Abdulkadir Muhammad, 1998, Hukum Pengangkutan Niaga, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 7
Ibid., hal. 8
Abbas Salim, 2006, Manajemen Transportasi, Raja Grafindo, Jakarta, hal. 2
M.Y.Jinca, Peran Profesi Transportasi Dalam Penataan Ruang, http//www.
[email protected]. Diakss pada tanggal 05 Agustus 2010.
Rustian Kamaluddin, Ekonomi Transportasi:Karekteristik, Teori Dan Kebijakan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2003, hal. 14
H.M.N Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia Jilid III Hukum Pengangkutan, Djambatan, Jakarta, 2003, hal. 2.
Abdulkadir Muhammad, Op. cit., hal. 12.
Hasim Purba, Op. cit., hal. 4.
Abdulkadir Muhammad, Cetakan Ke IV, Op. cit., hal. 59.
Ibid., hal. 45.
Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga Cetakan Ke III , Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hal. 12.
Soekardono, Hukum Dagang Indonesia, Cetakan Ketiga, Jakarta, Rajawali, 1986, hal. 2.
Abdulkadir Muhammad, Cetakan Ke III, Op. cit., hal. 60
Loc cit
Loc cit
Ibid., hal. 61
Abdulkadir Muhammad, Cetakan Ke IV, Op. cit., hal. 105.
Abdulkadir Muhammad,Cetakan Ke III, Op. cit., hal. 85.
Rustian Kamaluddin, Op. cit., hal. 85.
R. Soekardono, Op. cit., hal. 52.
Rustian Kamalludin, Op cit, hal. 15-19.
Krisiyanto, Dampak Negatif Transportasi Darat Dan Penanggulangannya, http://krizi.wordpress.com /2009/08/30/ makalah-plsbt/, diakses pada tanggal 23 September 2011.
Krisiyanto Loc cit
http://www.scribd.com/doc/14095084/Kepadatan-Tranportasi-Jalan-Raya, diakses tanggal 17 agustus 2010
Ibid.
Ibid.
Ibid.
http://www.aigrp.anu.edu.au/docs/projects/1000/suryahadi_rpi.pdf
Budi, Pembangunan Kota Tinjauan Regional Dan Lokasi Terminal, 2005, hal. 182-183.
Tobing, hal. 18
Hedi Ardia, Pemkot Cimahi Rencana Swastanisasi Perparkiran, http://bisnis-jabar.com/index.php/berita/pemkot-cimahi-rencana-swastanisasi-perparkiran , diakses pada tanggal 1 November 2012.
NN, 31 Oktober 2012, Macet, Swastanisasi Retribusi Parkir di Cianjur, http://www.pelita.or.id/baca.php?id=16332, diakses pada tanggal 1 November 2012.
R. Syahrani, 2000, Seluk-Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Bandung, Alumni. hal. . 117-123
Ibid, hlm. 124.
Sudikno Mertokusumo, 1996, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, hal. 38
Abrar Yusra dan Ramadan KH, Hoegeng antara Polisi Idaman dan Kenyataan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993, hal. 329.
Ibid., hal. 330
Loc cit
Zulkifli BJ, 2012: Penjualan Mobil di Indonesia Sudah Mencapai 816.322 unit, http://otomotif.kompas.com/read/2012/10/18/4844/2012.Penjualan.Mobil.di.Indonesia.Sudah.Mencapai.816.322.unit, diakses pada tanggal 1 Januari 2013
Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum, Sumur Bandung, Bandung, 1990, hal. 9.
http://www.engineeringtown.com/kids/index.php/penemuan/103-sejarah-ditemukannya-sepeda-
Sumarsono, 1994, Penegakan Hukum Lalu-Lintas dan Angkutan Jalan Dalam Rangka Peningkatan Disiplin Berlalu-lintas, Alfabeta, Bandung, hal. 34
Ibid., hal. 94
Ibid., hal. 95
Ansori, diposting pada tanggalo 31 Agustus 2009, DLR (Daytime Light Running), http://safetyridingcourse.com/?p=133, diakses pada tanggal 27 April 2011.
Loc cit
Ansori, Loc cit
Ansori, Loc cit
Ansori, Loc cit
Ansori, Loc cit
Ansori, Loc cit
Ansori, Loc cit
H. S. Djayoesman, 1976. Polisi dan Lalu-Lintas, Mabes POLRI Press, Bandung, hal. 30
Warpani, S.P, 2002, Pengelolaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, ITB, Bandung, hal. 108
Muhamad Ikhsan, Makalah Seminar Lalu Lintas Dan Permasalahannya, Yogyakarta, 10 Juli 2009. hal. 3-5
Clarkson H. Oglesby dan R. Gary Hicks, diterjemahkan oleh Purwo Setianto, 1988, Teknik Jalan Raya, Erlangga, Jakarta, hal. 489
Ibid., hal.490
Muhamad Ikhsan, Op cit., hal. 3-5
Loc cit
Clarkson H. Oglesby dan R. Gary Hicks, diterjemahkan oleh Purwo Setianto, 1988, Teknik Jalan Raya, Erlangga, Jakarta, hal. 489
Ibid., hal.490
Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, 2005 ,Manajemen Kampanye keselamatan Lalu lintas dan angkutan jalan, Jakarta, DEPHUB RI, hal 4
Afiah Nurul, Praperadilan dan Ruang Lingkupnya, Pradya. Paramita, Jakarta, 1987, hal. 5
W. Gerson Bawengan, Penyidikan Perkara Pidana dan Teknik Interogasi,Pradnya Paramita, Jakarta, 1997, hal. 54.
Soeherto, Hukum Acara Pidana, PT. Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal. 13
Sudarto, Sudarto, Diktat Hukum Pidana Jilid IA-B. Fakultah Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, hal. 33
Ibid, hlm.34
Ibid, hlm.33-34
Soerjono Soekanto, 2007, Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 5
Iswanto, 2005, Pengantar Ilmu Hukum, Universitas Jendral Soedirman, Purwokarto, hal. 167
Kansil, Op Cit.,,hal. 44
Ibid, hal. 43
Soerjono Soekanto, Op Cit. , hal.7
Achmad Ali, 2002, Keterpurukan Hukum di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal 8
Soerjono Soekanto, Op Cit , hal. 8.
Loc cit
Loc cit
Ibid, hal. 9
1
Buku Hukum Lalu Lintas dan Jalan merupakan buku yang dibuat sendiri oleh saya Kurniawan Tri Wibowo, SH. Sebagai seorang pengacara saya memandang, sangat kurangnya literatur yang membahas mengenai hukum lalulintas dan jalan. Begitupula hal-hal yang membahas detail seluk-beluk lalu lintas. Buku ini belum memiliki kesempurnaan karena masih terkendala penerbitan. Oleh karena itu bagi para pembaca sekaligus penerbit yang merasa bahwa buku ini cukup baik dapat menghubungi saya di 085786390058 atau pin 32613858.
BAB I
PENDAHULUAN
Transportasi atau pengangkutan merupakan bidang kegiatan yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Pentingnya transportasi bagi masyarakat Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor antara lain, keadaan geografis Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau kecil dan besar, perairan yang terdiri dari sebagian besar laut, sungai dan danau yang memungkinkan pengangkutan dilakukan melalui darat, perairan, dan udara guna menjangkau seluruh wilayah Indonesia. Hal lain yang juga tidak kalah pentingnya akan kebutuhan alat transportasi adalah kebutuhan kenyamanan, keamanan, dan kelancaran pengangkutan yang menunjang pelaksanaan pembangunan yang berupa penyebaran kebutuhan pembangunan, pemerataan pembangunan, dan distribusi hasil pembangunan diberbagai sektor ke seluruh pelosok tanah air misalnya, sektor industri, perdagangan, pariwisata, dan pendidikan.
Secara umum transportasi memegang peranan penting dalam dua hal yaitu pembangunan ekonomis dan pembangunan non ekonomis. Tujuan yang bersifat ekonomis misalnya peningkatan pendapatan nasional, mengembangkan industri nasional dan menciptakan serta memelihara tingkat kesempatan kerja bagi masyarakat. Sejalan dengan tujuan ekonomis tersebut adapula tujuan yang bersifat non ekonomis yaitu untuk mempertinggi integritas bangsa, serta meningkatkan pertahanan dan keamanan nasional.
Arti pentingnya transportasi atau pengangkutan harus pula diikuti oleh pengembangan pengaturan sistem transportasi secara terpadu yang mampu mewujudkan tersedianya jasa transportasi yang serasi dengan tingkat kebutuhan lalu lintas dan pelayanan angkutan yang tertib, aman nyaman, teratur dan lancar bagi masyarakat.
Sistem transportasi dapat terselenggara dengan tertib, aman nyaman, teratur dan lancar haruslah memperhatikan kondisi teknis sarana kendaraan, disamping unsur-unsur lainnya seperti pengendara, kondisi jalan dan lingkungan. Hal ini dikarenakan banyaknya kecelakaan transportasi yang diakibatkan oleh tidak diperhatikannya kondisi kendaraan dalam hal ini kendaraan bermotor dijalan.
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan di Indonesia memiliki peranan yang penting dan strategis sehingga penyelenggaraannya dikuasai oleh negara, dan pembinaannya dilakukan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mewujudkan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang selamat, aman, cepat, lancar, tertib, teratur, nyaman dan efisien.
Lalu lintas merupakan urat nadi kehidupan masyarakat, hampir seluruh aktifitas kehidupan masyarakat di berhubungan dengan lalu lintas. Permasalahan-permasalahan lalu lintas tidak sebatas menghambat tata kehidupan masyarakat tetapi bisa menghancurkan bahkan mematikan perekonomian. Untuk itu, dibutuhkan peningkatan keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan raya, sehingga masyarakat dapat melaksanakan segala aktifitasnya dengan baik, lancar, aman, dan nyaman, sehingga produk-produk yang dihasilkan dapat terus tumbuh dan berkembang.
Keberadaan lalu lintas yang aman dan lancar mampu mempengaruhi seluruh aspek kehidupan, memperkukuh persatuan dan kesatuan serta mampu memperlancar arus pemerataan hasil-hasil pembangunan dan perdagangan. Dengan kata lain, keberadaan lalu lintas memiliki fungsi dan peranan yang sesuai dengan tujuan pembangunan nasional yaitu membentuk masyarakat yang adil dan makmur baik secara materiil maupun spiritual berdasarkan pancasila dan UUD'1945.
Salah satu kebutuhan masyarakat yaitu dapat dengan cepat, nyaman dan aman bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Kebutuhan tersebut akan dapat terpenuhi, bilamana didukung oleh tersedianya alat transportasi yang memadai dan adanya penjaminan sitem keselamatan yang baik dalam arti, jumlah alat transportasi yang disediakan seimbang dengan jumlah kebutuhan masyarakat dan adanya jaminan keselamatan dalam berlalu lintas dan angkutan jalan raya. Namun sulit dipungkiri, bahwa sejak awal tahun 2000 kecepatan, kenyamanan dan keamanan yang dibutuhkan oleh masyarakat pengguna jasa transportasi cenderung memprihatinkan. Akibatnya, mobilisasi masyarakat menjadi tersendat. Hal ini berarti, telah terjadi penurunan kinerja transportasi dan hak-hak sosial masyarakat menjadi tidak terpenuhi yang kemudian berdampak pada kegiatan pembangunan lainnya seperti ekonomi, politik, budaya dan lain-lain.
Tahun 2007 merupakan tahun suram bagi dunia transportasi di tanah air. Kecelakaan transportasi baik laut, udara maupun darat seringkali terjadi hingga memakan ratusan korban jiwa dan perusahaan yang bersangkutan juga mengalami kerugian yang tidak sedikit. Kecelakaan dapat diakibatkan karena kesalahan dan kelalaian manusia maupun karena kesalahan teknis yang disebabkan kondisi armada yang sudah tidak layak untuk beroperasi.
Di negara maju maupun berkembang keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan selalu menjadi sorotan, keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan merupakan hal yang mutlak untuk ditingkatkan dan sulit sekali dinilai harganya. Salah satu masalah Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah masalah keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, masalah Lalu Lintas dan Angkutan Jalan banyak yang berkaitan dengan perilaku manusia dan Sumber Daya Manusia, baik Sumber Daya Manusia dari pengemudi, Sumber Daya Manusia dari masyarakat dan Sumber Daya Manusia dari petugas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya.
Pembangunan sistem Lalu Lintas dan Angkutan Jalan di indonesia selama ini sering mendapat kritik karena selalu menekankan pada segi fisik (hardware), dan dianggap kurang memperhatikan sisi pembangunan pranata aturan lalu lintas dan pengembangan Sumber Daya Manusia pada diri aparatur pemerintah bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Peranan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan bersifat strategis, karena berdampak luas bagi kehidupan masyarakat dalam berbagai aspek baik politik, ekonomi, budaya dan lain-lain. Oleh karena itu, ketersediaan moda transportasi dalam Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang seimbang dengan kebutuhan masyarakat adalah merupakan keharusan.
Untuk mendukung ketersediaan moda transportasi dalam Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dari segi peraturan maka diundangkanlah Undang-Undang 22 Tahun 2009 Tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan. Undang-Undang Ini cukup berbeda dengan undang-undang mengenai lalulintas sebelumnya. Perbedaan-perbedaan mendasar yang sangat mencolok terlihat dengan adanya inovasi-inovasi baru yang banyak menimbulkan pro dan kontra di dalam masyarakat. Literatur ini saya tujukan untuk membantu menggali khasanah ilmu yang tersirat dan tersurat dalam Undang-Undang 22 Tahun 2009 Tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan. Keberadaan literatur yang jarang sekali membahas mengenai lalu lintas membuat saya tergugah menuangkan tulisan mengenai Hukum lalu lintas dan Jalan. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat baik untuk mahasiswa, kalangan akademisi, praktisi maupun para pekerja teknis yang berkaitan dengan bidang hukum lalu lintas dan jalan.
Hukum adalah seperangkat aturan atau norma yang memiliki kekuatan sanksi yang pelaksanaannya dapat dipaksakan oleh negara/aparat penyelenggara negara. Hukum berisi separangkat aturan yang mengatur sebagian besar kehidupan manusia. Hukum terdiri dari hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Hukum tertulis dituangkan dalam bentuk Pasal-Pasal, dalam undang-undang yang disusun secara sistematis dalam lembaran negara, sedangkan hukum tidak tertulis bersandarkan pada nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Hukum diciptakan untuk melindungi nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Nilai-nilai yang dimaksud adalah nilai-nilai penghormatan atas jiwa, tubuh, harta, kehormatan dan kemerdekaan. Kegiatan manusia amat banyak dan hukum itu sendiri sudah dipastikan tidak mampu untuk mengakomodir atau melindungi dan mengatur seluruh kegiatan manusia ini.
Hukum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan pada dasarnya belum ada seorang sarjanapun yang mendefinisikannya. Hukum Lalu Lintas dan angkutan jalan biasanya hanya diidentikan dengan hukum pengangkutan dalam kajian pengangkutan dalam lapangan hukum dagang. Hukum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan tidak hanya memiliki segi pengangkutan, tetapi jauh lebih luas daripada hukum dagang, seperti kajian hukum perdata, hukum pidana dan juga hukum administrasi negara, walaupun pada hakikatnya hukum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan lebih bersifat spesifik dibandingkan hukum pengangkutan, hal ini karena hukum lalu lintas hanya mengatur mengenai lalu lintas angkutan darat, sedangkan pengangkutan terdiri dari beberapa jenis baik darat, laut, udara dan pos.
Hukum lalu lintas dalam buku ini tidak hanya akan membahas mengenai masalah hukum semata, tetapi juga mengungkap mengapa hukum tersebut dibuat. Hal ini karena hakikat hukum lalu lintas yang bersifat ilmiah, keberadaannya bukan hanya sebagai pengatur dan pelindung berbagai kepentinan di jalan raya, tetapi juga pengatur laju gerak lalu lintas agar dapat berjalan sistematis. Hukum yang akan dibahas bukan semata mata mengetengahkan benar atau salah tetapi harus juga dapat mengatur laju kendaraan agar tidak terjadi kemacetat, keadaan disnorm dan keadaan buruk lainnya.
Seperti halnya ilmu-ilmu lain Hukum lalu lintas memiliki tiga aspek keilmuan baik ontologi, epistemologi maupun aksiologi. Secara ontologi, objek hukum lalu lintas terbagi menjadi dua yaitu aturan/ norma dan perilaku pengendara kendaraan. Karena sifat hukum lalu lintas yang kami nyatakan logis, maka segi pengaturan penulis juga mengetengahkan mengapa pengaturan tersebut dibuat, apa alasannya, dan bagaimana apabila aturan tersebut dilanggar. Hukum lalu lintas bersifat logis seperti halnya hukum gravitasi yang diciptakan Isaac Newton. Hukum gravitasi menyatakan bahwa ketika benda dilemparkan ke langit maka akan jatuh kembali, atau benda jatuh dari atas menuju bawah. Begitupula hukum lalu lintas yang menyatakan bahwa, kecelakaan di awali oleh pelanggaran lalu lintas. Secara logis kita dapat mengetahui bahwa, kecelakaan dapat terjadi karena kendaraan tidak layak jalan, atau pengendara teledor melewati marka, memacu kendaraan di atas rata-rata dan faktor lainnya. Faktor-faktor inilah yang merupakan pelanggaran hukum dan berakibat logis pada kecelakaan. Berdasarkan deskripsi tersebut maka jelas memperlihatkan ada relasi aantara hukum sebagai aturan yang seharusnya ditaati dengan perilaku yang tidak menaati peraturan dan berujung kecelakaan, maka jelas bahwa objek yang nantinya akan dikaji dari hukum lalu lintas adalah norma dan perilaku.
Objek hukum lalu lintas terbagi menjadi dua, maka epistemologi atau cara mengkajinya juga terbagi menjadi dua. Kajian hukum atau norma, dapat dikaji dengan metode normaatif dan kajian perilaku manusia dikaji dengan metode empiris. Dengan menggunakan dua pendekatan tersebut diharapkan menghasilkan tulisan yang komprehensif mengenai hukum lalu lintas.
Setiap ilmu haruslah bermanfaat bagi kehidupan manusia. Ilmu harus dapat digunakan untuk sebesar-besarnya kemanfatan hidup. Kita dapat mengetahui bagaimana Albert Einstein seorang fisikawan besar dunia menangis. Suatu ketika, "menangislah" Albert Einstein, "Mengapa ilmu yang sangat indah ini, yang menghemat kerja dan membuat hidup lebih mudah, hanya membawa kebahagiaan yang sangat sedikit? Albert menangis pilu dalam hati karena karya besarnya – teori relativitas umum dan khusus digunakan sebagai inspirasi untuk membuat bom atom. Bom inilah yang dijatuhkan di atas kota Hiroshima dan Nagasaki saat Perang Dunia II berlangsung.
Begitupula ilmu hukum lalu lintas yang juga memiliki manfaat atau aksiologi. Hukum lalu lintas memiliki manfaat yang besar bagi para pembaca baik penegak hukum, mahasiswa, teknisi dan pembaca lainnya yang ingin mengetahui pedoman dan dasar logika berlalu lintas. Dengan buku yang banyak memaparkan perbandingan konsep berlalulintas di berbagai negara ini, diharapkan dapat menjadi petunjuk dan bahan kajian mengenai cara mengatur lalu lintas yang dapat diterapkan di Indonesia.
BAB II
TRANSPORTASI DAN PENGANGKUTAN
Sejak dahulu manusia sudah mengenal transportasi dengan cara sederhana, misalnya sistem transportasi barang diatas kepala atau menjunjung barang/muatan menggunakan gerobak barang yang ditarik oleh hewan. Sejalan dengan perkembangan peradaban manusia, kebutuhan akan sarana transportasi juga meningkat sehingga bermunculan penemuan-penemuan baru dibidang infrastruktur dan suprastruktur transportasi yang seperti kita alami saat ini.
Transportasi merupakan komponen utama bagi berfungsinya suatu kegiatan masyarakat. Transportasi berkaitan dengan pola kehidupan masyarakat lokal serta daerah layanan atau daerah pengaruh aktivitas-aktivitas produksi dan sosial, serta barang-barang dan jasa yang dapat dikonsumsi. Kehidupan masyarakat yang maju ditandai dengan mobilitas yang tinggi akibat tersedianya fasilitas transportasi yang cukup. Sebaliknya daerah yang kurang baik sistim transportasinya, biasanya mengakibatkan keadaan ekonomi masyarakatnya berada dalam keadaan statis atau dalam tahap immobilitas. Transportasi merupakan kebutuhan turunan (derived demand) dari kegiatan ekonomi, sehingga pertumbuhan ekonomi suatu negara atau wilayah tercermin dari peningkatan intensitas transportasinya. Transportasi memiliki peran strategis terhadap aspek ekonomi, sosial, guna lahan atau kewilayahan, politik, keamanan, dan budaya.
Transportasi dapat diartikan sebagai suatu kegiatan untuk memindahkan sesuatu (orang atau barang) dari suatu tempat ke tempat lain yang terpisah secara spasial, dengan atau tanpa sarana. Perpindahan tersebut dapat melalui jaringan prasarana udara, sungai, laut, maupun darat melalui moda transportasi melalui jalan raya, jalan rel, pipa, maupun moda transportasi lainnya. Secara kewilayahan, lingkup transportasi mencakup transportasi nasional (Sistranas dan Tatranas), transportasi regional, transportasi perkotaan dan pedesaan, meliputi moda transportasi darat, laut, udara, perkeretapian dan pipa.
Dalam kegiatan sehari-hari kata pengangkutan sering diganti dengan kata" transportasi". Pengangkutan lebih menekankan pada aspek yuridis sedangkan transportasi lebih menekankan pada aspek kegiatan perekonomian, akan tetapi keduanya memiliki makna yang sama, yaitu sebagai kegiatan pemindahan dengan menggunakan alat angkut. Secara etimologis, transportasi berasal dari bahasa latin, yaitu transportare, trans berarti seberang atau sebelah lain; dan portare berarti mengangkut atau membawa. Dengan demikian, transportasi berarti mengangkut atau membawa sesuatu ke sebelah lain atau dari suatu tempat ke tempat lainnya. Hal ini berarti bahwa transportasi merupakan jasa yang diberikan, guna menolong orang atau barang untuk dibawa dari suatu tempat ke tempat lain lainnya. Sehingga transportasi dapat didefenisikan sebagai usaha dan kegiatan mengangkut atau membawa barang dan/atau penumpang dari suatu tempat ke tempat lainnya.
Menurut H.M.N Purwosutjipto :
Pengangkutan adalah perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan pengirim, dimana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang.
Selanjutnya Abdulkadir Muhammad menguraikan istilah "pengangkutan" dengan mengatakan bahwa pengangkutan meliputi tiga dimensi pokok yaitu :
Pengangkutan sebagai usaha (business);
Pengangkutan sebagai perjanjian (agreement); dan
Pengangkutan sebagai proses (process)".
Menurut Hasim Purba di dalam bukunya "Hukum Pengangkutan Di Laut", pengangkutan adalah :
Kegiatan pemindahan orang dan atau barang dari suatu tempat ke tempat lain baik melalui angkutan darat, angkutan perairan maupun angkutan udara dengan menggunakan alat angkutan. Jadi pengangkutan itu berupa suatu wujud kegiatan dengan maksud memindahkan barang-barang atau penumpang (orang) dari tempat asal ke suatu tempat tujuan tertentu.
Menurut Abdulkadir Muhammad, subjek hukum pengangkutan adalah "pendukung kewajiban dan hak dalam hubungan hukum pengangkutan, yaitu pihak-pihak yang terlibat secara langsung dalam proses perjanjian sebagai pihak dalam perjanjian pengangkutan". Mereka itu adalah pengangkut, pengirim, penumpang, penerima, ekspeditur, agen perjalanan, pengusaha muat bongkar, dan pengusaha pergudangan. Subjek hukum pengangkutan dapat berstatus badan hukum, persekutuan bukan badan hukum, dan perseorangan.
Pengangkutan sebagai proses, yaitu serangkaian perbuatan mulai dari pemuatan ke dalam alat pengangkut, kemudian dibawa menuju ke tempat yang telah ditentukan, dan pembongkaran atau penurunan di tempat tujuan. Pengangkutan sebagai perjanjian, pada umumnya bersifat lisan (tidak tertulis) tetapi selalu didukung oleh dokumen angkutan yang membuktikan bahwa perjanjian sudah terjadi. Pengangkutan sebagai proses merupakan sistem hukum yang mempunyai unsur-unsur sistem, yaitu :
Subjek (pelaku) hukum pengangkutan, yaitu pihak-pihak dalam perjanjian dan pihak yang berkepentingan dalam pengangkutan.
Status pelaku hukum pengangkutan, khususnya pengangkut selalu berstatus perusahaan badan hukum atau bukan badan hukum.
Objek hukum pengangkutan, yaitu proses penyelenggaraan pengangkutan.
Peristiwa hukum pengangkutan, yaitu proses penyelenggaraan pengangkutan.
Hubungan hukum pengangkutan, yaitu hubungan kewajiban dan hak antara pihak-pihak dan mereka yang berkepentingan dengan pengangkutan.
Pengangkutan memegang peranan penting bagi kehidupan manusia. Kita lihat bahwa pengangkutan pada pokoknya bersifat perpindahan tempat, baik mengenai benda-benda maupun mengenai orang-orang, karena perpindahan itu mutlak diperlukan untuk mencapai dan meningkatkan efisiensi. Pengangkutan dapat diartikan sebagai suatu pemindahan barang dan manusia dari satu tempat (tempat asalnya) menuju ke tempat yang lain yang mutlak perpindahan tempatnya untuk mencapai dan meningkatkan efisiensi. Suatu barang ataupun manusia dapat diangkut melalui suatu alat yang disebut angkutan/transport dengan tujuan disuatu tempat tertentu.
Objek adalah segala sasaran yang digunakan untuk mencapai tujuan. Sasaran tersebut pada pokoknya meliputi barang muatan, alat pengangkut, dan biaya angkutan. Jadi objek hukum pegangkutan adalah barang muatan, alat pengangkut, dan biaya yang digunakan untuk mencapai tujuan hukum pengangkutan niaga, yaitu terpenuhinya kewajiban dan hak pihak-pihak secara benar, adil, dan bermanfaat. Objek Hukum Pengangkutan antara lain :
Barang Muatan (Cargo)
Barang muatan yang dimaksud adalah barang yang sah dan dilindungi oleh Undang-Undang. Dalam pengertian barang yang sah termasuk juga hewan. Secara fisik barang muatan dibedakan menjadi 6 golongan, yaitu :
Barang berbahaya (bahan-bahan peledak);
Barang tidak berbahaya;
Barang cair (minuman);
Barang berharga;
Barang curah (beras, semen,minyak mentah); dan
Barang khusus.
Secara alami barang muatan dapat dibedakan menjadi tiga golongan, yaitu :
Barang padat
Barang cair
Barang gas
Barang rongga (barang-barang elektronik)
Berdasarkan jenisnya, barang muatan dapat dibedakan menjadi 3 golongan, yaitu :
general cargo, adalah jenis barang yang dimuat dengan cara membungkus dan mengepaknya dalam bentuk unit-unit kecil.
bulk cargo, adalah jenis barang yang dimuat dengan cara mencurahkannya ke dalam kapal atau tanki.
homogeneous cargo, adalah barang dalam jumlah besar yang dimuat dengan cara membungkus dan mengepaknya.
Alat pengangkut ( Carrier)
Pengangkut adalah pengusaha yang menjalankan perusahaan pengangkutan, memiliki alat pengangkut sendiri, atau menggunakan alat pengangkut milik orang lain dengan perjanjian sewa. Alat pengangkut di atas atas rel disebut kereta api yang dijalankan oleh masinis. Alat pengangkut di darat disebut kendaraan bermotor yang dijalankan oleh supir. Alat pengangkut di perairan disebut kapal yang dijalankan oleh nahkoda. Sedangkan alat pengangkut di udara disebut pesawat udara yang dijalankan oleh pilot. Masinis, supir, nahkoda, dan pilot bukan pengangkut, melainkan karyawan perusahaan pengangkutan berdasarkan perjanjian kerja yang bertindak untuk kepentingan dan atas nama pengangkut.
Biaya pengangkutan (Charge/Expense)
Pemerintah menerapkan tarif yang berorientasi kepada kepentingan dan kemampuan masyarakat luas. Dengan berpedoman pada struktur dan golongan tarif tersebut, perusahaan umum, kereta api, perusahaan angkutan umum, perusahaan laut niaga, dan perusahaan udara niaga menetapkan tarif berorientasi kepada kelangsungan dan pengembangan usaha badan penyelenggara dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan serta perluasan jaringan angkutan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi cost of services atau ongkos menghasilkan jasa yaitu :
Jarak yang harus ditempuh dari tempat asal ke tempat tujuannya;
Volume dan berat daripada muatan barang yang diangkut;
Resiko dan bahaya dalam pengangkutan, berhubung karena sifat barang yang diangkut, sehingga diperlukan alat-alat service yang spesial; dan
Ongkos-onkos khusus yang harus dikeluarkan berhubung karena berat dan ukuran barang yang diangkut yang "luar biasa" sifatnya.
Biaya pengangkutan dan biaya yang bersangkutan oleh Undang-undang, yaitu dalam Pasal 1139 sub 7 bsd. Pasal 1147 KUH Perdata dimasukkan dalam hak istimewa (privilege) atas barang-barang tertentu, yaitu atas pendapatan dari barang-barang yang diangkut. Hak istimewa bersifat perikatan (obligator) terbawa karena sifatnya hutang. Hak istimewa menurut Pasal 1134 ayat 1 KUH Perdata adalah suatu hak yang oleh undang-undang diberikan kepada seorang berpiutang sehingga tingkatnya lebih tinggi daripada orang berpiutang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya.
Transportasi atau pengangkutan dapat dikelompokan menurut macam atau moda atau jenisnya (modes of transportation) yang dapat ditinjau dari segi barang yang diangkut, dari segi geografis transportasi itu berlangsung, dari sudut teknis serta dari sudut alat angkutannya. Secara rinci klasifakasi transportasi sebagai berikut:
Dari segi barang yang diangkut, transportasi meliputi:
angkutan penumpang (passanger);
angkutan barang (goods);
Dari sudut geografis. Ditinjau dari sudut geografis, transportasi dapat dibagi menjadi;
Angkutan antar benua: misalnya dari Asia ke Eropah;
Angkutan antar kontinental: misalnya dari Francis ke Swiss dan diseterusnya sampai ke Timur Tengah;
Angkutan antar pulau: misalnya dari Pulau Jawa ke Pulau Sumatera;
Angkutan antar kota: misalnya dari Jakarta ke Bandung;
Angkutan antar daerah: misalnya dari Jawa Barat ke Jawa Timur;
Angkutan di dalam kota: misalnya kota Medan, Surabaya dan lain-lain.
Dari sudut teknis dan alat pengangkutnya, Jika dilihat dari sudut teknis dan alat angkutnya, maka transportasi dapat dibedakan sebagai berikut:
Angkutan jalan raya atau highway transportation(road transportation), seperti pengangkutan dengan menggunakan truk,bus dan sedan;
Pengangkutan rel (rail transportation), yaitu angkutan kereta api, trem listrik dan sebagainya. Pengangkutan jalan raya dan pengangkutan rel kadang-kadang keduanya digabung dalam golongan yang disebut rail and road transportation atau land transportation (angkutan darat);
Pengangkutan melalui air di pedalaman( inland transportation), seperti pengangkutan sungai, kanal, danau dan sebagainya;
Pengangkutan pipa (pipe line transportation), seperti transportasi untuk mengangkut atau mengalirkan minyak tanah,bensin dan air minum;
Pengangkutan laut atau samudera (ocean transportation), yaitu angkutan dengan menggunakan kapal laut yang mengarungi samudera;
Pengangkutan udara (transportation by air atau air transportation), yaitu pengangkutan dengan menggunakan kapal terbang yang melalui jalan udara.
Transportasi atau perangkutan adalah perpindahandari suatu tempat ke tempat lain. Transportasi darat atau perangkutan darat adalah pemindahan / pengangkutan orang atau barang dari suatu tempat ke tempat lain dengan menggunakan alat pengangkutan melalui jalan darat, baik yang digerakkan oleh tenaga manusia, hewan (kuda, sapi, kerbau), atau mesin.
Adapun jenis jenis dari transportasi angkutan darat adalah :
Angkutan Jalan
Angkutan adalah pemindahan orang dan/atau barang dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan kendaraan. Berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan No. 35 Tahun 2003 Tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang di Jalan, maka Angkutan Jalan diklasifikasikan sebagai berikut:
Bus
Bus adalah setiap kendaraan bermotor yang dilengkapi lebih dari 8 (delapan) tempat duduk tidak termasuk empat duduk pengemudi, baik dengan maupun tanpa perlengkapan pengangkutan bagasi.
Taxi
Taxi adalah angkutan umum yang menggunakan mobil untuk mengangkut penumpangnya. Taksi umumnya menggunakan mobil jenis sedan, namun di beberapa negara ada pula taksi jenis van yang dapat mengangkut lebih banyak penumpang atau muatan.
Mikrolet
Mikrolet adalah istilah yang merujuk kepada kendaraan umum dengan rute yang sudah ditentukan. Tidak seperti bus yang mempunyai halte sebagai tempat perhentian yang sudah ditentukan, mikrolet dapat berhenti untuk menaikkan atau menurunkan penumpang di mana saja.
Bemo
Bemo adalah kendaraan bermotor beroda tiga yang mulai digunakan di Jakarta pada awal tahun 1960-an. Mulanya bemo diharapkan dapat menggantikan peranan becak yang dianggap tidak manusiawi karena memanfaatkan tenaga manusia sebagai penggeraknya. Karena itu kendaraan angkutan yang aslinya di negara asalnya Jepang digunakan untuk mengangkut barang.
Becak
Becak (dari bahasa Hokkien: be chia "kereta kuda") adalah suatu moda transportasi beroda tiga yang umum ditemukan di Indonesia dan juga di sebagian Asia. Becak merupakan alat angkutan yang ramah lingkungan karena tidak menyebabkan polusi udara dan tidak menyebabkan kebisingan. Meskipun begitu, kehadiran becak di perkotaan dapat mengganggu lalu lintas karena kecepatannya yang lamban dibandingkan dengan mobil maupun sepeda motor.
Delman
Delman adalah kendaraan transportasi tradisional yang beroda dua, tiga atau empat yang tidak menggunakan mesin tetapi menggunakan kuda sebagai penggantinya. Nama kendaraan ini berasal dari nama penemunya, yaitu Charles Theodore Deeleman, seorang litografer dan insinyur di masa Hindia Belanda.
Angkutan Rel
Adapun jenis transportasi rel adalah kereta yaitu kendaraan beroda yang merupakan bagian dari sebuah rangkaian kereta api dan digunakan untuk mengangkut penumpang. Kereta umumnya dilengkapi dengan sistem listrik, sistem hiburan audio visual, dan toilet. Di daerah atau negara-negara tertentu kereta dilengkapi dengan tempat tidur untuk perjalanan malam hari. Pada awalnya kereta hanya diberi tempat duduk dan tidak diberi atap (untuk kelas ekonomi) atau diberi atap (untuk kelas khusus). kereta umumnya tertutup dan tidak dilengkapi dengan kabin/kamar tersendiri sebagaimana kereta yang umum dijumpai saat ini di Indonesia.
BAB III
JALANAN
Sejarah dan Definisi Jalan
Dalam sejarah perkembangan dan peradaban manusia, selalu diwarnai dengan upaya memperpendek waktu dan ruang. Karena itulah, berbagai rekayasa, karya, dan upaya dilakukan, untuk mencipta dan menemukan suatu alat atau teknologi, untuk menjangkau dan memperpendek waktu dan ruang tersebut. Salah satu upaya dengan membuat jalan, jembatan, dan infrastruktur lainnya.
Jalan sudah ada sejak manusia memerlukan area untuk berjalan terlebih-lebih setelah menemukan kendaraan beroda diantaranya berupa kereta yang ditarik kuda. Tidak jelas dikatakan bahwa peradaban mana yang lebih dahulu membuat jalan. Akan tetapi hampir semua peradaban tidak terlepas dari keberadaan jalan tersebut.
Jalan diprediksikan mulai muncul pada 3000 SM. Jalan tersebut masih berupa jalan setapak dengan kontruksi sesuai dengan kendaraan beroda padaknya diduga antara masa itu. Letaknya diduga antara Pegunungan Kaukasus dan Teluk Persia.
Seiring perkembangan peradaban di Timur tengah pada masa 3000 SM, maka dibangunlah jalan raya yang menghubungkan Mesopotamia-Mesir. Selain untuk perdagangan, jalan tersebut berguna untuk kebudayaan bahkan untuk peperangan. Jalan utama pertama di kawasan itu, disebut-sebut adalah Jalan Bangsawan Persia yang terentang dari Teluk Persia hingga Laut Aegea sepanjang 2857 km. Jalan ini bertahan dari tahun 3500-300 SM.
Di Indonesia sendiri, pembangunan jalan yang paling bersejarah adalah pembangunan Jalan Raya Pos yang dicetuskan Dandels. Herman Willem Daendels adalah seorang Gubernur-Jendral Hindia-Belanda yang ke-36 dan memerintah antara tahun 1808 - 1811 Pada masa jabatannya ia membangun jalan raya pada tahun 1808 dari Anyer hingga Panarukan. Sebagian dari jalan ini sekarang menjadi Jalur Pantura (Pantai Utara) yang membentang sepanjang pantai utara Pulau Jawa. Pembangunan jalan ini adalah proyek monumental namun dibayar dengan banyak pelanggaran hak-hak asasi manusia karena dikerjakan secara paksa tanpa imbalan pantas.
Manfaat yang diperoleh dari jalan ini adalah sebagai jalan pertahanan militer. Selain itu dari segi ekonomi guna menunjang tanam paksa (cultuur stelsel) hasil produk kopi dari pedalaman Priangan semakin banyak yang diangkut ke pelabuhan Cirebon dan Indramayu padahal sebelumnya tidak terjadi dan produk itu membusuk di gudang-gudang kopi Sumedang, Limbangan, Cisarua, dan Sukabumi. Selain itu, dengan adanya jalan ini perjalanan darat Surabaya-Batavia yang sebelumnya ditempuh 40 hari bisa dipersingkat menjadi tujuh hari.
Jalan merupakan lintasan yang direncanakan untuk dilalui kendaraan bermotor maupun kendaraan tidak bermotor termasuk pejalan kaki. Jalan tersebut direncanakan untuk mampu mengalirkan aliran lalu lintas dengan lancar dan mampu mendukung beban muatan sumbu kendaraan dengan aman, sehingga dapat meredam angka kecelakaan lalu-lintas.
Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 Tentang Jalan, mendefinisikan Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel.
Pasal 2 menyebutkan, penyelenggaraan jalan dilaksanakan berdasarkan pada asas kemanfaatan, keamanan dan keselamatan, keserasian, keselarasan dan keseimbangan, keadilan, transparansi dan akuntabilitas, keberdayagunaan dan keberhasilgunaan, serta kebersamaan dan kemitraan.
Pasal 3 menyebutkan, pengaturan penyelenggaraan jalan bertujuan untuk:
Mewujudkan ketertiban dan kepastian hukum dalam penyelenggaraan jalan;
Mewujudkan peran masyarakat dalam penyelenggaraan jalan;
Mewujudkan peran penyelenggara jalan secara optimal dalam pemberian layanan kepada masyarakat;
Mewujudkan pelayanan jalan yang handal dan prima serta berpihak pada kepentingan masyarakat;
Mewujudkan sistem jaringan jalan yang berdaya guna dan berhasil guna untuk mendukung terselenggaranya sistem transportasi yang terpadu; dan
Mewujudkan pengusahaan jalan tol yang transparan dan terbuka.
Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 Tentang Jalan, jalan sebagai prasarana transportasi mempunyai peran penting dalam bidang ekonomi, sosial budaya, lingkungan hidup, politik, pertahanan dan keamanan, serta dipergunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat.
Jalan raya adalah bagian jalur tertentu yang dapat dilewati kendaraan dan memenuhi syarat-syarat tertentu, yang sangat erat hubungannya dengan kendaraan daerah setempat dan keamanan serta kenyamanan yang dituntut dalam suatu perjalanan.
Menurut Siregar, "Jalan raya adalah prasarana perhubungan darat dalam bentuk apapun, meliputi segala jalan termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukan bagi lalu lintas kendaraan, orang dan hewan, sehingga pengertian jalan tidak hanya terbatas pada jalan konvensional (pada permukaan tana), akan tetapi termasuk juga yang melintasi sungai besar/danau/laut, dibawah permukaan tanah dan air (terowonga) dan diatas permukaan tanah (jalan layang)".
Jalan raya sebagai bagian sistem transportasi nasional mempunyai peranan penting terutama dalam mendukung bidang ekonomi, sosial dan budaya serta lingkungan dan dikembangkan melalui pendekatan pengembangan wilayah agar tercapai keseimbangan dan pemerataan pembangunan antar daerah, membentuk dan memperkukuh kesatuan nasional untuk memantapkan pertahanan dan keamanan nasional, serta membentuk struktur ruang dalam rangka mewujudkan sasaran pembangunan nasional.
Adapun bagian-bagian yang didapatkan didalam jalan raya yaitu:
Badan jalan adalah bagian jalan yang meliputi didalam jalan raya yaitu median, dan bahu jalan.
Bahu jalan adalah bagian tepi dari lebar jalan, fungsi bahu jalan meliputi:
Ruangan tempat berhenti sementara kendaraan,
Ruang untuk menghindarkan diri pada saat darurat untuk mencegah terjadinya bahaya,
Pelindung konstruksi perkerasan terhadap kikisan,
Ruang untuk tempat pemasangan tanda lalu lintas, rel lindung dan lain-lain.
Damaja (Daerah Mamfaat Jalan) adalah daerah yang meliputi seluruh badan jalan, seluruh tepi jalan dan ambang pengaman.
Setijowarno dan fazila mengemukakan beberapa kegunaan jalan, diantaranya adalah:
Sebagai prasarana transportasi,
Mempengaruhi perkembangan penduduk,
Mempengaruhi perekonomian suatu daerah,
Sebagai prasarana pemenuhan kebutuhan sosial,
Sebagai prasarana untuk pemenuhan kebutuhan rekreasi,
Sebagai prasara yang mempermudah perkembangan budaya.
Jenis-Jenis dan Bagian Jalan
Secara yuridis jalan dalam Pasal 19 Undang-Undang 22 Tahun 2009 Tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan dikelompokkan dalam beberapa kelas berdasarkan:
Fungsi dan intensitas Lalu Lintas guna kepentingan pengaturan penggunaan Jalan dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan
Daya dukung untuk menerima muatan sumbu terberat dan dimensi Kendaraan Bermotor.
Pengelompokan Jalan menurut kelas Jalan terdiri atas:
Jalan kelas I, yaitu jalan arteri dan kolektor yang dapat dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 18.000 (delapan belas ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat 10 (sepuluh) ton;
Jalan kelas II, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan yang dapat dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 12.000 (dua belas ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat 8 (delapan) ton;
Jalan kelas III, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan yang dapat dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.100 (dua ribu seratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 9.000 (sembilan ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 3.500 (tiga ribu lima ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat 8 (delapan) ton; dan
Jalan kelas khusus, yaitu jalan arteri yang dapat dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter, ukuran panjang melebihi 18.000 (delapan belas ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat lebih dari 10 (sepuluh) ton.
Penetapan kelas jalan pada setiap ruas jalan dilakukan oleh:
Pemerintah, untuk jalan nasional;
pemerintah provinsi, untuk jalan provinsi;
pemerintah kabupaten, untuk jalan kabupaten; atau
pemerintah kota, untuk jalan kota.
Secara Teknis jalan raya pada umumnya dapat digolongkan dalam 4 klasifikasi yaitu: klasifikasi menurut fungsi jalan, klasifkasi menurut kelas jalan, klasifikasi menurut medan jalan dan klasifikasi menurut wewenang pembinaan jalan. Klasifikasi menurut fungsi jalan terdiri atas 3 golongan yaitu:
Jalan arteri yaitu jalan yang melayani angkutan utama dengan ciri-ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi secara efisien.
Jalan kolektor yaitu jalan yang melayani angkutan pengumpul/pembagi dengan ciri-ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang dan jumlah jalan masuk dibatasi.
Jalan lokal yaitu Jalan yang melayani angkutan setempat dengan ciri-ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi.
Sedangkan sistem jaringan jalan sekunder merupakan sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk masyarakat di dalam kawasan perkotaan. Sistem jaringan jalan sekunder terdiri dari:
Jalan arteri sekunder yaitu jalan yang menghubungkan kawasan primer dengan kawasan sekunder kesatu atau menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kesatu atau menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kedua.
Jalan kolektor sekunder yaitu jalan yang menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder kedua atau menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder ketiga.
Jalan lokal sekunder yaitu jalan yang menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan Perumahan, menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan perumahan, kawasan sekunder ketiga dan seterusnya sampai ke perumahan.
Klasifikasi menurut kelas jalan berkaitan dengan kemampuan jalan untuk menerima beban lalu lintas, dinyatakan dalam muatan sumbu terberat (MST) dalam satuan ton. Medan jalan diklasifikasikan berdasarkan kondisi sebagian besar kemiringan medan yang diukur tegak lurus garis kontur. Keseragaman kondisi medan yang diproyeksikan harus mempertimbangkan keseragaman kondisi medan menurut rencana trase jalan dengan mengabaikan perubahan-perubahan pada bagian kecil dari segmen rencana jalan tersebut.
Klasifikasi menurut wewenang pembinaannya terdiri dari Jalan Nasional, Jalan Provinsi, Jalan Kabupaten/Kotamadya dan Jalan Desa. Jalan nasional merupakan jalan arteri dan jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan antar ibukota provinsi, dan jalan strategis nasional serta jalan tol. Jalan provinsi merupakan jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan ibukota provinsi dengan ibukota kabupaten/kota atau antar ibukota kabupaten/kota dan jalan strategis provinsi. Jalan kabupaten merupakan jalan lokal dalam sistem jaringan jalan primer yang tidak termasuk pada kedua jalan di atas, yang menghubungkan ibukota kabupaten dengan ibukota kecamatan, antar ibukota kecamatan, ibukota kabupaten dengan pusat kegiatan lokal, antar pusat kegiatan lokal, serta jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder dalam wilayah kabupaten dan jalan strategis kabupaten. Jalan kota adalah jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder yang menghubungkan antar pusat pelayanan dalam kota, menghubungkan pusat pelayanan dengan persil, menghubungkan antar persil serta menghubungkan antar pusat permukiman yang berada di dalam kota. Terakhir jalan desa merupakan jalan umum yang menghubungkan kawasan dan/atau antar permukiman di dalam desa serta jalan lingkungan.
Bagian-bagian jalan secara umum terdiri dari 3 (tiga) pokok yang meliputi ruang manfaat jalan, ruang milik jalan, dan ruang pengawasan jalan sebagai berikut:
Ruang manfaat jalan meliputi badan jalan, saluran tepi jalan dan ambang pengamannya. Merupakan ruang sepanjang jalan yang dibatasi oleh lebar, tinggi dan kedalaman ruang bebas tertentu yang ditetapkan oleh Pembina Jalan. Ruang tersebut diperuntukkan bagi median, perkerasan jalan, jalur pemisah, bahu jalan, saluran tepi jalan, trotoar, lereng, ambang pengaman, timbunan dan galian, gorong-gorong, perlengkapan jalan dan bangunan pelengkap lainnya.
Ruang milik jalan meliputi ruang manfaat jalan dan sejalur tanah tertentu di luar ruang manfaat jalan. Merupakan ruang sepanjang jalan yang dibatasi oleh lebar dan tinggi tertentu yang dikuasai oleh Pembina Jalan dengan suatu hak tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ruang milik jalan diperuntukkan bagi ruang manfaat jalan dan pelebaran jalan maupun penambahan jalur lalu lintas serta kebutuhan ruang untuk pengaman jalan
Ruang pengawasan jalan merupakan ruang tertentu di luar ruang milik jalan yang ada di bawah pengawasan penyelenggara jalan. Merupakan ruang sepanjang jalan di luar ruang milik jalan yang dibatasi oleh lebar dan tinggi tertentu, yang ditetapkan oleh Pembina Jalan, dan diperuntukkan bagi pandangan bebas pengemudi dan pengamanan konstruksi jalan.
Pembangunan Jalan di Indonesia Vs Negara Lain
Pertumbuhan dan perkembangan kota atau wilayah berimplikasi pada meningkatnya kebutuhan penduduk, disamping itu jumlah penduduk yang senantiasa bertambah juga memiliki kontribusi yang besar bagi peningkatan kebutuhan penduduk. Dengan pertambahan kebutuhan penduduk maka akan bertambah pula permintaan perjalanan berupa peningkatan aktivitas pergerakan orang dan barang dalam suatu wilayah atau kota, yang mana aktivitas pergerakan ini mutlak memerlukan sarana dan prasarana transportasi yang memadai baik secara kualitas maupun kuantitas.
Pembangunan infrastruktur transportasi yang dapat berupa prasarana dan sarana jalan raya, prasarana dan sarana jaringan kereta api, angkutan sungai, laut dan udara, semuanya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dengan segala aktivitas pergerakan orang dan barang yang menyertainya. Akan tetapi pada kenyataannya laju mobilitas yang tinggi tidak selalu dapat diimbangi oleh laju penyediaan jaringan prasarana dan sarana transportasi sehingga berdampak pada menurunnya aksesibilitas dalam mencapai suatu titik tujuan perjalanan, suatu tempat, lokasi kegiatan maupun pusat-pusat pelayanan.
Aksesibilitas adalah suatu ukuran kenyamanan yang digunakan untuk mencapai suatu lahan atau lokasi kegiatan dengan menggunakan sistem jaringan transportasi. Tingkat aksesibilitas dapat diukur dari jarak dan waktu. Jika suatu tempat memiliki jarak yang berdekatan dikatakan memiliki aksesibilitas yang baik. Faktor waktu berkarakter lebih dominan dibandingkan jarak, sebab jika waktu tempuh yang diperlukan lebih pendek untuk menuju suatu tempat akan dinyatakan memiliki aksesibilitas yang lebih baik meskipun memiliki jarak yang relatif jauh, sebaliknya aksesibilitas dikatakan kurang baik jika waktu tempuh yang diperlukan lebih lama walaupun jarak yang ditempuh lebih dekat. Tinggi rendahnya aksesibilitas ditentukan oleh sistem jaringan transportasi yang menghubungkan antar tempat atau lokasi. Salah satu jenis jaringan transportasi yang paling mendasar adalah jaringan transportasi darat yang dalam hal ini adalah prasarana jalan.
Jalan merupakan prasarana transportasi darat yang berguna untuk mendukung kelancaran lalu lintas atau pergerakan kendaraan yang berupa arus menerus maupun belok. Jalan memiliki berbagai kelebihan seperti biaya investasi yang relatif rendah, bersifat fleksibel memenuhi kebutuhan dan perkembangan kota yang mana pembangunannya dapat dilakukan secara bertahap, mempunyai karakteristik pelayanan door to door service serta menjadi penghubung antar sistem perangkutan lain seperti kereta api, angkutan sungai, laut, dan udara. Oleh karena itu tepat jika prasarana jalan dianggap sebagai tulang punggung sistem jaringan transportasi.
Banyak sekali manfaat ekonomi, politik, sosial dan manfaat teknis lain akan diperoleh dengan adanya jaringan jalan. Dalam lingkup spasial, prasarana jalan diantaranya berperan besar dalam mendorong perkembangan wilayah, meningkatkan pendapatan daerah, menjadi urat nadi perekonomian sebagai jalur mobilitas manusia, distribusi barang dan jasa, membuka isolasi daerah-daerah terpencil, mempercepat pemerataan pembangunan dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Disamping itu secara teknis jaringan jalan yang baik terutama berfungsi dalam mengurangi kemacetan, meningkatkan aksesibilitas, meningkatkan efisiensi waktu dan biaya transportasi masyarakat dan sebagainya. Semua itu menuntut akan suatu sistem jaringan jalan yang optimal dalam pelayanan, karena itu kinerja jalan sebagai parameter pelayanan jalan harus senantiasa dipertahankan pada level yang baik.
Berbagai usaha dilakukan pemerintah dalam rangka mempertahankan kinerja jalan agar tetap dapat melayani kebutuhan transportasi penduduk yang kian hari kian meningkat. Usaha tersebut bisa berbentuk perbaikan sistem jaringan jalan maupun perbaikan pada manajemen lalu lintas dan sistem perangkutan dan pergerakan. Pada wilayah-wilayah di luar pulau Jawa seperti di pulau Kalimantan yang luas dengan kepadatan penduduk yang relatif rendah maka bentuk tindakan yang paling populer dalam perbaikan sistem jaringan jalan yaitu dengan peningkatan dan pembangunan ruas-ruas jalan baru.
Pembangunan merupakan bentuk perubahan sosial yang terarah dan terencana melalui berbagai macam kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat. Bangsa Indonesia, seperti termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 telah mencantumkan tujuan pembangunan nasionalnya.
Penyelenggaraan jaringan jalan di Indonesia terus dilakukan. Panjang total jalan pada tahun 2004 mencapai sekitar 340.000 km. 34.628 km jalan berada di bawah tanggung jawab negara, 649 km jalan tol, 37.164 km di bawah tanggung jawab provinsi, dan sisanya, 266.564 km di bawah tanggung jawab kabupaten dan kota.
Dari jumlah tersebut sebesar 81 persen atau sepanjang 28.050 km jalan nasional dalam kondisi mantap, sedangkan sisanya rusak berat dan rusak ringan. Pada saat itu kecepatan rata-rata pada jalan nasional sebesar 44,3 km/jam. Demikian pula kondisi jalan provinsi yang mencapai 46.499 kilometer sebesar 62,8 persen diantaranya dalam kondisi mantap.
Hingga tahun 2009, beberapa kemajuan telah berhasil dicapai dalam pembangunan transportasi jalan, yaitu pemeliharaan jalan nasional sepanjang 136.127 km, pemeliharaan jembatan sepanjang 161.054 m, peningkatan kapasitas dan struktur jalan nasional sepanjang 15.702 km dan jembatan sepanjang 45.231 m terutama pada lintas Timur Sumatera, Pantura Jawa, lintas Selatan Kalimantan, lintas barat Sulawesi dan lintas-lintas lainnya; pembangunan jalan di kawasan perbatasan hingga mencapai 670,2 km; pembangunan jalan di pulau terpencil/terdepan hingga mencapai 571,8 km; pembangunan Jembatan Suramadu; serta pengadaan lahan untuk pembangunan jalan tol. Upaya tersebut telah meningkatkan kinerja transportasi jalan yang ditunjukkan dengan bertambahnya kapasitas jaringan jalan nasional lajur-km dari 73.620 pada tahun 2004 menjadi 82.189 lajur km pada akhir tahun 2008 dengan kondisi jalan mantap mencapai 83,23 persen, rusak ringan 4618 km (13,34 persen), dan rusak berat 1.190 km (3,44 persen) dan kecepatan rata-rata 46 km/jam. Sedangkan, total panjang jalan tol yang telah beroperasi 693,27 km yang terdiri dari 22 ruas.
Adapun sasaran pembangunan transportasi jalan tahun 2010-2014 terdiri dari 4 poin. Keempat sasaran tersebut adalah :
Terpelihara dan meningkatnya daya dukung, kapasitas, dan kualitas pelayanan prasarana jalan untuk daerah-daerah yang perekonomiannya berkembang pesat dengan target penyelesaian pembangunan jalan lintas strategis sepanjang 19.370 km, khususnya Lintas Sumatra, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, NTB, NTT, dan Papua;
Meningkatnya aksesibilitas wilayah yang sedang dan belum berkembang pada koridor-koridor utama di tiap-tiap pulau, perdesaan, wilayah perbatasan, terpencil, dan pulau-pulau kecil;
terwujudnya partisipasi aktif pemerintah, BUMN, dan swasta dalam penyelenggaraan pelayanan prasarana jalan;
Serta tersedianya mekanisme pendanaan untuk preservasi jalan dan terbentuknya forum lalu lintas angkutan jalan sebagai amanat UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Apabila dibandingkan dengan negara lain seperti di Hongkong secara geografis, Hong Kong berdiri di areal seluas 1.103 km². Hong Kong terdiri dari Pulau Hong Kong, Kowloon, dan New Territories. Di sebelah utara New Territories, terdapat kota Shenzhen di seberang Sungai Sham Chun (Sungai Shenzhen). Di antara 236 pulau di Hong Kong, Pulau Lantau adalah yang terbesar sedangkan Hong Kong adalah yang kedua terbesar dan populasinya adalah yang terbesar.
Ada beberapa alat transportasi di Hongkong. Mass Transit Railway (MTR) adalah kereta bawah tanah yang melayani daerah perkotaan dan menyediakan angkutan ekspress ke Bandara Internasional Hong Kong. Bus tersedia di seluruh Hong Kong dan tarifnya sesuai jarak tujuan anda. Trem (Kereta Listrik) hanya terdapat di sepanjang sisi utara Hong Kong Island dan termasuk salah satu alat transportasi termurah yang terdapat di Hong Kong, yakni HK$2 untuk satu kali perjalanan. Taksi tersedia di seluruh Hong Kong. Tarif awal sebesar HK$15 dan biaya bagasi sebesar HK$5 per koper. Selain itu, di laut juga ada kapal feri yang mengangkut penumpang menyebrangi laut dari Victoria Harbour ke pulau-pulau sekitar.
Dari segi infrastruktur, terdapat jembatan Tsing Ma Bridge yang panjangnya dua puluh dua ribu meter di atas laut. Konstruksi jembatan ini menggabungkan baja dan railway. Fisik jembatan ini menyerupai jembatan ampera di Palembang, Sumatera Selatan. Melewati jembatan ini saat musim hujan sangat membahayakan, apalagi jika angin bertiup kencang jembatan ini tidak boleh dilewati kendaraan, terutama bus. Hal ini disebabkan dikhawatirkan kendaraan menjadi tidak stabil. Sebagai solusinya, kendaraan harus melewati jalan di bawah jembatan, di pinggir laut, atau Cross Harbour Tunnel, yakni jembatan sepanjang 2 km yang dibangun di bawah laut. Cross Harbour Tunnel terlihat seperti gundukan beton di permukaan laut.
Jalan raya di Hong Kong merupakan jalan terpadat sedunia yang digunakan dengan lebih dari 570.000 kendaraan sepanjang 2.046 km. Di Hongkong terdapat 14 terowongan utama, 1.233 jembatan layang dan jembatan sama baiknya dengan 1.138 footbridge atau titian dan kereta bawah tanah.
Departemen jalan raya atau Highways Departement berwenang dalam melaksanakan perencanaan, perancangan atau desain, konstruksi, dan perbaikan sistem jalan raya. Total dana yang dikeluarkan departemen untuk pada tahun 2008 – 2009 $ 4,9 juta yang dialokasikan $ 0,9 juta untuk jalan dan perbaikan penerangan jalan dan $ 4 juta untuk konstruksi jalan utama. Selain itu, departemen juga bertanggung jawab atas masalah perizinan dan memimpin pemeriksaan keuangan pekerjaan perbaikan jalan.
Lain di Hongkong Lain pula di India, India mempunyai jaringan jalan yang besar, yaitu lebih dari 3.314 juta km (2.1juta mil) jalan, membuatnya menjadi jaringan jalan terbesar ketiga di dunia. Selain itu, kepadatan dari jaringan jalan India adalah 0.66 km persegi jalan, lebih tinggi daripada Amerika (0.65) dan jauh lebih tinggi daripada Cina (0.16) dan Brazil (0.20). Sebenarnya biaya yang disisihkan untuk pemeliharaan dan perluasan jaringan jalan tidak mencukupi, namun beberapa upaya tengah berlangsung untuk memodernisasikan infrastruktur jalan negara dan India berencana untuk menghabiskan 70 miliar USD selama tiga tahun ke depan. Beberapa dari proyek utama yang diimplementasikan salah satunya adalah National Highways Development Project (Proyek Pengembangan Jalan Negara Nasional) dan Mumbai-Pune Expressway (Jalan Ekspress Mumbai-Pune).
Meskipun jalan raya nasional hanya mewakili 2% dari total panjang jaringan jalan, jalan raya nasional ini memegang sekitar 40% dari total lalu lintas jalan. Jalan raya nasional lebih jauh diklasifikasikan berdasarkan lebarnya dari jalan raya tersebut. Umumnya, dalam konteks satu jalur, lebar jalur adalah 3.75 meter. Sementara di dalam konteks multi-jalur jalan raya, setiap jalur memiliki lebar 3.5 meter. Pada February 2008, di luar dari panjang total, 14% memiliki empat atau lebih jalur dan sekitar 59% memiliki dua jalur atau jalur ganda, sementara sisanya (27%) dari jaringan jalan raya nasional memiliki jalur tunggal atau intermediate.
Jalan Ekspress India mendominasi sekitar 200 km (120 mil) dari sistem jalan raya nasional India (Indian National Highway System). Jalan Ekspress India memiliki pengendalian akses, memiliki pembatas di tengahnya dan mempunyai setidaknya enam jalur dengan bahu jalan di setiap sisinya. Biasanya tidak ada kendaraan roda dua atau roda tiga atau traktor yang diizinkan melewati jalan ini. Kecepatan di jalan ini diperbolehkan sekitar 120km/jam (75 mph). Kebanyakan jalan ekspres di India terdiri dari jalan tol. India juga memiliki The National Highways Authority of India (NHAI) yang dibentuk oleh Parlemen India di tahun 1988. NHAI memiliki kewenangan untuk bertanggung jawab terhadap perkembangan, pemeliharaan, dan manajemen dari jalan nasional yang dipercayakan kepadanya.
Pemerintah India dalam melakukan infrastruktur pembangunan jalan di negaranya, membuat beberapa kebijakan ataupun insetif yang ditujukan kepada investor asing agar mau menanamkan investasi mereka di India untuk membantu proses perkembangan infrastruktur jalan mereka. Beberapa inisiatif kebijakan pemerintah India tersebut antara lain.
Pemerintah akan melaksanakan semua pekerjaan persiapan termasuk pembebasan tanah dan pemindahan kegunaan. Right of way (row) akan disediakan untuk setiap pemegang izin dan bebas dari semua ancumbrances.
NHAI/Government of India (GOI) akan menyediakan pemberian modal sampai 40% dari biaya proyek.
100% pengecualian pajak selama lima tahun , 30% pengurangan selama lima tahun berikutnya, yang mana bisa saja ditarik selama dua puluh tahun.
Periode konsesi diizinkan sampai 30 tahun.
Arbitration and conciliation Act 1996 based on UNICITRAL provisions.
Dalam BOT (Build Operate Transfer) pengusaha proyek diizinkan untuk memungut dan menahan tol.
Bebas bea impor untuk peralatan modern khusus dengan kapasitas besar untuk pembangunan jalan raya.
Berdasarekan uraian tersebut penulis ingin mengetengahkan bahwa, Di Hongkong, pembangunan jalan dilakukan melalui mekanisme BOT yang diselenggarakanan oleh pemerintah Hong Kong adalah Highways Departement atau Departemen Jalan Raya. Departemen Jalan Raya membuka tender secara terbuka kepada publik atau sektor privat untuk mencari pihak yang akan membantu pemerintah dalam pembangunan proyek jalan raya dan rel kereta tertentu. Di India, pembangunan jalan dibarengi ole beberapa kebijakan ataupun insetif yang ditujukan kepada investor asing agar mau menanamkan investasi mereka membantu proses perkembangan infrastruktur jalan mereka. Kebutuhan biaya untuk pembangunan jalan mau tidak mau membuat India melakukan Build Operate Transfer (BOT) concessions, Annuity concessions dan Special Purpose Vehicles (SPVs). Di Indonesia, wewenang penyelenggaraan jalan di berikan oleh pemeritntah setempat. Wewenang pemerintah provinsi dalam penyelenggaraan jalan meliputi penyelenggaraan jalan provinsi. Wewenang pemerintah kabupaten dalam penyelenggaraan jalan meliputi penyelenggaraan jalan kabupaten dan jalan desa. Wewenang pemerintah kota dalam penyelenggaraan jalan meliputi penyelenggaraan jalan kota. Dalam hal menyelenggarakan pembangunan jalan, pemerintah masih juga bekerja sama dalam hal penyelenggaraan jalan dan posisi pemerintah tetap lebih kuat dibandingkan sektor swasta, yaitu sebagai pengendali kerja sama. Untuk masalah pembiayaan, pemerintah masih memegang pembiayaan penyelenggaraan jalan, kecuali jaln tol. Inilah yang membuat sulitnya pembangunan jalan di Indonesia, pembangunan jalan sesuai dengan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu-Lintas da Angkutan Jalan belum diterapkan secara maksimal.
Penyelenggaraan, Pendanaan dan Perbaikan Jalan
Pada dasarnya penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dalam kegiatan pelayanan langsung kepada masyarakat dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, badan hukum, dan/atau masyarakat. Dalam hal ini penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan bukan hanya dominasi urusan pemerintah tetapi juga merupakan urusan setiap elemen sehingga membutuhkan peran serta yang lebih dari masyarakat. Penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan oleh Pemerintah sebagaimana Pada Pasal 9 Undang-Undang 22 Tahun 2009 Tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan dilaksanakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi instansi masing-masing meliputi:
Urusan pemerintahan di bidang Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang Jalan;
Urusan pemerintahan di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
Urusan pemerintahan di bidang pengembangan industri Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang industri;
Urusan pemerintahan di bidang pengembangan teknologi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang pengembangan teknologi; dan
Urusan pemerintahan di bidang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi, Penegakan Hukum, Operasional Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta pendidikan berlalu lintas, oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Berdasarkan Pasal tersebut dapat diketahui bahwa, mengenai jalan instansi yang berwenag adalah Kementerian Pekerjaan Umum. Penyelenggaraan di bidang Jalan meliputi kegiatan pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan prasarana Jalan oleh kementerian Pekerjaan Umum mencakup :
Inventarisasi tingkat pelayanan Jalan dan permasalahannya;
Penyusunan rencana dan program pelaksanaannya serta penetapan tingkat pelayanan Jalan yang diinginkan;
Perencanaan, pembangunan, dan optimalisasi pemanfaatan ruas Jalan;
Perbaikan geometrik ruas Jalan dan/atau persimpangan Jalan;
Penetapan kelas Jalan pada setiap ruas Jalan;
Uji kelaikan fungsi Jalan sesuai dengan standar keamanan dan keselamatan berlalu lintas; dan
Pengembangan sistem informasi dan komunikasi di bidang prasarana Jalan.
Penguasaan infrastruktur berupa jalan dan jembatan berada pada pemerintah dan pemerintah daerah yang dalam penyelenggaraan dilimpahkan dan/atau diserahkan kepada instansi-instansi di daerah atau diserahkan kepada badan usaha atau perorangan. Pelimpahan dan/atau penyerahan wewenang penyelenggaraan jalan dan jembatan tersebut bukan berarti melepas tanggung jawab pemerintah.
Adanya otonomi daerah, maka penyelenggaraan jalan dan jembatan dipisahkan berdasarkan kewenangannya sebagaimana diatur menurut Pasal 14, Pasal 15 dan Pasal 16 UU No. 38 /2004 tentang Jalan, yaitu :
Wewenang pemerintah dalam penyelenggaraan jalan meliputi penyelenggaraan jalan secara umum dan penyelenggaraan jalan nasional [Pasal 14 ayat (1)];
Wewenang pemerintah provinsi dalam penyelenggaraan jalan meliputi penyelenggaraan jalan provinsi [Pasal 15 ayat (1)];
Wewenang pemerintah kabupaten dalam penyelenggaraan jalan meliputi penyelenggaraan jalan kabupaten dan jalan desa [Pasal 16 ayat (1)];
Wewenang pemerintah kota dalam penyelenggaraan jalan meliputi penyelenggaraan jalan kota [Pasal 16 ayat (2)].
Dalam penyelenggaraan jalan, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah bekerja sama dengan sektor privat (Public Private Ownership). Kemitraan ini melibatkan investasi yang besar/padat modal dimana sektor swasta membiayai, membangun, dan mengelola sarana dan prasarana. Akan tetapi, sekktor publik masih menangani masalah peraturan pelayanan, sebagai pemilik asset, dan pengendali pelaksana kerjasama.
Khusun untuk jalan tol, penyelenggaraannya digunakan menggunakan mekanisme Build-Operate-Transfer (BOT). Dalam penyelenggaraannya, swasta diberi kepercayaan oleh pemerintah setempat untuk mengembangkan, membiayai, membangun, dan mengoperasikan suatu fasilitas untuk suatu jangka waktu konsesi tertentu. Dalam pengoperasiannya, swasta dapat mengumpulkan pendapatan atau retribusi tersendiri dengan cara tolling sesuai dengan peraturan pemerintah.
Pembangunan penyelenggaraan jalan menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dan pemerintah Daerah. Oleh karenanya, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah mempunyai kewajiban untuk mengatur, membina, membangun, dan mengawasi jalan dan jembatan. Dalam upaya untuk membangun jalan dan jembatan secara umum, pemerintah dan pemerintah daerah melakukan kegiatan pemrograman dan penganggaran, perencanaan teknis, pelaksanaan konstruksi, serta pengoperasian dan pemeliharaan jalan, termasuk jembatan yang dituangkan dalam APBN/APBD sebagaimana diatur dalam UU tentang Pendapatan belanja Negara, UU tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, serta PP tentang Dana Perimbangan. Dana pembangunan tersebut diperoleh dari penerimaan negara/daerah maupun dari pinjaman atau hibah luar negeri.
Berdasarkan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan menyatakan bahwa :
Untuk mendukung pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, dan lancar, kondisi Jalan harus dipertahankan.
Untuk mempertahankan kondisi Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diperlukan Dana Preservasi Jalan.
Dana Preservasi Jalan digunakan khusus untuk kegiatan pemeliharaan, rehabilitasi, dan rekonstruksi Jalan.
Dana Preservasi Jalan dapat bersumber dari Pengguna Jalan dan pengelolaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pengelolaan Dana Preservasi Jalan harus dilaksanakan berdasarkan prinsip berkelanjutan, akuntabilitas, transparansi, keseimbangan, dan kesesuaian. Dana Preservasi Jalan dikelola oleh unit pengelola Dana Preservasi Jalan yang bertanggung jawab kepada Menteri di bidang Jalan. Pemerintah pusat mengalokasikan APBN di bidang infrastruktur khususnya jalan dan jembatan, baik untuk pembangunan, peningkatan maupun pemeliharaan ke dalam Departemen Pekerjaan Umum. Untuk pemerintah daerah, dana untuk pembangunan jalan dan jembatan dialokasikan dalam APBD masing-masing daerah, hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 85 ayat (1) PP No. 34/2006 tentang Jalan yaitu bahwa:
"Penganggaran dalam rangka pelaksanaan program penanganan jaringan jalan merupakan kegiatan pengalokasian dana yang diperlukan untuk mewujudkan sasaran program".
Namun jika Pemerintah Daerah tidak mampu membiayai pembangunan jalan secara keseluruhan maka Pemerintah Pusat akan membantu, sebagaimana diatur dalam Pasal 85 ayat (2) dan (3) PP No. 34 Tahun 2006 yang menyebutkan :
"Dalam hal pemerintah daerah belum mampu membiayai pembangunan jalan yang menjadi tanggung jawabnya secara keseluruhan, Pemerintah dapat membantu sesuai dengan peraturan perundang-undangan".
"Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan pemberian bantuan pembiayaan kepada pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri".
Untuk membantu pemerintah daerah dalam rangka pembangunan, peningkatan dan pemeliharaan jalan dan jembatan, maka pemerintah pusat memberikan bantuan pembiayaan yang diberikan melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) bidang Infrastruktur ataupun Dana Alokasi Khusus Non Dana Reboisasi Bidang Infrastruktur. Dana Alokasi Khusus (DAK) merupakan jenis transfer dana perimbangan dari pemerintah pusat kepada daerah yang bersifat spesific grant (bantuan spesifik). DAK bidang Infrastruktur ataupun DAK Non Reboisasi bidang Infrastruktur ini, penetapan alokasi dan pedoman umumnya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan (misal : PMK No. 128/PMK.07/2006 tentang Penetapan Alokasi dan Pedoman Umum Pengelolaan Dana Alokasi Khusus TA 2007 dan PMK No. 142/PMK.07/2007 tentang Penetapan Alokasi dan Pedoman Umum Pengelolaan Dana Alokasi Khusus TA 2008)
Dari sisi teknis, penggunaan/pemanfaatannya DAK diatur dalam Peraturan/Keputusan Menteri Pekerjaan Umum (misal : Peraturan Menteri PU No. 39/PRT/M/2006 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus Bidang Infrastruktur Tahun 2007 dan Peraturan Menteri PU No. 42/PRT/M/2007 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus Bidang Infrastruktur Tahun 2008). Secara nasional, prioritas kegiatan DAK infrastruktur jalan adalah meningkatkan integrasi fungsi jaringan jalan, meningkatkan akses ke daerah potensial, membuka daerah terisolir dan terpencil, serta mendukung pengembangan kawasan perbatasan. DAK dialokasikan untuk pemeliharaan berkala jalan sebesar minimal 70% dan peningkatan jalan sebesar maksimal 30%. Kegiatan pemeliharaan rutin jalan dan pembangunan jalan tidak dapat dibiayai dengan DAK.
Untuk pemanfaatan DAK, menteri membentuk Tim Koordinasi dan Tim Teknis tingkat departemen, dan departemen menyediakan biaya khusus untuk kegiatan operasional tim-tim tersebut. Di tingkat provinsi, gubernur juga membentuk tim penyelenggara yang terdiri dari unsur Bappeda, dinas teknis terkait, dan satuan kerja pusat di daerah (Perencanaan dan Pengawasan Jalan dan Jembatan–P2JJ). Untuk melaksanakan kegiatan di tingkat kabupaten/kota yang didanai oleh DAK, bupati/walikota membentuk tim penyelenggara yang terdiri dari unsur Bappeda dan dinas terkait. Kepala SKPD yang membidangi urusan jalan bertanggung jawab secara fisik dan keuangan atas pelaksanaan kegiatan yang dibiayai dengan DAK. Dalam Peraturan Menteri PU di atas, terdapat Pasal tentang sanksi bagi penyelenggara DAK yang tidak melaksanakan tugasnya sesuai dengan Peraturan Menteri PU ini dalam bentuk penilaian kinerja yang akan dituangkan dalam laporan menteri kepada Menkeu, Meneg PPN, Mendagri, dan DPR. Untuk memberikan penilaian yang dimaksud menteri memerlukan laporan pelaksanaan kegiatan DAK setiap daerah penerima. Pelaporan pelaksanaan kegiatan DAK dilakukan secara berjenjang oleh kepala SKPD, kepala daerah, dan menteri.
Dalam kaitan ini, Pasal 102 UU No. 33/2004 memberi kewenangan kepada Menkeu untuk memberikan sanksi berupa penundaan penyaluran dana perimbangan, termasuk DAK, kepada daerah yang tidak menyampaikan informasi. Setiap penundaan penyaluran dana ke daerah berdampak pada terhambatnya perekonomian rakyat di daerah.
BAB IV
TERMINAL
Fungsi, Klasifikasi, dan Tipe Terminal
Terminal merupakan tempat sekumpulan bus atau amgkutan perkotaan mengawali dan mengakhiri lintasan operasionalnya. Dengan mengacu pada definisi tersebut, maka pada bangunan terminal penumpang dapat mengakhiri perjalanannya, atau memulai perjalananya atau juga dapat menyambung perjalanannya dengan mengganti (transfer) lintasan. Di lain pihak, bagi pengemudi bus, bangunan terminal adalah tempat untuk memulai perjalanannya, mengakhiri perjalannya dan juga sebagai tempat bagi kendaraan beristirahat sejenak, yang selanjutnya dapat digunakan juga kesempatan tersebut untuk perawatan ringan ataupun pengecekan mesin.
Ditinjau dari sistem jaringan rute secara keseluruhan, maka terminal merupakan simpul utama dalam jaringan yang dalam jaringan ini sekumpulan lintasan rute bertemu. Dengan demikian terminal merupakan komponen utama dari jaringan yang mempunyai peran yang cukup signifikan. Kelancaran yang ada pada terminal akan mempengaruhi efisiensi dan efektifitas sistem angkutan umum secara keseluruhan.
Terminologi terminal diatur dalam Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan yaitu :
Terminal adalah pangkalan Kendaraan Bermotor Umum yang digunakan untuk mengatur kedatangan dan keberangkatan, menaikkan dan menurunkan orang dan/atau barang, serta perpindahan moda angkutan.
Berdasarakan kedua terminology diatas, terminal adalah prasarana transportasi jalan untuk keperluan memuat dan menurunkan orang dan atau barang serta mengatur kedatangan dan pemberangkatan kendaraan umum yang merupakan salah satu wujud simpul jaringan transportasi. Terminal juga dapat disebut sebagai fasilitas pelayanan untuk angkutan umum.
Terminal memiliki fungsi pokok dalam Pasal 33 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan yaitu untuk menunjang kelancaran perpindahan orang dan/atau barang serta keterpaduan intramoda dan antarmoda di tempat tertentu, dapat dibangun dan diselenggarakan Terminal. Terminal merupakan simpul dalam sistem jaringan transportasi jalan yang berfungsi pokok sebagai pelayanan umum yaitu tempat untuk naik turun penumpang atau bongkar muat barang untuk pengendalian lalu lintas dan angkutan kendaraan umum, serta sebagai tempat pemberhentian intra atau antar moda transportasi. Sesuai dengan fungsi tersebut, maka penyelenggaraan terminal berperan menunjang tersedianya jasa transportasi yang sesuai dengan kebutuhan lalu lintas dan pelayanan angkutan aman, cepat, tepat, teratur dan biaya yang terjangkau masyarakat.
Menurut Budi fungsi lain terminal adalah sebagai berikut :
Menyediakan tempat dan kemudahan perpindahan moda transportasi.
Menyediakan sarana untuk simpul lalu lintas.
Menyediakan tempat utuk menyiapkan kendaraan.
Terminal dibagi menjadi beberapa kategori berdasarkan Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan meliputi :
Terminal Penumpang adalah Prasarana Transportasi jalan untuk keperluan menurunkan dan menaikan penumpang, perpindahan intra/atau moda transportasi serta mengatur kedatangan pemberangkatan kendaraan angkutan penumpang umum; Terminal penumpang dapat dikelompokan atas dasar tingkat penggunaan terminal kedalam tiga tipe (berdasarkan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan) sebagai berikut :
Terminal penumpang tipe A berfungsi melayani kendaraan umum untuk angkutan antar kota antar propinsi dan/atau angkutan lintas batas negara, angkutan antar kota dalam propinsi, angkutan kota dan angkutan pedesaan.
Terminal penumpang tipe B berfungsi melayani kendaraan umum untuk angkutan antar kota dalam propinsi, angkutan kota dan/atau angkutan pedesaan.
Terminal penumpang tipe C berfungsi melayani kendaraan umum untuk angkutan pedesaan.
Unsur penting bagi eksistensi sebuah terminal penumpang adalah adanya angkutan umum dan penumpang, tanpa keduanya terminal tidak bermakna apapun hanya sebatas sebuah bangunan. Angkutan umum merupakan salah satu media transportasi yang digunakan masyarakat secara bersama-sama dengan membayar tarif. Angkutan umum yang biasa beroperasi dalam terminal meliputi : angkot, bis, ojek, bajaj, taksi dan metromini. Penumpang adalah masyarakat yang menaiki atau menggunakan jasa angkutan (bus). Jadi ruang transit penumpang adalah bangunan peneduh terbuka besar yang berfungsi sebagai tempat istirahat sementara atau duduk-duduk, menunggu bus, menunggu teman, membaca koran serta mengobrol santai yang berada dalam terminal.
Terminal Barang adalah Prasarana Transportasi jalan untuk keperluan membongkar dan memuat barang serta perpindahan intra/atau moda transportasi angkutan barang;
Penetapan Lokasi Terminal
Penentuan lokasi Terminal dilakukan dengan memperhatikan rencana kebutuhan Terminal yang merupakan bagian dari Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pasal 37 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan menyatakan bahwa, penetapan lokasi Terminal dilakukan dengan memperhatikan:
tingkat aksesibilitas Pengguna Jasa angkutan;
kesesuaian lahan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota;
kesesuaian dengan rencana pengembangan dan/atau kinerja jaringan Jalan, jaringan trayek, dan jaringan lintas;
kesesuaian dengan rencana pengembangan dan/atau pusat kegiatan;
keserasian dan keseimbangan dengan kegiatan lain;
permintaan angkutan;
kelayakan teknis, finansial, dan ekonomi;
Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan/atau
kelestarian lingkungan hidup.
Penetapan lokasi terminal penumpang tipe A selain harus memperhatikan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 37 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan, juga harus memenuhi persyaratan :
Terletak dalam jaringan trayek antar kota antar propinsi, antar kota dalam propinsi;
Terletak di jalan arteri dengan kelas jalan sekurang-kurangnya kelas III A;
Luas lahan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) ha;
Mempunyai akses jalan masuk atau jalan keluar ke dan dari terminal dengan jarak sekurang-kurangnya 200 (dua ratus) M.
Penetapan lokasi Terminal Penumpang Tipe B selain harus memperhatikan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 37 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan, juga harus memenuhi persyaratan :
Terletak dalam jaringan trayek antar kota dalam propinsi;
Terletak di jalan arteri atau kolektor dengan kelas jalan sekurangkurangnya kelas III B;
Luas jalan sekurang-kurangnya 3 (tiga) ha;
Mempunyai akses jalan masuk atau jalan keluar ke dan dari terminal dengan jarak sekurang-kurangnya 50 (limapuluh) meter.
Penetapan lokasi terminal penumpang Tipe C selain harus memperhatikan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 37 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan, harus memenuhi persyaratan :
Terletak di dalam kota dan dalam jaringan trayek perkotaan ;
Terletak di jalan kolektor atau lokal dengan kelas jalan paling tinggi kelas III A;
Tersedia lahan sesuai dengan permintaan angkutan ;
Mempunyai akses jalan masuk atau jalan keluar ke dan dari terminal sesuai dengan kebutuhan untuk kelancaran lalu lintas di sekitar terminal.
Fasilitas Terminal
Terminal adalah bagian dari infrastruktur transportasi yang merupakan titik lokasi perpindahan penumpang ataupun barang. Pada lokasi itu terjadi konektivitas antar lokasi tujuan, antar modal, dan antar berbagai kepentingan dalam system transportasi dan infrastruktur. Pengelolaan pada berbagai hal tersebut perlu diperhatikan dan dikembangkan untuk pengembangan manajemen terminal. Kegiatan pengelolaa, regulasi (peraturan) dan norma norma yang disepakati akan menentukan perkembangan terminal secara terarah.
Untuk mendukung fungsi terminal, maka pengelolaan terminal haruslah memerhatikan fasilitas yang dimiliki suatu terminal. Pada dasarnya sesuai dengan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan bahwa, setiap penyelenggara Terminal wajib menyediakan fasilitas Terminal yang memenuhi persyaratan keselamatan dan keamanan. Fasilitas yang dimaksud dalam Pasal 38 dibedakan menjadi fasilitas utama dan fasilitas penunjang.
Fasilitas Utama suatu terminal dapat dirinci sebagai berikut :
Jalur pemberangkatan kendaraan umum;
Jalur pemberangkatan adalah pelataran didalam terminal penumpang yang disediakan untuk angkutan umum untuk menaikkan penumpang.
Jalur kedatangan kendaraan umum;
Jalur kedatangan adalah pelataran didalam terminal penumpang yang disediakan untuk angkutan umum untuk menurunkan penumpang.
Tempat parkir kendaraan umum selama menunggu keberangkatan, termasuk di alamnya tempat tunggu dan tempat istirahat kendaraan umum;
Bangunan kantor terminal;
Tempat tunggu penumpang dan/atau pengantar;
Menara pengawas;
Loket penjualan karcis;
Rambu-rambu dan papan informasi, yang sekurang-kurangnya memuat petunjuk jurusan, tarif dan jadwal perjalanan;
Pelataran parkir kendaraan pengantar dan/atau taksi.
Fasilitas Penunjang terminal dapat dirinci sebagai berikut :
Kamar kecil/toilet
Musholla
Kios/kantin
Ruang pengobatan
Ruang informasi dan pengaduan
Wartel
Tempat penitipan barang
Taman.
BAB V
PARKIR
Derasnya Aliran dana dan Keuntungan Usaha Parkiran
Di negara ini ternyata sudah tidak banyak yang gratis, semuanya bayar kecuali bernafas dan bergerak. Dapat kita bayangkan untuk membuang air saja harus membayar, untuk melintas di jalan tol juga harus bayar, hingga untuk parkir pun harus bayar. Semua yang manusia lakukan kebanyakan selalu berhubungan dengan uang dan pembayaran.
Parkir merupakan fenomena yang jarang di kaji dan mungkin tidak menarik untuk dikaji. Juru parkir juga mungkin merupakan profesi yang tidak diminati, tetapi apa boleh buat tuntutan hidup ternyata lebih besar dibandingkan gengsi untuk menjadi juru parkir. Dibalik ketidak menarikannya bidang parkir ternyata, parkir sebenarnya menyimpan potensi yang besar dan menawarkan keuntungan yang menjanjikan.
Untuk juru parkir ilegal misalnya (parkir-parkir terbuka) jika diasumsi bahwa parkir mobil : Rp 1,000 / mobil / jam dan parkir motor : Rp 500 / motor/ jam, maka jika diasumsikan juru parkir bekerja 8 jam sehari di mana tempat parkir dapat memuat 20 mobil atau 40 motor, maka akan memperoleh : 8 jam x 20 mobil x Rp 1,000 = Rp 160,000/hari. Jika Anda bekerja 26 hari perbulan, maka penghasilan Anda menjadi Rp 160.000 x 26 hari = Rp 4,160.000/bulan (bebas pajak). Hal ini tentu saja mencengangkan karena biasanya saja gaji para pegawai Bank untuk kelas teller dan pegawai biasa lainnya hanya mencapai Rp. 2.000.000,- atau gaji seorang Pegawai Negeri Sipil golongan I dan II biasanya mencapai kisaran Rp. 2.000.000- Rp. 3.000.000. Selain itu keuntungan yang diperoleh bebas pajak, jam kerja tidak mengikat, Masih bisa mengerjakan pekerjaan sambilan (jualan rokok di warung), tingkat stress rendah, tidak beresiko karena parkir ilegal sangat sulit untuk di ajukan ganti kerugian.
Untuk memperjelas derasnya aliran dana di bidang parkir penulis mengambil tulisan yang ditulis di Blog saudara Dito Prasetyo di http://dheeto.blogspot.com/. Di Gedung Cyber di kawan Mampang, Jakarta Selatan sebuah lahan tanah seluas 400 meter persegi dijadikan lahan parkir sejak tahun 2004, Agus membangun tempat parkir dengan mempekerjakan empat orang anak buahnya sebagai penjaga parkir di lokasi itu. Kiki, 23 tahun, salah seorang anak buah Agus yang bertugas menjaga parkir tersebut menjelaskan bahwa setiap harinya terdapat sekitar 200 sampai 300 motor yang parkir di tempatnya dengan tarif seribu rupiah sekali parkir.
Tarif parkir untuk mobil karyawan yang bekerja di Gedung cyber sebesar tujuh ribu rupiah selama jam kantor. Untuk mobil yang parkir sebentar dikenakan tarif dua ribu rupiah sekali parkir. Jika dihitung total, uang yang didapat dari bisnis perparkiran di tempat tersebut mencapai satu juta rupiah per hari. Bila dikalikan dengan 26 hari kerja dalam sebulan, berarti lahan parkir tersebut mampu menghasilkan uang kurang lebih Rp. 26.000.000 setiap bulannya. Terlebih, tempat parkir ini buka 24 jam, sehingga dapat dipastikan pendapatannya bisa melebihi hitungan kasar tadi.
Agus Setiawan sebagai pengelola lahan parkir setiap bulannya menerima pendapatan kotor sebesar 18-21 juta rupiah. Namun, Pendapatan kotor tersebut belum dikurangi pengeluaran untuk gaji dan uang makan empat orang karyawannya sebesar 5,6 juta setiap bulannya. Selain itu, Agus juga harus menyetor pada pihak yayasan sebesar 1,5 juta rupiah tiap minggunya, yang berarti sekitar 6 juta rupiah per bulan. Belum lagi adanya pungutan liar (pungli) oleh oknum polisi.
Bisnis parkir di Pasar Santa, Jakarta Selatan lebih menggiurkan bahwa, kawasan parkir di Pasar Santa terdiri dari empat pintu. Pintu 1 harus menyetor uang 300 ribu, pintu kedua 200 ribu, pintu ke tiga 150 ribu, pintu keempat 200 ribu setoran tersebut dihitu dari pagi hingga siang. Perbedaan jumlah setoran tersebut terjadi karena pihak pasar telah men-survey jumlah motor yang parkir dari tiap-tiap pintu, sehingga jumlah setoran telah disesuaikan dengan jumlah motor yang parkir. Apabila setoran yang harus didapat tiap hari di tiap pintu tersebut maka kisaran perbulan yang diterima pengelola pasar adala ratusan juta.
Studi Parkir dan Jenis Parkir
Parkir merupakan salah satu unsur sarana yang tidak dapat dipisahkan dari sistem transportasi jalan raya secara keseluruhan. Dengan meningkatnya jumlah penduduk suatu kota akan menyebabkan meningkatnya kebutuhan melakukan berbagai macam kegiatan. Kebanyakan penduduk di kota-kota besar melakukan kegiatan atau bepergian dengan menggunakan kendaraan pribadi sehingga secara tidak langsung diperlukan jumlah lahan parkir yang memadai.
Perparkiran merupakan masalah yang sering dijumpai dalam sistem transportasi perkotaan, baik di kota-kota besar maupun kota yang sedang berkembang. Masalah perparkiran tersebut terasa sangat mempengaruhi pergerakan kendaraan, dimana kendaraan yang melewati tempat-tempat yang mempunyai aktivitas tinggi, laju pergerakannya akan terhambat oleh kendaraan yang parkir di badan jalan. Pada umumnya kendaraan yang parkir di pinggir jalan berada sekitar tempat atau pusat kegiatan seperti: perkantoran, sekolah, pasar, rumah makan dan lain-lain. Dalam rangka mengatasi permasalahan tersebut, maka diperlukan, pengadaan lahan parkir yang cukup. Kebutuhan lahan parkir (demand) dan prasarana yang akan dibutuhkan (Supply) harus seimbang dan disesuaikan dengan karakteristik perparkiran. Masalah parkir ini sangat berhubungan dengan pola pergerakan arus lalu lintas kota dan apabila pengoperasian parkir tidak efektif akan mengakibatkan kemacetan lalu lintas. Oleh karena itu, fasilitas parkir harus cukup memadai sehingga semua pengoperasian arus lalu lintas dapat berjalan dengan lancar.
Menurut Setijowarno & Frazila (2001) ada dua pengertian tentang parkir yaitu tempat pemberhentian kenderaan sementara dan kemudian dijelaskan juga adalah tempat pemberhentian kenderaan untuk jangka waktu yang lama atau sebentar sesuai dengan kebutuhannya. Menurut keputusan Menteri Perhubungan No:66 tahun 1993 Tentang Fasilitas Parkir untuk Umum dan Keputusan Dirjen Perhubungan Darat Nomor: 272/HK.105/DRJD/1996 Tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Fasilitas Parkir disebut bahwa parkir adalah keadaan tidak bergerak suatu kendaraan yang tidak bersifat sementara waktu. Kemudian pengertiaan parkir dipertegas lagi oleh Direktorat Jendral Perhubungan Darat (1998), parkir adalah keadaan tidak bergerak setiap kendaraan yang tidak bersifat sementara waktu, sedangkan berhenti adalah keadaan tidak bergerak atau suatu kendaraan untuk sementara waktu dengan pengemudi tidak meninggalkan kendaraannya.
Tempat-tempat pemberhentian (parkir) kendaraan yang bersifat sementara dan dalam waktu relatif singkat seperti untuk menaikkan dan menurunkan penumpang atau untuk bongkar barang. Tetapi ada juga kendaraan yang berhenti untuk waktu yang relatif lama, misalnya untuk kegiatan belanja, ke kantor, ke sekolah dan kegiatan lainnya, sehingga dibutuhkan tempat parkir bagi kendaraankendaraan yang akan berhenti tersebut. Kegiatan parkir dapat dilakukan pada badan jalan dan di area parkir khusus di luar badan jalan.
Menurut statusnya parkir dapat dikelompokkan menjadi:
Parkir umum, adalah perparkiran yang menggunakan tanah-tanah, jalanjalan, lapangan yang dimiliki/dikuasai dan pengelolaannya diselenggarakan oleh pemerintah daerah.
Parkir khusus, adalah perparkiran yang menggunakan tanah-tanah yang dikuasai dan pengelolaannya diselenggarakan oleh pihak ketiga.
Parkir darurat adalah perparkiran yang berada ditempat-tempat umum, baik yang menggunakan tanah-tanah, jalan-jalan, lapangan-lapangan milik atau penguasaan pemerintah daerah atau swasta, karena kegiatan insidentil.
Taman parkir adalah suatu areal/bangunan perparkiran yang dilengkapi sarana perparkiran yang pengelolaannya diselenggarakan oleh pemerintah.
Gedung parkir adalah bangunan yang dimanfaatkan untuk tempat parkir kendaraan yang penyelenggaraannya oleh pemerintah daerah atau pihak ketiga yang telah mendapat izin pemerintah daerah.
Secara umum parkir dapat dibagi atas 2 (dua) jenis yaitu :
Parkir di badan jalan (on street parking)
Pola parkir di badan jalan dapat dilihat pada Gambar 2.1 sampai dengan Gambar 2.5 (Sumber gambar: Dirjen Perhubungan Darat, 1998)
Gambar 5.1 Tata Cara Parkir Paralel
Gambar 5.2 Tata Cara Parkir Membentuk Sudut 30 Derajat
Gambar 5.3 Tata Cara Parkir Membentuk Sudut 45 Derajat
Gambar 5.4 Tata Cara Parkir Membentuk Sudut 60 Derajat
Gambar 5.5 Tata Cara Parkir Membentuk Sudut 90 Derajat
Keterangan:
A = lebar ruang parkir (m)
B = lebar kaki ruang parkir (m)
C = selisih panjang ruang parkir (m)
D = ruang parkir efektif (m)
M = ruang maneuver (m)
E = ruang parkir efektif ditambah ruang maneuver (m)
Parkir di luar badan jalan (out street parking).
Parkir di luar badan jalan diaplikasikan di tempat-tempat yang tarikan perjalanannya besar agar kelancaran arus lalu lintas dan kelestarian lingkungan tetap terjaga. Dengan demikian desain parkir di luar badan jalan sangat perlu diselaraskan dengan kebutuhan ruang parkir (Dirjen Perhubungan Darat, 1998).
Perparkiran berkaitan erat dengan kebutuhan ruang parkir, sedangkan sediaan ruang (terutama di daerah perkotaan) sangat terbatas tergantung pada luas wilayah kota dan tata guna lahan. Jika ruang parkir dibutuhkan di suatu wilayah pusat kegiatan, maka sediaan lahan merupakan masalah yang sangat sulit, kecuali dengan mengubah sebagian peruntukannya.
Metode yang sering digunakan untuk menentukan kebutuhan lahan parkir diantaranya sebagai berikut :
Metode berdasarkan kepemilikan kendaraan
Metode ini mengasumsikan adanya hubungan antara luas lahan parkir dengan jumlah kendaraan yang tercatat di pusat kota. Semakin meningkat jumlah penduduk, maka kebutuhan lahan parkir akan semakin meningkat karena kepemilikan kendaraan meningkat.
Metode berdasarkan luas lantai bangunan
Metode ini mengasumsikan bahwa kebutuhan lahan parkir sangat terkait dengan jumlah kegiatan yang dinyatakan dalam besaran luas lantai bangunan di mana kegiatan tersebut dilakukan (misalnya: perbelanjaan, perkantoran, dan lain-lain).
Metode berdasarkan selisih terbesar antara kedatangan dan keberangkatan kendaraan
Kebutuhan lahan parkir didapatkan dengan menghitung akumulasi terbesar pada suatu selang waktu pengamatan. Akumulasi parkir adalah jumlah kendaraan parkir pada suatu tempat pada selang waktu tertentu di mana jumlah kendaraan parkir tidak akan pernah sama pada suatu tempat dengan tempat lainnya dari waktu ke waktu.
Tinjauan Normatif Perparkiran
Pasal 43 Undang-Undang 22 Tahun 2009 Tentang Lalu-lintas dan Angkutan Jalan menyatakan bahwa, penyediaan fasilitas Parkir untuk umum hanya dapat diselenggarakan di luar Ruang Milik Jalan sesuai dengan izin yang diberikan. Penyelenggaraan fasilitas Parkir di luar Ruang Milik Jalan dapat dilakukan oleh perseorangan warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia berupa:
Usaha khusus perparkiran; atau
Penunjang usaha pokok.
Fasilitas Parkir di dalam Ruang Milik Jalan hanya dapat diselenggarakan di tempat tertentu pada jalan kabupaten, jalan desa, atau jalan kota yang harus dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas, dan/atau Marka Jalan. Berdasarkan Pasal tersebut dapat diketahui bahwa usaha perparkiran dapat dimiliki oleh orang/ badan hukum yang khusus menyediakan/ bergerak dalam usaha perparkiran. Kedua usaha penunjang, artinya banyak usaha-usaha perdagangan, supermarket, pusat perbelanjaan, mal atau tempat umum lainnya menyediakan lahan parkir.
Apabila dikatakan ada pengelola dan juga ada orang yang menitipkannya maka konsensus ini dapat dikategorikan sebagai perjanjian. Bentuk perjanjian antara konsumen parkir dengan pengelola parkir dapat dilihat sebagai perjanjian penitipan barang dimana konsumen parkir sebagai pihak yang menitipkan kendaraanya dan pengelola parkir sebagai pihak yang menerima titipan kendaraan milik konsumen parkir.
Perjanjian penitipan terjadi apabila seseorang menerima suatu tanggung jawab dari orang lain dengan syarat bahwa ia akan menyimpannya dan mengembalikannya dalam wujud asal. Disini dapat dilihat pemilik kendaraan atau pihak konsumen pengguna jasa parkir menitipkan kendaraannya kepada pengelola jasa parkir dengan biaya perjamnya yang ditentukan oleh pihak pengelola parkir yang menjadikan karcis parkir sebagai alat bukti bahwa suatu kendaraan tersebut dititipkan. Perjanjian penitipan barang diatur dalam Pasal 1694 KUHPerdata yang berbunyi:
"Penitipan adalah terjadi, apabila seorang menerima sesuatu barang dari seorang lain, dengan syarat bahwa ia akan menyimpannya dan mengembalikannya dalam wujud asalnya.
Demikianlah definisi yang oleh Pasal diberikan tentang penitipan barang." Menurut isi Pasal di atas, penitipan adalah suatu perjanjian "riil" yang berarti bahwa ia baru terjadi dengan dilakukannya suatu perbuatan yang nyata, yaitu diserahkannya barang yang dititipkan, jadi tidak seperti perjanjian-perjanjian lainnya pada umumnya yang lazimnya adalah konsesual, yaitu sudah dilahirkan pada saat tercapainya sepakat tentang hal-hal yang pokok dari perjanjian itu.
Sebagaimana tercantum dalam Pasal 1695 KUHPerdata, penitipan terdiri dan 2 (dua) macam, yaitu:
Penitipan barang sejati dianggap telah dibuat dengan cuma-cuma, jika tidak diperjanjikan sebaliknya. Menurut Pasal 1698 KUHPerdata, penitipan barang sejati dapat terjadi dengan sukarela atau karena terpaksa. Penitipan sukarela terjadi karena sepakat bertimbal-balik antara pihak yang menitipkan barang dan pihak yang menerima titipan (Pasal 1699 KUHPerdata). Sedangkan penitipan karena terpaksa adalah penitipan yang terpaksa dilaksanakan oleh seseorang karena timbulnya sesuatu malapetaka. Misalnya kebakaran, runtuhnya gedung-gedung, perampokan, karamnya kapal (Pasal 1701 KUHPerdata).
Penitipan sekestrasi ialah penitipan barang tentang mana ada perselisihan, ditangannya seorang pihak ketiga yang mengikatkan diri untuk, setelah perselisihan itu diputus, mengembalikan barang itu kepada siapa yang akan dinyatakan berhak, beserta hasil-hasilnya. Penitipan ini ada yang terjadi dengan perjanjian dan ada pula yang dilakukan atas perintah hakim. Sekestrasi terjadi dengan perjanjian, apabila barang yang menjadi sengketa diserahkan kepada pihak ke tiga oleh satu orang atau lebih secara sukarela.
Penitipan yang terjadi antara pihak pengelola parkir dengan konsumen parkir termasuk penggolongan penitipan barang yang sejati. Penitipan kendaraan tersebut dalam penitipan dengan sukarela karena penitipan terjadi dengan sepakat timbal balik antara pihak pemilik kendaraan dengan pihak pengelola parkir. Pengelola parkir sebagai yang menerima titipan memiliki kewajiban-kewajiban sebagaimana diatur dalam KUHPerdata yang mengatur tentang kewajiban-kewajiban si penerima titipan yaitu sebagai berikut:
Pengelola parkir diwajibkan merawat dan memelihara kendaraan yang dititipkan kepadanya, sama seperti memelihara barang-barangnya sendiri (Pasal 1706 KUHPerdata). Namun, karena pengelola parkir memang menawarkan diri sebagai pihak yang berusaha di bidang penitipan barang dan ia juga meminta upah atas penyimpanan itu, maka menurut Pasal 1707 KUHPerdata, ketentuan dalam Pasal 1706 KUHPerdata harus dilakukan lebih keras lagi.
Pengelola parkir diwajibkan mengembalikan kendaraan yang sama itu telah diterimanya (Pasal 1714 ayat 1 KUHPerdata) hanya kepada orang yang menitipkan tersebut kepadanya, dalam hal ini adalah kepada konsumen pengguna jasa parkir, kepada orang yang atas namanya penitipan itu telah dilakukan atau yang ditunjuk untuk menerima kembali kendaraannya (Pasal 1719 KUHPerdata).
Pengecualian terhadap kewajiban tersebut adalah bahwa pengelola parkir bertanggung jawab tentang peristiwa yang tidak disingkiri, kecuali apabila ia lalai dalam pengembalian kendaraan yang dititipkan. Bahkan dalam hal ini yang terakhir pengelola parkir tidak bertanggung jawab jika kendaraan tersebut juga akan musnah seandainya telah berada di tangan pemiliknya. (Pasal 1708 KUHPerdata).
Larangan-larangan bagi pengelola parkir dalam perjanjian penitipan barang ini adalah:
Mengelola parkir tidak diperbolehkan mempergunakan kendaraan yang dititipkan untuk keperluan sendiri, tanpa izin dari orang yang menitipkan kendaraan tersebut, yang dinyatakan dengan tegas atau dipersangkakan. (Pasal 1712 KUHPerdata).
Pengelola parkir tidak diperbolehkan mengembalikan kendaraan yang diparkir di area parkirnya kepada orang lain selain orang yang menitipkan kendaraan tersebut atau kepada orang yang diatas namanya penitipan tersebut telah dilakukan atau yang ditunjuk untuk menerima kembali kendaraan tersebut (Pasal 1719 KUHPerdata).
Sedangkan hak dari pengelola parkir adalah menahan kendaraan yang diparkir diarea parkir miliknya hingga segala apa yang harus dibayar kepadanya karena penitipan tersebut telah dilunasi (Pasal 1729 KUHPerdata) dan ia berhak atas segala biaya yang telah dikeluarkan guna menyelamatkan kendaraan yang dititipkan, serta berhak menerima ganti rugi atas kerugian yang disebabkan karena penitipan tersebut (Pasal 1728 KUHPerdata).
Berdasarkan pada penjelasan diatas, tanggung jawab penerima titipan atau dalam hal ini adalah pengelola parkir terhadap konsumen parkir adalah mengembalikan kendaraan konsumen parkir dalam keadaan semula atau dengan kata lain apabila terjadi kerusakan dan bahkan kehilangan kendaraan di areal parkir merupakan tanggung jawab pengelola parkir untuk memberikan ganti rugi.
Selain aspek hukum tanggungjawab dalam bidang perparkiran juga melekat aspek hukum sanksi administratif. Misalnya saja seseorang memparkirkan kendaraannya, padahal sudah jelas ada rambu bertuliskan larangan parkir atau tempat-tempat yang tidak boleh parkir maka Dinas Perhubungan Kabupaten atau Kota setempat dapat melakukan tindakan hukum.
Tilang merupakan cara yang paling umum dilakukan terhadap pelanggaran parkir di pinggir jalan. Formulir tilang merupakan perlengkapan standar petugas Polisi Lalu Lintas yang sedang patroli, dan kalau petugas yang bersangkutan menemukan pelangaran parkir, langsung menerbitkan tilang kepada pelanggar. Yang menjadi masalah yang biasa ditemukan petugas patroli adalah pengemudi meninggalkan kendaraan, dalam hal yang demikian Polisi dapat menderek mobil yang melanggar parkir ataupun melakukan penggembokan roda.
Cara yang lain yang juga bisa dilakukan, terutama bila pengemudi meninggalkan kendaraan adalah melakukan penderekan kendaraan yang melakukan pelanggaran parkir. Pengemudi selanjutnya mengambil ke pool tempat kendaraan yang diderek dikumpulkan serta mendapatkan surat Tilang.
Gembok roda adalah perangkat untuk menghambat kendaraan yang melanggar aturan larangan parkir dijalankan dengan mengembok salah satu roda sehingga kendaraan yang melanggar terkunci. Untuk membuka gembok roda, pelanggar harus melaporkan keinstansi terkait dalam hal ini Dinas Perhubungan untuk membuka kunci setelah membayar denda atas pelanggaran yang dilakukannya.
Pemasangan gembok roda ini merupakan perangkat penegakan hukum yang banyak digunakan di Eropa dan Amerika Serikat, dan sekarang sudah mulai digunakan di Jakarta dan Palembang. Di Jakarta prosedural penerapan sanksi gembok roda para pemilik kendaraan diberikan toleransi waktu 15 menit bagi para pemilik untuk segera memindahkan kendaraan masing-masing jika tidak ingin dilakukan penggembokan. Bila waktu toleransi habis, petugas Dishub akan menggembok bagian depan dan menempel surat pemberitahuan di kaca mobil.
Pemilik kendaraan juga akan mendapat surat Tilang dari kepolisian. Bila pemilik kendaraan ingin gembok dibuka, ia harus membayar denda di Kantor Dishub di Jatibaru. Dasar hukum menggembok kendaraan yang salah parkir di Jakarta adalah Peraturan Daerah No 12 Tahun 2003 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan, Kereta Api, Sungai dan Danau, serta Penyeberangan. Juga Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1993 tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan. Dalam penggembokan mobil yang diparkir liar, jika dalam jangka l0 menit hingga setengah jam, kunci tidak kunjung diambil di kantor Dishub, aparat akan menderek mobil yang diparkir liar itu. Biaya derek Rp 50 ribu hingga Rp 75 ribu akan dikenakan kepada pemilik kendaraan.
Kemudian bagaimana misalnya apabila kita parkir di kawasan parkir ilegal, telah membayar tetapi mobil tetap di derek, maka hal tersebut tidak dapat diajukan tuntutan ganti rugi. Hal ini karena kesalahan ada pada si pengemudi yang jelas-jelas tidak mengindahkan larangan parkir di suatu tempat. Parkir memiliki potensi yang besar baik dalam bidang bisnis maupun sebagai retribusi untuk kas Pemerintah. Maka pengelolaan parkiran haruslah profesional dan mengutamakan keamanan kendaraan. Selain itu selaku pengemudi haruslah senantiasa hati-hati dan mengindahkan rambu-rambu lalu lintas agar kendaraan yang diparkir tetap aman dan sesuai prosedur hukum.
Swakelola Perparkiran
Pengelolaan perparkiran dapat dilakukan oleh pemerintah daerah sendiri dan dapat juga dilakukan oleh pihak ketiga. Pemerintah daerah dalam menyelenggarakan perparkiran dapat mengusahakannya sendiri, inilah yang selanjutnya disebut sebagai swakelola. Swakelola adalah pekerjaan yang direncanakan, dikerjakan, dan diawasi sendiri oleh pelaksana swakelola dengan menggunakan tenaga sendiri dan/atau tenaga dari luar baik tenaga ahli maupun tenaga upah borongan. Tenaga ahli dari luar tidak boleh melebihi 50 persen dari tenaga sendiri.
Swakelola dalam pengelolaan perparkiran mengandung pengertian bahwa pengelolaan parkir dilakukan oleh pihak pemerintah sendiri, mulai dari perencanaan, pengerjaaan (pengaturan dan pengendalian) dan pengawasan di lapangan, yaitu dengan membentuk Unit Pelaksana Teknis daerah (UPTD) perparkian.
Tanggung jawab pengelolaan dan pengedalian parkir berada di bawah Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (DLLAJ) tingkat II, dan untuk operasionalnya dibentuk UPTD. Namun belum semua daerah melaksanakannya seperti yang ditentukan dalam peraturan perundangan yang berlaku, sebab ada beberapa daerah yang pelaksanaannya dilakukan di bawah kendali Dinas Pendapatan Daerah dan ada juga yang dilaksanakan oleh pihak ketiga. Bahkan ada yang pelaksanaannya dilakukan oleh Badan tersendiri ataupun oleh Dinas Perparkiran.
Swastanisasi adalah suatu proses pengurangan campur tangan pemerintah dalam menjalankan perekonomian, karena kepemilikan aset-aset dialihkan dari tangan pemerintah ke pihak swasta. Proses pendelegasian tersebut ditujukan untuk mengefisienkan dan mengefektifkan suatu kegiatan yang menjadi wewenang pemerintah oleh pemerintah. Dalam hal perparkiran, swastanisasi dapat diartikan adanya pendelegasian penyelenggaraan atau pengelolaan perparkiran dari pemerintah kepada pihak swasta. Hal tersebut juga dilakukan dalam rangka meningkatakan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan dan pengelolaan perparkiran. Penyelenggaraan dan pengelolaan perparkiran tidak dapat mengabaikan kedudukan parkir itu sendirisebagai sub-sistem lalu lintas.
Pengelolaan melalui swakelola juga mulai direncanakan Pemerintah Kota Cimahi. Pemerintah Kota Cimahi berencana menyerahkan pengelolaan parkir kepada pihak swasta untuk menjaga konsistensi raihan pendapatan asli daerah (PAD). Kasie Perparkiran Dinas Perhubungan Kota Cimahi Kosasih mengatakan untuk merealisasikan program tersebut perlu payung hukum yang melandasi aturan main perparkiran di kota ini. Pada tahun 2012 target retribusi parkir Cimahi mengalami koreksi dari Rp230 juta menjadi Rp190 juta karena hampir selama tiga bulan pada awal 2012 retribusi parkir tidak bisa dipungut mengingat pengesahan Perda No.2/2012 tentang Retribusi Jasa Umum terlambat dan butuh penyesuaian.
Apabila Pemerintah Kota Cimahi baru merencanakan, Pemerintah Kota Bandar telah melakukan swastanisasi atau swakelola parkir. Penandatanganan nota kesepahaman tentang pengelolaan retribusi perparkiran dilakukan Pemkot Bandarlampung dengan PT Mitra Bina Persada (MBP) Penandatanganan nota kesepahaman itu oleh Direktur PT MBP Ir Hj Armalia Reny WA MM, dengan Sekretaris Kota Bandarlampung Badri Tamam, disaksikan Wali Kota Bandarlampung H Herman HN, dan Komisaris PT MBP Dr H Andi Surya. Komisaris PT MBP Andi Surya menyampaikan rasa syukur atas kepercayaan dan amanah Pemkot Bandarlampung terhadap PT BMP untuk menangani retribusi perparkiran di Kota Bandarlampung itu.
Melalaui retribusi perparkiran itu dapat memberikan kontribusi untuk PAD kota setempat, mengingat selama ini terdapat dugaan kebocoran paling tinggi dalam pungutan perpakiran di Bandarlampung. Pemerintah Kota Bandar akan memberikan kewenangan kepada PT BMP untuk pengelolaan parkir di kota itu. Pemerintah Kota Bandar menargetkan pendapatan retribusi parkir dapat meningkat hingga 10 persen dari sebelumnya. Namun dia menyatakan bahwa hak pengelolaan kepada pihak ketiga itu hanya diberikan untuk retribusi parkir.
Kisah swastanisasi perparkiran juga dialai di daerah Cianjur. Swastanisasi retribusi parkir yang dikelola CV Purnama (CV Pur) yang bekerjasama dengan Pemkab Cianjur, Jawa Barat, mengalami kemacetzn. Dari kontrak pemasukan sebagaimana kesanggupan CV Pur dalam MoU sebesar Rp605 juta lebih sampai Senin (21/7) kemarin baru masuk 7, 61 persen. Kontrak kerjasama retribusi parkir dari sebesar Rp605 juta masing-masing retribusi pembayaran parkir di tepi jalan umum Rp302 juta dan retribusi jenis usaha tempat parkir khusus sebesar Rp303 juta. Dalam MoU pihak CV Pur, sanggup membayar sebesar Rp50 juta lebih setiap bulannya kepada Dishubpar (Dinas Perhubungan & Pariwisata) Kabupaten Cianjur. Dalam pelaksanaannya hingga bulan Juli 2003 ini, CV Pur untuk retribusi pembayaran parkir di tepi jalan umum baru mencapai 7, 61 persen. Bahkan untuk retribusi jenis usaha tempat parkir khusus, belum masuk sepeserpun atau nol persen. Swastanisasi yang mulai berlangsung tahun 2002 itu, semula Pemkab Cianjur untuk meningkatkan pendapatan dan mengintensipkan PAD (Penapatan Asli Daerah) dari sektot perparkiran. Namun, dalam pelaksanaannya, ternyata pihak swasta yang digandeng melakukan kerjasama pengelolaan perparkiran tidak sesuai dengan harapan Pemkab Cianjur. Bahkan menunggak, sama sulitnya ketika perparkiran dikelola dinas terkait.
BAB VI
KENDARAAN SEBAGAI ALAT TRANSPORTASI
Jenis dan Fungsi Kendaraan
Kendaraan adalah suatu sarana angkut di jalan yang terdiri atas Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Tidak Bermotor. Kendaraan Bermotor adalah setiap Kendaraan yang digerakkan oleh peralatan mekanik berupa mesin selain Kendaraan yang berjalan di atas rel, sedangkan kendaraan Tidak Bermotor adalah setiap Kendaraan yang digerakkan oleh tenaga manusia dan/atau hewan. Kendaraan bermotor terdiri atas sepeda motor, mobil, bus, dan truck. Sepeda Motor adalah Kendaraan Bermotor beroda 2 (dua) dengan atau tanpa rumah-rumah dan dengan atau tanpa kereta samping, atau Kendaraan Bermotor beroda tiga tanpa rumah-rumah. Rumah-rumah yang dimaksud adalah bagian dari Kendaraan Bermotor jenis Mobil Penumpang, Mobil Bus, Mobil Barang, atau Sepeda Motor yang berada pada landasan berbentuk ruang muatan, baik untuk orang maupun barang.
Perkembangan zaman yang menuntut cepat, praktis dan efisiensi pengangkutan maka banyak perusahaan sepeda motor yang juga mengeluarkan sepeda motor dengan ruang pengangkutan barang dan modifikasi roda tiga. Untuk mengntisipasi pengaturannya Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2012 tentang Kendaraan mengatur bahwa, Kendaraan Bermotor jenis Sepeda Motor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a meliputi:
Kendaraan Bermotor roda 2 (dua) dengan atau tanpa rumah-rumah;
Kendaraan Bermotor roda 2 (dua) dengan atau tanpa kereta samping; dan
Kendaraan Bermotor roda 3 (tiga) tanpa rumah-rumah.
Kendaraan bermotor lainnya ialah kendaraan beroda empat yaitu Mobil Penumpang adalah Kendaraan Bermotor angkutan orang yang memiliki tempat duduk maksimal 8 (delapan) orang, termasuk untuk pengemudi atau yang beratnya tidak lebih dari 3.500 (tiga ribu lima ratus) kilogram. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2012 tentang Kendaraan menyebut mobil-mobil pribadi sebagai kendaraan penumpang, dimana maksimal penumpang dibatasi hingga 8 orang dan beratnya tidak lebih dari 3.500 (tiga ribu lima ratus) kilogram. Transportasi mobil lainnya juga dibedakan menjadi mobil barang. Kendaraan Bermotor jenis Mobil Penumpang dibedakan berdasarkan jenisnya antara lain:
Mobil Penumpang sedan yang memiliki 3 (tiga) ruang terdiri atas:
ruang mesin;
ruang pengemudi dan penumpang; dan 3. ruang bagasi.
Mobil Penumpang bukan sedan yang memiliki 2 (dua) ruang terdiri atas:
ruang mesin; dan
ruang pengemudi, ruang penumpang dan/atau bagasi.
Mobil khusus
Mobil Barang adalah Kendaraan Bermotor yang dirancang sebagian atau seluruhnya untuk mengangkut barang. Kendaraan Bermotor jenis Mobil Barang di bedakan atas :
mobil bak muatan terbuka;
mobil bak muatan tertutup;
mobil tangki; dan
mobil penarik.
Selain mobil penumpang dan mobil barang, dikenal pula mobil khusus. Kekhususan ini teletak pada fungsi khusus atau tertentu. Fungsi mobil tersebut terbagi atas fungsi sebagai kendaraan militer (kendaraan tank, mobil baracuda dan lainnya), fungsi sebagai kendaraan ketertiban dan keamanan masyarakat (mobil kepolisian, mobil pengendali masa, truck dengan gas air mata), alat produksi (truck molen, mobil penggergaji kayu dan lainnya) dan mobilitas penyandang cacat/ mobil yang dimodifikasi khusus untuk penyandang cacat.
Untuk skala yang lebih besar Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2012 tentang Kendaraan juga menyebutkan Bus sebagai salah satu kendaraan. Bus adalah Kendaraan Bermotor angkutan orang yang memiliki tempat duduk lebih dari 8 (delapan) orang, termasuk untuk pengemudi atau yang beratnya lebih dari 3.500 (tiga ribu lima ratus) kilogram. Bus dibedakan berdasarkan bentuk dan beratnya menjadi beberapa tipe yaitu Mobil Bus kecil, Mobil Bus sedang, Mobil Bus besar, Mobil Bus maxi, Mobil Bus gandeng, Mobil Bus temple, dan Mobil Bus tingkat.
Mobil Bus kecil yang dirancang dengan jumlah berat yang diperbolehkan (JBB) lebih dari 3.500 (tiga ribu lima ratus) sampai dengan 5.000 (lima ribu) kilogram. Ukuran panjang keseluruhan tidak melebihi ukuran landasan dan tidak lebih dari 6.000 (enam ribu) milimeter dan ukuran lebar keseluruhan tidak melebihi ukuran landasan dan tidak melebihi 2.100 (dua ribu seratus) milimeter serta tinggi Kendaraan tidak lebih dari 1,7 (satu koma tujuh) kali lebar Kendaraannya.
Mobil Bus sedang yang dirancang dengan jumlah berat yang diperbolehkan (JBB) lebih dari 5.000 (lima ribu) sampai dengan 8.000 (delapan ribu) kilogram. Ukuran panjang keseluruhan bus tidak melebihi ukuran landasan dan panjang keseluruhan tidak melebihi 9.000 (sembilan ribu) milimeter dan ukuran lebar keseluruhan tidak melebihi ukuran landasan dan tidak melebihi 2.100 (dua ribu seratus) milimeter serta tinggi Kendaraan tidak lebih dari 1,7 (satu koma tujuh) kali lebar Kendaraannya.
Mobil Bus besar yang dirancang dengan jumlah berat yang diperbolehkan (JBB) lebih dari 8.000 (delapan ribu) sampai dengan 16.000 (enam belas ribu) kilogram. Ukuran panjang keseluruhan tidak melebihi ukuran landasan dan ukuran panjang keseluruhan Kendaraan Bermotor lebih dari 9.000 (sembilan ribu) milimeter sampai dengan 12.000 (dua belas ribu) milimeter dan ukuran lebar keseluruhan tidak melebihi ukuran landasan dan ukuran lebar keseluruhan tidak melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter serta tinggi Kendaraan tidak lebih dari 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter dan tidak lebih dari 1,7 (satu koma tujuh) kali lebar Kendaraannya.
Mobil Bus maxi yang dirancang dengan jumlah berat yang diperbolehkan (JBB) lebih dari 16.000 (enam belas ribu) kilogram sampai dengan 24.000 (dua puluh empat ribu) kilogram. Ukuran panjang keseluruhan lebih dari 12.000 (dua belas ribu) milimeter sampai dengan 13.500 (tiga belas ribu lima ratus) milimeter dan ukuran lebar keseluruhan tidak melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter dan tinggi Kendaraan tidak lebih dari 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter dan tidak lebih dari 1,7 (satu koma tujuh) kali lebar Kendaraannya. Mobil Bus gandeng yang dirancang dengan jumlah berat kombinasi yang diperbolehkan (JBKB) paling sedikit 22.000 (dua puluh dua ribu) kilogram sampai dengan 2 6.000 (dua puluh enam ribu) kilogram. Ukuran panjang keseluruhan lebih dari 13.500 (tiga belas ribu lima ratus) milimeter sampai dengan 18.000 (delapan belas ribu) milimeter dan ukuran lebar keseluruhan tidak melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter dan tinggi Kendaraan tidak lebih dari 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter dan tidak lebih dari 1,7 (satu koma tujuh) kali lebar Kendaraannya.
Selain mobil bus diatas yang di klasifikasikan atas dasar berat, adapula klasifikasi mobil yang didasarkan atas bentuknya yaitu mobil bus tempel dan mobil bus tingkat. Mobil Bus tempel yang dirancang dengan jumlah berat kombinasi yang diperbolehkan (JBKB) paling sedikit 22.000 (dua puluh dua ribu) kilogram sampai dengan 2 6.000 (dua puluh enam ribu) kilogram. Ukuran panjang keseluruhan lebih dari 13.500 (tiga belas ribu lima ratus) milimeter sampai dengan 18.000 (delapan belas ribu) milimeter dan ukuran lebar keseluruhan tidak melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter dan tinggi Kendaraan tidak lebih dari 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter dan tidak lebih dari 1,7 (satu koma tujuh) kali lebar Kendaraannya.
Mobil Bus tingkat yang dirancang dengan jumlah berat yang diperbolehkan (JBB) paling sedikit 21.000 (dua puluh satu ribu) kilogram sampai dengan 24.000 (dua puluh empat ribu) kilogram. Ukuran panjang keseluruhan paling sedikit 9.000 (sembilan ribu) milimeter sampai dengan 13.500 (tiga belas ribu lima ratus) millimeter. Ukuran lebar keseluruhan tidak melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter dan ukuran tinggi Mobil Bus tingkat tidak lebih dari 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter.
Inovasi Kendaraan (Modifikasi) Dan legalitasnya
Pasal 277 Undang-Undang 22 Tahun 2009 tentang Lalulintas dan Angkutan Jalan Kendaraan menyebutkan bahwa :
Setiap orang yang memasukkan Kendaraan Bermotor, kereta gandengan, dan kereta tempelan ke dalam wilayah Republik Indonesia, membuat, merakit, atau memodifikasi Kendaraan Bermotor yang menyebabkan perubahan tipe, kereta gandengan, kereta tempelan, dan kendaraan khusus yang dioperasikan di dalam negeri yang tidak memenuhi kewajiban uji tipe sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
Berdasarkan Pasal tersebut dapat dicermati bahwa, "perubahan tipe" ini disebabkan oleh adanya "modifikasi" (Pasal 50 ayat (1) jo Pasal 52 ayat (1)), yaitu modifikasi dimensi, mesin, dan kemampuan daya angkut. Modifikasi daya angkut yang dimaksud, walaupun tidak didefinisikan secara jelas di dalam UU No. 22 Tahun 2009, dapat diterjemahkan sebagai pengubahan fungsi daya angkut motor dari satu fungsi ke fungsi lain. Misalnya motor hanya untuk 2 orang, kemudian dimodifikasi sehingga dapat ditumpangi oleh lebih dari 2 orang, dipasangkan kereta samping atau dibuat memanjang. Kemungkinan lainnya ialah tadinya suatu kendaraan bermotor tersebut untuk mengangkut orang, dimodifikasi untuk mengangkut barang.
Para pecinta otomotif baik motor mupun mobil banyak yang kebingungan mengenai dasar hukum suatu kendaraan Modifikasi. Berdasarkan Pasal 1 angka 12 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2012 Tentang Kendaraan yang baru dikeluarkan dikatakan bahwa, Modifikasi Kendaraan Bermotor adalah perubahan terhadap spesifikasi teknis dimensi, mesin, dan/atau kemampuan daya angkut Kendaraan Bermotor. Berdasarkan pasal tersebut maka Modifikasi merupakan suatu proses perubahan bentuk dan tipe kendaraan.
Modifikasi ini tetapi harus selalu berkaitan dengan Penelitian Rancang Bangun dan Rekayasa Kendaraan Bermotor. Misalnya saja pada Pasal 132 ayat (5) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2012 Tentang Kendaraan menyatakan bahwa, Penelitian rancang bangun dan rekayasa Kendaraan Bermotor terhadap Kendaraan Bermotor yang dimodifikasi paling sedikit meliputi:
Rancangan teknis;
Susunan;
Ukuran;
Material;
Kaca, pintu, engsel, dan bumper;
Sistem lampu dan alat pemantul cahaya; dan
Tempat pemasangan tanda nomor kendaraan bermotor.
Pada Pasal 132 ayat (6) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2012 Tentang Kendaraan menyatakan bahwa, Modifikasi Kendaraan Bermotor hanya dapat dilakukan setelah mendapat rekomendasi dari agen tunggal pemegang merek. Modifikasi Kendaraan Bermotor tersebut juga wajib dilakukan oleh bengkel umum Kendaraan Bermotor yang ditunjuk oleh menteri yang bertanggungjawab di bidang industri. Berdasarkan ketentuan Pasal 132 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2012 Tentang Kendaraan jelas bahwa modifikasi hanya dapat dilakukan apabila berkaitan dengan Penelitian Rancang Bangun dan Rekayasa Kendaraan Bermotor. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana terhadap modifikasi liar yang tidak ditujukan untuk Penelitian Rancang Bangun dan Rekayasa Kendaraan Bermotor, apakah jug harus dilakukan setelah mendapat rekomendasi dari agen tunggal pemegang merek dan dilakukan oleh bengkel umum Kendaraan Bermotor yang ditunjuk oleh menteri yang bertanggungjawab di bidang industri.
Perubahan atau modifikasi lainnya ialah modifikasi mesin suatu kendaraan bermotor. Pecinta otomotif biasanya terbagi menjadi tiga ktegori yaitu pecinta balapan, pecinta touring, dan pecinta modifikasi ekstrim. Ketiga klasifikasi pecinta otomotif ini tentu saja sangat membutuhkan mesin yang performanya tanggung baik itu motor maupun mobil, sehingga dalam kamus pecinta otomotif kata bore up sudah tidak asing lagi. Kapasitas mesin yang tadinya 225 cc di-bore up menjadi 250 cc (misalnya), mesin 125 cc menjadi 250 cc. Secara awam memang bagi pecinta otomotif hal ini menguntungkan dan tidak merugikan siapa siapa. Karena biasanya berlaku adagium this my property and this my rule, tetapi adagium tersebut salah dari segi hukum.
Menurut Prof. Riduan Syahrani, dalam sistem KUH Perdata benda dapat dibedakan sebagai berikut :
Benda bergerak dan benda tak bergerak
Benda tak bergerak dapat dilihat menurut sifatnya, tujuan pemakaiannya, dan menurut penetapan undang-undang. Benda tak bergerak menurut sifatnya dibagi menjadi 3 macam yaitu tanah, segala sesuatu yang bersatu dengan tanah karena tumbuh dan berakar secara bercabang, dan segala sesuatu yang bersatu dengan tanah karena didirikan diatas tanah itu yaitu karena tertanam dan terpaku. Benda tak bergerak menurut tujuan pemakaiannya misalnya mesin-mesin dalam kolam, pada suatu perkebunan, dan barang reruntuhan dari suatu bangunan. Benda tak bergerak menurut penetapan undang-undang antara lain hak-hak atau penagihan mengenai suatu benda yang tak bergerak, kapal-kapal yang berukuran 20 meter kubik keatas. Benda bergerak ada 2 golongan yaitu benda yang menurut sifatnya dan benda menurut penetapan undang-undang. Benda bergerak menurut sifatnya dalam arti benda itu dapat berpindah atau dipindahkan dari suatu tempat ketempat yang lain. Benda bergerak menurut penetapan undang-undang adalah sgala hak atas benda bergerak.
Benda yang musnah dan benda yang tetap ada
Benda yang dapat musnah terletak pada kemusnahannya, misalnya barang-barang makanan dan minuman baru memebri manfaat bagi kesehatan. Benda yang tetap ada adalah benda-benda yang dalam pemakaiannya tidak mengakibatkan benda itu menjadi musnah, tetapi akan memberi manfaat bagi sipemakai.
Benda yang dapat diganti dan benda yang tidak dapat diganti
Mengenai benda yang dapat diganti dan tidak dapat diganti diatu secara tegas dalam Pasal 1694 KUH Perdata pengembalian barang oleh yang dititipi harus in natura artinya tidak boleh diganti dengan benda yang lain.
Benda yang dapat dibagi dan benda yang tak dapat dibagi
Benda yang dapat dibagi adalah benda yang apabila wujudnya dibagi tidak mengakibatkan hilangnya hakikat dari benda itu sendiri, misalnya beras, gula. Sedangkan benda yang tidak dapat diganti adalah benda yang apabila wujudnya dibagi mengakibatkan hilangnya hakikat dari benda itu, misalnya kuda, sapi.
Benda yang diperdagangkan dan benda yang tak diperdagangkan
Benda yang diperdagangkan adalah benda-benda yang dapat dijadikan objek (pokok) suatu perjanjian. sedangkan benda yang tak diperdagangkan adalah benda-benda yang tak dapat dijadikan sebagai objek suatu perjanjian
Hukum benda yang termuat dalam Buku II KUH Perdata tersebut diatas adalah hukum yang mengatur hubungan antara seseorang dengan benda. Hubungan tersebut akan menimbulkan hak atas benda atau hak kebendaan, yakni hak yang memberikan kekuasaan langsung kepada seseorang yang berhak untuk menguasai sesuatu benda di dalam tangan siapapun juga benda itu berada. Hak kebendaan itu bersifat mutlak yang berarti bahwa hak seseorang atas benda itu dapat dipertahankan terhadap siapapun juga.
Berdasarkan pendapat tersebut jels bahwa kendaraan bermotor dalah benda tidak bergerak, walaupun motor senyatanya adalah bergerak, sehingga penulis lebih setuju menggunakan kata benda terdaftar bedasarkan Undang-Undang. Hak milik pada benda-benda terdaftar ialah hak untuk menggunakan fungsi dan manfaatnya. Hak terhadap benda terdaftar tidaklah mutlak, karena terbatas oleh auran perundang-undaangan. Secara konkrit tujuan undang-undang jelas bahwa, seseorang boleh saja membeli sepeda motor tau mobil, tetapi urusan tipe, pajak, bukti kepemilikan dimiliki oleh negara. Sehingga perubahan mesin akan membawa akibat hukum, karena pajak tiap-tiap kendaran bermotor berbeda menurut kapsitas mesin dan juga tahunnya.
Dimensi lain ialah ukuran, salah satu persyaratan teknis adalah "ukuran" (Pasal 48 ayat (2) huruf c), "ukuran", berdasarkan Penjelasan Pasalnya adalah :
Yang dimaksud dengan "ukuran" adalah dimensi utama Kendaraan Bermotor, antara lain panjang, lebar, tinggi, julur depan (front over hang), julur belakang (rear over hang), dan sudut pergi (departure angle).
Berdasarkan penalaran-penalarn hukum di atas bahwa kendraan bermotor dapat dimiliki tetapi terdapat pembatasan disana, maka perubahan sekecil apapun, apabila terjadi perubahan pada panjang, lebar, tinggi, front over hang, rear over hang dan departure angle wajib dilakukan uji tipe ulang.
Negara pada dasarnya tidak memberatkan atau mengekang inovasi modifikator kendaraan, tetapi kadang-kadang modifikasi tersebut mengakibatkan kecelakaan dan juga kerugian bagi pihak lain, sehingga negara mengaturnya. Modifikasi sah-sah saja, tetapi setiap modifikasi kendaraan yang mendasar wajib dilakukan Uji Tipe. Apabila tidak dilakukan uji tipe ulang, maka sanksi pidana menanti, yaitu dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp 24 juta.
Banyak pertanyaan yang muncul bahwa, apabila modifikasi tersebut modifikasi ringan apakah harus dilakukan uji tipe pula. Hal ini memang banyak menjadi petanyaan kalangan pecinta motor dan mobil, karena batas-batas definisi modifikasi ringan, merupakan istilah yang timbul di dalam masyarakat juga belum didefinisikan oleh definisi hukum. Sehingga dapat saya jelaskan secara acontrario dan asas legalitas bahwa, komponen otomoif sepanjang apa yang disebutkan dalam STNK dan BPKB tidak boleh untuk dimodifikasi. Misalnya saja identitas kendaraan bermotor seperti merk/tipe, jenis/model, tahun pembuatan, tahun perakitan, isi silinder, warna, nomor rangka/NIK, nomor mesin, nomor BPKB, warna TNKB, bahan bakar, kode lokasi, dan sebagainya. Sehingga dapat diartikan terbalik apabila selain hal tersebut sah-sah saja dilakukan modifikasi seperti peenggntian kaca spion, pemasangan scoutlet yang warnanya tetap sama, penggantian ban, dan lainnya.
Bagaimana dengan knalpot bobokan yang sedang ramai-ramai ditindak aparat kepolisian. Mengacu pada Undang-undang lalulintas dan Angkutan Jalan dalam Pasal 48 Ayat 3 UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan tersebut:
Persyaratan laik jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan oleh kinerja minimal kendaraan bermotor yang diukur sekurang-kurangnya terdiri atas:
Emisi gas buang;
Kebisingan suara;
Efisiensi sistem rem utama;
Efisiensi sistem rem parkir;
Kincup roda depan;
Suara klakson;
Daya pancar dan arah sinar lampu utama;
Radius putar;
Akurasi alat penunjuk kecepatan;
Kesesuaian kinerja roda dan kondisi ban; dan
Kesesuaian daya mesin penggerak terhadap berat kendaraan.
Berdasarkan hal tersebut terdapat pengkhususan kembali mengenai aturan atau tata cara modifikasi otomotif yakni apakah setelah di modifikasi emisi gas buangnnya masih baik, bagaimana dengan tingkat kebisingannya, bagaimana dengan remnya dan sebagainya. Terkait dengan modifikasi knalpot bobokan, biasanya yang terjadi adalah suara akan meningkat dan performa tarikan mesin menjadi enteng. Suara yang biasanya memekakan telinga inilah yang banyak menjadi sentimen publik dan aparatur yang berwenang untuk menindak.
Suara knalpot yang bising karena adanya proses modifikasi biasanya memang mengganggu, sehingga ketika terjadi gangguan kepentingan erhadap masyarakat umum disanaah hukum masuk.
Sudikno menyatakan bahwa, hukum menyesuaikan kepentingan perorangan dengan kepentingan masyarakat dengan sebaik-baiknya, berusaha mencari keseimbangan antara memberi kebebasan kepada individu dan melindungi masyarakat terhadap kebebasan individu. Mengingat bahwa masyarakat itu terdiri dari individu-individu yang menyebabkan terjadinya interaksi, maka akan selalu terjadi konflik atau ketegangan antara kepentingan perorangan dan antara kepentingan perorangan dengan kepentingan masyarakat. Hukum berusaha menampung ketegangan atau konflik ini sebaik-baiknya.
Hukum masuk dari segala penjuru, artinya penggunaan Undang-Undang 22 tahun 2009 tentang Lalulintas dan Angkutan Jalan bukan satu satunya hukum yang dapat digunakan tetapi juga peraturan dibawahnya dan peraturan terkait lainnya. Pasal 66 Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2012 tentang Kendaraan menyatakan bahwa:
Kebisingan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (2) huruf b diukur berdasarkan energi suara dalam satuan desibel (A) atau dB (A).
Energi suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak melebihi ambang batas.
Ambang batas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup.
Dalam menetapkan ambang batas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus berkoordinasi dengan menteri yang bertanggungjawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan.
Berdasarkan pasal tersebut maka jelas ada perintah untuk menetapkan ambang batas haruslah berkoordinasi dengan menteri yang bertanggungjawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan, dalam hal ini mengenai lingkungan lalu lintas dan angkutan jalan maka Menteri Perhubungan harus bekerjasama dengan Menteri Lingkungan Hidup, atau apabila sudah dikeluarkan peraturan mengenai ambang batas kebisingan, dapat menrujuk kepada peraturan tersebut.
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No 07/2009 tentang Ambang Batas Kebisingan Kendaraan Bermotor Tipe Baru yang dikeluarkan pada 6 April 2009 menjelaskan secara rinci mengenai ambang batas kebisingan berikut cara mengukurnya. Banyak terjadi di dalam kehidupan sehari hari bahwa, Kepolisian berusaha menindak pengendara yang menggunakan Knalpot bobokan, tetapi yang terjdi adalah adu argumen dasar hukumnya, karena pada dasarnya jelas Undang-Undang 22 tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan secara terperinci, tetapi Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No 07/2009 tentang Ambang Batas Kebisingan Kendaraan Bermotor Tipe Baru yang merinci, sedangkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No 07/2009 tentang Ambang Batas Kebisingan Kendaraan Bermotor Tipe Baru mengharuskan adnya pengukuran sedangkan razia yang sering diadakan biasanya tidak mengikut sertakan Dinas Perhubungan untuk memeriksa tingkat kebisingan, atau walaupun terjadi razia gabungan, alat pengukur kebisingan tersebut tidak digunakan. Awamnya pengetahuan masyarakat dan tidak mau kalahnya aparat penegak hukum biasanya mengakibatkan perbuatan yang sewenang-wenang karena tidak didasari oleh hasil pemeriksaan yang layak. Dalam kasus ini jelas dua kepentingan beradu, di satu sisi si pemilik knalpot dengan koceknya yang cukup besar membeli knalpot dirampas begitu saja oleh aparat Kepolisian tanpa menjelaskan dasar hukum dan pemeriksaan yang jelas. Sedangkan disisi lain Aparat Kepolisian mencoba menanggulangi keresahan masyarakat akibat maraknya kenalpot bobokan yang suaranya membisingkan.
Hukum dalam hal ini harus arif bertindak, dengan menunjukan kesalahan seseorang dalam berkendara. Aparatur Penegak hukum yang baik apabila ingin melakukan razia khususnya knalpt bobokan haruslah membawa serta alat pengujian kebisingan. Dalam Permen LH tersebut disebutkan bahwa batas ambang kebisingan sepeda motor terdiri atas, untuk tipe 80 cc ke bawah maksimal 85 desibel (db). Lalu, tipe 80-175cc maksimal 90 db dan 175cc ke atas maksimal 90 db. Dengan menunjukan pemeriksaan tersebut, tentunya pengendara akan sadar kesalahannya, kemudian lakukan rasionalisasi terhadap pengendara, inilah yang jarang sekali dilakukan aparat kepolisian dalam merazia, misalnya mengapa haarus mengunakan helm standar, biasanya di jawab ya sudah peraturannya, saya hanya menjalankan tugas. Jawaban ini tentunya tidak arif bagi orang yang dijelaskan, karena pada dasarnya Kepolisian sebaai aparat penegak hukum bukan hanya harus bersikap represif tetapi juga mitra masyarakat. Ada baiknya Aparat kepolisian menjelaskan bahwa, tingkat pendengaran manusia ada batasnya, ketika tingkatan tersebut terlampaui maka akan terjadi permasalahan, hal ini tentunya mengakibatkan kerugian di salah satu pihak, sehingga perlu diatur dalam hukum publik.
Tentunya kearifan dalam menjalankan tugas akan menimbulkan kesan yang baik dimata masyarakat. Kepolisian khususnya satuan lalulintas memang biasanya dianggap sebagai gudang korupsi, pungli, sewenang-wenang dan lainnya. Hal ini tentunya karena fakta-fakta kurang arifnya penegak hukum dalam menjalankan tugas. Padahal apabila kita lihat terjadi kesalahan pada kedua pihak baik yang menindak maupun yang ditindak. Seseorang yang ditindak karena kesalahannya mencari peluang jalan damai, sedangkan yang menindak terkadang juga memberikn peluang, maka terjadilah pembiaran kesalahan yang mengakibatkan buruknya citra kepolisian.
Citra baik kepolisan tentunya harus dibangun guna ikut serta membangun kesadaran hukum masyarakat. Dengan melakukan tindakan yang arif, mengerti peraturan, memahami peraturan dan menjelaskannya kepada masyarakat, tentunya masyarakat akan sadar kesalahannya tanpa merasa dipersalahkn, diperas, diintimidasi yang mengakibatkan omongan buruk tentang Kepolisian.
Penggunaan Lampu dan Sirine di Jalan
Pada dasarnya Pasal 59 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Jalan menyatakan bahwa untuk kepentingan tertentu, Kendaraan Bermotor dapat dilengkapi dengan lampu isyarat dan/atau sirene. Lampu isyarat terdiri atas warna:
Merah;
Biru; dan
Kuning.
Lampu isyarat warna merah atau biru serta sirene berfungsi sebagai tanda Kendaraan Bermotor yang memiliki hak utama. Lampu isyarat warna kuning berfungsi sebagai tanda peringatan kepada Pengguna Jalan lain. Penggunaan lampu isyarat dan sirene sebagaimana dimaksud pada Pada Pasal 59 ayat (1) dan ayat (2) hanya digunakan kepada personal dan instansi yang diberikan wewenang khusus sebagai berikut:
Lampu isyarat warna biru dan sirene digunakan untuk Kendaraan Bermotor petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia;
Lampu isyarat warna merah dan sirene digunakan untuk Kendaraan Bermotor tahanan, pengawalan Tentara Nasional Indonesia, pemadam kebakaran, ambulans, palang merah, rescue, dan jenazah; dan
Lampu isyarat warna kuning tanpa sirene digunakan untuk Kendaraan Bermotor patroli jalan tol, pengawasan sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, perawatan dan pembersihan fasilitas umum, menderek Kendaraan, dan angkutan barang khusus.
Pasal 59 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalulintas dan Jalan menunjukan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, prosedur, dan tata cara pemasangan lampu isyarat dan sirene diatur dengan peraturan pemerintah. Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalulintas dan Jalan Peraturan Pemerintah nomor 44 tahun 1993 belum diganti, sehingga masih dapat digunakan sebagai petunjuk teknis. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penggunaan lampu isyarat dan sirene Juga diatur oleh peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Sirine jelas tidak dapat disamakan dengan klakson. Walaupun sama – sama mengeluarkan bunyi, fungsi dan keperuntukan keduanya berbeda. Untuk menjelaskan perbedaan fungsi peruntukan masing – masing, dibawah ini akan menjelaskan pengertian klakson dan sirine. Klakson adalah perlengkapan yang melekat pada kendaraan bermotor pada umumnya. Dlama Pasal 70 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kendaraan Bermotor dan Pengemudi, klakson dikategorikan sebagai komponan pendukun yang merupakan bagian dari kontruksi kendaraan bermotor, sama seperti kaca spion, bumper,penghapus kaca (wiper), sabuk pengaman, atau alat pengukur kecepatan untuk kendaraan yang memiliki kemampuan kecepatan 40km/jam atau lebih pada jalan datar.
Klakson merupakan alat untuk berkomunikasi antara pengemudi kendaraan yang satu dengan yang lainnya. Klakson digunakan saat pengemudi ingin"berbicara" atau memberi isarat kepada pengemudi yang lain untuk keselamatan dan keamanan kedua belah pihak, misalnya, ketika hendak mendahului, meminta ruang jalan, dan sebagainya. Karena kegunaannya untuk berkomunikasi antar pengendara, maka klakson seharusnya baru digunakan ketika ada keperluan komunikasi tersebut. Membunyikan klakson tanpa alasan jelas, tak ubahnya seperti orang gila yang bicara sendiri.
Secara umum menggunakan klakson diatur dalam Pasal 71 PP No.43 Tahun 1993 tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan. Dalam ayat 1, dikatakan isyarat peringatan dengan bunyi yang berupa klakson dapat digunakan apabila :
Diperlukan untuk keselamatan lalu lintas,
Melewati kendaraan lain yang ada di depan.
Hanya untuk kepentingan itu saja klakson relevan digunakan. Bahkan dalam ayat 2 Pasal diatas ditentukan larangan menggunakan klakson, yakni ;
Pada tempat – tempat tertentu yang dinyatakan dengan rambu – rambu;
Apabila isyarat bunyi tersebut mengeluarkan suara yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis dan laik jalan kendaraan bermotor.
Mengingat tidak adanya ketentuan yang mengatur kiteria "suara yang tidak sesuai itu". Pasal 74 PP No.44 Tahun 1993 hanya menyebutkan bahawa klakson harus dapat mengeluarkan bunyi yang dalam keadaan bisa dapat didengar pada jarak 60 meter. Pembahasan ini memang tidak jelas. Ukuran "dalam keadaan biasa dapat didengar pada jarak 60 meter" sangat relatif. Misalnya jarak 60 meter kota dengan di desa jelas berbeda. Karena batasan yang relatif itu, ada klakson kendaraan yang bunyinya seperti merintih, dan ada pula yang bunyinya terlalu keras seperti peluit stroom kapal.
Klakson yang ada disetiap kendaraan sebenarnya sudah dirancang oleh pabrik pembuatnya agar terdengar pantas dan sesuai dengan jenis kendaraan. Tetapi, tidak jarang pengendara melakukan modifikasi atau menggati klakson kendaraan agar berbunyi lebih nyaring. Layaknya orang yang berbicara, penggunaan klakson juga mempunyai etika tersendiri yang menunjukan tingkat kesopanan seorang pengendara dalam berkomunikasi dengan pengendara lain. Oleh karena itu, nada klakson harus disesuaikan dengan kondisi pesan yang disampaikan. Jika hanya untuk mendahului, atau meminta ruang jalan, klakson cukup di bunyikan dua tiga kali dengan nada pendek. Klakson dengan nada panjang yang berulang – ulang akan kedengaran seperti orang cerewet atau membentak. Tetapi, jika hendak memberi peringatan terhadap sesuatu yang mungkin mendatangkan bahaya, nada klakson bisa saja disesuaikan.
Penggunaan klakson ini memang sangat tergantung pada pribadi pengendara untuk memilih dan menggunakan klakson yang sesuai dan pantas. Yang jelas, apabila klakson kendaraan terlalu keras, dan para pengendara menggunakan klakson bukan sebatas untuk berkomunikasi antar kendaraan melainkan untuk saling "membentak" dijalan, maka dampak lanjutannya adalah terjadi kebisingan yang justru merugikan mereka sendiri dan para pemakai jalan lain.
Manusia normal mampu mendengar suara berfrekuensi 20 – 20.000Hz ( satuan suara berdasarkan perhitungan jumlah getar sumber bunyi perdetik ) dengan intensitas atau tingkat kekerasan dibawah 80 desibel. Bunyi diatas itu kalau terus menerus dan dipaksakan bisa merusak pendengaran karena bisa mematikan fungsi sel – sel rambut dalam sistem pendengaran.
Gejala awal seringkali tidak dirasakan, kecuali telinga berdengung, kemudia diikuti oleh menurunnya kemampuan pendengaran. Kebisingan suara dijalan yang setiap hari didengar oleh para supir bus pun bisa berdampak buruk bagi pendengaran supir itu sendiri. Ada hasil penelitian yang menyatakan, kemunduran pendengaran pada para manula pun banyak bergantung pada polusi suara atau bunyi yang didengar sepanjang hidupnya. Aratinya, kalau terlalu sering mendengarkan suara – suara bising dan keras, proses fisiologi jaringan otot dalam tubuh manusia akan lebih mudah terganggu.
Selain itu, suara bising yang ditimbulkan pengguna klakson yang berlebihan juga mengakibatkan tekanan psikis atau stres bagi yang mendengarnya, sehingga berpengarush pada tingkat konsentrasi dan emosi para pengendara. Konsentrasi dan emosi pengendara yang terganggu jelas berpotensi menimbulkan kecelakaan lalu lintas. Oleh sebab itu, tidak ada yang menguntungkan dari penggunaan klakson yang berlebihan. Justru sebaliknya, pemakaian klakson tidak pada tempatnya, akan merugikan masyarakat sendiri. Di negara – negara maju yang budaya berlalu lintasnya sudah tinggi, para pengendara kendaraan bermotor tidak pernah menggunakan klakson sembarangan. Klakson baru diguanakan kalau benar – benar sangat di perlukan, itu pun dengan nada pendek yang tidak berulang –ulang. Etika berlalu lintas sangat di jaga. Para pengemudi sangat menghormati satu sama lainya sehingga mengemudikan kendaraan di jalan raya terasa nyaman.
Berbeda dengan klakson yang merupaka alat memberi isyarat dalam berlalu lintas dan merupakan komponen teknis kendaraan bermotor, sirine bukan perlengkapan teknis kendaraan bermotor. Sirine hanyalah alat untuk mengeluarkan bunyi peringatan bahaya. Misalnya sirine peringatan dini sunami, sirine kebakaran dan sebagainya. Berdasarkan Pasal 72 PP No.43 tahun 1993 tentang Prasarana dan Lalu lintas Jalan, isyarat peringatan dengan bunyi yang berupa sirine hanya dapat digunakan oleh :
Kendaraan pemadam kebakaran yang sedang melaksanakan tugas, termasuk kendaraan yang diperbantukan untuk keperluan pemadam kebakaran.
Ambulan yang sedang megangkut oarang sakit.
Kendaraan jenazah yang sedang mengangkut jenazah.
Kendaraan petugas penegak hukum tertentu yang sedang melaksanakan tugas
Kendaraan petugas pengawal kendaraan Kepala Negara atau pemerintah asing yang menjadi tamu negara.
Kemudian dalam Pasal PP 44 Tahun 1993 tentang Kendaraan dan Pengemudi, ketentuan ini diulang lagi. Dijelaskan dalam Pasal 75, isyarat peringatan bunyi berupa sirine hanya boleh dipasang pada kendaraan bermotor :
Petugas penegak hukum tertentu;
Dinas pemadam kebakaran;
Penanggulangan bencana;
Kendaraan ambulan;
Unit palang merah;
Mobil jenazah.
Jadi selain kendaraan yang digunakan untuk keperluan diatas, dilarang menggunakan sirine. Tujuan menggunakan sirine adalah untuk keperluan keamanan, ketertiban, dan kelancaran berlalu lintas, baik bagi kendaraan yang menggunakan atau kendaraan yang berada didalam iring – iringannya maupun pengguna jalan lainnya. Sirine di gunakan agar pengguna alan berhati – hati \, memberi ruang dan jarak serta prioritas jalan kepada kendaraan yang menggunakan sirine.
Selain, sirine dilarang penggunaannya karena mengeluarkan bunyi yang cukup keras, yang tidak sesuai dengan peryaratan teknis kendaraan bermotor seperti dijelaskan dalam Pasal 71 ayat 2 PP No.43 Tahun 1993. Berpedoman pada ketentuan ini, dapat diartikan bahwa yang dilarang bukanlah sirine dalam arti fisik, tapi "bunyi yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis kendaraan bermotor". Artinya, klakson biasa pun apabila mengeluarkan bunyi yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis kendaraan, jelas termasuk yang dilarang. Misalnya, mobil sedan menggunakan klakson bus malam datau truk adatau sebaliknya. Begitu juga klakson yang mengeluarkan bunyi aneh yang berbeda dengan suara klakson pada umumnya, seperti gonggongan anjing, atau suara yang mirip dengan suara sirine. Belakangan di tempat – tempat penjualan peralatan kendaraan memang banyak dipasarkan klakson yang bersuara aneh itu, atau klakson yang mampu mengeluarkan suara sampai 150 desibel.
Sebagaimana sirine yang tidak bisa disamakan dengan klakson, rotator juga tidak dapat disamakan dengan lampu kendaraan biasa. Sebab, fungsi dan peruntukannya berbeda. Dibawah ini dijelaskan pengertian lampu kendaraan dan rotator dan perbedaab peruntukannya. Seperti juga klakson, lampu merupakan perlengkapan melekat dalam tubuh kendaraan bermotor. Tetapi, lampu kendaraan terdiri dari berbagai jenis yang mempunyai fungsi masing – masing.
Dalam ayat 1 Pasal 29 PP No.44 Tahun 1993 tercantum ketentuan bahwa setiap kendaraan bermotor ( kecuali kendaraan bermotor roda dua ) harus dilengkapi dengan lampu – lampu dan alat cahaya yang meliputi :
Lampu utama dekat secara berpasangan;
Lampu utama jauh secara berpasangan, untuk kendaraan bermotor yang mampu mencapai kecepatan 40 km / jam pada jalan datar.
Lampu penunjuk arah secara berpasangan di bagian depan dan belakang kendaraan.
Lampu rem
Lampu posisi depan secara berpasangan.
Lampu posisi belakan secara berpasangan;
Lapu mundur;
Lampu penerangan nomor kendaran bermptor bagian belakang;
Lampu isarat peringatan bahaya;
Lampu tanda batas secara berpasangan, untuk kendaraan bermotor yang lebarnya lebih dari 2.100 milimeter;
Pemantul cahaya berwarna merah secara berpasangan dan tidak berbentuk segi tiga.
Sedangkan lampu sepeda motor diatur dalam Pasal 41, disebutkan, sepeda motor dengan atau tanpa kereta samping harus dilengkapi dengan lampu – lampu pemantul cahaya yang meliputi :
Lampu dekat;
Lampu utama jau, apabila mampu mempunyai kecepatan melebihi 40 km/jam pada jalur datar;
Lampu penunjuk arah depan dan belakang berpasangan;
Satu lampu posisi depan;
Satu lampu posisi belakang;
Satu lampu rem
Satu lampu penerangan tanda nomor kendaraan di belakang;
Satu pemantul cahaya berwarna merah yang tidak berbentuk segi tiga.
Lebih lanjut PP ini menguraikan spesifikasi teknis untuk setiap jenis lampu diatas, baik ukuran, jangkauan penyinaran, warna, ketinggian dan sebagainya. Untuk kendaraan bermotor roda empat dan lebih di uraikan sebagai berikut :
Lampu Utama dekat berjumlah dua buah, berwarna putih atau kuning muda yang dipasang pada bagian muka kendaraan dan dapat menerangi jalan pada malam hari dengan cuaca cerah sekurang – kurangnya 40 meter kedepan kendaraan. Tepi terluar permukaan penyinaran lampu utama dekat dipasang pada ketinggian tidak lebih 1,1250 mm dan tidak boleh melebihi 400 mm dari sisi bagian terluar kendaraan ( Pasal 30 ).
Lampu Utama Jauh berjumlah genap, berwarna putih atau kuning muda yang dipasang pada bagian muka kendaraan. Lampu ini harus dapat menerangi jalan pada malam hari dalam keadaan cuaca cerah sekurang – kurangnya :
60 m untuk kendaraan bermotor yang dirancang dengan kecepatan lebih besar dari 40 km/jam dan tidak lebih dari 100km/jam;
100m untuk kendaraan bermotor yang dirancang dengan kecepatan lebih dari 100km/jam.
Tepi terluar permukaan penyinaran lampu utama jauh dipasang pada ketinggian tidak lebih dari 1,250mm dan tidak boleh lebih dekat ke sisi terluar kendaraan di abandingkan dengan tepi terluar permukaan penyinaran lampu utama dekat. ( Pasal 31 )
Lampu Penunjuk arah ( sein ) berjumlah genap dan mempunyai sinar kelap – kelip berwarna kuning tua dan dapat dilihat pada siang atau malam hari oleh pemakai jalan lain. Lampu penunjuk arah dipasang pada ketinggian tidak melebihi 1,250mm disamping kiri dan kanan bagian depan dan belakang kendaraan bermotor ( Pasal 32 ).
Lampu Rem berjumlah dua buah dan berwarna merah yang mempunyai kekuatan cahaya lebih besar dari cahaya lampu posisi belakang. Lampu rem dipasang pada ketinggian tidak melebih 1,250mm di kiri dan kanan kendaraan ( Pasal 33 ).
Lapu Posisi Depan dipasang di bagaian depan berjumlah dua buah berwarna putih atau kuning muda dan dapat bersatu dengan lampu utama dekat. Lampu ini dipasang pada ketinggian tidak lebih dari 1,250mm dan harus dapat dilihat pd malam hari dengan cuaca cerah pada jarak sekurang – kurangnya 300m dan tidak menyilaukan pemakai jalan lainnya. Tepi terluar permukaan penyinaran lampu posisi depan, tidak boleh melebihi 400m dari sisi terluar kendaraan.( Pasal 34 )
Lampu posisi belakang berjumlah genap, berwarna merah dan dipasang pada bagian belakang kendaraan. Lampu belakang ini dipasang pada ketinggian tidak melebihi 1.250 milimeter dan harus dapat dilihat pada malam hari dengan cuaca cerah pada jarak sekurang-kurangnya 300 meter dan tidak menyilaukan pemakai jalan lainnya. Tepi terluar permukaan penyinaran lampu belakang tidak boleh melebihi 400 milimeter dari sisi bagian terluar kendaraan ((Pasal 35)
Lampu mundur berwarna putih atau kuning muda, tidak menyilaukan atau mengganggu pemakai jalan lain dan dipasang pada ketinggian tidak melebihi 1.250 milimeter dan hanya menya-la apabila penerus daya digunakan untuk posisi mundur. (Pasal 36)
Lampu penerangan tanda nomor kendaraan bermotor bagian belakang dipasang dengan baik sehingga dapat menerangi tanda nomor kendaraan pada malam hari dengan cuaca cerah dan dapat dibaca pada jarak sekurang-kurangnya 50 meter dari belakang. (Pasal 37)
Lampu isyarat peringatan bahaya (yang biasa disebut lampu hazard) menggunakan lampu penunjuk arah yang menyala secara bersamaan dengan sinar kelap-kelip. (Pasal 38)
Lampu tanda batas berjumlah dua buah, berwama putih atau kuning muda dan dipasang di bagian depan kiri atas dan kanan atas kendaraan serta dua buah berwama merah dipasang di bagian belakang kiri atas dan kanan atas kendaraan. (Pasal 39)
Pemantul cahaya berjumlah genap, berwarna merah dan dipasang di bagian belakang kendaraan. Pemantul cahaya ini harus dapat dilihat oleh pengemudi kendaraan lain yang berada di belakangnya pada malam hari dengan cuaca cerah dari jarak sekurang-kurangnya 100 meter, apabila pernantul cahaya tersebut disinari lampu utama kendaraan di belakangnya. Tepi bagian terluar pernantul cahaya tidak boleh melebihi 400 milimeter dari sisi terluar kendaraan. (Pasal 40)
Sementara untuk lampu sepeda motor disyaratkan spesifikasi sebagai berikut:
Lampu utama dekat paling banyak dua buah, berwarna putih atau kuning muda dan dapat menerangi jalan pada malam hari dengan cuaca cerah, sekurang-kurangnya 40 meter ke depan. Jika dilengkapi dengan lebih dari satu lampu utama dekat, harus dipasang berdampingan sedekat mungkin. (Pasal 42)
Lampu utama jauh paling banyak dua buah, berwarna putih atau kuning muda dan dapat menerangi jalan secukupnya pada malam hari dalam keadaan cuaca cerah sekurang-kurangnya 100 meter ke depan. Jika lebih dari satu lampu utama jauh, harus dipasang berdampingan sedekat mungkin. (Pasal 43)
Lampu penunjuk arah berjumlah genap dengan sinar kelap-kelip berwarna kuning tua, dan dapat dilihat pada waktu siang maupun malam hari oleh pemakai jalan lainnya. Lampu ini dipasang secara sejajar di sisi kiri dan kanan bagian muka dan bagian belakang sepeda motor. (Pasal 44)
Lampu posisi depan paling banyak dua buah, berwarna putih atau kuning muda dan harus dapat dilihat pada malam hari dengan cuaca cerah pada jarak sekurang-kurangnya 300 meter dan tidak menyilaukan pemakai jalan lainnya. Jika mempunyai dua lampu posisi depan, harus berdampingan sedekat mungkin. (Pasal 45)
Lampu posisi belakang berjumlah satu berwarna merah yang dapat dilihat pada waktu malam hari dengan cuaca cerah pada jarak sekurang-kurangnya 300 meter dan tidak menyilaukan pemakai jalan lainnya. (Pasal 46)
Lampu rem berwarna merah yang kekuatan cahayanya lebih besardari lampu posisi belakang. (Pasal 47)
Lampu penerangan tanda nomor kendaraan harus dapat menerangi tanda nomor kendaraan sehingga dapat dilihat pada waktu malam hari dengan cuaca cerah pada jarak sekurang-kurangnya 30 meter dari belakang. (Pasal 48)
Pemantul cahaya berwarna merah dan tidak berbentuk segitiga dipasang pada bagian belakang sepeda motor. (Pasal 49)
Dalam Pasal 50 diatur tentang lampu di kereta samping yang dipasang pada sepeda motor roda dua. Lampu kereta samping itu harus dilengkapi:
Di bagian depan dengan lampu posisi depan berwarna putih atau kuning muda;
Di bagian belakang dengan lampu posisi belakangberwarnamerah;
Satu pemantul cahaya berwarna merah dan tidak berbentuk segitiga;
Lampu penunjuk arah berwama kuning tua yang dipasang di sisi kiri bagian depan dan belakang sepeda motor.
Diatur juga lampu posisi depan dan belakang itu harus menyala apabiia lampu posisi belakang sepeda motor dinyalakan. Semua ketentuan tentang lampu sepeda motor roda dua di atas juga berlaku sama terhadap sepeda motor yang mempunyai tiga roda dipasang secara simetris terhadap bidang sumbu sepeda motor yang membujur, dan yang diperlakukan sebagai sepeda motor. Tapi, jika lebar sepeda motor roda tiga tidak melebihi 1.300 milimeter, cukup dilengkapi dengan satu lampu utama dekat dan satu lampu utama jauh.
Selain itu ada lampu tambahan yang bukan bagian dari persyaratan teknis, yaitu lampu kabut. Dalam Pasal 52, diatur bahwa lampu kabut yang dipasang pada kendaraan bermotor berwarna putih atau kuning, dengan jumlah paling banyak dua buah dan titik tertinggi permukaan penyinaran tidak melebihi titik tertinggi permu-kaan penyinaran dari lampu utama dekat. Tepi terluar permukaan penyinaran lampu kabut tidak boleh melebihi 400 milimeter dari sisi terluar kendaraan. Kemudian pada Pasal 53 dinyatakan, lampu kabut tidak boleh menyilaukan atau mengganggu pemakai jalan lain.
Bagi kendaraan yang menggunakan tempelan atau gandengan, seperti truk kontainer, truk atau bus gandeng, mempunyai ketentuan tersendiri pula dalam kelengkapan lampu. Dalam Pasal 54 dijelaskan, kereta gandengan dan kereta tempelan wajib dilengkapi dengan lampu-lampu dan alat pemantul cahaya yang meliputi:
Lampu penunjuk arah secara berpasangan;
Lampu rem secara berpasangan;
Lampu posisi depan secara berpasangan, apabila sisi terluar kereta gandengan melampaui tepi terluar permukaan penyinaran lampu posisi belakang kendaraan penariknya;
Lampu posisi belakang secara berpasangan, apabila lebar kereta gandengan lebih dari 800 m ilimeter;
Lampu penerangan tanda nomor kendaraan di bagianbelakang kendaraan;
Lampu mundur secara berpasangan;
Mat pemantul cahaya berwarna merah, berbentuk segitiga secara berpasangan;
Mat pemantul cahaya berwarna putih yang tidak berbentuk segitiga secara berpasangan. Lampu-lampu berpasangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 41 dan Pasal 54 PP Nomor44 tahun 1993 ini harus:
Dipasang simetris terhadap bidang sumbu tengah memanjang kendaraan;
Simetris dengan sesamanya terhadap bidang sumbu tengah memanjang kendaraan;
Memenuhi persyaratan kalorimetris yang sama;
Mempunyai sifat-sifat fotometris yang sama;
Dipasang pada kendaraan dengan tinggi tidak melebihi 1.250 milimeter dari permukaan jalan. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa sebenarnya sudah ada aturan yang sangat rinci mengenai spesifikasi teknis lampu-lampu kendaraan.
Lampu-lampu kendaraan yang mempunyai spesifikasi seperti di atas diatur pula penggunaannya. Pada Pasal 73 ayat 1 PP 43 tahun 1993 disebutkan, pengemudi kendaraan bermotor waktu malam hari atau waktu lain dalam keadaan gelap, wajib menyalakan lampu yang meliputi:
Lampu utama dekat;
Lampu posisi depan dan posisi belakang;
Lampu tanda nomor kendaraan;
Lampu batas yang diwajibkan bagi kendaraan bermotor tertentu.
Bagi kendaraan besar seperti truk atau bus, harus menggunakan lampu batas berwarna putih atau kuning muda di depan kin atas dan kanan atas kendaraan serta dua buah berwarna merah di belakang kiri atas dan kanan atas kendaraan. Ini dimaksudkan agar pengendara lain dapat mengukur besar kendaraan tersebut, dan bisa memperhitungkan yang posisi aman pada saat hendak mendahului atau berpapasan. Selain itu pengemudi kendaraan bermotorwajib melakukan hal sebagai berikut, seperti dijelaskan Pasal 74 ayat2 PP tersebut:
Menjaga agar lampu pada kendaraannya tetap berfungsi dan tidak menyilaukan pengemudi kendaraan lain;
Menyalakan lampu penunjuk arah pada waktu akan membelok atau berbalik arah;
Menyalakan lampu tanda berhenti bagi pengemudi bus sekolah, waktu menurunkan dan atau menaikkan penumpang;
Menyalakan lampu peringatan berwarna biru bagi pengemudi kendaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72
Menyalakan lampu peringatan berwarna kuning bagi pengemudi kendaraan bermotor untuk penggunaan tertentu atau yang mengangkut barang tertentu.
Sebelumnya, Pasal 74 ayat 1 PP di atas menyebutkan sejumlah larangan bagi pengemudi kendaraan bermotor dalam hal penggunaan lampu, yakni
Menyalakan lampu-lampu dan atau menggunakan lampu selain yang telah diwajibkan kecuali tidak membahayakan atau mengganggu pemakai jalan lain;
Menyalakan lampu utama jauh pada waktu berpapasan dengan kendaraan lain;
Menyalakan lampu kabut pada waktu cuaca terang;
Menutup lampu penunjuk arah, lampu mundur, lampu rem, lampu peringatan bahaya dan lampu tanda berhenti untuk bus sekolah;
Menyalakan lampu peringatan berwama biru atau merah kecuali pengemudi kendaraan yang dimaksud dalam Pasal 72
Pengaturan penggunaan lampu kendaraan, baik berupa perintah dan larangan, mengandung pengertian bahwa setiap pengendara kendaraan bermotor wajib melakukan aktivitas berkendaraan yang aman bagi dirinya dan pengendara lain, serta bagi masyarakat pengguna jalan pada umumnya. Artinya, setiap pengendara mempunyai kewajiban mewujudkan lalu lintas yang aman, tertib dan lancar. Tidak hanya pengemudi kendaraan, pengelola jalan atau masyarakat pun mempunyai kewajiban sama. Dalam Pasal 75 PP ini dinyatakan, Dilarang menempatkan lampu atau alat yang dapat meman-tulkan atau menyinarkan cahaya di permukaan, di tepi atau di atas jalan yang menyilaukan pengemudi atau menyerupai isyarat yang diberikan oleh alat pemberi isyarat lalu lintas.
Selain lampu dengan sinar menyilaukan, lampu kendaraan dengan cahaya yang berkelap-kelip juga dilarang digunakan. Dalam Pasal 65 PP44 tahun 1993 ditegaskan, Dilarang memasang lampu pada kendaraan bermotor, kereta gandengan atau kereta tempelan yang menyinarkan:
Cahaya kelap-kelip, selain lampu penunjuk arah dan lampu isyarat peringatan bahaya;
Cahaya berwarna merah ke arah depan;
Cahaya berwarna putih ke arah belakang kecuali lampu mundur.
Lampu isyarat peringatan bahaya yang dimaksud adalah lampu kelap-kelip warna kuning yang lazim disebut lampu hazard. Biasanya lampu ini menyatu dengan lampu sein pada kendaraan. Rotator merupakan perlengkapan tambahan dan bukan komponen utama yang menyatu kendaraan, seperti halnya lampu-lampu lainnya yang menjadi persyaratan teknis sebuah kendaraan. Lampu rotator adalah iampu yang khusus digunakan sebagai isyarat peringatan bahaya yang apabila dinyalakan akan memancarkan cahaya yang berputar-putar (rotate). Penggunaan Iampu isyarat peringatan bahaya in! dibatasi pada kendaraan dengan kriteriatertentu.
Ada dua jenis rotator yang dibedakanberdasarkanwarna, yakni kuning dan biru. PP 44 Tahun 1993 mengatur penggunaan rotator dengan ketentuan sebagai berikut. Dalam Pasal 66 disebutkan, Iampu isyarat berwarna biru hanya boleh dipasang pada kendaraan bermotor:
Petugas penegak hukum tertentu;
Dinas pemadam kebakaran;
Penanggulangan bencana;
Ambulans;
Unit palang merah;
Mobil jenazah.
Sementara Pasal 67 dijelaskan penggunaan lampu isyarat berwarna kuning hanya boleh dipasang pada kendaraan bermotor:
Untuk membangun, merawat, atau membersihkan fasilitas umum;
Untuk menderek kendaraan;
Pengangkut bahan berbahaya dan beracun, limbah bahan berbahaya dan beracun, peti kemas dan alat berat;
Yang mempunyai ukuran lebih dari ukuran maksimum yang diperbolehkan untuk dioperasikan di jalan;
Milik instansi pemerintah yang dipergunakan dalam rangka keamanan barang yang diangkut.
Para pengemudi kendaraan yang termasuk salah satu dari kategori di atas diwajibkan untuk menggunakan dan menyalakan lampu rotator, seperti diatur dalam Pasal 74 ayat 2 huruf "d" PP Nomor 43 Tahun1993. Sebaliknya, Pasal 74 ayat 1 huruf "e" PP di atas, melarang penggunaan lampu peringatan berwarna biru atau merah, kecuali bagi pengemudi kendaraan yang dimaksud dalam Pasal 72.
Pada dasarnya, menggunakan sarana dan prasana jalan untuk keperluan berlalu lintas adalah hak asasi setiap orang. Semua orang mempunyai hak yang sama untuk menggunakan jalan untuk berlalu lintas. Tidak ada seorang pun mempunyai hak untuk diutamakan, kecuali didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peraturan perundang-undangan yang ada memberikan peluang bagi orang tertentu atau kendaraan yang digunakan bagi keperluan tertentu mendapatkan prioritas menggunakan jalan untuk berlalu lintas. Hak utama itu diatur dalam PP Nomor 43 Tahun 1993. Dalam Pasal 65 ayat 1 disebutkan, pemakai jalan wajib mendahulukan sesuai urutan prioritas sebagai berikut:
Kendaraan pemadam kebakaran yang sedang melaksanakan tugas;
Ambulans mengangkut orang sakit;
Kendaraan untuk memberi pertolongan pada kecelakaan lalu lintas;
Kendaraan Kepala Negara atau Pemerintah Asing yang menjadi tamu negara;
Iring-iringan pengantaran jenazah;
Konvoi, pawai atau kendaraan orang cacat;
Kendaraan yang penggunaannya untuk keperluan khusus atau mengangkut barang-barang khusus.
Semua kendaraan tersebut di atas wajib didahulukan dalam berlalu lintas. Kendaraan yang mendapatkan prioritas tersebut, berdasarkan ayat 2 Pasal 65 PP di atas, harus disertai denganpeng-awalan petugas yang berwenang atau dilengkapi dengan isyarat atau tanda-tanda lain. Dalam ayat 3 ditegaskan lagi, petugas yang berwenang melakukan pengamanan apabila mengetahui adanya pemakai j'alan yang diprioritaskan tersebut.
Dalam ayat 4 ditambahkan, perintah atau larangan yang dinyatakan dengan alat pemberi isyarat lalu lintas tentang isyarat berhenti tidak diberlakukan kepada ken-daraan-kendaraan tersebut, kecuali kendaraan yang dimaksuddalam huruf T dan "g", yakni konvoi orang cacat atau kendaraan untuk keperluan khusus atau yang mengangkut barang khusus. Berkaitan dengan pengawalan ini perlu dijelaskan pihakmana yang mempunyai kewenangan melakukan pengawalan terhadap kendaraan atau iring-iringan kendaraan di jalan.
Dalam Pasal 65 ayat 3 PP Nomor 43 Tahun 1993 tercantum kata "melakukanpengamanan". Esensi dari pengawalan tidak lain memang memberikan pengamanan, baik terhadap kendaraan yang dikawal, maupun pengguna jalan lain yang berada di sekitar kendaraan yang dikawal. Karena menyangkut "pengamanan", pihak yang paling berwenang adalah Polri. Karena pengamanan adalah bagian dari tugas pokok Polri. Dalam Pasal 14 ayat 1 huruf "a" UU Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia disebutkan, dalam melaksanakan tugas pokoknya, Polri bertugas melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan pat roll terhadap kegiatanmasyarakatdanpemerintahsesuaikebutuhan. Di huruf "b" ditambahkan, Polri menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan.
Penyebutan istilah "petugas yang berwenang" dalam ayat 2 dan 3 dalam Pasal 65 PP Nomor 43 Tahun 1993 di atas, jelas menunjuk kepada petugas kepolisian, karena berdasarkan Undang-Undang hanya polisi mempunyai kewenangan melakukan pengaturan, penjagaan, pengawalan dan pat roll. Tidak ada Undang-Undang lain yang memberikan kewenangan demikian kepada instansi lain di luar kepolisian.
Namun, khusus bagi kepala negara, pengawalan dilakukan oleh Pasukan Pengamanan Presiden (Paspamres). Dalam Pasal 7 Ayat 7 UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, disebutkan mengamankan Presiden dan Wakil Presiden beserta keluarganya merupakan salah satu tugas pokok TNI dalam melakukan Operasi Militer Selain Perang.
Paspamres, berdasarkan Pasal 4 Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 2004 tentang Pengamanan dan Pengawalan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, juga bertanggungjawab memberikan pengawalan serupa juga kepada presidendan wakil presiden terpilih hasil Pemilu Presiden yang menjadi peserta pemilihan umum presiden, terhitung sejak KPU menetapkan secara resmi pasangan Presiden dan Wakil Presiden terpilih.
Sementara, sesuai Pasal 2 Keppres di atas, pengawalan terhadap calon presiden dan calon wakil presiden peserta Pemilu Presiden dilakukan oleh Polri, terhitung sejak diumumkannya calon Presiden dan calon Wakil Presiden secara resmi oleh KPU sampai dengan terpilihnya pasangan Presiden dan Wakil Presiden. Pengawalan terhadap kendaraan atau iring-iringan kendaraan di jalan yang dilakukan oleh petugas kepolisian dan/atau Paspamres mempunyai dasar legalitas yang kuat. Sehingga jika terj'adi masalah yang tidak diinginkan dalam pengawalan, petugas pengawal maupun orang yang dikawal mendapat perlindungan hukum dari Undang-Undang. Sebaliknya, tidak ada dasar hukum yang jelas terhadap pengawalan yang dilakukan oleh selain petugas kepolisian. Pengawalan seperti itujelas merupakan pelanggaran hukum.
Melakukan pengawalan di jalan dengan sendirinya disertai pengenaan kewajiban kepada pengguna jalan lain untuk mem-berikan prioritas kepada kendaraan yang dikawal. Padahal, meng-gunakan jalan umum merupakan haksetiap orang. Berarti pada saat berhadapan dengan kendaraan yang dikawal, hak masyara-kat menggunakan jalan tersebut "dirampas" untuk sementara. Misalnya, kendaraan dalam pengawalandapatterus melaju mes ki lampu lalu lintas dalam keadaan merah, sementara pengguna jalan lain yang seharusnya berjalan karena lampu lalu lintas di posisi mereka sudah menyala hijau, dipaksa harus berhenti.
Untuk melakukan pemaksaan kepada masyarakat tersebut diperlukan dasar hukum yang jelas, dan harus dilakukan oleh petugas yang mempunyai wewenang untuk itu. Kalau tidak, pemaksaan akan menjadi pelanggaran hukum, karena merupakan perampasan hak orang lain secara tidak sah. Sedangkan petugas yang melakukan pemaksaan itu telah melakukan sesuatu yang di luar wilayah kewenangannya.
Instansi yang mempunyai dasar hukum untuk melakukan pemaksaan tersebut adalah Polri. Dalam Pasal 34 ayat 1 PP Nomor 43 Tahun 1993 ditegaskan bahwa dalam keadaan tertentu petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat melakukan tindakan:
memberhentikan arus lalu lintas dan/atau pemakai jalan tertentu;
memerintahkan pemakai jalan untuk jalan terus;
mempercepat arus lalu lintas;
memperlambat arus lalu lintas;
mengubah arah arus lalu lintas.
"Keadaan tertentu" yang dimaksud dalam ayat tersebut bisa dalam berbagai bentuk, termasuk di antaranya "keadaan tertentu yang diakibatkan pengawalan". Lalu bagaimana menentukan kriteria "keadaan tertentu" dalam PP di atas, dan kriteria "sesuai kebutuhan" dalam UU Kepolisian itu sehingga petugas kepolisian bisa melakukan tindakan seperti di atas. Dalam Pasal 18 UU Kepolisian dikatakan, untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. "Bertindak menurut penilaiannya sendiri" itu biasa disebut dengan istilah wewenang Diskresi Kepolisian. Satu-satu-nya instansi yangmemiliki kewenangan diskresi berdasarkan Undang-undang hanyalah Polri. Tidak ada satu lembaga pun di negara ini yang mempunyai kewenangan demikian.
Dalam Pasal 34 Ayat 2 PPNomor43Tahun1993ditekankan, pemakai jalan wajib mematuhi perintah yang diberikan oleh petugas polisi. Pada ayat 2 dipertegas lagi, perintah yang diberikan oleh petugas polisi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, wajib didahulukan daripada perintah yang diberikan oleh alat pemberi isyarat lalu lintas. Artinya, jika petugas kepolisian memerintahkan pengguna jalan untuk berhenti, dia harus berhenti walaupun alat pemberi isyarat lalu lintas atau rambu-rambu memerintahkan untuk berjalan. PP Nomor 43 Tahun 1993 sudah membatasi hanya tujuh jenis penggunaan kendaraan yang boleh diprioritaskan dan mendapat pengawalan di jalan. Di luar itu tidak ada yang berhak, dan apabila melakukannya juga berarti merupakan pelanggaran hukum.
Pengaturan tersebut sesungguhnya sangat mengutamakan kepentingan masyarakat. Sebab, dari tujuh jenis penggunaan kendaraan itu, lima di antaranya adalah kendaraan yang secara langsung digunakan untuk kepentingan masyarakat, yakni pemadam kebakaran, ambulan, kendaraan yang menolong kecelakaan lalu lintas, kendaraan jenazah, dan kendaraan pawai orang cacat. Hanya satu yang secara langsung mengutamakan kepentingan pemerintah, yakni kendaraan kepala negara dan tamu negara. Satunya lagi, kendaraan untuk keperluan khusus atau mengangkut barang khusus, bisa menyangkut kepentingan kedua belah pihak.
Berdasarkan penjelasan terdahulu dapat disimpulkan bahwa berbagai peraturan yang ada telah memberikan ketentuan yang sangat rinci tentang fungsi, spesifikasi dan tatacara penggunaan klakson dan lampu kendaraan. Peraturan-peraturan tersebut juga telah menarik garis yang tegas untuk membedakan antara klakson dan sirine. Walaupun keduanya sama-sama mengeluarkan bunyi untuk isyarat per-ingatan, tetapi sirine hanya digunakan untuk memberi isyarat peringatan bahaya.
Demikian pula dengan lampu rotator. Peraturan yang berlaku memberikan batas yang jelas untuk membedakan lampu rotator dengan lampu kendaraan umumnya yang merupakan bagian dari persyaratan teknis kendaran bermotor. Sirine dan rotator tidak bisa digunakan oleh sembarang kendaraan dan sembarang orang. Penggunaan sirine dan rotator memerlukan persyaratan dan kondisi yang khusus.
Seperti diuraikan di muka, sirine hanya boleh digunakan oleh kendaraan pemadam kebakaran yang sedang bertugas (termasuk kendaraan yang diperbantukan untuk pemadaman kebakaran), ambulan yang sedang mengangkut orang sakit, kendaraan jenazah yang sedang mengangkut jenazah, kendaraan petugas penegak hukum tertentu yang sedang bertugas, kendaraan petugas pengawal kendaraan kepala negara atau tamu negara, serta kendaraan palang merah.
Sementara penggunaan lampu rotator hanya boleh digunakan oleh petugas penegak hukum tertentu, pemadam kebakaran, kendaraan penanggulangan bencana, ambulan, kendaraan palang merah, mobil jenazah, kendaraan yang digunakan untuk membangun atau merawat fasilitas umum, menderek kendaraan, peng-angkut bahan berbahaya dan beracun, limbah bahan berbahaya dan beracun, peti kemas dan alat berat, kendaraan yang mempunyai ukuran lebih dari ukuran maksimum yang di-perbolehkan untuk di-operasikan di jalan, serta kendaraan milik instansi pemerintah yang dipergunakan dalam rangka keamanan barang yang diangkut.
Selain berhak, kendaraan dengan kategori di atas diwajibkan menggunakan rotator sesuai warna yang ditetapkan apabila melakukan aktivitas berfalu lintas.
Dalam beberapa hal, penggunaan sirine dan rotator juga berkait erat dengan pemberian hak utama atau prioritas dalam berlalu lintas kepada kendaraan tertentu. Kendaraan yang diprioritaskan sesuai urutannya adalah pemadam kebakaran, ambulan, kendaraan yang member! pertolongan pada kecelakaan lalu lintas, kendaraan Kepala Negara atau tamu negara, iring-iringan mobilj'enazah, konvoi kendaraan orang cacat, dan kendaraan untuk keperluan khusus atau mengangkut barang khusus.
Kendaraan-kendaraan tersebut mendapatkan hak utama dalam berlalu lintas dan pemakai jalan lain wajib memberikan prioritas jalan kepada mereka. Karena mereka mendapatkan hak utama, maka mereka juga berhak mendapatkan pengawalan, demi menjamin keamanan bagi kendaraan yang dikawal atau masya-rakat pengguna jalan lainnya. Peraturan yang ada telah memberi kriteria tentang siapa saja yang boleh mendapatkan pengawalan dan siapa saja yang berwenang memberikan pengawalan.
Berdasarkan peraturan perundang-undangan, kewenangan untuk memberikan pengawalan di jalan hanya dimiliki oleh petugas kepolisian. Oleh sebab itu, jika ada instansi lain di luar kepolisian yang melakukan hal tersebut, maka perbuatan itu dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum dan merupakan perampasan hak masyarakat menggunakan jalan. Meskipun sudah ada ketentuan yang sangat jelas dan rinci mengenai spesifikasi dan penggunaan lampu, sirine, rotator serta tatacara dan kriteria pengawalan di jalan ray a, para pengendara kendaraan bermotor belum sepenuhnya mengetahui dan mematuhi semua ketentuan tersebut. Aktivitas berlalu lintas sehari-hari masih ditandai dengan berbagai pelanggaran terhadap ketentuan tersebut yang dilakukan oleh hampir semua lapisan masyarakat.
Banyak ditemui mobil yang lampu utamanya hanya menyala satu, sinarnya terlalu terang dan menyilaukan pengendara di depannya, terlalu redup, tidak simetris, tidak mempunyai kekuatan pancaran sinar yang sama, dan sebagainya. Ada pula pemilik kendaraan modifikasi lampu utama yang seharusnya berwarna putih atau kuning muda menjadi kebiru-biruan. Banyak pula yang mengganti posisi lampu rem, lampu mundur atau lampu sein, sehingga lampu rem berwarna kuning, lampu sein berwarna merah dan seterusnya.
Sirine dan rotator juga banyak digunakan pada kendaraan-kendaraan yang tidak berhak menggunakannya. Ada orang-orang tertentu yang memasang dan menggunakan sirine dan lampu rotator kendaraan mereka. Sirine dan lampu rotator dianggap sebagai asesori kendaraan yang menambah kesan gagah pada kendaraan dan orang yang mengendarainya. Bahkan ada yang beranggapan bahwa sirine tidak ada bedanya dengan klakson, dan rotator sama saja dengan lampu biasa, sehingga bisa digunakan sesuka hati seperti halnya menggunakan klakson dan lampu kendaraan.
Mereka seperti tidak tahu, atau tidak mau tahu, bahwa sirine dan lampu rotator mempunyai arti khusus, diatur secara khusus, dan digunakan secara khusus pula. Artinya, tidak sembarang orang dan sembarang kendaraan boleh menggunakan sirine dan rotator. Sirine jelas tidak bisa disamakan dengan klakson. Sebab, fungsi dan peruntukan keduanya berbeda. Begitu juga dengan lampu rotator, tidak sama dengan lampu biasa kendaraan yang melekatsebagai instrumen kendaraan. Namun, yang lebih menggelisahkan para pemakai jalan pada umumnya, adalah perilaku berkendara orang-orang yang menggunakan sirine dan lampu rotator di kendaraan mereka. Kendaraan seperti itu kerapkali melaju dengan kecepatan tinggi, zig-zag, meraung-raung dengan bunyi sirene yang memekakkan telinga, atau menyalakan lampu rotator yang menyilaukan mata.
Begitu juga dengan penegasan Undang-Undang bahwa hanya aparat kepolisian yang berwenang melakukan pengawalan dalam lalu lintas di jalan, nyatanya banyak diabaikan. Berbagai kelompok di masyarakat sering melakukan pengawalan terhadap orang-orang yang mereka anggap penting. Bahkan yang lebih meng-khawatirkan, instansi pemerintah pun kerap terlihat melakukan pengawalan terhadap kendaraan pejabat. Disebut mengkhawatirkan, karena instansi pemerintah seharusnya menunjukkan keteladanan dalam mematuhi hukum dan peraturan yang justru dibuat oleh pemerintah sendiri.
Pada dasarnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, adalah Undang-Undang pidana karena mengatur sanksi-sanksi pidana bagi pelanggarnya. Dalam Pasal 59 huruf "d" UU LLAJ ini ditegaskan, pengemudi kendaraan bermotor pada waktu mengemudikan kendaraan bermotordijalan, wajib mematuhi ketentuan tentang kelas jalan, rambu-rambu dan marka jalan, alat pemberi isyarat lalu lintas, waktu kerja dan waktu istirahat pengemudi, gerakan lalu lintas, berhenti dan parkir, persyaratan teknis dan laik jalan kendaraan bermotor, peringatan dengan bunyi dan sinar, kecepatan maksimum dan atau minimun, tata cara peng-gandengan dan penempelan dengan kendaraan lain.
Bagi pengemudi yang melanggar kewajiban tersebut, menurut Pasal 287 UU LLAJ, Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang melanggar ketentuan mengenai penggunaan atau hak utama bagi Kendaraan Bermotor yang menggunakan alat peringatan dengan bunyi dan sinar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, Pasal 106 ayat (4) huruf f, atau Pasal 134 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
Demikian pula terhadap pengawalan di jalan. Masyarakat memang sudah terlanjur salah kaprah dalam soal ini. Walaupun PP Nomor 43 Tahun 1993 sudah membatasi hanya tujuh jenis peng-gunaan kendaraan yang boleh diprioritaskan dan mendapat pengawalan, tapi sebagian masyarakat merasa boleh memberi awalan atau mendapatkan pengawalan dalam berlalu lintas di jalan.
Terhadap hal ini pun Polri melakukan penertiban agar Polri tidak dipersalahkan karena membiarkan pelanggaran hukum. Persoalan yang dihadapi Polri dalam menertibkan pengawalan ini adalah karena yang banyak melakukan pengawalan itu adalah instansi pemerintah sendiri. Seperti diketahui, banyak pejabat pemerintah yang mendapatkan pengawalan di jalan. Sebagian memang sudah dikawal oleh petugas Polantas, tapi masih banyak pula yang dikawal oleh petugas yang bukan polisi. Kendaraan pejabat tinggi di pemerintahan daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, banyak yang dikawal oleh petugas DLLAJ setempat.
Sebetulnya, untuk pejabat pemerintah, PP Nomor 43 Tahun 1993 secara eksplisit hanya mengizinkan kepala negara (presiden dan wakil presiden) dan tamu negara yang boleh mendapatkan pengawalan di jalan. Pengawalan juga diberikan kepada calon presiden dan calon wakil presiden, sesuai Keppres Nomor 31 Tahun 2004.
Pengawalan terhadap presiden dan wakil presiden serta tamu negara, sesuai aturan protokoler kenegaraan, dilakukan oleh Paspamres. Sementara untuk pejabat selain presiden dan wakil presiden, PP di atas tidak menyebut secara eksplisit. Namun, kendaraan pejabat bisa digolongkan sebagai "kendaraan yang penggunaannya untuk keperluan khusus" seperti diatur dalam Pasal 61 ayat 1 huruf "g" PP di atas. Tetapi, tentu saja, "untuk keperluan khusus" itu tidak dalam arti yang seluas-luasnya, melainkan dibatasi pada keperluan khusus yang menyangkut kepentingan umum dan pemerintah saja. Pembatasan pengertian ini sangat penting, agar tidak semua keperluan dianggap sebagai keperluan khusus dan berhak meminta pengawalan di jalan kepada Polantas.
Selain kesadaran para pejabat untuk tidak dikawal oleh aparat selain Polantas, Polantas sendiri pun harus konsisten terhadap semua peraturan tersebut. Poiri tidak boleh menolak permintaan pengawalan dari pejabat dan instansi pemerintah sejauh menyangkut keperluan khusus. Sebaliknya, Poiri harus menolak permintaan pengawalan dari siapa pun yang tidak termasuk kriteria dapat dikawal di jalan.
Dukungan masyarakat dalam penegakan hukum jelas sangat menentukan, termasuk dalam menertibkan pemakaian sirine, rotator atau pengawalan di jalan. Seperti dikatakan di bagian terdahulu, pengaturan PP ini dalam pemberian prioritas jalan sesungguhnya sangat mengutamakan kepentingan masyarakat. Sebab, dari tujuh jenis penggunaan kendaraan yang wajib diprioritaskan itu, lima di antaranya adalah kendaraan yang secara langsung digunakan untuk kepentingan masyarakat.
Hanya satu yang secara langsung mengutamakan kepentingan pemerintah, yakni kendaraan kepala negara dan tamu negara. Satunya lagi, kendaraan untuk keperluan khusus atau mengangkut barang khusus, bisa menyangkut kepentingan kedua belah pihak. Oleh sebab itu, masyarakat harus menyadari bahwa jika ada pelanggaran dalam penggunaan hak utama di jalan, maka yang paling dirugikan adalah masyarakat sendiri. Apabila penggunaan sirine dan rotator secara sembarangan sudah menjadi kebiasaan, maka bisa jadi penggunaan penggunaan sirine atau isyarat tersebut akan diabaikan oleh masyarakat. Pengendara yang mendengar bunyi sirine meraung-raung akan mengacuhkannya, karena menduga itu dibunyikan oleh pengendara biasa, padahal bunyi itu berasal dari kendaraan pemadam kebakaran atau ambulan.
Masyarakat juga harus bersikap kritis terhadap pengawalan di jalan. Jika pengawalan diberikan terhadap kendaran yang tidak berhak, atau dilakukan oleh petugas selain Polantas, masyarakat harus memandang hal itu sebagai pelanggaran hukum. Sementara pengguna jalan yang terkena dampak pengawalan ilegal itu, dapat menganggap hal itu sebagai perampasan haknya dalam menggunakan jalan.
Petugas yang bukan polisi yang melakukan pengawalan pun terkena ancaman pidana, karena perbuatannya dapat dianggap sebagai "memaksa seseorang dengan menyalahgunakan jabatannya' sebagaimana diatur dalam Pasal423 KUHP. Perbuatan tersebut diancam dengan dengan pidana penjara paling lama enam tahun. Masyarakat yang merasa dirampas haknya dapat mengadukan hal itu kepada polisi.
Penegasan bahwa hanya polisi yang memiliki kewenangan melakukan pengawalan, disamping untuk kepentingan penegakan hukum, dan untuk kepentingan masyarakat sendiri. Sebab, substansi dari pengawalan di jalan yang dilakukan polisi adalah untuk menjamin keamanan dan ketertiban masyarakat dalam berlalu lintas. Jika pengawalan dilakukan oleh instansi selain polisi, peluang terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban sangatterbuka lebar.
Coba bayangkan jika terjadi peristiwa seperti ini, Petugas selain polisi yang sedang melakukan pengawalan harus menghentikan pemakai jalan lain untuk memberikan prioritas kepada kendaraan yang dikawalnya. Tetapi, para pemakai jalan mengabaikan perintah itu, karena merasa petugas tersebut tidak berhak menyuruhnya berhenti. Jika demikian yang terjadi, besar kemungkinan akan terjadi tabrakan atau kecelakaan. Sementara si pemakai jalan yang menolak berhenti itu tidak bisa dipersalahkan, karena secara hukum dia tidak mempunyai kewajiban mematuhi perintah sipengawal.
Oleh sebab itu, penertiban penggunaan rotator, sirine dan pengawalan ilegal itu seharusnya menjadi tanggungjawab bersama. Penertiban yang dilakukan Polri ini seyogianya tidak dipandang sebagai perebutan kewenangan atau kepentingan, melainkan semata-mata soal penegakan hukum dan menjamin dihormatinya hak asasi manusia dalam berlalu lintas. Kesemrawutan lalu lintas terjadi akibat akumulasi berbagai faktor yang tidak sejalan. Oleh karenanya, penertiban ini tidaklah bisa mengatasi kesemrawutan tersebut. Namun, kesemrawutan akan semakin sulit diuraikan, jika berbagai pelanggaran hukum dibiarkan tanpa ada usaha untuk meluruskannya.
BAB VII
PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR
Prosedur Uji Berkala Bagi Kendaraan Bermotor
Pengujian Kendaraan Bermotor adalah serangkaian kegiatan menguji dan/atau memeriksa bagian atau komponen Kendaraan Bermotor, Kereta Gandengan, dan Kereta Tempelan dalam rangka pemenuhan terhadap persyaratan teknis dan laik jalan, berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2012 Tentang Kendaraan.
Pelaksanaan pengujian kendaraan bermotor bersifat pelayanan umum dan lebih diutamakan pada pertimbangan menyangkut aspek keselamatan secara teknis terhadap pengguna/kendaraan bermotor di jalan sampai pada tujuannya dan kelestarian lingkungan dari kemungkinan pencemaran yang diakibatkan oleh kendaraan bermotor yang digunakan di jalan, sehingga tidak untuk mencari keuntungan materil.
Pengaturan dan pembinaan kendaraan maupun pengemudi tersebut tidak dapat dipisahkan dari sistem lalu lintas dan angkutan jalan yang secara keseluruhan merupakan bagian tidak terpisahkan dari sistem transportasi nasional. Pada kenyataannya, kegiatan pengaturan dan pembinaan tersebut menuntut keterlibatan serta dukungan berbagai instansi pemerintah maupun masyarakat yang mempunyai kaitan tugas dengan bidang lalu lintas dan angkutan jalan. Untuk mencapai daya guna dan hasil guna yang optimal, diperlukan adanya pengaturan dan pembinaan secara terpadu, menyeluruh dan berkesinambungan. Hal ini dapat dicapai jika kegiatan pengaturan dan pembinaan pada masing-masing instansi pemerintah tersebut terkoordinasi secara utuh, tertib, teratur dan sinergenik antara satu dengan lainnya, tanpa mengurangi tugas dan tanggung jawab masing-masing instansi.
Di dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2012 Tentang Kendaraan diatur kewajiban pemilik untuk mendaftarkan kendaraan bermotornya, dalam rangka mengumpulkan data yang dapat digunakan untuk tertib administrasi, pengendalian kendaraan bermotor yang dioperasikan di Indonesia, mempermudah penyidikan pelanggaran atau kejahatan yang menyangkut kendaraan yang bersangkutan, serta dalam rangka perencanaan kendaraan yang bersangkutan, serta dalam rangka perencanaan, rekayasa dan manajemen lalu lintas dan angkutan jalan, dan memenuhi kebutuhan data lainnya dalam rangka perencanaan pembangunan nasional.
Sasaran pengujian kendaraan bermotor meliputi kegiatan memeriksa, mencoba dan meneliti diarahkan kepada setiap kendaraan bermotor wajib uji berkala secara keseluruhan pada bagian-bagian kendaraan secara fungsional dalam sistem komponen serta dimensi teknisnya baik berdasarkan ketentuan yang berlaku. Kendaraan bermotor yang wajib uji berkala untuk memenuhi ambang batas laik jalan yang sesuai dengan ketentuan Pasal 64 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2012 Tentang Kendaraan meliputi :
Emisi gas buang;
Kebisingan suara;
Efisiensi sistem rem utama;
Efisiensi sistem rem parkir;
Kincup roda depan;
Suara klakson;
Daya pancar dan arah sinar lampu utama;
Radius putar;
Akurasi alat penunjuk kecepatan;
Kesesuaian kinerja roda dan kondisi ban; dan
Kesesuaian daya mesin penggerak terhadap berat Kendaraan.
Pengujian kendaraan bermotor meliputi meliputi dua pengujian yaitu Uji Tipe dan Uji Berkala. Berdasarkan Pasal 1 angka 10 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2012 Tentang Kendaraan Uji Tipe Kendaraan Bermotor adalah pengujian yang dilakukan terhadap fisik Kendaraan Bermotor atau penelitian terhadap rancang bangun dan rekayasa Kendaraan Bermotor, Kereta Gandengan atau Kereta Tempelan sebelum Kendaraan Bermotor dibuat dan/atau dirakit dan/atau diimpor secara massal serta Kendaraan Bermotor yang dimodifikasi. Sedangkan Uji Berkala adalah Pengujian Kendaraan Bermotor yang dilakukan secara berkala terhadap setiap Kendaraan Bermotor, Kereta Gandengan, dan Kereta Tempelan, yang dioperasikan di jalan.
Dalam pelaksanaan pengujian jenis Kendaraan Bermotor dibagi ke dalam kategori:
L1, L2, L3, L4 dan L5 untuk Sepeda Motor;
M1 untuk Mobil Penumpang;
M2 dan M3 untuk Mobil Bus; dan
N1, N2, N3, O1, O2, O3, dan O4 untuk Mobil Barang.
Pengujian Kendaraan Bermotor dilakukan oleh unit pelaksana pengujian Kendaraan Bermotor yang memiliki:
Prasarana dan peralatan pengujian yang akurat, sistem dan prosedur pengujian, dan sistem informasi manajemen penyelenggaraan pengujian; dan
Tenaga penguji yang memiliki sertifikat kompetensi penguji kendaraan bermotor.
Proses Uji Berkala Bagi Kendaraan Bermotor
Berdasarkan Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan dapat diketahui bahwa pelaksanaan pengujian kendaraan bermotor terbagi menjadi dua yaitu uji tipe kendaraan dan uji berkala. Uji tipe terdiri atas pengujian fisik untuk pemenuhan persyaratan teknis dan laik jalan yang dilakukan terhadap landasan Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Bermotor dalam keadaan lengkap; dan penelitian rancang bangun dan rekayasa Kendaraan Bermotor yang dilakukan terhadap rumah-rumah, bak muatan, kereta gandengan, kereta tempelan, dan Kendaraan Bermotor yang dimodifikasi tipenya.
Berdasarkan hal tersebut jelas bahwa jenis pengujian tipe hanya ditujukan untuk mengetahui pembaharuan tipe suatu kendaraan. Pengujian berkala meliputi kegiatan pemeriksaan dan pengujian fisik Kendaraan Bermotor; dan pengesahan hasil uji. Pemeriksaan dan pengujian fisik mobil penumpang umum, mobil bus, mobil barang, kendaraan khusus, kereta gandengan, dan kereta tempelan meliputi pengujian terhadap persyaratan teknis dan laik jalan.
Secara khusus pengujian terhadap persyaratan teknis meliputi susunan kendaraan bermotor, perlengkapan kendaraan bermotor, ukuran kendaraan bermotor, karoseri kendaraan bermotor, dan rancangan teknis kendaraan bermotor sesuai dengan peruntukannya. Kemudian pengujian terhadap persyaratan laik jalan sekurang-kurangnya harus meliputi beberapa pengujian seperti meliputi uji emisi gas buang Kendaraan Bermotor, uji tingkat kebisingan, uji kemampuan rem utama, uji kemampuan rem parkir, uji kincup roda depan, uji kemampuan pancar dan arah sinar lampu utama, uji akurasi alat penunjuk kecepatan; dan uji kedalaman alur ban.
Pengujian berkala yang dilakukan setiap 6 (enam) bulan sekali, yang dilaksanakan di Gedung Pengujian Kendaraan Bermotor sesuai dengan alamat pemilik atau peruntukan kendaraan. Ketentuan dan syarat melakukan pengujian kendaraan bermotor, yaitu harus melengkapi:
Surat Tanda Uji Kendaraan (STUK) beserta fotocopynya;
Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) beserta fotocopynya;
Bagi kendaraan penumpang/Bis Umum harus melengkapi asli kartu pengawasan;
Biaya Retribusi sesuai tarif.
Kendaraan beserta pengemudinya datang ke lokasi pengujian.
Pemegang/pemilik kendaraan bermotor melapor pada loket I untuk mendapatkan formulir permohonan uji bagi kendaraan wajib uji dengan melengkapi surat-surat kendaraan bagi wajib uji antara lain:
Surat Tanda Uji Kendaraan (STUK) beserta fotocopynya;
Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) beserta fotocopynya;
Bagi kendaraan penumpang/bis umum harus melengkapi asli Kartu Pengawasan;
Kendaraan bermotor yang akan diuji harus hadir di lokasi/lapangan Gedung Pengujian Kendaraan Bermotor Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika.
Petugas administrasi pengujian kendaraan bermotor menerima hasil pengisian formulir permohonan uji dari Loket I dan petugas tersebut memeriksa/meneliti pengisian formulir beserta kelengkapan surat-surat endaraan dan setelah lengkap dan benar didaftarkan tanggal penetapan uji selanjutnya berkas tersebut diserahkan ke loket III.
Hasil/berkas loket II tersebut diserahkan kepada Bendaharawan Khusus Penerima dan Bendaharawan Penerima memanggil pemegang/pemilik kendaraan untuk melunasi/membayar antara lain:
Biaya Retribusi Uji;
Biaya Plat Uji;
Biaya Permohonan Uji;
Biaya Buku Uji bila ada penggantian buku yang rusak, habis ruang masa uji dan uji pertama kali;
Biaya Leges.
Setelah berkas tersebut diterima oleh penguji, penguji mengadakan pemeriksaan teknis kendaraan yang diuji dimaksud dan setelah dinyatakan lulus uji Petugas Administrasi menyelesaikan proses pengisian Kartu Induk maupun buku uji dan penandatanganan Buku Uji dimaksud oleh Penguji, sereta pemasangan Plat Uji (tanda lulus uji). Bila kendaraan tidak lulus uji, penguji memerintahkan pemegang/pemilik kendaraan tersebut untuk memperbaiki bagian-bagian yang rusak sesuai petunjuk yang telah disyahkan oleh penguji dan penguji sekalian menetapkan tanggal kendaraan tersebut untuk diuji kembali setelah kendaraan tersebut diperbaiki.
Mekanisme dan prosedur pelaksanaan Uji berkala kendaraan bermotor dapat dijabarkan sebagai berikut :
Persyaratan laik jalan kendaraan bermotor dan ambang batas kelaikan jalan, Pasal 64 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2012 Tentang Kendaraan meliputi Emisi gas buang, Kebisingan suara, Efisiensi sistem rem utama, Efisiensi sistem rem parkir, Kincup roda depan, Suara klakson, Daya pancar dan arah sinar lampu utama, Radius putar, Akurasi alat penunjuk kecepatan, Kesesuaian kinerja roda dan kondisi ban; dan Kesesuaian daya mesin penggerak terhadap berat Kendaraan.
Kendaraan Bermotor wajib Uji Berkala wajib didaftarkan pada unit pelaksana Uji Berkala di daerah tempat Kendaraan Bermotor diregistrasi. Unit pelaksana Uji Berkala membuat kartu induk Uji Berkala. Kartu induk Uji Berkala Kendaraan Bermotor tersebut paling sedikit memuat data mengenai:
tanggal dan nomor Sertifikat Registrasi Uji Tipe;
nomor Kendaraan;
nomor Uji Berkala;
nama pemilik;
alamat pemilik;
merek dan tipe;
jenis;
tahun pembuatan atau perakitan;
isi silinder;
daya motor penggerak;
nomor rangka landasan Kendaraan Bermotor;
nomor motor penggerak atau mesin;
konfigurasi sumbu;
dimensi Kendaraan;
bahan bakar yang digunakan;
tanggal dan nomor pengesahan Uji Tipe;
tempat dan tanggal dilakukan uji pertama kali;
nama dan identitas penanggung jawab unit pelaksana Uji Berkala yang membuat kartu induk Uji Berkala.
Kendaraan-kendaraan khusus, misalnya mobil tangki bermuatan gas harus diuji secara khusus pula karena selain memiliki peralatan standar yang dipersyaratkan untuk kendaraan bermotor pada umumnya, kendaraan khusus memiliki peralatan tambahan untuk penggunaan khusus, misalnya katup penyelamat, tangki bertekanan dan lain sebagainya. Seperti telah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa pengertian persyaratan teknis adalah persyaratan tentang susunan, peralatan, perlengkapan, ukuran, bentuk, karoseri, pemuatan, rancangan teknis kendaraan sesuai dengan peruntukannya.
Pengertian laik jalan merupakan persyaratan minimum kondisi suatu kendaraan yang harus dipenuhi agar terjaminnya keselamatan dan mencegah terjadinya pencemaran udara dan kebisingan Iingkungan pada waktu dioperasikan di jalan. Prinsip utama yang dimaksud dengan laik jalan kendaraan bermotor adalah suatu batasan-batasan teknis yang dikembangkan untuk menjamin pemenuhan aspek keselamatan dan kelestarian Iingkungan. Selanjutnya batasan-batasan tersebut dijadikan standar untuk mengukur unjuk kerja laik jalan kendaraan bermotor, seperti emisi gas buang, dan kebisingan kendaraan bermotor pada waktu dioperasikan tidak boleh melebihi ambang baku mutu emisi yang telah ditentukan berdasarkan kebijakan yang berlaku.
Ambang baku mutu emisi yaitu batas kadar yang diperbolehkan dari zat-zat atau bahan-bahan pencemar yang dikeluarkan langsung dari sumber polusi udara, sehingga kadar zat atau bahan tersebut tidak menimbulkan gangguan pada manusia, hewan, tumbuhan dan benda-benda lainnya.
Ambang batas kelaikan jalan pada pengujian berkala kendaraan bermotor di Indonesia didasarkan pada Keputusan Menteri Perhubungan No.63 Tahun 1993, sedangkan ambang batas emisi gas buang didasarkan pada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup KM.LH No. Kep-35/MENLH/10/1993.
No
Aspek Pengujian
Alat Uji
Ambang Batas Laik Jalan
Kandungan emisi gas
buang CO, HC dan
ketebalan asap
Gas Analyzer
dan Smoke
Tester
Konsentrasi CO 4,5%, HC 1200 ppm dan ketebalan asap 50%
Kemampuan pancar dan arah sinar lampu utama
Headlight Tester
Kemampuan pancar utama
serendah-rendahnya 12.000 cd. Deviasi penyinaran ke kanan 0,34'
(10cm/10m) dan ke kiri 1,09'
(20cm/10m)
Penyimpangan arah
kincup roda depan
Slide Slip Tester
Kincup roda depan ditentukan
sebesar –5 mm per menit sampai
dengan +5 mm per menit
dengan kecepatan 5 km per jam.
Efesiensi dan
penyimpangan gaya rem
Brake Tester
Efisiensi rem utama sebesar 50% kali berat kendaraan, efesiensi rem parkir 16% kali berat kendaraan. Penyimpangan gaya rem untuk
sistem JIS 8% dan untuk sistem MEE 30%
Penyimpangan alat
penunjuk kecepatan
Speedometer Tester
Penyimpangan alat penunjuk
Kecepatan ditentukan sebesar 10% sampai dengan +15% pada
kondisi pengukuran dan diukur
pada kecepatan 40 km per jam
Kebisingan yang
ditimbulkan oleh suara
mesin dan klakson
Sound Level
Tester
Tingkat suara klakson ditentukan
serendah-rendahnya 90 db dan setinggi-tingginya sebesar 118 db dan diukur pada tempat yang tidak memantulkan suara pada jarak 2m di depan kendaraan.
Apabila kondisi kendaraan yang diuji melebihi ambang batas yang telah ditentukan, maka kendaraan tersebut dapat membahayakan keselamatan penggunanya dan akan mencemari lingkungan. Oleh karena itu, apabila kendaraan bermotor yang diuji memang tidak laik jalan, harus dilarang beroperasi di jalanan dengan cara tidak dilulus ujikan sebelum dilakukan perbaikan atau diadakan penghapusan kalau benar-benar kondisinya sudah buruk dan sama sekali tidak laik jalan
Standar emisi gas buang kendaraan bermotor di Indonesia saat ini meliputi kandungan CO, HC dan asap (smoke), seperti yang diatur dalam KEP35/MENLH/10/1993. Standar tersebut berlaku sama untuk kendaraan baru dan kendaraan lama, serta dilakukan melalui uji emisi pada kondisi mesin idle atau stop.
Pasal 54 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalulintas dan Angkutan Jalan menyatakan bahwa:
Pemeriksaan dan pengujian fisik mobil penumpang umum, mobil bus, mobil barang, kendaraan khusus, kereta gandengan, dan kereta tempelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) huruf a meliputi pengujian terhadap persyaratan teknis dan laik jalan.
Pengujian terhadap persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
susunan;
perlengkapan;
ukuran;
karoseri; dan
rancangan teknis Kendaraan Bermotor sesuai dengan peruntukannya.
Pengujian terhadap persyaratan laik jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi:
emisi gas buang Kendaraan Bermotor;
tingkat kebisingan;
kemampuan rem utama;
kemampuan rem parkir;
kincup roda depan;
kemampuan pancar dan arah sinar lampu utama;
akurasi alat penunjuk kecepatan; dan
kedalaman alur ban.
Pengujian terhadap persyaratan laik jalan kereta gandengan dan kereta tempelan meliputi uji kemampuan rem, kedalaman alur ban, dan uji sistem lampu.
Bukti lulus uji berkala hasil pemeriksaan dan pengujian fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pemberian kartu uji dan tanda uji.
Kartu uji berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (5) memuat keterangan tentang identifikasi Kendaraan Bermotor dan identitas pemilik, spesifikasi teknis, hasil uji, dan masa berlaku hasil uji.
Tanda uji berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (5) memuat keterangan tentang identifikasi Kendaraan Bermotor dan masa berlaku hasil uji.
Berdasarkan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan dapat diketahui bahwa, setelah kendaraan diuji maka di ambil keputusan untuk lulus tidaknya suatu kendaraan. Kendaraan yang lulus maka akan dicatat dalam buku uji, dan diberikan tanda lulus uji.
Pasal 150 KM 71/1993 menjelaskan lebih lanjut bahwa, setiap kendaraan bermotor yang telah dinyatakan lulus uji berkala diberikan tanda bukti lulus uji berupa buku uji berkala dan tanda uji di samping kendaraan. Buku uji berkala sekurang-kurangnya berisikan data mengenai nomor uji, nama dan alamat pemilik, merk/type, jenis dan tahun pembuatan, isi silinder, daya motor penggerak, nomor rangka landasan kendaraan, nomor motor penggerak/mesin, berat kosong kendaraan, jumlah berat yang diperbolehkan dan atau jumlah berat kombinasi yang diperbolehkan untuk mobil barang dan mobil bus, jumlah berat yang diijinkan dan atau jumlah berat kombinasi yang diperbolehkan untuk. mobil barang dan mobil bus. Selain itu juga berisi data mengenai konfigurasi sumbu roda, ukuran ban teringan, kelas jalan terendah yang boleh dilalui, ukuran utama kendaraan, daya angkut, masa berlakunya, bahan bakar yang digunakan, kode wilayah pengujian. Tanda uji samping kendaraan berisi data mengenai kode wilayah pengujian, nomor uji kendaraan, dan masa berlaku uji kendaraan.
Berdasarkan keseluruhan uraian di atas dapat diketahui bahwa, mekanisme pelaksanaan uji KIR khususnya emisi gas buang dilakukan melalui proses pendaftaran, kemudian proses pengujian, penentuan kelulusan dan penerbitan buku serta kartu uji. Pelaksanaan pengujian kendaraan bermotor telah sesuai dengan petunjuk teknis, yang mana dilakukan pengujian gas buang, lampu dan rem tetapi setelah terjadi kerusakan pada alat pengujian kendaraan bermotor.
Dalam pelaksanaannya, pengujian kendaraan bermotor kendaraan umum masih terdapat hambatan. Beberapa identifikasi hambatan yang diperoleh antara lain Keterbatasan jumlah penguji dan keterbatasan sarana dan prasarana. Keterbatasan jumlah penguji yang bersertifikat menjadi kendala utama dalam pelaksanaan pengujian. Hal ini nampak dari ketidakseimbangan antara jumlah kendaraan yang harus diuji dengan jumlah pengujinya. Keterbatasan sarana dan prasarana keterbatasan jumlah sarana dan prasarana juga menjadi kendala dalam pelaksanaan pengujian kendaraan bermotor. ada pengujian yang terpaksa dilakukan secara manual atau dengan kasat mata yaitu uji gas buang dan uji lampu. Tentunya hal ini mengurangi kualitas pengujian kendaraan bermotor yang seharusnya dilakukan dengan alat uji sehingga dapat dilihat hasil uji yang lebih akurat karena dapat secara jelas diketahui apakah nilai hasil uji melewati ambang batas atau tidak (bagi uji gas buang dan uji lampu). Hal ini dikarenakan peralatan pengujian yang terbatas dapat menjadi kurang optimalnya pemeriksaan oleh petugas.
Sanksi Bagi Pemilik Kendaraan Yang Melakukan Pelanggaran Dalam Uji Berkala Bagi Kendaraan Bermotor
Berdasarkan Pasal 175 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2012 Tentang Kendaraan dikatakan bahwa, sanksi bagi pelanggar Pasal 143 ayat (1) yang menyatakan wajib uji berkala bagi Mobil Penumpang umum, Mobil Bus, Mobil Barang, Kereta Gandengan dan Kereta Tempelan yang dioperasikan di jalan dapat dikenai sanksi administratif. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2012 Tentang Kendaraan mengatur sanksi bagi pelanggar ketentuan, mulai dari teguran tertulis, denda administratis Rp 24 juta, sampai dengan penutupan bengkel umum.
Disebutkan pada Pasal 121 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2012 Tentang Kendaraan misalnya, kendaraan bermotor, kereta gandengan dan kereta tempelan yang akan dioperasikan wajib melakukan pengujian, yang terdiri atas uji tipe yang terdiri atas pengujian fisik landasan kelengkapan dan penelitian rancang bangun dan rekayasa kendaraan bermotor (termasuk diantaranya uji laik jalan).
Sementara bagi mobil penumpang umum, mobil bus, mobil barang, kereta gandengan dan kereta tempelan wajib melaksanakan uji berkala, yang meliputi uji berkala pertama, pemeriksaan persyaratan teknis, pengujian persyaratan laik jalan, pemberian bukti lulus uji, dan unit pelaksana uji berkala.
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2012 Tentang Kendaraan, uji berkala untuk yang pertama kali bagi kendaraan bermotor dilakukan setelah 1 (satu) tahun sejak diterbitkannya Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (STNKB). Masa berlaku uji berkala selama 6 (enam) bulan, dan setelah berakhirnya masa berlaku uji berkala, wajib dilakukan uji berkala berikutnya.
Mengenai bengkel kendaraan bermotor, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2012 Tentang Kendaraan menyebutkan bahwa bengkel umum kendaraan bermotor yang berufungsi untuk memperbaiki dan merawat kendaraan bermotor wajib memenuhi persyaratan teknis sesuai dengan tingkat pemenuhan terhadap persyaratan sistem mutu, mekanik, fasilitas dan peralatan, serta manajemen informasi.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2012 Tentang Kendaraan mengklasifikasi bengkel dalam 3 (tiga) kelompok utama, yaitu kelas I, kelas II, dan kelas III. Masing-masing kelas terdiri atas 3 (tiga) tipe, yaitu tipe A, B, dan C. "Bengkel umum sebagaimana dimaksud dibuktikan dengan sertifikasi bengkel umum, yang diberikan oleh Menteri Perindustrian," bunyi Pasal 174 Ayat 4 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2012 Tentang Kendaraan.
Untuk bengkel umum (baik bengkel umum agen tunggal pemegang merk maupun non ATPM) yang melakukan Uji Berkala Kendaraan Bermotor wajib melakukan akreditasi sebagai bukti kemampuan untuk melakukan perawatan berkala, perbaikan kecil, perbaikan besar, serta perbaikan landasan dan badan kendaraan.
Khusus untuk bengkel umum yang melakukan uji berkala wajib memenuhi persyaratan: a. Memiliki peralatan dan fasilitas uji berkala; b. Memiliki izin usaha bengkel kendaraan bermotor dari pemerintah kabupaten/kota sesuai rekomendasi Menteri Perindustria dan Polri; dan 3. Memenuhi hasil analisis dampak lalu lintas.
PP ini mengatur sanksi bagi pelanggar ketentuan, mulai dari teguran tertulis, denda administratis Rp 24 juta, sampai dengan penutupan bengkel umum. Namun, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2012 Tentang Kendaraan memberikan masa peralihan selama 2 (dua) tahun untuk sepeda motor yang sudah diproduksi dengan Jumlah Berat 400 kilogram atau lebih, atau sampai habis masa berlakunya buku uji, tanda uji kendaraan.
BAB VIII
PERLENGKAPAN KENDARAAN BERMOTOR
Kemunculan Kebijakan Topi Helm Ala Hoegeng
Helm yang digunakan sebagai alat pelindung kepala para pekerja pertama ditemukan oleh Bullard. Setelah pulang dari tugas pada Perang Dunia I tahun 1915 beliau bekerja di Pertambangan, di sini dia mulai bereksperimen dengan helm combatnya yang digunakan semasa perang. Empat tahun kemudian usahanya membuahkan hasil sebuah topi keras yang pertama. Cangkang helm tersebut terbuat dari lapisan kain kampas dan lem yang dipanaskan melalui proses penguapan dan kemudian dicat dengan warna hitam. Helm memang sudah beredar di dunia sejak perang dunia bahkan sejak kerajaan, tetapi helm memang tidak digunakan secara langsung dalam kegiatan berlalu-lintas.
Pernah dengar anekdot Gus dur yang menyatakan hanya ada 3 polisi jujur di Indonesia yaitu polisi tidur, patung polisi, dan Hoegeng. Hoegeng merupakan merupakan sosok polisi yang jujur dan pantang disuap. Pria yang lahir tanggal 14 Oktober 1921 di Pekalongan ini pernah membuat kontroversi karena mengeluarkan kebijakan topi helm. Bagi pengendara diwajibkan menggunakan topi helm. Banyak pro dan kontra baik dari para pejuang hukum maupun politisi mengkritik tajam kebijakan tersebut.
Kebijakan topi helm sebenarnya berasal dari keprihatinan Hoegeng dalam melihat kecelakaan lalu-lintas di Indonesia. Ia menyatakan bahwa :
Di jakarta banyak sekali kendaraan bermotor dari berbagai merek, terutama produk jepang. Lebih banyak sepeda motor dibandingkan mobil, hal itu karena memang sedang mode pada masa itu, selain itu juga terjangkau harganya oleh kebanyakan orang. Hal ini mengakibatkan lalu lintas menjadi rawan, banyak kecelakaan. Lagipula pada saat itu masih sangat sedikit persimpangan yang memiliki lampu merah. Ternyata banyak kasus-kasus kecelakaan baik yang menyetir maupun mbonceng luka parah bahkan mati, bertolak dari itu semua maka pada tanggal 2 Agustus 1971, tak lama sebelum saya mengakhiri masa jabatan, maka selaku Kapolri saya mengeluarkan maklumat agar (a) para pengendara sepeda motor menggunakan topi helm, (b) dan penumpang yang membonceng harus duduk mengangkang. Tentunya disertai sanksi, bagi para pelanggar akan diambil tindakan menurut Pasal 35 ayat (2) jo Pasal 36 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1965.
Banyak pro dan kontra dalam kebijakan ini, banyak yang mengkritik bahwa untuk apa topi helm digunakan, untuk apa polisi mengatur ngangkang atau menyamping dan cibiran lainnya. Tetapi kritikan yang paling substansial adalah kenapa polisi harus mengaturnya, bukankah segala peraturan terlebih dahulu harus diatur dalam Undang-Undang baru polisi lah yang melaksanakannya. Hal ini berarti polisi telah menyalah gunakan wewenang sebagai penegak hukum yang beralih menjadi pembuat hukum. Hal inilah sebenarnya yang ditakutkan oleh para sarjana hukum pada masa itu.
Untunglah tidak semua pakar dan pejuang hukum menolak peraturan topi helm, atau setuju dengan pandangan para politisi yang menganggap polisi over acting. Misalnya saja Ketua PERADIN (Persatuan Advokat Indonesia) Suardi S. Tasrif menyatakan bahwa menunjuk pada Ordonansi wewenang polisi (Bevoegheid der Politie) Pasal 1 ayat c (2e) menyatakan bahwa, polisi berwenang untuk mencegah kecelakaan dan mengatur lalu lintas di jalan-jalan dan tempat tempat umum memaksakan pentaatan terhadap perintah-perintah dan pentunjuk-petunjuk yang diberikan olehnya, jika perlu menggunakan kekerasan.
Hoegeng juga menyatakan bahwa :
Pendapat pers dan ahli hukum memang tidak dapat di harapkan seragam, itu dimaklumi sebagaimana anekanya pendapat yang ada di dalam masyarakat. Tetapi untunglah Menteri Kehakiman Prof. Oemar Senoadji, Menteri Keuangan Frans Seda dan Gubernur Jakarta Ali Sadikin mendukung peraturan topi helm. Tetapi justru dari depertemen saya, di Depertemen Hankan yang saya harapkan malah diam saja, saya dibiarkan kerepotan. Pihak kepolisian sendiri sebenarnya tidaklah sedang mengambil alih wewenang DPR atau Rakyat Indonesia, Masya Allah, kami hanya sekedar melayani masyarakat, dalam hal ini untuk mewujudkan rasa aman bagi lalu lintas, teruama pengendara sepeda motor. Rasanya berdosa membiarkan para pengendara sepeda motor terbang di jalan tanpa menggunakan topi helm. Padahal dilingkungan kerja tertentu pemajkaian topi helm adalah keharusan agar terhindar dari kecelakaan. Saya bersyukur bahwa peraturan ini masih berjalan sampai sekarang.
Hal ini sama seperti kebijakan DRL pada tahun 2009 yang diuandangkan melalui Pasal 107 Undang-Undang 22 Tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan yang nantinya akan saya bahas lengkap dalam BAB VII. Intinya pada saat topi helm banyak masyarakat menola bahkan menyatakan hal tersebut sebagai peraturan bodoh dan tidak berdasar. Misalnya saja mengenai helm, banyak yang menyatakan bahwa mau pakai helm atau tidak itu terserah saya, mau mati atau tidak itu hidup saya, toh tidak merepotkan atau merugikan negara, begitupula duduk mengangkang atau menyamping itu seharusnya tidak diatur oleh hukum. Sama saja seperti penggunaan lampu didiang hari banyak orang meyatakan siang-siang nyalakan lampu, pemborosan energi, sampai komentar pemanasan global. Terlepas dari pro dan kontara intinya adalah manfaat yang diberikan dalam suatu peraturan.
Kebijakan Perheleman Menuju Helm Standar Nasional Indonesia
Kecelakaan lalu lintas yang melibatkan sepeda motor dapat mengakibatkan pengendara dan atau penumpangnya mengalami luka parah, atau bahkan sampai meninggal dunia. Hal ini salah satunya disebabkan karena minimnya perlindungan pada pengendara sepeda motor. Bila dibandingkan dengan mobil, sepeda motor tidak memiliki instrumen peredam, sabuk keselamatan (safety belt) dan kantong udara (air bag) guna menahan benturan. Memang sepeda motor memiliki keunggulan ukuran yang lebih kecil dibandingkan mobil. Hal ini membuat pengendara menjadi mudah untuk melaju dan bergerak di keramaian lalu lintas. Namun, hal ini jugalah yang kemudian dapat membuat mereka mudah terlibat dalam kecelakaan dan biasanya pengendara sepeda motor mengalami luka serius.
Tingginya angka kecelakaan yang melibatkan sepeda motor ini, diiringi juga dengan fakta hasil penelitian di Indonesia, bahwa satu dari tiga orang yang kecelakaan sepeda motor mengalami cedera di kepala. Dampak lebih lanjut dari cedera di kepala dapat menyebabkan gangguan pada otak, pusat sistem syaraf, dan urat syaraf tulang belakang bagian atas. Gegar otak biasanya sulit untuk dipulihkan. Tentu saja hal ini dapat mengganggu ketentraman hidup yang bersangkutan dan keluarganya.
Kewajiban menggunakan helm standar nasional Indonesia bagi pengendara sepeda motor diatur dalam Pasal 57 ayat (1) jo ayat (2) UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ("UU No. 22/2009") yang berbunyi :
Setiap Kendaraan Bermotor yang dioperasikan di Jalan wajib dilengkapi dengan perlengkapan Kendaraan Bermotor.
Perlengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Sepeda Motor berupa helm standar nasional Indonesia.
Selain itu, Pasal 106 ayat (8) UU No. 22/2009 mengatur bahwa:
"Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor dan Penumpang Sepeda Motor wajib mengenakan helm yang memenuhi standar nasional Indonesia."
Jadi, berdasarkan ketentuan di atas pengendara motor baik pengemudi maupun penumpang diwajibkan menggunakan helm dengan standar nasional Indonesia. Apabila melanggar, ancaman atas pelanggaran tersebut diatur dalam Pasal 291 UU No. 22/2009 yang berbunyi :
Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor tidak mengenakan helm standar nasional Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (8) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor yang membiarkan penumpangnya tidak mengenakan helm sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (8) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
Untuk meminimalisir dampak kecelakaan sepeda motor (terutama pada bagian kepala), mengenakan helm yang memenuhi Standar Nasional Indonesia saat berkendara merupakan hal yang wajib mendapat perhatian khusus. Pengendara sepeda motor yang tidak menggunakan helm atau hanya menggunakan helm plastik/topi proyek (tidak memiliki pelindung dalam), jika kecelakaan akan mempunyai peluang luka otak tiga kali lebih parah dibanding mereka yang memakai helm yang memenuhi SNI (Standar Nasional Indonesia).
Dasar pemberlakuan standar Wajib Helm ber-SNI adalah Peraturan Menteri Perindustrian RI No. 40/M-IND/PER/4/2009 tentang Perubahan Atas Permen Perindustrian Nomor 40/M-IND/PER/6/2008 tentang Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) Helm Pengendara Kendaraan Bermotor Roda Dua Secara Wajib.
Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 1 April 2010 Pasal 2 Peraturan Menteri Perindustrian RI No. 40/M-IND/PER/4/2009 menyatakan bahwa:
Memberlakukan secara wajib Standar Nasional Indonesia (SNI) atau revisinya terhadap Helm Pengendara Kendaraan Bermotor Roda Dua SNI 1811-2007 dengan pos tarif HS 6506.10.10.00.
Pemberlakuan secara wajib SNI Helm Pengendara Kendaraan Bermotor Roda Dua sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi helm yang digunakan pengendara kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang tidak dilengkapi dengan rumah-rumah (terbuka).
Peraturan ini mewajibkan PERUSAHAAN dan IMPORTIR yang memproduksi dan memperdagangkan HELM di dalam negeri untuk memenuhi persyaratan SNI. Pasal 3 Peraturan Menteri Perindustrian RI No. 40/M-IND/PER/4/2009 menyatakan bahwa, Perusahaan yang memproduksi Helm Pengendara Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib :
Menerapkan dan memiliki sppt-sni helm pengendara kendaraan bermotor roda dua sesuai dengan ketentuan yang berlaku; dan
Membubuhkan tanda sni helm pengendara kendaraan bermotor roda dua pada setiap produk sesuai ketentuan yang berlaku
Pasal 4 Peraturan Menteri Perindustrian RI No. 40/M-IND/PER/4/2009 menyatakan pula bahwa, setiap Helm Pengendara Kendaraan Bermotor Roda Dua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang diperdagangkan di dalam negeri, yang berasal dari hasil produksi dalam negeri dan atau impor wajib memenuhi persyaratan SNI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
Helm yang memenuhi Standar Nasional Indonesia berarti telah memenuhi persyaratan material dan konstruksi, serta telah lolos berbagai pengujian. SNI 1811-2007 menetapkan spesifikasi teknis untuk helm pelindung yang digunakan oleh pengendara dan penumpang kendaraan bermotor roda dua, meliputi klasifikasi helm standar terbuka (open face) dan helm standar tertutup (full -face).
Bahan helm harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
Dibuat dari bahan yang kuat dan bukan logam, tidak berubah jika ditempatkan di ruang terbuka pada suhu 0 derajat Celsius sampai 55 derajat Celsius selama paling sedikit 4 jam dan tidak terpengaruh oleh radiasi ultra violet, serta harus tahan dari akibat pengaruh bensin, minyak, sabun, air, deterjen dan pembersih lainnya.
Bahan pelengkap helm harus tahan lapuk, tahan air dan tidak dapat terpengaruh oleh perubahan suhu.
Bahan-bahan yang bersentuhan dengan tubuh tidak boleh terbuat dari bahan yang dapat menyebabkan iritasi atau penyakit pada kulit, dan tidak mengurangi kekuatan terhadap benturan maupun perubahan fisik sebagai akibat dari bersentuhan langsung dengan keringat, minyak dan lemak si pemakai.
Disain Lapisan Luar dan Dalam helm :
Lapisan luar yang keras (hard outer shell)
Di desain untuk dapat pecah jika mengalami benturan untuk mengurangi dampak tekanan sebelum sampai ke kepala. Lapisan ini biasanya terbuat dari bahan polycarbonate.
Lapisan dalam yang tebal (inside shell or liner)
Disebelah dalam lapisan luar adalah lapisan yang sama pentingnya untuk dampak pelapis penyangga. Biasanya dibuat dari bahan polyatyrene (Styrofoam). Lapisan tebal ini memberikan bantalan yangh berfungsi menahan goncangan sewaktu helm terbentur benda keras sementara kepala masih bergerak. Sewaktu ada tabrakan yang membenturkan bagian kepala dengan benda keras, lapisan keras luar dan lapisan dalam helm menyebarkan tekanan ke seluruh materi helm. Helm tersebut mencegah adanya benturan yang dapat mematahkan tengkorak.
Lapisan dalam yang lunak (comfort padding)
Merupakan bagian dalam yang terdiri dari bahan lunak dan kain untuk menempatkan kepala secara pas dan tepat pada rongga helm. Helm full face merupakan helm yang memberi perlindungan lebih dan terasa nyaman saat memakainya. Ini merupakan jenis helm yang paling aman. Helm jenis ini tetap memberikan jaminan pendengara terhadap suara dari lingkungan sekitar, melindungi dari angin dan matahari. Helm full face melindungi mata dari debu, polusi, hujan, serangga dan batu kecil yang mungkin terpental dari kendaraan lain. Dari beberapa pengujian menunjukkan bahwa helm full face tidak mengganggu penglihatan dan pendengaran. Jadi tidak ada alasan anda tidak menggunakan helm.
Konstruksi helm harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
Helm harus terdiri dari tempurung keras dengan permukaan halus, lapisan peredam benturan dan tali pengikat ke dagu,
Tinggi helm sekurang-kurangnya 114 milimeter diukur dari puncak helm ke bidang utama yaitu bidang horizontal yang melalui lubang telinga dan bagian bawah dari dudukan bola mata,
Keliling lingkaran bagian dalam helm adalah sebagai berikut:
Tempurung terbuat dari bahan yang keras, sama tebal dan homogen kemampuannya, tidak menyatu dengan pelindung muka dan mata serta tidak boleh mempunyai penguatan setempat
Peredam benturan terdiri dari lapisan peredam kejut yang dipasang pada permukaan bagian dalam tempurung dengan tebal sekurang-kurangnya 10 milimeter dan jaring helm atau konstruksi lain yang berfungsi seperti jaring helm.
Tali pengikat dagu lebarnya minimum 20 milimeter dan harus benar-benar berfungsi sebagai pengikat helm ketika dikenakan di kepala dan dilengkapi dengan penutup telinga dan tengkuk.
Tempurung tidak boleh ada tonjolan keluar yang tingginya melebihi 5 milimeter dari permukaan luar tempurung dan setiap tonjolan harus ditutupi dengan bahan lunak dan tidak boleh ada bagian tepi yang tajam.
Lebar sudut pandang sekeliling sekurang-kurangnya 105 derajat pada tiap sisi dan sudut pandang vertikal sekurang-kurangnya 30 derajat di atas dan 45 derajat di bawah bidang utama.
Helm harus dilengkapi dengan pelindung telinga, penutup leher, pet yang bisa dipindahkan, tameng atau tutup dagu.
Memiliki daerah pelindung helm
Helm tidak boleh mempengaruhi fungsi aura dari pengguna terhadap suatu bahaya. Lubang ventilasi dipasang pada tempurung sedemikian rupa sehingga dapat mempertahankan temperatur pada ruang antara kepala dan tempurung.
Setiap penonjolan ujung dari paku/keling harus berupa lengkungan dan tidak boleh menonjol lebih dari 2 mm dari permukaan luar tempurung.
Helm harus dapat dipertahankan di atas kepala pengguna dengan kuat melalui atau menggunakan tali dengan cara mengaitkan di bawah dagu atau melewati tali pemegang di bawah dagu yang dihubungkan dengan tempurung.
Helm SNI harus dapat diuji guna mengetahui kekuatan daya bentur helm tersebut. Pengujian helm SNI dapat dilakukan secara manual maupun menggunakan alat. Peragaan yang sering dilakukan oleh petugas satuan lalulintas dengan membantingkan helm SNI ke lantai adalah salah satu cara manual. Pengujian menggunakan mesin dilakukan dengan serangkaian uji sebagai antara lain uji penyerapan kejut, uji penetrasi, uji efektifitas sistem penahan, uji kekuatan sistem penahan dengan tali pemegang, uji untuk pergeseran tali pemegang, uji ketahanan terhadap keausan dari tali pemegang, uji impak miring, pelindung dagu dan uji sifat mudah terbakar yang menggunakan mesin sebagai berikut :
Alat Uji Helm SNI
Sabuk Pengaman Yang Kadang Terlupakan
Di negara – negara maju seperti negara Inggris sudah mewajibkan ketentuan sabuk keselamatan sejak tahun 1960-an, Amerika Serikat sejak tahun 1984-an, dan bahkan negara tetangga kita seperti Malaysia dan Singapura sudah sejak tahun 2001 memberlakukan ketentuan penggunaan sabuk keselamatan bagi penumpang yang di belakang. Proses penerapan ketentuan sabuk keselamatan di Indonesia sudah berlangsung sangat lama dimulai tahun 1992 dengan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 dan diatur lebih jauh dengan Peraturan Pemerintah Nomor 44 tahun 1993, akan tetapi pada tahun 1998 Pemerintah mengeluarkan PP nomor 71 tahun 1998 tentang penangguhan berlakunya kewajiban menggunakan sabuk keselamatan dengan pertimbangan berdasarkan pengamatan terhadap situasi dan kondisi yang berkembang dalam masyarakat saat itu dan juga dalam rangka mematangkan persiapan dan kesiapan masyarakat maupun aparat pelaksana, tetapi itupun dikarenakan respon negatif dari masyarakat yang mengakibatkan kebanyakan mobil di Indonesia belum dilengkapi sabuk keselamatan.
Kemudian dengan dikeluarkannya pemberlakuan kewajiban melengkapi dan menggunakan sabuk keselamatan dengan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor Km. 85 tahun 2002 serta persyaratan teknis sabuk keselamatan dengan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor Km. 37 tahun 2002, maka Pemerintah dalam hal ini Departemen Perhubungan, Kepolisian Republik Indonesia dan pihak yang terlibat langsung maupun tidak langsung dengan program Pemerintah tersebut mulai memberlakukan ketentuan penggunaan sabuk keselamatan.
Ketika terjadi tabrakan secara tiba-tiba, kemudian akibat tabrakan tersebut akan menghentikan laju kendaraan. Sabuk keselamatan akan menahan tubuh. Jika tidak anggota badan akan membentur roda kemudi atau membentur kaca depan dan dapat terlempar dari mobil, tanpa sabuk keselamatan bisa mengakibatkan kematian ataupun cidera lebih hebat.
Ketika berkendaraan, tubuh membentuk sejumlah energi gerak. Energi ini merupakan perbandingan berat badan dan kecepatan kendaraan. Jika terjadi tabrakan dari arah depan, mobil akan benar – benar berhenti dalam waktu yang singkat 0,05 atau 0,02 detik dan tidak terbayangkan jika tidak menggunakan sabuk keselamatan ketika terjadi benturan yang sangat keras.
Bila berat badan A 60 kg berada pada kecepatan 20 km / jam, kekuatan tabrakan adalah 350 – 450 kg, yaitu 6 – 7 kali berat badan A. Sayangnya, manusia biasanya hanya dapat menahan beban seberat 50 kg dengan tangannya dan 100 kg dengan kakinya, dan 150 kg dengan tangan dan kakinya. Hal ini berarti hanya 2/3 dari berat badannya. Artinya : akan mengakibatkan cedera badan maupun anggota badan. Definisi Sabuk Keselamatan menurut Keputusan Menteri Perhubungan Nomor : KM 37 Tahun 2002 adalah perangkat peralatan yang merupakan bagian dan terpasang pada kendaraan bermotor, yang berfungsi untuk mencegah benturan terutama bagian kepala dan dada dengan bagian kendaraan sebagai akibat perubahan gerak kendaraan secara tiba-tiba.
Menurut Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM. 37 tahun 2002 tentang persyaratan teknis sabuk keselamatan pasal 3, komponen sabuk keselamatan terdiri dari :
Pita Sabuk (Webbing), yaitu bagian dari sabuk keselamatan yang berfungsi untuk menahan posisi pengemudi dan penumpang agar tetap berada pada tempat duduk semula saat mengalami perubahan kecepatan dan gerakan secara mendadak;
Pengunci Sabuk (Buckle), yaitu bagian dari sabuk keselamatan yang berfungsi sebagai penyambung dan pengunci pita sabuk dengan komponen lainnya;
Pengatur Panjang (Length Adjuster/Retractor), yaitu bagian dari sabuk keselamatan yang berfungsi untuk mengatur dan menggulung pita sabuk serta mengatur panjang sesuai kebutuhan;
Penuntun Gelincir (Slip Guide), yaitu bagian dari sabuk keselamatan yang berfungsi mengarahkan perubahan pergerakan Sabuk Keselamatan;
Pengikat (Fitting), yaitu bagian dari sabuk keselamatan yang berfungsi mengikat pita sabuk ke badan kendaraan;
Jangkar (Anchorage), yaitu bagian dari perangkat sabuk keselamatan yang berfungsi sebagai tempat dipasangnya Sabuk Keselamatan pada kendaraan bermotor.
Ragam dan jenis-jenis sabuk keselamatan sangatlah beragam antara lain :
Jenis Pangkuan
Sabuk keselamatan jenis ini dapat disesuaikan yang melintang di atas pangkuan. Sabuk ini sering digunakan pada mobil-mobil tua, sekarang sudah jarang digunakan kecuali untuk penumpang yang duduk di tengah pada barisan belakang. Kursi-kursi penumpang pesawat terbang juga menggunakan sabuk kselamatan pangkuan.
Dua titik (Two Points)
Jenis sabuk keselamatan jenis ini sesuai dengan persyaratan teknis Keputusan Menteri Perhubungan Nomor Km. 37 tahun 2002 Pasal 5. Sabuk Keselamatan sabuk keselamatan ini menggunakan sistem penahan dengan dua titik, terdiri dari pangkuan atau sabuk diagonal yang sudah jarang digunakan. Sabuk seperti ini biasanya digunakan pada mobil-mobil mewah yang lebih tua seperti Ford dari awal tahun 1990-an. Sabuk keselamatan jenis ini terbagi menjadi dua, yaitu :
Sash, sabuk keselamatan jenis ini dapat disesuaikan yang melintang melewati bahu. Biasa digunakan terutama pada tahun 1960-an, tetapi kegunaannya terbatas karena sangat mudah terlepas bila terjadi tabrakan;
Pangkuan dan Sash, kombinasi dari dua jenis sabuk di atas (dua sabuk terpisah).
Terutama digunakan pada 1960-an dan 1970-an, biasanya di kursi belakang. Dan pada umumnya telah digantikan oleh desain tiga titik.
Tiga titik (Three Points)
Jenis sabuk keselamatan jenis ini sesuai dengan persyaratan teknis Keputusan Menteri Perhubungan Nomor Km. 37 tahun 2002 pasal 5. Sabuk keselamatan ini menggunakan sistem penahan dengan tiga titik. Jenis ini serupa dengan pangkuan dan sash, tetapi membentuk satu jaringan yang sinambung. Baik sabuk pengaman tiga titik maupun jenis pangkuan dan sash menolong menyebarkan energi dari tubuh yang bergerak dalam sebuah tabrakan ke dada, selangkangan dan bahu. Hingga tahun 1980-an sabuk tiga titik umumnya terdapat di kursi depan saja, sedangkan di kursi belakang hanya tersedia sabuk pangkuan. Bukti-bukti bahwa sabuk pangkuan berpotensi menyebabkan terpisahnya lumbar vertebrae dan kadang-kadang kelumpuhan yang Penuntun Gelincir (Slip Guide) terkait, atau "sindroma sabuk keselamatan", telah menyebabkan direvisinya aturanaturan keamanan pada hampir semua negara maju yang mengharuskan agar semua bangku di dalam kendaraan dilengkapi dengan sabuk tiga titik. Negara Amerika Serikat mulai memberlakukan peraturan bagi semua mobil baru yang dijual, sudah harus dilengkapi dengan sabuk keselamatan bahu dan pangkuan untuk penumpang di kursi belakang serta kursi ditengah pada 1 September 2007.
Empat titik (Four Points)
Jenis sabuk keselamatan jenis ini sesuai dengan persyaratan teknis Keputusan Menteri Perhubungan Nomor Km. 37 tahun 2002 pasal 5. Sabuk keselamatan ini menggunakan sistem penahan dengan empat titik. Sistem ini sudah canggih dan sangat efektif mengurangi bahaya kematian bila terjadi tabrakan.
Enam titik (Six Points)
Jenis sabuk keselamatan ini digunakan pada fitur keselamatan mobil balap F1. Dengan sistem sabuk pengaman 6 titik ini, kedua bahu, pangkal paha dan perut pembalap dapat ditahan dengan baik. Untuk memasangnya, pembalap perlu dibantu tim mekanik, sedangkan untuk melepas cukup menekan satu tombol penguncinya.
Gambar Jenis – jenis sabuk keselamatan sesuai Pasal 5 keputusan menteri perhubungan
nomor km. 37 tahun 2002 tentang Persyaratan Teknis Sabuk Keselamatan
Sumber : Volvo owners club limeted, 2007
Penggunaan sabuk pengaman yang sangat penting bagi keselamatan berkendara ternyata menjadi poin penting dalam suatu pengaturan alu lintas. Pasal 106 ayat (6) Undang-Undang 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menyatakan bahwa :
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor beroda empat atau lebih di Jalan dan penumpang yang duduk di sampingnya wajib mengenakan sabuk keselamatan.
Untuk sanksi Pasal 289 Undang-Undang 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menyatakan bahwa :
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor atau Penumpang yang duduk di samping Pengemudi yang tidak mengenakan sabuk keselamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (6) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
Sabuk pengaman kadang terlupakan untuk digunakan pengendara dan penumpang. Terkadang pengendara dan penumpang kendaraan beroda empat sadar akan sabuk pengaman karena razia polisi di jalan. Kesadaran hukum ini tentunya tidak baik, msyarakat seharusnya memahami aturan tersebut secara ilmiah dan menjadikan peraturan tersebut suatu kebutuhan yang mendasar.
Pengendara haruslah menyadari bahwa, tanpa sabuk pengaman kemungkinan risiko yang didapat akan lebih fatal dibandingkan jika tidak menggunakan sabuk pengaman. Kesadaran hukum ini tentunya harus dipupuk dan ditanamkan kepada keluarga kita, teman dan lainnya, sehingga nantinya diharapkan angka kecelakaan baik yang diakibatkan kesalahan manusia ataupun mesin dapat dikurangi.
BAB IX
STRATEGI PENANGANAN KEMACETAN DI BERBAGAI NEGARA
Kemacetan di berbagai kota seakan memperlihatkan bahwa ada pertumbuhan yang kurang sebanding andata pertumbuhan pembangunan jalan aya dengan pertumbuhan kendaraan di Indonesia. Selain pertumbuhan tersebut kurang merata di tiap daerah, pola pembangunan jalanpun kadang statis. Misalnya saja kota-kota besar, kota kota besar selalu menjadi sasaran penjualan industri otomotif, tetapi bagaimana dengan daerah lain seperti Papua, Kalimantan dan daerah lainnya, sehingga terpaksa kendaraan-kendaraan tersebut kembali mengalir ke Jakarta (contohnya).
Berdasarkan data terakhir yang diterima KompasOtomotif (Kamis, 18 Oktober 2012), penjualan mobil penumpang dan kendaraan komersial dari distributor ke dealer alias whole sales (WS) di Indonesia sampai akhir September lalu sudah mencapai 816.322 unit atau naik 23,7 persen dibandingkan periode yang sama dari tahun sebelumnya, 659.839 unit.
Permasalahan sistem transportasi dan kompleksitas lalu lintas yang sangat tinggi merupakan permasalahan yang dihadapi oleh DKI Jakarta sejak 20 tahun yang lalu. Kemacetan hampir terjadi di setiap ruas jalan utama. Terbatasnya lahan tidak diimbangi oleh pertumbuhan jumlah kendaraan yang terus meningkat. Hal ini ditunjukkan dengan hasil jajak pendapat yang dilakukan oleh Litbang Kompas bahwa persoalan kota Jakarta yang paling besar 69,47% adalah kemacetan (Kompas, 17 Januari 2011).
Berdasarkan rasio jalan dan jumlah mobil, infrastruktur jalan di DKI Jakarta hanya mampu menampung 1,05 juta mobil sedangkan jumlah mobil di wilayah DKI Jakarta sekitar 2,3 juta unit. Jadi saat ini infrastruktur jalan raya di DKI Jakarta harus menampung kurang lebih 2 (dua) kali lipat kemampuan jumlah mobil yang seharusnya dapat ditampung.
Infrastruktur jalan di DKI Jakarta saat ini didominasi oleh kendaraan pribadi. Media Indonesia, tanggal 30 Juli 2010 menyebutkan bahwa setiap hari jumlah mobil bertambah 186 unit dan sepeda motor bertambah 986 unit. Pertambahan kendaraan rata-rata 8% per tahun dan pertambahan luas jalan hanya 0,01% per tahun. Pola penggunaan transportasi sehari-hari masyarakat di DKI Jakarta juga turut menyumbang meningkatnya kemacetan di DKI Jakarta. Data dinas perhubungan provinsi DKI Jakarta menunjukkan penggunaan sarana transportasi per hari di wilayah DKI Jakarta adalah sebagai berikut 40,4% menggunakan angkutan umum, 56,8% menggunakan kendaraan pribadi (mobil dan sepeda motor), 2,8% menggunakan kereta api (Kompas, 27 Januari 2011).
Di sisi lain kondisi transportasi umum di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi masih belum berpihak pada pengguna. Data dari Dinas Perhubungan DKI Jakarta menyebutkan bahwa populasi angkutan umum saat ini hanya 2% dari total jumlah kendaraan di Jakarta. Kondisinya pun tidak semuanya prima. Angkutan umum sebanyak itu melayani 11,59 juta orang atau 56 % dari total pergerakan orang di Jakarta yang mencapai 20,7 juta orang per hari (Kompas, 20 Desember 2010), dan pengaturan trayek angkutan umum masih banyak terjadi tumpang tindih di Jakarta.
Berdasarkan beragam permasalahan tersebut mari kita urai sebenarnya apa yang menyebabkan terjadinya kemacetan dalam poin sebagai berikut :
Pembangunan jalan tidak sebanding dengan perkembangan kendaraan
Masyarakat enggan menggunakan transportasi umum, sehingga membeli transportasi pribadi.
Laju aktivitas yang cederung bersamaan
Pembangunan perekonomian yang tidak merata
Berdasarkan beberapa poin tersebut dapat diuraikan bahwa, jelas apabila kita ambil contoh Jakarta, memang Jakarta sudah tidak dapat menandingi perkembangan industri kendaraan bermotor dalam mengeluarkan produknya. Berdasarkan hal tersebut jelas bahwa, kendaraan akan terus meluap tanpa ada pembangunan jalan yang berarti. Dahulu, Kuala Lumpur juga mengalami masalah dalam mengatasi kemacetan. Sejumlah strategi dikembangkan untuk mengatasi kemacetan yang ada di Kuala Lumpur. Salah satunya adalah dengan memindahkan Kuala Lumpur yang ketepatan menjadi Ibu Kota Malaysia dan pusat pemerintahan, ke daerah Putrajaya. Jarak Putrajaya ke Kuala Lumpur sekitar 22 kilometer.
Pada saat Mahatir Mohammad menjadi perdana menteri Malaysia, negara tersebut mengalami kemajuan ekonomi yang sangat signifikan. Kota Kuala Lumpur yang tidak teratur dengan kemacetannya satu per satu diurai. Caranya dengan membagi beberapa koridor pembangunan infrastruktur untuk pemerataan dan mengurai kemacetan di sana. Memindahkan ibu kota pemerintah dari Kuala Lumpur ke Putrajaya adalah sebuah langkah berani. Putrajaya adalah sebuah kawasan pusat pemerintah di mana bangunan Kantor Perdana Menteri dan seluruh kementerian berada dalam satu kawasan terpadu.
Dengan memindahkan pusat pemerintahan ke Putrajaya, tentu saja membuat konsentrasi kemacetan terurai dan Kuala Lumpur tidak disibukkan oleh urusan administrasi. Sebaliknya, wilayah itu fokus pada pusat bisnis dan wisata. Pemerintah Malaysia membagi walayahnya dengan beberapa koridor sehingga bisa memecah kepadatan aktivitas penduduk di Kuala Lumpur.
Bagaimana dengan Jakarta? Ya Jakarta adalah pusat perekonomian Indonesia, kemewahan gedung-gedungnya, pesona perekonomian yang besar ditambah dengan pembangunan ang tidak merata di beberapa daerah menimbulkan jakarta sebagai magnet besar perekonomian. Baik para pencari kerja, pedagang, kontraktor, dan lainnya untuk menetap di Jakarta. Lalu apa kaitannya dengan kemacetan, kaitannya adalah setiap aktivitas perekonomian selalu ditopang oleh transportasi, seperti yang telah di jelaskan pada BAB transportasi. Ketika magnet perekonomian itu masih hidup, maka akan menarik sejumlah orang untuk bertransaksi di Jakarta, yang secara otomatis menggunakan transportasi, kegiatan yang bersamaan inilah yang menyebabkan kemacetan.
Kita boleh berandai andai misalnya Ibu Kota Indonesia dipindahkan dari Jakarta, seperti halnya yang dilakukan Malaysia. Setidaknya birokrasi Ibukota juga akan berpindah, misalnya saja pemerintahan Kepresidenan, Kementerian, dan juga instansi-instansi sentral juga akan pindah. Dengan pindahnya pemerintahan tersebut secara otomatis dapat kita banyangkan bahwa setiap kendaraan yang digunakan oleh pejabat tersebut juga akan berpindah, maka kemacetan akan terurai. Inilah langkah radikal yang dapat ditempuh apabila Indonesia mau meniru Malaysia.
Wacana pemindahan Ibu Kota dari Jakarta ke daerah lainnya sering menghangat dan menjadi kajian-kajian publik yang bagus. Pada 1957 Bung Karno pernah punya gagasan untuk memindahkan ibu kota ke Palangkaraya. Sebagai tahap persiapan, ia bahkan telah meletakkan batu pertamanya di Kampung Dayak, di jantung Kalimantan pada 17 Juli 1957. Palangkaraya yang berarti tempat suci, mulia, dan agung didesain sebagai ibu kota Indonesia Raya.
Namun usaha Soekarno kandas. Selain karena faktor pengadaan bahan dan medan yang sangat sulit, saat itu juga sedang dipersiapkan penyelenggaraan Asian Games (1962) dan ajang olahraga tandingan Olimpiade Games of the New Emerging Forces (Ganefo). Palangkaraya memiliki luas mencapai 2.678,51 km2, sedangkan Jakarta hanya 661,52 km2. Ini berarti Palangkaraya sangat punya potensi untuk dikembangkan sebagai ibu kota baru, arsitekturnya, jalan-jalan lebar, infrastruktur, taman-taman hijau, dan bebas gempa sebagaimana daerah di Kalimantan lainnya. Hal ini tentunya akan kembali lagi kepada pemerintah pusat, apakah mau belajar dari tetangga dalam mengurai kemacetan.
Pemerintah Malaysia ternyata juga membangun transportasi kereta api dan bus secara terintegrasi. Untuk transportasi kereta api ada berbagai jenis, Kereta Tanah Melayu (KTM) yang berbentuk komuter kereta listrik yang bisa mengangkut ribuan penumpang setiap harinya. Juga ada LRT, kereta api yang berjalan sesuai dengan program komputer tanpa pengemudi. Selain itu, ada juga starline dan Kereta Ekspress ke Kuala Lumpur International Airporth (KLIA).
Untuk transportasi bermotor, pemerintah menyediakan bus yang dinamakan Rapid KL yang terintegrasi dengan kereta api dalam setiap terminalnya. Untuk menyatukan semua sistem, pemerintah membangun pusat terpadu yang dinamakan Kuala Lumpur Sentral (KL Sentral) yang menjadi terminal pusat pertemuan semua jenis transportasi.
Dalam rangka mengurai kemacetan, Pemerintah Malaysia juga membangun jembatan layang dan jalan tol yang dapat membebaskan kemacetan. Pada 2010, Pemerintah Malaysia berhasil membangun jalan bawah tanah yang bisa digunakan multifungsi sebagai jalan bebas hambatan sekaligus pengendali banjir. Jalan ini dikenal dengan "smart way".
Untuk menarik masyarakat menggunakan transportasi umum, pengelola menyediakan berbagai bonus tiket murah dengan pembelian bulanan. Dengan cara ini, masyarakat Malaysia yang bekerja di Kuala Lumpur sangat jarang menggunakan kendaraan pribadi. Program ini tergolong berhasil, padahal pengguna kenderaan roda empat di Malaysia cukup besar. Apalagi program menggunakan mobil nasional, Proton, memudahkan rakyat Malaysia membeli mobil secara mudah dan murah.
Kebijakan mengatasi kemacetan di Jakarta ini, tentu bukan hanya tanggung jawab gubernur, tapi juga pemerintah pusat. Presiden memiliki peran besar untuk mengendalikannya sekaligus berwenang memindahkan pusat pemerintahan ke luar Jakarta. Pemerintah harus berani berinvestasi dengan mengalokasikan anggaran besar untuk pembangunan infrastrukur dan menyediakan transportasi publik secara terintegrasi.
Jakarta khususnya, juga menyiapkan bus yang terintegrasi dengan stasiun-stasiun kota yang sering disebut Busway. Busway adalah bus impian dengan jalur khusus tanpa halangan. Jalur bus ini khusus, bahkan di beton dan dipalang guna menghindari pengendara kendaraaan lain masuk jalur bus tersebut. Ketika ada kemacetan diharapkan bus ini tetap melaju tanpa halangan macet karena jalur yang aman. Ternyata Jalur busway yang sudah diuji cobakan di Jakarta ternyata tidak membawa perubahan yang berarti. Angka kemacetan di Jakarta masih saja tinggi. Apalagi di jam-jam sibuk saat orang-orang berangkat kerja dan pulang kerja.
Jalur busway yang dibangun di Jakarta ini tetap saja mengambil badan jalan. Ini menyebabkan berkurangnya volume kendaraan yang bisa lewat di jalan tersebut. Busway menyebabkan setidaknya satu bagian badan jalan tidak bisa dilewati oleh pengguna jalan. Sedangkan busway sendiri hanya lewat satu bus dalam selang 1-2 menit. Hal ini menyebabkan tidak efektifnya penggunaan jalan tersebut. Disamping itu, karena bus ini melewati jalan umum, maka bus juga harus berhenti saat trafic light menyala merah. Dipersimpangan jalan pun bus sering kali harus antri untuk lewat karena padatnya jalan. Jika sudah seperti itu, tidak jarang juga terjadi penumpukan bus di persimpangan-persimpangan jalan dan lampu merah.
Dari kajian di atas, bisa kita lihat kalau penggunaan busway justru merusak kenyamanan pengguna kendaraan pribadi. Berkurangnya badan jalan, dalam 1-2 menit hanya lewat sekitar satu bus saja, serta penumpukan bus yang sering terjadi di persimpangan jalan dan lampu merah menyebabkan kemacetan makin parah.
Kembali lagi sebagai negara konsumsi otomotif, Indonesia dibanjiri kendaraan dan tidak dapat mengaturnya sehingga menimbulkan kemacetan. Berdasarkan logika bahwa, jika konsumen saja sudah kesulitan bagaimana dengan negara produsen seperti Jepang, Amerika atau Jerman sebagai negara penghasil otomotif.
Mayoritas penduduk Jerman cinta akan dunia otomotif dan lingkungan. Jerman juga dikenal sebagai Negara Industri Tehnik terbesar di Eropa dengan produksi mobil bermerknya yang selalu meningkat. Dapat kita bayangkan Industri otomotif di Jerman adalah salah satu industri yang paling banyak menyerap tenaga kerja di negara itu, dengan total jumlah pekerja adalah sekitar 866.000 orang (2005). Selain itu, Jerman juga adalah negara produsen mobil terbesar di Eropa, sekitar 29% dari total produksi Eropa berasal dari Jerman (sumber: OICA, 2002), baru diikuti oleh Perancis (18%), Spanyol (13%) dan Britania Raya (9%). Pada tahun 2009, Kanselir Jerman Angela Merkel mengatakan bahwa jika Jerman ketinggalan dalam teknologi pada kendaraan elektrik, maka Jerman juga akan kehilangan pangsa pasarnya.
Dapt dibayangkan pula mobil-mobil mewah jerman seperti BMW, Mercedes-Benz dan Audi, yang tentunya akan sangat bangga bila warga indonesia dapat menggunakannya di jalan raya untuk kesehariannya, tetapi warga Jerman malah lebih tertarik menggunakan kendaraan umum untuk aktivitas sehari-hari. Mereka menggunakan mobil pribadi hanya untuk berpergian bersama seluruh anggota keluarga, bahkan dengan adanya promo tiket kereta api yang juga lebih murah sekarang ini, para orang tua tidak lagi sungkan mengajak anak-anaknya keliling kota dengan menggunakan kereta api atau transportasi umum lainnya.
Keamanan dan kenyamanan yang terjaminlah yang membuat mereka semakin yakin akan fasilitas kendaraan umum yang disediakan oleh Pemerintah setempat. Harga yang terjangkau untuk masyarakat luas juga merupakan sarat penting agar warga tidak merasa keberatan dalam hal biaya. Selain itu ada juga satu hal yang perlu diperhatikan dengan seksama yaitu Tempat Parkir, dimana banyak orang yang terkecoh bahwa pengadaaan tempat parkir yang paling baik adalah di dekat pusat-pusat keramaian kota atau pusat perkantoran dan perbelanjaan. Bahkan hal tersebut malah akan menyebabkan semakin menumpuknya kendaraan pribadi di tengah kota.
Pemerintah Eropa khususnya di Eropa Tengah lebih mengutamakan tempat parkir diperluas di area-area dekat terminal bis, stasiun kereta api dan pastinya bandar udara. Mengapa hanya dipusatkan disana? tujuannya tidak lain adalah agar para pemilik kendaraan pribadi tersebut dapat dengan leluasa memakirkan kendaraanya disana lalu menyambung dengan kendaraan umum ke tempat tujuannya. Untuk parkir di area tersebut bahkan mereka tidak dipungut biaya sepeser pun karena itu merupakan fasilitas umum.
Lalu bagaimana dengan fasilitas parkir untuk di tengah kota, jelas pemerintah sudah memikirkan hal tersebut dengan matang. Biaya parkir di tengah kota dibuat khusus di area-area terbuka maupun tertutup . Untuk di area terbuka mayoritas biayanya lebih murah yaitu hanya sekitar 1-2 euro per jamnya, namun tempat yang disediakan tidak sebanyak seperti area parkir indoor, meski di area tertutup warga diharuskan membayar lebih mahal sekitar 1,50-3 euro per jam (harga tergantung kebijakan masing-masing pemerintah kota). Selain itu suasana hektik dalam mencari tempat parkir ditengah kota juga pasti akan dirasakan oleh seluruh pengendara kendaraan pribadi khususnya untuk mereka yang hanya sekedar berkunjung, karena pemerintah sengaja membatasi area parkir semata-mata hanya untuk mengurangi kemacetan di tengah kota.
Dari pengalaman para pengunjung baik itu turis lokal maupun asing, mereka memaparkan bahwa jauh lebih nikmat berkunjung ke kota dengan menggunakan kendaraan umum karena kita tidak diharuskan mencari lokasi parkir, tidak bingung dengan marka jalan yang terkadang menyulitkan akibat dari lalu lintas tram yang padat dan sebagainya. Jadi, kalau boleh saya simpulkan khusus untuk di kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta metode penerapan area parkir ini perlu dicontoh karena efeknya yang memang lumayan terlihat. Dari keengganan masyarakat mencari dan membayar tempat parkir yang mahal pasti dengan sendirinya mereka lebih memilih menggunakan kendaraan umum yang nyaman, aman serta terjangkau. Namun juga harus dilanjutkan dengan pengadaan tempat parkir di lokasi-lokasi tertentu yang sudah saya sebutkan tadi agar warga yang tinggalnya jauh dari terminal, stasiun maupun bandara dapat dengan leluasa memarkirkan kendaraannya disana.
Pemerintah Cina di Bejing menerapkan permohonan nomor pelat secara online.
Aplikasi akan memperebutkan kelompok pertama sebanyak 20 ribu pelat yang akan diberikan dengan sistem diundi pada 25 Januari. Dengan adanya sistem baru ini, diharapkan pertumbuhan kendaraan dapat ditekan. Beijing hanya akan menyediakan izin baru sebanyak 240 ribu kendaraan roda empat untuk tahun ini.
Di Kota Beijing, Cina Pemerintah Kota Beijing juga memberlakukan peraturan pelat nomor ganjil dan genap. Hal inilah yang konon katanya akan di tiru Pemerintah Provinsi Jakarta. Baru-baru Gubernur DKI, Joko Widodo menyebutkan bahwa akan diterapkan kebijakan untuk mengurangi kemacetan kendaraan di Jakarta dengan aturan nomor plat kendaraan ganjil genap. Mengatasi kemacetan di Jakarta memang bukanlah hal yang mudah. Menambah jumlah ruas jalan itu sudah pasti, namun pembangunan jalan pun membutuhkan waktu yang cukup panjang, sedangkan jumlah kendaraan pun selalu bertambah dari tahun ke tahun.
Pembatasan mobil ganjil genap di Bejing dilakukan dengan cara melarang kendaraan dengan angka akhir pelat mobil 1 dan 6 untuk melintas pada hari Senin, angka akhir pelat mobil 2 dan 7 dilarang melintas pada hari Selasa, dan agka akhir pelat mobil 3 dan 8 dilarang melintas pada hari Rabu, sedangkan agka akhir pelat mobil 4 dan 9 dilarang melintas pada hari Kamis dan angka akhir pelat mobil 5 dan 0 dilarang melintas pada hari Jumat. Larangan tersebut tidak berlaku di akhir pekan. Pengendara yang melanggar ketentuan akan dikenakan denda.
Hasilnya, ada penurunan emisi kendaraan harian hingga 40 persen, mengurangi jumlah mobil di jalan hingga 700 ribu namun meningkatkan pembelian mobil. Menurut survei pemerintah yang melibatkan pihak ketiga pada 2010, sebanyak 90,4 persen mendukung kebijakan ini dan menginginkan kebijakan ini dilanjutkan. Kemudian survei Sina.com menunjukkan hasil yang berlawanan, yakni 82,9 persen orang yang diinterview tak menyukai kebijakan ini dan hanya 14 persen yang menyukai kebijakan ini. Selisih 76 persen dari survei resmi pemerintah.
Pemerintah Amerika Serikat, pada saat mereka menghadapi krisis bahan bakar minyak (BBM) pada tahun 1979. Nomor kendaraan ganjil hanya dapat membeli BBM pada tanggal ganjil, sedangkan nomor genap pada tanggal genap. Hal yang sama terulang kembali baru-baru ini ketika Badai Sandy menimpa pantai timur Amerika Serikat akhir Oktober 2012. Langkanya BBM menyebabkan masyarakat panik dan berbondong-bondong melakukan pembelian BBM hingga antrian di stasiun pengisian menjadi sangat panjang. Walikota New York, Michael Bloomberg, mengeluarkan peraturan nomor plat kendaraan ganjil genap untuk mengurangi antrian pembelian BBM pada tgl 8 November 2012, dan peraturan ini berlaku hingga tanggal 23 November 2012. Keefektifan peraturan ini memang diperdebatkan namun peraturan ini memang mengurangi pembelian dalam jumlah kecil dan mengurangi keinginan masyarakat untuk melakukan perjalanan yang tidak diperlukan.
Mexico City memperkenalkan program pembatasan kendaraan dengan sistem pelat nomor ini pada 20 November 1989, untuk mengurangi polusi udara. Saat itu semua kendaraan mendapat jatah beroperasi 1 hari dalam hari-hari kerja, berdasarkan nomor belakang pelat nomor. Program ini dinamakan 'Hoy No Circula' alias Hari Dilarang Berkeliling. Teknisnya demikian, nopol digit belakang 5-6 dilarang beroperasi Senin dan diberi stiker kuning, 7-8 untuk Selasa berstiker merah muda, 3-4 untuk Rabu berstiker merah, 1-2 untuk Kamis berstiker hijau dan 9-0 untuk Jumat berstiker biru.
Saat awal kebijakan ini diuji coba, memang berhasil mengurangi persentase kendaraan 20 persen di jalan, menambah kecepatan kendaraan, mengurangi konsumsi bahan bakar dan meningkatkan penumpang kereta bawah tanah 6,6 persen. Demikian dilansir dari hasil studi tentang Evaluasi Pembatasan Pelat Nomor oleh Cambridge Systematic Inc, pada Desember 2007 lalu. Keberhasilan uji coba itu membuat program ini ditetapkan permanen. Namun apa yang terjadi? Studi menunjukkan bahwa ada perubahan prilaku warga Meksiko. Karena mendapati transportasi umum tak memadai, maka warga Mexico City membeli kendaraan baru untuk mengakali agar bisa berkendara sedikitnya sehari dalam sepekan. Bahkan membeli kendaraan bekas yang lebih murah dan lebih berpolusi. Kemudian penggunaan taksi meningkat.
Studi jangka panjang menunjukkan tak ada hubungan statistik antara kualitas udara saat kebijakan itu berlaku, tak ada bukti peningkatan penumpang transportasi umum, dan tak ada bukti peningkatan polusi udara saat weekends dan hari kerja.
Mexico City masih memberlakukan program ini dari jam 5 pagi sampai jam 10 malam. Kebijakan ini bahkan mengatur mobil berpelat luar negeri dan pelat di luar kota Mexico City. Bahkan kebijakan ini diperluas di hari Sabtu, apakah Sabtu minggu pertama hingga terakhir.
Di saat yang sama sistem kereta bawah tanah juga sudah memadai, yakni melayani 200 km, 11 jalur dan 120-an stasiun. Di saat yang sama, denda yang besar juga sudah menanti siapa pun yang melanggar.
Di Bogota Negara Kolombia mengimplementasikan pembatasan kendaraan dengan sistem pelat nomor sejak tahun 2000. Program itu bernama Pico y Placa atau puncak jam sibuk dan nopol. Berbeda dari Mexico City yang hanya membatasi kendaraan selama jam tertentu, Bogota memiliki sistem yang lebih kompleks. Sistem di Bogota bahkan mengacak digit terakhir pelat nopol tiap tahun. Hal ini menyulitkan warganya untuk mengakali sistem itu. Sistem ini tak berlaku di akhir pekan. Namun program ini dijalankan bersamaan dengan sistem Bus Rapid Transit (BRT) alias busway. Di samping itu jalur sepeda juga diperluas sampai 180 mil, penggunaan sepeda dan transportasi umum dipromosikan. Di samping itu penegakan hukum juga dilaksanakan, seperti pengenaan denda yang tinggi. Hasilnya peningkatan pengguna transportasi umum dan pengurangan kemacetan di jalan. Sistem itu dinilai berhasil dan sekarang dikembangkan ke kota-kota di Kolombia selain Bogota. Contoh pembatasan pelat nomor Pico y Placa pada tahun 2011.
Kota Sao Paulo di Brasil juga menerapkan pembatasan kendaraan dengan pelat nomor bernama Rodizio, sejak 1997. Kebijakan ini melarang 2 digit terakhir nopol tiap hari per pekan.
Dalam 6 bulan kebijakan ini diuji coba, hasilnya bisa mengurangi 2-5 persen volume kendaraan bermotor saat jam sibuk, meningkatkan kecepatan kendaraan 18-23 persen dan mengurangi kemacetan 26-37 persen di jalan. Kini sistem ini sudah berurat akar di warga kota.
Selain pengenaan denda yang tinggi, sistem ini juga diimbangi oleh pembangunan sistem transportasi massal seperti kereta, kereta bawah tanah dan busway. Kota ini juga terus memperluas infrastruktur untuk transportasi massal.
Kota Athena di negeri para dewa ini sudah menerapkan pembatasan kendaran dengan sistem pelat nopol sejak Juni 1982. Pembatasan kendaraan ini untuk wilayah pusat Kota Athena dalam radius tertentu, yang disebut Lingkar Athena (Daktilios Athenon), seluas 13 km persegi.
Awalnya taksi juga dilarang pada 2 tahun pertama, namun sekarang diizinkan kembali. Pembatasan ini tak berlaku untuk bus umum, sepeda dan sepeda motor, mobil hibrid, ambulans, mobil dinas pemerintah dan mobil diplomat.
Penegakan hukum dengan denda yang tinggi diberlakukan. Skema ini masih berjalan hingga kini bahkan dikaji untuk melarang kendaraan sama sekali dari Lingkar Athena ini.
Dari situs livingingreece.gr, yang terbaru tahun 2012, sistem ini membuat kendaraan berpelat nopol terakhir genap tak boleh berkeliaran pada tanggal-tanggal genap dan pelat nopol terakhir ganjil tak boleh berkeliaran pada tanggal-tanggal ganjil. Berlaku dari Senin-Kamis jam 07.00 sampai jam 20.00, Jumat berlaku dari jam 07.00 sampai jam 15.00. Aturan ini tak berlaku pada akhir pekan, libur nasional, musim panas dan hari di mana para pekerja transportasi umum mogok kerja.
Studi dari Cambridge Systematic Inc, aturan ini membuat warga Athena membeli kendaraan kedua untuk menghindari batasan ini, kepemilikan mobil meningkat, penggunaan taksi meningkat dan kepadatan lalu lintas beralih ke pinggiran Kota Athena di luar Lingkar Athena. Strategi ini kemudian dipadukan dengan Electronic Road Pricing (ERP) dan strategi lain untuk menambal kelemahan sistem ini.
Di Paris, Prancis hanya kendaraan tertentu yang boleh masuk pada wilayah tertentu. Misalnya, kendaraan dilarang masuk ke pusat kota pada waktu tertentu kecuali dia berasal dari wilayah tersebut, pebisnis, dan penyandang cacat. Desember 2010, Paris menyiapkan peraturan pembatasan kendaraan yang boros bensin seperti SUV. Bagi pemerintah Paris, memiliki SUV di kota adalah tidak masuk akal. Dalam upaya untuk mengurangi polusi ini, pihak berwenang berencana untuk mengeluarkan beberapa pembatasan yang bisa membuat mobil mikro, kecil, dan kompak menjadi lebih tepat digunakan di perkotaan daripada mobil besar seperti SUV.
Di Amerika Serikat, Pemerintah Federal AS melalui Federal High Way Administration (FHWA) mengeluarkan kebijakan untuk menjamin keselamatan dan efisiensi jaringan jalan raya nasional untuk dapat mengakomodasi secara efisien kendaraan berukuran besar yang ditentukan dalam Undang-Undang Transportasi Permukaan (Darat) atau Surface Transportation Assistance Act (STTA) tahun 1982. Dalam pelaksanaan di setiap negara bagian, Pemerintah Federal melimpahkan kewenangan pengaturan pembatasan muatan kendaraan kepada masing-masing negara bagian berdasarkan pedoman yang dikeluarkan Pemerintah Federal.
Kebijakan tersebut berupa pembatasan berat kotor maksimum kendaraan pada jalan nasional antarnegara bagian dan jalan untuk pertahanan serta jalan masuk ke AS diatur oleh Pemerintah Federal AS menjadi tiga kategori sebagai berikut :
Longer combination vehicle, yaitu kombinasi antara truk traktor dengan dua atau lebih trailer atau semi-trailer yang dioperasikan pada jalan antarnegara bagian (interstate system) dengan berat kotor kendaraan lebih dari 80.000 lb (36.287 kg).
Single axle, yaitu berat kotor kendaraan dengan single axle yang dioperasikan di jalan antarnegara bagian yang beratnya maksimum dibatasi sampai dengan 20.000 lb (9.071 kg).
Tandem axle, yaitu berat kotor kendaraan dengan axle dua atau lebih yang dioperasikan di jalan antarnegara.
Singapore merupakan kota pertama yang mengaplikasikan ERP (sejak tahun 1998), pada awalnya disebut urban road user charging. Tujuannya adalah untuk membatasi lalu lintas yang
masuk CBD pada saat jam puncak untuk mengurangi kemacetan. Sebelum ERP, Singapore menggunakan Area-Licensing Scheme (ALS), pada tahun 1998, ALS diganti dengan Electronic
Road Pricing (ERP).
Electronic Road Pricing adalah pengenaan biaya secara langsung terhadap pengguna jalan karena melewati ruas jalan tertentu. Pada dasarnya terdapat dua tujuan dari pengenaan Road Pricing yaitu untuk menambah pendapatan suatu daerah atau Negara, atau suatu sarana untuk mengatur penggunaan kendaraan agar tidak terjadi kemacetan. Terdapat beberapa tujuan utama dari road pricing, yaitu mengurangi kemacetan, menjadi sumber pendapatan daerah, mengurangi dampak lingkungan, mendorong penggunaan angkutan umum masal.
Sistem ERP juga diaplikasikan di London pada 17 Pebruari 2003. Tujuan dari aplikasi ERP di London adalah untuk mengurangi kemacetan, meningkatkan reliabilitas waktu perjalanan, dan mengurangi polusi udara. Aplikasi ERP di London memberikan beberapa hasil positif antara lain:
Penurunan volume lalu lintas 15 %
Penurunan kemacetan 30%
Penurunan polusi 12% (NOx, PM10)
Perjalanan menjadi lebih reliable
Reliabilitas bus schedule meningkat signifikan
Kecelakaan lalu lintas menurun
Peningkatan kecepatan tidak meningkatkan fatalitas kecelakan
Tidak terjadi dampak lalu lintas yang besar di daerah diluar area congestion charging
Menjadi sumber pendapatan yang sebagian besar dipakai untuk perbaikan pelayanan
angkutan umum
Di Stockholm program Kebijakan ERP juga diaplikasikan secara resmi mulai 1 Agustus 2007, Setelah diuji cobakan sejak tahun 2006. Tujuannya mengurangi kemacetan, meningkatkan aksesibilitas, memperbaiki kualitas lingkungan.Beberapa hasil positif yang bisa dicatat adalah:
Menurunnya prosentase lalu lintas ke/dari pusat kota dari 20-25% menjadi 10-15%
Meningkatnya aksesibilitas yang ditandai dengan penurunan antrian di pusat kota dan
daerah-daerah dekat pusat kota sebesar 30-50%
Menurunnya total emisi kendaraan bermotor antara 10-14% di pusat kota, dan antara 2-3% untuk total satu kota.
Kesemua kebijakan telah di paparkan, kemudian bagaimana yang tepat untuk Indonesia khususnya dengan Jakarta. Hal ini lah yang tentunya harus dipikirkan oleh pemerintah, bahwa suatu kebijakan tidak boleh trial and error, Pemerintah harus juga mempertimbangkan mental menerabas bangsa indonesia yang sudah dibuktikan dengan menerabas jalus busway, tidak tertib lalu lintas dan lainnya. Pemerintah juga harus mempertimbangkan sarana dan prasarana serta kuantitas aparat penegak hukum guna mengawal kebijakan tersebut.
BAB X
BENGKEL
Penyelenggaraan Bengkel Umum
Bengkel pada dasarnya merupakan suatu tempat atau wadah yang diperuntukan guna memperbaiki, mengganti suku cadang dan merawat Kendaraan Bermotor agar tetap dapat berfungsi sebagai alat transportasi. Penyelenggaraan bengkel umum sebagai usaha pribadi juga diatur oleh pemerintah. Berdasarkan Keputusan Bersama Menteri Perindustrian Dan Perdagangan Dengan Menteri Perhubungan Nomor : 581/MPP/KEP/10/1999 Nomor : KM 79 A Tahun 1999 Tentang Bengkel Umum Kendaraan Bermotor Yang Dibina Sebagai Unit Pengujian Berkala Kendaraan Bermotor Menteri Perindustrian Dan Perdagangan
Dengan Menteri Perhubungan dapat diketahui bahwa, dalam rangka menjamin keseIarnatan, kelestarian lingkungan dan pelayanan umum, perlu dilakulcan pengujian berkala terhadap kendaraan bermotor. Utuk meningkatkan pelayanan di bidang pengujian berkala tersebut diperlukan penambahan jumlah Unit Pengujian Berkala Kendaraan Bermotor, maka dalam rangka pernanfaatan surnber daya di bidang teknologi kendaraan bermotor dapat dilakukan peningkatan fungsi Bengkel Umum Kendaraan Bermotor, selain sebagai bengkel untuk membetulkan, memperbaiki, dan merawat kendaraan bermotor juga berfungsi sebagai Unit Pengujian Berkala Kendaraan Bermotor.
Berdasarkan pemikirn tersebut maka muncuah istilah bengkel umum yang diperuntukan sebagai uji berkala. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Keputusan Bersama Menteri Perindustrian Dan Perdagangan Dengan Menteri Perhubungan Nomor : 581/MPP/KEP/10/1999 Nomor : KM 79 A Tahun 1999 Tentang Bengkel Umum Kendaraan Bermotor Yang Dibina Sebagai Unit Pengujian Berkala Kendaraan Bermotor Menteri Perindustrian Dan Perdagangan
Dengan Menteri Perhubungan dikatakan bahwa, Bengkel Umum Kendaraan Bermotor adalah bengkel urnum yang berfungsi untuk membetulkan, memperbaiki dan merawat Kendaraan Bermotor agar tetap memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan.
Bengkel Umum Kendaraan Bermotor dapat difungsikan sebagai Unit Pengujian Berkala Kendaraan Bermotor setelah memenuhi persyaratan dan prosedur penunjukan. Persyaratan dan prosedur penunjukan tersebut meliputi penetapan :
Sebagai Bengkel Umum Kendaraan Bermotor Kelas I Tipe A;
Sebagai Unit Pengujian Berkala Kendaraan Bermotor;
Penunjukkan sebagai Unit Pengujian Kendaraan Bermotor.
Bengkel umum ini nantinya harus dilakukan sertifikasi oleh lembaga sertifikasi yang diatur dalam Ketentuan Dan Tata Cara Sertifikasi Bengkel Umum Kendaraan Bermotor (Keputusan Direktur Jenderal Industri Logam Mesin Elektronika dan Aneka Nomor 009/SK/DJ-ILMEA/7/2000 tanggal 10 Juli 2000). Setiap bengkel wajib diklasifikasi melalui proses sertifikasi bengkel dari pemerintah. Klasifikasi tersebut dilakukan untuk memperoleh sertifikat bengkel. Proses sertifikasi ini dilaksanakan oleh lembaga sertifikasi yang ditunjuk oleh Menteri sebagai lembaga pelaksana klasifikasi bengkel. Lembaga sertifikasi wajib melakukan verifikasi dan pemeriksaan lapangan terhadap setiap bengkel yang mengajukan permohonan klasifikasi.
Setiap bengkel yang mengajukan permohonan dan telah memenuhi persyaratan klasifikasi diberikan sertifikat sesuai kelas dan tipenya. Setiap permohonan klasifikasi bengkel diajukan kepada lembaga sertifiksi dengan melampirkan copy Ijin Usaha yang dimiliki dan copy Tanda Daftar Perusahaan (TDP) yang dimiliki yang masih berlaku. Selain dokumen-dokumen Tanda Daftar Perusahaan (TDP), bengkel wajib menyerahkan dokumen pendukung lainnya yang ditentukan oleh lembaga sertifikasi. Setelah penyerahan dokumen-dokumen tersebut selambat-lambatnya dalam waktu 5 (lima) hari kerja terhitung sejak permohonan diterima dan dokumen dinyatakan lengkap dan benar, lembaga setifikasi melakukan verifikasi dan pemeriksaan lapangan. Selambat-lambatnya dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak dilakukannya proses verifikasi dan pemeriksaan lapangan lembaga sertifikasi menerbitkan sertifikat berdasarkan hasil verifikasi dan pemeriksaan lapangan.
Setiap bengkel yang mengajukan permohonan klasifikasi, berhak mendapatkan 1 (satu) kali konsultasi sesuai dengan jadual yang diatur oleh lembaga sertifikasi. Apabila dokumen permohonan klasifikasi belum lengkap dan benar, maka lembaga sertifikasi yang bersangkutan selambat-lambatnya dalam waktu 5 (lima) hari kerja terhitung sejak penerimaan permohonan klasifikasi, wajib memberitahukan penundaan proses klasifikasinya. Bengkel yang menerima pemberitahuan penundaan, selambat-lambatnya dalam waktu 5 (lima) hari kerja bengkel yang bersangkutan wajib melengkapi kekurangan dokumen. Apabila bengkel tersebut tidak melengkapi dokumen dalam waktu 5 (lima) hari kerja, permohonan klasifikasi dinyatakan batal dan bengkel yang bersangkutan dapat mengajukan permohonan klasifikasi baru.
Lembaga sertifikasi berwenang menentukan kelas dan tipe bengkel dengan melakukan proses sertifikasi terhadap permohonan klasifikasi yang diajukan oleh bengkel. Apabila dalam waktu yang ditentukan lembaga sertifikasi belum menerbitkan sertifikat, bengkel berhak mendapatkan sertifikat sesuai dengan kelas dan tipe yang diajukan dalam permohonan. Bengkel dapat mengajukan keberatan atas hasil penetapan kelas dan tipe oleh lembaga setifikasi. Keberatan tersebut harus diajukan secara tertulis selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya sertifikat oleh bengkel.
Setiap bengel yang telah mengajukan permohonan dan diakseptasi oleh lembaga sertifikasi maka akan diberikan sertifikat. Sertifikat bengkel umum terdiri atas :
Sertifikat kelas I tipe A; B; dan C;
Sertifikat kelas II tipe A; B; dan C;
Sertifikat kelas III tipe A; B; dan C;
Keseuruhan Sertifikat berlaku 5 (lima) tahun selama bengkel tersebut masih memenuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku. Masa berlaku sertifikat tersebut dapat diperpanjang setelah hasil pengawasan terakhir terbukti tidak ditemukan penyimpangan terhadap pemenuhan persyaratan dari kelas dan tipe sesuai sertifikat yang dimiliki. Permohonan perpanjangan sertifikat dapat diajukan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum habis masa berlakunya. Apabila permohonan perpanjangan sertifikat telah melewati batas masa berlaku, permohonan perpanjangan ditolak dan bengkel yang bersangkutan wajib mengajukan permohonan klasifikasi baru.
Bengkel yang telah memperoleh sertifikat apabila melakukan perubahan atas persyaratan kelas dan tipe sesuai sertifikat yang dimiliki wajib mengajukan permohonan perubahan sertifikat kepada lembaga sertifikasi penerbit sertifikat. Permohonan perubahan dilakukan secara tertulis dengan disertai dokumen pendukung. Terhadap permohonan perubahan sertifikat lembaga sertifikasi melakukan verifikasi dan pemeriksaan lapangan terlebih dahulu.
Apabila sertifikat yang telah diperoleh bengkel hilang atau rusak tidak terbaca, bengkel yang bersangkutan wajib mengajukan permintaan penggantian sertifikat secara tertulis kepada lembaga sertifikasi penerbit sertifikat. Permintaan penggantian sertifikat yang hilang atau rusak diajukan dengan ketentuan sebagai berikut :
Melampirkan surat keterangan hilang dari kepolisian setempat bagi sertifikat yang hilang
Melampirkan sertifikat asli bagi sertifikat yang rusak.
Selambat-lambatnya dalam waktu 5 (lima) hari kerja terhitung sejak diterimanya surat permintaan penggantian sertifikat lembaga sertifikasi yang bersangkutan wajib mengeluarkan sertifikat pengganti. Proses sertifikasi bengkel termasuk proses perubahan sertifikat dikenakan biaya yang dibebankan kepada bengkel yang bersangkutan. Biaya yang dibebankan kepada bengkel ditetapkan oleh lembaga sertifikasi.
Pengawasan Pemerintah Terhadap Bengkel Umum
Penyelenggaraan bengkel umum sebagai sarana pengujian berkala pada dasarnya di maksudkan untuk :
Terciptanya kondisi Kendaraan Bermotor yang memenuhi persyaratan teknis dan kelaikan jalan;
Meningkatkan penerapan sistem prosedur dan pemanfaatan serta penggunaan peralatan perawatan, perbaikan dan pengujian Kendaraan Bermotor yang memenuhi standar yang berlaku;
Meningkatkan kualitas perawatan, perbaikan dan pengujian berkala Kendaraan Bermotor;
Terciptanya kesadaran penggunaan komponen Kendaraan Bermotor sesuai dengan standar yang berlaku;
Meningkatkan jumlah Unit Pengujian Berkala Kendaraan Bermotor;
Meningkatkan keterpaduan perencanaan, pelaksanaan/pengembangan program pembinaan Bengkel Umum Kendaraan Bermotor.
Untuk tujuan yang mulia tersebut maka suatu proses pengawasan perlu dilakukan oleh pemerintah. Departemen Perindustrian dan Perdagangan dan Departemen Perhubungan secara bersama-sama sesuai kewenangan masing-masing melakukan pengawasan, monitoring dan pengendalian sistem informasi terhidap pelaksanaan kegiatan pembinaan dan pengembangan Bengkel Umum Kendaraan Bermotor sebagai Unit Pengujian Berkala Kendaraan Bermotor. Evaluasi atas pelaksanaan pengawasan, monitoring, pengendalian dan sistem informasi.
Tanggungjawab Bengkel Terhadap Konsumen
Keawaman terhadap teknik mesin dan ketidk puasan pelanggan biasanya hanya menyebabkan para konsumen tidak lagi memperbaiki kendaraan di tempat yang sama, walau terkadang kerugian yang ia derita. Bengkel pada dasarnya juga merupakan kegiatan usaha yang pada akhirnya nanti memnghasilkan keuntungan, karena hal tersebut maka pemilik bengkel juga merupakan pelaku usaha jasa yang memberikan jasa perbaikan disertai penjualan suku cadang otomotif kendaraan bermotor.
Berdasarkan dua kegiatan tersebut maka, jelas bahwa ada tanggungjawab barang yang dijual pemilik bengkel terhadap pembeli dan adapula tanggungjawab jasa servis kendaraan kepada konsumen. Tanggungjawab ini muncul ketika terjadi ketidak sesuaian prestasi antara konsumen dan pelaku usaha. Terkadng memang karena ketidak mengertian pemilik kendaraan akan mesin, pelaku usaha yang curang memanfaatkan kondisi ini dengan memberikan servis yang setengah-setengah dengan harapan dalam jangka waktu yang dekat, kendaraan tersebut datang lagi ke bengkelnya untuk diperbaiki. Berdasarkan hal tersebut tentulah keuntungan yang diharapkan pelaku usaha akan tercapai. Perbuatan curang ini tentunya tidak baik dan bertentangan dengan hukum yaitu penipuan. Untuk itu setidaknya konsumen harus mengetahui bidang teknik mesin atau setidaknya dasar hukum yang mengatur perikatan antara konsumen dan pelaku usaha.
Hukum adalah rangkaian peraturan-peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai anggota masyarakat, sedang satu-satunya tujuan dari hukum ialah mengadakan keselamatan, bahagia, dan tata tertib dalam masyarakat itu. Hukum menjadi pedoman tingkah laku manusia dan masuk ke seluruh aspek kehidupan manusia. Salah satu aspek kehidupan manusia, yaitu sebagai makhluk sosial, mengakibatkan manusia akan selalu hidup berdampingan demi menjaga keberlangsungan hidupnya. Pergaulan hidup manusia tersebut terdiri dari berbagai kepentingan yang beraneka ragam dan membentuk suatu hubungan. Hubungan tersebut senantiasa diatur oleh hukum sehingga disebut hubungan hukum.
Tanggung jawab pelaku usaha timbul karena adanya hubungan antara produsen dengan konsumen. Pelaku usaha dapat dikenakan pertanggung jawaban apabila barang-barang yang dibeli oleh konsumen terdapat menderita kerugian, produknya cacat dan berbahaya, dan bahaya terjadi tetapi tidak diketahui sebelumnya.
Seiring dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, maka setiap pelaku usaha harus dapat mempertanggungjawabkan produk atau jasa yang mereka jual kepada konsumen. Undang-undang tersebut memberikan kewajiban kepada pelaku usaha untuk memberikan perlindungan kepada konsumennya atas produk dan atau jasa yang mereka jual.
Pasal 19 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa pelaku usaha mempunyai tanggung jawab sebagai berikut, yaitu:
Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.
Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ini diharapkan dapat mendidik masyarakat Indonesia untuk lebih menyadari akan segala hak dan kewajiban yang dimiliki terhadap pelaku usaha seperti yang dapat kita baca pada konsiderans undang-undang tersebut bahwa untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu peningkatan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggungjawab.
Dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ditentukan bahwa pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
BAB XI
KENDARAAN TIDAK BERMOTOR
Jenis-Jenis Kendaraan Tidak Bermotor
Pasal 1 butir ke 7 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu-Lintas dan Angkutan Jalan menyatakan bahwa, kendaraan adalah suatu sarana angkut di jalan yang terdiri atas Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Tidak Bermotor. Berdasarkan pengertian kendaraan tersebut maka dapat diketahui bahwa, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu-Lintas dan Angkutan Jalan telah mengkualifikasikan penggunaan jalan tidak hanya milikkendaraan bermotor tetapi juga kendaraan tidak bermotor.
Pasal 1 butir ke 8 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu-Lintas dan Angkutan Jalan menyatakan bahwa, kendaraan Bermotor adalah setiap, Kendaraan yang digerakkan oleh peralatan mekanik berupa mesin selain Kendaraan yang berjalan di atas rel. sedangkan Pasal 1 butir ke 9 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu-Lintas dan Angkutan Jalan menyatakan bahwa, kendaraan Tidak Bermotor adalah setiap Kendaraan yang digerakkan oleh tenaga manusia dan/atau hewan.
Sebagaimana tadi telah disebutkan bahwa kendaraan dibedakan menjadi kendaraan bermotor dan kendaraan tidak bermotor. Kendaraan Tidak Bermotor yang digerakkan oleh tenaga orang yang terdiri atas:
sepeda;
becak;
kereta dorong.
Kendaraan Tidak Bermotor yang ditarik oleh tenaga hewan dapat berupa kereta, delman, dan cikar atau nama lain sesuai nama adat didaerah setempat.
Sepeda sesuai dengan ketentuan Pasal 115 Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2012 tentang Kendaraan memiliki ukuran:
lebar maksimum 550 (lima ratus lima puluh) milimeter;
panjang maksimum 2.100 (dua ribu seratus) milimeter.
Sepeda harus dilengkapi dengan spakbor dan rem. Spakbor tersebut haruslah memenuhi persyaratan mampu mengurangi percikan air ke arah belakang dan memiliki lebar paling sedikit sama dengan telapak ban. Rem sepeda harus berfungsi dengan baik untuk memperlambat dan menghentikan sepeda. Rem sepeda paling sedikit dipasang pada roda penggerak sepeda sesuai dengan besarnya beban.
Kendaraan tidak bermotor seperti becak harus memiliki ukuran lebar maksimum 1.500 (seribu lima ratus) millimeter, tinggi maksimum 1.800 (seribu delapan ratus) milimeter dan panjang maksimum 2.800 (dua ribu delapan ratus) milimeter. Becak harus dilengkapi sistem suspensi berupa penyangga yang mampu menahan beban, getaran dan kejutan untuk menjamin keselamatan. Becak haruslah dilengkapi dengan spakbor dan juga rem seperti halnya sepeda. Spakbor becak harus memenuhi persyaratan mampu mengurangi percikan air ke arah belakang dan memiliki lebar paling sedikit sama dengan telapak ban. Rem becak harus berfungsi dengan baik untuk memperlambat dan menghentikan becak. Rem becak juga paling sedikit dipasang pada roda penggerak becak sesuai dengan besarnya beban.
Kereta dorong atau gerobak harus memiliki ukuran lebar maksimum 1.500 (seribu lima ratus) millimeter, tinggi maksimum 2.000 (dua ribu) millimeter dan panjang maksimum 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter. Kereta dorong yang ketinggiannya melebihi bahu orang yang mendorongnya harus memiliki bidang pandang bagi pendorongnya untuk dapat melihat ke depan.
Kendaraan Tidak Bermotor yang ditarik oleh tenaga hewan untuk mengangkut orang dibedakan atas hewan penariknya. Kendaraan yang ditarik dengan 1 (satu) ekor hewan hanya boleh memiliki lebar maksimum 1.700 (seribu tujuh ratus) millimeter, tinggi maksimum 2.250 (dua ribu dua ratus lima puluh) millimeter dan panjang maksimum 5.250 (lima ribu dua ratus lima puluh) milimeter. Sedangkan kendaraan tidak bermotor yang di tarik dengan 2 (dua) ekor hewan harus memiliki lebar maksimum 2.000 (dua ribu) millimeter, tinggi maksimum 2.300 (dua ribu tiga ratus) millimeter dan panjang maksimum 6.000 (enam ribu) milimeter.
Kendaraan Tidak Bermotor yang ditarik oleh tenaga hewan untuk mengangkut barang juga dibedakan atas jumlah hewan penariknya. Untuk yang ditarik dengan 1 (satu) ekor hewan lebar maksimum 2.200 (dua ribu dua ratus) millimeter, tinggi maksimum 2.200 (dua ribu dua ratus) millimeter dan panjang maksimum 5.000 (lima ribu) milimeter. Untuk yang ditarik dengan 2 (dua) ekor hewan lebar maksimum 2.200 (dua ribu dua ratus) millimeter, tinggi maksimum 2.700 (dua ribu tujuh ratus) millimeter dan panjang maksimum 5.400 (lima ribu empat ratus) milimeter.
Kendaraan Tidak Bermotor jenis kereta yang ditarik dengan tenaga hewan harus dilengkapi dengan alat bantu yang berfungsi untuk memperlambat kecepatan Kendaraan sebagai pengganti rem. Alat bantu tersebut harus dapat dikendalikan dari tempat duduk pengemudi tanpa mengganggu pengemudi dalam mengendalikan atau mengemudikan Kendaraan.
Polusi dan Kampanye Bike To Work
Menurut sejarah, sepeda ditemukan di Perancis pada akhir abad 18. Di negeri itu, alat transportasi roda dua ini dinamai velocipede. Selama bertahun-tahun, velocipede menjadi satu-satunya istilah yang merujuk hasil rancang bangun kendaraan roda dua. Tapi menurut sumber lain, konon sepeda pertama kali ditemukan di Inggris sekitar tahun 1970.
Menurut sejarah, sepeda ditemukan di Perancis pada akhir abad 18. Di negeri itu, alat transportasi roda dua ini dinamai velocipede. Selama bertahun-tahun, velocipede menjadi satu-satunya istilah yang merujuk hasil rancang bangun kendaraan roda dua. Tapi menurut sumber lain, konon sepeda pertama kali ditemukan di Inggris sekitar tahun 1970.
Saat pertama diciptakan, jangan membayangkan sepeda itu sudah lengkap seperti sepeda-sepeda yang kalian miliki sekarang. Yang disebut sepeda pada waktu itu adalah dua papan berbentuk bulat yang berfungsi sebagai roda kemudian dihubungkan dengan rangka kayu untuk menyatukan keduanya. Bisa dibayangkan, betapa canggung dan besar tampilan sepeda pada zaman itu. Cikal bakal sepeda ini kemudian diberi nama Hobby Horses dan Celeriferes.
Pada tahun 1818, seorang mahasiswa matematika dan mekanik di Heidelberg, Jerman bernama Baron Karls Drais von Sauerbronn menyempurnakan velocipede hingga mempunyai mekanisme kemudi pada bagian roda depan. Drais memberi sebuah system yang memungkinkan roda depan bisa berbelok kekanan atau kekiri. Dengan mengambil tenaga gerak dari kedua kaki, Drais mampu meluncur lebih cepat saat berkeliling kebun. Sepeda bikinan Drais ini dijuluki "dandy horse" (kuda gaya). Drais sendiri menyebut kendaraan ini dengan nama, Draisienne.
Proses penciptaan selanjutnya dilakukan oleh Kirkpatrick Macmillan. Saat itu pada tahun 1839, di Inggris, Mac Milan yang bekerja sebagai pandai besi mulai berpikir untuk membuat sepeda yang lebih baik. Kemudian, Mac Milan berhasil membuat sepeda yang dapat bergerak tanpa menapakkan kaki ke tanah. Ia menambahkan batang penggerak yang menghubungkan antara roda belakang dengan ban depan dan meletakan sebuah pedal kayu untuk menggerakannya roda. Untuk menjalankannya, tinggal mengayuh pedal yang ada.
Sementara itu, di kota Paris, Prancis, seseorang yang bernama Kirkpatrick Macmillan juga sedang berusaha untuk memodifikasi sepeda buatan Drais. Michaux dan putranya membuat sepeda yang dijalankan dengan pedal. Sepeda buatan Michaux memperoleh sambutan luar biasa. Dengan pedal, mengendarai sepeda menjadi lebih ringan dan menyenangkan. Agar sepeda dapat berlari kencang, maka ia memperbesar roda depannya.
Kendaraan ini semakin sempurna setelah seorang Prancis lainnya yang bernama Pierre Lallement memperkuat roda dengan menambahkan lingkaran besi di sekelilingnya (sekarang dikenal sebagai pelek atau velg) pada tahun 1865. Lallement juga yang memperkenalkan sepeda dengan roda depan lebih besar daripada roda belakang.
Pada tahun 1870, James Starley mulai membuat sepeda dengan roda depan yang sangat besar sedang roda belakangnya sangat kecil. Kemudian Starley berhasil membuat terobosan dengan mencipta roda berjari-jari dan metode cross-tangent. Dengan sistem jari-jari pada roda, Starley bisa menghemat material kayu dan membuat sepeda lebih ringan untuk dikendarai. Sayangnya, sepeda dengan roda yang besar itu memiliki banyak kekurangan. Karena posisi pedal dan jok yang cukup tinggi, kaum wanita dan orang-orang yang tidak begitu tinggi mengeluhkan kesulitan untuk mengendarainya.
Untunglah pada tahun 1886 kekurangan itu diperbaiki oleh keponakan Starley yang bernama John Kemp Starley. Ia berhasil membuat sepeda yang lebih aman untuk dikendarai oleh siapa saja. Ia memasang rantai dan menyamakan besarnya roda depan dan belakang. Penemuan yang tak kalah penting juga dilakukan John Boyd Dunlop pada tahun 1888. Dunlop berhasil menemukan teknologi ban sepeda yang bisa diisi dengan angin (pneumatic tire). Dari sinilah, awal kemajuan sepeda yang pesat. Kemudian laju sepeda pun tak lagi berguncang dan beragam bentuk sepeda berhasil diciptakan.
Begitulah kira-kira sejarah terbentuknya sepeda yang nantinya akan mempengaruhi pembentukan kendaraan-kendaraan lainnya seperti motor, mobil dan lain sebagainya. Setiap penemuan manusia baik berupa cipta karya dan karsa disebut sebagai budaya. Budaya untuk terus bersepeda dan melestarikan sepeda sebagai alat transportasi banyak dimiliki masyarakat dunia.
Di Amsterdam, Belanda sejak sekitar tahun 1800-an, sepeda menjadi alat transportasi sehari-hari bagi semua kalangan umur. Pemerintah sangat memanjakan pengendara sepeda. Pada jalur khusus sepeda, terdapat rambu lalu lintas, lampu merah, dan terowongan. Bahkan, ada jembatan penyebrangan dengan jalur khusus sepeda. Sistem lalu lintas yang tertata rapi membuat pengendara sepeda merasa aman. Selain itu, ada fasilitas sepeda gratis yang bisa dipakai di area sekitar.
Di Berlin, Jerman terdapat 80 kilometer jalur khusus sepeda yang terhampar di jalan utama. Terdapat 400 ribu pesepeda setiap hari. Selain membuat berbagai fasilitas dan bike rentals bagi pesepeda, pemerintah membuat situs online untuk memudahkan warganya mengetahui rute bersepeda.
Selain terkenal dengan adanya jalur khusus sepeda, di Barcelona Spanyol juga terkenal dengan layanan Bicing, layanan penyewaan sepeda. Penyewa yang mendaftar akan memperoleh kartu yang bisa digunakan untuk meminjam sepeda di 100 pos yang tersebar di seluruh Barcelona. Selain itu, di Spanyol juga diselenggarakan berbagai program yang mendukung budaya bersepeda, seperti Car Free Day, Sustainable and Safe Mobility Week, Festival of the Bicycle , serta Bike Week ProgramDi Jepang, sebagian besar warganya menggunakan sepeda sebagai alat transportasi pribadi. Pemerintah sangat mendukung budaya bersepeda ini dengan menyediakan berbagai fasilitas, seperti jalan khusus sepeda, tempat penyebrangan sepeda, dan tempat parkir di semua tempat umum. Bahkan, sudah ada beberapa tempat parkir khusus sepeda yang menggunakan sistem komputer dan kunci khusus.
Budaya bersepeda di Jepang memang sudah tidak diragukan. Mulai dari anak-anak hingga orang dewasa banyak yang menggunakan sepeda sebagai alat transportasi pribadi mereka. Bersepeda di Jepang sangat nyaman, karena pemerintah Jepang menyediakan jalan khusus bagi pengendara sepeda. Sehingga kemanapun kita bersepeda, tidak pernah khawatir akan ketabrak motor/mobil. Jepang juga membentuk peraturan mengenai bersepeda di jalanan. Beberapa peraturan bersepeda di Jepang antara lain; setiap sepeda harus bernomor seri di tiap frame, tidak boleh jalan bersebelahan (harus beriringan), serta harus memiliki lampu & bel. Kalau sampai melanggar, nomor seri akan dicatat, dan akan dikirim tagihan pelanggaran. Dengan kata lain jika melanggar peraturan akan ditilang.
Bagi pengendara sepeda tidak perlu khawatir akan tempat parkir. Karena semua tempat umum di Jepang menyediakan tempat parkir bahkan di mall sekalipun. Tempat parkir di Jepang dikenal dengan nama Jitensha. Tempat parkir atau Jitensha ini bisa dijamin keamanannya. Dan khusus di Tokyo Bicycle Tower, tempat parkir khusus sepeda sudah menggunakan sistem komputer dengan kunci khusus dan serba praktis.
Fasilitas yang diberikan Pemerintah Jepang tidak hanya sampai disitu. Bagi pengendara sepeda tidak perlu bingung jika ingin menyebrang jalan karena tempat penyebrangan atau zebra cross bagi pengendara sepeda sudah disediakan oleh pemerintah. Sehingga bersepeda menjadi nyaman dan terasa aman.
Di jepang, semua nomor frame sepeda terdata dan tercatat di kantor polisi, Jadi Polisi juga berhak menilang para pengguna sepeda. Salah satu tata tertib bersepeda di sana adalah diharuskan berjalan berurut (harus baris mengular, tidak boleh bersebelahan, apalagi mengobrol ketika bersepeda). Teman saya sempat ditilang gara-gara ini. Namanya dicatat, kemudian esoknya dipanggil dan ditegur sama perusahaan.
Kembali lagi pertanyaannya adalah bagaimana dengan Indonesia, dengan berbagai macam kendaraan bermotor yang berjalan di jalanan, dan puluhan juta knalpot bising yang siap memancarkan asapnya, menimbulkan polusi udara, apakah masih ada kesadaran bersepeda guna mengurangi polusi udara.
Tingkat pencemaran udara di Indonesia semakin memprihatinkan. Bahkan salah satu studi melaporkan bahwa Indonesia menjadi negara dengan tingkat polusi udara tertinggi ketiga di dunia. World Bank juga menempatkan Jakarta menjadi salah satu kota dengan kadar polutan/partikulat tertinggi setelah Beijing, New Delhi dan Mexico City. Di Indonesia sendiri, sebagaimana data yang dipaparkan oleh Pengkajian Ozon dan Polusi Udara Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Jawa Barat menduduki peringkat polusi udara tertinggi di Indonesia.
Dari semua penyebab polusi udara yang ada, emisi transportasi terbukti sebagai penyumbang pencemaran udara tertinggi di Indonesia, yakni sekitar 85 persen. Hal ini diakibatkan oleh laju pertumbuhan kepemilikan kendaraan bermotor yang tinggi. Sebagian besar kendaraan bermotor itu menghasilkan emisi gas buang yang buruk, baik akibat perawatan yang kurang memadai ataupun dari penggunaan bahan bakar dengan kualitas kurang baik (misalnya kadar timbal yang tinggi). Kebakaran hutan dan industri juga turut berperan. Dari segi kesehatan, pencemaran udara dapat berakibat pada terganggunya kesehatan dan pertumbuhan anak-anak. Misalnya anemia. Memang, di masa pertumbuhan sel-sel darah merah terus diproduksi. Namun, karena masuknya timbal akan merusak sel darah merah, maka jumlahnya makin lama makin berkurang dan akhirnya anak menderita anemia.
Timbal yang masuk ke dalam tubuh juga akan merusak sel-sel darah merah yang mestinya dikirim ke otak. Akibatnya, terjadilah gangguan pada otak. Hal yang paling dikhawatirkan, anak bisa mengalami gangguan kemampuan berpikir, daya tangkap lambat, dan tingkat IQ rendah. Dalam hal pertumbuhan fisik, keberadaan timbal ini akan berdampak pada beberapa gangguan, seperti keterlambatan pertumbuhan dan gangguan pendengaran pada frekuensi-frekuensi tertentu.
Untuk itu budaya bersepeda perlu di tingkatkan di Indonesia, masyarakat Indonesia harus sadar bahwa, jangan semua hal harus di sandarkan pada kendaraan bermotor, untuk keluar komplek perumahan misalnya atau untuk mengantar anak sehari-hari kita bisa menggunakan sepeda. Berangkat sekolah, berangkat kekantor dengan sepeda rasanya dapat menjadi alternatif kemacetan dan juga sebagai penanggulangan polusi udara.
BAB XII
PENGEMUDI DAN SYARAT MENGEMUDI
Surat Izin Mengemudi
Prosedur dan tatacara mendapatkan Surat Izin Mengemudi
Pendidikan dan Pelatihan Pengemudi
Sulitnya mendapatkan SIM, lebih baik Nyogok saja lah
BAB XIII
ISYARAT, KEAMANAN DAN KESELAMATAN BERLALU LINTAS
Rambu dan Marka Jalan
Informasi merupakan hal yang diperlukan dalam tugas-tugas mengemudi, dan rambu lalu-lintas penting sebagai alat untuk menganjurkan, memperingatkan dan mengontrol pengemudi dan pemakai jalan lainnya. Rambu-rambu tersebut harus efektif dalam lingkungannya, baik di atas maupun di luar jalan, siang dan malam, secara menerus pada berbagai kondisi cuaca.
Informasi yang ditampilkan pada rambu harus tepat dalam pengertian sesuai pesan yang ditampilkan melalui kata-kata, simbol-simbol atau bentuk gabungan kata dan simbol. Frekuensinya harus seperti membuat perhatian langsung setiap saat dibutuhkan tetapi tidak boleh secara sembarangan yang dapat menjadikan tidak diperhatikan.
Jenis-Jenis dan Arti Rambu Jalan
Tata Cara Berlalu Lintas
Penyalaan Lampu Sepeda Motor Pada Siang Hari /Daytime Running Lights/Drls dan Pengaruh Terhadap Tingkat Kecelakaan Lalu Lintas
Untuk menekan angka kecelakaan lalu lintas yang dirasakan sangat tinggi, upaya ke depan diarahkan pada penanggulangan secara komprehensif yang mencakup upaya pembinaan, pencegahan, pengaturan, dan penegakan hukum. Upaya pembinaan tersebut dilakukan melalui peningkatan intensitas pendidikan berlalu lintas dan penyuluhan hukum serta pembinaan sumber daya manusia.
Upaya pencegahan dilakukan melalui peningkatan pengawasan kelaikan jalan, sarana dan prasarana jalan, serta kelaikan Kendaraan, termasuk pengawasan di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang lebih intensif. Upaya pengaturan meliputi Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas dan modernisasi sarana dan Prasarana Lalu Lintas. Upaya penegakan hukum dilaksanakan lebih efektif melalui perumusan ketentuan hukum yang lebih jelas serta penerapan sanksi yang lebih tegas. Upaya untuk mencegah kecelakaan juga di atur dalam Pasal 107 Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang mengharuskan pengemudi kendaraan bermotor menyalakan lampu disiang hari.
Pasal 107 Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, menyebutkan bahwa (1) Pengemudi kendaraan bermotor wajib menyalakan lampu utama kendaraan bermotor yang digunakan di jalan pada malam hari dan pada kondisi tertentu, (2) Pengemudi sepeda motor selain mematuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyalakan lampu utama pada siang hari. Ayat kedua pada Pasal tersebut kemudian mengundang kontroversi di kalangan masyarakat.
Ada alasan ilmiah mengapa penyalaan lampu sepeda motor pada siang hari /Daytime Running Lights/Drls dimasukan kedalam rumusan Pasal 107 Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, antara lain :
Mata sebagai Sinyal Umpan Balik (Feedback Signal)/Sensor
Saat mengendarai kendaraan, mata adalah salah satu panca indera yang paling penting. Indera mata itulah yang menjadi sensor penghindar kecelakaan. Untuk dapat memberikan respon, mata membutuhkan suatu bentuk stimulus awal. Syarat utama terjadinya hubungan stimulus respon bukanlah jarak, tetapi adanya saling kesesuaian antara stimulus dan respon. Jika seseorang melihat suatu objek maka stimulus yang mengenai mata bukanlah objeknya secara langsung, tetapi sinar yang dipantulkan oleh objek tersebut yang bekerja sebagai stimulus yang mengenai mata. Stimulus yang diindera itu lalu diorganisasikan dan kemudian diinterpretasikan sehingga seseorang tersebut menyadari, serta mengerti tentang apa yang diindera itu.
Mata bekerja dengan cara menangkap pantulan sinar yang diperoleh pada jarak pandang mata. Pantulan-pantulan itu akan menentukan persepsi pengendara terhadap warna, bentuk dan jarak. Semua variabel hasil pengukuran ini jelas memengaruhi reaksi pengendara kendaraan tersebut. Sinyal dari mata akan diteruskan ke otak yang berfungsi sebagai pengendali (controller), kemudian menghasilkan stimulasi gerakan tubuh (tactile atau body movement) yang dalam hal ini sebagai aktuator (actuator) untuk menjaga kestabilan dan gerak laju kendaraan.
Pengaruh Blind Spot Pada Peningkatan Kecelakaan Lalu Lintas
Mata dapat berfungsi sebagai sensor yang sangat baik, mengapa tingkat kecelakaan lalu lintas masih tinggi? Ini ada hubungannya dengan apa yang disebut dengan blind spot, yaitu area penglihatan pengguna jalan yang tak dapat dipantau dengan sempurna karena terhalang suatu objek yang bisa berbentuk pengguna jalan yang lain, sarana-prasarana lalu lintas, dan lain sebagainya.
Dari sebuah hasil penelitian, disebutkan bahwa blind spot adalah penyebab kecelakaan yang sering merenggut korban jiwa. Ini dapat dijelaskan dari sudut pandang biologis dan psikologis manusia. Jika terjadi suatu kondisi blind spot, maka yang muncul pada pengemudi tersebut adalah reaksi reflek atau keterkejutan. Pengemudi yang terlatih menghadapi bahaya kejutan cenderung bergerak reflek seperti mengerem atau menghindar ke arah yang lain. Dalam mekanisme reflek, rangsangan yang diterima langsung melewati sumsum tulang belakang dan diteruskan lewat efektor dengan sangat cepat melebihi gerak sadar yang harus melewati otak terlebih dahulu. Namun sebaliknya, pengemudi lainnya mungkin hanya dapat berteriak. Bahkan dalam kasus tertentu bisa saja malah menekan gas lebih dalam karena terkejut yang merupakan gerak reflek tak terkendali.
Penerapan Daytime Running Lights/Drls di Indonesia pada dasarnya merupakan kebijakan yang didasarkan pada penerapan hasil Daytime Running Lights/Drls di negara lain. Sehingga untuk mengetahui awal mula kebijakan Daytime Running Lights/Drls di Indonesia, perlu diketahui penelitian-penelitian mengenai penerapan Daytime Running Lights/Drls di negara lain. Penelitian mengenai di berbagai negara anata lain:
Andersson, K., Nilsson, G., dan Salusjarvi, M.: Efek dari penggunaan lampu kendaraan yang diwajibkan di Finland terhadap kecelakaan lalulintas.Report 102A. National Road and Traffic Research Institute, Linkoping, Sweden, 1976. Suatu penelitian dilakukan di Finland antara 1968 hingga 1974 melaporkan bahwa DLR, jika dilakukan pada jalanan umum pada saat musim salju memberikan pengurangan sebesar 21 persen pada kecelakaan pada siang hari dimana kecelakaan meliputi lebih dari satu motor atau motor menabrak pejalan kaki atau pengendara sepeda. Efek dari penggunaan lampu kendaraan yang diwajibkan untuk dipergunakan disiang hari di Swedia. Report 208A. National Road and Traffic Research Institute, Linkoping, Sweden, 1981. Di Swedia, sebuah penelitian yang dilakukan selama 2 tahun sebelum dan 2 tahun sesudah ditetapkan peraturan penggunaan DLR melaporkan bahwa berkurangnya kecelakaan kendaraan bermotor sebanyak 11 persen dari perbandingan sebelum dan sesudah peraturan tersebut ditetapkan.
Vaaje, T.: Kjorelys om dagen reducerer ulykkestallene. Arbetsdokument 15.8.1986. Transportokonomisk institutt, Postboks 6110 Etterstad, N-0602 Oslo 6, Norway, 1986. Sebuah penelitian dilakukan di Norwegia dan direview oleh Koornstra menemukan pengurangan jumlah kecelakaan sebesar 14 persen dari hasil membandingkan sebelum dan sesusah peraturan DLR diterapkan antara tahun 1980 s/d 85, dimana pada periode tersebut banyak orang melakukan DLR dengan sukarela. Elvik, R.: Efek dari penggunaan lampu mobil yang diwajibkan untuk dipergunakan disiang hari di Norwegia. Accid Anal Prev 25: 383-398 (1993). Suatu penelitian di Norwegia, antara tahun 1980 hingga 1990, yang mengamati efek atas penerapan peraturan DLR di negara tersebut, dimana diberlakukan terhadap mobil baru pada tahun 1985 dan pada seluruh mobil di awal 1988. Penggunaan DLR diperkirakan pada 30 s/d 35 persen di tahun 1980-81, 60 s/d 65 persen pada 1984-85, dan 90 s/d 95 persen pada 1989-90, maka, sebagaimana dilaporkan pada penelitian skandinafia sebelumnya, dimana hanya sebagian dari pelaksanaan DLR saja; Secara statistik, terjadi penurunan 10 persen kecelakaan kendaraan bermotor pada siang hari secara berkala dan terus menerus pada setiap fase laporan ini juga melaporkan kecelakaan tabrak belakang, yang justru naik 20 persen. Untuk kecelakaan di siang hari yang meliputi tabrakan yang bukan solo-crash, secara statistik terjadi penurunan 15 persen pada musim panas dan bukan pada musim dingin. Tidak banyak perubahan pada jumlah kecelakaan yang terjadi terhadap pejalan kaki atau pengendara motor dari implementasi DLR ini.
Hansen, L. K.: Evaluasi efek keselamatan – DLR di Denmark. Danish Council of Road Safety Research, Copenhagen, 1993; Hansen, L. K.: DLR: Pengalaman dari penerapan peraturan wajib DLR di Denmark. Fersi Conference, Lille, 1994. Kedua penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi sebuah peraturan di Denmark pada tahun 1990, Salah satunya menganalisa efek jangka pendek, sementara yang satunya lagi menganalisa untuk jangka panjang. Hasil dari kedua penelitian ini dirasakan cukup konsisten. Ada sedikit pengurangan, sebesar 7 persen, terhadap kecelakaan kendaraan bermotor non-solo, pada 1 tahun pertama dan 3 bulan semenjak peraturan diberlakukan, Satu dari kecelakaan yang punya relevansi dengan DLR (berbelok ke kiri didepan kendaraan dari arah berlawanan) justru berkurang 37 persen. Dalam penelitian kedua, dimana mencakup 2 tahun dan 9 bulan setelah peraturan diberlakukan, terjadi 6 persen pengurangan kejadian kecelakaan kendaraan bermotor non-solo and dan 34 persen pengurangan pada kecelakan "belok ke kiri". Terjadi sedikit pengurangan pada kecelakaan yang melibatkan motor dan sepeda (4 persen) namun secara statistik terjadi kenaikan 16 persen kecelakan yang melibatkan motor dan pejalan kaki.
Penelitian di Amerika Utara banyak kritik terhadap implementasi DLR dilakukan dengan menyerang laporan penelitian internasional diatas yang dinilai tidak konsisten dan tidak memberikan laporan yang kurang-lebih sama (unequivical) dan akan berbeda jika DLR diimplementasikan di Amerika Utara. Hasil hasil penelitian berikut ini menampik kritik-kritik tersebut. Cantilli, E. J.: Pengalaman Kecelakaan dengan penggunaan lampu parkir yang dihidupkan siang hari. Highway Research Record Report No. 32. National Research Council, Transportation Research Board, Washington, DC, 1970.
Di US, sebuah penelitian keicl dilakukan tahun 1960 menemukan bahwa kecelakaan non-solo lebih sedikit 18 persen sewaktu membandingkan kendaraan dengan DLR dan kendaraan tanpa DLR. Stein, H. S.: Pengalaman penggunaan DLR di US. Technical Paper 851239. Society of Automotive Engineers, Warrendale, PA. 1985. Sebuah penelitian lebih besar dilakukan pada tahun 1980-an, lebih dari 2000 kendaraan dalam 3 grup diberikan alat DLR (lampu yang hidup terus jika mesin dihidupkan, siang dan malam). 1 grup di Connecticut, 1 grup di beberapa negara bagian di barat daya, dan 1 grup disebar diseluruh US. Perbedaan 7 persen lebih sedikit pada kecelakaan antara kendaraan dengan DLR dan kendaraan tanpa DLR.
Aurora, H., et al.: Ke-efektifan pengunaan DLR di Kanada Canada. TP 12298 (E). Transport Canada, Ottawa, 1994. Dalam sebuah penelitian di Kanada, membadingkan kendaraan model tahun 1990-an (menggunakan DLR) dengan model 1989-an, perbedaan statistik yang mencolok, 11 persen pengurangan kecelakaan di siang hari. Ditambahkan bahwa pada faktanya mobil-mobil tahun 1989, sebanyak 29 persen telah melakukan DLR. Tabrakan melibatkan pejalan kaki, sepeda, motor dan truk besar serta bus tidak disebutkan dalam laporan ini.
Sparks, G. A., et al.: Efek dari penggunaan DLR pada kecelakaan antara 2 kendaraan di Saskatchewan: penelitian terhadap armada kendaraan pemerintah. Accid Anal. Prev 25: 619-625 (1991). Penelitian lainya di kanada, Kecelakaan antara kendaraan dengan dan tanpa DLR pada armada kendaraan pemerintah di Saskatchewan dibandingkan dengan contoh acak pada kecelakaan-kecelaan tanpa DLR. Pada awalnya diperkirakan hingga 15 persen pengurangan kecelakaan di siang hari. Kenyataanya, saat sampling dibatasi hanya pada kecelakaan yang melibatkan 2 kendaraan saja dan punya hubungan dengan DLR dimana melibatkan kendaraan yang datang dari arah berawanan atau datang dari samping pengurangan terjadi hingga 28 persen.
Society of Automotive Engineers Inc., Automotive Engineering Vol. 102 ; No. 8 ; Pg. 35; ISSN: 0098-2571 (August, 1994). Pada 1994, Avis Inc, mengumumkan hasil penelitian keamanan perjalanan yang menganalisa kecelakan dan tingkat kerusakan pada mobil yang dilengkapi dengan lampu DLR. Penelitian tersebut menunjukan perbedaan yang mencolok pada tingkat kerusakan pada mobil yang tidak dilengkapi DLR dibandingkan dengan yang menggunakan DLR. DLR yang terpasang pada posisi depan dan selalu hidup setiap saat mobil dioperasikan. Pada siang hari, lampu akan hidup dengan tingkat operasi 80%, sedangkan pada malam hari 100%.
Tingkat kerusakan pada kendaraan tanpa DLR (dihitung dari sisi biaya) memiliki 69% lebih mahal perbaikannya dibandingkan kendaraan dengan DLR. Hanya mobil tanpa DLR lah yang diperbaikin sampai lebih dari $15,000. Penelitian AVIS ini melibatkan 1500 mobil dengan DRL, dan 1500 tanpa, dan juga melibatkan hingga 29,000 mobil rental di delapan kota di Maine, Michigan, Ninnesota, New York, Oregon dan Washington
U.S. Department of Health and Human Services, Public Health Reports , Vol. 110 ; No. 3 ; Pg. 233; ISSN: 0033-3549 (May, 1995). Pada bagian bagian kesimpulan, walaupun DLR memiliki desain yang berbeda-beda dan teknik yang berbeda-beda, jika dilihat pada penelitian penelitian yang dilakukan dari waktu ke waktu, secara umum, penggunakan DLR memberikan efek yang positif.
Kriktik pada DRL banyak menyebutkan bahwa DLR pada awalnya mungkin berpengaruh positif. Namun setelah orang-orang terbiasa dengan cahaya dari kendaraan dengan DLR, maka efek dari DLR itu sendiri akan hilang. Analisa dan penelitian berikut ini membuktikan bahwa argumen tersebut adalah salah.
U.S. Department of Health and Human Services, Public Health Reports , Vol. 110 ; No. 3 ; Pg. 233; ISSN: 0033-3549 (May, 1995). Penelitian yang dilakukan berkali-kali telah membahas mengenai hal efektifitas DLR ini dan juga membahas efek negatif dari penggunaan DLR pada beberapa pengguna jalan. Pernah disarankan agar DLR diperkenalkan pada populasi kendaraan yang kecil terlebih dahulu, pengurangan kecelakaan yang baik terjadi karena DLR masih dianggap baru dan dibilang unik dan menjadikan kendaraan menjadi mencolok diantara kendaraan yang tidak melakukan DLR. Saat orang-orang menjadi terbiasa melihat kendaraan dengan DLR, hal itu (DLR) menjadi biasa, dan efektifitas DLR menjadi berkurang, karena orang akan cenderung tidak lagi memperhatikan cahaya-cahaya tersebut.
Ke-tiga penelitian skandinafia sebelumnya meneliti efek dari DLR setelah beberapa tahun dimana penggunaan DLR meningkat, dan efek DLR yang diperkirakan di Swedia dan Finlandia saat DLR telah dipergunakan oleh seluruh kendaraan. Maka ketika penggunaan DLR sudah menjadi umum dan menjadi kebiasaan, efektifitas penggunaan DLR pada penelitian awal tersebut masih tetap positif jika terus dilakukan terus menerus secara konstan 100 persen. Penelitian berikutnya juga bahwa efek positif pada DLR yang pada awalnya timbul tidak berkurang dari waktu ke waktu. Berkurangnya kecelakaan yang yang terjadi dari hasil penelitian di Denmark didasarkan pada penelitian selama 15 bulan sejak penerapan peraturan mengenai DLR dan telah diperpanjang menjadi 33 bulan, membuktikan hal yang sama. Kesamaan hasil penelitian ini menjadikan para peneliti menyimpulkan bahwa efek dari DLR adalah permanen. Pada penelitian di Norwegia, berkurangnya kecelakaan berhasil dipertahakan selama 3 tahun (selama penelitian berlangsung) semenjak DLR di jalankan pada seluruh kendaraan.
Efek DLR pada Kendaraan Bermotor Roda 2 dirasakan oleh pengendara antara lain :
Beberapa kritik lainya mengatakan DLR pada mobil tidak akan mempunya efek yang sama pada motor yang menghidupkan lampu besarnya. Penelitian berikut ini menunjukan berbedaan yang tidak mencolok dibandingan DLR pada mobil.
Efek DLR pada motor telah diteliti di Denmark dan Norwegia, dimana pada siang hari, mengendara motor diminta untuk melakukan DLR lebih cepat dari berlakunya DLR untuk mobil. Dari hasil penelitian, terjadi perbedaan 4 persen lebih banyak, tidak mencolok secara statistik, kecelakaan pada pengendara motor.
Dalam evaluasi Hansen terhadap peraturan Denmark, kecelakaan non-solo pada kendaraan yang melibatkan kendaraan roda dua tidak berubah (tidak ada perubahan signifikan), namun kecelakaan pada malam hari dan kecelakaan solo pada siang hari pada kendaraan roda 2 telah berkurang, karenanya Hansen menyimpulkan bahwa mungkin ada "efek negatif yang kecil" dari DRL terhadap kecelakaan roda 2.
Dampak Positif dan Hasil Penenerapan Daytime Running Lights/Drls di beberapa Daerah/ Negara, antara lain :
Direktorat Lalu Lintas Kepolisian Daerah Metro Jaya telah membuktikan bahwa dengan adanya penerapan aturan DRLs tersebut mampu menekan angkat kecelakaan hingga lebih dari 20 persen hanya dalam jangka waktu dua bulan.
Direktorat Lalu Lintas Kepolisian Daerah Surabaya, pada tahun 2005 menerapkan program Daytime Running Lights/Drls berhasil mencatat penurunan angka kecelakaan sepeda motor hingga 50 %.
Penerapan aturan DRLs tersebut mampu menekan angkat kecelakaan di Malaysia hingga mencapai 30 persen.
Di Norwegia penerapan Daytime Running Lights/Drls berhasil menekan angka kecelakaan sampai 10%.
Di Denmark penerapan Daytime Running Lights/Drls berhasil menekan angka kecelakaan sampai 7%.
Penerapan Daytime Running Lights/Drls di Thailand berhasil menekan angka kecelakaan hingga 30%
Penerapan Daytime Running Lights/Drls di Amerika dan Eropa dapat dikurangi hingga 30 %
Berdasarkan beberapa pengamatan dan pengalaman, ada beberapa efek negatif yang ditimbulkan ketika para pengendara motor menyalakan lampunya di siang hari yang terik. Efek negatif tersebut antara lain:
Menambah beban kerja mesin kendaraan yang berakibat kepada borosnya bahan yang di pakai.
Mengurangi umur lampu (bohlam) karena sering di nyalakan baik siang ataupun malam.
Membuat suhu udara luar menjadi lebih panas, karena setiap benda yang memancarkan cahaya pasti memancarkan panas.
Membuat mata sakit bagi pejalan kaki yang melihatnya. Kalau satu dua motor tidak masalah, namun apa jadinya jika banyak kendaraan yang menyalakan lampu utama, mungkin bisa membutakan pejalan kaki.
Pemborosan uang karena biaya akan bertambah.
BAB XIV
HAK DAN KEWAJIBAN PEJALAN KAKI DALAM BERLALU LINTAS
BAB XV
ANGKUTAN ORANG DAN BARANG DALAM LALULINTAS
BAB XVI
PERUSAHAAN ANGKUTAN
BAB XVII
KECELAKAAN LALU LINTAS
Faktor-Faktor dan Upaya Menekan Kecelakaan di Jalan
Kecelakaan lalu-lintas merupakan suatu peristiwa yang tidak disangka-sangka dan tidak disengaja melibatkan kendaraan dengan atau tanpa pemakai jalan lainnya, yang mengakibatkan korban manusia (mengalami luka ringan, luka berat, dan meninggal) dan kerugian harta benda. Berdasarkan Pasal 1 angka 24 Undang-undang No 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan merumuskan definisi Kecelakaan Lalu Lintas adalah suatu peristiwa di Jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan Kendaraan dengan atau tanpa Pengguna Jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda.
Pada umumnya kecelakaan lalu-lintas dapat disebabkan oleh banyak faktor. Faktor-faktor tersebut dapat dikategorikan menjadi tiga yaitu :
Keadaan Pengemudi
Keadaan kendaraan
Keadaan jalan dan lingkungan.
Senada dengan hal tersebut Warpani berpendapat bahwa "penyebab kecelakaan dapat dikelompokkan dalam empat unsur, yaitu : manusia, kendaraan, jalan, dan lingkungan". Keempat unsur tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
Manusia
Manusia sebagai pemakai jalan yaitu sebagai pejalan kaki dan pengendara kendaraan baik kendaraan bermotor maupun kendaraan tidak bermotor. Interaksi antara faktor Manusia, Kendaraan, Jalan dan Lingkungan sangat bergantung dari perilaku Manusia sebagai pengguna jalan menjadi hal yang paling dominan terhadap Kamseltibcar Lantas, hal ini sangat ditentukan oleh beberapa indikator yang membentuk sikap dan perilakunya di Jalan raya berupa :
Mental
Mental dan perilaku yang membudaya dari pengguna jalan merupakan salah satu faktor utama yang sangat berpengaruh terhadap situasi lalu lintas. Etika, sopan - santun, toleransi antar pengguna jalan, kematangan dalam pengendalian emosi serta kepedulian pengguna jalan di jalan raya akan menimbulkan sebuah iteraksi yang dapat mewarnai situasi lalu lintas berupa hasil yang positif seperti terciptanya keamanan, keselamatan dan kelancaran lalu lintas maupun dampak negatif yang dapat menimbulkan kesemrawutan, kemacetan, pelanggaran dan kecelakaan lalu lintas, sehingga mentalitas pengguna Jalan merupakan suatu hal yang pondamental dalam mewujudkan situasi lalu lintas yang baik. Mental dan perilaku pengguna jalan merupakan suatu cerminan budaya berlalulintas, hal ini tidak dapat dibentuk secara instant oleh suatu lembaga tertentu, baik itu lembaga pendidikan maupun lembaga lainnya, tetapi terbentuk secara berkesinambungan mulai kehidupan sehari-hari dalam keluarga, lingkungan dan situasi lalu lintas yang kasat mata secara keseharian selalu terlihat oleh pengguna jalan sehingga membentuk kultur mentalitas berlalu lintas seseorang.
Pengetahuan
Dalam menciptakan dan memelihara Keamanan, Keselamatan, Ketertiban serta Kelancaran Lalu lintas, telah dilakukan pengaturan yang disesuaikan dengan perkembangan situasi lalu lintas yang ada dengan mempertimbangkan perkembangan teknologi di bidang transportasi baik yang berhubungan dengan kendaraan, sarana dan prasarana jalan serta dampak lingkungan lainnya dalam bentuk suatu aturan yang tegas dan jelas serta telah melalui roses sosialisai secara bertahap sehingga dapat dijadikan pedoman dalam berinteraksi di jalan raya. Setiap Pengguna Jalan wajib memahami setiap aturan yang telah dibakukan secara formal baik dalam bentuk Undang-Undang, Perpu, Peraturan Pemerintah, Perda dan aturan lainnya sehingga terdapat satu persepsi dalam pola tindak dan pola pikir dalam berinteraksi di jalan raya. Perbedaan tingkat pengetahuan dan atau pemahaman terhadap aturan yang berlaku mengakibatkan suatu kesenjangan yang berpotensi memunculkan permasalahan dalam berlalu lintas, baik antar pengguna jalan itu sendiri maupun antara pengguna jalan dengan aparat yang bertugas untuk melaksanakan penegakkan hukum di jalan raya. Selain pemahaman terhadap pengetahuan tentang peraturan perundangundangan yang berlaku, pengetahuan tentang karakteristik kendaraan merupakan suatu hal yang tidak dapat diabaikan, setiap kendaraan memiliki karakteristik yang berbeda dalam penanganannya, pengetahuan terhadap karakteristik kendaraan sangat berpengaruh terhadap operasional kendaraan di jalan raya yang secara otomatis akan berpengaruh pula terhadap situasi lalu lintas jalan raya, pengetahuan tentang karakteristik kendaraan bisa didapat dengan mempelajari buku manual kendaraan tersebut serta dengan mempelajari karakter kendaraan secara langsung (fisik).
Keterampilan
Kemampuan dalam mengendalikan (Mengendarai / Mengemudi) Kendaraan baik kendaraan bermotor maupun kendaraan tidak bermotor di jalan raya akan berpengaruh besar terhadap situasi lalu lintas, keterampilan mengendalikan kendaraan merupakan suatu keharusan yang mutlak demi keamanan, keselamatan, ketertiban dan kelancaraan lalu lintas baik bagi pengemudi / pengendara kendaraan tersebut maupun pengguna jalan lainnya. Lisensi terhadap kemampuan dalam mengendalikan kendaraan di wujudkan secara formal melalui Surat Izin Mengemudi yang di keluarkan oleh SATPAS Polri sesuai dengan peruntukan kendaraan bermotor yang dikemudikan / dikendarai oleh pengguna jalan sesuai dengan Undang-Undang No 22 tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan Keterampilan mengendalikan (Mengendarai / Mengemudi) kendaraan baik kendaraan bermotor maupun kendaraan tidak bermotor diperoleh melalui serangkaian pelatihan sebelum mengajukan Lisensi keterampilannya (SIM), secara formal khusus untuk kendaraan bermotor setiap pemohon SIM diwajibkan telah memiliki ketrampilan mengemudikan kendaraan bermotor yang dapat diperoleh baik melalui lembaga pendidikan dan pelatihan mengemudi maupun tidak melalui lembaga pendidikan dan pelatihan mengemudi yang berarti pemohon telah melalui proses pelatihan keterampilan sebelum dilanjutkan proses pengujian keterampilannya untuk mendapatkan SIM.
Kecelakaan sangat ditentukan oleh faktor pengemudi. Pengemudi memiliki peranan yang besar dalam terjadinya kecelakaan lalu lintas. Pengemudi kurang antisipasi atau tidak mampu memperkirakan bahaya dapat menyebabkan kecelakaan lalu lintas. Laporan kecelakaan menunjukkan bahwa pengendaraan yang tidak baik, seringkali disertai pelanggaran hukum, terletak di dalam rantai kejadian yang mengakibatkan 73% dari kecelakaan fatal dan 83% dari seluruh kecelakaan jalan raya.
Kekurangan fisik dalam penglihatan, pendengaran, dan dari sebab lainnya kadang menjadi penyebab kecelakaan. Pengemudi dengan kekurangan ini menyumbangkan 1,3% dari kecelakaan fatal dan 0,6% dari seluruh kecelakaan dan dari pejalan kaki yang tewas, 5% di antaranya memiliki cacat ini.
Masalah kecelakaan dan keselamatan lalu lintas banyak yang berkaitan dengan perilaku manusia, untuk meningkatan keselamatan diperlukan peningkatan kesadaran dan pengetahuan dari masyarakat dan petugas bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, selain itu perlu upaya nyata dari pemerintah dalam meningkatkan keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan.
Kendaraan
Kendaraan adalah satu alat yang dapat bergerak di jalan, terdiri dari kendaraan bermotor atau kendaraan tidak bermotor, Kendaraan bermotor adalah kendaraan yang digerakkan oleh peralatan teknik yang berada pada kendaraan itu. Kendaraan merupakan salah satu faktor utama yang secara langsung terlibat dalam dinamika lalu lintas jalan raya dengan dikendalikan oleh manusia, interaksi antara manusia dan kendaraan dalam satu kesatuan gerak di jalan raya memerlukan penanganan khusus baik terhadap mental, pengetahuan dan keterampilan pengemudi maupun kesiapan (laik jalan) kendaraan tersebut untuk dioperasionalkan di jalan raya.
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi situasi lalu lintas jalan raya yang melibatkan kendaraan dapat di bagi dalam 2 (dua) faktor utama yaitu :
Kuantitas Kendaraan
Pertambahan jumlah kendaraan bermotor setiap tahunnya menunjukan angka yang signifikan, hal ini merupakan sebuah manifestasi dari Laju pembangunan Nasional seiring dengan era globalisasi menuntut adanya percepatan dalam bidang perekonomian dan keamanan tuntutan perkembangan di sektor lainnnya yang mengharuskan adanya percepatan mobilitas untuk pencapaian hasil secara optimal, apabila dipandang dari sisi ekonomi dan teknologi perindustrian memang hal ini merupakan sebuah prestasi yang sangat baik tetapi setiap suatu perubahan atau perkembangan di satu sektor akan menimbulkan dampak pada sektor yang lainnya, apabila tidak segera di sikapi secara cepat dan akurat hal ini justruakan menimbulkan dampak negatif pada sektor tertentu. Persaingan ekonomi dan perindustrian dalam era pasar bebas memang sudah mulai dirasakan, dimana sekarang semakin banyaknya produsen kendaraan bermotor baik roda dua maupun roda empat atau lebih bahkan dewasa ini telah muncul pula kendaraan yang digerakan secara mekanik tetapi dengan menggunakan tenaga baterai, dengan banyaknya kompetitor dalam bidang otomotif memaksa setiap produsen melakukan promo yang mampu menarik konsumen untuk membeli produknya, segala upaya dilakukan baik dengan memberikan hadiah, potongan harga bahkan dalam perkembangan terkini setiap dealer maupun ATPM telah bekerja sama dengan persaingan usaha di bidang finasial yang tidak kalah ketatnya dalam bentuk kredit angsuran kendaraan bermotor mulai dari bunga angsuran ringan sampai dengan pemberian kemudahan uang muka yang sangat ringan bahkan ada yang mempromosikan tanpa uang muka setiap konsumen telah dapat memiliki kendaraan bermotor, persaingan usaha seperti ini memberikan kemudahan dan keringanan bagi masyarakat konsumen disamping itu apabial ditinjau dari aspek kesejahteraan hal ini memberikan kontribusi positif sehingga tidak dapat dielakan lagi dengan gencarnya promo serta kemudahan baik biaya maupun fasilitas menimbulkan dampak semakin tingginya kecepatan pertambahan jumlah kendaraan bermotor khususnya roda dua. Tingginya tingkat angka pertambahan kendaraan bermotor apabila ditinjau dari sektor keamanan dan keselamatan transportasi lalu lintas jalan raya menimbulkan dampak permasalahan yang cukup serius, apaliagi bila dibandingan dengan pertambahan panjang dan lebar ruas jalan yang sangat sedikit mengakibatkan semakin rumit dampak permasalahan yang ditimbulkan. Dapat dirasakan oleh seluruh pengguna jalan bahwa dari tahun ke tahun pertambahan lokasi dan ruas penggal jalan raya yang rawan kepadatan, kemacetan dan kesemrawutan semakin bertambah jumlahnya, situasi seperti ini tidak dapat dipecahkan oleh hanya satu instansi saja tetapi memerlukan solusi pemecahan secara terpadu dari semua stake holder dan pengguna jalan itu sendiri untuk dapat merumuskan solusi yang tepat dan dapat diaplikasikan secara cepat untuk mampu mengatasi setiap permasalahan yang muncul sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing serta peranserta masyarakat pengguana jalan itu sendiri.
Kualitas Kendaraan
Kendaraan bermotor saat ini dirancang telah memper- timbangkan aspek keamanaan yang berhubungan dengan pemakai jalan dan angkutan barang dilain pihak juga mempertimbangkan tentang gerak kendaraan itu sendiri dalam kaitannya dengan arus lalu lintas. Kendaraan bermotor sebagai hasil produksi suatu pabrik, telah dirancang dengan suatu nilai faktor keamanan untuk menjamin keselamatan bagi pengendaranya. Kendaraan harus siap pakai, oleh karena itu kendaraan harus dipelihara dengan baik sehingga semua bagian mobil berfungsi dengan baik, seperti mesin, rem kemudi, ban, lampu, kaca spion, sabuk pengaman, dan alat-alat mobil. Dengan demikian pemeliharaan kendaraan tersebut diharapkan dapat :
Mengurangi jumlah kecelakaan
Mengurangi jumlah korban kecelakaan pada pemakai jalan lainnya
Mengurangi besar kerusakan pada kendaraan bermotor
Kendaraan dapat tetap laik jalan
Komponen kendaraan selalu dalam kondisi siap untuk dioperasionalkan secara baik sesuai dengan kebutuhan pada saat dikendarai / dikemudikan. Perbedaan pola pandang dan kepentingan dari setiap individu masyarakat pengguna jalan mengakibatkan adanya perubahan spesifikasi kendaraan bermotor sesuai dengan rancangan standard keamanan yang telah ditetapkan, dengan berbagai alasan pola pandang dan kepentingan banyak kendaraan dilakukan modifikasi yang mempengaruhi standard kelengkapan keamanan yang ada seperti penggantian spion sepeda motor standard menjadi spion modifikasi yang hanya memenuhi syarat formal tetapi tidak memenuhi syarat fungsi keamanannya bahkan banyak pula yang hanya memasang spion sebelah saja (satu spion) ataupun tidak melengkapi spion sama sekali, penggantian knalpot baik roda dua maupun roda empat dari standard menjadi modifikasi yang memiliki tampilan dan suara berbeda dan cenderung memekakan telinga bahkan dalam situasi tertentu dengan sengaja melepaskan knalpotnya, penggantian struktur pegas / suspensi kendaraan dengan ketinggian ekstrim baik yang dibuat sangat tinggi atau dibuat sangat rendah, hal ini menimbulkan dampak ketidak stabilan kendaraan serta mempengaruhi kelenturan dan sistem kejut dari fungsi pegas sehingga pada saat pengereman tidak dapat dikendalikan secara baik, masih banyak perubahan lain yang dilakukan sehingga mengakibatkan kualitas kendaraan bermotor tidak lagi memenuhi spesifikasi keamanan baik bagi pengemudi / pengendaranya maupun pengguna jalan lainnya termasuk lingkungan.
Selain perubahan secara fisik / modifikasi kendaraan, perawatan dan usia pakai kendaraan sering kali menjadi permasalahan terhadap keamanan dan keselamatan jalan raya, di lapangan kita sering menemukan asap knalpot yang mengeluarkan asap yang jauh melebihi batas gas buang emisi tidak saja menyebabkan polusi udara tetapi terhalangnya jarak pandang pengguna jalan lainnya, perawatan komponen mesin, rem, bam, dan komponen lain sering kali menjadi penyebab utama terjadinya suatu kemacetan, kesemrawutan bahkan kecelakan lalu lintas, kesadaran pengguna jalan terhadap kepedulian pada laik jalan kendaraan bermotornya merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mewujudkan kamseltibcar lalu lintas.
Jalan
Transportasi di jalan sebagai salah satu moda transportasi tidak dapat dipisahkan dari moda-moda transportasi lain yang ditata dalam sistem transportasi nasional yang dinamis dan mampu mengadaptasi kemajuan di masa depan, mempunyai karakteristik yang mampu menjangkau seluruh pelosok wilayah daratan dan memadukan moda transportasi lainnya, perlu lebih dikembangkan potensinya dan ditingkatkan peranannya sebagai penghubung wilayah baik nasional maupun internasional, sebagai penunjang, pendorong, dan penggerak pembangunan nasional.
Jaringan transportasi jalan merupakan serangkaian simpul dan / atau ruang kegiatan yang dihubungkan oleh ruang lalu lintas sehingga membentuk satu kesatuan sistem jaringan untuk keperluan penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan, Jalan adalah jalan yang diperuntukkan bagi lalu lintas umum.
Lingkungan
Lingkungan alam atau lingkungan binaan sangat mempengaruhi keselamatan lalu lintas. Bukit atau pohon yang menghalangi pandangan, tanjakan terjal, serta tikungan tajam merupakan faktor alam yang perlu mendapat perhatian dalam pengelolaan lalu lintas. Cuaca buruk juga mempengaruhi keselamatan arus lalu lintas. Hujan yang deras atau berkabut menjadikan pandangan pengemudi sangat terbatas sehingga mudah sekali terjadi kesalahan antisipasi. Berdasarkan unsur-unsur diatas, penyebab kecelakaan yang paling dominan adalah faktor manusia, yaitu sebesar 93,7 %, kemudian faktor kendaraan, faktor jalan, dan terakhir faktor lingkungan
Kecelakaan sangat ditentukan oleh faktor pengemudi. Pengemudi memiliki peranan yang besar dalam terjadinya kecelakaan lalu lintas. Pengemudi kurang antisipasi atau tidak mampu memperkirakan bahaya dapat menyebabkan kecelakaan lalu lintas. Laporan kecelakaan menunjukkan bahwa pengendaraan yang tidak baik, seringkali disertai pelanggaran hukum, terletak di dalam rantai kejadian yang mengakibatkan 73% dari kecelakaan fatal dan 83% dari seluruh kecelakaan jalan raya. Kekurangan fisik dalam penglihatan, pendengaran, dan dari sebab lainnya kadang menjadi penyebab kecelakaan. Pengemudi dengan kekurangan ini menyumbangkan 1,3% dari kecelakaan fatal dan 0,6% dari seluruh kecelakaan dan dari pejalan kaki yang tewas, 5% di antaranya memiliki cacat ini.
Masalah kecelakaan dan keselamatan lalu lintas banyak yang berkaitan dengan perilaku manusia, untuk meningkatan keselamatan diperlukan peningkatan kesadaran dan pengetahuan dari masyarakat dan petugas bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, selain itu perlu upaya nyata dari pemerintah dalam meningkatkan keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan.
Upaya dalam meningkatkan keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. dapat dilakukan melalui:
Pelaksanaan pendidikan berlalu lintas sejak usia dini,
Sosialisasi tentang pentingnya keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan,
Rencana aksi nasional keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan melalui kampanye keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan,
Peningkatan kapasitas jalan raya,
Memperbaiki jalan yang rusak yang dapat menyebabkan kecelakaan lalu lintas,
Memberi tanda atau rambu untuk mencegah terjadinya angka kecelakaan,
Perlengkapan rambu-rambu Lalu Lintas, dan
Mempersiapkan penyusunan umum nasional keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Salah satu inovasi baru mengenai teknik berkendara adalah penyalaan lampu bermotor pada siang hari. Penyalaan lampu bermotor pada siang hari banyak dipertentangkan oleh masyarakat karena dapat berdampak baik danjua buruk bagi pengendara bermotor. Berdampak baik yaitu dapat meningkatkan konsentrasi bermotor, berdampak buruk yaitu dapat menyilaukan mata pengendara bermotor yang justru mengaburkan konsentrasi berkendara, selain itu juga boros energi.
Jauh dari pro kontra tersebut, kebijakan menyalakan lampu kendaraan bermotor pada siang hari telah diterapkan. Penyalaan lampu kendaraan bermotor sama fungsinya seperti rambu lalu lintas yaitu sebagai alat untuk menganjurkan, memperingatkan dan mengontrol pengemudi dan pemakai jalan lainnya.
Pasal 227
Dalam hal terjadi Kecelakaan Lalu Lintas, petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib melakukan penanganan Kecelakaan Lalu Lintas dengan cara:
a. mendatangi tempat kejadian dengan segera;
b. menolong korban;
c. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian perkara;
d. mengolah tempat kejadian perkara;
e. mengatur kelancaran arus Lalu Lintas;
f. mengamankan barang bukti; dan
g. melakukan penyidikan perkara.
Pasal 228
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penanganan Kecelakaan Lalu Lintas diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Paragraf 2
Penggolongan dan Penanganan Perkara Kecelakaan Lalu Lintas
Pasal 229
(1) Kecelakaan Lalu Lintas digolongkan atas:
a. Kecelakaan Lalu Lintas ringan;
b. Kecelakaan Lalu Lintas sedang; atau
c. Kecelakaan Lalu Lintas berat.
(2) Kecelakaan Lalu Lintas ringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan Kendaraan dan/atau barang.
(3) Kecelakaan Lalu Lintas sedang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan kecelakaan yang mengakibatkan luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang.
(4) Kecelakaan Lalu Lintas berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan kecelakaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia atau luka berat.
(5) Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disebabkan oleh kelalaian Pengguna Jalan, ketidaklaikan Kendaraan, serta ketidaklaikan Jalan dan/atau lingkungan.
Pasal 230
Perkara Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diproses dengan acara peradilan pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Paragraf 3
Pertolongan dan Perawatan Korban
Pasal 231
(1) Pengemudi Kendaraan Bermotor yang terlibat Kecelakaan Lalu Lintas, wajib:
a. menghentikan Kendaraan yang dikemudikannya;
b. memberikan pertolongan kepada korban;
c. melaporkan kecelakaan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia terdekat; dan
d. memberikan keterangan yang terkait dengan kejadian kecelakaan.
(2) Pengemudi Kendaraan Bermotor, yang karena keadaan memaksa tidak dapat melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b, segera melaporkan diri kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia terdekat.
Pasal 232
Setiap orang yang mendengar, melihat, dan/atau mengetahui terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas wajib:
a. memberikan pertolongan kepada korban Kecelakaan Lalu Lintas;
b. melaporkan kecelakaan tersebut kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan/atau
c. memberikan keterangan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pertanggungan Terhadap Kecelakaan Lalu Lintas
Pasal 234
(1) Pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh Penumpang dan/atau pemilik barang dan/atau pihak ketiga karena kelalaian Pengemudi.
(2) Setiap Pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerusakan jalan dan/atau perlengkapan jalan karena kelalaian atau kesalahan Pengemudi.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku jika:
a. adanya keadaan memaksa yang tidak dapat dielakkan atau di luar kemampuan Pengemudi;
b. disebabkan oleh perilaku korban sendiri atau pihak ketiga; dan/atau
c. disebabkan gerakan orang dan/atau hewan walaupun telah diambil tindakan pencegahan.
Pasal 235
(1) Jika korban meninggal dunia akibat Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) huruf c, Pengemudi, pemilik, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan bantuan kepada ahli waris korban berupa biaya pengobatan dan/atau biaya pemakaman dengan tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana.
(2) Jika terjadi cedera terhadap badan atau kesehatan korban akibat Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) huruf b dan huruf c, pengemudi, pemilik, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan bantuan kepada korban berupa biaya pengobatan dengan tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana.
Pasal 236
(1) Pihak yang menyebabkan terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 wajib mengganti kerugian yang besarannya ditentukan berdasarkan putusan pengadilan.
(2) Kewajiban mengganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2) dapat dilakukan di luar pengadilan jika terjadi kesepakatan damai di antara para pihak yang terlibat.
Pasal 237
(1) Perusahaan Angkutan Umum wajib mengikuti program asuransi kecelakaan sebagai wujud tanggung jawabnya atas jaminan asuransi bagi korban kecelakaan.
(2) Perusahaan Angkutan Umum wajib mengasuransikan orang yang dipekerjakan sebagai awak kendaraan.
Paragraf 2
Kewajiban dan Tanggung Jawab Pemerintah
Pasal 238
(1) Pemerintah menyediakan dan/atau memperbaiki pengaturan, sarana, dan Prasarana Lalu Lintas yang menjadi penyebab kecelakaan.
(2) Pemerintah menyediakan alokasi dana untuk pencegahan dan penanganan Kecelakaan Lalu Lintas.
Pasal 239
(1) Pemerintah mengembangkan program asuransi Kecelakaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(2) Pemerintah membentuk perusahaan asuransi Kecelakaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Bagian Keempat
Hak Korban
Pasal 240
Korban Kecelakaan Lalu Lintas berhak mendapatkan:
a. pertolongan dan perawatan dari pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas dan/atau Pemerintah;
b. ganti kerugian dari pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas; dan
c. santunan Kecelakaan Lalu Lintas dari perusahaan asuransi.
Pasal 241
Setiap korban Kecelakaan Lalu Lintas berhak memperoleh pengutamaan pertolongan pertama dan perawatan pada rumah sakit terdekat sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
BAB XVI
PERLAKUAN KHUSUS BAGI PENYANDANG CACAT, MANUSIA USIA LANJUT, ANAK-ANAK, WANITA HAMIL, DAN ORANG SAKIT
BAB XVII
PENYIDIKAN DAN PENINDAKAN PELANGGARAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN
Penyelidikan dan Penyidikan
Pengusutan (opsporing) oleh Kitab Hukum Acara Pidana dikenal dengan istilah penyelidikan dan penyidikan. Menurut Pasal 1 angka 5 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Penyelidikan adalah :
Serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tidak pidana guna menentukan dapat tidaknya dilakukan penyidikan. Dengan demikian fungsi penyelidikan adalah suatu kegiatan yang dilaksanakan sebelum dilakukannya penyidikan guna memastikan kebenaran suatu peristiwa bahwa tindak pidana tersebut adalah benar-benar merupakan suatu tindak pidana.
Pengertian penyidikan menurut ketentuan Pasal 1 angka 2 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana adalah :
Serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu menjadi terang tindak pidana yang terjadi dan guna menentukan tersangkanya. Pejabat yang berwenang untuk melakukan penyelidikan disebut penyelidik dan orang yang melakukan penyidikan disebut penyidik.
Selanjutnya yang disebut penyelidik sebagai mana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana adalah :
Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan, kemudian dalam Pasal 4 Kitab Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa penyelidik adalah setiap Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
Sedangkan yang disebut penyidik disebutkan dalam Pasal 12 Undang-undang Nomor 13 Tahun 1961 dinyatakan bahwa penyidik dilakukan oleh pejabat-pejabat kepolisian tertentu yang selanjutnya diatur oleh peraturan menteri. Dalam Pasal 6 (enam) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dijelaskan bahwa :
Penyidik adalah :
Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.
Syarat kepangkatan pejabat sebagai mana yang dimaksud dalam butir 1 (satu) akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.
Adapun latar belakang fungsi peyelidikan adalah untuk melindungi dan jaminan terhadap hak azasi manusia. Di dalam hukum acara pidana yang dimaksud pejabat kepolisian adalah tidak semua anggota kepolisian secara umum (POLRI) dapat menjadi penyidik perkara. Adapun wewenang dari penyidik yang terdapat dalam Pasal 7 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana adalah :
(1). Penyidik sebagai mana yang dimaksud dalam Pasal 6 butir (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang :
Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana ;
Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian ;
Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka ;
Melakukan Penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan ;
Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat ;
Mengambil sidik jari dan memotret seorang ;
Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi ;
Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara ;
Mengadakan penghentian penyidikan ;
Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
(2). Penyidik sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 6 butir (1) huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan pelaksanaan tugasnya dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut Pasal 6 butir (1) huruf a.
(3). Dalam melakukan tugasnya sebagai mana dimaksud dalam butir (1) dan butir (2) penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku.
Selain penyelidik dan penyidik, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana juga mengenal penyidik pembantu. Menurut Pasal 1 butir 3 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Penyidik pembantu adalah Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang karena diberi wewenang tertentu dapat melakukan penyidikan. Kemudian dalam Pasal 10 butir (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana disebutkan peyidik pembantu adalah Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia berdasarkan syarat kepangkatan dalam butir (2) Pasal ini. Syarat kepangkatan dalam Pasal 10 butir (2) Kitab Hukum Acara Pidana selanjutnya diatur dengan peraturan pemerintah. Adapun syarat kepangkatan penyidik pembantu dalam Pasal 3 butir (1) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 yakni :
Pejabat kepolisian tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat Komisaris.
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu dalam lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang sekurang-kurangnya berpangkat pengatur Muda (Golongan II / A) atau yang disamakan dengan itu.
Mengenai wewenang antara penyidik dengan penyidik pembantu, menurut Pasal 11 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana sama dengan penyidik POLRI seperti yang tercantum dalam Pasal 7 butir (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana kecuali mengenai penahanan. Kemudian dalam penjelasan Pasal 11 Kitab Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa :
Pelimpahan wewenang penahanan kepada penyidik pembantu hanya diberikan apabila perintah dari penyidik tidak dimungkinkan karena hal dan dalam keadaan yang sangat diperlukan dimana terdapat hambatan perhubungan didaerah terpencil atau ditempat yang belum ada petugas penyidik dan atau dalam hal lain yang dapat diterima menurut kewajaran.
Alasan-alasan diadakannya penyelidikan adalah adanya dugaan suatu tindak pidana. Bila terjadi peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana, alat negara atau penegak hukum (polisi) wajib melakukan penyelidikan. Dalam melakukan tugas tersebut hukum acara pidana memberikan wewenang kepada mereka untuk melakukan tindakan-tindakan yang pada hakikatnya merupakan pengurangan terhadp hak azasi tersangka / terdakwa sebagai manusia. Kemudian apabila telah ada suatu hal yang diyakini sebagai tindak pidana maka dinamakan penyidikan.
Tujuan penyidikan adalah untuk menemukan siapa yang telah melakukan tindak pidana dan mencari pembuktian kesalahan yang telah dilakukannya. Untuk mencapai maksud tertentu maka penyidik dalam menghimpun keterangan-keterangan sehubungan dengan fakta-fakta atau peristiwa tertentu mengenai :
Faktor tentang suatu tindak pidana ;
Identitas suatu tindak pidana ;
Tempat yang pasti tindak pidana itu dilakukan ;
Waktu terjadinya tindak pidana ;
Apa yang menjadi motif tujuan serta maksud mengadakan tindak pidana ;
Identitas pelaku tindak pidana.
Penangkapan
Dalam suatu penyidikan langkah pertama untuk melakukan penyidikan adalah dengan melakukan penangkapan terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana. Menurut Pasal 1 butir 20 KUHAP penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dan dalam hal penangkapan, dilakukan oleh petugas kepolisian Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas dan memberikan surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka serta menyebutkan alasan penangkapan tersebut, serta surat perintah penangkapan tersebut tembusannya harus diberikan kepada keluarganya dengan segera setelah penangkapan dilakukan.
Penangkapan terhadap tersangka anak sendiri dalam Undang-undang pengadilan anak tidak diatur lebih lanjut, sehingga tindakan penangkapan terhadap tersangka anak di bawah umur berlaku ketentuan KUHAP sebagai peraturan pada umumnya (Lex generalis derogat lex spesialis)
Dalam proses penyidikan perkara tindak pidana, serta untuk menghindari akibat hukum yang tidak diinginkan seperti misalnya tuntutan pra peradilan, ganti rugi dan rehabilitasi, atau bahkan sampai dibebaskannya terdakwa dari segala tuntutan dan tuduhan hukum sebagai akibat dari keteledoran dari penyidik, maka tiap Pejabat Polisi yang melaksanakan tugas penyidikan harus memegang teguh dan menjalankan semua asas- asas dalam penyidikan. Kegiatan penyidikan memiliki lima asas, yaitu:
Asas Tanggung Jawab
Pelaksanaan kegiatan penyidikan adalah merupakan salah satu upaya penegakan hukum yang sesuai Undang- Undang. Hal tersebut akan dapat mengakibatkan seseorang yang semula bebas menjadi terkekang kemerdekaannya, bahkan dapat menyebabkan seseorang dijatuhi hukuman, maka untuk menghindari hal yang tidak diinginkan tersebut, setiap langkah dalam penyidikan harus dapat dipertanggungjawabkan, baik proses pelaksanaannya maupun penerapan Pasal- Pasalnya.
Asas Kepastian
Dalam pelaksanaan penyidikan, Pejabat Polisi harus melakukan segala prosesprosesnya dengan pasti, mulai dari mengenai dasar hukumnya, waktu, tempat, Pasal yang dipersangkakan, tindak pidana yang terjadi, barang bukti yang disita, maupun identitas tersangka atau saksinya, harus disesuaikan dengan ketentuan yang dikehendaki oleh KUHAP.
Asas Kecepatan
Seluruh kegiatan dalam proses penyidikan tindak pidana dibatasi oleh waktu yang sangat ketat, baik berdasarkan ketentuan- ketentuan yang diatur di dalam KUHAP maupun faktor- faktor yang mempengaruhi dalam pelaksanaan penyidikan, maka dalam hal penyelenggaraan proses penyidikan Pejabat Polisi perlu memperhatikan kecepatan, baik dari administrasinya maupun dalam proses penyidikan yang lain.
Asas Keamanan
Pada proses penyidikan ada yang dinamakan proses administrasi penyidikan. Pada proses tersebut banyak sekali terdapat tulisan atau catatan yang bersifat autentik dan memiliki nilai pembuktian yang tinggi, surat merupakan salah satu alat bukti yang sah dan dijadikan dasar dalam pemeriksaan di sidang pengadilan. Oleh karena itu diperlukan adanya pengamanan terhadap semua bentuk administrasi penyidikan, dari kemungkinan adanya gangguan dari pihak yang tidak bertanggungjawab.
Asas Kesinambungan
Seluruh kegiatan di dalam proses penyidikan pada dasarnya merupakan suatu hal yang bersifat berkesinambungan dan saling berkaitan antara satu proses dengan proses yang lain.
Kewenangan Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia
Kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil
Koordinasi dan Pengawasan Penyidik Pegawai Negeri Sipil
Penanganan Benda Sitaan
BAB XIX
HUKUM PIDANA DI BIDANG LALU LINTAS DAN JALAN
Sifat Pelanggaran dalam Suatu Tindak Pidana
Melihat kualifikasi delik kejahatan dan pelanggaran tentunya dapat kita lihat kualifikasi yang dilegalkan di dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP). Buku II menentukan tindak pidana sebagai kualifikasi kejahatan, sedangkan pada Buku III menentukan tindak pidana sebagai kualifikasi pelanggaran.
Dalam undang undang khusus seperti Undang undang 22 tahun 1997 tentang Penyalahgunaan Narkotika tidak menyebutkan klasifikasi delik apakah pelanggaran atau kejahatan. Untuk itu kita harus mengetahui dasar klasifikasi delik atau ukuran pembeda dari kedua macam delik tersebut. Dokrtin yang dapat kita temukan menyebutkan ada dua pendapat. Pendapat pertama membedakan kejahatan dengan pelanggaran didasarkan pada sifat kualitatif. Dari dasar tersebut maka diperoleh dua jenis delik yaitu Rechtsdelicten dengan Wetsdelicten. Rechtsdelicten adalah perbuatan yang bertentangan dengan keadilan ,terlepas apakah perbuatan itu diancam dalam pidana dalam suatu undang-undang atau tidak, jadi yang benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai bertentangan dengan keadilan. Misal : pembunuhan, pencurian. Delik-delik semacam ini disebut "kejahatan" (Male perse).
Wetsdelicten adalah perbuatan yang oleh umum baru disadari sebagai suatu tindak pidana, karena undang-undang menyebutnya sebagai delik, jadi karena ada undang-undang mengancamnya dengan pidana. Misal : memparkir mobil disebelah kanan jalan. (Mala prohibita). Delik-delik semacam ini disebut "pelanggaran". Perbedaan secara kualitatif ini tidak dapat diterima, sebab ada kejahatan, yang baru disadari sebagai delik, karena tercantum dalam undang-undang pidana, jadi sebenarnya tidak segera dirasakan sebagai bertentangan dengan rasa keadilan. Dan sebaliknya ada "pelanggaran", yang memang benar-benar dirasakan bertentangan dengan rasa keadilan. Oleh karena perbedaan secara demikian itu tidak memuaskan, maka dicari ukuran lain. Ada yang mengatakan bahwa antara kedua jenis delik itu ada perbedaan yang bersifat kuantitatif. Pendirian ini hanya meletakan kriterium pada perbedaan yang dilihat dari segi kriminologi, ialah pelanggaran itu lebih ringan daripada kejahatan.
Bentuk-bentuk Pelanggaran Lalu-lintas dan Angkutan Jalan
Menurut Pasal 211 KUHAP, yang diperiksa menurut acara pemeriksaan ini ialah perkara tertentu terhadap peraturan perundang-undangan lalu lintas jalan. Bertitik tolak dari bunyi Pasal ini, perkara lalu lintas jalan ialah perkara tertentu terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan lalu limas jalan. Apa yang dimaksud dengan "perkara pelanggaran tertentu" terhadap peraturan perundang-undangan lalu lintas jalan, diperjelas dalam Penjelasan Pasal 211 KUHAP itu sendiri, yang dirinci sebagai berikut:
Mempergunakan jalan dengan cara yang dapat merintangi, membahayakan ketertiban atau keamanan lalu lintas atau yang mungkin menimbulkan kerusakan pada jalan.
Mengemudikan kendaraan bermotor yang tidak dapat memperlihatkan surat izin mengemudi (SIM), surat tanda nomor kendaraan, surat tanda uji kendaraan yang sah atau tanda bukti lainnya yang diwajibkan menurut ketentuan perundang-undangan lalu lintas jalan atau is dapat memperlihatkannya tetapi masa berlakunya sudah kedaluwarsa,
Membiarkan atau memperkenankan kendaraan bermotor dikemudikan orang yang tidak memiliki surat izin mengemudi,
Tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan lain lintas jalan tentang penomoran, penerangan, peralatan, perlengkapan, pemuatan kendaraan, dan syarat penggadungan dengan kendaraan lain,
Membiarkan kendaraan bermotor yang ada di jalan tanpa dilengkapi plat tanda nomor kendaraan yang sah, sesuai dengan surat tanda nomor kendaraan yang bersangkutan,
Pelanggaran terhadap perintah yang diberikan oleh petugas pengatur lalu lintas jalan, dan atau isyarat pengatur lalu lintas jalan, rambu-rambu atau tanda yang ada dipergunakan jalan,
Pelanggaran terhadap ketentuan tentang ukuran dan muatan yang diizinkan, cara menaikkan dan menurunkan penumpang dan atau cara memuat dan membongkar barang,
Pelanggaran terhadap izin trayek, jenis kendaraan yang diperbolehkan beroperasi di jalan yang ditentukan.
Inilah secara terinci yang dimaksud dengan perkara pelanggaran tertentu terhadap lalu lintas jalan, yang diperiksa dalam sidang pengadilan dengan acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan yang dilakukan dengan acara pemeriksaan cepat.
Penindakan Pelanggaran Lalu-lintas dan Angkutan Jalan
Setiap orang yang melakukan perbuatan melanggar hukum memiliki konsekuensi tertentu yaitu hukuman. Hal ini merupakan suatu upaya penegakan hukum di dalam masyarakat. Penegakan hukum harus dijadikan alat agar menghasilkan kondisi yang tertib dan teratur.
Secara konsepsional arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaiadah yang mantap dan mengejawantah serta sikap tindak sebagai rangkaian pejabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan memepertahankan kedamaian pergaulan hidup.
Hukum sebagai pelindung kepentingan manusia agar kepentingan tersebut tidak berbenturan dengan sesama manusia maka diterapkan kaidah sesuai kesepakatan yang dibuat oleh manusia. Dalam menegakan hukum ada tiga unsur yang harus selalu diperhatikan yaitu kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweckwassigkeit), dan keadilan (Gerechtigkeit).
Kepastian hukum merupakan perlindungan yustiabel tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperolah sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib.
Kemanfaatan merupakan unsur yang berpengaruh dalam penegakan hukum. Hukum dibentuk untuk kemanfaatan dan kepentingan manusia, maka penegakan hukum haruslah memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Menurut Jeremy Bentham hukum bertujuan untuk mewujudkan semata-mata apa yang berfaedah bagi orang banyak.
Unsur yang ketiga adalah keadilan. Menurut teori etis hukum semata-mata menghendaki keadilan, isi hukum semata-mata harus ditentukan oleh kesadaran etis manusia mengenai apa yang adil dan apa yang tidak adil. Penegakan hukum sebagai suatu proses pada hakikatnya merupakan penerapan diskresi yang menyangkut pembuatan keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh hukum, akan tetapi menurut Wayne Laivare mempunyai unsur penilaian pribadi
Penegakan hukum terjadi apabila nilai, kaidah dan pola perilaku tidak berjalan seiring sejalan. Sehingga penegakan hukum bukan hanya bicara mengenai pelaksanaan peraturan perundang-undangan tetapi keseluruhan komponen komperhensif yang mendukung penegakan hukum. Penegakan hukum terkait sebuah sistem terdiri dari sub-sub sistem atau elemen yang menentukan bagaimana suatu hukum bekerja sebuah sinergi.
Meminjam pendapat dari Lawrence M Friedman, yang menyatakan bahwa dalam bekerjanya sistem hukum dipengaruhi oleh 3 elemen (Three Elements of Legal System), yaitu:
Struktur
Substansi, dan
Kultur.
Menurut Friedman, the structure of a system is its skeletal frame work; it is the permanent shape, the institutional body of the system the tough, rigid bones that keep the process flowing within bounds. Jadi struktur adalah kerangka atau rangkanya, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberi semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan. Dalam sistem hukum yang berlaku di Indonesia, maka yang mencakup pada unsur struktur adalah struktur institusi-institusi penegak hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan.
Selanjutnya menurut Friedman, the substance is composed of substanctive rules and rules about how institutions should be have. Jadi, yang dimaksud substansi menurut Friedman adalah aturan, norma, dan pola perilaku yang nyata manusia yang berada dalam sitem itu. Substansi disini termasuk pula the living law (hukum yang hidup) dan tidak hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang atau law in the book.
Kemudian Sub Sistem yang lain adalah kultur atau adat kebiasaan. Friedman,menyatakan mengenai kultur bahwa the legal culture, system-their beliefs, values, ideas, and expectations. (kultur hukum merupakan sikap manusia terhadap hukum, sistem hukum-kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya). Legal culture refers, then, to those part of general culture-customs, opinions, ways of doing and thinking that bend social forces to ward or away from the law and in particular ways. (Kultur hukum adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan).
Penegakan hukum (law enforcement) merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pendekatan 3E (Engineering, Education, Enforcement). Dengan pendekatan tersebut, penegakan hukum sebaiknya dilakukan apabila pendekatan Engineering (rekayasa) dan Education (sosialisasi dan pendidikan) terhadap suatau aturan tertentu telah dilakukan. Dalam konteks peneyelanggaraan lalu lintas dan angkutan jalan, misalnya penegakan hukum terhadap tata cara berlalu lintas dapat dilakukan apabila penyediaan fasilitas pendukung yang memungkinkan masyarakat pengguna jalan berlalu lintas dengan baik telah disediakan dan sosialiasai tentang tata cara berlalu lintas telah dilakukan.
Aparatur penegak hukum mencakup pengertian mengenai institusi penegak hukum dan aparat (orangnya) penegak hukum. Dalam arti sempit, aparatur penegak hukum yang terlibat tegaknya hukum itu, dimulai dari saksi, polisi (termasuk PPNS sebagai pengemban fungsi kepolisian), penasehat hukum, jaksa hakim dan petugas-petugas sipir pemasyarakatan. Setiap aparat dan aparatur terkait mencakup pula pihak-pihak yang bersangkutan dengan tugas atau perannya yaitu terkait dengan kegiatan pelaporan atau pengaduan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pembuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta upaya pemasyarakatan kembali (resosialisasi) terpidana.
Upaya penegakan hukum secara sistematik haruslah memperhatikan ketiga aspek itu secara simultan, sehingga proses penegakan hukum dan keadilan itu sendiri secara internal dapat diwujudkan secara nyata. Penegakan hukum bidang LLAJ adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum bidang LLAJ secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan. Norma-norma hukum dalam penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan telah diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan 4 (empat) peraturan pemerintah sebagai penjabarannya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1993 tentang Angkutan Jalan, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1993 tentang Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan, Peraturan Pemerintah Nomor 43 tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan dan PP 44 Tahun 1993 tentang Kendaraan dan Pengemudi.
Dalam upaya mendorong masyarakat mengikuti ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan bidang LLAJ tersebut, ketentuan-ketentuan sanksi pidana kepada masyarakat/pengguna jalan yang melanggar ketentuan dalam perundang-undangan tersebut.
Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, pelanggaran bidang lalu lintas dan angkutan jalan yang harus dilakukan penegakan hukumnya adalah:
Pelanggaran pemenuhan persyaratan teknis dan laik jalan
Pelanggaran muatan
Pelanggaran perizinan
Pelanggaran marka, dan rambu Jalan
Proses penegakan hukum telah diatur dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Secara umum proses penegakan hukum (proses di pengadilan) terhadap suatu tindak pidana dapat dikelompokkan atas 3 (tiga) kelompok, yaitu
Acara Pemeriksaan Biasa (Bagian Ketiga, Bab XVI KUHAP)
Acara Pemeriksaan Singkat (Bagian Kelima Bab XVI KUHAP)
Acara Pemeriksaan Cepat (Bagian Keenam Bab XVI KUHAP)
Acara Tindak Pidana Ringan
Acara Pemeriksaan Pelanggaran Lalu Lintas Jalan
Acara pemeriksaan pelanggaran Lalu Lintas lintas daitur dalam Paragraf 2 Bagian Keenam Bab XVI, dengan beberapa ketentuan sebagai berikut:
Terdakwa dapat diwakili
Putusan dapat dijatuhkan diluar hadirnya terdakwa, dalam hal ini terdakwa dapat mengajukan perlawanan dalam tenggang waktu 7 hari sesudah putusan diberitahukan secara sah kepadanya.
Pengertian perkara pelanggaran laulintas jalan sebagaimana diatur dalam Pasal 211 KUHAP, adalah sebagai berikut:
Mempergunakan jalan dengan cara yang dapat merintangi, membahayakan keteriban atau membayakan keamanan Lalu Lintas atau yang mungkin menimbulkan kerusakan pada jalan. Misalnya pada Pasal 283 Undang-Undang 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan angkutan jalan menyatakan bahwa, Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor diJalan secara tidak wajar dan melakukan kegiatan lain atau dipengaruhi oleh suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan konsentrasi dalam mengemudi di Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp750.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah).
Mengemudikan kendaraan bermotor yang tidak dapat memperlihatkan SIM, STNK, Surat Tanda Uji Kendaraan (STUK) yang sah, tanda bukti lainnya yang diwajibkan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan lalu lintas jalan atau ia dapat memperlihatkannya tetapi masa berlakunya sudah kadaluwarsa. Misalnya dalam Pasal 281 Undang-Undang 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan angkutan jalan menyatakan bahwa, setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang tidak memiliki Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). Pasal 288 ayat (1) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang tidak dilengkapi dengan Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor atau Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor yang ditetapkan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (5) huruf a dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah), ayat (2) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang tidak dapat menunjukkan Surat Izin Mengemudi yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (5) huruf b dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan dan/atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
Membiarkan atau memperkenankan kendaraan bermotor dikemudikan orang yang tidak memiliki surat izin mengemudi
Tidak memenuhi ketentuan perundang-undangan lalu lintas jalan, penomoran, penerangan, peralatan, perlengkapan, pemuatan kendaraan, dan syarat penggandengan dgn kendaraan lain,
Membiarkan kendaraan bermotor yang ada di jalan tanpa dilengkapi plat tanda nomor kendaraan yang sah, sesuai dengan surat tanda nomor kendaraan yang bersangkutan.
Pelanggaran terhadap perintah yang diberikan oleh petugas pengatur lalu lintas jalan, dan atau isyarat lalu lintas jalan, rambu-rambu atau tanda yang ada dipergunakan jalan,
Pelanggaran terhadap ketentuan tentang ukuran dan muatan yang diizinkan, cara menaikkan dan menurunkan penumpang dan atau cara memuat dan membongkar barang,
Pelanggaran terhadap izin trayek, jenis kendaraan yang diperbolehkan beroperasi di jalan yang ditentukan
Proses pemeriksaan dan pemanggilan menghadap persidangan pengadilan:
Dibuat berupa catatan bukan Berita Acara (BA) Pemeriksaan, bukan Berita Acara (BA) Ringkas seperti dalam pemeriksaan acara ringan; Formulir catatan agar sah memuat: 1) pelanggaran lalu lintas yang didakwakan kepada terdakwa; 2) berisi pemberitahuan hari, tanggal, jam, tempat sidang pengadilan yang akan dihadiri terdakwa.
Formulir catatan tersebut butir a segera diserahkan ke pengadilan selambat-lambatnya pada kesempatan hari sidang pertama berikutnya.
Dalam pemeriksaan di pengadilan panitera tidak perlu membuat Berita Acara (BA) pemeriksaan sidang. Berita Acara (BA), dan dakwaan, serta putusan cukup berupa catatan yang dibuatnya (panitera) dalam buku register perkara Lalu Lintas jalan (buku pedoman berdasarkan Pasal 207 ayat (2) huruf b KUHAP.
Penunjukkaan wakil menghadap pemeriksaan sidang pengadilan
Undang-Undang tidak mewajibkan terdakwa menghadap in person di sidang pengadilan. Merupakan peengecualian azas in absentia
Terdakwa dapat menunjuk wakilnya, berdasarkan Pasal 213 KUHAP penunjukkannya berupa surat. (ditafsirkan sebagai surat kuasa) namun bentuknya bebas.
Pasal 214 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa, pemeriksaan dan putusan (diucapkan) di luar hadirnya terdakwa (disebut Verstek dalam hukum acara perdata). Apabila terdakwa atau wakilnya tidak datang, pemeriksaan perkara dilanjutkan (tidak perlu ditunda dan dimundurkan) karena bersifat imperatif bukan fakultatif Putusan diucapkan di luar hadirnya terdakwa karena merupakan rangkaian yang tidak terpisahkan dalam pemeriksaan perkara lalu lintas jalan.
Pemeriksaan pelaanggaran lalu lintas jalan, Pasal 214 ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa putusan diucapkan diluar hadirnya terdakwa, maka surat amar putusan segera disampaikan kepada terdakwa. Prosedurnya sebagai berikut:
Panitera segera menyampaikan surat amar putusan kepada penyidik.
Penyidik menyampaikan pemberitahuan tersebut kepada terpidana sesuai Pasal 227 ayat (2) (tanggal dan tanda tangan terpidana menerima surat amar putusan tsb) maka penyidik telah melakukan tugasnya secara sah dan sempurna.
Penyidik mengembalikan surat amar putusan yang telah diberitahukan itu kepada panitera.
Pelaksanaan eksekusi tidak termasuk pemberian kuasa dari Penuntut Umum (PU) kepada penyidik, karena eksekusi tetap merupakan hak dan wewenang mutlak PU (penyidik mendapat kuasa dari PU yang menyangkut prosedur dan proses pemeriksaan.
Perlawanan/verzet terhadap putusan di luar hadirnya terdakwa/verstek
perlawanan diajukan langsung ke pengadilan yang memutus perkara, tidak perlu melalui penyidik oleh terpidana
perlawanan diajukan oleh terpidana hanya yang menyangkut perampasan kemerdekaan
Tenggang waktu mengajukan perlawanan 7 hari terhitung sejak tanggal pemberitahuan putusan kepada terpidana
Apabila perlawanan maka putusan menjadi gugur, kedudukan terpidana berubah menjadi terdakwa
Pemeriksaan terhadap terdakwa harus dilakukan kembali
Panitera memberitahukan kepada penyidik adanya perlawanan dari terpidana, beserta penetapan hakim tentang hari sidang untuk memeriksa kembali perkara yang bersangkutan
Penyidik memberitahukan penetapan hari sidang itu kepada terdakwa.
Pasal 214 ayat (8) KUHAP, menyebutkan putusan yang dapat dibanding:
Putusan yang awalnya dijatuhkan di luar hadirnya terdakwa
Putusan berupa perampasan kemerdekaan
Terpidana mengajukan perlawanan
Pemeriksaan di sidang dibuka kembali
Putusan sidang selanjutnya tetap menjatuhkan pidana perampasan kemerdekaan
Bagaimana jika pada sidang kedua pun terdakwa yang mengajukan perlawanan tidak hadir. Pasal 154 ayat (4) dan (5) KUHAP dapat digunakan (pemeriksaan ditunda, pemberitahuan utk sidang selanjutnya, tidak hadir lahir lagi maka dipanggil dengan paksa dengan surat penetapan hakim; atau menjatuhkan putusan hukuman denda.
Kelalaian Yang Menimbulkan Matinya Orang Lain Dalam Kecelakaan Lalu Lintas
BAB XX
KILAS BALIK LAHIRNYA UNDANG-UNDANG 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN JALAN
BAB XI
PENUTUP