1
Kekayaan Negara yang Dipisahkan di Badan Usaha Milik Negara, Khususnya Perusahaan Perseroan dan Kaitannya Tindak Pidana di Korupsi Oleh Ridwan Khairandy A. Pendahuluan Persoalan korupsi bagi Indonesia telah masalah bangsa yang sangat mengkhawatirkan. Ia telah merambah ke dalam berbagai sektor kehidupan negara. Walaupun telah banyak upaya yang dilakukan untuk menyelesaikan persoalan tersebut, namun hasilnya dirasakan belum terlalu menggembirakan. Hal tersebut diakui sendiri oleh Presiden . Di tengah upaya penyidikan dan penuntutan oleh aparat penegak terhadap kasus korupsi di berbagai BUMN, khususnya Perusahaan Perseroan (Persero) yang begitu gencar, ternyata menimbulkan banyak kritik. Aparat penegak hukum seringkali dikatakan tidak memahami konsep badan hukum, seperti Perseroan terbatas (PT) atau Perusahaan Perseroan (Persero). Juga tidak dipahami benar apa konsekuensi yuridis penyertaan modal oleh negara dalam bentuk kekayaan negara yang dipisahkan dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Akibatnya, tindakan aparat untuk memberantas korupsi di BUMN ternyata bertentangan UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (dulu UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas) dan UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara yang menjadi dasar eksistensi dan kegiatan perusahaan dimaksud. B. Korporasi sebagai Badan Hukum BUMN, khususnya Persero pada dasarnya adalah sebuah korporasi, sebuah badan usaha berbadan hukum yang bertujuan untuk mencari keuntungan. Dengan
2
memahami makna dan konsekuensi badan hukum, akan didapat pemahaman yang utuh tentang Persero. Pada dasarnya badan hukum adalah suatu badan yang dapat memiliki hak-hak dan kewajiban-kewajiban untuk melakukan suatu perbuatan seperti manusia, memiliki kekayaan sendiri, dan digugat dan menggugat di depan pengadilan. Badan hukum ini adalah rekayasa manusia untuk membentuk suatu badan yang memiliki status, kedudukan, kewenangan yang sama seperti manusia. Oleh karena badan ini adalah hasil rekayasa manusia, maka badan ini disebut sebagai artificial person. Di dalam hukum, istilah person (orang) mencakup makhluk pribadi, yakni manusia (natuurlijk persoon) dan badan hukum (persona moralis, legal person, legal entity, rechtspersoon). Keduanya adalah subjek hukum, sehingga keduanya adalah penyandang hak dan kewajiban hukum. Dengan perkataan lain, sebagaimana yang dikatakan oleh J. Satrio, mereka ia memiliki hak/dan atau kewajiban yang diakui hukum.1 Oleh karena badan hukum adalah subjek, maka ia merupakan badan yang independen atau mandiri dari pendiri, anggota, atau penanam modal badan tersebut. Badan ini dapat melakukan kegiatan bisnis atas nama dirinya sendirinya seperti manusia. Bisnis yang dijalankan, kekayaan yang dikuasai, kontrak yang dibuat semua atas nama itu sendiri. Badan ini seperti halnya manusia memiliki kewajiban-kewajiban hukum, seperti membayar pajak dan mengajukan izin kegiatan bisnis atas nama dirinya sendiri.2 Nindyo Pramono3 menyatakan bahwa filosofi pendirian badan hukum adalah bahwa dengan kematian pendirinya, harta kekayaan badan hukum tersebut diharapkan masih dapat bermanfaat oleh orang lain. Oleh karena itu, hukum menciptakan suatu kreasi “sesuatu” yang oleh hukum kemudian dianggap atau diakui sebagai subjek 1
J. Satrio, Hukum Pribadi, Bagian I Persoon Alamiah, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999,
2
Robert W. Hamilton, The Law of Corporation, West Publishing Co, St. Paul, Minn, 1996,
hlm 13. hlm 1. 3
Nindyo Pramono, “Kekayaan Negara Yang Dipisahkan Menurut UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN”, dalam Sri Rejeki Hartono, et.al, ed, Permasalahan Seputar Hukum Bisnis: Persembahan kepada Sang Maha Guru, Tanpa Penerbit, Jogjakarta, 2006, hlm 142.
3
mandiri seperti halnya orang (natuurlijk persoon atau natural person). Kemudian “sesuatu” itu oleh ilmu hukum disebut sebagai badan hukum (rechtspersoon atau legal person). Agar badan hukum itu dapat bertindak seperti halnya orang alamiah, maka diperlukan organ sebagai alat bagi badan hukum itu untuk menjalin hubungan hukum dengan pihak ketiga. Secara teoritik, baik di negara common law maupun civil law dikenal beberapa ajaran atau doktrin yang menjadi landasan teoritik keberadaan badan hukum. Ada beberapa konsep terkemuka tentang personalitas badan hukum (legal personality), yakni:4 1.
Legal Personality as Legal Person5 Menurut konsep ini badan hukum adalah ciptaan atau rekayasa manusia, badan merupakan hasil suatu fiksi manusia. Kapasitas hukum badan ini didasarkan pada hukum positif.
Oleh karena personalitas badan hukum ini didasarkan hukum
positif, maka negara mengakui dan menjamin personalitas hukum badan tersebut. Badan hukum yang memiliki hak dan kewajiban tersebut diperlakukan sama dengan manusia sebagai “real” person. 2. Corporate Realism6 Menurut konsep ini personalitas hukum suatu badan hukum berasal dari suatu kenyataan dan tidak diciptakan oleh proses inkorporasi, yakni pendirian badan hukum yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan. Suatu badan hukum tidak memiliki personalitas sendiri yang diakui negara. Personalitas hukum ini tidak didasarkan pada fiksi, tetapi didasarkan pada kenyataan alamiah layaknya manusia. 3. Theory of the Zweckvermogen7 Menurut
konsep ini suatu badan hukum terdiri atas sejumlah kekayaan yang
digunakan untuk tujuan tertentu. Teori ini dapat ditelusuri ke dalam sistem hukum yang menentukan – seperti hukum Jerman – bahwa institusi dalam hukum publik (Anstalten) dan endowment dalam hukum perdata (Stiftungen) adalah badan hukum 4
Daniel Zimmer, “Legal Personality”, dalam Ella Gepken Jager, et.al, eds, VOC 1602 – 2002: 400 Years of Company Law, Kluwer Legal Publisher, Deventer, 2005, hlm 267 – 269. 5 Konsep legal personality as legal person ini dikenal pula dengan istilah Teori Fiksi. 6 Pendekatan ini corporate realism ini dikenal pula dengan istilah Teori Kenyataan Yuridis. 7 Teori ini dikenal pula dengan istilah Teori Kekayaan Bertujuan.
4
yang ditentukan oleh suatu objek dan tujuan, dan tidak ditentukan oleh individual anggotanya. 4.
Aggregation Theory Teori aggregasi ini disebut juga sebagai teori “symbolist” atau teori “bracker”, dan dalam versi modern dikenal sebagai “corporate nominalism” secara teoritik berhubungan dengan teori fiksi. Pandangan individualistik ini menyatakan bahwa makhluk (human being) dapat menjadi subjek atau penyandang hak dan kewajiban timbul atau lahir dari hubungan hukum dan oleh karenanya benar-benar menjadi badan hukum. Menurut konsep personalitas korporasi, badan hukum ini adalah semata-mata suatu nama bersama (collective name), suatu simbol bagi para anggota korporasi.
5.
Modern Views on Legal Personality Hukum nasional modern dewasa ini menggabungkan antara realist and fictionist theory dalam mengatur hubungan bisnis domestik dan internasional, di satu sisi mengakui realitas sosial yang ada di belakang di belakang personalitas hukum, dan sisi lain, memperlakukan badan hukum dalam sejumlah aspek sebagai suatu fiksi. Konsep perusahaan sebagai badan yang hukum yang kekayaannya terpisah dari para pemegang sahamnya merupakan sifat yang dianggap penting bagi status korporasi sebagai suatu badan hukum yang membedakan dengan bentuk-bentuk perusahaan yang lain. Sifat terbatasnya tanggung jawab secara singkat merupakan pernyataan dari prinsip bahwa pemegang saham tidak bertanggungjawab secara pribadi atas kewajiban perusahaan sebagai badan hukum yang kekayaannya terpisah dari pemegang sahamnya. Prinsip “continuity of existence”8 menegaskan tentang pemisahan kekayaan korporasi dengan pemiliknya. Badan hukum itu sendiri tidak dipengaruhi oleh kematian ataupun pailitnya pemegang saham. Badan hukum juga tidak
8 Prinsip continuity of existence merupakan prinsip di mana perusahaan akan tetap eksis walaupun terjadi pergantian pemilik saham. Jadi, jika pemilik saham perusahaan meninggal atau berhenti dari perusahaan dengan cara mengalihkan saham-sahamnya, perusahaan akan tetap eksis dan tidak bubar. Prinsip ini merupakan salah prinsip yang membedakan bentuk korporasi dengan bentuk badan usaha lainnya. Di dalam persekutuan perdata, termasuk firma, semestinya dengan meninggalnya salah seorang, persekutuan harus bubar.
5
dipengaruhi oleh perubahan struktur kepemilikan perusahaan. Sebagai akibatnya, saham-saham perusahaan diperdagangkan secara bebas.9 H.M.N Purwosutjipto mengemukakan beberapa syarat agar suatu badan dapat dikategorikan sebagai badan hukum. Persyaratan agar suatu badan dapat dikatakan berstatus badan hukum meliputi keharusan:10 1.
Adanya harta kekayaan (hak-hak) dengan tujuan tertentu yang terpisah
dengan kekayaan pribadi para sekutu atau pendiri badan itu. Tegasnya ada pemisahan kekayaan perusahaan dengan kekayaan pribadi para sekutu; 2.
Kepentingan yang menjadi tujuan adalah kepentingan bersama;
3.
Adanya beberapa orang sebagai pengurus badan tersebut. Ketiga unsur di atas merupakan unsur material (substantif) bagi suatu badan
hukum. Kemudian persyaratan lainnya adalah persyaratan yang bersifat formal, yakni adanya pengakuan dari negara yang mengakui suatu badan adalah badan hukum. Perseroan terbatas sebagai korporasi (corporation), yakni perkumpulan yang berbadan hukum memiliki beberapa ciri substantif yang melekat pada dirinya, yakni: 11 1.
Terbatasnya Tanggung Jawab Pada dasarnya, para pendiri atau pemegang saham atau anggota suatu korporasi tidak bertanggungjawab secara pribadi terhadap kerugian atau utang korporasi. Tanggung jawab pemegang saham hanya sebatas jumlah maksimum nominal saham yang ia kuasai. Selebihnya, ia tidak bertanggungjawab.
2.
Perpetual Succession Sebagai sebuah korporasi yang eksis atas haknya sendiri, perubahan keanggotaan tidak memiliki akibat atas status atau eksistensinya. Bahkan, dalam konteks PT, pemegang saham dapat mengalihkan saham yang ia miliki kepada pihak ketiga. Pengalihan
tidak
menimbulkan
masalah
kelangsungan
perseroan
yang
bersangkutan. Bahkan, bagi PT yang masuk dalam kategori PT Terbuka dan 9
Erik P.M. Vermuelen, The Evolution of Legal Business Forms in Europe and the United States: venture Capital, Joint Venture, and Partnership Structures, Kluwer Law International, Deventer, 2002, hlm 189. 10 H.M.N. Purwosutjipto, Pengantar Pokok Hukum Dagang Indonesia. Jilid 2, Djambatan, Jakarta, 1982. 11 Perhatikan David Kelly, et.al, Business Law, Cavendish Publishing Limited, London, 2002, hlm 343 – 345.
6
sahamnya terdaftar di suatu bursa efek (listed), terdapat kebebasan untuk mengalihkan saham tersebut. 3.
Memiliki Kekayaan Sendiri Semua kekayaan yang ada dimiliki oleh badan itu sendiri. Kekayaan tidak dimiliki oleh pemilik oleh anggota atau pemegang saham. Ini adalah suatu kelebihan utama badan hukum. Dengan demikian, kepemilikan kekayaan tidak didasarkan pada anggota atau pemegang saham. 4. Memiliki Kewenangan Kontraktual serta Dapat Menuntut dan Dapat Dituntut atas Nama Dirinya Sendiri Badan hukum sebagai subjek hukum diperlakukan seperti manusia yang memiliki kewenangan kontraktual. Badan itu dapat mengadakan hubungan kontraktual atas nama dirinya sendiri. Sebagai subjek hukum, badan hukum dapat dituntut dan menuntut di hadapan pengadilan. Reiner R. Kraakman menyebutkan bahwa suatu korporasi biasanya memiliki 5 (lima) karakteristik yang penting, yaitu mempunyai personalitas hukum, terbatasnya tanggung jawab, adanya saham yang dapat dialihkan, manajemen terpusat di bawah struktur dewan direksi, dan kepemilikan saham oleh penanam modal. Setiap korporasi pada umumnya didirikan berdasarkan undang-undang yang mencakup 5 (lima) karakteristik tersebut kecuali jika pendiri korporasi tersebut (dan diperbolehkan oleh undang-undang) membuat aturan khusus tersendiri yang meniadakan salah satu dari karakteristik tersebut di atas.12 Tidak semua pendirian korporasi mencakup 5 (lima) karakteristik tersebut. Banyak pula perusahaan yang tidak memenuhi 5 (lima) karakteristik itu. Seringkali korporasi didirikan berdasarkan undang-undang negara tertentu yang memberikan keuntungan bagi perusahaan tersebut mengenai fleksibilitas bagi pendirian korporasi untuk meniadakan satu atau lebih karakteristik tersebut. Kelima karakteristik korporasi akan diuraikan secara rinci sebagai berikut:13 1. Personalitas Hukum (legal personality) 12
Reiner R. Kraakman, et.al, The Anatomy of Corporate Law: A Comparative and Functional Approach, Oxford University Press, Oxford, 2005, hlm 5 13 Ibid, hlm 6 - 14.
7
Sebagai suatu entitas ekonomi, korporasi pada dasarnya berperan sebagai nexus of contracts, yaitu merupakan pihak tunggal yang mengkoordinasikan kegiatan pemasokan untuk perusahaan dan sekaligus konsumen sebagai pengguna produk dan jasa. Kontribusi hukum perusahaan yang paling utama dan penting yaitu untuk mengijinkan perusahaan menjalankan kegiatannya sebagai subjek hukum. Subjek hukum di sini berbeda dengan subjek hukum individu yang memiliki atau mengelola korporasi, atau pihak supplier dan konsumen korporasi. Elemen utama dari personalitas hukum ini adalah apa yang disebut dalam hukum perdata sebagai “pemisahan harta kekayaan” (separate patrimony). Hal ini merupakan kemampuan perusahaan untuk memiliki aset-aset yang terpisah dengan kekayaan orang lain, seperti perusahaan investor, dan juga perusahaan memiliki kebebasan tidak hanya untuk menggunakan dan menjual kekayaannya, tetapi juga dapat menggadaikan kekayaan kepada kreditor. Akibat dari penggadaian aset dalam personalitas hukum disebut dengan istilah “affirmative asset partitioning” untuk menekankan bahwa istilah ini mencakup perlindungan aset badan hukum, yaitu korporasi, baik dari kreditor manajer perusahaan dan pemilik. 2. Terbatasnya Tanggung Jawab (limited liability) Bentuk korporasi biasanya secara efektif membebankan ingkar janji dalam kontrak yang dibuat korporasi dengan kreditornya supaya kreditor dibatasi dalam membuat tuntutan terhadap aset yang merupakan kekayaan korporasi itu sendiri. Selain itu, hal ini juga bertujuan supaya kreditor tidak dapat menuntut lebih lanjut terhadap aset perseorangan yaitu pemegang saham atau manajer korporasi. Pembatasan pertanggungjawaban ini membedakan bentuk korporasi ini dengan bentuk perusahaan lain, seperti persekutuan perdata. Tanggung jawab terbatas berperan sebagai “defensive asset partitioning” yang berbeda dari “affirmative asset partitioning” dalam personalitas hukum. Defensive asset partitioning mencadangkan aset pribadi pemegang saham untuk kreditor perorangan perusahaan. “Affirmative asset partitioning” dalam personalitas hukum mengijinkan perusahaan untuk memiliki aset-aset, dan kemudian menjadikan aset
8
tersebut sebagai floating lien14 untuk kreditor bisnis daripada untuk kreditor individual seperti investor dan manajer. Tanggung jawab terbatas ini memberikan fleksibilitas dalam mengalokasikan risiko dan keuntungan antara equity holders dan debt holders, mengurangi biaya pengumpulan transaksi-transaksi dalam perkara insolvensi, dan mempermudah dan secara substansial menstabilkan harga saham. Tanggung jawab terbatas juga berperan penting dengan memberikan kemudahan dalam pendelegasian manajemen. Selain itu, dengan mengalihkan risiko bisnis dari pemegang saham ke kreditor, maka tanggung jawab terbatas memasukkan kreditor sebagai pengawas manajer perusahaan. Tugas pengawasan ini lebih baik dijalankan oleh kreditor daripada oleh pemegang saham dalam perusahaan yang kepemilikan sahamnya tersebar secara luas. 3. Adanya Saham yang dapat Dialihkan (transferable shares) Pengalihan saham secara penuh dalam kepemilikan merupakan salah satu karakteristik korporasi yang membedakan korporasi dari persekutuan perdata dan badan hukum lain yang sejenis. Sifat dapat dialihkan (transferability) ini membuat perusahaan mampu melakukan kegiatan bisnisnya tanpa adanya gangguan ketika pemilik perusahaan itu berganti. Hal ini pada gilirannya dapat meningkatkan likuiditas kepentingan pemegang saham dan memberikan kemudahan bagi pemegang saham untuk membangun dan mempertahankan diversifikasi investasi portofolio mereka. Pengalihan saham secara penuh (fully transferable shares) tidak sama dengan saham yang diperdagangkan secara bebas (freely tradable shares). Sekalipun saham tersebut dapat dialihkan, saham tersebut tidak dapat diperdagangkan tanpa adanya pembatasan dalam pasar publik. Saham tersebut hanya dapat dialihkan di antara kelompok individu yang terbatas atau dengan persetujuan pemegang saham korporasi yang ada. Sifat dapat diperdagangkan dengan bebas memaksimalkan 14
Floating lien adalah hak memegang barang jaminan yang diperluas cakupannya meliputi benda-benda tambahan lainnya yang didapatkan oleh debitor ketika utangnya belum dilunasi. Floating lien juga bermakna sebagai hak memegang barang jaminan yang tetap masih ada walaupun jaminan tersebut sifatnya, klasifikasinya, atau tempatnya berubah. Lihat Bryan A. Garner, et.al, ed, Black’s Law Dictionary, 8th Edition, Thomson-West, St. Paul Min, 2004, hlm 942.
9
likuiditas
kepemilikan
saham
dan
kemampuan
pemegang
saham
untuk
mendiversifikasi investasi mereka. Sifat tersebut juga memberikan perusahaan fleksibilitas yang maksimal dalam meningkatkan modalnya. Untuk itu, semua negara menetapkan sifat dapat diperdagangkan dengan bebas tidak baik untuk salah satu bentuk korporasi (seringkali untuk korporasi terbuka). Sifat dapat diperdagangkan dengan bebas dapat pula membuat perusahaan kesulitan dalam mempertahankan kontrol penyusunan perundingan. Akibatnya, semua negara menetapkan mekanisme untuk membatasi sifat dapat dialihkan. Seringkali hal ini dilakukan dengan pembuatan undang-undang yang terpisah, seperti undang-undang Eropa
khusus
bagi
korporasi
tertutup.
Negara
lain
menetapkan
untuk
mengendalikan sifat dapat dialihkan sebagai suatu pilihan berdasarkan undangundang korporasi negara tersebut. 4. Pendelegasian Manajemen Pendelegasian manajemen merupakan sifat yang hampir ada di semua perusahaan besar dengan jumlah pemilik besar yang nominal kepemilikan sahamnya kecil. Pendelegasian memperbolehkan adanya pemusatan manajemen untuk mengkoordinasikan kegiatan produksi. Hal ini juga sama pentingnya dengan pendelegasian kewenangan dalam membuat keputusan kepada individu tertentu memberitahukan pihak ketiga sebagaimana kepada seseorang yang ada dalam perusahaan yang memiliki kewenangan untuk membuat perjanjian yang mengikat. Setiap bentuk organisasi mempunyai cara tersendiri untuk mendelegasikan kewenangan dan kekuasaan manajemen. Dalam limited partnership dan common law private trust biasanya memberikan hak penguasaan secara penuh kepada general partner15 atau trustee dan hal ini tidak digantikan kepada orang lain tanpa adanya alasan yang jelas. Sebaliknya, hukum perusahaan biasanya memberikan kewenangan atas urusan perusahaan kepada dewan direksi atau organ yang sejenis yang dipilih secara periodik oleh pemegang saham perusahaan. Dengan demikian,
15
General partner adalah sekutu dalam bidang usaha yang tanggung jawabnya dalam utang piutang tak terbatas. Lihat I.P.M Ranuhandoko, Terminologi Hukum Inggris-Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hlm 307.
10
kewenangan pembuatan keputusan perusahaan berada di tangan dewan direksi yang memiliki empat ciri khas. Pertama, direksi dipisahkan dari manajer operasional perusahaan. Bentuk pemisahan ini bervariasi tergantung dari struktur dewan itu sendiri, apakah dewan itu menggunakan one tier board atau two tier boards. Dalam two tier boards, pejabat tinggi perusahaan (top corporate officer) menempati dewan tingkat kedua (subordinat), tetapi secara umum dia tidak aktif dalam dewan tingkat pertama (pengawasan). Pejabat ini mempunyai independensi dari pegawai perusahaan yang disewa (firm’s hired officer), yaitu pegawai manajerial senior perusahaan. Dalam single-tier board, pegawai yang disewa (firm’s hired officer) merupakan anggota, atau bahkan mendominasi dewan itu sendiri. Dengan kata lain, pegawai yang disewa perusahaan (firm’s hired officer) mempunyai kewenangan di bidang pengajuan dan pelaksanaan keputusan bisnis. Dewan direksi mempunyai kewenangan di bidang pengawasan, pengesahan keputusan, dan penyewaan pegawai. Kedua, dewan secara formal berbeda dari pemegang saham perusahaan. Keanggotaan dewan ini memberikan sarana bagi pemegang saham minoritas atau konstituen yang lain, seperti pegawai atau kreditor, untuk mendapatkan akses atas informasi yang terpercaya. Selain itu, mereka juga dapat berpartisipasi langsung dalam pembuatan keputusan perusahaan. Pendelegasian kewenangan pembuatan keputusan kepada individu atas nama perusahaan, dapat meningkatkan probabilitas individu tersebut untuk merespon perkembangan terbaru demi kepentingan seluruh konstituen perusahaan. Ketiga, dewan perusahaan itu dipilih oleh pemegang saham perusahaan. Untuk itu dewan harus merespon kepentingan pemegang saham perusahaan. Hal ini dikarenakan pemegang saham perusahaan merupakan pihak yang menanggung keuntungan dan kerugian atas pembuatan keputusan perusahaan. Selain itu, dewan juga harus mampu merespon kepentingan para pihak, seperti konstituen perusahaan lain, yang tidak terlindungi dengan kuat oleh perjanjian.
11
Keempat, dewan biasanya mempunyai anggota yang besar. Struktur ini memberikan pengawasan secara bersama-sama oleh anggota dewan. Aturan ini ada pengecualiannya, misalnya sebagian undang-undang tentang korporasi tertutup, seperti aturan yang mengatur GmbH di Jerman atau SARL di Perancis, mengijinkan perusahaan untuk meniadakan adanya dewan kolektif dan mengganti dewan tersebut menjadi direksi umum tunggal atau dewan tunggal (one-person board). 5. Kepemilikan Investor Ada dua elemen penting dalam kepemilikan perusahaan, yaitu hak untuk mengendalikan perusahaan dan hak untuk menerima pendapatan bersih perusahaan. Hukum perusahaan pada pokoknya dibuat untuk memudahkan investor-owned firms, yaitu perusahaan yang kedua elemen kepemilikannya terikat pada investasi modal dalam perusahaan. Lebih khusus, dalam investor-owned firms, baik hak untuk berpartisipasi dalam pengendalian – yang secara umum mencakup hak voting dalam pemilihan direksi dan hak voting untuk menyetujui transaksi yang penting – dan hak untuk menerima penghasilan residual perusahaan, atau keuntungan, sesuai dengan proporsi jumlah modal yang dimasukkan investor ke perusahaan. Dominasi
kepemilikan
saham
dalam
perusahaan-perusahaan
besar
merefleksikan beberapa efisiensi keuntungan yang menarik perhatian. Salah satunya yaitu, di antara banyaknya partisipan dalam perusahaan, investor seringkali merupakan pihak yang sulit untuk mendapatkan perlindungan melalui sarana kontraktual. Selain itu, investor yang memiliki modal, secara khusus memiliki kepentingan homogen di antara mereka sendiri, sehingga meminimalkan potensi konflik yang membutuhkan biaya besar di antara para pihak yang bersama-sama mengelola perusahaan. Menjalankan bisnis dengan wadah korporasi khususnya PT memiliki beberapa keuntungan yang jelas kelihatan, yakni adanya tanggung jawab tidak terbatas bagi perseroan, tetapi tidak bagi pemegang saham. Pemegang saham hanya bertanggung jawab sejumlah nominal saham yang ia miliki. Pemilik saham menikmati terbatasnya tanggung jawab tersebut.16 16
Robert W. Hamilton, loc.cit.
12
Ketika seseorang membeli saham perusahaan, maka orang tersebut menjadi pemegang saham. Tidak seperti anggota persekutuan perdata, struktur pemegang saham dapat berubah terus menerus tanpa mempengaruhi keberadaan korporasi tersebut. Pemegang saham dapat menggugat perusahaan. Sebaliknya, korporasi dapat pula menuntut pemegang saham. Dalam keadaan tertentu, pemegang saham dapat menuntut atas nama korporasi.17 Penjelasan tentang PT sebagai badan hukum di atas secara singkat dapat digambarkan melalui skema di bawah ini. 18 Perseroan Terbatas
Utang atau kewajiban yang dimiliki
Pihak Ketiga
Investasi Modal
Pemegang Saham
Pemegang Saham
Pemegang Saham
Pemegang Saham
Keterangan: Pemegang saham menanamkan modalnya dalam perseroan terbatas. Pada dasarnya tidak ada tanggung jawab pribadi atas utang dan kewajiban perusahaan. Agar badan hukum dapat berinteraksi dalam pergaulan hukum seperti membuat perjanjian, melakukan kegiatan usaha tertentu diperlukan modal. Modal awal badan hukum itu berasal dari kekayaan pendiri yang dipisahkan. Modal awal itu menjadi kekayaan badan hukum, terlepas dari kekayaan pendiri. Oleh karena itu, salah satu ciri utama suatu badan hukum seperti PT (termasuk PT Persero) adalah kekayaan yang terpisah itu, yaitu kekayaan terpisah kekayaan pribadi pendiri badan hukum itu.19 17
Roger Leroy Miller dan Gaylord A. Jentz, Fundamentals of Business Law, Sixth Edition, Thompson, Ohio, 2005, hlm 319. 18 Henry R. Cheeseman, Business Law: Ethical, International and E-Commerce Environment, Fourth Edition, Prentice Hall, New Jersey, 2001, hlm 678. 19 Nindyo Pramono, loc.cit.
13
C. Pengertian dan Tujuan Badan Usaha Milik Negara Menurut Pasal 1 UU No. 19 Tahun 2003, BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Dari definisi di atas dapat ditarik kesimpulan, ada beberapa unsur yang menjadi suatu perusahaan dapat dikategorikan sebagai BUMN: 1. Badan usaha atau perusahaan20; 2. Modal badan usaha tersebut seluruhnya atau sebagian besar dimiliki oleh negara. Jika modal tersebut tidak seluruhnya dikuasai negara, maka agar tetap dikategorikan sebagai BUMN, maka negara minimum menguasai 51 % modal tersebut. 3. Di dalam usaha tersebut, negara melakukan penyertaan secara langsung; Mengingat di sini ada penyertaan langsung, maka negara terlibat dalam menanggung risiko untung dan ruginya perusahaan. Menurut Penjelasan Pasal 4 ayat (3) UU No. 19 tahun 2003, pemisahan kekayaan negara untuk dijadikan penyertaan modal negara ke dalam BUMN hanya dapat dilakukan dengan cara penyertaan langsung negara ke BUMN, sehingga setiap penyertaan tersebut harus ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah (PP). 4. Modal penyertaan tersebut berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Kekayaan yang dipisahkan di sini adalah pemisahan kekayaan negara dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN untuk dijadikan modal BUMN. Setelah itu selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem APBN, namun pembinaan dan pengelolaannya pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat.21 Suatu badan usaha dapat dikategorikan sebagai BUMN harus merupakan perusahaan yang modalnya berasal dari penyertaan langsung dari negara. Jika ada 20
Oleh karena BUMN merupakan sebuah badan usaha perusahaan, maka sesuai dengan makna perusahaan atau badan, ia harus bertujuan untuk mendapatkan keuntungan atau profit, bukan untuk tujuan sosial. Lebih lanjut lihat Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum Dagang, FH UII Press, Jogjakarta, 2006, hlm 66. 21 Perhatikan Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2003.
14
sebuah PT yang didirikan oleh BUMN, ia tidak dapat dikatakan sebagai BUMN, karena penyertaan modalnya bukan berasal dari negara, tetapi dari BUMN. Misalnya PT Pupuk Kalimantan Timur (PT PKT) tidak dapat disebut sebagai BUMN, karena dari Anggaran Dasar PT tersebut, terlihat bahwa modal perseroan berasal dari penyertaan PT Pupuk Sriwijaya (Persero) dan koperasi karyawan. Dalam putusan perkara korupsi Direktur Utama PT PKT, Omay K Wiriatmadja, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berpendapat, bahwa PT PKT bukan BUMN. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa saham PT PKT tidak dimiliki oleh pemerintah. 99,99 % saham PT PKT dimiliki oleh PT Pupuk Sriwijaya (Persero). Penyertaan modal PT Pupuk Sriwijaya tidak dapat dikategorikan sebagai penyertaan langsung negara pada PT PKT. Penyertaan tersebut tidak berasal dari APBN.22 UU No. 19 Tahun 2003 secara tegas menyebut bahwa modal BUMN adalah penyertaan langsung dari kekayaan negara yang dipisahkan. Dengan pemisahan ini, maka begitu negara melakukan penyertaan di perusahaan tersebut, penyertaan tersebut demi hukum menjadi kekayaan badan usaha. Pemisahan kekayaan ini merupakan konsekuensi hukum bagi sebuah badan hukum. Dengan demikian, secara yuridis modal tadi sudah menjadi kekayaan perusahaan, bukan kekayaan negara lagi. Penyertaan modal negara dalam rangka pendirian atau penyertaan pada BUMN menurut Pasal 4 jo Penjelasan Pasal 4 ayat (2) Huruf b UU No. 19 Tahun 2003, bersumber dari: a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; Termasuk dalam APBN yaitu meliputi proyek-proyek APBN yang dikelola oleh BUMN dan/atau piutang negara pada BUMN yang dijadikan sebagai penyertaan modal. b. Kapitalisasi cadangan; Kapitalisasi cadangan ini adalah penambahan modal disetor yang berasal dari cadangan. c. Sumber lainnya Termasuk dalam kategori sumber lainnya ini antara lain keuntungan revaluasi aset. 22
Lihat Kompas, Sabtu 24 Februari 2007.
15
Pasal 2 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2003 menentukan bahwa maksud dan tujuan didirikannya BUMN adalah: 1. memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya; Di sini BUMN diharapkan dapat meningkatkan mutu pelayanan pada masyarakat sekaligus memberikan konstribusi dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional dan membantu penerimaan keuangan negara. 2. mengejar keuntungan; Menurut Penjelasan Pasal 1 ayat (1) huruf a, meskipun maksud dan tujuan Persero adalah untuk mengejar keuntungan, namun dalam hal-hal tertentu untuk melakukan pelayanan umum, Persero dapat diberikan tugas khusus dengan memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat. Dengan demikian, penugasan pemerintah harus disertai dengan pembiayaannya (kompensasi) berdasarkan perhitungan bisnis atau komersial, sedangkan untuk
Perum yang tujuannya
menyediakan barang dan jasa untuk kepentingan umum, dalam pelaksanaannya harus memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang baik. 3. menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak; Dengan maksud dan tujuan seperti ini, setiap usaha BUMN, baik barang maupun jasa, dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. 4. menjadi perintis kegiatan-kegiatan yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi; dan turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat. Menurut Penjelasan Pasal 1 ayat (1) huruf d, kegiatan perintisan merupakan suatu kegiatan usaha untuk menyediakan barang dan/atau jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat, namun kegiatan tersebut belum dapat dilakukan oleh swasta dan koperasi karena secara komersial tidak menguntungkan. Oleh karena itu, tugas tersebut dapat dilakukan melalui penugasan kepada BUMN. Dalam hal adanya kebutuhan masyarakat luas yang mendesak, pemerintah dapat pula menugasi suatu BUMN yang mempunyai fungsi pelayanan kemanfaatan
16
umum untuk melaksanakan program kemitraan dengan pengusaha golongan ekonomi lemah. D. Perusahaan Perseroan Menurut Pasal 1 Angka 1 UU No. 19 Tahun 2003, Perusahaan Perseroan (Persero) adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruhnya atau paling sedikit 51 % (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki negara Republik Indonesia yang tujuannya mengejar keuntungan. Berdasarkan definisi atas, dapat ditarik unsur-unsur yang melekat di dalam Persero, yakni: 1)
Persero adalah badan usaha
2)
Persero adalah Perseroan Terbatas
Mengingat Persero adalah PT, pendiriannya dan pengelolaan Persero juga harus tunduk kepada UU No. 1 Tahun 1995, dengan beberapa pengecualian. Pasal 3 dan Penjelasan Pasal 3 UU No 19 Tahun 2003 menyebutkan bahwa BUMN, dalam hal ini Persero tunduk kepada UU No. 1 Tahun 1995 (sekarang UU No. 40 tahun 2007) termasuk perubahannya (jika ada) dan peraturan pelaksanaan. Salah satu pengecualian ketentuan UU No. 40 Tahun 2007 terhadap Persero adalah penyimpangan terhadap ketentuan jumlah pemegang saham. UU No. 40 Tahun 2007 mensyaratkan minimal ada dua orang pemegang saham. Ketentuan ini dikecualikan terhadap Persero, karena di dalam Persero adakalanya negara memegang atau menguasai 100 % (seratus persen) saham Persero. 3)
Modalnya terbagi dalam saham;
Negara menguasai 100 % atau paling sedikit 51 % saham perusahaan yang bersangkutan. Dalam kasus privatisasi “PT Indosat (Persero) Tbk”, negara melepaskan mayoritas kepemilikan saham Persero tersebut kepada pihak swasta asing. Konsekuensinya, Persero tersebut telah menjadi perusahaan swasta atau PT Biasa, sehingga perusahaan tersebut menjadi PT Indosat Tbk. 4)
Tujuan didirikannya Persero adalah untuk mengejar keuntungan.
17
Persero dapat berbentuk Persero (Tertutup) dan Persero Terbuka. Persero Terbuka menurut Pasal 1 Angka 3 UU No. 19 Tahun 2003 adalah Persero yang modal dan jumlah pemegang sahamnya memenuhi kriteria tertentu atau Persero yang melakukan penawaran umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jadi, Persero dapat terjadi dari kemungkinan. Pertama, Persero tersebut memiliki modal dan jumlah pemegang tertentu yang diisyaratkan peraturan perundangundangan tertentu. Menurut Pasal 1 Angka 22 UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, suatu perusahaan dapat disebut sebagai perusahaan publik (terbuka) bilamana pemegang sahamnya paling sedikit berjumlah 300 (tiga ratus) pemegang saham dan perusahaan
tersebut
memiliki
modal
yang
disetor
sekurang-kurangnya
Rp
3.000.000.000, 00 (tiga milyar rupiah) atau suatu jumlah pemegang saham dan modal disetor yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Kedua, Persero telah melakukan penawaran umum di pasar modal (go public). Di Indonesia, Persero yang masuk kategori ini diantaranya PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk, dan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. Persero (tertutup) adalah Persero yang tidak termasuk dalam kategori Persero terbuka. Persero yang demikian ini antara lain PT Pertamina (Persero).
E. Pemisahan Kekayaan Negara dalam Perusahaan Perseroan Dari penjelasan di atas secara jelas terlihat Persero adalah PT. Walaupun ada unsur negara di dalam perusahaan tersebut, tetapi oleh karena badan usaha ini adalah PT, maka badan usaha tersebut harus tunduk kepada UU No. 40 Tahun 2007 yang menjadi dasar substantif pengaturan eksistensi PT. PT oleh hukum dipandang memiliki kedudukan mandiri terlepas dari orang atau badan hukum lain dari orang yang mendirikannya. Di satu pihak PT merupakan wadah yang menghimpun orang-orang yang mengadakan kerjasama dalam PT, tetapi di lain pihak segala perbuatan yang dilakukan dalam rangka kerjasama dalam PT itu oleh hukum dipandang semata-mata sebagai perbuatan badan itu sendiri. Oleh karena itu,
18
segala keuntungan yang diperoleh dipandang sebagai hak dan harta kekayaan badan itu sendiri. Demikian pula sebaliknya, jika terjadi suatu utang atau kerugian dianggap menjadi beban PT sendiri yang dibayarkan dari harta kekayaan PT.23 Penyetoran modal pada saat pendirian maupun pada saat penambahan modal PT dalam bentuk saham merupakan suatu penyertaan. Suatu penyertaan adalah keikutsertaan seseorang mengambil bagian dalam suatu badan hukum. Penyertaan itu diwujudkan melalui lembaga saham.24 Wujud penyertaan itu adalah penyetoran sejumlah nilai nominal saham yang telah ditentukan dalam anggaran dasar. Penyetoran atas saham itu sendiri menurut Pasal 34 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 dapat berwujud uang atau bentuk lainnya. Secara yuridis, modal yang disertakan ke dalam perseroan bukan lagi menjadi kekayaan orang menyertakan modal, tetapi menjadi kekayaan perseroan itu sendiri. Di sini terjadi pemisahan kekayaan antara kekayaan pemegang saham dan perseroan. Dengan karakteristik yang demikian, tanggung jawab pemegang saham atas kerugian atau utang perseroan juga terbatas. Utang atau kerugian tersebut semata-mata dibayar secukupnya dari harta kekayaan yang tersedia dalam perseroan. Dengan konsep yang demikian itu, maka ketika negara menyertakan modalnya dalam bentuk saham ke dalam Persero dari kekayaan negara yang dipisahkan, demi hukum kekayaan itu menjadi kekayaan Persero. Tidak lagi menjadi kekayaan negara. Konsekuensinya, segala kekayaan yang didapat baik melalui penyertaan negara maupun yang diperoleh dari kegiatan bisnis Persero, demi hukum menjadi kekayaan Persero itu sendiri. Persoalan kemudian muncul jika konsep tersebut dikaitkan dengan pengertian keuangan negara dan dikaitkan pula dengan praktik tuduhan dan sanksi pidana korupsi yang dikenakan terhadap tindakan direksi Persero dalam menjalankan transaksi bisnis yang didalilkan dapat merugikan keuangan negara.
23
Rudhi Prasetya, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas Disertai Dengan Ulasan Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1995, Alumni, Bandung, 1995, hlm 9. 24 Ibid, hlm 14.
19
Menurut Erman Rajagukguk25, sebenarnya tidak ada yang salah dengan perumusan mengenai keuangan negara dalam Penjelasan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan: “Keuangan negara yang dimaksud adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak yang timbul karena: a. berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah; b. berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Miliki Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum dan perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasar perjanjian dengan Negara”. Kekayaan negara yang dipisahkan dalam Persero secara fisik berbentuk saham yang dipegang oleh negara, bukan harta kekayaan milik Persero itu. Menurut Pasal 8 UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa seseorang baru dikenakan tindak pidana korupsi bila seseorang dengan sengaja menggelapkan surat berharga dengan jalan menjual saham tersebut secara melawan hukum yang disimpannya karena jabatannya atau membiarkan saham tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain atau membantu melakukan perbuatan tersebut. Erman Rajagukguk26 menambahkan, dalam kenyataannya sekarang ini tuduhan korupsi juga dikenakan terhadap tindakan Direksi BUMN dalam transaksitransaksi yang didalilkan dapat merugikan kerugian negara. Dapat dikatakan telah terjadi salah pengertian dan penerapan apa yang dimaksud dengan keuangan negara. Begitu juga tidak ada yang salah dengan pengertian keuangan negara dalam UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Pasal 1 Angka 1 UU No. 17 Tahun 2003 menyatakan keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. 25
Erman Rajagukguk, Nyanyi Sunyi Kemerdekaan Menuju Indonesia Negara Hukum Demokratis, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Lembaga Studi Hukum dan Ekonomi, Depok, 2006, hlm 386. 26 Ibid
20
Selanjutnya Pasal 2 UU No. 17 Tahun 2003 menyebutkan bahwa keuangan negara sebagaimana dimaksud Pasal 1 Angka 1 di atas mencakup: 1. hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang dan melakukan pinjaman; 2. kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan kepada pihak ketiga; 3. penerimaan negara; 4. pengeluaran negara; 5. penerimaan daerah; 6. pengeluaran daerah; 7. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dipisahkan yang dikelola sendiri atau pihak lain berupa surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan negara yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah; 8. kekayaan pihak lain yang dikuasai pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum; 9. kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah. Konsisten dengan konsep pemisahan kekayaan di atas, Erman Rajagukguk juga berpendapat bahwa kekayaan negara yang dipisahkan dalam BUMN dalam lahirnya berbentuk saham yang dimiliki negara, bukan harta kekayaan BUMN tersebut.27 Kerancuan kata Erman Rajagukguk28 mulai terjadi dari Penjelasan UU No. 17 Tahun 2003 berkaitan dengan pengertian dan ruang lingkup keuangan negara yang menyatakan: “Pengertian yang digunakan dalam merumuskan Keuangan Negara adalah dari sisi obyek, subyek, proses, dan tujuan. Dari sisi obyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta 27 28
Ibid, hlm 387. Ibid.
21
segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dari sisi subyek dimaksud dengan keuangan negara meliputi seluruh obyek sebagaimana tersebut di atas dimiliki negara, dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Perusahaan Negara/daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara. Dari sisi proses, Keuangan Negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan pengelolaan obyek sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggungjawaban. Dari sisi tujuan, Keuangan Negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum atau penguasaan obyek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka pemerintahan negara. Bidang pengelolaan Keuangan Negara yang demikian luas dapat dikelompokkan dalam sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan moneter, dan sub bidang. Pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan”. Dalam pengamatan Nindyo Pramono29, dari definisi keuangan negara yang dirumuskan kedua undang-undang di atas dapat dilihat adanya definisi keuangan negara yang di dalamnya memasukkan kekayaan negara sebagai bagian keuangan negara, namun kedua undang-undang itu tidak memberikan tolok ukur yang sama tentang unsur-unsur apa dari keuangan negara. UU 31 Tahun 1999 memberikan batasan atau tolok pengertian yang sangat luas yaitu meliputi seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun …, sedangkan UU No. 17 Tahun 2003 memberikan batasan keuangan negara yang lebih sempit yaitu semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan sejumlah uang … Dari dua definisi itu saja orang dapat berdebat. Jika mengacu kepada UU No. 31 Tahun 1999, keuangan negara berarti seluruh keuangan negara …, sedangkan jika mengacu kepada UU No. 17 Tahun 2003, keuangan negara berarti hak dan kewajiban Samakah makna hukumnya “seluruh kekayaan negara” dengan “hak dan kewajiban negara”? Jawabannya pasti benda. Di satu sisi wujudnya atau unsurnya adalah seluruh kekayaan atau dapat diperluas dengan istilah seluruh harta kekayaan negara. Di sisi yang lain wujud atau unsurnya adalah hak dan kewajiban. Jika dikaji lebih lanjut, hak dan kewajiban itu erat kaitannya dengan subjek hukum. Menurut hukum, hanya subjek hukum menyandang hak dan kewajiban. PT (Persero) adalah subjek hukum, karena PT 29
Nindyo Pramono, op.cit, hlm 136.
22
(Persero) adalah badan hukum. Harta kekayaan adalah sesuatu atau objek yang dapat dimiliki atau dikuasai oleh subjek hukum yang menyandang hak dan kewajiban itu.30 Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa UU 31 Tahun 1999 mengartikan keuangan negara dari sudut objeknya, sedangkan UU No. 17 tahun 2003 mengartikan keuangan negara dari subjeknya. Dari sisi ini siapapun yang terlibat dalam pelaksanaan hukum tidak menggunakan pendekatan atau kriteria yang sama, dapat dipastikan dalam pelaksanaannya akan menimbulkan permasalahan.31 Erman Rajagukguk32 menyatakan, kesalahan terjadi lagi dalam PP No. 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah. Pasal 19 menyatakan bahwa penghapusan secara bersyarat dan penghapusan secara mutlak piutang Perusahaan Negara/Daerah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya Pasal 20 menyatakan bahwa tata cara dan penghapusan secara bersyarat dan penghapusan secara mutlak atas piutang Perusahaan Negara/Daerah yang pengurusan piutang diserahkan kepada PUPN diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan. Dengan demikian, peraturan ini tidak memisahkan kekayaan BUMN Persero dan kekayaan negara sebagai pemegang saham. Pemerintah menyadari kesalahan pemikiran tersebut ketika menghadapi kredit bermasalah (non performing loan) PT Bank Rakyat (Persero), PT Bank Negara Indonesia, dan PT Bank Mandiri (Persero). Ketika pemerintah melalui mengambil inisiatif untuk menghapus Pasal 19 dan 20 PP No. 14 Tahun 2005 Menteri Keuangan menyatakan: “Selanjutnya, pengurusan piutang perusahaan negara/daerah dilakukan berdasarkan UU Perseroan Terbatas dan UU badan Usaha Milik Negara. Jadi, disebutkan bahwa aturan yang mengatur bank-bank BUMN adalah UU Perseroan Terbatas dan Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara.”33 Usulan perubahan tersebut sempat mengundang perdebatan di dalam Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat karena dianggap membatalkan Pasal 2 Butir g UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan negara. Untuk itu kemudian diusulkan untuk meminta 30
Ibid. Ibid, hlm 137. 32 Erman Rajagukguk, op.cit, hlm 388. 33 Ibid, hlm 389 mengutip Media Indonesia, 11 Juli 2006. 31
23
fatwa Mahkamah Agung Republik Indonesia. Mahkamah Agung sendiri dalam fatwanya membenarkan alasan Menteri keuangan di atas. Akhirnya, pemerintah melalui PP No. 33 Tahun 2006 menghapus Pasal 19 dan Pasal 20 PP 14 Tahun 2005. Selanjutnya Pasal II ayat (1) PP No. 33 Tahun 2006 menentukan pada saat berlakunya PP ini mulai berlaku: a. Pengurusan Piutang Negara/Daerah untuk selanjutnya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang Perseroan Terbatas dan Badan Usaha Milik Negara beserta peraturan pelaksanaannya; b. Pengurusan … Dengan ketentuan ini terlihat jelas piutang-piutang BUMN, Persero tidak dapat dikategorikan sebagai piutang negara, tetapi piutang-piutang BUMN sendiri. Oleh karena piutang merupakan bagian kekayaan perseroan, maka keseluruhan kekayaan yang dimiliki BUMN adalah BUMN itu sendiri, bukan kekayaan negara. Permasalahannya sekarang peraturan perundang-undangan mana yang harus dipakai menyelesaikan permasalahan yang menyangkut keuangan negara dikaitkan kekayaan negara. Kekayaan negara yang dipisahkan dalam BUMN harus diperlakukan sebagai aturan khusus (lex specialis), sehingga berdasar adagium lex specialis derogat legi generale, maka UU No. 19 Tahun 2003 harus menjadi dasar penyelesaiannya. Kemudian dikaitkan dengan waktu pengundangannya atau pemberlakuannya, UU No. 19 Tahun 2003 diundangkan lebih belakangan, maka berdasar adagium lex posteriori derogat legi priori, UU 19 Tahun 2003 harus menjadi dasar hukumnya. Ada satu hal yang harus diingat, jika aparat penegak hukum masih menganut paham kekayaan BUMN adalah kekayaan negara, negara juga harus bertanggungjawab terhadap seluruh utang yang dimiliki BUMN. APBN akan terkuras untuk membayar utang-utang BUMN yang begitu besar. F. Fiduciary Duty: Kewajiban dan Tanggung Jawab Direksi Persero Pasal 5 ayat (1) dan (20) UU No. 19 Tahun 2003 menyatakan bahwa pengurusan BUMN dilakukan oleh direksi. Direksi bertanggungjawab secara penuh atas pengurusan BUMN untuk kepentingan dan tujuan BUMN serta mewakili BUMN
24
baik di dalam maupun di luar pengadilan. Mengingat Persero adalah PT, maka pembahasan kewajiban dan tanggung jawab direksi Persero harus didasarkan UndangUndang Perseroan Terbatas. PT sebagai badan hukum dalam melakukan perbuatan hukum mesti melalui pengurusnya, dalam hal ini direksi. Tanpa adanya pengurus, badan hukum itu tidak akan dapat berfungsi. Ketergantungan antara badan hukum dan pengurus menjadi sebab mengapa antara badan hukum dan direksi lahir hubungan fidusia (fiduciary duties) di mana pengurus selalu pihak yang dipercaya bertindak dan menggunakan wewenangnya hanya untuk kepentingan perseroan semata.34 Fiduciary duties di dalam PT pada hakikatnya berkaitan dengan kedudukan, wewenang, dan tanggung jawab direksi.35 Fidusia (fiduciary) yang dalam bahasa Latin dikenal sebagai fiduciarius bermakna kepercayaan. Secara teknis istilah dimaknai sebagai “memegang sesuatu dalam kepercayaan atau seseorang yang memegang sesuatu dalam kepercayaan untuk kepentingan orang”. Seseorang memiliki tugas fiduciary (fiduciary duty) manakala ia memiliki kapasitas fiduciary (fiduciary capacity). Seseorang dikatakan memiliki capacity fiduciary jika bisnis yang ditransaksikannya, harta benda atau kekayaan yang dikuasainya bukan untuk bukan untuk kepentingan dirinya sendiri, tetapi untuk kepentingan lain. Orang yang memberinya kewenangan tersebut, memiliki kepercayaan yang besar kepadanya. Pemegang amanah pun wajib memiliki iktikad baik dalam menjalankan tugasnya.36 Prinsip umum dalam hukum perseroan menyatakan bahwa fiduciary duty ini bagi direksi berlaku dalam kedudukannya baik untuk menjalankan fungsi manajemen maupun fungsi representasi.37 Selanjutnya, manakala dipakai tingkat tanggung jawab sebagai kriteria, maka tugas direksi perseroan dapat dibeda-bedakan sebagai berikut:38 34
Bambang Kesowo, “Fiduciary Duties Direksi Perseroan Terbatas Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1995”, artikel di Newsletter, edisi No. 23/VI/Desember 1995, hlm. 1 35 Ibid. 36 Lihat Munir Fuady, Doktrin-Doktrin Modern dalam Corporate Law. Eksistensinya dalam Hukum Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm 33. 37 Ibid, hlm 49. 38 Ibid. Perhatikan juga Denis Keenan, Smith and Keenan’s, Company Law, Pearson Longman, Harlow, 2002, hlm 334 – 340.
25
1. Fiduciary Duty Dalam hal ini yang dimaksud adalah tugas yang terbit dari hubungan fidusia antara direksi dan perseroan yang dipimpinnya, yang menyebabkan direksi berkedudukan sebagai trustee dalam pengertian hukum trust. Seorang direktur harus memiliki kepedulian dan kemampuan (duty of care and skill), iktikad baik. loyalitas, dan kejujuran terhadap perseroan dengan derajat tinggi (high degree). 2.
Tugas Mempedulikan (duty of care) Tugas mempedulikan yang diharapkan dari direksi adalah duty of care sebagaimana dimaksud dalam hukum tentang perbuatan melawan hukum. dalam arti, direksi berbuat atau bertindak secara hati-hati agar terhindar dari kelalaian (negligence). Menurut Pasal 92 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007, direksi menjalankan pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud tujuan perseroan. Selanjutnya Pasal 98 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 menentukan, bahwa direksi bertugas mewakili perseroan di dalam dan di luar pengadilan. Dengan demikian, dapat dikatakan, bahwa direksi memiliki tugas dan wewenang ganda, yakni melaksanakan pengurusan dan perwakilan perseroan.39 Kewenangan pengurusan meliputi semua perbuatan hukum yang tercakup dalam maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan yang telah ditentukan anggaran dasar perseroan tersebut. Dengan demikian direksi adalah organ yang di dalam perseroan yang mengambil bagian dalam lalu lintas sesuai dengan maksud dan tujuannya. Ini pula yang menjadi sumber kewenangan direksi untuk melakukan perbuatan hukum dengan pihak ketiga. Dengan perkataan lain, direksi mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan.40 Pengurusan perseroan oleh direksi tidak hanya terbatas pada memimpin dan menjalankan kegiatan rutin, tetapi juga mencakup pengelolaan kekayaan perseroan. Berdasarkan prinsip fiduciary duties tersebut, Pasal 97 ayat (2) UU No. 40 Tahun 2007 menentukan, bahwa setiap anggota direksi wajib dengan iktikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan. 39 40
Bambang Kesowo, op.cit, hlm. 2 I bid
26
Apabila direksi bersalah baik karena kesengajaan maupun lalai dalam menjalankan kewajibannya atau dengan kata lain melakukan pelanggaran terhadap kewajiban fidusia berakibat pada timbulnya tanggung jawab pribadi direksi. Sehubungan hal ini, Pasal 97 ayat (3) UU No. 40 Tahun 2007 menentukan, bahwa setiap anggota direksi bertanggungjawab penuh secara pribadi apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya untuk kepentingan dan usaha perseroan. Terhadap kejadian seperti itu, hukum memberikan kewenangan kepada pihak ketiga yang dirugikan melakukan gugatan tanggung jawab pribadi terhadap tindakan tersebut. Tidak hanya itu Pasal 97 ayat (6) UU No. 40 Tahun 2007 juga memberikan kewenangan kepada pemegang saham perseroan bertindak untuk dan atas nama perseroan. Pasal tersebut secara lengkap menyatakan sebagai berikut: “Atas nama perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu per sepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri terhadap anggota direksi yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada perseroan”. Sepanjang direksi bertindak dengan iktikad dan tindakan tersebut semata-mata untuk kepentingan perseroan, tetapi ternyata perseroan tetap menderita kerugian, tidak serta merta kerugian tersebut menjadi beban tanggung jawab pribadi direksi. Di dalam hukum perseroan, dikenal doktrin business judgment rule yang mengajarkan bahwa direksi perseroan tidak bertanggungjawab atas kerugian yang timbul dari suatu tindakan pengambilan putusan, apabila tindakan tersebut didasarkan pada iktikad baik dan hati-hati. Direksi mendapat perlindungan hukum tanpa perlu memperoleh pembenaran dari pemegang saham atau pengadilan atas keputusan yang diambilnya dalam konteks pengelolaan perusahaan.41 Business judgment rule mendorong direksi untuk lebih berani mengambil risiko daripada terlalu berhati-hati, sehingga perseroan tidak jalan. Prinsip ini mencerminkan asumsi bahwa pengadilan tidak dapat membuat kepastian yang lebih 41
Angela Scheeman, The law of Corporations, Partnerships, and Sole Proprietorship, Delmar Publisher, Albany, 1997, hlm 245.
27
baik dalam bidang bisnis daripada direksi. Para hakim umumnya tidak memiliki keterampilan bisnis dan mulai mempelajari permasalahan setelah terjadi fakta-fakta.42 Dengan demikian, tindakan yang dilakukan beberapa direksi Persero yang menjalankan perusahaan, termasuk melakukan investasi yang dianggap merugikan negara dan kemudian dituduh melakukan tindak pidana korupsi patut dipertanyakan kebenaran atau ketepatannya. Apalagi, jika hal yang dituduhkan kepada direksi itu adalah kerugian yang terjadi suatu transaksi bisnis akibat kesalahan direksi dapat dimintakan tanggung jawab kepada dirinya. Apabila tindakan direksi yang menimbulkan kerugian tidak dilandasi iktikad baik, maka ia dapat dikategorikan sebagai pelanggaran fiduciary duty yang melahirkan tanggung jawab pribadi. Misalnya, jika direksi menginvestasikan dana yang dimiliki perseroan yang dilandasi iktikad baik dan semata-mata untuk kepentingan dan keuntungan perseroan, tindakan investasi itupun atas dasar pertimbangan ahli analisis investasi yang bekerja sesuai dengan standar profesinya, tetapi ternyata menimbulkan kerugian bagi perseroan tidak dengan sendirinya timbul tanggung jawab pribadi direksi. Kerugian dalam suatu transaksi bisnis tertentu tidak dengan sendirinya menimbulkan kerugian bagi perseroan. Harus ada terlebih dahulu perhitungan laba rugi dalam neraca keuangan tahunan perseroan. Pasal 56 UU No. 1 Tahun 1995 menentukan bahwa dalam waktu sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan setelah tahun buku perseroan ditutup, direksi menyusun laporan tahunan untuk diajukan kepada RUPS yang antara lain memuat perhitungan laporan yang terdiri dari neraca akhir tahun buku yang baru lampau dan perhitungan laba rugi dari tahun yang bersangkutan serta penjelasan atas dokumen tersebut. Dari laporan perhitungan itu tercermin keadaan finansial yang sebenarnya dari aktiva, kewajiban, modal, dan hasil usaha perseroan selama satu tahun berjalan.43 Dengan demikian, kerugian yang diderita dalam suatu transaksi tertentu tidak lantas berarti kerugian bagi perseroan, karena mungkin ada transaksi-transaksi yang menguntungkan. 42
Erman Rajagukguk, op,cit, hlm 245. Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Perseroan Terbatas, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999, hlm 87. 43
28
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tidak benar kerugian terjadi dari suatu transaksi bisnis tertentu dengan sendirinya menjadi kerugian perseroan, apalagi kerugian negara. Menurut Erman Rajagukguk ada hal yang salah dalam praktik peradilan di Indonesia di mana direksi Persero dikenakan tuntutan tindak pidana korupsi atas kerugian dalam suatu transaksi tertentu.44 G. Alternatif Upaya Hukum Terhadap kenyataan di atas, tidak berarti bahwa direksi Persero yang karena tindakannya dalam transaksi bisnis menimbulkan kerugian bagi perseroan tidak dapat dimintakan tanggungjawabnya atau dilakukan upaya hukum. Sebenarnya terhadap direksi dua tindakan hukum sekaligus, yakni baik melalui gugatan perdata maupun tuntutan pidana. Gugatan secara perdata dapat dilakukan berdasarkan ketentuan UU No. 40 Tahun 2007. Sebagaimana dijelaskan di atas, apabila direksi melanggar kewajiban fiduciary duty, maka lahir tanggung jawab pribadi. Negara sebagai pemegang saham dapat melakukan gugatan perdata sebagaimana dimaksud Pasal 97 UU No. 40 Tahun 2007. Tuntutan pidana pun dapat dilakukan terhadap direksi yang bersangkutan. Hal ini dapat saja dilakukan apabila direksi tersebut melakukan penggelapan, pemalsuan data dan laporan keuangan, pelanggaran Undang-Undang Perbankan, pelanggaran Undang-Undang Pasar Modal, pelanggaran Undang-Undang Anti Monopoli, dan undang-undang lain yang memiliki sanksi pidana. H. Kesimpulan Secara yuridis penyertaan negara dalam suatu badan usaha yang berbentuk Persero merupakan kekayaan negara yang dipisahkan. Begitu negara menyertakan kekayaan tersebut, kekayaan itu demi hukum menjadi kekayaan Persero. Persero sebagai badan hukum memiliki kedudukan mandiri. Secara fisik kekayaan negara dalam Persero itu berwujud saham, bukan kekayaan Persero yang bersangkutan. 44
Erman Rajagukguk, loc.cit.
29
Upaya hukum yang dapat dilakukan negara terhadap direksi yang karena tindakannya menimbulkan kerugian bagi Persero mestinya tidak dilakukan atas dasar tindak pidana korupsi. Negara sebagai pemegang saham dapat melakukan gugatan perdata terhadap direksi tersebut karena melanggar kewajiban fiduciary duty. Direksi yang bersangkutan dapat pula dituntut secara pidana misalnya atas tuduhan melakukan penggelapan, pemalsuan data atau laporan keuangan, dan tindak pidana perbankan.
Daftar Pustaka Ali, Chidir, Badan Hukum, Alumni, Bandung, 1987. Cheeseman, Henry R., Business Law: Ethical, International and E-Commerce Environment, Fourth Edition, Prentice Hall, New Jersey, 2001. Fuady, Munir, Doktrin-Doktrin Modern dalam Corporate Law, Eksistensinya dalam Hukum Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002. Garner, Bryan A, et.al, ed, Black’s Law Dictionary, 8th Edition, Thomson-West, St. Paul Min, 2004. Hamilton, Robert W, The Law of Corporation, West Publishing Co, St. Paul, Minn, 1996. Hartono, Sri Rejeki, et.al, ed, Permasalahan Sekitar Hukum Bisnis: Persembahan kepada Sang Maha Guru, Tanpa Penerbit, Jogjakarta, 2006. Jager, Ella Gepken, et.al, eds, VOC 1602 – 2002: 400 Years of Company Law, Kluwer Legal Publisher, Deventer, 2005 Kelly, David et.al, Business Law, Cavendish Publishing Limited, London, 2002. Keenan, Denis, Smith and Keenan’s Company Law, Pearson Longman, Harlow, 2002.
30
Kesowo, Bambang “Fiduciary Duties Direksi Perseroan Terbatas Menurut Undangundang No. 1 Tahun 1995”, Newsletter, edisi No. 23/VI/Desember 95. Khairandy, Ridwan, Pengantar Hukum Dagang, FH UII Press, Jogjakarta, 2006. Kraakman, Reiner R. et.al, The Anatomy of Corporate Law: A Comparative and Functional Approach, Oxford University Press, Oxford, 2005. Miller, Roger Leroy dan Gaylord A. Jentz, Fundamentals of Business Law, Sixth Edition, Thompson, Ohio, 2005 Prasetya, Rudhi, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas Disertai Dengan Ulasan Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1995, Alumni, Bandung, 1995. Purwosutjipto, H.M.N., Pengantar Pokok Hukum Dagang Indonesia. Jilid 2, Djambatan, Jakarta, 1982. Rajagukguk, Erman, Nyanyi Sunyi Kemerdekaan Menuju Indonesia Negara Hukum Demokratis, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Lembaga Studi Hukum dan Ekonomi, Depok, 2006. Ranuhandoko, P.M, Terminologi Hukum Inggris-Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2003. Satrio, J, Hukum Pribadi, Bagian I Persoon Alamiah, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999. Scheeman, Angela The law of Corporations, Partnerships, and Sole Proprietorship, Delmar Publisher, Albany, 1997. Yani, Ahmad dan Gunawan Widjaja, Perseroan Terbatas, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999. Kompas, Sabtu 24 Februari 2007. Vermuelen, Erik P.M., The Evolution of Legal Business Forms in Europe and the United States: venture Capital, Joint Venture, and Partnership Structures, Kluwer Law International, Deventer, 2002. . .