adilan penguasa. Hal ini jelas menunjukkan kepada siapa para rasul Allah berpihak, yakni kepada kelompok lemah. Ajaran tauhid yang dibawa oleh setiap rasul bukanlah ajaran yang terpisah dari kondisi sosial. Tauhid yang dibawa Rasul Syu’aib, misalnya, mengandung perlawanan terhadap praktik-praktik kecurangan yang terjadi dalam perdagangan [Q.S. al-A‘râf (7): 85]. Tauhid yang diajarkan Rasul Musa pun berisi perlawanan atas tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh Firaun (Q.S. al-A‘râf (7):104–138). Ajaran tauhid menjadi spirit atau jiwa agama yang menggerakkan dan menguatkan hati para rasul dan pengikutnya untuk melawan segala bentuk ketidakadilan. Ajaran tauhid yang dibawa oleh Rasul Muhammad saw. pun demikian. Pengakuan bahwa Allah itu satu dan Muhammad adalah utusan Allah berarti pula tekad untuk melawan kesewenang-wenangan pembesar Arab. Bentuk ketidakadilan yang menonjol pada masa Rasulullah saw. adalah sistem perbudakan dan penistaan perempuan. Spirit tauhid ini menggerakkan para budak yang beriman untuk berani menanggung risiko melawan ketidakadilan tuannya. Demikian halnya dengan perempuan. Iman yang dimilikinya menjadi amunisi untuk melawan suami, orangtua, keluarga, dan kabilah yang menindasnya. Kalimat syahadat yang begitu pendek telah berfungsi sebagai manifesto perlawanan atas segala bentuk ketidakadilan yang muncul di masyarakat Arab pada masa itu. Sejarah membuktikan bahwa agama hanya bisa berfungsi sebagai perlawanan atas ketidakadilan manakala agama itu memahami betul bentuk-bentuk ketidakadilan