampak Sakit Sedang
-
Kesadaran
: Compos Mentis (GCS 15 E4V5M6)
-
Vital sign : o
Tekanan darah
: 130/70 mmHg
o
Frekuensi nadi
: 115x/ menit, reguler
o
Frekuensi nafas
: 20x/ menit, tipe thorakoabdominal
o
Suhu axilla
: 39,10C
o
SpO2
: 99 %
TB : 160 cm
IMT : 23,44 (normal)
Status Gizi
BB : 60 Kg Kulit
Warna
: sawo matang
Efloresensi
: (-)
Jaringan Parut
: (-)
Pertumbuhan Rambut : normal
Pertumbuhan Darah
: (-)
Suhu
: 39,1 0C
Turgor
: normal, < 2 detik
Lainnya
: (-)
Kelenjar Getah Bening
Pembesaran KGB
: (-) 7
Kepala
Bentuk Kepala
: Normocephal
Rambut
: Hitam, merata
Ekspresi
: Tampak sakit sedang
Simetris Muka
: Simetris
Konjungtiva
: Konjungtiva anemis (-), Injeksi konjungtiva (-)
Sklera
: Sklera Ikterik (-)
Pupil
: isokor
Lensa
: normal
Gerakan
: normal
Lapangan Pandang
: normal
Mata
Hidung
Bentuk
: Simetris
Sekret
: (-)
Septum
: deviasi (-)
Selaput Lendir
: (-)
Sumbatan
: (-)
Pendarahan
: (-)
Bibir
: Kering (-), Sianosis (-), pucat (-)
Lidah
: atrofi papila lidah (-), typhoid tongue (-)
Gusi
: hiperemis (-)
Mulut
Telinga
Bentuk
: Normotia, simetris
Sekret
: (+/+)
Pendengaran
: Normal
JVP
: 5+1 cmH2O
Kelenjar Tiroid
: tidak teraba
Leher
8
Kelenjar Limfonodi
: tidak teraba
Dada
Inspeksi
: Pergerakan dinding dada simetris
Pulmo Inspeksi
: Simetris kiri dan kanan, spider naevi (-)
Palpasi
: Nyeri tekan (-), Fremitus taktil kanan = kiri
Perkusi
: Sonor kanan dan kiri. Batas paru hepar pada ICS VI. Peranjakan paru hepar selebar 2 jari.
Auskultasi
: Vesikuler kanan dan kiri, Rhonki (-), Wheezing (-)
Jantung
Inspeksi
: ictus cordis tidak terlihat
Palpasi
: Teraba ICS V linea midclavicula sinistra
Perkusi :
Batas Atas
: ICS II Linea parasternal sinistra
Batas Kiri
: ICS V Linea midclavicula sinistra
Batas Kanan : ICS IV Linea parasternal dextra Auskultasi
: BJ I/II Reguler, Murmur (-), Gallop (-)
Abdomen
Inspeksi
: Datar, Simetris, striae (-), Asites (-), ptekie (+)
Palpasi
: Supel, Nyeri tekan (+) epigastrium. Hepar : Hepar tidak teraba Lien
: Lien tidak teraba
Ginjal : Ginjal tidak teraba Perkusi
: Timpani pada keempat kuadran perut
Auskultasi
: Bising Usus (+), Normal
Ekstremitas
Superior
: akral hangat, CRT <2 Detik, pucat, edema (-/-), ptekie (+/+)
Inferior
: akral hangat, CRT <2 Detik, pucat, edema (-/-), ptekie (+/+)
2.4
Pemeriksaan Penunjang
Darah Rutin (2/11/2018)
WBC : 3,54 x109/L
MCV
: 78,4 fL
: 5,6 x10 12/L
MCH
: 27,7 pg
RBC
HGB : 15,5 g/dL
MCHC : 353 g/L 9
PLT
: 95 x109/L
GDS
: 102 mg/dL
HCT
: 43,9 %
Kesan : Leukopenia, Trombositopenia
Pemeriksaan Elektrolit (2/11/18)
Natrium (Na) : 139,41 Kalium (K)
: 3,83
Chlorida (Cl) : 91,00 Calcium (Ca) : 1,43
Urine Rutin(2/11/2018)
Warna
: kuning muda
BJ
: 1005
pH
: 6,5
Protein
:-
Glukosa
:-
Keton
:-
Sel
:
Leukosit
: 2 – 3/LPB
Eritrosit
: 1 – 2/LPB
Epithel
: 3 – 4/LPK
Feses Rutin (2/11/2018)
Warna
: Cokelat
Konsistensi
: Padat
Parasit
: (-)
Lendir
: (-)
Telur cacing
: (-)
Pemeriksaan Serologi (2/11/2018)
Malaria
: (-)
2.5 Daftar Masalah
1. Demam 2. Nyeri kepala 3. Nafsu makan menurun 10
4. Muntah 5. Ptekie 6. Leukopeni 7. Trombositopenia 8. Hipoklorida 9. Hiperkalemi 10. Rumple led test (+) 2.6 Diagnosa Kerja
Diagnosa Primer
: Demam Dengue
Diagnosis Sekunder
: Dyspepsia Dismotility
2.7 Diagnosa Banding 1. Chikungunya 2. Demam Tifoid 2.8 Anjuran Pemeriksaan
- Pemeriksaan NS1 - Serologi IgM dan IgG - Tes Widal 2.9 Tatalaksana Non Farmakologis:
Tirah Baring
Diet lunak dan perbanyak asupan cairan
Edukasi tentang penyakit kepada pasien dan keuarganya
Pantau KU, TTV
Cek darah rutin /24 jam
Rencana pemeriksaan Antigen NS1
Rencana pemeriksaan serologi IgM dan IgG
Farmakologis:
IVFD NaCL 30 tpm (volume cairan kristaloid rumatan) o
1500 + 20 (60 – 20) = 2300 cc
•
Inj. Omeprazol 2 x 40 mg
•
PO Paracetamol tab 500 mg 3 x 1
11
•
PO Domperidone tab 10 mg 3 x 1
•
PO Sukralfat syr 4 x 2C
•
Paracetamol infus 1 fls jika suhu > 39 o C
2.10
Prognosis
Quo ad Vitam
: Dubia ad bonam
Quo ad Functionam
: Dubia ad bonam
Quo ad Sanactionam : Dubia ad bonam
2.11
Follow Up
Tabel 2.1 Follow Up Pasien Tgl
SOA
P
2/11/2
S: Demam (+), Lemas (+), Nyeri ulu hati (+), Mual (+)
IVFD NaCl 0,9% 30
018
muntah (-), nafsu makan menurun.
tpm
O: TD: 130/80 N : 111x/menit RR: 21x/menit
T : 39oC
PCT infus
Pemeriksaan generalisata:
Inj.
Omeprazole
Mata : CA(-/-), SI(-/-), Isokor (3mm/3mm), RC(+/+)
vial
THT : tonsil T1-T1 hiperemis (-), faring hiperemis (-)
PO Paracetamol 3 x 500
Thorax : Jtg: BJ I-II reguler, m (-), g ( – )
mg
Paru : Paru : SN vesikuler +/+, rh -/-, wh – /--
PO sukralfat syr 4x2C
Abd : datar, NT Epigastrium (+), BU (+) Normal, Hepar
PO Domperidon 3x10
tidak teraba, lien tidak teraba, ptekie (+)
mg
Ekst : akral hangat, udem (-), sianosis (-), ptekie (+)
Rencana Pemeriksaan:
Pemeriksaan Darah Rutin :
-
Pemeriksaan
WBC : 3,54 x109/L
MCV
: 78,4 fL
Rutin
: 5,6 x10 12/L
MCH
: 27,7 pg
Leukosit,
RBC
HGB : 15,5 g/dL PLT
: 95 x109/L
GDS
: 102 mg/dL
MCHC : 353 g/L HCT
: 43,9 %
2x1
Darah
(terutama
Hb,
Hematoktrit
dan Trombosit) per 24 jam.
A: Demam Dengue `3/11/
S : Demam (+), Lemas (+), Nyeri ulu hati (+)
2018
O: TD: 130/80 N : 80x/menit RR: 20x/menit
IVFD NaCl 30 tpm T : 37oC
Inj.
Omeprazole
2x1
Pemeriksaan generalisata:
vial
Mata : CA(-/-), SI(-/-), Isokor (3mm/3mm), RC(+/+)
PO sukralfat syr 4x2C
THT : tonsil T1-T1 hiperemis (-), faring hiperemis (-)
Rencana Pemeriksaan:
12
Thorax : Jtg: BJ I-II reguler, m (-), g ( – )
-Pemeriksaan
Darah
Paru : Paru : SN vesikuler +/+, rh -/-, wh – /--
Rutin
Abd : datar, NT Epigastrium (+), BU (+) Normal, Hepar
Leukosit,
tidak teraba, lien tidak teraba, ptekie (+)
dan Trombosit) per 24
Ekst : akral hangat, udem (-), sianosis (-)
jam.
(terutama
Hb,
Hematoktrit
Pemeriksaan Darah Rutin :
WBC : 2.28 RBC : 5.47 HGB : 14.8 HCT : 43 PLT : 102 A: Demam Dengue
4/11/2
S: Demam (+), Nyeri ulu hati (+) Perdarahan Gusi (-).
IVFD NaCl 30 tpm
018
O: TD: 110/70 N : 76x/menit RR: 20x/menit T : 36,5oC
Inj.
Pemeriksaan generalisata:
vial
Mata : CA(-/-), SI(-/-), Isokor (3mm/3mm), RC(+/+)
PO sukralfat syr 4x2C
THT : tonsil T1-T1 hiperemis (-), faring hiperemis (-)
Rencana Pemeriksaan:
Thorax : Jtg: BJ I-II reguler, m (-), g ( – )
-Pemeriksaan
Paru : Paru : SN vesikuler +/+, rh -/-, wh – /--
Rutin
Abd : datar, NT Epigastrium (+), BU (+) Normal, Hepar
Leukosit,
tidak teraba, lien tidak teraba, ptekie (-)
dan Trombosit) per 24
Omeprazole
2x1
Darah
(terutama
Hb,
Hematoktrit
Ekst : akral hangat, udem (-), sianosis (-). Ptekie (-). jam. Rumple leed test (-) Pemeriksaan Darah Rutin :
WBC : 3.31 RBC : 5.17 HGB : 14.3 HCT : 40.9 PLT : 120 A: Demam Dengue
5/11/2
S: Keluhan (-). Nafsu makan baik.
IVFD NaCl 30 tpm
018
O: TD: 120/70 N : 80x/menit RR: 22x/menit T : 36,8oC
Inj.
Pemeriksaan generalisata:
vial
Mata : CA(-/-), SI(-/-), Isokor (3mm/3mm), RC(+/+)
PO sukralfat syr 4x2C
THT : tonsil T1-T1 hiperemis (-), faring hiperemis (-)
Rencana Pemeriksaan:
Thorax : Jtg: BJ I-II reguler, m (-), g ( – )
Pemeriksaan
13
Omeprazole
2x1
Darah
Paru : Paru : SN vesikuler +/+, rh -/-, wh – /--
Rutin
(terutama
Hb,
Abd : datar, Nyeri tekan (-), BU (+) Normal, Hepar tidak
Leukosit,
teraba, lien tidak teraba.
dan Trombosit) per 24
Ekst : akral hangat, udem (-), sianosis (-)
jam.
Hematoktrit
Pemeriksaan Elektrolit Pemeriksaan Darah Rutin :
WBC : 3.92 RBC : 4.9 HGB : 13.9 HCT : 38.2 PLT : 132
A: Demam Dengue 6/11/2
S: Keluhan (-). Nafsu makan baik.
- Aff Infus
018
O: TD: 110/60 N : 102/menit RR: 21x/menit T : 36,3oC
- Terapi dihentikan Pasien pulang
Pemeriksaan generalisata:
Mata : CA(-/-), SI(-/-), Isokor (3mm/3mm), RC(+/+) THT : tonsil T1-T1 hiperemis (-), faring hiperemis (-) Thorax : Jtg: BJ I-II reguler, m (-), g ( – ) Paru : Paru : SN vesikuler +/+, rh -/-, wh – /-Abd : datar, Nyeri tekan (-), BU (+) Normal, Hepar tidak teraba, lien tidak teraba. Ekst : akral hangat, udem (-), sianosis (-) Pemeriksaan Darah Rutin :
WBC : 6.8 RBC : 5 HGB : 13.8 HCT : 39 PLT : 145
Na: 146,86 K: 4,19 Cl : 103,90 Ca : 1,27
14
BAB III TINJAUAN PUSTAKA
Demam dengue/DF dan demam berdarah dengue/DBD ( dengue haemorrhagic fever /DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifetasi klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang diserai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diatesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan/syok. 3.1 Etiologi
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus bengan diameter 30 nm terdiri terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x106. Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue. Keempat serotype ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype terbanyak. Terdapat reaksi silang antara serotipe dengue dengan Flavivirus lain seperti Yeloow fever , Japanese encephalitis dan West Nile virus. Dalam laboratorum virus dengue dapat bereplikasi pada hewan mamalia seperti tikus, kelinci, anjing, kalelawar dan primata. Survei epidemiologi pada hewan ternak didapatkan antibody terhadap virus dengue pada hewan kuda, sapi, dan babi. Penelitian pada artropoda menunjukkan virus dengue dapat bereplikasi pada nyamuk genus Aedes (Stegomyia) dan Toxorhynchites. 3.2 Epidemiologi
Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia tenggara, Pasifik barat dan Karibia. Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebarn di seluruh wilayah tanah air. Insiden DBD di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000 penduduk (1989 hingga 1995); dan pernah
15
meningkat tajam saat kejadian luar biasa hingga 35 per 100.000 penduduk pada tahun 1998, sedangkan mortalitas DBD cenderung menurun hingga mencapai 2% pada tahun 1999. Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vektor nyamuk genus Aedes (terutma A.aegpti dan A. Albopticus). Peningkatan kasus setiap tahunnya berkaitan dengan sanitasi lingkungan dengan tersedianya tempat perindukan bagi nyamuk betina yaitu bejana yang berisi air jernih (air mandi, kaleng bekas dan tempat penampung air lainnya). Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatn transmisi virus dengue yaitu: 1) Vektor : perkembang biakan vektor, kebiasaan menggigit, kepadatan vektor di lingkungan, transportasi vektor dari satu tempat ke tempat lain; 2) Pejamu : terdapatnya penderita di lingkungan/keluarga, mobilisasi dan paparan terhadap nyamuk, usia dan jenis kelamin; 3) Lingkungan : curah hujan, suhu, sanitasi dan kepadatan penduduk. 3.3 Patogenesis
Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue hingga saat ini masih diperdebatkan. Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme imunopatologis berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue dan sindrom renjatan dengue. 1 Respons imun yang diketahui berperan dalam patogenesis DBD adalah : a). Respon humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam proses netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan sitotoksisitas yang dimediasi antibodi. Antibodi terhadap virus dengue berperan dalam mempercepat replikasi virus pada monosit atau makrofag. Hipotesis ini disebut antibody dependent enhancement (ADE); b). Limfosit T-helper (CD4) dan T-sitotoksik (CD8) berperan dalam respon imun seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T helper yaitu TH1 akan memproduksi interferon gamma, IL-2 dan limfokin, sedangkan TH2 memproduksi IL-4, IL-5, IL6 dan IL-10; c). Monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi antibodi. Namun proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi virus dan sekresi sitokin oleh makrofag; d). Selain itu terjadi juga aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan terbentuknya C3a dan C5a.1 Halstead pada tahun 1973 mengajukan hipotesis secondary heterologous infection yang menyatakan bahwa DBD terjadi bila seseorang terinfeksi ulang virus dengue dengan tipe yang berbeda. Re-infeksi menyebabkan reaksi anamnestik antibodi sehingga mengakibatkan konsentrasi kompleks imun yang tinggi. 1
16
Gambar 1. Hipotesis secondary heterologous infection1
Kurane dan Ennis (1994) merangkum pendapat Halstead dan peneliti lain; menyatakan bahwa infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi makrofag yang memfagositosis kompleks virus-antibodi non netralisasi sehingga virus bereplikasi di dalam makrofag. Terjadinya infeksi makrofag menyebabkan aktivasi T-helper dan T-sitotoksik sehingga diproduksi limfokin dan interferon gamma. Interferon gamma akan mengaktivasi monosit sehingga disekresi berbagai mediator inflamasi seperti TNF alfa, IL-1, PAF, IL-6 dan histamin yang mengakibatkan terjadinya disfungsi endotel dan terjadi kebocoran plasma. Peningkatan C3a dan C5a terjadi melalui aktivasi oleh kompleks virus-antibodi yang juga mengakibatkan terjadinya kebocoran plasma.1 Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme: 1) Suoresi sumsum tulang, dan 2) destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit. Gambaran sumsum tulang pada fase awal infeksi (< 5 hari) menunjukkan keadaan hiposeluler dan supresi megakariosit. Setelah keadaan nadir tercapai akan terjadi peningkatan proses hematopoiesis termasuk megakariopoiesis. Kadar trombopoietin dalam darah pada saat terjadi trombositopenia justru menunjukkan kenaikan, hal ini menunjukkan terjadinya stimulasi trombopoiesis sebagai mekanisme kompensasi terjadap keadaan trombositopenia. Destruksi trombosit terjadi melalui pengikatan fragmen C3g, terdapatnya antibodi VD, konsumsi trombosit selama proses koagulopati dan sekuestrasi di perifer. Gangguan fungsi trombosit terjadi melalui mekanisme gangguan pelepasan ADP, peningkatan kadar b-tromboglobulin dan PF4 yang merupakan petanda degranulasi trombosit.
17
3.4 Faktor Risiko
Salah satu faktor risiko penularan DBD adalah pertumbuhan penduduk perkotaan yang cepat, mobilisasi penduduk karena membaiknya sarana dan prasarana transportasi dan terganggu atau melemahnya pengendalian populasi sehingga memungkin terjadinya KLB. 7 Faktor risiko lainnya adalah kemiskinan yang mengakibatkan orang tidak mempunyai kemampuan untuk menyediakan rumah yang layak dan sehat, pasokan air minum dan pembuangan sampah yang benar. Tetapi di lain pihak, DBD juga bisa menyerang penduduk yang lebih makmur terutama yang biasa bepergian. Dari penelitian di Pekanbaru Provinsi Riau, diketahui faktor yang berpengaruh terhadap kejadian DBD adalah pendidikan dan pekerjaan masyarakat, jarak antar rumah, keberadaan tempat penampungan air, keberadaan tanaman hias dan pekarangan serta mobilisai penduduk; sedangkan tata letak rumah dan keberadaan jentik tidak menjadi faktor risiko. 8 3.5 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatik, atau dapat berupa demam yang tidak khas, demam dengue, demam berdarah dengue, atau sindrom syok dengue.1 Pada umumnya pasien mengalami fase demam selama 2-7 hari, yang diikuti oleh fase kritis selama 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah tidak demam, akan tetapi mempunyai risiko untuk terjadi renjatan jika tidak mendapat pengobatan adekuat. 1
18
Gambar 2. Perjalanan penyakit Demam Berdarah Dengue9
1.
Fase Febris ( Febrile Phase) Penderita biasanya mengalami demam tinggi secara tiba-tiba. Fase demam akut ini
biasanya berlangsung 2-7 hari dan sering disertai dengan facial flushing , eritema kulit, sakit badan umum, mialgia, artralgia dan sakit kepala. Beberapa pasien mungkin mengalami sakit tenggorokan, pharynx dan konjungtiva. Anoreksia, mual dan muntah sering terjadi. Sulit membedakan dengue secara klinis dari penyakit demam berdarah non-demam pada fase demam dini. Uji tourniquet positif pada fase ini meningkatkan probabilitas demam berdarah. Selain itu, fitur klinis ini tidak dapat dibedakan antara kasus demam berdarah parah dan tidak parah. Oleh karena itu pemantauan tanda peringatan dan parameter klinis lainnya sangat penting untuk mengenali kemajuan pada fase kritis. 9 Manifestasi hemoragik ringan seperti perdarahan petechiae dan mukosa membran (misalnya hidung dan gusi) dapat dilihat. Perdarahan masif vagina (pada wanita usia subur) dan pendarahan gastrointestinal dapat terjadi selama fase ini namun tidak umum. Hati sering membesar dan lembut setelah beberapa hari demam. Kelainan paling awal dalam jumlah darah keseluruhan adalah penurunan progresif jumlah total sel darah putih, yang harus mengingatkan dokter terhadap probabilitas tinggi demam berdarah.9 2.
Fase Kritis (Critical Phase) Merupakan kisaran waktu defervescence, ketika suhu turun menjadi 37,5-38 oC atau
kurang dan tetap di bawah tingkat ini, biasanya pada hari 3-7 dari penyakit, peningkatan permeabilitas kapiler secara paralel dengan peningkatan kadar hematokrit dapat terjadi. Ini menandai dimulainya fase kritis. Periode kebocoran plasma secara klinis signifikan biasanya berlangsung 24-48 jam.9,10 Leukopenia progresif diikuti oleh penurunan jumlah trombosit yang cepat biasanya mendahului kebocoran plasma. Pada titik ini, pasien tanpa peningkatan permeabilitas kapiler akan membaik, sementara yang memiliki permeabilitas kapiler meningkat menjadi lebih buruk akibat kehilangan volume plasma. Tingkat kebocoran plasma bervariasi. Efusi pleura dan asites dapat terdeteksi secara klinis tergantung pada tingkat kebocoran plasma dan volume terapi cairan. Oleh karena itu x-ray dada dan ultrasonografi perut bisa menjadi alat yang berguna untuk diagnosis. Tingkat kenaikan di atas hematokrit dasar sering mencerminkan keparahan kebocoran plasma.9,10 Syok terjadi saat volume kritis plasma hilang melalui kebocoran. Hal ini sering didahului dengan tanda peringatan. Suhu tubuh mungkin subnormal saat terjadi syok. Dengan kejutan 19
yang berkepanjangan, efek hipoperfusi organ akibat gangguan organ progresif, asidosis metabolik dan koagulasi intravaskular diseminata. Hal ini pada gilirannya menyebabkan perdarahan hebat yang menyebabkan hematokrit menurun pada syok yang parah. Alih-alih leukopenia biasanya terlihat selama fase demam berdarah ini, jumlah total sel darah putih dapat meningkat pada pasien dengan perdarahan hebat. Selain itu, kerusakan organ berat seperti hepatitis, ensefalitis berat atau miokarditis berat dan / atau perdarahan hebat juga dapat terjadi tanpa adanya kebocoran atau kejutan plasma yang jelas.9 Mereka yang membaik setelah tahap defervescence dikatakan memiliki demam non severe dengue. Beberapa pasien mengalami fase kritis dari kebocoran plasma tanpa defervescence dan, pada pasien ini, perubahan perbaikan volume darah penuh harus dilakukan untuk memandu awitan fase kritis dan kebocoran plasma. 9 Mereka yang memburuk akan bermanifestasi dengan tanda peringatan. Ini disebut demam berdarah dengan tanda peringatan. Kasus demam berdarah dengan tanda peringatan mungkin akan pulih dengan rehidrasi intravena awal. Beberapa kasus akan memburuk pada demam berdarah parah / severe dengue (lihat di bawah).9 3.
Fase Perbaikan ( Recovery Phase) Jika pasien bertahan pada fase kritis 24-48 jam, reabsorpsi cairan kompartemen
ekstravaskular secara bertahap terjadi dalam 48-72 jam berikut. Kenaikan kesehatan umum, kembalinya nafsu makan, gejala gastrointestinal mereda, status hemodinamik stabil dan diuresis terjadi kemudian. Beberapa pasien mungkin mengalami ruam. Beberapa mungkin mengalami pruritus umum. Bradikardia dan perubahan elektrokardiografi umum terjadi pada tahap ini.9,11 Hematokrit stabil atau mungkin lebih rendah karena efek dilusional dari reabsorpsi cairan. Jumlah sel darah putih biasanya mulai meningkat segera setelah defervescence namun pemulihan jumlah trombosit biasanya lebih tinggi daripada jumlah sel darah putih. Gangguan pernapasan akibat efusi pleura dan asites yang besar akan terjadi kapan saja jika cairan intravena berlebihan telah diberikan. Selama fase kritis dan / atau pemulihan, terapi cairan berlebihan dikaitkan dengan edema paru atau gagal jantung kongestif.9 \ 3.6 Klasifikasi dan Kriteria Diagnosis 1,6
Untuk menentukan penatalaksanaan pasien infeksi virus dengue, perlu diketahui klasifikasi derajat penyakit seperti tertera pada Tabel 1.
20
Tabel 3.1 Klasifikasi Derajat Penyakit Infeksi Virus Dengue(WHO 1997) 1
Definisi Kasus untuk Demam Dengue6 Probable – demam akut selama 2-7 hari disertai dua atau lebih gejala berikut:
Sakit kepala Nyeri retro-orbital
Myalgia
Artralgia
Ruam
Manifestasi perdarahan
Leukopenia; dan
Hasil pemeriksaan serologi (+) atau adanya demam dengue di lokasi dan waktu yang sama
Confirmed – kasus dikonfirmasi dengan kriteria laboratorium
Isolasi virus dengue dari serum atau sampel otopsi
Kenaikan ≥ 4 kali titer antobodi IgG atau IgM pada sampel plasma
Terdapatnya antigen virus dengue pada sampel otopsi jaringan, plasma, atau LCS dengan teknik imunihistokimia, imunofluoresens, atau ELISA
21
Deteksi sekuens genom virus dengue di sampel jaringan atau LCS dengan cara PCR Reportable – setiap kejadian kasus probable atau confirmed harus dilaporkan.
Demam Berdarah Dengue (DBD) WHO 1997
6
Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik.
Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut : -
Uji bendung positif
-
Ptekie, ekimosis, atau purpura
-
Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi), atau perdarahan dari tempat lain
-
Hematemesis atau melena
Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ml)
Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma) sebagai berikut : -
Peningkatan hematokrit > 20% dibandingkan standar sesuai umur dan jenis kelamin
-
Peningkatan hematokrit > 20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya
-
Tanda kebocoran plasma seperti : efusi pleura, asites, hipoproteineia, atau hiponatremia
Dengue Shock Syndrome (DSS) 6
Semua gejala kriteria DBD ditambah bukti adanya kegagalan sirkulasi seperti : - Nadi lemah dan cepat -
Tekanan Nadi Sempit (<20 mmHg)
Atau adanya manifestasi : -
Hipotensi
-
Akral dingin, lembab, dan gelisah
3.7 Pemeriksaan Diagnosik 1.
Anamnesis
Demam mendadak tinggi dengan tipe bifasik disertai oleh kecenderungan perdarahan (perdarahan kulit, perdarahan gusi, epistaksis, hematemesis, melena,
22
hematuria), sakit kepala, nyeri otot dan sendi, ruam, nyeri dibelakang mata, mualmuntah, pemanjangan siklus menstruasi. Riwayat penderita DBD di sekitar tempat tinggal, sekolah, atau di tempat bekerja di waktu yang sama. Pasien dapat juga datang disertai dengan keluhan sesak, lemah hingga penurunan kesadaran. 6 2.
Pemeriksaan Fisik
Demam
Gejala infeksi viral seperti : Infeksi Konjungtiva, mialgia, arthralgia
Tanda perdarahan : ptekiae, purpura, ekimosis
Hepatomegali
Tanda – tanda kebocoran plasma : efusi pleura, asites, edema, kandung empedu.6
3.
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien tersangka demam dengue adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, hematokrit, jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai gambaran limfosit plasma biru.1 Diagnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell culture) ataupun deteksi antigen virus RNA dengue dengan teknik RT-PCR (Reserve Transcriptase Polymerase Chain Reaction), namun karena teknik yang lebih rumit, saat ini tes serologis yang mendeteksi adanya antibody spesifik terhadap dengue berupa antibody total, IgM maupun IgG. Parameter Laboratoris yang dapat diperiksa antara lain : 1 •
Leukosit: dapat normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat ditemui limfositosis relative (>45% dari total leukosit) disertai adanya limfosit plasma biru (LPB) > 15% dari jumlah total leukosit yang pada fase syok akan meningkat.
•
Trombosit: umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8.
•
Hematokrit: Kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya peningkatan hematokrit ≥ 20% dari hematokrit awal, umumnya dimulai pada hari ke -3 demam.
•
Hemostasis: Dilakukan pemeriksaan PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP pada keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan pembekuan darah.
•
Protein/albumin: Dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma.
23
•
SGOT/SGPT (serum alanin aminotransferase): dapat meningkat.
•
Ureum, Kreatinin: bila didapatkan gangguan fungsi ginjal.
•
Elektrolit: sebagai parameter pemantauan pemberian cairan.
•
Golongan darah: dan cross macth (uji cocok serasi): bila akan diberikan transfusi darah atau komponen darah.
•
Imuno serologi dilakukan pemeriksaan IgM dan IgG terhadap dengue. IgM: terdeksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-3, menghilang setelah 60-90 hari. IgG: pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke-14, pada infeksi sekunder IgG mulai terdeteksi hari ke-2.
•
Uji HI: Dilakukan pengambilan bahan pada hari pertama serta saat pulang dari perawatan, uji ini digunakan untuk kepentingan surveilans.
•
NS 1 : antigen NS 1 dapat dideteksi pada awal demam hari pertama sampai hari ke tiga. Sensitivitas antigen NS 1 berkisar 63%-93,4% dengan spesifisitas 100% sama tingginya dengan spesifisitas gold standard kultur virus. Hasil negatif antigen NS 1 tidak menyingkirkan adanya infeksi virus dengue.
2. Gambaran Radiologis Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan tetapi apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai pada kedua hemitoraks. Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya dalam posisi lateral dekubitus kanan (pasien tidur pada sisi badan sebelah kanan). Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan USG.1
24
Gambar 3. Gambaran Foto Rontgen Efusi Pleura Yang Sering Terkena Pada Pasien
Demam Berdarah Dengue Gambar 4. Gambaran USG Efusi Pleura Yang Sering Terkena Pada Pasien Demam
Berdarah Dengue
Gambar 5. Gambaran Cairan Ascites di Peri Vesica Urinaria Pada Pasien Demam
Berdarah Dengue
3.9 Diagnosa Banding
Demam akut lain yang disertai trombsitopenia seperti demam tifoid, malaria, chikungunya. a. Demam Tifoid
25
Demam tifoid merupakan penyakit sestemik akut yang disebabkan oleh infeksi kuman Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi. S. paratyphi dapat mengakibatkan gejala peyakit
yang
lebih
ringan
daripada
S.typhi,
dengan
predominan
dgejala
gastrointestinal. Sifat demam adalah meningkat perlahan – lahan dan terutama pada sore hingga malam hari. Dalam minggu kedua gejala – gejala menjadi jelas berupa demam, bradikardia relative, lidah yang berselaput, hepatomegali, splenomegali, meteorismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis. Pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering diteui leucopenia, dapat pula terjadi kadar leukosit normal, atau leukositosis walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Pemeriksaan lain yang rutin adalah uji Widal dan Kultur mikroorganisme. Dapat menimbulkan komplikasi intestinal ataupun ekstraintestinal. 6 b. Malaria Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit genus Plasmodium ( P.falsiparum, P.Vivax, P Ovale, P.Malariae, P. Knowlesi) yang hidup dan berkembang biak dalam sel darah merah manusia (eritrositik) atau jaringan (stadium ekstra eritrositik). Penyakit ini alami ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina. Pendekatan diagnsosis melalui : gejala klinis yaitu demam, menggigil, berkeringat, sakit kepala, mual, muntahm diarem nyeri otot, penurunan kesadaran, lalu pemeriksaan parasitologi : Sediaan Apusan Darah Tepi (SADT) tebal dan tipis dijumpai parasit malaria. Tanda dan gejala malaria tidak spesifik. Secaraklinis memiliki spesifisitas yag sangat rendah dan dapat berakibat pada tatalaksana yag berlebihan.6 c. Chikungunya Demam chikungunya merupakan suatu infeksi akut yang disebabkan oleh alfavirus dan ditularkan melalui gigitan nyamuk A.aegypti dan A.albopictus. Penyakit ini dapat bersifat akut, subakut, maupun kronis. Fase akut berlangsung 3 – 10 hari, ditandai dengan demam tinggi mendadak (39-40 oC) dan nyeri sendi berat. Pada pasien chikungunya,
pemeriksaan
laboratorium
melalui
pemeriksaan
isolasi
virus
chikungunya (CHIKV). Isolasi CHIKV dapat diambil dari nyamuk yang didapat dari lapangan atau specimen serum akut yang diambil dari darah pasien pada minggu pertama demam. Selain itu, untuk mengkonfirmasi recent infection dapat dengan deteksi RNA CHIKV dengan RT-PCR real time, identifikasi hasil IgM positif pada pasien gejala akut, diikuti dengan antibodi spesifik CHIKV yang ditentukan oleh PRNT dengan virus lain yang ada didalam serogroup Semliki Forest Virus (SFV), 26
serta adanya serokonversi atau kenaikan titer 4x lipat pada PRNT, HI, atau ELISA (sekali lagi, dengan menggunakan virus lain yang ada didalam serogroup SFV) antara specimen fase akut dan convalescent.6 3.10
Penatalaksanaan Pada Pasien Demam Berdarah Dengue a. Nonfarmakologis
Istirahat, makanan lunak, tingkatkan asupan cairan oral
Pantau tanda – tanda syok, terutama transisi fase febris (hari 4-6) - Klinis : tingkat kesadaran, nadi, tekanan darah - Laboratorium : Hb, Ht, Trombosit, Leukosit. 6
b. Farmakologis
Simtomatis : antipiretik parasetamol bila demam Tatalaksana terinci dapat dilihat pada gambar protokol tatalaksana DBD . 1. Cairan intravena : Ringer laktat atau ringer asetat 4 -6 jam / kolf. Evaluasi jumlah
cairan,
kondisi
klinis,
perbaikan
/
perburukan
hemokonsentrasi. Koloid / plasma ekspander pada DBD stadium III dan IV bila diperlukan. 2. Transfusi trombosit dan komponen darah sesuai indikasi 3. Pertimbangan heparinisasi pada DBD stadium III dan IV dengan Koagulasi Intravaskular Diseminata ( KID )
Protokol 1 : Penanganan Tersangka ( Probable) DBD Dewasa tanpa syok
1
Protokol 1 ini digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan pertolongan pertama pada penderita DBD atau yang diduga DBD di Instalasi Gawat Darurat dan juga dipakai sebagai petunjuk dalam memutuskan indikasi rawat. Seseorang yang tersangka menderita DBD di
27
Unit Gawat Darurat dilakukan pemeriksaan hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht) dan trombosit, bila :
Hb, Ht dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000-150.000, pasien dapat dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke Poliklinik dalam waktu 24 jam berikutnya (dilakukan pemeriksaan Hb, Ht, Leukosit dan trombosit tiap 24 jam) atau bila keadaan penderita memburuk segera kembali ke Unit Gawat Darurat.
Hb, Ht normal tetapi trombosit < 100.000 dianjurkan untuk dirawat.
Hb, Ht meningkat dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan untuk dirawat. 1
Protokol 2 : Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat
1
*volume cairan kristaloid per hari yang diperlukan sesuai rumus berikut : 1500 + {20 x (BB dalam kg – 20)} **pemantauan disesuaikan dengan fase/hari perjalanan penyakit dan kondisi klinis.
Setelah pemberian cairan dilakukan pemeriksaan Hb, Ht tiap 24 jam:
1
Bila Hb, Ht meningkat 10 -20% dan trombosit <100.000 jumlah pemberian cairan tetap seperti rumus diatas tapi pemantauan Hb, Ht, trombosit dila kukan tiap 12 jam.
Bila Hb, Ht meningkat > 20% dan trombosit <100.000 maka pemberian cairan sesuai protokol penatalaksanaan DBD dengan penigkatan Ht > 20%.
Protokol 3 : Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht > 20%
28
1
Meningkatnya Ht > 20% menunjukkan bahwa tubuh mengalami defisit cairan sebanyak 5%. Pada keadaan ini terapi awal pemberian cairan adalah dengan memberikan infus cairan kristaloid sebanyak 6-7 ml/kg/jam. Pasien kemudian dipantau setelah 3-4 jam pemberian cairan. Bila terjadi perbaikan yang ditandai dengan tanda-tanda hematokrit turun, frekuensi nadi turun, tekanan darah stabil, produksi urin meningkat maka jumlah cairan infus dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam. Dua jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan tetap menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus dikurangi menjadi 3 ml/kgBB/jam. Bila dalam pemantauan keadaan tetap membaik maka pemberian cairan dapat dihentikan 2448 jam kemudian. 1 Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6-7 ml/kgBB/jam tadi keadaan tetap tidak membaik, yang ditandai dengan hematokrit dan nadi meningkat, tekanan nadi menurun <20 mmHg, produksi urin menurun, maka kita harus menaikkan jumlah cairan infus menjadi 10 ml/kgBB/jam. Dua jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam tetapi bila keadaan tidak menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus dinaikkan menjadi 15 ml/kgBB/jam dan bila dalam perkembangannya kondisi menjadi memburuk dan didapatkan tanda-tanda syok maka pasien ditangani sesuai dengan protokol tatalaksana sindrom syok
29
dengue pada dewasa. Bila syok telah teratasi maka pemberian cairan dimulai lagi seperti terapi pemberian cairan awal.1
Protokol
Perdarahan
4
:
Penatalaksanaan
spontan
dan
masif
Perdarahan
pada
penderita
Spontan
DBD
pada
dewasa
1
DBD
dewasa
adalah
perdarahan
hidung/epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberikan tampon hidung, perdarahan saluran cerna (hematemesis dan melena atau hematoskesia), perdarahan saluran kencing (hematuria), perdarahan otak atau perdarahan tersembunyi dengan jumlah perdarahan sebanyak 4-5 ml/kgBB/jam. Pada keadaan seperti ini jumlah dan kecepatan pemberian cairan tetap seperti keadaan DBD tanpa syok lainnya. Pemeriksaan tekanan darah, nadi, pernafasan dan jumlah urin dilakukan sesering mungkin dengan kewaspadaan Hb, Ht, dan trombosis serta hemostasis harus segera dilakukan dan pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit sebaiknya diulang setiap 4-6 jam.1 Pemberian heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratorium didapatkan tandatanda koagulasi intravaskular diseminata (KID). Transfusi komponen darah diberikan sesuai indikasi. FFP diberikan bila didapatkan defisiensi faktor-faktor pembekuan (PT dan aPTT yang memanjang), PRC diberikan bila nilai Hb kurang dari 10 g/dl. Transfusi trombosit hanya diberikan pada pasien DBD dengan perdarahan spontan dan masif dengan jumlah trombosit < 100.000/mm 3 disertai atau tanpa KID.1
30
Protokol 5 : Tatalaksana Sindroma Syok Dengue Pada Dewasa 6
31
Bila kita berhadapan dengan Sindrom Syok Dengue (SSD) maka hal pertama yang harus diingat adalah bahwa renjatan harus segera diatasi dan oleh karena itu penggantian cairan intravaskular yang hilang harus segera dilakukan. Angka kematian sindrom syok dengue sepuluh kali lipat dibandingkan dengan penderita DBD tanpa renjatan, dan renjatan
dapat
terjadi
pertolongan/pengobatan,
karena
keterlambatan
penatalaksanaan
yang
penderita tidak
tepat
DBD
mendapatkan
termasuk
kurangnya
kewaspadaan terhadap tanda-tanda renjatan dini, dan penatalaksanaan renjatan yang tidak adekuat.1 Pada kasus SSD cairan kristaloid adalah pilihan utama yang diberikan. Selain resusitasi cairan, penderita juga diberikan oksigen 2-4 liter/menit. Pemeriksaan pemeriksaan yang harus dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL), hemostasis, analisis gas darah, kadar natrium, kalium dan klorida, serta ureum dan kreatinin. 1 Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 10-20 ml/kgBB dan dievaluasi setelah 15-30 menit. Bila renjatan telah teratasi (ditandai dengan tekana darah sistolik 100 mmHg dan tekanan nadi lebih dari 20 mmHg, frekuensi nadi kurang dari 100 kali per menit dengan volume yang cukup, akral teraba hangat, dan kulit tidak pucat serta diuresis 0,5-1 ml/kgBB/jam) jumlah cairan dikurangi menjadi 7 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60-120 menit keadaan tetap stabil pemberian cairan menjadi 5 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60-120 menit kemudian keadaan tetap stabil pemberian cairan menjadi 3 ml/kgBB/jam. Bila 24-48 jam setelah renjatan teratasi tanda-tanda vital dan hematokrit tetap stabil serta diuresis cukup maka pemberian cairan perinfus harus dihentikan (karena jika reabsorpsi cairan plasma yang mengalami ekstravasasi telah terjadi, ditandai dengan turunnya hematokrit, cairan infus terus diberikan maka keadaan hipervolemi, edema paru atau gagal jantung dapat terjadi). 1 Pengawasan dini kemungkinan terjadinya renjatan berulang harus dilakukan terutama dalam waktu 48 jam pertama sejak terjadi renjatan (karena selain proses patogenesis penyakit masih berlangsung, ternyata cairan kristaloid hanya sekitar 20% saja yang menetap dalam pembuluh darah setelah satu jam saat pemberian). Oleh karena untuk mengetahui apakah renjatan telah teratasi dengan baik, diperlukan pemantauan tanda vital yaitu status kesadaran, tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi jantung dan napas, pembesaran hati, nyeri tekan daerah hipokondrium kanan dan epigastrik, serta jumlah diuresis. Diuresis diusahakan 2 ml/kgBB/jam. Pemantauan kadar hemoglobin, hematokrit, dan jumlah trombosit dapat dipergunakan untuk pemantauan perjalanan penyakit. 1 32
Bila setelah fase awal pemberian cairan ternyata renjatan belum teratasi, maka pemberian cairan kristaloid dapat ditingkatkan menjadi 20-30 ml/kgBB dan kemudian dievaluasi setelah 20-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi, maka perhatikan nilai hematokrit. Bila nilai hematokrit meningkat berarti perembesan plasma masih berlangsung maka pemberian cairan koloid merupakan pilihan, tetapi bila nilai hematokrit menurun, berarti terjadi perdarahan (internal bleeding ) maka penderita diberikan tranfusi darah segar 10 ml/kgBB dan dapat diulang sesuai kebutuhan. 1 Sebelum cairan koloid diberikan maka sebaiknya kita harus mengetahui sifat-sifat cairan tersebut. Pemberian koloid sendiri mula-mula diberikan dengan tetesan cepat 1020 ml/kgBBdan dievaluasi setelah 10-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi maka untuk memantau kecukupan cairan dilakukan pemasangan kateter vena sentrall dan pemberian koloid dapat ditambah hingga jumlah maksimum 30 ml/kgBB (maksimal 1-1,5 µ/hari) dengan sasaran tekanan vena sentral 15-18 cmH2O. Bila keadaan tetap belum teratasi harus diperhatikan dan dilakukan koreksi terhadap gangguan asam basa, elektrolit, hipoglikemia, anemia, KID, infeksi sekunder. Bila tekanan vena sentral penderita sudah sesuai dengan target tetapi renjatan tetap belum teratasi maka dapat diberikan obat inotropik/vasopresor. 1
Kriteria Merujuk Pasien ke RS/ ICU : 6 a) Takikardi b) Capillary Refil Time (<2 detik) c) Kulit dingin, lembab dan pucat d) Nadi perifer lemah atau hilang e) Perubahan status mental f) Oliguria g) Peningkatan mendadak Ht atau peningkatan kontinyu Ht setelah terapi cairan diberikan h) Tekanan nadi sempit (<20 mmHg) i) Hipotensi
3.11
Komplikasi
Komplikasi DBD yang terjadi biasanya dikaitkan dengan syok yang nyata/berlangsung lama sehingga menyebabkan asisdosis metabolik dan perdarahan hebat sebagai akibat dari koagulasi intravaskular diseminata (KID) dan kegagalan multiorgan seperti disfungsi hati dan 33
ginjal. Hal yang lebih penting diperhatikan adalah bahwa pemberian cairan yang berlebihan selama periode kebocoran plasma dapat menyebabkan efusi yang masif dan gangguan pernafasan, bendungan paru akut dan/atau gagal jantung. Cairan yang terus diberikan setelah berakhirnya periode kebocoran plasma dapat berakibat edema paru akut ataupun gagal jantung, khususnya dengan adanya reabsorbsi cairan yang sebelumnya mengalami ekstravasasi. Selain itu, syok yang nyata/berlama-lama serta pemberian cairan yang tidak tepat dapat menyebabkan gangguan metabolik/elektrolit. Gangguan metabolik yang paling sering ditemukan adalah hipoglikemia, hiponatremia, hipokalemia dan kadang-kadang hiperglikemia. Hal ini dapat berakibat munculnya berbagai manifestasi yang jarang, misalnya ensefalopati.
3.12
Prognosis
Prognosis demam dengue dapat beragam, dipengaruhi oleh adanya antibodi yang didapat secara pasif atau infeksi sebelumnya. Pada DBD, kematian telah terjadi pada 40-50% pasien dengan syok, tetapi dengan penanganan intensif yang adekuat kematian dapat ditekan <1% kasus. Keselamatan secara langsung berhubungan dengan penatalaksanaan awal dan intensif. Pada kasus yang jarang, terdapat kerusakan otak yang disebabkan syok berkepanjangan atau perdarahan intrakranial.12
34
BAB IV ANALISIS KASUS
Demam dengue/DF dan Demam berdarah Dengue/DBD (dengue haemorrhagic fever/DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang disertai lekopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia, dan diatesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. DSS (dengue shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan (syok). Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia Tenggara, Pasifik barat dan Karibia. lndonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah tanah air. Berdasarkan anamnesis yang telah dilakukan, pasien mengeluhkan demam tinggi sejak + 3 hari SMRS. Demam dirasakan terus-menerus disertai dengan menggigil dan nyeri pada ulu hati. Pasien juga mengeluhkan mual muntah dan nyeri kepala yang dirasakan ± 1 hari SMRS. Dengan adanya keluhan ini, dapat dipikirkan beberapa diagnosis banding penyakit pasien yang mungkin dapat menyebabkan demam tinggi yang terjadi akut, diantaranya yaitu infeksi bakteri, virus maupun parasit. Infeksi bakteri yang mungkin dapat terjadi pada umumnya yaitu Infeksi Saluran Napas Akut (ISPA) dan demam typhoid. Infeksi virus yang mungkin dapat terjadi antara lain Demam Dengue (DD), Demam Berdarah Dengue (DBD), atau Demam Chikungunya. Sedangkan infeksi parasit yang mungkin dapat menyebabkan demam adalah Malaria. Dari hasil anamnesis riwayat perjalanan penyakit didapatkan keluhan yang sesuai dengan manifestasi klinis infeksi virus dengue yaitu adanya keluhan demam akut selama 27 hari, disertai nyeri kepala. Diagnosis banding lain yang mungkin dapat menyerupai infeksi dengue, misalnya diagnosis Malaria dapat disiingkirkan dari tidak adanya riwayat berpergian ke daerah endemis. Tifoid juga dapat disingkirkan karena riwayat perjalanan demam tidak memenuhi kriteria demam tifoid serta keluhan gastrointestinal tidak dominan pada kasus. Pada pemeriksaan fisik didapatkan peningkatan suhu (39,1°C), nyeri tekan epigastrium, ptekie pada abdomen dan ekstremitas superior dan inferior, dan rumple leed test positif, sesuai dengan manifestasi klinis yang terdapat pada DBD. Tidak didapatkan adanya Tifoid tongue pada kasus, juga dapat membantu menyingkirkan diagnosis Demam Tifoid. 35
Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien, dapat ditegakkan diagnosis Suspek Demam Dengue (manifestasi klinis infeksi dengue dan perdarahan spontan tanpa syok). Oleh karena kriteria diagnosis belum terpenuhi seluruhnya, dilakukan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium berupa darah rutin, khususnya melihat kadar hemoglobin, hematokrit, trombosit, dan leukosit. Selain itu juga dapat dilakukan pemeriksaan antigen NS 1 untuk deteksi awal demam hari pertama sampai kedelapan serta uji serologis IgM dan IgG Dengue untuk menilai antibodi yang terbentuk akibat infeksi virus Dengue. IgM terdeteksi pada hari 3-5, meningkat sampai minggu ketiga menghilang setelah 60-90 hari. IgG mulai terdeteksi pada hari ke-14 pada infeksi primer, pada infeksi sekunder terdeteksi pada hari ke-2. Pemeriksaan darah rutin laboratorium biasanya didapatkan trombositopenia pada demam hari 3-8, yang disebabkan oleh supresi sum-sum tulang dan d estruksi serta pemendekan masa hidup trombosit. Kemudian pemeriksaan Hb dan Ht yang menunjukkan peningkatan menandakan terjadinya plasma leakage, akibat dari peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskular ke ruang ekstravaskular. Hal ini didapatkan pada pasien dimana pada pemeriksaan laboratorium hari pertama didapatkan nilai WBC 3,54x109/L Hb 15,5 g/dl, Ht 43,9% dan Trombosit 95.000/mm3. Monitoring penilaian laboratorium per 12 jam selanjutnya dibutuhkan untuk melihat respon terapi yang diberikan pada pasien. Pemeriksaan radiologis berupa foto thoraks juga perlu dilakukan untuk pasien. Hal ini untuk melihat apakah terdapat efusi pleura, terutama pada hemithoraks kanan. Tetapi apabila terjadi perembesan plasma hebat efusi dapat dijumpai pada kedua hemithoraks. Pemeriksaan rontgen sebaiknya pada posisi lateral dekubitus. 1 Untuk menentukan penatalaksanaan pasien infeksi virus dengue, perlu diketahui klasifikasi derajat penyakit seperti tertera pada tabel 3.1 dibawah ini.
Tabel 3.1 Derajat dan Klasifikasi DD/DBD. DD/ DBD DD
Derajat
DBD
I
Gejala
Laboratorium
Demam disertai 2 atau lebih tanda: sakit kepala, nyeri retro-orbital, mialgia, artralgia gejala di atas ditambah uji bendung positif
36
leukopenia, trombositopenia, tidak ada bukti kebocoran plasma Trombositopenia < 100.000, HT meningkat ≥ 20 % (bukti ada
Serologi Dengue (+)
DBD
II
gejala di atas ditambah perdarahan spontan
DBD
III
Gejala di atas ditambah kegagalan sirkulasi (kulit dingin dan lembab serta gelisah)
DBD
IV
Syok berat disertai dengan tekanan darah dan nadi tidak terukur
kebocoran plasma) Trombositopenia < 100.000, HT meningkat ≥ 20 % (bukti ada kebocoran plasma) Trombositopenia < 100.000, HT meningkat ≥ 20 % (bukti ada kebocoran plasma) Trombositopenia < 100.000, HT meningkat ≥ 20 % (bukti ada kebocoran plasma)
Maka dapat disimpulkan, pasien termasuk dalam kategori Demam Berdarah Dengue Stage I. Pasien akan diberikan terapi tatalaksana berdasarkan penanganan Demam Dengue Protokol 2 yang akan dibahas pada gambar 3.1 dibawah ini.
Gambar 3.1 Protokol 2 Pemberian cairan pada tersangka DD dewasa diruang rawat.1
Volume cairan kristaloid yang Volume cairan kristaloid per hari yang diperlukan : 1500 + 20 X ( BB dalam kg – 20 ). Pan American Health Organization: Dengue and Dengue
Hemorrhagic
Fever:
Guidelines
for
Prevention
and
Control.
PAHO:
Washington,D.C,1994:67) Tatalaksana pasien ini meliputi tirah baring, lalu edukasi mengenai penyakitnya, memantau tanda-tanda bahaya dan syok pada pasien, untuk makanan konsumsi makanan lunak dan memperbanyak asupan oral air putih. Tatalaksana farmakologi diberikan untuk 37
mengganti cairan yang hilang. Pada pasien dengan BB 60 kg : 1500 + 20 X ( 60 – 20) = 2300 ml. Maka pasien diberikan infus RL 30 tetes makro per menit. Lalu sebagai terapi simptomatik pada pasien diberikan parasetamol oral 500mg/6jam (jika suhu >37,5°C). Tidak ada terapi spesifik untuk demam dengue. Penanganan suportif merupakan yang terpenting, seperti pemeliharaan cairan sirkulasi terutama cairan oral. Bila asupan cairan oral pasien tidak mampu dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen cairan melalui intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi. Prognosis demam dengue dapat beragam, dipengaruhi oleh adanya antibodi yang didapat secara pasif atau infeksi sebelumnya. Pada DBD, kematian telah terjadi pada 4050% pasien dengan syok, tetapi dengan penanganan intensif yang adekuat kematian dapat ditekan <1% kasus. Keselamatan secara langsung berhubungan dengan penatalaksanaan awal dan intensif. Pada kasus yang jarang, terdapat kerusakan otak. yang disebabkan syok berkepanjangan atau perdarahan intrakranial. Prognosis pasien ini bonam karena respon terhadap terapi baik. Kemudian Edukasi yang diberikan kepada pasien dan orang tua adalah penderita harus istirahat, cukup minum, selain air putih dapat diberikan susu, jus buah, dapat diberikan sedikit demi sedikit namun sering, menghindari dari gigitan nyamuk (menggunakan lotion anti nyamuk atau memakai baju dan celana panjang), melakukan 3M plus (menguras, menutup, mengubur tempat penampungan air, menaburkan bubuk abate, memelihara ikan pemankan jentik nyamuk, membersihkan lingkungan, fogging, mencegah gigitan nyamuk dan memantau).
38
BAB IV KESIMPULAN
1. Demam berdarah dengue (DBD) ialah penyakit yang terdapat pada anak dan dewasa dengan gejala utama demam, nyeri otot dan sendi, yang biasanya memburuk pada hari kedua. 2. Virus dengue tergolong dalam grup Flaviviridae dengan 4 serotipe, DEN – 3, merupakan serotie yang paling banyak di Indonesia. 3. Vektor utama dengue di Indonesia adalah Aedes Aegypti. 4. Penyakit ini ditunjukkan melalui munculnya demam secara tiba-tiba, disertai sakit kepala berat, sakit pada sendi dan ptekie. Karena seringnya terjadi perdarahan dan syok maka pada penyakit ini angka kematiannya cukup tinggi, oleh karena itu setiap penderita yang diduga menderita Penyakit Demam Berdarah dalam tingkat yang manapun harus segera dibawa ke dokter atau Rumah Sakit, mengingat sewaktu-waktu dapat mengalami syok / kematian. 5. Kriteria diagnosis terdiri dari kriteria klinis dan kriteria laboratoris. Dua kriteria klinis ditambah trombosipenia dan peningkatan hematokrit cukup untuk menegakkan diagnosis demam berdarah dengue. 6. Penatalaksanaan demam berdarah dengue bersifat simtomatik yaitu mengobati gejala penyerta dan suportif yaitu mengganti cairan yang hilang.
39
DAFTAR PUSTAKA 1.
Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam Berdarah Dengue. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan IlmuPenyakit Dalam Fakultas Kedokteran Indonesia; 2009. p.2773-2779.
2.
Candra A. Demam Berdarah Dengue : Epidemiologi, Patogenesis, dan Faktor Risiko Penularan. Aspirator Vol 2, Journal of Vector-borne Disease. Diakses pada tanggal 2 Februari 2018. URL : http://ejournal.litbang.depkes.go.id
3.
WHO. Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever. Factsheet No 117, revised May 2008. Geneva, World Health Organization, 2008. Diakses pada tanggal 3 Februari 2018. URL : http://www.who.int/mediacentre
4.
Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan RI. Profil Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Jakarta, 2007.
5.
Chen K, Pohan HT, Sinto R. Diagnosis dan Terapi Cairan pada Demam Berdarah Dengue. Medicinus. 2009;22(1):3-8
6.
Alwi I, Salim S, Hidayat R, Kurniawan J, Tahapary DL (Editor). Penatalaksanaan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam Panduan Praktik Klinis Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Interna Publishing. 2015.
7.
Wilder-Smith A, Gubler D. Geographic Expansion of Dengue: the Impact of International Travel. Med Clin NAm. Vol. 92. 2008; p.1377-1390.
8.
Roose A. Hubungan Sosiodemografi dan Lingkungan dengan Kejadian Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan Bukit Raya Kota Pekanbaru. Medan. Universitas Sumatera Utara; 2008.
9.
World Health Organization. Dengue – Guidelines For Diagnosis, Treatment, Prevention, and Control. New Edition 2009.
10. Balmaseda A et al. Assessment of the World Health Organization scheme for classification of dengue severity in Nicaragua. American Journal of Tropical Medicine and Hygiene, 2007: p.1059 – 1062. 11. Nimmannitya S. Clinical spectrum and management of dengue haemorrhagic fever. Southeast Asian Journal of Tropical Medicine and Public Health, 2008: p.392 – 397. 12. Mansjoer, Arif & Suprohaita. (2016). Kapita Slekta Kedokteran Jilid II. Fakultas Kedokteran UI : Media Aescullapius. Jakarta. 40