REPORT 09 BATAS KONSESI MIGAS MATA KULIAH ASPEK LEGAL SPASIAL
OLEH : REDHO SURYA PERDANA NIM : 25117012
FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2017
BAB 01 PENDAHULUAN Minyak dan gas bumi masih menempati posisi yang penting dalam kehidupan manusia di seluruh dunia. Saat ini dapat dikatakan bahwa kehidupan manusia selalu berkaitan dengan minyak dan gas bumi. Bahkan ada beberapa aktivitas manusia yang sangat bergantung pada keberadaan minyak dan gas bumi. Namun sangat disayangkan ketergantungan manusia terhadap minyak dan gas bumi ini telah membuat sekelompok manusia menempuh berbagai macam usaha untuk mendapatkan minyak dan gas bumi yang merupakan aset negara. Bermunculan perusahaan asing yang mengincar kekayaan alam suatu negeri juga menjadi kajian yang penting untuk dibahas lebih lanjut. Dengan berbagai kemajuan di berbagai bidang keilmuan, minyak dan gas bumi telah memunculkan berbagai permasalahan baru seperti perebutan batas negara yang mempunyai potensi kekayaan mineral yang berlimpah, perebutan perebuta n batas wilayah untuk perusahaan migas, sengketa lahan migas, serta masalah-masalah lainnya. Dalam laporan ini akan dijelaskan tentang definisi def inisi konsesi migas, hukum-hukum internasional dan nasional tentang migas, peraturan batas-batas migas, serta contoh kasus tentang batas konsesi migas.
BAB 02 ISI MATERI 2.1. KONSESI MIGAS
Konsesi adalah pemberian hak, izin, atau tanah oleh pemerintah, perusahaan, individu, atau entitas legal lain. Konsesi antara lain diterapkan pada pembukaan tambang, migas, dan penebangan hutan. Minyak dan gas bumi merupakan hasil dari proses mahluk hidup purbakala yang mati dan terkubul selama jutaan tahun mendapatkan tekanan dan suhu tinggi lalu berproses menjadi mineral. Untuk membawa minyak dan gas bumi sampai ke permukaan dibutuhkan proses yang mahal. Industri migas bumi membagi menjadi dua tahap yaitu, tahap eksplorasi dan tahap produksi. Kegiatan eksplorasi dimaksudkan untuk menemukan cadangan migas sedangkan produksi bertujuan untuk mengangkatnya ke permukaan. Kegiatan ekplorasi ini terdiri dari beberapa tahap meliputi : 1. Studi geologi Studi geologi dilakukan untuk memahami struktur susunan batu dibagian bawah, dari hasil studi ini dapat diketahui lebih lanjut dengan menggunakan studi geofisika. 2. Studi Geofisika Studi geofisika bertujuan untuk mengetahui sifat fisik batuan mulai dari permukaan hingga kedalaman beberapa kilometer dibawahnya. Proses ini berlangsung selama enam bulan hingga satu setengah tahun tergantung dari luasan area dan yang dituju. 3. Survei Seismik Merupakan metode yang paling banyak dilakukan untuk mengetahui sifat fi sik batuan. Melalui kegiatan seismik keadaan dibawah tanah dapat direkonstruksi menjadi gambar 2D maupun 3D.
4. Pengeboran Eksplorasi Kegiatan eksplorasi bertujuan untuk melakukan pengambilan sumber mineral dari bawah bumi, kegiatan ini mengandung risiko dan ketidakpastian yang sangat tinggi, oleh sebab itu dibutuhkan modal yang sangat besar, tekonologi yang canggih dan sumber daya manusia yang berpengalaman. 2.2. HUKUM INTERNASIONAL TENTANG MIGAS (SISTEM KONSESI)
Sistem konsesi atau sistem kontrak 5A (berlaku pada zaman Hindia Belanda), merupakan sistem pengelolaan minyak dan gas bumi, perusahaan pertambangan diberi kuasa pertambangan dan hak untuk menguasai hak atas tanah. Sistem konsesi juga disebut sebagai perjanjian karya, secara sistem ini mengatur bahwa perusahaan pertambangan minyak dan gas bumi hanya diberi hak kuasa pertambangan dan tidak meliputi hak atas tanah. Sistem ini adalah sistem yang paling tua dan masih banyak yang menggunakan hingga saat ini. Pada sistem konsesi, perusahaan migas diberikan hak eksklusif untuk melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi selama periode tertentu. Karakteristik sistem ini adalah bahwa semua hasil produksi dalam wilayah konsesi tersebut dimiliki oleh perusahaan migas, sementara negara menerima pembayaran royalti yang besarnya secara umum berupa presentase dari pendapatan bruto, serta negara juga akan memperoleh pajak. Selain royalti, juga mulai diperkenalkan bonus dan tambahan-tambahan pembayaran. Model konsesi juga diterapkan oleh perusahaan-perushaan migas internasional (IOCs) dalam penguasaan minyak dan gas bumi di berbagai negara. Model konsesi, pemerintah umumnya hanya sebagai partner pasif dengan posisi tawar yang relatif rendah, tidak ada renegosiasi terhadap kondisi dan ketentuan yang sebelumnya telah ditetapkan. Sehingga, pemerintah pemilik minyak dan gas hanya mendapat besaran royalti yang sudah ditetapkan selama durasi ijin konsesi, yang dalam perjanjiannya bisa mencapai 60 hingga 99 tahun. Sistem konsesi tradisonal memiliki kelemahan yaitu membatasi keterlibatan negara selaku tuan rumah, ditandai dengan jangka waktu yang lama, luas area konsesi yang sangat besar, dan tidak ada pengembalian sebagai wilayah dan lain-lain. Dalam perkembangannya, sistem konsesi mengalami banyak perubahan untuk mengakomodasi kepentingan negara tuan rumah. Perkembangan tersebut meliputi peningkatan bagian pemerintah baik dari royalti maupun pajak, seperti pemberlakuan pajak khusus terhadap keuntungan yang berlebihan (special tax on
excessive profit) dan jenis pajak-pajak lainnya. Tetapi, pada sistem konsesi modern, luas area konsesi jauh lebih kecil dibandingkan dengan sistem konsesi tradisional. Periodenya juga lebih pendek (sistem konsesi tradisional bisa mencapai 60 tahun, sementara sistem konsesi modern hanya 20-25 tahun). Namun, sementara ini sistem konsesi modern juga dikenal dengan sebutan sistem royalty/ tax. Di Indonesia (pada masa pemerintahan Hindia Belanda), melalui Undang-Undang Pertambangan – Indische Mijnwet – tahun 1899 pemerintah kolonial Belanda memberikan izin konsesi dengan jangka waktu 75 tahun, sedangkan konsesi hingga 99 tahun dapat dijumpai di Kuwait. Seiring dengan perkembangan industri minyak dan gas, peningkatan permintaan minyak mentah di sisi hilir mendorong intensifikasi kegiatan eksplorasi dan produksi di sisi hulu. Sehingga pemerintah negara semakin berpengalaman dan mempunyai posisi tawar yang juga tinggi dalam pengolahan minyak dan gas bumi.130 Peningkatan produksi negara-negara pemilik minyak dan gas bumi berimplikasi terhadap peningkatan penerimaan dari hasil produksi minyak dan gas bumi, perubahan penerimaan negara ini berakibat pada wilayah konsesi yang menjadi lebih dibatasi dan ditawarkan dalam bentuk blok-blok migas dengan durasi kontrak yang juga lebih pendek, yaitu 30 tahun.131 Dengan menguatnya peran pemerintah, stuktur fiskal dalam model konsesi menjadi semakin detail dan kompleks. Sejumlah komponen fiskal ditambahkan untuk meningkatkan revenue bagi pemerintah seperti berbagai bentuk pajak, bonus-bonus dan penalty. Instrumen pajak yang ditambahkan, berupa pajak penghasilan, special petroleum tax dan juga menjadi bermacammacam windfall132. Demikian pula dengan bonus yang bermacam-macam, s eperti bonus tanda tangan (signature bonus), bonus penemuan (discovery bonus), dan bonus produksi (production bonus). Bonus tandatangan dibayarkan oleh perushaan kepada pemerintah setelah penandatanganan kontrak. Sedang bonus penemuan dan produksi masing-masing dibayarkan setelah penemuan minyak komersial dan pencapaian produksi pada level tertentu. Sedangkan, Penalty antara lain akibat dela y dalam kegiatan pemboran. Pada sisi perusahaan, juga mendapatkan sejumlah fasilitas sebagai kompensasi atas resiko yang dihadapi. Fasilitas-fasilitas tersebut diberikan oleh pemerintah, seperti cost deduction dan berbagai bentuk kebijakan fiskal. Insentif fiskal tersebut antara lain berupa depletion allowances, investment credits dan loss carry forward. Selain itu, pemerintah juga memberikan keuntungan bagi perusahan, pemberian insentif-insentif tersebut juga merupakan kepentingan
pemerintah, khususnya dalam rangka mendorong investasi di sektor hulu migas yang semakin besar. Bila membahas mengenai dasar pijakan yang menjadi landasan yuridis dalam bingkai hukum internasional dalam kaitannya dengan pengelolaan sumber daya alam khususnya migas, tidak akan lepas dari berbagai instrumen hukum internasional yang mengatur prinsip kedaulatan negara atas hak menguasai sumberdaya alam. Prinsip kedaulatan atau hak menguasai negara atas sumberdaya alam (Sovereignty over Natural Resources) bukanlah sesuatu yang baru dan bahkan telah diakui sepenuhnya oleh hukum internasional sebagaimana dapat dijumpai dalam berbagai dokumen resmi, diantaranya: 1. Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 626 (VII) tanggal 21 Desember 1952 tentang penentuan nasib sendiri di bidang ekonomi (economic self-determination). Dalam resolusi tersebut ditegaskan mengenai hak setiap negara untuk memanfaatkan dan mengeksploitasi secara bebas kekayaan dan sumber daya alamnya, kemanapun yang dikehendaki untuk kemajuannya dan pengembangan ekonomi. 2. Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 1803 (XVII) tanggal 14 Desember 1962, Resolusi 2158 (XXI) tanggal 25 November 1966, dan Resolusi 3016 (XXVIII) tanggal 18 Desember 1972. Resolusi ini memperluas ruang lingkup prinsip hak penguasaan permanen (permanent sovereignty) atas kekayaan alam di dasar laut dan tanah di bawahnya yang masih berada dalam yurisdiksi nasional suatu negara. Resolusi 1803 (XVII) juga mengedepankan kepentingan pembangunan nasional dan kesejahteraan rakyat negara bersangkutan dan menekankan bahwa perjanjian-perjanjian ekonomi termasuk investasi adalah untuk pembangunan nasional yang independen dan didasarkan pada pengakuan setiap negara atas hak menguasai kekayaan dan sumber daya alam. Dalam resolusi 1803 tahun 1962 tentang hak menguasai tetap atas kekayaan alam, dinyatakan bahwa di setiap negara hak menguasai penuh atas kekayaan alamnya dan seluruh kegiatan ekonomi. Eksplorasi, pengembangan dan pemanfaatan dari sumber daya tersebut beserta modal asing yang diperlukan untuk maksud tersebut harus sesuai dengan aturan dan kondisi dimana masyarakat dan bangsa yang bersangkutan memandang perlu adanya otorisasi, pembatasan atau larangan terhadap kegiatan tersebut.
3. Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 3201 (S-VI) Tanggal 1 Mei 1974 tentang Deklarasi Pembentukan Tata Ekonomi Internasional Baru dan Resolusi 3281 (XXIX) Tanggal 12 Desember 1974 tentang Program Hak-hak Ekonomi dan Kewajiban Negara (Charter of Economic Rights and Duties of States), yang menegaskan kembali mengenai hak menguasai oleh negara untuk mengawasi kekayaan alamnya dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Resolusi 3201 menegaskan bahwa tata ekonomi internasional baru seharusnya didasarkan pada antara lain hak menguasai dari negara secara penuh dan untuk mengamankan sumber daya alam ini masing-masing negara berhak mengendalikan dan eksploitasinya, dimana termasuk pula melakukan nasionalisasi atau mengalihkan kepemilikan kepada negaranya sendiri. 4. International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESR) Pasal 1 dan International Covenant on Civil Political Rights (ICCPR) Pasal 1 Tanggal 16 Desember 1966. Perjanjian internasional ini menegaskan hak suatu negara untuk memanfaatkan secara bebas kekayaan alamnya. ICESR dan ICCPR yang merupakan bagian dari Universal Declaration of Human Rights Tahun 1948 adalah perjanjian internasional yang dihasilkan dari Majelis Umum PBB dan mulai berlaku 3 Januari 1976. Perjanjian ini berisi kesepakatan untuk bekerja sama dalam memberikan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya kepada setiap individu dan/atau bangsa-bangsa. 5. Declaration on the Human Environment Tahun 1972 di Stockholm. Dalam Pasal 11 dan 12 ditegaskan bahwa negara memiliki hak berdaulat untuk memanfaatkan sumber daya alamnya sesuai dengan kebijakan pemeliharaan lingkungannya masing-masing. Dalam pemanfaatan sumber daya alam tersebut, negara bertanggung jawab atas kegiatan-kegiatan yang merugikan lingkungan, baik di wilayahnya sendiri, maupun di wilayah negara lain (Pasal 12 dan 11). Deklarasi Stockholm ini juga menegaskan diperlukannya perencanaan dan pengelolaan yang baik untuk menyelamatkan sumber daya alam untuk kemanfaatan generasi di masa sekarang dan yang akan datang.
2.3. HUKUM NASIONAL DAN PERATURAN BATAS DAN IZIN KONSESI MIGAS
Pada dasarnya, hubungan kegiatan usaha migas dengan hak atas tanah sebenarn ya telah diatur dalam Undang-Undang No.22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Kegiatan usaha migas dilaksanakan di dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia. Wilayah hukum pertambangan Indonesia adalah seluruh:
Wilayah daratan
Perairan
Landas kontinen Indonesia
Tempat yang tidak boleh dilakukan kegiatan pengusahaan hulu migas adalah:
Tempat pemakamam, tempat yang dianggap suci, tempat umum, sarana dan prasarana umum, cagar alam, cagar budaya serta tanah milik masyarakat adat.
Lapangan dan bangunan pertahanan Negara serta tanah disekitarnya.
Bangunan bersejarah dan simbol-simbol Negara.
Bangunan, rumah tinggal atau pabrik beserta tanah pekarangan sekitarnya, kecuali dengan izin dari instansi pemerintah, persetujuan masyarakat dan perseorangan yang berkaitan dengan hal tersebut.
Berdasarkan Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang No.22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas), penyelesaian itu dapat dilakukan secara musyawarah mufakat melalui:
Jual beli
Tukar menukar
Ganti rugi yang layak
Pengakuan (atas adanya hak ulayat masyarakat hukum adat di suatu daerah)
Bentuk penggantian lain kepada pemegang hak atau pemakai tanah diatas tanah Negara.
Prinsipnya, sejak adanya penyelesaian tentang status tanah yang digunakan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), maka sejak saat itulah timbul hak dan kewajiban kedua belah pihak. Kewajiban pemegang hak atas tanah adalah mengizinkan KKKS untuk melaksanakan eksplorasi dan eksploitasi di atas tanah yang bersangkutan, hal ini telah diatur dalam Pasal 35 UU Migas, dengan syarat:
Sebelum kegiatan dimulai, terlebih dahulu memperlihatkan kontrak kerjasama atau salinannya yang sah, serta memberitahukan maksud dan tempat kegiatan yang akan dilakukan, dan
Dilakukan terlebih dahulu penyelesaian atau jaminan penyelesaian yang disetujui oleh pemegang hak atas tanah atau pemakai tanah di atas tanah Negara.
KKKS yang telah diberikan WK, maka terhadap bidang-bidang tanah yang telah dipergunakan langsung untuk kegiatan usaha migas dan areal pengamanannya, diberikan hak pakai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berikut ini beberapa kebijakan pertanahan yang telah dan akan dilakukan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN dalam rangka mendukung industri hulu minyak dan gas bumi, yaitu : 1. Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum. Masalah pengadaan tanah menjadi persoalan yang cukup serius bagi industri hulu minyak dan gas bumi (migas). Pasalnya, kegiatan eksplorasi untuk mendapatkan cadangan migas baru, tidak bisa dilakukan apabila proses pengadaan tanah mas ih menghadapi kendala, terutama bagi kontraktor kontrak kerja sama (kontraktor KKS). Persoalan pengadaan tanah juga bisa menghambat pelaksanaan komitmen pengeboran, sehingga kegiatan usaha hulu migas tidak bisa melakukan peningkatan produksi. Inilah alasan mengapa pengadaan tanah menjadi bagian sangat penting dalam rangkaian kegiatan industri hulu migas. Guna mengatasi permasalahan pengadaan tanah tersebut, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional telah menginisiasi terbitnya Undang Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, berikut peraturan-peraturan pelaksanaan di bawahnya. Dalam Pasal 10 huruf e Undang-Undang tersebut disebutkan bahwa tanah untuk kepentingan umum yang digunakan pembangunan termasuk diantaranya adalah infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi. Pemecahan masalah pengadaan tanah selanjutnya mendapat titik terang dengan diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perubahan Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, yang merupakan peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Dalam Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2014, antara lain diatur :
-
Dalam Pasal 120 ayat (4) disebutkan bahwa biaya operasional dan biaya pendukung pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum dalam rangka pembangunan infrastruktur hulu minyah dan gas bumi, mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
-
Dalam Pasal 121 disebutkan, bahwa luasan pengadaan tanah skala kecil yang semula hanya 1 hektar diperbesar menjadi 5 hektar, dan dapat dilakukan langsung oleh Instansi yang memerlukan tanah dengan para pemegang hak atas tanah dengan cara jual beli, atau tukar menukar, atau cara lain yang disepakati oleh kedua belah pihak.
Sebagai implementasi dari peraturan perundang-undangan pengadaan tanah di atas, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional telah menerbitkan Peraturan Kepala BPN No. 5 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengadaan tanah, yang kemudian diterbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 72 Tahun 2012 tentang Biaya Operasional dan Biaya Pendukung Penyelenggaraan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum Yang Bersumber Dari APBD, dan Peraturan Menteri Keuangan No. 13 Tahun 2013 tentang Biaya Operasional dan Biaya Pendukung Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Yang Bersumber Dari APBN. Pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum merupakan salah satu implementasi dari Misi Pemerintah, yaitu mewujudkan masyarakat maju, berkesinambungan dan demokratis berdasarkan Negara hukum. Hal ini tercermin dalam pokok-pokok pengadaan tanah, yaitu memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat serta harus ada pemberian Ganti Kerugian yang layak dan adil. Dengan diterbitkannya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum, diharapkan akan mampu menunjang peningkatan industri hulu migas, karena pengadaan tanah yang selama ini dianggap sebagai permasalahan yang menghambat akan dapat teratasi. 2.
Percepatan Legalisasi Aset.
Legalisasi aset adalah proses administrasi pertanahan yang meliputi kegiatan pendaftaran dan penerbitan sertipikat hak atas tanah yang dilakukan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional untuk perorangan, kelompok masyarakat maupun Badan hukum. Legalisasi aset antara lain bertujuan untuk kepastian hukum hak atas tanah, meredakan konflik sosial atas tanah melalui pendaftaran tanah serta mendukung upaya pengembangan kebijakan-kebijakan manajemen pertanahan dalam jangka panjang.
Undang-Undang minyak dan Gas Bumi (UU No. 2/2001) menyatakan bahwa terhadap bidang bidang tanah yang dipergunakan langsung untuk kegiatan usaha minyak dan gas bumi serta areal pengamanannya diberikan Hak Pakai. Dalam hal Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) merupakan badan usaha yang berdiri berdasarkan hukum Indonesia, maka terhadap tanah yang berstatus Hak Milik perolehannya harus dilakukan pelepasan hak dengan memberikan ganti rugi, apabila Hak Guna Usaha harus dilakukan pelepasan hak dengan memberikan ganti rugi, dan jika Hak Guna Bangunan dapat dilakukan jual beli untuk kemudian mengkonversikan menjadi Hak Pakai. Terhadap tanah yang belum bersertifikat/tanah adat, Kontraktor KKS dapat melakukan pelepasan hak dengan memberikan ganti rugi, dan selanjutnya memohonkan Hak Pakai atas tanah yang telah dilepaskan penguasaannya. Kebijakan pertanahan terkait percepatan legalisasi aset dalam mendukung industri hulu migas antara lain : -
Penerbitan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor
3 Tahun 2012
tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendaftaran Tanah Tertentu. Dalam Pasal 5 huruf f Peraturan tersebut disebutkan bahwa Kepala Kantor Pertanahan memberi keputusan mengenai semua pemberian Hak Pakai aset pemerintah (pusat dan daerah), kecuali Hak Pengelolaan (HPL), aset BUMN dan tanah kedutaan/perwakilan diplomatik negara lain. Dengan pelimpahan kewenangan tersebut diharapkan dapat mempercepat legalisasi aset, khususnya dalam mendukung industri hulu migas, karena seluruh tanah yang dibebaskan dalam kegiatan industri hulu migas menjadi aset Negara. Tanah tersebut dimanfaatkan oleh kontraktor kontrak kerja sama (Kontraktor KKS) Migas dengan pengawasan dan pengendalian SKK Migas. -
Penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) antara Kepala BPN dengan Ketua SKK Migas pada tanggal 26 April 2013. MoU tersebut bertujuan untuk mewujudkan tertib administrasi dan memberikan kepastian hukum dengan cara memberikan prioritas pelayanan pada pelaksanaan pensertipikatan dan penanganan permasalahan tanah yang dikelola oleh SKK Migas di seluruh Indonesia, dengan alasan bahwa industri hulu migas merupakan kegiatan strategis untuk kepentingan nasional. Dalam hal ini BPN mempunyai tugas dan tanggung jawab melaksanakan percepatan pensertipikatan tanah di industri hulu migas termasuk melaksanakan penanganan permasalahan tanah sektor hulu migas sesuai dengan kewenangan, semenatra SKK Migas bertugas melakukan inventarisasi dan identifikasi tanah yang dimohonkan pensertifikatannya.
3.
Percepatan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan.
Sengketa dan Konflik pertanahan merupakan persoalan yang kronis dan bersifat klasik serta berlangsung dalam kurun waktu tahunan bahkan puluhan tahun dan selalu ada dimana-mana termasuk yang berkaitan dengan tanah-tanah industri hulu migas. Oleh karena itu usaha pencegahan, penanganan dan penyelesaiannya harus memperhitungkan berbagai aspek baik hukum maupun non hukum. Karena itu dibutuhkan pemahaman mengenai a kar konflik, faktor pendukung dan faktor pencetusnya sehingga dapat dirumuskan strategi dan solusinya. Dalam rangka upaya mempercepat penanganan dan penyelesaian sengketa dan konflik pertanahan terutama sengketa/konflik yang berkaitan tanah-tanah industri hulu migas, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Perta nahan Nasional telah menyiapkan kebijakan antara lain : -
Kebijakan One Map One Policy. Kebijakan Satu Peta (One Map Policy), adalah kebijakan untuk menciptakan satu referensi, satu standar, satu basis data dan satu geoportal dalam penyelenggaraan informasi geospasial. Pentingnya kebijakan satu peta adalah sebagai dasar pengambilan keputusan pelaksanaan pembangunan fisik seluruh Indonesia, untuk menjamin kepastian hukum dan untuk mencegah terjadinya sengketa dan konflik pertanahan. Salah satu faktor penyebab terjadinya sengketa dan konflik pertanahan adalah akibat tidak seragamnya peta yang dipakai sebagai dasar penguasaan tanah sehingga terjadi sal ing klaim. Dengan adanya satu peta maka akan mampu menekan terjadinya sengketa dan konflik pertanahan, terutama dalam perolehan tanah untuk industri hulu migas.
-
Penanganan sengketa dan konflik pertanahan Penanganan sengketa dan konflik pertanahan dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum atas penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, serta untuk memastikan tidak terdapat tumpang tindih pemanfaatan, tumpang tindih penggunaan, tumpang tindih penguasaan dan tumpang tindih pemilikan tanah, sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku serta bukti kepemilikan tanah bersifat tunggal untuk setiap bidang tanah yang diperselisihkan. Guna mempercepat penanganan sengketa dan konflik pertanahan dilakukan dengan mengoptimalkan peran Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota maupun Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi dalam rangka penanganan dan penyelesaian sengketa dan konflik pertanahan di daerah yang sifatnya lokal/regional.
-
Usulan Rancangan Undang-Undang tentang Pertanahan dalam Program Legislasi Nasional Prioritas Tahun 2015. Rancangan Undang Undang Pertanahan mendasarkan pada 7 (tujuh) prinsip utama yaitu prinsip tanah sebagai perekat NKRI, prinsip hak menguasai Negara, prinsip tidak menggantikan UUPA, prinsip tanah mempunyai fungsi sosial, prinsip kepastian hukum atas tanah, prinsip komprehensif. Prinsip Rancangan Undang-Undang Pertanahan diharapkan menjadi sarana untuk meminimalisir terjadinya sengketa dan konflik pertanahan.
2.4. STUDI KASUS BATAS KONSESI MIGAS DI INDONESIA 2.4.1. Sengketa batas antar negara
Ambalat merupakan blok dasar laut yang berlokasi di sebelah timur Pulau Borneo (Kalimantan). Menurut Schofield, C. and Storey, I. (2005), Ambalat merupakan dasar laut yang berada pada rejim ZEE dan landas kontinen, yang artinya bukan dalam rejim kedaulatan ( sovereignty), melainkan hak berdaulat ( sovereign rights).
Gambar 01. Lokasi Ilustratif Blok Ambalat (Sumber : Arsana dkk, 2010)
Pada tanggal 16 Februari 2005, Petronas memberikan konsesi at as Blok ND-6 dan ND-7 (lihat Gambar 1) kepada Pertronas Carigali yang bermitra dengan Royal Dutch/Shell Group. Blok
yang menjadi subyek konsesi Malaysia ini tumpang tindih dengan blok Ambalat (label A pada Gambar 1) yang dikonsesikan tahun 1999 kepada Shell dan Blok Ambalat Timur atau East Ambalat (label EA pada Gambar 1) yang telah dikonsesikan oleh Indonesia kepada ENI, (perusahaan minyak Italia) dan Uncoal, perusahaan multinasional Amerika pada 12 Desember 2004 (Sumaryo, dkk., 2007). Sementara itu, Indonesia sendiri sudah memberikan beberapa konsesi lain sejak tahun 1960-an kepada beberapa perusahaan asing dengan lokasi dan nama yang berbeda (lihat beberapa blok lain pada Gambar 1). Menurut Arsana, I MA. (2010 : 50) bah wa: “yang dimaksud kawasan Ambalat sesungguhnya adalah blok dasar laut tertentu di Laut Sulawesi”. Lebih lanjut, Arsana menegaskan bahwa yang dimaksud dengan kawasan Ambalat adalah dasar lautnya saja (landas kontinen), tidak termasuk perairannya. Dari aspek geopolitik, masalah sengketa Blok Ambalat tersebut juga harus dipandang dengan cermat. Dengan belajar pada kasus sengketa kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan tahun 2003 lalu, dimana kedua pulau kecil tersebut jatuh ke pihak Malaysia, maka menimbulkan kesan politik yang kuat dalam masyarakat. Pemerintah sudah saatnya memberikan perhatian khusus terhadap pulau-pulau kecil terluar dan wilayah laut Indonesia yang berbatasan langsung dengan negara tetangga. Hal ini berkaitan dengan dengan potensi konflik yang suatu saat akan timbul menyangkut kepemilikan dan upaya disintegrasi bangsa. Indonesia sebagai NKRI harus mempertahankan kedaulatan bangsa dan berusaha mempertahankan kedaulatan bangsa dan mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa. Wilayah laut yang berada di perbatasan merupakan gerbang utama dalam menjaga wilayah Indonesia. Disamping itu, suatu negara akan dipandang kuat di mata internasional jika di antaranya mampu menunjukkan kemampuannya dalam menjaga wilayah teritorial negaranya (Ferdi, 2010 : 114).
A. Dasar Hukum Klaim Blok Ambalat
Dasar Hukum Malaysia
Gambar 02. Peta Klaim Malaysia Tahun 1979 (Sumber: Abarky, 2012)
Malaysia memulai kisruh terhadap Indonesia di Blok Ambalat dengan berdas arkan peta klaim Malaysia tahun 1979, yang telah menetapkan sendiri batas laut antara Sabah dan Kalimantan Timur dengan menarik garis dasar lurus (garis pangkal) dari Pulau Sipadan hingga perbatasan darat Indonesia-Malaysia di Pulau Sebatik. Kronologis munculnya peta Malaysia yang menjadi dasar klaim atas Blok Ambalat tersebut, dimulai pada tahun 1979, dimana Malaysia membuat peta seca ra sepihak. Peta Malaysia tahun 1979 sebenarnya tidak memiliki implikasi hukum (legal) akan tetapi mempunyai implikasi politis. Peta itu tidak hanya diprotes oleh Indonesia tetapi juga oleh negara Singapura, Filipina, Cina, Thailand, Vietnam, dan Inggris pun ikut mengajukan protes atas nama Brunai Darussalam saat Malaysia belum merdeka, karena dianggap sebagai upaya perebutan wilayah negara lain. Keabsahan legitimasinya hingga saat ini masih terus dipertanyakan. Semua negara yang melakukan protes menerangkan bahwa peta tahun 1979 tidak memil iki implikasi yuridis. Bahkan batas maritim yang ada tidak dilaksanakan sesuai dengan hukum internasional, yaitu melalui perjanjian antarnegara yang berkaitan (Puspitasari D. D, dkk., 2008 : 44).
Dasar Hukum Indonesia
Gambar 03. Peta Klaim Blok Ambalat, Indonesia (Sumber: Sargindo, C., 2013)
Indonesia berhasil memperjuangkan konsep negara kepulauan ( Archipelagic State) hingga diakui secara internasional. Sehingga dapat menerapkan ketentuan-ketentuan yang berlaku sebagai negara kepulauan. Berdasarkan Konvensi Hukum laut 1982, Indonesia mempunyai hak berdaulat atas kekayaan alam di dasar laut dan tanah di bawahnya, termasuk minyak dan gas sampai sejauh 200 mil dari garis-garis pangkal nusantara Indonesia atau lebih jauh lagi sampai kelanjutan alamiah dari pulau-pulau terluar Indonesia ke dasar laut. Blok Ambalat merupakan kelanjutan alamiah dari Kalimantan Timur karena batuan dasar nya adalah bagian dari lempeng benua pembentuk Kalimantan. Letak Blok Ambalat masih dalam jarak 200 mil dari garis dasar kepulauan nusantara di pantai Kalimantan Timur. Fakta tersebut yang menguatkan bahwa Blok Ambalat memang masih dalam jangkauan wilayah Indonesia dan Indonesia berhak atas pengelolaannya. Terlebih lagi, Indonesia telah melakukan eksploitasi dan eksplorasi pada Blok Ambalat dan wilayah sekitarnya sejak dulu. Pada saat itu, Mala ysia tidak pernah melayangkan nota protes sekalipun atas klaim Indonesia tersebut (Puspitas ari D. D, dkk., 2008 : 44).
2.4.2. Sengketa batas di dalam negeri
Gambar 04. Peta konsesi migas Indonesia
Gambar 05. Kasus-kasus sengketa lahan migas (Sumber: katadata.co.id)
Selain sengketa lahan migas antar negara, di Indonesia terdapat berbagai kasus sengketa lahan migas, berikut macam-macam jenis kasusnya : 1. Conoco Philips Sumatera Barat Permasalahan terjadi akibat sengketa dalam penutupan jalan oleh penggarap lahan di sekitar migas 2. Petrochina, Jabung, Riau Permasalahan terjadi karena hitungan penggantian nilai harapan keuntungan pada hutan tanaman industri tidak sesuai lalu terjadi sengketa dengan warga dan pemerintah sekitar. 3. PT. Chevron, Siak, Riau Sengketa pengadaan lahan untuk 12 sumur pengembangan di Rantau Bais. 4. Energi Mega Persada, Bentu, Riau Sengketa pengadaan tanah tertunda akibat adanya kasus penyalahgunaan pajak oleh pengguna lahan. 5. Mobil Cepu Ltd, Jatim Permasalahan tukar guling lahan kas Desa Gayam dan permasalahan sewa lahan EPF terkait kenaikan NJOP. 6. Pertamina Petrochina East Java, Tuban, Jatim Perpanjangan sewa lahan lokasi di 2 sumur. 7. Lapindo Brantas, Jatim Perpanjangan sewa lahan di lokasi pipa. 8. Pertamina Hulu Energi WMO, Laut Utara Jatim Permasalahan terjadi akibat sertifikat tanah pada obyek sita jaminan bermasalah. 9. Harvest Budong, Sulawesi Barat Area tambang migas tumpang tindih dengan Hak Guna Usaha Kelapa Sawit. 10. Manhattan Kalimantan Investment, Tarakan Offshore, Kalimantan Timur Pembebasan lahan terhambat. 11. Salamander Energy Bangkanal, Kalimantan Tengah Area tambang migas tumpah tindih dengan IUPHHK (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu ) dan terdapat gangguan keamanan oleh penggarap lahan kehutanan. 2.5. CARA MENYELESAIKAN SENGKETA LAHAN MIGAS
Dalam menyelesaikan sengketa batas-batas negara dan lahan migas, pemerintah RI menggunakan cara-cara damai melalui diplomasi antar kedua negara, sehingga dapat mencegah penggunaan kekerasan atau perang. Penggunaan cara-cara diplomasi ditentukan pula oleh pasal 33 Piagam PBB yakni melalui negosiasi, mediasi, konsiliasi, arbritase, penyelesaian pengadilan, atau penyelesaian melalui agen-agen regional atau cara-cara lain menurut pilihan masing-masing negara. Ada tiga cara diplomasi yang lebih tepat digunakan dalam penyelesaian Blok Ambalat yaitu: 1.
Negosiasi
Negosiasi merupakan teknik penyelesaian sengketa yang tidak melibatkan pihak ketiga. Pada dasarnya negosiasi hanya berpusat pada diskusi yang dilakukan oleh pihak- pihak terkait yakni
Indonesia dan Malaysia. Perbedaan persepsi yang dimiliki oleh kedua negara diharapkan akan diperoleh jalan keluar dan menyebabkan pemahaman atas inti persoalan menjadi lebih mudah untuk dipecahkan. Bilamana jalan keluar ditemukan kedua belah pihak, maka akan berlanjut pada pemberian konsesi dari pihak yang satu kepada pihak yang lain. 2.
Mediasi
Mediasi yang merupakan bentuk penyelesaian dengan melibatkan pihak ketiga, dalam hal ini pihak ketiga bertindak sebagai pelaku mediasi (mediator). Seorang mediator memiliki peran yang aktif untuk mencari solusi yang tepat untuk melancarkan terjadinya kesepakatan antara pihak-pihak yang bersengketa. 3.
Inquiry
Inquiry yaitu ketika terdapat sengketa antara Indonesia dan Malaysia maka untuk menyelesaikannya sengketa tersebut, kedua belah pihak dapat mendirikan sebuah komisi atau badan yang bersifat internasional untuk mencari dan mendengarkan semua bukti-bukti yang relevan dengan permasalahan yang dipersengketakan. Komisi atau badan ini sering disebut Komisi Pencari Fakta yang dengan dasar bukti-bukti yang dikumpulkannya, kemudian dapat mengeluarkan sebuah fakta yang sebenarnya dan disertai dengan penyelesaiannya.
DAFTAR PUSTAKA
Hadiwijoyo. 2009. Batas Wilayah Negara Indonesia. Jakarta. Gava Media. Abarky.
(2012).
Kronologi
Sengketa
Ambalat
(online).
Tersedia:
https://garudamiliter.blogspot.co.id/2012/05/ambalat.html. [18 Oktober 2016]. Arsana, I MA. (2010). “Penyelesaian Sengketa Ambalat dengan Delimitasi Maritim: Kajian Geospasial dan Yuridis”. Jurnal Ilmiah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik , 1, (1), 46 – 58. Arsana, I MA. dan Schofield, C. (2009). “ Extending Indonesia? Opportunities and Challenges Related to the Definition of Indonesia’s Extended Continental Shelf Rights, dalam Cribb, R. dan Ford, M. (eds) Indonesia Beyond the Water’s Edge – Managing an Archipelagic State, ISEAS, Singapore. Bakosurtanal. (2009). Peta Negara Kesatuan Republik Indonesia, Cibinong. Ferdi. (2010). “Sengketa Perbatasan Laut antara Indonesia – Malaysia pada Blok Ambalat Ditinjau dari Hukum Internasional. Jurnal Ilmiah Tambua Edisi Khusus , (ISSN 14125838), 112 – 121. Hayati, S dan Ahmad Y. (2007). Geografi Politik . Bandung: PT Refika Aditama. Oegroseno, AH. (2009). Indonesia’s Maritime Boundaries, dalam Cribb, R. dan Ford, M. (eds) Indonesia Beyond the Water’s Edge – Managing an Archipelagic State, ISEAS, Singapore. Papanicolopulu, I. (2007). “A Note on Maritime Delimination in a Multizonal Context: The Case of The Mediteranian, Ocean Development and International Law”, 38: 381 – 398. p 381. Prescott, V. (1997). “The Completion of Marine Boundary Delimination between Australia and Indonesia”. Geopolitics, 2, (2), 132 – 149. Puspitasari, D. D, Eidman, E. dan Luky A. (2008). “Studi Analisis Konflik Ambalat di Per airan Laut Sulawesi”. Buletin Ekonomi Perikanan, 8, (2), 41 – 49. Rais, J. dan Tamtomo, JP. (2005). Blok Ambalat: Opini Publik yang “Misleading”? Make Marine Cadastre Not War . Kompas 12 April 2005, Jakarta. Sargindo,
C.
(2013).
Sekilas
Tentang
Ambalat
(online).
Tersedia:
http://cucusargindo.blogspot.co.id/2013/01/ambalat-sekilas.html. [18 Oktober 2016].
Schofield, C. and Storey, I. (2005). “En ergy Security and Southeast Asia: The Impact on Maritime Boundary and Territorial Disputes”. Harvard Asia Quarterly, 9, (4).
Sejarah
Panjang
Kemelut
Indonesia
–
Malaysia
di
Ambalat.
Sumber
:
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150617140454-20-60584/sejarah-panjangkemelut-indonesia-malaysia-di-ambalat/