19
REFLEKSI KASUS JULI 2015
"TATALAKSANA SEPSIS ET CAUSA BRONKOPNEUMONIA"
Nama : Chandra Wijaya
No. Stambuk : N 111 14 014
Pembimbing : dr. Kartin Akune, Sp.A
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TADULAKO
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA
PALU
2015
BAB I
PENDAHULUAN
Pneumonia adalah penyakit infeksi menular yang merupakan penyebab utama kematian pada balita di dunia. Bronkopneumonia adalah peradangan paru yang biasanya dimulai dari bronkioli terminal dan disebabkan oleh bakteri, yang mana pemberian antibiotik diindikasikan jika diagnosis dari pneumonia bakterial ditegakkan, pemilihannya didasarkan pada umur anak dan keparahan penyakitnya (Staf Pengajar FKUI, 2007).
Data World Health Organization (WHO) menyatakan proporsi kematian balita karena saluran pernapasan di dunia adalah sebesar 19-26%. Menurut data WHO terdapat sekitar 156 juta pertahun kasus baru pneumonia anak diseluruh dunia, 61 juta kasus yang terjadi di regio Asia Tenggara, dan diperkirakan sekitar 3,1 juta pertahun kasus kematian anak di bawah umur 5 tahun dalam populasi regio negara-negara Asia Tenggara, 19% diantaranya diakibatkan oleh pneumonia (Ghimire et al., 2010).
Pada profil Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Palu (2011), penyakit pneumonia termasuk kedalam 10 besar penyakit yang rawat inap di rumah sakit pada tahun 2010 menempati urutan ke-10. Kasus tersebut terdiri atas jumlah kasus laki-laki 9.340 kasus dan perempuan 7.971 kasus pneumonia, 1.351 kasus diantaranya meninggal dunia yang rawat inap di rumah sakit Indonesia tahun 2010, sedangkan jumlah kasus pada balita menurut provinsi dan kelompok umur tahun 2011 Sulawesi Tengah (Sulteng) terdapat 8.160 kasus, dengan jumlah kematian balita di Sulawesi Tengah akibat pneumonia adalah sebanyak 26 kasus.
Secara klinis, umumnya pneumoni bakteri sulit dibedakan dengan pneumonia virus. Demikian juga pemeriksaan radiologis dan laboratorium, biasanya tidak dapat menentukan etiologi, namun etiologi dapat ditentukan berdasarkan 2 faktor yaitu faktor infeksi dan non-infeksi.(jurnal)
Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak dan mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispnea, pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan sianosis di sekitar hidung dan mulut.1,4
Diagnosis pneumonia di rumah sakit ditegakkan berdasarkan gejala klinis dengan didukung pemeriksaan laboratorium dan penunjang medis lainnya. Pemeriksaan penunjang laboratorium darah rutin pada bronkopneumonia menunjukkan leukositosis. Leukositosis menunjukkan adanya infeksi bakteri, Nilai hemoglobin (Hb) biasanya tetap normal atau sedikit menurun.3.
Pemberian antibiotika berdasarkan mikroorganisme penyebab dan manifestasi klinis.Pemilihan antibiotik dalam penanganan pneumonia pada anak dilakukan secara empirik sesuai dengan pola bakteri tersering yaitu Streptococcus Pneumonia dan Haemophilus Influenza. Untuk bayi di bawah 3 bulan diberikan golongan penisilin dan aminoglikosida. Untuk usia > 3 bulan, amoxicillin dipadu dengan kloramfenikol merupakan obat pilihan pertama.
Penggunaan antibiotik yang irasional akan memberikan dampak negatif, salah satunya adalah meningkatnya kejadian resistensi bakteri terhadap antibiotik. Untuk itu penggunaan antibiotik yang rasional diharapkan dapat memberikan dampak positif dalam mengurangi morbiditas, mortalitas, kerugian ekonomi, dan kejadian resistensi bakteri terhadap antibiotika, sebab infeksi oleh bakteri yang resisten akan menyebabkan perpanjangan lama tinggal di rumah sakit, meningkatkan biaya perawatan dan angka mortalitas (Holoway, 2011).
Berikut akan dibahas laporan kasus mengenai tatalaksana bronkopneumonia pada seorang anak dengan sepsis yang dirawat inap ruangan catelia bangsal perawatan anak RSUD Undata Palu.
Kasus
Identitas Pasien:
Nama : An. A
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal lahir : 15 Mei 2015 (1 bulan 29 hari)
Tanggal Masuk : 11 Juli 2015
Alamat : Jln. Layanan Indah
Keluhan Utama:
Batuk
Riwayat perjalanan penyakit:
Keluhan batuk sudah dialami selama 2 minggu yang lalu sebelum masuk rumah sakit. Batuk disertai dengan lendir berwarna putih, sesak napas (+) serta pilek. Batuk diikuti dengan demam selama 1 minggu, demam bersifat naik turun dan hanya turun dengan pemberian obat penurun panas kemudian naik lagi. Demam tidak diikuti dengan berkeringat dan menggigil serta tidak ada mimisan. Kejang (+). Pasien gelisah saat demam namun menurut orang tua pasien, anak masih kuat minum ASI. Muntah tidak ada,
Pasien tidak mengalami BAB encer sejak lama dan tidak ditemukan darah dan lendir. Buang air kecil lancar dan urin berwarna kuning muda.
Riwayat penyakit sebelumnya:
Tidak ada keluhan yang sama sebelumnya
Riwayat penyakit dalam keluarga:
Kakak kandung pasien sudah mengalami batuk yang disertai lendir selama 3 minggu.
Riwayat sosial dan ekonomi:
Pekerjaan ibu rumah tangga
Ayah buruh lepas
Rumah dihuni oleh 5 orang
Rumah tidak berplafon berlantaikan semen
Riwayat Kebiasaan dan Lingkungan:
Rumah dipinggir jalan raya yang belum diaspal (berdebu)
Tidak ada yang merokok dalam rumah
Lingkungan rumah kotor
Riwayat kehamilan dan persalinan:
Kehamilan 39 minggu, lahir dengan SC atas indikasi letak sungsang, dan saat lahir bayi langsung menangis spontan, Berat Badan Lahir: 3.400 gram, panjang saat lahir: 46 cm.
Riwayat makanan
Pasien mendapat ASI ekslusif sampai saat ini. Saat lahir menerima susu formula namun tidak diteruskan.
Riwayat imunisasi
Imunisasi yang sudah didapatkan ialah Hepatitis B
Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Sakit Sedang
Kesadaran : Komposmentis
Berat Badan : 5 kg
Tinggi Badan : 49 cm
Status Gizi : Gizi Baik (Z score 0 -- +3 SD)
Tanda Vital
Suhu : 37,8°C
Denyut Nadi : 160 x/menit
Respirasi : 70 x/menit
Kulit : Ruam kemerahan (-), kering (-)
Kepala : Normocephal
Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, edema palpebra (-)
Mulut : Sianosis (-)
Faring : hiperemis (-)
Tonsil : T1/T1 tidak hiperemis.
Telinga : sekret (-/-), nyeri tekan (-/-)
Hidung : rhinorrhea +/+, pernapasan cuping hidung (+)
Leher :
Kelenjar getah bening : Pembesaran Kelenjar Limfe (-)
Kelenjar tiroid : Pembesaran Kelenjar Tiroid (-)
Thorax
Paru
Inspeksi : Ekspansi paru simetris, Retraksi interkostal +/+
Palpasi : Fokal fremitus simetris bilateral, massa (-)
Perkusi : Pekak (?)
Auskultasi : Bronkovesikuler +/+, Rhonki +/+ basah halus, Wheezing -/-
Jantung
Inspeksi : Denyut iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Denyut iktus kordis teraba pada SIC IV-V linea
midclavicularis sinistra
Perkusi : Batas Jantung normal
Auskultasi : Bunyi Jantung I&II murni regular, Bunyi tambahan (-)
Abdomen :
Inspeksi : Cembung kesan normal
Auskultasi : Peristaltik (+) Kesan Normal
Perkusi : Timpani
Palpasi : Nyeri tekan (-), tidak ada teraba hepar, lien, atau massa
Punggung: deformitas (-)
Genitalia : Tidak ada kelainan.
EkstremitasAtas : Akral hangat +/+, Edema -/-
Ekstermitas Bawah : Akral hangat +/+, Edema -/-
Hasil pemeriksaan darah rutin
Eritrosit : 3,19 x106/mm3
Hemoglobin : 9,3 g/dL
Hematokrit : 29,7 %
Platelet : 582 x103/mm3
Leukosit : 48.1 x103/mm3.
Resume
Pasien bayi perempuan usia 1 bulan 29 hari yang dialami selama 2 minggu.
Batuk disertai dengan lendir berwarna putih, sesak napas (+) serta pilek.
Batuk diikuti dengan demam selama 1 minggu, demam bersifat naik turun dan hanya turun dengan pemberian obat penurun panas kemudian naik lagi.
Demam tidak diikuti dengan berkeringat dan menggigil serta tidak ada mimisan.
Kejang (+)
Pasien tidak mengalami BAB encer sejak lama dan tidak ditemukan darah dan lendir. Buang air kecil lancar dan urin berwarna kuning muda..
Pemeriksaan klinis ditemukan status gizi baik, denyut nadi : 160x/menit 16x/menit, respirasi : 70 x/menit, suhu : 37,8°Celcius.
Pemeriksaan fisik ditemukan pernapasan cuping hidung (+), retraksi interkostal (+) rhonki +/+ basah halus
Pemeriksaan penunjang:
Eritrosit : 3,19 x106/mm3
Hemoglobin : 9,3 g/dL
Hematokrit : 29,7 %
Platelet : 582 x103/mm3
Leukosit : 48.1 x103/mm3.
Diagnosis
Sepsis et causa Bronkopneumonia
Terapi
- IVFD Ringer Laktat 10 tetes/menit
- Injeksi ceftriakson 2x200 mg IV
- Injeksi Gentamisin 2x15 mg/IV
- Nevirapine 2 x 60 mg
- Diazepam supposutoria 5 mg
- Paracetamol 4x ½ sendok makan
- Puyer
Salbutamol 0,5 mg pulveres 3x1
gg 1/8 tab
Jika kejang
injeksi cibital 2x25 mg
Dexamethasone 1,5 mg/8jam
Meropenem 125mg/12 jam
Anjuran pemeriksaan
Foto thorax
Kultur dengan teknik bilas lambung
Widal test
Pungsi Lumbal
FOLLOW UP
12 Juli 2015
S: Febris (+), Batuk (+), kejang (-), Nafsu minum baik
O: KU: Sakit sedang, Kompos Mentis
TTV: N: 125x/menit
R: 64x/menit
S: 37,8
Pemeriksaan Fisik: napas cuping (+), rhonki +/+, retraksi dinding dada +/+
A: Sepsis et causa Bronkopneumonia
P: - IVFD Ringer Laktat 10 tetes/menit
- Injeksi ceftriakson 2x200 mg IV
- Injeksi Gentamisin 2/15 mg/IV Nevirapine 2 x 60 mg
- Diazepam supposutoria 5 mg
- Paracetamol 4x ½ sendok makan
- Puyer
Salbutamol 0,5 mg pulveres 3x1
gg 1/8 tab
Jika kejang
injeksi cibital 2x25 mg
Dexamethasone 1,5 mg/8jam
Meropenem 125mg/12 jam
13 Juli 2015
S: Febris (-), Batuk (+), kejang (-), Nafsu minum baik
O: KU: Sakit sedang, Kompos Mentis
TTV: N: 124 x/menit
R: 54 x/menit
S: 36,2
Pemeriksaan Fisik: napas cuping (+), rhonki +/+, retraksi dinding dada -/-
A: Sepsis et causa Bronkopneumonia
P: - IVFD Ringer Laktat 10 tetes/menit
- Injeksi ceftriakson 2x200 mg IV
- Injeksi Gentamisin 2/15 mg/IV Nevirapine 2 x 60 mg
- Diazepam supposutoria 5 mg
- Paracetamol 4x ½ sendok makan
- Puyer
Salbutamol 0,5 mg pulveres 3x1
gg 1/8 tab
Jika kejang
injeksi cibital 2x25 mg
Dexamethasone 1,5 mg/8jam
Meropenem 125mg/12 jam
14 Juli 2015
S: Febris (+), Batuk (+), kejang (-), Nafsu minum baik
O: KU: Sakit sedang, Kompos Mentis
TTV: N: 126x/menit
R: 50x/menit
S: 37,6
Pemeriksaan Fisik: napas cuping (+), rhonki +/+, retraksi dinding dada -/-
A: Sepsis et causa Bronkopneumonia
P: - IVFD Ringer Laktat 10 tetes/menit
- Injeksi ceftriakson 2x200 mg IV
- Injeksi Gentamisin 2/15 mg/IV Nevirapine 2 x 60 mg
- Diazepam supposutoria 5 mg
- Paracetamol 4x ½ sendok makan
- Puyer
Salbutamol 0,5 mg pulveres 3x1
gg 1/8 tab
Jika kejang
injeksi cibital 2x25 mg
Dexamethasone 1,5 mg/8jam
Meropenem 125mg/12 jam
DISKUSI
Pneumonia adalah infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah yang mengenai parenkim paru dan menyebabkan peradangan pada paru-paru disertai eksudasi dan konsolidasi jaringan, sedangkan bronkus adalah saluran udara yang membawa dari saluran pernapasan atas dan sampai ke segmen paru, jadi bronkhopneumonia adalah peradangan paru, yang biasanya terjadi di bronkhioli terminal. Menurut Bennete (2013) menyebutkan pneumonia pada anak dibedakan menjadi:
Pneumonia lobaris
Pneumonia interstisial (bronkiolitis)
Bronkopneumonia
Perbedaan anatomik antara pneumonia lobaris dan bronkopneumonia tidak terlalu jelas karena banyaknya organisme yang menyebabkan kedua pola distribusi kedua penyakit ini, sehingga dengan gambaran radiologis bronkopneumonia dapat dibedakan dari pneumonia lobaris. Oleh karena itu, pneumonia sebaiknya diklasifikasikan berdasarkan etiologi yang spesifik, maupan dengan mengisolasi patogen penyebab infeksi berdasarkan kondisi klinis yang muncul.
USIA
ETIOLOGI YANG SERING
ETIOLOGI YANG JARANG
Neonatal
BAKTERI
E.Coli
Streptoccous Hemolitikus Grup B
Streptoccous Pneumoniae
BAKTERI
Bakteri Anaerob
Streptoccous Group D
Haemophillus Influenzae
VIRUS
cytomegalovirus
Herpes Simpleks
1 bulan - 3 bulan
BAKTERI
Chlamydia Trachomatis
Streptoccous Pneumoniae
BAKTERI
Bordetella Pertussis
H.Influenza Tipe B
S. Aureus
VIRUS
Adenovirus
Virus Influenza
Virus Paraiinfluenza
4 bulan – 5 tahun
Bakteri
Chlamydia Pneumonia
Mycoplasma Pneumoniae
Streptococcus Pneumoniae
Bakteri
H. Influenza
Moraxella Chataralis
S. Aureus
Virus
Adenovirus
Virus Influenza
Virus Parainflueza
Rhinovirus
Virus
Varicella- Zooster
Tahun ke atas
Bakteri
Chlamydia Pneumoniae
Mycoplasma Pneumoniae
Streptococus Pneumoniae
H. Influenza
VIRUS
Adenovirus
Epstein-Barr
Rhinovirus
Parainfluenza Virus
Influenza Virus
Selain faktor diatas, daya tahan tubuh sangat berpengaruh terhadap terjadinya bronkopneumonia. Sistem imun pada penderita-penderita penyakit yang berat seperti AIDS dan respon imunitas yang belum berkembang pada bayi dan anak merupakan faktor predisposisi terjadinya penyakit ini.2,5
Normalnya, saluran pernafasan steril dari daerah sublaring sampai parenkim paru. Paru-paru dilindungi dari infeksi bakteri melalui mekanisme pertahanan anatomis dan mekanis, dan faktor imun lokal dan sistemik. Mekanisme pertahanan awal berupa filtrasi rambut hidung, refleks batuk dan mukosilier aparatus. Mekanisme pertahanan lanjut berupa sekresi IgA lokal dan respon inflamasi yang diperantarai leukosit, komplemen, sitokin, imunoglobulin, makrofag alveolar, dan imunitas yang diperantarai sel. Infeksi paru terjadi bila satu atau lebih mekanisme di atas terganggu, atau bila virulensi organisme bertambah. Agen infeksius masuk ke saluran nafas bagian bawah melalui inhalasi atau aspirasi flora komensal dari saluran nafas bagian atas, dan jarang melalui hematogen.2,4
Bronkopneumonia dimulai dengan masuknya bakteri atau virus melalui inhalasi, aspirasi, hematogen dari fokus infeksi atau penyebaran langsung sehingga terjadi infeksi dalam alveoli, membran paru mengalami peradangan dan menimbulkan kebocoran sehingga cairan dan bahkan sel darah merah masuk ke alveoli. Dengan demikian alveoli yang terinfeksi secara progresif menjadi terisi dengan cairan sel-sel dan infeksi menyebar dari alveolus ke alveolus lainnya.7
Gejala klinis yang khas dari pneumonia yaitu: Batuk, demam dan sesak napas. Pneumonia khususnya bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak dan mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispnea, pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan sianosis di sekitar hidung dan mulut:3,4,5
Diagnosis ditegakkan bila ditemukan 3 dari 5 gejala berikut:
Sesak napas disertai dengan pernafasan cuping hidung dan tarikan dinding dada
Panas badan
Ronkhi basah halus-sedang nyaring (crackles)
Foto thorax menunjukkan gambaran infiltrat difus
Leukositosis (pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit predominan, dan bakteri 15.000-40.000/mm3 neutrofil yang predominan)
WHO mengembangkan pedoman klinis untuk memudahkan diagnosis klinis dan tata laksana pneumonia pada anak. Berdasarkan pneumonia dibedakan menjadi:7
Pneumonia sangat berat, bila dijumpai sesak nafas, nafas cepat, terjadi sianosis sentral, tidak dapat minum serta kesadaran menurun
Pneumonia berat, bila dijumpai sesak, nafas cepat, adanya retraksi namun tanpa sianosis dan masih dapat minum
Pneumonia, bila hanya dijumpai nafas cepat tanpa adanya retraksi.
Kriteria nafas cepat yaitu : 2
Bayi kurang 2 bulan : frekunsi nafas > 60 kali per menit
Usia 2 bulan – 1 tahun : frekuensi nafas > 50 kali per menit
Usia 1 – 5 tahun : frekuensi nafas > 40 kali per menit
Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran napas atas selama beberapa hari dan suhu tubuh yang meningkat hingga 39-40˚ C. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan pernafasan cepat dan dangkal, pernafasan cuping hidung. Pada pemeriksaan thoraks, dapat di temukan ronki basah halus pada auskultasi, sedangkan pada perkusi sering tidak ditemukan kelainan.5
Berdasarkan pedoman klinis WHO, kasus pada pasien ini tergolong dalam pneumonia berat karena terjadi retraksi dada namun tidak disertai dengan sianosis.8
Pemeriksaan darah rutin pada pasien ini menunjukkan adanya leukositosis sebesar 48,1 x 103/L. Berdasarkan teori, Pemeriksaan penunjang laboratorium darah rutin pada bronkopneumonia menunjukkan leukositosis. Leukositosis pada bronkopneumonia menunjukkan adanya infeksi. Pneumonia yang disebabkan oleh virus dapat normal atau meningkat tetapi tidak melebihi 20.000/mm3 dengan predominan limfosit, sedangkan pada pneumonia bakterial dapat meningkat 15.000- 40.000/mm3 dan predominant granulosit. Dari nilai leukosit pada pasien ini kemungkinan pneunomia pada pasien disebabkan oleh bakteri.4
Pemeriksaan radiologi ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua paru, berupa bercak-bercak infiltrat yang dapat meluas hingga daerah perifer paru,disertai dengan peningkatan corakan peribronkial. Pemeriksaan foto thorax pada pasien ini didapatkan gambaran khas bronkopneumonia.3,6
Penatalaksanaan pneumonia khususnya bronkopneumonia pada anak terdiri dari 2 macam, yaitu penatalaksanaan umum dan khusus10.
Penatalaksaan Umum
Pemberian oksigen lembab 2-4 L/menit sampai sesak nafas hilang atau PaO2 pada analisis gas darah 60 torr.
Oksigen harus diberikan oleh semua pasien dengan takipneu, hipoksemia, hipotensi atau asidosis dengan tujuan untuk mempertahankan PaO2 8 kPa ( 60 mmHg) atau SaO2 92 %, bantuan ventilasi harus di pertimbangkan pada tahap awal kepada seseorang yang hipoksemia meskipun dengan terapi oksigen yang adekuat (Davidson stanley sir. 2006).
Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit.
Asidosis diatasi dengan pemberian bikarbonat intravena.
Anak yang sangat sesak napasnya memerlukan pemberian cairan intravena dan oksigen. Jenis cairan yang digunakam ialah campuran glukosa 5% dan NaCl 0,9% dalam perbandingan 3:1 ditambah larutan KCl 10 mEq/500 ml botol infus. Banyaknya cairan yang diperlukan sebaiknya dihitung dengan menggunakan rumus darrow. Karena ternyata sebagian besar penderita jatuh kedalam asidosis metabolik akibat kurang makan dan hipoksia , dapat diberikan koreksi dengan perhitungan kekurangan basa sebanyak 5 mEq.
Penatalaksanaan Khusus
Mukolitik, ekspektoran dan obat penurun panas sebaiknya tidak diberikan pada 72 jam pertama karena akan mengaburkan interpretasi reaksi antibioti awal.
Obat penurun panas diberikan hanya pada penderita dengan suhu tinggi, takikardi, atau penderita kelainan jantung
Pemberiaan antibiotik sesuai dengan mikroorganisme penyebab dan manifestasi klinisnya.
Jika wheezing atau sesak napas, berikan bronkodilator kerja cepat dan steroid jika dianggap perlu
Jika bayi kuat minum, dudkung ibunya untuk memberikan ASI, tapi jika anaka tidak dapat minum pasang NGT untuk jalur pemberian nutrisisnya agar tetap terpenuhi.
Pemilihan antibiotik dalam penanganan pneumonia pada anak harus dipertimbangkan berdasakan pengalaman empiris, yaitu bila tidak ada kuman yang dicurigai, berikan antibiotik awal (24-72 jam pertama) menurut kelompok usia11.
Penggunaan antibiok terapi empiris menurut Kemenkes (2011).11
Penggunaan antibiotik untuk terapi empiris adalah penggunaan antibiotik pada kasus infeksi yang belum diketahui jenis bakteri penyebabnya.
Tujuan pemberian antibiotik untuk terapi empiris adalah eradikasi atau penghambatan pertumbuhan bakteri yang diduga menjadi penyebab infeksi, sebelum diperoleh hasil pemeriksaan mikrobiologi.
Indikasi: ditemukan sindrom klinis yang mengarah pada keterlibatan bakteri tertentu yang paling sering menjadi penyebab infeksi. Dasar pemilihan jenis dan dosis antibiotik data epidemiologi dan pola resistensi bakteri yang tersedia di komunitas atau di rumah sakit setempat, kondisi klinis pasien, ketersediaan antibiotik, kemampuan antibiotik untuk menembus ke dalam jaringan/organ yang terinfeksi. Dan untuk infeksi berat yang diduga disebabkan oleh polimikroba dapat digunakan antibiotik kombinasi.
Rute pemberian antibiotik oral seharusnya menjadi pilihan pertama untuk terapi infeksi. Pada infeksi sedang sampai berat dapat dipertimbangkan menggunakan antibiotik parenteral.
Lama pemberian: antibiotik empiris diberikan untuk jangka waktu 48-72 jam. Selanjutnya harus dilakukan evaluasi berdasarkan data mikrobiologis dan kondisi klinis pasien serta data penunjang lainnya.
Sebaiknya pengobatan diberikan berdasarkan etiologi dan uji resistensi, tetapi berhubung hal ini tidak selalu dapat dikerjakan dan makan waktu lama maka dalam praktek diberikan pengobatan polifragmasi.
Pemberian antibiotik sesuai dengan kelompok umur. Untuk bayi di bawah 3 bulan diberikan golongan penisilin dan aminoglikosida. Untuk usia >3 bulan, ampisilin dipadu dengan kloramfenikol merupakan obat pilihan pertama.
Pada kasus ini pasien diberikan Injeksi ceftriakson 2x200 mg IV, Injeksi Gentamisin 2x15 mg/IV, Nevirapine 2 x 60 mg, Diazepam supposutoria 5 mg, Paracetamol 4x ½ sendok makan, dan diberikan puyer salbutamol 0,5 mg dan gliseril gualakolat tablet 100 mg1/8 tab yang diberikan sebanyak 3 kali 1. Hal ini telah sesuai denggan teori penatalaksanaan khusus pada bronkopneumonia.
Ketepatan jenis antibiotik untuk pengobatan bronkopneumonia tanpa didasarkan pada standar WHO dan Ikatan Dokter Anak Indonesia, yaitu antibiotik ampicillin, gentamicin dan kloramfenikol sebagai agen terapi lini pertama, sedangkan ceftriaxone dan golongan sefalosporin generasi III yang lain merupakan agen terapi lini kedua, baik tunggal maupun kombinasi dengan golongan aminoglikosida.
Pemberian sefalosporin generasi ketiga (SG III). Golongan ini umunya kurang aktif dibandingkan dengan generasi pertama terhadap kokus gram-positif, tetapi jauh lebih aktif terhadap enterobacteriaceae, termasuk strain penghasil penisilinase, SG III tunggal atau dalam kombinasi dengan aminoglikosida merupakan obat pilihan utama untuk infeksi berat oleh klebsiella, enterobacter, proteus, provedencia, serratia dan Haemophillus spesies, yang termasuk golongan SG III yaitu sefotaksim dosis dewasa : 1-2g/6-12 jam dan dosis anak 50-200mg/kg/h dalam 4-6 dosis. Dosis neonatus 100mg/kg/h dalam 2 dosis yang dapat diberikan secara I.V, seftazidim pemberian I.V dengan dosis dewasa 1-2 g/8-12jam, dosis anak 75-150 mg/kg/h dalam 3 dosis, dosis neonatus 100-150 mg/kg/h dalam 2-3 dosis, dan seftriakson dengan I.V dosis dewasa 1-4 g/24 jam, dosis anak 50-100 mg/kg/h (80 mg/kgBB/hari) dalam 2 dosis, dosis neonatus 50 mg/kg/h dengan dosis tunggal. Pada kasus ini seftriakson diberikan 2 kali 200 mg, yang mana berat badan pasien 5 kg sehingga. Pemberian dosis obat yang telah sesuai dengan teori.
Gentamisin merupakan golongan aminoglikosida yang tergolong antimikroba yang bersifat concentration dependent killing. Karena itu lebih dianjurkan diberikan dalam dosis tunggal sehari (i.m atau i.v) daripada dalam beberapa dosis.aminoglikosida ini bersifat bakterisidal, aktivitasnya terutama tertuju pada basil gram-negatif yang aerobik, mekanisme kerjanya bergantung pada kondisi optimalnya seperti pada perubahan pH, membunuh bakteri dengan menghambat sintesis protein dari ribosom 30S. Dosis Gentamisisn pada anak 5 - 7,5 mg/kgBB/24jam, IV atau IM dalam 2 dosis. Pada kasus ini diberikan injeksi i.v gentamisin dengan dosis 2 kali 15 mg yang mana hal ini telah sesuai dengan teori.
Nevirapine adalah Non-nucleoside reverse transcriptasi inhibitor (NNRTI) merupakan kelas obat yang menghambat aktivitas enzim reverse transcriptase dengan cara berikatan di tempat yang dekat dengan tempat aktif enzim dan menginduksi perubahan konformasi pada siklus aktif ini. Obat-obat golongan ini tidak hanya memiliki kesamaan mekanisme kerja, namun juga kesamaan toksisitas dan profil resistensi. Tidak seperti NRTI dan NtRTI, NNRTI tidak mengalami fosforilasi untuk menjadi bentuk aktif. NNRTI hanya aktif terhadap HIV-1, tidak HIV-2. Semua senyawa NNRTI dimetabolisme oleh sitokrom P450 sehingga cenderung untuk berinteraksi dengan obat lain (FKUI). Mekanisme kerjanya bekerja pada situs alosterik tempat ikatan non-substrat HIV-1 RT. Indikasi infeksi HIV-1 dalam kombinasi dengan anti HIV-1 lainnya, terutama NRTI. Dosis per oral 160-200 mg/m2 LPB, maksimum 200 mg 2 kali sehari, selama 14 hari pertama (satu tablet 200 mg per hari), kemudian 400 mg per hari (dua kali 200 mg tablet). Pada kasus ini diberikan dosis 2 kali 60 mg, dosis yang diberikan telah sesuai dengan teori.
Pada pasien ini juga diberikan paracetamol, sesuai dengan penatalaksanaan khusus paracetamol dapat diberikan jika pasien demam dengan peningkatan suhu >38,50C, dosis paracetamol pada anak yaitu 10-15 mg/kgBB/kali, pada anak ini diberikan paracetamol sirup dengan dosis, 4 kali setengah sendok takar sirup, yang mana dosis paracetamol syrup yaitu 120 mg/ 5 ml, karna berat badan anak 5 kg, sehingga dapat diberikan 60 mg atau setengah sendok takar. Sehingga pemberian paracetamol telah sesuai dengan teori.
Pada pemberian diazepam suposutoria untuk mengatasi konvulsifnya, yang mana obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena atau intrarektal. Dosis diazepam intravena 0,3-0,5 mg.kgBB perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam waktu lebih dari 2 menit, dengan dosis maksimal 20 mg. Apabiila kejang tidak berhenti dapat diberikan diazepam lagi dengan dosis dan cara yang sama. Apabila sukar mencari vena dapat diberikan diazepam intrarektal dengan dosis 0,5-0,75 mg/kgBB atau sebanyak 5 mg pada anak dengan berat kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 10 kg. Bila kejang tidak berhenti diberikan fenitoin dengan dosis awal 10-20 mg;kgBB secara intravena perlahan-lahan dengan kecepatan 1 mg/kgBB/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Dosis selanjutnya diberikan 4-8 mg/kgBB/hari, 12-24 jam setelah dosis awal.
Pada pasien juga di dapatkan batuk dan sesak napas sehingga diberikan, Salbutamol merupakan suatu senyawa yang selektif merangsang reseptor B2 adrenergik terutama pada otot bronkus. Golongan B2 agonis ini merangsang produksi AMP siklik dengan cara mengaktifkan kerja enzim adenil siklase. Efek utama setelah pemberian peroral adalah efek bronkodilatasi yang disebabkan terjadinya relaksasi otot bronkus. Dosis salbutamol 0,05-0,1mg/kgBB setiap 6-8 jam Oral : 1 mg/kgBB/dosis (<1thn), 2 mg/kgBB/dosis (1-4thn) per hari atau per 6-8 jam. Pada pasien ini diberikan dengan kombinasi obat gliseril guaiakolat disebut juga Guaifenesin adalah derivatguaiakol yang banyak digunakan sebagai ekspektoran, Obat batuk ini digunakan untuk batuk yang memiliki ciri berlendir, dahak mudah dikeluarkan dan terasa ringan, dosisnya 10-12 mg/ kgBB/ hari dibagi dalam 3 dosis, pada pasien ini diberikan salbutamol dengan dosis 0,5 mg sebanyak 3 kali hal ini sudah sesuai dengan teori, sedangkan pemberian gliseril guaiakolat seharusnya dosisnya yaitu 16,67 mg sebanyak 3 kali hal ini telah sesuai dengan teori, tetapi karena dalam sedian tablet 100mg sehingga pembiaran obat gliseril guaiakolatnya diberikan 1/8 tablet.
Komplikasi biasanya sebagai hasil langsung dari penyebaran bakteri dalam rongga thorax (seperti efusi pleura, empiema dan perikarditis) atau penyebaran secara hematologi. Meningitis, artritis supuratif, dan osteomielitis adalah komplikasi yang jarang dari penyebaran infeksi hematologi. Komplikasi pada anak meliputi empiema, perikarditis, pneumotoraks,atau infeksi ektrapulmoner seperti meningtis purulenta. Empiema merupakan komplikasi tersering yang terjadi pada pneumonia bakteri.2,5
Bronkopneumonia pada kasus ini memiliki prognosis yang baik karena didiagnosis secara dini dan ditangani secara adekuat. Prognosis bergantung pada cepat atau lambatnya penanganan yang dilakukan.5,7
DAFTAR PUSTAKA
Meadow R & Newell S, 2005, Lecture Notes Pediatrika, EMS, Jakarta.
Rahajoe N., Supriyatno B., Setyanto D. 2010. Buku Ajar Respirologi Anak, Edisi Pertama. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Sumarmo, S., Soedarmo, P., Hadinegoro, S. R. 2010. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Sectish, Theodore C, and Charles G, Prober. Pneumonia. Dalam: Behrman R.E., et.al (editor). 2000.Ilmu Kesehatan Anak Nelson's vol. 2 edisi. 15. Jakarta: EGC.
FKUI. 1995. Ilmu Kesehatan Anak Jilid II. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
IDAI, 2009. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak edisi I.Jakarta :Badan Penerbit IDAI.
Permana, Adhy, dkk.2010.The Disease: Diagnosis & Terapi. Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Alsagaff, Hood, dkk. 2004. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Bagian Penyakit Paru dan Saluran Nafas FK UNAIR. Surabaya
FK UNHAS.2009. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNHAS. Makassar
World Health Organization.(2013).Pocket book of Hospital Care for Children: Guidlines for Management Common Childhood Illness. 2nd ed,. Edition.Geneva
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2012. Profil Data Kesehatan Indonesia Tahun 2011. KEMENKES RI: Jakarta